bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … 2.pdfpenelitian pada relasi media massa dan...

36
25 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian yang relevan untuk kajian pustaka adalah buku Halim (2013), Wahidin (2012), Dosi (2010), Artha (2009), Putra (2008), Eriyanto (2005), dan Hamad (2004), yang membahas wacana media massa baik media cetak maupun media televisi, khususnya berita televisi. Di antara penelitian ini terdapat fokus penelitian pada relasi media massa dan kekuasaan, teks televisi sebagai wacana industri budaya populer. Ditemukan beberapa studi walaupun bukan disertasi atau teks yang berkaitan dengan kajian media kritis televisi nasional ataupun televisi lokal dengan analisis wacana berita televisi dengan kepentingan sosial, politik, dan ideologi dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah baru (novelty). Buku Postkomodifikasi Media, Analisis Media Televisi dengan Kritis dan Cultural Studies (2013) oleh Syaiful Halim merupakan karya yang membahas media televisi sebagai medan wacana. Sebelum itu, juga menjadi ajang perayaan ekstasi komunikasi pada Liputan 6 SCTV sepanjang Juni 2010 seraya mengorbankan objektivitasnya. Ketika berita-berita bernuansa infotainment berpindah ke ruang redaksi dan mengubah pertarungan ideologi di ruang redaksi. Buku ini merupakan penelitian dengan maksud menggambarkan hasil agenda setting dan dimensi lain soal teks televisi sebagai wacana industri budaya populer.

Upload: vuongtram

Post on 23-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

25

BAB IIKAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian yang relevan untuk kajian pustaka adalah buku Halim (2013),

Wahidin (2012), Dosi (2010), Artha (2009), Putra (2008), Eriyanto (2005), dan

Hamad (2004), yang membahas wacana media massa baik media cetak maupun

media televisi, khususnya berita televisi. Di antara penelitian ini terdapat fokus

penelitian pada relasi media massa dan kekuasaan, teks televisi sebagai wacana

industri budaya populer. Ditemukan beberapa studi walaupun bukan disertasi

atau teks yang berkaitan dengan kajian media kritis televisi nasional ataupun

televisi lokal dengan analisis wacana berita televisi dengan kepentingan sosial,

politik, dan ideologi dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah baru (novelty).

Buku Postkomodifikasi Media, Analisis Media Televisi dengan Kritis

dan Cultural Studies (2013) oleh Syaiful Halim merupakan karya yang

membahas media televisi sebagai medan wacana. Sebelum itu, juga menjadi

ajang perayaan ekstasi komunikasi pada Liputan 6 SCTV sepanjang Juni 2010

seraya mengorbankan objektivitasnya. Ketika berita-berita bernuansa

infotainment berpindah ke ruang redaksi dan mengubah pertarungan ideologi di

ruang redaksi. Buku ini merupakan penelitian dengan maksud menggambarkan

hasil agenda setting dan dimensi lain soal teks televisi sebagai wacana industri

budaya populer.

26

Hasil penelitian Halim memberikan masukan bagi pihak media dalam

menyusun agenda setting dan menyebarkannya kepada khalayak. Para jurnalis

televisi merupakan individu paling penting dalam menyuntikkan virus literasi

media bukan sebaliknya menjadi ‘penjaja’ ekstasi komunikasi. Hal itu dapat

dimulai dengan menyusun standar jurnalisme televisi yang menunjukkan

keberpihakan kepada pengembangan literasi media (Halim, 2013: 9).

Penelitian Halim (2013) mempunyai persamaan dengan penelitian

penulis. Penelitian itu secara sitematis berbicara tentang kegiatan komodifikasi

teks media televisi saat mengonstruksi sebuah berita. Hal itu yang juga penulis

pergunakan dalam membedah kepentingan ekonomi dan bisnis terhadap angle

berita pembubaran desa pakraman di Bali TV.

Buku Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers, Mengaca

Perkara Made Mangku Pastika vs Bali Post (2012) oleh Wahidin merupakan

karya yang membahas hukum dan pengelolaan pers. Sajian produk informasi

yang disampaikan oleh pers dalam bentuk berita, yang tidak bisa diterima oleh

pihak lain dan diselesaikan berdasarkan hukum. Perbedaan dengan penelitian

penulis hanya membahas wacana dalam dimensi hukum, tidak membahas

wacana sebagai kekuasaan dan ideologi. Karya Wahidin membahas wacana

tanding Gubernur Bali, Made Mangku Pastika yang mengulas persoalannya

dengan Bali Post merupakan referensi penting dalam penelitian ini (Wahidin,

2012: 2).

Karya Wahidin ini membahas karakter pers yang tidak terlepas dari

aspek politik pemanfaatannya sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu

untuk menduduki jabatan politis. Aspek hukum pers, yaitu pers bekerja

27

berdasarkan hukum dan aspek ekonomi pengelolaan manajemen dikelola

berdasarkan prinsip ekonomi. Ketika aspek politik, hukum, dan ekonomi telah

menjadi pedoman dalam pengelolaan pers dalam produk berita tidak akan

menyebabkan konflik di masyarakat. Sebaliknya, apabila dianggap produk

berita tersebut tidak dapat diterima oleh pihak lain atau dianggap merugikan

dalam penyelesaian normatifnya berdasarkan hukum.

Buku Media Massa dalam Jaring Kekuasaan, sebuah studi tentang

relasi kekuasaan di balik wacana oleh Eduardus Dosi (2010) membahas

kekuasaan di balik praktik wacana media. Penelitian ini menggunakan teori

pascastruktural dengan memakai kerangka teoretis Michel Foucault tentang

kekuasaan (power) dan wacana ditunjang dengan pemikiran tentang ekonomi

politik media dan beberapa pemikiran lain.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis dengan

metode kualitatif dan paradigma kritis dalam kerangka analisis wacana Norman

Fairclough. Pada tingkat mikro/teks didukung analisis bingkai (framing

analysis) model William A. Gamson dan Andre Modiglini dilengkapi dengan

Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, Tony Trew. Penelitian ini

meneliti dan memeriksa media massa cetak lokal di Nusa Tenggara Timur

(NTT), yaitu Pos Kupang, Timur Expres, dan Flores Pos dengan kasus

pencalonan legislatif lokal pada pemilu legislatif tahun 2004.

Hasil kajian Dosi menunjukkan bahwa terdapat ideologi politik oligarki,

ideologi keagamaan Katolik, dan ideologi kapitalisme yang berada di balik

wacana dominasi deskriptif dalam kemasan teks berita pencalonan legislatif

tahun 2004 di NTT. Hasil kajian menunjukkan bahwa peristiwa pencalonan

28

anggota legislatif di NTT dalam teks surat kabar dikemas menjadi aneka

pertarungan antarkekuasaan, yakni kekuasaan partriarkis versus perempuan,

serta kekuasaan pemegang otoritas agama versus anggota dan umat, kekuasaan

elite partai versus calon anggota legislatif. Pada level produksi, latar belakang

dan orientasi media memberikan warna pada representasi media. Peranan

dominasi pekerja media dalam merepresentasi wacana dipengaruhi oleh

kekuasaan pasar.

