25
BAB IIKAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian yang relevan untuk kajian pustaka adalah buku Halim (2013),
Wahidin (2012), Dosi (2010), Artha (2009), Putra (2008), Eriyanto (2005), dan
Hamad (2004), yang membahas wacana media massa baik media cetak maupun
media televisi, khususnya berita televisi. Di antara penelitian ini terdapat fokus
penelitian pada relasi media massa dan kekuasaan, teks televisi sebagai wacana
industri budaya populer. Ditemukan beberapa studi walaupun bukan disertasi
atau teks yang berkaitan dengan kajian media kritis televisi nasional ataupun
televisi lokal dengan analisis wacana berita televisi dengan kepentingan sosial,
politik, dan ideologi dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah baru (novelty).
Buku Postkomodifikasi Media, Analisis Media Televisi dengan Kritis
dan Cultural Studies (2013) oleh Syaiful Halim merupakan karya yang
membahas media televisi sebagai medan wacana. Sebelum itu, juga menjadi
ajang perayaan ekstasi komunikasi pada Liputan 6 SCTV sepanjang Juni 2010
seraya mengorbankan objektivitasnya. Ketika berita-berita bernuansa
infotainment berpindah ke ruang redaksi dan mengubah pertarungan ideologi di
ruang redaksi. Buku ini merupakan penelitian dengan maksud menggambarkan
hasil agenda setting dan dimensi lain soal teks televisi sebagai wacana industri
budaya populer.
26
Hasil penelitian Halim memberikan masukan bagi pihak media dalam
menyusun agenda setting dan menyebarkannya kepada khalayak. Para jurnalis
televisi merupakan individu paling penting dalam menyuntikkan virus literasi
media bukan sebaliknya menjadi ‘penjaja’ ekstasi komunikasi. Hal itu dapat
dimulai dengan menyusun standar jurnalisme televisi yang menunjukkan
keberpihakan kepada pengembangan literasi media (Halim, 2013: 9).
Penelitian Halim (2013) mempunyai persamaan dengan penelitian
penulis. Penelitian itu secara sitematis berbicara tentang kegiatan komodifikasi
teks media televisi saat mengonstruksi sebuah berita. Hal itu yang juga penulis
pergunakan dalam membedah kepentingan ekonomi dan bisnis terhadap angle
berita pembubaran desa pakraman di Bali TV.
Buku Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers, Mengaca
Perkara Made Mangku Pastika vs Bali Post (2012) oleh Wahidin merupakan
karya yang membahas hukum dan pengelolaan pers. Sajian produk informasi
yang disampaikan oleh pers dalam bentuk berita, yang tidak bisa diterima oleh
pihak lain dan diselesaikan berdasarkan hukum. Perbedaan dengan penelitian
penulis hanya membahas wacana dalam dimensi hukum, tidak membahas
wacana sebagai kekuasaan dan ideologi. Karya Wahidin membahas wacana
tanding Gubernur Bali, Made Mangku Pastika yang mengulas persoalannya
dengan Bali Post merupakan referensi penting dalam penelitian ini (Wahidin,
2012: 2).
Karya Wahidin ini membahas karakter pers yang tidak terlepas dari
aspek politik pemanfaatannya sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu
untuk menduduki jabatan politis. Aspek hukum pers, yaitu pers bekerja
27
berdasarkan hukum dan aspek ekonomi pengelolaan manajemen dikelola
berdasarkan prinsip ekonomi. Ketika aspek politik, hukum, dan ekonomi telah
menjadi pedoman dalam pengelolaan pers dalam produk berita tidak akan
menyebabkan konflik di masyarakat. Sebaliknya, apabila dianggap produk
berita tersebut tidak dapat diterima oleh pihak lain atau dianggap merugikan
dalam penyelesaian normatifnya berdasarkan hukum.
Buku Media Massa dalam Jaring Kekuasaan, sebuah studi tentang
relasi kekuasaan di balik wacana oleh Eduardus Dosi (2010) membahas
kekuasaan di balik praktik wacana media. Penelitian ini menggunakan teori
pascastruktural dengan memakai kerangka teoretis Michel Foucault tentang
kekuasaan (power) dan wacana ditunjang dengan pemikiran tentang ekonomi
politik media dan beberapa pemikiran lain.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis dengan
metode kualitatif dan paradigma kritis dalam kerangka analisis wacana Norman
Fairclough. Pada tingkat mikro/teks didukung analisis bingkai (framing
analysis) model William A. Gamson dan Andre Modiglini dilengkapi dengan
Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, Tony Trew. Penelitian ini
meneliti dan memeriksa media massa cetak lokal di Nusa Tenggara Timur
(NTT), yaitu Pos Kupang, Timur Expres, dan Flores Pos dengan kasus
pencalonan legislatif lokal pada pemilu legislatif tahun 2004.
Hasil kajian Dosi menunjukkan bahwa terdapat ideologi politik oligarki,
ideologi keagamaan Katolik, dan ideologi kapitalisme yang berada di balik
wacana dominasi deskriptif dalam kemasan teks berita pencalonan legislatif
tahun 2004 di NTT. Hasil kajian menunjukkan bahwa peristiwa pencalonan
28
anggota legislatif di NTT dalam teks surat kabar dikemas menjadi aneka
pertarungan antarkekuasaan, yakni kekuasaan partriarkis versus perempuan,
serta kekuasaan pemegang otoritas agama versus anggota dan umat, kekuasaan
elite partai versus calon anggota legislatif. Pada level produksi, latar belakang
dan orientasi media memberikan warna pada representasi media. Peranan
dominasi pekerja media dalam merepresentasi wacana dipengaruhi oleh
kekuasaan pasar.
Pada level konsumsi media, publik lebih menggemari hal-hal yang
berhubungan dengan kekerasan, konflik, dan hal-hal yang melawan
penyimpangan kekuasaan. Pada level sosialkultural praktis, media melakukan
refleksi atas praktik politik, ekonomi, dan sosial keagamaan. Temuan kajian ini
secara teoretis menunjukkan bahwa wajah media massa pada umumnya
ditentukan oleh masyarakat yang mengitarinya. Struktur sosial-politik, warna
budaya dominan, dan kekuatan modal memengaruhinya. Mereka yang memiliki
modal sosial, budaya, dan ekonomi yang kuat dapat mendominasi wacana
media massa (Dosi, 2010: 4-5).
Buku berjudul Konspirasi Media dengan Kandidat Pilkada karya I
Gusti Putu Artha (2009) mengkaji wacana pemberitaan proses Pilkada di
Kabupaten Badung, Provinsi Bali di lima koran lokal, yaitu harian Bali Post,
harian DenPost, Nusa, Radar Bali, dan Warta Bali. Buku IGP Artha penting
sebagai kajian pustaka karena merupakan informasi yang disampaikan terkait
dan ada kesamaan berupa kajian media lima koran di Bali mengenai
pertarungan kekuasaan media dan ideologi. Selaim itu, IGP Artha dalam
29
bukunya berharap agar penelitiannya dapat dilanjutkan pada media televisi
sebagai studi kajian media.
