7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Dalam kajian pustaka akan dibahas tentang pembelajaran tematik
integratif, hakikat pembelajaran Matematika, keaktifan pembelajaran, hasil
belajar, model pembelajaran discovery learning dalam pendekatan saintifik,
dan penerapan model discovery learning dalam pendekatan saintifik.
2.1.1 Pembelajaran Tematik Integratif
Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyebutkan, bahwa “Sesuai
dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi, maka prinsip
pembelajaran yang digunakan dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran
terpadu.” Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada SD/MI dilakukan melalui
pembelajaran dengan pendekatan tematik-terpadu dari Kelas I sampai Kelas
VI.
1) Pendekatan pembelajaran tematik terpadu diberikan di sekolah dasar mulai
dari kelas I sampai dengan kelas VI
2) Pendekatan yang dipergunakan untuk mengintegrasikan kompetensi dasar
dari berbagai mata pelajaran yaitu; intra-disipliner, inter-disipliner, multi-
disipliner dan trans-disipliner. Intra Disipliner adalah Integrasi dimensi
sikap, pengetahuan dan keterampilan secara utuh dalam setiap mata
pelajaran yang integrasikan melalui tema. Inter Disipliner yaitu
menggabungkan kompetensi dasar-kompetensi dasar beberapa mata
pelajaran agar terkait satu sama lain seperti yang tergambar pada mata
pelajaran IPA dan IPS yang diintegrasikan pada berbagai mata pelajaran
lain yang sesuai. Hal itu tergambar pada Struktur Kurikulum SD untuk
Kelas I-III tidak ada mata pelajaran IPA dan IPS tetapi muatan IPA dan IPS
terintegrasi ke mata pelajaran lain terutama Bahasa Indonesia. Multi
Disipliner adalah pendekatan tanpa menggabung-kan kompetensi dasar
8
sehingga setiap mapel masih memiliki kompetensi dasarnya sendiri.
Gambaran tersebut adalah IPA dan IPS yang berdiri sendiri di kelas IV-VI.
Trans Disipliner adalah pendekatan dalam penentuan tema yang mengaitkan
berbagai kompetensi dari mata pelajaran dengan permasalahan yang ada di
sekitarnya.
3) Pembelajaran tematik terpadu disusun berdasarkan gabungan berbagai
proses integrasi berbagai kompetensi.
4) Pembelajaran tematik terpadu diperkaya dengan penempatan mata pelajaran
Bahasa Indonesia sebagai penghela/alat/media mata pelajaran lain
5) Penilaian dilakukan dengan mengacu pada indikator masing-masing
Kompetensi Dasar dari masing-masing mata pelajaran
Di dalam modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 dijelaskan ciri-
ciri pembelajaran tematik terpadu adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran tematik berpusat pada anak
b. Pembelajaran tematik memberi pengalaman langsung pada anak
c. Pemisahan antarmuatan pelajaran menyatu dalam satu pemahaman
kegiatan
d. Menyajikan konsep dari berbagai pelajaran dalam satu proses
pembelajaran
e. Pembelajaran ini bersifat luwes
f. Hasil pembelajarannya dapat berkembang sesuai minat dan
kebutuhan anak.
Pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran tepadu yang
menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat
memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Penggunaan tema
dalam pembelajaran tematik dikarenakan anak pada usia sekolah dasar berada
tahapan operasi konkret, mulai memandang dunia secara objektif dan mulai
berpikir secara operasional untuk mengklasifikasi benda-benda, membentuk
dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana,
dan mempergunakan hubungan sebab akibat. Peran tema adalah sebagai
pemersatu kegiatan pembelajaran dengan memadukan beberapa muatan
9
pelajaran sekaligus. Adapun muatan pelajaran yang dipadukan antara lain:
PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya dan Prakarya,
dan Pendidikan Jasmani Olah Raga dan Kesehatan.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran Matematika
Para ahli matematika belum pernah mencapai satu titik “puncak”
kesepakatan yang “sempurna” dalam mendefinisikan tentang matematika.
Beragamnya definisi dan deskripsi yang berbeda di kemukakan oleh para ahli
mungkin disebabkan oleh pribadi (ilmu) matematika itu sendiri, dimana
matematika merupakan satu disiplin ilmu yang memiliki kajian sangat luas,
sehingga masing-masing ahli bebas mengemukakan pendapatnya tentang
matematika berdasarkan sudut pandang, kemampuan, pemahaman, dan
pengalamannya masing-masing.