Pada level konsumsi media, publik lebih menggemari hal-hal yang

berhubungan dengan kekerasan, konflik, dan hal-hal yang melawan

penyimpangan kekuasaan. Pada level sosialkultural praktis, media melakukan

refleksi atas praktik politik, ekonomi, dan sosial keagamaan. Temuan kajian ini

secara teoretis menunjukkan bahwa wajah media massa pada umumnya

ditentukan oleh masyarakat yang mengitarinya. Struktur sosial-politik, warna

budaya dominan, dan kekuatan modal memengaruhinya. Mereka yang memiliki

modal sosial, budaya, dan ekonomi yang kuat dapat mendominasi wacana

media massa (Dosi, 2010: 4-5).

Buku berjudul Konspirasi Media dengan Kandidat Pilkada karya I

Gusti Putu Artha (2009) mengkaji wacana pemberitaan proses Pilkada di

Kabupaten Badung, Provinsi Bali di lima koran lokal, yaitu harian Bali Post,

harian DenPost, Nusa, Radar Bali, dan Warta Bali. Buku IGP Artha penting

sebagai kajian pustaka karena merupakan informasi yang disampaikan terkait

dan ada kesamaan berupa kajian media lima koran di Bali mengenai

pertarungan kekuasaan media dan ideologi. Selaim itu, IGP Artha dalam

29

bukunya berharap agar penelitiannya dapat dilanjutkan pada media televisi

sebagai studi kajian media.

Dalam penelitian media dengan paradigma kritis, IGP Artha

menggunakan telaah tiga teori, yaitu (a) teori kognisi sosial Teun A van Dijk,

(b) teori hipersemiotika Saussure, dan (c) teori hegemoni Antonio Gramsci.

Hasil kajian IGP Artha menunjukkan bahwa selama masa kampanye kelima

media cetak memberikan liputan lebih luas kepada pasangan Sumer-Oka

dibandingkan dengan pasangan Agung-Sudikerta dengan perbandingan (66%)–

(34%).

Konstruksi wacana berita surat kabar Pilkada dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal. Faktor internal surat kabar meliputi pemilik modal,

orientasi bisnis, redaksi surat kabar, ideologi dan kesejahteraan surat kabar,

nilai-nilai hukum, ekonomi, dan kognisi sosial wartawan. Faktor eksternal surat

kabar meliputi praktik kekuasaan, akses ke surat kabar, nilai-nilai hukum,

ekonomi, dan sosial budaya. Di antara semua faktor yang disebutkan di atas,

faktor pemilik modal memegang peran paling menentukan atas seluruh

konstruksi wacana yang dibangun surat kabar.

Hasil penelitian IGP Artha mengungkapkan makna wacana berita surat

kabar tentang kampanye Pilkada Badung meliputi hegemoni, konspirasi,

hiperealitas, komodifikasi, kapitalisme, banalitas informasi, makna skizofrenia

media, dan hipermoralitas. Berdasarkan makna-makna di atas, IGP Artha

menyimpulkan bahwa surat kabar melakukan konspirasi dengan kandidat dan

berusaha sekeras-kerasnya menghegemoni publik (Artha, 2009: 120--121).

30

Perbedaan buku hasil penelitian IGP Artha dengan penelitian penulis

adalah objek kajian pada media yang berbeda. Penelitian penulis dengan objek

media televisi, sedangkan penelitian IGP Artha pada objek media cetak.

Persamaan penelitian ini sama-sama mengkaji isi berita, tetapi kajian berita

media televisi lebih menyangkut bahasa verbal dan audio visual yang

memerlukan pembacaan tanda-tanda bukan hanya sekadar teks dalam penelitan

berita media cetak. Media audio visual memiliki bahasa gambar, simbol, dan

ekspresi pembaca berita. Bahasa gambar dan ekspresi inilah yang tidak

terdapat dalam penelitian IGP Artha, yang banyak ditampilkan oleh pembaca

berita dan dikaji dengan teori semiotika.

Bab “Kritiskah Masyarakat Bali Menonton Televisi?” dalam buku

berjudul Bali dalam Kuasa Politik karya I Nyoman Darma Putra (2008)

mengkaji dan mengupas Bali dari peristiwa-peristiwa kebudayaan yang

dikaitkan dengan lakon politik. Sebetulnya, politik merupakan bagian dari

kebudayaan, tetapi karena berkuasanya politik, justru kebudayaanlah menjadi

bagian dari politik. Buku ini menerapkan pendekatan kajian budaya (cultural

studies). Bab ini sebagai kajian pustaka memiliki kesamaan dengan penulis

dengan pendekatan kajian budaya kritis, yaitu berupa kajian media yang

berguna sebagai bahan referensi politik media massa di Bali. Bab buku ini

merupakan referensi hasil penelitian terhadap sikap masyarakat Bali dalam

kegiatan menonton televisi. Selain itu, juga wacana Bali dari perspektif orang

Bali yang akademisi dan wartawan biasa berkutat dengan teori dan referensi

(Putra, 2008).

31

Buku Eriyanto (2005) Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media

membahas analisis wacana dan penerapannya dalam studi analisis isi media.

Analisis wacana merupakan salah satu alternatif analisis selain analisis isi

kuantitatif yang dominan digunakan. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan

pada pertanyaan ”apa” (what), sedangkan analisis wacana lebih pada melihat

”bagaimana” (how) pesan atau teks komunikasi. Relevansi buku ini adalah

analisis wacana tidak hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga

memahami bagaimana pesan itu disampaikan. Melalui analisis wacana kata,

frasa, kalimat, metafora semacam apa suatu berita disampaikan. Dengan

melihat bagaimana bangun struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana dapat

melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2005: xv).

Buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa sebuah studi

critical discourses analysis (CDA) terhadap berita-berita politik disusun oleh

Ibnu Hamad (2004). Di dalamnya dibahas pengembangan kerangka teori

(theoretical framework) memahami realitas sosial, perilaku surat kabar dalam

meliput partai-partai politik. Objek kajiannya adalah berita-berita tentang

sembilan partai politik, dalam sepuluh koran nasional selama kampanye pemilu

1999.

Kerangka dan strategi riset yang digunakan, yakni analisis wacana kritis

(CDA) dari Fairclough. Konsekuensi penggunaan paradigma kritis adalah

dipertimbangkannya aspek-aspek historis, budaya, dan ekonomi politik yang

memengaruhi masalah sosial (social problem) yang menjadi masalah penelitian

(research question), yakni perilaku media mengonstruksikan partai-partai

politik selama musim pemilu 1999. Di satu sisi, dalam sejarahnya pers pernah

32

terlibat dalam dunia politik praktis, tetapi dewasa ini pers telah menjadi

industri.

Hasil temuan dari penerapan strategi analisis wacana kritis yang bersifat

multivel analysis, yaitu (1) melihat pola penggambaran partai-partai politik oleh

setiap koran pada level teks; (2) menemukan profil singkat setiap koran dan

pandangan para pengelolanya tentang parpol dan situasi politik selama pemilu

1999, yaitu kedua profil surat kabar dan pandangannya memengaruhi proses

konstruksi parpol pada level produksi teks atau discourse practice; dan (3)

penjelasan mengenai kemungkinan faktor luar yang berpengaruh (level

sociocultural practice) terhadap setiap koran dalam melakukan konstruksi yang

relatif berbeda antara satu parpol dan beberapa parpol lainnya. Hasil eksplorasi

terhadap realitas permukaan (virtual reality) yang dimiliki setiap koran dalam

mengonstruksi parpol berupa orientasi ideologi, idealis, politis, ekonomis di

balik pemberitaan parpol-parpol (Hamad, 2004: v-vii).

