6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kinerja
Istilah kinerja dari kata job performance atau actual performance (prestasi
kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang) yaitu hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya
(Mangkunegara, 2013:67). Kinerja merupakan perilaku organisasi yang secara
langsung berhubungan dengan produksi barang atau penyampaian jasa, informasi
tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting digunakan
untuk mengevaluasi apakah proses kinerja yang dilakukan organisasi selama ini
sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum (Tongo, 2014:109).
Kinerja personel didefinisikan sebagai keberhasilan personel dalam
mewujudkan sasaran-sasaran strategis perusahaan, dan sasaran strategis
perusahaan ini merupakan hasil penerjemahan misi, visi, keyakinan dasar, nilai
dasar, dan strategi perusahaan. (Mulyadi, 2007 dalam Widodo, 2015:131). Faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja individu seorang pegawai antara lain: sikap
dan mental (motivasi kerja, disiplin kerja, dan etika kerja) ; pendidikan dan
keterampilan ; manajemen kepemimpian ; tingkat penghasilan; gaji dan
kesehatan; jaminan sosial dan iklim kerja; sarana dan prasarana; teknologi dan
kesempatan berprestasi (Sedarmayanti, 2007 dalam Widodo, 2015:133).
Instrument pengukuran kinerja merupakan alat yang dipakai dalam
mengukur kinerja individu seorang pegawai yang meliputi :
7
a. Prestasi kerja, hasil kerja peegawai dalam menjalankan tugas, baik
secara kualitas maupun kuantitas kerja.
b. Keahlian, tingkat kemampuan teknis yang dimiliki oleh pegawai dalam
menjalankan tugasnya yang dibebankan kepadanya. Keahlian ini bisa
dalam bentuk kerjasama, komunikasi, insentif dan lain-lain.
c. Perilaku, sikap dan tingkah laku pegawai yang melekat pada dirinya dan
dibawa dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pengertian perilaku di sini
juga mencakup kejujuran, tanggung jawab dan disiplin.
d. Kepemimpinan, merupakan aspek kemampuan manajerial dan seni
dalam memberikan pengaruh kepada orang lain untuk mngkoordinasikan
pekerjaan secara tepat dan cepat, termasuk pngambilan keputusan dan
penentuan prioritas (Sedarmayanti, 2007 dalam Widodo, 2015:233).
2.2. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh
seorang manajer atau pimpinan. Penilaian harus didasarkan adanya “like dan
dislike”, dari penilai, agar objektivitas penilai dapat terjaga. Kegiatan penilaian ini
adalah penting karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusan-keputusan
personalia dan memberikan umpan balik kepada pegawai tentang kinerja pegawai
tersebut.
Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah sistem formal untuk
memeriksa atau mengkaji dan mengevaluasi kinerja seseorang atau kelompok
(Mondy & Noe, 2005 dalam Marwansyah, 2014:228).
8
Penilaian kinerja yang dilakukan dalam suatu organisasi haruslah mengikuti
standar kinerja yang ditetapkan, dimana pengukuran kinerja tersebut memberikan
umpan balik yang positif kepada pegawai (Mangkuprawira dan Vitalaya, 2007
dalam Widodo, 2015:135).
Ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang meliputi :
a. Prestasi pekerjaan (akurasi, ketelitian, keterampilan, penerimaan
keluaran).
b. Kuantitas pekerjaan (volume keluaran dan kontribusi).
c. Kepemimpinan yang diperlukan (membutuhkan saran, arahan perbaikan).
d. Kedisiplinan (kehadiran, ketepatan waktu, regulasi, dapat dipercaya).
e. Komunikasi, meliputi: hubungan antar pegawai maupun dengan
pimpinan, media komunikasi (Dessler, 2007 dalam Widodo 2015:135).
Penilaian kinerja pada dasarnya mempunyai dua tujuan utama yaitu :
a. Penilaian kemampuan personel, merupakan tujuan yang mendasar dalam
rangka penilaian personel secara individual, yang dapat digunakan sebagai
informasi untuk penilaian efektivitas manajemen sumber daya manusia.
b. Pengembangan personel, sebagai informasi untuk pengambilan keputusan
untuk pengembangan personel seperti : promosi, mutase, rotasi, terminasi,
dan penyesuaian kompensasi. (Yaslis, 2002 dalam Widodo 2015:137).