Dalam penelitian media dengan paradigma kritis, IGP Artha
menggunakan telaah tiga teori, yaitu (a) teori kognisi sosial Teun A van Dijk,
(b) teori hipersemiotika Saussure, dan (c) teori hegemoni Antonio Gramsci.
Hasil kajian IGP Artha menunjukkan bahwa selama masa kampanye kelima
media cetak memberikan liputan lebih luas kepada pasangan Sumer-Oka
dibandingkan dengan pasangan Agung-Sudikerta dengan perbandingan (66%)–
(34%).
Konstruksi wacana berita surat kabar Pilkada dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal surat kabar meliputi pemilik modal,
orientasi bisnis, redaksi surat kabar, ideologi dan kesejahteraan surat kabar,
nilai-nilai hukum, ekonomi, dan kognisi sosial wartawan. Faktor eksternal surat
kabar meliputi praktik kekuasaan, akses ke surat kabar, nilai-nilai hukum,
ekonomi, dan sosial budaya. Di antara semua faktor yang disebutkan di atas,
faktor pemilik modal memegang peran paling menentukan atas seluruh
konstruksi wacana yang dibangun surat kabar.
Hasil penelitian IGP Artha mengungkapkan makna wacana berita surat
kabar tentang kampanye Pilkada Badung meliputi hegemoni, konspirasi,
hiperealitas, komodifikasi, kapitalisme, banalitas informasi, makna skizofrenia
media, dan hipermoralitas. Berdasarkan makna-makna di atas, IGP Artha
menyimpulkan bahwa surat kabar melakukan konspirasi dengan kandidat dan
berusaha sekeras-kerasnya menghegemoni publik (Artha, 2009: 120--121).
30
Perbedaan buku hasil penelitian IGP Artha dengan penelitian penulis
adalah objek kajian pada media yang berbeda. Penelitian penulis dengan objek
media televisi, sedangkan penelitian IGP Artha pada objek media cetak.
Persamaan penelitian ini sama-sama mengkaji isi berita, tetapi kajian berita
media televisi lebih menyangkut bahasa verbal dan audio visual yang
memerlukan pembacaan tanda-tanda bukan hanya sekadar teks dalam penelitan
berita media cetak. Media audio visual memiliki bahasa gambar, simbol, dan
ekspresi pembaca berita. Bahasa gambar dan ekspresi inilah yang tidak
terdapat dalam penelitian IGP Artha, yang banyak ditampilkan oleh pembaca
berita dan dikaji dengan teori semiotika.
Bab “Kritiskah Masyarakat Bali Menonton Televisi?” dalam buku
berjudul Bali dalam Kuasa Politik karya I Nyoman Darma Putra (2008)
mengkaji dan mengupas Bali dari peristiwa-peristiwa kebudayaan yang
dikaitkan dengan lakon politik. Sebetulnya, politik merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi karena berkuasanya politik, justru kebudayaanlah menjadi
bagian dari politik. Buku ini menerapkan pendekatan kajian budaya (cultural
studies). Bab ini sebagai kajian pustaka memiliki kesamaan dengan penulis
dengan pendekatan kajian budaya kritis, yaitu berupa kajian media yang
berguna sebagai bahan referensi politik media massa di Bali. Bab buku ini
merupakan referensi hasil penelitian terhadap sikap masyarakat Bali dalam
kegiatan menonton televisi. Selain itu, juga wacana Bali dari perspektif orang
Bali yang akademisi dan wartawan biasa berkutat dengan teori dan referensi
(Putra, 2008).
31
Buku Eriyanto (2005) Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media
membahas analisis wacana dan penerapannya dalam studi analisis isi media.
Analisis wacana merupakan salah satu alternatif analisis selain analisis isi
kuantitatif yang dominan digunakan. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan
pada pertanyaan ”apa” (what), sedangkan analisis wacana lebih pada melihat
”bagaimana” (how) pesan atau teks komunikasi. Relevansi buku ini adalah
analisis wacana tidak hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga
memahami bagaimana pesan itu disampaikan. Melalui analisis wacana kata,
frasa, kalimat, metafora semacam apa suatu berita disampaikan. Dengan
melihat bagaimana bangun struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana dapat
melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2005: xv).
Buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa sebuah studi
critical discourses analysis (CDA) terhadap berita-berita politik disusun oleh
Ibnu Hamad (2004). Di dalamnya dibahas pengembangan kerangka teori
(theoretical framework) memahami realitas sosial, perilaku surat kabar dalam
meliput partai-partai politik. Objek kajiannya adalah berita-berita tentang
sembilan partai politik, dalam sepuluh koran nasional selama kampanye pemilu
1999.
Kerangka dan strategi riset yang digunakan, yakni analisis wacana kritis
(CDA) dari Fairclough. Konsekuensi penggunaan paradigma kritis adalah
dipertimbangkannya aspek-aspek historis, budaya, dan ekonomi politik yang
memengaruhi masalah sosial (social problem) yang menjadi masalah penelitian
(research question), yakni perilaku media mengonstruksikan partai-partai
politik selama musim pemilu 1999. Di satu sisi, dalam sejarahnya pers pernah
32
terlibat dalam dunia politik praktis, tetapi dewasa ini pers telah menjadi
industri.
Hasil temuan dari penerapan strategi analisis wacana kritis yang bersifat
multivel analysis, yaitu (1) melihat pola penggambaran partai-partai politik oleh
setiap koran pada level teks; (2) menemukan profil singkat setiap koran dan
pandangan para pengelolanya tentang parpol dan situasi politik selama pemilu
1999, yaitu kedua profil surat kabar dan pandangannya memengaruhi proses
konstruksi parpol pada level produksi teks atau discourse practice; dan (3)
penjelasan mengenai kemungkinan faktor luar yang berpengaruh (level
sociocultural practice) terhadap setiap koran dalam melakukan konstruksi yang
relatif berbeda antara satu parpol dan beberapa parpol lainnya. Hasil eksplorasi
terhadap realitas permukaan (virtual reality) yang dimiliki setiap koran dalam
mengonstruksi parpol berupa orientasi ideologi, idealis, politis, ekonomis di
balik pemberitaan parpol-parpol (Hamad, 2004: v-vii).
Persamaan penelitian Hamad dengan penelitian ini, yaitu sama-sama
meneliti media massa dan kekuasaan yang menggunakan sebuah studi CDA
terhadap berita-berita politik. Penelitian media sama-sama memiliki lima aspek
media, yaitu institusi, sistem produksi, kondisi produksi, produk, dan audiens
(Burton, 2011: 22). Perbedaan penelitian Ibnu Hamad dengan penelitian ini
adalah objek penelitian, yaitu media massa cetak atau koran dan media
elektronik televisi. Penelitian ini menggunakan teori yang berbeda, yaitu teori
semiotik terminologi Saussure karena lebih banyak dijumpai dalam literatur
penelitian yang terkait dengan semiotika media dan dilengkapi dengan
pernyataan Peircean (Danesi, 2010: 37). Penggunaan teori semiotik ini
33
bertujuan untuk mengungkap tanda, baik verbal maupun nonverbal, terhadap
tayangan berita media Bali TV dalam kasus Kemoning-Budaga.
Relevansi buku Halim (2013) dengan penelitian penulis sama-sama
dengan paradigma teori kritis yang diharapkan dapat menjadi rujukan kepada
khalayak untuk memahami berita televisi sebagai teks budaya populer yang
diproduksi industri budaya populer. Khalayak makin memahami countent
media sekarang, khususnya pesan dalam program-program berita dari satasiun
televisi, yang dibingkai perspektif ideologi, dipayungi pengaruh ekonomi dan
politik media.
Relevansi buku Wahidin (2012) dengan penelitian penulis adalah
membahas kronologis dan wacana tanding Gubernur Bali dengan Bali Post.
Buku ini memberikan penilaian pemberitaan tidak sesuai dengan
profesionalisme pers dari sudut pandang hukum. Selain itu, pertama membahas
pers berdasarkan filosofisnya, menurut teori pers, dan pemahaman populer pers
yang sukses (Wahidin, 2012: 4).
Relevansi penelitian Dosi (2010) dengan penelitian ini adalah
menguatkan perspektif wacana kritis, wacana media bukanlah satu bagian
(faksitas) yang netral. Di balik berita-berita itu ada kekuasaan modal, politik,
dan ideologi, yang memengaruhi, mengarahkan, dan mencoba membentuk
realitas pikiran pembaca. Proses pembentukan dan pengembangan wacana
dominasi kekuasaan media merupakan proses yang rumit dan banyak faktor
yang berpotensi untuk memengaruhi. Di samping itu, juga terjadi pertarungan
dalam memaknai realitas dalam representasi media. Kekuasaan-kekuasaan di
34
balik media itu, baik politik, ekonomi, ideologi, maupun sosiokultural
mengendalikan isi media.
Relevansi buku hasil penelitian IGP Artha (2009) dengan penelitian ini
adalah sama-sama mengkaji wacana berita dan kekuasaan media. Wacana yang
disiarkan oleh media melalui berita, baik berita surat kabar maupun berita
televisi, masing-masing memiliki representasi dan resepsi yang berbeda. Berita
tersebut hasil konstruksi sesuai dengan kepentingan media itu sendiri.
Terjadinya ketimpangan wacana diakibatkan oleh ketimpangan kepentingan
internal dan eksternal media. Ketimpangan kepentingan wacana melalui berita
tersebut selanjutnya disiarkan kepada khalayak diproduksi, direproduksi, dan
didistribusi sesuai dengan kepentingan ideologi media masing-masing.
Relevansi bab buku Putra (2008) adalah sikap masyarakat Bali terhadap
masalah politik, hukum, dan sosial budaya berkaitan dengan kegiatan menonton
televisi. Reaksi masyarakat Bali terhadap acara-acara televisi tergolong minim.
Hal ini bisa dilihat dari jarangnya masyarakat mengomentari atau menulis surat
pembaca di media massa tentang siaran televisi (Putra, 2008: 147).
Relevansi buku Eriyanto dengan penelitian ini, yaitu yang menjadi pusat
perhatian adalah pembentukan pesan teks. Teori framing, terutama melihat
bagaimana pesan/peristiwa dikonstruksi oleh media sesuai dengan berita media
Bali TV. Apakah hasil konstruksi dalam penelitian ini? Bagaimana jurnalis Bali
TV mengonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak
pembaca/penonton (Eriyanto, 2005: 11). Topik disertasi adalah analisis wacana
liputan Bali TV dalam kasus Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali. Sebuah
konflik antara Bali Post yang ‘memojokkan’ Gubernur Bali Made Mangku
35
Pastika hendak membubarkan desa pakraman di Bali. Eksploitasi wacana
secara subjektif di balik politik penayangan berita merupakan topik disertasi
baru dan memiliki novelty.
Relevansi dengan buku yang ditulis Hamad (2004), yaitu sama-sama
meneliti media massa dan kekuasaan yang menggunakan studi CDA terhadap
berita-berita politik. Studi buku ini tidak hanya menyelami isi teks berita-berita
politik yang menjadi objek kajian, tetapi juga menelusuri perilaku tiap-tiap
media yang mengkonstruksi realitas politik tersebut, baik yang berkaitan
dengan kebijakan internal maupun berkenaan dengan pertimbangan eksternal
mereka (Hamad, 204: 38).
2.2 Konsep
Ada empat konsep yang dijelaskan dalam penelitian dengan judul ”Dari
Konflik Desa ke Layar Kaca: Analisis Wacana Liputan Bali TV dalam Kasus
Kemoning-Budaga”. Keempat konsep yang dimaksud adalah analisis wacana,
berita televisi, konflik Kemoning-Budaga, dan wacana tanding.
2.2.1 Analisis Wacana
Yang dimaksud analisisis wacana adalah kajian terhadap gejala-gejala
yang berkembang di masyarakat. Menurut Eriyanto (2005: 7) analisis wacana
dapat digunakan untuk mengetahui ideologi di balik ungkapan-ungkapan.
Dalam penelitian ini analisis wacana adalah kajian terhadap wacana
pembubaran desa pakraman di Bali TV.
36
Analisis wacana menfokuskan pada struktur yang secara alamiah
terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana, seperti
percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan. Karena bahasa
merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek dan lewat bahasa
ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis
wacana (Eriyanto, 2005: 2-3).
Analisis wacana merupakan istilah umum yang dipakai dalam banyak
disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari
berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan
studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2005: 4). Wacana dapat
dideteksi dari suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam
suatu konteks tertentu dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu
(Eryanto, 2005: 65).
Analisis wacana juga bertujuan untuk membongkar kuasa yang ada
dalam setiap proses bahasa, yaitu batasan-batasan apa yang diperkenankan
menjadi wacana, perspektif apa yang mesti dipakai, dan topik apa yang
dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini wacana melihat bahasa selalu
terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek dan
berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat (Eriyanto, 2005:
6).
Dalam analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA), wacana
tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana
memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa
dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik
37
tradisional. Bahasa dianalisis tidak hanya dengan menggambarkan dari aspek
kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti
bahwa bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di
dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2005: 7).
Keterlibatan bahasa dalam hubungan kekuasaan media seperti liputan
Bali TV, terutama berita-berita yang ditayangkan yang mengemukakan
pernyataan-pernyataan dan memiliki maksud-maksud tertentu. Analisis wacana
dapat membongkar makna-makna yang tersembunyi yang terdapat dalam
liputan Bali TV melalui setiap proses bahasa yang dipakai untuk tujuan tertentu,
termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
Wacana dalam konteks penelitian ini diproduksi dan direproduksinya
wacana pembubaran desa pakraman dalam program berita Seputar Bali, Bali
TV secara berkelanjutan yang memiliki kepetingan politik, kekuasaan dan
ideologi media. Kepentingan wacana kekuasaan media diindikasikan bertujuan
untuk mendelegitimasi Gubernur Bali dengan masyarakatnya.
