33
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Filologis
Kajian filologis bertujuan untuk mendapatkan kembali naskah yang
bersih dari kesalahan, yang berarti memberikan pengertian sebaik-baiknya dan
yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga dapat diketahui naskah yang
paling dekat dengan aslinya (Edwar Djamaris, 2002: 7). Kajian filologis pada
naskah STWK terdiri dari 3 bagian, yaitu deskripsi naskah, kritik teks,
suntingan teks dan terjemahan. Keempat bagian tersebut diuraikan sebagai
berikut.
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah merupakan bagian dari kajian filologis yang
berfungsi untuk menjelaskan keadaan naskah secara terperinci. Melalui
deskripsi naskah, pembaca akan mengetahui bagaimana keadaan naskah
tanpa harus bertemu langsung dengan naskah tersebut. Emuch
Hermansoemantri (1986: 2) mengatakan bahwa deskripsi naskah merupakan
sarana untuk memberikan informasi atau data mengenai: judul naskah;
nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan naskah;
ukuran naskah; tebal naskah; jumlah baris tiap halaman; huruf, aksara,
tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur
naskah; pengarang atau penyalin; asal-usul naskah yang tersimpan di
masyarakat; fungsi sosial naskah; serta ikhtisar teks atau cerita. Adapun
deskripsi naskah STWK adalah sebagai berikut:
34
a. Judul Naskah
Serat Sejarah Urun Wijining Karaton, pengambilan judul didasarkan
pada tulisan yang terletak pada cover dalam naskah.
Gambar 23: Judul naskah
b. Nomor Naskah
STWK dijumpai dalam katalog lokal Reksapustaka dengan nomor B 38 dan
terdapat juga dalam punggung naskah STWK, sedangkan di dalam
Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book in
the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-Sutanto, 1983)
dengan nomor 22110.
c. Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah STWK tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran,
Surakarta.
d. Asal Naskah
Naskah berasal dari Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran,
Surakarta.
e. Keadaan Naskah
Keadaan naskah secara fisik baik dan utuh atau lengkap. Tidak ada
lembaran-lembaran naskah yang hilang maupun sobek atau berlubang.
35
Jilidan naskah juga masih bagus. Secara umum, naskah dalam keadaan
baik, dalam arti tidak rusak parah.
f. Ukuran Naskah
1) Panjang : 33,5 cm
2) Lebar : 21 cm
Ukuran teks: 28 cm x 14 cm
1) Margin kanan : 3,5 cm
2) Margin kiri : 3,5 cm
3) Margin atas : 3 cm
4) Margin bawah : 2,5 cm
g. Tebal Naskah
Tebal naskah 1,2 cm
Jumlah halaman yang ditulisi: 84 halaman
Jumlah halaman kosong: 8 halaman
h. Jumlah Baris tiap Halaman
Jumlah baris tiap halaman 18 baris
i. Huruf, Aksara, Tulisan
1) Jenis atau macam tulisan : aksara Jawa carik
2) Ukuran huruf : kecil
3) Bentuk huruf : miji ketumbar atau ngetumbar dengan
gaya penulisan miring ke kanan.
4) Keadaan tulisan : rapi, jelas, mudah dibaca
5) Jarak antarhuruf : sedang, jarak antarbaris juga sedang
6) Warna tinta : hitam
36
7) Bekas pena : pena ada yang tebal dan juga ada yang
tidak, tetapi tidak tembus ke halaman berikutnya.
j. Cara Penulisan
Ditulis bolak-balik (recto verso) yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada
kedua halaman muka dan belakang. Teks ditulis searah lebarnya, artinya
teks tersebut ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah. Nomor halaman
ditulis di bagian atas tengah lembaran, menggunakan angka aksara Jawa
urut dari 1-83, ditulis dengan cara yang sama dengan teks menggunakan
tinta warna hitam. Selain penulisan halaman dengan angka aksara Jawa,
juga ada penulisan halaman menggunakan angka Arab yang ditulis di
bagian atas kiri lembaran. Tetapi penulisan halaman antara angka Jawa
dengan angka Arab mengalami perbedaan, selisih satu nomor.
Gambar 24: Halaman dengan angka Jawa dan Arab
k. Bahan Naskah
Bahan naskah yang digunakan adalah kertas bergaris dengan warna yang
sudah agak kecoklatan, karena faktor usia. Untuk batas margin, penulis
menggunakan garis bantu pensil agar terlihat rapi. Kualitas kertas masih
bagus.
37
l. Bahasa Naskah
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa baru
m. Bentuk Teks
Teks berbentuk tembang macapat yang dituangkan dalam 14 pupuh
tembang. Berikut tabel jenis tembang dan jumlah bait teks STWK:
Tabel 2. Daftar nama tembang
No. Jenis Tembang Jumlah Bait Halaman
1. Dhandhanggula 51 1-13
2. Asmaradana 21 13-16
3. Gambuh 151 16-35
4. Megatruh 21 35-38
5. Maskumambang 81 38-46
6. Pocung 32 46-49
7. Pangkur 10 49-51
8. Kinanthi 54 51-59
9. Durma 14 59-61
10. Sinom 28 61-67
11. Girisa 13 67-70
12. Jurudemung 8 70-71
13. Dhandhanggula 45 71-82
14. Kinanthi 8 82-83
38
n. Sasmita Tembang
Terdapat sasmita tembang di setiap pergantian pupuh, kecuali pupuh
kedelapan tembang Kinanthi yang sasmita tembangnya di awal teks.
Sasmita tembang tersebut terletak di setiap akhir pupuh yang menjelaskan
tembang apa untuk pupuh selanjutnya.
1) Sasmita tembang Asmaradana di akhir pupuh pertama, untuk
menjelaskan pupuh kedua.
Gambar 25: Sasmita Tembang pupuh 2
“...cahya wenes warnendha raras respati/ tinon maweh asmara//...”.
Artinya: “cahaya bersih indah di hati/ dilihat memberikan cinta”
2) Sasmita tembang Gambuh di akhir pupuh kedua, untuk menjelaskan
pupuh ketiga.
Gambar 26: Sasmita Tembang pupuh 3
“...dadya jiwa saraga/ lulus denira anggambuh/ ing Pathi lawan
Mataram//...”
Artinya: “jadi jiwa seraga/ tulus ketika sudah bersama/ di Pathi dan
Mataram//”
39
3) Sasmita tembang Megatruh di akhir pupuh ketiga, untuk menjelaskan
pupuh keempat.
Gambar 27: Sasmita Tembang pupuh 4
“...nateng Mataram linuhung/ tan pegat mrih karahayon//...”
Artinya: “raja di Mataram luhur/ tidak putus terhadap keselamatan//”
4) Sasmita tembang Maskumambang di akhir pupuh keempat, untuk
menjelaskan pupuh kelima.
Gambar 28: Sasmita Tembang pupuh 5
“... katigane Mas Panjawi/ lir mas tumimbal katongton//...”
Artinya: “ketiganya Mas Panjawi/ seperti emas dilihat//”
5) Sasmita tembang Pocung di akhir pupuh kelima, untuk menjelaskan
pupuh keenam.
Gambar 29: Sasmita Tembang pupuh 6
“...lulus jumeneng Narpati/ mucung amangkurat Jawa//...”
Artinya: “tulus menjadi Raja/ tembang menguasai tanah Jawa//”
40
6) Sasmita tembang Kinanthi di awal pupuh kedelapan, untuk
menjelaskan pupuh kedelapan juga.
Gambar 30: Sasmita Tembang pupuh 8
“kanthine cariteng ngayun/ putranira sri bupati/...”
Artinya: “inilah ceritanya/ anaknya sri bupati/...”
7) Sasmita tembang Girisa di akhir pupuh kesembilan, untuk menjelaskan
pupuh kesebelas.
Gambar 31: Sasmita Tembang pupuh 11
“...nenggih Jeng Sinuhun sugih/ ambek suraweh girising
Mityakardha//...”
Artinya: “yaitu Kangjeng Sinuhun yang sangat kaya/ dengan baik
hatinya Mityakardha//”
8) Sasmita tembang Jurudemung di akhir pupuh kesebelas, untuk
menjelaskan pupuh keduabelas.
Gambar 32: Sasmita Tembang pupuh 12
41
“...dimen anjuru demungan...”
Artinya: “supaya juru demung”
9) Sasmita tembang Dhandhanggula di akhir pupuh keduabelas, untuk
menjelaskan pupuh ketigabelas.
Gambar 33: Sasmita Tembang pupuh 13
“...denya mring tentrem myang tata/ manising praja rahayu//...”
Artinya: “olehnya selalu tentram dan baik/ manisnya kerajaan
makmur”
10) Sasmita tembang Kinanthi di akhir pupuh ketigabelas, untuk
menjelaskan pupuh keempatbelas.
Gambar 34: Sasmita Tembang pupuh 14
“...satata mrih wadya kang pantes kinardi/ kanthining Nata dibya//...”
Artinya: “lestari supaya prajurit yang pantas bekerja/ dengan Raja
luhur//”
42
o. Umur Naskah
“Dadi suci samadyaning bumi/ ari Dite Pahing wuku Maktal/ guru
wurukung gigise/ kanêm Kunthara Windu/ leking Sura purnama siddhi/
Ehe sangkala ijrah/ nalika mangapus/ paksa karya wedha Nata/
cecarangan aluranireng leluri/ kang sinungsih ing suksma//”.
Artinya: “menjadi suci di tengah-tengah bumi/ hari Minggu Pahing
wukunya Maktal/ hari yang ketujuh/ mangsa ke enam Kunthara Windu/
bulan Sura ketika bulan purnama/ dengan penanda tahun Ehe Ijrah/ ketika
mengarang/ paksa karya wedha Nata (1842)/ cerita episode baru tentang
keturunannya leluhur/ yang diberi berkah oleh Tuhan//”
Gambar 35: Umur naskah
Dilihat sengkala yang menandakan tahun 1842 Jawa, maka naskah STWK
ditulis pada tahun 1912 Masehi. Sehingga umur naskah adalah 104 tahun.
p. Pengarang atau Penyalin
Raden Mas Karyarujita.
Keterangan tersebut terdapat pada awal naskah yang berbunyi:
“Punika sajarah turun wijining karaton, wiwit Ki Agêng Tarub peputra
Rara Nawangsih kagarwa Raden Bondhan Kajawan, dumugi Kangjêng
Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara ingkang kaping IV peputra
43
Kangjêng Ratu Pakubuwana Prameswari Dalêm Ingkang Sinuhun
Kangjêng Susuhunan Pakubuwana ingkang kaping sadasa. Karanganipun
Raden Ngabehi Karyarujita Abdi dalêm mantri garap ing kantor
Radyapustaka”.
Terjemahan:
“Ini Sejarah keturunan Keraton, dari Ki Ageng Tarub berputra Rara
Nawangsih yang diperistri Raden Bondhan Kajawan, sampai dengan
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV berputra
Kangjeng Ratu Pakubuwana Permaisuri Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Pakubuwana X. Karangan Raden Ngabei Karyarujita abdi
dalem juru tulis di kantor Radyapustaka”.
q. Ikhtisar Teks atau Cerita
Naskah STWK berisi tentang sejarah Keraton dari Ki Ageng Tarub, yang
berputra Nawangsih, sampai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangkunegaran yang ke IV. Di dalam naskah STWK juga diceritakan
bagaimana seorang raja memperoleh suatu kedudukannya sebagai raja di
suatu negeri. Kedudukan tersebut mereka peroleh dengan cara yang
beragam. Mulai dari menikah dengan anak raja sampai dengan diangkat
menjadi anak raja dan dihadiahi suatu wilayah yang awalnya tidak ada
apa-apanya sampai menjadi kerajaan yang sangat besar dan makmur.
Diceritakan juga bagaimana seseorang ingin merebut sebuah kerajaan agar
menjadi miliknya. Cerita tersebut runtuh dari Ki Ageng Tarub dan diakhiri
dengan cerita KGPAA Mangkunegaran IV yang dilantik menjadi raja dan
44
diakhir cerita diterangkan bahwa esok beliau akan menurunkan raja-raja
besar di Tanah Jawa.
2. Kritik Teks
Kritik teks merupakan evaluasi terhadap teks, meneliti dan
menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Hasil dari kritik teks adalah
suntingan teks yang bersih dari kesalahan dan mendekati aslinya. Edwar
Djamaris (2002: 8) mengemukakan bahwa kritik teks adalah pengkajian,
pertimbangan, perbandingan, dan penentuan teks yang asli atau teks yang
autoritatif, serta pembetulan, perbaikan, pembersihan teks dari segala
macam kesalahan. Di dalam kritik teks, seorang filolog dituntut mempunyai
alasan yang kuat serta didukung oleh referensi-referensi agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dapat membingungkan pembaca.
Kesalahan bacaan yang ditemukan dalam naskah dikelompokkan
sesuai dengan jenis kesalahannya masing-masing. Menurut Robson (1994:
18-19) adalah sebagai berikut:
a. Lakuna adalah bagian yang terlampaui atau kelewatan, baik suku kata,
kata, kelompok kata maupun kalimat.
b. Adisi adalah bagian yang berlebihan atau penambahan baik huruf,
suku kata, kata, kelompok kata maupun kalimat.
c. Hiperkorek adalah perubahan ejaan karena pergeseran lafal.
d. Substitusi adalah pergantian kata, kelompok kata maupun kelompok
kalimat.
e. Transposisi yaitu pertukaran letak suku kata, kata maupun kelompok
kalimat.
45
f. Dittografi yaitu perangkapan bagian kata yang seharusnya ditulis satu
kali, tetapi ditulis dua kali.
g. Haplografi yaitu suku kata yang sama harus diulang atau
direduplikasi, tetapi hanya ditulis satu kali.
h. Saut du meme au meme yaitu mata penyalin bergerak ke depan dan
belakang di antara halaman-halaman, melompat dari kata yang satu ke
kata lain yang sama dengan melihat sedikit ke bawah sehingga
sebagian teks dihilangkan.
i. Corupt yaitu bagian naskah yang sulit dimengerti karena rusak atau
berubah sehingga sulit dibaca.
j. Ketidakkonsistenan penulisan yaitu penulisan suku kata maupun kata
yang tidak konsisten.
Dalam naskah STWK, terdapat 27 kesalahan tulis yang dibagi ke
dalam 3 kesalahan yang ditemukan, yaitu 1) lakuna, 2) adisi, 3) hiperkorek.
Pengelompokan kesalahan tulis disusun dalam bentuk tabel. Maka
dari itu akan dibuat singkatan untuk mempermudah pemahaman dalam
membacanya. Daftar singkatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Edisi teks : bacaan yang telat dibetulkan.
b. Hal/brs : halaman / baris.
c. No : menunjukkan nomor urut.
d. @ : edisi teks bedasarkan pertimbangan kontekstual.
e. # : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik.
f. * : edisi teks berdasarkan pertimbangan interpretasi penulis.
46
Kelainan bacaan yang terdapat pada naskah STWK dapat
dikelompokkan di dalam tabel sebagai berikut.
a. Lakuna adalah bagian yang terlampaui atau kelewatan, baik suku kata,
kata, kelompok kata maupun kalimat. Dalam naskah STWK, kasus
lakuna yang dijumpai adalah lakuna huruf. Berikut sajian tabelnya.
Tabel 3. Lakuna
No.
Hal/
Pupuh
Kata Gambar Edisi Teks
1 35/4 mri
“..tan pamit mri Jeng Susunan
Kudus..”
Mring#
2 39/5 makono
“..yen makono..”
Mangkono#
3 74/13 sanggaru
gi
“..dene misih ngemu
sanggarugi..”
Sanggarungg
i#
47
b. Adisi adalah bagian yang berlebihan atau penambahan baik huruf,
suku kata, kata, kelompok kata maupun kalimat. Dalam naskah STWK
ditemukan adisi huruf. Berikut tabelnya.
Tabel 4. Adisi
No.
Hal/
Pupuh
Kata Gambar Edisi Teks
1 39/5 jengneng
“..dene jengneng ingsun
wis..”
Jeneng#
2 43/5 pangingkising
Pangikising#
3 65/10 mangung
Mangun#
4 55/8 balak
“..balak Blitar ran pu..”
Bala#@
48
c. Hiperkorek adalah perubahan ejaan karena pergeseran lafal. Dalam
naskah STWK ditemukan hiperkorek huruf. Berikut sajian tabelnya.
Tabel 5. Hiperkorek
No.
Hal/
Pupuh
Kata Gambar Edisi Teks
1 11/1 kerit
Kerid#
2 20/3 murup
murub#
3 22/3 nilip
Nilib#
4 23/3 parapat
“..parapat myang manca..”
Parepat#
5 23/3 suyut
Suyud#
6 24/3 singup
Singub#
7 28/3 miduhung
miduwung#
49
8 30/3 andhanu
Andanu#@
9 32/3 andhanu
Andanu#@
10 34/3 kasup
Kasub#
11 40/5 suyut
suyud#
12 53/8 surut
Surud#
13 54/8 surut
Surud#
14 55/8 ran
“..bala Blitar ran purun..”
tan@
15 57/8 sinuyutan
Sinuyudan#
50
16 61/9 suyut
Suyud#
17 62/10 marto
Marta#
18 62/10 putri
putra@
19 71/12 sinilip
Sinilib#
20 76/13 murut
murud#
3. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya yang
bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah
yang dikritisi. Penyuntingan teks dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan
memperhatikan pedoman dan bagian-bagian cerita (Edwar Djamaris,
2002:9). Pedoman yang digunakan dalam suntingan teks STWK adalah
51
Kamus Bausastra Jawa (Poerwadarminta) dan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan (Balai Bahasa
Yogyakarta, Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa).
Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban perbaikan bacaan
dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan
kelengkapan kritik teks (Edwar Djamaris, 2002: 8). Jadi, untuk
mendapatkan suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan, di
dalamnya disertakan dengan kritik teks dan aparat kritik. Adapun kata-kata,
kalimat maupun baris yang dianggap salah diberi nomor kritik teks.
Sedangkan pembetulan yang merupakan aparat kritik diletakkan di bawa
teks (catatan kaki).
Untuk mempermudah pembacaan dalam memahami suntingan teks
STWK, dibawah ini merupakan pedoman yang digunakan oleh penulis
dalam menyajikan suntingan teks STWK.
a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan dalam menulis nama
Raja, nama orang, nama tempat, panggilan untuk seorang Raja, nama
bulan, hari, dan tahun. Sedangkan yang lainnya ditulis dengan huruf
biasa atau kecil.
b. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang atau reduplikasi
dalam teks. Misalnya:
Singup singup singup-singup
c. Penulisan dwipurwa. Misalnya:
52
puputra peputra
d. Sastra laku ditransliterasikan dengan mengubah konsonan penutup pada
kata berikutnya. Misalnya:
panengngrannya panengrannya
e. Penulisan teks dengan menggunakan (ô) dibaca [ɔ] langsung disunting.
Misalnya:
Sri Ponca Sri Panca
Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman makna transliterasi
teks STWK, maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Angka Romawi [I, II, III ... dst] untuk menunjukkan nama raja yang ke
berapa.
Misalnya: Pakubuwana I.
b. Angka Arab [1, 2, 3, 4 ... dst] untuk menunjukkan pergantian halaman
teks.
c. Angka Arab 1, 2, 3, 4 ... dst yang berada dalam teks merupakan nomor kritik
teks pada kata yang terdapat kesalahan.
53
d. Tanda @ merupakan edisi teks berdasarkan pertimbangan kontekstual.
e. Tanda # merupakan edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik.
f. Tanda * merupakan edisi teks berdasarkan pertimbangan interpretasi
penulis.
Berikut sajian suntingan teks SUWK, setelah mengalami berbagai
tahapan dalam penelitian.
(cover dalam)
Punika sajarah urun wijining karaton, wiwit Ki Agêng Tarub, peputra Rara
Nawangsih kagarwa Raden Bondhan Kajawan, dumugi Kangjêng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunagara ingkang kaping IV peputra Kangjêng Ratu
Pakubuwana prameswari dalêm ingkang sinuhun Kangjêng Susuhunan
Pakubuwana ingkang kaping X. Karanganipun Raden Ngabehi Karyarujita. Abdi
dalêm mantri garap ing kantor Radyapustaka.
“Ini Sejarah keturunan Keraton, sejak dari Ki Ageng Tarub berputra Rara
Nawangsih yang diperistri Raden Bondhan Kajawan, sampai dengan Kangjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV berputra Kangjeng Ratu
Pakubuwana Permaisuri Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana
X. Karangan Raden Ngabehi Karyarujita abdi dalem juru tulis di kantor
Radyapustaka”.
DHANDHANGGULA
1 dadi suci samadyaning bumi/
ari Dite Pahing wuku Maktal/
guru wurukung gigise/
kanêm Kunthara Windu/
menjadi suci di tengah-tengah
bumi,
hari Dite Pahing wuku Maktal.
hari yang ketujuh,
mangsa ke enam Kunthara
54
leking Sura purnama siddhi/
Ehe sangkala ijrah/
nalika mangapus/
paksa karya wedha Nata/
cecarangan aluranireng leluri/
kang sinungsih ing suksma//
Windu.
bulan Sura ketika bulan purnama
dengan penanda tahun Ehe Ijrah.
ketika mengarang/
paksa karya wedha Nata
(1942).
cerita episode baru tentang
urutannya leluhur,
yang diberi berkah oleh Tuhan.
2 ginanjarkên ing sawiji-wiji/
para urun wijining Karatyan/
kang minangka bebukane/
nênggih Ki Agêng Tarub/
sajatine darah ing Pêngging/
putra Sri Dayaningrat/
ingkang kaping pitu/
dadya kalêrês kang raka/
lawan Prabu Dayaningrat kang
mungkasi/
ing Pêngging praja harja//
Diberikan satu persatu,
para urutan keturunan Karaton.
yang jadi pembukanya
yaitu Ki Ageng Tarub.
sejatinya keturunan dari
Pengging,
anak Sri Dayaningrat
yang ketujuh.
jadi urutannya sebagai kakak
dengan Prabu Dayaningrat yang
mengakhiri
di kerajaan Pengging.
3 marma Jaka Tarub tan dadya ji/
dene atmaja saking ampeyan/
amlasakên sayêktine/
laksaneng Kyagêng Tarub/
wiwit rare praptaning akir/
mangkana alurannya/
Anglingdriya Prabu/
peputra Pandaya Nata/
apeputra Andayaningrat Narpati/
Maka Jaka Tarub tidak jadi Raja,
adapun anak dari selir.
kasihan sejatinya
kehidupan Ki Ageng Tarub
dari kecil sampai akhir.
begini ceritanya,
Prabu Anglingdriya
berputra Raja Pandaya,
berputra Raja Andayaningrat
55
ingkang kaping sapisan//
yang pertama.
4 Narendra di ngrenggani ing Pêngging/
apeputra ping dwi Dayaningrat/
nulya peputra parabe/
Darmaraja Sang Prabu/
jumênêng neng Bojanagari/
peputra Selaraja/
asalin jejuluk/
Andayaningrat ping tiga/
angadani nagari ing Pajang Pêngging/
peputra Danaraja//
Raja berkuasa di Pengging
putranya kedua Dayaningrat.
lalu berputra namanya
Sang Prabu Darmaraja,
bertahta di Bojanagari.
berputra Selaraja
berganti nama
Andayaningrat III,
mengawali negeri di Pajang
Pengging.
berputra Danaraja,
5 Parab [2] Klana Tunjung Seta aji/
apeputra Sri Madu Sudana/
karta angalih kithane/
Salatiga winangun/
praja harja winastan Pêngging/
putra Madukusuma/
ngalih prajanipun/
aneng Pêngging samapura/
apeputra ngalih Salatiga malih/
Sri Panca Prabanggana//
Namanya Klana Tunjung Seta
aji,
putranya Sri Madu Sudana.
pindah kotanya
Salatiga dibangun,
kerajaan namanya Pengging.
anak Madukusuma
pindah kerajaannya
di Pengging.
putranya pindah Salatiga lagi,
Sri Panca Prabanggana.
6 Apeparab Dayaningrat aji/
apeputra Dewanjali Nata/
Andayaningrat parabe/
nulya peputra Prabu/
Darmastuti silih wawangi/
ping nêm Andayaningrat/
Namanya Dayaningrat aji,
berputra Raja Dewanjali.
Andayaningrat namanya
lalu berputra Prabu
Darmastuti berganti nama
Andayaningrat ke VI.
56
apeputra Prabu/
Brawa ngalih mring Bahrawa/
apeputra Brahmana Raja Narpati/
peputra Bratandriya//
berputra Prabu
Brawa pindah ke Bahrawa,
berputra Brahmana Raja Narpati,
berputra Bratandriya.
7 nulya Padmandriya asesiwi/
Prabu Tunjung Seta apeparab/
Dayaningrat kasaptane/
yeku sudarmanipun/
Kyai Agêng Tarub ing nguni/
mangkana caritanya/
Tunjung Seta Prabu/
duk ambabar ingkang garwa/
mijil priya ing warna kang langkung
pêkik/
arteng tyas yayah rena//
Lalu Padmandriya berputra
Prabu Tunjung Seta namanya
Dayaningrat ke VII,
yaitu bapaknya
Kyai Ageng Tarub namanya.
begini ceritanya,
Prabu Tunjung Seta
ketika melahirkan istrinya
lahir laki-laki dengan wajah yang
bagus.
menjadi kebanggaan ayah ibu.
8 nanging jru tênung para maharsi/
samya amêca Sang Narpatmaja/
diwasanira ing têmbe/
weh wirang mring ramebu/
marma mangkya karsanira ji/
putra pinaring marang/
Ki Buyud ing Tajug/
kaanggêp yoga priyangga/
sinung têngran Ki Jaka Bodho winarni/
kalawun-lawun gêngnya//
Tetapi dukun para pendeta
semua meramal Sang
Narpatmaja,
ketika dewasa besok
memberi duka kepada ayah ibu.
oleh karena itu jadi kehendaknya
anak diberikan kepada
Ki Buyud di Tajug.
dianggap anak sendiri,
dikasih nama Ki Jaka Bodho.
cepat sekali besarnya.
9 diwasanira tinari krami/
nanging Ja-[3]ka Bodho datan arsa/
kang rama gung pangudine/
Ketika dewasa disuruh menikah
tetapi Jaka Bodho tidak mau.
bapaknya bersungguh-sungguh
57
pinêksa datan ayun/
pinaripih mêksa tan konggih/
Ki Buyud kewran ing tyas/
awêkasan kaku/
putra yun rinuda paksa/
sinung karma nanging tan mawa tinari/
kinagetkên kewala//
memintanya.
dipaksa tidak mau,
dirayu dipaksa tidak
melaksanakan.
Ki Buyud tidak enak dihati.
dinasehati susah.
anak mau dipaksa,
dikasih karma tapi tidak mau
disuruh.
mengagetkan saja.
10 Jaka Bodho uninga ing wadi/
sungkaweng tyas: ratri nis wisata/
kalunta-lunta lampahe/
enjingira Ki Buyud/
uninga yen putranira nis/
tan karuwan parannya/
wau Kyai Buyud/
sigra tur uningeng Nata/
anising kang putra wit tinari krami/
rinuruh tan kapanggya/
Jaka Bodho dikasih tau yang
sebenarnya.
prihatin di hati: malamnya pergi
terlunta-lunta jalannya.
paginya Ki Buyud
mengetahui kalau anaknya pergi
tidak tau kemana.
lalu Kyai Buyud
segera memberi tau pada Ratu
perginya anak ketika disuruh
menikah.
dicari tidak ketemu.
11 Sri Narendra gumujêng miyarsi/
Kyai Buyud kinen pasrahing Hyang/
myang linilan mulih mangke/
mangkana kang winuwus/
Jaka Bodho kesahireki/
sêdya mring Pêngging Praja/
angawuleng Ratu/
Raja tertawa melihatnya.
Kyai Buyud disuruh berserah
pada Tuhan.
dengan rela nanti pulang.
begitu ceritanya.
Jaka Bodho pergi
mau ke kerajaan Pengging
mengabdi kepada Raja.
58
nanging kinuncanging Dewa/
aneng wana bingung tan uningeng
margi/
nusup mangayam malas//
tetapi dibuang Dewa,
di hutan bingung tidak tau jalan
kesasar kemana-mana.
12 kae Jaka sungkawa kapati/
mupusing tyas têmah tapa ngidang/
den papati sarirane/
samana duk andhalu/
wontên beji toyanya wêning/
tilase kambah janma/
anggraiteng kalbu/
lamun parêk lan padesan/
ayêming tyas sêdya asênêt neng beji/
nahan gantya winarna//
Jaka bersedih sekali
pasrah kepada takdir bertapa
seperti kidang.
bertapa badannya.
dahulu ketika malam,
ada kubangan airnya bening
bekas dipakai manusia.
mengira-ira di hati
jika dekat dengan pedesaan.
tentramnya hati melihat
kubangan.
lalu ganti cerita,
13 kang dhedhukuh aneng Sêkar Lampir/
Buyud Kidang Lancing namanira/
darbe pu-[4]trestri têngrane/
dyah Sumaji warna yu/
dhasar lagya mêpêg birahi prasaja
wiraganya/
sasolahe patut/
kadya gambar wawangunan/
cahya wênês dhatmika asêmu wiwit/
labêt trahing ngatapa//
Yang berdukuh di Sekar Lapir,
Buyud Kidang Lancing namanya.
mempunyai anak perempuan
namanya
putri Sumaji berparas cantik.
dasar polahnya seperti remaja
badannya
tingkahnya pantas
seperti parasnya.
cahaya gemilang lakunya
menyenangkan
dari keturunan pertapa.
14 duk samana dyah rara Sumaji/ Pada waktu itu putri Sumaji
59
arsa ngangsu adat maring sêndhang/
tanpa rowang nyangking june/
wanci sawusing bêdhug/
Jaka Bodho anon pawestri/
arta ngangsu mring sêndhang/
asênêdan gupuh/
tanpa titêbih prenahnya/
yata rara Sumaji praptaning beji/
tan taha laju siram//
mau mencari ke sendang.
tanpa teman membawa jun.
waktu sesudah jam 12 siang.
Jaka Bodho melihat perempuan
mencari air di sendang.
sembunyi tergesa-gesa.
tidak jauh tempatnya,
yaitu putri Sumaji sampai di
sendang
tidak takut langsung mandi.
15 Lukar wastra tan mawi ling-ngaling/
angalela pasariranira/
sarwa ramping sarandune/
dêdêg pangadêg turut/
Jaka Bodho duk aningali/
kasabêting asmara/
tyasnya rangu-rangu/
uyang saranduning angga/
tarataban ênar-ênar sênik-sênik/
wantuning durung bisa//
Lepas baju tidak pakai tutupan
jelas sekali badannya.
serba kecil badannya,
posturnya bagus.
Jaka Bodho ketika melihatnya
terkena asmara.
hatinya selalu terbayang-bayang,
panas sekujur tubuhnya
kaget tak karuhan.
ingin menyapa tidak bisa.
16 tambuh-tambuh sotaning kang ngati/
nanging rara Sumaji tan nyana/
yen ana janma anginte/
kaecan denira dus/
sarampunge adandan nuli/
kanang jun kinêbakan/
kae Jaka gugup/
medal saking pasênêdan/
amarpêki Sang Rêtna cinandhak wani/
Tidak peduli rasanya hati,
tetapi putri Sumaji tidak mengira
jika ada orang yang
mengintipnya.
keenakan olehnya mandi.
sesudahnya lalu berias,
junnya dipenuhi.
Jaka gugup
keluar dari persembunyian
menghampiri sang Retna
60
gumêtêr Sang Dyah rara//
dipegang dengan berani.
gemetar sang putri.
17 winasesa mring kakung ningsêti/
rehning kênya tan bisa suwala/
dadya sumarah sarehe/
karênan kalihipun/
nulya bawa karana sami/
sajarwa sowang [5] sowang/
sang kusuma mantuk/
Ki Jaka maluyeng wana/
kacarita Ki Jaka lan Sang Rêtna di/
sabên-sabên mangkana//
Dikuasai oleh pria terikat
hatinya,
putri tidak bisa melawan.
jadi pasrah,
senang hati keduanya.
lalu sama-sama senang,
diterangkan sendiri-sendiri.
sang putri pulang,
Ki Jaka berlari ke hutan.
diceritakan Ki Jaka dan Sang
Putri
setiap seperti itu.
18 sih siniyan tan agrahitani/
lama-lama Sang Dyah mangudara/
kang rama uninga kaget/
tinakenan tan ngaku/
rowangira anungku rêsmi/
duk arsa sinupatan/
Sang Dyah jrih umatur/
ing purwa madya wasana/
ruditeng tyas Ki Buyud sowan mring
Pêngging/
milênggahkên prakara//
Saling mengasihi tidak mengira.
lama-lama sang putri senang
sekali.
ayahnya melihatnya kaget
ditanya tidak mengaku
dia berpadu kasih.
saat mau disumpah,
sang putri bilang dengan
ketakutan
dari awal sampai akhir.
sedih di hati Ki Buyud pergi ke
Pengging
menjelaskan perkara
19 yen sutane cinidra ing rêsmi/
Apabila anaknya melanggar
aturan
61
dening raryya Tajug wismanira/
Jaka Bodho panênggrane/
sutanira Ki Buyud/
Sri Narendra aken nimbali/
Buyud Tajug wus prapta/
dinangu umatur/
yen Jaka Bodho punika/
putra Nata ingkang pinaringkên nguni/
kesah saparan-paran//
kepada anak Tajug rumahnya,
Jaka Bodho namanya
anaknya Ki Buyud.
Ratu menyuruh memanggil,
Buyud Tajug sudah sampai.
lama berbicara
jika Jaka Bodho itu
anak Raja yang dikasihkan dulu,
pergi tidak tau kemana.
20 duk miyarsa Nateng Pajang Pêngging/
meranging tyas yayah tan panon rat/
têmah kadadak krodhane/
dhawuh kinen angruruh/
arta katrap pidana pati/
sandika kang ing agnya/
sêmana Ki Buyud/
Kidang Lancing pinaringan/
kang minangka dhêndhang mas salawe
kati/
sartane dhinawuhan//
Ketika Raja Pajang Pengging
mendengar,
melawan hati sebagai ayah tidak
melihat jagat.
kejadiannya mendadak nafsunya
lalu disuruh sabar.
dihukum pidana mati,
begitu perintahnya.
itu Ki Buyud
diberi Kidang Lancing
yang ketika racun mas 25 kati,
dan juga diperintahkan
21 kinen mupus karsaning Dewa di/
Buyud Kidang Lancing wus narima/
wotsari umantuk age/
yata Buyud ing Tajug/
lawan wadya bala ing Pêngging/
denira angupaya/
Disuruh menerima kehendak
Dewa.
Buyud Kidang Lancing sudah
menerima,
menyembah lalu pulang.
yaitu Buyud di Tajug
melawan prajurit di Pengging,
olehnya mengupaya
62
Jaka Bodho wau/
pinarênca la-[6]mpahira/
ngaler ngidul ngetan ngulon tan
kapanggih/
samya kengran ing driya//
Jaka Bodho tadi
sedih lakunya,
utara selatan barat timur tidak
ketemu.
sama sedih di hati.
22 Kyai Buyud gya mring Sêkar Lampir/
kanan keringira sinalasah/
kapanggih duk linggih dhewe/
neng madyaning wana gung/
Kyai Buyud nalika uning/
tyasira lir sinêndhal/
kang putra rinangkul/
sarta dahat tinangisan/
Jaka Bodho kararantan anglut tangis/
kang mulat angresing tyas//
Kyai Buyud lalu ke Sekar
Lampir,
kanan kirinya dicari terus
menerus.
bertemu ketika duduk sendiri
di tengahnya hutan besar.
Kyai Buyud ketika tau
hatinya seperti hancur.
sang anak dirangkul
serta menangis.
Jaka Bodho keronta-ronta ikut
menangis,
yang melihat sakit rasanya hati.
23 Tan winarna tingkahing prihatin/
nulya binêkta sumiweng Nata/
Sri Tunjung Seta kalane/
uningeng Raja sunu/
krodhanira arsa nêkani/
yun lumunasing putra/
pra santana gugup/
anggendholi lan karuna/
mantri muka myang para punggawa
mantri/
ngrerapu duka Nata//
Tidak diceritakan lakunya
prihatin.
lalu dibawa menghadap Raja.
Sri Tunjung Seta waktunya
tau anaknya Raja.
nafsunya ingin mendatangi
mau membunuh anaknya.
para santana takut,
menahannya dan menangis.
patih dan para punggawa
menenangkan kemarahan Raja.
63
24 Kyana-Patih matur nyalokani/
sagalak-galakane ya macan/
tan kolu mangsa sutane/
rereh tyasira Prabu/
Jaka Bodho grahiteng ati/
yen dudu sutanira/
Ki Buyud ing Tajug/
sajatine putra Nata/
kacarita pidanane Raja siwi/
mung tinundhung sing Praja//
Kyana-Patih mengumpamakan,
segalak-galaknya harimau
tidak mau memangsa anaknya.
reda hatinya Prabu.
Jaka Bodho mengerti dihati
jika bukan anaknya
Ki Buyud di Tajug.
sejatinya anak Raja.
diceritakan hukumannya anak
Raja,
hanya disuruh pergi dari
Kerajaan.
25 Datan kêna mangambahing Pêngging/
ayya nayun kandhêgan kampiran/
wus warata parentahe/
Ki Jaka kesah sampun/
kawlas arsa samargi-margi/
anggung kinuya-kuya/
samana sang bagus/
mring Sêkar Lampir kapanggya/
[7] lawan rara Sumaji angsung
wawarti/
sagunging lalampahan//
Tidak boleh berada di Pengging.
jangan berhenti langsung pergi.
sudah lama perintahnya.
Ki Jaka pergi sudah
kasihan di sepanjang jalan
selalu diusir.
ketika itu Sang bagus
ke Sekar Lampir bertemu
dengan putri Sumaji untuk
memberi kabar
semua lakunya.
26 Mangkya arsa maring Majapait/
rara Sumaji langkung sungkawa/
amlas-asih sesambate/
sêdyanira tumutur/
nanging datan linilan dening/
manawa kawênangan/
Lalu mau ke Majapait.
putri Sumaji lebih prihatin,
memelas ceritanya.
niatnya berbicara
tetapi tidak rela kepadanya.
apabila ketahuan
64
sayêkti tan ayu/
kinen saranta kewala/
datan lami sayêktine wangsul malih/
marêm tyas sang kusuma//
sejatinya tidak selamat.
disuruh sabar saja,
tidak lama sejatinya pulang lagi.
lega hati sang putri.
27 Mangkya Jaka Bodho mangkat nuli/
lampahira gung kalunta-lunta/
tan winarna reroncene/
prapta ing Majalangu/
pinet suta mring Supagati/
anggung winulang-wulang/
pakartining êmpu/
tan tama sampun widagda/
karêmênên Ki Jaka apandhe kêris/
lipur sungkawanira//
Lalu Jaka Bodho berangkat,
lakunya terlunta-lunta.
tidak diceritakan semuanya.
sampai di Majalangu,
disuruh anak ke Supagati.
selalu dinasehati
budi pekertinya
tidak utama sudah pintar.
suka sekali Ki Jaka memandai
keris.
pelipur laranya.
