8
BAB II
GEREJA, PENDAMPINGAN PASTORAL DAN KONFLIK
Dalam bab ini, akan di paparkan konsep-konsep teoritis yang menurut hemat peneliti
memiliki korelasi yang signifikan antara fenomena dengan kondisi yang yang hendak peneliti
gambarkan dan kritisi. Oleh karena fenomena yang peneliti akan kritisi berkaitan dengan
pendampingan pastoral oleh pendeta dan majelis jemaat GKS Nggongi, maka beberapa teori
mengenai gereja, konseling pastoral dan konflik akan dijadikan sebagai alat analisis (tools of
analyse).
1.1 Gereja
Ada beragam pemahaman para ahli tentang gereja itu sendiri. Ada yang melihatnya
dari bangunan secara fisik, ada yang melihat anggota didalamnya dan ada pula yang
melihatnya dari historisitas terminologi gereja. Soedarmo misalnya, memahami gereja dari
konsep yang dipakai oleh Perjanjian Baru yakni “Ekklesia” yang berarti jemaat. Lebih lanjut
beliau menguraikan bahwa jemaat dalam pengertian Ekklesia adalah persekutuan orang-
orang percaya yang berasal dari segala tempat dan gereja yang berkumpul di satu rumah
untuk memuliakan Tuhan dan menjadi satu kesatuan yaitu Tubuh Kristus (Mat 26:28; Kis
5:11; Roma 16:15)1. Dalam hal ini, Soedarmo mendefinisikan gereja berdasarkan
“kepemilikan”. Artinya gereja tidak dipahami sebagai orang per-orang atau denominasi
bahkan keyakinan. Secara tidak langsung, beliau mengakui bahwa yang disebut orang
bergereja/ jemaat bukan saja anggota persekutuan suatu denominasi gereja melainkan juga
mereka yang beribadah di masjid atau pura misalnya, asal memuliakan Tuhan. Beliau
menegaskan bahwa, dalam ajaran Protestan gereja diartikan sebagai yang memberitakan
Firman Allah secara murni dan yang melayangkan sakramen secara murni. Sakramen tidak
1 Soedarmo, Kamus Istilah Teologi (Jakarta BPK: Gunung Mulia, 2007) hal. 30
9
bisa tanpa Firman Allah maka gereja dapat dijadikan satu, yaitu dimana Firman Allah
diberitakan secara murni.2
Menurut Hadiwijiyono dalam tulisannya mengenai Iman Kristen dijelaskan bahwa
pemahaman tentang gereja melalui sebuah kata dalam bahasa bahasa Portugis yakni Igreya.
Menurut beliau, kata gereja berasal dari kata Portugis—Igreya. Kata Igreya sendiri
merupakan terjemahan dari kata Yunani Kuriake yang berarti menjadi milik Tuhan. Adapun
yang dimaksud dengan “milik Tuhan” ialah orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus
sebagai Juru selamat. Jadi yang dimaksud dengan gereja adalah persekutuan orang beriman.
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa kata Kuriake sebagai sebutan bagi persekutuan para
orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat dalam Perjanjian Baru. Istilah ini baru
dipakai pada zaman sesudah para rasul, yaitu sebelum gereja sebagai suatu lembaga dengan
segala peraturannya.3 Mencermati pemahaman Hadiwijiyono diatas, peneliti melihat bahwa
kata Igreya lebih inklusif dibandingkan kata Kuriake. Hal ini memang tidak lepas dari corak
teologis pada zaman para rasul yang sangat eksklusif. Hal ini dapat dilihat dari cara hidup
pengikut Kristus pada zaman itu yang sangat membenci kehidupan duniawi (piety) sampai
kepada teologi yang pada waktu itu menjadi queen of science. Namun jika dilihat dari fakta
yang ada sampai saat ini, harus diakui bahwa yang namanya Kuriake atau milik Kristus
adalah orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan itu adalah harga mati!