Manfaat dari penilaian kinerja, dirasakan baik oleh pimpinan termasuk
pemilik perusahaan maupun karyawan atau personel yang dinilai.
9
a. Manfaat bagi organisasi : dokumentasi mengenai hasil penilaian kinerja
bisa digunakan untuk kepentingan hukum; hasil penilain dapat merupakan
dasar rasional untuk menentukan bonus dan merit system; dimensi dan
standar-standar yang ada dalam penilaian dapat membantu pelaksanaan
pencapaian sasaran stategis dan memperjelas kinerja apa yang diharapkan
oleh perusahaan ; memberikan feedback kepada individu tentang sejauh
mana manajemen menilai kinerjanya ; untuk keperluan penilaian individu,
penilaian kinerja diharapkan juga memberikan penilaian terhadap
kerjasama dalam tim.
b. Manfaat bagi personel atau karyawan yang dinilai : Feedback hasil
penilaian memang dibutuhkan dan diinginkan oleh karyawan; untuk
memperbaiki kinerja memerlukan assessment; demi keadilan dalam
pemberian kompensasi dan promosi di antara karyawan memang perlu
dilakukan penilaian yang tepat untuk bisa membedakan mana yang
kinerjanya baik dan mana yang kurang ; assessment dan penghargaan
terhadap tingkat kinerja seseorang melalui penilaian yang objektif akan
dapat memotivasi karyawan meningkatkan kinerjanya (Widodo, 2015:140).
2.3. Kedisiplinan Kerja
Disiplin adalah tindakan manajemen yang mendorong terciptanya ketaatan
pada standar-standar organisasi (Davis dan Werther dalam Marwansyah,
2014:410). Disiplin pegawai adalah sarana yang digunakan manajer untuk
mengkomunikasikan kepada karyawan bahwa ia harus mengubah perilakunya
10
(Gomez-Mejia,dkk dalam Marwansyah, 2014:410). Disiplin adalah prosedur yang
mengoreksi atau menghukum bawahan karena pelanggar peraturan atau prosedur
(Simamora dalam Tongo, 2014:108). Kedisiplinan adalah keinginan dan
kesadaran untuk menaati peraturan-peraturan dan norma-norma sosial (Widodo,
2015:209).
Disiplin kerja memiliki beberapa komponen indikator yaitu :
a. Kehadiran, hal ini menjadi indikator yang mendasar untuk mengukur
kedisiplinan, yang biasanya karyawan yang memiliki disiplin rendah
terbiasa terlambat dalam bekerja.
b. Ketaatan pada peraturan kerja. Karyawan yang taat pada peraturan kerja
tidak akan melalaikan prosedur kerja dan akan selalu mengikuti
pedoman kerja yang ditetapkan perusahaan.
c. Ketaatan pada standar kerja. Hal ini dapat dinilai melalui besarnya
tanggung jawab karyawan terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya.
d. Tingkat kewaspadaan tinggi. Karyawan memiliki kewaspadaan tinggi
akan selalu berhati-hati, penuh perhitungan dan ketelitian dalam bekerja,
serta selalu menggunakan sesuatu secara efektif dan efisien (Rivai,
2005:224 dalam Kurniawan, 2016:29).
2.3.1. Pendekatan Disiplin
Pendekatan disiplin terdiri dari disiplin positif dan disiplin progesif.
Disiplin Positif adalah didasarkan atas pandangan bahwa hukuman
11
tidak selalu bisa mengubah peilaku, karyawan didorong agar
bertanggung jawab untuk memperbaiki sendiri perilaku mereka yang
bermasalah (Mondy & Noe, 2005 dalam Marwansyah, 2014:411).
Disiplin Progesif, yaitu serangkaian tindakan intervensi manajemen
yang memberi kesempatan kepada karyawan untuk memperbaiki
perilaku yang salah sebelum diberhentikan (Gomez-Mejia, Balkin &
Cardy dalam Marwansyah, 2014:410). Pada umumnya, manajemen
atau pemimpin organisasi menerapkan kebijakan disiplin progresif,
yang berarti bahwa organisasi akan memeberikan hukuman yang
lebih berat bagi pelanggaran-pelanggaran yang berulang (Davis &
Wether, 1996:516 dalam Marwansyah, 2014:411). Tujuannya adalah
untuk memberikan peluang bagi seorang karyawan untuk
menjalankan satu tindakan korektif sebelum hukuman yang lebih
serius diberlakukan. Sistem Disiplin Progresif memiliki prosedur
disiplin empat-tahap sebagai berikut :
a. Peringatan lisan (verbal warning). Seorang karyawan yang
melakukan pelanggaran ringan menerima peringatan lisan dari
atasan langsung dan diberitahu bahwa jika masalah ini berlanjut
dalam perode waktu tertentu, ia akan mendapat hukuman yang
lebih berat. Atasan memberikan arahan yang jelas agar karyawan
memperbaiki diri.
b. Peringatan tertulis (written warning). Karyawan melanggar
kembali aturan yang sama dalam periode waktu tetentu dan
12
sekarang menerima peringatan tertulis dari atasan langsung.
Peringatan ini masuk dalam arsip karyawan. Karyawan
diberitahu bahwa ketidakmampuannya untuk memperbaiki
perilaku dalam periode waktu tertentu, akan berujung pada sanksi
yang berat.
c. Pemberhentian sementara (suspension). Karyawan tetap gagal
merespons peringatan dan kembali melakukan pelanggaran
aturan kerja. Karyawan ini diberhentikan sementara dari
pekerjaan tanpa mendapat gaji untuk waktu tertentu. Ia menerima
peringatan terakhir dari atasan , yang mengisyaratkan bahwa ia
akan diberhentikan bila melanggar aturan dalam periode waktu
tertentu.
d. Pemberhentian atau pemecatan (discharge). Karyawan kembali
melanggar aturan dalam periode waktu tertentu dan kemudian
diberhentikan karena pelanggaran ini.
2.3.2. Kategori Disiplin
Kategori disiplin terdiri atas :
a. Disiplin Preventif adalah tindakan yang diambil untuk
mendorong karyawan agar mengikuti standar dan aturan
sehingga pelanggaran bisa dicegah tujuan pokok disiplin
preventif adalah mendorong terbentuknya disiplin diri dan
departemen SDM memainkan peran penting dalam upaya ini.
Upaya pencegahan dilakukan dengan mengembangkan program-
13
pogram untuk mengontrol ketidakhadiran dan keluh kesah,
mengkomunikasikan standar-standar kepada karyawan dan
mendorong karyawan untuk mengikutinya, dan mendorong peran
serta karyawan dalam penetapan standar, karena karyawan akan
memberikn dukungan yang lebih besar kepada aturan-aturan
yang ikut mereka ciptakan.
b. Disiplin Korektif adalah tindakan yang dilakukan sesudah
terjadinya pelanggaran. Tindakan ini bertujuan agar tidak terjadi
pelanggaran lebih jauh dan untuk menjamin bahwa di masa
mendatang para karyawan akan mengikuti standard an aturan
organisasi. Tindakan korektif atau disciplinary action biasanya
berbentuk hukuman, seperti peringatan atau skorsing tanpa gaji.
Tindakan sisiplin biasanya diprakarsai oleh atasan langsung
karyawan tetapi mendapat persetujuan dari manajer di jenjang
yang lebih tinggi atau departemen SDM.
2.3.3 Syarat Penerapan Disiplin
Sebuah disiplin harus memenuhi syarat berikut ini :
a. Segera, Tindakan disiplin harus diberlakukan segera sesudah
terjadinya pelanggaran. Selain itu, penting dicatat bahwa orang
didisiplinkan bukan karena kepribadian mereka tetapi karena apa
yang mereka lakukan (perilaku).
14
b. Dengan Perilaku, Karyawan harus mendapatkan peringatan yang
memadai. Setiap karyawan harus mengetahui sejara jelas
konsekuensi dari perilaku kerja yang tidak diharapkan.
c. Konsisten, Agar dipresepsikan sebagai sesuatu yang adil,
tindakan disiplin mesti diberlakukan secara konsisten jika
ditemukan situasi pelanggaran yang sama.
d. Tidak bersifat pribadi (interpersonal), Manajer tidak boleh
membeda-bedakan bawahannya dalam penerapan tindakan
disiplin. Siapapun yang melanggar aturan, harus ditindak.
(Cascio, 1995 dalam Marwansyah, 2014:413).
2.4. Komunikasi
Komunikasi adalah pertukaran pesan antar-manusia dengan tujuan
mendapatkan pemahaman yang sama (Bartol, dkk 1991 dalam Marwansyah,
2014:321). Komunikasi adalah proses yang digunakan untuk mendapatkan makna
atau pemahaman melalui pemindahan pesan-pesan simbolik. (Stoner, dkk 1995
dalam Marwansyah 2014:321). Komunikasi adalah the transfer and
understanding of meaning (pemindahan dan pemahaman makna). Komunikasi
menekankan pada pemindahan makna, artinya jika tidak ada informasi atau
gagasan yang disampaikan, maka tidak terjadi komunikasi.
Agar komunikasi berhasil, makna (atau pesan) harus disampaikan dan
dipahami (Robbins & Coulter dalam Marwansyah, 2014:321). Semakin lancar dan
15
cepat komunikasi yang dilakukan akan semakin cepat pula dapat terbinanya
hubungan kerja yang baik (Ardana dkk, 2012:138).
Indikator komunikasi yang efektif :
a. Pemahaman, ialah kemampuan memahami pesan secara cermat
sebagaimana dimaksukan oleh komunikator.
b. Kesenangan, yakni apabila proses komunikasi itu selain berhasil
menyampaikan informasi, juga dapat berlangsung dalam suasana yang
menyenangkan kedua belah pihak. Sebenarnya tujuan berkomunikasi
tidaklah sekedar transaksi pesan, akan tetapi dimaksudkan pula untuk
saling interaksi secara menyenangkan untuk memupuk hubungan insani.
c. Pengaruh pada sikap. Komunikasi dikatakan mempengaruhi sikap,
apabila seorang komunikan setelah menerima pesan kemudian sikapnya
berubah sesuai dengan makna pesan itu. Tindakan mempengaaruhi orang
lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari diperkantoran. Dalam
berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain dan
berusaha agar orang lain bersikap positif sesuai dengan keinginan kita.
d. Hubungan yang semakin baik, bahwa dalam poses komunikasi yang
efektif secara tidak sengaja meningkatkan kadar hubungan interpersonal.
Di perkantoran, seringkali terjadi komunikasi dilakukan bukan untuk
menyampaikan informasi atau mempengaruhi sikap semata, tetapi
kadang-kadang terdapat maksud implisit di sebaliknya, yakni untuk
membina hubungan baik.
16
e. Tindakan, Kedua belah pihak yang berkomunikasi melakukan tindakan
sesuai dengan pesan yang dikomunikasikan. (Suranto AW, 2010).
Dalam proses komunikasi, terdapat berbagai unsur atau komponen pokok
berikut ini :
a. Pengirim yaitu orang yang mengirimkan pesan.
b. Penulisan sandi (encording) yaitu proses penerjemahan pesan ke dalam
lambing-lambang.
c. Pesan yaitu apa yang dikomunikasikan atau hasil penulisa sandi berisi
lambing-lambang verbal dan non verbal yang diptakan untuk
menyampaikan makna kepada penerima.
d. Media/saluran yaitu metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
e. Penerima yaitu orang yang menerima pesan.
f. Penerjemahan sandi (decoding) yaitu proses penerjemahan lambing-
lambang ke dalam pesan yang bermakna bagi penerima.
g. Gangguan yaitu setiap faktor yang mengganggu pertukaran pesan dan
tercapainya pemahaman yang sama dalam proses komunikasi.
h. Umpan balik yaitu tanggapan dari penerima terhadap pesan-pesan yang
telah ditafsirkan.
17
Gambar : 2.1 Proses Komunikasi.
Sumber : Adaptasi dari Bartol & Martin. Management. 1991:523. (Marwansyah,
2014:323).
Proses komunikasi diperlihatkan pada Gambar 1.1. Proses komunikasi
dimulai ketika seseorang atau satu pihak mempunyai gagasan yang ingin
disampaikan kepada orang atau pihak lain. Dalam konteks organisasi, pihak yang
terlibat di sini bisa individu, kelompok, atau seluruh organisasi. Pengirim
bermaksud memindahkan gagasa itu ke dalam sebuah bentuk yang dapat
dikirimkan dan dimengerti oleh penerima. Di sini terjadi proses encoding isalnya
tulisan atau habasa lisan yang dapat dikenal oleh penerima.
18
Setelah diterjemahkan, sebuah pesan siap dipindahkan melalui satu atau
beberapa saluran atau media komunikasi untuk menjangkau penerima yang dituju.
Saluran komunikasi dapat berupa jaringan telepon, sinyal radio dan televisi, kabel
serat optic, rute surat, atau gelombang suar yang membawa vibrasi suara kita.
Begitu sebuah pesan diterima, penerima harus mulai meakukan proses
decoding. Ini dapat menckup berbagai subproses, seperti memahami kata-kata
lisan dan tulisan, mengimplementasikan ekspresi wajah, dan sebagainya.
Sebagaimana yang terjadi pada saat proses encoding, kelemahan potensial dari
proses komunikasi adalah keterbatasan kemampuan kita dalam menerjemahkan
pesan-pesan yang kita terima dari orang lain.
Akhirnya, ketika sebuah pesan dikonversikan kembali, proses komunikasi
dapat berlanjut dengan dikirimkannya pesan baru oleh penerima kepada pengirim.
Bagian ini disebut sebagai umpan balik. Penerimaan umpan balik memungkinkan
penerima untuk menentukan apakah pesan-pesan mereka telah dimengerti secara
tepat. Pada saat yang sama, memberikan umpan balik dapat membantu
menyakinkan penerima bahwa pengirim benar-benar memperhatikan apa yang
harus disampaikannya.
Berikut ini adalah sejumlah hambatan terhadap komunikasi efektif yang
kerap dijumpai, khususnya dalam konteks komunikasi di kantor:
a. Hambatan individual, terjadi karena adanya perbedaan individu, seperti
perbedaan pengamatan, pola pikir , usia, emosi, kemampuan, status atau
hambatan psikologis.
19
b. Hambatan mekanis, terjadi karena adanya hambatan pada struktur
organisasi misalnya struktur organisasi tidak teratur, pembagian
tugasnya tidak jelas dan pada materi komunikasi, misalnya penyampaian
materi tidak jelas karena struktur kalimat kurang baik, terlalu panjang,
istilah yang digunakan tidak tepat dan sebagainya.
c. Hambatan fisik, terjadi karena pemilihan media/ alat komunikasi yang
tidak tepat atau alatnya rusak, jara yang teralu jauh antara pengirim dan
penerima, kondisi lingkungan misalnya suara bisisng atau gaduh.
d. Hambatan semantik, terjadi karena sebuah kata memiliki arti yang
berbeda-beda (lebih dari satu arti), sehingga menimbulkan interprestasi
yang berbeda pula.
2.4.1 Bentuk komunikasi
Berdasarkan arah komunikasi, komunikasi dapat dikelompokkan ke
dalam dua bentuk, yakni komunikasi vertikal dan komunikasi lateral.
a. Komunikasi vertical ke bawah adalah komunikasi dari satu
jenjang dalam kelompok atau organisasi ke jenjang yang lebih
rendah, misalnya ketika seorang manajer berkomunikasi dengan
bawahan. Komunikasi vertical ke atas adalah komuniksi ke
jenjang yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi.
Komunikasi vertikal ke bawah bisa menimbulkan distorsi.
Distorsi atau pemindahan pesan-pesan yang salah itu bisa
disebabkan oleh kecerobohan pengirim pesan, bentuknya
20
keterampilan komunikasi, dan kesulitan dalam menerjemahkan
pesan-pesan (encoding) oleh individu pada setiap jenjang.
b. Komunikasi lateral adalah komunikasi yang terjadi antar-anggota
dalam kelompok kerja yang sama, antar-anggota kelompok-
kelompok kerja pada jenjang yang sama, antar-manajer pada
jenjang yang sama, atau antar setiap individu dari jenjang
oganisasi yang sama.
Berdasarkan formalitas, komunikasi dapat dikelompokkan ke dalam
dua bentuk, yakni komunikasi formal dan komunikasi informal.
a. Komunikasi Formal adalah komunikasi yang terjadi sebagai
akibat dari adanya struktur organisasi atau garis wewenang dan
tanggung jawab yang telah ditetapkan.
b. Komunikasi informal adalah komunikasi yang terjadi sebagai
akibat dari adanya kecenderungan manusia untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Komunikasi informal berlangsung ke
semua arah, melewati jenjang otoritas dan cenderung memuaskan
kebutuhan social para anggota kelompok atau organisasi dan
sekaligus membantu atau memudahkan pelaksanaan tugas-tugas.
Berdasarkan cara penyampaian, komunikasi dapat dikelompokkan ke
dalam dua bentuk, yakni komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal.
a. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang diekspresikan dalam
bentuk kata-kata baik lisan maupun tulisan.
21
b. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang diekspresikan
dalam bahasa isyarat atau simbol. Komunikasi nonverbal sering
juga disebut sebagai Bahasa tubuh (body language). Bentuk
komunikasi nonverbal yang penting adalah kinesic behavior
(gerakan tubuh, seperti gestur, ekspresi wajah, gerakan mata dan
postur), proxemics (pengaruh arah atau kedekatan dan ruang
terhadap komunikasi), paralanguage (spek vocal dalam
komunikasi yang lebih berkaitan dengan bagaimana
menyampaikan sesuatu, bukan apa yang disampaikan), dan
object language (penggunaan benda-benda, termasuk pakaian,
kosmetik, perabotan, dan arsitektur sebagai alat komunikasi)
(Marwansyah, 2014:321).
2.4.2. Fungsi Komunikasi
Komunikasi dapat menjalankan beberapa fungsi berikut ini :
a. Komunikasi memungkinkan penyampaian informasi, petunjuk,
atau pedoman yang diperlukan orang-orang di dalam sebuah
organisasi untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Fungsi ini
tampak dalam komunikasi vertical antara atasan dan bawahan.
Bawahan sebagai penerima pesan, menerima instruksi sehingga
ia dapat bekerja dengan baik.
b. Komunikasi menumbuhkan motivasi dengan cara menjelaskan
kepada karyawan apa yang harus dilakukan, bagaimana prestasi
mereka, dan apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerja.
22
Selain itu, melalui komunikasi perilaku karyawan bisa
dipengaruhi atau diubah.
c. Komunikasi memungkinkan terciptanya kerja sama yang
harmonis antara atasan-bawahan dan antar-bawahan. Bagi
karyawan pada umumnya, kelompok kerja merupakan sumber
interaksi sosial yang utama. Komunikasi yang terjadi dalam
kelompok adalah sebuah mekanisme pokok yang digunakan oleh
anggota untuk menunjukan sikap frustasi dan rasa puas mereka.
2.4.3. Ketrampilan Komunikasi
Ada dua keterampilan komunikasi yang sangat penting bagi
efektivitas fungsi manajemen :
a. Keterampilan mendengar, para ahli sering membedakan active
listening dan passive listening. Mendengarkan secara aktif berarti
“….listening with intensity, empathy, acceptance, and a
willingness to take responsibility for completeness”
(mendengarkan dengan intensitas, empati, penerimaan, dan
kesediaan tanggung jawab atas kelengkapan atau ketuntasan).
(Robbins 1993 dalam Marwansyah, 2014:327). Dalam passive
listening, “….you’re much like a tape recorder”. Active listening
mengikuti prinsip “70/30”, ketika berperan sebagai pendengar,
pendengar aktif sejati menghabiskan hampir 70 persen waktunya
untuk mendengar dan kurang dari 30 persen untuk berbicara (De
Janasz, Dowd, Schneider 2006 dalam Marwansyah, 2014:327).
23
b. Umpan balik adalah informasi yang memungkinkan individu atau
kelompok untuk membandingkan kinerja aktual dengan sebuah
standar atau harapan tertentu (Marwansyah, 2014:328). Para
manajer bisa saja memberikan umpan balik kepada banyak
orang yang berinteraksi dengan mereka (dari unit kerja lain atau
dari pihak lain di luar organisasi), tetapi sebagian besar umpan
balik yang diberikan oleh manajer melibatkan para bawahan.
Manajer perlu membeitahu bawahan kapan mereka menunjukan
kinerja yang baik atau sebaliknya.
2.4.4. Penyuluhan
Penyuluhan (counseling) adalah sebuah bentuk komunikasi yang
digunakan untuk menjaga agar karyawan memiliki perilaku
konstruktif. Penyuluhan sebagai diskusi tentang sebuah masalah
dengan seorang karyawan, yang ditujukan untuk membantu pekerja
dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah (Davis &
Werther,1996 dalam Marwansyah, 2014:330). Penyuluhan
digunakan untuk menangani masalah-masalah pribadi atau sikap
karyawan ketimbang menangani hal-hal yang berhubungan dengan
kemampuan seseorang atau kurangnya kompetensi karyawan (De
Janasz, Dowd, & Schneider dalam Marwansyah 2014:330).
Indicator yang menunjukkan perlunya penyuluhan yaitu sering
terjadi kesalahan, naiknya tingkat kecelakaan kerja, karyawan
mengalami gejala cepat letih, karyawan sering termenung, karyawan
24
menunjukkan perubahan emosi yang cepat, karyawan terlalu banyak
bicara atau mengeluh. Penyuluhan adalah hubungan komunikasi
yang bersifat rahasia (strictly confidential relationship) dan catatan-
catatannya hanya boleh diakses oleh orang-orang yang terlibat
langsung dalam penyelesaian masalah. Praktik ini perlu untuk
melindungi privasi karyawan dan melindungi atasan dari
kemungkinan tuntutan hokum karena menyerang privasi atau
kehidupan pribadi seseorang.
Tujuan penyuluhan bagi karyawan adalah :
a. Memperbaiki mutu karyawan. Melalui penyuluhan, seorang
manajer berusaha agar karyawan mampu bekerja sesuai dengan
standar kinerja sebuah jabatan.
b. Memperbaiki gairah atau semangat kerja karyawan. Ketika
masalah yang dihadapi dapat ditangani dengan baik atau diberi
solusi yang tepat melalui penyuluhan, kondisi ini dapat
mengembalikan semangat kerja karyawan.
c. Mengurangi atau menekan perputaran (turnover) tenaga kerja.
Karyawan akan lebih betah berada dalam organisasi yang
menunjukan perhatian atas setiap masalah yang dihadapi
karyawan dengan menyediakan layanan penyuluhan.
d. Memperbaiki reaksi karyawan dalam menerima perubahan.
Melalui penyuluhan, manajer berusaha menyiapkan para
karyawan untuk menghadapi dan menerima hal-hal baru.
25
e. Mencari dan mengidentifikasi penyebab terjadinya kesenjangan
antara standar kinerja dan kinerja sesungguhnya. Kesenjangan
antara standar kinerja dan kinerja actual dapat dikenali dalam
penyuluhan yang memungkinkan komunikasi terbuka antar
karyawan yang bermasalah dengan penyuluhan (counselor).
Berikut ini beberapa metode penyuluhan yang lazim digunakan :
a. Directive Counseling. Penyuluhan direktif adalah proses
mendengarkan masalah-masalah emosional seorang karyawan,
mendiskusikan dan memutuskan bersama-sama karyawan
tersebut tentang apa yang harus dilakukan, dan kemudian
memberitahu dan memotivasi karyawan untuk melakukannya.
b. Nondirective Counseling. Penyuluhan non-direktif atau client-
centered counseling adalah proses mendengarkan seorang
kayawan dan mendorongnya untuk menjelaskan masalah-
masalah yang mengganggu, memahami masalah-masalah itu dan
menentukan sendiri solusi yang tepat. Dalam metode penyuluhan
ini, penyuluhan berperan menjadi seorang pendengar yang baik.
Kadang-kadang, orang hanya perlu mengungkapkan perasaanya
untuk melepaskan stress dan memperoleh perspektif baru
terhadap sebuah situasi.
c. Participative Counseling. Penyuluhan partisipatif berupaya
menciptakan keseimbangan antara teknik-teknik ini, penyuluhan
26
dan karyawan berperan serta dalam diskusi dan dalam mencari
solusi masalah.
Fungsi penyuluhan adalah aktivitas-aktivitas yang digunakan oleh
para penyuluh (counsellor). Aktivitas-aktivitas ini adalah :
a. Memberi nasihat, ketika seorang penyuluh memberikan nasihat,
hal-hal yang perlu diperhatikan adalah waktu pemberian nasihat;
nasihat yang bersifat sangat pribadi hendaknya diberikan secara
pribadi pula; materi nasihat sebaiknya bersifat konkret; langkah-
langkah yang lazim digunakan adalah mengumpulkan sebanyak
mungkin data atau informasi, megidentifikasikan masalah,
menganalisis masalah dan memberi saran atau nasihat.
b. Menentramkan. Upaya ini biasanya diperlukan bila karyawan
tmpak gelisah, menderita stres atau mengalami shock. Tujuannya
adalah berusaha meningkatkan kepercayaan diri karyawan.
c. Berkomunikasi. Upaya ini dilakukan bila terjadi masalah yang
bersumber dari ketidaklancaran proses komunikasi.
d. Menghilangkan ketegangan emosional. Jika dibiarkan, kondisi
ini dapat menimbulkan efek negatif lain pada diri karyawan.
e. Menjernihkan pikiran. Kegiatan ini dilakukan bila masalah yang
dihadapi mungkin disebabkan faktor keletihan bekerja, kesibukan
yang terlalu tinggi, konsentrasi tinggi yang terus menerus, dan
sebagainya. Caranya antara lain dengan menyelenggarakan acara
santai atau rekreasi.
27
2.5. Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian terdahulu sangat penting yaitu untuk bahan pembanding dan
untuk mengetahui hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Dari beberapa peneliti tentang variabel – variabel yang mempengaruhi
kedisiplinan, komunikasi dan kinerja diantaranya berjudul :
a. Fitri Cinta Utami (2014) tentang Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi,
Disiplin Kerja, Dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi
Kasus Pada Kantor BAPPEDA Kabupaten Sukoharjo). Variabel Bebas
(Independent Variable) yang digunakan adalah Kepemimpinan,
Komunikasi, Disiplin Kerja, dan Lingkungan Kerja. Variabel Terikat
(Dependent Variable) yang digunakan adalah Kinerja Karyawan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Kepemimpinan, Komunikasi, Disiplin
Kerja, Lingkungan Kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
pada Kantor BAPPEDA Kabupaten Sukoharjo.
b. Agung Karismadiyanto (2014) Analisis Pengaruh Motivasi Kerja, Disiplin
Kerja, Dan Komunikasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada Koperasi Arta
Niaga Banyuwangi. Variabel Bebas (Independent Variable) yang
digunakan adalah Motivasi Kerja, Disiplin Kerja, dan Komunikasi.
Variabel Terikat (Dependent Variable) yang digunakan adalah Kinerja
Karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Motivasi Kerja, Disiplin
Kerja, dan Komunikasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan pada Koperasi Arta Niaga Banyuwangi.
28
2.6. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian mengenai Pengaruh Kedisiplinan dan Komunikasi
Terhadap Kinerja Karyawan dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran.
3.
4.
5.
6.
Keterangan :
Keterangan :
Variabel Independent : Kedisiplinan dan Komunikasi
Variabel Dependent : Kinerja Karyawan
: garis panah ini merupakan garis pengaruh variable X1 dan
X2 terhadap Y.
2.6. Hipotesa Penelitian
Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan utama dalam proses
peningkatan kinerja perusahaan. Disiplin kerja karyawan merupakan unsur
penting dalam perusahaan. Pada umumnya, kinerja yang semakin tinggi
merupakan pendayagunaan sumber daya secara efisien. Suatu perusahaan dalam
Kinerja Karyawan (Y)
Kedisiplinan
(X1)
Komunikasi
(X2)
H1
H2
H3
29
proses produksinya harus selalu memerhatikan dan mempertimbangkan cara
mencapai kinerja dan produktivitas yang tinggi. Dalam rangka meningkatkan
disiplin kerja karyawan, banyak cara yang dapat dilakukan oleh manajer. Salah
satunya dengan cara mengintensifkan komunikasi, baik antar atasan ke bawahan
atau sebaliknya, maupun antar karyawan.
Dengan demikian, maka penulis mengajukan hipotesis yang merupakan
kesimpulan sementara bagaimana Analisis Pengaruh Kedisiplinan Dan
Komunikasi Terhadap Kinerja Karyawan adalah sebagai berikut :
H1 : Diduga adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara kedisiplinan
terhadap kinerja karyawan.
H2 : Diduga adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara komunikasi
terhadap kinerja karyawan.
H3 : Diduga komunikasi yang dominan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawan.