11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Tingkat Korupsi yang Dirasakan
Dalam bahasa latin, kata korupsi berasal dari kata corruptus, kemudian
dalam bahasa Inggris disebut corruption. Secara hafriah, arti dari kata korupsi
ialah hal yang menunjukkan perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur dan
disangkut-pautkan dengan bidang keuangan. Sedangkan menurut World Bank,
korupsi memiliki arti “An Abuse of Public Power For Private Gains”, yang
artinya suatu penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan untuk kepentingan
pribadi (Pramono, 2016).
Korupsi merupakan fenomena modern yang masih menimbulkan
perdebatan baik di kalangan akademisi, politisi, pelaku ekonomi, dan masyarakat
sendiri (Onghokham, 1983). Dalam akademik, beberapa kalangan akademisi dari
berbagai disiplin ilmu telah melakukan penelitian mengenai korupsi. Akan tetapi,
perumusan akhir tentang korupsi masih memiliki perbedaan satu sama lainnya.
Perdebaan tersebut timbul dari fenomena korupsi yang rumit. Di sisi lain, terdapat
perbedaan dalam hal pendekatan serta tujuan yang ingin dicapai dari penelitian-
penelitia tersebut sehingga membuat pemahaman mengenai korupsi menjadi
berbeda-beda (Phongpaichit & Piriyarangsan, 1996). Meskipun demikian,
perspektif yang berbeda-beda tersebut tetap memiliki kesamaan sudut pandang
yang terletak pada nilai-nilai yang terkandung dalam terjadinya korupsi.
12
Kesamaan nilai-nilai ini mengacu pada penilaian sosial yang dianggap ―haram‖
atau ilegal secara politik.
Korupsi dianggap sudah menyebar luas di berbagai negara, sehingga perlu
untuk membedakan korupsi berdasarkan karakteristik tertentu dimana korupsi
terjadi, seperti antara negara satu dengan negara lain, antar institusi berbeda
namun dalam negara yang sama. Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi
mencakup unsur-unsur: (1) suap, (2) pemerasan, (3) penipuan, (4) pengelapan, (5)
nepotisme, (6) kronisme, (7) perampasan aset publik dan properti untuk
penggunaan pribadi, dan (8) pengaruh menjajakan (Myint, 2000).
Dalam studi ini, data korupsi yang digunakan merupakan data Corruption
Perception Index yang diperoleh dari Transparency International. Corruption
Perception Index (CPI) mengacu kepada 13 survei yang berbeda dan merupakan
penilaian dari 12 lembaga yang berbeda. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya:
Bank Pembangunan Afrika
Bertlesmann Foundation
Economist Intelligence Unit
Freedom House
Global Insight
International Institute for Management Development
Political dan Economic Risk Consultancy
The PRS Group, Inc
World Economic Forum
World Bank
13
World Justice Project
Suatu negara harus dievaluasi oleh setidaknya tiga sumber agar dapat
muncul di CPI. Terdapat 13 survei atau penilaian yang diperoleh baik dari para
pelaku bisnis, opini survei lembaga, atau penilaian kinerja dari sekelompok
analisis bersertifikasi. Semenjak tahun 2002, CPI sudah tidak lagi menggunakan
survei opini publik setelah teori standarisasi diberlakukan yang mana bertujuan
agar hasil CPI menjadi lebih akurat. CPI menjadi alat ukur persepsi korupsi
dengan skala 0 hingga 100, dimana skala 0 menunjukkan negara yang korup dan
skala 100 menunjukkan negara yang bersih.
Gambar 2.1 Peta Corruption Perceptions Index
Sumber: transparencyinternational.org
Pada Gambar 2.1 Peta Corruption Perceptions IndexGambar 2.1, dapat
kita lihat bahwa masih banyak negara yang memiliki tingkat persepsi korupsi
yang tinggi. Rata-rata negara yang memiliki tingkat persepsi korupsi tinggi
14
tersebut ditunjukkan dengan warna merah yang mana memiliki skala 0 sampai 49,
seperti di wilayah Amerika Selatan, Afrika, dan Asia yang mana memiliki banyak
negara-negara yang berkembang. Hal ini menandakan bahwa tingkat kepedulian
masyarakat di wilayah tersebut dalam pemberantasan korupsi masih tergolong
minim.