Ariyanto (2011: 270) menjelaskan bahwa matematika sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang eksak dan terorganisir secara sistematis, pengetahuan tentang
bilangan dan kalkulasi, pengetahuan dasar tentang fakta-fakta kuantitatif dan
masalah tentang ruang dan bentuk. Sedangkan istilah matematika yang dikutip
Erny dalam Karso (1988:1.33) adalah “Istilah matematika berasal dari kata
yunani, mathein atau mantheneini berarti mempelajari. Kata ini memiliki
hubungan yang erat dengan kata sansekerta, medha atau widya yang memiliki arti
kepadaian, ketahuan, atau inteligensia. Dalam bahasa belanda, matematika disebut
dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar”.
Selanjutnya Ruseefendi dalam Karso (1988: 1.33) menyatakan bahwa
matematika itu terorganisasikan dari unsure-unsur yang tak didefinisikan, definisi-
definisi, aksioma-aksioma dan dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku
secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.
Menurut Lerner yang dikutip dari Erny (2011: 20) bahwa matematika
disamping bahan simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan
manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen
dan kualitas.
10
Berdasarkan pandangan para ahli tersebut, menurut penulis pengertian
matematika adalah ilmu tentang bentuk, susunan, dan konsep-konsep yang saling
berhubungan dengan operasi, fakta-fakta, symbol, dan logika yang tersusun secara
sistematik dan mengunakan nalar deduktif.
Kecakapan atau kemahiran matematika merupakan bagian dari kecakapan
hidup yang harus dimiliki siswa terutama dalam pengembangan penalaran,
komunikasi, dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Matematika selalu digunakan dalam berbagai segi kehidupan, semua
bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai. Matematika
merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan
untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan kemampuan
berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang, mengembangkan
kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap
perkembangan budaya.
Pada struktur kurikulum SD/MI, mata pelajaran matematika dialokaskan
setara 5 jam pelajaran ( 1 jam pelajaran = 35 menit) di kelas I dan 6 jam pelajaran
kelas II – VI per minggu, yang sifatnya relatif karena di SD menerapkan
pendekatan pembelajaran tematik-terpadu. Guru dapat menyesuaikannya sesuai
kebutuhan peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan. Satuan
pendidikan dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan
satuan pendidikan tersebut. Dalam pembelajaran tematik biasanya terdapat pada
tiga kali pembelajaran.
Cakupan materi matematika di SD meliputi bilangan asli, bulat, dan
pecahan, geometri dan pengukuran sederhana, dan statistika sederhana serta
kompetensi matematika dalam mendukung pencapaian kompetensi lulusan SD
ditekankan pada:
a. Menunjukkan sikap positif bermatematika: logis, kritis, cermat dan teliti, jujur,
bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah,
sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi matematika
11
b. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar
c. Menghargai perbedaan dan dapat mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan
berbagai sudut pandang
d. Mengklasifikasi berbagai benda berdasar bentuk, warna, serta alasan
pengelompokannya
e. Mengidentifikasi dan menjelaskan informasi dari komponen, unsur dari benda,
gambar atau foto dalam kehidupan sehari-hari
f. Menjelaskan pola bangun dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan dugaan
kelanjutannya berdasarkan pola berulang
g. Memahami efek penambahan dan pengambilan benda dari kumpulan objek,
serta memahami penjumlahan dan pengurangan bilangan asli, bulat dan pecahan
h. Menggunakan diagram, gambar, ilustrasi, model konkret atau simbolik dari
suatu masalah dalam penyelesaian masalah
i. Memberikan interpretasi dari sebuah sajian informasi/data
2.1.3 Keaktifan Pembelajaran
Menurut Sriyono, dkk (1992: 75) menyatakan bahwa keaktifan belajar
adalah pada saat guru mengajar ia harus mengusahakan murid-muridnya aktif
jasmani maupun rohani. Hermawan (2007: 83) mengemukakan bahwa keaktifan
belajar adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, mereka aktif
membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi
dalam kegiatan pembelajaran. Teori behavioristik memperjelas tentang adanya
respons, tanpa ada respons (aktivitas) belajar tidak akan dapat terjadi meskipun
diberikan stimulus. Begitupula dalam teori kognitif bahwa belajar menunjukkan
jiwa yang sangat aktif, jiwa akan mengolah informasi yang diterima. Tanpa
keaktifan siswa dalam belajar, tidak akan dapat membuat kesimpulan. Menurut
teori ini peserta dituntut untuk mampu mencari, menemukan, dan menggunakan
pengetahuan yang diperolehnya (Jamil, 2012:100).