Persamaan penelitian Hamad dengan penelitian ini, yaitu sama-sama

meneliti media massa dan kekuasaan yang menggunakan sebuah studi CDA

terhadap berita-berita politik. Penelitian media sama-sama memiliki lima aspek

media, yaitu institusi, sistem produksi, kondisi produksi, produk, dan audiens

(Burton, 2011: 22). Perbedaan penelitian Ibnu Hamad dengan penelitian ini

adalah objek penelitian, yaitu media massa cetak atau koran dan media

elektronik televisi. Penelitian ini menggunakan teori yang berbeda, yaitu teori

semiotik terminologi Saussure karena lebih banyak dijumpai dalam literatur

penelitian yang terkait dengan semiotika media dan dilengkapi dengan

pernyataan Peircean (Danesi, 2010: 37). Penggunaan teori semiotik ini

33

bertujuan untuk mengungkap tanda, baik verbal maupun nonverbal, terhadap

tayangan berita media Bali TV dalam kasus Kemoning-Budaga.

Relevansi buku Halim (2013) dengan penelitian penulis sama-sama

dengan paradigma teori kritis yang diharapkan dapat menjadi rujukan kepada

khalayak untuk memahami berita televisi sebagai teks budaya populer yang

diproduksi industri budaya populer. Khalayak makin memahami countent

media sekarang, khususnya pesan dalam program-program berita dari satasiun

televisi, yang dibingkai perspektif ideologi, dipayungi pengaruh ekonomi dan

politik media.

Relevansi buku Wahidin (2012) dengan penelitian penulis adalah

membahas kronologis dan wacana tanding Gubernur Bali dengan Bali Post.

Buku ini memberikan penilaian pemberitaan tidak sesuai dengan

profesionalisme pers dari sudut pandang hukum. Selain itu, pertama membahas

pers berdasarkan filosofisnya, menurut teori pers, dan pemahaman populer pers

yang sukses (Wahidin, 2012: 4).

Relevansi penelitian Dosi (2010) dengan penelitian ini adalah

menguatkan perspektif wacana kritis, wacana media bukanlah satu bagian

(faksitas) yang netral. Di balik berita-berita itu ada kekuasaan modal, politik,

dan ideologi, yang memengaruhi, mengarahkan, dan mencoba membentuk

realitas pikiran pembaca. Proses pembentukan dan pengembangan wacana

dominasi kekuasaan media merupakan proses yang rumit dan banyak faktor

yang berpotensi untuk memengaruhi. Di samping itu, juga terjadi pertarungan

dalam memaknai realitas dalam representasi media. Kekuasaan-kekuasaan di

34

balik media itu, baik politik, ekonomi, ideologi, maupun sosiokultural

mengendalikan isi media.

Relevansi buku hasil penelitian IGP Artha (2009) dengan penelitian ini

adalah sama-sama mengkaji wacana berita dan kekuasaan media. Wacana yang

disiarkan oleh media melalui berita, baik berita surat kabar maupun berita

televisi, masing-masing memiliki representasi dan resepsi yang berbeda. Berita

tersebut hasil konstruksi sesuai dengan kepentingan media itu sendiri.

Terjadinya ketimpangan wacana diakibatkan oleh ketimpangan kepentingan

internal dan eksternal media. Ketimpangan kepentingan wacana melalui berita

tersebut selanjutnya disiarkan kepada khalayak diproduksi, direproduksi, dan

didistribusi sesuai dengan kepentingan ideologi media masing-masing.

Relevansi bab buku Putra (2008) adalah sikap masyarakat Bali terhadap

masalah politik, hukum, dan sosial budaya berkaitan dengan kegiatan menonton

televisi. Reaksi masyarakat Bali terhadap acara-acara televisi tergolong minim.

Hal ini bisa dilihat dari jarangnya masyarakat mengomentari atau menulis surat

pembaca di media massa tentang siaran televisi (Putra, 2008: 147).

Relevansi buku Eriyanto dengan penelitian ini, yaitu yang menjadi pusat

perhatian adalah pembentukan pesan teks. Teori framing, terutama melihat

bagaimana pesan/peristiwa dikonstruksi oleh media sesuai dengan berita media

Bali TV. Apakah hasil konstruksi dalam penelitian ini? Bagaimana jurnalis Bali

TV mengonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak

pembaca/penonton (Eriyanto, 2005: 11). Topik disertasi adalah analisis wacana

liputan Bali TV dalam kasus Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali. Sebuah

konflik antara Bali Post yang ‘memojokkan’ Gubernur Bali Made Mangku

35

Pastika hendak membubarkan desa pakraman di Bali. Eksploitasi wacana

secara subjektif di balik politik penayangan berita merupakan topik disertasi

baru dan memiliki novelty.

Relevansi dengan buku yang ditulis Hamad (2004), yaitu sama-sama

meneliti media massa dan kekuasaan yang menggunakan studi CDA terhadap

berita-berita politik. Studi buku ini tidak hanya menyelami isi teks berita-berita

politik yang menjadi objek kajian, tetapi juga menelusuri perilaku tiap-tiap

media yang mengkonstruksi realitas politik tersebut, baik yang berkaitan

dengan kebijakan internal maupun berkenaan dengan pertimbangan eksternal

mereka (Hamad, 204: 38).

2.2 Konsep

Ada empat konsep yang dijelaskan dalam penelitian dengan judul ”Dari

Konflik Desa ke Layar Kaca: Analisis Wacana Liputan Bali TV dalam Kasus

Kemoning-Budaga”. Keempat konsep yang dimaksud adalah analisis wacana,

berita televisi, konflik Kemoning-Budaga, dan wacana tanding.

2.2.1 Analisis Wacana

Yang dimaksud analisisis wacana adalah kajian terhadap gejala-gejala

yang berkembang di masyarakat. Menurut Eriyanto (2005: 7) analisis wacana

dapat digunakan untuk mengetahui ideologi di balik ungkapan-ungkapan.

Dalam penelitian ini analisis wacana adalah kajian terhadap wacana

pembubaran desa pakraman di Bali TV.

36

Analisis wacana menfokuskan pada struktur yang secara alamiah

terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana, seperti

percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan. Karena bahasa

merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek dan lewat bahasa

ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis

wacana (Eriyanto, 2005: 2-3).

Analisis wacana merupakan istilah umum yang dipakai dalam banyak

disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari

berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan

studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2005: 4). Wacana dapat

dideteksi dari suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam

suatu konteks tertentu dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu

(Eryanto, 2005: 65).

Analisis wacana juga bertujuan untuk membongkar kuasa yang ada

dalam setiap proses bahasa, yaitu batasan-batasan apa yang diperkenankan

menjadi wacana, perspektif apa yang mesti dipakai, dan topik apa yang

dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini wacana melihat bahasa selalu

terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek dan

berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat (Eriyanto, 2005:

6).