2.2.2 Berita Televisi
Yang dimaksud dengan berita televisi adalah genre teks yang bersifat
faktual dan aktual. Walaupun bersifat faktual menurut (Burton, 2008: 112)
genre ini akan tampak lebih fiktif ketika diselidiki secara cermat. Berita media
Bali TV memiliki kekuatan lebih pada bahasa visual dan dapat direproduksi
sesuai dengan kepentingan media tersebut. Berita TV merupakan hasil setting
dan framing sebuah peristiwa tentang apa yang ingin disampaikan oleh
produser.
38
Selain itu, apa yang tidak ingin disampaikan akan diedit sesuai dengan
kepentingan sosial, politik, dan ideologi TV tersebut. Proses seperti framing ini
memberikan peluang masuknya kepentingan subjektif dalam produksi berita
televisi.
Michael V. Charley lain lagi mendefinisikan berita secara berbeda.
Menurut Michael, ”News, is the timely report of facts or opinion that hold
interest or importance, or both, for a considerable number op people” “Berita
adalah laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting
atau keduanya bagi sejumlah besar orang” (Kusumaningrat, 2009: 39). Edward
Jay Friedlander dkk. dalam bukunya Excellen in Reporting (Kusumaningrat,
2009: 39), menyatakan seperti di bawah ini.
”News is what you should know that you don’t know. News is what hashappened recently that is important to you in your daily life. News iswhat fascinates you, what exites you enough to say to a friend, ‘Hey, didyou hear about….? News is what local, national, and internationalshakers and movers are doing to affect your life. News is the unexpectedevent that, fortunately, did happened”
”Berita adalah apa yang harus Anda ketahui, yang tidak Anda ketahui.Berita adalah apa yang terjadi belakangan ini yang penting bagi Andadalam kehidupan anda sehari-hari. Berita adalah apa yang menarik bagiAnda, apa yang cukup menggairahkan Anda untuk mengatakan kepadaseorang teman, ‘hey, apakah kamu sudah mendengar….? Berita adalahapa yang dilakukan oleh pengguncang dan penggerak tingkat lokal,nasional, dan internasional untuk memengaruhi kehidupan Anda. Beritaadalah kejadian yang tidak disangka-sangka yang untungnya atausayangnya telah terjadi”
Definisi berita tersebut dapat disederhanakan sehingga dapat diperoleh
sebuah definisi yang mudah dipahami, yaitu berita adalah informasi aktual
tentang fakta-fakta dan opini di dalam siaran televisi yang menarik perhatian
banyak orang. Berita televisi merupakan hasil liputan reporter televisi yang
39
diedit, disiarkan, dan diulang-ulang sebagai sebuah wacana dan ideologi. Berita
media televisi memiliki perbedaan dengan berita media Koran. Kekuatan berita
televisi terdapat pada narasi teks yang ditulis wartawan dan diedit oleh
redakturnya. Berita media Bali TV memiliki kekuatan lebih pada bahasa visual
dan dapat direproduksi sesuai dengan kepentingan media tersebut. Berita TV
merupakan hasil setting dan framing sebuah peristiwa tentang apa yang ingin
disampaikan oleh produser. Selain itu, apa yang tidak ingin disampaikan akan
diedit sesuai dengan kepentingan sosial, politik, dan ideologi TV tersebut.
2.2.3 Konflik Kemoning-Budaga
Konflik yang meletus pada 17 September 2011 menimbulkan bentrok
fisik sehingga sampai jatuh korban luka-luka dan satu meninggal. Konflik
Kemoning-Budaga inilah mencuatnya wacana tentang pembubaran desa
pakraman yang dikembangkan dalam periode yang cukup panjang oleh Bali
TV dan media massa KMB.
Keesokan harinya 18 September 2011 Gubernur Bali Made Mangku
Pastika turun ke Kabupaten Klungkung. Gubernur melakukan pertemuan
dengan pejabat Pemerintah Kabupaten Klungkung di salah satu ruang tamu
Kantor Bupati Klungkung. Di sinilah ujung terjadinya perselisihan yang
kemudian harus diselesaikan berdasarkan pengadilan perdata (Wahidin, 2012:
134). Di kantor Bupati Klungkung tersebut berlangsung pembicaraan antara
Gubernur Bali dan pejabat Kabupaten Klungkung beserta beberapa undangan.
Liputan wartawan Bali Post secara kritis dengan judul pemberitaan Bubarkan
Desa Pakraman akibat bentrok desa pakraman Kemoning-Budaga di
40
Kabupaten Klungkung Bali terbit keesokan harinya yaitu, pada 19 September
2011.
Menurut Made Mangku Pastika selaku Gubernur Bali, dalam acara
kunjungan sama sekali tidak pernah dibicarakan atau dilontarkan pemikiran
tentang pembubaran Desa Pakraman. Pembubaran tersebut tidak mungkin
dilakukan karena kultur yang begitu kuat atas terbentuknya desa pakraman.
Gubernur tahu pasti bahwa dirinya tidak mempunyai kewenangan untuk itu
(Wahidin, 2012: 135). Di pihak lain Bali Post dengan kritis memilih angle
pembubaran desa pakraman sebagai head line dengan sumber Wakil Bupati
Klungkung Tjok Gede Agung.
Pascakonflik Kemoning-Budaga berlangsung pertemuan antara
Gubernur Bali dan pejabat Kabupaten Klungkung beserta undangan. Gubernur
melakukan klarifikasi tentang berbagai hal terkait dengan terjadinya konflik.
Beberapa pokok pikiran hasil pertemuan tersebut pada intinya dapat dijadikan
pemulihan kententeraman di masa yang akan datang, khususnya bentrok tidak
terulang kembali dan diambil hikmahnya untuk perbaikan pada masa yang
akan datang. Perdamaian itu dituangkan dalam kesepakatan bersama yang
ditandatangani di hadapan Wakil Bupati Klungkung Tjokorda Gede Agung di
Semarapura.1
2.2.4 Wacana Tanding
Wacana tanding adalah wacana yang dikeluarkan untuk melawan
1 Warga Kemoning-Budaga Berdamai http://bali.antaranews.com/berita/ 26488/warga-kemoning-budaga-berdamai, Selasa, 14 Agustus 2012 20:24 WIB
41
wacana yang ada. Dalam penelitian ini wacana tanding adalah wacana yang
diluncurkan oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk melawan wacana
pembubaran desa pakraman yang diluncurkan oleh KMB termasuk Bali TV.
Diskursus atau wacana yang sentral dalam kajian budaya dan media
sekarang diperkenalkan oleh Michel Foucault. Wacana adalah power atau
kekuasaan di balik pernyataan-pernyataan melalui teks. Paham ini memercayai
bahwa relasi kekuasaan dalam masyarakat memengaruhi dan membentuk cara-
cara bagaimana kita saling berkomunikasi dan bagaimana pengetahuan
diciptakan. Wacana dipercayai sebagai peranti-peranti yang digunakan
lembaga-lembaga untuk mempraktikkan kuasa-kuasa mereka melalui proses-
proses pendefinisian, pengisolasian, pembenaran wacana yang disampaikan.
