12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Empiris
Tabel 1 Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian Peneliti dan
Tahun
Fokus Penelitian Hasil Penelitian
Analisis Penerapan
Perencanaan Pajak
PPh 21 Sebagai
Upaya Untuk
Mengoptimalkan
Pajak Penghasilan
(Studi Kasus Pada
PT.A)
Debora
Novayanti
(2012)
Pelaksanaan
manajemen pajak
oleh PT.A guna
meminimalisasi
pajak penghasilan
badan
Metode gross up dan
pemberian makan
bersama di kantor dan
penyediaan mobil untuk
transportasi antar-
jemput karyawan
memberikan
penghematan pajak
yang paling baik.
Analisis Penerapan
Perencanaan Pajak
PPh 21 Sebagai
Upaya
Penghematan
Beban Pajak
Penghasilan Badan
(Studi Kasus Pada
PT.Z)
Nyimas
Nisrina
Nabilah
(2016)
Menganalisis
laporan laba rugi
komersial, laporan
laba rugi fiskal, serta
perencanaan pajak
melalui empat
alternatif
perhitungan pajak
penghasilan pasal 21
karyawan
Penerapan pajak
melalui perhitungan
pajak penghasilan pasal
21 karyawan dengan
metode gross up akan
berpengaruh pada
kenaikan biaya fiskal
perusahaan. Kenaikan
biaya fiskal tersebut
menyebabkan
penurunan Penghasilan
Kena Pajak dan secara
otomatis pajak
penghasilan terutang
perusahaan akan
menurun.
13
Judul Penelitian Peneliti dan
Tahun
Fokus Penelitian Hasil Penelitian
Analisis
Penghitungan,
Pemotongan, dan
Pelaporan PPh
Pasal 21 atas Gaji
Karyawan Pada
PT. Isa Lines
Surabaya
Arita Puri
Rahayu
(2013)
Evaluasi
penghitungan,
pemotongan dan
pelaporan pajak
penghasilan pasal 21
sesuai undang-
undang perpajakan
yang berlaku serta
prinsip akuntansi
yang berlaku umum
Metode pajak
ditanggung karyawan
merupakan metode
yang paling ideal
karena metode ini tidak
bertentangan dengan
ketentuan undang-
undang perpajakan dan
perusahaan akan merasa
diuntungkan karena
tidak perlu membayar
pajak karyawannya.
Analisis
Perbandingan
Perhitungan Pajak
Penghasilan Pasal
21 Metode Gross,
Net, dan Gross-up
dan Dampaknya
Terhadap Beban
Pajak Penghasilan
Badan Koperasi
Satya Ardhia
Mandiri
(KOSAMI)
Saddam
Hussin
(2013)
Membandingkan
metode perhitungan
PPh Pasal 21 yaitu
metode gross,
metode net, metode
gross-up yang paling
efisien terhadap
utang pajak Badan
KOSAMI
Metode paling efisien
adalah dengan metode
gross-up atau
pemberian tunjangan
sebesar pajak
terutangnya, dari
perbandingan ketiga
perhitungan yang
dilakukan, metode
gross-up atau
pemberian tunjangan
sebesar pajak
terutangnya
Sumber: Jurnal Ilmiah, data diolah Peneliti, 2017
Pada penelitian ini Peneliti memilih perusahaan di bidang jasa, khususnya
perusahaan outsourcing. Perusahaan penyedia jasa outsourcing memiliki beragam
jenis pegawai di dalamnya, seperti pegawai tetap, tenaga kerja lepas, tenaga ahli,
dan lain-lain. Selain itu, belum banyak penelitian mengenai praktik tax planning
14
yang dilakukan pada perusahaan penyedia jasa outsourcing. Penelitian yang
dilakukan bukan hanya membandingkan hasil perhitungan setiap metode saja,
tetapi membuat simulasi berdasarkan hasil wawancara yang mendukung.
B. Tinjauan Teoritis
1. Pajak Penghasilan Pasal 21
a. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 21
Resmi (2013:163) menjelaskan “Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri”.
b. Subyek Pajak Penghasilan Pasal 21
Penerima Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi adalah orang pribadi yang merupakan pihak-pihak
berikut:
1) pegawai.
2) penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3) bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yanng terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
15
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
c) olahragawan;
d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi,
dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g) agen iklan;
h) pengawas atau pengelola proyek;
i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang
menjadi perantara;
j) petugas penjaja barang dagangan;
k) petugas dinas luar asurani;
l) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya.
4) anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
5) mantan pegawai; dan/atau
6) peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaan dalam suatu kegiatan, antara lain
meliputi di bawah ini:
a) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan
olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
perlombaan lainnya.
b) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
c) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu.
d) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
e) peserta kegiatan lainnya.
c. Bukan Subyek Pajak Penghasilan Pasal 21
Resmi (2013:169) menyebutkan yang tidak termasuk dalam pengertian
Penerima Peghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 menurut Undang-Undang Nomor
36 tahun 2008 Pasal 3adalah:
1) kantor perwakilan negara asing
2) pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang- orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasila lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
16
3) organisasi internasiona dengan syarat Indonesia menjadi anggotanya dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iura para anggota;
4) pejabat perwakilan organisasi internasioal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang- Undang Pajak Penghasilan, yang teah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
d. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
menyebutkan yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia ataupun dari luar Indonesia dan dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak dalam nama dan bentuk apapun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya;
c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
17
e) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan peengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegangg polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktifa;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotannya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
19. Surplus Bank Indonesia.
e. Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Sambodo (2015:91) menjelaskan, penghasilan yang tidak termasuk dalam
pengertian penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah:
1) pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2) penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk
apapun diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah, penghasilan
sebagaimana dimaksud (kecuala natura) dan/atau kenikmatan lainnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan wajib
pajak, wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
atau wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
perhitungan khusus (deemed profit).
3) iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua, atau iuran
jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
18
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh
pemberi kerja.
4) zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakuin di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5) beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
f. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi dijabarkan pemotong PPh
Pasal 21, meliputi:
1) pemberi pemberi kerja yang terdiri dari:
a) orang pribadi;
b) badan; atau
c) cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian
atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang,
perwakilan, atau unit tersebut;
2) bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau
pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan;
3) dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari
tua atau jaminan hari tua;
4) orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
a) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status Subyek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang
19
melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
b) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status Subyek Pajak luar negeri; dan/atau
c) honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan
dan pelatihan, serta pegawai magang; atau
5) penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang
bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib
Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
g. Bukan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Pemberi kerja yang tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 diuraikan di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER- 32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi adalah sebagai berikut:
1) kantor perwakilan negara asing;
2) organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan
oleh Menteri Keuangan; atau
3) pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
h. Biaya yang Diperkenankan Sebagai Pengurang (Deductible Expense)
Resmi (2013:92) menjabarkan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
20
Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
1) biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
a) biaya pembelian bahan;
b) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
c) bunga, sewa, dan royalti;
d) biaya perjalanan;
e) biaya pengolahan limbah;
f) premi asuransi;
g) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
h) biaya administrasi; dan
i) pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2) penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
3) iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4) kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
5) kerugian selisih kurs mata uang asing;
6) biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia;
7) biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu;
d) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
21
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
9) sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11) biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12) sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah; dan
13) sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
i. Biaya yang Tidak Diperkenankan Sebagai Pengurang (Non- Deductible
Expense)
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan menyatakan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan dengan:
1) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
b) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
c) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
d) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
4) premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
22
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
5) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
6) jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
7) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf
m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
8) Pajak Penghasilan;
9) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
10) gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
11) sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
j. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan salah satu unsur pengurang
penghasilan netto yang digunakan untuk menghitung besarnya penghasilan yang
dikenakan pajak penghasilan pasal 21. Di dalam Pasal 1 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan
dari tahun 2014 menjadi:
1) Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak
Orang Pribadi;
23
2) Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
3) Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) tambahan untuk seorang
isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008;
4) Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga)
orang untuk setiap keluarganya.
Selain itu, pada tahun 2016 dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
101/PMK.010/2016 yang mengatur perubahan besaran Penghasilan Tidak Kena
Pajak di dalam Pasal 1 menjadi:
1) Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak
Orang Pribadi;
2) Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
3) Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang
isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008;
4) Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarganya.