Dalam penelitian ini, penulis membalikkan indeks CPI (Corruption
Perceptions Index) yang awalnya nilai 0 merupakan negara yang korup dan nilai
100 merupakan negara yang bersih, menjadi nilai 0 = negara bersih dan nilai 100
= negara korup. Hal ini dilakukan agar menjadikan CPI sebagai variabel tingkat
korupsi yang dirasakan atau level of perceived corruption. Dengan demikian,
semakin bertambah nilai/skor di suatu negara berarti semakin banyak pula
perilaku korupsi di negara tersebut. Begitupun sebaliknya, semakin sedikit
nilai/skor di suatu negara maka negara tersebut memiliki korupsi yang rendah.
Menurut (Shabbir & Anwar, 2008), ―keuntungan utama dari indeks tersebut ialah;
itu memungkinkan analisis lintas negara dan memenuhi persyaratan definisi
korupsi yang digunakan dalam penelitian ini‖. Berikut ini merupakan tabel dari
rata-rata tingkat korupsi yang dirasakan di 60 negara berdasarkan regionalnya:
Tabel 2.1 Rata-Rata Tingkat Korupsi yang Dirasakan di 60 Negara
Berkembang Berdasarkan Regional Tahun 2014-2017
Regional 2014 2015 2016 2017
Sub Sahara Afrika 71,03 71,64 71,03 71,25
Amerika Latin 70 70,4 71 71,4
Eropa & Asia
Tengah 69,83 69,16 68,33 68,5
Asia Timur &
Pasifik 69,57 69,71 68,28 68,42
Timur Tengah &
Afrika Utara 62,5 64 64,5 63,75
15
Asia Selatan 62,66 63 62 60,66
Sumber: Transparency International (data diolah)
2.1.2 Kebebasan Ekonomi
Kebebasan ekonomi adalah suatu kemampuan dimana individu, keluarga,
dan bisnis untuk membuat keputusan ekonomi mereka sendiri. (The Heritage
Foundation dan Wall Street Journal, t.thn.) mendefinisikan kebebasan ekonomi
sebagai tidak adanya kendala atau paksaan oleh pemerintah dalam produksi,
distribusi, atau konsumsi barang dan jasa di luar batas yang diperlukan bagi warga
negaranya.
Indeks kebebasan ekonomi diukur oleh The Heritage Foundation dan Wall
Street Journal meliputi 186 negara. Indeks ini meliputi 12 komponen yang
dikategorikan ke dalam empat kriteria, yakni:
1. Aturan hukum
Meliputi hak milik atau property rights, integritas pemerintah, dan
efektivitas peradilan.
2. Ukuran pemerintah
Meliputi pengeluaran pemerintah, beban pajak, dan kesehatan fiskal.
3. Efisiensi peraturan
Meliputi kebebasan bisnis, kebebasan tenaga kerja, dan kebebasan
moneter.
4. Keterbukaan pasar
Meliputi kebebasan perdagangan, kebebasan investasi, dan kebebasan
finansial.
16
Masing-masing dari 12 komponen tersebut dinilai dengan skala 0 hingga
100, dimana 100 menunjukkan kebebasan yang maksimal. Tiap komponen akan
dirata-ratakan menjadi skor total yang akan dijadikan sebagai indeks kebebasan
ekonomi. Berikut ini ialah grafik mengenai rata-rata skor bagi wilayah Amerika
(mencakup Amerika Selatan, Tengah, dan Utara), Asia-Pasifik, Eropa, Afrika
Utara dan Timur Tengah, Sub Sahara Afrika, dan skor rata-rata dunia:
Grafik 2.1 Indeks Rata-Rata antar Wilayah Tahun 2010-2017
Sumber: The Heritage Foundation
Dari Grafik 2.1 di atas, dapat kita ketahui bahwa wilayah Sub-sahara
Afrika dengan Asia & Pasifik yang mana terdapat banyak negara berkembang,
memiliki rata-rata indeks kebebasan ekonomi yang masih di bawah rata-rata
dunia.
