Download - BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konflik
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konflik
Defini konflik adalah kondisi munculnya dua kebutuhan atau lebih pada waktu
yang bersamaan. Menurut Lewin (dalam Akmal, 2016) menyatakan bahwa
seseorang berada di bawah tekanan dalam merespon perubahan-perubahan yang
disebut lokomosi pada lapangan kehidupannya, akan terdapat vektor-vektor yang
saling bertolak belakang serta tarik-menarik. Oleh karenanya, seseorang pada
lapangan psikologi tertentu akan mengalami tekanan batin maupun konflik yang
selalu diiringi dengan motif. Konflik terjadi karena seseorang berada di bawah
tekanan untuk merespon daya-daya tersebut secara simultan. Bila dua motif saling
bertentangan, kepuasan motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif lain.
Dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan kondisi dalam lapangan kehidupan
individu dengan adanya kekuatan saling bertentangan arah namun mempunyai porsi
kekuatan yang sama.
Dalam mengupas konsep konflik perlu dipahami konsep kehidupan. Menurut
teori Kurt Lewin (dalam Akmal, 2016) teori lapang mengutamakan keseluruhan
studinya mengenai jiwa manusia. Hal yang penting pada teori ini adalah lapangan,
di dalam psikologi diartikan sebagai lapangan kehidupan. Lapangan kehidupan
seseorang mempertimbangkan banyak hal mengenai dirinya sendiri.
2.1.1 Teori Lapangan
Teori lapangan (Field Theory) terutama dikembangkan oleh Kurt Lewin
(Alwisol, 2017:317). Lewin sangat dipengaruhi oleh aliran Psikologi Gestalt,
sehingga teori lapangan mengutamakan keseluruhan daripada elemen atau bagian-
12
bagian di dalam studinya tentang jiwa manusia. Unsur yang terpenting dari teori
ini adalah lapangan kehidupan, yang dalam psikologi diartikan sebagai lapangan
kehidupan (life space).
a. Lapangan Kehidupan
Lapangan kehidupan dari seorang individu terdiri dari pribadi individu
(person), lingkungan psikologi (psychological environment) serta lingkungan non-
psikologis yang hanya ada pada saat memperhitungkan hal-hal yang ada bagi
individu bersangkutan. Jadi, apa yang ada bagi individu belum tentu ada secara
objektif, sedangkan apa yang ada secara objektif belum tentu ada secara subjektif.
Dengan begitu akan nampak bahwa yang lebih dipentingkan adalah deskripsi
subjektif.
Lapangan kehidupan terbagi dalam wilayah-wilayah (region) yang disebut
lingkungan kehidupan (life-sphere). Dalam lingkungan kehidupan ada yang
sifatnya nyata (reality) seperti ibu, teman, pekerjaan, dan ada pula yang maya
(irreality) seperti cita-cita atau harapan. Jadi, lapangan kehidupan memiliki dimensi
nyata-maya (dimensi R-I).
b. Tingkah Laku dan Lokomosi
Menurut Lewin (dalam Alwisol, 2017) menyatakan bahwa tingkah laku adalah
lokomosi atau gerakan pada lapangan kehidupan yang ditentukan oleh resultan
kekuatan pendorong dan penghambat. Dalam lokomosi karakteristik utama dari
perilaku adalah: pertama, perilaku selalu terjadi dalam lingkungan psikilogi
tertentu, dan kedua, perilaku bersifat terarah atau memiliki arah. Konsep arah
mengacu pada perubahan suatu aktivitas ke aktivitas lain. Aktivitas itu sendiri
merupakan wilayah (region) dalam lapangan kehidupan orang yang bersangkutan,
13
pada saat berlangsungnya perilaku. Sehingga, konsep arah melibatkan dua wilayah.
Wilayah pertama merupakan wilayah bagi aktivitas yang sedang berlangsung, dan
wilayah kedua adalah wilayah yang membuat seseorang bergerak mendekati dan
menjauhi.
c. Daya
Bagi Lewin (dalam Alwisol, 2017) definisi daya adalah suatu hal yang
menyebabkan perubahan. Perubahan terjadi jika pada suatu wilayah ada valensi
tertentu. Valensi merupakan region dari lingkungan psikologis bagi pribadi. Valensi
dapat bersifat negatif atau positif tergantung pada daya tolak yang ada pada wilayah
tersebut. Misalnya, bagi orang lapar region yang berisi makanan mempunyai
valensi positif. Sebaliknya orang yang takut dengan anjing, region yang berisi
anjing mempunyai valensi negatif, karena region itu justru meningkatkan
ketegangan atau rasa takut. Pada dasarnya, besarnya valensi ditentukan oleh
kebutuhan nilai makanan tergantung kepada tingkat kelaparan seseorang.