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi karyawati berdasarkan Pasal 11
ayat (3) dan (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; dan
2) bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya
24
3) dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari
Pemerintah Daerah setempat serendah- rendahnya kecamatan yang
menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh
penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah
PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya.
k. Penghasilan Kena Pajak (PhKP)
Besar penghasilan kena pajak yang menjadi dasar pengenaan dan pemotongan
pajak penghasilan pasal 21 berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi adalah sebagai berikut:
1) bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan
neto dikurangi penghasilan tidak kena pajak;
2) bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi penghasilan
tidak kena pajak; dan
3) bagi bukan pegawai sebagaimana di maksud dalam Pasal 3 hruf C, sebesar
50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
l. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, dasar pengenaan
dan pemotongan pajak penghasilan pasal 21 antara lain sebagai berikut:
1) penghasilan kena pajak, yang berlaku bagi:
a) pegawai tetap;
b) penerima pensiun berkala;
c) pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau
jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan
kalender telah melebihi Rp4.500.000,00; dan
25
d) bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang
menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan;
2) jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000,00 sehari, yang berlaku bagi
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian,
upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan
kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi
Rp4.500.000,00
3) 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan
yang tidak bersifat berkesinambungan; atau
4) jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain
penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
Penentuan besarnya penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi adalah:
1) besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong pajak
penghasilan pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi
dengan:
a) biaya jabatan, sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi- tingginya
Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun; dan
b) iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan.
2) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang di potong
pajak penghasilan pasal 21, besarnya penghasilan neto adalah seluruh
jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun sebesar 5% dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp200.000,00 sebulan atau
Rp2.400.000,00 setahun.
3) dalam hal Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c
memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a) mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari
26
pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto
tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan; atau
b) melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas
pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang
maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan
material atau barang.
4) dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit
dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar
jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau
klinik.
5) atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang
tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu)
bulan kalender belum melebihi Rp4.500.000,00 (tiga juta rupiah), berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a) tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan
sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp450.000,00
(empat ratus lima puluh ribu rupiah); atau
b) dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau
rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima
puluh ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp450.000,00 (empat ratus lima
puluh ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto.
m. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
Berdasarkan pasal 17 dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, besarnya tarif pajak atas Pajak Penghasilan Kena Pajak adalah
sebagai berikut:
27
Tabel 2 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Karyawan
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 250.000.000,00 15%
di atas Rp 250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 25%
di atas Rp 500.000.000,00 30%
Sumber: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
2. Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) dikenakan tarif sebesar 28%. Tarif tersebut kemudian menjadi 25% yang
mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. Dalam Pasal 31E Undang-Undang Pajak
Penghasilan mengatur pemberian fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% bagi
Wajib Pajak Badan dalam negeri yang memiliki jumlah peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 dalam satu tahun pajak. Pada tahun 2013 pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini
menyebutkan bahwa Wajib Pajak Pribadi dan Badan tidak termasuk Bentuk Usaha
Tetap (BUT) yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00
dalam satu tahun pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1%.
3. Rekonsiliasi Fiskal
Menurut Setiawan dan Musri (2006:421) yang dimaksud dengan rekonsiliasi
fiskal adalah penyesuaian ketentuan menurut pembukuan secara komersial atau
28
akuntansi yang harus disesuaikan menurut ketentuan perpajakan. Penyesuaian
tersebut dilakukan karena terdapat perbedaan antara standar akuntansi dan
ketentuan perpajakan. Resmi (2013:368) menyebutkan rekonsiliasi fiskal
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui
menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah
penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti
mengurangi laba menurut akuntansi.
b. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui
menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah
penghasilan tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti
menambah laba menurut akuntansi.
c. Jika suatu biaya/pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan mengurangkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut dari biaya
menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
d. Jika suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan menambahkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut pada biaya
menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan untuk menyesuaikan biaya-biaya dan
penghasilan yang ada di dalam laporan laab rugi komersial dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku melalui koreksi fiskal. Menurut Sumarsan (2012:28)
yang dimaksud dengan koreksi fiskal adalah sebuah hasil dari penyesuaian atas
laporan keuangan komersial pada saat penyusunan laporan keuangan fiskal.