Prinsip keaktifan dapat diterapkan dalam kegiatan antara lain:
a. Menggunakan berbagai macam metode dan media dalam pembelajaran;
b. Memberikan pembelajaran pada siswa secara individu dan kelompok;
12
c. Memberikan kesempatan untuk melakukan diskusi dan tanya jawab;
d. Memberikan tugas pada siswa untuk mempelajari bahan dan mencakup hal-
hal yang belum jelas dan penting;
e. Member kesempatan pada siswa untuk melakukan percobaan secara
berkelompok.
Penilaian proses pembelajaran dapat dilihat dari sejauh mana keaktifan
siswa dalam mengikuti pembelajaran. Keaktifan siswa dapat dilihat ketika siswa
aktif bertanya kepada siswa maupun guru, mau melakukan diskusi kelompok
dengan siswa lain, mampu menemukan masalah serta dapat memecahkannya, dan
dapat menerapkan hasil temuannya untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapinya. Proses pembelajaran dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila
keaktifan siswa dalam pembelajaran memenuhi beberapa kriteria tersebut.
Keaktifan belajar siswa dapat kita lihat dari keterlibatan siswa dalam
proses belajar mengajar yang beraneka ragam seperti pada saat siswa
mendengarkan ceramah, mendiskusikan, membuat suatu alat, membuat laporan
pelaksanaan tugas dan sebagainya. Jamil menjelaskan bahwa keaktifan memiliki
beragam bentuk. Bentuk keaktifan dalam belajar dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu:
a. Keaktifan yang dapat diamati (konkret), misalnya mendengar, menulis,
membaca, menyanyi, menggambar dan berlatih. Kegiatan ini biasanya
berhubungan dengan kerja otot (psikomotorik).
b. Keaktifan yang sulit diamati(abstrak), misalnya berupa kegiatan psikis seperti
menggunakan khazanah pengetahuan untuk memecahkan permasalahan,
membandingkan konsep, menyimpukan hasil pengamatan, dan berpikir
tingkat tinggi.
Keaktifan siswa sangat diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal
ini disebabkan karena siswa sebagai subjek didik itu sendiri yang melaksanakan
belajar, sehingga siswalah yang seharusnya lebih banyak aktif, bukan gurunya.
Seorang siswa dikatakan aktif dalam belajar jika siswa tersebut dapat belajar dari
situasi apapun, siswa dapat menggunakan apa yang dipelajari sehingga apa yang
dipelajari tidak sia-sia.
13
2.1.4 Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Gagne & Briggs (dalam Jamil,2012: 37) adalah
kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat
diamati melalui penampilan siswa (learner’s performance). Ada lima tipe hasil
belajar yang dikemukakan oleh Gagne (1979: 51), yaitu: intellectual skill,
cognitive strategy, verbal information, motor skill, dan attitude. Hasil belajar
sangat berkaitan erat dengan belajar atau proses belajar. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwakualitas hasil belajar dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
motivasi berprestasi yang dapat dilihat dari nilai rapor. Salah satu cara yang
paling sering digunakan untuk menunjukkan tinggi rendahnya hasil belajar adalah
menggunakan skor.
Tiga aspek hasil belajar menurut Bloom (dalam Jamil, 2012: 38) sesuai
dengan taksonomi tujuan pembelajaran antara lain:
1. Aspek kognitif, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan berpikir,
mengetahui, dan memecahkan masalah, seperti pengetahuan
komprehensif, aplikatif, sintesis, analisis, dan pengetahuan analisis.
2. Aspek Afektif, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai,
minat, dan apresiasi, misalnya keinginan membaca, bergaul dengan orang
dari ras yang berbeda, mau menaati peraturan, berpartisipasi pada kegiatan
tertentu dan lain-lain.
3. Psikomotor, yaitu hasil belajar yang mencakup tujuan yang berkaitan
dengan keterampilan (skill)yang bersifat manual atau motorik.