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gereja dalam pengertian secara umum
adalah persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil dari kegelapan (hidup lama) kepada
terang (hidup baru) dan menjadi satu tubuh dalam tubuh Kristus. Gereja tidak hanya dilihat
dari bangunannya secara fisik tetapi gereja lebih melihat pada orang-orang yang ada dalam
gereja itu sendiri. Menurut Hadiwijiyono, gereja memiliki empat sifat yaitu antara :
1. Gereja adalah Kudus
2 ibid hal.31
3 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta BPK: Gunung Mulia, 2007), hal. 362-363
10
2. Gereja adalah Am
3. Gereja adalah persekutuan orang kudus
4. Gereja adalah satu.
Berdasarkan sifat-sifat gereja diatas, maka hakekat dan tujuan dari gereja adalah menjadi alat
Tuhan untuk mendatangkan kerajaanNya.4
Namun pada saat ini gereja semakin menyadari bahwa khotbah monolog di gereja,
tidaklah sepenuhnya menolong jemaatnya untuk terus bertumbuh dalam iman. Beban konflik
dan penyakit batin yang meletihkan, menyebabkan banyak warga gereja yang tidak dapat
memberikan sumbangannya untuk pembangunan suatu iklim koinonia dalam hubungan di
tengah-tengah jemaat, yang berpusat pada Roh Kudus. Kehadiran mereka justru menjadi
pemecah-belah, bukan mempersatukan. Kehadiran mereka menimbulkan penyakit dan tidak
menyembuhkan. Semua situasi ini, mengharuskan gereja untuk mencari sebuah cara yang
efektif untuk mempersiapkan jemaat untuk menghadapi realitas yang semakin kompleks dan
rumit Clinebell mengatakan bahwa:
“…pendampingan dan konseling dapat menjadi cara mengkomunikasikan Injil, dengan cara
membantu mereka mengalami kasih anugerah yang bersifat menerima (orang lain) didalam suatu
hubungan manusiawi, maka kasih itu tidak dapat hidup bagi mereka. Sebelum mereka ditangkap
atau dikuasai oleh penerimaan (acceptance) yang bersifat mendampingi didalam sesuatu
perjumpaan dengan kehidupan, maka kabar baik dari pekabaran Kristen tidak dapat menjadi suatu
realitas yang membebaskan bagi mereka. Hubungan yang bersifat menolong adalah tempat dimana
perwujudan anugerah yang terbatas dan tidak lengkap dapat mentransformasikan relasi-relasi yang
ada di jemaat”.5
Dapat dikatakan bahwa, dengan adanya konseling pastoral maka gereja mampu
menghadapi relitas hidup yang kompleks dan rumit tersebut. Menurut Binswanger yang
dikutip dari Clinebell, menjelaskan bahwa psikoterapi (dan juga konseling) dapat
mempersiapkan orang sedemikian rupa menjadi orang yang berpartisipasi konstruktif
didalam suatu komunitas atau koinonia yang menyembuhkan. Orang-orang yang
4 Ibid, hal. 374-390
5 Ibid, hal. 84-85
11
dipersiapkan tersebut dapat mengambil bagian didalam usaha penyembuhan dari jemaat itu
untuk persatuan yang lebih luas.6
1.2 Pastoral
1.2.1 Pengertian Pastoral
Pastoral berasal dari kata “Pastor” dalam bahasa latin dan dalam bahasa Yunani
disebut “Poimen”, yang artinya gembala.7 Born-Strom mengartikan pastoral sebagai
pemberitaan Firman dengan maksud untuk menguatkan manusia sehingga mampu
mewujudkan imannya dalam kehidupan setiap hari.8 Dari pemahaman inilah, istilah
pastoral kemudian berkembang sebagai sebuah upaya untuk mencari dan mengunjungi
anggota jemaat terutama yang sedang bergumul dengan persoalan-persoalan yang
menghimpitnya. Pelayanan ditujukan kepada mereka yang mengalami pergumulan
hidup.9
Pastoral dihubungkan untuk memperdalam makna pekerjaan pendampingan,
sehingga pendampingan tidak hanya memiliki aspek horizontal (Hubungan manusia
dengan sesama) akan tetapi juga mewujudkan aspek vertikal (hubungan dengan Allah).10
Dalam hubungan dengan pastoral, pendampingan tidak hanya sekedar meringankan beban
penderitaan, tetapi menempatkan orang dalam relasi dengan Allah dan sesama, dalam
pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam kehidupan spritualnya untuk