Koreksi fiskal dibagi menjadi 2 jenis antara lain:
a. Koreksi Fiskal Positif
Diana dan Setiawati (2010:362) menjelaskan koreksi fiskal positif adalah
koreksi karena adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan komersial
yang mengakibatkan penghasilan kena pajak bertambah besar. Koreksi fiskal
postif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal bertambah. Menurut Agoes dan
29
Trisnawati (2007:178) menyebutkan koreksi positif biasanya dilakukan akibat
adanya beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense); penyusutan
komersial lebih besar daripada penyusutan fiskal; amortisasi komersial lebih besar
daripada amortisasi fiskal; dan penyesuain fiskal positif lainnya.
b. Koreksi Fiskal Negatif
Menurut Diana dan Setiawati (2010:362) koreksi fiskal negatif adalah koreksi
karena adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan komersial yang
mengakibatkan penghasilan kena pajak bertambah kecil. Koreksi negatif terjadi
apabila pendapatan menurut fiskal berkurang. Agoes dan Trisnawati (2007:178)
menyebutkan koreki negatif biasanya dilakukan akibat adanya penghasilan yang
tidak termasuk objek pajak; penghasilan yang dikenakan PPh final; penyusutan
komersial lebih kecil daripada penyusutan fiskal; amortisasi komersial lebih kecil
daripada amortisasi fiskal; penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya; dan
penyesuaian fiskal negatif lainnya.
4. Manajemen Pajak (Tax Management)
a. Definisi Manajemen Pajak
Beberapa pakar perpajakan mengemukakan pendapatnya mengenai definisi
dari manajemen pajak antara lain:
1) Pohan (2011:7) menjelaskan yang dimaksud dengan manajemen perpajakan
(tax management) berarti melakukan perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan yang
tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dalam artian peningkatan laba
atau penghasilan.
30
2) Lumbantoruan (1999: 484) menyatakan manajemen pajak adalah strategi untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajka yang
dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas
yang di harapkan.
3) Hutagaol (2007:328) mengartikan manajemen pajak sebagai proses
perencanaan, implementasi serta pengendalian kewajiban dan hak di bidang
perpajakan sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulan bahwa
manajemen pajak adalah upaya menyeluruh yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang
pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal- hal yang berhubungan
dengan perpajakan dapat dikelola dengan baik, efektif, dan efisien, sehingga dapat
memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian peningkatan
laba atau penghasilan.
b. Tujuan Manajemen Pajak
Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut (Suandy,
2014:4) :
1) menerapkan peraturan perpajakan secara benar;
2) usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang searusnya.
Selain itu, tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi- fungsi manajemen
pajak yang terdiri atas:
1) perencanaan pajak (tax planning);
31
2) pelaksanaan kewajiban perpajakam (tax implementation);
3) pengendalian pajak (tax control).
5. Perencanaan Pajak
a. Definisi Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak (tax planning) merupakan langkah awal dalam manajemen
pajak, dimana dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan
perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan
dilakukan (Suandy, 2014:6). Namun terdapat beberapa defnisi yang dikemukakan
oleh ahli- ahli lainnya antara lain:
1) Larry, Friedman, dan Anders (1994) dalam Pohan (2011) menjelaskan tax
planning adalah analisis yang dilakukan secara sistematis dari pembedaan
berbagai pilihan/opsi pajak yang ditujukan pada pengenaan kewajiban pajak
yang minimal pada masa pajak kini dan masa pajak yang akan datang.
2) Zain (2008:67) mendefinisikan bahwa:
Secara garis besar perencanaan pajak (tax planning) adalah proses
mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian
rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-
pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal itu
dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang- undangan
perpajakan maupun secara komersial. Suatu perencanaan pajak yang tepat
akan menghasilkan beban pajak minimal sebagai hasil dari perbuatan
penghematan pajak dan/atau penghindaran pajak yang dapat diterima oleh
fiskus dan sama sekali bukan karena penyelundupan.
b. Motivasi Perencanaan Pajak
Terdapat beberapa hal yag mendasari perilau wajib pajak untuk
meminimumkan kewajiban pembayaran pajaknya baik secara legal maupun ilegal
(Pohan,2011:9) antara lain adalah:
32
1) tingkat kerumitan suatu peraturan
semakin rumit peraturan perpajakan yang ada, maka terdapat
kecenderungan untuk menghindarinya karena biaya untuk mematuhinya
(compliance cost) menjadi tinggi.
2) besarnya pajak yang terutang
makin besar jumlah pajak yang terutang akan makin giat usaha- usaha
wajib pajak untuk memperkecil jumlah pembayaran pajaknya. Perlu
diperhatikan pula bahwa tarif pajak di Indonesia bersifat progresif.
3) biaya untuk negosiasi
disengaja atau tidak disengaja, kadang- kadang wajib pajk melakukan
negosiasi- negosiasi dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya.
