7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Setiap orang mempunyai hak
dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan
yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah sakit sebagai organisasi publik
diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada
masyarakat. Namun disisi lain rumah sakit secara umum dihadapkan pada
masalah pembiayaan, dalam arti alokasi anggaran yang tidak memadai sedangkan
pendapatan dari penerimaan masih rendah dan tidak boleh digunakan secara
langsung.Kondisi ini akan memberikan dampak serius bagi pelayanan kesehatan
di rumah sakit karena sebagai organisasi yang beroperasi setiap hari, likuiditas
keuangan merupakan hal utama dan dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan
operasionalnya (Yudianto dkk, 2009).
Sektor kesehatan memasuki abad ke-21 ditandai dengan globalisasi seperti
meningkatnya jumlah penduduk, kemajuan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan
dan meningkatnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini
mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan dari hari ke hari semakin tinggi. Disisi
8
lain terjadinya inflasi menyebabkan semakin tingginya biaya obat-obatan, biaya
komponen medik dan non medik pelayanan kesehatan yang canggih seperti air
conditioner (AC), karpet, telepon, televisi dan lain-lainnya. Anestesi sebagai salah
satu komponen layanan kesehatan di rumah sakit juga tidak lepas berperanan
dalam menentukan pembiayaan rumah sakit atau biaya yang harus dibayarkan
pasien yang menerima jasa layanan anestesi. Berdasarkan hal tersebut, penting
kiranya untuk seorang dokter ahli anestesi mengembangakan teknik-teknik terbaru
berdasarkan perkembangan teknologi dan ketersediaan alat serta bahan. Idealnya,
seorang dokter ahli anestesi selain menguasai teknologi mutakhir di bidangnya,
juga memiliki kemampuan untuk menunjukkan angka ekonomis dari suatu
teknologi yang baru tersebut. Anestesiologi pada awalnya hanyalah merupakan
disiplin ilmu yang merupakan suatu divisi kecil dari bagian bedah, yang bertugas
membantu kelancaran operasi dengan memfasilitasi pembiusan. Memfasilitasi
pembiusan diharapkan dapat meniadakan rasa nyeri dari penderita sehingga
memudahkan sejawat operator pemegang pisau untuk bekerja. Anestesiologi
kemudian menjadi salah satu ilmu yang berkembang sangat pesat di dunia
kedokteran. Untuk memberikan anestesia pada mulanya hanya digunakan alat
sederhana berupa sungkup dietil eter yang dipresentasikan pertama kali oleh
dokter gigi William Thomas GreenMorton (1819-1868) pada tahun 1846.William
Thomas Green Morton bekerjasama dengan dokter ahli bedah kenamaan pada
waktu itu yang bernama dr. John Collins Warren di Massachusets General
Hospital dan berhasil melakukan pembedahan tumor rahang tanpa
memperlihatkan gejala kesakitan. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah anestesi
9
dunia. Meskipun pada tahun 1849 dipublikasikan bahwa anestesia ether ternyata
telah digunakan lebih dini, yakni pada tahun 1842 oleh Crawford Long (1815-
1878). Oleh karena itu di dunia anestesia modern, sejarah perkembangan ether
tidak terpisahkan dari dua nama tersebut, yakni Morton dan Long (Butterworth
dkk, 2012). Sejalan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang fisika dan kimia,
mulai diciptakan suatu mesin yang dapat membantu tindakan anestesia, yaitu
mesin anestesi untuk fasilitasi teknik anestesi inhalasi. Mesin anestesi mengalami
rangkaian metamorfosa dan pengembangan dari kelengkapannya. Sejalan dengan
penemuan-penemuan alat dan obat anestesi yang baru, tehnik anestesi juga ikut
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Seiring dengan itu, tehnik anestesi
regional mengalami perkembangan dan mulai mendapatkan tempat tersendiri,
namun anestesi umum masih merupakan tehnik anestesi yang paling banyak
dikerjakan dalam praktek klinis sehari-hari. Anestesi umum bertujuan
memberikan efek analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya
kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal
terhadap stimulasi pembedahan. Obat anestesi intravena yang ideal haruslah
menyediakan semua komponen tadi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan terhadap sistem kardiovaskular. Obat anestesi intravena diharapkan
menginduksi hilangnya kesadaran dengan cepat, stabilnya keadaan hemodinamik
dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi sistem
saraf pusat seperti sebelum pembiusan.
10
2.1 Farmakoekonomi
Farmakoekonomi merupakan salah satu cabang dalam bidang farmakologi
yang mempelajari mengenai pembiayaan pelayanan kesehatan, dimana
pembiayaan dalam hal ini mencakup bagaimana mendapatkan terapi yang efektif,
bagaimana dapat menghemat pembiayaan, dan bagaimana dapat meningkatkan
kualitas hidup. Farmakoekonomi adalah suatu metoda baru untuk mendapatkan
pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi efektif
dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik (cost effective
with best clinical outcome) (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk,
2011). Kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis. Empat metode
analisis ini tidak hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas
obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi
atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang
dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan
yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode
analisis dalam kajian farmakoekonomi meliputi :
- Analisis minimalisasi biaya (AMiB) dengan karakteristik analisis efek dua
intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah
- Analisis efektifitas biaya (AEB) dengan karakteristik analisis efek dari
satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan diukur dalam unit
alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah
11
- Analisis utilitas biaya (AUB) dengan karakteristik analisis efek dari satu
intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted life years,
valuasi/biaya dalam rupiah.
- Analisis mamfaat biaya (AMB) dengan karakteristik analisis efek dari satu
intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah,
valuasi/biaya dalam rupiah (McGregor, 2003)
Metode analisis minimalisasi biaya adalah analisis farmakoekonomi yang
paling sederhana. Analisis minimalisasi biaya digunakan untuk membandingkan
dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa,
atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang
perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip
efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah
yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan
untuk mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih
intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan
analisis efektivitas biaya. Analisis efektivitas biaya tidak mengukur hasil
pengobatan dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit
alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat
(misalnya, penurunan kadarLDL darah dalam mg/dL, penurunan tekanan darah
diastolik dalam mm Hg)maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut
(misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang
tukak lambung yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan
adalah AUB. Seperti AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter
12
(jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam
unit utilitas, secara teoritis AUB dapatdigunakan untuk membandingkan dua area
pengobatan yang berbeda. Analisis manfaat biaya digunakan untuk
membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan
berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit
berbeda. Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil
pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat
(benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic
benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter. Namun
demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan
hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak
jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi
kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan. Pada penelitian ini
akan memfokuskan bahasan pada medote yang sederhana yaitu analisis
minimalisasi biaya (Walley dkk, 1991).
2.1.1 Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB)
Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, AMiB
hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi
kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama,serupa, atau setara
atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi
(diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Dengan
demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB
13
adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang
akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang
setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak
terbatas, misalnya untuk:
1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik
bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan
kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE). Jikatidak
ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan,
AMiB tidak layak untuk digunakan.
2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.
Dalam hal ini, peneliti akan membandingkan agen inhalasi sevofluran
yang standar digunakan dengan TCI propofol.
Setiap perspektif analisis memiliki banyak jenis biaya yang harus
dimasukkan. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan
keahlian dan ketelitian (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011).
2.2 Anestesi Inhalasi
Tehnik anestesi inhalasi adalah tehnik yang paling sering digunakan untuk
memberi pelayanan anestesi umum di RSUP Sanglah sebelum kemudian muncul
berbagai macam obat anestesi intravena yang menawarkan alternatif dan juga
keuntungan tersendiri. Obat-obat inhalasi juga merupakan obat yang digunakan
pertama dalam anestesi sebelum dihasilkannya jarum hypodermic. Nitrous oxide
(N2O), obat anestesi inhalasi pertama, disintesa pada tahun 1772 dan masih
14
digunakan hingga sekarang. Dalam perkembangannya, ditemukan kemudian gas
berhalogenasi yang dipercaya lebih aman, lebih stabil, dan lebih poten
anestesinya. Tenaga anestesi pada akhir tahun 1800-an menggunakan N2O, diethyl
ether, dan chloroform untuk memfasilitasi pembedahan. Untuk memenuhi
kebutuhan gas anestesi yang dapat bekerja cepat, diciptakan gas anestesi dengan
kelarutan yang rendah: isofluran (1981), desfluran (1992), dan sevofluran (1995).
Tenaga anestesi profesional mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap teknik
anestesi mereka dengan menggunakan gas dengan kelarutan yang lebih rendah.
Dua yang lebih baru, sevofluran dan desfluran, mempunyai keuntungan lebih
banyak termasuk induksi yang lebih cepatjika dibandingkan dengan gas anestesi
yang lebih lama, meskipun ditengarai lebih mahal. Menentukan biaya gas anestesi
penting bagi suatu institusi karena akan berpengaruh besar pada harga pelayanan
kesehatan dengan menggunakan obat secara efektif (Meyer, 2010). Teknik
anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi. Ambilan dan distribusi gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan
oleh ambilan oleh paru, difusi gas dari paru ke darah, distribusi olehdarah ke
organ target. Pembuangan gas anestesi sebagian besar melalui paru-paru.
Sebagian lagi dimetabolisme oleh hepar dan ginjal dengan sistem oksidasi
sitokrom P450. Jumlah agen anestesi yang dikeluarkan dari tubuh melalui
metabolisme lebih kecil dibanding jumlah yang dikeluarkan melalui cara ekspirasi
(Butterworth dkk, 2013;Stoelting dkk, 2006).
15
Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit dan masih merupakan
misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui
pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam
dunia anestesiologi (Latief dkk, 2002).Anestesi inhalasi bekerja pada berbagai
level sistem saraf pusat. Mengacaukan transmisi sinaptik normal dengan
mempengaruhi pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf presinaptik
(menekan eksitatori atau meningkatkan transmisi inhibitori), atau mengganggu
re-uptake neurotransmitter, atau dengan mengubah ikatan neurotransmitter pada
reseptor post sinaptik. Keduanya, baik itu efek pre dan postsinaptik dapat terjadi.
Interaksi langsung dengan membran plasma neuronal lebih sering terjadi,tetapi
selain itu kerja tidak langsung melalui second messenger juga memungkinkan.
Adanya hubungan yang kuat antara kelarutan dalam lemak dan potensi anestesi
menunjukkan agen anestesi inhalasi memiliki kerja pada sisi hidrofobik juga.
Postulat hipotesis reseptor protein mengatakan bahwa susunan saraf pusat
berperan terhadap kerjanya agen anestesi inhalasi. Bagaimanapun, masih
belumjelas apakah agen inhalasi mengganggu aliran ion melalui saluran membran
dengan cara kerja tidak langsungnya pada membran lipid melalui perantara
seccond messenger. Atau secara langsung dan spesifik mengikat saluran protein.
Teori lain menjabarkan mengenai aktivasi dari Gamma Aminobutyric Acid
(GABA) reseptor oleh gen anestesi inhalasi. Agen volatile mengaktifkan GABA
channel dan menghiperpolarisasikan membran sel. Sebagai tambahan, agen ini
juga menghambat calcium channel yang pada akhirnya mencegah pelepasan
neurotransmitter (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).