Wacana menentukan mana yang bisa dikatakan, mana yang tidak
terhadap suatu bidang tertentu, bagaimana disampaikan, dan kapan disampaikan
pada kurun waktu tertentu pada masyarakat. Michel Foucault menyatakan
bahwa setiap wacana sosial berisi satu atau lebih (kecil atau besar) yang
menghasilkan politik klaim kebenaran. Foucault juga berpendapat bahwa setiap
wacana bertemu dengan wacana tanding yang menantang legitimasi wacana
asli. Proyek utama dari kontra-wacana adalah untuk menumbangkan wacana
dominan. Kekuatan dominan wacana terletak pada kode yang mengatur
pemahaman tentang dunia sosial. Kekuatan wacana dominan terletak pada kode
yang mengatur pemahaman tentang dunia sosial. Counter wacana berusaha
untuk mendeteksi dan memetakan protokol naturalisasi tersebut. Dsamping itu,
juga untuk proyek subversi mereka, yang dipertaruhkan dalam perjuangan
diskursif ini merupakan paradigma representasi sosial (Terdiman, 1989: 149).
42
Made Mangku Pastika melakukan wacana tanding terhadap pemberitaan
liputan Bali TV dengan setting dan framing yang berbeda untuk menjawab
wacana dari media tersebut. Hal ini dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan
tokoh-tokoh masyarakat di seluruh Bali, seminar di Universitas Udayana,
Universitas Warmadewa, penerbitan buku, dan pemberitaan wacana tanding
pada media lain di luar Kelompok Media Bali Post.
Wacana tanding atas liputan Berita Bali TV juga dilakukan Made
Mangku Pastika dengan pemberitaan metrobali.com berjudul ”Buntut Pemuatan
Berita Bohong Gubernur somasi Bali Post”.2 Pemberitaan di Radar Bali, Nusa,
dan Fajar Bali secara keseluruhan merupakan jawaban atau wacana tanding
Gubernur Bali terhadap pemberitaan di Bali Post. Wacana tanding pada televisi
Gubernur Bali banyak diliput dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan
opininya di siaran Dewata TV dan TVRI Bali. Sebaliknya, dalam setting
pemberitaan Bali Post dan Bali TV Gubernur tidak diberikan ruang atau tidak
ada yang dimuat untuk menyampaikan klarifikasinya terkait dengan isu-isu
yang dikembangkan.
2.3 Landasan Teori
Ada beberapa teori yang digunakan untuk menganalisis wacana berita
media Bali TV dalam kasus Kemoning-Budaga. Tujuannya agar permasalahan
yang telah dirumuskan dapat dijawab sesuai dengan kenyataan dan temuan di
2 Lihat Buntut Pemuatan Berita Bohong, Gubernur SomasiBali Post,http://metrobali.com/2011/09/23/buntut-pemuatan-berita-bohong-Gubernur-somasi-bali-post/, diakses 21 Juni 2013.
43
lapangan yang dapat dibuktikan dengan teori-teori. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi teori wacana, agenda setting, framing, dan
semiotika yang bersifat eklektik.
2.3.1 Teori Wacana
Teori wacana adalah suatu upaya untuk pengungkapan maksud
tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan untuk
membongkar maksud dan makna tertentu (Foucault, 2002: 228). Dalam
penelitian ini teori wacana dipergunakan untuk mengungkapkan maksud dan
makna pembentukan wacana pembubaran desa pakraman dalam berita Bali TV
pascabentrok Kemoning-Budaga Klungkung Bali oleh Bali TV dan KMB.
Menurut Michel Foucault, wacana atau diskursus dipahami sebagai penjelasan,
pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan,
dan sistem abstrak pemikiran yang menurutnya semuanya itu tidak terlepas dari
relasi kekuasaan melalui mekanisme-mekanisme selektif yang negatif
(Foucault, 2002: 228). Lebih lanjut dikatakan bahwa berwacana berarti
berbicara tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan
pernyataan-pernyataan yang bermakna pada satu historis tertentu.
Wacana juga berarti sebuah mekanisme pengaturan yang bekerja rapi,
yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Wacana merupakan
sebuah undang-undang sosial yang menetapkan aturan tentang cara-cara yang
dapat diterima dalam memperbincangkan, mendefinisikan, menulis, dan
bertindak seputar topik tertentu. Jadi, wacana adalah sebuah narasi di mana
modus perbincangan, pendefinisian, penulisan, dan praktik di luar wilayah
44
cakupan wacana dominan dimaknai sebagai tindakan tanpa makna.
Wacana dan kekuasaan datang dari orang-orang yang memiliki
kekuasaan dan orang yang memiliki pengetahuan atau pemikiran kreatif.
Kekuasaan dan pengetahuan merupakan dua sisi yang menyangkut proses yang
sama. Kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan khususnya ilmu
pengetahuan menyediakan kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan dan
pengetahuan kerap membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan antara
kelompok orang yang menyangkut diri mereka dan mengaturnya. Kekuasaan
tidak mengacu kepada suatu sistem umum dominan oleh suatu kelompok
terhadap kelompok lain, tetapi terdapat beragam hubungan kekuasaan. Jadi,
kekuasaan tersebut tersebar; ada dimana-mana, bukannya kekuasaan mencakup
semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana.
Pemikiran Foucault berbeda dengan pemikiran Marx yang melihat dan
memahami kekuasaan hanya pada negara. Kekuasaan tidak harus berasal dari
suatu yang nyata seperti wacana media yang bentuknya bermacam-macam dan
dapat diintegrasikan dalam strategi-strategi global (Foucault, 2002: 176).
Wacana merupakan kekuasaan yang tidak tampak kasat mata, tetapi memiliki
pengaruh dan dampak yang luas terhadap kehidupan manusia. Danpak global
wacana media sekarang ini berpengaruh jelas terhadap kehidupan sosial yang
semakin cepat dan kompleks.
Wacana berperan dalam mengontrol, menormalkan, dan mendisiplinkan
individu. Wacana juga merupakan suatu upaya pengungkapan maksud
tersembunyi dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan
di antaranya dengan menempatkan diri pada posisi pembicara dengan
45
penafsiran mengikuti struktur makna. Pandangan kritis atau paradigma kritis
analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata
bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis
wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna (Eriyanto, 2005: 6).
Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana juga disebut analisis
wacana kritis (critical discourse analysis/CDA). CDA wacana di sini tidak
dipahami semata sebagai studi bahasa, tetapi bahasa dianalisis dalam hubungan
dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2005: 7).
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni
bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam
masyarakat. Berdasarkan pendapat Fairclough dan Wodak, dapat dipahami
bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok
sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing
A.van Dijk, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto, 2005: 7).