Untuk mengetahui adanya kemajuan hasil belajar yang dimiliki oleh siswa
dalam proses pembelajaran perlu diadakan tes (Asmawi, 2007: 2.28). Tes
diberikan sesudah satu kegiatan atau unit belajar diselesaikan yang
bertujuan untuk mengumpulkan data/informasi tentang kekuatan dan
kelemahan siswa dalam pelajaran.Tes dan pengukuran hasil belajar sangat
erat hubungnnya dengan pembelajaran yang dilakukan awal, proses
sampai akhir pembelajaran yang hasilnya dapat memberikan feedback bagi
perbaikan-perbaikan pembelajaran oleh guru.
14
Menurut Uno (2009: 21) hasil pembelajaaran dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
a. Keefektifan (effectiveness), biasanya diukur dengan tingkat pencapaian
belajar. Empat aspek penting yang digunakan untuk mendeskripsikan
keefektifan pembelajaran, antara lain: (1) kecermatan penguasaan
perilaku yang dipelajari atau sering disebut “tingkat kesalahan”, (2)
kecepatan unjuk kerja, (3) tingkat alih belajar, dan (4) tingkat retensi
dari apa yang dipelajari.
b. Efisiensi (efficiency), biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan
dan jumlah waktu yang dipakai si belajar dan/atau jumlah biaya
pembelajaran yang digunakan.
c. Daya tarik (
d. appeal), biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan siswa
untuk tetap belajar.
2.1.5 Model Discovery Learning
Model pembelajaran dengan penemuan (discovery learning) merupakan
komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang
memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri,
mencari sendiri dan reflektif.
Dalam buku Panduan Teknis Pembelajaran dan Penilaian di Sekolah
Dasar (2016: 58) menjelaskan bahwa pembelajaran discovery adalah proses
pembelajaran yang terjadi bila siswa tidak disajikan materi ajar dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Di dalam buku tersebut juga
terdapat pendapat Bruner yang mengemukakan bahwa: “Discovery Learning can
be defined as the learning that takes place when the student is not presented with
subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self”
(Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari
Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Bruner memakai model yang disebutnya discovery learning, di mana
murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,
15
1996:41). Wilcolx (dalam Jamil, 2012: 241) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk belajar aktif melalui keterlibatan
aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Discovery
dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan
inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind
(Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Dalam konsep belajar, sesungguhnya model discovery learning merupakan
pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan
terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang
nampak dalam discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori,
atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori
dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi
(similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-
kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima
unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua
unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif
maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4)
Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan
bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda
yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori
meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap
siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa
pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan discovery learning
environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi,
16
penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan
yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus
berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk
memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enactive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam
upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-
objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan
(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang
seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara
sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah
anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau
kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat
temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan
keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa
untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning, guru berperan
sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar
secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan
17
mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145).
Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented
menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya
guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode discovery
learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk
melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulan-kesimpulan.
Langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di
kelas adalah sebagai berikut:
1) Perencanaan
Perencanaan pada model ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik peserta didik ( kemampuan awal, minat,
gaya belajar dan sebagainya)
c. Memilih materi pelajaran
d. Menentukan topik-topik yang harus dpelajari peserta didik secara induktif
(dari contoh-contoh generalisasi)
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
tugas dan sebagainya untuk dipelajari peserta didik
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik
2. Pelaksanaan
Dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas, ada beberapa
prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara
umum sebagai berikut:
18
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pada tahap ini, pertama-tama siswa dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya dan timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri.
Guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan,
anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah. Stimulasi berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik
dalam mengeksplorasi bahan. Oleh sebab itu, guru harus menguasai teknik-
teknik dalam memberi stimulus kepada peserta didik agar tujuan mengaktifkan
peserta didik untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
b. Problem statement (identifikasi masalah)
Setelah melakukan stimulasi, guru memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran dan kemudian dirumuskan sebagai hipotesis.
c. Data collection (pengumpulan data)
Pada saat peserta didik melakukan eksperimen atau eksplorasi, guru
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis. Data dapat
diperoleh melalui membaca literatur, mengamati objek, wawancara, melakukan
uji coba sendiri, dan sebagainya.
d. Data processing ( Pengolahan data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang
telah diperoleh para peserta didik.
e. Verification (pembuktian)
Pada tahap ini peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
mmbuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan, dihubungkan
dengan hasil data processing. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau
informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu
itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak
19
f. Generalization ( menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari
generalisasi.