16
Sevofluran adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi
darah gas sevofluran adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan obat ini
menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang cepat pula setelah
obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isofluran, pemulihan dengan sevofluran
bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum alveolar concentration (MAC) pada
suku kamar 37ºC, pada tekanan 760 mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0%
(Aranake dkk, 2005; Eger dkk, 1965; Eger, 2002). Minimum alveolar
concentration sevoflurane akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur,
pemberian N2O, opioid, barbiturat, benzodiazepine, alkohol, temperatur, obat
yang mempengaruhi konsentrasi katekolamin sentral dan perifer (misalnya:
reserpin, alpha metyl dopa). Minimum alveolar concentration sevoflurane adalah
2,5% untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun dan 3,2-3,3% untuk
dibawah umur 6 bulan (Eger, 2002). Sevofluran memiliki bau yang manis dan
tidak iritatif terhadap saluran nafas bahkan dikatakan dapat menyebabkan
bronkodilatasi sehingga merupakan salah satu obat volatil yang dapat digunakan
untuk induksi inhalasi. Sekitar 3% sampai 5% obat ini mengalami biodegradasi,
metabolitnya berupa fluorida anorganik dan hexafluoroisopropanol. Secara
kimiawi, sevofluran tidak dimetabolisme menjadi acyl halide reaktif seperti pada
halotan. Substansi tersebut yang bersifat hepatotoksik dan tidak dihasilkan oleh
sevofluran sehingga sevofluran dikatakan tidak memiliki efek hepatotoksik.
Namun reaksi antara sevofluran dengan absorber karbon dioksida akan
menghasilkan fluoromethyl-2,2-difluoro-1-(trifluoromethyl) vinyl-ether atau yang
juga dikenal sebagai compound A. Compound A ini bersifat nefrotoksik bila dalam
17
dosis besar yang diberikan pada binatang percobaan dimana terjadi kerusakan
tubulus proximal ginjal. Namun dikatakan bahwa compound A yang terjadi dalam
dosis normal sevofluran yang kita berikan pada pasien jauh lebih rendah dari dosis
yang menyebabkan nefrotoksik walaupun aliran gas segar yang diberikan hanya 1
liter per menit. Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah depresi ringan
terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta tekanan darah
arterial menurun sedikit namun tidak sehebat pada isofluran atau desfluran. Tidak
ada bukti bahwa sevofluran menyebabkan coronary steal syndrome. Pada sistem
pernafasan, sevofluran menyebabkan depresi sistem respirasi dan menyebabkan
bronkodilatasi (Chernin, 2004; Inomata dkk, 1999). Pada sistem saraf pusat,
sevofluran menyebabkan peningkatan cerebral blood flow dan tekanan
intrakranial pada keadaan normokarbia. Sevofluran konsentrasi tinggi (> 1,5
MAC) akan mengganggu autoregulasi otak sehingga bila hal ini terjadi bersamaan
dengan perdarahan maka otak akan gagal melakukan autoregulasi dan perfusi ke
otak akan turun. Pada sistem muskuloskeletal, sevofluran memiliki efek relaksasi
yang baik sehingga dapat diandalkan sebagai relaksan otot pada bayi yang
diinduksi inhalasi dengan sevofluran. Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah
ke ginjal dan metabolitnya yang terbentuk dalam jumlah besar dapat bersifat
nefrotoksik. Sevofluran menyebabkan penurunan aliran darah portal namun
meningkatkan aliran darah ke arteri hepatika sehingga secara umum tidak terlalu
mempengaruhi aliran darah ke hepar serta oksigenasinya.(Fang dkk, 1996; Eger,
2002; Eger, 2010).
18
2.3 Target Controlled Inhalational Anesthesia (TCIA)
Target controlled inhalational anesthesia yang juga disebut end tidal
control adalah sebuah sistem pemberian anestesi yang terdapat pada mesin
anestesi generasi yang baru seperti mesin anestesi Drager Zeus (Dräger Zeus®
Infinity® Empowered Anesthesia Workstation), mesin anestesi AISYS Carestation
(WiproGE healtcare Pvt, Ltd 881), mesin anestesi Drager Primus®
(Sinclair dkk,
2014; Hinz dkk, 2012). Target controlled inhalational anesthesia merupakan
modalitas sistem pemberian anestesi dimana mesin menyesuaikan secara otomatis
kadar agen anestesi untuk mencapai target level yang diinginkan oleh pengguna.
Beberapa mesin mulai dikeluarkan dengan teknologi sirkuit pernafasan semi
tertutup ataupun tertutup secara otomatis untuk mengontrol kadar end tidal (ET)
dari agen anestesi volatil, oksigen dan nitrous oxide (N2O). Penggunaan agen
anestesi inhalasi pada sirkuit semi tertutup ataupun tertutup membuat agen volatil
anestesi bisa dihirup kembali. Hal ini membuat perbedaan pada agen anestesi
volatil yang diberikan dan yang di inspirasi tergantung pada fresh gas flow
(FGF). Sehingga FGF yang tinggi dibutuhkan pada permulaan anestesi agar bisa
mendapatkan kontrol yang cepat terhadap kadar ET anestesi. Kondisi tersebut
membuat aliran gas yang lebih besar dan meningkatkan biaya serta polusi
lingkungan. Fresh gas flow yang rendah dapat digunakan ketika kadar konsentrasi
ET anestesi yang stabil untuk periode waktu tertentu. Tehnik yang memamfaatkan
aliran FGF yang kurang dari ventilasi alveolar dapat diklasifikasikan sebagai low
flow anesthesia didefinisikan sebagai tehnik dimana setidaknya 50% gas ekspirasi
dikembalikan lagi ke paru-paru setelah karbondioksida mengalami penyerapan.
19
Low flow anesthesia adalah suatu tehnik yang benar-benar sangat berarti dalam
penghantaran aliran gas kurang dari 2 liter per menit yang digunakan untuk
memberikan agen anestesi kepada pasien (Potdar dkk, 2014; Baum, 1994).
Kontrol gas anestesi secara otomatis untuk mewujudkan keamanan pasien yang
lebih baik dan pengoperasian yang lebih sederhana. Penggunan kontrol anestesi
yang tepat melalui dosis agen anestesi yang tepat adalah sangat penting untuk
keamanan pasien. Dengan mesin anestesi generasi terbaru yang telah menerapkan
sistem target controlled anesthesia (TCA) memungkinkan dapat secara akurat
mengontrol otomatis penggunaan oksigen, gas pembawa, anestesi volatil, dan juga
kontrol manual dosis fresh gas. (Singaravelu dkk, 2012; Olympio, 2015). Sistem
TCA ini memungkinkan dokter anestesi dapat menentukan target nilai. Fungsi
TCA memastikan bahwa target nilai ini tercapai dan dapat dipertahankan dengan
baik. Kontrol secara otomatis akan dapat memberikan secara tepat jumlah gas
anestesi yang diberikan, dan tidak hanya membuat induksi dan pemulihan anestesi
yang cepat namun juga dapat memberikan kedalaman anestesi yang stabil. Target
controlled anesthesia dapat membantu menentukan target efek dari anesthesi
yang diberikan dengan lebih akurat, hal ini berarti menjadi mungkin sebelum
induksi dapat diatur konsentrasi ET agen anestesi sehingga menjadi sangat dekat
dengan efek yang diinginkan. Jumlah gas anestesidalam dosis yang tepat pada
sistem mesin generasi terbaru menurunkan konsumsi gas dan agen anestesi yang
kemudian akan menurunkan biaya anestesi. Pada mode operasi sistem tertutup gas
yang dikonsumsi hanya sebanyak yang digunakan oleh pasien. Penggunaan gas
menjadi lebih sedikit dgn low flow atau minimal flow anestesia dan dengan
20
aplikasi pemberian anestesi yang semuanya secara otomatis. Agen anestesi yang
digunakan secara langsung diaplikasikan pada sirkuit pernafasan, hal ini berarti
waktu yang dibutuhkan untuk anestesi menjadi lebih optimal, tidak tergantung
pada suplai fresh gas (Singaravelu dkk, 2012; Tay, 2013; Weich dkk, 1991).
Pertimbangan ekonomis dan lingkungan menjadi dasar pada
pengembangan sirkuit semi tertutup untuk pemberian anestesi volatil yang mana
sebagian besar campuran volatil anestesi akan dihirup kembali sehingga terjadi
perbedaan antara konsentrasi gas yang diberikan dan dinspirasi tergantung
padaFGF. Terkadang dalam beberapa kasus FGF yang tinggi dibutuhkan untuk
memperoleh kontrol kadar ET anestesi yang cepat (biaya dan polusi lingkungan
menjadi lebih tinggi) dan pada kasus kasus lain FGF yang rendah dapat diberikan
ketika konsentrasi ET stabil utk periode waktu tertentu. Pemberian gas dan sistem
vaporizer dapat dikontrol baik secara manual untuk anestesi low flow (500-1000
ml/menit) atau minimal flow (250-500 ml/menit) ataupun yang disebut mode
autokontrol dimana FGF komposisinya secara otomatis disesuaikan dgn
kebutuhan pasien baik oksigen maupun agen volatil. Dokter anestesi pada
awalnya menentukan target konsentrasi ET dan kemudian secara manual
menyesuaikan target ini berdasarkan kebutuhan pasien. Konsentrasi inspirasi dan
ekspirasi diukur oleh teknologi inframerah side stream dan sensor oksigen
paramagnetik. Aliraran gas dikembalikan kedalam sistem sehingga sistem
sepenuhnya menjadi tertutup. Sebagai tambahan campuran fresh gas dikontrol
secara otomatis untuk menjaga konsentrasi oksigen pada target level dan dapat
dipertahankan tekanan yang konstan pada akhir ekspirasi. Jika tekanan ini
21
menurun, FGF secara otomatis akan ditingkatkan sebaliknya jika tekanan naik
FGF akan diturunkan. Sehingga pada kondisi yang stabil hanya sedikit atau tidak
ada gas yang terbuang, inilah yang merupakan ciri sistem tertutup. Sebagai
konsekuensi dari sistem tertutup ini dengan konsentrasi oksigen yang stabil
oksigen yang mengalir ke dalam sistem dapat dianggap sebagai oksigen yang
dikonsumsi oleh pasien. Anestesi volatil diberikan dengan cara injeksi sehingga
untuk meningkatkan konsentrasi anestesi volatil tanpa meningkatkan FGF. Jumlah
yang diberikan dikalibrasi untuk mencapai konsentrasi ET yang diinginkan dalam
waktu kurang dari tiga menit tanpa overshooot, berdasarkan farmakokinetik yang
meliputi fungsional residual kapasitas yang dihitung berdasarkan berat badan dan
tinggi badan pasien (Ponsonnard dkk, 2014; Patil dkk, 2013; Baxter 1997). Untuk
keamanan konsentrasi agen volatil dalam sirkuit dibatasi agar level inspirasi
menjadi tidak lebih tinggi dari pada yang diperoleh dengan vaporiser tradisional.
Sistem keamanan menggunakan sensor sidestream yang berdiri sendiri untuk
mengukur volatil agen dan konsentrasi oksigen yg diinspirasi. Target controlled
anesthesia diharapkan dapat:
1. Meminimalisasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ET anestesi yg
diinginkan.
2. Mengurangi overshoot dan fluktuasi
3. Mengurangi konsumsi gas dan penguapan
4. Mengurangi jumlah pengaturan yang diperlukan (semua ini mirip dengan
pengaturan agen intra vena dengan TCI)
22
Target controlled anesthesia dapat mencapai keseimbangan sama cepat
dengan pemberian secara manual (konvensional) dengan FGF yang tinggi tetapi
sistem ini tanpa menimbulkan overshoot, dan secara signifikan akan mengurangi
konsumsi volatil agen. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Lockwood dkk, 2001; Loke dkk,
1993).
