REVOLUSI BILANGANSTART SEBUAH KEADILAN
S U G I A R N 0
Jl. Raya Petung 51 Bangsalsari,Jember, Jawa Timur 68154
2002
PENGANTAR
Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa
ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti sejak pasca proklamasi. Dalam hal
ini, penulis mengajak pembaca sekalian untuk sejenak merubah posisi keterpakuan
cara pandang dalam banyak hal karena ternyata dengan merubah cara pandang
tersebut ada wajah lain dari Indonesia yang jauh lebih besar daripada yang kita kenal.
Untuk itu, buku ini harus dibaca dengan hati.
Baik keterpakuan posisi saat memandang maupun merubah cara pandang
terhadap sesuatu hanya dapat dimulai dari dunia pendidikan serta hanya dapat
dilakukan oleh dunia pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu, krisis multidimensi yang
melanda bangsa ini menjadi tidak lepas dari tanggungjawab dunia pendidikan secara
keseluruhan. Bukankah, semua “pelaku” penyebab timbulnya krisis tersebut adalah
output pendidikan? Dengan kata lain, pemegang kunci penyelesaian krisis
multidimensi yang melanda bangsa ini ada pada tangan para pendidik, bukan pada
tangan mantan peserta didik --siapapun mereka.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
keluarga, sejawat, dan semua pihak yang telah memberikan masukan baik langsung
maupun tidak langsung. Semoga budi baik tersebut mendapatkan balasan yang
setimpal dari-Nya.
Jember, 6 Desember 2002
Penulis
2
2
INTISARI
Sebagai disiplin ilmu yang telah memproklamirkan diri sebagai ratunya ilmu
maka kemelut krisis multidimensi yang terjadi di negara ini menjadi tidak lepas dari
tanggungjawab Matematika. Hal ini dikarenakan pola menghitung yang curang –
mengurangi “kuantitas” saat menghitung ….
Reformasi bilangan bermaksud meruntuhkan dominasi sistem bilangan Hindu
Arab dengan pola basis seribu (103) yang berlaku di Indonesia dan menggantinya
dengan pola basis seratus (102). Penerapan sistem bilangan desimal dengan pola basis
seribu (103) dengan menafikan keberadaan basis seratus (102) jelas merupakan sebuah
lompatan yang terlalu maju. Bayangkan, dari bilangan desimal basis sepuluh (10)
menjadi bilangan desimal basis seribu (103). Untuk itu, sistem bilangan Hindu Arab
perlu dikaji ulang agar keuntungan hitungan tidak selalu berpihak pada produsen
bilangan saja namun juga berpihak pada konsumen bilangan itu.
Hasil reformasi bilangan tersebut menghasilkan sistem bilangan peralihan
dan hanya berlaku selama masa transisi. Dengan mereformasi bilangan akan dapat
diketemukan satuan bilangan yang tanpa sengaja (?) “dihilangkan”, misalnya : puluh
ratusan, puluh ratus ribuan, dan sebagainya.
Sistem bilangan peralihan di Indonesia pada masa transisi :
(10)0 satu
(10)1 sepuluh
(10)2 seratus --berasal dari sepuluh-puluh
(10)3 sepuluh ratus
(10)4 seribu --berasal dari seratus-ratus
(10)5 sepuluh ribu
(10)6 seratus ribu
(10)7 sepuluh ratus ribu
(10)8 sejuta --berasal dari seribu-ribu
3
3
(10)9 sepuluh juta
(10)10 seratus juta
(10)11 sepuluh ratus juta
(10)12 seribu juta (“miliar”) --berasal dari seratus-ratus juta
(10)13 sepuluh ribu juta
(10)14 seratus ribu juta
(10)15 sepuluh ratus ribu juta
(10)16 setriliun --berasal dari sejuta-juta
Berdasarkan susunan di atas, nampak perubahan “satuan bilangan” muncul
ketika bilangan desimal dengan basis sepuluh (10) ditata dengan pola deret ukur pada
pangkat faktor desimalnya --dan itu lebih mendekati konsisten sebagaimana tuntutan
Matematika.
Dalam hal ini, pakar Matematika harus membayar hutang yang telah
dilakukan terhadap bilangan laksa (10)4 dan keti (10)5 dengan miliar (103)3. Hutang
dalam satu masa juga harus dibayar dalam satu masa. Oleh karena itu, untuk
sementara waktu “miliar ditidurkan”.
Penggunaan sistem bilangan Hindu Arab dengan pola basis seribu (103) tanpa
disadari mengakibatkan konsumen bilangan dirugikan dengan prosentase yang sangat
fantastis, yaitu jika suatu bilangan bernilai ≥ seribu (103) maka kerugian yang
diderita konsumen bilangan itu adalah ≥ 90%. Dan, ternyata penyebab kerugian
tersebut adalah karena nilai kualitas bilangan seribu yang digambarkan dengan
lambang bilangan 1000 belum proporsional –masih prematur, sehingga berpengaruh
pada kuantitas bilangan yang lain. Ironisnya, hal itu baru terasa ketika bilangan sudah
masuk dalam pusaran uang.
Dengan demikian, tanpa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tanpa
larinya investor, tanpa buruknya (?) kinerja pemerintahpun perekonomian akan
ambruk dengan sendirinya dan Indonesia akan bangkrut, hanya masalah waktu.
4
4
Apalagi … Dengan “rusak” -nya pilar ekonomi maka akan sangat mempengaruhi
pilar-pilar yang lain, untuk selanjutnya efek dominolah yang akan berbicara.
Rumus untuk menyembuhkan krisis keuangan /ekonomi yang melanda negara
ini adalah dengan mereformasi sistem bilangan Hindu Arab terlebih dahulu dan
selanjutnya, pada masa transisi, seluruh keuangan yang menjadi hak negara serta
kewajiban negara yang timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan
bilangannya (pelafalan /pengucapannya). Sedangkan realita uang yang beredar di
masyarakat dihitung berdasarkan lambang bilangannya.
Masa transisi memerlukan waktu sembilan tahun dan ini harus jelas, kapan
start dan kapan finish. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) memposisikan diri sebagai Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) II, sedangkan seluruh lembaga tinggi negara beserta
seluruh perangkat pendukungnya berada dalam posisi “domisioner”.
Bisa dikatakan, jalan di tempat selama sembilan tahun karena biduk yang
bernama Indonesia telah salah arah dalam melaju sehingga tak terbilang korban yang
berjatuhan. Mulai dari yang konkrit seperti rakyatnya, uangnya, aksaranya sampai
dengan yang abstrak seperti bilangannya. Dengan demikian, selama itu, tidak ada
hajat nasional. Oleh karena itu, regenerasi kepemimpinan terjadi dengan cara
senioritas. Dalam masa transisi, MPR harus menarik keluar institusi-institusi yang
berada di bawah payung eksekutif /legislatif dan untuk selanjutnya majelis tersebut
akan menelorkan lima buah lembaga tinggi negara –untuk mendampingi lima buah
lembaga tinggi negara yang telah lahir terlebih dahulu, yaitu :
1. Badan Keuangan Republik Indonesia;
2. Badan Pendidikan Nasional Indonesia;
3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
4. Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional;
5. Dewan Agama Indonesia.
Sebuah kerja besar membangun peradaban Indonesia yang utuh, adil, dan
hampir melibatkan seluruh rakyat terpampang di depan mata. Apalagi, pada masa
5
5
transisi akan terjadi “banjir uang”, tersingkapnya jati diri sebagai bangsa Indonesia,
dan sebagainya. Dampak psikologi dari keadaan ini harus disikapi secara fleksibel.
Dengan berakhirnya masa transisi, akan terjadi Revolusi Bilangan. Bilangan
dengan basis seratus (102) akan menampakkan kekuatan yang sesungguhnya. Hasil
dari revolusi basis seratus (102) adalah Sistem Bilangan Indonesia. Satu pilar utama
dominasi barat tumbang di bumi Pertiwi.
Sistem bilangan Indonesia :
(10)0 satu
(10)1 sepuluh
(10)2 seratus
(10)4 seribu
(10)8 selaksa
(10)16 seketi
(10)32 sejuta
(10)48 semiliar
(10)64 senoto
(10)96 setriliun
(10)124 seindonesia
Sebagai sebuah sistem, bilangan juga akan mempengaruhi sistem yang lain,
dan itu nyaris menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini dapat dilihat pada saat bilangan melakukan manuver.
Bertolak dari noto (10)64, bilangan merambah noto lahan kehidupan (10)76.
