1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Merokok
1. Pengertian Perilaku Merokok
Pada hakekatnya merokok adalah meghisap rokok, sedangkan rokok adalah
gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas (Poerwadarminta,
dan Perwitasari, 2006), sedangkan Aritonang (2006) merokok adalah perilaku yang
komplek karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi psikologis
dan keadaan fisiologis, sedangkan perilaku sendiri adalah setiap tindakan manusia
yang dapat dilihat (Kartono, 2003).
Perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar
dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang kemudian terhirup oleh
orang-orang sekitarnya (Leavy, 2007). Istiqomah (2003) juga menjelaskan bahwa
perilaku merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap, baik
menggunakan rokok maupun pipa. Temparatur sebatang rokok yang tengah
dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar, dan 30 derajat
Celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok (Istiqomah, 2003).
Perilaku merokok merupakan tindakan seseorang melakukan kegiatan merokok
atau tindakan-tindakan yang dilakukan secara sengaja yang merangsang untuk
merokok, serta hasil keputusan seseorang setelah mempertimbangkan tentang baik
buruknya rokok (Effendi, 2005). Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa perilaku merokok adalah tindakan yang dilakukan sesorang
2
berupa membakar dan menghisap baik menggunakan rokok atau pipa yang
menimbulkan asap yang kemudian terhirup oleh orang sekitarnya.
2. Aspek-aspek perilaku merokok
Menurut Tomkins (Sarafino, 1998) dalam teori manajemen afek perilaku
merokok terdiri dari 4 aspek. Teori manajemen afek mengacu pada perasaan atau
emosi manusia. Ada delapan afek utama yang mempengaruhi manusia, tiga di
antaranya positif dan lima di antaranya bernada negatif. Afek positif adalah
kegembiraan, kenikmatan, dan kejutan. Afek negatifnya adalah kesusahan,
kemarahan, ketakutan, rasa malu, dan penghinaan. Afek tersebut bisa merupakan
sifat bawaan ataupun berupa proses pembelajaran. Suatu objek atau perilaku
mampu membuat seorang anak atau orang dewasa menangis dalam kesusahan atau
mampu membuatnya tersenyum dalam kenikmatan. Manusia akan memaksimalkan
afek positifnya dan meminimalkan afek negatifnya. Perilaku atau merokok dapat
mengurangi afek negatif dan menimbulkan afek positif. Hal ini bisa dilakukan baik
secara bawaan maupun atas dasar pembelajaran nantinya. Aspek perilaku merokok
menurut Tomkins adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh afeksi positif. Dengan merokok individu memperoleh
stimulasi, menimbulkan efek relaksasi dan memberikan kesenangan.
b. Untuk mengurangi afeksi negatif seperti untuk menghilangkan kecemasan
dan ketegangan.
c. Merokok sudah merupakan kebiasaan atau perilaku otomatis yang
dilakukan tanpa disadari.
3
d. Merokok karena ketergantungan psikologis (adiksi) terhadap rokok untuk
mengatur keadaan emosi positif dan emosi negatifnya
Aspek-aspek perilaku merokok menurut (Aritonang, 2007 ) :
a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari, fungsi merokok
ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti
perasaan yang positif maupun perasaan negatif.