membangun dan membina hubungan dengan sesamanya, mengalami penyembuhan dan
pertumbuhan serta memulihkan orang dalam hubungan dengan Allah.11
Dapat dikatakan
bahwa Pendampingan Pastoral adalah suatu jawaban terhadap kebutuhan setiap orang
6 Ibid, hal. 85
7 Art Van Beek, Pendampingan Pastoral (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hal 10
8 Tulus Tu’u,s, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Andi, 2007) hal 20
9 Ibid.
10 Art Van Beek, Pendampingan Pastoral (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hal 12
11 J.Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007) hal 4
12
akan kehangatan, perhatian penuh, dukungan, dan pendampingan.12
Menurut Hulme,
dalam bukunya Pastoral Care & Counseling, Pendampingan Pastoral merupakan
pelayanan untuk membantu dan mendekatkan orang pada mereka yang berpengalaman
dan mengerti akan masalah-masalah kehidupan seperti: sakit, perawatan,
ketidakmampuan, kematian dan kehilangan.13
Pendampingan pastoral bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang pendeta,
pastor atau kaum rohaniwan, tetapi juga semua orang percaya, yang terpanggil untuk
melaksanakan tugas pendampingan ini. Pendampingan pastoral berhubungan dengan
manusia, tidak perduli macam kepercayaannya, kedudukan sosialnya, atau prestisenya.
Pendampingan tersebut ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan manusia dari berbagai
perjalanan hidup, dari seorang tukang-batu sampai kepada insinyur bangunan, dari
seorang juara olahraga sampai kepada seorang yang cacat, dari seorang anak sekolah
dasar sampai kepada kakek-kakek dan nenek-nenek. Begitu pula dengan mereka yang
dalam keadaan kesehatan fisik yang prima atau keadaan sakit yang tidak bisa
disembuhkan, dalam keadaan sukacita atau sedih, dalam keadaan yang menggembirakan
atau menggelisahkan selalu ada saja kemungkinan bahwa layanan pastoral itu dibutuhkan.
Menurut Krisetya menyatakan bahwa suatu tanda dibutuhkannya pendampingan
pastoral itu, dikenal melalui suatu saat dimana tekanan dan tegangan hidup ini
mempengaruhi tubuh dan jiwa. Pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia dan
juga lingkungannya, tetapi memang bisanya lebih khusus dengan manusia dan
lingkungannya yang bermasalah.14
Dalam hal ini pendampingan pastoral tidak hanya
sekedar belajar tehnik-tehniknya saja, namun seseorang harus juga mempelajari manusia
12
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanasius, 2002) hal
59 13
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanasius, 2002) hal
237
14
Mesach Krisetya, Diktat Konseling Pastoral, (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana,
2009), hal.5
13
yang terlibat dalam pendampingan pastoral dan relasi diantara mereka. Dengan demikian
pendampingan pastoral itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan agamis
tertentu, ataupun seorang gembala seorang gembala maupun majelis dan orang-orang
yang terlibat dalam pendampingan pastoral harus belajar agama dengan baik, dalam hal
ini Kristen, sebagaimana agama itu berfungsi didalam dan melalui orang-orang yang
terlibat dalam pendampingan pastoral itu didalam relasinya satu sama lain.15
Tidak hanya
itu, mendampingi orang lain bisa juga terwujud lewat kehadiran, mendengarkan secara
aktif, penuh perhatian, memiliki sifat empati sehingga dapat memahami dan menyelami
apa yang dirasakan oleh mereka yang sedang bergumul. Ketika kehadiran kita
menunjukan sikap yang baik bahwa kita mempunyai waktu untuk mendengarkan dan
berada di situ, inilah yang disebut hadir secara fisik dan psikologis.16
Ketika berada
bersama dengan mereka yang sedang bergumul, dengan persoalan hidup berarti kita
sebagai pendamping harus berkonsentrasi pada keunikan individu yang berada di hadapan
kita, yang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kehadiran dan kepedulian kita dapat
meyakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian, sehingga tercipta relasi yang hangat,
baik dan ramah. Dengan demikian maka akan tumbuh rasa saling percaya antara kita
dengan mereka yang sedang bergumul tersebut. Dengan kata lain dapat di artikan bahwa,
sepanjang ada komunitas maka keberadaan seseorang akan selalu dinantikan demi sebuah
sentuhan manusiawi, bagi mereka yang mengalami Krisis Kehidupan.17
Dalam rangka
mendampingi mereka yang mengalami masalah dalam kehidupannya, maka kita harus
melihat secara utuh dalam keseluruhan sebagai manusia dan apa yang dibutuhkan mereka
dalam menghadapi masalah tersebut.