Valensi merupakan istilah kimia yang dipakai Kurt Lewin dalam psikologi
medan yang diciptakannya. Setiap pribadi memiliki penilaian tersendiri terhadap
lingkungan. Valensi bertujuan untuk memberikan arah pada lingkungan psikologis
yang ada dalam diri individu. Dengan demikian, valensi tidak akan memberikan
dorongan secara pribadi yang bergerak menjauhi lingkungan psikologis. Valensi
memiliki tiga sisi, yaitu:
Pertama, Valensi Positif Merupakan valensi yang menjadi obyek tujuan di
dalam lingkugan. Misalnya, makanan menjadi objek tujuan rasa lapar dan minuman
menjadi tujuan objek rasa haus. Jadi seseorang akan bertindak sesuai dengan objek
14
yang dijadikan tujuan. Valensi positif yang ada dalam lingkup psikologis dapat
digambarkan seperti gambar berikut.
Gambar 2.1 Valensi Positif
Kedua, valensi negatif merupakan valensi yang menjadi penolakan objek.
Misalnya, objek yang ditolak adalah sebuah kotoran; harimau dan buaya juga
merupakan objek yang ditolak, ditakuti, kemudian dihindari. Maka, seseorang akan
berupaya untuk menjauhi objek yang menakuti atau mengganggunya. Valensi
negatif yang ada dalam lingkup psikologis dapat digambarkan seperti gambar
berikut.
Gambar 2.2 Valensi Negatif
Ketiga, valensi netral yang valensinya ditandai dengan simbol 0. Valensi netral
yang memiliki arti tidak diinginkan dan juga tidak ditolak. Misalnya, pada
pemungutan suara mengenai sebuah masalah, kemudian ada yang netral dan berarti
tidak memilih maupun tidak menerima. Gambaran valensi netral pada ranah
psikologis dapat dilihat sebagai berikut:
15
Gambar 2.3 Valensi Netral
Valensi bukanlah kekuatan melainkan daya tarik dan daya tolak. Valensi
merupakan sebuah kuantitas yang mempunyai beberapa variasi. Ada yang kuat,
lemah, dan ada pula yang sedang. Kekuatan valensi tergantung pada keperluan serta
faktor-faktor psikologis yang terdapat dalam lingkungan individu (Gerungan,
2010:151). Misalnya, ada seseorang yang kelaparan, maka ia akan makan. Maka
makanan seperti nasi akan menjadi kekuatan besar pada orang tersebut. Di samping
itu, faktor lingkungan akan memengaruhi kekuatan daya tarik nasi. Suatu valensi
berkaitan dengan sebuah kebutuhan. Artinya, suatu daerah tertentu dalam ruang
hidup bisa jadi memiliki nilai positif atau negatif bergantung secara langsung pada
suatu sistem dalam suatu tegangan personal.
Lewin (dalam Irwanto, 2002) membagi daya dalam beberapa jenis, yaitu:
pertama, daya pendorong yang mengarahkan pergerakan atau lokomosi ke wilayah
tertentu. Kedua, daya yang menghambat berupa batas-batas fisik atau sosial yang
dapat menghambat pergerakan. Ketiga, daya yang berasal dari kebutuhan diri
sendiri berfungsi untuk merefleksikan kehendak seseorang untuk melakukan
sesuatu. Keempat, daya yang berasal dari orang lain berupa hubungan dengan
kehendak orang lain, seperti perintah orang tua atau teman. Kelima, daya
impersonal yang berasal dari norma sosial dan bersifat menghambat seperti orang
yang tidak bicara keras-keras di tengah malam buta karena terhambat norma sosial.
16
d. Ketegangan
Lewin dalam (Alwisol, 2017) mendefinisikan ketegangansebagai ekadaan
darisuatu sistem yang berhubungan dengan keadaan sistem-sistem lain di
sekelilingnya. Ketegangan mempunyai sifat yang cenderung menjadi seimbang,
yaitu jika sistem a berada dalamkeadaan tegangan tinggi dan sistem b, c, d dalam
keadaan tegangan rendah,maka ketegangan cenderung untuk bergerak dari ake b-c-
d, sampai ke empat sistem itu berada dalam tegangan yang sama.
