11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Overweight
1. Definisi
Menurut World Health Organization overweight dapat didefinisikan
terkumpulnya lemak yang berlebih atau tidak normal sehingga menimbulkan
risiko terhadap kesehatan. Overweight meningkatkan risiko gangguan
kesehatan lain seperti hipertensi, jantung koroner, penyakit kantung empedu,
diabetes melitus, gangguan muskuloskeletal dan sleep apnea (Flegal dkk.,
2013).
Terdapat dua jenis lemak tubuh yaitu lemak storage dan lemak
esensial. Lemak storage adalah lemak yang terdapat pada jaringan
subkutaneus merupakan hasil dari tambahan energi yang didapatkan dari
makanan sedangkan lemak esensial adalah lemak yang diperlukan dalam
menjalankan fungsi normal dari tubuh yang biasanya terdapat di jantung,
paru-paru, hati, limpa, tulang dan sumsum tulang belakang. Pada tubuh
seseorang yang sehat terdapat total lemak sebanyak 15-20% dari berat badan
untuk laki-laki dan total lemak sebanyak 20-25% dari berat badan untuk
perempuan (Polikandrioti dan Stefanou, 2009).
Distribusi lemak terbagi menjadi dua jenis yaitu lemak sentral atau
tipe android yang mana lokasi dari penumpukan lemak pada tubuh bagian
atas seperti perut dan sering terjadi pada laki-laki sedangkan jenis lainnya
adalah lemak regional atau tipe female yang mana lokasi dari penumpukan
lemak pada paha dan pinggul yang sering terjadi pada perempuan
(Polikandrioti dan Stefanou, 2009).
12
2. Epidemiologi
Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 juta atau 39% dewasa berusia lebih
dari 18 tahun mengalami overweight dengan persentase 40% pada perempuan
dan 38% pada laki-laki (WHO, 2015). Dimana sebagian besar populasi
tinggal di negara dengan risiko kematian karena kelebihan berat badan lebih
tinggi dibandingkan kematian karena kekurangan berat badan. Sedangkan di
Indonesia berdasarkan hasil riset kesehatan dasar kementerian kesehatan RI
terjadi peningkatan persentase penduduk berumur lebih dari 18 tahun yang
mengalami overweight pada tahun 2010 sebesar 10% menjadi 13,5% pada
tahun 2013. Sebesar 19,7% kelebihan berat badan dan obesitas pada laki-laki
sedangkan sebesar 32,9% pada perempuan. Prevalensi penduduk dengan
berat badan berlebih atau obesitas tertinggi di Sulawesi Utara sebesar 24%.
3. Parameter Overweight
Indeks masssa tubuh adalah pengukuran yang paling sering digunakan
yang meliputi pengukuran tinggi badan (m2) dan berat badan (kg). Adapun
rumusan dari IMT adalah berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m2) kuadrat.
Kategori IMT overweight yaitu nilai >25 kg/m2, sedangkan untuk kriteria
orang Asia Pasifik dikatakan overweight jika memiliki nilai ≥23 kg/m2
(WHO). Pengukuran ini tidak meliputi informasi tentang massa otot dan
massa tulang (Polikandrioti dan Stefanou, 2009).
Indeks Massa Tubuh = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m2)
Rumus 2.1. Rumus Indeks Massa Tubuh
Sumber : Kolimechkov, 2016
Klasifikasi dari IMT ini dikembangkan untuk level populasi tapi
masih bisa digunakan untuk individu serta menggambarkan risiko kesehatan
13
dalam jangka panjang dan penyakit kronis. Adapun kelemahan atau
keterbatasan dari IMT yaitu
a. Massa lemak yang tidak dibedakan dari massa tubuh tanpa lemak
b. Tidak menghitung distribusi lemak serta cacat fisik
c. Tergantung dari keakuratan pengukuran yang dilakukan
d. Dipengaruhi berat cairan
e. IMT tidak dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin
f. Tidak dapat digunakan pada wanita hamil dan anak-anak (Nutrition
Education Materials Online Queensland Goverment, 2017)
Tabel 2. 1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Dewasa Asia (WHO, 2000)
Klasifikasi Indeks Massa
Tubuh (kg/m2) Risiko Morbiditi
Underweight < 18,5 Low
Normal 18,5 – 22,9 Average
Overweight :
Pre-obese
Obese I
Obese II
≥ 23
23 – 24,9
25 – 29,9
≥ 30
Increased
Moderate
Severe
4. Etiologi
Overweight adalah suatu keadaan yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti genetik dan lingkungan. Adanya kelebihan asupan energi tidak
sebanding dengan jumlah energi yang dikeluarkan merupakan dasar dari
penyebab terjadinya overweight.
a. Faktor Genetik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu Lia dkk menyatakan
bahwa adanya peningkatan risiko overweight atau obesitas pada anak
dengan kedua orangtua yang mengalami obesitas sebesar 10,5 kali.
