1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Landasan teori sangat mutlak diperlukan dalam sebuah penelitian
karena didalam kerangka teori penelitian akan mempunyai dasar yang jelas
untuk menganalisa dan menjelaskan kearah manakah permasalahan yang
sedang diteliti.
2.1.1. Filosofis Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
1. Pengertian Bank Syari'ah
Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan
usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal.
Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal
dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang
digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara
akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk
penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang
sama. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum
merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam
2
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syari'ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank
Syari’ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan
tatacara Islam mengacu kepada ketentuan Al-Quran dan Al-Hadis.
2. Tujuan Perbankan Syari'ah
Ada beberapa tujuan dari perbankan Islam. Diantara para
ilmuwan dan para professional Muslim berbeda pendapat mengenai
tujuan tersebut. Menurut Handbook of Islamic Banking, perbankan
Islam ialah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara
mengupayakan instrument-instrumen keuangan (Finansial Instrumen)
yang sesuai denga ketentuan dan norma syari'ah. Menurut Handbook
of Islamic Banking, bank Islam berbeda dengan bank konvensional
dilihat dari segi partisipasinya yang aktif dalam proses pengembangan
sosial ekonomi negara-negara Islam yang dikemukakan dalam buku
itu, perbankan Islam bukan ditujukan terutama untuk memaksimalkan
keuntungannya sebagaimana halnya sistem perbankan yang berdsarkan
bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi
orang-orang muslim. Dalam buku yang berjudul Toward a Just
Monetary System, Muhammad Umar Kapra mengemukakan bahwa
3
suatu dimensi kesejahteraan sosial dapat dikenal pada suatu
pembiayaan bank. Pembiayaan bank Islam harus disediakan untuk
meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Usaha yang sungguh-sungguh yang harus
dilakukan untuk memastikan bahwa pembiayaan yang dilakukan bank-
bank Islam tidak akan meningkatkan konsentrasi kekayaan atau
meningkatkan konsumsi meskipun sistem Islam telah memiliki
pencegahan untuk menangani masalah ini. Pembiayaan tersebut harus
dapat dinikmati oleh pengusaha sebanyak-banyaknya yang bergerak
dibidang industri pertanian dan perdagangan untuk menunjang
kesempatan kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-
barang dan jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun
ekspor.
Para banker Muslim beranggapan bahwa peranan bank Islam
semata-mata komersial berdasarkan pada instrumen-instrumen
keuangan yang bebas bunga dan ditunjukkan untuk menghasilkan
keuangan finansial. Dengan kata lain para banker muslim tidak
beranggapan bahwa suatu bank Islam adalah suatu lembaga sosial,
dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh Kazarian, Dr Abdul
Halim Ismail, manajer bank Islam Malaysia Berhaj, mengemukakan,
“sebagaimana bisnis muslim yang patuh, tujuan saya sebagai manajer
dari bank tersebut (Bank Malaysia Berhaj) adalah semata-mata
4
mengupayakan setinggi mungkin keuntungan tanpa menggunakan
instrumen-instrumen yang berdasarkan bunga”.
3. Ciri Bank Syari'ah
Bank Syari'ah mempunyai ciri yang berbeda dengan bank
konvensional. cirri-ciri ini bersifat Universal dan kualitatif, artinya
Bank Syari'ah beroperasi dimana harus memenuhi ciri-ciri tersebut.
a. Beban biaya yang telah disepakati pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya tidak
kaku dan dapat ditawar dalam batas yang wajar.
b. Penggunaan prosentasi dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindarkan. Karena prosentase bersifat melekat
pada sisa hutang meskipun hutang beda batas waktu perjanjian
telah berakhir.
c. Didalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan
perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (Fiset Return)
yang ditetapkan dimuka. Bank Syari'ah menerapkan system
berdasarkan atas modal untuk jenis kontarak al mudharabah dan al
musyarakah dengan system bagi hasil (Profit and losery) yang
tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penetapan
keuntungan dimuka ditetapkan pada kontrak jual beli melalui
pembiayaan pemilikan barang (al murabahah dan al bai’u
5
bithaman ajil, sewa guna usaha (al ijarah), serta kemungkinan rugi
dari kontrak tersebut amat sedikit.
d. Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan
oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan
bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai
pernyataan dana pada proyek yang dibiayai oleh bank sesuai
dengan prinsip-prinsip syari'ah hingga kepada penyimpan tidak
dijanjikan imbalan yang pasti (fixed return). Bentuk yang lain yaitu
giro dianggap sebagai titipan murni (al-wadiah) karena sewaktu-
waktu dapat ditarik kembali dan dapat dikenai biaya penitipan.
e. Bank Syari'ah tidak menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang
dari mata uang yang sama dan transaksinya itu dapat menghasilkan
keuntungan. Jadi mata uang itu dalam memberikan pinjaman pada
umumnya tidak dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk
pembiayaan pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut
milik bank.
f. Adanya dewan syari'ah yang bertugas mengawasi bank dari sudut
syari'ah.
g. Bank Syari'ah selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa arab
dimana istilah tersebut tercantum dalam fiqih Islam
h. Adanya produk khusus yaitu pembiayaan tanpa beban murni yang
bersifat social, dimana nasabah tidak berkewajiban untuk
mengembalikan pembiayaan (al-qordul hasal).
6
i. Fungsi lembaga bank juga mempunyai fungsi amanah yang artinya
berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana
yang telah dititipkan dan siap sewaktu-waktu apabila dana ditarik
kembali sesuai dengan perjanjian.
Selain karakteristik diatas, Bank Syari'ah mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Dalam Bank Syari'ah hubungan bank dengan nasabah adalah
hubungan kontrak (akad) antara investor pemilik dana
(shohibul maal) dengan investor pengelola dana (mudharib)
bekerja sama untuk melakukan kerjasama untuk yang produktif
dan sebagai keuntungan dibagi secara adil (mutual invesment
relationship). Dengan demikian dapat terhindar dari hubungan
eskploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara
nasabah dengan bank.
2) Adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh Bank
Syari'ah yang bertujuan untuk menciptakan kegiatan
perekonomian yang produktif (larangan menumpuk harta benda
(sumber daya alam) yang dikuasai sebagian kecil masyarakat
dan tidak produktif, menciptakan perekonomian yang adil
(konsep usaha bagi hasil dan bagi resiko) serta menjaga
lingkungan dan menjunjung tinggi moral (larangan untuk
7
proyek yang merusak lingkungan dan tidak sesuai dengan nilai
moral seperti minuman keras, sarana judi dan lain-lain.
3) Kegiatan uasaha Bank Syari'ah lebih variatif dibanding bank
konvensional, yaitu bagi hasil sistem jual beli, sistem sewa beli
serta menyediakan jasa lain sepanjang tidak bertentangan
dengan nilai dan prinsip-prinsip syari’ah.
4. Landasan PT. BPRS
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) berlandaskan prinsip
syariah Islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan atau koperasi,
kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme. Dengan demikian,
keberadaan BPRS menjadi organisasi yang sah dan legal, sebagai
lembaga keuangan syariah, BPRS harus berpegang teguh pada prinsip-
prinsip syariah.
Keimanan menjadi landasan atas keyakinan untuk mau tumbuh
dan berkembang. Keterpaduan mengisyaratkan adanya harapan untuk
mencapai sukses di dunia dan akhirat juga keterpaduan antara sisi maal
dan tamwil (sosial dan bisnis). Kekeluargaan dan kebersamaan berarti
upaya untuk mencapai kesuksesan tersebut diraih secara bersama.
Kemandirian berarti BPRS tidak dapat hidup hanya bergantung pada
uluran tangan pemerintah, tetapi harus berkembang dari meningkatnya
8
partisipasi anggota dan masyarakat, untuk itulah pola pengelolaannya
harus profesional.
Landasan Syariah BPRS adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur'an
Al-Baqoroh: 282
" Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya."
b. Al-Hadist
Salah satu hadist Rasulullah saw, menegaskan bahwa:
" Kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan
kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram."(at-Tirmidzi)
Islam mendorong penganutnya berjuang untuk
mendapatkan harta dengan berbagai cara, asalkan sesuai dengan
syariat Islam yaitu harta yang halal lagi baik, tidak menggunakan
cara batil, tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas, tidak
menzalimi maupun dizalimi, menjauhkan diri dari riba, maisir
(perjudian), gharar (ketidakjelasan) serta tidak melupakan
tanggung jawab sosial berupa zakat, infak, shadaqah.
9
5. Ciri-Ciri Utama PT. BPRS
Ciri-ciri utama BPRS adalah sebagai berikut:
a. Beroperasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan
pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan
masyarakat;
b. Bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan
pengumpulan dan penyaluran dana zakat, infaq dan sedekah bagi
kesejahteraan orang banyak;
c. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat di
sekitarnya;
d. Milik bersama masyarakat bahwa bersama dengan orang kaya
disekitar PT. BPRS, bukan milik perseorangan atau orang dari luar
masyarakat. Atas dasarnya ini PT.BPRS tidak dapat berbadan
hukum perseroan.
6. Ciri-Ciri Khusus PT. BPRS
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan lembaga
milik masyarakat, sehingga keberadaannya akan selalu dikontrol dan
diawasi oleh masyarakat. Laba atau keuntungan yang diperoleh BPRS
juga akan didistribusikan kepada masyarakat, sehingga maju
mundurnya BPRS sangat dipengaruhi oleh masyarakat di sekitar BPRS
berada. Selanjutnya BPRS memiliki ciri khusus sebagai berikut:
10
a. Staf dan karyawan BPRS bertindak proaktif, tidak menunggu tetapi
merebut bola, baik untuk menghimpun dana anggota maupun
untuk pembiayaan;
b. Kantor dibuka dalam waktu tertentu yang ditetapkan sesuai
kebutuhan pasar;
c. BPRS mengadakan pendampingan usaha anggota;
d. Manajemen BPRS adalah profesional Islami;
1) Administrasi keuangan berdasarkan standar akuntansi
keuangan Indonesia yang disesuaikan dengan prinsip akuntansi
syariat;
2) Setiap bulan BPRS akan menerbitkan laporan keuangan dan
penjelasan dari sisi laporan tersebut;
3) Setiap bulan buku yang ditetapkan, maksimal sampai bulan
Maret tahun berikutnya, BPRS akan menyelenggarakan
Musyawarah Anggota Tahunan. Forum ini merupakan forum
permusyawaratan tertinggi;
4) Aktif menjemput bola, berprakarsa, kreatif-inovatif,
menemukan masalah dan memecahkannya secara bijak dan
memberikan kemenangan kepada semua pihak (win-win
solution);
5) Berfikir, bersikap dan bertindak "Ahsanu 'Amala" atau service
excellence;
6) Berorientasi kepada pasar bukan pada produk.
11
2.1.2. Pengertian Bagi Hasil
Sistem perekonomian Islam merupakan masalah yang berkaitan
dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan pada awal terjadinya
kontrak kerja sama (akad), yang ditentukan adalah porsi masing-masing
pihak, misalkan 35:65 yang berarti bahwa atas hasil usaha yang diperoleh
akan didistribusikan sebesar 35% bagi pemilik dana (shahibul maal) dan
65% bagi pengelola dana (mudharib).
Bagi Hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari
kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-
kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-
benar terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil
merupakan salah satu praktik perbankan syariah.
Metode bagi hasil terdiri dari dua sistem:
a. Bagi untung (Profit Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari
pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Dalam sistem
syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha
lembaga keuangan syariah;
b. Bagi hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari total
pendapatan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat
digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan
syariah.
Aplikasi perbankan syariah pada umumnya, bank dapat
menggunakan sistem profit sharing maupun revenue sharing tergantung
12
kepada kebijakan masing-masing bank untuk memilih salah satu dari
sistem yang ada. Bank bank syariah yang ada di Indonesia saat ini
semuanya menggunakan perhitungan bagi hasil atas dasar revenue sharing
untuk mendistribusikan bagi hasil kepada para pemilik dana (deposan).