15
Ibid, hal. 6 16
Mesach Krisetya, Diktat Konseling Pastoral, (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana,
2009)hal 68-69 17
Totok S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 2004) hal 5
14
Pendampingan pastoral memiliki beberapa tujuan, seperti yang di kemukakan oleh
Wiryasaputra, pertama perubahan menuju pertumbuhan dimana orang yang didampingi
(orang yang memiliki masalah) adalah agen utama perubahan dan orang yang
mendampingi dapat disebut sebagai mitra perubahan bagi agen perubahan utama. Dalam
hal ini pendamping berusaha membantu orang yang didampingi sedemikian rupa
sehingga mampu menggunakan sumberdaya yang dimilikinya untuk berubah. Kedua,
mencapai pemahaman diri secara penuh dan utuh untuk mencapai tujuan ini maka mereka
yang bermasalah harus mengalami pengalamannya secara utuh. Ketiga, belajar
berkomunikasi yang lebih sehat. Pendampingan dapat membantu orang untuk
menciptakan komunikasi yang sehat dengan lingkungannya. Dengan kata lain
pendampingan juga dapat dipakai sebagai media pelatihan bagi orang yang didampingi
untuk berkomunikasi secara lebih sehat dengan lingkungannya.18
1.2.2 Fungsi Pastoral
Secara tradisional fungsi pastoral ada empat, seperti yang diuraikan oleh Clebsch
dan Jaekle didalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical Perspective.
Keempat fungsi pastoral itu adalah: penyembuhan (healing), penopangan (sustaining),
pembimbingan (guiding) dan pendamaian (reconciling).
1. Penyembuhan adalah salah satu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi
beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan
menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Kita perlu
mengerti bahwa kasih sayang dan perhatian juga dapat menyembuhkan. Tentulah hal
ini bukan dalam pengertian secara fisik, akan tetapi dalam segi mental dan spritual.
Jikalau pendamping sungguh-sungguh mendengarkan keluhan dari mereka yang
bermasalah maka akan mempercepat kesembuhan secara emosional.
18
Totok S. Wiryasaputra, Ready to care :pendampingan dan konseling psikologi, (Yogyakarta: Pusat Pastoral,
2004) hal 79-87
15
2. Penopangan berarti, menolong orang yang “terluka” untuk bertahan dan melewati
suatu keadaan yang terjadi pada waktu lampau, yang didalamnya pemulihan kepada
kondisi semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis
kemungkinannya.
3. Pembimbingan berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan
pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika
pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya
sekarang dan yang akan datang. Ketika seseorang berada dalam kebingungan, mereka
biasanya sulit untuk berpikir dengan baik. hal ini sangat mempengaruhi seseorang
dalam mengambil sebuah keputusan. Disaat inilah, seorang pendamping hadir untuk
membantu orang yang berada dalam kebingungan mengambil keputusan yang jelas
yang dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang
akan datang.
4. Pendamaian berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan
antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua
bentuk, pengampunan dan displin gereja, tentunya dengan didahului oleh
pengakuan.19
Clinebell dalam bukunya Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan konseling pastoral,
menambahkan fungsi kelima dari konseling pastoral, yaitu memelihara atau mengasuh
(nurturing), yakni fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengembangkan potesi-potensi
yang diberikan Allah kepada mereka, disepanjang perjalanan hidup mereka dengan segala
lembah-lembah, puncak-puncak dan dataran-datarannya.20
Potensi yang dapat dilihat
dalam proses tersebut adalah apa yang dapat ditumbuhkembangkan sebagai kekuatan
dalam melanjutkan kehidupannya, sehingga mereka didorong ke arah pertumbuhan dan
19
Ibid, hal. 10 20
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastorl, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hal.53-54
16
perkembangan secara holistik. Dengan demikian konseling pastoral melaksanakan fungsi-
fungsi pengembalaan dengan tujuan utama adalah mengutuhkan kehidupan manusia
dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental dan spiritualnya.
1.3 Konflik
1.3.1 Pengertian Konflik dan manifestasinya
Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang biasa terjadi disetiap
interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat.21
Konflik adalah suatu
keniscayaan yang realitasnya tidak dapat dihindari.22
Konflik merupakan bagian dari
kehidupan manusia yang tidak dapat dihapus dari dunia ini oleh karena realita konflik
muncul disebabkan oleh adanya perbedaan. Dengan demikian kehidupan manusia sehari-
hari sangatlah dekat dengan konflik, apalagi pada dasarnya segala sesuatu di dunia ini
tidak ada yang sama.