b. Intensitas merokok, Smet (1994) mengklasifikasikan perokok berdasarkan
banyaknya rokok yang dihisap, yaitu perokok berat yang menghisap lebih
dari 15 batang rokok dalam sehari, perokok sedang yang menghisap 5-14
batang rokok dalam sehari, perokok ringan yang menghisap 1-4 batang
rokok dalam sehari
c. Tempat Merokok , ,individu yang melakukan aktivitas merokok dimana
saja, bahkan di ruangan yang dilarang untuk merokok menunjukkan bahwa
perilaku merokoknya sangat tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku merokok
dapat diamati melalui perilaku yang ditimbulkan. Aspek-aspek perilaku merokok
menurut Tomkins (Sarafino,1998), meliputi memperoleh afeksi positif, mengurangi
afeksi negatif, kebiasaan atau perilaku otomatis yang dilakukan tanpa disadari, dan
ketergantungan psikologis (adiksi) untuk mengatur keadaan emosi positif dan
emosi negatif. Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (2007) adalah
fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari, intensitas merokok, dan tempat
merokok. Dari aspek-aspek yang ada peneliti menggunakan aspek dari Tomkins
(dalam Safarino, 1998) . Hal ini karena aspek-aspek tersebut dinilai paling tepat
4
untuk mengukur perilaku merokok pada remaja. Aspek tersebut menjabarkan
perilaku merokok secara terperinci dengan contoh gejala yang dialami dari setiap
aspek yang diteliti. Semakin banyak aspek perilaku yang muncul maka semakin
tinggi perilaku merokok.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok
Komalasari dan Helmi (2000) mengemukakan alasan mengapa remaja
merokok, antara lain:
1) Faktor Diri (Internal)
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan diri dari rasa sakit dan kebosanan. Merokok juga memberi image
bahwa merokok dapan menunjukkan kejantanan (kebanggan diri) dan
menunjukkan kedewasaan. Individu juga merokok dengan alasan sebagai alat
menghilangkan stres. Remaja mulai merokok berkaitan dengan adanya krisis
psikososial yang dialami pada perkembangannya yaitu pada masa ketika mereka
sedang mencari jati dirinya.
2) Faktor Lingkungan (Eksternal)
Menurut Soetjiningsih (dalam Komalasari & Helmi, 2004), faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja adalah keluarga atau orang
tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok.
a. Orang tua
Pada masa remaja, remaja mulai berjuang melepas ketergantungan
terhadap orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat
diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Pada masa ini hubungan keluarga
5
yang dulu sangat erat sekarang tampak terpecah. Orang tua sangat berperan
pada masa remaja, salah satunya pola asuh keluarga akan sangat berpengaruh
pada perilaku remaja. Pola asuh keluarga yang kurang baik akan
menimbulkan perilaku yang menyimpang seperti merokok.
b. Teman sebaya
Pengaruh kelompok sebaya terhadap perilaku merokok remaja dapat
melalui peer sosialization, dengan arah pengaruh berasal dari kelompok
sebaya, artinya ketika remaja bergabung dengan kelompok sebayanya maka
seorang remaja akan dituntut untuk berprilaku sama dengan kelompoknya,
sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh kelompok tersebut. Remaja
pada umumnya bergaul dengan sesama mereka, karakterisktik persahabatan
remaja dipengaruhi oleh kesamaan : usia, jenis kelamin dan ras. Kesamaan
dalam menggunakan obat-obatan, merokok sangat berpengaruh kuat dalam
pemilihan teman.
c. Iklan rokok
Banyaknya iklan rokok di media cetak, elektronik, dan media luar ruang
telah mendorong rasa ingin tahu remaja tentang produk rokok. Iklan rokok
mempunyai tujuan mensponsori hiburan bukan untuk menjual rokok, dengan
tujuan untuk mengumpulkan kalangan muda yang belum merokok untuk
mencoba merokok dan setelah mencoba merokok akan terus berkelanjutan
sampai ketagihan.
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok menurut Smet (1994) sebagai
berikut :
1. Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi perilaku merokok seperti teman
sebaya, saudaea, orang tua, dan media massa. Faktor yang terpenting yaitu tekanan
dari teman sebaya berpengaruh sebesar (46%) tetapi pengaruh anggota atau saudara
merupakan faktor penentu kedua sebesar (23%) dan orang tua sebesar (14%).
Lingkungan yang mendukung atau penerima perilaku merokok akan menyebabkan
seseorang untuk mempertahankan perilaku merokoknya. Demikian sebaliknya
lingkungan yang tidak menerima perilaku merokok akan merubah pandangan
seseorang tentang rokok.
2. Variabel Demografi
Faktor ini meliputi usia dan jenis kelamin. Semakin muda seseorang mulai
merokok maka semakin besar kemungkinan untuk merokok dikemudian hari. Jenis
kelamin juga berpengaruh pada perilaku merokok. Pada mulanya merokok hanya
dilakukan oleh sebagian kaum pria, namun seiring perkembangan zaman wanita
juga ambil bagian dalam hal perilaku merokok. Dan di indonesia jenis kelamin
merupakan faktor terpenting dalam faktor sosial.