Gambar 2.1
(a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional
(b) Skema Diagram Sirkuit Pernafasan Anestesi dengan End Tidal Control.
(Dikutip dari GE Healthcare 2014)
23
2.3.1 Mekanisme Dari Target Controlled Inhalational Anesthesia
Target controlled inhalational anesthesia adalah sebuah mekanisme dalam
sistem pernafasan, dimana nilai gas yang diinginkan ditentukan secara
komputerisasi, untuk mencapai target pemberian gas. Sirkuit pernafasan anestesi
di dalam mesin ini meliputi pencampur gas yang mengatur jumlah oksigen dan
udara atau N2O yang diberikan kepada pasien tergantung pada pengaturanya.
Selector valve akan terbuka sesuai dengan mode yang dipilih. Sensor secara terus
menerus akan memantau proses pencampuaran gas. Gas yang tercampur keluar
dari pencampur dan mengalir ke vaporiser elektronik, dimana proses penguapan
agen terjadi menggunakan aliran by pass konvensional dan prinsip penguapan
bebas. Dari sini gas akan mengalir melalui katup inflow dan outflow. Meskipun
begitu pengiriman agen yang sesungguhnya di kontrol oleh vaporiser elektronik.
Alat ini mengatur aliran by pass dan juga mengontrol katup inflow dan out flow
untuk mencapai aliran keluaran gas yang diinginkan. Multipel sensor dalam jalur
perjalanan gas secara konstan memantau aliran dan tekanan untuk memastikan
konsentrasi gas yang diinginkan dalam FGF, bahkan pada FGF yang minimal.
Konsumsi dari berbagai gas inhalasi secara otomatis dihitung oleh perangkat
lunak komputer di dalam mesin. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Nugroho dkk, 2012;
Cooman dkk, 2009).
Mesin anestesi yang bisa menerapkan sistem TCIA secara manual
controlled di RSUP Sanglah Denpasar adalah mesin anestesi Drager Primus.
Maka pada penelitian ini akan menggunakan mesin tersebut di atas. Demi
keseragaman dalam pemberian intervensi terhadap subyek penelitian maka dalam
24
penelitian ini hanya akan menggunakan TCIA sevofluran. Obat ini dipilih demi
kemudahan secara teknis karena obat ini tersedia di RSUP Sanglah.
Gambar 2.2
Foto Mesin Anestesi Dräger Zeus®
Infinity®
Empowered
Gambar 2.3
Foto Mesin Anestesi AISYS Carestation
25
Gambar 2.4
Foto Mesin Anestesi Dräger Primus®
Gambar 2.5
Foto Layar Monitor End Tidal Control pada Mesin Anestesi Drager Primus
(Dikutif dari Drägerwerk AG & Co. KGaA, 2015).
26
2.3.2 Anestesi Dengan Fresh Gas Glow Yang rendah
Anestetik inhalasi dengan kelarutan dalam darah dan jaringan yang
rendah, akan memfasilitasi kesetimbangan dengan cepat antara konsentrasi di
dalam alveolus dan konsentrasi di otak, membuatnya cocok untuk teknik
anestesi aliran rendah. Sebagian besar mesin anestesi modern telah dilengkapi
dengan sistem circle rebreathing yang menurunkan kecepatan FGF. Manfaat
teknik rebreathing lebih nyata jika kecepatan FGF diturunkan hingga kurang dari
setengah minute ventilation (MV) (MV = udara yang keluar masuk paru dalam 1
menit) pasien, biasanya < 3 L/menit. Teknik FGF rendah mempengaruhi kinetik
gas pada sistem sirkuit khususnya jika FGF < 1 L/menit, sehingga diperlukan
pemantauan konsentrasi gas inspirasi dan ekspirasi (Odin, 2005; Baum, 1997).
Pemantauan gas komprehensif tidak hanya menjamin keamanan pasien, tetapi
juga memfasilitasi pemberian gas yang tepat untuk pasien. Anestesi aliran rendah
dapat didefinisikan sebagai suatu teknik yang menyesuaikan FGF dengan
kebutuhan oksigen pasien(sekitar 200 ml/menit) dan untuk anestetik volatil, tetapi
dengan aliran yang sama melepaskan komponen tidak diinginkan seperti nitrogen
(atau methane) ke sistem scavenging gas anestesi. Anestesi aliran rendah
menggunakan FGF kurang dari setengah MV pasien, biasanya < 3 L/menit.
Foldes, 1954 menurunkan FGF menjadi 1 L/menit. Teknik anestesi aliran rendah
tidak hanya memberikan pertimbangan ekonomis dan manfaat ekologi, tetapi juga
meningkatkan kualitas perawatan pasien. Sebanyak 80% gas anestetik dibuang
saat digunakan FGF 5 L/menit. Beberapa studi juga membuktikan bahwa
penggunaan teknik anestesi aliran rendah dan minimal dapat secara dramatis
27
menurunkan biaya tahunan anestetik volatil. Penurunan FGF dari 3 L/menit
menjadi 1 L/menit menghasilkan penghematan sekitar 50% konsumsi total
anestetik volatil. Anestesi aliran tinggi juga menyebabkan polusi lingkungan.
Sebagai contoh, N2O diperkirakan bertanggung jawab terhadap10% efek rumah
kaca. Halothan, enfluran, dan isofluran mengandung chlorine, yang diyakini
mempunyai potensi merusak lapisan ozon. Sedangkan desfluran dan sevofluran
tidak mengandung chlorine dan tampaknya tidak mempunyai efek gas rumah kaca
(Nunn, 2008; Baum, 2001; Coetzee dkk, 2002). Penurunan FGF menyebabkan
pelepasan anestetik yang lebih sedikit ke lingkungan dan menyebabkan lebih
sedikit polusi atmosfer. Gas yang dihantarkan dengan FGF tinggi biasanya kering
dan dingin, sedangkan penurunan FGF membuat gas yang di-resirkulasi hangat
dan lembab. Lebih banyak gas yang disirkulasi melalui CO2 absorber, lebih
banyak panas dan kelembaban yang dihasilkan melalui proses absorpsi CO2.
Menghirup gas yang hangat dan lembab selama anestesi bermanfaat untuk pasien
karena beberapa alasan:
- Gas yang hangat dapat mempertahankan suhu tubuh. Di beberapa negara
atau di praktek pediatrik, di mana alat pertukaran panas dan kelembaban
tidak digunakan secara rutin, konservasi panas dan kelembaban dalam
sistem pernapasan dibantu dengan penggunaan FGF rendah.
- Pencegahan kehilangan panas selama anestesi mencegah kejadian
menggigil pascaoperasi.
28
- Humidifikasi gas pernapasan akan menurunkan kehilangan air dari jalan
napasdan mencegah pengeringan jalan napas dan bronkus selama intubasi
endotrakeal (Nunn, 2008; Bratwall dkk, 2012; Baum, 1995).
2.3.3 Farmakoekonomi Target Controlled Inhalational Anesthesia
Analisis terhadap penggunaan sumber daya dan biaya yang efektif telah
menjadi prioritas dalam mengelola suatu layanan kesehatan. Ini menyediakan
tantangan untuk penyedia layanan anestesi yang menginginkan memberikan
layanan berkualitas yang aman tapi ekonomis. Dalam anestesi, penggunaan
volatil/gas anestesi menyumbang hingga 20-25% dari biaya total anestesi secara
keseluruhan. Biaya penggunaan gas anestesi bervariasi pada setiap institusi dan
lokasi. Tantangan terbesar untuk farmasi rumah sakit adalah menganggarkan
biaya obat. Merancang anggaran untuk obat intravena jauh lebih mudah daripada
gas anestesi karena ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diterima dan
dimasukkan. Menghitung biaya obat gas anestesi dibuat berdasar metode
penyampaian. Gas anestesi dibeli dalam bentuk cair dan dimasukkan melalui
vaporizer, membuatnya menjadi sulit untuk mengukur secara langsung berapa gas
anestesi yang telah digunakan per kasus tanpa bantuan vapor analyzer.
Konsentrasi penyampaian yang bervariasi dan teknik penyampaian dapat
meningkatkan atau menurukan konsumsi total gas anestesi dan secara signifikan
merubah biaya akuisisi (Daya, 2008; Golembiewsky, 2010).Tujuh metode analisis
biaya ditemukan dalam literatur untuk tenaga anestesi profesional dalam
menentukan biaya gas anestesi, yaitu: (1) Pengukuran berat, (2) Perbandingan
29
Minimum alveolar concentration, (3) Model empat kompartemen, (4) Persamaan
volume persen, (5)Pengukuran volume,(6) Formula Dion, dan (7) Formula Loke.
Sudah ditentukan bahwa formula Dion merupakan metode yang lebih diandalkan
untuk tenaga anestesi profesional untuk menentukan biaya gas anestesi.
Menghitung jumlah gas yang digunakan menggunakan formula Dion dapat
mempermudah dalam melakukan kalkulasi biaya. Untuk menentukan total biaya
gas anestesi, adalah penting untuk menentukan persen konsentrasi, jumlah FGF,
densitas, dan berat molekul dari gas tersebut. Eger menyatakan bahwa meskipun
biaya per-satuan/unit cost sevofluran lebih mahal daripada desfluran, di mana
dibutuhkan kira-kira tiga kali jumlah desfluran untuk menciptakan kedalaman
anestesi seperti pada sevofluran pada flow rate yang sama. Hal ini disebabkan
karena perbedan dalam hal potensiasi, di mana untuk mencapai satu MAC
dibutuhkan kurang lebih 2% sevofluran dan 6% desfluran. Minimum alveolar
concentration didefinisikan sebagai konsentrasi minimum alveolar dari gas
anestesi inhalasi yang menghasilkan immobilisasi dari 50% populasi yang
dilakukan insisi surgikal (Eger, 2010). Frank Aroh mengklaim bahwa meski
sevofluran lebih mahal per mL, namun MAC desfluran yang tiga kali lebih tinggi
dibanding MAC sevofluran, membuat sevofluran gas yang lebih murah untuk
digunakan. Aroh menyimpulkan hal di atas berdasarkan kalkulasinya hanya
dengan dua variabel, MAC dan unit biaya. Aroh mengklaim bahwa Montefiore
Medical Center dapat menghemat $100,000 selama satu tahun dengan
meningkatkan pengunaan sevoflurandan menurunkan pengunaan desfluran
(Traynor, 2009).Tidak ada metode untuk menghitung biaya atau pengunaan gas
30
anestesi yang disinggung dan tidak ada analisis biaya yang dibuat. Lockwood dan
White pada tahun 2001 memasukkan sistem kompartemen empat model dari
Weiskopf dan Eger untuk menciptakan model komputer guna membandingkan
langsung biaya isofluran, desfluran, dansevofluran pada sistem terbuka dan
tertutup. Model komputer empat kompartemen memperhitungkan kelarutan,
penyerapan, dan penghapusan gas anestesi dalam tubuh. Biaya dari gas volatil
anestesi dapat ditentukan dengan menggunakan harga pasar, potensi, jumlah uap
yang dihasilkan, dan aliran FGF. (Odin dkk, 2005). Peter Dion (1992)
menyatakan formula untuk langsung mengukur biaya gas anestesi
menggabungkan hukum gas ideal hukum. Biaya agen anestesi dapat dihitung dari
konsentrasi (%) gas yang telah dikirimkan, FGF (L/ menit) , durasi pengiriman
anestesi inhalasi (menit), berat molekul (molecul weight/ MW dalam gram) , biaya
per ml (dalam dolar), faktor 2412 untuk memperhitungkan volume molar gas pada
21° C (24,12 L), dan kepadatan (D dalam gr/mL).