Suatu bank menggunakan sistem profit sharing di mana bagi hasil
dihitung dari pendapatan netto setelah dikurangi biaya bank, maka
kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil yang akan diterima oleh
para shahibul maal (pemilik dana) akan semakin kecil, tentunya akan
mempunyai dampak yang cukup signifikan apabila ternyata secara umum
tingkat suku bunga pasar lebih tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi
keinginan masyarakat untuk menginvestasikan dananya pada bank syariah
yang berdampak menurunnya jumlah dana pihak ketiga secara
keseluruhan, tetapi apabila bank tetap ingin mempertahankan sistem profit
sharing tersebut dalam perhitungan bagi hasil mereka, maka jalan
satusatunya untuk menghindari resiko-resiko tersebut di atas, dengan cara
bank harus mengalokasikan sebagian dari porsi bagi hasil yang mereka
terima untuk subsidi terhadap bagi hasil yang akan dibagikan kepada
nasabah pemilik dana.
Suatu bank yang menggunakan sistem bagi hasil berdasarkan
revenue sharing yaitu bagi hasil yang akan didistribusikan dihitung dari
total pendapatan bank sebelum dikurangi dengan biaya bank, maka
kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang diterima
oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku
13
bunga pasar yang berlaku. Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik
dana untuk mengarahkan investasinya kepada bank syariah yang nyatanya
justru mampu memberikan hasil yang optimal, sehingga akan berdampak
kepada peningkatan total dana pihak ketiga pada bank syariah.
Pertumbuhan dana pihak ketiga dengan cepat harus mampu diimbangi
dengan penyalurannya dalam berbagai bentuk produk aset yang menarik,
layak dan mampu memberikan tingkat profitabilitas yang maksimal bagi
pemilik dana.
Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari
Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta
mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun
bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian
keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta
itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian
shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan berdasarkan
pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan bahwa
mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila
perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum,
pakaian dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh
menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan
menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah
yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut
kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.(wiroso. 2005:118)
14
Prinsip pembagian hasil usaha ada 2 yaitu:
a. Distribusi Hasil Usaha Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Revenue
Sharing)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam distribusi hasil
usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing) adalah sebagai
berikut:
1) Pendapatan Operasi Utama (angka 1)
Pendapatan operasi utama bank syariah adalah pendapatan dari
penyaluran dana pada investasi yanng dibenarkan syariah yaitu
pendapatan penyaluran dana prinsip jual beli, bagi hasil dan prinsip
ijaroh. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam perhitungan
distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing)
ini adalah pendapatan (revenue) dari pengelolaan dana
(penyaluran) sebesar porsi dana mudharabah (investasi tidak
terikat) yang dihimpun tanpa adanya pengurangan beban-beban
yang dikeluarkan oleh bank syariah.
2) Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat (angka 2)
Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat merupakan
porsi bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang diserahkan oleh
bank syariah kepada pemilik dana mudharabah mutlaqah
(investasi tidak terikat). Penentuannya dilakukan dalam
perhitungan distribusi hasil usaha yang sering disebut dengan profit
distribution.
15
3) Pendapatan operasi lainnya (angka 3)
Praktik dalam penyaluran dana bank syariah mengenakan fee
administrasi atas penyaluran tersebut yang besarnya disepakati
antara bank sebagai pemilik dana dan debitur sebagai pengelola
dana (mudharib). Pendapatan operasi lain yang diperoleh bank
syariah adalah pendapatan atas kegiatan usaha bank syariah dalam
memberikan layanan jasa keuangan dan kegiatan lain yang berbasis
imbalan seperti pendapatan fee inkaso, fee transfer, dan fee
kegiatan yang berbasis imbalan lainnya.
4) Beban Operasi (angka 4)
Pembagian hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing)
semua beban yang dikeluarkan oleh bank syariah sebagai
mudharib, baik beban untuk kepentingan bank syariah sendiri
maupun untuk kepentingan pengelolaan dana mudharabah, seperti
beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi, beban operasi
lainnya ditanggung oleh bank syariah sebagai mudharib.
b. Distribusi Hasil Usaha Berdasarkan Prinsip Bagi Untung (Profit
Sharing)
Penerapan distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi untung
(profit sharing) bukanlah hal yang mudah, karena pihak deposan harus
siap menerima bagian kerugian apabila dalam pengelolaan dana
mudharabah mengalami kerugian yang bukan akibat dari kelalaian
16
mudharib sehingga uang yang diinvestasikan pada bank syariah
menjadi berkurang. Di lain pihak, bank syariah sendiri harus secara
jujur dan transparan menyampaikan beban-beban yang akan
ditanggung dalam pengelolaan dana mudharabah, seperti membuat
dan menentukan dengan tegas dan jelas beban yang akan dibebankan
dalam pengelolaan dana mudharabah baik beban langsung maupun
beban tidak langsung. Apabila bank syariah menerapkan pembagian
hasil usaha berdasarkan prinsip bagi untung (profit sharing), bank
syariah harus membuat dua laporan laba rugi yang terpisah, yaitu
laporan laba rugi bank sebagai institusi keuangan syariah dan laporan
pengelolaan dana mudharabah dimana bank sebagai mudharib.
1) Laporan hasil usaha mudharabah (bank sebagai mudharib)
Laporan hasil usaha mudharabah ini dibuat sebagai
pertanggungjawaban bank syariah dalam mengelola dana
mudharabah mutlaqah yang telah dipercayakan shahibul maal
(deposan) kepada bank syariah sebagai mudharib. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam laporan ini yaitu:
a. Pendapatan operasi utama (angka1)
Pendapatan operasi utama perhitungannya sama dengan
perhitungan distribusi hasil usaha yang mempergunakan prinsip
revenue sharing. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam
pembagian hasil usaha pada prinsip bagi untung (profit
sharing) ini adalah pendapatan dari pengelolaan dana
17
(penyaluran) sebesar porsi dari dana mudharabah (investasi
tidak terikat) yang dihimpun.