Sekitar 80% risiko seorang anak mengalami overweight atau obesitas jika
kedua orang tuanya mengalami overweight atau obesitas, sedangkan
14
sebesar 40% risiko seorang anak mengalami overweight atau obesitas
jika salah satu dari orang tuanya mengalami overweight atau obesitas
(Hidayati dkk dalam Anggraini, 2008). Terdapat enam mutasi gen
tunggal yang disebut sebagai faktor predisposisi adanya kelebihan lemak
yang menyebabkan overweight atau obesitas dengan onset dini (Nirmala
dkk., 2008 dalam Juliantini dkk., 2013).
b. Faktor Lingkungan
Faktor ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam peningkatan
massa tubuh. Adanya perilaku gaya hidup seperti pola makan aktivitas
fisik berpengaruh dalam peningkatan berat badan (Kurdanti dkk., 2015).
Selain itu lingkungan tempat tinggal juga berpengaruh seperti lingkungan
perkotaan dengan akses sarana transportasi dan pangan yang lebih mudah
mendukung gaya hidup sedentari dan mengurangi aktivitas fisik (Diana
dkk., 2013).
c. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah tiap gerak yang dihasilkan oleh otot skeletal
dengan peningkatan penggunaan energi-istirahat. Seseorang berisiko
mengalami kenaikan berat badan sebesar 5 kg jika memiliki aktivitas
fisik rendah (Anggraini, 2008). Meningkatnya gaya hidup sedentari dan
peningkatan berat badan bersamaan dengan menurunnya aktivitas fisik
(WHO). Jika terjadi penurunan aktivitas fisik maka akan menurunkan
energi yang digunakan atau dikeluarkan sehingga terjadi penumpukan
energi (Anggraini, 2008).
15
d. Faktor Usia
Semakin tua usia maka terjadi penurunan metabolisme tubuh akibat
dari perubahan biologis, penurunan fungsi otot, penurunan massa otot
sehingga terjadi keterlambatan pembakaran kalori yang mengakibatkan
penimbunan energi tubuh (Novitasasry dkk., 2013 dan Widiantini, 2014).
e. Pola Makan
Pola makan dipengaruhi beberapa hal seperti frekuensi makan,
asupan energi, konsumsi snack, konsumsi fast food, dan tren makanan
yang berkembang (Wulandari, 2016). Sebagian besar masyarakat
memilihi untuk mengkonsumsi fast food dengan kandungan lemak
sekitar 40-50% sehingga terjadi penimbunan lemak pada tubuh.
Kebiasaan makan snack disela waktu makan besar memberikan
kontribusi total intake kalori sebesar 20-75% di negara-negara barat
seperti Inggris dan Amerika Serikat (Swinburn dkk., 2004 dalam
Wulandari, 2016).
f. Faktor Mental Emosional
Seseorang akan cenderung untuk mengonsumsi makanan dengan
berlebihan jika dalam kondisi stres atau depresi. Peingkatan IMT,
penumpukan lemak tubuh dan lemak perut terjadi akibat perubahan
hormon dan reaktivitas heart rate saat mengalami depresi atau stres
(Kusteviani, 2015).
16
B. Low Back Pain Myogenic
1. Anatomi Tulang Belakang
Fungsi dari tulang belakang adalah sebagai penyangga kepala, leher
dan badan serta pergerakannya, melindungi sumsum tulang belakang, dan
sebagai jalan keluar saraf. Tulang belakang berjumlah 24 tulang yang terdiri
dari 7 tulang cervical, 12 tulang thoracal, 5 tulang lumbal, 1 tulang sacrum
yang merupakan gabungan dari 5 tulang dan 1 tulang coccyx yang merupakan
gabungan dari 4 tulang (Waugh & Grant, 2017). Terdapat empat lengkungan
pada columna vertebralis yang berfungsi sebagai keseimbangan, menyerap
goncangan vertikal saat lari atau lompat serta mempertahankan postur tubuh
yang normal saat istirahat yaitu lordosis pada cervical, kifosis pada thoracal,
lordosis pada lumbal dan kifosis pada coccyx. Antar tulang belakang
dipisahkan oleh diskus intervertebra yang merupakan tulang rawan kartilago
berfungsi sebagai peredam kejut dengan cara menyebarkan beban dari corpus
vertebrae ke permukaan ujung tulang belakang. Diskus intervertebra terdiri
dari 2 bagian yaitu anulus fibrosus sebagai lapisan lingkar luar sebagai
pelindung dan nucleus pulposus sebagai inti gelatinosa (Lawry, 2016).