Rumus dari Formula Dion adalah sebagai berikut :
BIAYA ( $ ) = [ (Konsentrasi) (FGF) (Durasi) (MW) (Biaya / mL) ]
[ (2412) (D) ]
Formula Dion menggunakan hukum gas ideal untuk mengkonversi ml gas
anestesi menjadi mlcairan gas anestesi, yang kemudian digunakan untuk
menentukan biaya menggunakan harga per ml. Untuk merubah volume menjadi
ml cairan gas anestesi, densitas dan berat molekul digunakan untuk megkonversi
gas anestesi menjadi mol, dan mol kemudian dirubah menjadi ml cairan gas
anestesi menggunakan faktor konversi 2412. Menurut ekuasi hukum gas
31
universal, satu mol dari gas ideal pada tekanan satu atmosfir pada suhu 21o C akan
menjadi 24,12 liter cairan. Formula Dion tidak mengambil jumlah distribusi dan
uptake secara spesifik tapi lebih kepada jumlah gas anestesi inhalasi. Jumlah
vapor yang digunakan menetukan biaya,membuat formula Dion metode yang
dapat dipercaya untuk perhitungan biaya dan menunjukkan sevofluran sebagai gas
anestesi yang paling ekonomis dibandingkan desfluran. Loke dan Shearer
mempertanyakan penggunaan rumus Dion di agents volatil baru mereka
menggunakan rumus asli Dion dan memasukkan hukum gas ideal langsung
menjadi rumus daripada menggunakan faktor konversi 2.412 untuk 24.12 Liter,
yang menggambarkan volume molar gas pada satu atmosfer di 21º C. Loke lalu
memformulasikan untuk menggantikan konstanta 2412 dengan suhu atmosfer
dalam pascal, hukum gas ideal konstan 8.314, dan temperatur di Kelvin. Loke dan
Shearer juga memasukan biaya gas pembawa nitrous oxide dan oksigen dan
dibandingkan halotan, enfluran, dan isofluran (Loke dkk, 1993). Saat publikasi
tersebut, desfluran dan sevofluran belum tersedia di Australia.
FORMULA DION
Biaya per MAC jam ( $ ) = [ (MAC) (FGF) (60 menit) (MW) (Biaya / mL) ]
[ (2412(D)) ]
FORMULA LOKE
Biaya per MAC jam ( $ ) = [ (MAC) ( FGF ) (60 menit) (MW) (Biaya / mL) ]
[ (Tekanan/(RT)(D) ]
Menentukan biaya gas anestesi adalah tugas yang sulit untuk dibuat
bahkan lebih menantang dengan berbagai metode yang tersedia untuk menentukan
biaya. Dari tujuh metode dalam literatur, enam ditemukan menjadi tidak praktis
atau tidak akurat. Mengukur beratnya vaporizer adalah mustahil untuk dilakukan
32
dalam situasi ruang operasi yang sibuk . Metode komputerisasi data log dan
metode empat kompartemen juga tidak mengungkapkan perhitungan biaya
sehingga sulit untuk menentukan akurasi. Sebuah perbandingan sederhana MAC
tidak menjadi faktor variabel penting seperti FGF dan perbedaan sifat gas
anestesi. Menggunakan perhitungan volume persen tidak akurat karena didasarkan
pada konsentrasi yang dipanggil dan bukan konsentrasi yang sebenarnya
ditentukan dengan rumus gas analyzer. Formula Loke, versi modifikasi dari
formula Dion, tidak terlalu bermakna karena pada kenyataannya perbandingan
biaya akan terjadi di fasilitas yang sama dengan tekanan atmosfer dan suhu sama.
Formula Dion mudah direproduksi, akurat, dan merupakan metode yang paling
direferensikan untuk menghitung biaya dalam literatur. Weinberg dkk menyatakan
Formula Dion sebagai alat farmakoekonomi sederhana yang dapat digunakan oleh
setiap dokter ahli anestesi (Weinberg dkk, 2010). Mayoritas literatur mendukung
sevofluran sebagai gas anestesi dengan biaya yang paling efektif dengan
menggunakan laju aliran yang sama. Namun
kesimpulan bahwa satu obat lebih atau kurang efektif daripada yang lain jarang
dapat diterjemahkan dari satu daerah ke daerah lain karena variabilitas dalam
biaya pembelian obat dan ketersediaan formulasi generik sevofluran. Oleh karena
itu, di beberapa institusi, sevofluran mungkin lebih murah daripada desfluran,
namun di institusi lain mungkin berlaku sebaliknya. Sesuai dengan formula Dion,
seorang ahli anestesi mampu menurunkan biaya gas anestesi dengan
menggunakan FGF rendah. Namun dengan lahirnya mesin anestesi generasi
terbaru, menghitung kebutuhan obat anestesi volatil di akhir proses anestesi sudah
33
semakin mudah (Crozier, 1999). Pada mesin anestesi Drager Primus jumlah (ml)
obat anestesi volatil yang digunakan dapat dilihat dengan menekan tombol
logbook pada layar monitor mesin setelah berakhirnya proses anestesi dikerjakan,
maka akan keluar jumlah obat anestesi yang dipakai selama proses anestesi
berlangsung. Demikian juga jumlah (dalam satuan liter) oksigen dan compressed
air dan N2O yang terpakai selama proses anestesi dapat diketahui dengan mudah
hanya dengan menekan tombol logbook dilayar monitor setelah proses anestesi
berakhir. Sediaan agen volatil sevofluran yang terdapat di IBS RSUP Sanglah
Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi
farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah : Sevofluran SOJOURN produksi Minrad
inc. 250 ml/botol dengan harga Rp. 1.465.000,- (HET Rp. 3.813.350,-). Jika
dibagi volume per botol sebanyak 250 ml maka didapatkan harga per-ml volume
Sevofluran Sojourn sebesar Rp. 5.860,-/ml.
2.4 Anestesi Intravena
Tujuan dari anestesi umum adalah analgesia, menghilangkan kecemasan,
amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular,
motorik serta hormonal terhadap stimulasi pembedahan.Obat anestesi intravena
yang ideal haruslah menyediakan semua komponen tadi tanpa menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan terhadap sistem kardiovaskular. Obat anestesi
intravena diharapkan menginduksi hilangnya kesadaran dengan cepat dan juga
cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi sistem saraf
34
pusat seperti sebelum pembiusan. Karena tidak ada obat tunggal yang sempurna
maka pada praktiknya, obat anestesi sering diberikan berupa kombinasi.
Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan.
Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak
tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi, semakin populer dan semakin luas
penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Propofol adalah 2,6-
diisopropylphenol yang diberikan secara intravena dalam konsentrasi 1% dalam
minyak kedelai 10%. Propofol dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgbb diberikan intravena
akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses
pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien
cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang
minimal merupakan keuntungan propofol. Propofol tidak larut dalam air dan pada
awalnya disediakan dengan Cremophor EL, namun karena banyaknya reaksi
anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya diubah menjadi bentuk emulsi. Namun
penyuntikan propofol di vena perifer akan menyebabkan rasa nyeri sehingga
sebelum obat ini disuntikkan dapat diberikan lidokain 1% intravena. Kejadian
mual muntah paska operasi sangat jarang karena propofol memiliki efek anti
muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efek antipruritik,
antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Propofol dalam dosis 1,5-2,5
mg/kgbb diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam
waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat
anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol
dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Secara subyektif
35
pasien merasa lebih baik dan lebih segar paska anestesi dengan propofol
dibandingkan obat anetesi induksi lainnya. Karena keunggulan sifat inilah
propofol dipergunakan sebagai obat induksi dan pemeliharaan anestesi, sehingga
penggunaannya begitu luas di seluruh dunia. Propofol adalah modulator selektif
reseptor γ-aminobutyric acid (GABA). GABA merupakan neurotransmitter
inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan, terjadi
peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi
membrane sel postsinap dan inhibisi fungsi neuron postsinap. Interaksi antara
propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter
inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA. Propofol
digunakan sebagai obat induksi, untuk pemeliharaan anestesia maupun sebagai
sedasi. Selain efek utamanya tersebut propofol juga memiliki efek lain sebagai
antiemetik, antipruritik, antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus.
Insiden mual muntah pasca operasi berkurang bila propofol digunakan tanpa
memandang tehnik anestesi serta obatlain yang digunakan (Borgeat dkk, 1994).
Dosis subhipnotik (10 sampai 15 mg) intravena dapat digunakan pasca anestesia
sebagai anti mual muntah. Diduga kuat propofol memiliki aktivitas antiemetik
melalui modulasi jaras subkortikal dan menekan langsung di pusat muntah.
Propofol memiliki efek antioksi dan yang mirip dengan vitamin E (Daskalopoulos
dkk, 2001, Peters dkk, 2001). Seperti vitamin E, propofol memiliki grup phenolic
hydroxyl yang menangkap radikal bebas dan mencegah peroksidasi lipid. Potensi
propofol sebagai proteksi otak mungkin berhubungan dengan aktivitas antioksidan
dari struktur cincin phenol. Propofol bereaksi dengan radikal lipid peroxyl
36
sehingga menghambat peroksidasi lipid dengan membentuk radikal yang cukup
stabil propofol phenoxyl. Selain itu Propofol juga menangkap peroxynitrite yang
merupakan metabolit reaktif yang paling kuat dalam menginisiasi peroksidasi
lipid. Karena aktivitasnya ini propofol diketahui menekan fagositosis.Uji coba
klinis pertama terhadap propofol membuktikan bahwa obat ini adalah obat induksi
dengan sifat onset kerjanya cepat dengan durasi kerja cepat dan waktu
pemulihannya singkat dan stabil, dengan efek samping yang relatif kecil. Selama
tiga puluh tahun telah banyak studi yang mempelajari obat ini termasuk tentang
farmakokinetiknya bila diberikan dengan cara yang berbeda. Cara pertama adalah
injeksi tunggal dan yang kedua adalah injeksi kontinyu. Propofol diyakini
memiliki karakteristik yang sesuai dengan model tiga kompartemen. Propofol
dapat digunakan sebagai obat induksi yang kemudian lanjut sebagai pemeliharaan
pembiusan. Propofol juga digunakan sebagai obat untuk sedasi di ruang operasi
maupun di tempat lainnya. Propofol juga dikenal dapat menekan kejadian mual
muntah pasca operasi. Mual muntah pasca operasi dipengaruhi tiga hal yaitu
pasien, operasi dan pembiusannya. Tindakan serta obat anestesi dapat
memberikan kontribusi terhadap terjadinya mual muntah pasca operasi. Tindakan
laringoskopi intubasi, inflasi lambung saat ventilasi sungkup muka,
menggerakkan kepala pasien segera setelah bangun, obat opioid serta obat volatil
merupakan faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya mual muntah pasca
operasi (Triem, 2009; Butterworth dkk, 2013; Bertram, 2004).