b. Beban mudharabah (angka 2)
Bank syariah harus dapat memisahkan beban yang menjadi
tanggungan bank syariah sendiri dan beban yang dibebankan
pada pengelolaan dana mudharabah. Bank syariah harus
menetapkan dengan tegas dan jelas beban-beban yang akan
dipergunakan sebagai pengurang pendapatan pengelolaan dana
mudharabah, baik beban tenaga kerja, beban umum dan
administrasi, maupun beban-beban lainnya untuk disampaikan
kepada shahibul maal sehingga mengetahuinya. Apabila bank
syariah telah mengakui beban-beban sebagai pengurang
pengelola dana mudharabah tidak diperkenankan diakui
sebagai beban bank syariah sebagai pengelola institusi
keuangan syariah sehingga jika terjadi pengembalian beban
harus diakui sebagai pendapatan pengelolaan dana
mudharabah, bukan sebagai pendapatan bank syariah selaku
institusi keuangan syariah.
c. Laba atau rugi mudharabah (angka 3)
Pendapatan operasi utama dikurangi dengan beban
mudharabah inilah yang akan menghasilkan laba atau rugi.
18
2) Laporan laba rugi bank syariah (bank sebagai institusi keuangan
syariah)
Data-data yang ada pada laporan ini adalah data-data untuk
kepentingan bank syariah sendiri dalam mengelola institusi
keuangan syariah, khususnya beban-beban yang dikeluarkan oleh
bank syariah dan data-data yang telah diperhitungkan dalam
pembuatan laporan pengelolaan dana mudharabah. Dalam laporan
laba rugi ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a) Pendapatan bank sebagai mudharib
Pendapatan yang ada dalam laporan ini adalah bagian
pendapatan atas pengelolaan dana mudharabah yang diperoleh
bank syariah dan pendapatan penyaluran yang menjadi milik
bank syariah sendiri.
b) Pendapatan operasi lainnya (angka 3)
Pendapatan operasi ini adalah pendapatan yang sama dengan
pendapatan operasi lainnya dalam prinsip bagi hasil.
c) Beban operasi
Beban-beban dalam laporan ini adalah beban-beban yang
dikeluarkan oleh bank syariah sebagai institusi keuangan
syariah sendiri tidak ada kaitannya dengan pengelolaan dana
mudharabah, baik beban tenaga kerja, beban umum dan
administrasi serta beban-beban lainnya.
19
Penentuan beban-beban ini merupakan unsur distribusi
hasil usaha apabila bank syariah mempergunakan prinsip
distribusi hasil usaha adalah pembagian laba (profit sharing),
karena dalam prinsip ini hasil usaha yang akan dibagikan antara
mudharib dan shahibul maal merupakan keuntungan yang
diperoleh yaitu pendapatan pengelolaan dana mudharabah
dikurangi dengan beban-beban yang dikeluarkan sehubungan
dengan pengelolaan dana mudharabah.
Apabila bank syariah mempergunakan prinsip profit
sharing maka bank syariah harus dapat membedakan dengan
jelas, transparan dan adil terhadap beban-beban yang
merupakan pengurang dari pendapatan pengelolaan dana
mudharabah (yang disebut dengan dana mudharabah) dan
beban-beban yang merupakan pengeluaran bank syariah
sebagai institusi keuangan (yang disebut dengan beban
lembaga keuangan syariah). Semua beban dana mudharabah
yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan dana
mudharabah tersebut termasuk beban tenaga kerja, beban
umum dan administrasi serta beban-beban lainnya. Sedangkan
apabila bank syariah mempergunakan prinsip distribusi hasil
usaha dengan pembagian hasil (revenue sharing) maka semua
beban yang dikeluarkan oleh bank syariah menjadi tanggungan
20
Prinsip revenue sharingLaporan laba rugi(Bank sbg LKS)
(1) Pendapatanoperasi Utama
(2) Hak Pihak ke 3atas bagi hasil ITT
(3) PendapatanOperasi Lainnya
(5) Laba / Rugi
(4) Beban Operasi(Tenaga kerja,Adm, Opr Lainnya)
(3) Laba / RugiMudharabah
(2) Beban MudharabahBeban Tenaga KerjaBeban AdministrasiBeban PenyusutanBeban Oprasional Lainnya
(1) Pendapatan Operasi UtamaBagi Hasil (Prinsip Bagi
Hasil)Margin (prinsip jual beli)Pendapatan neto sewaLainnya (SWBI, IMA dsb)
Prinsip Profit SharingLaporan Hasil UsahaMudharabah(Bank sbg Mudharib)
=
Perhitungan
Pembagian hasilusaha
Shahibulmaal
bank syariah sendiri sehingga tidak diperhitungkan dalam
unsur distribusi hasil usaha.
Gambar 1
Prinsip Pembagian Hasil Usaha
Revenue Sharing
(-/-)
(+/+) (-/-)
(-/-)
=
=
Sumber : Wiroso, 2005, hal. 119
21
1. Landasan Syariah
a. Al-Qur'an
QS al-Baqarah: 282
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya…”
QS. Al-Maidah: 1
“Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”
b. Al-Hadist
Hadist riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syaratmereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.”
Hadits nabi riwayat Ibnu Majah dari ’Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain.”
c. Kaidah Fiqih:
1“Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
2“Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah.”
22
2. Teori Bagi Hasil
Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan
profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan dengan
pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan: ”distribusi
beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”
(Muhammad. 2004:18). Hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai
tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun
sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.
Mekanisme lembaga keuangan syariah pada pendapatan bagi hasil
ini berlaku untuk produk penyertaan atau bentuk bisnis korporasi
(kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis yang
disebutkan tadi harus melakukan transparasi dan kemitraan secara baik dan
ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan
dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang
menjalankan proyek.
Keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proporsional
antara shahibul maal dengan mudharib. Dengan demikian, semua
pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, dapat
dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi
antara shahibul maal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang
disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian
awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan
ekuiti shahibul maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian
23
keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai
pembagian keuntungan dimuka.
Kerja sama para pihak dengan sistem bagi hasil harus dilaksanakan
dengan transparan dan adil. Hal ini disebabkan untuk mengetahui tingkat
bagi hasil pada periode tertentu itu tidak dapat dijalankan kecuali harus
ada laporan keuangan atau pengakuan yang terpercaya. Pada tahap
perjanjian kerja sama ini disetujui oleh para pihak, maka semua aspek
yang berkaitan dengan usaha harus disepakati dalam kontrak, agar antar
pihak dapat saling mengingatkan. (Muhammad Ridwan, Manajemen
BMT. 2004:120)
3. Konsep Bagi Hasil
Konsep bagi hasil adalah sebagai berikut:
a. Pemilik dana akan menginvestasikan dananya melalui lembaga
keuangan syariah yang bertindak sebagai pengelola;
b. Pengelola atau lembaga keuangan syariah akan mengelola dana
tersebut dalam sistem pool of fund selanjutnya akan menginvestasikan
dana tersebut ke dalam proyek atau usaha yang layak dan
menguntungkan serta memenuhi aspek syariah;
c. Kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup
kerja sama, nominal, nisbah dan jangka waktu berlakunya kesepakatan
tersebut.
24
4. Nisbah Keuntungan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
Hal-hal yang berkaitan dengan nisbah bagi hasil yaitu:
a. Prosentase
Nisbah keuntungan harus didasarkan dalam bentuk prosentase
antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal
rupiah tertentu. Nisbah keuntungan itu misalnya 50:50, 70:30, 60:40,
atau 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan,
bukan berdasarkan porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak
boleh dinyatakan dalam bentuk nominal rupiah tertentu, misalnya
shahib almaal mendapat Rp 50.000,00 dan mudharib mendapat Rp
50.000,00.(Karim.:189)
b. Bagi Untung dan Bagi Rugi
Ketentuan diatas itu merupakan konsekuensi logis dari
karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam
kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini,
return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor
riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian
yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian
yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba
ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal
rupiah tertentu.
25
Bila dalam akad mudharabah ini mendapatkan kerugian,
pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi
berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan mengapa
nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja,
karena nisbah 50:50, atau 99:1 itu hanya diterapkan bila bisnisnya
untung. Bila bisnisnya rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan
porsi masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. Hal ini karena
ada perbedaan kemampuan untuk mengabsorpsi atau menanggung
kerugian di antara kedua belah pihak. Bila untung, tidak ada masalah
untuk menikmati untung. Karena sebesar apa pun keuntungan yang
terjadi, kedua belah pihak akan selalu dapat menikmati keuntungan itu.
Lain halnya kalau bisnisnya merugi. Kemampuan shahib al-maal
untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan
mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan
proporsi modal (finansial) shahib al-maal dalam kontrak ini adalah
100%, maka kerugian (finansial) ditanggung 100% pula oleh shahib
al-maal. Di lain pihak, karena proporsi modal (finansial) mudharib
dalam kontrak ini adalah 0%, andaikata terjadi kerugian, mudharib
akan menanggung kerugian (finansial) sebesar 0% pula.
Apabila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung
kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan
untuk menjalankan bisnis itu. Kedua belah pihak sama-sama
menanggung kerugian, tetapi bentuk kerugian yang ditanggung oleh
26
keduanya berbeda, sesuai dengan objek mudharabah yang
dikonstribusikannya. Bila yang dikontribusikan adalah uang, risikonya
adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan yang dikontribusikan
adalah kerja, risikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya,
sehingga tidak mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya selama
berbisnis.
c. Jaminan
Ketentuan pembagian kerugian bila kerugian yang terjadi
hanya murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan
karena risiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian
terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau
melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka shahib
al-maal tidak perlu menanggung kerugian seperti ini.
"Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu
dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana
dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business
risk."
Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya
menjadi wakil dari shahibul maal dalam mengelola dana dengan seizin
shahibul maal, sehingga wajib baginya berlaku amanah. Jika mudharib
melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan
menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan
27
dalam perilakunya yang tidak termasuk dalam bisnis mudharabah
yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati,
mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar
bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggungjawabnya. Ia telah
menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim karena ia
telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di
luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk
menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa
kehadiran atau sepengetahuan shahibul maal sehingga shahibul maal
dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalah character risk.
Pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka
shahib al-maal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada
mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-maal jika ternyata
timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai
dan ingkar janji. Kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko
bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-maal. Cara
penyelesaiannya adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
28
d. Menentukan Besarnya Nisbah
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-
masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul
sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-maal dengan mudharib.
Dengan demikian, angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50, 60:40,
70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa
nisbah 100:0 tidak diperbolehkan.
e. Cara Menyelesaikan Kerugian
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah diambil
terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan
pelindung modal. Kemudian bila kerugian melebihi keuntungan, baru
diambil dari pokok modal.
5. Investasi Berdasarkan Bagi Hasil
Inti mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya adalah
terletak pada kerjasama yang baik antara shahibul maal dengan
mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam
masyarakat ekonomi Islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan
dalam semua bentuk kegiatan ekonomi, yaitu: produksi, distribusi
barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau
ekonomi Islam adalah qirad atau mudharabah. Qirad atau
mudharabah adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan
29
pengusaha pemilik keahlian atau ketrampilan atau tenaga dalam
pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui
mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan
mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss
sharing dari proyek ekonomi yang disepakati bersama.
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil
Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil ada 2 yaitu:
a. Faktor Langsung
Faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil
adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia dan nisbah bagi
hasil (profit sharing ratio), penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Investment rate merupakan prosentase aktual dana yang
diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment
rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan
untuk memenuhi likuiditas;
2) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah
dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan.
Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu
metode yaitu rata-rata saldo minimum bulanan dan ratarata total
saldo harian. Invesment rate dikalikan dengan jumlah dana yang
tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan jumlah dana
aktual yang digunakan;
30
3) Nisbah (profit sharing ratio)
Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan
dan disetujui pada awal perjanjian. Nisbah antara satu BPRS dan
BPRS lainnya dapat berbeda. Nisbah juga dapat berbeda dari
waktu ke waktu dalam satu BPRS, misalnya pembiayaan
mudharabah 5 bulan, 6 bulan, 10 bulan 12 bulan hingga sampai 48
bulan. Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dan account
lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.
b. Faktor Tidak Langsung
Faktor-faktor tidak langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi
hasil:
1) Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah
a. Shahibul Maal dan Mudharib akan melakukan share baik
dalam pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang
dibagihasilkan merupakan pendapatan yang diterima setelah
dikurangi biaya-biaya;
b. Jika semua biaya ditanggung bank, hal ini disebut revenue
sharing.
2) Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting)
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya
aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan
pendapatan dan biaya.
31
7. Komponen Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah
Beberapa hal yang terkait dengan perhitungan bagi hasil
pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
a. Saldo pembiayaan;
b. Jangka waktu pengembalian;
c. Sistem pengembalian, apakah mengangsur atau ditangguhkan;
d. Hasil yang diharapkan oleh PT. BPRS;
e. Nisbah bagi hasil;
f. Proyeksi pendapatan dari calon peminjam. Berdasarkan pengalaman
usaha sebelumnya, proyeksi ini lebih mudah diketahui;
g. Realisasi pendapatan yang sesungguhnya. Berdasarkan laporan
keuangan peminjam, besar kecilnya laba aktual menjadi dasar dalam
pengambilan tingkat bagi hasil;
h. Tingkat persaingan harga, baik dengan lembaga keuangan sejenis
maupun dengan lembaga konvensional.
2.1.3. Konsep Pendapatan dan Biaya dalam Bagi Hasil
1. Pengertian Pendapatan dan Biaya
a. Pendapatan
Pendapatan adalah kenaikan kotor dalam aset atau penurunan dalam
liabilitas atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh
pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal,
32
perdagangan, memberikan jasa, atau aktivitas lain yang bertujuan
meraih keuntungan, seperti manajemen rekening investasi terbatas;
b. Biaya
Biaya adalah penurunan kotor dalam aset atau kenaikan dalam liabilitas
atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh
pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal,
perdagangan, atau aktivitas; termasuk pemberian jasa.
2. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil
Pendapatan bagi hasil adalah pendapatan yang diperoleh oleh bank
bagi hasil yang berasal dari mudharabah dan musyarakah. Ditinjau dari
cara menentukan jumlah rupiah pembayaran angsuran dan pokok
pembiayaan terdapat dua metode yaitu:
a. Bagi hasil netto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan
dari usaha atau proyek yang dikurangi dengan biaya-biaya yang
timbul. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagihasilkan
adalah laba dari sebuah usaha atau proyek. Contoh: bila dari sebuah
proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp 2.000.000,00 dan
biaya-biaya usaha Rp 500.000,00, maka yang dibagihasilkan sebesar
Rp 1.500.000,00. Ini disebut metode profit sharing;
b. Bagi hasil brutto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan
usaha atau proyek yang tidak dikurangi dengan biaya-biaya yang
timbul. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagihasilkan
33
adalah pendapatan dari sebuah usaha atau proyek. Contoh: bila dari
sebuah proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp
2.000.000,00 dan biaya-biaya usaha sebesar Rp 500.000,00, maka
yang dibagihasilkan adalah sebesar penjualan yaitu Rp 2.000.000,00.
Ini disebut metode revenue sharing.
Ditinjau dari cara pembayaran nasabah kepada bank maka
terdapat dua metode penerimaan pendapatan bagi hasil pada
pembiayaan mudharabah yaitu:
a. Bagi hasil dibayarkan terpisah dengan angsuran pokok pinjaman,
pada cara ini maka pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank
bagi hasil merupakan pembayaran terpisah dari pembayaran
angsuran pokok pembiayaan;
b. Bagi hasil dibayarkan tidak terpisah dengan angsuran pokok
pinjaman, pada cara ini maka pendapatan bagi hasil yang diterima
merupakan pembayaran bersamaan dengan pembayaran angsuran
pokok pembiayaan. Sebelum menyetujui sebuah usulan
pembiayaan yang diajukan oleh nasabah maka bank bagi hasil akan
membuat proyeksi pembayaran terlebih dahulu.
3. Sistem Pencatatan dan Pelaporan (Akuntansi) Keuangan
Sistem pencatatan dan pelaporan (akuntansi) keuangan, ada dua sistem
yaitu:
34
a. Accrual basis adalah sistem penentuan biaya dan pendapatan yang
mengakui seluruh pendapatan dan biaya pada tahun buku tertentu
meskipun realisasinya baru terjadi dalam buku selanjutnya.
b. Cash basis adalah pencatatan pendapatan dan pengeluaran yang
dilakukan saat penerimaan atau pengeluaran tunai tanpa
memperhatikan tanggal transaksinya.
2.1.4. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah)
1. Pengertian Pembiayaan
Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan Bab I pasal
I No.12, yang dimaksud pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil.
Kata mewajibkan pada Undang-Undang di atas maksudnya adalah
pihak yang dibiayai mewajibkan untuk mengembalikan uang pinjamannya,
kecuali apabila terjadi resiko bisnis dalam mudharabah, maka tidak
mewajibkan untuk mengembalikan uang pinjamannya.
35
2. Pengertian Akad Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau
berjalan. Maksud dari kata memukul atau berjalan dalam hal ini adalah
proses seseorang memukulkan kakinya dalam melaksanakan usaha.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara
dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
(100%) modalnya sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Sedangkan menurut para ulama, istilah syarikah mudharabah
memiliki pengertian yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan
sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Pemodal
berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim
sejak zaman nabi, bahwa telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum
turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW. berprofesi sebagai
pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan
demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini
dibolehkan, baik menurut Al-Qur'an, Sunnah, maupun Ijma'.
36
Praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu
Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi
Muhammad Saw. keluar negeri. Dalam kasus ini, Khadijah berperan
sebagai pemilik modal (shahib al-maal) sedangkan Nabi Muhammad
SAW. berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). Bentuk kontrak
antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan
mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua,
yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung
disebut akad mudharabah. Jadi akad mudharabah adalah persetujuan
kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain.
3. Landasan Syariah
Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam
ayatayat dan hadits berikut ini:
a) Al-Qur'an
Al-Muzzammil: 20
"….dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah …."
Makna dari surat al-Muzzammil : 20 adalah adanya kata yadhribun
yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan
suatu perjalanan usaha.
37
Al-Jumu’ah: 10
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka
bumi dan carilah karunia Allah …." (QS. Al-Jumu’ah:10)
Al-Baqoroh: 198
"Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari Karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhan-mu…."(QS. Al-Baqoroh:198)
Surat al-Jumu'ah:10 dan al-Baqarah: 198 sama-sama mendorong kaum
muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.
b) Al-Hadits
"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul
Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara
mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggungjawab
atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut pada
Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya." (HR.
Thabrani)
c) Ijma'
Imam Zailai dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah (4/13) telah menyatakan
bahwa para sahabat telah berkonsensus akan legitimasi pengolahan
38
harta anak yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini
sejalan dengan spirit hadis yang dikutip oleh Abu Ubaid dalam
kitabnya al-Amwal (454)
“Rasulullah saw. telah berkhotbah di depan kaumnya seraya berkata
wahai para wali yatim, bergegaslah untuk menginvestasikan harta
amanah yang ada di tanganmu janganlah didiamkan sehingga
termakan oleh zakat”.
Indikasi dari hadis ini adalah menginvestasikan harta anak
yatim secara mudharabah sudah dianjurkan, apalagi mudharabah
dalam harta sendiri. Adapun pengertian zakat disini, seandainya harta
tersebut diinvestasikan, maka zakatnya akan diambil dari return on
investment (keuntungan) bukan dari modal. Dengan demikian harta
amanat tersebut akan senantiasa berkembang, bukan berkurang.
d) Qiyas
Mudharabah di qiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh
seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang
miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang
tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang
miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan
demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi
kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
39
4. Rukun dan Syarat Mudharabah
Ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yaitu:
a. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
Akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak
pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), pihak kedua
sebagai pelaksana usaha (mudharib). Syarat keduanya adalah pemodal
dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara
hukum.
b. Objek mudharabah (modal dan kerja)
Objek merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan
oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek
mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya
sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian,
ketrampilan, selling skill, management skill dan lain-lain.
Syarat objek mudharabah adalah:
1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang);
2) Modal harus tunai.
Para fuqaha tidak membolehkan modal mudharabah
berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat
dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian
(gharar) besarnya modal mudharabah. Para fuqaha telah sepakat
40
tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran
modal, berarti shahibul maal tidak memberikan kontribusi apapun
padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi'i dan Maliki
melarang hal itu karena merusak sahnya akad.
c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)
"Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari
prinsip 'an-taraadhim minkum (sama-sama rela)”. Kedua belah pihak
harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad
mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju dengan
perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan qabul
dari yang menjalankannya.
d. Nisbah Keuntungan
"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang
tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang
berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah." Mudharib
mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal
mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan
inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah
pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
41
Syaratnya adalah:
1) Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak;
2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada
waktu kontrak dan proporsi tersebut harus dari keuntungan;
3) Nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke
waktu;
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja
yang ditanggung pemodal dan pengelola.
5. Perkara yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dianggap batal pada hal berikut:
a. Pembatalan, larangan berusaha dan pemecatan;
b. Salah seorang aqid meninggal dunia;
c. Salah seorang aqid gila;
d. Pemilik modal murtad;
e. Modal rusak di tangan pengusaha.
6. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
a. Mudharabah Muthlaqah
"Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul
maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis." Dalam
42
pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan
ungkapan if'al ma syi'ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke
mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar. Jenis usaha disini
mempunyai syarat yaitu aman, halal dan menguntungkan.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau istilah lainnya restricted
mudharabah atau specified mudharabah adalah mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya
pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si
shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
7. Terjadinya Kerugian
Kerugian dalam mudharabah adalah ketidak mampuan nasabah
dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya
atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah
diterimanya. Kerugian ditanggung oleh bank syariah, kecuali akibat:
a. nasabah melanggar syarat yang telah disepakati;
b. nasabah lalai dalam menjalankan modalnya.
Kemungkinan bank menderita kerugian dari berbagai operasinya
menyalurkan dananya kepada masyarakat, apabila terdapat banyak sekali
nasabah yang tidak memenuhi kewajibannya. Namun, apabila bank Islam
dikelola secara profesional kemungkinan terjadinya kerugian sangat kecil,
43
karena kerugian disalah satu portofolio akan dapat ditutupi dengan 64
keuntungan pada portofolio lain, dalam hal ini semuanya terhimpun dalam
pot dana (pool of fund).
Cara mengurangi risiko kerugian yang dihadapi nasabah atau
mengurangi jumlah nasabah yang tidak memenuhi kewajibannya, maka
diperlukan peningkatan profesionalisme para pengelola bank Islam
terutama dalam menilai kelayakan proyek dan karakter nasabah. Proyek
proyek yang besar dianjurkan memakai akuntan public untuk menilai
laporan keuangan proyek.
8. Teknik Mudharabah dalam Perbankan
Teknik mudharabah dalam perbankan sebagai berikut:
1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola
modal, harus diserahkan tunai, dapat berupa uang. Apabila modal
diserahkan secara bertahap harus jelas tahapannya dan disepakati
bersama;
2. Hasil pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat
diperhitungkan dengan dua cara:
1) Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing);
2) Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing);
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap
bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal
menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan
44
penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan
penyalahgunaan dana;
4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak
berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah;
5. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau
membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban dapat
dikenakan sanksi administrasi.
9. Manfaat Mudharabah
Manfaat mudharabah adalah sebagai berikut:
a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat;
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau
hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative
spread;
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau
arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah;
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar
aman, halal dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan
benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan;
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip
bunga tetap.
45
Gambar 2
Skema Mudharabah
Keahlian/ ModalKeterampilan 100%
Nisbah Nisban PengembalianX % Y % Modal Pokok
2.1.5. Pengakuan Laba atau Rugi Mudharabah
Apabila pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan:
1) Laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak
bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati;
2) Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan
mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.
Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktik dapat diketahui
berdasarkan laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh
Perjanjian Bagi
Hasil
Laba
Rugi
Proyek/ Usaha
Nasabah
(Mudharib)
BPRS PNM BINAMA(Shahibul maal)
MODAL
46
bank. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode, yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue
sharing). Bagi laba, dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban
yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Sedangkan bagi
pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah.
Rugi pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian
mudharabah sebelum masa akad berakhir diakui sebagai pengurang
pembiayaan mudharabah. Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian
atau kesalahan pengelola dana dibebankan pada pengelola dana.
Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana pada
saat mudharabah selesai atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui
sebagai piutang jatuh tempo kepada pengelola dana.
2.2. Penelitian Terdahulu
1. Penelitian terdahulu peneliti mengambil refrensi dari mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitasa Negeri Malang. Taufan Al-Amin
Jurusan Manajemen Konsentrasi Manajemen Keuangan angkatan 2001
dalam skripsinya tentang Bank Syariah yang berjudul ”PENGARUH
FATWA MUI TENTANG KEHARAMAN BUNGA BANK
TERHADAP MINAT MASYARAKAT UNTUK MENGALIHKAN
DANANYA KE BANK SYARIAH” menyimpulkan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara fatwa MUI tentang bunga
bank haram yang dikeluarkan pada tahun 2003 dengan minat
47
masyarakat untuk menabung di bank syariah. Penelitian tersebut
dilakukan pada tahun 2005. Alasan masyarakat tidak begitu
terpengaruh dengan adanya fatwa tersebut adalah karena mereka
bersikap rasional dan lebih banyak menggunakan pertimbangan pribadi
daripada pendapat orang lain maupun lembaga.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Umi Fauziyah, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negri (STAIN) Surakarta 2006, dalam penelitiannya yang
berjudul “ANALISIS METODE PERHITUNGAN BAGI HASIL
PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH BERDASARKAN
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN) di BMT KHONSA
CILACAP” menyimpulkan bahwa BMT KHONSA sebaiknya tetap
menggunakan metode revenue sharing dalam pembiayaan
mudharabahnya, karena metode revenue sharing ini sudah sesuai
dengan Fatwa DSN No.15/DSNMUI/IX/2000.
3. Penelitian yang dikaji oleh Ismul Ashari, Institut Agama Islam Negeri
Sumatra Utara-Medan 2009, dalam penelitiannya yang berjudul
“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENENTUAN NISBAH BAGI HASIL SISTEM PEMBIAYAAN
MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH
(Studi Kasus Pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang
Medan)” menyimpulkan bahwa Penentuan nisbah bagi hasil sistem
48
pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah dipengaruhi oleh
faktor-faktor nominal pembiayaan, waktu berlakunya pembiayaan dan
jenis usaha yang akan terkait dengan prospek dan resiko usaha
tersebut.
4. Penelitian terdahulu yang diteliti juga oleh Fariq Falahi mahasiswa
Fakultas Syariah jurusan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang 2010 yang judul penelitiannya adalah
“IMPLEMENTASI AKAD MUDHARABAH SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP PRODUK PENGHIMPUNAN DANA
DI BANK SYARIAH MANDIRI KUDUS”. Menyatakan bahwa
penerapan akad Mudharabah terhadap produk penghimpunan dana di
bank syariah mandiri kudus adalah menggunakan metode revenue
sharing.
2.3. Kerangka Berfikir
Salah satu pendapatan utama BPRS adalah dari produk
pembiayaan mudharabah. Produk ini menggunakan prinsip bagi hasil,
yang di tentukan berdasarkan kesepakatan dan menggunakan prosentase
keuntungan tertentu. Metode perhitungan bagi hasil yang digunakan
adalah revenue sharing sesuai yang ditentukan Fatwa Dewan Syariah
Nasional. Revenue sharing merupakan suatu metode perhitungan bagi
hasil yang dihitung dari total pendapatan.
49
Hal-hal yang mempengaruhi bagi hasil adalah saldo pembiayaan,
jangka waktu pengembalian, sistem pengembalian, hasil yang diharapkan
oleh BPRS, nisbah bagi hasil, proyeksi pendapatan dari calon peminjam,
realisasi pendapatan yang sesungguhnya, tingkat persaingan harga, baik
dengan lembaga keuangan sejenis maupun dengan lembaga
konvensional.
Mengingat hal tersebut apabila saldo pembiayaan tinggi, nisbah
bagi hasil tinggi, maka tingkat keuntungan yang diperoleh BPRS akan
tinggi pula. Sedangkan jangka waktu pembiayaan terkait dengan jumlah
angsuran bagi hasil yang akan diterima setiap bulan. Apabila jangka
waktu pendek, maka angsuran yang diperoleh akan besar. Apabila jangka
waktu pembiayaan panjang, maka angsuran bagi hasil yang diterima akan
cenderung kecil. Kalau angsuran pokok tergantung dari saldo
pembiayaan. Apabila angsuran pokok besar, maka saldo pembiayaan
sedikit atau cepat lunas. Apabila angsuran pokok kecil, maka saldo
pembiayaan besar atau pelunasannya lama.
50
Saldo Pembiayaan
Jangka Waktu Pengembalian
Tingkat Persaingan Harga
Sistem Pengembalian
Hasil yang diharapkan
Nisbah Bagi Hasil
Proyeksi Pendapatan
FATWA DSN
Bagi hasil yang di peroleholeh BPRS
Gambar 3
Kerangka berfikir
Saldo pembiayaan, jangka waktu pengembalian, sistem
pengembalian, hasil yang diharapkan oleh BPRS, nisbah bagi hasil,
proyeksi pendapatan dari calon peminjam dan tingkat persaingan harga
akan berpengaruh secara signifikan terhadap bagi hasil yang diterima oleh
BPRS. Metode yang digunakan BPRS PNM BINAMA diharapkan sesuai
dengan Fatwa DSN, maka bagi hasil yang diperoleh BPRS juga
diharapkan sesuai dengan Fatwa DSN, sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan.