1
BAB II
KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA,
HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan
Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan, sehingga hukum
perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan lebih luas
dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Sekalipun
demikian, pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan
masih mempergunakan beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan dirumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan, yaitu segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumnya, selama, dan sesudah
masa kerja.
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut Pasal 1601 (a) KUHPerdata ialah suatu “Persetujuan
bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya
kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu tertentu”. Sedangkan
menurut Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan
bahwa: “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
2
pihak”. Prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan
seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah
perintah dengan menerima upah. Jadi, apabila seseorang telah mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja
di bawah perintah orang lain.
Mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus
memenuhi syarat materiil (Pasal 52, 55, 58, 59, dan Pasal 60 Undang-Undang
Ketenagakerjaan) dan syarat formil (Pasal 54 dan 57 Undang-Undang
Ketenagakerjaan). Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan secara materiil perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam huruf a dan b merupakan syarat subjektif, sedangkan dasar huruf c dan
d merupakan syarat objektif. Dalam hal terjadi di mana perjanjian kerja itu tidak
memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu
pihak (yang tidak cakap) memiliki hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan
oleh hakim. Kemudian, apabila perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif,
perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada
3
perjanjian atau perikatan sehingga para pihak tidak memiliki dasar untuk saling
menuntut di muka sidang pengadilan.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian kerja berarti membahas tentang syarat
formil suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengikat
tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan adanya “asas kebebasan
berkontrak”, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apa pun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam
praktik masih ada pihak yang sengaja dan salah menafsirkan penerapan “asas
kebebasan berkontrak”. Dianggapnya asas ini perjanjian kerja dapat dibuat dengan
semuanya dan tanpa mematuhi rambu-rambu hukum yang berlaku. Beberapa contoh
di antaranya perjanjian yang mencantumkan:
a. Masa percobaan yang melebihi 3 bulan atau masa percobaan berulang-
ulang;
b. Masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tertentu;
c. Hubungan kerja melanggar ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu;
d. Upah di bawah ketentuan upah minimum;
e. Melanggar atau meniadakan ketentuan perhitungan upah lembur;
f. Melanggar atau meniadakan program jamsostek;
g. Membatasi kegiatan serikat pekerja/serikat buruh;
h. Melebihi periode kerja 10 minggu berturut-turut bekerja tanpa hari
istirahat untuk daerah operasi tertentu;
4
i. Pekerja perempuan ditekan harus mengundurkan diri apabila hamil,
melahirkan, atau menyusi; dan
j. Pembayaran uang pesangon kurang dari ketentuan Pasal 156 Undang-
Undang Ketenagakerjaan.
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur
bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan, ini berarti memungkinkan
perjanjian kerja dapat dibuat secara tidak tertulis. Guna kepentingan pembuktian jika
suatu saat diperlukan para pihak atau pihak lain yang berkepentingan, menurut
penulis perjanjian kerja itu harus berbentuk atau dibuat secara tertulis. Khusus untuk
perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil
sebagaimana ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
5
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang
kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,
serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.
2. Perjanjian Kerja Melahirkan Hubungan Kerja
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja dan perjanjian kerja
merupakan peristiwa hukum sehingga konsekuensi suatu hubungan kerja
menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak, yakni
pengusaha dan pihak pekerja/buruh. Hak adalah suatu peranan yang boleh atau tidak
dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila hak dilanggar, tidak berakibat
sanksi apapun bagi pelakunya. Sedangkan kewajiban adalah suatu peranan yang harus
atau tidak harus dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila kewajiban
dilanggar, berakibat sanksi bagi setiap pelakunya.
Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur/memuat
hak dan kewajiban antara pelaku/buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban
masing-masing pihak haruslah seimbang. Dalam konteks hubungan kerja, kewajiban
para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya, “Kewajiban pengusaha
6
merupakan hak pekerja/buruh” dan sebaliknya “Kewajiban pekerja/buruh merupakan
hak pengusaha”. Untuk itu, jika terjadi pelanggaran kewajiban yang telah diatur
peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja, masing-masing pihak dapat
menuntut pihak lainnya.
3. Ciri-ciri Hubungan Kerja
Dalam perjanjian kerja terdapat ciri-ciri agar suatu perjanjian kerja dapat
dijalankan. Ketiga ciri-ciri tersebut adalah (1) ada pekerjaan, (2) ada upah, (3) di
bawah perintah.1
1. Ada Pekerjaan
Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh buruh untuk
kepentingan majikan sesuai dengan isi perjanjian kerja. Hal ini merupakan
pokok dari klausula “buruh mengikatkan diri untuk bekerja”. Pada
dasarnya buruh sendiri yang harus melakukan pekerjaan sebagaimana
tercantum dalam perjanjian. Akan tetapi, apabila ia berhalangan
melakukan pekerjaan tersebut, atas izin majikan, buruh dapat menyuruh
orang ketiga (orang lain) untuk menggantikan melakukan pekerjaan. Hal
ini ditegaskan dalam pasal 1603(a) KHUPerdata, yaitu: “Buruh wajib
melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin melakukan sendiri
pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang
ketiga menggantikannya”.
1 Abdul Rachman Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm 34-38
7
2. Ada Upah
Di dalam Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan
bahwa: “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Pada dasarnya
tidak ada upah apabila tidak ada pekerjaan (No Work, No Pay). Dalam
KUHPerdata hal ini ditegaskan dalam Pasal 1602 b, yang berbunyi:
“Tidak ada upah dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan
yang diperjanjikan”.
3. Di Bawah Perintah
Unsur yang paling khas dari perjanjian kerja adalah bahwa pekerjaan yang
dilakukan oleh buruh berada di bawah perintah majikan. Mengenai
seberapa jauh unsur “di bawah perintah” ini diartikan, tidak ada kriteria
yang pasti, tetapi bahwa dalam perjanjian kerja, unsur tersebut harus ada.
Apabila sama sekali tidak ada ketaatan kepada pemberi kerja, maka tidak
ada perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1603(b), yaitu:
“Buruh diwajibkan menaati peraturan-peraturan tentang hal melakukan
perkerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan pada perbaikan tata-tertib
dalam perusahaan majikan, yang diberikan kepadanya oleh atas nama
8
majikan di dalam batas-batas aturan-aturan undang-undang atau
perjanjian maupun reglemen, atau jika itu tidak ada menurut kebiasaan”.
4. Jenis-jenis Perjanjian Kerja
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 56 ayat (1) dan (2),
menyatakan bahwa:
1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau tidak tertentu.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasarkan atas:
a. Jangka waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dikaitkan dengan jangka waktunya sesuai dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), di mana jangka waktu
tidak ditentukan. Baik dalam perjanjian, undang-undang, maupun kebiasaan, atau
terjadi secara hukum karena pelanggaran pengusaha terhadap ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Pengertian tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1603 q ayat
(1) KUHPerdata dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam
9
Pasal 1603 q ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa: “Waktu lamanya hubungan
kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam
peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja
itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tertentu”.
Sedangkan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan
bahwa: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan
sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu”. Perjanjian kerja waktu tertentu
pengusaha/pemberi kerja tidak dapat mensyaratkan adanya masa pencobaan kerja
bagi pekerja. Dalam hal ini pencobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu
yang dijadikan syarat maka akan batal demi hukum. Perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam pencobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
10
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.2 Pengusaha yang
bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari
sebelum perjanjian kerja waktu tertentu telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja
waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Di samping itu, di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. 100/MEN/IV/2004 diatur lebih lanjut mengenai persyaratan PKWT atas 4 jenis
pekerjaan. Misalnya mengenai PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau
sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun diatur dalam
Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut sebagai berikut:3
1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah
PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3
(tiga) tahun.
3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari
yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat
selesainya pekerjaan.
2 Pasal 59 Angka 4 UU Ketenagakerjaan 3 R. Joni Bambang S, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, Hlm 113
11
4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun
karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat
dilakukan pembaharuan PKWT.
6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah
melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh ) hari setelah berakhirnya
perjanjian kerja.
7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam
ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan umum ayat (5) dan ayat (6)
yang dituangkan dalam perjanjian.
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pada umumnya menurut ketentuan
yang telah diatur merupakan perjanjian kerja yang bersifat musiman yang bergantung
pada musim atau cuaca. PKWT dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan saja, yang
tujuannya untuk memenuhi pesanan atau target tertentu. Pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru secara tidak langsung akan berhubungan dengan perjanjian kerja
waktu tertentu. Ketentuan PKWT dan PKWTT sudah jelas di dalam UU
Ketenagakerjaan, akan tetapi ketentuan PKWT demi hukum dapat berubah menjadi
PKWTT bila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha/pemberi kerja.
Perubahan perjanjian kerja tersebut termuat di dalam Pasal 15
KEP.100/MEN/VI/2004 yang menyatakan bahwa:
12
1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)4, atau Pasal 5 ayat (2)5, maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2)6 dan ayat (3)7,
maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWTT dan tidak
diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur
penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
bagi PKWTT.
4 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 4 ayat (2), “PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjan pada musim tertentu”. 5 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 5 ayat (2), “PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan”. 6 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (2), “PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun”. 7 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (3), “PWKT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan”.
13
Adapun mengenai perjanjian waktu tidak tertentu diatur dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini memberikan kesempatan kepada
pengusaha/pemberi kerja untuk memberlakukan masa percobaan paling lama 3 bulan.
Salah satunya dilatarbelakangi oleh karena sifat perjanjian yang bersifat berkelanjutan
dan jangka panjang maka perusahaan memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja
tersebut menjadi pekerja tetapnya. Sekalipun demikian, menurut Pasal 61 tersebut,
walaupun diberlakukan masa percobaan selama 3 bulan, perusahaan tidak
diperkenankan membayar upah di bawah upah minimum.
Berhubungan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mengenai
perjanjian kerja. Perjanjian kerja berkaitan dengan jenis dan sifat pekerjaan yang
dijalankan, hal ini termuat di dalam Pasal 2 KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis Dan
Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus yang menyatakan bahwa:
“Pengusaha dapat memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk
pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara
terus menerus”. Lebih lanjut lagi mengenai jenis pekerjaan yang dijalankan terus
menerus termuat di dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa:
1. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, yakni:
a. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;
8 KEP.233/MEN/2003, Pasal 2, “Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan”.
14
b. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
c. Pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
d. Pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
e. Pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
f. Pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air
bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
g. Pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;
h. Pekerjaan di bidang media masa;
i. Pekerjaan di bidang pengamanan;
j. Pekerjaan di lembaga konversi;
k. Pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses
produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat
produksi.
B. Hasil Penelitian
1. Perselisihan Hubungan Industrial antara Warsito dan PT. Jogja Tugu Trans.
Dalam perkara gugatan Warsito yang beralamat di Jogokerten RT 005 RW
013 Trimulyo Sleman menggugat PT. Jogja Tugu Trans (PT JTT) yang beralamat di
Jl. Raya Jogja – Wonosari Km 4,5 No 24 B Yogyakarta. Warsito mengajukan Surat
Gugatan pada tanggal 06 Oktober 2014 dengan melampirkan Risalah Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediasi pada tanggal 02 April 2014
melalui Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten
Bantul. Kemudian pada tanggal 07 Juli 2014 diterima dan didaftarkan di Pengadilan
Negeri Yogyakarta pada tanggal 09 Oktober 2014 dalam Register Nomor 7/Pdt.Sus-
15
PHI/2014/PN/Yyk. Gugatan yang diajukan Warsito melewati proses bipartiet dan
mediasi tripartiet, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 02 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam gugatan yang
diajukan Warsito selaku karyawan yang bekerja pada PT. Jogja Tugu Trans yang
bekerja selama lima tahun sejak 20 Februari 2008 sampai dengan 20 maret 2013
dengan nemerima upah terakhir sebesar Rp. 2.074.000.00 (dua juta tujuh puluh empat
ribu rupiah). Gugatan ini juga mengenai Perselisihan Pengakhiran Hubungan Kerja,
dimana PT. JTT telah mengakhiri hubungan kerja dengan Warsito secara sepihak dan
semena-mena serta tidak berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan adanya Pengakhiran Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan
PT. JTT, Warsito merasa dirugikan. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian
hukum, Warsito mengajukan gugatan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Warsito adalah karyawan yang bekerja sebagai PRAMUDI pada PT. Jogja
Tugu Trans sejak 20 Februari 2008 dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) yang selalu diperpanjang setiap tahunnya tanpa jeda waktu tertentu serta
tanpa adanya masa percobaan. PT. JTT adalah sebuah perusahaan yang bergerak
dibidang jasa transportasi angkutan orang sesuai dengan “Perjanjian Kerja Sama
Antara Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan PT. Jogja Tugu Trans
Nomor : 4/PERJ/GUB/II/2008 | Nomor : 31/JTT/II-2008 Tentang Pengelolaan Sistem
Pelayanan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan
Dengan Sistem “Buy The Service” di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Salinan
PKS Antara Pemerintah DIY dengan PT. Jogja Tugu Trans)”. Sejak tanggal 20
16
Februari 2008 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :
145/PKWT/JTT/II/2008 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung
sejak tanggal 20 Februari 2008 hingga tanggal 20 Februari 2009 dengan gaji sebesar
Rp. 2.050.000.00 (dua juta lima puluh ribu rupiah) untuk setiap bulannya. Pada
tanggal 02 Maret 2009 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :
145/PKWT/JTT/III/2009 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung 02
Maret 2009 sampai dengan 02 Maret 2010, dengan gaji sebesar Rp. 1.814.000.00
(satu juta delapan ratus empat belas ribu rupiah) untuk setiap bulannya.