37
2.4.1 Mekanisme Kerja Propofol
Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang merupakan
neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA
diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga
terjadi hiperpolarisasi membran sel post-sinap dan inhibisi fungsi neuron post-
sinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan
disosiasi neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga
memperpanjang efek GABA (Butterworth dkk, 2013)
2.4.2 Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol
Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki kemampuan
hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-diisophropyl-phenol) terdiri dari
cincin phenol dengan dua gugus isoprophyl. Karakteristik potensi, kecepatan
induksi dan waktu pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai
alkilphenol ini. Propofol tidak larut dalam air tetapi merupakan suatu emulsi
minyak dan air. Alkilphenol menjadi minyak dalam temperatur kamar dan tidak
larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut lemak. Formulasi yang ada
sekarang mengandung 1% propofol, 10% soy bean oil (minyak kedelai), 2,25%
glycerol (gliserol), dan 1,2% egg fosfatide (fosfatida telur murni) atau lecitin
telur (kuning telur). Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap telur belum
tentu akan alergi terhadap propofol karena kebanyakan reaksi alergi telur
disebabkan oleh bagian putih telur, sedangkan lecitin telur berasal dari ekstraksi
kuning telur. Keburukan propofol yang dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang
38
timbul saat penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH
sekitar 7. Formula propofol di atas sangat mudah menjadi media tumbuh bakteri,
sehingga tehnik seril sangat diperlukan dalam penggunaan propofol dan sebaiknya
tidak melebihi 6 jam dari saat pertama kali membuka ampul obat. Saat ini
propofol sudah mengandung 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium
metabisulfite untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini
belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat. Semua formula yang
tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan tidak sensitif terhadap
cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam larutan,
sebaiknya dilarutkan dalam dextrose 5% air (D5W) secara teori larutan ini akan
mengakibatkan sedikit perubahan pada farmakokinetik, pemecahan emulsi,
degradasi spontan propofol dan kemungkian perubahan efek farmakologi
(Butterworth dkk, 2013).
2.4.3 Farmakokinetik Propofol
a. Absorpsi
Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk
penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai
berat.
b. Distribusi
Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan
onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan
bolus sampai pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit.
39
Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit (Katzung, 2004). Banyak peneliti
yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu pemulihan propofol
lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat lain
(methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini menyebabkan propofol
menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Sehubungan
dengan volume distribusi yang lebih rendah pada orang dewasa maka
kebutuhan dosis induksi lebih rendah dan perempuan memerlukan dosis yang
lebih besar dibanding laki-laki juga waktu bangun pada perempuan lebih
cepat. Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen,
dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan
menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh
distribusi awal dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen
waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan
waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam. Waktu paruh yang panjang diakibatkan
oleh karena adanya kompartemen dengan perfusi terbatas.Context sensitive
half time untuk infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol
mengalami distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat.
Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari propofol
hanya 50%, sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat meskipun
pada infus kontinyu yang lama (Hasani dkk, 2015).
40
c. Biotransformasi
Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10
kali lipat dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan
setelah pemberian infus kontinyu.
d. Ekskresi
Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui
ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol.
2.4.4. Farmakodinamik Propofol
a. Susunan Saraf Pusat
Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan meningkatkan aliran γ-
amino butyric acid induced chloride melalui ikatan pada subunit β dari
reseptor GABA. Propofol melalui aksinya pada reseptor GABA di
hippokampus menghambat pelepasan asetilkolin di hipokampus dan korteks
prefrontal. Sistem α2-adrenoreseptor juga tampaknya memainkan peran tidak
langsung dalam efek penenang propofol. Propofol juga bekerja pada
penghambatan dari subtipe N-metil-D-aspartat (NMDA) dari reseptor
glutamat melalui modulasi kanal sodium, sehingga menyebabkan efek pada
sistem saraf pusat (SSP). Propofol tidak memiliki komponen analgetik. Dua
efek menguntungkan propofol adalah efek antiemetik dan rasa nyaman pada
pasien. Propofol meningkatkan konsentrasi dopamin di nucleus accumbens.
Efek antiemetik propofol dapat dijelaskan dengan penurunan kadar serotonin
yang dihasilkan dalam daerah postrema, yang mungkin disebabkan karena
41
penghambatan GABA. Permulaan hipnosis setelah pemberian dosis 2,5
mg/kgbb sangat cepat (arm-brain circulation time), dengan efek puncak
terlihat pada 90 sampai 100 detik. Dosis efektif median (ED 50) propofol
untuk hilangnya reflek mata adalah 1 sampai 1,5 mg/kgbb setelah bolus.
Durasi hipnosis adalah tergantung dosis, antara 5 sampai 10 menit setelah 2
sampai 2,5 mg/kgbb bolus propofol. Efek propofol pada EEG yang dinilai
setelah pemberian 2,5 mg/kgbb diikuti dengan pemberian kontinyu
menunjukkan peningkatan awal dalam irama alfa diikuti dengan pergeseran
ke gamma dan frekuensi theta. Pada pemberian pemberian propofol dari dosis
3µg/ml ke dosis 8 µg/ml awalnya amplitudo akan meningkat dan diikuti
penurunan amplitudo yang nyata bila diberikan lebih dari 8 µg/ml.
Konsentrasi propofol di mana 50% dari orang coba gagal menanggapi
perintah lisan adalah pada dosis 2,5 µg/ml. Kejang (gerakan involunter)
setelah pemberian propofol telah dilaporkan, terutama pada induksi, jarang
selama operasi berlangsung dan kadang-kadang pascaoperasi. Opistotonus
juga pernah dilaporkan karena pemberian propofol. Rasa nyaman, fantasi
sexual dan halusinasi merupakan efek sentral yang menyenangkan karena
propofol. Dosis propofol menjadi lebih rendah jika dikombinasikan dengan
obat lain. Konsentrasi propofol (jika dikombinasikan dengan nitric acid 66%)
diperlukan selama operasi adalah 1,5-4,5 µg/ml, dan konsentrasi untuk
operasi besar adalah 2,5-6 µg/ml (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk,
2006).
42
b. Kardiovaskular
Efek utama propofol pada sistim kardiovaskular adalah menurunkan
tekanan darah dengan cara menurunkan systemic vascular resistance (SVR)
yaitu dengan menghambat aktivitas vasokonstriktor oleh sistim simpatis,
menurunkan kontraktilitas otot jantung, dan menurunkan preload. Kejadian
hipotensi pada pemberian propofol lebih sering terjadi dibandingkan dengan
tiopental tetapi biasanya akan dihilangkan akibat perlakuan saat laringoskopi
intubasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipotensi adalah
besarnya dosis, kecepatan injeksi dan umur tua. Efek kardiovaskular propofol
telah dievaluasi setelah penggunaannya untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi. Efek yang paling menonjol propofol adalah penurunan tekanan
darah arteri selama induksi anestesi. Terlepas dari adanya penyakit
kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5 mg/kg menghasilkan penurunan
25% sampai 40% dari tekanan darah sistolik, perubahan serupa terlihat pada
tekanan darah rata-rata dan diastolik. Penurunan tekanan arteri dikaitkan
dengan penurunan curah jantung kurang lebih 15%, indek volume sekuncup
kurang lebih 20%, dan tahanan vaskular sistemik 15% sampai 25%. Dalam
tinjauan retrospektif terhadap 2406 pasien, Reich menunjukkan bahwa 9%
dari pasien mengalami hipotensi berat, 0 sampai 10 menit setelah induksi
anestesi umum. Prediktor signifikan secara statistik multivariat hipotensi 0
sampai 10 menit setelah induksi anestesi termasuk status fisik ASA kelas III
dengan V, dengan dasar TAR kurang dari 70 mmHg, usia 50 tahun atau lebih,
menggunakan propofol dan fentanil untuk induksi anestesi. Kombinasi
43
propofol dengan fentanil adalah stimulus utama yang ampuh untuk hipotensi.
Selama pemeliharaan anestesi dengan infus propofol, tekanan darah sistolik
arteri juga menurun menjadi 20% sampai 30%. Pada pemberian dosis
pemeliharaanpropofol 100 µg/kgbb/menit terjadi penurunan yang signifikan
dalam resistensi pembuluh darah sistemik (30%), tetapi curah jantung dan
volume sekuncup tidak berubah. Efek penekanan pada pembuluh darah
(vasodilatasi), konsumsi oksigen dan penekanan pada otot jantung jauh lebih
jelas terjadi pada saat induksi dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. Efek
lain propofol adalah tidak meningkatkan blokade neuromuskuler yang
dihasilkan oleh obat pelumpuh otot (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk,
2006).
c. Respirasi
Apnea bisa terjadi setelah pemberian dosis induksi propofol, kejadian
dan lamanya apnea bergantung pada dosis, kecepatan injeksi, dan
premedikasi yang diberikan sebelumnya. Sebesar 25% sampai 30% pasien
mengalami apnea selama induksi propofol. Durasi apnea terjadi akibat
propofol dapat diperpanjang hingga lebih dari 30 detik, namun. Kejadian
apnea yang berkepanjangan (> 30 detik) meningkat lebih lanjut dengan
penambahan opiat, baik sebagai premedikasi atau sebelum induksi anestesi.
Kejadian apnea dengan propofol lebih sering dibandingkan dengan anestesi
IV umum lainnya yang digunakan untuk induksi. Permulaan apnea biasanya
didahului dengan pengurangan volume napas ditandai pasang surut dan
takipnea. Infus pemeliharaan propofol (100 µg/kgbb/menit) menghasilkan
44
penurunan 40% pada tidal volume dan peningkatan 20% pada frekuensi
pernapasan, dengan perubahan tak terduga dalam ventilasi semenit.
Menggandakan laju infus dari 100 ke 200 mcg/kgbb/menit menyebabkan
penurunan lebih lanjut volume tidal (455-380 ml), tetapi tidak ada perubahan
dalam frekuensi pernapasan. Selama infus pemeliharaan propofol (54
µg/kgbb/menit), PaCO2 cukup meningkat 39-52 mmHg. Penggandaan laju
infus tidak mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dalam PaCO2. Propofol
(50-120 µg/kgbb/menit) juga menekan respon ventilasi terhadap hipoksia,
akibat kerja langsung pada kemoreseptor badan karotid. Propofol
menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis. Dalam model hewan percobaan dengan endotoksemia septik, propofol
(10 mg/kgbb/jam) secara nyata mengurangi mediasi radikal bebas dan katalis
siklooksigenase peroksidasi lemak. Manfaat ini belum dikonfirmasi pada
manusia. Propofol pada konsentrasi terapeutik juga melindungi makrofag
tikus dari nitrat oksida-induced apoptosis (Butterworth dkk, 2013; Stoelting
dkk, 2006).
2.4.5 Efek Samping Propofol
Induksi anestesia menggunakan propofol dapat mengakibatkan beberapa
efek samping, antara lain nyeri saat injeksi, mioklonus, apneu, penurunan tekanan
darah arteri dan walaupun jarang terjadi, tromboplebitis pada vena tempat
propofol diinjeksikan (Simon, 2001). Mioklonus terjadi lebih sering pada propofol
dibandingkan dengan tiopental, tetapi lebih jarang dibandingkan dengan etomidat
45
dan metohexital. Apneu setelah pemberian propofol biasa terjadi. Insiden apneu
sama dengan setelah pemberian thiopental dan metohexital, walaupun insiden
apneu lebih dari 30 detik lebih tinggi pada propofol. Penurunan tekanan darah
sistemik adalah efek samping yang paling penting saat induksi propofol. Mungkin
injeksi perlahan dan dosis yang lebih kecil, pada pasien yang sudah direhidrasi
adekuat akan mencegah turunnya tekanan darah sistemik. Sebaliknya, efek
laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta peningkatan MAP, frekuensi nadi dan
SVR secara bermakna lebih rendah pada pemberian propofol daripada tiopental.