Dalam analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA), wacana

tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana

memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa

dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik

37

tradisional. Bahasa dianalisis tidak hanya dengan menggambarkan dari aspek

kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti

bahwa bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di

dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2005: 7).

Keterlibatan bahasa dalam hubungan kekuasaan media seperti liputan

Bali TV, terutama berita-berita yang ditayangkan yang mengemukakan

pernyataan-pernyataan dan memiliki maksud-maksud tertentu. Analisis wacana

dapat membongkar makna-makna yang tersembunyi yang terdapat dalam

liputan Bali TV melalui setiap proses bahasa yang dipakai untuk tujuan tertentu,

termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.

Wacana dalam konteks penelitian ini diproduksi dan direproduksinya

wacana pembubaran desa pakraman dalam program berita Seputar Bali, Bali

TV secara berkelanjutan yang memiliki kepetingan politik, kekuasaan dan

ideologi media. Kepentingan wacana kekuasaan media diindikasikan bertujuan

untuk mendelegitimasi Gubernur Bali dengan masyarakatnya.

2.2.2 Berita Televisi

Yang dimaksud dengan berita televisi adalah genre teks yang bersifat

faktual dan aktual. Walaupun bersifat faktual menurut (Burton, 2008: 112)

genre ini akan tampak lebih fiktif ketika diselidiki secara cermat. Berita media

Bali TV memiliki kekuatan lebih pada bahasa visual dan dapat direproduksi

sesuai dengan kepentingan media tersebut. Berita TV merupakan hasil setting

dan framing sebuah peristiwa tentang apa yang ingin disampaikan oleh

produser.

38

Selain itu, apa yang tidak ingin disampaikan akan diedit sesuai dengan

kepentingan sosial, politik, dan ideologi TV tersebut. Proses seperti framing ini

memberikan peluang masuknya kepentingan subjektif dalam produksi berita

televisi.

Michael V. Charley lain lagi mendefinisikan berita secara berbeda.

Menurut Michael, ”News, is the timely report of facts or opinion that hold

interest or importance, or both, for a considerable number op people” “Berita

adalah laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting

atau keduanya bagi sejumlah besar orang” (Kusumaningrat, 2009: 39). Edward

Jay Friedlander dkk. dalam bukunya Excellen in Reporting (Kusumaningrat,

2009: 39), menyatakan seperti di bawah ini.

”News is what you should know that you don’t know. News is what hashappened recently that is important to you in your daily life. News iswhat fascinates you, what exites you enough to say to a friend, ‘Hey, didyou hear about….? News is what local, national, and internationalshakers and movers are doing to affect your life. News is the unexpectedevent that, fortunately, did happened”

”Berita adalah apa yang harus Anda ketahui, yang tidak Anda ketahui.Berita adalah apa yang terjadi belakangan ini yang penting bagi Andadalam kehidupan anda sehari-hari. Berita adalah apa yang menarik bagiAnda, apa yang cukup menggairahkan Anda untuk mengatakan kepadaseorang teman, ‘hey, apakah kamu sudah mendengar….? Berita adalahapa yang dilakukan oleh pengguncang dan penggerak tingkat lokal,nasional, dan internasional untuk memengaruhi kehidupan Anda. Beritaadalah kejadian yang tidak disangka-sangka yang untungnya atausayangnya telah terjadi”

Definisi berita tersebut dapat disederhanakan sehingga dapat diperoleh

sebuah definisi yang mudah dipahami, yaitu berita adalah informasi aktual

tentang fakta-fakta dan opini di dalam siaran televisi yang menarik perhatian

banyak orang. Berita televisi merupakan hasil liputan reporter televisi yang

39

diedit, disiarkan, dan diulang-ulang sebagai sebuah wacana dan ideologi. Berita

media televisi memiliki perbedaan dengan berita media Koran. Kekuatan berita

televisi terdapat pada narasi teks yang ditulis wartawan dan diedit oleh

redakturnya. Berita media Bali TV memiliki kekuatan lebih pada bahasa visual

dan dapat direproduksi sesuai dengan kepentingan media tersebut. Berita TV

merupakan hasil setting dan framing sebuah peristiwa tentang apa yang ingin

disampaikan oleh produser. Selain itu, apa yang tidak ingin disampaikan akan

diedit sesuai dengan kepentingan sosial, politik, dan ideologi TV tersebut.

2.2.3 Konflik Kemoning-Budaga

Konflik yang meletus pada 17 September 2011 menimbulkan bentrok

fisik sehingga sampai jatuh korban luka-luka dan satu meninggal. Konflik

Kemoning-Budaga inilah mencuatnya wacana tentang pembubaran desa

pakraman yang dikembangkan dalam periode yang cukup panjang oleh Bali

TV dan media massa KMB.

Keesokan harinya 18 September 2011 Gubernur Bali Made Mangku

Pastika turun ke Kabupaten Klungkung. Gubernur melakukan pertemuan

dengan pejabat Pemerintah Kabupaten Klungkung di salah satu ruang tamu

Kantor Bupati Klungkung. Di sinilah ujung terjadinya perselisihan yang

kemudian harus diselesaikan berdasarkan pengadilan perdata (Wahidin, 2012:

134). Di kantor Bupati Klungkung tersebut berlangsung pembicaraan antara

Gubernur Bali dan pejabat Kabupaten Klungkung beserta beberapa undangan.

Liputan wartawan Bali Post secara kritis dengan judul pemberitaan Bubarkan

Desa Pakraman akibat bentrok desa pakraman Kemoning-Budaga di

40

Kabupaten Klungkung Bali terbit keesokan harinya yaitu, pada 19 September

2011.

Menurut Made Mangku Pastika selaku Gubernur Bali, dalam acara

kunjungan sama sekali tidak pernah dibicarakan atau dilontarkan pemikiran

tentang pembubaran Desa Pakraman. Pembubaran tersebut tidak mungkin

dilakukan karena kultur yang begitu kuat atas terbentuknya desa pakraman.

Gubernur tahu pasti bahwa dirinya tidak mempunyai kewenangan untuk itu

(Wahidin, 2012: 135). Di pihak lain Bali Post dengan kritis memilih angle

pembubaran desa pakraman sebagai head line dengan sumber Wakil Bupati

Klungkung Tjok Gede Agung.

Pascakonflik Kemoning-Budaga berlangsung pertemuan antara

Gubernur Bali dan pejabat Kabupaten Klungkung beserta undangan. Gubernur

melakukan klarifikasi tentang berbagai hal terkait dengan terjadinya konflik.

Beberapa pokok pikiran hasil pertemuan tersebut pada intinya dapat dijadikan

pemulihan kententeraman di masa yang akan datang, khususnya bentrok tidak

terulang kembali dan diambil hikmahnya untuk perbaikan pada masa yang

akan datang. Perdamaian itu dituangkan dalam kesepakatan bersama yang

ditandatangani di hadapan Wakil Bupati Klungkung Tjokorda Gede Agung di

Semarapura.1

2.2.4 Wacana Tanding

Wacana tanding adalah wacana yang dikeluarkan untuk melawan

1 Warga Kemoning-Budaga Berdamai http://bali.antaranews.com/berita/ 26488/warga-kemoning-budaga-berdamai, Selasa, 14 Agustus 2012 20:24 WIB

41

wacana yang ada. Dalam penelitian ini wacana tanding adalah wacana yang

diluncurkan oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk melawan wacana

pembubaran desa pakraman yang diluncurkan oleh KMB termasuk Bali TV.