Adapun The Heritage Foundation dan Wall Street Journal
mengklasifikasikan skor/indeks ke dalam lima jenis yakni, skor akhir dengan
kisaran 0-49,9 artinya ditekan (repressed), kisaran 50-59,9 artinya sebagian besar
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Americas
Asia & Pasific
Europe
North Africa & middleEastSub-saharan Africa
World
17
tidak bebas (mostly unfree), kisaran 60-69,9 artinya cukup bebas (moderately
free), kisaran 70-79,9 artinya kebanyakan bebas (mostly free), dan kisaran 80-100
artinya paling bebas (free).
Kebebasan ekonomi telah diteliti oleh (Eiras, 2003), ia menemukan bahwa
kebebasan ekonomi dapat memberikan panduan mengenai bagaimana suatu
persaingan untuk negara terbuka, tingkat intervensi ekonomi yang dilakukan oleh
pemerintah, serta otonomi dan kekuatan sistem peradilan dalam implementasi
aturan dan hukum. Selanjutnya, Ia juga berpendapat bahwa negara yang kurang
memiliki kebebasan ekonomi maka akan memicu korupsi, hal ini disebabkan
karena aturan hukum yang minim, regulasi yang berlebihan, dan keterlibatan
besar oleh sektor publik yang merupakan situasi krusial bagi perilaku korupsi.
Suatu negara yang mempunyai banyak peraturan (regulasi) menandakan kecilnya
kebebasan ekonomi yang ada di negara tersebut yang mana berpotensi untuk
memicu aktivitas korupsi yang cukup tinggi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah di dalam negara tersebut (Paldam, 2002; Park, 2003).
2.1.3 Globalisasi
Globalisasi ialah suatu proses integrasi yang mencakup penyebab dan
konsekuensi dari adanya integrasi antar negara satu dengan negara lainnya, antar
kultural satu dengan lainnya, yang mana melibatkan semua aktivitas manusia dan
non mausia (Al-Rodhan & Stoudmann, 2006).
Intergrasi internasional dapat mempengaruhi peluang dari kerangka
ekonomi-politik dan nilai budaya masyarakat. Meskipun demikian, proses
18
globalisasi dapat mengurangi kontrol pejabat publik dalam hal administratif
seperti lisensi kuota dan perizinan lainnya, hal ini bertujuan agar dapat menekan
perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Akan tetapi, ketika aktivitas
administratif tersebut memiliki hambatan (bribery) maka akan menimbulkan
perilaku suap kepada pejabat publik sehingga proses globalisasi secara tidak
langsung dapat mempengaruhi korupsi (Lalountas, Manolas, & Vavouras, 2011).
(Ades & Di Tella, 1999) menemukan bahwa keterbukaan (globalisasi) memiliki
hubungan yang negatif dengan korupsi.
Dalam studi ini, penulis menggunakan indeks globalisasi yang didapatkan
dari KOF Globalization Index yang mana diukur berdasarkan tiga dimensi yakni,
dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Penggunaan indeks globalisasi ini karena
KOF Globalization Index sudah mengukur hampir seluruh negara dari tahun 1970
dan telah menjadi indeks globalisasi yang paling banyak digunakan (Potrafke,
2015). Selain itu, indeks ini juga mencakup kebebasan ekonomi sebesar 36
persen, kebebasan sosial sebesar 38 persen, dan kebebasan politik sebesar 26
persen.