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan
pemahaman bahwa wacana merupakan bentuk interaksi di masyarakat, wacana
bukan suatu hal dalam ruang tertutup dan internal. Wacana merupakan hal
yang terbuka (dapat dilakukan oleh setiap orang) dan eksternal. Seseorang
berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan
berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain.
Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi
bagaimana wacana harus dipandang. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang
46
memiliki tujuan untuk memengaruhi, mendebat, mengkritik, membujuk,
menyanggah, bereaksi, beropini, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau
menulis mempunyai maksud dan tujuan tertentu, baik secara transparan
maupun secara tersembunyi. Wacana juga dipahami sebagai sesuatu yang
diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau
diekspresikan di luar kesadaran.
Wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar,
situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi,
dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook
(1994), analisis wacana juga memeriksa konteks komunikasi, yaitu siapa yang
mengkomunikasikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan
komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Titik tolak
analisis wacana di sini, yaitu bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme
internal linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang
tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Guy Cook
menyebut ada tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan
wacana.
Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,
musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Wacana di sini kemudian
dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian analisis
wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam
suatu proses komunikasi. Di sini tidak hanya dibutuhkan proses kognisi dalam
47
arti umum, tetapi juga gambaran spesifik budaya yang dibawa. Ada beberapa
konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama,
partisipan wacana, yaitu siapa yang memproduksi wacana, jenis kelamin, umur,
pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam
menggambarkan wacana (Eriyanto, 2005: 9-10).
Historis menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu. Hal itu
berarti bahwa wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat
dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek
penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu
dalam konteks historis tertentu. Pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan
untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti
itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Kekuasaan analisis wacana juga mempertimbangkan elemen
kekuasaan (power) dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul dalam
bentuk teks, percakapan, atau apa pun tidak dipandang sebagai sesuatu yang
alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarunan kekuasaan.
Konsep kekuasaan merupakan salah satu kunci hubungan antara wacana dan
masyarakat.
Ideologi juga merupakan konsep sentral dalam analisis wacana yang
bersifat kritis. Hal ini terjadi karena teks, percakapan, dan lainnya merupakan
bentuk praktik ideologi atau pencerminan ideologi tertentu. Wacana dalam
pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium kelompok dominan
mempersuasi dan mekomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan
dominasi yang dimiliki tampak absah dan benar. Menurut van Dijk fenomena
48
ini disebut sebagai ”kesadaran palsu”, yaitu bagaimana kelompok dominan
memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui
kampanye disinformasi dan kontrol media. Kelompok dominan dalam hal ini
media leluasa memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan
(masyarakat). Melalui kekuasaan kapital yang dimiliki media men-setting dan
men-framing isu-isu yang dikembangkan untuk mencapai kepentingan politik.
2.3.2 Teori Agenda Setting
Teori agenda setting adalah teori yang melihat proses kerja pers yang
lebih penting daripada sekadar penyedia informasi dan opini. Media massa
merupakan pusat penentuan kebenaran, dalam bentuk agenda tersendiri, untuk
mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik
dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang
dianggap penting oleh media massa (Tamburaka 2012). Dalam penelitian ini
teori agenda setting dipergunakan untuk menganalisis isu wacana pembubaran
desa pakraman yang dijadikan pusat perhatian oleh Bali TV dan KMB.
Buku Agenda Setting Media Massa karya Apriadi Tamburaka (2012)
banyak mengulas fenomena perilaku media massa dalam Agenda Setting
Theory, yakni apa agenda saat ini yang akan ditampilkan kepada publik melalui
penonjolan isu-isu tertentu. Agar dapat menonjol, maka isu-isu tersebut
dikemas dan dibingkai untuk menarik sisi manusiawi dan atau menimbulkan
empati publik yang pada akhirnya akan mendorong pembentukan opini publik.
Pandangan dan opini tentang banyak hal dalam dunia ini dikonstruksi oleh
media melalui pemberitaan media massa. Media massa melakukan upaya
49
kontrol dalam realitas sosial. Media massa mengonstruksi dan mengarahkan
dunia pikir kita sering kali ”tanpa kita sadari” kita telah berada dalam realitas
yang diciptakan media (Tamburaka, 2012: ix).
Dua asumsi dasar yang paling kuat mendasari teori agenda setting
adalah (1) media massa tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan
membentuk isu dan (2) kosentrasi media massa hanya pada beberapa masalah
masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-
isu lain.
Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda
setting adalah fenomena komunikasi massa. Berbagai media massa memiliki
penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi pemodal
(Tamburaka, 2012: 23). Agenda setting merupakan pemikiran yang menyatakan
bahwa media tidak mengatakan apa-apa yang dipikirkan orang, tetapi
mengatakan apa yang harus dipikirkan. Setting pemberitaan Bali TV berkaitan
dengan wacana pembubaran desa pakraman yang seolah-olah merupakan
pernyataan Gubernur Made Mangku Pastika dikonstruksi oleh redaktur dalam
rangka menciptakan opini di masyarakat walaupun menurut Bali Post, setting
pemberitaannya berdasarkan sumber yang kredibel.
Lebih lanjut agenda setting adalah pemikiran yang menyatakan bahwa
media tidak mengatakan apa-apa yang dipikirkan orang, tetapi menyatakan apa
yang harus dipikirkan. Media massa dan orang-orang yang bergerak di
dalamnya bekerja melayani kebutuhan tentang informasi kepada khalayak
(audiens) memiliki tujuan-tujuan tertentu yang akan memberikan manfaat
kepada kedua belah pihak. Demikian pula khalayak yang membaca surat kabar,
50
mendengar radio, menonton televisi, atau browsing di internet memiliki tujuan-
tujuan tertentu pula, misalkan ingin mendapatkan informasi.
Weber (Taburaka 2012) menganjurkan agar mempelajari tindakan sosial
melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau dalam
istilah Weber sendiri, yaitu verstehen. Meskipun begitu, cukup sulit untuk
melakukan proses verstehen karena bilamana ingin mengetahui perilaku
(behaviour) saja, Weber tidak yakin bahwa perbuatan itu mempunyai arti
subjektif dan diarahkan kepada orang lain. Misalnya, salah satu media massa
memuat suatu isu menjadi berita terus-menerus tentu memiliki tujuan, tetapi
untuk memahaminya diperlukan proses yang disebut verstehen.
Dalam hal ini Weber menyarankan dua cara, yaitu (1) dengan melalui
kesungguhan (2) mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor.
Untuk menyelami pemikiran di balik tindakan subjektif seseorang kita dapat
dilakukan dengan cara tersebut (Tamburaka, 2012). Pemberitaan Bali TV yang
kritis memuat berita tentang Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, secara
berkelanjutan tentu memiliki agenda, tujuan, dan dianalisis dengan teori agenda
setting.
Meskipun tidak secara spesifik menggunakan istilah agenda setting,
Bernard Cohen (1963) sering kali dipuji karena kembali mendefinisikan ide
Lipman ke dalam teori agenda setting. ”Pers lebih penting daripada sekadar
penyedia informasi dan opini” (Tamburaka, 2012: 21) Cohen menyatakan
”Barangkali mereka tidak terlalu sukses dalam menyuruh apa yang dipikirkan
seseorang, tetapi mereka biasanya sukses menyuruh orang mengenai apa yang
seharusnya mereka pikirkan”.
51
Berawal dari hal tersebut dunia terlihat berbeda menurut orang yang
berbeda pula. Hal itu bergantung bukan hanya pada minat mereka pribadi,
melainkan juga peta yang diberikan kepada mereka oleh penulis, editor, dan
penerbit surat kabar yang dibaca. Dalam hal ini sulit mengabaikan bias dari
efek terbatas media massa kepada opini publik. Tulisan Cohen telah menjadi
dasar dari apa yang disebut teori agenda setting media massa.
Agenda setting pada awalnya digunakan untuk meneliti hubungan antara
pengaruh media terhadap persepsi publik AS pada saat kampanye pemilihan
presiden. Setidaknya bahwa agenda setting sudah dapat dibuktikan secara
ilmiah melalui penelitian terdahulu bahwa telah ada hubungan yang kuat antara
pengaruh media terhadap pembentukan opini publik atau media sudah dapat
membentuk apa yang harus dipikirkan oleh orang-orang. Keraguan itu
berdasarkan pemahaman bahwa agenda setting melihat dalam perspektif efek
terbatas, khalayak dilihat sebagai massa yang tidak memiliki sejumlah pilihan
alternatif lain yang dikendalikan oleh pembentuk opini.
Ketika sejumlah media berkembang pada abad ke-20 beragam jenis
media televisi, radio, dan surat kabar, bahkan internet memberikan banyak
alternatif bagi khalayak untuk memilih saluran. Bahkan, media pada umumnya
lebih banyak berpihak kepada publik karena khalayak dianggap sebagai ”raja”
yang harus diberikan pelayanan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, banyak pula
acara interaktif yang menempatkan publik sebagai orang yang dilayani. Terkait
dengan itu, muncul pertanyaan sejauhmana kekuatan media mampu
memengaruhi publik. Bagaimana media dapat memengaruhi dan mengarahkan
opini publik pada suatu pemberitaan.
52
2.3.3 Teori Framing
Teori framing adalah bagaimana peristiwa disajikan oleh media dengan
membingkai mana yang dianggap dan perlu ditonjolkan sesuai dengan
kepentingan dan kemauan media. Untuk mengetahui realitas (peristiwa, aktor,
kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media (Mulyana, 2002: 3). Menurut
Gitlin, frame adalah bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. Dalam
penelitian ini teori framing dipergunakan untuk menganalisis framing peristiwa
yang dijadikan berita dalam wacana pembubaran desa pakraman yang disajikan
dalam praktik jurnalistik Bali TV dan KMB.
Teori framing dalam buku berjudul Analisis Framing, Konstruksi,
Ideologi, dan Politik Media karya Eriyanto (2005) banyak mengulas metode
analisis isi media. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma
konstruksionis, yaitu bagaimana media dan berita dilihat. Analisis framing
sebagai suatu metode analisis teks banyak mendapat pengaruh dari teori
sosiologi dan psikologi. Teori sosiologi terutama sumbangan pemikiran Peter
Berger dan Erving Goffman, sedangkan teori psikologi terutama yang
berhubungan dengan skema dan kognisi.
Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini
realitas dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami
dengan bentukan tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau
wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya
merupakan bagian dari teknis jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana
peristiwa dimaknai dan ditampilkan. Bagaimana media memahami dan
memaknai realitas, dan dengan cara apa realitas itu ditandakan, hal inilah yang
53
menjadi pusat perhatian analisis framing. Praktisnya, ia digunakan untuk
melihat bagaimana aspek tertentu ditonjolkan atau ditekankan oleh media.
Pandangan ini ditentukan oleh media, lebih khusus oleh frame, yaitu
bagaimana peristiwa dilihat, selanjutnya ditampilkan, ditonjolkan oleh media
tentang peristiwa, aktor, kelompok tertentu (Mulyana, 2002: 5). Dengan frame
tertentu sebuah wawancara dengan narasumber akan ditonjolkan pernyataan-
pernyataan yang mendukung setting pemberitaan yang dikehendaki oleh media
massa tersebut. Wawancara yang tidak mendukung opini yang dimaksud akan
disimpan, bahkan dibuang. Frame media tergantung kepada ideologi dan
kepentingan politik yang dianutnya.
Analisis framing terdiri atas paradigma positivis (ada fakta tertentu yang
”riil” diatur oleh kaidah tertentu yang berlaku universal) dan konstruksionis.
Terdapat media massa yang menganut framing yang mengandung kaidah-
kaidah kebenaran universal (kebenaran riil) sesuai dengan peristiwa yang
terjadi. Sebaliknya, analisis framing termasuk ke dalam paradigma
konstruksionis (fakta merupakan konstruksi atas realitas, kebenaran suatu fakta
bersifat relatif berlaku sesuai dengan konteks tertentu).
Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap
media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme
diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger. Bagi Berger, realitas
tidak dibentuk secara alamiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan
tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini realitas
berwajah ganda/plural (Mulyana, 2002: 20).
Media merupakan agen konstruksi. Pandangan konstruksionis
54
mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan dengan positivis dalam menilai
media. Dalam pandangan positivis media murni dilihat sebagai saluran.
Menurut pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah
sekadar saluran yang bebas, melainkan juga subjek yang mengonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media
dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas
(Mulyana, 2002: 23).
Peristiwa yang sama dapat dikonstruksi secara berbeda dengan
menggunakan frame yang berbeda. Hal ini terjadi ketika peristiwa dilihat
dengan cara berbeda oleh media. Perbedaan cara pandang media membuat
framing yang berbeda pula. Hal ini menunjukkan bahwa media melakukan
pendekatan yang berbeda untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan
dikonstruksinya. Hasil akhir proses pembentukan dan pengonstruksian realitas
adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih
mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek
tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak
disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan menjadi terlupakan dan
sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak.
Teori framing analisis wacana berita media Bali TV kasus Kemoning-
Budaga menggunakan model Todd Gitlin, yaitu ”Strategi pembentukan
realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan
kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan
agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak penonton dan presentasi
aspek tertentu dari realitas”.
55
Terdapat dua aspek framing, yaitu memilih fakta realitas dan
menuliskan fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Perbedaan teori
agenda setting dan teori framing adalah teori agenda setting digunakan sebelum
peliputan sedangkan teori framing digunakan setelah peliputan. Persamaannya
kedua teori ini dipergunakan dalam satu rangkaian proses dari perencanaan
sampai dengan berita tersebut sampai ke audiens. Hal ini menyebabkan teori ini
tidak dipilih salah satu, tetapi digunakan untuk saling mendukung. Teori ini
diterapkan untuk membaca frame bahasa teks dan visual yang berkaitan dengan
setting pemberitaan pembubaran desa pakraman oleh Bali TV.