28 Nahan mangkya gantya kang winarni/
Buyud Kidang Lancing duk miyarsa/
yen Jaka Bodho ing mangke/
wus pinidana tundhung/
Kyai Buyud sêdya nimbangi/
rêmbag lan para warga/
sutanya tinundhung/
rara Sumaji wus kesah/
sêdyanira sumusul mring Majapait/
lampahe kawlas arsa//
Begitu lalu ganti yang bercerita,
Buyud Kidang Lancing ketika
mendengar
jika Jaka Bodho nanti
sudah dihukum diusir.
Kyai Buyud mau menandingi
berbicara dengan para warga
anaknya diusir.
putri Sumaji sudah pergi.
niatnya menyusul ke Majapait,
lakunya kasihan.
29 Pan wus sêpuh denira garbini/
yata prapteng wana kapanasan/
Sang Dyah babar wawratane/
Ia sudah hamil tua.
sampai di hutan kepanasan,
sang putri melahirkan.
65
mijil jalu abagus/
ngingêmasi rara Sumaji/
babayi guladrahan/
neng daganing ibu/
kongsi sawatara dina/
kawlas arsa risak kang kunarpa keksi/
yata ing-[8]kang winarna//
lahir lelaki tampan.
meninggallah putri Sumaji.
bayinya berlumuran darah
di antara kakinya ibu.
sampai berhari-hari,
kasihan sekali mayat rusak yang
terlihat.
yaitu yang diceritakan.
30 Sudarmane Buyud Sêkar Lampir/
Buyud Selandaka ing Sesela/
misaya paksi karyane/
sajuga ari nuju/
marang wana misaya paksi/
anyangking tetulupan/
praptaning wana gung/
kadya kinuncanging Dewa/
lampahira gung kalunta-lunta prapti/
ing wana kapanasan//
Baik hati Buyud Sekar Lampir.
Buyud Selandaka di Sesela
mencari burung yang diincarnya
seharian.
menuju hutan mencari burung,
membawa tulup.
sampai dihutan yang besar,
seperti digoncang Dewa
lakunya besar terlunta-lunta
sampai
di hutan kepanasan.
31 Kagyat aningali jabang bayi/
gêladrahaning dagan kunarpa/
nanging wus risak kang wangke/
dadya pangling Ki Buyud/
maring wayahira pribadi/
Ki Buyud langkung wêlas/
ki jabang sinambut/
ingêmban paningsêtira/
cindhe sêkar arsa binêkta umulih/
Kaget melihat jabang bayi
berlumuran darah diantara dua
kaki.
tetapi sudah rusak jasadnya.
menjadi pangling Ki Buyud
kepada cucunya sendiri.
Ki Buyud lalu kasihan,
bayinya dibawa
digendong di bawah sabuknya
cindhe sekar mau dibawanya
pulang.
66
wangke ing ngupakara//
jasadnya dirawat.
32 Wus pinêtak neng saloring kali/
Kyai Buyud laju sarwi ngêmban/
nulya kapapag lampahe/
kidang wulung linuhung/
asungu mas taracak rukmi/
netranira kumala/
Ki Buyud kayungyun/
gya binujung kidang mêsat/
saparane arina gung den tutwuri/
dadya kalunta-lunta//
Sudah dikubur di utara sungai.
Kyai Buyud jalan sambil
menggendong,
lalu dijemput jalannya.
kidang wulung yang luhur
bertanduk emas indah sekali.
matanya bercahaya.
Ki Buyud tergila-gila
lalu diburu kidangnya lari.
sesampainya kidang besar
mengikuti di belakang
jadi terlunta-lunta.
33 Dupi prapteng tanah Tarub mangkin/
kidang musna wontên ing patapan/
Ki Buyud langkung cuwane/
tambuh paraning bêndu/
dangu-dangu mring jabang bayi/
ginawa tanpa karya/
denya yun amupu/
lare tambuh kang ngayoga/
jabang bayi sineleh soring giyanti/
Ki Buyud nulya kesah//
Ketika sampai di Tarub nanti,
kidang hilang ada di pertapaan.
Ki Buyud menyesal sekali
tidak tau arahnya kesedihan.
lama-lama kepada jabang bayi
dibawa tanpa kerjaan
olehnya mengangkat anak.
anak tidak tau bapaknya.
jabang bayi ditaruh di bawah
pohon
Ki Buyud lalu pergi.
34 Andugekên denira ngulari/
ki-[9]dang sungu mas netra kumala/
jabang tinilar ngaleleh/
kamantyan kawlas ayun/
sampai olehnya mencari,
kidang tanduk emas matanya
bercahaya.
bayi ditinggal kelaparan.
kasihan sekali dia
67
galasaran neng ngisor giyanti/
mangkana kang winarna/
ni randha ing Tarub/
malêming Anggara tresna/
mijil maring latar wanci madya ratri/
wrin cahya mrabangkara//
tidak terpelihara di bawah pohon.
begitu yang diceritakan.
ni randha di Tarub,
malam Anggara tresna
keluar ke halaman waktu tengah
malam,
tahu cahaya sumorot.
35 Prênah pratapaning laki nguni/
duk pinaran kang ngamawa cahya/
babayi pêkik warnane/
tantaha gya sinambut/
dyan binêkta mulih mring panti/
yata karsaning Dewa/
ni randha ing Tarub/
tuwuh kang toya sêsêpan/
sapraptaning wisma jabang bayi nuli/
dinadah sinusonan//
Sampai di pertapaannya
suaminya,
ketika didatangi yang bercahaya.
bayi bagus wajahnya.
tanpa sadar digendongnya
lalu dibawa pulang ke rumah.
iya kehendak Dewa,
ni randha di Tarub
tumbuh air susunya.
sesampainya di rumah lalu bayi
diberi susu.
36 Marêm kadya manêsêping umi/
yata sarêng enjinge prajanma/
ing Tarub sami akaget/
miyarsa denya muwun/
kae jabang gya sami prapti/
winartan langkung suka/
cinêndhak kang catur/
diwasanira Ki Jaka/
karan Jaka Tarub ing warna rêspati/
pêkik mawa ujwala//
Puas seperti menghisap dari ibu.
iya paginya para warga
di Tarub kaget semuanya
mendengar olehnya menangis.
itu bayi segera datang.
dikabarkan lebih suka.
singkat cerita,
dewasanya Ki Jaka
dipanggil Jaka Tarub yang
berwajah tampan
bagus bercahaya.
68
37 Palakrama antuk widadari/
suwarnendah ran Dyah Nawangwulan/
karsane ni randha mangke/
lênggah Buyud ing Tarub/
kang sinuwunakên mring Pêngging/
kang putra Raden Jaka/
mangkana Sri Prabu/
Andayaningrat wêkasan/
duk samana wus winêling mring rama
ji/
yen ing Tarub ki Jaka//
menikah mendapatkan bidadari
cantik sekali bernama Dyah
Nawangwulan.
maunya ni randha nanti,
tahta Buyud di Tarub
yang dimintakan ke Pengging
yang putra Raden Jaka.
begitu Sri Prabu
Andayaningrat akhirnya
ketika itu sudah diingatka oleh
bapaknya
jika di Tarub Ki Jaka
38 Iku kadange wreda pribadi/
marma panyuwunira ni randha/
Narendra wus marengake/
malah sinung jejuluk/
Kyai A-[10]geng Tarub ing nguni/
mangkana Nyai randha/
dahat suka sukur/
kang putra wus sinojaran/
sajatine dudu sutane pribadi/
putreng Sri Dayaningrat//
Itu saudaranya tua sendiri.
maka dari itu permintaannya ni
randha,
Raja sudah mengijinkan.
malah dikasih nama
Kyai Ageng Tarub.
begitu Nyai randha
bersyukur sekali.
yang anak sudah dikasih tau
sebenarnya bukan anak kandung,
anaknya Sri Dayaningrat.
39 Dadya lan Sri Dayaningrat mangkin/
kadang wreddha Ki Agêng duk myarsa/
têmah karantan driyane/
kapingin dadya Ratu/
gantya waris praja ing Pêngging/
Jadi hubungan dengan Sri
Dayaningrat nanti.
saudara tua Ki Ageng ketika
mendengarkan
memang terlunta-lunta hatinya.
ingin menjadi Raja
menggantikan ahli waris kerajaan
69
Ki Agêng duk samana/
tapane ginêntur/
kongsi ing dalêm tri candra/
neng asrama tanpa nadhah tanpa
guling/
anggung manungku puja//
Pengging.
Ki Ageng ketika itu
tapanya gentar
sampai mencapai tiga bulan.
di asrama tanpa makan tanpa
tidur,
hanya semedi memuja.
40 Antuk wangsiting Jawata luwih/
amiyarsa swara lamat-lamat/
yen Kyai Agêng yêktine/
tan wignya madêg Ratu/
mung turune ingkang pinasthi/
ambawani rat Jawa/
lulus run-tumurun/
awit turun lima babad/
nêm mancapat turun pitu mawat yêkti/
kaastha Amangkurat//
Mendapat wangsit dari Dewa
mendengarkan suara samar-
samar,
jika Kyai Ageng sejatinya
tidak pintar menjadi Raja.
hanya keturunannya yang pasti
menguasai Tanah Jawa.
selalu dari keturunannya
mulai dari keturunan lima cerita
6 manca negara turunan 7 terus
menjadi raja,
kedelapan Amangkurat.
41 Nanging ana saranane yêkti/
met amitra Prabu Brawijaya/
têlasing kang swara mangke/
prapta kang ganda arum/
Kyai Agêng maluyeng wanti/
wewarta maring garwa/
samya sukeng kalbu/
wus mangkana anggupita/
denirarsa met mitra Sri Majapait/
Tetapi ada sarananya sejatinya
mencari teman Prabu Brawijaya.
habisnya suara nanti,
tercium bau harum.
Kyai Ageng menjawab dengan
serius.
memberi berita kepada istrinya
sama suka di hati.
sudah begitu karangannya.
keinginannya mencari teman Sri
Majapait,
70
paran sarananira//
mencari sarananya.
42 Bisa dadya mitraning Narpati/
dahat ribêng Ki Agêng tyasira/
Dyah Nawangwulan nulyage/
mangsah mursiteng kalbu/
ameminta ing dewa luwih/
katrima sanalika/
pinaringan sampun/
cu-[11]pu manik asthagina/
ing jro isi gambaring kang sawarga di/
lan nraka saisinya//
Bisa jadi temannya Raja,
Ki Ageng riba hatinya.
Dyah Nawangwulan langsung
melawan membatin di hati.
meminta kepada Dewa,
diterima seketika itu juga
diberikan sudah
cupu manik asthagina,
di dalamnya ada gambarannya
surga
dan neraka seisinya.
43 Miwah gambaring bumi lan langit/
saisine nora kekurangan/
ing ngaturkên mring lakine/
Ki Agêng sukeng kalbu/
Sang Rêtna yu nulya akardi/
bajo lawan calana/
apelag sadarum/
sartane tanpa dodoman/
Kyai Agêng sukane wardaya kadi/
manggih manggala gita//
Dan gambarannya bumi dan
langit
seisinya tidak ada yang kurang.
dibicarakan kepada suaminya,
Ki Ageng senang hatinya.
Sang Retna lalu melakukannya,
baju dan celana
bagus semuanya
dan juga tanpa jahitan.
Kyai Ageng suka hatinya seperti
bertemu dengan keberuntungan.
44 Sigra sowan maring Majapait/
anjujug mring Patih Gajahmada/
angaturkên sasêdyane/
kerit1 marêk Sang Prabu/
dinangu wus matur sagunging/
Lalu pergi ke Majapait
langsung ke Patih Gajahmada
mengaturkan niatnya.
ikut masuk mendekat sang Prabu,
ditanya sudah bilang semua
1 kerid
71
sêdyanira kang prapta/
kang cecupu katur/
kawaca miwah calana/
Prabu Brawijaya suka aningali/
sesining Asthagina//
niatnya sampai selesai.
yang cupu juga dilaporkan
baju dan celana.
Prabu Brawijaya suka
melihatnya,
seisi bumi Asthagina.
45 Bajo calana rinasuk sami/
saplak tan ana ninang samêndhang/
kapirênan tyas pamase/
myang dahat ngungunipun/
dene tanpa dodoman sami/
dinangu kang akarya/
Ki Agêng turipun/
semahira waranggana/
apanêngran sang Rêtna Anawangsasi/
miwah kang Asthagina//
Baju celana masuk semua
persis tidak ada yang beda
sedikitpun.
senang hatinya Raja
dengan tidak percaya sekali
apabila tanpa jahitan semua.
lama yang membuat.
Ki Ageng bicaranya
istrinya bidadari
namanya sang Retna
Anawangsasi.
dan yang Asthagina
46 Peparinge Dewa maring rabi/
sangsaya sru sukaning wardaya/
karsendra Ki Agêng mangke/
pinet kadang nom mungguh/
pinaringan pusaka warni/
wangkingan ingkang nama/
Kyai Condhong Campur/
minangka tetali satya/
myang kinarya pangengêt-engêt karsa
ji/
sing condhonging wardaya//
pemberian Dewa kepada istrinya.
lebih suka hatinya.
kehendak Ki Ageng nanti,
diangkat sebagai saudara muda
dikasih pusaka wujudnya
keris yang bernama
Kyai Condhong Campur.
ketika ditali kencang
dengan digunakan untuk
mengingatnya
yang cocok dengan hati.
72
47 Kyai Agêng tyas marwata siwi/
[12]cipta tuhu wêcaning Bathara/
tan winarna reroncene/
panyuba-nyubanipun/
kongsi prapta kawandasa ri/
Ki Agêng wus kalilan/
maluya ring Tarub/
panggih lan garwa wewarta/
salwiring reh dahat arsayaning kapti/
mangkana cinarita//
Kyai Ageng hatinya suka sekali.
cita-cita nyata kata Bathara,
tidak diceritakan alurnya.
menghormati sekali.
sampai 40 hari
Ki Ageng sudah ikhlas.
pulang ke Tarub
bertemu dengan istrinya
mengabarkan
sesudah perkaranya selesai
senang sekali.
begini diceritakan
48 Kyai Agêng wus peputra mangkin/
mijil wanodya endah kawuryan/
wus tan pae lan ibune/
mawa ujwala mancur/
angêsorkên gêbyaring sasi/
ramebu langkung suka/
prapta mangsa dhaup/
lan raden Bondhan Kajawan/
samuksane martuwa Raden gumanti/
neng Tarub mong wibawa//
Kyai Ageng sudah berputra
nanti,
lahir perempuan indah sekali.
sudah tanpa bapak dan ibunya
memakai cahaya yang sumorot.
mengalahkan cahaya bulan.
bapak dan ibu pasti senang.
sampai waktunya menikah
dengan Raden Bondhan
Kajawan.
meninggalnya mertua, Raden
menggantikan
di Tarub orang yang dihormati.
49 Sih siniyan lan garwa Dyah adi/
yayah mimi lawan kang mintuna/
tan kêna sah saparane/
ri ratri runtung-runtung/
enggal ingkang kandha winarni/
Saling mengasihi dengan istrinya
seperti mimi dan mintuna.
tidak bisa pisah kemanapun.
ketika malam selalu bersama.
baru yang bilang bercerita,
73
apatutan tetiga/
kang asêpuh jalu/
Dyan Dhukuh peparabira/
nyakabat mring susunan majagung
nguni/
pinet mantu priyangga//
anaknya tiga
yang tua laki-laki
Dyan Dhukuh namanya.
berteman dengan Sunan
Majagung,
diambil mantu sendiri.
50 Sinung nama Seh Ngabi Bulahi/
adedalêm aneng Wanasaba/
dadya kasêbuting ngakeh/
Kyagêng Wanasabeku/
arinira jalu warna di/
Raden Dhepok panêngrat/
taruna linuhung/
karêming agama Islam/
anyakabat mring Sunan Majagung ugi/
pinundhut mantu pisan//
Diberi nama Seh Ngabibulahi
rumahnya di Wanasaba.
jadi terkenal dimana-mana
Kyageng Wanasaba.
adiknya lelaki
Raden Dhepok panengrat.
pemuda yang luhur
suka dengan agama Islam.
berguru kepada Sunan Majagung
juga,
diambil menantu juga.
51 Antuk putranira kang taruni/
pinaringan nama Seh Ngabdullah/
lan sinungan wisma mangke/
Gêtas Pandhawa dhukuh/
dadya karanraning [13] asrami/
Kyagêng Gêtas Pandhawa/
estri kang waruju/
anama Rara Kasiyan/
cahya wênês warnendha raras rêspati/
tinon maweh asmara//
Dapat anaknya yang muda,
diberi nama Seh Ngabdullah
dan dikasih rumah nanti
Getas Pandhawa Dhukuh.
jadi terkenal dengan pertapaan
Kyageng Getas Pandhawa.
perempuan yang ragil
namanya Rara Kasiyan.
cahaya bersih indah di hati
dilihat memberikan cinta.
ASMARADANA
1 Gantya kang winurweng kawi/ Ganti yang diceritakan,
74
mas Panjawi ing Santênan/
trahing Arab sajatine/
campur trahing Majalêngka/
mangkana alurannya/
duk jaman Dêmak ing dangu/
wontên trahing Rasullulah//
mas Panjawi di Santenan.
keturunan Arab sejatinya
campur keturunan Majalengka.
begini ceritanya.
ketika jaman Demak dahulu
ada keturunan Rasulullah.
2 Nama Mulana Mahribbi/
ngajawi nusul ing kadang/
kang nama Kalipah Kusen/
panggya Sunan Ngampel dênta/
kanggêp pamitranira/
pinikramakakên antuk/
suteng Arya Teja Tuban//
Namanya Maulana Mahribbi,
ke Jawa menyusul saudaranya
yang bernama Kalipah Kusen.
bertemu dengan Sunan Ngampel,
dianggap temannya sendiri.
menikah mendapatkan
anak dari Arya Teja Tuban.
3 Dupi ing ngantara lami/
pinarnahkên unggyanira/
neng Bantên dadya imame/
engggaling crita samana/
apeputra sakawan/
ingkang asêpuh jejuluk/
Pangeran Seh Aji Duta//
Ketika sudah lama,
ditinggalkan tempatnya
di Banten jadi imamnya.
diceritakan pada zaman itu
berputra empat.
yang tua bernama
Pangeran Seh Aji Duta.
4 Panênggakira wewangi/
Pangeran ing Adipurwa/
nulya sumêndhi arane/
Pangeran ing Ngadirêja/
waruju Kyagêng Ngêrang/
punika nulya kamantu/
ing Raden Bondhan Kajawan//
Yang kedua bernama
Pangeran di Adipurwa.
lalu adiknya bernama
Pangeran di Ngadireja.
yang ragil Kyageng Ngerang
itu lalu dijadikan menantu
oleh Raden Bondhan Kajawan.
5 Antuk putra kang wuragil/ Dijodohkan dengan putri yang
75
awasta rara Kasiyan/
panggih samya wuragile/
sih siniyan denya krama/
apatutan tetiga/
pambajêng estri warna yu/
kagarwa Ki Agêng Sela//
bungsu
bernama Rara Kasiyan.
bertemu sama bungsunya.
saling mengasihi olehnya
menikah.
mempunyai anak tiga,
yang pertama perempuan cantik
diperistri Ki Ageng Sela.
6 Nyi Gêng Sela nem wewangi/
dene dadya garwa mudha/
garwa kang wreddha putrane/
Kyai Agêng Wanasaba/
samya panggya nak-sanak/
[14] putreng uwa ingkang sêpuh/
putreng bibi kang taruna//
Nyi Geng Sela muda namanya.
walaupun jadi istri muda,
istri yang tua anaknya
Kyai Ageng Wanasaba.
sama bertemu saudara sekakek,
anak dari saudara yang tua.
anak dari bibi yang muda.
7 Kang patutan Ki Agêng Nis/
yeku garwa kang taruna/
wau Nyi Agêng Sela nem/
arine ran Kyagêng Ngêrang/
nunggak semi kang rama/
Nyi Gêng Kêmiri waruju/
Ki Agêng Ngêrang winarna//
Yang berputra Ki Ageng Nis
yaitu istri yang muda.
tadi Nyi Ageng Sela muda
adiknya bernama Kyageng
Ngerang.
mengikuti jejaknya bapak.
Nyi Geng Kemiri yang bungsu.
Ki Ageng Ngerang diceritakan,
8 Agung atalabul ngêlmi/
ngawula mring Kalijaga/
Jêng Sunan dahat asihe/
dhasar samya darah Tuban/
marma nora bebakal/
luas ilmunya
mengabdi kepada Kalijaga.
Jeng Sunan sangat sayang.
dasarnya sama darah dari Tuban,
makanya tidak menjadi cikal
bakal.
76
Ki Agêng pinundhut mantu/
patutan nêm kathahira//
Ki Ageng dijadikan menantu
berputra enam orang banyaknya.
9 Ingkang asêpuh wewangi/
Panêmbahan Agung nulya/
Pangran Kalijênarane/
tumuli Ki Agêng Ngêrang/
nunggak semi ing rama/
nulya ing Ngêrang Ki Buyud/
Kyagêng Ngêrang sumêndhinya//
Yang tua bernama
Panembahan Agung, lalu
Pangeran Kalijenar namanya,
lalu Ki Ageng Ngerang
sama seperti bapaknya,
lalu di Ngerang Ki Buyud
Kyageng Ngerang adiknya.
10 Wuragilira pawestri/
Nyai Gêng Sapupa nêngran/
Kyagêng Ngêrang winiraos/
kamantu Ki Agêng Sela/
dadya panggih nak-sanak/
denya palakrama runtut/
patutan jalu utama//
Yang bungsu perempuan
bernama Nyai Geng Sapupa.
Kyageng Ngerang dirasa
jadi mantu Ki Ageng Sela.
jadi bertemu saudara sekakek.
olehnya pasangan suami istri
urut,
berputra laki-laki utama
11 Anama Ki Mas Panjawi/
karêm ing kaprajuritan/
jinurung maring buyute/
Jêng Susunan Kalijaga/
anggung ginulang-gulang/
pratingkahing aprang pupuh/
myang saliring aji jaya//
Bernama Ki Mas Panjawi.
menyukai keprajuritan,
didukung oleh kakeknya
Jeng Sunan Kalijaga.
selalu berlatih
bagaimana cara berperang
dengan semua jenis strategi
untuk menang.
12 Sarênganira antuk sih/
nyakabat mring Jêng Susunan/
Bersamaan dengan itu
mendapatkan kasih
berguru kepada Jeng Sunan.
77
putreng Kyagêng Nis namane/
Kyai Agêng Pamanahan/
lan putra Kyagêng Saba/
anama Kiyai Juru/
katri wus samya prasêtya//
anak dari Kyageng Nis namanya
Kyai Ageng Pamanahan
dan anak Kyageng Saba
namanya Kiyai Juru.
ketiganya sangat setia,
13 [15] umanjing sudara wedi/
samya ngawuleng Narendra/
ing Pajang panjênêngane/
Sultan Adi Awijaya/
dahat samya siniyan/
dhasare atunggil guru/
samya sisweng Kalijaga//
Sudah seperti saudara kandung.
sama mengabdi kepada Raja.
di Pajang beliaunya
Sultan Adi Awijaya
sama-sama saling mengasihi.
dasarnya tunggal guru,
sama murid dari Kalijaga.
14 Rinakêt kanulit daging/
pinarcayeng ngambah pura/
langlang pringga pakaryane/
dadya lurahing tamtama/
denya samya prawira/
kalokeng jana linuhung/
animpuna ing aguna//
Dekat seperti kulit dan daging.
dipercayai memasuki keraton,
berkeliling menjaga
pekerjaannya.
jadi pemimpin prajurit pilihan.
olehnya sama pemberani.
terkenal oleh orang luhur
sangat pintar sekali.
15 Dene Ki Juru Martani/
mung minangka tuwanggana/
katri tan pisah parane/
sasat sabadan sanyawa/
mangkana cinarita/
Sultan duk ardayeng kalbu/
dening bebananing raka//
adapun Ki Juru Martani
hanya ketika memimpin.
ketiganya tidak berpisah
kemanapun.
ibarat setubuh senyawa.
demikian diceritakan.
Sultan ketika ada rasa di hati,
meminta kepada anak.
78
16 Garwa Kalinyamat swargi/
Mas Ratu ing Kalinyamat/
anggubêl minta pêjahe/
Arya Panangsang ing Jipang/
denya nglunas kang garwa/
myang nyedani kadangipun/
yeku Jêng Sunan Prawata//
suami almarhum Kalinyamat,
Mas Ratu di Kalinyamat
memelas meminta matinya
Arya Panangsang di Jipang.
olehnya membunuh suaminya
dan membunuh saudaranya,
yaitu Jeng Sunan Prawata.
17 Rehning Jipang praja alit/
yêkti saru kaswareng rat/
yen Sultan nindaki dhewe/
nanging kang para Dipatya/
tan ana wani nglawan/
mring Arya Panangsang wau/
dening sakti mandraguna//
meskipun Jipang kerajaan kecil,
sebenarnya tidak pantas
diketahui jagad
apabila Sultan bertindak sendiri.
tetapi yang para Adipati
tidak ada yang berani melawan
kepada Arya Panangsang
karena sakti mandraguna.
18 Jêng Sultan emêng ing galih/
wêkasan Ki Pamanahan/
lan Ki Panjawi sêdene/
Ki Juru Saeka Praya/
sagah samangsa mangsa/
dinuta nyirnakên ripu/
Jêng Sultan kalangkung suka//
Jeng Sultan bingung hatinya.
akhirnya Ki Pamanahan
dan Ki Panjawi dan juga
Ki Juru Saeka Praya
berjanji sewaktu-waktu
diutus menghancurkan musuh.
Jeng Sultan sangat senang.
19 Kalampahan dadya jurit/
sira Ki Arya Panangsang/
kêni paekan patine/
wus katur [16] ing Kangjêng Sultan/
dahat sukaning driya/
Ki Panjawi ginanjar wus/
tercapai menjadi prajurit.
dia Ki Arya Panangsang
berhasil ditipu, kematinya
sudah disampaikan ke Kangjeng
Sultan.
sangat suka hatinya.
Ki Panjawi mendapatkan hadiah
79
ing Pathi nagari harja//
sudah
di kerajaan Pati.
20 Pamanahan ing Matawis/
misih wana tarataban/
ing Pathi winarna mangke/
Mas Panjawi wus wibawa/
Ki Agêng Pathi rannya/
darbe putra wanodya yu/
kagarwa Jêng Senapatya//
Pamanahan di Matawis
masih hutan belantara.
di Pati diceritakan
Mas Panjawi sudah bertahta,
Ki Ageng Pati namanya.
punya anak cantik
diperistri Jeng Senapati.
21 Patutan Sri Narapati/
ingkang seda ing Karapyak/
nênggih punika campure/
Panjawi lan Pamanahan/
dadya jiwa saraga/
lulus denira anggambuh/
ing Pathi lawan Mataram//
berputra Sri Narapati
yang seda ing Krapyak.
itu tunggalnya
Panjawi dan Pamanahan,
jadi jiwa seraga
tulus ketika sudah bersama
di Pati dan Mataram.
GAMBUH
1 Nahan gantya winuwus/
Nateng Pajang ing sajatinipun/
trah tumêrah darahing Nata linuwih/
Pêngging mandhala praja gung/
among kang rama sang katong//
Lalu ganti yang diceritakan,
Raja di Pajang sebenarnya
turun temurun darah dari Raja
besar.
Pengging tempat kerajaan besar,
hanya yang bapak sang Raja
2 Kang tan jumênêng Ratu/
dadya Bupati manca ing dangu/
pasêbutaning asma Ki Agêng Pêngging/
yeku putranira Prabu/
Yang tidak menjabat Raja.
menjadi Bupati luar kerajaan
yang lama,
namanya Ki Ageng Pengging
yaitu anaknya Prabu
80
Andayaningrat kinaot//
Andayaningrat.
3 Ingkang wêkasan iku/
putranira Dayaningrat Prabu/
kang minantu dening Balambangan aji/
mangsuli cariteng ayun/
ing Tajug Ki Jaka Bodho//
Yang terakhir itu
putra Prabu Dayaningrat,
yang dijadikan mantu oleh Raja
Blambangan.
melanjutkan ceritanya
Ki Jaka Bodho di Tajug.
4 Nalikanya ingukum/
dening Rama Tunjung Seta Prabu/
tan kalilan ngambah sabawahing
Pêngging/
kalunta-lunta anglangut/
prapteng Majapait manggon//
Ketika dihukum
oleh ayah Prabu Tunjung Seta,
tidak sampai hati melewati
daerah Pengging.
terlunta-lunta sekali
sampai di daerah Majapait.
5 Ngawuleng Supa êmpu/
duk tetuwi kadangira sêpuh/
kang awisma a-[17]neng Balambangan
Nagri/
samana kang madêg Ratu/
Sri Kalagrejita katong//
Mengabdi kepada Empu Supa.
saat menjenguk saudara tuanya
yang bertempat di Blambangan.
ketika itu yang bertahta
Raja Sri Kalagrejita
6 Adarbe putri ayu/
Rêtna Kelasmani parabipun/
wus diwasa tinari krama tanapti/
ature mring Rama Prabu/
purun krama ywantuk Bodho//
berputri cantik,
Retna Kelasmani namanya.
sudah dewasa ditawari menikah
tidak mau.
katanya kepada Rama Prabu,
bersedia menikah hanya dengan
Bodho.
7 Peparing ing Dewa gung/ dianugrahkan oleh Dewa
81
satriya di atmajaning Ratu/
Prabu Kalagrejita kewraning galih/
anggung mursiteng panungku/
ingkang tinêdha ing batos//
satria besar putra Raja.
Prabu Kalagrejita sedih hatinya.
besar ceritanya
yang merasuk di batin.
8 Jodhoning putranipun/
ginampangna karsaning Dewa gung/
datan lama antuk wangsiting Dewa di/
kalangênanira manuk/
kinen maringkên sang sinom//
Jodoh anaknya
diberi kemudahan kepada
kehendak Dewa.
tidak lama mendapatkan
petunjuk dari Dewa,
binatang peliharaan burung
disuruh diberikan kepada putri.
9 Gurundaya ranipun/
den uculna kang kencokan iku/
kang pinasthi jatu kramaning sang
putri/
prapteng jaman akir besuk/
anêdhakkên para katong//
Gurundaya namanya.
dilepaskan yang dihinggapi itu
yang pasti menjadi jodohnya
sang putri.
sampai jaman akhir nanti
menurunkan para Raja.
10 Binathareng rat tuhu/
mangka pepundhening para Ratu/
Prabu Kalagrejita arsayeng galih/
animbali garwa sunu/
jinatosan liring raos//
Raja yang menguasai jagad,
maka leluhurnya para Raja.
Prabu Kalagrejita senang hatinya.
memanggil anak istrinya,
menceritakan yang dirasanya.
11 Wangsiting Jawata gung/
garwa putra sukeng tyas kalangkung/
linaksanan samana kang pasanggiri/
kathah ingkang para Ratu/
ing manca praja kang rawoh//
Petunjuk dari Dewa,
anak istrinya suka sekali.
dilaksanakan sayembaranya.
banyak para Raja
dari kerajaan sekitar yang datang.
82
12 Dupi pêpêkan sampun/
Prabu Kalagrejita lan sunu/
sang retna yu wus minggah panggungan
adi/
angasta kukila wau/
nulya ing ngêculkên alon//
Ketika sudah berkumpul semua,
Prabu Kalagrejita dan anaknya
sang putri sudah naik ke atas
panggung besar.
membawa burung tadi,
lalu dilepaskan pelan.
13 Pêsat ngambara muluk/
silêming pi-[18]yat datan kadulu/
tan antara tumurun saking wiyati/
mawa ujwala sumunu/
sunaring raditya kasor//
Terbang tinggi ke atas,
menghilang tidak kelihatan.
tidak lama kemudian turun dari
langit
membuat sumorot cahaya,
cahaya matahari kalah.
14 Kalangan wongsal-wangsul/
angubêngi pasamuwan agung/
kacarita Kyai êmpu Supagati/
ningali lan kadangipun/
tan kari Ki Jaka Bodho//
Terbang keliling berulang-ulang
mengitari perkumpulan besar.
diceritakan Kyai Empu Supagati
melihat dengan saudaranya,
tidak ketinggalan Ki Jaka Bodho.
15 Momor barisan agung/
Balambangan nuting kadangipun/
tan antara punang Gurundaya paksi/
saking ngawiyat maniyup/
mencok marang Jaka Bodho//
Gabung dengan barisan besar.
Blambangan mengikuti
saudaranya.
tidak lama kemudian burung
Gurundaya
turun dari langit,
hinggap di Jaka Bodho.
16 Kagyat kang para ratu/
miwah para satriya nung-anung/
ingkang samya angadêgi pasanggiri/
mulat kukila tumurun/
Para Raja kaget
dan para satriya besar
yang sama mengikuti sayembara,
melihat burungnya turun
83
mencok pundhaking wong anom//
hinggap di pundaknya pemuda.
17 Sêmana para Ratu/
sami gêtak ngêploki gumuruh/
kang supadya kukila abura malih/
nanging Gurundaya puguh/
eca denira jadhodhog//
Ketika itu para Raja
sama-sama menggertak dengan
ramai
supaya burungnya terbang lagi.
tetapi Gurundaya teguh
enak olehnya bertengger.
18 Mangkana sang aprabu/
Kalagrejita waspada dulu/
yen kukila mencok marang wong taruni/
Narendra kalangkung ngungun/
kang mulat sadaya gawok//
Begitu Sang Prabu
Kalagrejita mengamatinya
jika burung bertengger di
pemuda.
Raja sangat heran,
yang melihat semua tidak
percaya.
19 Sang Nata gya tumurun/
saking panggung siniwakeng wadu/
lenggah singanggasana aneng
pancaniti/
adhawuh mring Mantri anung/
ngacarani para katong//
Sang Raja segera turun
dari panggung para prajurit
duduk di singgasana Raja.
memerintah kepada mantri
kraton
mempersilahkan para Raja.
20 Myang Jaka Bodho sampun/
tinimbalan prapta gya dinangu/
panênggrannya lawan ingkang asisiwi/
kang liningan nêmbah matur/
ulun nama Jaka Bodho//
Kepada Jaka Bodho sudah
dipanggil datang terus ditanyai
namanya dan anak siapa.
beliau langsung bilang,
“saya bernama Jaka Bodho,
21 [19] sutaning êmpu luhung/ Anaknya Empu yang luhur
84
Supagati mantri Majalangu/
êmpu Supagati tinimbalan aglis/
prapta byantara dinangu/
ing ngature Jaka Bodho//
Supagati mantri Majalangu”.
Empu Supagati dipanggilnya.
sampai di depan ditanya
tetang perkataan Jaka Bodho.
22 Ki Supagati ngungun/
kewraning tyas panggrahitanipun/
yen ngakêna suta sayêkti bilahi/
minêngsahing para Ratu/
paran kiwuling palugon//
Ki Supagati heran
tidak enak hatinya.
jika mengaku tentu akan celaka
dimusuhi para Raja.
bagaimana menghadapi perang
23 Tan wurung ajur mumur/
marma êmpu Supa aturipun/
wit mulane amupu rare kaswasih/
tambuh kawijilanipun/
mangkya sumangga kemawon//
Pasti hancur lebur.
maka empu Supa berbicara
awalnya mengangkat anak.
tidak mengerti sebabnya
oleh karena itu silahkan saja.
24 Ing ngriku sang aprabu/
Kalagrejita emênging kalbu/
dene putrinira yun jodho lan janmi/
nistha kawijilanipun/
tan pantês minantu katong//
Disitu sang Prabu
Kalagrejita tidak sampai hati
jika anaknya berjodoh dengan
manusia
jelek keturunannya
tidak pantas jadi menantu Raja.
25 Dadya mangkya sang Prabu/
karya gêlar rêmbag lan pra Ratu/
paksi Gurundaya den culakên malih/
kinarya ngyêktekên iku/
karsaning Jawata kaot//
oleh karena itu sang Prabu
menggelar musyawarah dengan
para Raja.
burung Gurundaya dilepaskan
lagi,
untuk memastikan itu
kehendak Dewa.
85
26 Suka kang para Ratu/
ngayubagya karsanira Prabu/
wus saha wega lir tatanya wau malih/
paksi ing nguculkên sampun/
silêm wiyati tan katon//
Suka para Raja
ikut kehendak Prabu.
sudah dengan terburu-buru
seperti tadi lagi.
burung dilepaskan sudah
menghilang di langit tidak
kelihatan.
27 Karsanira Hyang Guru/
sang Hyang Brama ing ngagnya
tumurun/
tur sandika gya anuksma marang pêksi/
krodha sing gegana niyup/
anambêri para katong//
Kehendaknya Hyang Guru,
sang Hyang Brama turun
bersedia menjadi titisannya
burung.
cepat-cepat dari langit turun
menyambar para Raja.
28 Myang ngiler wisa anglu/
kang kataman samya sirna luyut/
dadya bibar kang samya mrih
pasanggiri/
umantuk mring prajanipun/
among kantu-[20]n Jaka Bodho//
Menyambar mengeluarkan bisa,
yang terkena langsung mati.
jadi bubar yang ada di sayembara
pulang ke kerajaannya.
hanya tinggal Jaka Bodho
29 Anggana jêtung ngungun/
andhêkukul dhêpes laleyan gung/
yata paripurna Gurundaya paksi/
sigra denira maniyup/
mring pundhaking Jaka Bodho//
Sendiri diam merasa kecewa.
sendirian di gapura besar.
lalu selesai burung Gurundaya,
lalu dia hinggap
di pundaknya Jaka Bodho.
86
30 Hyang Brama wus tumurun/
lenggah aneng singgasana murup2/
Jaka Bodho uninga graiteng ngati/
lamun Jawata kang rawuh/
marek ngraup-pada karo//
Hyang Brama sudah turun
duduk di singgasana yang
bercahaya.
Jaka Bodho hatinya mengerti
jika Dewa yang datang.
mendekati dan menyembah kaki.
31 Gya ngadhêp aneng ngayun/
Prabu Kalagrejita andulu/
gurawalan marek mangarsa wot sari/
sang Hyang Brama gya adhawuh/
yen yêktine Jaka Bodho//
Lalu menghadap ke depan.
Prabu Kalagrejita melihatnya
gugup mendekat lalu
menyembah.
sang Hyang Brama lalu
memerintah
jika sebenarnya Jaka Bodho
32 Atmajanira Prabu/
Tunjung Seta Narendra dibya nung/
sakti mantaha kadhaton praja
Pêngging/
prawitanira anglangut/
kongsi praptanira mangko//
Anaknya Prabu
Raja Tunjung Seta yang berkuasa
yang sakti di kerajaan Pengging.
bergurunya sangat jauh
sampai datangnya nanti
33 Ginancarkên sadarum/
lan wus pasthi karsaning Dewa gung/
dadya jodhonira Dewi Kelasmani/
ing têmbe nurunkên Ratu/
lir wangsit kang wus dhumawoh//
Diceritakan semua.
dan sudah pasti kehendak Dewa
jadi jodohnya Dewi Kelasmani
yang akan menurunkan Raja
seperti petunjuk yang sudah
dikatakan.