4) resiko deteksi
resiko deteksi ini berhubungan dengan tingkat probabilitas apakah
pelanggaran ketentuan perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak. Makin
rendah resiko deteksi, wajib pajak memiliki kecenderungan untuk
melakukan pelanggaran- pelanggaran ketentuan perpajakan. Sebaliknya,
bila suatu pelanggaran ketentuan perpajakan mudah diketahui, maka wajib
pajak akan memilih posisi konservatif dengan tidak melanggar aturan
(Lembaga Manajemen Formasi:Workshop Tax Planning).
Selain itu, menurut Suandy (2014:10) motivasi yang mendasari dilakukannya
suatu perencanaan pajak bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu:
1) kebijakan perpajakan (tax policy)
kebijakan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang
hendak dituju dalam sistem perpajakan. Terdapat faktor-faktor pendorong
dilakukannya suatu perencanaan pajak, yaitu jenis pajak yang akan
dipungut, Subyek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan prosedur pembayaran
pajak;
2) undang- undang perpajakan (tax law)
kenyataan menunjukkan bahwa dimana pun tidak ada undang-undang
yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam
pelaksanaannya selalu diikuti ketentuan-ketentuan lain. Bukan suatu hal
yang jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undang-
undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat
kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Pada
akhirnya akan mengakibatkan adanya celah (loopholes) bagi Wajib Pajak
untuk melakukan perencanaan pajak yang baik;
3) administrasi perpajakan (tax administration)
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah untuk
memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak ikut mempengaruhi
pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan
untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan
memanfaatkan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan
peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah, untuk memberikan
33
perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama
(karena pemerintah mempunya tujuan lain tertentu) dengan
memanfaatkan:
a) Perbedaan tarif pajak
b) Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak
c) Loopholes (celah), shelters (berlindung), havens.
c. Manfaat Perencanaan Pajak
Pohan (2011:11) menyebutkan ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari
perencanaan pajak yang dilakukan secara cermat antara lain:
1) penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biaya
dapat dikurangi
2) mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan
perencanaan pajak yang matang dapat diestimasi kebutuhan kas untuk
pajak dan menentukan saat pembayaran sehigga perusahaan dapat
menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
d. Tujuan Perencanaan Pajak
Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari manajemen
pajak/perencanaan pajak yang baik adalah sebagai berikut (Pohan,2011:11) :
1) meminimalisir beban pajak yang terutang
tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut
berupa usaha- usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam
ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang- undangan perpajakan,
2) memaksimumkan laba setelah pajak,
3) meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi
pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus,
4) memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, antara lain meliputi:
a) mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari
pengenaan sanksi- sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi
pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukum kurung atau
penjara;
b) melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran,
pembelian, dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan
pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23).
34
e. Persayaratan Tax Planning yang Baik
Tax Management/Tax Planning yang baik mensyaratkan beberapa hal (Pohan,
2011:12):
1) tidak melanggar ketentuan perpajakan
jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan
merupakan tax evasion.
2) secara bisnis masuk akal (reasonable)
kewajaran melakukan transaksi bisnis tersebut harus berpegang kepada
praktek perdagangan yang sehat dan menggunakan standard arm’s length
price, atau harga pasar yang wajar, yakni tingkat harga antara pembeli dan
penjual independen, bebas melakukan transaksi.
3) didukung oleh bukti- bukti pendukung yang memadai secara bukti
kebenaran formal dan materiil dari suatu transaksi keuangan perusahaan
(misalnya Kontrak, Invoice, Faktur Pajak, Purchase Order (PO) dari
pelanggan, dan Delivery Order (DO) sebagai bukti penyerahan
barang/jasa)
f. Tahapan dalam Membuat Perencanaan Pajak
Suandy (2014:13) menjelaskan bahwa dalam membuat perencanaan pajak
dilakukan melalui berbagai urutan tahapan sebagai berikut:
1) menganalisis informasi yang ada (analysis of the existing data base)
tahap ini menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat
dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang
harus ditanggung dengan mempertimbangkan masing- masing elemen dari
pajak, baik secara sendiri- sendiri maupun secara total. Penting juga
memperhitungkan kemungkinan adanya penghsilan dari suatu proyek taau
pengeluaran lain di luar proyek yang mungkin terjadi.
2) membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnycable dan a
pajak (design of one or more possible tax plans)
pembuatan model- model perencanaan pajak tersebut dimaksudkan
sebagai alternatif untuk menentukan tax plan mana yang applicable dan
paling efisien serta efektif untuk diimplementasikan. Misalnya pemilihan
bentu usaha pada saat seorang investor baru memulai suatu usaha, memilih
negara asing tempat melakukan investasi dengan memanfaatkan tarif pajak
dan fasilitas perpajakan yang terdapat dalm tax treaty yang telah disetujui
oleh masing- masng kepaa negara bagi perusahaan mulltinasional.
3) mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan)
evaluasi perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan
suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan
pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan.
35
4) mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
(debugging the tax plan)
mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak merupakan
bentuk pengawasan refresif. Perencanaa pajak yang telah
diimplementasikan harus dimonitor dan di-review untuk dicari kelemahan
serta kekurangannya. Terkadang suatu rencana pajak memiliki kekurangan
akibat adanya perubahan peraturan perpajakan atau faktor lainnya
sehingga perlu dikaji ulang dan bila ditemukan kelemahannya harus
dimodifikasi untuk keberhasilan tax plan tersebut.
5) memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
Tax plan perlu di-update terus dan dimutahiirkan sesuai dengan ketentuan
terkini. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan
datang maupun situasi yang terjadi saat ini, manajer akan mampu
mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan.
g. Metode Perhitungan PPh Pasal 21
Pohan (2011:11) menjabarkan tiga metode yang bisa digunakan dalam
perhitungan pajak penghasilan pasal 21, yaitu:
1) Gross Method (PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan)
Contoh:
Gaji setahun xxx
-/- : Biaya Jabatan 5% xxx
Iuran Pensiun xxx +
xxx -
Penghasilan Neto Setahun xxx
PTKP (K/3) xxx -
Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh Pasal 21 Setahun (PhKP x tarif) xxx
PPh Pasal 21 Sebulan xxx
Dari perhitungan tersebut, PPh Pasal 21 terutang dibebankan kepada karyawan
dan dipotong langsung dari penghasilan yang diterima. Maka, besar
penghasilan yang diterima oleh karyawan adalah = xxx – xxx = xxx
36
2) Net Method (PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan)
Contoh:
Gaji setahun xxx
-/- : Biaya Jabatan 5% xxx
Iuran Pensiun xxx +
xxx -
Penghasilan Neto Setahun xxx
PTKP (K/3) xxx -
Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh Pasal 21 Setahun (PhKP x tarif) xxx
PPh Pasal 21 Sebulan xxx
PPh pasal 21 per bulan sebesar xxx ditanggung dan dibayarkan oleh perusahaan
sebagai pemberi kerja dan jumlah tersebut tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf h dan bukan penghasilan kena pajak
bagi karyawan.
3) Gross-Up Method (Tunjangan pajak yang di gross up)
Contoh:
Tunjangan Pajak dengan Gross Up = PhKP x xxx
xxx
= xxx
Tunjangan Pajak sebulan =xxx
Gaji setahun xxx
Tunjangan Pajak xxx +
Penghasilan Bruto Setahun xxx
37
-/-: Biaya Jabatan 5% xxx
Iuran Pensiun xxx +
xxx -
Penghasilan Neto Setahun xxx
PTKP (K/3) xxx -
Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh Pasal 21 Setahun (PhKP x tarif) xxx
PPh Pasal 21 Sebulan xxx
Berdasarkan perhitungan diatas, perusahaan memberikan tunjangan pajak yang
jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan.
Perhitungan tunjangan pajak di formulasikan untuk menyamakan jumlah pajak
yang akan dibayar dengan tunjungan pajak yang diberikan perusahaan terhadap
karyawannya. Penghasilan yang diterima karyawan akan sama setiap bulannya
meskipun menanggung PPh Pasal 21, sebab perusahaan telah memberikan
tunjangan pajak yang di gross-up sebesar PPh Pasal 21 terutangnya. Melalui
metode ini, biaya tunjangan pajak tersebut dapat dijadikan sebagai unsur pengurang
penghasilan bagi perusahaan sehingga Pajak Penghasilan perusahaan dapat
berkurang.
Namun Zain (2008:89) membagi metode penghitungan pajak menjadi empat
alternatif, yaitu:
1) Gross Method (ditanggung pegawai)
Merupakan metode penghitungan pajak dimana jumlah pajak penghasilan yang
terutang ditanggung oleh pegawai sendiri.