2.3.4 Teori Semiotika
Teori semiotika adalah teori tentang tanda yang digunakan untuk
mengkaji segala aspek dan pemaknaan tanda dalam kehidupan manusia (Hoed,
2011: 3). Artinya, apa yang hadir dalam kehidupan dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus diberi makna. Di samping itu teori semiotika adalah ilmu
untuk mempelajari segala sesuatu yang digunakan dalam komunikasi, seperti
kata, gambar, tanda lalu lintas, bunga, musik, gejala, atau tanda berkenaan
dengan ilmu kedokteran, dan banyak lagi yang lainnya (Chandler, 2007: 31).
Dalam penelitian ini teori semiotika digunakan untuk menafsirkan
makna-makna teks, ekspresi dan visual dalam wacana pembubaran desa pakraman.
Ilmu semiotik adalah seperti jalan tanda komunikasi dan aturan yang
menentukan kepunyaan yang digunakan. Ini merupakan aturan dalam studi
kebudayaan, semiotik persembahan secara radikal melanggar kritik tradisional.
Lebih lanjut dikatakan bahwa petanda terletak pada tingkatan ungkapan
56
(level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik,
seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda
terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang
diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur
melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal
(benda) yang lain, ini disebut referent. Misalnya, lampu merah mengacu pada
jalan berhenti, wajah cerah mengacu pada kebahagiaan, air mata mengacu pada
kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam
benak orang yang melihatnya atau mendengarnya akan timbul pengertian
(Tinarbuko, 2010: 13).
Menurut Peirce, tanda (representament) adalah sesuatu yang dapat
mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Tinarbuko, 2010: 13).
Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain oleh Peirce disebut objek
(denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat
berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Jadi, interpretant adalah pemahaman makna yang muncul dalam
diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila
dapat ditangkap dan dipahami terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang
sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang
dikemukakan Peirce terkenal dengan nama segitiga semiotik.
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam hubungan dengan acuannya tanda
dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda yang antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan
biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan
57
kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut
metomini. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar
tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan.
Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi.
Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, dan simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent), dan konsep (interpretant atau reference). Bentuk
biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan
menimbulkan interpretant. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi
dalam memahami pesan dalam iklan atau berita. Bagi Barthes, faktor penting
dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan
pertama merupakan tanda konotasi.
Jika teori itu dikaitkan dengan berita Bali TV, maka setiap pesan berita
merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan
makna). Lewat unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan
makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat berikutnya.
Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified,
yaitu makna pesan dapat dipahami secara utuh (Tinarbuko, 2010: 15).
Mengingat berita Bali TV mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal
dan visual serta merujuk bahwa teks berita dan penyajian visualnya juga
mengandung ikon, maka pendekatan semiotik terhadap berita Bali TV layak
diterapkan. Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada Ferdinand de Saussure.
58
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini dapat digambarkan ke dalam model penelitian (Gambar
2.4) sebagai berikut.
Model PenelitianKeterangan :
: menyebabkan/menentukan: pengaruh timbal balik
: konflikDP : desa pakraman
DARI KONFLIK DESA KE LAYAR KACA:ANALISIS WACANA LIPUTAN BALI TVDALAM KASUS KEMONING-BUDAGA,
KLUNGKUNG, BALI
ProsesPembentukan Wacana
Pembubaran DP
FaktorFaktor Pendukung
WacanaPembubaran DP
Gubernur Bali BP + Bali TV
Wacana TandingGubernur Bali Thd
Pembubaran DP
Kemoning X Budaga
Wacana Tanding Lip. Bali TV
Simpulan
Saran
Teori-Wacana-Agenda Setting-Framing-Semiotika
Konsep-AnalisisWacana
-Berita TV-KonflikKemoning-Budaga
59
Desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan berkembang
sepanjang sejarah selama berabad-abad memiliki budaya untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Selain itu, desa pakraman juga rentan terhadap konflik yang
dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya pemekaran, tapal batas, sosial politik,
dan ekonomi. Berbagai kasus bentrok yang terjadi akibat pemekaran desa
pakraman atau perebutan pura Dalem tersebut, misalnya konflik Kemoning-
Budaga di Kabupaten Klungkung, Bali. Kasus konflik tersebut diliput, diedit,
diproduksi, didistribusi, direproduksi oleh media massa Bali Post dengan siaran
berita ‘Seputar Bali’ di Bali TV. Siaran berita televisi memiliki pengaruh yang
dominan dibandingkan dengan media cetak, sebagai tempat pertarungan politik
wacana kekuasaan ekonomi dan ideologi.
Berita Bali TV yang kritis dan kredibel berkenaan dengan berita
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, diawali dengan pemberitaan Bubarkan
Desa Pakraman pascabentrok Desa Kemoning-Budaga di Kabupaten
Klungkung Bali. Pihak Made Mangku Pastika selaku Gubernur Bali
menyatakan bahwa pemberitaan tersebut merupakan berita bohong.
Sehubungan dengan itu, Gubernur Bali melakukan wacana tanding melalui
sosialisasi langsung dengan tokoh masyarakat seluruh Bali, media massa, dan
media sosial online Youtube. Pihak Bali Post menyatakan bahwa berita kritis
tersebut benar dengan saksi Wakil Bupati Klungkung dan menyerahkan kasus
tersebut ke Dewan Pers. Pihak Made Mangku Pastika menyomasi Bali Post,
bahkan sampai pada tuntutan hukum perdata di sidang Pengadilan Negeri
Denpasar, Pengadilan Tinggi Denpasar, dan kasasi di tingkat Mahkamah Agung
(MA) RI di Jakarta yang dimenangkan oleh Bali Post.
60
Pertarungan wacana, saling memengaruhi audiens berdasarkan konsep
analisis wacana, berita TV. Konflik Kemoning-Budaga dianalisis dengan teori
wacana, agenda setting, framing, dan semiotika melalui produksi wacana, selera
konsumen yang terdistribusi melalui proses, faktor dengan tanda yang
disampaikan dan ideologi yang dipertarungkan.
Akhirnya, diadakan penelitian untuk mengungkap proses, faktor-faktor,
dan wacana tanding Gubernur Made Mangku Pastika. Hasil analisis
menunjukkan bahwa wacana liputan tentang kasus bentrok Kemoning-Budaga
di Bali TV merupakan perpanjangan dari wacana media cetak Bali Post atau
KMB yang dikelola dengan agenda setting, framing yang jelas untuk
kepentingan sosial, politik, dan ideologi Ajeg Bali KMB. Pada saat yang sama
Gubernur Made Mangku Pastika juga melakukan wacana tanding dengan
memanfaatkan lembaga kehumasan Pemprov Bali dan media di luar KMB
seperti TVRI Bali dan Radar Bali. Masyarakat sebagai khalayak konsumen
dalam menanggapi berita agar bersikap kritis terhadap produk berita
menyangkut bahasa teks, visual, dan makna kekuasaan politik, di samping
ekonomi dan ideologi yang terkandung di dalamnya.