34 Nalikanya manungku/ Ketika bersemedi,
2 murub
87
Prabu Kalagrejita andhêku/
matur sêdya lumakseng karsa Dewa di/
nulya Hyang Brama muksa wus/
ing wuri Ki Jaka Bodho//
Prabu Kalagrejita menunduk
bilang mau melaksanakan
kehendak Dewa.
lalu Hyang Brama menghilang
sudah
di belakang Ki Jaka Bodho.
35 Dhinaupakên sampun/
lan sang Retna binawahan agung/
purneng karya atur uninga mring
Pêngging/
ing purwa wasana katur/
laksananing Jaka Bodho//
Dinikahkan sudah,
dan sang Retna acara resepsinya
besar.
selesainya bicara dikasih tau ke
Pengging.
di akhir acara mengatakan
yang dilakukan Jaka Bodho.
36 Sri Tunjung Seta Prabu/
sukeng driya wus karya sul-angsul/
myang aminta putra [21] den bawahi
ganti/
enggaling carita sampun/
mring Pêngging panganten karo//
Prabu Tunjung Seta
suka hatinya mendapatkan kabar
baik,
dengan meminta anaknya untuk
menggantikannya.
ceritanya sudah baru.
ke Pengging pengantinnya.
37 Dahat sukaning kalbu/
Nateng Pêngging denya ngundhuh
mantu/
binawahan kadi duk panggihing nguni/
purneng karya sang aprabu/
nulya aseleh Kaprabon//
Hatinya senang sekali
Raja Pengging olehnya
ngundhuh mantu.
acara pernikahannya seperti
bertemunya dulu.
tugas sang Prabu sudah selesai.
lalu tinggal di Kaprabon.
38 Mring putra sang abagus/ Kepada putra bagus
88
pinaringan jejuluking Ratu/
Dayaningrat binathareng Praja
Pengging/
lulus denira memangun/
sih siniyan sakaroron//
mendapat julukan Raja
Dayaningrat batara di kerajaan
Pengging.
berhasil olehnya membangun.
keduanya saling mengasihi.
39 Yeku nulya sesunu/
ugi parab Dayaningrat Prabu/
kang kalokaring pramudita sinakti/
tan kewran ing ngagal lêmbut/
tatag sudireng palugon//
Yaitu lalu berputra
iya namanya Prabu Dayaningrat
yang terkenal sakti di jagad.
tidak bisa ditandingi di bangsa
halus,
berani pandai di perang.
40 Kamantu mring sang Prabu/
Brawijaya Nateng Majalangu/
antuk Retna Pambayun warna yu luwih/
punika patutanipun/
Answarawati sang sinom//
Jadi menantu sang Prabu
Raja Brawijaya di Majalangu
dapat Retna Pambayun berparas
cantik sekali.
itu berputra
Answarawati sang putri.
41 Yata Retna Pambayun/
pikramanya lan raka sang Prabu/
atut runtut kakungê mong marang sori/
sang Retna bêkti mring kakung/
mukti sari sakorongron//
Yaitu Retna Pambayun
menikahnya dengan anak Prabu
rukun dengan suaminya dijaga
kepada prameswari.
sang Retna bakti kepada
suaminya.
keduanya merasakan indah.
42 Apatutan têtêlu/
sami kakung kang sêpuh jejuluk/
Raden Kêbo Kanigara gya kang rayi/
Mempunyai anak tiga,
laki-laki semuanya. yang tua
bernama
Raden Kebo Kanigara, lalu
89
dyan Kêbo Kênanga luhung/
Kêbo Surastri kang anom//
adiknya
Kebo Kenanga luhur,
Kebo Surastri yang kecil
43 Dadya jalaranipun/
sedanira kunduran kang ibu/
Prabu Dayaningrat sungkawa pati/
kapêjêng têmahan kantu/
meh prapta antareng layon//
Jadi penyebabnya
meninggalnya sang ibu.
Prabu Dayaningrat prihatin
sekali.
kematiannya takdir yang
menyedihkan
mau sampai sekarat.
44 Enggête pungun-pungun/
barubah tyas srukuwur baliwur/
datan wi-[22]gnya nayuti bramiteng ati/
wêkasan muksa sang Prabu/
gumêrtangis jro kadhaton//
Garisnya takdir sangat
menyedihkan.
hatinya bingung sekali,
tidak pintar menutupi
bingungnya hati.
akhirnya sang Prabu muksa.
menangislah di dalam kadhaton.
45 Cinêkak tan winuwus/
uyang-uyunge kang nandhang giyuh/
Patih subasita alelayu aglis/
mring nagari Majalangu/
dahat sungkaweng tyas katong//
Singkatnya tidak diceritakan
dimana-mana yang sedang
bersedih.
Patih langsung memberitakan
berita duka
kepada kerajaan Majalangu.
prihatin sekali hati Raja.
46 Kararantan mring sunu/
ing wêkasan samana pinuwus/
pepasthening Dewa nora owah gingsir/
Dijelaskan kepada anaknya.
di akhir diceritakan,
takdirnya Dewa tidak bisa
dirubah.
90
yata karsanira Prabu/
muksaning sang Pêngging katong//
yaitu kehendaknya Prabu
muksanya sang Raja Pengging.
47 Putranira kang sêpuh/
ginêntoskên nging tan nama Ratu/
pinaringan nama Adipati Pêngging/
reh dereng diwasa tuhu/
Ki Patih kang pinitados//
Anaknya yang tua
menggantikannya tapi namanya
bukan Raja.
diberi nama Adipati Pengging.
tingkahnya belum dewasa sekali.
Ki Patih yang mencarinya
48 Bangbang pangalum-alum/
pangrehing praja mrih hayunipun/
ingantara dauruning jaman dening/
salining agama ayu/
sarengat Nabi kinaot//
Menguasai kerajaan,
memerintah kerajaan supaya
rahayu.
diantara perangnya jaman oleh
bergantinya agama
syariat Nabi luhur.
49 Sang Dipati margiyuh/
têmah nilip3 anising Praja gung/
mangun tapa nenggraning wukir
marapi/
katuring Dêmak Sang Prabu/
ingkang pinacak gumantos//
Sang Dipati sedih
takdirnya pergi dari kerajaan
besar,
mulai tapa di gunung merapi.
dibicarakan Prabu Demak,
ganti yang diceritakan.
50 Arine kang jejuluk/
Raden Kêbo Kênanga puniku/
pinaringan nama Kyai Agêng Pêngging/
kararantan tyas martrenyuh/
Adiknya yang bernama
Raden Kebo Kenanga itu
diberi nama Kyai Ageng
Pengging.
dijelaskan hatinya trenyuh
3 nilib
91
engêt warising Karaton//
ingat pewarisnya Keraton.
51 Karya ngresuraseng hyun/
yayah roga tanpa sada tuhu/
rumabaseng angga watgata matistis/
jinagrang karama wiwung/
tatag nir sandeyeng batos//
Mau berbuat yang diinginkan,
seperti raganya tanpa kekuatan
nyata.
rusak badan karena dingin.
berdiri dengan gagah
berani tanpa khawatir di batin.
52 Nêmahing tyas milalu/
tan yun seba mring Dêmak Praja gung/
tinimbala-[23]n sandika mung nyunggi
krami/
puwara Narendra bêndu/
têmah pinidaneng pandon//
Takdirnya hati lebih baik,
tidak mau datang ke kerajaan
Demak.
dipanggil menghadap hanya
sombong.
akhirnya Raja marah,
takdir dihukum di akhir.
53 Ki Agêng seda sampun/
tilar putra juga misih timur/
Maskarebet pinet yoga Nyi Gêng
Tingkir/
ing êla-êla kalangkung/
dening sih sutresna kasok//
Ki Ageng meninggal sudah,
meninggalkan anak masih muda.
Maskarebet diangkat anak Nyi
Geng Tingkir,
diasuh dengan baik
oleh kasih sayang yang banyak.
54 Kawangwang warna luhung/
wiwit pasêmon ujwala mancur/
misih timur karêm amemanting dhiri/
anggungan jajah wana gung/
salajuring jurang singgrong//
Terlihat paras yang luhur
dari tingkahnya seperti sorot
cahaya.
masih muda suka mati raga.
masih muda menjelajah hutan
besar,
sepanjang jurang ditempuh.
92
55 Sanggonênggon manêkung/
tinarima ing Hyang murbeng tuwuh/
pinanjingan aji jaya wijayanti/
mandra prakoswa dibyanung/
dhasar tyas sudira tanggon//
Dimana-mana khusyuk
bersemedi,
diterima oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa.
dirasuki aji kesaktian menang,
kesaktian yang kuat mandraguna.
dasarnya hati berani sekali.
56 Sanadyan misih timur/
ambêkira para marta nulus/
anggung ngupasuba ring sasami sami/
parapat4 myang manca dhusun/
suyut5 jrih asihing batos//
Walaupun masih muda,
wataknya sabar tulus
banyak dihormati oleh
sesamanya.
temannya dari luar dusun,
disegani disenangi hatinya.
57 Diwasanya kasêbut/
Jaka Tingkir sangsaya misuwur/
mardaweng tyas miwah lalitaning
warni/
kang ibu marwata sunu/
nanging sandeya ing batos//
Dewasanya disebut
Jaka Tingkir semakin terkenal.
hatinya baik dan bagus parasnya.
ibunya bangga sekali,
tetapi khawatir di hati.
58 Denya kang putra anggung/
alalana wana gunung gunung/
mangka misih kathah para budakeri/
manawa ing aru-biru/
têmah karya walang atos//
Olehnya sang anak
disuruh menjelajahi hutan.
padahal masih banyak para
raksasa
apabila diganggu,
takdirnya membuat khawatir.
59 Nyi Agêng wayang wuyung/ Nyi Ageng bingung sekali
4 parepat 5 suyud
93
anggung mardi budi tan pinangguh/
pamingkaranira dennya gung lunga nis/
rêmbag lan warga siwêgung/
iyêksa biyantu golong//
minta bantuan tapi tidak ketemu.
apabila melawannya pasti tidak
selamat.
musyawarah dengan para tetua,
banyak bantuan.
60 Radyan kinen geguru/
marang Kyagêng Sêsêla pu-[24]niku/
kalampahan dumadi siswa kinasih/
tan pisah sapurug-purug/
sung binêkta lelanandon//
Raden disuruh berguru
kepada Kyageng Sela itu.
menjadi murid yang disayangi,
tidak pisah kemanapun
dibawa mengelana ke tempat
yang dituju.
61 Tirakat guwa samun/
miwah mring wanarga singup-singup6/
tumpêg kabeh salwiring wulang
katampi/
Ki Agêng saya sih ipun/
ing lahir batin gumolong//
Tirakat di gua sepi,
lalu di gunung yang gelap.
diterimanya semua ajaran yang
diberikan.
Ki Ageng semakin sayang
dilahir batin semuanya.
62 Ki Jaka aneng ngriku/
sakayun-kayun amung jinurung/
rêmên ngringgit lêbda ulahing karawit/
misuwur mancapat dhusun/
malah prapteng praja kalok//
Ki Jaka disana
semua hidupnya hanya
membantu.
suka wayang pintar olehnya
memainkan gamelan,
terkenal di luar dusun
malah sampai di kerajaan
terkenal.
63 Mangkana kang winuwus/ Begitu yang diceritakan,
6 Singub-singub
94
Kyagêng Sela ababad wana gung/
lering Tarub binubak kinarya sabin/
pagagan sinungan gubug/
payon atêp ropoh-ropoh//
Kyageng Sela membabad hutan
besar.
utaranya Tarub ditebangi dibuat
sawah.
sawah dibangun rumah
ditutup atap dipagari.
64 Ki Agêng duk neng ngriku/
laminya wus antara tri dalu/
mung Ki Jaka Tingkir kang tan kêna
kari/
Ki Agêng sare ing dalu/
Ki Jaka neng dagan manggon//
Ki Ageng ketika disana
lamanya sudah antara tiga
malam.
juga Ki Jaka Tingkir yang tidak
bisa ketinggalan.
Ki Ageng tidur ketika malam,
Ki Jaka di kaki tidurnya.
65 Sakeca kalihipun/
nikmat manpangat panendranipun/
Kyai Agêng supênahan nyangking
kudhi/
arsa babad mring wana gung/
Ki Jaka katon neng kono//
enak keduanya
nikmat berguna bagi tubuhnya.
Kyai Ageng bermimpi membawa
sabit
mau membabad ke hutan besar.
Ki Jaka kelihatan di sana,
66 Kakayon sami rubuh/
sineredan mring Ki Jaka wau/
Kyai Agêng dahat kageting panggalih/
sanalika dadya wungu/
Ki Jaka ginugah alon//
Pepohonan roboh semua
diseret oleh Ki Jaka tadi.
Kyai Ageng kaget sekali dihati,
seketika jadi bangun.
Ki Jaka dibangunkan perlahan.
67 Wungu nulya dinangu/
kulup jroning ing sunendra mau/
apa sira lunga saka kene iki/
ature botên pu-[25]kulun/
Bangunnya lama.
“nak ketika tidur tadi
apa kamu pergi dari sini ini?”
bilangnya, “tidak gusti,
95
sakeca tilem kemawon//
enak tidur saja”.
68 Ki Agêng langkung ngungun/
rumaos yen supêna satuhu/
sampun tampi cipta sasmitening widdhi/
pangunandikaning kalbu/
tan kaya araganing ngong//
Ki Ageng heran sekali,
merasa jika mimpinya nyata.
sudah terima pertanda dari Dewa.
bicara di hati,
tidak seperti raganya.
69 Tan pêgat anênuwun/
mring Hyang Suksma pirang pirang
taun/
rare iki ingkang nora kêdhah kidhih/
pinaringan nugraha gung/
walyaning wahyu kaprabon//
Tidak berhenti olehnya meminta
kepada Dewa bertahun-tahun.
anak ini yang tidak ragu-ragu
mendapatkan anugrah besar,
walinya wahyu kerajaan.
70 Ki Agêng lon andangu/
mring Ki Jaka kulup saelingmu/
tau wimpi awa kang kalebu adi/
saanane kelinganmu/
yogya tutur nama ringong//
Ki Ageng pelan olehnya bertanya
kepada Ki Jaka, “seingatmu
pernah bermimpi yang bagus?
seadanya yang diingat
pantas diingat-ingat sekilas”.
71 Ki Jaka nêmbah matur/
kala kula rêmên angaluyug/
tirakat mring rêdi tela mayanguni/
tilem supêna ing dalu/
katiban wulan mancorong//
Ki Jaka mengatakan,
“ketika saya suka mengembara
tirakat di gunung terang
tingkahnya,
tidur bermimpi ketika malam
kejatuhan bulan bercahaya.
72 Wukir mungêl gumludhug/
ulun kagyata wipungun-pungun/
kadipundi wahananipun sayêkti/
Gunung berbunyi gemuruh.
aku kaget langsung bangun.
bagaimana kondisinya
sebenarnya”.
96
Ki Agêng sangsaya ngungun/
dahat nalangsa ing batos//
Ki Ageng tambah heran,
sengsara sekali di hati.
73 Mangkana ciptanipun/
yen sampuna ajrih ing Hyang Agung/
kae Jaka pinrih sangsarane yêkti/
nging Ki Agêng wus sumurup/
yen papêsthening Hyang manon//
Begitu ciptaannya,
ketika sudah takut kepada Hyang
Agung,
itu Jaka disuruh sengsara
sejatinya.
tapi Ki Ageng sudah tahu
jika takdirnya Tuhan
74 Nora kêna ginayuh/
dadya pinupusing suka sukur/
andika nyalah kulup denira ngimpi/
tanana pepadhanipun/
retuning impen kinaot//
Tidak bisa dilawan.
jadi diterima dengan senang.
bilang menyalahkan olehnya
bermimpi,
tidak ada yang menyamainya.
mimpinya membuat gelisah.
75 Mangkya sayogyanipun/
ngawulaa mring Dêmak Praja gung/
aneng kono wahya ning impenmu kaki/
[26]gon kekurang mangan turu/
tinêmuweng sira mêngko//
Oleh karena itu seharusnya,
bergurulah ke kerajaan Demak.
disana diterangkan dalam
mimpimu.
tempat kurang makan tidur,
bertemulah kamu nanti.
76 Ki Jaka nulya mantuk/
maring Tingkir kapanggya lan ibu/
angaturkên purwa wusana atiti/
Nyi Agêng suka tyasipun/
pangandikanira alon//
Ki Jaka lalu pulang
ke Tingkir bertemu dengan ibu.
menjelaskan dari awal sampai
akhir.
Nyi Ageng suka hatinya
bilangnya pelan,
97
77 Kulupingsun jumurung/
lakonana rehing janma luhung/
ingsun duwe sadulur lanang sawiji/
ngawuleng Dêmak sang Prabu/
nanging srantekna samêngko//
“Anakku sebenarnya
lakukan perkara manusia luhur.
aku punya saudara laki-laki satu
belajar ke Prabu Demak.
tapi sabarlah nanti
78 Kang ngatêrke lakumu/
bocahingsun roro lagya ewuh/
matun gaga rampunge mangkata nuli/
Ki Jaka mitulweng ibu/
kanthing darananing babon//
Yang mengantarkan lakumu.
kedua anak lagi bekerja,
selesainya menanam padi lalu
berangkatlah.”
Ki Jaka membantu ibu,
sebagai sabarnya sang ibu.
79 Enjingira winuwus/
Raden Jaka matun gaga tumut/
kasênêngên sadintên tan mulih-mulih/
wanci asar riris truhtuh/
mêndhung ngêndha nu ler kulon//
Paginya diceritakan,
Raden Jaka ikut menanam padi.
senang sekali seharian tidak
pulang-pulang.
waktu ashar gerimis,
mendung melewati jalan utara
dan barat.
80 Yata sang wali luhung/
Jêng Susunan Kalijaga langkung/
ing pagagan sarwia têtêkên êcis/
Ki Jaka ing nguwuh-uwuh/
thole ayya kabêsturon//
Yaitu sang wali luhur,
Jeng Sunan Kalijaga
di tanah yang ditanami padi
membawa tongkat.
Ki Jaka dipanggil,
“thole, jangan terlena
81 Suka denira matun/
ngawulaa mring Dêmak den gupuh/
wit sireku bakal Narendra linuwih/
Senang olehnya menanam padi.
belajarlah ke Demak dengan
terburu-buru.
dia bakal menjadi Raja yang
98
mêngkurat Jawa sawêgung/
mong kadining para katong//
agung
menguasai tanah Jawa semuanya.
mengayomi seperti para Raja”.
82 Têlas andikanipun/
gya mangaler andugekên laku/
dupi wus tan katon Ki Jaka gya mu-
[27]lih/
awewarta mring kang ibu/
dahat arsayaning batos//
Selesai yang dikatakan,
lalu ke utara menyelesaikan
perjalanan.
ketika sudah tidak kelihatan, Ki
Jaka lalu pulang
memberitahu kepada ibu.
hatinya senang sekali.
83 Enggaling carita wus/
ngawula mring Dêmak katampan wus/
Sri Narendra dahat sih pinuncut siwi/
dene warnanira bagus/
miwah rota mengke woh//
Barunya cerita sudah,
belajar ke Demak diterima sudah.
Sri Raja senang dengan anak
tersebut.
wajahnya bagus
dan sedikit galak nanti.
84 Pinacak pangkatipun/
madanani tamtam wira nung/
kacarita sagunging para prajurit/
anaracak têguh timbul/
dene karsanira katong//
Kedudukannya dijadikan
prajurit besar kesayangan.
diceritakan semua prajurit,
semua sama mempunyai
kekuatan
apa yang diinginkan Raja.
85 Sagung kang yun lumêbu/
cino bidhihin tan angun-angun/
lamun nêpakmu kaprah padhêm babar
ji/
katampen pandasihipun/
lamun cinoba malendo//
banyak yang mau masuk
Cina tidak galak-galak.
kalau memukulmu lumrah
dibunuh jadi satu.
diterima pengabdiannya.
jika dicoba lagi,
99
86 Nuli tinulak wangsul/
yata wontên janma yun lumêbu/
nama Dhadhungawuk wismeng
Kêdhupingit/
wus kaloka têguh timbul/
kuciwa warnane awon//
Lalu menolak balasan.
lalu ada orang mau masuk
namanya Dhadhungawuk,
rumahnya Kedhupingit.
sudah terkenal mempunyai aji-
aji.
kecewa karena wajahnya jelek.
87 Katuring sang abagus/
dinangu matur sêdyaning kalbu/
winangsulan kudu dinadar rumiyin/
tandhane yen têguh timbul/
myang kuwat kêncênging otot//
perkataannya sang bagus,
lama bilang maksudnya hati.
jawabannya harus dijelaskan
dahulu
tandanya jika punya aji-aji
dan kuat kencang ototnya .
89 Dhadhungawuk angguguk/
sarya matur: lah rahaden bagus/
sakarsan taha nyoba maringpun patik/
alesu yen tan sinuduk/
pêgêl lamun tan binêstrong//
Dhadungawuk setuju
serta bilang: “lah Raden bagus,
maumu apabila mencoba ke saya,
capek apabila tidak ditusuk,
pegal apabila tidak dimeriam.”
90 Radyan rengu ing kalbu/
sinamun ganten mangsuli arum/
yen mangkana tuhu moncoling sabumi/
mara dika pareng ngayun/
pamansun coba samêngko//
Raden tersinggung hatinya,
diam ganti menjawab dengan
halus.
“jika itu benar unggulnya
sejagad,
kamu boleh datang.
paman mencoba nanti.”
91 Alatah Dhadhungawuk/
ngungalakên Jaka sarya maju/
Tertawa Dhadhungawuk
meremehkan Jaka sambil maju.
100
[28] Radyan saya duka kang sadak
ginigit/
sinudukên Dhadhungawuk/
pêcah dhadhane linenggon//
Raden semakin sedih yang susuk
konde digigit
ditusukkan Dhadhungawuk.
pecah dadanya ditempat.
92 Radyan mesêm weh sêmu/
wiratamtama tanggap sadarum/
angarocok sadaya samya nyuduki/
kunarpane ajur mumur/
dupi katuring sang katong//
Raden tersenyum gembira.
prajurit tanggap semua
menyerang semuanya sama
menusuki.
semuanya hancur lebur.
ketika diberitahukan, sang Raja
93 Kalangkung dukanipun/
Raden Jaka pinidana tundhung/
tan kalilan ngambahing Dêmak Nagari/
rahaden langkung miduhung7/
ing solah kang wus kalakon//
Sedih sekali.
Raden Jaka dihukum diusir
tidak diperbolehkan menelusuri
Demak.
Raden menyesal sekali
dengan tingkah yang sudah
terjadi.
94 Saking meranging kalbu/
yayah tan panon rat idhêpipun/
sampun linggar saking ing Dêmak
nagari/
kalunta-lunta anglangut/
tambuh kang sinêdyeng batos//
Saking malu hatinya,
seperti tidak terlihat habis
pikirannya.
sudah pergi dari Demak,
terlunta-lunta jauh sekali
tidak mengerti maksud hati.
95 Ngantosing gangsaleng su/
denya lumampah sapurug-purug/
Sampai suatu saat,
olehnya berjalan kemana saja.
7 miduwung
101
karsaning Hyang mangka sasanglinging
budi/
myang nyêpuhi bratanipun/
pandhangiring wahyu kaot//
kehendaknya Tuhan apabila
dipikirnya,
dengan memperdalam tapanya
digali wahyu luhur.
96 Mangkana lampahipun/
kapanggya lan Ki Agêng ing Butuh/
dyan tinajug yen putra Ki Agêng
Pêngging/
raden prasaja turipun/
suka rêna sakarongron//
Begini ceritanya,
bertemu dengan Ki Ageng di
Butuh.
dyan di Tajug jika putra Ki
Ageng Pengging,
Raden Prasaja bilangnya
suka bekerja keduanya.
97 Binêkta maring Butuh/
gya ngaturi Kyagêng Erang rawuh/
kalih samya mangimur manuhara ris/
amrih mariya margiyuh/
marêm rêrêm sang wiranom//
Dibawa ke Butuh,
lalu menyuruh Kyageng Erang
datang
dan sama-sama menghibur hati
supaya sembuh sedihnya.
lega sekali prajurit muda.
98 Agung sinugun-sugun/
myang winulang darsananing dangu/
para ingkang nampani nugraheng
widdhi/
sinungsang saraka ruhun/
ye-[29]ku adating lalakon//
Sangat dihormati sekali
dengan nasehatnya tauladan
dahulu.
para yang menerima anugrah dari
Tuhan.
di balik pranata agama dahulu
yaitu adatnya kehidupan.
99 Ri wusing sapta tengsu/
Raden Jaka dhinawuhkan wangsul/
maring Dêmak manawa engêt sang aji/
Hari sudah tujuh bulan,
Raden Jaka diutus pulang
ke Demak siapa tau ingat sang
Raja.
102
tan doh pangupayanipun/
sandika mangkat sang anom//
tidak jauh upayanya,
lalu berangkat sang anom.
100 Prapta kikis praja gung/
amêlingkên kanca-kancanipun/
sesidhêman prapta samya anangisi/
wêkasan suka ing kalbu/
denya samya karahayon//
Sampai tepi kerajaan besar
mengingatkan teman-temannya,
dibuat takut sampai semua
menangis.
akhirnya senang di hati,
olehnya sama-sama diberi
keselamatan.
101 Rahaden tatanya rum/
rehning wus antara sapta tengsu/
punapi wus ana kengêtanira ji/
dhumatêng sariranipun/
kang tinan nyaturira lon//
Raden kehidupannya baik.
kejadiannya sudah antara tujuh
bulan,
apa Raja masih ingat
kepada dirinya
yang membuat hatinya sakit
pelan.
102 Dereng wontên pandangu/
sang kaswasih sangsaya ngulangun/
kesah malih sapraptanira ing Pêngging/
panggih lan wangsa sawêgung/
kathah kakaraos-raos//
Belum terlalu lama
sang kaswasih semakin senang.
pergi lagi sampainya di Pengging
bertemu dengan sanak saudara
semuanya.
banyak yang menggunjing.
103 Ing sabên sabên dalu/
andadagan kuburing ramebu/
tuk tridalu miyarsa swara dumêling/
kulup lunga amangidul/
Di setiap malam
sungkem di kuburannya ayah
ibu.
dapat tiga malam terdengar suara
yang sangat jelas,
“nak pergilah ke selatan,
103
ngawulaa wong kinaot//
belajarlah dengan orang yang
pandai,
104 Ki Buyud Banyu Biru/
lakonana sapituduhipun/
lah ing kono wahyaning wahyu sajati/
Raden mangu pungun-pungun/
wus gagat bangun katongton//
Ki Buyud Banyu Biru.
lakukanlah yang diperintahkan.
lah disana wahyu yang
sebenarnya”.
Raden bingung seperti bangun
dari tidur,
sudah langsung bangun.
105 Nulya mangkat sang bagus/
prapteng Banyu Biru wus kapangguh/
pinet putra sinungga sungga
nglangkungi/
nêlasing pamulangipun/
Ki Buyud mring sang wiranom//
Lalu berangkat sang bagus.
tiba di Banyu Biru sudah
bertemu
dijadikan anak yang sangat
dibanggakan.
habisnya pembelajarannya
Ki Buyud kepada prajurit muda,
106 Sinadulurkên sampun/
lan siswanira putra tal pitu/
Ki Mas Ma-[30]nca jrih asih bêkti trus
ngati/
dupi wus antuk tri tengsu/
dyan Jaka anane kono//
Dijadikan saudara sudah.
dan muridnya laki-laki tujuh.
Ki Mas Manca takut hormat
berbakti di hati.
ketika sudah dapat tiga bulan
dyan Jaka ada disana.
107 Ki Buyud dhawuhipun/
êngger wus masane sira wangsul/
waton marang ramanta sri Narapati/
kabênêran mangsanipun/
rêndhêngan iki sang katong//
Ki Buyud bilangnya,
“nak sudah saatnya kamu pulang.
pasti oleh ayahanda sri Raja
tepat sekali waktunya.
waktu hujan ini sang Raja
104
108 Neng prawata kekuwu/
sira nusula marang sang Prabu/
ingsun anggawani sarateng kang dadi/
jalarane sang aprabu/
nimbali mring sira mêngko//
Tinggal di gunung.
kamu menyusullah ke sang
Prabu.
kamu membawa syarat yang jadi
sebabnya sang Prabu
memanggilmu nanti.
109 Mara tampanên kulup/
lemah iki loloh neng andhanu8/
yêkti babar jungamuk mring prawata
wukir/
mangsa naha bisa nglampus/
lan manehe putraning ngong//
Kesana terimalah nak,
tanah ini kasihkan ke kerbau
pasti langsung mengamuk ke
gunung-gunung.
musuhnya bisa mati
dan juga anaknya
110 Ki Mas Manca adhimu/
lawan Ki Wuragil kadangingsun/
katêlune Ki Wila pulunan mami/
suteng majasta Ki Buyud/
ywa pisah den samya golong//
Ki Mas Manca adikmu
dan Ki Wuragil saudaranya
ketiganya keponakan Ki Wila,
anaknya majasta Ki Buyud.
jangan pisah sama-sama jadi
satu”.
111 Sandika mangkat sampun/
numpang gethek milir bangawan gung/
prapteng kêdhungsrengenge amanggih
westhi/
binegal retuning bajul/
prang rame prabajul kasor//
Lalu berangkat sudah
naik gethek mengikuti arus
bengawan.
sampainya di tempat matahari
muncul menemui bahaya.
dibegal segerombolan buaya,
perang ramai buayanya kalah.
112 Têmah sadaya nungkul/ kejadiannya semua melihat.
8 andanu
105
laju kang gethek sinongga bajul/
prapteng babagganing Butuh madya
ratri/
sasmiteng bajul tampi wus/
kendêl lampahe ing kono//
lajunya gethek yang disangga
buaya
sampai di Desa Butuh tengah
malam.
pertandanya buaya diterima
sudah
berani lakunya disana.
113 Radyan sarencangipun/
sami arip sarira marlesu/
têmah nendra Ki Agêng butuh winarni/
mijiling wisma ing dalu/
kagyat myat pulung karaton//
Raden dan teman-temannya
pada capek dan lesu.
ketika tidur, Ki Ageng Butuh
diceritakan
keluar rumah di malam hari,
kaget melihat wahyu keraton.
114 Ler [31] kilen sangkanipun/
cumalorot tibeng rangowan gung/
tinututan prapta satêpining nadi/
tan samar pandulunipun/
maring putra sang wiranom//
Utara barat asalnya,
jatuh di halaman besar.
diikuti sampai pinggirnya sungai.
tidak samar penglihatannya,
kepada putra sang prajurit
115 Sare katiban wahyu/
nulya ginugah andikanipun/
lah tangiya ywa kapi enakên guling/
pulung kraton wus tumurun/
tumameng sira nak ingong//
Tidur kejatuhan wahyu.
lalu dibangunkan ujarnya,
“lah bangunlah jangan keenakan
tidur.
wahyu kraton sudah turun
masuk di kamu nak”.
116 Radyan kagyat gya wungu/
pungun-pungun sarencang katêlu/
samya ngraup pada mring sang lagya
prapti/
Raden kaget lalu bangun.
bangun semua ketiga temannya,
sama-sama cuci muka lalu sama
sampai
106
gya binêkta maring Butuh/
Kyagêng Erang wus neng kono//
lalu di bawa ke Butuh.
Kyageng Erang sudah disana.
117 Dwi nêlas wulangipun/
maring putra ri sang wireng luhung/
myang mêmêling rehning pulunging
Narpati/
wus ngalih mring sira kulup/
tanwun sira madêg katong//
Dua menghabiskan ajarannya
kepada putra adik sang prajurit
luhur.
dan mengingatkan perkara
wahyunya Raja
sudah pindah ke kamu nak.
besok kamu jadi Raja.
118 Srana ana reh alus/
ywa kinasap pintanên Hyang Agung/
lan murih aluntur sih e sri bupati/
nuwun sandikaturipun/
gya pamit mangkat sang anom//
Syarat ada perkara mudah,
tidak mudah mintalah kepada
Tuhan.
dan supaya dapat sayangnya
Raja,
minta wejangannya
lalu pamit berangkat sang anom.
119 Nitih gethek lir wau/
milir dumugi ing dhusun Bulu/
nulya mêntas tantari rencange katri/
bajul sinasmitan mantuk/
sukeng tyas lumaksanalon//
Naik gethek seperti tadi,
terbawa arus sampai di dusun
Bulu.
lalu keluar tidak menawari ketiga
temannya.
buayanya diutus pulang,
suka hatinya jalannya pelan.
120 Mangkana lampahipun/
Raden Jaka lan rencang têtêlu/
ngaler ngilen medal Garobogan nagri/
praptaning prawata gunung/
Begitu ceritanya.
Raden Jaka dan ketiga temannya
keutara kebarat lewat Negara
Grobogan.
sampainya di gunung,
107
sang Nata maksih neng kono//
sang Raja masih disitu.
121 Nulya manjing wana gung/
angupaya kang maesadanu/
wus sirantuk sigra linolohan siti/
bêktane sing Banyu Biru/
maesadanu a-[32]mbêkos//
Lalu masuk hutan besar
mencari kerbau hutan.
sudah dapat lalu mulutnya
dikasih tanah
yang dibawa dari Banyu Biru.
maesadanu menyuara keras.
122 Ing ngêculakên sampun/
janggêlêngan ngajrihi dinulu/
dyan umangsah ngamuk pasanggrahan
aji/
solahing wong ting bilunglung/
prawadya mangsah mamêngkok//
Dibebaskan sudah
mengamuk menakuti yang
melihat.
dia maju mengamuk rumah Raja.
tingkahnya orang bingung,
para prajurit susah melawannya.
123 Maesa sangsaya sru/
gira anggambira krura riwut/
pinarbutaning prang sangsaya bêk
wani/
salwiring gegaman pupug/
praprawira keh macethot//
Maesa semakin menjadi
bersenang-senang galak sekali.
mulainya perang semakin berani,
beberapa pedang patah.
para prajurit banyak yang
dipuntir.
124 Katuring sang aprabu/
gadgadeng tyas anuduh wiranung/
pratamtama kinen maju ganti-ganti/
manglaga maesa lawung/
samya anggregut katongton//
Bilangnya sang Prabu,
hati mengutus prajurit.
para prajurit diutus maju
bergantian
melawan maesa lawung.
sama marah yang melihat.
108
125 Denira duk lumêbu/
wus cinoba prang lan angunangun/
mung lan tangan aywa kang maesa
bothi/
sayêkti tinêpak sumyur/
marma saha sahing batos//
Olehnya ketika masuk
sudah dicoba perang dengan
brutal.
hanya dengan tangan yang maesa
bothi
benar bahunya hancur.
oleh karena itu membuat
susahnya batin.
126 Puwara parêng wanggut/
kasor dening kang maesa lawung/
saya liwung tan ajrih mangrunjang
janmi/
myang rerusak wismasagung/
geger wurahan punang wong//
Akhirnya bisa tenang,
kalah oleh maesa lawung.
semakin mengamuk tidak takut
menerjang orang
dan merusak istana.
ribut sekali orang-orang.
127 Pangamuking andhanu9/
kongsi tigang dintên tigang dalu/
lamun sirêp surya maluyeng wana dri/
enjang ngira wangsul ngamuk/
ing sabên ari sang katong//
Mengamuknya kerbau
sampai tiga hari tiga malam.
ketika matahari tenggelam lari ke
hutan,
paginya kembali mengamuk.
di setiap hari sang Raja
128 Ningali aneng panggung/
duk samana mirsa sang aprabu/
Raden Jaka ing ngiring rencangira tri/
solahe lir wong dedulu/
mripit baris lumakyalon//
Melihat di panggung.
ketika itu sang Prabu mengetahui
Raden Jaka diiringi ketiga
temannya.
tingkahnya seperti orang melihat,
berbaris berjalan pelan.
9 andanu
109
129 Sang Nata gya anuduh/
Nyai Jêbat Cethipini sêpuh/
andhawuhi marang Raden Jaka Tingkir/
kagyat ra-[33]hadyan mabukuh/
tata trêp sileng karaton//
Sang Raja lalu menunjuk
Nyai Jebat Cethipini tua,
mengutus kepada Raden Jaka
Tingkir.
kaget Raden langsung duduk,
adat istiadat kraton.
130 Nyi Jêbat wuwusipun/
Raden kula angêmbani dhawuh/
rama jêng ngandika kangjêng sri
bupati/
lamun pêkênira purun/
nanggulang pamuking kêbo//
Nyi Jebat ujarnya,
“Raden, saya membawa perintah.
ayahanda mengatakan kangjeng
Raja
apabila kamu mau
melawan amukannya kerbau
131 Kongsi sor prapteng lampus/
sadosanta ing ngaksameng prabu/
Raden Jaka sandika katuring aji/
sukeng tyas nulya dhadhawuh/
angêpung kang kêbo giro//
Sampai kalah sampai mati,
dosamu akan diampuni Prabu”.
Raden Jaka hormat dengan
perintah Raja.
senang hatinya, lalu menyuruh
mengepung kerbau.
132 Myang natap munggang sampun/
sri Narendra mirsani neng panggung/
Radyan Jaka marpêki maesa bothi/
giro anggambira nêmpuh/
rahadyan tatag atanggon//
Dengan mendengar suaranya
sudah,
Raja melihat dari panggung.
Raden Jaka mendekati kerbau,
kerbau bergembira menyerang.
Raden berani dapat diandalkan.
133 Tarungira adangu/
amrihe rama kang andedulu/
tanpa ru wya swaraning wong aningali/
monggang tinatap angungkung/
perangnya lama.
supaya ayahanda yang melihat,
semua orang yang melihat diam.
suaranya terdengar seru,
110
nanangi gambiraning wong//
menghidupkan kegembiraan
orang.
134 Radyan ing ngundha dangu/
tinadhahan ing sungu kumêdut/
dangu dennya anguja maesa bothi/
suraking janma gumuruh/
barung swaraning kêndhang gong//
Raden diterbangkan lama,
ditempatkan di tanduk.
lama olehnya membiarkan maesa
bothi,
soraknya orang bergemuruh
dibarengi suaranya kedhang
gong.
135 Wus titan taranipun/
gadgada yun mêksa si sang bagus/
sungu sarta buntuting maesa bothi/
cinandhak nulya jinunjung/
jinungkêlakên mangisor//
Sudah lewat masanya,
maunya memaksa sang Bagus.
tanduk dan ekornya maesa bothi
dipegang lalu diangkat
dibalik ke bawah.