Konflik berasal dari bahasa latin “fligere”, yang berarti untuk menyerang. Konflik
dipahami sebagai tindak menyerang secara bersama-sama, yaitu dari pihak-pihak yang
bekonflik.23
Bentuk-bentuk penyerangan yang dimaksud bisa merupakan kekerasan
maupun non kekerasan, tetapi yang memiliki motivasi melalukan penyerangan terhadap
suatu pihak. Menurut Nardjana (1994) “Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan
atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga
salah satu atau keduanya saling terganggu”. Killman dan Thomas (1978)mendefenisikan
“Konflik sebagai suatu kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan
yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungan dengan
21
Agus surata dan Tuhana Taufiq Andrianto, Atasi Konflik Etnis,(Yogyakarta:Global Pustaka Utama,2001),hal
1 22
Ibid, hal 4 23
William H. Willimon, preaching Abaut Conflict In The Local Church, (Philadelphia: The Westminster Press,
1987), hal 10
17
orang lain”.24
Kedua pengertian ini mengarah pada pemahaman konflik sebagai situasi
atau kondisi yang berlawanan oleh karena terjadinya ketidakcocokan antara dua pihak.
Perbedaan-perbedaan yang kompleks dari setiap individu tidak hanya dapat
menjadi pelengkap bagi individu yang lain, tetapi perbedaan itu juga dapat menimbulkan
konflik. Konflik sama halnya dengan perbedaan yang tidak dapat dihindari dalam hidup
ini. Apabila konflik tidak dapat dihindari, maka yang perlu dilakukan adalah mengelola
konflik tersebut dan melakukan resolusi sehingga konflik tidak berkembang menjadi
konflik yang baru lagi. Apabila konflik dikelola dengan baik dan tidak dibiarkan semakin
memburuk, tentu konflik juga dapat menolong, misalnya memberi pelajaran, perasaan
memiliki tujuan bersama, dan pertumbuhan ke arah hubungan yang lebih baik. Veeger
(1985) menuliskan bahwa melalui proses tawar menawar konflik dapat membantu
terciptanya tatanan baru dalam interaksi sosial sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bahkan apabila konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu dapat juga
dipakai sebagai alat perekat kehidupan bermasyarakat.25
Setelah kita mengetahui pengertian konflik kita juga akan melihat beberapa ciri-
ciri konflik. Pertama, ada dua atau lebih pihak secara perseorangan maupun kelompok
yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertegangan. Kedua, munculnya interaksi
yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling
meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh
kutungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab dan lain sebagainya. Ketiga, menculnya
perebutan sumber-daya langka, seperti kekuasaan, harga diri, pangkat, dan lain
sebagainya.26
24
David Samiyono:Pluralisme dan Pengelolaan Konflik, tanggal 28-29 di UKSW Salatiga. 25
Agus Surata dan Tuhana Taufiq Andrianto, Atasi Konflik Etnis, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001)
hal 1 26
David Samiyono:Pluralisme dan Pengelolaan Konflik, tanggal 28-29 di UKSW Salatiga.
18
Secara umum konflik dapat dibedakan kedalam 3 model, yaitu: pertama model
Agresor-Defender, yang menarik garis pembeda diantara kedua pihak yang berkonflik.
Pihak agresor (penyerang) dianggap memiliki satu tujuan yang mengakibatkannya
terlibat dalam konflik bersama pihak defender (pihak yang bertahan). Kedua, model
spiral-konflik, menjelaskan bahwa peningkatan peristiwa-peristiwa yang menonjol dalam
konflik merupakan hasil dari aksi dan reaksi. Taktik-taktik “bertanding” juga dari pihak
yang lain. Ketiga, model perubahan struktural, menjelaskan bahwa konflik dan taktik-
taktik yang digunakan untuk menyelesaikannya menghasilkan perubahan-perubahan yang
terjadi pada pihak yang berkonflik dan masyarakat sekitarnya.27
Dalam gereja juga ditemukan berbagai kepentingan yang berbeda. Sebagai akibat,
perbedaan itu dapat memunculkan konflik yang selanjutnya dinilai sebagai sesuatu yang
wajar.28
Ketika menghadapi konflik, gereja tidak dapat sepenuhnya bersikap Kristiani
dengan membiarkan konflik itu terjadi dan mereda dengan sendirinya. Bagaimanapun
konflik yang terjadi harus dikelola dan diselesaikan. Dengan demikian kehidupan jemaat
dalam gereja tidak semakin terpuruk oleh adanya konflik.