Meredakan ketegangan tidak berarti bahwa ketegangan itu harus hilang sama
sekali, melainkan ketegangan itu disebarkan secara merata dari suatu region ke
region lain dalam lapangan kehidupan. Dengan begitu, peredaan ketegangan berarti
tercapainya keseimbangan diantara region-region yang menghasilkan ketegangan
di suatu daerah tertentu bisa mereda, tetapi secara umum ketegangan di seluruh
lapangan kehidupan belum tentu reda.
2.1.2 Konflik Internal
Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan jiwa individu.
Konflik internal merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri
yang bisa disebut konflik batin atau konflik kejiwaan. Konflik jiwa dialami setelah
ada pertentangan atau gangguan batin seseorang. Konflik batin yang terus menerut
terjadi menyebabkan individu, watak, dan pemikiran yang menyimpang. Plato
(dalam Gerungan, 2010) berpendapat bahwa jiwa manusia itu terbagi atas dua
bagian, yaitu jiwa rohaniah dan jiwa badaniah. Jiwa rohaniah tidak pernah akan
mati dan berasal dari dunia abadi, sedangkan jiwa badaniah akan gugur bersama-
sama dengan raga manusia. Jiwa rohaniah berpangkal pada rasio dan logika
manusia yang merupakan bagian jiwa tertinggi sebab tidak pernah mati dan
17
memiliki tugas untuk menemukan kebenaran abadi yang terletak di balik kenyataan
dunia, yaitu dengan cara berpikir dengan rasio berserta mengingat ide-ide yang
benar dan yang berasal dari dunia abadi. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya
pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-
harapan, atau masalahmasalah lainnya (Gerungan, 2010:22).
2.1.3 Konflik Eksternal
Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara individu dengan sesuatu
yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau dengan lingkungan
manusia. Menurut Jones (dalam Gerungan, 2010) konflik eksternal dibedakan
menjadi dua, yakni konflik fisik dan konflik sosial. Konflik fisik merupakan konflik
yang disebabkan adanya pembenturan antara tokoh dengan lingkungan alam.
Konflik fisik sering terjadi yang disebabkan oleh bencana alam seperti kebanjiran,
kemarau panjang, gunung meletus. Sedangkan pada konflik sosial disebabkan oleh
adanya kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat
adanya pertentangan antara tokoh yang satu dengan tokoh lain. Konflik sosial
sering dijumpai berupa masalah penindasan, percekcokan, peperangan, atau kasus-
kasus hubungan sosial lainnya.
2.1.4 Bentuk-bentuk Konflik
Kurt Lewin (dalam Alwisol, 2017) mendefinisikan bentuk-bentuk konflik
berdasar situasi ketika seseorang menerima kekuatan-kekuatan sama besar tetapi
berlawanan arah, meliputi:
a. Konflik Mendekat-Mendekat (Approach-Approach Conflict)
Pada konflik mendekat-menjauh, individu (P) berada dalam dua valensi positif
yang sama kuat. Misalnya seseorang dihadapkan pada dua opsi yang disukainya.
18
Seperti anak kecil yang dihadapkan dengan dua pilihan, di mana kedua pilihan itu
sama-sama disenanginya namun anak tersebut harus memilih salah satunya.
Contohnya saat seorang anak harus memilih antara piknik bersama keluarga (G1)
atau bermain dengan temannya (G2). Region piknik bersama keluarga (G1) atau
bermain bersama teman (G2). Konflik Mendekat-Mendekat akan terjadi saat daya
menuju G1 memiliki kekuatan yang sama menuju G2. Jika satu kekuatan daya
meninggi maka valensi pada daerah yang diinginkan akan menjadi kuat dan jarak
psikologi menuju daerah tersebut akan berkurang. Jadi, pada saat hal tersebut
dialami individu maka konflik yang dihadapinya akan berkurang.
b. Konflik Menjauh-Menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)
Pada konflik Menjauh-Menjauh, merupakan dua kekuatan yang menghambat
ke arah negatif atau arah yang berlawanan. Misalnya, seseorang yang dihadapkan
pada lebih dari satu kebutuhan yang muncul bersama dengan membawa nilai
negatif terhadap individu. Dalam konflik menjauh-menjauh, individu akan berada
di dua valensi negatif dengan kadar kekuatan yang sama. Contohnya, seorang supir
yang memutuaskan berhenti untuk beristirahat di sebuah warung. Ia ingin membeli
bir agar terlihat berkelas di mata supir lainnya (G1) namun ia tidak ingin mabuk
yang nantinya akan membahayakan dirinya saat mengemudi (G2). Daya yang
dimiliki dalam kehidupan orang tersebut (P) semuanya menjauhi G1 dan G2.