136 Siti timbul lan mêtu/
sigra tinêpak sirahe rêmuk/
angêlalar muncrat polone wor siti/
suka kang samya andulu/
arsayeng driya sang katong//
Tanah terlihat dan keluar
lalu dihajar kepalanya hancur.
hancur muncrat otaknya campur
tanah.
senang yang sama melihat
senang hatinya sang Raja,
137 Tinimbalan mangayun/
Raden Jaka manad padeng Prabu/
sampun pulih malih sih i-[34]reng
narpati/
kadya duking wau wau/
winangsulkên kang palunggoh//
Dipanggil ke depan.
Raden Jaka melihat kepada
Prabu,
sudah pulih lagi sayangnya Raja
seperti yang dulu-dulu,
mengembalikan jabatannya.
111
138 Enggar pra prawira nung/
labêting sih myang trêsna sumungku/
maring Raden mantri ambêk martasih/
enggaling carita sampun/
Nata kundur angadhaton//
Senang hatinya para prajurit.
kelakuannya baik sayang dengan
sayang yang dimaksud
kepada Raden mantri dengan
sabar.
barunya cerita sudah,
Raja pulang ke kerajaan.
139 Tan lamantaranipun/
Raden Jaka gya pinundhut mantu/
tinanêm neng Pajang pinacak dipati/
sasurudira sang Prabu/
sang dipati madeg katong//
Tidak selang lama,
Raden Jaka ya dijadikan menantu
bertahta di Pajang menjadi
Adipati.
meninggalnya sang Prabu,
sang Adipati menjadi Raja.
140 Denira putra sêpuh/
Sunan Prawata wus lileng kalbu/
anêtêpi kawaleyan nya linuwih/
tan mikir kadunyanipun/
lila lêgawa mring layon//
Olehnya anak tua
Sunan Prawata sudah ikhlas
hatinya.
sudah pasti imanya lebih,
tidak memikirkan dunianya,
ikhlas kepada takdir.
141 Nateng Pajang linuhung/
mardaweng tyas agung amemayu/
sining jagad winêngku budi martasih/
marmanta kasup10 kasumbung/
kaluhuraning karaton//
Raja Pajang luhur
sabar hatinya besar membuat
baik.
seisi jagad diayomi bersifat sabar
penyayang.
oleh karena itu terkenal sekali
leluhurnya keraton.
10 kasub
112
142 Putra kyeh kang winuwus/
among pangran banawa puniku/
sasuruding rama tan gumanti aji/
karsane Jêng Sunan Kudus/
ingkang pinacak gumantos//
Anak banyak yang terkenal.
hanya pangeran banawa itu,
meninggalnya bapak tidak
menggantikan Raja.
maunya Jeng Sunan Kudus,
yang harusnya menggantikan
143 Putramantu kang sêpuh/
adipati ngawanti puniku/
putranira Jêng Sunan Prawata nguni/
karsane jêng Sunan wau/
amrih warising karaton//
Anak menantu yang tua.
Adipati mewanti-wanti itu
anaknya Jeng Sunan Prawata.
kehendaknya Jeng Sunan tadi
supaya jadi pewaris kraton.
144 Wangsul mring pancêr kakung/
kaestrenan adêgira lulus/
duk samana Panêmbahan Senapati/
tan kari Kiyai Juru/
ngestreni dêgira katong//
Kembali ke keturunan laki-laki,
tahta kedudukannya seperti
dahulu.
ketika itu Panembahan Senapati
tidak ketinggalan Kiyai Juru
mendatangi yang menjadi Raja.
145 Ki Juru sasmita wus/
ingkang putra ing ngaturan kundur/
karsanira jêng sunan tanmanjing [35]
adil/
rinipta piritanipun/
tan pantês tataning katong//
Ki Juru dikasih tanda sudah,
yang putra diutus pulang.
kehendaknya jeng Sunan tidak
masuk adil.
digagas ajarannya
tidak pantas menjadi Raja.
146 Sakaliyan gya mundur/
tan pamit mri11 jêng Susunan Kudus/
jêng Pangeran Banawa mepu ing galih/
Semuanya lalu mundur
tidak pamit kepada Sunan Kudus.
Jeng Pangeran Banawa susah di
hati,
11 mring
113
tan panon rat idhêpipun/
têmahan nêmah ing batos//
tidak melihat jagad pikirannya.
kejadiannya membuat celaka
dihati.
147 Sêdya ngrabaseng pupuh/
minta tulung mring praja Matarum/
ingkang raka Panêmbahan Senapati/
kalampahan Pajang gêmpur/
sang banawa madêg katong//
berniat merusak perang
minta tolong kepada kerajaan
Mataram.
yang kakak Panembahan
Senapati,
lakunya Pajang diserang.
sang banawa menjadi Raja.
148 Peputra putri punjul/
ginarwa ring kangjêng sang aprabu/
kang seda ing Krapyak peputra sang
aji/
ing Mataram Sultan Agung/
binathareng rat kinaot//
Berputra putri lebih,
diperistri oleh Kangjeng Sang
Prabu
yang seda ing Krapyak berputra
sang Raja
di Mataram Sultan Agung,
Raja jagad raya.
149 Narendra dibya sadu/
anêtêpi kawaleyanipun/
prawireng prang tan kewran ing ngagal
sampit/
nanging kadiran siningkur/
sung mangulah brata myang om//
Raja sakti utama,
memperdalam imannya.
perwira perang tidak takut di laga
perang.
tetapi kekuatannya ditampik,
diberikan tapa brata kepada
Tuhan.
150 Karyenaking tumuwuh/
yayah prabaning surya sumuluh/
rumancana dumiya neng cakrawati/
Tumbuh ingin menentramkan
orang lain
seperti sorot cahaya obor.
berencana jadi penguasa jagad,
114
jinêm jênjêm kang winêngku/
tata têntrêm trusing batos//
damai tentram yang dikuasai.
tata tentram sampai batin.
151 Rêrêp sirêp kang ripu/
puwaratur pranata anungkul/
maketer tyas katamanêning nging galih/
nateng Mataram linuhung/
tan pêgat mrih karahayon//
Damai yang bermusuhan.
akhirnya lalu ditata dengan
sungguh-sungguh.
bergetar hati kena di hati,
Raja Mataram luhur
tidak putus terhadap
keselamatan.
MEGATRUH
1 Datatita nênggih kang pinurweng
kidung/
Ki Agêng Juru Martani/
jatine trah Majalangu/
sing Bondhan Kajawan nênggih/
putra sêpuh kacariyos//
Sesudah itu yang diceritakan
dalam bentuk kidung,
Ki Agêng Juru Martani
sejatinya keturunan Majapahit,
dari Bondhan Kajawan yaitu
anak yang tua diceritakan.
2 Kya-[36]i Agêng Wanasaba parabipun/
peputra catur winilis/
ingkang asêpuh jejuluk/
Pangran Made Pandhan nuli/
arine umijil wadon//
Kyai Ageng Wanasaba namanya,
berputra empat cacahnya.
yang tua bernama
Pangeran Made Pandhan lalu
adiknya lahir perempuan
3 Kalap Kyagêng Sela dadya garwa
sêpuh/
panggih nak-sanak sayêkti/
nulya Ki Agêng Katanggung/
anulya arine malih/
Kyagêng Made Pandhan anom//
Dinikahi Kyageng Sela jadi istri
tua.
bertemu saudara sekakek
sebenarnya.
lalu Ki Ageng Katanggung,
lalu adiknya lagi
Kyageng Made Pandhan muda.
115
4 Putra sêpuh Pangran Made Pandhan
wau/
peputra tri jalu kalih/
panêngah estri warna yu/
sêndhang pancuran mangapit/
makatên bebasaning wong//
Anak tua Pangeran Made
Pandhan tadi
berputra tiga laki-laki dua
ditengah perempuan berparas
cantik.
sêndhang pancuran mangapit,
begitu peribahasanya orang.
5 Pangran Jayaprana putra ingkang
sêpuh/
pawestri kalap Kyagêng Nis/
Ki Agêng Sungep waruju/
punika lajêng sesiwi/
mung sakawan kacariyos//
Pangeran Jayaprana anak yang
tertua,
yang perempuan dinikahi
Kyageng Nis,
Ki Ageng Sungep anak
bungsunya.
itu kemudian berputra
hanya empat diceritakan
6 Pangarsestri kalap Ki Agêng Matarum/
gya Kyai Juru Martani/
nulya Ki Manggar rinipun/
Nyi Gêng Talawah wewangi/
wangsul ingkang kacariyos//
Pertama perempuan dinikahi Ki
Ageng Matarum,
lalu Kyai Juru Martani,
lalu Ki Manggar adiknya,
Nyi Geng Talawah namanya.
kembali yang diceritakan,
7 Putra jalu Ki Juru Martini wau/
pinandhita sadu budi/
paramartanira nulus/
pasanging graita lantip/
nimpuneng guna kinaot//
Putra laki-laki Ki Juru Martani
tadi
berwatak pendeta yang suci.
sabar sekali,
mempunyai pemikiran yang
tajam,
pintar sekali.
116
8 Ngawula ring eyang neng sesela
dhukuh/
sinadulurakên nguni/
lan Ki Pamanahan iku/
tanapi Ki Mas Panjawi/
katri tan pisah agolong//
Belajar ke eyang di dhukuh Sela,
dijadikan saudara
dengan Ki Pamanahan itu
dan juga Ki Mas Panjawi.
ketiganya tidak pernah pisah.
9 Nalika duk panjênêngan Pajang Prabu/
katri suwiteng Narpati/
pinarcayeng baya kewuh/
Pamanahan lan Panjawi/
ulah[37] gêdhag gêdhig karo//
Ketika beliau Prabu Pajang,
ketiganya mengabdi kepada Raja.
dipercaya menanggulangi
bahaya.
Pamanahan dan Panjawi
keduanya ahli peperangan.
10 Kyai Jurumartani kang ulah rembug/
dadya minangka kumudhi/
wirasa kaliyan wau/
sabarang reh mung nglakoni/
rahayu salwir lelakon//
Kyai Juru Martani yang
melaksanakan musyawarah,
yang dianggap jadi pengendali.
dirasakan semuanya
apapun perintahnya hanya
menjalankan,
semua terlaksana dengan
selamat.
11 Yen cinandra lelabuhane Ki Juru/
lir Bathara Kresna nguni/
pamonge mring putra Pandhu/
saplak nora madal sumbi/
pamurih ing karahayon//
Jika diceritakan perjuangannya,
Ki Juru
seperti Bathara Kresna
yang mengasuh putra Pandhu.
sama tidak mengecewakan,
berupaya untuk keselamatan.
12 Sirnaning kang Arya Jipang dibya ripu/ Meninggalnya Arya Jipang
117
dening glar mardawa yêkti/
paekanira Ki Juru/
tan kawistara nanduki/
Arya Panangsang kaloloh//
oleh perang sebenarnya
ditipu Ki Juru.
tidak kelihatan menambahi,
Arya Panangsang terhasut.
13 Iya pira banggane wong siji muhung/
nadyan akulita wêsi/
sungsum magagala tuhu/
lamun karobaning tandhing/
mangsa wurunga kaleson//
Iya berapa susahnya hanya
seorang.
walaupun kulitnya besi,
sungsum benar-benar keras,
tetapi dikeroyok perang
waktu belum lelah.
14 Pamanahan kaganjar bumi Matarum/
Kyai Juru atut wuri/
kongsi tumuruning sunu/
Panêmbahan Senapati/
denya mrih jayeng palugon//
Pamanahan dihadiahi Matarum,
Kyai Juru mengikutinya.
sampai diturunkan kepada
anaknya.
Panembahan Senapati
berupaya menang di peperangan.
15 Kyai Juru kang tinaring barang
rembug/
dadya Patih misesani/
Ki Mandaraka jejuluk/
liningga murda kapundhi/
yata wau kacariyos//
Kyai Juru yang diajak
musyawarah,
jadi Patih sangat pintar.
Ki Mandrakara namanya,
disembah dengan hormat.
demikian ceritanya.
16 Apeputra catur kang sêpuh jejuluk/
Juru Martani ping kalih/
katrima sinung jejuluk/
Pangran Mandhara Nagari/
katrima malih mring katong//
Berputra empat yang tua
bernama
Juru Martani ke dua
diterima mendapat sebutan
Pangeran Mandhara Nagari.
diterima lagi oleh Raja
118
17 Pinaringan salin ing peparabipun/
Jêng Pangeran Adipati/
Mandraka gya arinipun/
[38] Ki Juru Wiraprabeki/
ugi katrima ing katong//
Mendapat ganti disebutannya
Jêng Pangeran Adipati
Mandraka. lalu adiknya
Ki Juru Wirapraba
juga diterima oleh Raja
18 Sinung nama Pangran Mandurarejeku/
nulya Kyai Juru Kithing/
katrima sinung jejuluk/
Pangran Upasonta nuli/
wuragile bagus anom//
Dikasih nama Pangeran
Mandurareja.
lalu Kyai Juru Kithing
diterima dikasih nama
Pageran Upasonta. lalu
bungsunya bagus muda
19 Tinarima maring Kangjêng Sultan
Agung/
pinaring Batang nagari/
Dipati Batang jejuluk/
kramantuk putri yu luwih/
putreng Banawa sang katong//
Diterima oleh Kangjeng Sultan
Agung
dikasih negeri Batang.
Adipati Batang namanya,
menikah dengan putri cantik
putrinya sang Raja Banawa.
20 Apatutan wanodya warna pinunjul/
pinundhut kinarya sori/
maring Kangjêng Sultan Agung/
Jêng Ratu Wetan wewangi/
ngalih nama Ratu Kulon//
berputra perempuan parasnya
cantik
dijadikan permaisuri
oleh Kangjeng Sultan Agung.
Jeng Ratu Wetan namanya,
ganti nama Ratu Kulon.
21 Apatutan Sunan smare Têgal arum/
yeku dadining trimurti/
Pamanahan lan Ki Juru/
berputra Sunan smare di Tegal
Arum.
yaitu jadinya ketiganya,
Pamanahan dan Ki Juru,
119
katigane Mas Panjawi/
lir mas tumimbal katongton//
ketiganya Mas Panjawi
seperti emas dilihat.
MASKUMAMBANG
1 Kang winarna mangkya panêmbahan
radin/
jatine trah Pajang/
Jêng Sultan Pajang sesiwi/
Pangran Dipati Banawa//
Yang diceritakan nanti
Panembahan Raden,
sejatinya keturunan Pajang.
putra Kangjeng Sultan Pajang
Pangeran Adipati Banawa.
2 Duk jumênêng neng Pajang parabing
aji/
Kangjêng Susuhunan/
Prabu Wijaya ing nguni/
apeputra Pangeran Mas//
Ketika berkuasa di Pajang
namanya Raja
Kangjeng Sunan
Prabu Wijaya.
berputra Pangeran Mas,
3 Jumênêng neng Pajang pinacak Dipati/
duk panjênêngannya/
Jêng Sultan Agung Matawis/
punika nulya peputra//
Bertahta di Pajang menjadi
Adipati.
beliau
Kangjeng Sultan Agung
Mataram
itu lalu berputra
4 Pangran Prabu Wijaya silih wewangi/
Radin panêmbahan/
punika peputra estri/
kagarwa mring Jêng Susunan//
Pangeran Prabu Wijaya, ganti
namanya
Raden panembahan
itu berputra perempuan
dinikahi oleh Kangjeng Sunan
5 Ingkang seda sinare ing Têgalwangi/
Ra-[39]tu Kilen nama/
Yang meninggal dimakamkan di
Tegalwangi,
Ratu Kilen namanya.
120
patutan priya warna di/
sinung nama dyan Mas Drajad//
berputra laki-laki berparas
tampan
dikasih nama dyan Mas Drajad.
6 Diwasanya ambêk pinasthika manik/
susila noraga/
marma siniyan rama ji/
kinudang kondhanging Praja//
Dewasanya sangat menonjol
seperti intan,
terpuji andhap ashor.
maka dari itu disayangi
ayahanda,
diajarkan hebatnya kerajaan.
7 Jinênêngkên Pangran Pugêr Adipati/
duk bêdhah Mataram/
jêngkaring rama Narpati/
kêbut sapraja tut wuntatya//
Dinamakan Pangeran Adipati
Puger.
ketika menyerang Mataram,
perginya ayahanda Raja,
semua satu kerajaan pergi
mengikutinya.
8 Sarawuhing Toya Mas rerep Sang Aji/
aneng Ajibarang/
kang putra pangran dipati/
kinen angrebata Praja//
Setibanya Toya Mas istirahatlah
Sang Raja
di Ajibarang.
yang putra Pangeran Adipati
diutus merebut kerajaan.
9 Raja putra tan tega tilar rama ji/
ature tan wignya/
pisahan rama narpati/
pêjah gêsang atut wuntat//
Pangeran tidak tega
meninggalkan rama.
bilangnya tidak mampu
berpisah dengan Raja.
hidup matinya selalu mengikuti.
10 Andikaning Nata paran sira kaki/
Raja bertanya bagaimana kamu
itu
121
têka sru lenggana/
ngrebut Prajanta Mantawis/
mangka iku wajib ira//
sampai tidak mau menurut
merebut kerajaan Mataram.
padahal itu harus.
11 Yen makono12 rinira bakal sun tari/
Ki Pugêr kewala/
lah kulup Pugêr Dipati/
baliya nanggulang mêngsah//
Jika begitu adikmu akan saya
tawari
Ki Puger saja.
“lah nak Puger Adipati,
kembalilah menanggulangi
perang.
12 Dene jêngnêng13 ingsun wis awya
kopikir/
karana karteng Hyang/
ingsun wus tan den lilani/
maneh umadêg Narendra//
Adapun saya sudah tidak
dipikirkan,
karena tata tentremnya Tuhan
saya sudah tidak diperkenankan
lagi menjadi Raja”.
13 Pangran Pugêr matur sandika wot sari/
mung mugi angsala/
pangestu paduka yêkti/
sagêd angrebat nagara//
Pangeran Puger menyembah,
hanya semoga mendapatkan
restu paduka sejatinya
bisa merebut Negara.
14 Arsayeng tyas narendra ngandika
malih/
sun srahkên ing suksma/
muga unggula ing jurit/
sarta sun wehi wasiyat//
Senang hatinya Raja berbicara
lagi,
“aku serahkan pada Tuhan,
semoga unggul pada perang
dan aku kasih wasiat
15 Ki Maesa nular lan paleret iki/
padha sarotama/
Ki Maesa Nular dan pleret ini
sama indah bagus
12 mangkono 13 jeneng
122
pusakeng karaton ja-[40]wi/
anggonên gagamaning prang//
pusaka di Keraton Jawa
pakailah untuk perang.
16 Muwah arinira kaki Singasari/
kaki martasana/
gawanên gawenên kanthi/
ing têmbe yen jayeng yuda//
Dan adikmu Singasari,
Martasana
ajaklah bawalah sampai
nanti jika menang perang”.
17 Ingsun titip arimu si tapa iki/
dene misih bocah/
yen wus madêg aneng Pathi/
pilih bobot ing ngayuda//
“Aku titip adikmu si tapa ini.
ketika masih muda,
jika sudah berkuasa di Pati,
pilih pintar di peperangan.
18 Sira banjur umadêga Narapati/
ana ing Kajênar/
sandika ingkang sinung ling/
gya mangsah manguswapada//
Kamu lalu jadilah Raja
ada di Kajenar.”
menurut yang diberi perintah,
lalu maju menyembah mencium
kaki.
19 Miwah ari kalih sami angabêkti/
nata rawat waspa/
tumingaling putra katri/
gya lengser sangking ngarsendra//
Dan adik kedua sama
menghormati.
Raja menangis
melihat putra ketiga,
lalu mundur dari hadapannya.
20 Mung ingiring dening wadya
sawatawis/
sêdya mring Kajênar/
mangkana sri Narapati/
bidhal saking Ajibarang//
Hanya diiringi oleh beberapa
prajurit
menuju ke Kajenar.
begitu Raja
berangkat dari Ajibarang,
21 Prapteng dhusun pasiraman sri bupati/ Sampai di dusun Pasiraman, Raja
123
rerem saha wadya/
karya pakuwon miranti/
kacarita duk samana//
istirahat dengan prajurit
menyiapkan tenda untuk
istirahat.
diceritakan ketika itu,
22 Sri Narendra gêrah sarira ngranuhi/
tan yun ing usadan/
wusana praptaning takdir/
puput ing yuswa Narendra//
Raja sakit badannya
tidak mau diobati.
akhirnya sampai takdirnya
Raja meninggal dunia,
23 Kasarekên aneng dhusun Têgalwawi/
datan cinarita/
ura-urune kang kari/
mangkya ganti kang winarna//
Dimakamkan di dusun
Tegalwawi.
tidak diceritakan
urutan yang akhir.
lalu ganti yang diceritakan.
24 Lampahira Pangeran Pugêr wus prapti/
ing dhusun Kajênar/
nulya akê klêmpak dasih/
ing Paglen suyut14 sadaya//
Perjalanannnya Pangeran Puger
sudah sampai
di dusun Kajenar.
lalu mengumpulkan abdi
di Paglen mengasihi semua.
25 Wontên mantrinipun kang rama ing
nguni/
ngawuleng Narpatma/
ing angkat dadya bupati/
Tumênggung Gajah Pramada//
Ada mantrinya yang ayahanda
dahulu,
berguru ke Raja
diangkat jadi Bupati
Tumênggung Gajah Pramada.
26 a-[41]ngrehakên satanah Pagêlen
pami/
Menguasai setanah Paglen semua
14 suyud
124
myang para Santana/
kathah kang samya tut wuri/
sih tresna mring narpa putra//
dengan para Santana.
banyak yang sama mengikuti,
sayang kepada pangeran.
27 Kacarita Narendra Putra ing ratri/
asare supêna/
panggih lan rama narpati/
kadhawuhan ngrebat Praja//
Diceritakan Pangeran di malam
hari
tidur bermimpi
bertemu dengan rama Raja
diutus merebut Kerajaan.
28 Ing mangkya wus mangsapêsing satru
sêkti/
sarta kadhawuhan/
laju jumênêng narpati/
aneng desa ing kajênar//
ketika sudah celakanya musuh
sakti,
dan diutus
maju menjadi Raja
di desa Kajenar.
29 Satêlasing dhadhawuh surud sang aji/
Narpatma sru kagyat/
têmah wungu dennya guling/
ngungun mangunêng ing nala//
Sehabisnya mengutus, lalu Raja
hilang.
Raja kaget sekali
lalu bangun dari tidur,
heran sekali dihati.
30 Rawat waspa tinahên santoseng galih/
nulya aseseban/
para ri myang santanabdi/
sumewa aglaring warsa//
menangis di hati
lalu terisak-isak.
ketika ke sentana abdi
menghadap gelarnya tahun.
31 Narpa putra wawarta kalaning ratri/
duk nendra supêna/
dhinawuhan ing rama ji/
ginanjarakên sadaya//
Pangeran memberi kabar ketika
malam,
ketika tidur bermimpi
diutus oleh Raja
dihadiahkan semuanya.
125
32 Ing wêkasan karsaning Sang Narpasiwi/
yun jumênêng Nata/
sadaya anambadani/
kanthi arsayaning driya//
Pada akhirnya Sang Pangeran
bermaksud
ingin menjadi Raja.
semua menuruti
dengan senang di hati.
33 Raja putra nulya jumênêng narpati/
kukutheng Kajênar/
jejuluking Narapati/
Kangjêng Susunan Ngalaga//
Pangeran lalu menjadi Raja
berkota di Kajenar.
bergelar Raja
Kangjêng Susunan Ngalaga.
34 Ing Kajênar den lih purwa kandha
nagri/
sampun kabyawara/
ing Kêdhupag lan sumiwi/
samapta kapraboning prang//
Di Kajenar berganti nama.
sudah dikabarkan
di Kedhupag dan dihormati.
selesainya Prabunya perang.
35 Enggaling kang carita Sri Narapati/
angundhangi bala/
sumêdya ngrebat Matawis/
bidhal saha wadya kuswa//
singkat cerita Raja,
mengundang prajurit
mau merebut Mataram.
berangkat dengan Prajurit.
36 Mêngsah kang neng Jagabaya
anadhahi/
[42] pangagênging mêngsah/
Dhandhang Wacana wawangi/
rame têmpuhing ngayuda//
Musuh yang di Jagabaya
menyadari
pimpinan musuh
Dhandhang Wacana namanya.
ramai jalannya perang.
37 Ing ngantara wadya Madura sor titih/
keh kang karahatan/
girisa sesaning pati/
ketika prajurit Madura kalah,
bayak yang terluka.
takut apabila mati,
126
samya lumayu sasaran//
sama lari terbirit-birit.
38 Kyai Dhandhang Wacana kawuting
dasih/
lumayu sawadya/
pati pati bêbêntusi/
angungsi mring Pleret kitha//
Kyai Dhandhang Wacana
mengamuk,
berlari prajurit.
lari tunggang langgang
menabraki,
mengungsi ke kota Pleret.
39 Saparane ingungsir dening Narpati/
wadya ing Mataram/
kang nungkul mring mêngsah nguni/
samangke ambalik samya//
Kemana-mana dioyak oleh Raja,
prajurit di Mataram
yang kalah oleh musuh
nanti kembali semua.
40 Sangsaya keh wadya balane sang aji/
yata kacarita/
kang ngêbregi jroning puri/
Ki Mangkuyuda ing Sampang//
Semakin banyak prajurit Raja.
lalu diceritakan
yang menempati dalamnya
Kraton,
Ki Mangkuyuda di Sampang.
41 Sampun wikan yen wadya matawis
balik/
kêkês driyanira/
kawêwahan duk udani/
praptane dhandhang wacana//
Sudah tahu jika prajurit Mataram
pulang,
semakin takut hatinya.
ditambah ketika mengetahui
datangnya Dhandhang wacana.
42 Kasangsaya sawadyane pothar pathir/
saya tistising tyas/
rembag samya angoncati/
sêdya angumpul mring Daha//
Semakin cemas prajuritnya
pontang-panting,
semakin takut hatinya.
musyawarah untuk menyingkir
pergi,
mau berkumpul di Daha.
127
43 Sang aprabu dupi ingaturan uning/
yen wadya Madura/
larut sadaya ngoncati/
kitha Paleret wus sunya//
Prabu ketika diberitahu
jika prajurit Madura,
hilang semua pergi.
kota Paleret sudah sepi.
44 Langkung suka Narendra tumameng
nagri/
duk kala samana/
têtêp adêging Narpati/
mêngku ing Praja Mataram//
Lebih suka Raja masuk di negeri.
ketika dahulu,
kuat kedudukan Raja
menguasai Kerajaan Mataram.
45 Nahan kang wus têntrem neng nagri
matawis/
gantya kawuwusa/
Narpatma wreddha ing nguni/
sasedanira kang rama//
Lalu yang sudah tentram di
Negeri Matawis.
ganti yang diceritakan.
pangeran Raja yang tua,
setelah ayahanda wafat,
46 Tis tising tyas rumaos doseng su-
[43]darmi/
têmahan nalongsa/
mrih antuk apureng widdhi/
pangingkising15 driyanira//
Sedihnya hati terasa berdosa
kepada Bapak.
benar-benar sedih.
supaya mendapat maaf dari
Tuhan,
mengikis hatinya.
47 Amêjahkên sarirarsa munggah kaji/
utusan mring Têgal/
animbali sang Dipati/
martalaya wus sumewa//
Membunuh rasa mau naik haji.
mengutus ke Tegal
memanggil sang Adipati
Martalaya sudah menghadap.
15 pangikising
128
48 Dhinawuhan saliring karsa sang pêkik/
kinen asudhiya/
baita ingkang prayogi/
kinarya layar mring Mêkah//
Diutus seperti maunya sang
pangeran tampan.
disuruh menyediakan
prahu yang bagus
dibuat berlayar ke Mekah.
49 Ki Dipati ngraup pada sarya nangis/
ature mlasarsa/
dhuh Pukulun sang apêkik/
kang ambêk para marteng rat//
Ki Adipati sungkem pada kaki
sambil menangis
berkata dengan memelas,
“dhuh Gusti sang Bagus
yang luhur di jagad,
50 Mênggah karsa Paduka yun minggah
kaji/
dahat tan sayogya/
ulun botên nyuwaweni/
punapa ta jêng Paduka//
adapun keinginan Paduka naik
haji
sangat tidak baik.
aku tidak menyetujui.
apa Kangjeng Paduka
51 Botên ngowêl karisakaning rat Jawi/
yen Paduka tilar/
sintên kang den gogondheli/
titiyang satanah Jawa//
tidak takut rusaknya tanah Jawa?
jika Paduka pergi,
siapa yang dianut
orang setanah Jawa?
52 Lehêng mangkya jumênênga Narapati/
gumantyeng ramendra/
pundi Praja kang pinilih/
ing ngriki punapa Têgal//
Lebih baik maka jadilah Raja
menggantikan ayahanda Raja,
mana kerajaan yang dipilih?
disini apa Tegal?”
53 De prakawis mêngsah kapanggih eng
patik/
ulun botên ulap/
pun Trunajaya ing jurit/
“Tentang perkara melawan
bertemu abdi,
saya tidak takut.
sudah ada Trunajaya di
129
wêwaha wadya balanya//
peperangan,
tambah prajuritnya.”
54 Kathah kathah aturira Sang Dipati/
nging Sri Narpatmaja/
wus tan kêna den pambêngi/
mung dhawuh mundhut baita//
Banyak perkataan Sang Adipati,
tetapi Sri Narpatmaja
sudah tidak bisa dihalang-
halangi.
hanya menyuruh beli kapal.
55 Ki Dipati nyuwun sareh sawatawis/
sêdyanya iyasa/
baita ingkang prayogi/
linilan mantuk mring Têgal//
Ki Adipati minta sabar sebentar,
maksudnya membuat
kapal yang bagus,
diijinkan pulang ke Tegal.
56 Sapêngkêre Marsalaya Ki Dipa-[44]ti/
Sri Narendra putra/
tinawisan santanabdi/
amrih wandeya mring Mêkah//
perginya Ki Adipati Marsalaya,
Sri Narendra putra
bersama abdi
supaya pergi ke Mekah.
57 Nanging datan surud adrenging
panggalih/
yata kacarita/
ing dalu sare neng masjid/
mung lawan tri panakawan//
Tapi tidak surut keinginan
hatinya.
lalu diceritakan,
di malam tidur di masjid
hanya dengan tiga abdinya.
58 Madya ratri supêna Sang Narpasiwi/
masjid katon growah/
sirahga datan kaeksi/
sumêblak langit kawuryan//
Tengah malam mimpi Sang putra
Raja,
masjid terlihat tidak utuh.
raganya tidak terlihat.
langit terlihat tenang.
59 Nuntên wontên rêmbulan pipitu keksi/ Lalu ada bulan tujuh terlihat
130
umanjing ing jaja/
gya wontên katingal malih/
rare gêngnya saukiran//
masuk ke dalam di dada.
lalu ada terlihat lagi
anak besarnya segunung.
60 Cahyanira mancur mancorong nêlahi/
sor prabaning surya/
kacaryan tyas Raja siwi/
cinandhak candhak tan kêna//
Cahayanya bersinar sekali,
sorotnya cahaya kalah.
kaget hati Pangeran.
diraih-raih tidak bisa.
61 Ing wêkasan umanjing ing jaja malih/
sing kagyating driya/
têmah wungu denya guling/
ngungun pupungun kamantyan//
akhirnya masuk ke dalam dada
lagi.
yang kagetnya hati
langsung bangun dari tidurnya,
heran sekali bangun tidur.
62 Grahita yen kadhawahan wahyu jati/
sakala punika/
Narpatma ciptaning galih/
beda lawan saban-saban//
Mengira jika dijatuhi wahyu.
seketika itu,
Raja punya ide di hati
berbeda dengan biasanya.
63 Sabawana kadya wus kagêgêm sami/
pangunandikannya/
saupama duk ing nguni/
mangkene rasaning driya//
Sejagad seperti sudah dikuasai
semua.
ujarnya,
seumpama dahulu
begini rasanya hati,
64 Kaya nora bêdhah praja ing Matawis/
têmah sande denya/
sumêdyarsa minggah kaji/
mangkya yun jumênêng Nata//
Seperti tidak kalah kerajaan di
Mataram.
akhirnya tidak jadi olehnya
ingin naik haji,
maka mau menjadi Raja.
131
65 Kalampahan jumênêng Nata wawangi/
Kangjêng Susuhunan/
Amangkurat nuswa jawi/
Senapatining Ngalaga//
Lakunya menjadi Raja bergelar
Kangjêng Susuhunan
Amangkurat nuswa Jaw
Senapatining Ngalaga
66 Ngabdul Rahman Sayidin Panatagami/
nulya amisudha/
sagung para [45] santanabdi/
saundha biliking pangkat//
Ngabdul Rahman Sayidin
Panatagami.
lalu mengangkat
semua para Santana abdi
naik pangkatnya.
67 Ki Dipati Martalaya den timbali/
prapta winartanan/
yen sampun jumênêng aji/
dahat sukaning wardaya//
Ki Adipati Martalaya dipanggil
sampai dikabarkan
jika sudah menjadi Raja.
suka sekali hatinya.
68 Pinondhongan mring Têgal Sri
Narapati/
gung gagabah wadya/
dupi wus samapta sami/
saka praboning ngayuda//
Raja pindah ke Tegal.
terburu-buru prajurit.
ketika sudah siap semua
dari tempatnya perang,
69 Nulya bidhal lumurug maring Kadhiri/
prapta pinêthuk prang/
Trunajaya wus kalindhih/
ngungsi marang Gunung Ngantang//
Lalu berangkat perang ke Kediri.
sampai menjumpai perang,
Trunajaya sudah kalah
mengungsi ke Gunung
Ngantang.
70 Kasarakat ingipuk puwara kêni/
pinarjayeng Nata/
Kyai Balabar babar ji/
Sri Nata gya yasa kitha//
Kasarakat dibujuk mengakhiri,
dibunuh Raja,
Kyai Blabar kalah.
Raja lalu membangun kota.
132
71 Winastanan Kartasura praja adi/
têntrem tyasing wadya/
nulya utusan nimbali/
kang rayi Sunan Ngalaga//
Dinamakan kerajaan Kartasura,
tentram hantinya prajurit.
lalu mengutus memanggil
sang adik Sunan Ngalaga.
72 Sandeyeng tyas tinarka trahing
kumpêni/
dadya tan sumewa/
têmah rêrêmponing jurit/
mungsuh rowang keh palastra//
Khawatir hati dikira keturunan
kompeni,
jadi tidak menghadapi.
prajurit perang habis-habisan.
musuh dan teman banyak yang
mati.
73 Sri Mangkurat duta Urawan Dipati/
kinen angêjuma/
kalampahan lêbdeng kardi/
Sunan Ngalaga sumewa//
Sri Mangkurat utusan Dipati
Urawan,
diutus memperbaiki.
lakunya pintar dalam
menjalankan.
Sunan Ngalaga menghadap,
74 Nyuwun wangsul kasatriyanira lami/
Pugêr Adipatya/
langkung sihira raka ji/
kinarya gêdhig manggala//
Minta kembali kesatrianya
dahulu
Adipati Puger
lebih sayangnya kakak.
diberikan kekuatan untuk perang.
75 Sasuruting Nata putra kang gumanti/
Pangran Adipatya/
jejulukira Narpati/
Jêng Susunan Mangkurat Mas//
meninggalnya Pangeran yang
menggantikan
Pangeran Adipati
bergelar Raja
Jêng Susunan Mangkurat Mas.
133
76 Nanging arda puwa-puwambêkira ji/
wêlinging kang rama/
tan ana ingkang ginalih/
malah tinrajang sadaya//
Tetapi murka sewenang-wenang
olehnya,
nasehatnya ayahanda
tidak ada yang dipikirkan,
malah dilanggar semua.
77 Mring kang paman Pangeran Pugêr tan
asih/
gêthing trusing dri-[46]ya/
agung weh rêncakeng galih/
puwara Pangran balela//
Oleh paman Pangeran Puger
tidak sayang.
tidak suka dihatinya
banyak membuat sedih hati.
akhirnya Pangeran
membangkang,
78 Lolos saking Praja jujug mring
Samawis/
jumênêng Narendra/
sing panjunjunging kumpêni/
suyud pra manca nagara//
Pergi dari Kerajaan pergi ke
Semarang.
menjadi Raja
yang mengangkat kompeni.
mengasihi kerajaan luar.
79 Ajejuluk Sunan Pakubuwana ping/
kapisan mangkana/
ri wus samapta ngajurit/
kang putra ginêbaging prang//
Bernama Sunan Pakubuwana
pertama itu.
hari sudah selesai menjadi
prajurit,
sang anak maju perang.
80 Nateng Kartasura sor leresing jurit/
alolos mangetan/
ingapus krameng kumpêni/
kinendhangkên maring sabrang//
Raja Kartasura kalah mundur
perang,
lolos ke timur.
ditipu oleh kompeni,
dibuang ke sebrang.
81 Praja Kartasura ing ngêbregan dening/ Kerajaan Kartasura ditempati
134
rising Jayengrana/
lulus jumênêng Narpati/
mucung amangkurat Jawa//
oleh
keturunan Jayengrana,
tulus menjadi Raja
tembang menguasai jagad Jawa.
PUCUNG
1 Kang winuwus Panêmbahan ing
Madiyun/
jatine trah Dêmak/
putrane Sultan kaping tri/
duk jênênge Sultan Adi Awijaya//
Yang diceritakan Panembahan di
Madiun,
sebenarnya keturunan Demak.
putranya Sultan ketiga
namanya Sultan Adi Awijaya.
2 Karsa Prabu pinacakan neng Madiyun/
ran Panêmbahan Mas/
nanging karane wawangi/
nênggih Panêmbahan Madiyun kewala//
Ingin Prabu memulai di Madiun,
nama Panembahan Mas
tapi julukan namanya
yaitu Panembahan Madiun saja.
3 Putranipun sadaya kehe salikur/
nanging tan winarna/
namung putranira putri/
kang paparab Kusuma Retna Dumilah//
Anaknya semua banyaknya 21,
tapi tidak diceritakan
hanya anaknya perempuan
yang namanya Kusuma Retna
Dumilah.
4 Suwarna yu sor rarasing surawadu/
nalika sêmana/
Madiyun binêdhah dening/
Panêmbahan Senapati ing Ngalaga//
Berparas cantik bidadari kalah
kecantikannya.
ketika itu,
Madiun diserang oleh
Panembahan Senapati ing
Ngalaga.
5 Jêngkaripun Panêmbahan sing
Madiyun/
Perginya Panembahan ke
Madiun,
135
kang putra sang retna/
tinilaran neng jro puri/
pinaringan wangkingan Kyai Gu-
[47]marang//
putranya Sang Retna
ditinggal di dalam puri
dikasih keris Kyai Gumarang.
6 Lawan pistul, kencaka rupa dwinipun/
Kyai rupa kenca/
mangkana sang Kusuma di/
sotaning tyas martrenyuh tanpa
jamuga//
Dan pistol kencaka rupa yang
kedua
Kyai Rupa kenca.
begitu sang Kusuma
rasanya hati terharu tanpa akhir.