3. Faktor Sosial-budaya
Kebiasaan budaya, kelas sosial dan tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku
merokok seseorang.
7
Faktor-faktor perilaku merokok menurut Komalasari dan Helmi (2000) adalah
Faktor internal dan faktor eksternal yang meliputi orang tua, teman sebaya, dan
iklan rokok. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok
menurut Smet (1994) adalah social environtment, demographic variable, dan socio-
cultural factors. Berdasarkan faktor-faktor yang dikemukakan tersebut penelit i
memfokuskan pada faktor teman sebaya dari Komalasari dan Helmi (2000) yang
memberikan pengaruh terhadap perilaku merokok remaja , karena faktor yang
dikemukakan oleh Komalasari dan Helmi (2000) lebih spesifik.
Hal tersebut didukung oleh penelitian Smet (1994) yang mengatakan bahwa
teman sebaya memberikan pengaruh lebih besar yaitu 46% terhadap perilaku
merokok remaja. Selain itu Teman sebaya merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja (Laursen, 2007). Ketika
remaja bergabung dengan kelompok sebayanya maka remaja akan dituntut untuk
berprilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan
oleh kelompok tersebut (Komalasari dan Helmi, 2000).
4. Upaya-upaya menurunkan perilaku merokok pada remaja
1) Pelatihan Manajemen diri dengan pendekatan choice theory (Mariyati,2014)
Pelatihan manajemen diri memberikan manfaat kepada remaja mengena i
bagaimana remaja dapat melakukan suatu perencanaan, pengorganisasian dan
pengawasan tentang dirinya sendiri dalam melakukan tindakan yang lebih positif,
aktif dan produktif. Penerapan choice theory melalui adanya pelatihan manajemen
diri memberikan keterampilan pada siswa untuk lebih aktif dalam bertanggung
jawab atas apa yang menjadi pilihannya. Remaja akan mencoba untuk melakukan
8
perencanaan dan mengorganisasikan serta melakukan pengawasan dalam
menentukan pilihan dirinya dan bertanggung jawab terkait dirinya sebagai seorang
siswa yang harus mampu berperilaku secara aktif dan produktif sesuai dengan
sasaran dan tujuan yang telah dibuat.
2) Program peduli dan psikoedukasi pada remaja merokok (Rohmadani, 2016)
Psikoedukasi memberikan pengetahuan pada remaja tentang bahaya dan
dampak buruk rokok bagi kesehatan serta upaya yang dilakukan untuk menghindar i
rokok. Remaja disadarkan agar lebih mencintai dirinya sendiri dengan cara
berusaha menjaga kesehatan tubuhnya dengan menghindari rokok
3) Konseling kelompok pada remaja (Rosiana,2006)
Konseling kelompok memberikan materi diskusi tentang bahaya rokok bagi
remaja. Remaja diberi untuk saling bertukar pikiran dan mengemukakan pendapat
masing-masing tentang materi bahaya rokok dan perilaku merokok yang mereka
alami. melalui dinamika kelompok yang tercipta, remaja dapat memiliki pandangan
dari sudut pandang lain dalam menilai dirinya sendiri. Kekuatan dan masukan dari
hasil diskusi kelompok memberikan motivasi kepada remaja untuk berhenti
merokok.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat tiga upaya
dalam menurunkan perilaku merokok remaja diantaranya dengan pelatihan
manajemen diri melalui pendekatan choice theory (Mariyati, 2014), program peduli
diri dan psikoedukasi (Rohmadani, 2006), dan konseling kelompok remaja
(Rosiana, 2006). Dari ketiga upaya tersebut peneliti memilih pelatihan manajemen
diri sebagai upaya untuk menurunkan perilaku merokok remaja. Pelatihan akan
9
memberikan pengetahuan , kemampuan, dan keterampilan atau sikap yang relat if
baru bagi peserta pelatihan dan hasilnya dapat diaplikasikan dengan menerapkan
hasil pelatihan di kehidupan sehari-hari, sehingga individu mendapatkan
produktivitas kinerja yang maksimal dalam setiap tugas.
B. Pelatihan Manajemen Diri
1. Pengertian Pelatihan Manajemen Diri
Pelatihan adalah serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningka tkan
keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupu perubahan sikap individu.