Jika konflik tidak dikelola maka beberapa hal negatif akan muncul antara lain:
pertama, kerugian berupa material dan spiritual. Kedua, mengganggu harmoni sosial.
Ketiga, terjadinya perpecahan kelompok. Melihat dampak dari sebuah konflik, maka
sangat perlu untuk mengelola konflik sehingga konflik berdaya guna.29
Sebuah konflik
apabila dibiarkan terus-menerus tidak akan terselesaikan secara alami, butuh niat dan
tindakan untuk melakukan pengelolaan yang baik dari pihak yang berkonflik maupun
pihak yang ada disekitarnya. Selain itu, perlu juga diadakan reformasi struktural pasca
konflik untuk menemukan akar permasalahan dari sebuah konflik dan menciptakan serta
27
Dean G. Pruitt dan Jefferey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 200-206 28
Daniel K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan;Menelusuri akar dan Dampak dari Balada Kain-
Habel,(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), hal 146 29
David Samiyono:Pluralisme dan Pengelolaan Konflik, tanggal 28-29 di UKSW Salatiga.
19
mengembangkan hubungan yang baru.30
Dengan tindakan-tindakan diatas, diharapkan
konflik dapat menghambat pertumbuhan konflik, setidaknya dapat dihindari dan
diselesaikan. Konflik tidak hanya dapat merugikan tetapi juga dapat bermanfaat apabila
dikelola dengan baik. Hal-hal positif yang ditemui ketika konflik dikelola dengan baik
adalah: pertama, membuat organisasi tetap hidup dan harmonis, masing-masing
kelompok dapat melakukan adaptasi sehingga dapat terjadi perubahan perbaikan. Kedua,
muncul keputusan yang inovatif. Ketiga, munculnya presepsi yang lebih kritis. Keempat,
meningkatnya sikap solidaritas sosial.
1.3.2 Resolusi Konflik
Nugroho dkk, (2004) menyatakan bahwa resolusi konflik bertujuan menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang lebih baik diantara
kelompok-kelompok yang berkonflik. Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi
untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu
kesepakatan untuk mengakhiri konflik, tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai
perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya.31
Penyelesaian konflik dapat dipahami sebagai tercapainya kesepakatan antara
pihak-pihak yang bertikai yang memungkinkan mereka untuk mengakhiri konflik yang
terjadi. Namun, tidak menutup kemungkinan konflik dapat muncul lagi dikemudian hari
akibat sikap konflik dan kontradiksi struktural yang belum dapat ditangani dengan baik.
Sedangkan resolusi konflik merupakan istilah komprehensif yang mengimplikasikan
sumber konflik yang sedang berakar agar diperhatikan dan diselesaikan. Hal ini
mengimplikasikan bahwa perilaku konflik tidak lagi berada dalam ketegangan dan
kekerasan, sikapnya tidak lagi membahayakan, serta sturuktur konfliknya telah diubah.32
30
Ibid. 31
Fera Nugroho dkk, Konflik dan kekerasan pada Aras Lokal, (Salatiga: Pustaka Percik, 2004), hal 81 32
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002) hal 30-31
20
Meskipun pada dasarnya resolusi konflik dan penyelesaian konflik, sama-sama
merupakan upaya untuk menekan atau bahkan menghilangkan terjadinya konflik namun
dapat dikatakan bahwa keduanya terdapat sedikit perbedaan yaitu resolusi konflik lebih
mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik, sedangkan penyelesaian konflik
tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai.