Gambar 2.2 Indeks Globalisasi di Low Income Gambar 2.3 Indeks Globalisasi di Lower-
Middle
19
Sumber: KOF Globalization Index Sumber: KOF Globalization Index
Gambar 2.4 Indeks Globalisasi di Upper-Middle Gambar 2.5 Indeks Globalisasi di High Income
Sumber: KOF Globalization Index Sumber: KOF Globalization Index
Pada keempat gambar di atas menunjukkan bahwa negara-negara yang
tergolong ke dalam low income dan lower-middle income memiliki indeks
globalisasi yang masih minim dan di bawah indeks rata-rata dunia. Sedangkan
negara-negara yang tergolong ke dalam upper-middle income dan high income
memiliki indeks globalisasi di atas rata-rata dunia. Meskipun negara-negara
upper-middle sebelum tahun 2003 memiliki indeks di bawah rata-rata dunia,
namun mulai tahun 2003 indeks rata-rata negara upper-middle income sudah
berada di atas indeks rata-rata dunia.
2.1.4 Tingkat Perkembangan
Dalam studi ini, tingkat perkembangan atau level of development
menggunakan GDP per kapita sebagai variabel proxy. Tingkat perkembangan
memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat korupsi. Negara-negara yang
memiliki tingkat perkembangan yang rendah biasanya sedikit peduli bahkan
hampir tidak peduli terhadap sebagian warga miskin. Di samping itu, beberapa
20
penelitian biasanya menggunakan tingkat perkembangan ekonomi untuk
menjelaskan tingkat korupsi (Damania, Fredriksson, & Mani, 2004; Persson,
Tabellini, & Trebbi, 2003).
(Mustapha, 2014) mengemukakan bahwa korupsi berpengaruh negatif
terhadap GDP per kapita. Ia menguji tingkat korupsi dengan GDP per kapita
melalui tiga estimasi, yakni Pooled Least Square, Fixed Effect Model, dan
Random Effect Model. Namun, hasil ketiga estimasi tersebut menunjukan bahwa
tingkat korupsi memiliki korelasi negatif dengan GDP per kapita secara
signifikan.
Dari tahun ke tahun, GDP per kapita dipublikasikan oleh World Bank.
World Bank menghitung GDP per kapita berdasarkan hasil bagi antara produk
domestik bruto dengan populasi di pertengahan tahun. Berikut di bawah ini adalah
peta dari GDP per kapita (current US$):
Gambar 2.6 Peta GDP per Kapita (current US$)
Sumber: World Bank
21
2.1.5 Kebebasan Pers
Kebebasan berbicara dan pers diperlukan dalam kehidupan masyarakat di
suatu negara. Ini bertujuan agar masyarakat bisa mendapatkan akses mengenai
berbagai informasi (baik langsung maupun tidak langsung).
Menurut (Brunetti & Weder, 2003), kebebasan pers memiliki korelasi
postif yang rendah dengan korupsi secara keseluruhan. Namun, hadirnya
kebebasan pers memungkinkan media untuk mengeluarkan berita yang berimbang
mengenai pemerintah, termasuk berita tentang korupsi yang dilakukan oleh
pejabat publik. Dengan diterbitkannya media, maka diharapkan masyarakat
menjadi lebih mengetahui mengenai informasi yang ada serta media dapat
mempromosikan mekanisme pemerintah yang lebih akuntabel, yang mana
bertujuan untuk menekan angka korupsi yang ada.
Freedom House mempublikasikan laporan mengenai indeks kebebasan
pers yang mencakup tingkat kebebasan media cetak, siaran, dan digital pada 199
negara sejak tahun 1980. Indeks tersebut berdasarkan hasil dari evaluasi
lingkungan hukum untuk media, tekanan politik, serta pengaruh faktor ekonomi
terhadap akses berita dan informasi (Freedom House, 2017). Serta memiliki skala
0-100 yang menandakan 0 sebagai negara dengan pers yang terbuka, dan 100
sebagai negara dengan kebebasan pers yang buruk (tertutup). Indeks ini
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yakni bebas (free), sebagian bebas (partly
free), dan tidak bebas (not free). Di bawah ini merupakan peta mengenai
kebebasan pers di seluruh dunia:
22
Gambar 2.7 Peta Kebebasan Pers Dunia
Sumber: Freedom House
2.1.6 Kebebasan Pers Kuadrat
Dalam penelitian ini, penulis memperkirakan adanya hubungan yang non
linear (kuadratik) antara kebebasan pers terhadap tingkat korupsi yang dirasakan
sehingga perlu adanya variabel kebebasan pers yang dikuadratkan untuk
menangkap hubungan tersebut.
Berikut ini merupakan persamaan umum dari fungsi kuadratik:
Dengan adanya hubungan non linear ini, maka perlu dilakukannya
pencarian titik puncak untuk mengetahui titik balik mengenai kebebasan pers
dalam estimasi yang akan dilakukan, yakni sebagai berikut:
(Churchill, Agbodohu, & Arhenful, 2013) mengungkapkan bahwa pada
awalnya, naiknya kebebasan pers mampu menurunkan kontrol korupsi. Namun
23
saat berada di titik tertentu, kebebasan pers memiliki hubungan yang positif
dengan kontrol korupsi. Dengan kata lain, pada awalnya kebebasan pers yang
bertambah akan menaikan tingkat korupsi, namun akhirnya kebebasan pers
mampu menurunkan tingkat korupsi. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh
(Klitgaard, 1998) bahwa secara negatif korupsi dipengaruhi oleh lemahnya
akuntabilitas dan kewenangan yang terlalu luas oleh negara, serta terjadinya
monopoli kekuasaan yang kuat oleh seseorang atau beberapa oknum pemerintah.
2.1.7 Demokrasi
Demokrasi merupakan mekanisme sistem pemerintahan suatu negara yang
memiliki tujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh
pemerintah. Berdasarkan penelitian (Treisman, 2000), demokrasi dapat berfungsi
sebagai pembatas atas kekuasaan pemerintah melalui pemeriksaaan dan
penyeimbangan kekuasaan. Akan tetapi, (Shabbir & Anwar, 2008)
mengungkapkan bahwa demokrasi memiliki korelasi yang positif dengan tingkat
korupsi. Di samping itu, (Serra, 2006) juga mengemukakan bahwa melalui
penjaminan hak-hak yang mendasar seperti kebebasan rakyat dalam
berdemokrasi, dapat mencegah perilaku pejabat yang korup. Akan tetapi, pejabat
yang korup cenderung melakukan kontrol terhadap kebebasan demokrasi tersebut
dengan cara diberlakukannya pembatasan-pembatasan tertentu kepada
masyarakat.
Indeks demokrasi diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit yang
didasari oleh pandangan mengenai ukuran demokrasi yang mencerminkan
24
keadaan politik dan sipil yang tidak sederhana. Indeks ini didasarkan pada lima
kategori yang saling terkait satu sama lain, diantaranya: proses pemilihan umum
dan pluralisme, partisipasi politik, budaya politik, kebebasan sipil, dan
berfungsinya pemerintahan.