Artinya pelatihan adalah proses sistematik dalam pembentukan sikap, kemampuan,
keahlian, pengetahuan, dan perilaku spesifik dalam rangka mengubah perilaku yang
sesuai dengan tujuan dan maksud dilakukannya kegiatan (Simamora, 2001).
Hardjana (2001) mengatakan pelatihan adalah kegiatan yang dirancang untuk
meningkatkan kinerja pekerja dalam pekerjaan yang diserahkan kepadanya.
Pelatihan tersebut dilakukan secara sistematis menurut prosedur serta metode yang
dirancang sesuai tujuan.
Wheelen (dalam Wulandari, 2005) menjelaskan bahwa pelatihan adalah salah
satu metode untuk mendidik seseorang sehingga menguasi kemampuan-
kemampuan yang diperlukan untuk lebih efektif dalam melakukan aktivitas.
Individu yang telah mengikuti pelatihan akan dituntut dapat berlatih mengena i
materi yang di sampaikan dalam pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu metode
yang cukup efektif untuk mengembangkan sumber daya manusia (Parcek dalam
Harjana, 2001). Menurut Thana (2001) menandaskan bahwa metode pelatihan saat
10
ini telah menjadi sarana pendidikan yang penting, karena pendidikan tidaklah cukup
dengan mengubah pengetahuan semata, melainkan juga harus merubah aspek lain
seperti keterampilan, keyakinan, orientasi serta pengalaman lapangan dengan
mengubah metode, suasana dan waktu.
Pelatihan mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap melaksanakan
suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu. Pelatihan merupakan
upaya sistematis untuk mengembangkan sumber daya manusia, baik individu
maupun kelompok. Pelatihan juga bermanfaat untuk menanggulangi permasalahan
yang muncul dalam kehidupan manusia. Pelatihan merupakan sekumpulan kegiatan
yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan dan skill individu, dengan
berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa diprakttekan dalam
kehidupan sehari-hari (Ridha dalam Huda ,2004)
Menurut Harjana (2001) bahwa pelatihan memiliki prinsip yang harus
diperhatikan antara lain :
1. Belajar dari pengalaman yaitu menggunakan pengetahuan, pengalaman yang
diperoleh dalam pelatihan untuk dikembangkan.
2. Melibatkan emosi dan budi yaitu peserta tidak hanya memberikan informas i
dan pengetahuan tetapi sedapat mungkin pelatihan dapat menyentuh hati,
perasaan dan emosi untuk mengelola perilakunya.
3. Kebersamaan dan kerja sama yaitu pelatihan agar sukses membutuhkan kerja
sama dan kebersamaan tim dan peserta.
11
4. Melihat dan menemukan sendiri relevansi pelatihan, yaitu dengan setiap sesi
akan terdapat proses belajar, pengetahuan, informasi, kecakapan dan
keterampilan sehingga peserta dpat mengerti relevansi pelatihan dengan
sendirinya.
Sebelum dilakukan pelatihan, diperlukan suatu metode atau cara agar tujuan
dari pelatihan dapat tercapat (Harjana, 2001). Metode atau cara pelatihan itu antara
lain:
1. Metode Awal
Meliputi metode perkenalan dan metode pemanasan. Tujuan dan metode ini
sebagai sarana membantu peserta agar mengenal satu sama lain termasuk dengan
fasilitator serta membangkitkan minat peserta terhadap pelatihan.
2. Metode Tengah
Meliputi pengelolaan pelatihan baik untuk menyampaikan keseluruhan materi
pelatihan maupun untuk setiap sesi pelatihan. Metode tengah ini dibagi menjadi
tiga, yaitu : sesi informatif (untuk menyampaikan informasi, pengetahuan, data,
fakta, dan pemikiran melalu pengajaran, bacaan dan diskusi). Sesi pertisipasi
eksperiensial (memberikan kemungkinan kepada peserta untuk ikut mengalami apa
saja yang dilakukan dalam pelatihan. Bentuknya dapat berupa pertemuan, latihan
simulasi maupun demonstrasi). Sesi eksperensial (memungkinkan peserta untuk
terlibat penuh berdarakan pengalaman yang telah dimilihi sebelumnya guna
mempelajari sesuatu. Bentuknya dapat berupa penugasan, dan latihan kepekaan).
12
3. Metode Akhir
Tujuannya untuk menyimpulkan pelatihan dan evaluasi. Penyimpulan
pelatihan merupakan uraian singkat seluruh kegiatan pelatihan, semua sesi dalam
pelatihan yang telah dikelola bersama, kemungkinan-kemungkinan tindak lanjut
dari peserta. Evaluasi merupakan cara untuk mengumpulkan bahan yang akan
dianalisis dan disimpulkan guna melihat segala sesuatu yang terjadi dalam pelatihan
dan pengaruh bagi pesertanya.
Sedangkan manajemen diri merupakan salah satu cara untuk mengatur perilaku
dalam sebuah organisasi melalui suatu mekanisme aplikasi kontrol luar untuk
mempengaruhi individu ke arah tujuan organisasi. Manajemen diri merupakan
usaha individu untuk menggunakan kontrol termasuk aspek pembuatan keputusan
dan perilaku (Frayne& Geringer, 2000).
Teori kognisi sosial mengungkapkan bahwa manusia mampu untuk
mengontrol perilakunya sendiri. Menurut Bandura (Hergenhahn&Olson, 2008),
perilaku manusia sebagian besar adalah perilaku yang diatur sendiri (self regulation
behavior). Orang memiliki kemampuan untuk meregulasi diri dengan memonitor
perilakunya dan mengevaluasinya dengan cara membandingkan dengan tujuan
pribadinya. Bandura (1994) mengemukakan bahwa prinsip regulasi diri
dikembangkan menjadi teknik manajemen diri.
Frayne dan Geringer (dalam Budiyani & Martaniah, 2011) megungkapkan
bahwa manajemen diri mendasarkan pada teori sosial kognitif sosial. Teori ini
menyatakan bahwa kognitif seseorang, perilaku dan lingkungan saling
mempengaruhi secara resiprokal. Sehingga, orang dapat merespon secara secara
13
proaktif maupun reaktif terhadap pengaruh eksternal dan pengaruh eksternal
terhadap dirinya dapat diubah sebagai hasil respon individual. Dengan demikian
manusia mampu untuk mengontrol perilakunya atau keputusannya. Selanjutnya
Frayne dan Gerenger (1992) mengatakan bahwa hal tersebut disebut kontrol diri
atau manajemen diri, sehingga manajemen diri diartikan sebagai usaha individu
untuk mengontrol perilakunya.
Kanfer (dalam Budiyani & Martaniah, 2011) mengemukakan bahwa untuk
memahami kerangka kerja manajemen diri perlu memperhatikan proses psikologis
yang terjadi dalam regulasi diri (self regulation). Proses regulasi diri bekerja
melalui tiga tahap yaitu (a) mengamati perilakunya sendiri, penyebab-penyebabnya
dan akibat-akibatnya (self observation), (b) menilai atau membandingkan
perilakunya dengan standar atau penilaian diri (self evaluation), (c) memberikan
reaksi terhadap dirinya sendiri (self reaction) atau disebut dengan penguatan diri
(self reinforcement). Berdasarkan tahap-tahap regulasi diri selanjutnya
dikembangkan teknik manajemen diri yang melibatkan asesmen diri (self
assesmen), penetapan tujuan (goal setting), pemantauan diri (self monitoring),
evaluasi diri (self evaluation), dan written contract (penandatangan kontrak).
Manajemen diri dapat dilihat sebagai sebuah perilaku dan strategi kognit if
yang membantu individu dalam menyusun lingkungannya, membangun motivas i
diri, dan memfasilitasi perilaku yang tepat untuk pencapaian suatu standar
performansi. (Manz, 1986 ; Frayne & Geringer, 2000). Individu yang memilik i
manajemen diri yang efektif akan dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai. Hal
tersebut dikarenakan individu yang memiliki manajemen diri yang efektif akan
14
mampu memaksimalkan potensi dalam dirinya baik itu dalam maupun dari luar
dirinya. Sebaliknya apabila individu tidak memiliki manajemen diri yang efektif
maka ia tidak mampu memaksimalkan potensi yang ada dalam diri maupun diluar
dirinya sehingga tujuan tidak tercapai. (Frayne & Geringer, 2000).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan manajemen diri
adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengontrol perilaku seseorang dengan
memberikan pengetahuan dan keterampilan berupa asesmen diri (self assesment),
penetapan tujuan (goal setting), pemantauan diri (self monitoring), evaluasi diri
(self evaluation), dan written contract (penandatangan kontrak).