Pada tanggal 02 Maret 2010 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja
Nomor : 145/PKWT/JTT/III/2010 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja
terhitung 02 Maret 2010 sampai dengan 02 Maret 2011, dengan gaji sebesar Rp.
1.814.000.00 (satu juta delapan ratus empat belas ribu rupiah) untuk setiap bulannya.
Pada tanggal 02 Maret 2011 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :
145/PKWT/JTT/III/2011 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung 02
Maret 2011 sampai dengan 02 Maret 2012, dengan gaji sebesar Rp. 2.074.000.00
(dua juta tujuh puluh empat ribu rupiah), untuk setiap bulannya. Pada tanggal 02
Maret 2012 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :
145/PKWT/JTT/III/2012 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung 02
Maret 2012 sampai dengan 02 Maret 2013, dengan gaji sebesar Rp. 2.074.000.00
(dua juta tujuh puluh empat ribu rupiah), untuk setiap bulannya. Berdasarkan
perjanjian kerja yang dijalankan Warsito upah yang diterima oleh Warsito selama
bekerja ditempat PT. JTT berbeda-beda setiap tahunnya dan tidak sesuai dengan
ketentuan rincian kesepakatan perjanjian kerja sama di BOK (Biaya Operasional
17
Kendaraan) antara Pihak Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
Pihak PT. JTT.
Setelah menjalankan perjanjian kerja terus menerus tanggal 02 Maret 2013
Warsito secara tiba-tiba mendapatkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
sepihak dari pihak PT. JTT tanpa ada alasan yang jelas dan prosedur yang ada, dan
Warsito tidak merasa pernah melakukan kesalahan apapun dengan PT. JTT kemudian
Warsito berusaha menemui pihak managemen PT. JTT untuk menanyakan hal
tersebut, akan tetapi pihak managemen tidak mau ditemui dan menjelaskan alasan
pemutusan hubungan kerja kepada Warsito. Warsito pada tanggal 21 Maret 2013
mendapat surat dari PT. JTT yang intinya “Ucapan Terimakasih” terhadap jasa-jasa
Warsito selama bekerja di PT. JTT tanpa memberikan kompensasi hak-hak normatif
seperti, Pesangon, Uang Penghargaan masa kerja serta hak-hak normatif lain sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Warsito pada tahun 2013
melakukan upaya mediasi tripartiet dengan PT. JTT yang difasilitasi Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Dinaskertrans) Kabupaten Bantul. Dari hasil
Tripartiet tersebut tidak ada kesepakatan dari pihak Warsito maupun PT. JTT dan
Dinaskertrans menerbitkan Surat Anjuran Nomor : 565/1028.
Surat Anjuran dari Dinaskertrans Kabupaten Bantul pada pokok isinya
menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dijalankan oleh PT. JTT
terhadap Warsito sebagai PRAMUDI yang selalu diperpanjang setiap tahunnya secara
berturut-turut dan tidak pernah ada jeda waktu bertentangan dengan ketentuan Pasal
59 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 serta Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/VI/2004. Pemutusan
18
hubungan kerja yang dilakukan PT. JTT merupakan murni keinginan PT. JTT dan
sesuai Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, PT. JTT diwajibkan
membayar hak Warsito berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Menurut Dinaskertrans setelah dikeluarkannya Surat Anjuran tersebut PT.
JTT tidak mempunyai itikad baik untuk menjalankan Anjuran Penyelesaian
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja.
Menurut Warsito, PT. JTT sebagai Perusahaan yang menjalankan produksi
secara terus menerus dan bersifat tetap pekerjaan yang dilakukannya, maka tidak
dibenarkan melakukan perjanjian kerja waktu tertentu, karena hal ini bertentangan
dengan ketentuan Pasal 58, Pasal 59 ayat (2) dan (7) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 15 ayat (4) Keputusan Menteri
Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, serta Pasal 3 huruf k Keputusan Menteri Nomor 233 Tahun 2003 tentang
Pengaturan Jenis dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Terus Menerus, sehingga
perjanjian kerja waktu tertentu demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh PT. JTT
merupakan murni keinginan PT. JTT, dan sesuai Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan PT. JTT diwajibkan membayar hak-hak Warsito yang belum
dipenuhi selama bekerja di PT. JTT dengan berdasarkan dengan ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku, sebagai berikut :
a. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2008-2009 Rp. 289.247.00 X 12 =
Rp. 3.470.964.00;
19
b. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2009-2010 Rp. 525.247.00 X 12 =
Rp. 6.302.964.00;
c. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2010-2011 Rp. 525.247.00 X 12 =
Rp. 6.302.964.00;
d. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2011-2012 Rp. 265.2473.00 X 12 =
Rp. 3.182.964.00;
e. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2012-2013 Rp. 265.2447.00 X 12 =
Rp. 3.182.964.00;
f. Pesangon 6 X Rp. 2.339.247.00 = Rp. 144.035.4482.00
g. Uang Penghargaan masa kerja 2 X Rp. 2.339.247.00 = Rp. 44.678.494.00
h. Uang Penggatian Hak (f+g) = Rp. 2.807.069.00
i. Cuti yang belum diambil 3 hari X (Rp. 233.9247.00 : 25) =Rp.
44.244.601.00
= Rp. 44.244.601.00
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan PT. JTT secara sepihak
membuat Warsito mengalami kerugian immaterial yang jika dinominalkan sebesar
Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Atas kerugian yang dialami Warsito dan
PT. JTT tidak mempunyai itikad baik maka Warsito merasa perlu meletakkan sita
jaminan atas aset PT. JTT berupa Bus Trans Jogja plat Nomor AB 7058 AS yang
dimiliki PT. JTT.
Dalam pokok perkara yang diajukan sebagai gugatan Warsito, PT. JTT
menolak seluruh dalil gugatan untuk seluruhnya kecuali yang PT. JTT akui
kebenarannya. Warsito telah bekerja di PT. JTT dengan status perjanjiian kerja waktu
20
tertentu (PKWT) sebagaimana Pasal 1 Angka (4), (5) dan dievaluasi setiap tahunnya
karena hal ini didasarkan pekerjaan yang dilakukan tidak tetap dan terbatas oleh
waktu tertentu yaitu berdasarkan MOU/Perjanjian dengan Pemerintah Daerah
Provinsi DIY dengan PT. JTT berdasarkan kontrak pertahun antara
pemerintah/regulator melalui DISHUBKOMINFO Provinsi DIY yang dievaluasi
setiap tahun sehingga sewaktu-waktu kontrak tersebut dapat dihentikan oleh
DISHUBKOMINFO. Pekerjaan yang dijalankan Warsito merupakan program
pelayanan umum dan merupakan pilot projek pemerintah yang sewaktu-waktu
dievaluasi dan dapat dihentikan, karena merupakan kegiatan baru, hal ini dibuat
sesuai Pasal 59 Ayat (1) a dan (1) d Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dijalankan Warsito dan
diterapkan di PT. JTT yang selalu diperpanjang dan diperbaharui, hal ini menurut PT.
JTT sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan
serta Pasal 3 Ayat (5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
KEP.100/MEN/VI/2004. Dalam hal mengenai jeda waktu perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) yang diterapkan di PT. JTT menurut PT. JTT para pihak telah
sepakat untuk mengesampingkan masa jeda 30 hari, seperti diatur dalam Pasal 59
Ayat (6) Undang-Undang Ketenagakerjaan serta Pasal 3 Ayat (6) Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004. Menurut PT. JTT
apabila dilakukan masa jeda maka pekerja yang ingin bekerja kembali tidak dapat
diakomodir karena lowongan atau kesempatan tersebut sudah diisi oleh orang lain,
akan tetapi telah disepakati agar pekerja mengajukan lamaran baru ke PT. JTT, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Ayat (8) KEP.100/MEN/VI/2004 yang berbunyi :
21
“Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian”.
Kemudian mengenai upah/gaji yang diterima Warsito merupakan kesepakatan
bersama antara Warsito dengan PT. JTT yang dituangkan dalam Surat Perjanjian
Kerja, adapun besarnya upah/gaji merupakan hasil evaluasi tahun sebelumnya,
dimana besarnya gaji/upah tersebut juga dipengaruhi adanya kenaikan bahan bakar
minyak, sehingga upah yang diterima Warsito setiap tahunnya akan berbeda-beda
akan tetapi masih diatas Upah Minimun Regional Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut PT. JTT pada tanggal 02 Maret 2013 Warsito tetap masih masuk kerja
sebagaimana biasanya sampai tanggal 15 Maret 2013, sehingga apa yang didalilkan
Warsito di PHK pada tanggal 02 Maret 2013 senyatanya tidak masuk kerja
sebagaimana biasanya karena sudah mengetahui apabila perjanjian kerja waktu
tertentu tidak diperpanjang lagi. Kemudian pada tanggal 21 Maret 2013 menerima
surat “ucapan terimakasih” atas jasa-jasa selama bekerja di PT. JTT, karena masa
kontraknya Warsito senyatanya telah habis dan tidak diperpanjang lagi kontraknya
sehingga diberi ucapan terimakasih atas jasa-jasanya, adapun yang berkaitan dengan
hak-hak Warsito setelah berhenti bekerja hak tersebut sudah dapat diambil.
Mengenai perundingan Tripartiet yang dilakukan pada tanggal 02 April 2014
di kantor Dinaskertrans Kabupaten Bantul Nomor 565/1028 berupa Surat Anjuran
dari Dinaskertrans sangat tidak berdasar menurut PT. JTT sehingga perundingan
tersebut ditolak dengan tegas. Menurut PT. JTT sebagaimana sudah diuraiankan di
atas mengenai dasar-dasar hukum perjanjian kerja sehingga kontrak Warsito hanya
sebagai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), demikian juga Warsito berhenti
22
tidak bekerja karena kontraknya habis dan tidak diperpanjang senyatanya tidak
pernah masuk bekerja lagi untuk memenuhi kewajibannya demikian juga sebaliknya
PT. JTT sudah tidak memberikan hak-haknya Warsito karena Warsito sudah tidak
bekerja lagi. Berkaitan dengan hak-hak Warsito yang sudah tidak bekerja lagi,
senyatanya Warsito telah mengambil hak-haknya melalu istrinya, dengan demikian
membuktikan antara Warsito dan PT. JTT berkaitan dengan hak-hak karyawan
berhenti bekerja sudah tidak ada permasalahan lagi. Warsito pun telah memenuhi
hak-hak upah/gajinya sebagaimana yang telah diperjanjikan antara kedua belah pihak
sehingga tidak ada upah/gaji yang belum terbayarkan, demikian juga berkaitan
dengan hak-hak lainnya senyatanya masa kontrak Warsito sudah habis dan tidak
diperpanjang lagi hal ini dipersamakan dengan karyawan keluar.
Warsito yang telah tidak bekerja lagi di PT. JTT maka cukup beralasan hukum
apabila Warsito tidak menerima upah/gaji dari PT. JTT, hal demikian disesuaikan
dengan ketentuan Pasal 93 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun
mengenai hak-hak Warsito sudah diambil oleh istrinya pada tanggal 30 Maret 2013
berdasarkan surat kuasa dari Warsito, sehingga tidak beralasan hukum apabila
Warsito melakukan gugatan terhadap PT. JTT sedangkan hak-haknya sudah dipenuhi.
Kerugian immaterial yang di tambahkan Warsito dalam gugatannya sebesar Rp.
50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) haruslah dalilnya ditolak, selain perlu adanya
pembuktian terlebih dahulu, kerugian imateriil yang mendasarkan kehilangan
pekerjaan merupakan konsekuensi logis yang diakibatkan Warsito melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perusahaan maupun kinerjanya tidak memenuhi
standar operasional yang telah ditetapkan. Mengenai dalil gugatan yang menyatakan
23
sita jaminan terhadap Armada Bus Trans Jogja dengan Plat Nomor Polisi AB 7078
AS yang dimohonkan Warsito haruslah ditolak, selain data Bus yang dimohonkan
datanya tidak lengkap dikawatirkan terjadi salah objek apabila dilakukan eksekusi,
demikian juga Bus tersebut merupakan alat transportasi yang masih dioperasikan
untuk menunjang kelangsungan operasional perusahaan untuk melayani kepentingan
publik akan jasa transportasi, oleh karenanya sita jaminan yang dimohonkan Warsito
bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 Ayat (8) HIR.
2. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat I dalam Putusan No. 7/Pdt.Sus-
PHI/2014/PN.Yyk.
Putusan Majelis Hakim pada Tingkat I yang terkait dengan jenis perjanjian
kerja antara Warsito dengan PT. JTT yang dimuat dalam diktum dalam pokok perkara
sebagaimana tercantum pada diktum yang ke dua dan ke tiga sebagai berikut :
a. Menyatakan bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan Pasal 58, Pasal 59
Ayat (2) dan (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Pasal 15 Ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang
Dijalankan secara Terus Menerus;
b. Menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara
Penggugat dan Tergugat demi Hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT) sejak tanggal 02 Maret 2011 pada saat dimulainya
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ke 4.
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut, yaitu:
a. Menimbang, bahwa pada Pasal 4 tentang Penerimaan Karyawan Baru ayat 3
Peraturan Perusahaan Tergugat Periode 2012-20149 menyatakan bahwa bagi
calon karyawan yang memenuhi persyaratan harus memahami dengan baik
9 Vide bukti T-15 : Fotokopi Peraturan Perusahaan periode 2012-2014 yang telah disahkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabuupaten Bantul.
24
segala peraturan dan tata tertib yang berlaku. Setelah yang bersangkutan
menyetujui segala peraturan dan tata tertib tersebut, harus menjalani magang
selama 2 (dua) tahun;
b. Menimbang, bahwa dengan diaturnya keharusan magang tersebut, Majelis
Hakim berpendapat Tergugat telah melanggar Pasal 58 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa : (1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja, (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja
yang disyaratkan batal demi hukum;
c. Menimbang, bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan Tergugat di bidang
transportasi sehingga jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan Tergugat terus
menerus dan merupakan pekerjaan yang bersifat tetap, bukan merupakan
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu seperti yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Majelis
Hakim berpendapat bahwa Tergugat telah melanggar isi Pasal 59 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Pasal 3
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang
Dijalankan secara Terus Menerus;
d. Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat telah melakukan hubungan kerja
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tanpa jeda waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak 20 Februari 2008 sampai dengan 02 Maret 2013 (vide bukti:
P-310,P-411,P-512,P-613, dan P-714 dan T-315 dan keterangan Saksi P ke-116
Soliqin dan Saksi P ke-317 Arsiko Danuwidho A., Saksi T ke-118 Totok
Yulianto, Saksi T ke-219 Taufik Hendroyono, Saksi T ke-320 Ambar
Barunangrum, dan Saksi T ke-421 Andang Siswanto);
10 P-3 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2008 No. 145/PKWT/JTT/II/2008 antara Penggugat dan Tergugat. 11 P-4 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2009 No. 145/PKWT/JTT/III/2009 antara Penggugat dan Tergugat. 12 P-5 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2010 No. 145/PKWT/JTT/II/2010 antara Penggugat dan Tergugat. 13 P-6 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2011 No. 145/PKWT/JTT/III/2011 antara Penggugat dan Tergugat. 14 P-7 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2012 No. 145/PKWT/JTT/III/2012 antara Penggugat dan Tergugat. 15 T-3 : Fotokopi Perjanjian Kerja waktu tertentu No. 145/PPKWT/JTT/III/2012 tanggal 02 Maret 2012 antara PT. Jogja Tugu Trans (Tergugat) dengan Warsito (Penggugat). 16 P ke-1 : “bahwa kontrak diperpanjang secara terus-menerus sejak tahun 2008 tanpa ada jeda waktu”. 17 P ke-3 : “bahwa Perjanjian yang dilaksanakan PKWT untuk masa 1 (satu) tahun sebagai sopir dan diperpanjang setiap tahun tanpa jeda waktu” 18 T ke-1 : “bahwa tiap tahun ada perpanjangan tanpa jeda waktu dari awal kurang lebih 5 kaii” 19 T ke-2 : “bahwa kontrak Penggugat dari 2008 dan berakhir pada 02 Maret 2013”.
25
e. Menimbang, bahwa persyaratan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang
dilaksanakan oleh Tergugat, dan persyaratan lamanya waktu dan jeda waktu
seperti diuraikan di atas tidak dilaksanakan oleh Tergugat sebagai hubungan
kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, menurut hemat Majelis
Hakim Tergugat telah melanggar isi Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 15 ayat (4) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu;
f. Menimbang, bahwa persyaratan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang
dilaksanakan oleh Tergugat, dan persyaratan lamanya waktu dan jeda waktu
seperti tidak dilaksanakan oleh Tergugat, demi hukum Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) antara Penggugat dan Tergugat berubah menjadi Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Dalam mempertimbangkan pendapat, Majelis Hakim Deden Fine Laksana, SH
sebagai Hakim Anggota Majelis I memberikan pendapat berbeda (Dissenting Opinion).
Dalam pertimbangan Menurut hemat Anggota Majelis Hakim I, Warsito tidak memiliki
kapasitas selaku Penggugat karena Warsito tidak memiliki persona standi in judicio di depan
pengadilan. Anggota Majelis Hakim (Deden) berpendapat mengenai perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) antara Warsito dengan PT. JTT Nomor : 0145/PKWT/JTT/III/2012
tertanggal 02 Maret 2012 sampai dengan 02 Maret 2013, oleh karena masa kontrak kerja
Warsito telah berakhir pada tanggal 02 Maret 2013 dan senyatanya Warsito tidak memenuhi
standar operasional yang telah di tetapkan perusahaan, dengan demikian juga Warsito telah
melanggar peraturan perusahaan sehingga Warsito tidak di perpanjang lagi kontraknya.
3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam Putusan No. 83K/Pdt.Sus-
PHI/2015
Putusan Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi mengenai perjanjian kerja antara
Warsito dengan PT. JTT menyatakan:
a. Mengabulkan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi (PT. Jogja Tugu
Trans).
b. Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Yogyakarta, Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk.
20 T ke-3 : “ bahwa Penggugat bekerja dari tahun 2008 sampai 2012, tiap tahun kontrak diperpanjang tanpa jeda waktu”. 21 T ke-4 : ” bahwa saksi statusnya kontrak, karena PT. Jogja Tugu Trans juga statusnya kontrak”.
26
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut, yaitu:
a. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah:
I. Dissenting Opinion
Bahwa Putusan Perkaran Nomor 7/Pdt.Sus/PHI/PN.Yyk., tanggal 22
Desember 2014 senyatanya terdapat perbedaan pendapat dalam pertimbangan
hukumnya (dissenting opinion);
Bahwa Anggota Majelis I yang bernama Deden Fine Laksana, S.H., sebagai
Hakim Ad-Hoc dalam pertimbangan hukumnya telah mengabulkan eksepsi
Tergugat (Pemohon Kasasi) untuk seluruhnya;
Bahwa Pemohon Kasasi sependapat dengan pertimbangan hukum tersebut
karena, jelas-jelas Penggugat sudah tidak memiliki persona standi in judicio
di Pengadilan yaitu saat melakukan gugatan senyatanya Penggugat sudah
tidak terikat hubungan kerja dengan Tergugat sebagaimana pertimbangan
hukum Anggota Hakim I (putusan halaman 68 sampai dengan 74);
Bahwa apabila dihubungkan dengan Surat Kuasa tanggal 30 Maret 2013 yang
diberikan Warsito kepada istrinya untuk mengambi hak-haknya (bukti T-13)22
bilamana dicermati sangat jelas tertulis Warsito (Penggugat) telah mengakui
mengundurkan diri dari pekerjaannya (keluar) sehingga pengakuan Penggugat
tersebut merupakan bukti sempurna apabila Penggugat benar-benar sudah
tidak ada hubungan hukum dengan Tergugat, oleh karenanya gugatan yang
diajukan mengandung diskualifikasi;
Demikian juga berkaitan dengan eksepsi Obscuur libel telah dipertimbangkan
dengan tepat dan benar oleh Anggota Hakim I sebagaimana Putusan halaman
74 sampai dengan 79, sehingga pertimbangan hukum yang telah tepat dan
benar tersebut dapat diambil alih dan digunakan sebagai pertimbangan hukum
Mahkamah Agung dalam mengambil Keputusan mengabulkan eksepsi
Tergugat untuk seluruhnya;
II. Tidak Cermat Dalam Pertimbangan Hukumnya
Bahwa Pemohon Kasasi (Tergugat) keberatan dengan pertimbangan hukum
Hakim Pengadilan Tingkat Pertama (Ketua Majelis dan Anggota Hakim II),
karena telah mempertimbangkan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
sebagian, karena tidak sesuai fakta yang ada, selain itu dengan adanya
dissenting opinion maka membuktikan Penggugat benar-benar sudah tidak
berhak untuk mengajukan gugatan karena sudah tidak mempunyai kapasitas
selaku Penggugat, hal demikian karena saat mengajukan gugatan senyatanya
22 T-13 : Fotokopi bukti kas keluar PT. Jogja Tugu Trans, tanggal 13 Juni 2013 atas nama Warsito.
27
Penggugat sudah tidak memiliki hubungan kerja dengan Tergugat karena
sudah tidak diperpanjang lagi kontraknya;
Bahwa selain itu Penggugat juga sudah mengetahui dan menyadari saat
melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;
Bahwa Hakim Pengadilan Tingkat Pertama tidak cermat dalam pertimbangan
hukumnya karena telah mempertimbangkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) Penggugat menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT);
Bahwa sebagaimana bukti T-323 berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
antara Tergugat (Pemohon Kasasi) dengan Penggugat (Termohon Kasasi)
terutama pada Pasal 1 angka 4 telah disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa
Penggugat (Termohon Kasasi) tidak akan menuntut untuk diangkat menjadi
Pegawai Tetap;
bahwa seharusnya Hakim Pengadilan Tingkat Pertama mempertimbangkan
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata dimana para pihak yang membuat
kesepakatan/perjanjian terikat dengan perjanjian tersebut dan berlaku sebagai
Undang-Undang, termasuk terhadap Penggugat (Termohon Kasasi) harus
mentaati Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terutama tidak akan menuntut untuk
diangkat menjadi Pegawai Tetap, dengan Penggugat (Termohon Kasasi)
menuntut menjadi Pegawai Tetap (PKWTT) melakukan gugatan merupakan
pelanggaran kesepakatan bersama yang telah dituangkan dalam Perjanjian
Kerja (bukti T-3), sehingga gugatan Penggugat (Termohon Kasasi) haruslah
ditolak.
III. Salah Pertimbangan Hukumnya
Bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama yang
mempertimbangkan mengabulkan gugatan Penggugat berkaitan dengan uang
pesangon, penghargaan, dan penggantian hak, yang dipertimbangkan sebagai
berikut. Tergugat mempunyai kewajiban untuk membayar kompensasi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Penggugat berdasarkan Pasal 156 ayat (1)
Undanag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (putusan
halaman 59);
Bahwa pertimbangan hukum tersebut di atas adalah salah pertimbangan
hukumnya, hal tersebut dapat dilihat apabila dikaitkan dengan perkara dalam
rekonvensi senyatanya Hakim Pengadilan Tingkat Pertama telah mengabulkan
gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian (putusan halaman 81) yaitu
mengenai: poin 2. Menyatakan sah secara hukum Surat Kuasa tanggal 30
23 T-3 : Fotokopi Perjanjian Kerja waktu tertentu No. 145/PKWT/JTT/III/2012 tanggal 02 Maret 2012 antara PT. JOGJA TUGU TRANS (Tergugat) dengan Warsito (Penggugat).
28
Maret 2013 dari Tergugat Rekonvensi yang diberikan kepada istrinya
Tergugat Rekonvensi untuk mengambil hak-hak Tergugat Rekonvensi;
Bahwa bilamana dicermati, Tergugat Rekonvensi (Penggugat) telah memberi
kuasa kepada istrinya yang isinya Tergugat Rekonvensi (Penggugat)
mengakui telah mengundurkan diri dari Penggugat Rekonvensi (Tergugat),
sehingga pengakuan pengunduran diri tersebut, membuktikan Tergugat
Rekonvensi sudah tidak bekerja lagi dan dengan pengunduran diri secara
sukarela tersebut tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada Penggugat
Rekonvensi sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, demikian juga dengan pengunduran diri dari tempat
kerjanya sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Kuasa tanggal 30 Maret
2013 (bukti T-13);
Bahwa dengan telah terbukti pertimbangan Hakim Pengadilan Tingkat
Pertama salah dalam menerpakan hukumnya, sehingga gugatan Penggugat
haruslah ditolak untuk seluruhnya;
b. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah
agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. JOGJA TUGU TRANS (PT.JTT) tersebut
dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial padaa Pengadilan
Negeri Yogyakarta, Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk., tanggal 22
Desember 2014, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri
dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan.
C. Analisis
1. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat 1 dengan Ketentuan-ketentuan
Jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketengakerjaan.
Penulis sependapat dengan apa yang telah di Pertimbangan Hakim I mengenai
hal PT. Jogja Tugu Trans telah melanggar Pasal 58 dan Pasal 59 Ayat (2) dan (7)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan
bukti pada Pasal 4 tentang Penerimaan Karyawan Baru Ayat (3) Peraturan
Perusahaan PT. JTT Periode 2012-2014 yang menyatakan, “Bagi calon karyawan
yang memenuhi persyaratan harus memahami dengan baik segala peraturan dan
tata tertib yang berlaku”. Dengan adanya peraturan perusahaan tersebut sudah
29
sangat jelas bahwa PT. JTT melanggar Pasal 58 Undang-Undang Ketenagakerjaan
mengenai persyaratan masa percobaan kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT).
Penulis juga sependapat terhadap Pertimbangan Hakim yang menyatakan
bahwa PT. JTT melanggar Pasal 59 Ayat (2) dan (7) Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Menurut Penulis status perjanjian kerja yang dijalankan Warsito
sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak sesuai dengan pekerjaan yang
dijalankan Warsito sebagai PRAMUDI. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanyalah
perjanjian kerja yang diadakan untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat
kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu dan tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu juga didasarkan
atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan
hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun. Kemudian dalam penerapan jangka waktu yang diterapkan PT. JTT kepada
Warsito selama bekerja 5 (lima) tahun sejak 20 Februari 2008 – 02 Maret 2013 (P-
324,P-425,P-526,P-627,P-728 dan T-329) dengan status Perjanjian Kerja Waktu
24 Vide bukti P-3 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2008 No. 145/PKWT/JTT/II/2008. 25 Vide bukti P-4 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2009 No. 145/PKWT/JTT/III/2009. 26 Vide bukti P-5 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2010 No. 145/PKWT/JTT/II/2010. 27 Vide bukti P-6 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2011 No. 145/PKWT/JTT/III/2011. 28 Vide bukti P-7 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2012 No. 145/PKWT/JTT/III?2012. 29 Vide bukti T-3 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No. 145/PKWT/JTT/III/2012 tanggal 02 Maret 2012 antara PT. Jogja Tugu Trans dengan Warsito.
30
Tertentu bertentang dengan Pasal 59 Ayat (4)30, semestinya merupakan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu. Berdasarkan ketentuan yang diterapkan PT. JTT
kepada Warsito yang sejak awal telah bertentangan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, maka demi hukum perjanjian kerja tersebut berubah menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Dalam hal Pembaharuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang diterapkan
PT. JTT terhadap Warsito tidak dijalankan PT. JTT. Seharusnya hal Pembaharuan
perjanjian kerja diadakan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari
setelah berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lama, dan pembaharuan
Perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling
lama 2 (dua) tahun. Akan tetapi, dalam hal ini PT. JTT telah mengesampingkan
ketentuan tersebut yang telah tertera di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Menurut Penulis jelas sekali bahwa PT. JTT telah mengetahui akan hal tersebut
dan tetap tidak menerapkan ketentuan yang telah di atur. Maka dalam hal ini
Penulis sangat setuju bahwa PT. JTT telah melanggar Pasal 15 Ayat (4) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu. Dengan demikian status perjanjian kerja Warsito yang semula Perjanjian
30 Pasal 59 Ayat (4), “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun d0an hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.
31
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja yang dijalankan Warsito sebagai PRAMUDI yang bergerak di
jasa transportasi dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, menurut Penulis
tidaklah sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian kerja dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Kemudian selain status dan jenis sifat pekerjaan yang
dijalankan Warsito dalam hal Pembaruan perjanjian kerja juga disesuai dengan
ketentuan yang telah ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pekerjaan
yang dijalankan Warsito merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus
menerus. Penulis berpendapat mengenai perjanjian kerja yang dijalankan Warsito
sebagai PRAMUDI sejak awal merupakan jenis Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu, karena pekerjaan yang dijalankan Warsito merupakan pekerjaan yang
bersifat tetap dan sifatnya tidak bersifat sementara karena harus melayani
masyarakat.
Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang
Dijalankan Secara Terus Menerus. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi
termasuk dalam pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan
dijalankan secara terus menerus. Dengan demikian Penulis setuju dengan
Pertimbangan Hakim mengenai PT. JTT telah melanggar ketentuan perjanjian
kerja.
32
2. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi dengan Ketentuan-
ketentuan Jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Penulis berpendapat Pertimbangan Hakim pada Tingkat Kasasi mengenai
Permohonan yang diajukan mengenai keberatan-keberatan PT. Jogja Tugu Trans
tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan jenis perjanjian kerja dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Dalam hal keberatan-keberatan yang diajukan mengenai Dissenting
Opinion, Tidak Cermat Dalam Pertimbangan Hukumnya, dan Salah Pertimbangan
Hukumnya yang keberatan tersebut dapat dibenarkan Mahkamah Agung oleh karena
setelah meneliti secara seksama memori kasasi dan kontra kasasi yang dihubungkan
dengan pertimbangan Judex Facti. Keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon
Kasasi dikarenakan Warsito tidak memiliki persona standi in judicio di depan
Pengadilan dan mengenai eksepsi obscuur libel menurut Penulis tidaklah tepat. Jika
dicermati secara seksama mengenai Dissenting Opinion dan Obscuur libel dalam
perjanjian kerja antara Warsito dengan PT. Jogja Tugu Trans menurut Penulis
perjanjian kerja yang dijalankan Warsito sebagai PRAMUDI yang pekerjaannya
bergerak di jasa transportasi merupakan jenis perjanjian kerja yang dijalankan secara
terus menerus.
Dalam hal ini Warsito mengajukan gugatannya untuk menuntut status
pekerjaannya yang semula Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Penulis melihat dari apa yang
diterapkan PT. Jogja Tugu Trans dalam menjalankan kegiatan Perusahaannya telah
melanggar isi Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
33
Ketenagakerjaan dan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan
yang Dijalankan secara Terus Menerus. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ada dan
telah diperiksa oleh Majelis Hakim Tingkat I dan kebenarannya diakui PT. Jogja
Tugu Trans, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berlangsung selama 5 (lima)
tahun. Penulis berpendapat hubungan kerja antara Warsito dengan PT. Jogja Tugu
Trans seharusnya pada tahun yang ke-3 (tiga) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT). Oleh sebab itu menurut Penulis mengenai persona standi in judicio dan
Obscuur libel terhadap Warsito tidaklah tepat karena dalam hal gugatan perkara ini
Warsito mempunyai kapasitas untuk menuntut status perjanjian kerjanya.
Mahkamah Agung dalam mengadili sendiri telah membatalkan Putusan pada
Tingkat I. Menurut Penulis dengan membatalkan Putusan pada Tingkat I sangatlah
merugikan pihak Termohon Kasasi, dimana dalam hal perjanjian kerja yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sangat
jelas bahwa PT. Jogja Tugu Trans telah melanggar beberapa Pasal yang terdapat di
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penulis berpendapat mengenai Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor :
7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk sudahlah tepat. Dalam hal Pertimbangan Hakim pada
Tingkat I merupakan pertimbangan yang mendasarkan atas perjanjian yang ada,
kebiasaan, dan keadilan. Penulis melihat dari status perjanjian kerja yang dijalankan
Warsito sebagai PRAMUDI yang bergerak di jasa transportasi dengan status kerja
34
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dijalankan selama 5 (lima) tahun
dalam hal perjanjian kerja tersebut sangat jelas PT. Jogja Tugu Trans telah melanggar
ketentuan Pasal 59 Ayat (2) dan (7) Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Pasal 15
Ayat (4) KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, serta Pasal 3 huruf (k) KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat
Pekerjaan yang Dijalankan secara Terus Menerus, dengan demikian Perjanjian Kerja
Waktuu Tertentu(PKWT) yang dijalankan Warsito demi hukum berubah menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sejak terjadinya ketidaksesuaian
dengan ketentuan yang ada.
Mengenai Pasal 1338KUHPerdata dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) merupakan perjanjian yang berhubungan dilihat dari definisi perjanjian kerja
menurut Pasal 1 angka 14 UUK yang berbunyi sebagai berikut: “Perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat – syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Dengan adanya
perjanjian kerja ini maka timbulah hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, dalam
hal ini pengusaha dan buruh. Perjanjian kerja ini haruslah ditaati oleh pengusaha dan
buruh karena perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, seperti yang tertera dalam Pasal 1338 KUHPerdata: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Sesuai ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata di atas, maka jelas bahwa
perjanjian kerja merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya yaitu
pengusaha dan buruh atau pekerja. Untuk itu, setiap hal yang diatur dalam perjanjian
35
mengikat kedua belah pihak. Adapun kebebasan dalam membuat perjanjian yang
dibuat oleh para pihak yang kemudian mengesampingkan ketentuan peraturan
perundang-undangan Menurut Penulis tidak menjadi masalah asalkan perjanjian
tersebut dianggap telah sesuai baik dari sudut kepatutan, kebiasaan, dan Undang-
Undang.
Dalam hal mengenai keberatan yang diajukan Pemohon dan telah diperiksa
oleh Mahkamah Agung mengenai keberatan I, ke II, dan ke III yang dihubungkan
dengan pertimbangan Judex Facti, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Warsito
dianggap telah mengundurkan diri. Menurut Penulis, Mahkamah Agung telah salah
dalam mempertimbangkan keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon. Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai
ketentuan-ketentuan pekerja yang melakukan pengunduran diri yang termuat di dalam
Pasal 162 sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri,
memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);
2. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja;
3. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas
kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
36
Mengenai penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4), sebagai
berikut :
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dalam hal ini jelas sekali bahwa untuk pekerja/buruh yang mengundurkan diri
harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam perkara antara
Warsito dengan PT. Jogja Tugu Trans di Tingkat Kasasi, Mahkamah Agung
menyatakan bahwa Warsito dianggap telah mengundurkan diri. Bila dicermati
dalam Putusan Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk tidak ada bukti-bukti
mengenai Warsito telah mengundurkan diri. Menurut Penulis jika Warsito
dianggap mengundurkan diri seharusnya hak-hak Warsito seluruhnya
dipenuhi secara penuh oleh PT. Jogja Tugu Trans, akan tetapi mengenai hak-
hak Warsito yang diambil oleh istrinya hanya mendapatkan uang pesangon,
gaji Warsito yang belum dipenuhi, tabungan hari tua, dan uang jaminan
seragam. Penulis berpendapat mengenai pengunduran diri yang diajukan
Pemohon Kasasi yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dan dapat dibenarkan
sangatlah tidak tepat. Dengan demikian, dalam hal ini Penulis berpendapat
bahwa Mahkamah Agung dalam memeriksa Permohonan Kasasi tidak cermat.
Untuk itu dari penjelasan diatas Penulis tidak sependapat atas Pertimbangan
Hakim Tingkat Kasasi.