Diskursus atau wacana yang sentral dalam kajian budaya dan media

sekarang diperkenalkan oleh Michel Foucault. Wacana adalah power atau

kekuasaan di balik pernyataan-pernyataan melalui teks. Paham ini memercayai

bahwa relasi kekuasaan dalam masyarakat memengaruhi dan membentuk cara-

cara bagaimana kita saling berkomunikasi dan bagaimana pengetahuan

diciptakan. Wacana dipercayai sebagai peranti-peranti yang digunakan

lembaga-lembaga untuk mempraktikkan kuasa-kuasa mereka melalui proses-

proses pendefinisian, pengisolasian, pembenaran wacana yang disampaikan.

Wacana menentukan mana yang bisa dikatakan, mana yang tidak

terhadap suatu bidang tertentu, bagaimana disampaikan, dan kapan disampaikan

pada kurun waktu tertentu pada masyarakat. Michel Foucault menyatakan

bahwa setiap wacana sosial berisi satu atau lebih (kecil atau besar) yang

menghasilkan politik klaim kebenaran. Foucault juga berpendapat bahwa setiap

wacana bertemu dengan wacana tanding yang menantang legitimasi wacana

asli. Proyek utama dari kontra-wacana adalah untuk menumbangkan wacana

dominan. Kekuatan dominan wacana terletak pada kode yang mengatur

pemahaman tentang dunia sosial. Kekuatan wacana dominan terletak pada kode

yang mengatur pemahaman tentang dunia sosial. Counter wacana berusaha

untuk mendeteksi dan memetakan protokol naturalisasi tersebut. Dsamping itu,

juga untuk proyek subversi mereka, yang dipertaruhkan dalam perjuangan

diskursif ini merupakan paradigma representasi sosial (Terdiman, 1989: 149).

42

Made Mangku Pastika melakukan wacana tanding terhadap pemberitaan

liputan Bali TV dengan setting dan framing yang berbeda untuk menjawab

wacana dari media tersebut. Hal ini dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan

tokoh-tokoh masyarakat di seluruh Bali, seminar di Universitas Udayana,

Universitas Warmadewa, penerbitan buku, dan pemberitaan wacana tanding

pada media lain di luar Kelompok Media Bali Post.

Wacana tanding atas liputan Berita Bali TV juga dilakukan Made

Mangku Pastika dengan pemberitaan metrobali.com berjudul ”Buntut Pemuatan

Berita Bohong Gubernur somasi Bali Post”.2 Pemberitaan di Radar Bali, Nusa,

dan Fajar Bali secara keseluruhan merupakan jawaban atau wacana tanding

Gubernur Bali terhadap pemberitaan di Bali Post. Wacana tanding pada televisi

Gubernur Bali banyak diliput dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan

opininya di siaran Dewata TV dan TVRI Bali. Sebaliknya, dalam setting

pemberitaan Bali Post dan Bali TV Gubernur tidak diberikan ruang atau tidak

ada yang dimuat untuk menyampaikan klarifikasinya terkait dengan isu-isu

yang dikembangkan.

2.3 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang digunakan untuk menganalisis wacana berita

media Bali TV dalam kasus Kemoning-Budaga. Tujuannya agar permasalahan

yang telah dirumuskan dapat dijawab sesuai dengan kenyataan dan temuan di

2 Lihat Buntut Pemuatan Berita Bohong, Gubernur SomasiBali Post,http://metrobali.com/2011/09/23/buntut-pemuatan-berita-bohong-Gubernur-somasi-bali-post/, diakses 21 Juni 2013.

43

lapangan yang dapat dibuktikan dengan teori-teori. Teori yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi teori wacana, agenda setting, framing, dan

semiotika yang bersifat eklektik.

2.3.1 Teori Wacana

Teori wacana adalah suatu upaya untuk pengungkapan maksud

tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan untuk

membongkar maksud dan makna tertentu (Foucault, 2002: 228). Dalam

penelitian ini teori wacana dipergunakan untuk mengungkapkan maksud dan

makna pembentukan wacana pembubaran desa pakraman dalam berita Bali TV

pascabentrok Kemoning-Budaga Klungkung Bali oleh Bali TV dan KMB.

Menurut Michel Foucault, wacana atau diskursus dipahami sebagai penjelasan,

pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan,

dan sistem abstrak pemikiran yang menurutnya semuanya itu tidak terlepas dari

relasi kekuasaan melalui mekanisme-mekanisme selektif yang negatif

(Foucault, 2002: 228). Lebih lanjut dikatakan bahwa berwacana berarti

berbicara tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan

pernyataan-pernyataan yang bermakna pada satu historis tertentu.

Wacana juga berarti sebuah mekanisme pengaturan yang bekerja rapi,

yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Wacana merupakan

sebuah undang-undang sosial yang menetapkan aturan tentang cara-cara yang

dapat diterima dalam memperbincangkan, mendefinisikan, menulis, dan

bertindak seputar topik tertentu. Jadi, wacana adalah sebuah narasi di mana

modus perbincangan, pendefinisian, penulisan, dan praktik di luar wilayah

44

cakupan wacana dominan dimaknai sebagai tindakan tanpa makna.

Wacana dan kekuasaan datang dari orang-orang yang memiliki

kekuasaan dan orang yang memiliki pengetahuan atau pemikiran kreatif.

Kekuasaan dan pengetahuan merupakan dua sisi yang menyangkut proses yang

sama. Kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan khususnya ilmu

pengetahuan menyediakan kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan dan

pengetahuan kerap membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan antara

kelompok orang yang menyangkut diri mereka dan mengaturnya. Kekuasaan

tidak mengacu kepada suatu sistem umum dominan oleh suatu kelompok

terhadap kelompok lain, tetapi terdapat beragam hubungan kekuasaan. Jadi,

kekuasaan tersebut tersebar; ada dimana-mana, bukannya kekuasaan mencakup

semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana.

Pemikiran Foucault berbeda dengan pemikiran Marx yang melihat dan

memahami kekuasaan hanya pada negara. Kekuasaan tidak harus berasal dari

suatu yang nyata seperti wacana media yang bentuknya bermacam-macam dan

dapat diintegrasikan dalam strategi-strategi global (Foucault, 2002: 176).

Wacana merupakan kekuasaan yang tidak tampak kasat mata, tetapi memiliki

pengaruh dan dampak yang luas terhadap kehidupan manusia. Danpak global

wacana media sekarang ini berpengaruh jelas terhadap kehidupan sosial yang

semakin cepat dan kompleks.

Wacana berperan dalam mengontrol, menormalkan, dan mendisiplinkan

individu. Wacana juga merupakan suatu upaya pengungkapan maksud

tersembunyi dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan

di antaranya dengan menempatkan diri pada posisi pembicara dengan

45

penafsiran mengikuti struktur makna. Pandangan kritis atau paradigma kritis

analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata

bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis

wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang

terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna (Eriyanto, 2005: 6).

Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana juga disebut analisis

wacana kritis (critical discourse analysis/CDA). CDA wacana di sini tidak

dipahami semata sebagai studi bahasa, tetapi bahasa dianalisis dalam hubungan

dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan

praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2005: 7).

Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni

bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam

masyarakat. Berdasarkan pendapat Fairclough dan Wodak, dapat dipahami

bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok

sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing

A.van Dijk, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto, 2005: 7).

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan

pemahaman bahwa wacana merupakan bentuk interaksi di masyarakat, wacana

bukan suatu hal dalam ruang tertutup dan internal. Wacana merupakan hal

yang terbuka (dapat dilakukan oleh setiap orang) dan eksternal. Seseorang

berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan

berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain.

Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi

bagaimana wacana harus dipandang. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang

46

memiliki tujuan untuk memengaruhi, mendebat, mengkritik, membujuk,

menyanggah, bereaksi, beropini, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau

menulis mempunyai maksud dan tujuan tertentu, baik secara transparan

maupun secara tersembunyi. Wacana juga dipahami sebagai sesuatu yang

diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau

diekspresikan di luar kesadaran.

Wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar,

situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi,

dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook

(1994), analisis wacana juga memeriksa konteks komunikasi, yaitu siapa yang

mengkomunikasikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan

situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan

komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Titik tolak

analisis wacana di sini, yaitu bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme

internal linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang

tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Guy Cook

menyebut ada tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan

wacana.

Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang

tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,

musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Wacana di sini kemudian

dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian analisis

wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam

suatu proses komunikasi. Di sini tidak hanya dibutuhkan proses kognisi dalam

47

arti umum, tetapi juga gambaran spesifik budaya yang dibawa. Ada beberapa

konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama,

partisipan wacana, yaitu siapa yang memproduksi wacana, jenis kelamin, umur,

pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam

menggambarkan wacana (Eriyanto, 2005: 9-10).

Historis menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu. Hal itu

berarti bahwa wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat

dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek

penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu

dalam konteks historis tertentu. Pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan

untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti

itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.

Kekuasaan analisis wacana juga mempertimbangkan elemen

kekuasaan (power) dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul dalam

bentuk teks, percakapan, atau apa pun tidak dipandang sebagai sesuatu yang

alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarunan kekuasaan.

Konsep kekuasaan merupakan salah satu kunci hubungan antara wacana dan

masyarakat.

Ideologi juga merupakan konsep sentral dalam analisis wacana yang

bersifat kritis. Hal ini terjadi karena teks, percakapan, dan lainnya merupakan

bentuk praktik ideologi atau pencerminan ideologi tertentu. Wacana dalam

pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium kelompok dominan

mempersuasi dan mekomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan

dominasi yang dimiliki tampak absah dan benar. Menurut van Dijk fenomena

48

ini disebut sebagai ”kesadaran palsu”, yaitu bagaimana kelompok dominan

memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui

kampanye disinformasi dan kontrol media. Kelompok dominan dalam hal ini

media leluasa memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan

(masyarakat). Melalui kekuasaan kapital yang dimiliki media men-setting dan

men-framing isu-isu yang dikembangkan untuk mencapai kepentingan politik.

2.3.2 Teori Agenda Setting

Teori agenda setting adalah teori yang melihat proses kerja pers yang

lebih penting daripada sekadar penyedia informasi dan opini. Media massa

merupakan pusat penentuan kebenaran, dalam bentuk agenda tersendiri, untuk

mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik

dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang

dianggap penting oleh media massa (Tamburaka 2012). Dalam penelitian ini

teori agenda setting dipergunakan untuk menganalisis isu wacana pembubaran

desa pakraman yang dijadikan pusat perhatian oleh Bali TV dan KMB.

Buku Agenda Setting Media Massa karya Apriadi Tamburaka (2012)

banyak mengulas fenomena perilaku media massa dalam Agenda Setting

Theory, yakni apa agenda saat ini yang akan ditampilkan kepada publik melalui

penonjolan isu-isu tertentu. Agar dapat menonjol, maka isu-isu tersebut

dikemas dan dibingkai untuk menarik sisi manusiawi dan atau menimbulkan

empati publik yang pada akhirnya akan mendorong pembentukan opini publik.

Pandangan dan opini tentang banyak hal dalam dunia ini dikonstruksi oleh

media melalui pemberitaan media massa. Media massa melakukan upaya

49

kontrol dalam realitas sosial. Media massa mengonstruksi dan mengarahkan

dunia pikir kita sering kali ”tanpa kita sadari” kita telah berada dalam realitas

yang diciptakan media (Tamburaka, 2012: ix).

Dua asumsi dasar yang paling kuat mendasari teori agenda setting

adalah (1) media massa tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan

membentuk isu dan (2) kosentrasi media massa hanya pada beberapa masalah

masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-

isu lain.

Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda

setting adalah fenomena komunikasi massa. Berbagai media massa memiliki

penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi pemodal

(Tamburaka, 2012: 23). Agenda setting merupakan pemikiran yang menyatakan

bahwa media tidak mengatakan apa-apa yang dipikirkan orang, tetapi

mengatakan apa yang harus dipikirkan. Setting pemberitaan Bali TV berkaitan

dengan wacana pembubaran desa pakraman yang seolah-olah merupakan

pernyataan Gubernur Made Mangku Pastika dikonstruksi oleh redaktur dalam

rangka menciptakan opini di masyarakat walaupun menurut Bali Post, setting

pemberitaannya berdasarkan sumber yang kredibel.

Lebih lanjut agenda setting adalah pemikiran yang menyatakan bahwa

media tidak mengatakan apa-apa yang dipikirkan orang, tetapi menyatakan apa

yang harus dipikirkan. Media massa dan orang-orang yang bergerak di

dalamnya bekerja melayani kebutuhan tentang informasi kepada khalayak

(audiens) memiliki tujuan-tujuan tertentu yang akan memberikan manfaat

kepada kedua belah pihak. Demikian pula khalayak yang membaca surat kabar,

50

mendengar radio, menonton televisi, atau browsing di internet memiliki tujuan-

tujuan tertentu pula, misalkan ingin mendapatkan informasi.

Weber (Taburaka 2012) menganjurkan agar mempelajari tindakan sosial

melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau dalam

istilah Weber sendiri, yaitu verstehen. Meskipun begitu, cukup sulit untuk

melakukan proses verstehen karena bilamana ingin mengetahui perilaku

(behaviour) saja, Weber tidak yakin bahwa perbuatan itu mempunyai arti

subjektif dan diarahkan kepada orang lain. Misalnya, salah satu media massa

memuat suatu isu menjadi berita terus-menerus tentu memiliki tujuan, tetapi

untuk memahaminya diperlukan proses yang disebut verstehen.

Dalam hal ini Weber menyarankan dua cara, yaitu (1) dengan melalui

kesungguhan (2) mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor.

Untuk menyelami pemikiran di balik tindakan subjektif seseorang kita dapat

dilakukan dengan cara tersebut (Tamburaka, 2012). Pemberitaan Bali TV yang

kritis memuat berita tentang Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, secara

berkelanjutan tentu memiliki agenda, tujuan, dan dianalisis dengan teori agenda

setting.