7 Dangu-dangu, madêga sudiranipun/
abusana priya/
pusaka rinasuk sami/
yen sinawang sirna sipating wanita//
Lama-lama menjadi berani
sekali,
berbusana laki-laki.
senjata dimasukkan semua,
jika dilihat hilang sifatnya
perempuan.
8 Kadya kakung, sarigak tandange patut/
lir Putra Cêmpala/
Dyan Wasta Dyumêna nguni/
duk umadêg Senapatining Pandhawa//
Seperti laki-laki cekatan
kerjanya,
seperti Putra Cempala,
Dyan Wasta Dyumêna itu
ketika menjadi Senapatinya
Pandhawa.
9 Neng kadhatun, miranti sawadyanipun/
prajurit wanudya/
saekapraya upami/
mati siji kabeh barênga palastra//
Di kedaton sudah siap
prajuritnya,
prajurit perempuan
setuju seumpama
mati satu semua juga mati.
136
10 Rawuhipun, Senapati jro kadhatun/
sang Rêtna tan wang wang/
trangginas angancarani/
kang bramastra mimis kancana
lumêpas//
Datangnya Senapati di dalam
kedaton,
sang Ratna tidak ragu-ragu.
terampil dihormati,
yang peluru dilepaskan.
11 Sru tumanduk, ing jaja Nateng
Matarum/
tan mantra karasa/
eca denira lumaris/
sang Rêtna yu krodha nirbaya wikara//
Mengenai dada Raja Mataram,
sama sekali tidak terasa.
dengan enaknya meninggalkan
sang Retna tetap berani sekali.
12 Wantu-wantu, bramastranira tumanduk/
datan ing anggopan/
mêksa tan tumama sami/
kanang mimis kancana ajering jaja//
Berulang-ulang melepaskan
senjatanya
tanpa istirahat.
tidak ada yang melukainya,
peluru emas luluh di dada.
13 Draweng tatur, rumêgeng jaja
ngunguwung/
kadya kang pangantyan/
kalane binayang kari/
sarira di binorehan wida jênar//
Ketika luluh banyak di dada,
seperti sang pengantin.
ketika dibayangkan seperti
badannya dilumuri wewangian.
14 Sang dyah ayu, tan surud sidaning
bêndu/
sumêdya manglaga/
arok banda wala pati/
kapitêmên wus narik Kyai Gumarang//
Sang Dyah ayu tidak takut terjadi
kekalahan,
bersedia berperang.
perang tanding sampai mati,
benar-benar sudah menarik Kyai
Gumarang.
137
15 Yata wau, sang Senapati yun laju/
[48] arsa nadhahana/
Ki Juru Martini aglis/
anututi kang putra winangsit sigra//
Iya tadi sang Senapati lalu jalan
mau menerima.
Ki Juru Martini langsung
menyusul sang anak dikasih
wangsit lalu
16 Tampi sampun, Senapati kendêl gupuh/
amirageng solah/
nandukên wicara manis/
asrah jiwa raga winoring srenggara//
Terima sudah Senapati diam
terburu-buru.
bertingkah halus
menanggapi berbicara manis,
pasrah jiwa raga mau
dipersunting.
17 Sang Retna yu, kamanisên ing
pangungrum/
tambuh soteng driya/
wantuning wanodya adi/
wus diwasa pinanggihan priyo tama//
Sang Ratna manis di rayuannya,
tidak peduli rasanya hati.
beraninya prajurit perempuan,
sudah dewasa bertemu prajurit
laki-laki.
18 Warna bagus, wênêsing cahya sumunu/
lebdeng manuhara/
mangalap jiwaning putri/
sanalika kasabêt asmara tantra//
Paras tampan bersih bersinar
wajahnya,
pintar merayu
mengambil hatinya perempuan
seketika itu terkena panah
asmara.
19 Riwe kumyas, lir linolosan kang bayu/
dadya kadrawasan/
pamusthinya anggregeli/
Ki Gumarang dhawah ing kisma
sakala//
Keringat bercucuran,
jadi membahayakan
semestinya mengganggu,
Ki Gumarang jatuh di tanah
semua.
138
20 Sri Matarum, mesêm lumaksana maju/
sarwi nyandhak kadga/
sinarungkên gya winangking/
sang Dyah Rara nungkul sumarahing
karsa//
Sri Matarum senyum lalu maju
serta mengambil keris
dimasukkan wadah lalu
dipanggul.
sang Dyah Rara pasrah kepada
Tuhan.
21 Lulus dhaup, patutan tri miyos kakung/
kang wreddha Pangeran/
Pringgalaya Adipati/
sundhulane jêng Panêmbahan
Juminah//
selesai menikah berputra tiga
lahir laki-laki
yang tua Pangeran
Adipati Pringgalaya,
dekat jaraknya dengan Kangjeng
Panembahan Juminah.
22 Kang waruju, tinanêman neng Madiyun/
Pangran Adipatya/
Martalaya sinambat sih/
Panêmbahan Juminah ingkang
winarna//
Yang ragil tinggal di Madiun,
Pangeran Adipati
Martalaya namanya.
Panembahan Juminah yang
diceritakan.
23 Wus sesunu, nênêm kang wreddha
jejuluk/
Pangran Martalaya/
nama Balitar Dipati/
kang panênggak Radyan Arya
Suralaya//
Sudah memiliki enam putra yang
tua bernama
Pangeran Martalaya
nama Adipati Blitar,
yang kedua Radyan Arya
Suralaya,
24 Gya [49] dyan ayu, Kajoran
sundhulinipun/
priya parabira/
Radyan Arya Wangsengsari/
Lalu dyan Ayu Kajoran dekat
jaraknya dengan
laki-laki namanya
Radyan Arya Wangsengsari,
139
sumêndhine Radyan Ayu Wanabaya//
kakak ragilnya Radyan Ayu
Wanabaya,
25 Ragilipun, Sonta Dirja Raden ayu/
wau kang winarna/
putra kang sêpuh pribadi/
jêng Pangeran Dipati Arya Balitar//
bungsunya Raden ayu Sonta
Dirja.
tadi yang diceritakan
anak yang tertua,
Kangjeng Pangeran Adipati Arya
Blitar.
26 Putranipun, mung sajuga mijil jalu/
Pangeran Balitar/
uga mung peputra siji/
apanêngran Pangran Tumênggung
Balitar//
Anaknya hanya satu lahir laki-
laki.
Pangeran Blitar
juga hanya berputra satu,
bergelar Pangeran Tumenggung
Blitar.
27 Lajêngipun, wau Pangeran
Tumênggung/
peputra wanudya/
kagarwa sri Narapati/
jêng Susunan Pakubuwana kapisan//
Selanjutnya tadi Pangeran
Tumenggung
berputra perempuan
diperistri Raja
Kangjeng Sunan Pakubuwana
pertama.
28 Ajejuluk, Pakubuwana jêng Ratu/
ambêk pinasthika/
susila bêkti ing laki/
ingkang garwa dahat sih mule mring
garwa//
Bernama Kangjeng Ratu
Pakubuwana,
berwatak suci
santun baktinya kepada suami.
yang istri sayang sekali
menghomati kepada suami.
29 Asesunu, kakung putri kehe wolu/ Punya anak laki-laki perempuan
140
putra kang panênggak/
mijil priya warna pêkik/
pinaringan paparab Raden Mas Surya//
delapan orang.
anak yang pertama
lahir laki-laki berparas tampan
dikasih nama Raden Mas Surya.
30 Diwasa wus, pinantês panêngranipun/
dyan Mas Surya putra/
mangka sêsêkaring nagri/
ri sawusing kang rama jumeneng Nata//
Dewasa sudah pantas namanya
dyan Mas Surya putra.
jadi kebanggaan Negara.
hari sesudahnya sang ayahanda
menjadi Raja,
31 Karsa prabu, pinacak palungguhipun/
Pangran Adipatya/
suruding rama gumanti/
ajejuluk jêng Sunan Prabu Mangkurat//
Keinginannya disediakan
kedudukan raja.
Pangeran Adipati,
meninggalnya ayahanda berganti
bernama Kangjeng Sunan Prabu
Mangkurat.
32 Adêgipun, nata misih ara uru/
prang jaya puspita/
dereng mong wibawa mukti/
sri Narendra sung galih yuda kanaka//
Berdirinya raja masih perang,
perang jaya puspita.
rasanya belum menikmati
Raja memberi ide untuk
berperang.
PANGKUR
1 Naha-[50]n gantya kang winarna/
wontên trahing Rasul nayakeng bumi/
Kalipah Kusen jejuluk/
Seh Mahdi kang peputra/
angajawi jujug Praja Surengkewuh/
Lalu ganti yang diceritakan,
ada keturunan Rasul penuntun di
bumi
namanya Kalifah Kusen
Seh Mahdi yang berputra
pergi ke Jawa langsung ke
Kerajaan Surengkewuh
141
panggya Sunan ngampel dênta/
abawa karana sami//
bertemu Sunan Ampel
sama menyebar agama Islam.
2 Lwire gêlarkên aluran/
myang karananira dennya ngajawi/
jêng Sunan asih kalangkung/
pinikramakkên mangkya/
antuk suteng arya baribin ing dangu/
gya tinanêm dadya iman/
aneng Madura nagari//
semua gelarnya diceritakan
dan sebabnya beliau ke Jawa.
Kangjeng Sunan sayang sekali.
dinikahikannya nanti
dapat anaknya Arya Baribin dulu
lalu menjadi iman
di Negara Madura.
3 Puputra jalu panêngran/
jêng Susunan Ngudung wali prajurit/
kalokeng jana linuhung/
nalika Raden Patah/
yun ngrabaseng rama Nateng
Majalangu/
rêmbaging wali sadaya/
kang mongka pangirit baris//
Berputra laki-laki namanya
Kangjeng Sunan Ngudung wali
prajurit
terkenal di manusia luhur.
ketika Raden Patah
mau berperang melawan
ayahanda Raja Majalangu,
musyawarahnya wali semua
yang jadi penuntun latihan
perang.
4 Senapatining ngayuda/
angreh aju unduring kang prajurit/
kang pinilih Sunan Ngudung/
katon prawiranira/
ambêk sura prakosa tatag atangguh/
sarehning karoban lawan/
kasambut madyaning jurit//
Senapati perangnya
memerintah maju mundurnya
perang.
yang dipilih Sunan Ngudung.
terlihat prajuritnya
dengan gagah perkasa tatag dan
tangguh.
dikeroyok banyak musuh
bersahutan di tengahnya perang.
142
5 Mung kakalih putranira/
kang asêpuh estri kagarwa maring/
Pangeran Sêkar ing dangu/
arine mijil priya/
tiru rama prawirambêk dibya sadu/
putus sandining sampeka/
jêng Sunan Kudus wawangi//
Hanya dua putranya,
yang tua perempuan diperistri
oleh
Pangeran Sekar ing dangu.
adiknya lahir laki-laki
meniru ayahanda perwira utama
ahli dalam segala hal,
Kangjeng Sunan Kudus
namanya.
6 Duk kyagêng pêngging balela/
tan ngimankên Kraton Dêmak sayêkti/
jêng Sunan Kudus tinuduh/
anodhi sêdyanira/
wus winêling saraosing karsa [51]
prabu/
dadya cundika wasesa/
kalampahan Kyagêng Pêngging//
Ketika Kyageng Pengging
membangkang perintah,
sebenarnya tidak mempercayai
Kraton Demak.
Kangjeng Sunan Kudus ditunjuk
dicoba kepintarannya.
sudah diingatkan rasanya
keinginan Prabu,
jadi utusan penguasa
terlaksana Kyageng Pengging.
7 Katitih sawicaranya/
miwah paribawanya gung kalindhih/
seda binêlek kang sikut/
dadya arsayeng Nata/
kawarnaa jêng Sunan Kudus sesunu/
Panêmbahan Kali rannya/
adalem ing Pancawati//
Kalah omongannya
dan pengaruhnya besar kalah,
mati terbelah sikunya.
jadi senang Raja
diceritakan Kangjeng Sunan
Kudus berputra
Panembahan Kali namanya
tinggal di Pancawati.
8 Tanahing Dêmak samana/
sasedaning kang rama anggênteni/
Tanah di Demak ketika itu
sepeninggalan sang rama
143
nama Panêmbahan Kudus/
peputra Pangran Dêmang/
apeputra Pangran Rajungan jejuluk/
punika lajêng peputra/
Pangeran Kudus wawangi//
digantikan
nama Panembahan Kudus,
berputra Pangeran Demang,
berputra Pangeran Rajungan
namanya,
itu lalu berputra
pangeran Kudus namanya.
9 Peputra dyan adipatya/
Arya Sumadi Pura Angrenggani/
ing kitha Pathi puniku/
peputra dyan Dipatya Arya Tirta
Kusuma/
maharjeng Kudus/
peputra putri utama/
kagarwa sri Narapati//
Berputra dyan Adipati
Arya Sumadi Pura Angrenggani
di kota Pati itu,
berputra dyan Adipati Arya Tirta
Kusuma
Raja besar di Kudus,
berputra putri utama
dinikahi Raja
10 Jêng Sunan Prabu Mangkurat/
kang ngrenggani karsa surapraja di/
Ratu Kancana jejuluk/
patutan priyo tama/
anggênteni kang rama jumênêng Ratu/
jejuluk Kangjêng Susunan/
Pakubuwana ping kalih//
Kangjeng Sunan Prabu
Mangkurat.
yang menjaga Raja Surapraja,
Ratu Kencana namanya
punya anak laki-laki utama
menggantikan rama menjadi
Raja,
bernama Kangjeng Sunan
Pakubuwana ke II.
KINANTHI
1 Kanthine cariteng ngayun/
putranira Sri bupati/
Pakubuwana kapisan/
patutan sing prameswari/
Bersamaan cerita di depan,
putra Sang Raja
Pakubuwana I,
putra dari permaisuri,
144
panêngran Dyan Mas Sasangka/
sajumênênge rama ji//
diberi nama Dyan Mas Sasangka.
semenjak orang tuanya menjadi
Raja,
2 Pinacak ingkang pilungguh/
Pangeran putra sing sori/
nama Dipati Purbaya/
winênangkên andarbeni/
salir pacareng [52] kaputran/
bedane lan santana ji//
diberi kedudukan
sebagai putra Pangeran
bernama Adipati Purbaya.
diberi hak memiliki
segala upacara kenegaraan,
bedanya dengan para abdi Raja.
3 Miwah kalilan anggadhuh/
wong jaga sura prajurit/
pinaringan nagri Blora/
dahat sihireng rama ji/
denira bêk para marta/
dhasar prawireng ngajurit//
Dan berhak meninjau
seorang untuk menjaga prajurit.
Diberi Negara Blora.
sangat dicintai oleh rama Raja.
dia baik terhadap sesama.
dasar pemberani dalam
peperangan,
4 Marma kinarya gul agul/
gêdhig manggaleng nagari/
sring pinacak senapatya/
mangka wakiling Narpati/
amunah praja balela/
anggung ungguling ngajurit//
maka dipercaya sebagai andalan
menjaga keamanan Negara.
sering menjadi Senapati
sebagai wakil Raja,
memberantas kerajaan yang
menentang.
selalu menang dalam perang.
5 Sasuruding rama Prabu/
ingkang sumilih Narpati/
kang raka Pangran Dipatya/
jejulukireng Narpati/
Jêng Sunan Prabu Mangkurat/
sepeninggalan rama Prabu,
yang menggantikan Raja
saudara tua Pangeran Adipati.
bernama Raja
Kangjeng Sunan Prabu
145
tan rena mring ari kalih//
Mangkurat.
beliau tidak suka kepada kedua
adiknya,
6 Jêng Pangran Purbaya wau/
lan Pangran Balitar sami/
upacaraning kaputran/
pinundhut pinaring ganti/
upacara kasantanan/
sinuwak ingkang prajurit//
Kangjeng Pangeran Purbaya
dan Pangeran Balitar.
pelaksanaan upacara penobatan
diminta dan diganti.
upacara abdi Raja
ditolak para prajurit,
7 Myang nagri Blora pinundhut/
sadaya wus kabur sami/
sira jêng Pangran Purbaya/
sukalila trusing batin/
Pangran Dipati Balitar/
dahat meranging sabumi//
dan Negara Blora diambil.
semua sudah hilang.
Kangjeng Pangeran Purbaya
senang rela lahir batin.
Pangeran Adipati Balitar
sangat malu di dunia ini.
8 Tan panon rat idhêpipun/
têmah madêg surenggalih/
sêdya handageng rakendra/
wus mêpak kaprabon jurit/
rêrêmbagan lan kang paman/
Pangeran Arya Matawis//
Niatnya tidak melihat jagad.
kemudian berdiri dan hatinya
berani,
ingin menghancurkan kakak
Raja.
sudah menyiapkan prajurit
kerajaan,
musyawarah dengan paman
Pangeran Arya Mataram.
9 Kang paman agung ngingimur/
mrih sandeya murweng jurit/
dahat saru kaswareng rat/
Pamannya selalu menghibur
supaya menahan memulai
peperangan.
tidak pantas dilihat jagad,
146
lawan kadang rebut singgih/
elinga salah satunggal/
mrih lulus ar-[53]janing bumi//
dengan saudara merebut tahta.
ingatlah salah satu
supaya negera aman dan tentram.
10 Nging pangran Blitar tan surut16/
adreng sêdya murweng jurit/
kêkahing driya lir arga/
tan obah tinêmpuh angin/
kang paman kewraning driya/
têmah linaju ing kapti//
Tetapi Pangeran Blitar tidak
surut,
sangat berkehendak segera
memulai perang.
kuatnya hati seperti gunung,
tidak bergerak terkena angin.
Sang paman bimbang hatinya.
akhirnya dilanjutkan
keinginannya.
11 Among pinaring pituduh/
ywa tilar kudu a kanthi/
lan raka Pangran Purbaya/
jêmbar tyas prawireng jurit/
sinuyutan wadya bala/
yêkti datan nguciwani//
Hanya diberi petuah
untuk jangan meninggalkan
dengan kakak, Pangeran Purbaya
baik hati dan kuat dalam perang,
disegani semua prajurit,
sungguh tidak mengecewakan.
12 Mangkana giliging rêmbug/
sakaliyan mangkat nuli/
prapteng dalem kapurbayan/
Narpa putra anglêrêsi/
lênggah neng wisma priyongga/
kagyat praptanya sang kalih//
Demikian kesepakatan
pembicaraan,
keduanya segera berangkat.
sampai rumah Purbaya,
putra Raja kebetulan
duduk di rumah sendirian.
kaget kedatangnya kedua orang.
13 Pangeran Balitar gupuh/ Pangeran Blitar segera
16 surud
147
nungkêmi padaman nangis/
mangkana Pangran Purbaya/
ngungun tyas wêlas mring ari/
rinapu pinari marma/
kendêl dyan satata linggih//
menyembah sambil menangis.
demikian Pangeran Purbaya
heran dan kasihan kepada
adiknya.
dileram dengan penuh kasih
sayang,
diam duduk dengan sopan.
14 Pangeran Balitar sampun/
mêdharkên salwiring kapti/
kang raka nalika myarsa/
dahat kampitaning galih/
gêrêng-gêrêng ngusap jaja/
engêt wêlinge ing nguni//
Pangeran Balitar sudah
menyampaikan semua
keinginannya.
kakaknya saat mendengarkan
kemudian sedih di hati,
berkata sambil mengusap dada,
ingat pesannya dahulu,
15 Duk swarga kang rama Prabu/
anitipkên wanti-wanti/
mring ari Pangran Balitar/
ywa kongsi sakiting galih/
nanging Pangeran Purbaya/
dahat sih tresneng raka ji//
ketika ayahanda masih hidup,
menitipkan pesan
kepada adiknya, Pangeran Balitar
jangan sampai sakit hati.
tapi Pangeran Purbaya
sangat mencintai kakaknya.
16 Marma sru emênging kalbu/
ginagas saya ngranuhi/
rinasa saya karasa/
têmah putêk manaputi/
wêkasan wêdharing sabda/
tan ana kang tinujweng ngling//
Maka sangat bimbang hatinya.
dipikir tambah menyakitkan,
dirasa tambah terasa,
akhirnya putus asa.
akhirnya ia berkata,
“tidak ada yang diinginkan dalam
ucapannya.
17 Lamun pinikir satuhu/ Apabila dipikir sungguh-
148
luput sakarone sami/
[54] kakang Prabu luputira/
kurang momong maring ari/
lupute yayi Balitar/
kurang panrimaning ati//
sungguh,
keduanya salah.
kakak Prabu bersalah,
kurang membimbing adiknya.
salahnya adik Balitar,
kurang menerima hatinya.”
18 Pangran Balitar duk ngrungu/
tumungkul konjêming siti/
gya matur maring kang paman/
dhuh Jêng paman rikalaning/
upacara pinundhutan/
tan dadya sak sriking ati//
Pangeran Balitar setelah
mendengar,
lalu menunduk diam ke tanah.
segera berkata kepada paman,
“dhuh Kangjeng Paman, disaat
upacara diambil,
tidak jadi kecewanya hati.
19 Mung suda wibaweng ulun/
wangsul gagadhuhan siti/
dhinedhel sadayanira/
punika kang anjalari/
sangêt susahing wardaya/
paran kinarya ngingoni//
Hanya berkurang wibawaku.
pulang dikasih tanah
diambil semuanya.
itu yang menyebabkan
hati sangat sedih.
bagaimana cara untuk
menghidupi
20 Anak bojo sarta batur/
mangka atasing dumadi/
ingkang makatên punika/
botên kenging den selaki/
Pangran Purbaya miyarsa/
dahat angresing panggalih//
Anak istri serta abdi.
padahal sebagai orang hidup,
yang begitu itu
tidak bisa dihindari.”
Pangeran Purbaya
mendengarkan,
miris sekali rasanya hati.
21 Wus bibar kang ulah rêmbug/ Sudah selesai yang
149
dupi ing antara ari/
sira Pangeran Balitar/
datan surut17 wrênging kapti/
sêdya mangrurah puraya/
mangkya wus samapta sami//
bermusyawarah.
ketika di suatu hati,
Pangeran Balitar
tidak berkurang kehendaknya
hati
berkeinginan merusak keraton.
sekarang sudah siap semua.
22 Saka praboning prang pupuh/
wadyanira winitawis/
sewu panca tus kyehira/
duk ing wanci lingsir ratri/
angajêngkên bêdhug tiga/
mangsah ngrabaseng jro puri//
Dari semua peralatan perang
tanding,
para pasukan kelihatan
seribu lima ratus banyaknya.
pada waktu menjelang larut
malam,
menjelang pukul tiga,
menerabas masuk ke dalam
keraton.
23 Gegering wong ting bilunglung/
sagunging wadya kang kêmit/
baris aneng kamandhungan/
wadananira wawangi/
Kiyai Mangunagara/
suka uninga mring loji//
Ramainya orang kocar-kacir,
semua prajurit yang jaga malam
baris di pintu istana.
pemimpinnya bernama
Kiyai Mangunagara
suka melihat di loji.
24 Kapitan jasma sru gugup/
suwareng wadya prajurit/
[55] samapta kapraboning prang/
sampurnanireng pangrakit/
mangsah tetulung mring pura/
lajêng angarutug bêdhil//
Terjepit badan gugup sekali,
suara para prajurit.
siap peralatan perang,
kesempurnaan barisan
menyerang menolong ke pura.
lalu menyerbu dengan tembakan.
17 surud
150
25 Balak18 Blitar ran19 purun/
panggah nêdya nanggulangi/
rame sampuhing ngayuda/
prajurit Jawa sor titih/
kathah longe kang palastra/
Pangeran krodha tan sipi//
Prajurit Blitar tidak mau,
tetap akan melawan.
ramai imbang dalam perang,
prajurit Jawa kalah.
banyak berkurang yang mati.
Pangeran marah menyesal sekali.
26 Mangsah nrêgakên wadya gung/
nging katulak dressing mimis/
nulya amundur lon-lonan/
maring kapurbayan ngungsi/
wanci byar rahina prapta/
Narpatma duk eca guling//
Menyerang dengan
mengeluarkan banyak prajurit,
tetapi diserang banyak peluru.
lalu mundur pelan-pelan,
mengungsi ke Purbayan.
waktu pagi hari,
Raja waktu enak tidur,
27 Kagyat kang swara gumuruh/
wungu dyan medaling jawi/
wau Pangeran Balitar/
sumungkêm pada manangis/
kagyat Pangeran Purbaya/
anjêgrêg tan kêna angling//
kaget mendengar gemuruh,
bangun lalu keluar.
demikian Pangeran Balitar
menyembah dan menangis.
Pangeran Purbaya kaget,
diam tidak bisa berkata-kata.
28 Sangêt pangunguning kalbu/
tan anyana yen nêmêni/
kang rayi denya andaga/
ing wusana kawlas asih/
karisakan wadyanira/
Pangran sru wêlas mring ari//
Heran sekali hatinya,
tidak mengira jika benar terjadi,
sang adik dalam menduga.
akhirnya merasa kasihan sekali.
hancur para prajuritnya.
Pangeran kasihan sekali kepada
adiknya.
18 Bala#@ 19 tan@
151
29 Wêkasan ngandika arum/
adhimas wis aja nangis/
ingsun kang labuhing sira/
têlungane kakang aji/
sabab wus mukti wibawa/
nanging sayogyane yayi//
akhirnya berbicara dengan baik,
“adinda sudah jangan menangis.
saya yang akan membantumu
mengalahnya kakak,
karena sudah makmur.
tetapi sebaiknya adinda
30 Lolos mring Praja Matarum/
neng kono rereh kariyin/
akuklumpuk wadya bala/
enggaling carita mangkin/
wus bidhal prapteng Mataram/
atata-tata miranti//
lolos dari Kerajaan Mataram.
disana sabar dahulu,
sambil mengumpulkan prajurit.”
singkat cerita nanti,
sudah berangkat sampai di
Mataram,
menata alat-alatnya.
31 Ing kutha Karta dinunung/
yeku caritane nguni/
yun kinarya dhatulaya/
mring jêng [56] Sultan Agung swargi/
nging dereng ngantos binata/
kasêlak surudira ji//
Di kota makmur terletak,
yaitu ceritanya dulu
akan dijadikan kerajaan
oleh Kangjeng Sultan Agung
almarhum.
tapi belum sampai dibangun,
beliau segera mau meninggal.
32 Nulya rinakit pura rum/
ingêlih namane mangkin/
nagari ing Kartasêkar/
tetiyang tanah Matawis/
sampun sumuyud sadaya/
mangkya wus agêng kang baris//
Lalu dibuat kerajaan bagus,
berganti nama nanti
negara di Kartasekar.
orang-orang di tanah Mataram
sudah berbakti semua.
demikianlah sudah banyak yang
mengikuti.
152
33 Asrambêk sang Narpa sunu/
dupi ing antara ari/
Narpatma dwi siniwaka/
angglir kang samya sumiwi/
nulya jêng Pangran Purbaya/
jumênêng angungundhangi//
Pasrah kepada putra Raja,
setelah beberapa hari
dua Raja duduk di singgasana.
sangat banyak yang menghadap.
lalu Kangjeng Pangeran Purbaya
duduk bertanya.
34 Pangandikanira asru/
eh sagunging wadya mami/
sira samya ngestrenana/
yen ing mêngko karsa mami/
dhimas Pangeran Balitar/
sun junjung jumênêng aji//
Bicaranya keras,
“he prajurit saya,
kamu semua patuhilah.
jika nanti maunya
adinda, Pangeran Balitar,
saya mengangkatnya menjadi
Raja
35 Neng Karta sêkar Praja gung/
dening jejuluking aji/
jêng Sunan Ibnu Mustapa/
Pakubuwana linuwih/
Senapatining Ngalaga/
Ngabdurahêman Sayidin//
Di Kerajaan Kartasekar.
adapun gelar Sang Raja
Kangjeng Sunan Ibnu Mustapa
Pakubuwuna Linuwih
Senapatining Ngalaga
Ngabdurahman Sayidin
36 Panatagama linuhung/
pra wadya asaur-paksi/
pra kaji miwah ngulama/
andonga karaton sami/
lulusing kang panjênêngan/
pinuji jayeng ngajurit//
Panatagama luhur.”
para prajurit menjawab serentak,
para haji dan ulama
berdoa untuk Karaton agar
beliau selamat,
terpuji berjaya dalam perang.
37 Jêng Pangran Purbaya gupuh/
narik astane kang rayi/
Kangjeng Pangeran Purbaya
segera
menarik tangan adiknya,
153
linênggahkên ing ngamparan/
sariranya lênggah kursi/
kapareng kananing Nata/
nulya abyawara malih//
didudukkan di singgasana.
beliau duduk di kursi,
diijinkan disebelah kanan Raja.
lalu mengumumkan lagi
38 Karsa asantun jejuluk/
Panêmbahan Senapati/
Ngalaga ing Karta sêkar/
putraning raka Narpati/
kang pinundhut putra angkat/
Pangera-[57]n Riya wawangi//
akan berganti gelar
Panembahan Senapati
Ngalaga di Kartasekar.
putra kakanda Raja
yang dijadikan putra angkat
bernama Pangeran Riya,
39 Mangkya pinangkat palungguh/
nama Pangeran dipati/
anom Amêngkunagara/
gya misudha para dasih/
pinacak papangkatannya/
saundha sabilik-bilik//
sekarang diangkat diberi
kedudukan
bernama Pangeran Adipati
Anom Amengkunegara.
segera mengangkat para abdi,
ditata upacara penobatannya
sesuai dengan tingkat jasanya.
40 Wus têtêp adêging Ratu/
têntrêm tyasing wadya sami/
Panêmbahan gya parentah/
angirapakên kang baris/
ngêlar jajahaning rongang/
kalampahan dadya jurit//
Sudah tetap berdirinya Raja,
tentram hatinya para prajurit.
Panembahan lalu memerintahkan
mengenalkan prajurit yang
berbaris.
memperluas tanah jajahannya,
terlaksana menjadi prajurit.
41 Duk samana ura-uru/
Praja Kartasura tistis/
dene kyeh para karaman/
Ketika itu, terjadi huru-hara.
Kerajaan Kartasura dilanda
kesedihan
karena banyak para pencuri.
154
jaya puspita dipati/
Panêmbahan aru cakra/
misih angadêg kang baris//
Jaya Puspita Adipati
Panembahan diganggu terus
menerus,
masih berdiri dalam barisan.
42 Mangkya dwi sang Narpa sunu/
malah wus madêg Narpati/
sinuyutan20 manca Praja/
Kêdhu Bagêlen sumiwi/
marma Nateng Kartasura/
dahat rudahing panggalih//
Sekarang kedua putra Raja,
malah sudah menjadi Raja.
disegani oleh luar Kerajaan
Kedhu Bagelen.
oleh karenanya Raja di Kartasura
kecewa sekali hatinya.
43 Pari marmaning Hyang Agung/
mring kang sinung wahyu jati/
puwara ing lama-lama/
para balela kalindhih/
jêng Sunan Ibnu Mustapa/
gêrah dhumawahing takdir//
Berkah karunia dari Tuhan
kepada yang dikasih wahyu
sejati.
akhirnya lama-kelamaan,
semua membangkang kalah.
Kangjeng Sunan Ibnu Mustapa
sakit, sehingga jatuhnya takdir
meninggal.
44 Sinare magiri gunung/
nunggiling rama Narpati/
Panêmbahan Purubaya/
kêni ing ngipuk kumpêni/
kinendhang mring Paselongan/
seda sinare magiri//
Dimakamkan di puncak gunung,
bersatu dengan rama Raja.
Panembahan Purubaya
terkena rayuan kompeni,
diasingkan ke Paselongan.
meninggal dimakamkan di
gunung.
45 Tilar putra wanudya yu/ Meninggalkan anak putri cantik,
20 sinuyudan
155
ginarwa maring sang aji/
ping kalih Pakubuwana/
dhaup nak sanak sayêkti/
sinung nama jêng Ratu Mas/
susila bêkti ing laki//
diperistri oleh sang Raja
Pakubuwana ke II.
dijodohkan saudara-saudara
sendiri,
diberi nama Kangjeng Ratu Mas.
sangat baik dan berbakti kepada
suami,
46 Parandene meh kasiku/
kengsêr sruka soraning-[58]sih/
garwa paminggir warnendah/
kinêbonakên sasori/
narima trusing wardaya/
ketang apêsing dumadi/
tetapi hampir dilaknat.
terkalahkan oleh kasih sayang
istri selir berparas cantik.
diasingkan,
menerima sampai di hati,
karena sial dalam hidupnya.
47 Dupi ing nganti wis tengsu/
wontên parmaning hyang widdhi/
mring titah kang tyas raharja/
kacarita Sri Bupati/
ing ratri alanglang pringga/
mubêng wawêngkoning puri/
Ketika sampai sudah malam,
mendapat kasih sayangnya
Tuhan
kepada orang yang selalu baik
hati.
diceritakan sang Raja,
di malam hari keliling jaga
mengitari wilayah kerajaan
48 Among kanthi wulu cumbu/
ing wanci wus lingsir wêngi/
myarsa janma nungkara/
kakawin raras pamijil/
swara rum gêtas arênnyah/
lir ngalap jiwaning janmi//
bersama-sama dengan abdi.
di waktu sudah larut malam,
mendengar orang berdoa
kakawin laras tembang.
suaranya bagus sekali
seperti mengambil jiwa manusia.
49 Narendra miyarsa mangu/ Raja mendengar heran,
156
kumênyat sotaning galih/
têmah kandhuwan kung rimang/
rangu-rangu angranuhi/
kasmaran rarasing swara/
nulya tumindak aririh//
bergetar rasanya hati
menjadi terpesona sekali.
bimbang sekali
terpesona dengan suaranya,
lalu mencarinya pelan.
50 Nurut rarasing swara rum/
praptaning gênthan pinanggih/
kang swara aneng prasada/
ing ngintip intip sing jawi/
sêlaning gêbyog kawuryan/
kang maos Sang Prameswari//
Mengikuti suara indah tadi,
sampai di genthan bertemu
suaranya ada di kedhaton.
dilihat dari luar,
disela-selanya gebyok kelihatan
yang membaca Sang Prameswari.
51 Narendra saka lali mut/
dening kabyatan wiyadi/
datan daraneng wardaya/
tumameng prasada nuli/
kang garwa sinambut sigra/
binêkta kundur mring puri//
Raja dari lupa-lupa ingat,
oleh beratnya kesusahan.
tidak kokoh hatinya,
lalu masuk di kedhaton.
istrinya langsung
menyambutnya,
dibawa pulang ke puri.
52 Lulus denira mamangun/
sih-siniyaning ngakrami/
enggaring tyas wong sapraja/
denya pinapudya yêkti/
lulusing reh palakrama/
Narendra kalawan sori//
Lestari olehnya membangun,
suami istri saling mengasihi.
senang hatinya orang sekerajaan
olehnya memuja sejatinya,
berhasil olehnya berumah tangga,
Raja dan Permaisuri.
53 Trah kapurbayan linuhung/
pinuji wigya madhahi/
wahyu karaton minulya/
mangkya kalampahan nênggih/
Keturunan Purbaya terkenal,
dipuji terus menerus
wahyu Keraton yang mulia.
maka lakunya lagi
157
patutan kakung u-[59]tama/
gumantyeng rama Narpati//
berputra laki-laki utama,
menggantikan ayahanda Raja.
54 Jejuluk Kangjêng Sinuhun/
Pakubuwana kaping tri/
ing nagari Surakarta/
Narendra bêk sadubudi/
adhadhasar tyas sudira/
tan kundur rehing ngajurit//
Bernama Kangjeng Sinuhun
Pakubuwana ke III
di Negara Surakarta.
Raja yang baik budinya.
dasarnya hati berani sekali,
tidak menyerah olehnya perang.
DURMA
1 Mangkya gantya ingkang winarneng
carita/
Kyagêng Karanglo nguni/
jatine trah Dêmak/
jêng Sultan kang kapisan/
peputra Raden Mas Alit/
diwasa nama/
Pangran Pamêkas nguni//
Sekarang ganti yang diceritakan.
Kyageng Karanglo,
sejatinya keturunan Demak.
Kangjeng Sultan I
berputra Raden Mas Alit,
setelah besar bernama
Pangeran Pamekas.
2 Apeputra Panêmbahan Jagaraga/
apeputra wawangi/
Ki Agêng Ampuwan/
yeku sudarmanira/
Ki Agêng Karanglo yêkti/
kapati brata/
panêdhane ing Widdhi//
Berputra Panembahan Jagaraga,
berputra namanya
Ki Agêng Ampuwan,
yaitu bapaknya
Ki Ageng Karanglo sejatinya.
bertapa brata
meminta kepada Tuhan
3 Kalilana urun wijining Karatyan/
denya engêt manawi/
trahing witaradya/
samana kacarita/
menerima keturunan Karaton.
olehnya ingat apabila
keturunannya leluhur.
ketika itu diceritakan,
158
duk Ki Pamanahan nguni/
budhal sing Pajang/
pindhah maring Matawis//
ketika Ki Pamanahan dulu
berangkat dari Pajang
pindah ke Mataram,
4 Prapteng Taji aso sangêt kasayahan/
miwah lapa kapati/
myang sangêt katoran/
Kyai Karanglo prapta/
saanak putune sami/
atur sasêgah/
wening nyu lawan bukti//
sampai di Taji istirahat
kecapekan.
dan sangat lapar
dan juga haus sekali.
Kyai Karanglo sampai
anak cucunya semua
memberikan suguhan
air kelapa dan makanan.
5 Sêkul golong saha bênya pêcêl ayam/
miwah kang jangan mênir/
sampun tinampanan/
dhinahar garwa putra/
warata praptaning dasih/
samya kaecan/
nikmat manpangat sami//
Nasi golong dan pecel ayam,
dan juga sayur menir
sudah diterima
dimakan suami istri anak,
rata sampai abdinya.
semua merasakan enak,
nikmat berguna bagi badan
semua.
6 Kyai Pamanahan dahat narimeng tyas/
nulya lumampah malih/
sawadya lo-[60]n lonan/
Kyagêng Karanglo miwah/
sakadang warga umiring/
yata kawarna/
praptaning Opak nadi//
Kyai Pamanahan menerima
dihati.
lalu berjalan lagi
semua prajurit pelan-pelan,
Kyageng Karanglo dan
semua warga mengiringi.
yaitu diceritakan
sampainya sungai Opak,
7 Jêng Susunan Kalijaga mêntas siram/ Kangjeng Sunan Kalijaga selesai
159
gupuh Kyagêng Matawis/
mangsah ngestu pada/
Kyagêng Karanglo sigra/
gurawalan anututi/
manguswapada/
ing kanan Ki Matawis//
mandi.
segera Kyageng Mataram
langsung menyembah.
Kyageng Karanglo juga
segera mengikuti
menyembah kakinya
di sebelah kanan Ki Mataram.
8 Ki Karanglo pada kering kang kinuswa/
Jêng Sunan ngandika ris/
mring Kyagêng Mataram/
heh jêbeng wruhanira/
turune Karanglo benjing/
sajiwa raga/
lan darahira yêkti//
Ki Karanglo kaki kiri yang
dicium.
Kangjeng Sunan bicara pelan
kepada Kyageng Mataram,
“Heh nak ketahuilah,
keturunannya Karanglo nanti
sejiwa raga
dan darahnya sejati.”
9 Kacarita Kyagêng Karanglo peputra/
Cucuk Têlon wawangi/
Kyai Agêng Rogas/
peputra mangsa juga/
Kyai Cucuk Dhepok nuli/
puputra nama/
Cucuk Singa wong teki//
Diceritakan Kyageng Karanglo
berputra
bernama Cucuk Telon
Kyai Ageng Rogas,
berputra satu juga
Kyai Cucuk Dhepok lalu
berputra bernama
Cucuk Singa orang tapa,
10 Dadya Dêmang beraran bau wisesa/
lajêng elasisiwi/
Kyai Suta Jaya/
yeku ingkang panêngran/
Ki Kêrti Mancut ing nguni/
nulya peputra/
jadi Demang menguasai sawah.
Lalu berputra
Kyai Suta Jaya
yaitu yang diberi nama
Ki Kerti Mancut dahulu.
Lalu berputra
160
namane nunggak semi//
namanya sama dengan ayahanda.
11 Kyai Sutajaya apeputra tiga/
estri ingkang kalih/
kang jalu satunggal/
wasta Ki Jagaswara/
katarima mring Sang Aji/
Pakubuwana/
ping tri Surakarta di//
Kyai Sutajaya berputra tiga,
yang perempuan dua,
yang laki-laki satu.
bernama Ki Jagaswara,
diterima oleh Sang Raja
Pakubuwana
ke III di Surakarta.
12 Pinisuddha dadya Bupati nayaka/
Gêdhong Têngên palinggih/
kapatêdhan nama/
Tumênggung Wirareja/
darbe sute-[61]stri yu luwih/
pinundhut garwa/
maring Sri Narapati//
Dilantik dijadikan Bupati nayaka
bertempat di Gedhong Tengen,
diberi nama
Tumenggung Wirareja.
Punya anak perempuan sangat
cantik,
dijadikan istri
oleh Sri Raja
13 Kaparingan asma Jêng Ratu Kancana/
nanging karane nguni/
Ratu Bêruk nama/
lulus pikramanira/
apatutan Sri Bupati/
kaping sakawan/
misuwuring asma ji//
diberi nama Kangjeng Ratu
Kancana.
Tetapi dahulu bernama
Ratu Beruk namanya.
Sesudahnya menikah,
berputra Raja
ke IV,
terkenal dengan nama Raja
14 Sunan Bagus dening pêkiking suwarna/
trusing tyas ngulama di/
Sunan Bagus karena bagus
parasnya,
baik hatinya menjadi ulama
luhur.
161
malah duk samana/
kasêbut Waliyullah/
ingkang iya Sang cêmani/
Sri Nata mangka/
pepundhening rat Jawi//
Bahkan ketika itu
disebut utusan Tuhan
yang iya Sang Cemani
Sang Raja sebagai
leluhur di Tanah Jawa.
SINOM
1 Nahan gantya kang winarna/
Brawijaya Majapait/
kang jumênêng kaping gangsal/
Narendra Sudibya sêkti/
binathareng rat jawi/
punika para kramantuk/
endhang sasmita pura/
patutan priya wewangi/
Jaka Dilah tinanêm aneng Palembang//
Lalu ganti yang diceritakan,
Brawijaya Majapait
yang bertahta ke V.
Raja luhur sakti
penguasa di Tanah Jawa,
itu mendapatkan istri
putri pandhita sebuah Keraton.
Berputra laki-laki bernama
Jaka Dilah tinggal di Palembang.
2 Sinung nama Arya Damar/
wibawa sasat Narpati/
suyut21 Praja kering kanan/
kasoran prabawa sakti/
kathah kang nungkul aris/
pinreping dana marta yu/
garwa paringing rama/
putri ing Cina Nagari/
apeputra Rahaden Menak Sunaya//
Diberi nama Arya Damar,
berwibawa seperti Raja.
Disayangi kerajaan kanan
kirinya.
terkenal kesaktiannya,
banyak yang tunduk,
banyak yang heran oleh
kesabarannya.
Istri diberi oleh ayahnya,
putri dari negara Cina.
Berputra Raden Menak Sunaya,
3 Tinanêm neng Pamêlingan/ tinggal di Pamelingan,
21 suyud
162
tanah Madura nagari/
gung subrata matiraga/
sesuta jalu sinakti/
Arya Timbul kakalih/
tan ana braja tumanduk/
ayoga ya mangkana/
kalokeng jana sinakti/
sinung aran Arya Kêdhot wi-
[62]rotam//
tanah negara Madura.
Rajin tapa bratanya,
berputra laki-laki sakti
Arya Timbul keduanya
tidak ada braja yang berani.
Putranya begitu
terkenal di masyarakat sakti,
diberi nama Arya Kedhot perwira
utama
4 Kasumbaga ing Alaya/
keh puruita kasaktin/
sesuta jalu prawira/
wit rare karêm teteki/
Arya Pucuk wewangi/
diwasa ing ngambil mantu/
maring Ki Agêng Sampa/
putrestri among sawiji/
marma mantu misesani saniskara//
terkenal di Alaya.
Banyak guru yang sakti
berputra laki-laki sakti,
dari kecil suka bertapa.
Arya Pucuk namanya,
sudah dewasa diambil menantu
oleh Ki Ageng Sampa.
Anak perempuannya hanya satu.
Maka dari itu menantu
menguasai semuanya.
5 Sasedaning maratuwa/
Arya Pucuk kang gumanti/
nenggili madhangin Sampang/
mukti sari lawan rabi/
sesuta patang siki/
ingkang pangarsa jejuluk/
Dyan Dêmung Palakaran/
ing Arisbaya sisiwi/
astha kehnya winarna ingkang
pandhadha//
Meninggalnya mertua,
Arya Pucuk yang menggantikan.
Mengayomi dan memajukan
Sampang.
Sejahtera dengan istrinya,
berputra empat puluh satu.
Yang pertama bernama
dyan Demung Palakaran
di Arisbaya, berputra
delapan banyaknya diceritakan
yang ketiga.
163
6 Pangeran Agung panêngran/
ing Arisbaya sumilih/
napak tilasing sudarma/
peputra catur winarni/
among ingkang pangarsi/
panêmbahan Lêmah Dhuwur/
ngasrameng Arisbaya/
putra panca wlas winilis/
kang pandhadha jalu ambêk marto22
tama//
Bernama Pangeran Agung
di Arisbaya, menggantikan
tapak tilasnya ayahanda.
Berputra empat diceritakan
hanya yang pertama,
Panembahan Lemah Dhuwur/
tinggal di Arisbaya.
berputra limabelas banyaknya,
yang ketiga laki-laki utama
7 Nama Panêmbahan Têngah/
ing Arisbaya sisiwi/
panêngran Arya Prasena/
madêging Sampan Dipati/
sor nungkul mring Matawis/
sinihan jêng Sultan Agung/
pinundhut putra angkat/
kinenda dalêm Matawis/
sinung nama Panêmbahan
Cakraningrat//
bernama Panêmbahan Têngah
di Arisbaya, berputra
bernama Arya Prasena
berdiri jadi Adipati Sampan
dibawah kekuasaan Mataram.
Dikasihi Kangjeng Sultan
Agung,
dijadikan anak angkat.
Diutus tinggal di Mataram,
diberi nama Panembahan
Cakraningrat.
8 Ing ngêla-êla lir putri23/
parandene Sang Dipati/
tangeh yen agêng tyasira/
malah gung met tyas sasami/
Digadang-gadang seperti
anaknya.
tetapi Sang Adipati
lama-lama jika besar hatinya,
malah besar mengambil hati
semua.
22 marta 23 putra
164
samya kinulit da-[63]ging/
dadya sadaya sih lulut/
Sultan saya sihira/
seda sinare Magiri/
apeputra jalwestri kehnya sapta wlas//
sama saudaranya,
jadi semuanya mengasihi.
Sultan semakin mengasihi.
Meninggal dimakamkan di
Imagiri.
Berputra laki-laki perempuan
sebanyak tujuh belas.
9 Putra ingkang wdang kasapta/
nama Dyan Undhakan nguni/
sasedanira kang raka/
Dyan Dêmang mlaya karsa ji/
ginantyakên dipati/
dupi pambalelanipun/
Rahaden Trunajaya/
kang paman tinorot wani/
sinangsaya neng madyeng wana
logawa//
Anak yang ke tujuh
bernama dyan Undhaka.
meninggalnya sang kakak,
Dyan Demang membangkang
kehendak Raja,
digantikan Adipati.
Banyak yang membangkang.
Raden Trunajaya,
sang Paman sangat berani,
sengsara di tengah hutan
Logawa.
10 Dahat denya kawlas arsa/
agung meminta ring Widdhi/
wigya amalês nangsaya/
myang wangsula angrenggani/
Praja Madura malih/
lêstariya run tumurun/
prapta mangsa katrima/
jumênêngira Narpati/
Jêng Susunan Mangkurat ing
Kartasura//
Dia kasihan sekali,
besar berdoanya kepada Tuhan,
olehnya memelas sengsara.
Ketika pulang, menjaga
Kerajaan Madura lagi.
lestari turun temurun
sampai waktu diterima
menjadi Raja
Kangjeng Sunan Mangkurat di
Kartasura.
11 Kinen ngêlus Trunajaya/ Disuruh membujuk Trunajaya.
165
kalampahan lêbda kardi/
Madura mangka ganjaran/
ingakên sudara wedi/
madanani pasisir/
tanah bang wetan sadarum/
Pangeran Cakraningrat/
nama peparingira ji/
sarta dadya gêdhig anggalaning Praja//
Dijalankan dengan baik,
Madura nanti sebagai hadiah.
Yang menyuruh teman yang baik
menyorai pesisir,
tanah merah timur semua.
Pangeran Cakraningrat,
nama yang diberikan Raja,
serta jadi senopati perangnya
kerajaan.
12 Sasurudira Narendra/
ginantyaning narpa siwi/
parab Sunan Mangkurat Mas/
Pangran Cakraningrat nguni/
garwa Dyah Pakuwati/
rinabasa ring Sang Prabu/
pangeran sru bramantya/
madêg sudira mawredi/
mênggahing tyas rumangsa ing alitira//
Sepeninggalannya Raja,
digantikan anak Raja
bernama Sunan Mangkurat Mas
Pangeran Cakraningrat,
suami dyah Pakuwati
dirusak oleh Sang Prabu.
Pangeran sangat marah,
menjadi berani dan tegas.
Umpama di hati merasa jadi
kecil.
13 Binudi budi tan dadya/
têmah putêk manaputi/
[64] puwara antuk wêwêngan/
rêmbag lan sang Adipati/
Jangrana Surawesthi/
saekapraya bebangus/
mring Pugêr Jêng Pangeran/
ing ngaturan murweng jurit/
Jêng Pangeran nuruti saksana medal//
Watak caranya berfikir tidak jadi,
memang tanpa fikiran.
akhirnya mendapatkan jalan,
musyawarah dengan sang
Adipati
Jangrana Surawesthi,
setuju dengan idenya.
Oleh Kangjeng Pangeran Puger,
diperintahkan memulai perang.
Kangjeng Pangeran menuruti lalu
keluar.
166
14 Gya jumênêng neng Samarang/
peparabira Narpati/
Jêng Sunan Pakubuwana/
kang sapisan amurwani/
kaparênging karsa ji/
Pangran Cakraningrat sinung/
jejuluk panêmbahan/
ri wus sampurnaning jurit/
panêmbahan pamit kondur mring
Madura//
Lalu bertahta di Samarang,
bernama Raja
Kangjeng Sunan Pakubuwana
ke I yang memulainya.
kemauannya Raja,
Pangeran Cakraningrat diberi
nama Panembahan.
Hari sudah selesainya perang,
Panembahan pamit pulang ke
Madura.
15 Wusana duk prapteng Kamal/
padesan Madura nagri/
gêrah amung sawatara/
dadya jalaraning takdir/
Panembahan ngêmasi/
têmah kang nama kasêbut/
Panêmbahan kang seda/
Kamal katêlah samangkin/
apeputra jalwestri tridasa juga//
Akhirnya ketika sampai di
Kamal,
pedesaan di negara Madura,
sakit hanya sebentar.
Menjadi akibatnya takdir,
Panembahan meninggal.
Takdir namanya disebut
Panembahan kang seda
Kamal lama-lama namanya nanti.
Berputra laki-laki perempuan
tigapuluh.
16 Kang pandhadha winursita/
wastanira Nunggak Semi/
sapangeran Cakraningrat/
duk dauru jaman dening/
Jaya Puspita balik/
Pangran Cakraningrat wau/
kêna paekan daya/
rinira wadul mring aji/
Yang ketiga diceritakan,
namanya sama dengan ayahanda
Pangeran Cakraningrat.
Ketika jaman tidak tentram oleh
Jaya Puspita kembali,
Pangeran Cakraningrat tadi
terkena tipu daya.
Dia mengadu kepada Raja,
167
ing ngaturkên kait lan Jaya Puspita//
melaporkan sekutu dan Jaya
Puspita.
17 Dadya nulya linurugan/
wadya Jawa lan kumpêni/
Dyan Arya Suradiningrat/
mangka pawiriding baris/
yeku kang maeka ring/
raka dadya [65] sangsara gung/
Pangeran rancakeng tyas/
wagugên tambuh binudi/
arsa ngungsi mring bali mintasaraya//
Jadilah lalu berangkat perang,
prajurit Jawa dan kompeni.
Dyan Arya Suradiningrat
apabila disuruh bersiaga perang,
yaitu yang membohongi
kakak jadi sengsara sekali.
Pangeran sedih hatinya.
Susah tidak peduli fikirannya
mau mengungsi kembali minta
bantuan.
18 Gugup kapêlaking yuda/
wadyanira anglolosi/
mung kari garwa lan putra/
Pangeran anglêsing galih/
dadakaning pamikir/
mung nêmah sumêdya nungkul/
mring Patih Cakrajaya/
kang tugur prang Surawesthi/
wus utusan tinampan panungkulira//
Segera dimulailah perang.
prajuritnya mati semua,
hanya tinggal istri dan anak.
Pangeran susah hatinya,
langsung berfikir
hanya ingin menyembah
kepada Patih Cakrajaya.
Yang menjaga perang Surawesthi
sudah mengutus menerima
sembahannya.
19 Dyan mangkat sagarwa putra/
pinêthuk maring kumpêni/
kang lumurug mring Madura/
baitanira miranti/
Pangran den ancarani/
Dyan berangkat dengan istri
anaknya,
bertemu dengan kompeni
yang berangkat perang ke
Madura.
Kapalnya sudah siap.
Pangeran dihormati
168
aminggah maring parau/
pangagêngnya kapitan/
nampeni garwa sang putri/
wantuning Dyah dahat jrih mring liya
bangsa//
naik ke kapal.
kepalanya kapten kapal
menolong istri sang putri.
beraninya Dyah lalu takut kepada
lain negara.
20 Duk sinambut astanira/
Sang Rêtna anjrit kapati/
mulat wêngis krodhanira/
Pangeran anarik kêris/
saha samangsah aglis/
kapitan pinarjaya wus/
aniba kapisanan/
Pangran liwung mamanasi/
pangamuke lir andaka tawandrana//
Ketika disambut tangannya,
Sang Retna menjerit ketakutan.
Melihat dengan bengis marah
sekali,
Pangeran menarik keris
lalu langsung maju perang.
Kapten menang sudah
jatuh sekali.
Pangeran sangat mengamuk,
amukannya seperti banteng yang
bengis.
21 Singa kang katrajang bubar/
kang kacandhak angêmasi/
kumpêni ngumpul prayitna/
tata parêng ambêdhili/
gumrudug tan nganggopi/
addressing mimis tumêmpuh/
samya cureng sarira/
Pangeran mangsah mangung24 kih/
abusêkan geger kumpêni jro palwa//
Singa yang diterjang bubar
semua.
Yang terkena langsung mati.
Kompeni berkumpul berjaga-
jaga,
berbaris boleh menembaki
terus menerus tanpa berhenti
diserang banyak peluru.
Semua sama marahnya.
Pangeran maju perang banyak
bangun,
dibubarkan ramainya kompeni di
dalam kapal.
24 mangun
169
22 Kaslêpêg tan wigya u-[66]ncat/
têmah tumpês tan ngundhili/
mung kari para prawira/
nêdya sulung lêbu gêni/
nirbaya ambêk pati/
kursi kinarya gegutuk/
myang poporing sanjata/
Pangeran saya tan gigrig/
pra prawira kumpêni keh karahatan//
Terdesak tidak dapat lari,
jadi habis tidak tersisa.
Hanya tinggal para prawira,
berniat masuk api dahulu.
Berani dengan kematian.
Kursi dibuat untuk melempar
kepada senjata kayunya pistol.
Pangeran semakin tidak mundur,
para prawira kompeni banyak
yang terluka.
23 Panggah panggah kasulayah/
watara kari nêm iji/
yun lumayu wus tan bisa/
ana kang graiteng ati/
Pangran tinubruk kursi/
kagyat kalênggak wus ambruk/
kinrepan pamrepira/
dilalah praptaning pasthi/
Pangran seda dening rêmpuning
sarira//
Tetap saja kelelahan.
Kira-kira tinggal enam orang,
mau lari sudah tidak bisa.
Ada yang mengerti di hati
Pangeran menabrak kursi,
kaget menoleh sudah jatuh.
Memelas sekali dia,
kebetulan datangnya takdir,
Pangeran meninggal karena
badannya hancur.
24 Dadya kasêbuting nama/
Pangran Cakraningrat nênggih/
kang seda baita kapal/
dene wau ingkang rayi/
katri maring Sang Aji/
pinangkat ingkang palungguh/
gumanti ingkang raka/
jejuluk anunggak semi/
purneng karya jênêngnya Prabu
Jadi disebutnya nama
Pangeran Cakraningrat yaitu
yang meninggal di kapal.
Dan tadi adiknya
ketiga, kepada Sang Raja
dijadikan yang menguasai
menggantikan sang kakak.
Bernama sama dengan ayahanda.
Berakhirnya menjabat namanya
170
Mangkurat//
Prabu Mangkurat.
25 Tinariman ari Nata/
Ratu Madurêtna nguni/
kasêbut Ratu Ayunan/
Pangran Sedanengkap nênggih/
kalantur den wastani/
Pangran Sedakap puniku/
peputra Panêmbahan/
Cakraningrat Sadamukti/
putranya keh kang winarna mung
sajuga//
Diterima adik Raja
Ratu Maduretna,
disebut Ratu Ayunan.
Pangeran Sedanengkap yaitu
terlanjur dinamakan
Pangeran Sadakap, itu
berputra Panembahan
Cakraningrat Sadamukti.
Putranya banyak, yang
diceritakan hanya satu.
26 Dyan Ayu Cakradiningrat/
ing Pamêkasan nagari/
peputra wanudya tama/
pinundhut maring Sang Aji/
Paku-[67]buwana ping tri/
dhinaupkên narpa sunu/
Jêng Pangran Adipatya/
Anom Amangku nagari/
pinaringan nama Dyan Ayu Dipatya//
Dyan Ayu Cakradiningrat
di negara Pamekasan,
berputra perempuan utama
diminta oleh Sang Raja
Pakubuwana ke III.
Dijodohkan dengan anak Raja
Kangjeng Pangeran Adipati
Anom Amangkurat nagari,
mendapat nama Dyan Ayu
Adipati.
27 Lagya patutan sajuga/
miyos kakung suwarna di/
Sang Kusuma tan widada/
murud amurweng den adi/
kang tinilar mong wingit/
wau Sri Narendra sunu/
sasuruding ramendra/
gumanti jumênêng aji/
Baru punya anak satu
lahir laki-laki berparas bagus,
Sang Kusuma tidak selamat.
Meninggal mendahului den adi,
yang ada hanya kesedihan.
Tadi anak Raja,
setelah meninggalnya rama Raja,
berganti menjadi Raja
171
Jêng Sinuhun Pakubuwana Kaping
Pat//
Kangjeng Sinuhun Pakubuwana
ke IV.
28 Diwasaning Narpa putra/
kang sing Dyan Ayu Dipati/
ingangkat Pangran Dipatya/
sasuruding rama aji/
gumanti Narapati/
kaping gangsal Sang aprabu/
yekang misuwur asma/
nênggih Jêng Sinuhun Sugih/
ambêk sura weh girising mitya
karddha//
Dewasanya anak Raja
yang dari Dyan Ayu Adipati
diangkat jadi Pangeran Adipati.
Meninggalnya rama Raja,
berganti jadi Raja
ke V. Sang Prabu
yang terkenal bernama
yaitu Kangjeng Sinuhun kaya,
berwatak pemberani
menakutkan.
GIRISA
1 Yata mangsuli carita/
Ki Adipati Mandraka/
putranira kang panêgak/
Kyai Juru Wirapraba/
ambêk sura manrangbaya/
dhasar sakti mandraguna/
anggung angular jajahan/
ngrupak jajahaning mêngsah//
Yaitu mengulang cerita,
Ki Adipati Mandraka
putranya sang pemimpin
Kyai Juru Wirapraba,
berwatak pemberani menempuh
bahaya.
Dasar sakti mandraguna,
selalu memperluas wilayah
menjajah jajahan musuh.
2 Duk jênêngira Narendra/
Jêng Sunan kang Seda Krapyak/
katarima karyanira/
dadya punggawa pangarsa/
Dipati Mandurarêja/
putrastha ingkang winarna/
Ketika beliau Raja
Kangjeng Sunan kang Seda
Krapyak
diterima pekerjaanya
jadi punggawa terdepan.
Adipati Mandurareja
anak kedelapan yang diceritakan,
172
pangarsa warujunira/
samya priya kalihira//
diharapkan bungsunya
sama laki-laki keduanya.
3 Kang wreddha prawireng yuda/
duk panjênênganya Nata/
Jêng Sulta-[68]n Agung Mataram/
Prabu Anyakra kusuma/
ginantyakên ramanira/
Dipati Mandurareja/
kaloka kajanapriya/
kêkês pramanca nagara//
Yang tua perwira perang.
Ketika beliau Raja
Kangjeng Sultan Agung
Mataram,
Prabu Anyakrakusuma
menggantikan ayahnya.
Adipati Mandurareja
laki-laki yang sangat terkenal,
ditakuti oleh luar kerajaan.
4 Sangsaya agêng tyasira/
rumangsa jayeng bawana/
mengêt sudira andadra/
têmah nanangi angkara/
kaitan Dipati Pajang/
sêdya ngrabaseng Mataram/
Jêng Sultan tan kasamaran/
dupi ing Pajang balela//
Semakin besar hatinya
merasa berjaya di dunia.
Ingat berani sekali,
takdir menggugah kemarahan.
Dengan Adipati Pajang
mau merusak Mataram.
Kangjeng Sultan tidak heran,
ketika di Pajang menolak.
5 Dipati Mandurarêja/
kang kinen anglurugan/
kinanthenan prasantana/
dadya keron manahira/
bêdhahing Pajang sêmana/
Ki Adipati sangsaya/
katatangi driyanira/
denyarsa ngrurah Mataram//
Adipati Mandurareja
yang menyuruh berangkat
perang,
menunggu para santana.
Jadi bingung hatinya
ketika Pajang diserang.
Ki Adipati semakin
tergugah hatinya
olehnya mau pergi ke Mataram.
173
6 Paran kang kinarya marga/
Jêng Sultan waskitheng cipta/
sêdya arsa pinidana/
ngupadi wahyaning mangsa/
sêmana kapasang yoga/
wontên Praja kang marêngkang/
Sang Dipati kang dinuta/
kalampahan jayeng rana//
Ketika menghampiri di jalan,
Kangjeng Sultan hati-hati di
pikiran.
berniat ingin menghukum,
mencari waktu yang tepat.
Ketika itu menata yang sesuai,
ada Kerajaan yang terkenal.
Sang Adipati yang diutus
untuk menang dalam perang.
7 Jêng Sultan sampun anduta/
mundhut pêjah gêsangira/
anggandhek gya lumaksana/
kapêthuk wontên ing marga/
dhinawuhkên sabda Nata/
Ki Dipati tan lênggana/
kalampahan pinêjahan/
Kali Wungu pamêtaknya//
Kangjeng Sultan sudah diutus
mengambil hidup matinya.
Perintahnya lalu terlaksana.
Bertemu di jalan,
diutaraka perintah Raja.
Ki Adipati tidak menurut,
terjadilah pembunuhan
disemayamkan di Kali Wungu.
8 Kang waruju namanira Rahaden
Banusasmita/
ambêk susila noraga/
siniya-[69]n mring Jêng Sri Nata/
pinacak dadya punggawa/
namarya Wira Kusuma/
nulya malih winisuddha/
Pangran Mandura nagara//
Yang anak ragil bernama
Rahaden Banusasmita.
Dengan baik andhap asor,
dikasihi oleh Kangjeng Raja.
Dijadikan punggawa
bernama Arya Wira Kusuma.
Lalu dijadikan lagi
Pangeran Mandura nagara.
9 Punika nulya peputra/
Pangran Manduranagara/
ingkang sumare ing Têgal/
nunggak semi putranira/
Itu lalu berputra
Pangeran Manduranagara
yang dikubur di Tegal.
sama dengan ayahanda putranya,
174
Arya Manduranagara/
sinare mungup pracima/
putra nunggak semi uga/
Arya Manduranagara//
Arya Manduranagara
sinarnya terlihat timur.
Anak sama dengan ayahanda
juga,
Arya Manduranagara
10 Ingkang sumare ing Têgal/
lajêngira apeputra/
malih nunggak semi uga/
Radian Manduranagara/
sumare mungup kang wetan/
peputyarya Pasingsingan/
dadalêm ing Sêngkal Sasra/
lajêngira apeputra//
yang dikubur di Tegal.
Lalu dia berputra
sama dengan ayahanda juga,
Raden Manduranagara
dikubur terlihat yang barat.
Berputra Arya Pasingsingan,
tinggal di Sengkal Sasra.
Lalu berputra
11 Dyan Tumênggung Cakrapura/
peputra panêngranira/
ping kalih Cakra dipura/
darbe putra wanodyendah/
pinundhut garwa ampeyan/
Jêng Sri Nata kaping gangsal/
nama Dyan Sasrakusuma/
peputra kakung utama//
Dyan Tumenggung Cakrapura.
Berputra namanya
dua kali Cakra Dipura.
Punya anak perempuan cantik
dijadikan istri selir
Kangjeng Raja ke V,
bernama Dyan Sasrakusuma.
Berputra laki-laki utama.
12 Wit timur sudira brata/
anggung lalaneng wanarga/
angupadi puruita/
suruding rama Narendra/
gumanti kaprabonira/
jejuluk Jêng Susuhunan/
kaping nêm Pakubuwana/
Dari muda berani berperang,
selalu mengelana berkelana ke
hutan gunung
mencari ilmu.
sepeninggalan rama Raja,
menggantikan tahtanya
bernama Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana ke VI.
175
misuwuring asma Nata//
Terkenal dengan nama Raja
13 Jêng Sinuhun Banguntapa/
Narendra bêk sarahita/
anggung denya langlang pringga/
mayêng ngubêngi nagara/
anulat labuhanira/
ingerak Jêng Sultan Jiyat/
denya mrih têntreming [70] wadya/
dimen anjuru dêmungan//
Kangjeng Sinuhun Banguntapa.
Raja berwatak suka keprajuritan.
Pengalamannya sangat banyak.
Bagus olehnya mengelilingi
negara.
Melihat jasa-jasanya,
Kangjeng Sultan Jiyat sangat
sayang.
olehnya supaya tentramnya
prajurit,
supaya juru demung.
JURU DEMUNG
1 Nahan gantya kang winarna/
Kyai Singaprana Alus/
trah Pajang kamulanipun/
saking Pangeran Banawa/
peputra panêngranipun/
Kangjêng Pangeran Kaputran/
punika lajêng susunu//
Lalu ganti yang diceritakan.
Kyai Singaprana Alus,
keturunan Pajang asalnya.
Dari Pangeran Banawa,
berputra namanya
Kangjeng Pangeran Kaputran.
Itu lalu berputra
2 Nama Pangran Sanupaya/
peputra jalu jejuluk/
Singaprana gya sesunu/
nunggak semi Singaprana/
yeku Singaprana Alus/
peputra Ki Singawongsa/
laju sesuta ranipun//
namanya Pangeran Sanupaya.
Berputra laki-laki bernama
Singaprana, lalu berputra
sama dengan ayahanda
Singaprana,
yaitu Singaprana Alus.
Berputra Ki Singawongsa,
lalu anaknya bernama
176
3 Ki Singaprana ping tiga/
darbe suta wanodya yu/
pinundhut mring Narpasunu/
Jêng Gusti Pangeran Arya/
Amangkubumi linuhung/
putra dalêm Jêng Sri Nata/
Pakubuwana ping têlu//
Ki Singaprana ketiga.
Punya anak perempuan cantik
diminta oleh anak Raja
Kangjeng Gusti Pangeran Arya
Amangkubumi luhur,
putra dalem Kangjeng Raja
Pakubuwana ke III.
4 Sang Dyah dahat kinasiyan/
denya susila kalangkung/
mring maru kadi sadulur/
tan ana kang subasita/
kaparêng dalêm Sang Prabu/
ing nguni pinaring nama/
Raden Tasikwulan patut//
Sang Dyah sangat disayangi,
karena perilakunya baik sekali.
Kepada semuanya seperti
saudara,
tidak ada yang subasita.
Diberi oleh Sang Prabu
itu dikasih nama
Raden Tasikwulan pantas.
5 Patutan putri utama/
mawa ujwala sumunu/
kagarwa Kangjêng Sang Prabu/
kaping nêm Pakubuwana/
Sang Dyah pinaring jejuluk/
panênggih Kangjêng Ratu Mas/
maambêk ngumala mêrdwu//
Berputra perempuan utama.
Karena cahaya anaknya,
dinikahi Kangjeng Sang Prabu
Pakubuwana ke VI.
Sang Dyah diberi nama
yaitu Kangjeng Ratu Mas,
dengan cahaya menyenangkan.
6 Sinihan mring raka Nata/
nanging sinamuning sêmu/
tan ana grahiteng kalbu/
dening Jêng Ratu sagêdya/
nampeni karsaning kakung/
ka-[71]nthi lêgawa narima/
marmantuk wahyu linuhung//
Dikasihi oleh kakak Raja.
Tapi itu semua hanya semu,
tidak ada pengertian di hati.
Oleh Kangjeng Ratu bisa
menerima kemauan suaminya
dengan legawa menerima.
Lalu mendapatkan wahyu luhur.
177
7 Amung patutan sajuga/
kakung ing warna pinunjul/
yayah Hyang Asmara nurun/
trusing tyas ngumala rêtna/
tansah weh marteng tumuwuh/
lir rama karêm nastapa/
nimpuna salwiring kawruh//
Hanya berputra satu,
laki-laki yang berparas bagus.
Seperti keturunan Hyang
Asmara,
di hatinya seperti cahaya intan.
Selalu tumbuh memberikan
kesabaran.
Seperti ayah senang sedihnya,
pintar banyak pengetahuannya.
8 Jumênêng Nata sudibya/
ping nawa Jêng Sang aprabu/
putus pangrehing Praja gung/
dhadhasar ambêk sudira/
santosa tatag atangguh/
denya mrih têntrem myang tata/
manising praja rahayu//
Menjadi Raja luhur.
Ditawarkan Kangjeng Prabu,
sudah selasai perkaranya
kerajaan besar.
Dasar berani sekali,
kukuh, kuat dan tangguh.
Olehnya selalu tentram dan baik,
manisnya kerajaan makmur.
DHANDHANGGULA
1 Nahan gantya kang winarna malih/
Jêng Pangeran Arya Adiwijaya/
kang ambêk susila sareh/
punika putranipun/
Sunan Prabu Mangkurat nguni/
Nata di Kartasura/
caritaning dangu/
duk tumutur murweng yuda/
ingkang rayi Jêng Pangeran
Lalu ganti yang diceritakan lagi.
Kangjeng Pangeran Arya
Adiwijaya,
yang baik dan sabar.
Itu anaknya
Sunan Prabu Mangkurat,
Raja di Kartasura.
ceritanya dahulu
ketika mengatakan memulai
perang,
yang adik Kangjeng Pangeran
178
Mangkubumi/
Susunan Kabanaran//
Mangkubumi,
Susunan Kabanaran.
2 Pinundhi mangka jimating jurit/
wêkasane sedaka sangkala/
dening sinilip25 yudane/
nuju neng Kali Abu/
siram lawan garwa paminggir/
bok Gandasari nama/
galihe katungkul/
tan wrin wus pinirantenan/
kang prajurit kumpêni ngrundhuk sing
wuri/
saka praboning aprang//
Dimana ketika aji-ajinya perang,
mulainya ada yang celaka.
Oleh disembunyikan perangnya
menuju ke Kali Abu.
Dimandikan dengan istri di
pinggir.
mbok Gandasari namanya.
Hatinya dibohongi.
Tidak tau sudah dijebak,
prajurit kompeni menangkap dari
belakang
dari tempatnya perang.
3 Jêng Pangeran tan kiwuling jurit/
kawilêting sih maring ampeyan/
dadya seda têmahane/
[72] saiteng Kali Abu/
prapteng mangkya karan wewangi/
Pangran Adi Wijaya/
seda Kali Abu/
putra catur kang pangarsa/
Dyan Mas Arya Adi Kusuma gya putri/
nama Raja Sasmita//
Kangjeng Pangeran tidak bisa
melawan prajurit.
Meroyok dengan cepat kepada
selirnya,
jadi meninggal beliau
dikubur di Kali Abu.
Sampainya dijuluki namanya
Pangeran Adi Wijaya
seda Kali Abu.
Anak keempat yang dinantikan,
Dyan Mas Arya Adi Kusuma,
lalu putri
nama Raja Sasmita,
4 Nulya ari kakung awawangi/ lalu adik laki-laki bernama
25 sinilib
179
Dyan Mas Arya Kusumadiningrat/
wadananing mantra gêdhe/
anulya arinipun/
Dyan Mas Wiryadiningrat nênggih/
bupati Panaraga/
mangkana winuwus/
Arya Kusumadiningrat/
duk maksiha timur dahat kawlas asih/
dening datan kopama//
Dyan Mas Arya
Kusumadiningrat,
menantikan mantra yang besar.
Lalu adiknya/
Dyan Mas Wiryadiningrat yaitu
Bupati Panaraga.
ketika itu diceritakan,
Arya Kusumadiningrat
ketika masih muda kasihan
sekali.
olehnya seumpama,
5 Sasedaning rama kinukup mring/
Pangran dipati Mangkunagara/
raka nak-sanak prenahe/
puwara ura-uru/
andaganya Pangran Dipati/
rebut rok lan kang rama/
Kabanaran Prabu/
nging anggung kasoran yuda/
tan pakiwul milalu leresing jurit/
ngungsi saparan paran//
meninggalnya ayah diketahui
oleh
Pangeran Adipati Mangkunagara,
kakak saudara sebenarnya.
Memang tidak akrab.
Pangeran Adipati membangkang,
merebut mengamuk dengan
ayahanda,
Prabu Kabanaran.
Tapi selalu kalah perang,
tidak mundur mending maju
perang
mengungsi kemana-mana.
6 Sang kaswasih sakadang tantari/
tumuturing raka jêng Pangeran/
anggung kasangsaya bae/
saya nalikanipun/
padha mining Narendra kalih/
Kemudian memelas semuanya.
Bilangnya kakak Kangjeng
Pangeran
harus kuat saja.
Semakin ketikanya
kedua Raja sama salahnya,
180
papalihan nagara/
kang sinêbut mungsuh/
mung Pangran Mangkunagara/
saparane satata pinreping jurit/
meh kacakuping yuda//
peralihan negara
yang disebut musuh.
Hanya Pangeran Mangkunagara,
sesampainya selalu ditempuh
dengan perang,
hampir selesainya perang.
7 Saking denya kawêkening galih/
yen lumawan ngrasa tan kabangkat/
[73] mungsuh dudu timbangane/
nêmahing tyas anungkul/
mring kang rayi Surakarta ji/
pinacak Senapatya/
sang kaswasih wau/
sakadangira titiga/
pinundhuting Nata rehning timur misih/
winoring panakawan//
Saking olehnya hati-hati di hati,
jika melawan rasa tidak kuat.
Musuh bukan lawannya,
harusnya hati menghormati
kepada adik Raja Surakarta.
Berkedudukan sebagai Senopati,
yang memelas tadi
dengan saudaranya tiga
diambil Raja ketika masih muda,
dijadikan satu dengan
panakawan.
8 Diwasanya misih sru kaswasih/
labêt ardada uruning jaman/
Nata tan kobêr galih/
pijêr denya mamayu/
yuning Praja mrih mulya jati/
dadya sang kawlasarsa/
tyasira milalu/
lumêbu mring pamagangan/
ing antara warsa pinacak prajurit/
panamburing tamtama//
Dewasanya masih memelas
sekali.
Karena dari murkanya jaman
dahulu,
Raja tidak ada waktu hatinya.
Selalu olehnya berbuat baik.
Maunya Kerajaan agar mulia
sejatinya,
jadi sang pemberi kasih.
Hatinya mendingan
masuk di calon punggawa,
beberapa tahun jadi prajurit
memimpin prajurit.
181
9 Pinet mantu maring ki ngabehi/
Yasadipura san kawiswara/
winong lir sutane dhewe/
wantuning pujangga gung/
wus waskitha sidaning dadi/
jangkaning lalampahan/
mangkana winuwus/
Jêng Sri Nata Surakarta/
ping sakawan panjênêngannya antawis/
lagyantuk catur warsa//
Dijadikan menantu oleh Ki
Ngabehi
Yasadipura pujangga luhur,
dirawat seperti putranya sendiri.
beraninya pujangga besar,
sudah hati-hati akhirnya jadi
laku yang ditempuhnya.
begini ceritanya,
Kangjeng Raja Surakarta
ke IV, beliaunya kira-kira
baru dapat empat tahun.
10 Manguntik braring driya matistis/
jêng ngajêngan lawan ingkang eyang/
ing Ngeksiganda Pamase/
kuthanira kinêpung/
dening wadya bala Matawis/
janma tan wignya medal/
prawitaning dangu/
duk jumênêngira Nata/
kaping tiga Narendra dibya di murti/
prawira mandra guna//
Cahayanya hati sedih sekali.
Kangjeng melawan dengan
kakek
Raja Ngeksiganda.
Kotanya dikepung
oleh prajurit Mataram.
Orang tidak bisa keluar.
mulainya lama,
ketika beliaunya Raja
ke III Raja luhur badannya
berani mandraguna
11 Darbe putra wanudya yu luwih/
Dyan Ajêng Gêntul paparabira/
sor warang-[74]gana citrane/
kaswareng rat satuhu/
ingkang eyang Nateng Matawis/
sêdya nuwila ganda/
Punya anak perempuan cantik,
Dyan Ajeng Gentul namanya.
Bidadari kalah citranya,
terkenal di jagad semua.
yang kakek Raja di Mataram
mau bersaudara dengan orang
luhur.
182
wau Sang Retna yu/
tinêmbung yun dhinaup lan/
raja putra narendra anom Matawis/
nanging tan sinêmbadan//
tadi Sang Retna
diminta akan dijodohkan dengan
anak Raja muda Mataram,
tetapi tidak dituruti.
12 Dene misih ngêmu sanggarugi26/
dadya among sinongga ing krama/
Sri Ngeksiganda sêmune/
ering mring putra Prabu/
dadya among manganti-anti/
praptaning patêmbayan/
ing wêkasanipun/
kongsi lalu pangantinya/
wus kadalu warsaa têmahan kongsi/
têmbung kalingga Nata//
Ketika masih menjunjung
kekawatiran,
jadi hanya menyangga di
pernikahan.
Raja Ngeksiganda glagatnya
agak takut dengan anak Prabu.
Jadi hanya berharap
sampainya di perjanjian.
Di akhirnya,
sampai lewat pengharapannya.
Sudah lewat tahunnya sungguh
masih
bilang diterima Raja.
13 Surudira Jêng Sri Narapati/
sinantyaning putra sri Narendra/
kang kaping catur marmane/
Ngeksigonda Sang Prabu/
grahita yen sinanggi krami/
tinampik ris-arisan/
dumadya marbangun/
angun-angun tyas wiroddha/
Dyan suwareng wadya kinen ngêpung
kikis/
nagari Surakarta//
Meninggalnya Kangjeng Raja,
sabarnya anak Raja
yang ke empat ketika itu.
Sang Prabu Ngeksiganda
mengerti jika diutus menikah.
Ditolak secara halus-halus,
jadilah tersinggung
galak hatinya marah sekali.
Dyan suaranya prajurit disuruh
mengepung pinggir
negeri Surakarta.
26 Sanggarunggi#
183
14 Kalampahan kêmput bina thithis/
kinêpung wakul binaya mangap/
paminggiring Praja geger/
angili ngalor ngidul/
rereyongan saanak rabi/
langkung kawêlas arsa/
katuring Sang Prabu/
dahat kampiteng wardaya/
Dyan nimbali Patih lan para Bupati/
Pangulu lan Pujangga//
harus berjalan dengan berhasil,
dikepung banyak bahaya besar.
sepinggirya Kerajaan ramai
berjalan ke utara selatan,
berjalan dengan anak istrinya.
Menyedihkan sekali.
Bilangnya Sang Prabu,
khawatir sekali hatinya.
Dyan memanggil Patih dan
Bupati,
Penghulu dan Pujangga,
15 Samya kinen anggupita Gusthi/
mrih widada jêjêring Prajar-[75]ja/
aywana reh sangsayane/
sadaya mari kêlu/
kaluhuran sabda narpati/
denya mrih Ayuningrat/
marma mring wadya gung/
de lagya yêm sawatara/
nuli ana babaya kang babayani/
binudyaris kawala//
sama disuruh meminta kepada
Tuhan
supaya selamat semua Kerajaan.
Tingkahnya semakin reda,
semua pusingnya sembuh.
Dihormati perkataan Raja,
olehnya supaya Ayuningrat
kasihan kepada prajurit besar.
Olehnya baru tentram sementara,
lalu ada bahaya yang
membahayakan.
Pikirkan dengan baik.
16 Nanging samya wagugêning ati/
pinarsudi tyas tanpa wawêngan/
paren dadya darunane/
rerehing galihipun/
Ngeksiganda Sri Narapati/
denya wus apratandha/
ardaning kang bêndu/
Tapi sama khawatir di hati.
dipercaya hati tanpa ditutup.
paren jadi sebabnya
tingkah hatinya
Sri Raja Ngeksiganda
olehnya sudah pertanda
murkanya sekali.
184
sadaya kewraning driya/
datanana ingkang kawênganing budi/
gung kodhêng kawêdhêngan//
Semua khawatir di hati,
tidak ada yang mengerti
tingkahnya,
besar tidak mengertinya.
17 Parmaning Hyang sang paramakawi/
sinung padhang narawang tyasira/
gya nêmbah alon ature/
Pukulun Sang Aprabu/
kang saestu retuning bumi/
karsa Nata punika/
kaluhuran tuhu/
botên wit jrihing ngayuda/
mung mangeman rusaking wadya gung
alit/
lulusing karaharjan//
Kasih sayangnya Tuhan YME
memberi terang menerawang
hatinya.
Lalu menyembah berkata pelan,
“Gusti Sang Prabu
yang menjadi penguasa bumi,
keinginan Raja itu
keluhuran yang sejati.
Tidak takut pada perang,
hanya kasihan jika rusak prajurit
besar kecil.
Lestarinya keselamatan
18 Miwah arjaning kang bumi bumi/
kasangsara duk dauru jaman/
yêkti langkung utamine/
nanging kêdah rinuwuh/
karananya kang mamarahi/
krodhaning eyang Nata/
yen sampun kapangguh/
bubukane tyas wirodha/
Dyan binudi ing reh kang kalawan aris/
dumadi tan rêkasa//
dan selamatnya bumi,
sengsara tidak tentram jamannya,
sejatinya lebih utamanya
tapi harus selamat.
Karenanya yang memulai
marahnya eyang Raja,
jika sudah ditemukan
yang membuat hati marah,
Dyan pikirkan perbuatanmu
dengan sabar,
menjadi tidak berat.”
19 Sri Narendra manggut nayogyani/
kang sumewa samya ngayubagya/
Sri Raja mengangguk setuju,
yang menghadap sama senang.
185
sang Kawi swara ature/
puku-[76]lun duk rumuhun/
eyang Nata anyanyaweni/
ing bakyu Jêng ngandika/
Raden Ajêng Sêntal/
nging rama paduka swarga/
datan rêna taksih karaosing galih/
duk papalihan praja//
sang Kawi suara ujarnya,
“Gusti, dahulu
eyang Raja memberi pesan,
Kangjeng bicara dengan kakak
Raden Ajeng Sental.
Tapi ayah paduka almarhum
tidak senang masih terasa hatinya
oleh beralihnya Kerajaan.
20 Dadya among sinanggi ing krami/
lalu mangsa kongsi tanpa wêkas/
kalajêng-lajêng têmahe/
murut27 ramanta Prabu/
eyang Nata matêmah runtik/
yun murweng lagadira/
yeku purwanipun/
Sri Narendra duk miyarsa/
angandika layak kang bok durung
krami/
mangkono karananya//
Jadi hanya dijalani di pernikahan.
Lalu waktu sampai tiada akhir
terus menerus kejadiannya.
Pergi dari ayah Prabu,
eyang Raja memang tidak suka.
Mau mendahului perang berani.
Yaitu awalnya
Sri Raja mendengar
berbicara pantas sang kakak
belum menikah.
Begitu sebabnya,
21 Mangkya kadiparaning pamikir/
apa baya yogya ing aturna/
kang bok mring eyang samangke/
Kyanapatih umatur/
dhuh pukulun Sri Narapati/
yen makatên karsendra/
katon nistha tuhu/
sêtun têmên Surakarta/
botên wontên janma priya mung
pawestri/
maka bagaimana pemikirannya.
Apa bahaya pantas dibicarakan
sang kakak oleh eyang nanti.”
Bendara Patih bicara,
“dhuh gusti Sri Raja,
jika begitu keinginan Raja,
terlihat nista sekali.
Rekasa sekali Surakarta.
Tidak ada orang laki-laki hanya
perempuan,
27 murud
186
denya jrih mangunyuda//
olehnya takut berperang.
22 Rêmpêk saung kang para Bupati/
ngayubagya turing Mantramuka/
luhung arêrêmpon bae/
sadaya suka lêbur/
ing ayahan umangun jurit/
yen ngaturkên Sang Rêtna/
sasat nungkul alus/
Narendra kewraning driya/
angandika paran kasidaning dadi/
kang bok kang kawlas arsa//
Remuk sekali para Raja.
Setuju tuturanya Mantramuka,
harusnya perang besar-besaran
saja.
Semua suka jadi satu
di kerajaan mewujudkan perang.”
Jika dibicarakan Sang Retna
sama dengan mengalahkan
dengan halus.
Raja tidak enak di hati
berbicara tujuan dijadikannya
sang kakak yang kasihan sekali.
23 De wus yuswa durung nambut krama/
yen wus rêmpêk nêdya rêrêmpona
prang/
lah i-[77]ya sun turut bae/
dhasar panggalih ingsun/
durung lila ingkang sayêkti/
gêmpaling nuswa Jawa/
yêkti ingsun rebut/
mung kanggê gegalihing wang/
awlas mulat marang wadya bala
dening/
lagya têntrem kewala//
Olehnya sudah tua belum
menikah.
Jika sudah remuk niat mau
perang,
lah iya dia menurut saja.
Dasar pikirannya
belum rela yang sejatinya.
Gemparnya tanah Jawa,
sejatinya dia merebut
hanya untuk ketentramannya
orang.
Kasihan melihat kepada prajurit
oleh
baru tentram saja.
24 Marma ingsun mênggahing panggalih/
mangkya ana dhadhakaning aprang/
Maka dia naiknya hati,
maka ada penyebabnya perang.
187
lah iya uwis sêdhênge/
wasisan aywa tanggung/
kakang êmbok sun pikir dhingin/
nuline palakrama/
mrih galaking mungsuh/
lah ayo pikirên padha/
sapa wadya kang pantês sun tarimani/
kakang bok Sang Kusuma//
Lah iya sudah muatnya
pintarnya jangan tanggung.
Kakak putri berfikir dingin
langsung menikah
supaya galaknya musuh.
Lah ayo fikirlah semua
siapa prajurit yang pantas
diterima
kakak putri Sang Kusuma.
25 Yata wau sang parameng kawi/
atas myarsa aturing apatya/
golong lawan nayakane/
Sri Narendra kalulun/
nambadani aturing Patih/
nêdya murweng ayuda/
tinon samya gregut/
lir sardulawikridhita/
sang pujangga anggung amarsudi bumi/
mrih ayuning bawana//
Yaitu tadi sang Parama kawi,
jelas mendengar kata-kata Patih
setuju dengan Nayakanya.
Sri Raja kalah,
setuju dengan ucapannya Patih.
Mau mengawali perang,
dilihat sama semangat
seperti tembang besar
sang Pujangga besar mencari
ilmu di bumi
oleh indahnya jagat.
26 Ing wêkasan nêmbah matur aris/
pukulun Jêng Sang Iswarotama/
prakawis ing paturane/
ri sang mantra pangayun/
golong lawan para Bupati/
paduka ngayubagya/
dadosing prang pupuh/
myang murih galaking mêngsih/
bakyu dalêm pinrih akrama rumiyin/
Di akhir hormat bilang pelan,
“gusti Kangjeng Sang Raja,
perkara yang diaturkan
oleh sang mantra di depan
jadi satu dengan para Bupati,
paduka setuju.
Jadinya perang pupuh
oleh mengutus supaya berani
kepada musuh.
Kakak disuruh menikah dahulu,
188
anggalih kang tinriman//
hatinya yang diterima.
27 Mênggah karsa Paduka sayêkti/
kaluhuran ing atasing Nata/
bêksa raita wiyose/
nanging kê-[78]dah ginêlung/
ing pratingkah sidaning dadi/
nistha madya utama/
winawas ywa limut/
paran yen tumibeng nistha/
lêhêng madya pintên banggi yen utami/
sumbaga wirotama//
Seumpama maunya Paduka
sejatinya
luhurnya di atasnya Raja,
tari raita pembukanya.
Tapi harus digelung
di tingkah akhirnya jadi
nista tengah utama.
Dilihat jangan ditutupi
sampai jika jatuh di nista,
olehnya tengah berapa bahaya,
jika utama
terkenal bagus berani sekali.
28 Namung ulun adarwya pamanggih/
yen suwawi lawan karsa Nata/
Patih myang Punggawa kabeh/
yogya lulus rahayu/
sampun ngantos mutahkên gêtih/
nanging kang sampun dadya/
sor paduka Prabu/
taksiha kalokeng jana/
Nata dibya wirotama ing ngajurit/
tyas paramartotama//
Tetapi aku jangan dipanggil,
jika disetujui dengan kemauan
Raja,
Patih dengan Punggawa semua
pantas selalu selamat.
Jangan sampai memuntahkan
darah.
Tapi yang sudah terjadi,
bawah Paduka Prabu
masih saja terkenal di
masyarakat.
Raja berani di peperangan,
hati luhur dan utama.
29 Mênggah pratingkahing nawung gati/
bakyu dalêm Sang Kusumaning Dyah/
Pantas tingkahnya
mengumpulkan dengan benar.
Kakak Sang Dyah Kusumaning
189
ginalih palakramane/
angsal Santana Prabu/
kang sambada budi myang warni/
yen parêng tyas Narendra/
ulun darbe mantu/
putrane eyang paduka/
jêng Pangeran Adiwijaya ing nguni/
taruna mbêk ngumala//
difikir menikahnya
dapat santana Prabu
yang pantas pikirannya dan
parasnya.
Jika boleh hati Raja,
saya punya menantu
putranya eyang paduka,
Kangjeng Pangeran Adiwijaya
muda dengan kelebihannya.
30 Inggih punika gusti kang kenging/
mangka sarananing glar mardawa/
amrih sirêping dukane/
eyang paduka Prabu/
de lêrêse ingkang anggalih/
sagung trah Ngadijayan/
Ngeksiganda mulku/
dening dahat kapotangan/
tinut wuri ing saparan mangun jurit/
tan sêdya ngoncatan//
Iya itu gusti yang bisa
apabila sarananya supaya sabar,
supaya hilang sedihnya.”
eyang paduka Prabu
membuat senang hatinya
semua keturunan Ngadijayan.
Sang Prabu Ngeksiganda
oleh sangat terpuji,
diikuti kemana-mana
membangun perang,
tidak jadi menyingkir.
31 Ngantos anêmbahi seda sait/
sapintên ta kapiutanganya/
malah kawarti ing mangke/
eyang pa-[79]duka Prabu/
anggunging sêp warta ngulari/
putreng raka kang seda/
wontên lepen abu/
badhe ginanjar kamulyan/
angengêti lalabêtira kang swargi/
Sampai menyembah mati sakit,
seberapa hutangnya.
Malah dikabarkan nanti
eyang paduka Prabu
besarnya berita mencari
anaknya kakak yang meninggal
di sungai abu.
Mau diganjarkan kemuliaan
memperingati tapak tilasnya
almarhum
190
mangka pamalêsira//
ketika pembalasannya.
32 Punika yen kalampahan panggih/
Sang lir Rêtna lan mantu kawula/
eyang paduka yêktine/
larut bramantyanipun/
malah kararantan ing galih/
ketang sor kautaman/
lan paduka Prabu/
têlas turira manêmbah/
duk miyarsa Narendra arsayeng kapti/
manggut mangayubagya//
Itu jika berjalannya bertemu
Sang Retna dan bilang mengabdi,
eyang paduka sejatinya
sedih sekali hatinya.
Malah hancur di hati,
perasaannya dibawah keutamaan.
Dan paduka Prabu
habis ujarnya menyembah
mendengar Raja senang
keinginannya,
manggut setuju.
33 Mantri muka lan para Bupati/
myang pangulu jumurung sadaya/
datan winarna dhaupe/
mawa pahargyan gung/
kapyarsa mring Praja Matawis/
salir laksananira/
denira mamantu/
Sang aprabu Ngeksiganda/
esmu merang-merang kang wayah
narpati/
myang dahat kararantan//
Mantri muka dan para Bupati
ke penghulu, semuanya
membantu.
Tidak diceritakan pernikahannya
membuat acara yang besar.
Diharapkan oleh Kerajaan
Mataram,
semua melaksanakannya
olehnya menikah.
Sang Prabu Ngeksiganda
seperti membagikan yang waktu
Raja
dengan sedih sekali.
34 Mring raka Sang sampurneng ajurit/
têmah larut krodhaning ngayuda/
Kepada kakak Sang sempurna di
perang,
memang terbawa marahnya
berperang.
191
kadi sinapon dukane/
wadya bala kang ngêpung/
Surakarta wus den timbali/
bubar padha sakala/
malah gya angutus/
tur pasumbang langkung kathah/
raja brana guru bakal guru dadi/
winawan srat wêwêran//
Seperti disapu marahnya.
Prajurit yang mengepung
Surakarta sudah dipanggil,
pada bubar semuanya
Malah lalu di perintahkan
dan juga menyumbang banyak
sekali
harta kekayaan guru bakal jadi
guru,
melawan surat pingitan.
35 Mêdharakên karantaning galih/
mring raka sang mukseng ngadilaga/
miwah dahat panrimane/
mring wayah Sang Aprabu/
surasaning gitamalat sih/
yayah [80] trahing prasêtya/
lulusing arukun/
yata praja Surakarta/
prasidya yu bamban pasamuwan malih/
kadi duk panggihira//
Menjelaskan kesedihannya hati
kepada kakak sang muksa di
medan perang.
Dan menerima sekali
oleh waktu Sang Prabu
rasanya kecelakaan keasihan
seperti keturunannya setia,
selalu rukun,
yaitu kerajaan Surakarta
bersedia memulai perkumpulan
lagi,
seperti bertemunya.
36 Nanging roroncene tan winarni/
Sri Pamasa kasoking sihira/
wreni dhasar santanane/
taruna warna bagus/
lêpas pasanggrahita lantip/
ambêk ngumala rêtna/
marma karsa Prabu/
antara ri winisuddha/
Tapi urutannya tidak diceritakan.
Sri Raja banyak sekali kasihnya.
Banyak sekali santananya
muda berparas bagus,
kabur dari pasanggrahan tajam
dengan kumala Retna.
Maka maunya Prabu,
antara hari dilantiknya,
192
wadanane mantri gêdhe sinambat sih/
Arya Sumadiningrat//
mantri wadana mengeluh semua.
Arya Sumadiningrat
37 Peputrastha wêlas kakung putri/
juga Rahadyan Sastra Kusuma/
kalih putri panêngrane/
Sumawi Krama luhung/
sami saking garwa paminggir/
wdang katri saking garwa/
Rahadyan Mas sêpuh/
ananging nora widada/
nulya wdang kasakawan kakung
wewangi/
Dyan Mas Wangsa taruna//
berputra delapan belas laki-laki
perempuan.
Pertama Rahadyan Sastra
Kusuma,
kedua perempuan bernama
Sumawi Krama luhur
sama dari istri selir,
yang ketiga dari istri,
Rahadyan Mas tua,
tetapi tidak selamat.
Lalu yang keempat laki-laki
bernama
Dyan Mas Wangsa muda.
38 Wdang kagangsal mijil langkung pêkik/
Dyan Mas Kelan jumênêng Pangeran/
Nata Kusuma namane/
nulya Arya Jayengkung/
ngalih Sumajaya wawangi/
pinudyan Ayu Blitar/
nulya arinipun/
Dyan Mas Sayid madêg Pangran/
jêng Pangeran Adiwijaya wewangi/
anulya arinira//
Yang kelima lahir tampan sekali,
Dyan Mas Kelan sebagai
Pangeran
bernama Raja Kusuma.
Lalu Arya Jayengkung,
menjadi Sumajaya namanya,
dipuja Dyan Ayu Blitar.
Lalu adiknya
Dyan Mas Sayid menjadi
Pangeran
bernama Kangjeng Pangeran
Adiwijaya.
Lalu adiknya
39 Wdangka sanga sing garwa paminggir/ yang ke sembilan dari istri selir,
193
nama Dyan Ngabehi Mandaraka/
nulya sing Patmi arine/
Dyan Ayu Jayengkewuh/
kasawêlasira wewangi/
Arya Jayadiningrat/
[81] yekang apilungguh/
Bupati Kaparak Kiwa/
nulya Dyan Masê Mantri arine malih/
Kangjêng Ratu Kancana//
bernama Dyan Ngabehi
Mandaraka.
Lalu yang Patmi adiknya,
Dyan Ayu Jayengkewuh.
Kesebelasnya bernama
Arya Jayadiningrat,
yaitu yang menjadi
Raja Kaparak Kiwa.
Lalu Dyan Mas Mantri, adiknya
lagi
Kangjeng Ratu Kancana,
40 Garwa dalêm Jêng Sinuhun sugih/
nulya parari saking ampeyan/
Raden Sumadi karyane/
anulya Raden Ayu/
Kusumadikrama anuli/
Dyan Wrediningsih nama/
ampeyan Sang Prabu/
pakubuwana kaping pat/
nulya Suma Marjaya Raden Ngabehi/
wragil Dyan Mangunjaya//
istri Kangjeng Sinuhun kaya.
Lalu para anak dari selir,
bernama Raden Sumadi.
Lalu Raden Ayu
Kusumadikrama, lalu
bernama Dyan Wrediningsih,
selir sang Prabu
Pakubuwana ke IV.
Lalu Raden Ngabehi Suma
Marjaya,
bungsunya Dyan Mangunjaya.
41 Putra asthawlas ingkang winarni/
Pangeran Arya Adiwijaya/
dahat sulistya warnine/
kramantuk putrinipun/
ingkang raka nak sanak nguni/
Pangeran Adipatya/
Mangkunagareku/
Putra ke delapanbelas yang
diceritakan.
Pangeran Arya Adiwijaya
bagus sekali parasnya.
Menikah mendapat putrinya
yang kakak saudara juga,
Pangeran Adipati
Mangkunagara
194
ping kalihing Surakarta/
apeputra kathah kang winarna kalih/
samya kakung utama//
ke II di Surakarta.
Berputra banyak, yang
diceritakan dua
sama laki-laki utama.
42 Kang asêpuh Raden Mas Subêkti/
suwarna di tyas ngumala rêtna/
diwasanira ing mangke/
nunggak semi jejuluk/
Pangran Adiwijaya ping dwi/
ari Dyan Mas Sudira/
animpuneng kawruh/
yayah pujanggeng Narendra/
bêk mardawa mangkana ingkang
winarni/
pangran adiwijaya//
Yang tua Raden Mas Subekti,
parasnya hati bercahaya seperti
intan.
Dewasanya nanti,
sama dengan ayahanda bernama
Pangeran Adiwijaya ke II.
Adiknya Dyan Mas Sudira,
mencari ilmu
seperti pujangganya Raja.
Banyak sabar begitu yang
diceritakan.
Pangeran Adiwijaya
43 Dadya mantu dalêm Sri Bupati/
Pakubuwana kang kaping astha/
putra keh kang winarna reh/
kang mijil dyah linuhung/
angasorkên gêbyaring sasi/
trusing tyas martotama/
ginarwa Sang Prabu/
Pakubuwana ping sanga/
datan wing-wang lir Hyang Wisnu lan
Dewi Sri/
pantêsing [82] sakaliyan//
dijadikan menantu Sri Raja
Pakubuwana ke VIII.
Putra banyak yang diceritakan
tingkahnya,
yang lahir dyan luhur
dibawah gebyarnya bulan,
percayanya hati sabar utama.
Dinikahi Sang Prabu
Pakubuwana ke IX.
Tidak beda dengan Hyang Wisnu
dan Dewi Sri,
pantasnya keduanya.
44 Mung patutan juga Sang Rêtna di/ Sang Retna hanya punya anak
195
miyos kakung sulistya ing warna/
kadya murca kinêdhapke/
tuhu retuning bagus/
pinapudya wadya sanagri/
langkung sihe ramendra/
nadyan misih timur/
pinangkat Pangran Dipatya/
diwasanya sangsaya endahing warni/
mangka musthikeng Praja//
satu.
Seperti laki-laki setia di
parasnya,
seperti hilang utamanya.
Benar perangnya bagus,
dipuja prajurit senegara.
Sayang sekali rama Raja.
Meskipun masih muda,
diangkat jadi Pangeran Adipati.
Dewasanya semakin bagus
parasnya,
maka perhiasannya Kerajaan.
45 Anggung ginulanging rama aji/
salwiring kawruh panata praja/
wajibing Nata yêktine/
mrih lulusi larja yu/
arjeng Praja panjrahning janmi/
sasuruding ramendra/
gumantyeng kaprabun/
Jêng Sri Nata ping sadasa/
satata mrih wadya kang pantês kinardi/
kanthining Nata dibya//
Lalu diajarkan rama Raja
sebagian ilmu tentang kerajaan.
Wajibnya Raja sejatinya,
supaya lestarinya selamat
selamat di Kerajaan merata di
masyarakat.
Meninggalnya rama Raja,
digantikan Prabu
Kangjeng Sri Raja ke X.
Lestari supaya prajurit yang
pantas bekerja
dengan Raja luhur.
KINANTHI
1 Mangsuli cariteng ngayun/
Dyan Mas Sudira ing nguni/
diwasanira sangsaya/
denira mrih minangkarti/
alandhêsan budi darma/
Mengulang cerita di depan,
Dyan Mas Sudira dahulu.
Dewasanya semakin
olehnya supaya tentram,
berlandaskan budi utama,
196
prasida widagda jati//
menjadi pintar sejatinya.
2 Madêg Pangeran jejuluk/
Gandakusuma mantêsi/
ambêk para martotama/
pasanging grahita lantip/
puwarantuk kanugrahan/
jumênêng Pangran dipati//
Menjadi Pangeran bernama
Gandakusuma pantas sekali.
Dengan para prajurit
selalu mengerti sekali.
Mendapatkan keanugrahan
menjadi Pangeran Adipati
3 Mangkunagara ping catur/
kapati denya marsudi/
arjaning wawêngkonira/
para Santana gung alit/
miwah para wadya bala/
rinob bandana marta sih//
Mangkunagara ke IV.
Suksma olehnya berguru.
Selamat pemerintahannya,
para santana besar kecil
dan juga para prajurit,
banyak bandana sabar kasih.
4 Winonging sakayun-kayu-[83]n/
kang tan gêmpalakên adil/
myang samya winulang-wulang/
pinrih nawung kridha sami/
tan apia wicarita/
myang anoraga malat sih//
Orangnya semaunya
yang tidak memudahkan adil.
Dengan sama-sama berguru,
supaya mengumpulkan perilaku
sama.
Tidak bergejolak ceritanya.
Dengan andhap asor membuat
senang.
5 Kang supaya nora kidhung/
lamun andukita tami/
marma prasantana wadya/
samya lêbdeng krama niti/
kasumbageng tri bawana/
labuhanira Jêng Gusti//
Yang supaya tidak paham,
tapi menjadi utama.
Maka dari itu para santana
sama keturutan di tingkah teliti,
terkenal di tiga dunia
kehidupannya Kangjeng Gusti.
197
6 Tan wus kalamun winuwus/
Jêng Gusti wus nambut krami/
antuk pulunan nak sanak/
putranira Kangjêng Gusti/
Pangeran Dipati Arya/
Mangkunagara kaping tri//
Tidak henti-henti terkenalnya.
Kangjeng Gusti sudah menikah
mendapat puluhan anak.
Anaknya Kangjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya
Mangkunagara ke III,
7 Patutan putri linuhung/
kagarwa Sri Narapati/
kaping sadasa punika/
dadya têmbung krama bibi/
nak sanaking umi Nata/
swargi Jêng Sang Prameswari//
berputra perempuan luhur
dinikahi Sri Raja
ke X itu.
jadi dipanggil bibi
anak-anaknya ibu Raja.
Almarhum Kangjeng Sang
Prameswari,
8 Samya trahing kali abu/
baboni bawana jawi/
pinapudyeng wadya bala/
widadaning Prameswari/
ambawani kawibawan/
tumangkaping wahyu jati//
sama keturunan dari Bapak.
Babonnya Tanah Jawa.
Dipuja oleh semuanya.
Ketulusannya Prameswari,
sifatnya bijaksana.
Mendapatkan wahyu sejati dari
Tuhan.
198
B. Kajian Isi
Isi kandungan dalam naskah STWK berisi tentang silsilah keturunan
Raja-raja Jawa yang dimulai dari Ki Ageng Tarub sampai KGPAA
Mangkunegara IV. Naskah ini merupakan sebuah naskah sejarah yang di
dalamnya memuat rekam jejak seorang tokoh yang ada di Jawa. Melalui
sejarah bisa mengetahui masa lampau baik mengenai peristiwa maupun tokoh-
tokoh yang ada di dalam sejarah tersebut. Sesuai kegunaannya, naskah STWK
memiliki kegunaan untuk mengetahui mengenai silsilah para raja Jawa dari Ki
Ageng Tarub sampai dengan KGPAA Mangkunegara IV dan dapat menjadi
referensi ilmu di bidang lain.
Naskah STWK di dalamnya berisi 14 pupuh yang di setiap pupuh-nya
selalu berganti yang diceritakan. Dimulai dari pupuh pertama yaitu kisah Ki
Ageng Tarub sampai dengan pupuh terakhir yang menceritakan tentang
KGPAA Mangkunegara IV. Tetapi di antara pupuh satu dengan pupuh lainnya
selalu ada kesinambungan cerita.
1. Ki Ageng Tarub, merupakan putra dari Prabu Tunjungseta atau
Dayaningrat VII. Ketika istrinya melahirkan, para dukun pendeta
mengatakan bahwa anak tersebut kalau sudah besar akan memberi duka
kepada ayahanda. Maka anak diberikan kepada Ki Buyud di Tajug diberi
nama Ki Jaka Bodho. Ketika dewasa disuruh menikah tapi tidak mau. Lalu
ia diberi tau yang sebenarnya, ia langsung pergi dari rumah, ingin
mengabdi ke Pengging tetapi dibuang Dewa ke hutan, dan disana ia
bertapa seperti kidang.
199
Di Dukuh Sekar Lampir tinggal Ki Buyud Kidang Lancing yang memiliki
putri berparas cantik bernama Sumaji. Suatu hari Sumaji pergi ke sendang
bertemu dengan Jaka Bodho. Keduaanya saling jatuh hati hingga tidak tau
batas. Sang ayah mengetahui perbuatan tersebut dan langsung dilaporkan
kepada Raja Pengging. Ki Buyud Tajug dipanggil Raja Pengging dan
diceritakan semua tentang kelakuan anaknya. Ki Buyud Tajug memberi
tahu bahwa Jaka Bodho adalah anak yang dititipkan Raja dahulu. Raja
ingin membunuhnya, tapi tidak tega hatinya. Lalu Jaka Bodho diusir dari
kerajaan. Setelah itu Jaka Bodho menceritakan kejadian tersebut kepada
Sumaji dan ia berniat ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit ia disuruh
ke Supagati. Disana ia selalu dinasehati dan juga Jaka Bodho senang
memandai keris.
Di Sekar Lampir, Sumaji juga diusir dari sana. Lalu ia ingin menyusul
Jaka ke Majapahit. Di tengah jalan ia melahirkan anak laki-laki tampan.
Sumaji meninggal tetapi bayinya selamat. Sang bayi ditemukan oleh Ki
Buyud Sekar Lampir dan jasad ibunya dikubur. Sang bayi dibawa dan
ditaruh di bawah pohon. Ditemukan dan dibawa pulang oleh Ni Randha
Tarub, diberi nama Jaka Tarub.
Ketika dewasa Jaka Tarub menikah dengan Nawangwulan dan diberi gelar
Kyai Ageng Tarub. Ni Randha bicara kalau sebenarnya ia anak Sri
Dayaningrat. Ketika mendengar, sakit hati Ki Ageng Tarub. Ia ingin
menjadi raja menggantikan ahli waris kerajaan Pengging. Ki Ageng
bertapa sangat keras lalu mendapat wangsit bahwa ia tidak bisa jadi raja.
Tapi keturunannya pasti akan menguasai Tanah Jawa dengan syarat ia
200
harus mencari teman Prabu Brawijaya. Ia langsung mengatakan pada
istrinya tentang wangsit itu. Sang istri juga berdoa kepada Dewa dan
diberikan Cupu Manik Asthagina yang di dalamnya ada gambar surga,
neraka dan bumi langit seisinya. Sang istri juga membuat baju celana tanpa
jahitan. Sesampainya di Majapahit, Ki Ageng Tarub langsung
menceritakan niatnya dan memberikan semua yang disiapkan tadi. Ki
Ageng langsung diberi keris yang bernama Kyai Condhong Campur.
Ki Ageng Tarub dan Nawangwulan dikaruniai anak perempuan cantik
yang diperistri oleh Bondhan Kajawan. Meninggalnya mertua, ia yang
menggantikan posisinya. Keduanya saling mengasihi dan dikaruniai tiga
orang anak. Pertama bernama Dyan Dhukuh, yang berguru pada Sunan
Majagung dan diambil menantu olehnya diberi nama Seh Ngabibulahi
yang tinggal di Wanasaba dan namanya menjadi Ki Ageng Wanasaba.
Kedua bernama Raden Dhepok, yang berguru pada Sunan Majagung dan
diambil menantu diberi nama Seh Ngabdullah yang tinggal di Dukuh
Getas Pandhawa dan namanya menjadi Ki Getas Pandhawa. Dan yang
ketiga bernama Rara Kasiyan. Hal tersebut diceritakan pada pupuh
pertama pada 48-51 yang berbunyi sebagai berikut.
“Kyai Agêng wus peputra mangkin/ mijil wanodya endah kawuryan/ wus
tan pae lan ibune/ mawa ujwala mancur/ angêsorkên gêbyaring sasi/
ramebu langkung suka/ prapta mangsa dhaup/ lan raden Bondhan
Kajawan/ samuksane martuwa Raden gumanti/ neng Tarub mong
wibawa// Sih siniyan lan garwa Dyah adi/ yayah mimi lawan kang
mintuna/ tan kêna sah saparane/ ri ratri runtung-runtung/ enggal ingkang
kandha winarni/ apatutan tetiga/ kang asêpuh jalu/ Dyan Dhukuh
peparabira/ nyakabat mring Susunan Majagung nguni/ pinet mantu
priyangga//...”
201
Artinya: “Kyai Ageng sudah berputra nanti/ lahir perempuan indah sekali/
sudah tanpa bapak dan ibunya/ memakai cahaya yang sumorot/
mengalahkan cahaya bulan/ bapak dan ibu pasti senang/ sampai waktunya
menikah/ dengan Raden Bondhan Kajawan/ meninggalnya mertua Raden
menggantikan/ di Tarub orang yang dihormati// Saling mengasihi dengan
istrinya/ seperti mimi dan mintuna/ tidak bisa pisah kemanapun/ ketika
malam selalu bersama/ baru yang bilang bercerita/ anaknya tiga/ yang tua
laki-laki/ Dyan Dhukuh namanya/ berteman dengan Sunan Majagung/
diambil mantu sendiri//...”
2. Mas Panjawi, keturunan Arab dan Majalengka.
Ketika jaman Demak ada keturunan Rasulullah bernama Maulana
Mahribbi ke Jawa menyusul saudaranya, Kalipah Kusen. Beliau bertemu
dengan Sunan Ngampel dianggap saudara sendiri dan menikah dengan
anak dari Arya Teja Tuban. Ia menjadi imam di Banten dan dikaruniai
empat anak. Pertama bernama Pangeran Seh Aji Duta. Kedua bernama
Pangeran Adi Purwa. Ketiga bernama Pangeran Ngadireja. Dan yang
keempat bernama Ki Ageng Ngerang yang dijadikan menantu Bondhan
Jaka Tarub + Nawangwulan
putrinya + Bondhan Kajawan
Dyan Dhukuh
(Ki Ageng Wanasaba)
Raden Depok
(Ki Ageng Getas Pandhawa)Rara Kasiyan
202
Kajawan mendapatkan Rara Kasiyan. Berputra tiga yang pertama lahir
perempuan diperistri Ki Ageng Sela, bernama Nyi Geng Sela muda
(menjadi istri muda, istri tua anaknya Kyai Ageng Wanasaba). Kedua
bernama Ki Ageng Ngerang (sama dengan ayahnya). Dan yang terakhir
bernama Nyi Geng Kemiri.
Diceritakan Ki Ageng Ngerang mengabdi pada Sunan Kalijaga dan
dijadikan menantu mempunyai anak enam. Pertama bernama Panembahan
Agung, kedua Pangeran Kalijenar, ketiga Ki Ageng Ngerang (seperti
ayahnya), keempat dan kelima tidak diceritakan, dan yang bungsu
bernama Nyai Geng Sapupa.
Kyageng Ngerang lalu dijadikan mantu Ki Ageng Sela berputra Ki Mas
Panjawi yang suka keprajuritan. Ia berguru pada Sunan Kalijaga dengan
Kyai Ageng Pamanahan (anak Kyageng Nis) dan Kyai Juru (anak
Kyageng Saba). Mereka bertiga saling mengasihi dan sama-sama
mengabdi pada Sultan Adiwijaya di Pajang. Hal tersebut diceritakan pada
pupuh kedua pada 10-11, sebagai berikut.
“Wuragilira pawestri/ Nyai Gêng Sapupa nêngran/ Kyagêng Ngêrang
winiraos/ kamantu Ki Agêng Sela/ dadya panggih nak-sanak/ denya
palakrama runtut/ patutan jalu utama// Anama Ki Mas Panjawi/ karêm ing
kaprajuritan/ jinurung maring buyute/ Jêng Susunan Kalijaga/ anggung
ginulang-gulang/ pratingkahing aprang pupuh/ myang saliring aji
jaya//...”
Artinya: “Yang bungsu perempuan/ bernama Nyai Geng Sapupa/ Kyageng
Ngerang dirasa/ jadi mantu Ki Ageng Sela/ jadi bertemu saudara sekakek/
olehnya pasangan suami istri urut/ berputra laki-laki utama// Bernama Ki
Mas Panjawi/ menyukai keprajuritan/ didukung oleh kakeknya/ Jeng
203
Sunan Kalijaga/ selalu berlatih/ bagaimana cara berperang/ dengan semua
jenis strategi untuk menang//...”
Ketika istri almarhum Kalinyamat memelas pada Sultan meminta matinya
Arya Panangsang di Jipang yang membunuh suami dan saudaranya, tidak
ada yang berani melawan Arya Panangsang. Akhirnya Sultan meminta Ki
Pamanahan, Ki Panjawai, dan Ki Juru untuk membunuh Arya. Arya
Panangsang meninggal dan Ki Panjawi dihadiahi kerajaan Pati dan
menjadi Ki Ageng Pati. Sedangkan Ki Pamanahan mendapatkan Mataram
yang masih hutan belantara.