Efek propofol yang paling menonjol adalah menurunkan tekanan darah arterial
selama induksi anestesia. Dosis induksi 2,0-2,5 mg/kgbb menghasilkan penurunan
tekanan darah sistolik 25-40%. Perubahan serupa juga terlihat pada tekanan darah
diastolik. Biasanya insiden hipotensi akibat pemberian propofol ini berlangsung
selama 5-10 menit pertama setelah induksi. Propofol dianggap menghambat
barorefleks sehingga menurunkan respon takikardi terhadap hipotensi.Propofol
dapat mengurangi aktifitas saraf simpatis lebih besar daripada saraf parasimpatis,
sehingga parasimpatis lebih dominan dan dapat menyebabkan bradikardi maupun
asistol pada induksi anesthesia (Simon, 2001). Nyeri saat injeksi lebih ringan atau
sama dengan etomidat, sama dengan metohexital dan lebih berat dari tiopental.
Nyeri saat injeksi dapat dikurangi dengan cara injeksi pada vena yang lebih besar,
menghindari injeksi pada vena di dorsum manus dan menambahkan lidokain pada
larutan propofol. Mekanisme terjadinya nyeri yang disebabkan oleh penyuntikan
propofol sampai saat ini belum jelas karena propofol tersedia dalam larutan steril,
nonpirogenik, isotonis dengan pH = 7,0. Klemen dan Arnold telah membuktikan
46
bahwa penyuntikan dengan larutan yang mempunyai pH < 4 atau pH >11 dapat
menyebabkan nyeri. (Nathansondkk, 1996)
2.4.6 Kontra Indikasi Propofol
Propofol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi propofol
dan putih susu. Pasien dengan kelainan jantung yang diberikan obat propofol,
harus dimonitor secara ketat hemodinamik maupun respirasinya, serta pemberian
propofol dititrasi sesuai respon kardiovaskular pasien (Stoelting dkk, 1999).
2.4.7 Propofol Related Infusion Syndrome (PRIS)
Propofol related infusion syndrome (PRIS) adalah merupakan kumpulan
gejala yang timbul yang dihubungkan dengan pemberian propofol. Istilah ini
diperkenalkan pertama kali tahun 1992. Kumpulan gejala tersebut adalah
bradiaritmia, asidosis metabolik, gagal jantung progresif dan angka kematian
sangat tinggi. Seiring dengan waktu, pengertian PRIS berkembang meliputi gejala
rabdomiolisis, hiperkalemia, hiperlipidemia, kelainan fungsi ginjal progresif dan
kelainan yang khas pada gambaran elektrokardiogram pada lead prekordial kanan
berupa gambaran Brugada (Olaf, 2009). Pada penelitian Wysowski dan Pollock,
2006, dari 68 orang dewasa yang didapatkan gejala PRIS yang meninggal setelah
pemberian propofol non prosedural untuk tujuan sedasi didapatkan rata-rata
penggunaan propofol lebih dari 90 µg/kgbb/menit dan rata-rata waktu pemberian
4,4 hari. Walaupun sampai saat ini penyebab mengapa propofol dapat
menyebabkan terjadinya PRIS belum diketahui secara pasti tetapi diperkirakan
47
propofol bisa menjadi penyebab terjadinya kerusakan rantai respirasi mitokondria
sehingga produksi ATP menurun dan terjadinya keadaan hipoksia tingkat seluler
di jaringan jantung dan otot. Pada pemeriksaan biopsi otot dan analisa
metabolisme lemak pada pasien PRIS didapatkan kerusakan sel mitokondria dan
gangguan metabolisme acyl-carnitine akibat hambatan oksidasi beta. Akibat
terjadinya penumpukan asam lemak bebas dapat menyebabkan gangguan fungsi
jantung. Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan PRIS adalah: keadaan stress
metabolik, kebutuhan energi yang tinggi misalnya pada penyakit kritis, trauma
berat, trauma otak yang berat, sepsis, simpanan karbohidrat yang rendah (pada
anak-anak) dan pada keadaan kadar lemak darah yang tinggi (dihubungkan
dengan kemampuan larut propofol dalam lemak). Pencegahan terjadinya PRIS
ditujukan pada faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya PRIS.
Mengurangi kadar lemak dalam tubuh (kolesterol dan trigeliserida), meningkatkan
metabolisme lemak dan meningkatkan sirkulasi asam lemak bebas. Teorinya
adalah dengan pemberian karbohidrat 6-8 mg/kgbb/menit sebelum pemberian
propofol dapat menekan metabolisme lemak sehingga diharapkan menekan
kejadian PRIS. Mengurangi pemberian dosis propofol < 5 mg/kgbb/menit dan
durasi pemberian < 48 jam juga diharapkan mengurangi kejadian PRIS.
Penatalaksaan PRIS sangat ditentukan oleh cepatnya diagnosa PRIS. Penghentian
pemberian propofol sesegera mungkin dan pemberian kombinasi vasopresor dan
inotropik. Pemasangan alat pacu jantung dapat dipertimbangkan. Hemodialisis
dan hemofiltrasi dilakukan untuk mengurangi kadar propofol dalam plasma juga
dilaporkan sukses pada beberapa kasus. Penatalaksanaan lain adalah dengan
48
penggunaan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) juga sukses pada
beberapa kasus (Leigh, M., 2010). Selain PRIS pada pemberian propofol dengan
konsentrasi di dalam plasma lebih dari 20 µg/ml akan dapat menyebabkan adanya
kejadian glutamate excitotoxicity yang berperanan sangat penting dalam
terjadinya iskemia dan rusaknya sel saraf di otak. Hal ini juga yang menyebabkan
terjadinya patologi epilepsi dan trauma otak (Zhu dkk, 1997).
2.5 Target Controlled Infusion (TCI ) Propofol
Penggunaan obat obatan intravena membutuhkan pengetahuan yang
mendalam tentang farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang mencakup
karakteristik obat, onset dan durasi kerja, serta metabolisme dan ekskresi obat.
Penggunaan obat obatan intravena dapat menggunakan bolus intermiten ataupun
infus kontinyu. Kelebihan dari infus kontinyu dibandingkan bolus intermiten
adalah menghindari kelebihan dosis obat, dan menjaga kadar plasma darah tetap
pada level yang diinginkan sehingga anestesi yang dihasilkan tidak terlalu dalam
dan juga tidak terlalu dangkal. Penggunaan infus kontinyu pada awalnya
menggunakan Computer Assisted Continuous Infusion (CACI) yang berupa
syringe pump yang terhubung dengan monitor dan menggunakan program
komputer untuk mengontrol kecepatan pemberian obat. Sesuai dengan
karakteristik obat dan farmakodinamik obat, setiap individu memiliki dosisi
individual yang harus digunakan untuk mencapai kadar obat daam plasma darah
yang serupa, untuk menghasilkan efek anestesia yang diinginkan. Namun terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi kadar obat dalam plasma darah dalam
49
pemberian infus kontinyu, antara lain kadar albumin, kemampuan metabolisme
tubuh, dan kemampuan pengikatan obat. Karena hal inilah penggunaan infus
kontinyu terkadang memberikan efek lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang
diharapkan (Naidoo, 2011). Pada tahun 1968, Kruger-Thiemer pertama kali
mengemukakan pendekatan teoritis untuk mencapai dan mempertahankan
konsentrasi suatu obat dalam darah yang tetap dengan menggunakan model 2-
kompartemen. Kruger memperlihatkan bahwa loading dose dibutuhkan untuk
mengisi volume distribusi awal untuk mencapai keadaan yang tepat. Helmut
Schwilden pada tahun 1981 menjadi sosok perdana yang mengembangkan
aplikasi klinis teori tersebut yang lalu dikenal sebagai sistem Computer Assisted
Total Intravenous Anaesthesia (CATIA). Proporsi total obat yang tetap di dalam
kompartemen sentral dibuang dalam setiap satuan waktu, oleh karenanya ketika
konsentrasi obat dalam darah konstan, jumlah obat yang dikeluarkan dari
kompartemen persatuan waktu juga konstan, maka jumlah obat yang hilang akibat
eliminasi digantikan pula oleh laju infus yang konstan. Schwilden kemudian
memperkenalkan sebuah mesin injeksi kontinyu yang berbasis komputer
berdasarkan farmakokinetik obat yang diinjeksikan. Ini merupakan cikal bakal
dari mesin TCI dikemudian hari. Astra Zeneca lalu meluncurkan alat TCI
komersil untuk propofol di benua eropa (Skotlandia) pada tahun 1992 dan terus
berkembang sampai saat ini di seluruh dunia sebagai mesin anestesi intravena
total (TIVA) yang berbasis target obat di dalam plasma. Diprifusor sebagai sistem
pertama TCI untuk propofol mulai diperkenalkan tahun 1996. Target controlled
infusion kemudian mendapat persetujuan Therapeutic Goods Administration pada
50
tahun 1998 sebagai metode administrasi propofol untuk anestesi umum, dimana
obat disuntikan untuk mencapai suatu target konsentrasi obat dalam darah yang
diprediksi secara spesifik. Sejak itu TCI lalu menjadi metode yang paling sering
digunakan dalam melakukan anestesi intravena di Amerika dan Eropa. Selain
aplikasi klinis dalam anestesi, sistem ini juga berperan untuk pemberian obat
sebagai sedatif dan analgesik selama tindakan endoskopi, radio diagnostik (CT-
Scan, MRI), dan atau radioterapi. Dengan TCI, obat anestesi intravena diberikan
berdasarkan farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang digabungkan dengan
teknologi komputer modern. TCI mempertahankan konsentrasi target yang
diinginkan dan dapat disesuaikan dengan dapatan klinis pasien. Pada dasarnya
TCI adalah menetapkan konsentrasi tertentu yang harus dicapai dan dipertahankan
oleh alat baik di plasma (Cp) maupun effect site concentration (Ce). Konsentrasi
target diatur sejak awal oleh ahli anestesi untuk mendapat luaran klinis yang
diperlukan. Perubahan konsentrasi target yang diatur oleh ahli anestesi akan
terlihat pada effect site compartment setelah waktu tertentu karena terdapat jarak
waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang dituju atau obat berefek.
Diprifusor adalah sistem mikroprosesor terkontrol pertama yang tersedia secara
komersial pada tahun 1996. Target controlled infusion yang dikendalikan oleh
Diprifusor hanya bisa menggunakan propofol yang menggunakan jarum suntik
kaca sekali pakai dari Astra Zeneca. Pengembangan TCI berbarengan dengan
berkembangnya konsep farmakokinetik yang diaplikasikan dalam bidang anestesi
yaitu effect site compartment yang dihubungkan dengan konstanta darah/effect site
equilibration (Ke0), time to peak effect dan context-sensitivity half life dan
51
context-sensitivity decrement time. Model kompartemen farmakokinetik
merupakan model yang digunakan untuk menggambarkan nasib obat dalam tubuh.