Meskipun tidak secara spesifik menggunakan istilah agenda setting,

Bernard Cohen (1963) sering kali dipuji karena kembali mendefinisikan ide

Lipman ke dalam teori agenda setting. ”Pers lebih penting daripada sekadar

penyedia informasi dan opini” (Tamburaka, 2012: 21) Cohen menyatakan

”Barangkali mereka tidak terlalu sukses dalam menyuruh apa yang dipikirkan

seseorang, tetapi mereka biasanya sukses menyuruh orang mengenai apa yang

seharusnya mereka pikirkan”.

51

Berawal dari hal tersebut dunia terlihat berbeda menurut orang yang

berbeda pula. Hal itu bergantung bukan hanya pada minat mereka pribadi,

melainkan juga peta yang diberikan kepada mereka oleh penulis, editor, dan

penerbit surat kabar yang dibaca. Dalam hal ini sulit mengabaikan bias dari

efek terbatas media massa kepada opini publik. Tulisan Cohen telah menjadi

dasar dari apa yang disebut teori agenda setting media massa.

Agenda setting pada awalnya digunakan untuk meneliti hubungan antara

pengaruh media terhadap persepsi publik AS pada saat kampanye pemilihan

presiden. Setidaknya bahwa agenda setting sudah dapat dibuktikan secara

ilmiah melalui penelitian terdahulu bahwa telah ada hubungan yang kuat antara

pengaruh media terhadap pembentukan opini publik atau media sudah dapat

membentuk apa yang harus dipikirkan oleh orang-orang. Keraguan itu

berdasarkan pemahaman bahwa agenda setting melihat dalam perspektif efek

terbatas, khalayak dilihat sebagai massa yang tidak memiliki sejumlah pilihan

alternatif lain yang dikendalikan oleh pembentuk opini.

Ketika sejumlah media berkembang pada abad ke-20 beragam jenis

media televisi, radio, dan surat kabar, bahkan internet memberikan banyak

alternatif bagi khalayak untuk memilih saluran. Bahkan, media pada umumnya

lebih banyak berpihak kepada publik karena khalayak dianggap sebagai ”raja”

yang harus diberikan pelayanan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, banyak pula

acara interaktif yang menempatkan publik sebagai orang yang dilayani. Terkait

dengan itu, muncul pertanyaan sejauhmana kekuatan media mampu

memengaruhi publik. Bagaimana media dapat memengaruhi dan mengarahkan

opini publik pada suatu pemberitaan.

52

2.3.3 Teori Framing

Teori framing adalah bagaimana peristiwa disajikan oleh media dengan

membingkai mana yang dianggap dan perlu ditonjolkan sesuai dengan

kepentingan dan kemauan media. Untuk mengetahui realitas (peristiwa, aktor,

kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media (Mulyana, 2002: 3). Menurut

Gitlin, frame adalah bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. Dalam

penelitian ini teori framing dipergunakan untuk menganalisis framing peristiwa

yang dijadikan berita dalam wacana pembubaran desa pakraman yang disajikan

dalam praktik jurnalistik Bali TV dan KMB.

Teori framing dalam buku berjudul Analisis Framing, Konstruksi,

Ideologi, dan Politik Media karya Eriyanto (2005) banyak mengulas metode

analisis isi media. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma

konstruksionis, yaitu bagaimana media dan berita dilihat. Analisis framing

sebagai suatu metode analisis teks banyak mendapat pengaruh dari teori

sosiologi dan psikologi. Teori sosiologi terutama sumbangan pemikiran Peter

Berger dan Erving Goffman, sedangkan teori psikologi terutama yang

berhubungan dengan skema dan kognisi.

Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini

realitas dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami

dengan bentukan tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau

wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya

merupakan bagian dari teknis jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana

peristiwa dimaknai dan ditampilkan. Bagaimana media memahami dan

memaknai realitas, dan dengan cara apa realitas itu ditandakan, hal inilah yang

53

menjadi pusat perhatian analisis framing. Praktisnya, ia digunakan untuk

melihat bagaimana aspek tertentu ditonjolkan atau ditekankan oleh media.

Pandangan ini ditentukan oleh media, lebih khusus oleh frame, yaitu

bagaimana peristiwa dilihat, selanjutnya ditampilkan, ditonjolkan oleh media

tentang peristiwa, aktor, kelompok tertentu (Mulyana, 2002: 5). Dengan frame

tertentu sebuah wawancara dengan narasumber akan ditonjolkan pernyataan-

pernyataan yang mendukung setting pemberitaan yang dikehendaki oleh media

massa tersebut. Wawancara yang tidak mendukung opini yang dimaksud akan

disimpan, bahkan dibuang. Frame media tergantung kepada ideologi dan

kepentingan politik yang dianutnya.

Analisis framing terdiri atas paradigma positivis (ada fakta tertentu yang

”riil” diatur oleh kaidah tertentu yang berlaku universal) dan konstruksionis.

Terdapat media massa yang menganut framing yang mengandung kaidah-

kaidah kebenaran universal (kebenaran riil) sesuai dengan peristiwa yang

terjadi. Sebaliknya, analisis framing termasuk ke dalam paradigma

konstruksionis (fakta merupakan konstruksi atas realitas, kebenaran suatu fakta

bersifat relatif berlaku sesuai dengan konteks tertentu).

Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap

media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme

diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger. Bagi Berger, realitas

tidak dibentuk secara alamiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan

tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini realitas

berwajah ganda/plural (Mulyana, 2002: 20).

Media merupakan agen konstruksi. Pandangan konstruksionis

54

mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan dengan positivis dalam menilai

media. Dalam pandangan positivis media murni dilihat sebagai saluran.

Menurut pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah

sekadar saluran yang bebas, melainkan juga subjek yang mengonstruksi

realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media

dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas

(Mulyana, 2002: 23).

Peristiwa yang sama dapat dikonstruksi secara berbeda dengan

menggunakan frame yang berbeda. Hal ini terjadi ketika peristiwa dilihat

dengan cara berbeda oleh media. Perbedaan cara pandang media membuat

framing yang berbeda pula. Hal ini menunjukkan bahwa media melakukan

pendekatan yang berbeda untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan

dikonstruksinya. Hasil akhir proses pembentukan dan pengonstruksian realitas

adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih

mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek

tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak

disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan menjadi terlupakan dan

sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak.

Teori framing analisis wacana berita media Bali TV kasus Kemoning-

Budaga menggunakan model Todd Gitlin, yaitu ”Strategi pembentukan

realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan

kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan

agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak penonton dan presentasi

aspek tertentu dari realitas”.

55

Terdapat dua aspek framing, yaitu memilih fakta realitas dan

menuliskan fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Perbedaan teori

agenda setting dan teori framing adalah teori agenda setting digunakan sebelum

peliputan sedangkan teori framing digunakan setelah peliputan. Persamaannya

kedua teori ini dipergunakan dalam satu rangkaian proses dari perencanaan

sampai dengan berita tersebut sampai ke audiens. Hal ini menyebabkan teori ini

tidak dipilih salah satu, tetapi digunakan untuk saling mendukung. Teori ini

diterapkan untuk membaca frame bahasa teks dan visual yang berkaitan dengan

setting pemberitaan pembubaran desa pakraman oleh Bali TV.