3. Melanjutkan cerita Jaka Bodho ketika dihukum berjalan sampai di
Majapahit dan mengabdi kepada Mpu Supagati. Diceritakan Raja Sri
Kalagrejita punya anak cantik bernama Retna Kelasmani. Ketika ditawari
Maulana Mahribi
Pangeran Seh Aji
Duta
Pangeran Adi Purwa
Pangeran Ngadireja
Ki Ageng Ngerang + Rara Kasiyan
Nyi Geng Sela muda
Ki Ageng Ngerang
Nyi Geng Kemiri
Ki Ageng Ngerang
Panembahan Agung
Pangeran Kalijenar
Ki Ageng Ngerang
Ki Mas Panjawi
(tidak diceritakan)
(tidak diceritakan)
Nyai Geng
Sapupa
204
menikah, ia hanya ingin menikah dengan Jaka Bodho. Raja tidak
menyetujuinya dan berdoa pada Dewa. Diberilah burung Gurundaya yang
ketika burung tersebut dilepaskan dan hinggap pada seseorang, maka
orang tersebut pasti akan menjadi jodoh putrinya. Setelah burung
dilepaskan, ia hinggap pada Jaka Bodho. Raja tetap tidak terima dan
mengulanginya lagi. Sampai turunlah Hyang Brahma dan menjelaskan
bahwa Jaka Bodho sebenarnya adalah anak Prabu Tunjung Seta. Mereka
berdua lalu dinikahkan dan Jaka Bodho menjadi Raja di Pengging bergelar
Raja Dayaningrat. Keduanya saling mengasihi dan punya anak namanya
juga Prabu Dayaningrat yang menjadi menantu Prabu Brawijaya di
Majapahit dapat Retna Pambayun. Keduanya mempunyai anak tiga yang
pertama bernama Raden Kebo Kanigara. Kedua bernama Kebo Kenanga.
Dan ketiga bernama Kebo Surastri (yang menjadi penyebab meninggalnya
sang ibu).
Retna Pambayun meninggal dan mengakibatkan Prabu Dayaningrat sedih,
akhirnya ia muksa. Anaknya yang tua menggantikannya diberi nama
Adipati Pengging. Ketika itu perangnya jaman oleh bergantinya agama
syariat Nabi. Sang Dipati sedih dan bertapa di gunung merapi.
Jaka Bodho + Retna Kelasmani
Prabu Dayaningrat + Retna Pambayun
Raden Kebo Kanigara
Kebo Kenanga Kebo Surastri
205
Diceritakan Prabu Demak, Kebo Kenanga diberi nama Kyai Ageng
Pengging. Suatu saat ia tidak mau datang ke Demak yang membuat Raja
marah dan menghukumnya. Ki Ageng meninggal dan meninggalkan anak
yang masih muda yang diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Dewasanya
disebut Jaka Tingkir. Ia berguru kepada Kyageng Sela. Ketika Ki Sela
membabat hutan untuk dibangun rumah, ia mengajak Jaka Tingkir. Disana
diceritakan bahwa JakaTingkir mendapatkan anugrah besar dari Tuhan.
Dan ia diutus berguru ke Demak menjadi prajurit besar. Ketika ia menjadi
prajurit, ada orang ingin masuk menjadi prajurit bernama Dhadhungawuk.
Ia terkenal punya kekuatan tetapi sayangnya wajahnya jelek. Ia lalu
disuruh membuktikan kekuatannya. Dhadhungawuk sombong dan
membuat Jaka Tingkir tersinggung. Ia lalu membunuh Dhadhungawuk.
Alhasil, Jaka Tingkir dihukum diusir dari Demak. Ia menyesal dan
bertemu dengan Ki Ageng Butuh.
Hari berganti bulan, Jaka disuruh pulang ke Demak. Ia selalu berdoa dan
mendapat wangsit diutus belajar pada Ki Buyud Banyu Biru. Disana, ia
disuruh menyusul Sang Prabu Demak ke gunung dengan membawa syarat
yang menjadi sebab ia akan diterima di Demak lagi. Ia diberi tanah untuk
diberikan kerbau. Kerbau pasti akan mengamuk dan tidak ada yang bisa
mengalahkan kecuali Jaka Tingkir. Benar, sang Raja meminta Jaka Tingkir
mengalahkan kerbau tersebut. Akhirnya kerbau mati dan Jaka Tingkir
diterima lagi di Demak.
Jaka Tingkir kembali ke kerajaan dan dijadikan menantu bertahta di
Pajang menjadi Adipati. Meninggalnya Prabu, Adipati menggantikannya
206
menjadi Raja. Anak pertama, Sunan Prawata ikhlas tidak menjadi Raja.
Ketika Jaka Tingkir meninggal, maunya Sunan Kudus yang menggantikan
adalah keturunannya Sunan Prawata, bukan Pangeran Banawa. Semua
tidak setuju lalu mundur. Pangeran Banawa susah hatinya. Pajang diserang
dan Banawa menjadi Raja. Ia berputra putri banyak yang diperistri
Kangjeng Prabu Seda Krapyak. Ia lalu berputra Sultan Agung di Mataram.
Hal ini dijelaskan pada pupuh ketiga pada 147-148, sebagai berikut.
“Sêdya ngrabaseng pupuh/ minta tulung mring praja Matarum/ ingkang
raka Panêmbahan Senapati/ kalampahan Pajang gêmpur/ sang banawa
madêg katong// Peputra putri punjul/ ginarwa ring kangjêng sang aprabu/
kang seda ing Krapyak peputra sang aji/ ing Mataram Sultan Agung/
binathareng rat kinaot//...”
Artinya: “berniat merusak perang/ minta tolong kepada kerajaan Matarum/
yang kakak Panembahan Senapati/ lakunya Pajang diserang/ sang banawa
menjadi Raja// Berputra putri lebih/ diperistri oleh Kangjeng Sang Prabu/
Seda Krapyak berputra sang Raja/ di Mataram Sultan Agung/ Raja jagad
raya//...”
4. Ki Ageng Juru Martani keturunan Majapahit.
Diceritakan anak tua Bondhan Kajawan, yaitu Ki Ageng Wanasaba
mempunyai anak empat. Pertama bernama Pangeran Made Pandhan, kedua
Kebo Kenanga
Jaka Tingkir
(Sultan Pajang)
Pangeran Banawa
putrinya diperistri
Prabu Seda Krapyak
Sultan Agung
207
perempuan dinikahi oleh Ki Ageng Sela menjadi istri tua, ketiga Ki Ageng
Katanggung, dan keempat Ki Ageng Made Pandhan muda.
Pangeran Made Pandhan menikah berputra tiga, yaitu yang pertama
Pangeran Jayaprana, kedua perempuan dinikahi Ki Ageng Nis, dan ketiga
Ki Ageng Sungep.
Ki Ageng Sungep menikah memiliki anak, yang diceritakan hanya empat,
yaitu yang pertama perempuan dinikahi Ki Ageng Mataram, kedua Ki Juru
Martani, ketiga Ki Manggarini, dan keempat Nyi Geng Talawah. Hal
tersebut diceritakan pada pupuh keempat pada 5-6.
“Pangran Jayaprana putra ingkang sêpuh/ pawestri kalap Kyagêng Nis/
Ki Agêng Sungep waruju/ punika lajêng sesiwi/ mung sakawan
kacariyos// Pangarsestri kalap Ki Agêng Matarum/ gya Kyai Juru
Martani/ nulya Ki Manggarinipun/ Nyi Gêng Talawah wewangi/ wangsul
ingkang kacariyos//...”
Artinya: “Pangeran Jayaprana anak yang tua/ yang perempuan dinikahi
Kyageng Nis/ Ki Ageng Sungep anak bungsunya/ itu kemudian berputra/
hanya empat diceritakan// Pertama perempuan dinikahi Ki Ageng
Matarum/ lalu Kyai Juru Martani/ lalu Ki Manggarini/ Nyi Geng Talawah
namanya/ kembali yang diceritakan//...”
Ki Juru Martani berwatak baik dan pintar. Ia berguru kepada Eyang di Sela
dengan Ki Pamanahan dan Ki Panjawi. Ketiganya mengabdi kepada Raja.
Pamanahan dan Panjawi ulahnya ugal-ugalan. Ki Juru yang pintar.
Kehidupan Ki Juru seperti Bathara Kresna yang mengasuh putra Pandhu.
208
Meninggalnya Arya Jipang sebenarnya karena ditipu oleh Ki Juru, dan
Arya Panangsang terhasut.
Ki Pamanahan dihadiahi Mataram, Ki Juru mengikutinya sampai Mataram
diturunkan pada anaknya, Panembahan Senapati. Kyai Juru jadi patih
bernama Ki Mandrakara. Ia berputra empat, pertama bernama Juru
Martani II (Pangeran Adipati Mandrakagya), kedua Ki Juru Wirapraba
(Pangeran Mandura Rejeku), ketiga Kyai Juru Kithing (Pangeran
Upasonta), dan keempat Adipati Batang.
Adipati Batang menikah dengan putri Raja Banawa berputra perempuan
cantik yang dijadikan Ratu oleh Sultan Agung bernama Jeng Ratu Wetan,
kemudian berganti nama Jeng Ratu Kulon. Mereka berdua mempunyai
anak bernama Sunan Smare Tegal.
Ki Ageng Wanasaba
Pangeran Made
Pandhan
Pangeran Jayaprana
perempuan dinikahi Ki Geng Nis
Ki Ageng Sungep
perempuan dinikahi Ki
Ageng Mataram
Ki Juru Martani
Juru Martani II (Pangeran
Adipati Mandrakagya
Ki Juru Wirapraba (Pangeran Mandura)
Kyai Juru Kinthing (Pangeran Upasonta)
Adipati Batang
Jeng Ratu Wetan
(Kulon)
Sunan Smare Tegal
Ki Manggarini
Nyi Geng Talawah
perempuan dinikahi Ki Ageng Sela
Ki Ageng Katanggung
Ki Ageng Made
Pandhan muda
209
5. Pangeran Puger, Pakubuwana I.
Kangjeng Sultan Pajang berputra Pangeran Banawa, berputra Pangeran
Mas yang tinggal di Pajang dan bergelar Adipati Kangjeng Sultan Agung
Mataram. Lalu ia berputra Pangeran Prabu Wijaya (Raden Panembahan).
Ia mempunyai anak perempuan yang dinikahi Jeng Sunan bernama Ratu
Kilen. Keduanya lalu berputra Mas Drajad.
Ketika dewasa, Mas Drajat dikenal dengan Pangeran Puger. Ia disuruh
merebut kerajaan oleh ayahnya. Apabila ia menang, ia diutus menjadi raja
di Kajenar dan namanya berganti menjadi Kangjeng Susunan Ngalaga.
Kangjeng Sunan Ngalaga mengumpulkan prajurit untuk merebut Mataram.
Tetapi ia tidak bisa mengalahkan Mataram. Ia merasa berdosa kepada
ayahnya. Sampai-sampai ia ingin naik haji untuk menebus dosanya. Tetapi
semua tidak setuju Kangjeng Sunan pergi. Kalau Kangjeng Sunan pergi,
siapa yang akan dianut orang setanah Jawa. Maka ia tidak jadi pergi dan
menjadi raja dengan gelar Kangjeng Susuhunan Amangkurat Senapatining
Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagami. Semua sentana dinaikkan
jabatannya dan pindah ke Tegal.
Prajurit terburu-buru berangkat sampai Kadhiri menjumpai perang,
Trunajaya sudah kalah. Mengutus memanggil adik Sunan Ngalaga.
Khawatir dikira kompeni lalu banyak yang meninggal. Pangeran Puger
ganti nama menjadi Jeng Sunan Mangkurat Mas. Tetapi ia berlaku
sewenang-wenang dan membangkang. Lalu ia pergi ke Semawis jadi raja
oleh kompeni dengan nama Sunan Pakubuwana I.
210
Hari sudah selesai perang, Raja Kartasura kalah mundur dalam perang dan
lolos ke timur. Kerajaan Kartasura ditempati oleh keturunan Jayengrana.
6. Kangjeng Sunan Prabu Mangkurat.
Panembahan Madiun keturunan Demak, anak Sultan ketiga namanya
Sultan Adi Awijaya. Ia mempunyai anak 21, tapi yang diceritakan anaknya
yang perempuan bernaman Kusuma Retna Dumilah yang berparas cantik.
Ketika Madiun diserang Panembahan Senapati ing Ngalaga, sang Kusuma
tinggal di dalam puri dikasih keris Kyai Gumarang dan pistol Kyai
Rupakenca. Sang Kusuma lama-lama jadi berani dan berbusana seperti
laki-laki. Ketika dewasa, ia dijodohkan dan mempunyai anak tiga yang
pertama bernama Pangeran Adipati Pringgalaya, kedua bernama Kangjeng
Panembahan Juminah, dan yang terakhir bernama Pangeran Adipati
Martalaya.
Panembahan Juminah mempunyai anak enam yang pertama bernama
Pangeran Martalaya (Adipati Blitar), kedua bernama Raden Arya Suralaya,
ketiga Dyan Ayu Kajoran, keempat Radyan Arya Wangsengsani, kelima
Radyan Ayu Wanabaya, dan terakhir Raden Ayu Sontadirja.
Kangjeng Pangeran Adipati Arya Blitar (Pangeran Martalaya) mempunyai
anak satu bernama Pangeran Tumenggung Blitar. Lalu Tumenggung
Kangjeng Sultan Pajang
Pangeran Banawa
Pangeran Mas
(Kangjeng Sultan Agung
Mataram)
Prabu Wijaya (Raden
Panembahan
Ratu Kilen + Jeng Sunan
Mas Drajat (PB I)
211
memiliki anak perempuan yang diperistri Kangjeng Sunan Pakubuwana I
dan bernama Kangjeng Ratu Pakubuwana. Keduanya berputra delapan,
yang diceritakan putranya yang pertama bernama Raden Mas Surya. Ia
menjadi kebanggaan negara. Meninggalnya ayahanda, ia berganti menjadi
raja bernama Kangjeng Sunan Prabu Mangkurat. Hal tersebut dijelaskan
dalam pupuh keenam pada 27-31.
“Ajejuluk, Pakubuwana Jêng Ratu/ ambêk pinasthika/ susila bêkti ing laki/
ingkang garwa dahat sih mule mring garwa// Asesunu, kakung putri kehe
wolu/ putra kang panênggak/ mijil priya warna pêkik/ pinaringan paparab
Raden Mas Surya// Asesunu, kakung putri kehe wolu/ putra kang
panênggak/ mijil priya warna pêkik/ pinaringan paparab Raden Mas
Surya// Diwasa wus, pinantês panêngranipun/ Dyan Mas Surya putra/
mangka sêsêkaring nagri/ ri sawusing kang rama jumeneng Nata// Karsa
prabu, pinacak palungguhipun/ Pangran Adipatya/ suruding rama
gumanti/ ajejuluk Jêng Sunan Prabu Mangkurat//”
Artinya: “Selanjutnya tadi Pangeran Tumenggung/ berputra perempuan/
diperistri Raja/ Kangjeng Sunan Pakubuwana I// Bernama Kangjeng Ratu
Pakubuwana/ sudah dipastikan/ bagus baktinya kepada suami/ yang istri
sayang sekali menghomati kepada suami// Punya anak laki-laki perempuan
banyaknya delapan/ anak yang pertama/ lahir laki-laki berparas tampan/
dikasih nama Raden Mas Surya// Dewasa sudah pantas namanya/ Dyan
Mas Surya putra/ jadi kebanggaan Negara/ hari sesudahnya sang ayahanda
menjadi Raja// Kehendak Prabu menjadi tahtanya/ Pangeran Adipati/
meninggalnya ayahanda berganti/ bernama Kangjeng Sunan Prabu
Mangkurat//
212
7. Kangjeng Sunan Pakubuwana II.
Keturunan Rasul Kalifah Kusen namanya Seh Mahdi ke Jawa bertemu
Sunan Ampel. Ia menikah dengan anaknya Arya Baribin lalu menjadi
imam di Madura mempunyai anak bernama Kangjeng Sunan Ngudung.
Sunan Ngudung mempunyai anak dua yang pertama perempuan diperistri
Pangeran Sekar ing Dangu dan yang kedua bernama Kangjeng Sunan
Kudus. Sunan Kudus berputra Panembahan Kali yang kemudian
menggantikannya menjadi Panembahan Kudus. Lalu berputra Pangeran
Demang, berputra Pangeran Rajungan, berputra Pangeran Kudus, berputra
Arya Sumadi Pura Angrenggani, berputra Dyan Adipati Arya Tirta
Kusuma (raja besar Kudus). Ia lalu memiliki anak perempuan bernama
Ratu Kencana yang dinikahi Kangjeng Sunan Prabu Mangkurat. Keduanya
memiliki anak laki-laki yang menggantikan rama Raja dan bergelar
Kangjeng Sunan Pakubuwana II.
Sultan Adiwijaya
Retna Dumilah
Pangeran Adipati Pringgalaya
Kangjeng Panembahan
Juminah
Pangeran Martalaya (Adipati Blitar)
Pangerana Tumenggung
Blitar
diperistri PB I
Raden Mas Surya
(Prabu Mangkurat)
Raden Arya
Suralaya
Dyan Ayu
Kajoran
Radyan Arya Wangsengsani
Radyan Ayu
Wanabaya
Raden Ayu Sontadirja
Pangeran Adipati Martalaya
213
“Jêng Sunan Prabu Mangkurat/ kang ngrenggani karsa surapraja di/ Ratu
Kancana jejuluk/ patutan priya tama/ anggênteni kang rama jumênêng
Ratu/ jejuluk Kangjêng Susunan/ Pakubuwana ping kalih//”
Artinya: “Kangjeng Sunan Prabu Mangkurat. Yang menjaga Raja
Surapraja bernama Ratu Kencana, berputra laki-laki utama yang
menggantikan rama menjadi Raja, bernama Kangjeng Sunan Pakubuwana
ke II.” (pupuh 7 pada 10)
8. Kangjeng Sinuhun Pakubuwana III.
Anak Pakubuwana I dengan permaisuri namanya Dyan Mas Sasangka,
setelah punya kedudukan berganti nama menjadi Adipati Purbaya yang
diberi wilayah Blora. Meninggalnya sang ayah, yang menggantikan adalah
kakaknya yaitu Kangjeng Sunan Prabu Amangkurat. Ia tidak suka dengan
kedua adiknya (Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar). Alhasil semua
ditarik oleh Prabu Amangkurat. Pangeran Purbaya ikhlas, tetapi Pangeran
Blitar tidak terima dan ingin berperang melawannya. Akhirnya Pangeran
Seh MahdiSunan
Ngudung
diperistri Pangeran Sekar ing Dangu
Sunan Kudus
Panembahan Kali (Kudus)
Pangeran Demang
Pangeran Rajungan
Pangeran Rajungan
Pangeran Kudus
Arya Sumadi Pura Angrenggani
Arya Tirta Kusuma
Ratu Kencana +
Prabu Mangkurat
PB II
214
Blitar kalah dan kembali kepada Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya
sangat kasihan melihatnya. Lalu Pangeran Blitar diumumkan menjadi raja
di Kartasura dengan nama Kangjeng Sunan Ibnu Mustapa Pakubuwana
Senapatining Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama (Panembahan
Senapati Ngalaga). Putra raja yang dijadikan anak angkat bernama
Pangeran Riya lalu diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom
Amengkunegara.
Ketika Kartasura dilanda kesedihan karena banyak maling, Panembahan
Adipati Jaya Puspita diganggu terus. Ternyata dua anak raja sudah menjadi
raja semua. Raja di Kartasura kecewa dan akhirnya semua membangkang
kepadanya. Kangjeng Sunan Ibnu Mustapa jatuh sakit.panembahan
Purbaya terhasut oleh kompeni dan diasingkan ke Paselongan dengan
meninggalkan anak perempuan cantik yang diperistri Pakubuwana II,
diberi nama Kangjeng Ratu Mas. Mereka mempunyai anak laki-laki
bernama Kangjeng Sinuhun Pakubuwana III di Surakarta. Ia merupakan
raja yang baik dan tidak menyerah di dalam peperangan.
“Trah kapurbayan linuhung/ pinuji wigya madhahi/ wahyu karaton
minulya/ mangkya kalampahan nênggih/ patutan kakung u-[59]tama/
gumantyeng rama Narpati// Jejuluk Kangjêng Sinuhun/ Pakubuwana
kaping tri/ ing nagari Surakarta/ Narendra bêk sadubudi/ adhadhasar tyas
sudira/ tan kundur28 rehing ngajurit//”
Artinya: “Keturunan Purbaya terkenal, dipuji terus menerus wahyu
Keraton yang mulia. maka lakunya lagi berputra laki-laki utama,
menggantikan ayahanda Raja. Bernama Kangjeng Sinuhun Pakubuwana
28 kondur
215
ke III di Negara Surakarta. Raja yang baik budinya. dasarnya hati berani
sekali, tidak menyerah olehnya perang.” (pupuh 8 pada 53-54)
9. Pakubuwana IV
Kangjeng Sultan I berputra Raden Mas Alit (Pangeran Pamekas) lalu
berputra Panembahan Jagaraga, berputra Ki Ageng Ampuwan, yaitu
ayahnya Ki Ageng Karanglo.
Dahulu diceritakan ketika Ki Pamanahan dari Pajang mau pindah ke
Mataram. Sampai Taji istirahat, lalu Karanglo memberikan suguhan.
Setelah selesai Ki Pamanahan melanjutkan perjalanan diiringi Karanglo.
Sampai di sungai Opak, Sunan Kalijaga selesai mandi dan ia bilang bahwa
keturunan Karanglo nanti sejiwa seraga darah sejati. Ki Ageng Karanglo
berputra namanya Kyai Ageng Rogas, lalu berputra Kyai Cucuk Dhepok,
berputra Cucuk Singa, berputra Kyai Sutajaya (Ki Kerti Mancut) lalu
berputra Ki Jagaswara yang diterima oleh Pakubuwana III dilantik menjadi
Bupati di Gedhong kanan bergelar Tumenggung Wirareja. Ia memiliki
PB I
Prabu Mangkurat
Pangeran Purbaya
Kangjeng Ratu Mas + PB II
PB III
Pangeran Blitar (Panembahan Senapati
ing Ngalaga)
Adipati Anom Amengkunegara
(anak angkat)
216
anak perempuan yang diperistri raja bernama Kangjeng Ratu Kencana.
Mereka berdua berputra raja ke IV bernama Sunan Bagus menjadi ulama
disebut Waliyullah yang diagungkan di Tanah Jawa.
“Kyai Sutajaya apeputra tiga/ estri ingkang kalih/ kang jalu satunggal/
wasta Ki Jagaswara/ katarima mring Sang Aji/ Pakubuwana/ ping tri
Surakarta di// Pinisuddha dadya Bupati nayaka/ Gêdhong Têngên
palinggih/ kapatêdhan nama/ Tumênggung Wirareja/ darbe sute-[61]stri
yu luwih/ pinundhut garwa/ maring Sri Narapati// Kaparingan asma Jêng
Ratu Kancana/ nanging karane nguni/ Ratu Bêruk nama/ lulus
pikramanira/ apatutan Sri Bupati/ kaping sakawan/ misuwuring asma ji//”
Artinya: “Kyai Sutajaya berputra tiga, yang perempuan dua, yang laki-laki
satu. bernama Ki Jagaswara, diterima oleh Sang Raja Pakubuwana ke III
di Surakarta. Dilantik dijadikan Bupati nayaka bertempat di Gedhong
Tengen, diberi nama Tumenggung Wirareja. Punya anak perempuan
sangat cantik, dijadikan istri oleh Sri Raja diberi nama Kangjeng Ratu
Kancana. Tetapi dahulu bernama Ratu Beruk namanya. Sesudahnya
menikah, berputra Raja ke IV, terkenal dengan nama Raja...” (pupuh 9
pada 11-13)
Ki Ageng Karanglo
Kyai Ageng Rogas
Kyai Cucuk Dhepok
Cucuk Singa
Kyai Sutajaya
Kyai SutajayaKi Jagaswara (Tumenggung
Wirareja)
Kangjeng Ratu Kencana + PB III
PB IV
217
10. Pakubuwana V
Arya Pucuk diambil menantu oleh Ki Ageng Sampa, lalu berputra
sebanyak 41. Yang pertama bernama Demung Palakaran yang memiliki
anak delapan. Anak ketiga bernama Pangeran Agung yang berputra empat,
anak pertama bernama Panembahan Lemah Dhuwur di Arisbaya.
Panembahan berputra 15, yang ketiga bernama Panembahan Tengah,
berputra Arya Prasena yang menjadi Adipati Sampan. Ia dijadikan anak
angkat oleh Sultan Agung dan berganti nama menjadi Panembahan
Cakraningrat yang memiliki anak 17, yang ketujuh bernama Dyan
Undhaka. Ketika Pakubuwana I bertahta di Semarang, Cakraningrat diberi
nama Panembahan, dan ketika pulang ia meninggal. Ia berputra 30, yang
ketiga bernama Cakraningrat juga.
Ketika itu, Cakraningrat terkena tipu daya, lalu terjadi perang antara
prajurit Jawa dengan kompeni. Pangeran meninggal di dalam perang dan
digantikan oleh kakaknya yang namanya sama, yang berganti nama
menjadi Prabu Mangkurat. Ia berputra banyak, tapi yang diceritakan hanya
Dyan Ayu Cakradiningrat. Lalu berputra perempuan bernama Dyan Ayu
Adipati yang dijodohkan dengan Pangeran Amangkurat. Mereka
mempunyai anak laki-laki berparas bagus. Meninggalnya Raja, yang
menggantikannya adalah Kangjeng Sinuhun Pakubuwana IV.
Meninggalnya Pakubuwana IV, yang menggantikan adalah anak dari Dyan
Ayu Adipati bergelar Pakubuwana V.
“Lagya patutan sajuga/ miyos kakung suwarna di/ Sang Kusuma tan
widada/ murud amurweng den adi/ kang tinilar mong wingit/ wau Sri
Narendra sunu/ sasuruding ramendra/ gumanti jumênêng aji/ Jêng
218
Sinuhun Pakubuwana Kaping Pat// Diwasaning Narpa putra/ kang sing
Dyan Ayu Dipati/ ingangkat Pangran Dipatya/ sasuruding rama aji/
gumanti Narapati/ kaping gangsal Sang aprabu/ yekang misuwur asma/
nênggih Jêng Sinuhun Sugih/ ambêk sura weh girising mitya karddha//”
Artinya: “Baru punya anak satu lahir laki-laki berparas bagus, Sang
Kusuma tidak selamat. Meninggal mendahului den adi, yang ada hanya
kesedihan. Tadi anak Raja, setelah meninggalnya rama Raja, berganti
menjadi Raja Kangjeng Sinuhun Pakubuwana ke IV. Dewasanya anak
Raja yang dari Dyan Ayu Adipati diangkat jadi Pangeran Adipati.
Meninggalnya rama Raja, berganti jadi Raja ke V. Sang Prabu yang
terkenal bernama yaitu Kangjeng Sinuhun kaya, berwatak pemberani
menakutkan.” (pupuh 10 pada 27-28)
11. Pakubuwana VI
Kangjeng Sunan Seda Krapyak jadi punggawa Adipati Mandurareja. Ia
mempunyai anak delapan. Yang tua perwira perang Kangjeng Sultan
Agung Mataram namanya Prabu Anyakrakusuma. Yang bungsu bernama
Arya Pucuk
Demung Palakaran
Pangeran Agung
Panembahan Lemah
Dhuwur
Panembahan Tengah
Arya Prasena (Panembahan Cakraningrat)
Panembahan Cakraningrat
CakraningratDyan Ayu
Cakraningrat
Dyan Ayu Adipati +
AmangkuratPB V
219
Rahaden Banusasmita. Ia dikasihi oleh Raja dan dijadikan punggawa
bernama Wirakusuma lalu dijadikan Pangeran Manduranagara. Ia berputra
Pangeran Manduranagara yang dikubur di Tegal. Lalu berputra Arya
Manduranagara yang sinarnya terlihat di Timur. Lalu berputra
Manduranagara dikubur di Barat, memiliki putra bernama Arya
Pasingsingan. Lalu berputra Dyan Tumenggung Cakrapura yang memiliki
anak perempuan cantik dijadikan istri selir Kangjeng Raja ke V bernama
Dyan Sasrakusuma. Mereka berputra laki-laki utama. Meninggalnya rama
Raja, ia menggantikannya dan diberi nama Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana VI yang terkenal dengan nama Kangjeng Sinuhun
Banguntapa.
“Dyan Tumênggung Cakrapura/ peputra panêngranira/ ping kalih Cakra
dipura/ darbe putra wanodyendah/ pinundhut garwa ampeyan/ Jêng Sri
Nata kaping gangsal/ nama Dyan Sasrakusuma/ peputra kakung utama//
Wit timur sudira brata/ anggung lalaneng wanarga/ angupadi puruita/
suruding rama Narendra/ gumanti kaprabonira/ jejuluk Jêng Susuhunan/
kaping nêm Pakubuwana/ misuwuring asma Nata//”
Artinya: “Dyan Tumenggung Cakrapura. Berputra namanya dua kali
Cakra Dipura. Punya anak perempuan cantik dijadikan istri selir Kangjeng
Raja ke V, bernama Dyan Sasrakusuma. Berputra laki-laki utama. Dari
muda berani berperang, selalu mengelana berkelana ke hutan gunung
mencari ilmu. sepeninggalan rama Raja, menggantikan tahtanya bernama
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana ke VI. Terkenal dengan nama Raja...”
(pupuh 11 pada 11-12)
220
12. Kyai Singaprana Alus keturunan Pajang dari Pangeran Banawa berputra
Kangjeng Pangeran Kaputran. Lalu berputra Pangeran Danupaya, ia
berputra Singaprana, lalu berputra Singaprana Alus. Singaprana Alus
berputra Ki Singawangsa, lalu berputra Singaprana lagi. Singaprana
mempunyai anak perempuan cantik bernama Raden Tasikwulan diperistri
oleh anak Raja Kangjeng Gusti Pangeran Arya Amangkubumi putra
Kangjeng Pakubuwana III. Mereka memiliki anak perempuan cantik yang
dinikahi Pakubuwana VI lalu diberi nama Kangjeng Ratu Mas. Mereka
berputra laki-laki berparas bagus dan pintar. Esok anaknya akan menjadi
raja yang luhur.
Kangjeng Sunan Seda
Krapyak
Prabu Anyakrakusuma
Rahaden Banusasmi
ta (Pangeran Mandurana
gara)
Pangeran Mandurana
gara
Pangeran Mandurana
gara
Pangeran Mandurana
gara
Arya Pasingsing
an
Arya Pasingsingan
Dyan Tumenggung
Cakrapura
Dyan Sasrakusuma +
PB VPB VI
Pangeran Banawa
Pangeran Kaputran
Pangeran Danupaya
SingapranaSingaprana
Alus
Ki Singawang
sa
Ki Singawangsa
SingapranaRaden Tasikwulan
+ Arya Amangkubumi
Ratu Mas + PB VI
putra berparas
bagus
221
13. Kangjeng Pangeran Arya Adiwijaya anaknya Sunan Prabu Mangkurat raja
Kartasura. Dahulu ketika perang sembunyi menuju ke Kaliabu. Disana ia
dimandikan dengan istrinya bernama Mbok Gandasari. Ia dijebak dan
ditangkap oleh kompeni. Ketika melawan, ia terbunuh dan dijuluki
Pangeran Adiwijaya seda Kaliabu. Ia mempunyai empat anak, yang
pertama bernama dyan Mas Arya Adikusuma, kedua Raja Sasmita, ketiga
dyan Mas Arya Kusumadiningrat, dan yang terakhir dyan Mas
Wiryadiningrat yang menjadi Bupati Panaraga.
Arya Kusumadiningrat ketika muda kasihan sekali. Meninggalnya ayah
dikasihi oleh Pangeran Adipati Mangkunagara. Adipati membangkang
mengamuk kepada ayahnya Prabu Kabanaran. Walaupun selalu kalah, ia
selalu maju perang. Musuh bukan lawannya. Harusnya ia menghormati
adik Raja Surakarta, berkedudukan sebagai senopati. Bertahun-tahun jadi
prajurit lalu dijadikan menantu oleh Ki Ngahebi Yasadipura. Dan diasuh
seperti anaknya sendiri.
Kangjeng Raja Surakarta IV ketika menjabat selama 4 tahun, ia melawan
dengan kakek di Ngeksiganda. Kotanya dikepung Mataram, sampai tidak
ada yang keluar. Ketika Raja III punya anak perempuan bernama dyan
Ajeng Gentul, sang anak diminta dijodohkan dengan Raja muda Mataram.
Prabu Mangkurat
Arya Adiwijaya
Arya Adikusuma
Raja Sasmita
Arya Kusumadiningrat
Mas Wiryadiningrat
222
Tetapi tidak dilawan, hanya menyangga pernikahannya saja karena
Ngeksiganda takut kepada anak Prabu.
Meninggalnya Kangjeng Raja, ketika ditawari menikah Prabu
Ngeksiganda tahu jika keinginannya ditolak secara halus. Tetapi itu
membuat marah dan Surakarta dikepung prajurit. Prabu sangat khawatir
sekali. Dipanggil semua yang ada di kerajaan, diutusnya untuk berdoa
meminta keselamatan. Semua mencari-cari apa yang membuat murka sang
Prabu. Dahulu eyang Raja berpesan pada kakak Kangjeng tetapi ayah
paduka tidak senang dengan beralihnya kerajaan, jadi hanya dijalani
dipernikahannya saja. Raja kasihan dengan kakaknya yang sudah tua tetapi
belum menikah. Mereka lalu berdebat tentang diadakan perang atau tidak.
Akhirnya diadakanlah perang, tetapi sang kakak harus menikah dahulu.
Sang kakak Kusumaning dyah menikah, tetapi tidak diceritakan jodohnya.
Sang Prabu Ngeksiganda berperang menyapu prajurit yang mengepung
Surakarta.
Akhir perang, kerajaan Surakarta bersedia memulai perkumpulan lagi.
Sang Raja banyak yang mengasihi. Banyak santana yang berparas bagus.
Arya Sumadiningrat memiliki anak 18 banyaknya. Pertama bernama
Rahadyan Sastra Kusuma, kedua perempuan dari istri selir, ketiga dari istri
Rahadyan Mas sepuh, keempat Dyan Mas Wangsa muda, kelima Dyan
Mas Kelan (Pangeran Raja Kusuma), lalu Arya Jayeng (Sumajaya), lalu
Dyan Ayu Blitar, lalu Dyan Mas Sayid (Kangjeng Pangeran Adiwijaya),
yang kesembilan dari istri selir namanya Dyan Ngabehi Mandaraka, lalu
Dyan Ayu Jayengkewuh, kesebelas namanya Arya Jayadiningrat, lalu
223
Dyan Mas mantri, lalu Kangjeng Ratu Kencana (istri Kangjeng Sinuhun),
lalu anak selir bernama Raden Sumadi, lalu Raden Ayu Kusumadikrama,
lalu Dyan Wrediningsih (selir PB IV), lalu Raden Ngabehi Suma Marjaya,
dan yang bungsu Dyan Mangunjaya.
“...Arya Sumadiningrat// Peputrastha wêlas kakung putri/ juga Rahadyan
Sastra Kusuma/ kalih putri panêngrane/ Sumawi Krama luhung/ sami
saking garwa paminggir/ wdang katri saking garwa/ Rahadyan Mas
sêpuh/ ananging nora widada/ nulya wdang kasakawan kakung wewangi/
Dyan Mas Wangsa taruna//...”
Arya Sumadiningrat
Rahadyan Sastra Kusuma
perempuan dr istri selir
Rahadyan Mas Sepuh
Dyan Mas Wangamuda
Dyan Mas Kelan
Arya Jayeng
Dyan Ayu Blitar
Dyan Mas Sayid (Pangeran Adiwijaya)
Dyan Ngabehi Mandraka
Dyan Ayu Jayengkewuh
Arya Jayaningrat
Dyan Mas Mantri
Kangjeng Ratu Kencana
Raden Sumadi
Raden Ayu Kusumadikrama
Dyan Wrediningsih
Raden Ngabehi Suma Marjaya
Dyan Mangunjaya
224
Artinya: “... Arya Sumadiningrat berputra delapan belas laki-laki
perempuan. Pertama Rahadyan Sastra Kusuma, kedua perempuan bernama
Sumawi Krama luhur sama dari istri selir, yang ketiga dari istri, Rahadyan
Mas tua, tetapi tidak selamat. Lalu yang keempat laki-laki bernama Dyan
Mas Wangsa muda...” (pupuh 13 pada 36-37)
Pangeran Arya Adiwijaya menikah mendapatkan putrinya Pangeran
Adipati Mangkunegara II. Mereka memiliki anak banyak, yang diceritakan
hanya dua. Pertama bernama Raden Mas Subekti, dewasanya nanti
bernama Pangeran Adiwijaya II. Adiknya bernama dyan Mas Sudira yang
suka mencari ilmu seperti pujangganya Raja. Pangeran Adiwijaya
dijadikan menantu oleh Pakubuwana VIII memiliki putra banyak.
Anaknya perempuan dinikahi oleh Prabu Pakubuwana IX yang memiliki
anak laki-laki yang diangkat menjadi Pangeran Adipati. Meninggalnya
rama Raja digantikan Prabu Kangjeng Raja ke X.
Pangeran Arya Adiwijaya + putri MN II
Raden Mas Subekti (Pangeran Adiwijaya II) + putri PB VIII
putri dinikahi PB IX
PB X + anak MN III
melahirkan raja-raja di Tanah Jawa
Dyan Mas Sudira
225
14. Dyan Mas Sudira menjadi Pangeran Adip ati Mangkunegara IV. Ketika
dibawah pemerintahannya, kerajaan menjadi tentram dan lestari. Semua
yang ada di kerajaan merasa bahagia. Kangjeng Gusti menikah
mendapatkan puluhan anak.
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunagara III punya anak
perempuan dinikahi Raja ke X. Anak-anak yang dilahirkannya merupakan
babonnya Tanah Jawa yang mendapatkan wahyu sejati dari Tuhan.
“Patutan putri linuhung/ kagarwa Sri Narapati/ kaping sadasa punika/
dadya têmbung krama bibi/ nak sanaking umi Nata/ swargi Jêng Sang
Prameswari// Samya trahing kali abu/ baboni bawana jawi/ pinapudyeng
wadya bala/ widadaning Prameswari/ ambawani kawibawan/
tumangkaping wahyu jati//”
Artinya: “berputra perempuan luhur dinikahi Sri Raja ke X itu. jadi
dipanggil bibi anak-anaknya ibu Raja. Almarhum Kangjeng Sang
Prameswari, sama keturunan dari Bapak. Babonnya Tanah Jawa. Dipuja
oleh semuanya. Ketulusannya Prameswari, sifatnya bijaksana.
Mendapatkan wahyu sejati dari Tuhan.” (pupuh 14 pada 7-8)
Dari kajian isi di atas diketahui bahwa Ki Ageng Tarub merupakan
cikal bakal raja-raja di Tanah Jawa. Mulai dari Ki Ageng Tarub sampai dengan
Dyan Mas Sudira atau biasa dikenal dengan sebutan Kangjeng Mangkunegara
IV. Raja-raja tersebut menjadi luhur karena dari lahir diberikan wahyu dari
Tuhan yang menandakan ketika besar akan menjadi pemimpin yang
mengayomi Tanah Jawa. Semua tidak serta merta terjadi begitu saja. Banyak
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum seorang Raja bertahta di kursi
singgasananya.