Pruitt dan Rubin mengemukakan beberapa strategi untuk menyelesaikan realita
konflik yang beranekaragam. Secara umum ada lima strategi yang bisa digunakan yaitu33
pertama, contending (pertandingan) dengan mencoba menerapkan solusi yang lebih
disukai oleh satu pihak atas pihak lain. Strategi ini meliputi segala macam usaha untuk
menyelesaikan konflik sesuai dengan kemauan sendiri tanpa mempedulikan kepentingan
pihak lain. Kedua, yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
menerima yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam strategi ini bukan berarti
bahwa mengalah dan menyerah secara total, tetapi bisa saja mengalah dan mencari
alternatif pemecahan masalah lain. Ketiga, problem solving (pemecahan masalah) yaitu
mencari alternatif yang memuaskan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang menggunakan
strategi ini berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri tetapi sekaligus berusaha
mendapatkan cara untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak lain dan mencari solusi
yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Keempat, with drawing (menarik diri)
memilih meninggalkan situasi konflik secara fisik maupun psikologis. Penghentian usaha
untuk mengatasi konflik ini biasanya bersifat permanen. Kelima, inaction (diam) yaitu
memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa ketika sedang mengalami konflik,
tetapi tetap membuka kemungkinan untuk melakukan upaya penyelesaian konflik. Dari
kelima strategi yang telah dikemukakan diatas, biasanya strategi problem solving lebih
banyak diminati oleh pihak-pihak yang berkonflik. Ada beberapa langkah yang dapat
33
Dean G. Pruitt dan Jefferey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 4-6
21
ditempuh ketika menggunakan strategi problem solving, yaitu: pertama, memastikan
adanya konflik kepentingan yang secara nyata terjadi. Kedua, melakukan analisis
terhadap kepentingan sendiri dan menetapkan aspirasi yang masuk akal, serta
mempertahankannya. Ketiga, mencari cara untuk merekonsiliasikan aspirasi kedua belah
pihak. Keempat, menurunkan aspirasi yang telah ada dan mencari beberapa aspirasi
lagi.34
Sebagai suatu strategi penyelesaian konflik, ada tahapan-tahapan yang dilalui atau
cara-cara yang lasim dipakai dalam resolusi konflik, seperti mediasi, arbitrasi, dan
negosiasi.
Mediasi berasal dari kata latin mediatio yaitu suatu cara penyelesaian pertikaian
dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Nugroho dkk, (2004) menyebutkan
mediasi sebagai suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga, sehingga pihak-
pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri.
Pendampingan pastoral juga merupakan cara yang sering digunakan untuk melakukan
resolusi konflik dalam Gereja. Pendekatan yang diberikan biasanya dari pihak Gereja
dengan tujuan supaya pihak yang berkonflik dapat menyalurkan masalah yang sedang
dihadapi dan bersedia dibimbing untuk mencapai penyelesaian. Alkitab juga memberikan
sumbangan mengenai cara untuk melakukan resolusi yaitu dalam Matius 18:15-17 yaitu:
“...apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan
nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah
seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak
disangsikan.
Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak
mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau
seorang pemungut cukai.
Beberapa upaya yang harus dilakukan ketika mengetahui warga gereja melakukan
hal yang tidak benar, apa lagi sampai berkonflik. Resolusi konflik yang diusulkan matius
34
Ibid, hal 340-345
22
18:15-17 dapat dijabarkan ke dalam tiga langkah penyesuaian masalah35
yaitu pertama
adalah menegur dan memberi nasehat secara pribadi atau empat mata (ayat 15). Ini
merupakan panggilan kepada setiap umat Kristen untuk saling memperingatkan dan
menasehati satu dengan yang lain. Menegur yang dimaksud adalah teguran yang bersifat
positif dan membangun, bukan hal-hal yang bersifat memojokkan apalagi menyalahkan
atau menghakimi. Kedua, apabila teguran pertama tidak diindahkan, maka penekatan
selanjutnya dapat dilakukan bersama dua atau tiga orang saksi lainnya (ayat 16). Hal
tersebut dapat menolong untuk memberi pendekatan dan menjadi penengah bila terjadi
pertentangan antara kedua belah pihak dalam proses pendampingan.
Ketiga, apabila cara kedua diatas tidak berhasil juga, maka masalah yang dihadapi dapat
dibawa ke jemaat (ayat 17), yaitu terbatas hanya dalam lingkungan gereja. Gereja yang
dimaksud adalah anak-anak Allah yang tidak bersikap menghakimi, tetapi memiliki kasih
dan perasaan saling mengampuni. Gereja harus menyadari keberadaannya sebagai
pembawa damai dan mampu bersikap lemah lembut dalam menuntun mereka yang mau
bertobat.
35
David I. Santoso, Mengatasi Masalah Konflik dalam lembaga Kristen,(Salatiga: Yayasan Bina Darma, 1995),
hal 72