Konsep pelatihan manajemen diri yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada aspek manajemen diri yang dikemukakan oleh Frayne & Geringer
(2000) meliputi asesmen diri (self assesment), penentuan tujuan (Goal Setting),
Monitoring diri, evaluasi diri, dan penulisan kontrak, yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
1) Asesmmen diri (Self Assesment)
Pada tahap ini lebih menekankan pada interpretasi individu dengan cara
pengumpulan data atau infromasi tentang bagaimana individu dapat melihat dirinya
sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Indikator yang diharapkan
muncul pada sesi ini adalah individu mampu mengamati dan mencatat perilaku
yang akan diubah sehingga mengetahui kapan, mengapa, dimana, dibawah kondisi
seperti apa perilaku tersebut terjadi. Hal ini akan membantu individu lebih
15
menyadari apa yang terjadi sehingga dapat memetakan dan menetapkan perilaku
mana yang akan diubah.
2) Penentuan tujuan (goal setting)
Sesi penentuan tujuan lebih menekankan pada pembentukan tujuan yang
sifatnya jangka pendek atau jangka panjang untuk mengubah perilaku. Tujuan dari
sesi ini peserta diharapkan mengetahui dan memahami karakteristik tujuan yang
efektif, memahami konsep SMART dalam goal setting, dan dapat membuat tujuan
sesuai dengan konsep goal setting. Indikator yang diharapkan muncul pada sesi ini
adalah peserta mengetahui dan memahami tentang tujuan yang efektif dalam
mengubah perilaku. Peserta memahami konsep SMART dalam goal setting dan
mampu merumuskan dan menyusun tujuan yang akan dicapai.
3) Monitoring diri (self monitoring)
Pada sesi ini peserta diajari untuk memantau atau memonitor perilakunya
dengan membuat jadwal perencanaan aktivitas-aktivitas harian dalam satu minggu,
membuat daftar-daftar yang harus dikerjakan berkaitan dengan aktivitas yang
dilakukan. Tujuan dari sesi ini agar peserta dapat merasakan pengalaman langsung
dari pelaksanaan manajemen diri serta memanfaatkan waktu dengan baik guna
mencapai tujuan.
4) Evaluasi diri (self evaluation)
Pada sesi ini peserta melanjutkan mengisi tabel penetapan tujuan jangka
panjang dengan mengisi kolom konsekuensi positif dan negatif. Tujuan dari sesi ini
adalah untuk mengarahkan perilaku untuk pencapaian tujuan dengan strategi
penguatan dan hukuman (Frayne & Geringer, 2000).
16
5) Kominten tujuan (penulisan kontrak)
Tujuan dari sesi ini adalah peserta diharapkan mampu memahami pentingnya
komitmen tujuan dalam proses pencapaian tujuan, menyadari bahwa rencana yang
telah dibuat tergantung pada kekuatan dan kejelasan komitmen sehingga dapat
merealisasikan tujuan yang dibuatnya. Indikator perilaku yang diharapkan muncul
pada sesi ini adalah peserta mengetahui dan memahami pentingnya komitmen
pencapaian tujuan dalam proses pencapaian tujuan, tidak mudah berubah dengan
pengaruh tantangan dan tantangan dari dalam maupun dari luar diri.
Individu dikatakan sudah dapat memanajemen diri apabila terjadi peningkatan
pada kelima aspek manajemen diri menurut Frayne & Geringer (2000) yaitu mampu
untuk melakukan asesmen diri, menentukan tujuan, memonitoring diri ,
mengevaluasi diri, dapat berkomitmen dengan tujuan diwujudkan dengan adanya
kontrak tertulis.
Pelatihan manajemen diri dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Pertemuan
pertama pada pelatihan ini diisi dengan pembukaan, ice breaking, sekaligus
perkenalan dan penyampaian materi manajemen diri (definisi, aspek-aspek, dasar
pikiran manajemen diri dan manfaat manajemen diri), pemberian kondisi untuk
berubah dengan tujuan untuk memotivasi subjek untuk berhenti merokok.