Gambar 2. 1 Tulang Belakang (lateral view)
Sumber : VanPutte dkk., 2017
17
Cervical memiliki tulang pertama yang berbeda disebut atlas yang
tidak memiliki corpus, tulang ini membentuk sendi dengan tengkorak disebut
juga sebagai atlanto-occipital joint atau yes joint karena gerakan yang
dihasilkan berupa fleksi dan ekstensi. Tulang kedua cervical disebut axis atau
disebut juga atlantoaxial joint atau no joint karena gerakan yang dihasilkan
berupa gerak rotasi. Terdapat dens berupa tonjolan panjang yang
berhubungan dengan foramen vertebrae C1. Pada cervical gerakan lebih luas
dibandingkan dengan thoracal. (VanPutte dkk., 2017). Prominens vertebrae
merupakan cervical ketujuh yang mudah diraba pada pangkal leher karena
memiliki tonjolan spinosa yang panjang dan bermuara di tuberkel (Waugh &
Grant, 2017).
Gambar 2. 2 Atlas Vertebrae (C1)
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Gambar 2. 3 Axis Vertebrae (C2)
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Gambar 2. 4 Cervical Vertebrae
Sumber : VanPutte dkk., 2017
18
Thoracal memiliki gerakan yang terbatas karena adanya tulang rusuk.
Berfungsi menopang berat badan lebih banyak dibanding cervical sehingga
memiliki ukuran yang lebih besar. Terbentuknya persendian dengan tulang
rusuk atau iga oleh corpus vertebrae dan processus transversum (Waugh dan
Grant, 2017).
Gambar 2. 5 Thoracal Vertebrae
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Lumbal berbentuk besar, tebal dan berat karena menahan
pembebanan dari badan dengan lingkup gerak yang semakin kecil pada
bagian bawah. Sekitar 40-50% berat badan pembebanan pada lumbal. Dalam
posisi berdiri, diskus intervertebralis menanggung 80% berat badan dan dua
facet joint menanggung 20% (Mourbas, 2018).
Gambar 2. 6 Lumbal Vertebrae
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Sacrum merupakan gabungan dari 5 tulang yang membentuk
persendian dengan coccyx pada bagian bawah dan lumbal pada bagian atas,
tulang ini juga membentuk sendi dengan os. illium kanan dan kiri. Coccyx
19
berbentuk triangular kecil yang terdiri dari 4 tulang yang menyatu (Waugh
dan Grant, 2017)
Gambar 2. 7 Sacral dan Coccyx
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Sebuah tulang belakang pada bagian depan terdapat corpus dan
bagian belakang terdapat arkus neuralis yang terbentuk dari sepasang pedikel
serta terdiri dari dua lamina yang membentuk processus spinosus dan
processus transversus (Lawry, 2016).
Persendian pada C2 hingga S1 pada umumnya sama. Pada bagian
belakang terdapat facet joint atau disebut juga apophyseal atau zygapophyseal
joint yang terbentuk dari processus articular superior dan processus articular
inferior.
Facet joint merupakan sendi sinovial yang membentuk membran
sinovial dan tertutupi oleh ligamen. Setiap tulang belakang terdiri dari dua
facet joint.
Ada beberapa ligamen pada tulang belakang yang berfungsi
mempertahankan posisi vertebrae yautu:
a. Ligamen longitudinal anterior pada bagian anterior corpus vertebrae dan
memanjang sepanjang tulang belakang berupa lembaran fibrosa yang
lebar dan kuat untuk mencegah terjadinya ekstensi berlebihan
20
b. Ligamen longitudinal posterior pada bagian posterior tepatnya di kanal
vertebra dan berada disepanjang kolum berupa lembaran fibrosa yang
lebih lemah
c. Ligamen transverseum pada processus odontoid axis dan atlas untuk
mempertahankan artikulasi keduanya
d. Ligamen supraspinosa yang memanjang dari occiput ke sacrum untuk
menghubungkan processus spinosa
e. Ligamen flava yang menghubungkan antar lamina (Waugh dan Grant,
2017)
Pada tulang belakang terdapat otot yang melekat di mulai dari
cervical hingga lumbal.
21
Tabel 2. 2 Otot-Otot Pada Vertebra-Trunk (VanPutte dkk., 2017)
Otot Origo Insersio Gerakan
m. trapezius
Posterior
surface os skull
dan upper
vertebral column
(C7-T12)
Os. clavicula,
processus
acromion dan
os. scapula
Ekstensi dan
lateral fleksi
leher
m. intercostalis
external Os. costae Os. costae
Inspirasi dan
elevasi os.
costae
m. intercostalis
internal Os. costae Os. costae
Ekspirasi dan
depresi os.
costae
Superficial
- m. Erector spine
• m. Iliocostalis
• m.
Longissimus
• m. spinalis
Os. Sacrum, os.
illium, os.
costae,
processus
spinosus,
procesus
transversus
Os. Sacrum, os.
Illiumm, os.
Costae,
vertebrae, dan
processus
spinosus,
processus
transversus
Ekstensi trunk
dan leher,
lateral fleksi
trunk dan leher
Deep back muscles
- m.