Model ini berdasarkan analisis matematika terhadap hubungan konsentrasi plasma
terhadap waktu dan keadaan plasma sendiri yang merupakan kompartemen sentral
dalam model yang dimaksud. Hubungan antara farmakokinetik dan
farmakodinamik paling baik dijelaskan oleh konsentrasi plasma. Namun, setelah
terjadi perpindahan di sawar darah otak, obat anestesi beraksi di sistem saraf pusat
yang menunjukkan the effect site sehingga konsentrasi effect site yang
menentukan efek obat terhadap organ. Walaupun waktu tercapainya
keseimbangan antara darah dan effect site termasuk singkat, hal ini tidak dapat
terjadi secara instan. Setelah bolus obat intravena terdapat jarak waktu antara
konsentrasi darah tercapai dan efek sentral karena waktu ekuilibrasi darah/effect
site. Jarak waktu ini dapat diperkirakan dari efek sentral yang diperlihatkan seperti
penurunan kesadaran, respon elektro ensefalografi, atau evoked potential. Saat
ekuilibrium tercapai, dengan pemberian laju infus yang tetap, Cp dan Ce menjadi
hampir pararel sehingga Ce dapat didefinisikan sebagai Cp yang memberikan efek
sesuai. Konsentrasi plateu yang diinginkan dicapai dan dipertahankan dengan
memberikan bolus yang kemudian dilanjutkan dengan infus dengan laju yang
berubah-ubah secara otomatis (Naidoo, 2011). Walaupun prediksi mengenai Cp
dan Ce telah dilakukan dengan baik sesuai dengan kebutuhan pasien dan stimulus
bedah yang berlangsung, karakteristik masing-masing pasien tentunya berbeda.
Oleh karena itulah TCI tetap memberikan tehnik yang lebih aman dalam
pemberian obat anestesi intravena. Target controlled infusion mampu
52
menyesuaikan antara konsentrasi obat dengan efek klinis yang diinginkan dengan
lebih baik dimana hal ini merupakan yang paling diinginkan dalam mengelola
anestesi terutama saat induksi dan prediksi pemulihan. Tehnik ini memungkinkan
titrasi obat yang lebih tepat berdasarkan peningkatan konsentrasi bertahap dimana
variasi antar individu dalam hal farmakokinetik dan farmakodinamik diperkirakan
sekitar 30% (Ruetsch, 1998).
Target controlled infusion adalah infus yang dikontrol dengan tujuan
untuk mencapai konsentrasi tertentu obat pada kompartemen tubuh. Dengan
menggunakan teknik ini ahli anestesi dapat mengatur dan mengganti konsentrasi
yang diinginkan sesuai dengan observasi klinis pada pasien. Target controlled
infusion dikembangkan untuk memberikan kenyamanan dan kontrol selama
anestesia, yang berdasarkan pada profil farmakokinetik, farmakodinamik obat dan
tehnologi komputer yang modern. Target controlled infusion akan memberikan
dan memelihara konsentrasi obat berdasarkan konsentrasi plasma (Cp) atau
konsentrasi efek (effect site concentration/Ce) sesuai kebutuhan pasien. Target
konsentrasi sebelumnya diatur oleh operator berdasarkan beberapa informasi
dasar sesuai pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan) dan target
konsentrasi masing-masing obat untuk mendapatkan efek klinik yang diinginkan
dan kedalaman anestesi yang diharapkan setelahnya sistim komputer mesin TCI
yang akan mengambil alih penyesuaian dosis dan laju infus propofol berdasarkan
target organ (Lesliedkk, 2008). Analgesia merupakan faktor yang sangat penting
dalam anestesi intravena total. Obat yang sering digunakan adalah opioid yang
dikombinasikan dengan propofol sebagai komponen hipnotik. Teknik TCI juga
53
menyediakan metode untuk pemberian analgetika opioid. Berbagai macam opioid
dapat diberikan dengan tehnik TCI seperti sufentanyl, alfentanyl, remifentanyl dan
fentanyl. Dari semuanya itu pilihan terakhir yang dapat digunakan dengan TCI
adalah fentanyl. Interaksi sinergis telah dibangkitkan antara opioid dan hipnotik
namun efeknya lebih kuat dalam menekan stimulus noksius dibandingkan dalam
menghilangkan kesadaran. Bila pasien perlu diintubasi maka tetap diberikan
pelumpuh otot sebagai fasilitasi intubasi. Keuntungan lain yang didapatkan dari
TCI adalah respon hemodinamik yang timbul selama operasi dan paska operasi
dapat dikurangi. Propofol dapat menyebabkan goncangan kardiovaskular dan
depresi pernapasan. Penurunan tekanan darah umumnya turun sampai 25% setelah
induksi, kejadian apneu lebih dari 50%. Pengurangan kadar propofol di plasma
mungkin dapat mengurangi kerugian tersebut tanpa menghilangkan tujuan utama
yaitu sedasi atau anestesi. Setelah dokter ahli anestesi memasukkan data dasar
pasien dan menentukan konsentrasi target, mesin akan memberikan bolus obat
dalam dosis tertentu untuk mengisi kompartemen sentral. Setelah itu komputer
akan mengkalkulasi metabolisme dan eliminasi obat serta menentukan obat yang
diinfuskan untuk mengisi kompartemen kedua dan ketiga. Pada saat tindakan
berlangsung konsentrasi target dapat diubah-ubah sesuai respon pasien dan
stimulus bedah (Naidoo, 2011). Untuk sistem TCI dengan propofol pada orang
dewasa, model farmakokinetik yang banyak digunakan adalah MARSH dan
SCHNIDER, sedangkan pada pasien anak-anak model Paedfusor dan Kataria.
Selain propofol obat lain yang dapat dioperasikan menggunakan sistim TCI
54
adalah sufentanil (model Bovil dan Gepts), alfentanil (model Maitre), remifentanil
(model Minto).
Gambar 2.6
Three Compartment Model (Dikutip dari Naidoo, 2011)
Gambar 2.7
Skema Three Compartment Pharmacokinetic Model (Dikutip dari Naidoo, 2011)
2.5.1 Model Marsh
Ini adalah model yang pertama kali dikembangkan. Model ini
memperkirakan volume kompartemen sentral proporsional secara langsung
dengan berat badan. Usia tidak dimasukkan dalam kalkulasi, namun pompa tidak
55
dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi sumber bias dan
ketidakakuratan sistim Marsh (Naidoo, 2011).
Gambar 2.8
Foto Mesin TCI Perfusor® Space dari B. Braun yang dimiliki Bagian/SMF Ilmu
Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
2.5.2 Model Schnider
Model Schnider disebut sebagai generasi baru dari TCI. Metode ini
menggunakan model 3 kompartemen dengan memasukkan umur, tinggi badan,
jenis kelamin dan berat badan ke dalam perhitungan. Lean body mass pasien
dihitung dan digunakan untuk mengkalkulasi dosis dan laju infus, jika yang
dipakai berat badan aktual maka akan ada kemungkinan kelebihan konsentrasi
obat pada pasien obese. Pada pasien obese dipergunakan berat badan ideal.
Perbedaan utama antara kedua model di atas adalah jumlah volume kompartemen
sentral. Pada model schnider menggunakan volume kompartemen sentral tetap
dan sama pada setiap pasien dan lebih kecil (4,27 L pada pasien BB 70 kg)
dibanding model Marsh (15,9 L). Akibat perbedaan ini akan didapatkan model
schnider Keo yang lebih besar (equilibrasi sentral dan effect site kompartemen
lebih cepat) dan K10 lebih besar (bersihan metabolik lebih cepat) sehingga model
56
schnider waktu pulihnya lebih cepat dibanding Marsh. Untuk tujuan induksi
model schnider akan lebih lambat dibandingkan model Marsh (Naidoo, 2011).
2.5.3 Target Konsentrasi Plasma dan Konsentrasi effect site Propofol TCI
Pasien usia muda target konsentrasi plasma propofol untuk induksi
adalah 6-8 µg/ml, hati-hati pada saat induksi orang tua atau pasien sakit berat,
dosis perlu disesuiakan dengan menurunkan konsentrasi induksi. Saat konsentrasi
induksi tercapai harus dipertimbangkan untuk menurunkan dosis konsentrasi
plasma sesuai dengan estimasi konsentrasi effect site. Konsentrasi disesuaikan
dengan respon klinis pasien dan pengaruh dari obat penyerta lainnya seperti
ketamine, opioid, benzodiazepine. Saat stimuli pembedahan berkurang target
konsentrasi juga dikurangi bertahap sehingga waktu pemulihan makin cepat. Pada
prakteknya konsentrasi plasma yang diperlukan untuk induksi adalah 5-6 µg/ml
dan bisa ditingkatkan sampai 8 µg/ml pada pasien dewasa muda yang sehat. Pada
pasien yang telah mendapatkan premedikasi terlebih dahulu konsentrasi plasma
bisa dikurangi 4-5 µg/ml. Dengan target effect-site, tidak diperlukan tekanan yang
tinggi untuk meningkatkan konsentrasi obat, karena mesin TCI akan bekerja
secara otomatis. Jika ada penundaan dari induksi, target konsentrasi rendah dapat
dimulai pada 0,5 mcg/ml untuk mendapatkan efek anxiolitik dan menilai
sensitifitas pasien terhadap propofol. Kemudian setelah itu ahli anestesi harus
menilai pada level berapa akan terjadi hilangnya kesadaran. Ketika konsentrasi
effect-site dicapai, efek klinis dinilai dan target dapat dinaikkan atau diturunkan
jika diperlukan. Setelah induksi, target konsentrasi dinaikkan atau diturunkan
57
sesuai level dari stimulus bedah. Saat ini tidak ada bukti yang menganjurkan
model target apa yang lebih baik, namun direkomendasikan untuk menggunakan
model marsh pada model target konsentrasi plasma dan model Schnider
menggunakan mode effect-site. Pengguna TCI harus berhati-hati saat mengubah
model target plasma menjadi konsentrasi effect-site atau sebaliknya, jumlah
propofol yang bervariasi akan dimasukkan ke dalam sirkulasi pasien pada model
model yang berbeda dan akan menimbulkan efek klinis yang tidak diduga. Seperti
halnya anestesi inhalasi, penyesuaian dosis harus dilakukan berdasarkan respon
klinis (Naidoo,2011). Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah: dapat
memfasilitasi titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan
perhitungan dosis obat dan pemberiannya, diperolehnya informasi tambahan
mengenai obat yang diberikan seperti jumlah obat yang diberikan, durasi
pemberian, konsentrasi dan lain-lain, pemberian dosis obat dengan
memperhitungkan usia dan karakteristik pasien lainnya, konsentrasi obat yang
dicapai lebih stabil, dapat terhindar dari kelebihan dosis dan masa pulih yang lebih
cepat (Kennedy, 2005).