Kemudian dilanjutkan dengan pemberian materi dan latihan “Asesmen diri”,
“Penentuan tujuan (goal setting) dengan konsep SMART, “Monitoring diri (self
monitoring)”, “Evaluasi diri”, dan pengisian lembar “Komitmen tujuan (kontrak
tertulis)” dan penutup. Setelah itu, subjek melakukan kegiatan self monitoring di
luar kelas selama tiga hari.
17
Pertemuan kedua dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi diisi dengan
mendiskusikan kegiatan self monitoring yang subjek lakukan diluar kelas serta
memberikan feedback kepada subjek. Setelah itu subjek kembali melakukan
kegiatan self monitoring kedua di luar kelas selama tiga hari. Pertemuan ketiga
berisi kegiatan evaluasi lanjutan dengan mendiskusikan kegiatan self monitoring
kedua sekaligus penutupan pelatihan manajemen diri.
C. Pengaruh Pelatihan Manajemen Diri terhadap Perilaku Merokok
Teori kognisi sosial mengungkapkan bahwa manusia mampu untuk
mengontrol perilakunya sendiri. Menurut Bandura (Hergenhahn&Olson, 2008),
perilaku manusia sebagian besar adalah perilaku yang diatur sendiri (self regulation
behavior). Orang memiliki kemampuan untuk meregulasi diri dengan memonitor
perilakunya dan mengevaluasinya dengan cara membandingkan dengan tujuan
pribadinya. Bandura (1994) mengemukakan bahwa prinsip regulasi diri
dikembangkan menjadi teknik manajemen diri.
Frayne dan Geringer (dalam Budiyani & Martaniah, 2011) mengungkapkan
bahwa manajemen diri mendasarkan pada teori sosial kognitif sosial. Teori ini
menyatakan bahwa kognitif seseorang, perilaku dan lingkungan saling
mempengaruhi secara resiprokal. Sehingga, orang dapat merespon secara proaktif
maupun reaktif terhadap pengaruh eksternal dan pengaruh eksternal terhadap
dirinya dapat diubah sebagai hasil respon individual. Dengan demikian manusia
mampu untuk mengontrol perilakunya atau keputusannya. Selanjutnya Frayne dan
Gerenger (1992) mengatakan bahwa hal tersebut disebut kontrol diri atau
18
manajemen diri, sehingga manajemen diri diartikan sebagai usaha individu untuk
mengontrol perilakunya.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dijelaskan bahwa regulasi diri
merupakan teknik dari manajemen diri yang dimana dapat menjadi suatu langkah
untuk mengelola diri individu, mengatur kehidupan pribadi, sosial, emosional untuk
menampilkan performa diri yang optimal. Pelatihan manajemen diri mengajarkan
kepada individu untuk melakukan assesmen masalah-masalah yang dihadapinya,
menetapkan suatu tujuan khusus dalam penyelesaian masalah tersebut, memonitor
bagaimana keadaan lingkungannya dalam mendukung individu dalam menetapkan
dukungan bila tercapai dan hukuman atas tujuan yang tidak tercapai (Frayne &
Geringer, 2000).
Pelatihan manajemen diri memilki aspek-aspek yang dikemukakan oleh
Frayne & Geringer (2000), yaitu: asesmen diri (self assesment), penentuan tujuan
(goal setting), monitoring diri (self monitoring), evaluasi diri (self evaluation), dan
kontrak tertulis (written contract). Asesmen diri (self assesment) merupakan
pemahaman terhadap keadaan diri. Melalui self assement subjek diajarkan untuk
melakukan asesmen terhadap perilaku yang akan diubah. Subjek diminta untuk
mencatat kapan, mengapa, dimana, dan dalam kondisi mood seperti apa subjek
merokok. Hal ini akan membantu subjek mengetahui pola perilaku yang selama ini
terjadi sehingga dapat memetakan dan menetapkan perilaku mana yang akan
diubah.