Transversalspinal
is
- m. Interspinal
- m.
Intertransversal
Processus
transversus
Processus
transversus
Ekstensi trunk
m. Rectus Abdominis Os. pubis Os. Costae V, VI
dan VII Fleksi trunk
m. Eksternal
Oblique
Lateral os.
Costae VIII
os. Illium dan
linea alba
Fleksi trunk,
lateral fleksi
trunk, rotasi
trunk
m. Internal Oblique
Ligamen
inguinal, os.
illium, fascia
thoracolumbal
Os. Costae X,
XI, XII
Fleksi trunk,
lateral fleksi
trunk, rotasi
trunk
m. Transversal
Abdominis
Ligamen
inguinal, os.
illium, fascia
thoracolumbal
dan os. Costae
VI
Abdominal
aponeurosis
Kompresi
abdomen
m. Quadratus
lumborum Os. Illium
Os. Costae XII,
processus
transversus
Lateral fleksi
trunk
22
Gambar 2. 8 Otot Dinding Perut
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Gambar 2. 9 Otot Trunk
Sumber : VanPutte dkk., 2017
Gambar 2. 10 m. Internal intercostalis dan m. Eksternal intercostalis
Sumber : VanPutte dkk., 2017
23
Otot trunk terbagi menjadi bagian depan dan bagian belakang. Pada
bagian depan atau bagian perut terdapat empat lapisan otot yang mana m.
Rectus abdominis pada bagian superfisial dan tengah, m. Eksternal oblique
pada bagian superfisial sisi samping dinding perut, m. Internal oblique berada
dibawah m. Eksternal oblique, dan m. Transversal abdominis merupakan otot
terdalam pada dinding perut. Pada bagian belakang trunk otot paling luar
yaitu m. Erector spine, sedangkan otot terdalam yaitu grup otot
transversalspinalis yang membentang secara vertikal antara processus
transversus dan processus spinosus (Lippert, 2011).
2. Biomekanika
Lengkungan pada vertebrae dari lateral view terdiri atas cervical
lordosis sekitaar 2o-24o dengan rata-rata 9o, thoracal kifosis sekitar 22o-56o
dengan rata-rata 39o, lumbal lordosis sekitar 38o-75o dengan rata-rata 57o.
Lengkungan tersebut akan meningkatkan tahanan terhadap gaya kompresi
agar tulang belakang dalam orientasi lurus dengan diseimbangkan pada os.
sacrum yang mentransmisikan gaya dari vertebrae ke ekstremitas bawah
secara vertikal. Pelvis, os. ischium dan acetabulum akan menerima berat yang
didistribusikan dari L5. Ligamen longitudinal anterior menegang sehingga
membatasi derajat lordosis lumbal. Kurva fisiologi vertebrae berhubungan
erat dengan keseimbangan tulang belakang yang menghasilkan postur dan
derajat kurva vertebrae. Jika terdapat peningkatan sudut lumbosacral maka
akan meningkatkan lordosis pada lumbal sebagai kompenasi kurva cervical
thoracal yang mempertahankan kepala pada pusat gravitasi (Putera, 2008).
Bidang gerak pada lumbal antara lain bidang gerak sagital berupa
gerak fleksi dan ekstensi, bidang gerak transversal berupa gerak rotasi dan
24
bidang gerak frontal berupa gerak lateral fleksi. Fleksi lumbal dengan rentang
45o-60o dengan gerakan terbesar pada L5-S1 sebesar 75% yang digerakkan
oleh otot fleksor yaitu m. rectus abdominis serta dibantu otot ekstensor
vertebrae, ekstensi lumbal dengan rentang 30o-35o dibatasi ligamen
longitudinal anterior yang digerakkan oleh m. spinalis dorsi, m. longisimus
dorsi dan m. iliocostalis lumborum, lateral fleksi lumbal dengan rentang 20o-
30o yang digerakkan oleh m. obliqus internus abdominis dan m. rektus
abdominis sedangkan rotasi dengan rentang 45o yang dibatasi oleh orientasi
vertikal sendi facet yang digerakkan oleh m. iliocostalis lumborum, m.
obliqus eksternus abdominis (Kapandji, 2010 dalam Guntara, 2016).
Sendi facet permukaannya akan cenderung pada bidang frontal. Pada
bidang melintang sudut facet antara kanan dan kiri meningkat pada L3-L4
menjadi 74o, L4-L5 menjadi 96o, L5-S1 menjadi 106o. Beban yang dapat
ditahan oleh sendi facet sebesar 10%-20% beban kompresi vertebrae saat
berdiri sedangkan saat posisi fleksi beban yang ditahan mencapai lebih dari
50%. Tekanan tertinggi pada facet terjadi saat gerak fleksi, kompresi dan torsi
serta jika terjadi penurunan tinggi diskus (Putera, 2008).
Overweight atau obesitas memengaruhi keseimbangan serta gaya
berjalan, perubahan postur, penurunan lingkup gerak sendi, perubahan center
of gravity (COG) serta penurunan fungsi ligamen dan otot (Salzman, 2010
dalam Sentoso, 2016). Adanya peningkatan berat badan menyebabkan
peningkatan beban pada vertebrae dan akumulasi lemak pada trunk, COG
yang berpindah ke depan, peregangan otot dinding perut lemah sedangkan
otot punggung cenderung untuk memendek sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan otot (Ghezelbash dkk., 2016 dan Intarti, 2017).
25
Peningkatan IMT diiringi dengan bertambahnya sudut lumbosacral
sehingga menyebabkan perubahan biomekanik tulang belakang seperti
degenerasi sendi facet, fleksi berlebihan sendi sacroilliac, peningkatan beban
yang membebani sendi serta torsi pada lumbal yang berlebihan (Sheng,
2016).
3. Definisi
Low back pain adalah keadaan nyeri kronik atau tidak menyenangkan
yang disertai keterbatasan aktivitas pergerakan atau mobilisasi yang
dikeluhkan minimal 3 bulan (Helmi, 2012). Adapun low back pain myogenic
adalah nyeri pada punggung bawah yang disebabkan faktor miogenik atau
otot menjadi sumber nyeri dan akan menimbulkan muscle imbalance
(Balague, 2012). Berdasarkan durasi nyeri dibedakan menjadi:
a. LBP akut: kurang dari enam minggu. LBP jenis ini bisa disebabkan
karena trauma, osteoporosis disertai fraktur atau kelebihan kortikosteroid
b. LBP subakut: lebih dari enam minggu dan kurang dari tiga bulan
c. LBP kronik: nyeri yang mengganggu aktivitas pasien dialami lebih dari
tiga bulan, faktor psikologi berpengaruh pada LBP kronik
d. LBP reccurent: pasien yang memiliki riwayat LBP, nyeri yang dirasakan
hilang timbul (Chiodo dkk., 2011)
4. Epidemiologi
Low back pain menjadi gangguan kesehatan yang sering terjadi di
dunia dan dapat mengganggu performa kerja serta aktivitas sehari-hari.
Sebesar 60% - 70% LBP non-spesifik terjadi di negara industri. Di Amerika
Serikat pada umur lebih dari 18 tahun terdapat 29,8% penderita LBP dengan
distribusi jenis kelamin laki-laki sebesar 27,6% dan perempuan sebesar
26
30,4% (U. S. Department of Health and Human Services 2016). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Patrianingrum. M pada tahun 2014 pada
tenaga kesehatan lingkungan kerja anestesiologi RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung didapatkan sebesar 79,5% dari 112 responden mengeluhkan LBP.
Prevalensi LBP pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada
semua kelompok umur terutama pada usia anak sekolah dan pasca
menopause (Wang dkk., 2016)
5. Etiologi
Terdapat dua penyebab dari LBP myogenic yaitu indirect muscle
problem yang dipengaruhi postur buruk akibat dari adanya keadaan atau
posisi tertentu dalam waktu lama yang menyebabkan kontraktur otot
punggung dan trauma kinesiologi. Sedangkan penyebab lainnya adalag direct
muscle problem yang menyebabkan penjepitan pembuluh darah daerah
punggung sehingga terjadi iskemia, hal tersebut terjadi karena adanya spasme
otot punggung (Paalanne, 2014 dalam Widnyana dkk., 2018).
Faktor penyebab LBP menurut Borenstein dan Wiesel (2004) yaitu
faktor statik dan faktor dinamik
a. Faktor statik berupa bertambahnya sudut lumbosakral akibat postur atau
sikap tubuh atau meningkatnya derajat lordosis lumbal dalam waktu lama
yang mengubah center of gravity (COG) sehingga terjadi peregangan
ligamen dan kontraksi otot yang berlebihan sehingga timbul sprain atau
strain pada otot atau ligamen dan menimbulkan nyeri (Pandono, 2008
dalam Guntara 2016).
b. Faktor dinamik atau kinetik. Saat melakukan gerakan terjadi beban
mekanik atau stres abnormal pada jaringan seperti otot dan ligamen
27
daerah punggung bawah yang melebihi toleransi fisiologis jaringan
(Pandono, 2008 dalam Guntara 2016).
Terdapat beberapa yang berubungan dengan risiko keluhan LBP yaitu
berupa faktor internal yang berasal dari individu itu sendiri dan faktor
eksternal yang berasal dari luar diri individu.
a. Faktor Internal
1) Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki kemampuan otot yang lebih baik
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3 : 1 sehingga daya
tahan otot pada laki-laki lebih baik dibandingkan dengan perempuan.
Kekuatan otot pada perempuan sekitar 60% dari kekuatan otot laki-
laki dengan kelemahan otot pada lengan, punggung dan kaki.