38
2) Net Method (ditanggung pemberi kerja)
Merupakan metode penghtiungan pajak dimana jumlah pajak penghasilan yang
terutang ditanggung oleh pemberi kerja, namun pajak yang ditanggung pemberi
kerja tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan karena bukan
merupakan obyek PPh Pasal 21.
3) Pemberian tunjangan pajak
Merupakan metode penghitungan pajak dengan memberikan tunjangan pajak
kepada pegawai. Jumlah tunjangan pajak adalah sama besar dengan jumah pajak
terutang yang ditanggung pegawai/perusahaan selama setahun. Besar PPh Pasal
21 yang harus ditanggung oleh pegawai adalah sebesar selisih antara tunjangan
pajak dengan pajak yang harus ditanggung oleh perusahaan.
Contoh:
Gaji setahun xxx
Tunjangan Pajak xxx +
xxx
-/- : Biaya Jabatan 5% xxx
Iuran Pensiun xxx +
xxx -
Penghasilan Neto Setahun xxx
PTKP (K/3) xxx -
Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh Pasal 21 Setahun (PhKP x tarif) xxx
PPh Pasal 21 Sebulan xxx
Berdasarkan perhitungan diatas, diketahui pajak terutang karyawan setelah
diberi tunjangan pajak adalah xxx. Perusahaan memberikan tunjangan pajak
39
sebesar pajak terutang dihitung dengan metode net xxx sehingga terdapat
selisih antara tunjangan pajak dengan pajak terutang setelah diberi tunjangan
pajak yaitu sebesar xxx. Selisih itulah yang dibebankan perusahaan kepada
karyawan.
4) Gross up Method
Merupakan metode penghitungan pajak dimana besarnya jumlah tunjangan
pajak yang diberikan kepada pegawai adalah sama besar dengan jumlah pajak yang
terutang.
Tabel 3 Rumus Gross-Up untuk Perhitungan Tunjangan PPh Pasal 21
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rumus Gross Up
sampai dengan Rp 50.000.000,00 = PhKP x 5%
0,95
di atas Rp 50.000.000,00 sampai
dengan Rp 250.000.000,00 =
(PhKPx15%) – Rp 5.000.000,00
0,85
di atas Rp 250.000.000,00 sampai
dengan Rp 500.000.000,00 =
(PhKPx25%) - Rp 30.000.000,00
0,75
di atas Rp 500.000.000,00 = (PhKPx30%) - Rp 55.000.000,00
0,7
Sumber: Pohan (2011:98)
Peneliti memilih untuk menggunakan metode penghitungan PPh Pasal 21
karyawan yang terdapat di dalam buku Zain (2008) di dalam penelitian yang akan
dilakukan. Alasan pemilihan tersebut karena jenis metode perhitungan PPh Pasal
21 lebih banyak menurut Zain (2008). Hal tersebut karena jika penelitian ini bisa
menganalisis lebih banyak metode, maka hasilnya akan lebih baik.
40
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Sumber: Diolah Peneliti, 2017
Akibat adanya asimetri informasi dan masalah principal-agent di dalam sebuah
Perusahaan menyebabkan terjadinya konflik kepentingan antara pihak manajerial
dan pemegang saham. Pihak manajerial cenderung meningkatkan utilitasnya
melalui pencapaian laba yang maksimal sedangkan pemegang saham berupaya
Mendorong praktik manajemen pajak
Pemilihan metode perhitungan PPh Pasal
21 Karyawan
Net
Method
Gross
Method Gross-Up
Method
Membandingkan hasil perhitungan
Metode yang paling efektif
Adanya asimetri informasi dan masalah
principal-agent di dalam perusahaan
Melalui perencaaan pajak (tax planning)
Tunjangan
Pajak
41
untuk menjaga konsistensi dari perusahaanya. Hal itu memicu dilakukannya
manajemen pajak, yaitu melalui perencanaan pajak demi menekan biaya
perusahaan seminimum mungkin. Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam
perusahaan jasa oursourcing memiliki keberagaman jenis, misal pegawai tetap,
tenaga kerja lepas, tenaga ahli, dan lain-lain yang perlakuan perhitungan pajaknya
berbeda satu dengan yang lain,sehingga diperlukan perencanaan pajak yang efektif
terhadap PPh Pasal 21 para karyawan.