2.5.4 Farmakoekonomi TCI propofol
Penelitian farmakoekonomi dibidang anestesi dan terapi intensif
khususnya di Indonesia belum banyak dilakukan. Analisis biaya anestesi umum
TIVA TCI propofol dibandingkan dengan anestesi inhalasi sevofluran pada pasien
yang menjalani operasi mayor onkologi di RSUP Sanglah Tahun 2013. Hasil
penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna dalam hal biaya
58
intraoperatif dari kedua kelompok. Biaya anestesi intraoperatif pada kelompok
anestesi intravena total dengan TCI dengan rata-rata Rp. 957.870, - dan simpang
baku Rp. 73.910,-. Sedangkan pada kelompok kontrol biaya anestesi intraoperatif
dengan rata-rata 1.318.130 dengan simpang baku Rp. 155.238,-. Berdasarkan
statistik dengan uji t didapatkan bahwa kedua kelompok memiliki perbedaan
signifikan (p = 0,001). Berdasarkan rerata biaya anestesi intraoperatif, juga
didapatkan biaya anestesi per-pasien yaitu sebesar Rp. 957.870,- untuk kelompok
TCI Propofol danRp. 1.318.130,- untuk kelompok sevofluran. Sedangkan jika
berdasarkan menit anestesi, didapatkan rata-rata biaya anestesi intraoperatif
sebesar Rp. 5.999,- untuk per menit anestesi pada kelompok TCI propofol serta
Rp. 8.170,- untuk permenit anestesi pada kelompok sevofluran (Iswahyudi dkk,
2013). Analisis minimalisasi biaya anestesi umum propofol TCI dan anestesi
inhalasi dengan isofluran pada operasi bedah onkologi, pada penelitian ini
didapatkan rasio penggunaan obat persatuan waktu kelompok A 8,54 mg (±2,04
mg) per menit dan kelompok B 0,42 ml (±0,09 ml) per menit. Biaya obat anestesi
umum pada kelompok A Rp. 800,85 (±Rp. 127,99) per menit. Pada kelompok B
Rp. 1.266,32 (± Rp. 248,26) per menit (p < 0,001). Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa analisis minimalisasi biaya obat anestesi umum menggunakan
TCI propofol secara signifikan berbeda bermakna menghasilkan beban biaya yang
lebih murah dibandingkan anestesi inhalasi isofluran (Adi dkk, 2014)
Sedangkan untuk menghitung biaya anestesi intravena dari sistem TCI,
yaitu dengan menggunakan perhitungan jumlah obat yang digunakan termasuk
sisa obat yang dibuang. Sediaan propofol yang terdapat di IBS RSUP Sanglah
59
Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi
farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah propofol merk FRESOFOL dengan harga
Rp. 20.782,- (HET Rp. 99.000,-) per ampul 20 ml dengan kandungan propofol
200 mg. Daftar harga obat-obatan dan perlengkapan lainya dicantumkan dalam
tabel 2.1.
Tabel 2.1
Daftar Harga Obat dan Harga per-satuan per-Desember 2015
(sumber : Instalasi Farmasi RSUP Sanglah Denpasar)
NAMA OBAT DAN ALAT HARGA
SEVOFLORAN SOJOURN Minrad inc. 250 ml/botol Rp. 1.465.000
PROPOFOL FRESOFOL ampul 10 mg/ ml; 20 ml/amp Rp. 20.782
LIDOCAINE ampul 40 mg/ml ; 2 ml/amp. Rp. 1.074
MIDAZOLAM ampul 1 mg/ml ; 5 ml/amp. Rp. 7.040
ONDANCETRON ampul 2 mg/ml ; sediaan 2 ml/amp. Rp. 3.071
KETOROLAC ampul 30 mg/ml; 1 ml/amp. Rp. 2.944
FENTANYL ampul 50 mcg/ml; 2 ml/amp. Rp. 43.409
MORFINA ampul 10 mg/ ml; 1 ml/amp Rp. 10.752
NOTRIXUM (Atracurium) ampul 10 mg/ml; 2.5 ml/amp Rp. 16.896
ECRON (Vecuronium) vial 10 mg; serbuk Rp. 213.305
DEXAMETHASONE amp 5 mg/ml; 2 ml/amp Rp. 1.792
AQUABIDEST pro injeksi sterile water 50 ml Rp. 2.598
Extension Tube Rp. 44.800
Three-way ekor Rp. 41.151
Disposable Spuit 50 ml TERUMO Rp. 4.352
Disposable Spuit 20 ml TERUMO Rp. 3.942
Disposable Spuit 10 ml TERUMO Rp. 2.291
Disposable Spuit 5 ml TERUMO Rp. 1.725
Disposable Spuit 2.5 ml TERUMO Rp. 1.225
Infus set darah Rp. 17.889
Abocath G-18 TERUMO Rp. 10.694
Needle G-19 TERUMO Rp. 722
60
2.5 Bispektral Indek (BIS)
Selama evolusi praktek anestesi modern, penilaian kedalaman anestesi
pada pasien telah mengalami perubahan bertahap dan perbaikan. Pengamatan
kedalaman anestesi sebelumnya dari tanda-tanda klinis seperti respon pupil, pola
pernapasan, kualitas denyut nadi ditambah dengan pengukuran langsung dari
titikakhir fisiologis termasuk tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan dan
volume pernapasan. Dengan perkembangan pulse oximetry dan kapnografi,
penilaian yang tepat dari manajemen ventilasi mampu ditegakkan. Penggunaan
end-tidal dan stimulasi saraf perifer memberikan kemampuan dokter anestesi
untuk mengukur konsentrasi agen farmakologis dan efek masing-masing obat.
Saat ini, fungsi jantung dapat dievaluasi dengan menggunakan teknologi canggih
yaitu kateter arteri pulmonalis dan transesophageal echocardiography (TEE)
untuk metode baru tekanan darah secara kontinyu dan pemantauan curah jantung
(Rena dkk, 2000; Sandhu dkk, 2009).
Penentuan efek langsung dari obat anestesi pada sistem saraf pusat
tetapmenjadi suatu tantangan meskipun perkembangan yang luar biasa dalam
penilaian sistem kardiovaskular selama anestesi. Penyelidikan klinis yang cermat
menunjukkan bahwa respon hemodinamik tidak selalu memberikan representasi
akurat dari respon sistem saraf pusat untuk agen anestesi dan karena itu tidak
dapat diandalkan sebagai indikator status otak. Sebaliknya, teknologi yang
memungkinkan pemantauan neurofisiologis independen dari sistem saraf pusat
akan menyediakan ukuran langsung status otak selama anestesi dan sedasi, yang
memungkinkan dokter untuk menyempurnakan manajemen perioperatif dan
61
mencapai hasil terbaik untuk setiap pasien. Pemantauan yang akurat target efek
terhadap otak, dalam kombinasi dengan penilaian tanda klinis dan pemantauan
tradisional, akan memberikan pendekatan yang lebih lengkap untuk menyesuaikan
dosis obat anestesi dan agen analgesik (Honan dkk, 2002).
Bispektral indek menawarkan anestesi profesional dengan metode
langsung dan akurat untuk memonitor status otak terus menerus sepanjang
perjalanan pemberian anestesi atau obat penenang. Secara khusus, BIS indek
menyediakan pengukuran efek hipnotik anestesi. Inti dari teknologi pemantauan
otak adalah surface dari electroencephalogram (EEG). Sinyal fisiologis yang
kompleks ini adalah bentuk gelombang yang mewakili semua jumlah aktivitas
otak yang dihasilkan oleh korteks serebral (Billard V dkk, 2001). Gelombang
normal EEG terdapat dua karakteristik yaitu amplitudo kecil (20-200 microvolts)
dan frekuensi variabel (0- 50 Hz) (Honan, 2002; Johansen, 2004)
Gambar 2.9
Kompleksitas Gambaran Gelombang EEG, Gambaran Gelombang Dianalisa
Menggunakan Tipe Gelombang Amplitude (microvolts) dan
Frekuensi (cycles/second – Hz) (Dikutip dari Billard dkk, 2001)
62
Perubahan EEG dalam merespon efek dari anestesi dan obat penenang/agen
hipnotik telah diketahui selama puluhan tahun. Walaupun masing- masing obat
dapat menginduksi beberapa efek unik pada EEG, pola keseluruhan perubahan
sangat mirip untuk banyak agen ini (Billard V, dkk., 2001). Seperti yang terlihat
pada Gambar 2.10, selama anestesi umum, perubahan EEG khas meliputi:
peningkatan rata-rata amplitudo (kekuatan) dan penurunan frekuensi rata-rata.
Gambar 2.10
Pola Umum dari Perubahan EEG yang Diobservasi Selama Peningkatan Dosis
dari Anestesi dengan Peningkatan Efek Anestesi, Frekuensi EEG Menunjukkan
Penurunan Menghasilkan Pola Transisi Frekuensi Bergantung Kelas: Beta
Alfa Theta Delta (Dikutip dari Billard dkk, 2001)
Perubahan sebagian dari EEG kortikal mencerminkan perubahan yang timbul dari
hubungan harmonis dan fase antara generator saraf kortikal dan subkortikal.
Hubungan ini diubah selama hipnosis, memproduksi pola karakteristik di EEG.
63
Analisis Bispektral dan hasilnya, misalnya bicoherence dan bispectrum adalah
metodologi proses sinyal canggih yang menilai hubungan antara komponen sinyal
dan menangkap sinkronisasi dalam sinyal seperti EEG. Dengan mengukur
korelasi antara semua frekuensi dalam sinyal, analisis bispektral (bersama-sama
dengan power spectral dan analisis EEG kortikal) menghasilkan keterangan
tambahan EEG mengenai aktivitas otak selama hipnosis (Renna, 2000). Salah
satu tujuan utama dalam pengembangan teknologi pemantauan status otak adalah
untuk mengidentifikasi fitur EEG atau "deskripsi" bispektral atau sebaliknya yang
sangat berhubungan dengan sedasi/hipnosis yangdisebabkan oleh agen anestesi
yang paling umum digunakan. Selama pengembangan BIS indek, fitur ini
diidentifikasi dengan menganalisis database EEG lebih dari 5.000 subjek yang
menerima satu atau lebihdari agen hipnotis yang sering digunakan dan telah
dievaluasi dengan penilaian sedasi simultan (Galante, 2015). Fitur utama EEG
yang diidentifikasi dari analisis database ditandai dengan spektrum yang penuh
perubahan selama induksi anestesi yaitu termasuk:
Tingkat beta atau frekuensi tinggi (14-30 Hz) teraktivasi
Jumlah sinkronisasi frekuensi rendah
Adanya periode nearly suppressed dalam EEG
Adanya periode fully suppressed (yaitu isoelektrik, "garis datar") dalam
EEG.
Bispektralindek adalah skala angka antara 0 dan 100 berkorelasi dengan
titikakhir klinis yang penting selama pemberian obat anestesi (Gambar 2.11).
Nilai BIS mendekati 100 menunjukkan keadaan "terjaga" dari keadaan klinis ,
64
sementara 0 menunjukkan efek maksimal EEG (yaitu, EEG isoelektrik) (Sigl, J.
C., dkk,1994). Nilai BIS indek di bawah 70 kemungkinan recall eksplisit
menurun secaradrastis. Pada nilai BIS Indek kurang dari 60, pasien memiliki
probabilitas kesadaran yang sangat rendah (Bower dkk, 2000; Avidan dkk, 2008).
Gambar 2.11
Panduan skala BIS Indek. Bispektral Indek adalah Skala dari 100 (Terjaga,Respon
Terhadap Suara Normal) sampai 0 (Menunjukkan Keadaan Isoelektrik,Garis Flat
EEG) (Dikutip dari Billard dkk, 2001)
Nilai BIS indek lebih rendah dari 40 menandakan efek anestesi berlebih pada
EEG. Pada nilai-nilai BIS rendah, tingkat penekanan EEG adalah penentu utama
dari nilai BIS. Uji klinis prospektif telah menunjukkan bahwa mempertahankan
nilai-nilai BIS indek dikisaran 40-60 memastikan efek hipnotis yang memadai
65
selama anestesi umum sementara meningkatkan proses pemulihan. Selama
pemberian sedasi, nilai BIS indek > 70 dapat diamati selama kecukupan tingkat
sedasi adekuat tetapi memiliki probabilitas yang lebih besar akan kesadaran dan
potensi memori (Avidan dkk, 2008).