Indeks demokrasi ini memiliki skala dari 0 hingga 10, dimana 10
merupakan negara dengan demokrasi yang tinggi. Nilai indeks tersebut digunakan
untuk menetapkan suatu negara ke dalam satu dari empat jenis rezim, diantaranya:
1. Demokrasi penuh (skor indeks 8-10)
2. Demokrasi yang cacat (skor indeks 6-7,9)
3. Rezim hibrid (skor indeks 4-5,9)
4. Rezim otoriter (skor indeks di bawah 4)
Berikut tabel yang menunjukkan indeks demokrasi berdasarkan wilayah:
Tabel 2.2 Indeks Demokrasi tiap Wilayah
Sumber: The Economist Intelligence Unit
2.1.8 Stabilitas Politik
Kestabilan merupakan prasyarat yang penting untuk mengurangi perilaku
korupsi. Dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil maka
memungkingkan pemerintah dan penduduk sipil untuk mempromosikan
25
mekanisme yang transparan dan pemantauan demi pengendalian (Aleksandar,
2000). Di samping itu, suatu negara yang mengalami ketidakstabilan politik akan
menimbulkan keresahan dan keraguan dalam bidang ekonomi yang mana dapat
memicu terjadinya kerusuhan di kalangan masyarakat dan memberikan tekanan
pada rakyat untuk melakukan apapun demi melindungi kebutuhan mereka,
termasuk melakukan aktivitas korup yang mana akan berimbas pada kenaikan
tingkat korupsi (Lipset & Raab, 1970; Alesina & Perotti, 1996). Dengan
demikian, (Alesina & Perotti, 1996) mengemukakan bahwa kestabilan politik
memiliki korelasi yang negatif dalam mempengaruhi tingkat korupsi. Selanjutnya
(Persson, Tabellini, & Trebbi, 2003) berpendapat bahwa peran sistem partai di
suatu negara dapat berpengaruh terhadap tingkat korupsi. Suatu negara yang
memiliki persaingan pemilu melalui banyak partai politik cenderung lebih korup
jika dibandingkan dengan negara yang memiliki sedikit partai atau persaingan
pemilu secara perorangan.
Dalam studi ini, penulis menggunakan indeks stabilitas politik yang
diperoleh dari The Global Economy dengan nilai indeks -2,5 (lemah) hingga 2,5
(kuat) yang didasarkan pada kemungkinan terjadinya pengalihan kekuasaan
pemerintah, konflik bersenjata, demonstrasi dengan kekerasan, kerusuhan sosial,
ketegangan internasional, terorisme, serta konflik etnis, agama atau regional (The
Global Economy, 2017). Di bawah ini merupakan grafik mengenai rata-rata
indeks stabilitas politik berdasarkan wilayah:
26
Grafik 2.2 Rata-Rata Indeks Stabilitas Politik berdasarkan Wilayah pada
Tahun 2014-2017
Sumber: theglobaleconomy.com
-0,8
-0,6
-0,4
-0,2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
2014 2015 2016 2017
Eropa
Asia
Afrika
Amerika Utara
Amerika Selatan
27
2.2 Kajian Empiris
Berikut ini merupakan tabel perbandingan penelitian:
Tabel 2.3 Perbandingan Penelitian
No. Nama
Peneliti
Judul
Penelitian Hipotesis Metode Model VARIABEL Hasil
1. Ghulam
Shabbir dan
Mumtaz
Anwar
(2008)
Determinants
of Corruption
in Developing
Countries
Meneliti
pengaruh
ekonomi dan
non ekonomi
pada 41
negara
berkembang
Regresi
cross
section,
cross
country
Tingkat korupsi
yang dirasakan,
kebebasan
ekonomi,
globalisasi, level
of development,
distribusi
pendapatan,
kebebasan pers,
demokrasi,
proporsi
penduduk
beragama tertentu
(Muslim, Katolik,
Protestan, dan
Hindu)
Faktor ekonomi
merupakan
faktor yang lebih
penting dan
terbukti lebih
kuat dalam
mengurangi
tingkat persepsi
korupsi yang
dirasakan bagi
negara
berkembang
28
2. Ransford
Quarmyne
Churchill,
William
Agbodohu,
dan Peter
Arhenful
(2013)
Determining
Factors
Affecting
Corruption: A
Cross Country
Analysis
Hubungan
antara 10
variabel
dengan
kontrol
korupsi di
133 negara
Analisis
Panel
Data
Kontrol korupsi,
keterbukaan
ekonomi,
anggaran publik,
ketergantungan
SDA, kebebassan
ekonomi,
demokrasi,
kebebasan pers,
stabilitas politik,
populasi
perkotaan,
keragaman etnis,
regulasi,
kebebasan pers
kuadrat, populasi
perkotaan kuadrat,
dummy time &
dummy country
Kontrol korupsi
akan semakin
kuat ketika
beberapa faktor
ditangani
dengan tepat
seperti stabilitas
politik dan
aturan hukum.