(Tarwaka, 2014). Adanya siklus menstruasi yang meningkatkan
sensitivitas nyeri meningkat menjelaskan prevalensi LBP pada
perempuan muda. Selain itu perempuan memiliki ambang persepsi
nyeri yang lebih rendah dibanding laki-laki. Pasca menoause
perempuan cenderung memiliki diskus yang menyempit hal ini terkait
dengan perubahan fisiologis yaitu tingkat hormon yang lebih rendah
dan degenerasi diskus lumbal yang cepat (Wang YXJ 2016).
2) Usia
Pada usia 25-65 tahun mulai dirasakan keluhan gangguan
muskuloskeletal dan meningkat sejalan bertambahnya umur. Semakin
bertambah umur maka tubuh akan mengalami penurunan kemampuan
fisiologis seperti penurunan kekuatan dan ketahanan otot yang
meningkatkan risiko keluhan otot (Tarwaka, 2014).
28
3) Kebugaran Jasmani
Kemampuan untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan dengan
mudah tanpa kelelahan yang berlebihan dan masih memiliki cadangan
tenaga untuk istirahat dan aktivitas yang mendadak merupakan
definisi dari kebugaran jasmani. Seseorang yang dalam aktivitas
sehari-harinya memerlukan tenaga besar dan tidak memiliki waktu
yang cukup untuk beristirahat memiliki risiko mengalami keluhan otot
lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki waktu cukup
untuk beristirahat. Peningkatan risiko cedera punggung terjadi pada
orang dengan kekuatan yang lebih rendah dibanding tuntutan tugas
karena kurangnya daya tahan otot punggung (Munir, 2012).
4) Merokok
Kebiasaan merokok menurunkan lapasitas oksigen sehingga
tubuh kekurangan oksigen yang menyebabkan kebugaran tubuh
menurun, metabolisme karbohidrat melambat, nyeri otot akibat
penimbunan asam laktat (Tarwaka, 2014).
5) Antropometri
Faktor tinggi badan dan berat badan menjadi peyebab adanya
keluhan muskuloskeletal. Seseorang dengan badan yang tinggi
memiliki volume diskus intervertebralis lebih besar sehingga adanya
hambatan dalam nutrisi di diskus serta menimbulkan masalah
ergonomi saat bekerja. Sedangkan seseorang dengan berat badan
berlebih cenderung memiliki otot perut yang lemah sehingga
menyebabkan perpindahan center of gravity dan lordosis lumbal dan
berat badan disalurkan pada daerah perut yang menyebabkan
29
peningkatan kerja lumbal dan bertambahnya tekanan pada tulang
belakang yang meningkatkan risiko kerusakan struktur tulang
belakang (Purnamasari dkk., 2010)
b. Faktor Eksternal
1. Sikap Kerja
Sikap kerja yang tidak sesuai dengan ergonomi atau tidak
alamiah adalah sikap kerja dengan posisi yang membuat tubuh
menjauhi posisi alamiah seperti gerakan mengangkat barang dengan
kepala terangkat, punggung terlalu membungkuk dan beban jauh dari
batang tubuh. Risiko keluhan muskuloskeletal semakin tinggi jika
posisi tubuh menjauhi pusat gravitasi tubuh. Adanya karakteristik alat
kerja, tuntutan tugas dan stasiun kerja yang tidak sesuai dengan
kemampuan pekerja (Tarwaka, 2014).
2. Masa Kerja
Adanya waktu kerja yang lama dan tidak sesuai dengan
kemampuan kerja selain menyebabkan tidak efisien, efektif dan
produktiv dalam pekerjaan juga menyebabkan gangguan kesehatan,
kelelahan, kecelakaan atau penyakit serta ketidakpuasan kerja. Tubuh
dipaksa untuk bekerja secara terus-menerus tanpa istirahat yang
cukup. Penurunan kinerja otot akibat tekanan fisik dalam kurun waktu
lama menimbulkan gejala rendahnya gerak, memperburuk kesehatan
dan kelelahan yang menyebabkan gangguan muskoloskeletal
(Koesyanto, 2013 dalam Riningrum, 2016)
30
3. Gerakan Berulang
Gerakan berulang dan terus-menerus dalam jangka waktu yang
lama menyebabkan penggunaan berlebihan jaringan disekitar tulang
belakang hingga kelelahan dan ketegangan otot bahkan cedera
jaringan lunak dan saraf yang menimbulkan nyeri, pegal, kesemutan
dan pembengkakan (Utami dan Dewi, 2015).
6. Patofisiologi
Trauma mekanik akut sering menjadi penyebab dari LBP. Adanya
kerja berlebihan, ketegangan otot, penggunaan otot berlebih, cedera jaringan
pada daerah tulang belakang merupakan pemicu LBP. Elemen pada lumbal
seperti ligamen, tendon, otot, diskus dan tulang) memiliki intervensi sensorik
yang akan memicu sinyal nosiseptif jika terjadi stimulus kerusakan jaringan.
Sekitar 75% berat badan dibebankan pada lumbal khususnya L5-S1 dan
sekitar 75% gerakan fleksi dan ekstensi terjadi di L5-S1 yang menjadikan
daerah ini rawan untuk terjadi cedera (Winata, 2015).
Ketegangan otot punggung dapat menyebabkan nyeri punggung yang
sering disebut sebagai nyeri pegal. Aktivitas seperti duduk, tidur dan berdiri
terlalu lama atau salah dapat menyebabkan ketegangan otot. Otot yang
digunakan berlebihan menyebabkan inflamasi atau iskemia yang
meningkatkan mediator inflamasi seperti bradikini, histamine, serotinin,
prostaglandin (PGE 2) dan 5-hydroxytriptamine. Peningkatan mediator
inflamasi tersebut menyebabkan otot lebih sensitif sehingga dapat dirasakan
nyeri walaupun stimulasi yang diberikan harusnya tidak menimbulkan nyeri.
Dijumpai posisi lordosis dan spasme otot belakang yang meyebabkan
31
ketidakseimbangan antara paravertebra dan otot abdominal (Hills, 2006
dalam Guntara, 2016).
Secara biomekanik ada perubahan titik berat badan sebagai
kompensasi dari posisi tubuh yang akhirnya menimbulkan nyeri. Lumbal
dalam keadaan mendatar keluar yang sering disebut sebagai postur kifosis
terjadi saat posisi duduk dengan tungkai atas pada posisi 90o, pada posisi
pelvis berotasi sebesar 30o kebelakang sebagai akibat dari desakan sendi
panggul yang berotasi sebesar 60o untuk menyesuaikan posisi tungkai.terjadi
peningkatan tegangan pada anulus posterior disertai penekanan pada nukleus
pulposus akibat peningkatan tekanan diskus intervertebralis dan peregangan
ligamen longitudinal posterior (Samara, 2004).
Tekanan pada diskus dalam posisi berdiri sebesar 100%, pada posisi
duduk tegak sebesar 140% dan pada posisi duduk dengan membungkukkan
badan kedepan sebesar 190%. Hal tersebut terjadi karena selama perpindahan
posisi dari berdiri keduduk terjadi perpindahan pada pelvis dan sakrum.
Perpindahan berupa rotasi ke belakang dari tepi atas pelvis, posisi lordosisi ke
posisi kifosis dan sakrum menjadi tegak yang meningkatkan tekanan pada
diksus intervertebralis (Samara, 2004).
7. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala yang dijumpai pada low back pain myogenic berupa:
a. Nyeri otot atau nyeri myogenic yaitu nyeri pada otot sesuai dermatom dan
distribusi saraf dengan reaksi yang berlebihan
b. Nyeri tekan pada daerah otot punggung bawah (trigger point)
c. Penurunan lingkup gerak sendi
d. Spasme otot punggung bawah terutama pada daerah lumbosakral
32
e. Keterbatasan mobilitas lumbosakral
f. Ketidakseimbangan otot fiksator trunk dan otot stabilisator trunk
g. Jika dilakukan peregangan otot maka keluhan akan berkurang atau hilang
(Riyantania, 2010 dalam Guntara. 2016).
8. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Adapun hal yang harus diperhatikan saat anamnesis yaitu:
1) Lokasi dan penyebaran
Nyeri biasanya berada pada daerah punggung bawah yaitu daerah
lumbosakral
2) Awitan
Robekan otot, iritasi permukaan sendi atau peregangan fascia dapat
terjadi karena penyebab mekanis seperti posisi yang salah dan
menimbulkan nyeri
3) Frekuensi dan lama
Nyeri yang dirasakan dapat bertahan selama beberapa hari hingga
beberapa bulan
4) Kualitas dan intensitas
Pada LBP myogenic nyeri pada daerah punggung bawah lebih dominan
dibanding nyeri pada tungkai dengan adanya periode tanpa gejala
(Sirajudin, 2017)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Adapun hal yang harus diperhatikan saat inspeksi yaitu:
a) Gerakan aktif yang menimbulkan nyeri
33
b) Bentuk tulang belakang serta kelainan postur
2) Palpasi
Adapun hal yang harus diperhatikan saat palpasi yaitu:
a) Nyeri (tenderness) pada kulit
b) Spasme otot punggung bawah (Sirajudin, 2017)
C. Nordic Body Map (NBM)
Pada tahun 1987, NBM dikembangkan oleh Kourinka dan dimodifikasi
oleh Dickinson pada tahun 1992. Nordic body map merupakan metode
pengukuran terstandarisasi yang sering digunakan untuk mengukur
ketidaknyamanan dan rasa nyeri pada otot yang bersifat subjektif sesuai dengan
keluhan yang dirasakan responden (Wilson dan Corlett, 1995 dalam Aghnia,
2017). Melalui kuesioner ini dapat mengidentifikasi musculoskeletal disorder
serta menhetahui secara detail area tubuh yang mengalami keluhan MSD
(Wahyudi dkk., 2015).