Dengan demikian P berada dalam konflik antara menghadapi pandangan tidak
berkelas yang ditujukan oleh supir lain tapi tidak beresiko terhadap pekerjaannya.
c. Konflik Mendekat-Menjauh (Approach-Avoidance Conflict)
Konflik mendekat-menjauh, dua kekuatan mendorong dan menghambat
muncul dari satu tujuan, misalnya orang dihadapkan dengan dua pilihan sekaligus
19
mengandung unsur yang disenangi dan tidak disenanginya. Dalam konflik ini P
menghadapi valensi positif dan negatif pada jurusan yang sama. Contohnya, remaja
(P) yang ingin sekali mengikuti kontes menyanyi padahal ia sadar kemampuannya
tidak seberapa. Sebagian daya mengarahkan P untuk mendaftarkan diri pada kontes
(G+). Namun sebagian daya lain menghambat P karena ia khawatir akan
ditertawakan oleh orang lain karena kemampuan bernyanyinya yang buruk (G-).
Konflik ini merupakan konflik yang paling sulit untuk dipecahkan (Shofiyatun,
2009:15). Karena orang yang bersagkutan tertarik sekaligus menghindari satu
wilayah yang sama. Karena wilayah tersebut bervalensi positif, P mendekatinya.
Tetapi begitu didekati, velensi negatif yang ada di wilayah tersebut menjadi lebih
kuat. Jika pada suatu titik ketika P mendekati wilayah itu, valensi negatif menjadi
lebih kuat dari valensi positif, P akan berhenti mencapai wilayah tersebut. Karena
wilayah yang menjadi tujuan tidak tercapai, P bisa mengalami frustasi. Walaupun
ketika wilayah yang dituju dapat tercapai kemungkinan frustasi tetap ada. Bahkan
pada beberapa waktu setelah tujuan tercapai, orang tersebut mungkin masih tidak
merasa nyaman karena valensi negatif yang tetap melekat di wilayah itu. Baik
seseorang mengalami frustasi karena telah mencapai tujuan dengan lambat maupun
karena tidak mencapai tujuan sama sekali, reaksi emosional seperti takut, marah,
dan benci biasanya menyertai konflik mendekat-menjauh.
2.1.5 Bentuk-Bentuk Penyelesaian Konflik
Menurut Horney (dalam Alwisol, 2017) ada tiga bentuk penyelesaian konflik
yang diambil seseorang untuk dapat meredam konflik yang tengah dihadapinya,
meliputi:
20
a. Bergerak Mendekat Orang Lain
Orang mendekati orang lain sebagai usaha untuk melawan perasaan tidak
berdaya. Orang yang merasa selalu kalah atau mudah kalah menjadi sangat
membutuhkan kasih sayang-penerimaan, dan membutuhkan partner kuat yang
dapat mengambil tanggung jawab terhadap kehidupannya. Horney menamakan
kebutuhan ini sebagai ketergantungan yang tidak normal sebagai lawan dari saling
tergantung.
b. Bergerak Melawan Orang Lain
Orang agresif memandang orang lain sebagai musuh, dan memakai strategi
melawan orang lain untuk meredakan emosinya. Seperti halnya memanfaatkan
orang lain untuk keuntungan pribadinya serta berusaha untuk terlihat superior,
sempurna, dan kuat.
c. Bergerak Menjauh dari Orang Lain
Kebanyakan individu merasa nyaman ketika memisahkan diri atau menjauh
dari orang lain. Strategi ini adalah ekspresi kebutuhan keleluasaan pribadi,
kemandirian, dan kecukupan diri sendiri. Kebutuhan semacam itu dapat
menimbulkan tingkah laku yang positif, tetapi juga bisa negatif jika seseorang
berusaha memuaskan diri dengan mengambil jarak secara emosionaldengan orang
lain.
2.2 Unsur Pembangun Novel
Stanton (dalam Suharianto, 2005) mendeskripsikan unsur-unsur karya sastra
terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Tema adalah pokok permasalahan
yang mendominasi suatu karya sastra. Sejalan dengan pernyataan tersebut,
Nurgiyantoro (2010:25) memapaparkan tema adalah sesuatu yang menjadi dasar
21
cerita. Unsur pembangun cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakandidalam
sebuah prosafiksi. Unsur-unsur tersebut meliputi tokoh, penokohan, alur, dan plot.