Hubungan antara 5M dengan Sintaks pada Pembelajaran Discovery
Learning dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Hubungan 5M dengan Sintaks Pembelajaran Discovery
Learning
Kegiatan Pokok 5M Sintaks pada Pembelajaran
Discovery
Mengamati (Observing) Stimulation (memberikan rangsangan)
Menanya (Questioning) Problem Statement (menyatakan
masalah)
Mengumpulkan Informasi/ Mencoba
(Experimenting)
Data Collection (Pengumpulan data)
Menalar (Associating) Data Processing and Verification
(memproses dan membuktikan)
Mengkomunikasikan
(Communicating)
Generalization (mempresentasikan
dan menarik kesimpulan)
3. Sistem Penilaian
Dalam model pembelajaraan discovery, penilaian dapat dilakukan dengan
menggunakan tes maupun non tes. Penilaian dapat berupa penilaian pengetahuan,
keterampilan, sikap, atau penilaian hasil kerja peserta didik. Jika bentuk
penilaiannya berupa penilaian pengetahuan, maka dalam model pembelajaran
discovery dapat menggunakan tes tertulis. Jika menggunakan penilaian proses,
sikap, penilaian hasil kerja peserta didik, maka pelaksanaan penilaian dapat
menggunakan contoh format penilaian sikap yang ada.
20
Keunggulan dan kelemahan model discovery learning adalah sebagai
berikut:
1) Keunggulan
Model discovery memiliki keunggulan-keunggulan seperti diungkapkan
oleh Suryosubroto (2002:200) yaitu: (a) Dianggap membantu siswa
mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan
proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan
terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan,
jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu, (b) Pengetahuan diperoleh dari
strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan
yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer, (c)
Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan
jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang
kegagalan, (d) metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak
maju sesuai dengan kemampuannya sendiri, (e) metode ini menyebabkan siswa
mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan
bermotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan
khusus, (f) Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan
bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan.
Dapat memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan, (g)
Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan
guru berpartisispasi sebagai sesame dalam situasi penemuan yang jawaban nya
belum diketahui sebelumnya, (h) Membantu perkembangan siswa menuju
skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.
2) Kelemahan
Kelemahan model discovery Suryosubroto (2002:201) adalah: (a) Dipersyaratkan
keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya siswa yang
lamban mungkin bingung dalam usanya mengembangkan pikirannya jika
berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan
antara pengertian dalam suatu subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil
21
penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang lebih pandai mungkin akan
memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa yang lain, (b)
Model ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian besar
waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau
menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu. (c) Harapan yang
ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang
sudahy biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional, (d) Mengajar
dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan
memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan
ketrampilan. Sedangkan sikap dan ketrampilan diperlukan untuk memperoleh
pengertian atau sebagai perkembangan emosional sosial secara keseluruhan, (e)
dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide, mungkin
tidak ada, (f) Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir
kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih
dahulu oleh guru, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya. Tidak
semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.
2.1.5.2 Prosedur Pembelajaran Muatan Matematika dengan Menggunakan
Model Discovery Learning
Prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran
Matematika dengan model discovery learning adalah sebagai berikut:
22
Tabel 2.2 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan
Model Discovery Learning
Kegiatan Guru Tahapan Pelaksanaan
sesuai Sintak Model
Kegiatan Siswa
1. Guru dapat memulai
dengan mengajukan
pertanyaan, anjuran
membaca buku atau
kegiatan lainnya.
stimulasi/pemberian
rangsangan (stimulation).
1. Siswa mengamati
2. Guru memberi
kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasi
masalah yang relevan
dengan bahan pelajaran
dan kemudian
merumuskan hipotesis.
2. identifikasi masalah
(problem statement).
2. Siswa mengidentifikasi
masalah dan saling
menyatakan masalah
lewat tanya jawab
3. Guru meminta siswa
untuk melakukan
eksperimen
3. Pengumpulan data
(data collection).
3. Para siswa melakukan
eksperimen dan guru
memberi kesempatan
kepada siswa untuk
mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya
untuk membuktikan
hipotesis.