Terdapat gambar tubuh yang dilengkapi dengan nomor serta skoring dari
angka 1 hingga 4 yang menunjukkan tingkat keluhan mulai dari tidak sakit
hingga sangat sakit. Responden diminta untuk menunjukkan area tubuh yang
mengalami keluhan kemudian mengisi bagian skoring sesuai dengan yang
dirasakan.
Tabel 2. 3 Skor Nyeri Nordic Body Map
Sumber : Setyanto dkk., 2015
Skor Tingkat Nyeri
1 Tidak ada nyeri
2 Sedikit nyeri
3 Nyeri
4 Sangat nyeri
34
Tabel 2. 4 Total Skor Nordic Body Map dan
Risiko Musculoskeletal Disorder
Sumber : Setyanto dkk., 2015
Skor Total Skor Risiko MSD
1 28 – 49 Rendah
2 50 – 70 Sedang
3 71 – 91 Tinggi
4 92 – 112 Sangat tinggi
Gambar 2. 11 Nordic Body Map (NBM)
Sumber : Setyanto dkk., 2015
35
D. International Physical Activity Questionaire (IPAQ)
Kuesioner ini digunakan untuk mengukur aktivitas fisik dengan tiga
kategori aktivitas fisik yaitu kategori berat, sedang dan ringan yang dihitung
dengan Metabolic Equivalent of Task (MET) (Christianto dkk., 2018). Adapun
kategori IPAQ sebagai berikut:
1. Aktivitas fisik tinggi dengan kriteria:
a. Minimal 1500 METs- menit/minggu dengan aktivitas intensitas berat
selama 3 hari atau lebih
b. Minimal 3000 METs-menit/minggu dengan kombinasi aktivitas intensitas
berat dan sedang serta berjalan
2. Aktivitas fisik sedang dengan kriteria
a. Melakukan aktivitas intensitas berat selama 20 menit/hari selama 3 hari
atau lebih
b. Melakukan aktivitas intensitas sedang atau berjalan selama 5 hari atau
klebih minimal 30 menit/hari
c. Melakukan aktivitas berat serta kombinasi berjalan selama 5 hari atau
lebih dengan mencapai 600 METs-menit/minggu
3. Aktivitas fisik rendah dengan kriteria jika tidak memenuhi kriteria diatas
(Booth dkk., 2003 dalam Sudibjo, 2013).
Kelebihan dari kuesioner ini yaitu:
1. Divalidasi diberbagai negara termasuk di Indonesia
2. Dilakukan secara masal
Kekurangan dari kuesioner ini yaitu:
1. Sulit untuk mengonversi informasi yang bersifat kualitatif menjadi kuantitatif
36
2. Data atau informasi yang didapat tergantung dari kemampuan subjek untuk
mengingat kebiasaan (Booth dkk., 2003 dalam Sudibjo, 2013).
Rumus 2.2. Rumus Pengukuran Aktivitas Fisik
Sumber : Mahadibya, 2015
E. Hubungan Overweight dengan Low Back Pain Myogenic
Penelitian yang dilakukan oleh Maria Septiana Setyaningrum (2014)
menyatakan adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian low
back pain serta overweight dan obesitas meningkatkan risiko terjadinya LBP.
Hal tersebut disebabkan karena adanya penimbunan lemak pada daerah perut
sehingga meningkatkan kerja lumbal dan tulang belakang menerima beban yang
berlebih sehingga terjadi kerusakan pada strukturnya. Selain itu terdapat
kelemahan otot perut sedangkan otot punggung belakang kaku kareba rendahnya
fleksibilitas tulang belakang.
Terdapat dua mekanisme terjadinya LBP yaitu dari segi biomekanik dan
dari segi subtansi endogen. Secara biomeknaik terjadi perubahan postural yang
menyebabkan perubahan center of gravity, penambahan kelengkungan thoracal
serta lumbal sehingga peningkatan massa tubuh pada ektremitas atas akan
meningkatkan beban pada vertebrae. Saat seseorang melakukan gerak fleksi
trunk maka otot punggung belakang bekerja lebih keras karena beban yang
ditahan lebih besar. Sedangkan dari segi subtansi endogen produksi dari sitokin
proinflamasi yang diinduksi oleh adipokin dan disekresi oleh adiposit
berhubungan dengan nyeri. Kadar sitokin seperti interleukin-6 meningkat pada
penderita overweight sehingga mudah terjadi inflamasi (Hashimoto dkk., 2017).
MET-menit/minggu = MET level x durasi aktivitas per hari (menit) x
hari perminggu