Perubahan perilaku yang efektif menuntut pengarahan. Teknik yang
menyertainya disebut goal setting. Pada Penentuan tujuan (goal setting) subjek
19
diarahkan untuk menetapkan target secara spesifik (jelas bentuk perilaku dan
kondisi yang akan diubah), measurable (dapat terukur), attainable (mampu untuk
dicapai), realistic (realistis), dan timely (ditentukan waktunya). Target perilaku
merokok yang akan diubah nantinya akan dituangkan dalam kontrak/kesepakatan
perubahan perilaku. Adanya kesepakatan tersebut membuat subjek dapat
termotivasi dan lebih berkomitmen untuk mencapai tujuan.
Pencapaian tujuan dilanjutkan dengan membuat aktivitas yang spesifik
meliputi tujuan dari kebutuhan atau keinginan tersebut agar dapat dicapai dengan
baik dan dalam hal ini terkait dengan monitoring diri (self monitoring). Pada tahap
ini subjek diajarkan untuk memantau atau memonitor perilaku merokok
berdasarkan penetapan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Seseorang yang
memantau perilaku merokoknya akan menyadari apa yang terjadi dan mempunya i
data yang objektif tentang hal-hal yang dikonsumsi serta kondisi-kondisi yang
menyertainya sehingga akan selalu menyadari perilaku merokok.
Pada aspek evaluasi diri (self evaluation), peserta diajari/diajak untuk
mengevaluasi atas perilaku yang mendukung pada tujuan. Mendasarkan pada
pemantauan terhadap perilaku merokok maka akan dapat membandingkan perilaku
merokoknya dengan target yang telah ditetapkan untuk diubah. Apabila perilaku
tidak mengarah pada tujuan maka akan dicari penyelesaiannya. Selain itu pada
aspek ini peserta juga diajari untuk memberikan hadiah kepada dirinya sendiri
apabila mencapai target yang ditetapkan dan memberikan hukuman apabila tidak
berhasil atau gagal mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan adanya penguat
20
dan hukuman ini dalam proses pencapaian tujuan individu dapat melakukan kontrol
terhadap perilaku merokok yang ingin diubah.
Melalui pelatihan manajemen diri subjek mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan serta pengalaman untuk melakukan perubahan terhadap perilaku yang
akan diubah dalam hal ini adalah perilaku merokok. Menurut Bandura (dalam
Budiyani & Martaniah, 2011) bahwa pengalaman keberhasilan merupakan salah
satu hal yang dapat meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri yang meningkat
membuat seseorang meningkatkan target yang lebih besar dan juga berani atau
mampu untuk menghadapi hambatan dan rintangan. Subjek yang telah melakukan
manajemen diri akan mendapatkan pengalaman keberhasilan yang kemudian
membuat efikasi diri subjek meningkat sehingga dapat meningkatkan target
perubahan yaitu menurunkan perilaku merokok.
Berdasarkan hal di atas berarti pelatihan manajemen diri dapat menurunkan
perilaku merokok remaja. Hal ini didukung hasil-hasil penelitian sebelumnya,
antara lain penelitian yang dilakukan oleh Mariyati (2014) yang menunjukkan
bahwa pelatihan self management dengan pendekatan choice theory dapat
membantu remaja mengontrol perilakunya dalam merokok. Penelitian lain
dilakukan oleh Puspitasari (2017) menunjukkan bahwa pelatihan manajemen diri
dapat menurunkan jumlah konsumsi rokok remaja di SMKN 2 Jember dengan
penerapan manajemen diri berupa pemantauan diri, pemberian pujian, perjanjian
diri, dan penguasaan terhadap rangsangan.
Hal senada ditunjukkan juga dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mustika (2016) menunjukkan bahwa self management dapat menurunkan tingkat
21
kecanduan rokok di kelas VIII-5 SMP 1 Delitua Kabupaten Deli Serdang.
Penerapan Self management berupa perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan
refleksi. Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pelatihan manajemen
diri dapat menurunkan perilaku merokok remaja.
D. Hipotesis
Ada perbedaan perilaku merokok pada remaja sebelum diberikan perlakuan
berupa pelatihan manajemen diri dan setelah diberikan perlakuan berupa pelatihan
manajemen diri. Perilaku merokok pada remaja mengalami penurunan setelah
diberikan.perlakuan.berupa.pelatihan.manajemen.diri.