2.2.1 Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai
peristiwa (Suharianto, 2005:33). Sementara itu menurut Abrahams (dalam
Nurgiyantoro, 2010) menyatakan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama. Oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah
individu rekaan dalam suatu karya sastra seperti novel yang memiliki karakter
tertentu sebagai pelaku yang dikenai peristiwa-peristiwa dalam cerita. Dalam
kaitannya dengan keseluruhan cerita, tokoh dibedakan menjadi bermacam-macam
berdasar dari segi tinjaunnya. Suharianto (2005:34) membedakan tokoh menjadi
beberapa jenis menurut kriterianya. Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan
menjadi empat jenis yaitu tokoh sentral atau tokoh protagonis, tokoh antagonis,
tokoh wirawan, dan tokoh bawahan.
Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau tokoh
protagonis. Tokoh sentral atau protagonis adalah tokoh yang selalu muncul dalam
cerita yaitu tokoh yang memegang peranan pimpinan. Ia menjadi pusat sorotan
dalam cerita. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang tokoh
protagonis. Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi
tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat
(complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya
22
memiliki satu kualitas pribadi tertentu dan satu sifat atau watak tertentu. Tokoh
sederhana tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tidak
memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca.
Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan hanya
mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat adalah tokoh yang memilki dan
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati
dirinya (Nurgiyantoro, 2010:30-31).
2.2.2 Penokohan
Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita baik
keadaan lahirnya ataupun keadaan batinnya yang dapat berupa; pandangan
hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya dan sebagainya (Suharianto,
2005:75). Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh.
Jadi, penokohan merupakan pelukisan atau penciptaan citra tokoh yang ditampilkan
dalam sebuah cerita.
Ada beberapa metode penyajian watak tokoh atau penokohan. Babirin (dalam
Suharianto, 2005) menyatakan bahwa ada dua macam cara penggambaran tokoh
dan perwatakan dalam novel meliputi: pertama, penokohan secara analitik yaitu
pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh dan pengarang
langsung menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang,
dan sebagainya. Kedua, penokohan secara dramatik yaitu penggambaran
perwatakan tidak diceritakan secara langsung, tetapi melalui penggambaran fisik
atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh lain, melalui dialog
saat berinteraksi dengan tokoh lain.
23
2.2.3 Alur atau Plot
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Istilah alur terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal
saja. Stanton (dalam Suharianto, 2005) berpendapat bahwa peristiwa kausal
merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai
peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan
karya. Sedangkan Nurgiyantoro (2010:40) menyatakan bahwa pada umumnya plot
atau alur diciptakan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap dari tokoh-
tokohnya. Alur merupakan cermin perjalanan tingkah laku para tokoh dalam
bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah
kehidupan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa plot
merupakan rangkaian peristiwa dalam cerita yang dibentuk oleg tahapan-tahapan
peristiwa yang menjalin cerita. Menurut Suharianto (2005:18) plot suatu cerita
biasanya terdiri atas lima bagian, yaitu: pertama, pemaparan atau pendahuluan
merupakan bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan awal
cerita. Kedua, penggawatan merupakan bagian melukiskan tokoh-tokoh yang
terlibat dalam cerita mulai bergerak. Tahap mulai terasanya konflik. Ketiga,
penanjakan merupakan bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik memuncak.
Keempat, puncak atau klimaks merupakan bagian yang melukiskan peristiwa
mencapai puncaknya. Tahap bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling
mencari, atau dapat juga terjadinya perkelahian antar dua tokoh. Kelima, peleraian
merupakan bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan semua
peristiwa yang telah terjadi.
24
2.2.4 Latar atau Setting
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu,
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar yang
memiliki fungsi fisikal berhubungan dengan tempat, dan hanya terbatas pada
sesuatu yang bersifat fisik. Sedangkan latar yang memiliki fungsi psikologis
berhubungan dengan lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tertentu yang
mampu menuansakan suatu makna serta mampu menggerakkan emosi atau aspek
kejiwaan pembaca (Nurgiyantoro, 2010:43).
Menurut Stanton (dalam Suharianto, 2005) latar adalah lingkungan yang
meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Suharianto mengatakan bahwa latar
atau setting merupakan tempat atau waktu terjadinya cerita. Suatu cerita haikaktnya
tidak lain adalah lukisan peristiwa atau kejadian yang emnimpa atau dilakukan satu
atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat. Karena manusia atau
tokoh cerita itu tidak pernah dapat lepas dari ruang dan waktu, maka tidak mungkin
ada cerita tanpa latar atau setting.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa latar atau
setting adalah tempat atau waktu terjadinya cerita dan memiliki fisikal serta fungsi
psikologis. Menurut Nuriyantoro (2010:45) unsur latar dibedakan ke dalam tiga
unsur pokok yakni: pertama, latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kedua, latar waktu merupakan waktu
terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Ketiga, latar sosial merupakan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang dieritakan dalam karya fiksi.
25
2.3 Psikologi Sastra
Endraswara (2003:96) berpendapat bahwa sastra itu tidak terlepas dari
kehidupan yang menggambarkan berbagai kepribadian manusia. Penulis
meggunakan “cipta, rasa, dan karya” dalam menciptakan sebuah karya. Psikologi
sastra menyebutkan bahwa karya sastra merupakan pantulan kejiwaan. Pengarang
menangkap gejala jiwa yang kemudian diolah untuk bisa masuk dalam teks dan bisa
menghidupkan sebuah cerita dalam karya tersebut.
Siswantoro (2005:32) menyatakan psikologi sastra mempelajari fenomena
tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya sastra ketika merespon
terhadap diri dan lingkungan. Oleh sebab itu gejala kejiwaan dapat terungkap
melalui tokoh dalam sebuah karya fiksi. Secara definisi, tujuan psikologi sastra
adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya
sastra. Melalui pemahaman terhadap tokoh, misalnya masyarakat dalam
menghadapi perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
terjadi khususnya berkaitan dengan psikis. Menurut Minderop (2010:54) ada tiga
cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra,
yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b)
memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c)
memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Sastra sebagai gejala kejiwaan yang di dalamnya mengandung fenomena-
fenomena yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Karya sastra dapat didekati
menggunakan pendekatan psikologi karena antara sastra dengan psikologi memiliki
hubungan lintas yang bersifat tidak langsung dan fungsional. Bersifat tidak
langsung, artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi memiliki
26
tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog
sama-sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia
secara mendalam. Hasil penangkapannya itu setelah mengalami proses pengolahan
diungkapkan dalam bentuk sebuah karya. Psikologi dan sastra memiliki hubungan
fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain. Minderop (2010:59) mengungkapkan langkah dalam memahami teori
psikologi sastra dapat melalui tiga cara. Pertama, pemahaman terhadap teori-teori
psikologi selanjutnya dilakukan analisis terhadap suatu karya. Kedua, menentukan
lebih dahulu karya sastra sebagai objek penelitian selanjutnya menentukan teori-
teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan
menentukan teori dan objek penelitian.
Psikologi sastra merupakan analasis teks dengan mempertimbangkan relevansi
dan peranan studi psikologis yang berpusat pada tokoh-tokoh, maka akan dapat
dianalisis konflik batin yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis.
Munculnya pendekatan psikologi dalam kritik sastra berawal meluasnya teori
psikoanalisis Freud yang diikuti oleh murid-muridnya seperti Richard dengan teori
psikologi kepribadian, serta ada Kurt Lewin dengan Psikologi Medan (Gela, 2014).
Pada penelitian ini digunakan teori Kurt Lewin mengenai psikologi medan.
Teori psikologi medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin banyak berhubungan
dengan konflik. Sesuai dengan fokus permasalahan pada penelitian ini yang
mengangkat konflik pada tokoh utama. Dalam pemaparannya, psikologi sastra lebih
mengacu pada sastra bukan pada psikologi praktis. dengan begitu, penerapan pada
karya sastra menentukan teori bukan teori yang menentukan karya sastra. Sehingga
pada suatu penelitian objek dipilih lebih dahulu baru kemudian menentukan kajian
27
teori psikologi praktis yang relevan. Dalam sebuah karya sastra khususnya novel,
konflik merupakan penggerak cerita. Konflik adalah proses sosial yang saling
bertentangan antar dua pihak atau lebih yang dialami tokoh dalam cerita. Wellek
dan Werren (dalam Nurgiyantoro, 2010) berpendapat terjadinya konflik lantaran
adanya dua kekuatan yang tidak simbang menimbulkan asksi dan reaksi. Jadi dapat
dijelaskan bahwa konflik merupakan perselisihan pada suatu cerita. Dalam ilmu
sastra, konflik diartikan sebagai ketegangan cerita.