4. Guru mengolah data
yang ditemukan para
siswa
4. pengolahan data (data
processing)
4. Siswa mengolah data
yang telah ditemukan
dengan bantuan guru
5. Guru meminta siswa
untuk memeriksa kembali
data yang didapat
5. pembuktian
(verification).
5. Siswa memeriksa
secara cermat untuk
membuktikan benar
tidaknya hipotesis yang
telah ditetapkan dan
dihubungkan dengan
hasil pengolahan data.
6. Guru dan siswa
bersama-sama menarik
kesimpulan.
6. menarik kesimpulan
(generalization).
6. Siswa menyimpulkan
hasil dari presentasi
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat jika siswa akan lebih aktif jika
guru melakukan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model discovery
learning.
23
2.2 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh
Bambang Supriyanto (2014) dengan judul Penerapan Discovery Learning untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VI B Mata Pelajaran Matematika Pokok
Bahasan Keliling dan Luas Lingkaran di SDN Tanggul Wetan 02 Kecamatan
Tanggul Kab. Jember. Hasil penelitiannya adalah hasil belajar siswa pada siklus 1
sebesar 60,60%, dapat dikatakan tuntas secara klasikal karena telah memenuhi
KKM SDN Tanggul Wetan 02 yaitu terdapat minimal 75% yang telah mencapai
nilai ≥ 60, dengan 20 siswa tuntas dan 13 siswa yang belum tuntas. Siklus 2
dilaksanakan untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa dari siklus 1 ke siklus
2. Pada pembelajaran siklus 2 hasil belajar siswa mengalami peningkatan sebesar
30,30% yaitu dari 60,60% menjadi 90,90%, dalam hal ini dari 33 siswa yang
mengikuti pembelajaran terdapat 30 siswa yang tuntas dan 3 siswa yang belum
tuntas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Discovery
Learning pada pembelajaran matematika terbukti dapat meningkatkan aktivitas
hasil belajar siswa kelas VI B SDN Tanggul Wetan 02 Kecamatan Tanggul
Kabupaten Jember.
Tiarani Cita (2013) dengan judul Penerapan Metode Discovery untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SD pada Mata Pelajaran Matematika Materi
Pokok Bangun Ruang, hasilnya adalah pada siklus pertama nilai rata-rata siswa
mencapai 66,15 atau 55,56% siswa yang mencapai nilai KKM. Pada siklus kedua
mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata mencapai 74,72 atau sebanyak
71,12% siswa yang mencapai nilai KKM. Pada siklus ketiga mengalami
peningkatan dengan nilai rata-rata mencapai 77,22 atau sebanyak 82,22% siswa
yang mencapai nilai KKM. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan
bahwa penggunaan metode discovery dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
mata pelajaran Matematika dengan materi pokok bangun ruang.
Heidy Pratiwi (2015) dengan judul Peningkatan Aktivitas dan Hasil
Belajar Matematika melalui Model Discovery Learning dengan Media Tiga
Dimensi pada Siswa Kelas IV A SD Negeri 10 Metro Pusat, hasil penelitiannya
24
menunjukkan bahwa penggunaan model discovery learning dengan media tiga
dimensi pada pembelajaran matematika di kelas IVA SD Negeri 10 Metro Pusat
dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Persentase siswa aktif siklus
I sebesar 61,90% (aktif), siklus II sebesar 80,95% (sangat aktif) mengalami
peningkatan sebesar (19,05%). Rata-rata hasil belajar siswa, siklus I sebesar 69,52
(baik), siklus II sebesar 75,23 (amat baik), peningkatan dari siklus I ke siklus II
sebesar (5,71). Meningkatnya hasil belajar siswa juga dapat di ketahui dari
persentase siswa tuntas, siklus I sebesar 71,42% (tinggi), siklus II sebesar 85,71%
(sangat tinggi), peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar (14,29%).
Supaijan (2015) dengan judul Penggunaan Pendekatan Saintifik melalui
Metode Discovery Learning dengan Media Video untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Muatan Matematika Tema 4 Subtema 3 dan 4 pada Siswa Kelas II SD
dapat dinyatakan berhasil karena persentase dari pra siklus, siklus I dan siklus II
mengalami kenaikan yang signifitas dan besarnya persentase tingkat ketuntasan
berturut-turut dari pra siklus mencapai 52%, siklus I mencapai 76%, siklus II
mencapai 90,5%. Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Syu'ara Yusufa
Anggriawan (2013) dengan judul Penerapan Strategi Pembelajaran Discovery
pada Mata Pelajaran Matematika untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas
V SDN Tanggung 02 Campurdarat dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa
hasil belajar siswa siklus 1 menunjukkan nilai rata-rata siswa sebesar 74,75
dengan nilai teringgi 90 dan nilai terendah 55 siswa yang belum mencapai KKM
sebanyak 5 siswa dan yang sudah mencapai KKM sebanyak 15 siswa dengan
presentase 75%, sedangkan pada siklus 2 hasil belajar siswa mengalami
peningkatan dibandingkan dengan siklus 1, hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-
rata siswa sebesar 80,75 dengan nilai teringgi 100 dan nilai terendah 60 siswa
yang belum mencapai KKM sebanyak 3 siswa dan yang sudah mencapai KKM
sebanyak 17 siswa dengan presentase 85%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery
learning dapat digunakan pada mata pelajaran yang berbeda dan pada jenjang
kelas yang berbeda pula. Penerapan model pembelajaaran discovery learning
25
dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan pembelajaran dan hasil belajar bagi
siswa.
2.3 Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian pustaka di atas, dapat diambil pokok pemikiran bahwa
tingkat keaktifan dan hasil belajar muatan Matematika di SDN Pati Kidul 01
masih bisa ditingkatkan lagi, akan tetapi masih ada kendalanya. Kendalanya
adalah anak kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran Matematika. Hal itu
disebabkan karena guru belum menggunakan model discovery learning. Jadi dapat
disimpulkan anak akan menjadi bosan dan jenuh jika hanya membaca buku atau
mendengar penjelasan dari guru.
Brunner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untk menemukan
suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang mereka
jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41). Pada akhirnya yang menjadi
tujuan dalam Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru
memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver,
scientist, historin, atau ahli matematika. Dan melalui kegiatan tersebut peserta
didik akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat
bagi dirinya.
Berikut adalah bagan kerangka pikir berdasarkan model discovery learning
melalui pendidikan saintifik.
26
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir Model Discovery Learning
Kurangnya keaktifan pembelajaran dan hasil belajar
Model Discovery Learning melalui pendekatan Saintifik (KD 3.8
Menjelaskan segi banyak beraturan dan segi banyak tidak
beraturan.)
Stimulasi (menggunakan
gambar)
Identifikasi masalah
(mengidentifikasi bangun datar
yang ada pada gambar)
Pengumpulan data menuliskan
nama dan bangun bangun yang
ditemukan
Pengolahan data (dengan
mengelompokkan bangun datar)
Pembuktian (dengan
memberikan alasan
pengelompokan)
Meningkatnya daya serap siswa atas materi melalui model
discovery learning
Meningkatnya keaktifan pembelajaran dan hasil belajar melalui
model discovery learning
Menanya
tentang bangun
datar
Mengasosiasi dengan
mengelompokkan bangun
datar yang ditemukan
Mengamati gambar pawai
budaya
Mengumpulkan
Informasi dengan
menemukan bangun
datar
Mengasosiasi dengan
mendiskusikan hasil
jawaban dari kelompok
Menarik Kesimpulan Mengkomunikasikan
hasil diskusi
Tes
Aktivitas
Guru dan
Siswa
27
2.4 Hipotesis Tindakan
Menurut Toha Anggoro (2007: 1.27), hipotesis dapat diartikan sebagai
rumusan jawaban sementara atau dugaan sehingga untuk membuktikan benar
tidaknya dugaan tersebut perlu diuji terlebih dahulu.
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis dapat merumuskan
hipotesis Penelitian Tindakan Kelas ini sebagai berikut:
a. Peningkatan keaktifan pembelajaran dapat dilakukan melalui model
discovery learning pada siswa kelas 4 B SDN Pati Kidul 01 Pati tahun
pelajaran 2016/2017 dilakukan dengan cara a) memberikan
rangsangan/stimulasi, b) mengidentifikasi masalah, c) mengumpulkan data,
d) mengolah data, e) membuktikan, dan f) menarik kesimpulan dengan
menggunakan pendekatan saintifik.
b. Peningkatan keaktifan pembelajaran melalui model discovery learning
dapat meningkatkan hasil belajar muatan Matematika pada tema Indahnya
Kebersamaan pada siswa kelas 4 B tahun pelajaran 2016/2017.