Untuk itu,
pemerintah perlu
membuat alat
kebijakan yang
bekerja paling
baik
3. Hoon Park
(2003)
Determinants
of Corruption:
A Cross-
National
Analysis
Untuk
memahami
gambaran
lengkap
mengenai
tingkat
korupsi yang
timbul dari
berbagai
Regresi
cross
section,
cross
country
Revisi indeks
persepsi korupsi,
GNP per capita,
revisi socio-
political
instability,
kebebasan
ekonomi,
Uncertainly
Tingkat korupsi
menurun ketika
kebebasan
ekonomi, revisi
socio-political
instability,
power distance
index, dan
masculine-
29
faktor
masyarakat
Avoidance Index,
indeks
individualisme-
kolektualisme,
power distance
index, masculine-
feminime index,
sistem hukum,
upper 20% of
distribution
income
feminime index
meningkat
4. Danilla
Serra
(2006)
Empirical
determinants
of corruption:
A sensitivity
analysis
Untuk
mengetahui
apakah
perkiraan
dampak dari
estimasi
faktor-faktor
penentu
terhadap
korupsi kuat
dalam
konteks
perubahan
set informasi
Analisis
Extreme-
Bounds
C = α + βM + γiI + δzZ Tingkat korupsi,
M = variabel
menarik yang
ingin diuji, I =
seperangkat
variabel kontrol
(GDP per kapita),
dan Z = tiga
variabel yang
paling relevan
(pembangunan
ekonomi, political
rights, newspaper
circulation)
Tingkat korupsi
lebih rendah di
negara yang
kaya, negara
dengan politik
yang tidak stabil
cenderung
negara yang
korup, serta
budaya hukum
dari warisan
kolonial
berkorelasi
dengan tingkat
korupsi saat ini
30
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kajian teoritis dan empiris, maka dapat dilihat bentuk dari
kerangka pemikiran seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.8 Kerangka Pemikiran
Sumber: Kajian teoritis dan empiris
Gambar 2.8 menjelaskan bagaimana variabel yang akan diuji yaitu faktor
ekonomi dan faktor non ekonomi mempunyai pengaruh terhadap tingkat korupsi
yang dirasakan di 60 negara-negara berkembang.
Hasil studi empiris yang ada dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa
terdapat korelasi negatif antara kebebasan ekonomi, globalisasi, level of
development, kebebasan pers kuadrat, dan stabilitas politik terhadap tingkat
korupsi. Serta adanya korelasi yang positif antara demokrasi dan kebebasan pers
terhadap tingkat korupsi.
Dalam penelitan ini, penulis berasumsi bahwa kontrol korupsi yang
digunakan sebagai variabel dependen dari penelitian (Churchill, Agbodohu, &
Faktor Ekonomi:
1. Keterbukaan
Ekonomi
2. Globalisasi
3. Level of
Development
Korupsi
Faktor Non
Ekonomi:
1. Kebebasan
Pers
2. Kebebasan
Pers
Kuadrat
3. Demokrasi
4. Stabilitas
Politik
31
Arhenful, 2013) merupakan kebalikan dari tingkat korupsi yang dirasakan sebagai
variabel dependen dari penelitian (Shabbir & Anwar, 2008).
2.4 Hipotesis
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kajian teoritis dan studi empiris
yang telah dijelaskan, maka hipotesis dari penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Faktor ekonomi dan non ekonomi memiliki pengaruh terhadap tingkat
korupsi di negara-negara berkembang pada tahun 2014-2017.
2. Variabel kebebasan ekonomi, globalisasi, level of development, kebebasan
pers kuadrat, dan stabilitas politik berpengaruh negatif terhadap tingkat
korupsi di negara-negara berkembang pada tahun 2014-2017.
3. Variabel kebebasan pers dan demokrasi berpengaruh positif terhadap tingkat
korupsi di negara-negara berkembang pada tahun 2014-2017.