2.3.4 Teori Semiotika

Teori semiotika adalah teori tentang tanda yang digunakan untuk

mengkaji segala aspek dan pemaknaan tanda dalam kehidupan manusia (Hoed,

2011: 3). Artinya, apa yang hadir dalam kehidupan dilihat sebagai tanda, yakni

sesuatu yang harus diberi makna. Di samping itu teori semiotika adalah ilmu

untuk mempelajari segala sesuatu yang digunakan dalam komunikasi, seperti

kata, gambar, tanda lalu lintas, bunga, musik, gejala, atau tanda berkenaan

dengan ilmu kedokteran, dan banyak lagi yang lainnya (Chandler, 2007: 31).

Dalam penelitian ini teori semiotika digunakan untuk menafsirkan

makna-makna teks, ekspresi dan visual dalam wacana pembubaran desa pakraman.

Ilmu semiotik adalah seperti jalan tanda komunikasi dan aturan yang

menentukan kepunyaan yang digunakan. Ini merupakan aturan dalam studi

kebudayaan, semiotik persembahan secara radikal melanggar kritik tradisional.

Lebih lanjut dikatakan bahwa petanda terletak pada tingkatan ungkapan

56

(level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik,

seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda

terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang

diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur

melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal

(benda) yang lain, ini disebut referent. Misalnya, lampu merah mengacu pada

jalan berhenti, wajah cerah mengacu pada kebahagiaan, air mata mengacu pada

kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam

benak orang yang melihatnya atau mendengarnya akan timbul pengertian

(Tinarbuko, 2010: 13).

Menurut Peirce, tanda (representament) adalah sesuatu yang dapat

mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Tinarbuko, 2010: 13).

Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain oleh Peirce disebut objek

(denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat

berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui

interpretant. Jadi, interpretant adalah pemahaman makna yang muncul dalam

diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila

dapat ditangkap dan dipahami terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang

sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang

dikemukakan Peirce terkenal dengan nama segitiga semiotik.

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam hubungan dengan acuannya tanda

dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon

adalah tanda yang antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan

biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan

57

kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut

metomini. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar

tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan.

Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi.

Contoh simbol adalah bahasa tulisan.

Ikon, indeks, dan simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar

(bentuk), objek (referent), dan konsep (interpretant atau reference). Bentuk

biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan

menimbulkan interpretant. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi

dalam memahami pesan dalam iklan atau berita. Bagi Barthes, faktor penting

dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan

pertama merupakan tanda konotasi.

Jika teori itu dikaitkan dengan berita Bali TV, maka setiap pesan berita

merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan

makna). Lewat unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan

makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat berikutnya.

Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified,

yaitu makna pesan dapat dipahami secara utuh (Tinarbuko, 2010: 15).

Mengingat berita Bali TV mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal

dan visual serta merujuk bahwa teks berita dan penyajian visualnya juga

mengandung ikon, maka pendekatan semiotik terhadap berita Bali TV layak

diterapkan. Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam penelitian ini

mengacu pada Ferdinand de Saussure.

58

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini dapat digambarkan ke dalam model penelitian (Gambar

2.4) sebagai berikut.

Model PenelitianKeterangan :

: menyebabkan/menentukan: pengaruh timbal balik

: konflikDP : desa pakraman

DARI KONFLIK DESA KE LAYAR KACA:ANALISIS WACANA LIPUTAN BALI TVDALAM KASUS KEMONING-BUDAGA,

KLUNGKUNG, BALI

ProsesPembentukan Wacana

Pembubaran DP

FaktorFaktor Pendukung

WacanaPembubaran DP

Gubernur Bali BP + Bali TV

Wacana TandingGubernur Bali Thd

Pembubaran DP

Kemoning X Budaga

Wacana Tanding Lip. Bali TV

Simpulan

Saran

Teori-Wacana-Agenda Setting-Framing-Semiotika

Konsep-AnalisisWacana

-Berita TV-KonflikKemoning-Budaga

59

Desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan berkembang

sepanjang sejarah selama berabad-abad memiliki budaya untuk mengatur rumah

tangganya sendiri. Selain itu, desa pakraman juga rentan terhadap konflik yang

dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya pemekaran, tapal batas, sosial politik,

dan ekonomi. Berbagai kasus bentrok yang terjadi akibat pemekaran desa

pakraman atau perebutan pura Dalem tersebut, misalnya konflik Kemoning-

Budaga di Kabupaten Klungkung, Bali. Kasus konflik tersebut diliput, diedit,

diproduksi, didistribusi, direproduksi oleh media massa Bali Post dengan siaran

berita ‘Seputar Bali’ di Bali TV. Siaran berita televisi memiliki pengaruh yang

dominan dibandingkan dengan media cetak, sebagai tempat pertarungan politik

wacana kekuasaan ekonomi dan ideologi.

Berita Bali TV yang kritis dan kredibel berkenaan dengan berita

Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, diawali dengan pemberitaan Bubarkan

Desa Pakraman pascabentrok Desa Kemoning-Budaga di Kabupaten

Klungkung Bali. Pihak Made Mangku Pastika selaku Gubernur Bali

menyatakan bahwa pemberitaan tersebut merupakan berita bohong.

Sehubungan dengan itu, Gubernur Bali melakukan wacana tanding melalui

sosialisasi langsung dengan tokoh masyarakat seluruh Bali, media massa, dan

media sosial online Youtube. Pihak Bali Post menyatakan bahwa berita kritis

tersebut benar dengan saksi Wakil Bupati Klungkung dan menyerahkan kasus

tersebut ke Dewan Pers. Pihak Made Mangku Pastika menyomasi Bali Post,

bahkan sampai pada tuntutan hukum perdata di sidang Pengadilan Negeri

Denpasar, Pengadilan Tinggi Denpasar, dan kasasi di tingkat Mahkamah Agung

(MA) RI di Jakarta yang dimenangkan oleh Bali Post.

60

Pertarungan wacana, saling memengaruhi audiens berdasarkan konsep

analisis wacana, berita TV. Konflik Kemoning-Budaga dianalisis dengan teori

wacana, agenda setting, framing, dan semiotika melalui produksi wacana, selera

konsumen yang terdistribusi melalui proses, faktor dengan tanda yang

disampaikan dan ideologi yang dipertarungkan.

Akhirnya, diadakan penelitian untuk mengungkap proses, faktor-faktor,

dan wacana tanding Gubernur Made Mangku Pastika. Hasil analisis

menunjukkan bahwa wacana liputan tentang kasus bentrok Kemoning-Budaga

di Bali TV merupakan perpanjangan dari wacana media cetak Bali Post atau

KMB yang dikelola dengan agenda setting, framing yang jelas untuk

kepentingan sosial, politik, dan ideologi Ajeg Bali KMB. Pada saat yang sama

Gubernur Made Mangku Pastika juga melakukan wacana tanding dengan

memanfaatkan lembaga kehumasan Pemprov Bali dan media di luar KMB

seperti TVRI Bali dan Radar Bali. Masyarakat sebagai khalayak konsumen

dalam menanggapi berita agar bersikap kritis terhadap produk berita

menyangkut bahasa teks, visual, dan makna kekuasaan politik, di samping

ekonomi dan ideologi yang terkandung di dalamnya.