Kemudian membubung tinggi ke noto uang (10)92, lantas makin tinggi terbangnya dan
singgah di noto pendidikan (10)108 , turun dengan santai ke noto agama (10)100.
Dari noto agama, bilangan naik vertikal ke noto ilmu (10)104, perjalanan pun
dilanjutkan dengan menukik tajam ke noto tarikh (10)88, lantas melesat tinggi ke noto
adil (10)112, melesat kian tinggi ke noto bela negara (10)124. Dari noto bela negara,
bilangan turun dengan tajam ke kandang sendiri, noto bilangan (10)84.
6
6
Sejenak bilangan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, lantas dengan
santai melenggang ke noto bahasa (10)80, turun dengan tajam ke noto nusa (10)72,
makin rendah terbangnya untuk menggapai noto negara (10)68.
Sontak bilangan melesat jauh tinggi ke noto penguasa (10)120. Di sana,
bilangan hanya singgah sesaat dan perjalanan dilanjutkan ke titik noto terakhir yang
belum dirambahnya, noto bangsa (10)116. Puas mengadakan penjelajahan di noto
bangsa, bilangan turun perlahan dan mendarat dengan selamat di pangkuan Ibu
Pertiwi.
Dengan mengikuti manuver bilangan, ternyata ada wajah lain dari Indonesia
yang jauh lebih besar dari yang terpampang di depan mata. Indonesia Raya bukanlah
cita-cita kosong, bukan pula mimpi di siang bolong sepanjang seluruh komponen
bangsa mau merapatkan barisan dan menyatukan langkah untuk maju bersama.
7
7
DAFTAR ISI
Pengantar …………………………………………………………………. ……. 2
Intisari …………………………………………………………………………… 3
Daftar Isi ………………………………………………………………………… 8
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. ……. 10
1.2 Tujuan ………………………………………………………………. 11
Bab II Bilangan
2.1 Sitem Bilangan Hindu Arab ………………………………………… 12
2.2 Reformasi Bilangan ………………………………………….. ……. 30
2.3 Sistem Bilangan Indonesia ………………………………………….. 38
2.4 Revolusi Bilangan ……………………………………………. ……. 48
Bab III Manuver Bilangan dalam Menata Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
3.1 Noto Lahan Kehidupan ……………………………………………. 54
3.2 Noto Uang …………………………………………………………. 86
3.3 Noto Pendidikan …………………………………………………… 96
3.4 Noto Agama ………………………………………………………. 123
3.5 Noto Ilmu …………………………………………………………. 144
3.6 Noto Tarikh ……………………………………………………….. 148
3.7 Noto Adil………………………………………………………….. 161
3.8 Noto Bela Bangsa…………………………………………………. 167
3.9 Noto Bilangan …………………………………………………….. 183
8
8
3.10 Noto Bahasa …………………………………………………….. 183
3.11 Noto Nusa ……………………………………………………….. 192
3.12 Noto Negara……………………………………………………… 195
3.13 Noto Penguasa…………………………………………………… 199
3.14 Noto Bangsa …………………………………………………….. 206
3.15 Langkah-Langkah Strategis ……………………………………… 242
Bab IV Penutup
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 245
4.2 Saran………………………………………………………………. 252
Kepustakaan ………………………………………………………………….. 253
Lampiran-Lampiran :
1. Implementasi Reformasi Bilangan ……………………………… 257
2. Format Demokrasi ……………………………………………….. 267
3. Natar ……………………………………………………………… 268
4. Nilai Natar ………………………………………………………… 275
5. Sebuah Anekdot…………………………………………………… 278
9
9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis yang berkepanjangan hanyalah akumulasi dari sebuah kondisi
ketidakstabilan basis (baca : ilmu dasar). Begitu pula halnya dengan krisis keuangan,
krisis kepercayaan, krisis jati diri, dan seluruh krisis-krisis lain yang melanda bangsa
ini. Kondisi tersebut harus diselesaikan sebab setiap sebuah dimensi kehidupan
mengalami krisis maka akan sangat mempengaruhi peri kehidupan yang lain.
Penyelesaian setiap krisis memang berbeda, kasus perkasus. Hanya saja, jika
penyelesaian tersebut hanya di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan maka
hal itu tak ubahnya dengan menunda datangnya krisis lain yang jauh lebih besar lagi.
Dikatakan demikian sebab krisis yang datang kemudian akan lebih kompleks
sifatnya, sehingga penyelesaiannya juga semakin rumit.
Menggali akar permasalahan untuk dapat menyelesaikan krisis multi dimensi
adalah sebuah kerja besar yang harus melibatkan banyak orang didalam
menyelesaikannya. Hanya saja, dari mana harus memulai sehingga penyelesaian bisa
tuntas dan meminimalisir jatuhnya korban, itu yang menjadi pokok permasalahannya.
Sebagai alternatif, bilangan dapat dijadikan pijakan awal.
Dengan membilang (baca : menghitung) yang benar maka akan benar pula
hasil yang didapat, begitu pula sebaliknya. Kecurangan dalam membilang bukan
hanya akan mempengaruhi Matematika namun juga akan berdampak buruk pada
yang lain. Dengan bilangan, “materi” dapat dihitung dan akan dapat diketemukan
pula “materi” lain yang berkaitan dengannya.
1.2 Tujuan
10
10
Sebagai masukan bagi Matematisi Indonesia untuk mengadakan kajian ulang
terhadap sistem bilangan desimal dengan pola basis seribu (103), bagi dunia
pendidikan khususnya, serta bagi penyelenggara negara pada umumnya.
BAB II
BILANGAN
2.1 Sistem bilangan Hindu Arab
Sistem bilangan di Indonesia disebut sistem bilangan Hindu Arab, disebut
demikian karena menurut sejarahnya sistem ini ditemukan oleh orang Hindu yang
oleh orang Arab disempurnakan dan diperkenalkan ke benua Eropa. Sistem ini
disebut sistem desimal karena mengggunakan bilangan dasar sepuluh.
Dengan demikian, angka yang dipergunakan adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
sedangkan untuk lambang bilangan sepuluh dipergunakan angka 1 dan angka 0
sehingga tertulis 10. Untuk lambang bilangan sebelas digunakan angka 1 dan 1
sehingga tertulis 11, dan begitu seterusnya.
Cara penulisan lambang bilangan seperti tersebut disebut dengan sistem nilai
tempat atau posisi. Berdasarkan kriterianya, pada bilangan cacah –dari kanan ke kiri--
dapat diurutkan sebagai berikut : satuan, puluhan, ratusan, ribuan, puluh ribuan, ratus
ribuan, jutaan, dan seterusnya. Pengelompokan tersebut erat kaitannya dengan
penulisan bentuk panjang suatu bilangan. Misalnya, pada bilangan xyz, artinya pada
bilangan tersebut terdapat x kelompok ratusan, y kelompok puluhan, dan z
kelompok satuan.
Berdasarkan teknik pengelompokan, maka, jika …..m.lkj.ihg.fed.cba adalah
suatu bilangan cacah akan terlihat gambaran sebagai berikut :
Bilangan Tempat Angka Nilai tempat
11
11
a
b
c
satuan
puluhan
ratusan
satuan
puluhan
ratusan
1
10
100
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
ribuan
puluh ribuan
ratus ribuan
jutaan
puluh jutaan
ratus jutaan
miliaran
puluh muluaran
ratus miliaran
triliunan
ribuan
puluh ribuan
ratus ribuan
jutaan
puluh jutaan
ratus jutaan
miliaran
puluh miliaran
ratus miliaran
triliunan
1.000
10.000
100.000
1.000.000
10.000.000
100.000.000
1.000.000.000
10.000.000.000
100.000.000.000
1.000.000.000.000
Tabel 1
Jika pola tersebut di atas dianggap benar, maka terlihat adanya kejanggalan,
atas dasar apa istilah jutaan tidak langsung muncul sesudah ribuan, begitu pula
dengan miliaran dan triliunan, mengapa masih harus tersekat oleh istilah lain
(Penyimpangan 1). Padahal, desimal berarti persepuluhan.
Bandingkan dengan pola desimal pada masa lalu berikut ini.
Bilangan Tempat Angka Nilai tempat
1 2 3 4
a
b
c
d
e
f
g
Satuan
Puluhan
Ratusan
Ribuan
Laksa
Keti
Juta
Satuan
Puluhan
Ratusan
Ribuan
Laksa
Keti
Juta
1
10
100
1.000
10.000
100.000
1.000.000
Tabel 2
12
12
Kembali pada bilangan xyz , apabila bilangan tersebut ditulis dalam bentuk
panjang maka akan terlihat sebagai berikut :
xyz = (x x 102) + (y x 10) + z
= 100 x + 10y + z
Berdasarkan penulisan tersebut, pada pengelompokan bilangan bahwa cara
yang ditempuh dan pemberian nama berdasarkan atas pemangkatan bilangan 10
(sepuluh). Perhatikan hasil pemangkatan berikut ini.
Pada 10n Hasil Dibaca
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
1010
1011
1012
1
10
100
1.000
10.000
100.000
1.000.000
10.000.000
100.000.000
1.000.000.000
10.000.000.000
100.000.000.000
1.000.000.000.000
Satu
Sepuluh
Seratus
Seribu
Sepuluh ribu
Seratus ribu
Sejuta
Sepuluh juta
Seratus juta
Semiliar
Sepuluh miliar
Seratus miliar
Setriliun
Tabel 3
Pada hasil pemangkatan dan cara membaca (pelafalan) terlihat jelas bahwa
pada bilangan ≤ 1 triliun, penyebutan suatu istilah berubah pada satu, sepuluh,
seratus, seribu, sejuta, semiliar, dan setriliun.
Berdasarkan pola pemangkatan bilangan (10) sepuluh di atas, nyata sekali
bahwa pola yang diterapkan belumlah teratur (Penyimpangan 2). Padahal, sebagai
13
13
ilmu pasti, Matematika –bilangan-- menganut hukum keteraturan (Ruseffendi E.T,
1993 : 28). Apa hubungan antara pangkat 0, pangkat 1, pangkat 2, pangkat 3, pangkat
6, pangkat 9, dan pangkat 12 pada bilangan 10 (sepuluh) sehingga menghasilkan
bilangan baru?
Dari realita pemangkatan bilangan tersebut di atas dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1. 1 = (10)0
10 = (10) 1
100 = (10)2
1.000 = (10)3
2. 1 = 100 = (102)0
100 = 102 = (102)1
1.000.000 = 106 = (102)3
1.000.000.000.000 = 1012 = (102)6
3. 1 = 100 = (103)0
1.000 = 103 = (103)1
1.000.000 = 106 = (103)2
1.000.000.000 = 109 = (103)3
1.000.000.000.000 = 1012 = (103)4
4. 1 = 100 = (106)0
1.000.000 = 106 = (106)1
1.000.000.000.000 = 1012 = (106)2
5. 1 = 100 = (109)0
1.000.000.000 = 109 = (109)1
6. 1 = 100 = (1012)0
14
14
1.000.000.000.000 = 1012 = (1012)1
Perlu diperhatikan bahwa antara satuan bilangan dan satuan tempat suatu
bilangan adalah berbeda. Sebab pada satuan bilangan hanya ada satuan, puluhan,
ratusan, ribuan, jutaan, miliaran, dan triliunan . Sedangkan pada satuan tempat
bilangan dapat dilihat pada pola pertama di atas.
Dari pemangkatan faktor desimal di atas terlihat :
1. Pada nilai tempat l, 10, 100, dan 1.000 menerapkan pola deret hitung
dengan interval satu pada faktor desimalnya;
2. Deret hitung dengan interval dua --yang terkesan melompat-ompat-- pada
faktor desimalnya terlihat pada 1, 100, 1.000.000 dan 1.000.000.000.000;
3. Untuk 1, 1.000, 1.000.000, 1.000.000.000, dan 1.000.000.000.000
menggunakan pola deret hitung dengan interval tiga pada faktor desimalnya;
4. Pada 1, 1000.000, dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung
dengan interval enam pada faktor desimalnya;
5. Pada 1, 1.000.000.000 dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret
hitung dengan interval sembilan pada faktor desimalnya.;
5. Dan, pada 1 dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung
dengan interval dua belas pada faktor desimalnya.
15
15
Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut ini :
Bilangan Lambang Bilangan A B C D E F
n=10 (n2) (n3) (n6) (n9) (n12)
Satu 1 (10)0 (102)0 (103)0 (106)0 (109)0 (1012)0
Sepuluh 10 (10)1
Seratus 100 (10)2 (102)1
Seribu 1.000 (10)3 (103)1
Sejuta 1.000.000.000 (10)6 (102)3 (103)2 (106)1
Semiliar 1.000.000.000.000 (10)9 (103)3 (109)1
Setriliun 1.000.000.000.000.000 (10)12 (102)6 (103)4 (106)2 (1012)1
Tabel 4
Dari penggambaran tersebut terlihat bahwa asal usul suatu bilangan terlihat
sangat tidak konsisten (Penyimpangan 3).
Hal tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Basis seratus (100) atau (102) muncul setelah basis sepuluh (10)2
- Basis seribu (1000) atau (103) muncul setelah basis seratus (102)x
- Basis sejuta (1.000.000) atau (106)muncul setelah basis seribu (103)2,
mirip dengan pemunculan basis seratus
- Basis semiliar (1.000.000.000) atau (109) ini muncul setelah basis sejuta
(106)y , dan itu mirip dengan pemunculan basis seribu
- Basis setriliun (1.000.000.00.000) atau (1012) muncul pada saat basis
semiliar (109)z
Mengingat pengertian miliar sudah dibakukan dalam Bahasa Indonesia, maka
sumber masalah bilangan tinggallah seribu dan setriliun. Kiranya perlu diingat bahwa
tanpa ada maksud menafikan “kemerdekaan” dunia Bahasa Indonesia, maka dalam
16
16
konteks lambang bilangan, sebenarnya basis triliun sudah muncul saat basis sejuta
(106)2. Dengan demikian, dalam hal ini, penyimpangan ada pada basis seribu (103).
Bukti lain penyimpangan penerapan basis seribu (103), juga dapat kita lihat
pada realita berikut ini. Perhatikan :
10 x 1.000 = 10.000
(satu nol nol nol nol dibaca sepuluh ribu)
10 x 1.000.000 = 10.000.000
(satu nol nol nol nol nol nol nol dibaca sepuluh juta)
10 x 1.000.000.000 = 10.000.000.000
(satu dengan sepuluh nol dibaca sepuluh miliar)
10 x 1.000.000.000.000 = 10.000.000.000.000
(satu dengan tiga belas nol dibaca sepuluh triliun)
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka, jika ada sepuluh ribu, sepuluh
juta, sepuluh miliar, sepuluh triliun, dan sepuluh xyz yang lain, berarti 10 x 100 =
1000 (baca : sepuluh kali seratus sama dengan seribu). 1 000 dibaca seribu –
dianggap seribu-- adalah sebuah penyimpangan yang nyata.
Sebenarnya dari sinilah persoalan bilangan muncul. Sebab, selain bilangan
memiliki ciri basis sepuluh, lambang bilangan yang kita pakai juga memiliki ciri
nilai tempat sebab nilai tiap- tiap angka tergantung pada tempatnya (Heri Sutarno
: 1994).
Lucunya, pada n ≤ 1000 (103) digunakan basis sepuluh (10) namun
pada n ≥ 1000 digunakan basis seribu (103). Atau dengan kata lain, sistem
bilangan Hindu Arab bermuka dua.
Memang, kita dapat menjadikan seribu (103) sebagai basis dan memandang
bilangan sepuluh (10) dan seratus (100) dimunculkan untuk melengkapi urutan sistem
17
17
bilangan dari satu ke seribu atau ke bilangan lainnya (Kosala D Purnomo, 2000 :1).
Namun dari situ timbul pertanyaan mendasar.
Pertama, mengapa basis seribu (103) yang dimunculkan sementara basis
seratus (102) baru berusia (102)0, (102)1, dan (102)x . Kedua, bisa jadi, dalam sistem
bilangan Belanda /Inggris/ Jerman serta sistem bilangan Amerika Serikat /Perancis
penerapan basis seribu (103 ) itu benar. Tetapi, Guru --khususnya guru SD-- di sini
mengajarkan bahwa bentuk panjang dari xyz adalah:
xyz = (x x 102) + (y x 10) + z
= (x x 100) + (y x 10) + z
= 100 x + 10 y + z
Bukankah, jika seribu (103) dipandang sebagai basis maka bentuk panjang
dari xyz adalah :
xyx = {x x(103)x } + {y x (103)y} + z
= (x x 100) + (y x 10) + z
= 100x + 10y + z
Meskipun, hasil akhirnya sama –dalam konteks lambang bilangan,
pertanyaanya adalah, Mengapa guru dibohongi?
Selain itu, jika seribu (103) dipandang sebagai basis bilangan, maka :
3√ 1000 = 10 --akar pangkat tiga dari seribu = sepuluh 3√ 1.000.000 = 100 --akar pangkat tiga dari sejuta = seratus3√ 1.000.000.000 = 1.000 --akar pangkat tiga dari semiliar = seribu3√ 1.000.000.000.000 = x --akar pangkat tiga dari setriliun = x
Jika sepuluh menempati posisi puluhan, seratus menempati posisi ratusan, dan
seribu menempati posisi ribuan. Pertanyaannya adalah, satuan bilangan manakah
yang ditempati oleh x? Mungkin, akan dijawab dengan sepuluh ribu. Tetapi, harus
18
18
diingat bahwa sepuluh ribu bukanlah satuan bilangan, melainkan merupakan
satuan nilai tempat bilangan.
Jika Matematika konsisten memandang seribu (103) –dengan tekanan pada
pangkat 3-- sebagai basis bilangan maka seharusnya basis seribu berakhir pada miliar
atau (103)3.
Perhatikan :
1. Misal : satuan bilangan adalah x
Maka :
1. (x)0 = satuan
(x)1 = puluhan
(x)2 = ratusan
(x)3 = ribuan
2. (x3)0 = satuan
(x3)1 = ribuan
(x3)2 = jutaan
(x3)3 = miliar
3. (x9)0 = satuan
(x9)1 = miliar
(x9)2 = a
(x9)3 = b
Dari situ terlihat bahwa triliun muncul pada (x9)2 atau x18. Padahal, bilangan
desimal yang sepakat digunakan adalah bilangan dasar sepuluh. Dengan demikian,
seharusnya, triliun muncul pada saat (10)18 atau 1 dengan 18 nol di belakangnya. Dan,
itu baru tepat, sebab sebenarnya, bukankah triliun berasal dari (106)3 atau million x
million x million, bukan dari (103)4, apa lagi dari (104)3 …. Jadi, di manakah letak
konsistennya sistem bilangan yang kita pakai? Mungkin, para pakar berdalih
bahwa mereka menerapkan pola deret hitung, bukan pola deret ukur pada basis
seribu (103) sehingga satuan bilangan yang baru akan muncul setiap kelipatan
19
19
pangkat tiga dari basis sepuluh (10) sehingga jadilah seperti sistem bilangan yang
ada sekarang ini – di Indonesia.
Pertanyaannya, bukankah seribu sendiri muncul setelah sepuluh pangkat tiga?
Mengapa hanya seribu (103) sendiri yang diberi keleluasaan seperti itu? Mengapa
seratus (102) tidak diberi kesempatan?
2. Misal : bilangan = a
satuan bilangan pertama = x
satuan bilangan kedua = y
satuan bilangan ketiga = z
Maka :
(a)1 = x
(a)2 = y
(a)3 = z
Jika :
1. a = sepuluh
x = sepuluh
y = seratus
z = seribu
2. a = seratus
x = seratus
y = …
z = sejuta
3. a = seribu
x = seribu
y = sejuta
z = semiliar
4. a = sejuta
x = sejuta
20
20
y = setriliun
z = …
Dari gambaran di atas muncul pertanyaan :
1. Satuan bilangan manakah yang tepat untuk mengisi y pada item 2?
Apakah seribu? Kalau bukan, lantas di mana posisi seribu?
2. Satuan bilangan apa pula yang akan muncul pada z item 4?
Fersi 1(Inggris /Jerman /Belanda) atau Fersi 2 (Amerika Serikat /Uni
Soviet /Perancis) ?
Padahal, kita telah dianjurkan untuk menganut pola dengan Fersi 2, sehingga
pada 1015 sudah harus muncul satuan bilangan baru , sedangkan menurut
pembuktian di atas maka hal itu sangat tidak mungkin untuk terjadi.
Memang, dalam konteks lambang bilangan, semua paparan di atas dapat
diselesaikan sebagai berikut :
y item 2 = (100)2 atau 10.000 --sepuluh ribu
z item 4 = (1.000.000)3 atau 1 dengan 18 nol di belakangnya.
Tapi perlu dicermati bahwa sepuluh ribu bukanlah satuan bilangan melainkan
satuan nilai tempat bilangan. Posisi satuan bilangan lebih tinggi dari satuan nilai
tempat bilangan. Dalam hal ini, satuan bilangan, selain berfungsi sebagai satuan
bilangan juga berfungsi sebagai satuan nilai tempat bilangan, dengan demikian
berfungsi ganda, sebaliknya, satuan nilai tempat berfungsi tunggal. Dalam hal ini, ada
yang perlu diingat tentang konsep bilangan :
“Bilangan merupakan konsep abstrak. Bilangan bukan simbul, bukan pula angka. Tanda-tanda
atau goresan yang kita temukan pada kertas, batu, tanah liat, dan sebagainya bukan bilangan
tetapi lambang bilangan”
(Erman Suherman, 1995 : l08)
21
21
“Penulisan dan penyebutan suatu bilangan lebih tergantung pada konsensus umum di
masyarakat. Masyarakat memiliki kebebasan untuk menyepakati apakah bilangan seribu itu
terdiri atas angka 1 dan 0 sebanyak tiga atau 0 sebanyak empat”
(Kosala D. Purnama, 2000 : 1)
Tetapi kebebasan itu pun perlu dipertanyakan. Benarkah mereka bebas?
Bukankah di situ ada tangan kuat (baca “guru” penulisan dan penyebutan suatu
bilangan) yang secara sistematik mengajarkan bahwa 1 dengan 0 sebanyak tiga buah
atau 1000 dibaca seribu, bukan se-x. Bisa jadi, mereka (guru tersebut) adalah produk
“sini” namun dengan lisensi “sana”. Atau dengan kata lain, mereka belajar di sini,
namun ilmu yang dipelajari adalah ilmu sana.
Kalau hal ini dirunut ke belakang, sebenarnya, para guru tersebut sekedar
melaksanakan penyampaian /memasyarakatkan hasil olahan para pakar. Dari waktu
ke waktu, mereka mengajarkan ilmu yang telah di terimanya. Mereka tidak harus (?)
memikirkan kebenaran ilmu tersebut karena memang bukan dalam otoritas
kewenangannya. Guru adalah perenang, bukan penyelam!
Pertanyaan berikutnya adalah, kepada siapa para pakar pada masa kolonial
belajar? Maka dengan mudah, telunjuk ini akan mengarah ke barat. Oleh karena itu,
jangan heran, jika miliar muncul pada saat 109 dan itu adalah model Inggris /Jerman /
Belanda (fersi 1) –sebab pada awal kemerdekaan para orang pintar negara ini belajar
di negeri Belanda, sedangkan triliun muncul pada saat 1012 dan itu merupakan fersi
Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis (fersi 2).
Jika konsisten menggunakan fersi 1, maka seharusnya 1012 akan disebut
biliun. Begitu pula, jika konsisten terhadap fersi 2, maka 109 disebut biliun.
Perhatikan sistem bilangan besar berikut ini1:
Fersi 1 (Inggris /Jerman /Belanda) :
109 miliar jumlah nol 9
1012 biliun jumlah nol 12
1018 triliun jumlah nol 18
22
22
1 dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, halaman 1047
1024 kuadriliun jumlah nol 24
1030 kuantiliun jumlah nol 30
Fersi 2 (Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis) :
109 biliun jumlah nol 9
1012 triliun jumlah nol 12
1015 kuadriliun jumlah nol 15
1018 kuantiliun jumlah nol 18
dan seterusnya.
Kesan asal comot produk sana dapat dimaklumi. Mereka juga sekedar murid
yang patuh. Jadi, ganti guru ganti baju. Bergesernya “kiblat” para pakar itulah yang
menyebabkan sistem bilangan di Indonesia semrawut. Sebab, jika 109 bernilai miliar,
dan 1012 bernilai triliun, lantas dimanakah kedudukan biliun?
Atau, satuan bilangan manakan yang diasumsikan sebagai milion?
Bukankah, milion sudah diartikan dengan juta?
Sistem bilangan di Indonesia saat ini2
1 = satu
10 = sepuluh
102 = seratus
103 = seribu
106 = sejuta
109 = semiliar (fersi Belanda /Inggris /Jerman)
1012 = setriliun (fersi Amerika Serikat /Perancis)
2 pada masa lalu /pra kolonial sistim bilangan di Indonesia : 10 satuan = sepuluh, 10 puluhan = seratus;
10 ratusan = seribu; 10 ribuan = 1 laksa; 10 laksa = 1 keti; dan 10 keti = 1 juta
23
23
Dari semua uraian di atas serta dari berbagai adanya penyimpangan pada
sistem bilangan desimal yang dipakai di Indonesia, akhirnya terlihat bahwa semua
merujuk pada satu masalah, yaitu penerapan basis seribu (103) atau memandang
seribu (103) sebagai basis bilangan.
Pertanyaannya berikutnya adalah, benarkah dalam sistem bilangan kita
sekarang, sepuluh kali seratus sama dengan seribu? Meskipun, 10 x 100=1000 Mari,
kita buktikan bersama!
Misalkan :
Sepuluh = a
Seratus = b
Seribu = c
Sejuta = d
Semiliar = e
Setriliun = f
Jika :
10a = a2 = b
10b ≠ b2 ≠ c
10c ≠ c2 = d
10d ≠ d2 = f
Maka dari persamaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
I II III
10a = a2
10b ≠ b2
10c ≠ c2
10d ≠ d2
a2 = b
b2 ≠ c
c2 = d
d2 = f
10a = b
10b = c
10c ≠ d
10d ≠ f
Tabel 5
24
24
Pada kelompok I
Secara kebetulan 10a = a2 Kebetulan di sini adalah kebetulan yang benar.
Sebab, a = sepuluh
Pada kelompok II
Terlihat ada penyimpangan, yaitu b2 ≠ c
Perhatikan :
b2 ≠ c
b x b ≠ 10 b (seratus x seratus ≠ sepuluh seratus)
bb ≠ 10 b ( seratus ratus ≠ sepuluh ratus ) -- (i)
Jika disubstitusikan ke dalam lambang bilangan, maka :
1002 ≠ 1000
100 x 100 ≠ 10 x 100
10 000 ≠ 1 000 --(ii)
Dipandang dari segi bilangan – pelafalan-- (i) maupun segi lambang bilangan
(ii) memang benar dan tepat. Tetapi, perlu diingat bahwa c = 10 b. Oleh karena itu,
benarkah c = 10 b?
Perhatikan uraian berikut ini.
Pada kelompok III
10 a = b juga terjadi secara kebetulan, dan itu juga merupakan kebetulan
yang benar, sebab a dan 10 (sepuluh) bernilai sama. Akibat bertemunya dua satuan
bilangan bernilai sama maka akan menghasilkan satuan bilangan baru, sedangkan b
= seratus –sehingga 10 a akan sama dengan sepuluh sepuluh. Munculnya dua
bilangan yang sama akan melahirkan satuan bilangan berikutnya. Perhatikan
pula pemunculan juta dan triliun.
Tetapi, kebenaran 10b = c perlu dipertanyakan
Perhatikan :
10 b = c (sepuluh seratus = seribu)
25
25
10 b =10 b (sepuluh ratus = sepuluh seratus)
Kalau posisi faktor bilangan ditukarkan akan terlihat sebagai :
10 b = b 10 (sepuluh ratus = seratus sepuluh)
Sekali lagi, bilangan merupakan konsep abstrak, tetapi perlu diingat, dengan
menggunakan lambang bilangan yang telah disepakati, maka konsep yang abstrak
tadi dapat menjadi kongkrit –paling tidak dapat dilihat. Dengan demikian,
kebenarannya dapat dibuktikan.
Perhatikan :
Sepuluh ratus bermakna tunggal yaitu sepuluh kali seratus. Kedudukan
sepuluh pada sepuluh ratus sama dengan kedudukan sepuluh pada sepuluh ribu,
sepuluh juta, sepuluh miliar, sepuluh triliun, atau sepuluh-x yang lain. Sedangkan
seratus sepuluh –dalam hal ini— bermakna perkalian juga, yaitu seratus kali sepuluh.
Tetapi, seratus sepuluh dapat juga bermakna seratus ditambah sepuluh.
Masalahnya, jika ada dua buah seratus sepuluh, dari manakah kita dapat
membedakan bahwa yang satu bermakna penjumlahan sedangkan yang lain bermakna
perkalian? Perhatikan :
1. 10b = b10 --sepuluh seratus = seratus sepuluh
sepuluh ratus = seratus sepuluh
2. 10c ≠ c10 --sepuluh seribu ≠ seribu sepuluh
sepuluh ribu ≠ seribu sepuluh
3. 10d ≠ d10 --sepuluh sejuta ≠ sejuta sepuluh
sepuluh juta ≠ sejuta sepuluh
4. 10 e ≠ e 10 --sepuluh semiliar ≠ semiliar sepuluh
sepuluh miliar ≠ semiliar sepuluh
26
26
5. 10 f ≠ f 10 --sepuluh setriliun ≠ setriliun sepuluh
sepuluh triliun ≠ setriliun sepuluh
Dengan demikian, nyata sekali bahwa dalam hal ini, memandang bilangan
sepuluh kali seratus sama dengan seribu itu tidaklah tepat. Keadaan akan menjadi
lain, jika seandainya b2 = c dan 10b ≠ c.
Penerapan standar ganda --di satu sisi memandang seribu sebagai basis (103)
bilangan besar (?) dan di sisi lain memandang seribu sebagai hasil dari 10 ratusan--
tersebut mengindikasikan, sadar atau tidak sadar, adanya sesuatu yang disembunyikan
oleh produsen bilangan. Dan, sesuatu yang disembunyikan itu sudah barang tentu
sangat menguntungkan mereka. Sebab, sesuatu yang disembunyikan itu, akhirnya
sangat merugikan konsumen bilangan. Ironisnya, hal ini baru terasa ketika bilangan
sudah tidak murni lagi sebagai bilangan. Dalam hal ini, Indonesia berkedudukan
sebagai konsumen bilangan.
Selain itu, jika kita memandang seribu sebagai basis memang tidak ada
salahnya. Namun dari situ timbul pertanyaan mendasar, mengapa basis seribu (103)
dimunculkan sementara basis seratus (102) baru berusia (102)0 , (102)1, dan (102)x ?
Padahal, basis seratus (102) sendiri muncul setelah basis sepuluh (10)2 .
Perhatikan :
1. Basis sepuluh (10)
(10)0 = 1 --satu
(10)1 = 10 --sepuluh
(10)2 = 100 --seratus
2. Basis seratus (102)
(102)0 = 1 --satu
(102)1 = 100 --seratus
(102)x = 1.000 --seribu
27
27
3. Basis seribu (103)
(103)0 = 1 –Satu
(103)1 = 1.000 --seribu
(103)2 = 1.000.000 --sejuta
(103)3 = 1.000.000.000 --semiliar
(103)4 = 1.000.000.000.000 –setriliun
Dengan memperhatikan gambaran di atas, terlihat dengan sangat jelas bahwa
pemunculan basis seribu (103) terlalu dipaksakan –prematur. Oleh karena itu,
seandainya basis seribu muncul pada saat basis seratus (102)2 secara kasat mata lebih
dapat diterima akal.
Sungguhpun demikian, bisa jadi para pakar Matematika berdalih bahwa laksa
senilai dengan sepuluh ribu (103)x dan itu senilai dengan seratus (102)2 , sedangkan
keti senilai dengan seratus ribu (103)y.
Dalam konteks lambang bilangan, memang, antara laksa dan sepuluh ribu itu
sama, yaitu l dengan 0 sebanyak empat buah. Kemudian antara keti dengan seratus
ribu pun sama, yaitu 1 dengan 0 sebanyak lima buah. Namun, secara hakiki antara
laksa dengan sepuluh ribu sudah jelas berbeda. Andaikan kereta api, laksa memiliki
gerbong sendiri, sementara sepuluh ribu menempati gerbong ribuan. Begitu pula
halnya dengan keti. Gerbong keti lain dari gerbong ratus ribuan, ratus ribuan
merupakan bagian dari gerbong ribuan. Ingat, gerbong ribuan memiliki tiga buah
kursi, kursi ribuan, kursi puluh ribuan, dan kursi ratus ribuan. Sementara laksa dan
keti tidak memiliki kursi sama sekali, sama halnya dengan ratusan yang kita kenal.
Jika para pakar Matematika bersikukuh dengan kebenaran cara
memandang bilangan dari basis seribu (103). Ada satu pertanyaan terakhir :
“Di kemanakankah sepuluh (10), seratus (100), dan seribu (1000) yang
pernah hidup bersama, seiiring, dan harmonis bersama selaksa, seketi, dan
sejuta? Bukankah, puluh, ratus, ribu, laksa, keti, dan juta itu merupakan satu
kesatuan dari sebuah sistem bilangan?”
28
28
2.2 Reformasi bilangan
Merubah cara pandang terhadap asal usul seribu dari sepuluh ratusan menjadi
seratus ratusan harus dilaksanakan agar sistem bilangan ini mendekati konsisten.
Dengan kata lain, 1.000 baru benar jika dibaca sepuluh ratus --belum mencapai
seribu. Sebab, untuk mencapai seribu maka seratus harus kali seratus atau dengan
kata lain, 1.0000 = 100 x 100 (satu nol nol no nol dibaca seribu)
Ingat, seratus bukan hanya berasal dari sepuluh puluhan melainkan juga
berasal dari sepuluh puluh. Pengertian kedua inilah yang sesuai dengan pemunculan
sejuta dan setriliun. Dengan demikian, antara seratus (100) dengan seribu (1.0000)
terpaut 99 ratus bukan 9 ratus.
Sungguhpun demikian, bukan berarti dapat menyelesaikan masalah jika basis
seratus (102) dihidupkan sementara pola yang digunakan tetap --pola deret hitung.
Sebab, jika pola deret hitung yang diterapkan maka akan terlihat sebagai berikut :
(10)0 = 1
(10)1 = 10
(10)2 = 100 -- (102)1 = 100 --seratus
(102)2 = 1.0000 --seribu
(102)4 = 1.0000.0000 --sejuta
(102)6 = 1.0000.0000.0000 --semiliar
(102)8 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun
(102)10 = 1.0000.0000.0000.0000.0000 --se-x
Basis seratus dapat hidup dan mendekati benar --selama masa transisi-- dan
sudah dapat menyelesaikan masalah krisis keuangan jika pola yang diterapkan adalah
pola deret ukur pada pangkatnya, sehingga interval antar nilai tempat satuan bilangan
makin mengecil.
29
29
Perhatikan :
1. (10)0 = 1
(10)1 = 10
(10)2 = 100 --seratus
2. (102)1 = 100 --seratus
(102)2 = 1.0000 --seribu
3. (104)1 = 1.0000 --seribu
(104)2 = 1.0000.0000 --sejuta
4. (108)1 = 1.0000.0000 --sejuta
(108)2 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun
5. (1016)1 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun
(1016)2 = se-x
Alhasil, urutan nilai tempat antara satua sampai dengan ribuan adalah :
satuan, puluhan, ratusan, puluh ratusan, dan --baru—ribuan
Tabel 6
Dengan bertolak pada sistem bilangan Hindu Arab yang menyatakan bahwa
sejuta –bisa juga berasal dari seribu kali seribu masih dapat digunakan sebagai
pijakan, serta bertolak dari sepuluh kali seratus kali seratus samadengan seribu, maka
penulisan lambang bilangan sejuta adalah 1.0000.0000. Sehubungan dengan hal itu
30
30
….v. w x y z satuan puluhan
ratusan puluh ratusan
ribuan
maka urutan nilai tempat antara ribuan hingga jutaan adalah ; ribuan, puluh ribuan,
ratus ribuan, puluh ratus ribuan, dan terakhir adalah jutaan.
Perhatikan :
Tabel 7
Oleh karena nilai tempat jutaan bergeser ke kanan, maka nilai tempat miliar-
pun ikut bergeser ke kanan pula, sebab posisinya telah ditempati puluh jutaan.
Padahal, yang dimaksud dengan miliar adalah seribu juta. Dengan demikian, maka
1 miliar = 1.0000.0000.0000 = (1012)
Hanya saja, --tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap para pendahulu,
sebaiknya, demi keruntutan sistem bilangan Indonesia maka selama masa transisi
penggunaannya tidak dibakukan dalam Matematika. Dalam hal ini, miliar di
perlakukan seperti perlakuan yang diberikan oleh para pakar Matematika terhadap
laksa dan keti. Dengan kata lain, miliar di non aktifkan sementara waktu (selama
masa transisi) oleh seorang guru untuk membayar hutang para pakar Matematika
terhadap bilangan. Hutang dua, hanya bayar satu. Hutang pada laksa (104) dan pada
keti (105) harus dibayar oleh miliar (109). Hutang dalam satu masa juga dibayar
dalam satu masa. Adil, bukan? Bukankah setiap hutang harus dibayar?
Nanti, setelah masa transisi berlalu, kesemuanya –laksa, keti, dan miliar--
akan dibangunkan untuk bersama-sama dengan satuan bilangan yang lain
membangun Peradaban Matematika Indonesia –khususnya, serta membangun
peradaban Indonesia baru.
31
31
… r s t u v . w x y z ribuan puluh ribuan ratus ribuan puluh ratus ribuan jutaan
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka istilah baru dalam nilai tempat
sesudah jutaan adalah triliunan. Bertolak dari pengertian triliun adalah satu dengan
duabelas nol di belakangnya dan itu identik dengan sejuta kali sejuta
(1.000.000.000.000 = 1.000.000 x 1.000.000), maka pengertia triliun tetap
dipertahankan, hanya saja lambang bilangannya tidak seperti pada sitem Hindu Arab
melainkan menjadi 1 triliun = 1.0000.0000.0000.0000 = (10)16.
Di sini terlihat adanya lompatan kekuatan triliun, dari (10)12 menjadi (10)16,
inipun masih sementara sifatnya. Lompatan yang signifikan akan terjadi setelah masa
transisi.
Susunan satuan nilai tempat antara jutaan sampai dengan triliunan adalah
jutaan, puluh jutaan, ratus jutaan, puluh ratus jutaan, ribu jutaan, puluh ribu jutaan,
ratus ribu jutaan, puluh ratus ribu jutaan, dan triliunan.
Perhatikan :
Tabel 8
Tabel 8
Dengan merubah cara pandang terhadap bilangan seperti terurai di atas maka
akan nampak keruntutan “sistem bilangan Indonesia pada masa transisi” seperti
tuntutan Matematika –dan mendekati konsisten-- sehingga ketika pola desimal
bertemu dengan bilangan berpangkat basis sepuluh (10) akan terlihat sebagai berikut:
32
32
… j. k l m n. o p q r. s t u v. w x y z
... j. k l m n . o p q r . s t u v . w x y z jutaan puluh jutaan ratus jutaan puluh ratus jutaan
ribu jutaan puluh ribu jutan
ratus ribu jutaan puluh ratus ribu jutaan
triliunan
(10)0 = 1 dibaca satu
(10)1 = 10 --sepuluh
(10)2 = 100 --seratus
(10)3 = 1000 -- sepuluh ratus
(10)4 = 1.0000 --seribu (seratus-ratus)
(10)5 = 10.00000 -- sepuluh ribu
(10)6 = 100.0000 --seratus ribu
(10)7 = 1000.0000 --sepuluh ratus ribu
(10)8 = 1.0000.0000 --sejuta (seribu-ribu)
(10)9 = 10.0000.0000 --sepuluh juta
(10)10 = 100.0000.0000 --seratus juta
(10)11 = 1000.0000.0000 --sepuluh ratus juta
(10)12 = 1.0000.0000.0000 --seribu juta (seratus-ratus juta)
(10)13 = 10.0000.0000.0000 --sepuluh ribu juta
(10)14 = 100.0000.0000.0000 --seratus ribu juta
(10)15 = 1000.0000.0000.0000 --sepuluh ratus ribu juta
(10)16 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun (sejuta-juta)
Berdasarkan pola di atas, nampak perubahan satuan bilangan dalam nilai
tempat muncul ketika bilangan sepuluh (10) dikuadratkan secara bertingkat,
perhatikan :
(10)0 = 1 dibaca satu
(10)1 = 10 dibaca sepuluh
(10)2 = 100 dibaca seratus,
berasal dari sepuluh x sepuluh
(102)2 = 1.0000 dibaca seribu,
seribu berasal dari seratus x seratus
(104)2 = 1.0000.0000 dibaca sejuta,
sejuta berasal dari seribu x seribu
33
33
(108)2 = 1.0000.0000.0000.0000.0000 dibaca setriliun,
setriliun berasal dari sejuta x sejuta
Bandingkan dengan sistem bilangan Hindu Arab :
(10)0 = 1 dibaca satu
(10)1 = 10 dibaca dibaca sepuluh
(10)2 = 100 dibaca seratus, berasal dari sepuluh x sepuluh
(10)3 atau (103)1 = 1.000 dibaca seribu,
berasal dari sepuluh x seratus
atau seratus x sepuluh
atau sepuluh x sepuluh x sepuluh
(103)2 = 1.000.000 dibaca sejuta
(103)3 = 1.000.000.000 dibaca semiliar
(103)4 = 1.000.000.000.000 dibaca setriliun
Dari dua format penyebutan asal-usul nilai tempat suatu angka pada suatu
bilangan seperti tersebut di atas maka dapat ditarik benang merah tentang adanya
kerugian konsumen bilangan –dan tentu saja keuntungan ada pada pihak produsen
bilangan tersebut. Untuk itu, agar tercipta gambaran yang lebih jelas perhatikan tabel
berikut.
No. Pada nilai tempat Kerugian konsumen bilangan
( x - y) *
%
1.
2.
3.
Satu
Sepuluh
Seratus
100- 100
101- 101
102 - 102
0
0
0
4.
5.
6.
Seribu
Sepuluh ribu
Seratus ribu
104- 103
105- 104
106- 105
90
90
90
7.
8.
Sejuta
Sepuluh juta
108-106
109– 107
99
99
34
34
9. Seratus juta 1010-108 99
10.
11.
12.
Seribu juta
Sepuluh ribu juta
Seratus ribu juta
1012- 109
1013- 1010
1014 - 1011
99,9
99,9
99,9
13.
14.
15.
Setriliun
Sepuluh triliun
…..
1016- 1012
1017- 1013
99,99
99,99
* x nilai kualitatif; y nilai kuantitatif
Tabel 9
Berdasarkan tabel di atas, dapat dibuat perbandingan pertidaksamaan antara
nilai tempat suatu bilangan dengan kerugian konsumen bilangan tersebut.
Jika n sebagai nilai tempat suatu bilangan dan t sebagai kerugian
konsumen bilangan itu, maka pada pertidaksamaan :
(10)0 ≤ n ≤ (10)2 maka t = 0 %
(10)3 ≤ n ≤ (10)5 maka t = 90 %
(10)6 ≤ n ≤ (10)8 maka t = 99 %
(10)9 ≤ n ≤ (10)11 maka t = 99,9 %
(10)12 ≤ n ≤ (10)14 maka t = 99,99 %
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pada n < 1.000 maka t = 0 %
dan pada n ≥ 1.000 maka t ≥ 90 %. Kerugian itu disebabkan oleh adanya selisih
antara nilai kualitatif dengan nilai kuantitaif suatu bilangan. Dengan kata lain,
semakin besar sebutan nilai tempat sebuah angka pada suatu bilangan akan berakibat
semakin besar pula kerugian yang bakal diderita oleh konsumen bilangan itu, dan ini
dikarenakan hilangnya (?) sebutan nilai tempat untuk bilangan tertentu.
Pada dasarnya, pelurusan penyebutan nilai tempat yang penulis paparkan ini
tidak berpengaruh pada hasil algoritma. Bagi bilangan itu sendiri, hanya berpengaruh
pada perubahan penyebutan (nilai) suatu lambang bilangan. Namun pada skala
makro, dampak dari manuver bilangan akan menyentuh hampir seluruh sendi
kehidupan.
Dalam hal nilai bilangan ada yang perlu diperhatikan!
35
35
Nilai kualitas bilangan adalah parameter untuk mengukur kelayakan
bilangan menempati posisinya dengan dasar perhitungan tertentu. Untuk lebih
jelasnya perhatikan beberapa contoh berikut ini.
Contoh :
1. Dengan memandang seratus (102) sebagai basis bilangan, maka
kualitas seribu akan sama dengan (102)2 bukan (102)x maupun (103);
2. Dengan memandang seribu (103), maka (103)0 akan menempati kualitas
satuan bilangan pertama dan (103)1 menempati kualitas satuan bilangan
kedua. Dengan demikian, keberadaan sepuluh (10) dan seratus (102) hanya
sebagai sisipan;
3. Dengan menggunakan bilangan desimal –dengan basis sepuluh (10)
murni-- maka, kualitas 1 juta = 10 keti = 100 laksa = 1 000 ribuan = 10
000 ratusan = 100 000 puluhan = 1 000 000 satuan
Nilai kuantitas bilangan adalah keberadaan secara hakiki suatu bilangan dan
digambarkan dalam bentuk lambang bilangan.
Sebagai contoh :
1. Secara hakiki yang dimaksud triliun dalam basis seribu (103) adalah
satu dengan dua belas nol di belakangnya.
Sedangkan triliun --selama masa transisi-- dalam basis seratus (102)
adalah satu dengan enam belas nol di belakangnya ;
2. Secara hakiki, seribu adalah satu dengan tiga buah nol di belakangnya
atau 1.000 dalam basis seribu (103).
36
36
Tetapi seribu adalah satu dengan empat buah nol di belakangnya
atau 1 0000 dalam basis seratus (102);
3. Secara hakiki, satu dengan nol sebanyak sekian buah akan tetap
menjadi seperti itu dipandang dari basis sepuluh (10), (102), (103),
maupun basis (10X).
Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa kualitas bilangan dapat
dilihat pada pelafalannya sedangkan kuantitas bilangan dapat dilihat pada jumlah
lambang bilangan /gambar deretan lambang bilangannya.
Misalnya :
1. 100 secara kualitas “ia” adalah seratus dan secara kuantitas juga seratus;
2. 1000 secara kualitas menempati posisi seribu, namun secara kuantitas
“ia” baru menempati posisi 10 ratusan;
3. 10000 secara kualitas adalah sepuluh ribu, namun kuantitasnya kurang.
Kuantitas satu dengan empat buah nol adalah seribu.
2.3 Sistem Bilangan Indonesia
Pada dasarnya, seluruh satuan bilangan yang telah dipaparkan di atas hanyalah
merupakan satuan bilangan sementara, artinya hanya dipergunakan selama masa
transisi. Oleh karena itu, tidak perlu dimasyarakatkan, penerapannya hanya di dalam
konteks negara (yang menyangkut hak dan kewajiban negara). Sebab, hal ini
nantinya akan berkaitan dengan posisi keuangan negara selama masa transisi sebagai
yang dimaksud dalam tulisan ini. Jika, dunia pendidikan telah berhasil merumuskan
kaidah pendukung maka bilangan akan menampakkan wujud pertumbuhan aslinya,
seperti yang diharapkan oleh banyak pihak --kembali ke basis (back to basic) awal.
37
37
Dari gambaran di atas terlihat bahwa asal-usul bilangan menjadi sangat
serius. Hal ini dikarenakan bilangan harus berbicara dalam konteks kekinian, mundur
ke basis awal --masa pra kolonial, masa kini, masuk ke realita masa transisi, dan
selanjutnya menyongsong masa depan. Sebagai “makhuk” abstrak, bilangan tidak
mungkin dimatikan begitu saja. Dalam kenyataan, laksa dan keti yang telah
dikesampingkan oleh penguasa (?) dan terpinggirkan pula oleh denyut dunia
pendidikan (?) di dalam masyarakat masih hidup dan lestari –lihat wayang purwa.
Oleh karena itu dalam rangka membangun peradaban Matematika Indonesia
yang merdeka dan berdaulat atas dasar pemberian perlakuan yang adil terhadap
bilangan maka laksa dan keti perlu “dipanggil” kembali, begitu pula halnya dengan
miliar. Dengan demikian, saat Indonesia Baru pasca masa transisi Matematika telah
memiliki sembilan buah satuan bilangan ≤ triliun, yaitu satuan, puluhan, ratusan,
ribuan, laksa, keti, juta, miliar, dan triliun, yang jika dipandang dari basis sepuluh
(10) dalam konteks lambang bilangan berkekuatan (10)0, (10)1, (10)2, (10)3, (10)4,
(10)5, (10)6, (10)9, dan (10)12. Adapun satuan bilangan yang > triliun –sepengetahuan
penulis-- belum pernah terdengar dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan lambang bilangan yang sudah siap menyandang nama sebagai satuan
bilangan –jika dipandang dari basis sepuluh (10)-- adalah (10)0, (10)1, (10)2, (10)4,
(10)8, dan (10)16.
Sembilan buah satuan bilangan dengan enam buah bilangan sudah tentu tidak
cukup untuk membangun sebuah pemetaan. Oleh karena itu harus ada tiga buah
lambang bilangan baru untuk menggenapinya. Di sisi lain, ternyata, satuan bilangan
milik Indonesia yang masih murni, berjaya, dan belum tercemar oleh pengaruh
“sana” adalah satuan, puluhan, dan ratusan. Mengingat satuan terlalu “suci” untuk
dipermasalahkan dan puluhan merupakan basis awal serta sudah pernah mengabdi
pada pertiwi, maka secara otomatis tinggallah ratusan. Dengan demikian ratusan (102)
menjadi pijakan untuk memetakan semesta bilangan yang berangotakan dua
himpunan sebagai yang dimaksud di atas, yaitu himpunan bilangan dan himpunan
satuan bilangan.
38
38
Perhatikan rumusan berikut :
Pada : a satuan bilangan pertama, dan b satuan bilangan ke dua
Maka a2 = b
Dengan demikian :
1. Jika a = puluhan
Maka b = ratusan , dalam konteks lambang bilangan maka :
(10)2 = (102)
(102) = (10)2 Jadi, seratus = (10)2
2. Pada a = ratusan
Maka b = ribuan, dalam lambang bilangan maka :
(102)2 = (10)4
(10)4 = (104)
Jadi, seribu = (10)4
3. Pada a = ribuan
Maka b = laksa, dalam lambang bilangan maka :
(104)2 = (10)8
(10)8 = (108)
Padahal, pada masa transisi (10)8 telah ditempati oleh jutaan, dengan
demikian posisi jutaan bergeser karena tempatnya telah diisi oleh laksa. Jadi, laksa =
(10)8
4. Pada a = laksa
Maka b = keti, dalam konteks lambang bilangan maka :
(108)2 = (10)16
(10)16 = (1016)
39
39
Padahal, pada masa transisi (10)16 telah ditempati oleh triliun, oleh karena itu posisi
triliun tergeser karena tempatnya telah diisi oleh keti. Jadi, keti = (10)16
5. Pada a = keti
Maka b = jutaan, dalam konteks lambang bilangan akan terlihat :
(1016)2 = (10)32
(10)32 = (1032)
Dengan demikian, (1032) = juta
6. Pada a = jutaan
Maka b = x, dalam konteks lambang bilangan x = (1032)2 = (10)64
Padahal, urutan satuan bilangan setelah jutaan adalah miliar, dan pengertian
miliar telah dibakukan dalam Bahasa Indonesia, miliar berarti seribu juta. Lantas
kalau begitu, di manakah posisi miliar?
Yang jelas, posisi bilangan ini bukan ada pada (10)64 . Oleh karena itu, nama
satuan bilangan untuk (10)64 akan diselesaikan kemudian. Bertolak dari pengertian
miliar yang sudah baku, yaitu miliar = seribu juta, pengertian seribu dalam hal ini
jangan dicampur-aduk dengan pengertian seribu item 2 --sebab ribu dan juta di sini
merupakan dua satuan bilangan yang berurutan, ribuan (103) dan jutaan (103)2--
Maka :
Jika seribu = y maka yang dimaksud juta adalah y2
Dengan demikian, jika y2 = (10)32, maka y = (10)16
Oleh karena itu, dalam konteks lambang bilangan , posisi miliar adalah (10)16
x (10)32 = (10)48 Sedangkan dalam konteks bilangan, pengertian miliar terdapat
perubahan yang mendasar yaitu dari seribu juta menjadi seketi juta --keti dan juta
adalah dua satuan bilangan yang berurutan.
40
40
7. Di manakah posisi triliun? Triliun berarti million pangkat tiga. Perlu diingat bahwa
dalam konteks bilangan million diartikan juta (Efendi El Hanif, 1997 : 552). Dengan
demikian, dalam konteks lambang bilangan, triliun = (1032)3 atau dengan kata lain
triliun = (10)96 --bandingkan dengan juta (10)6 dan triliun (10)12, manakah yang lebih
konsisten?
Dari sini timbul pertanyaan, jika juta ada pada (10)32 dan triliun ada pada
(10)96, di manakah posisi billiun? Hal ini dapat diselesaikan sebagai berikut :
juta = million = (10)32
billion = (1032)2 = (10)64
Dengan ditemukannya posisi billion ada pada (10)64 maka satuan bilangan
untuk x pada item 6 telah terjawab. Mengingat billion tidak dikenal (?) atau
mungkin tidak biasa dipergunakan di Indonesia, sekalipun sudah dianjurkan, maka
pada (10)64 --atas saran seorang saudara tua yang sangat penulis hormati-- dinobatkan
satuan bilangan baru, yaitu NOTO.
Jadi, satuan bilangan biliun tetap tidak dipergunakan. Perlu diketahui, noto
berarti raja. Noto juga berarti menata –segala sesuatu yang memang layak untuk
ditata. Dalam hal ini, noto berarti menata sistem bilangan Indonesia secara adil dan
proporsional. Dengan dua alasan tersebut kepada (10)64 penulis memberi nama noto
yang berarti : Raja yang akan menata dengan Adil.
Masalahnya, di atas noto masih ada satuan bilangan yang lebih tinggi yaitu
triliun (10)96 yang merupakan warisan kegelapan (bayang-bayang barat yang
kolonial). Oleh karena itu, untuk menghapusnya, maka pada (1064)2 dimunculkan
satuan bilangan baru, Indonesia --mudah-mudahan bangsa ini sepakat dengan penulis.
Dengan kata lain, maka : 1 Indonesia = (10)128. Hal ini mengandung harapan,
semoga negara tercinta ini mampu berjaya dan lestari sampai tahun ke –10128 yang
akan datang. Di samping itu untuk menunjukkan bahwa sistem bilangan Indonesia
adalah sebuah sistem mengenal batas kekuasaannya.
41
41
Dengan demikian asal –usul bilangan dapat dikelompokkan berdasarkan
periode kelahiran satuan bilangan tersebut. Setiap satuan bilangan akan memengaruhi
satuan bilangan berikutnya sebab pada dasarnya secara keseluruhan satuan-satuan
bilangan tersebut adalah sebuah sistem bilangan. Oleh karena itu, kelahiran sebuah
satuan bilangan tidak selayaknya mematikan satuan bilangan yang lain. Bukankah
dengan mematikan berarti merusak sebuah sistem? Dengan demikian,
pengelompokan satuan bilangan akan terlihat sebagai berikut:
Pada
bilangan
Satuan bilangan I II III IV
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
Satuan
Puluhan
Ratusan
Ribuan
Laksa
Keti
Juta
Miliar
Triliun
Noto
Indonesia
a
ba
bb
bc
bd
be
bf
a
ba
bb
bc
-
-
dd
dg
gg
a
ba
bb
cc
-
-
dd
-
gg
a
ba
bb
cc
dd
ee
ff
fg
ggg
gg
jj
Tabel 10
Keterangan :
I Sistem bilangan Indonesia pada masa feodal
II Sistem bilangan Indonesia pada masa republik
III Sistem bilangan Indonesia pada masa transisi
IV Sistem bilangan Indonesia Merdeka /Indonesia Raya
Dengan demikian, sistem bilangan Indonesia mempunyai 11 buah satuan
bilangan, yaitu :
42
42
1. 7 buah satuan bilangan berasal leluhur bangsa Indonesia dari masa feodal
(satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, dan juta)
2. 2 buah berasal dari masa kegelapan --peradaban-- Indonesia saat di
bawah kekuasaan kolonial (miliar dan triliun), masa republik
3. 2 buah merupakan hasil asimilasi antara budaya asli Indonesia dengan
budaya yang ditanamkan oleh kaum kolonial penjajah pada bangsa ini
(Noto dan Indonesia).
Pembaca yang budiman, ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam sistem
bilangan Indonesia sebagai yang penulis paparkan di atas yaitu :
Pertama, cara memandang miliar dan triliun. Dalam peri-”kebangsaan”
bilangan, keduanya adalah warga bilangan Indonesia keturunan asing. Oleh karena
itu --dalam konteks kekinian dan hari esok-- harga miliar dan triliun jauh lebih
tinggi daripada di negeri asal mereka. Bahwa harga miliar di atas harga juta, itu
wajar, sebab saat diperkenalkan ke bumi Indonesia memang miliar lebih mahal
daripada juta. Beruntung kekuatan miliar dibendung oleh noto sehingga miliar dan
triliun tidak dapat mendominasi sistem bilangan desimal, lebih-lebih dengan
dimunculkannya satuan bilangan tertinggi di Indonesia, indonesia, maka triliun --
meskipun besar di di hadapan noto-- menjadi kecil di mata indonesia.
Kedua, dalam hal satuan nilai tempat bilangan dibedakan menjadi dua
macam, yaitu :
a. Satuan nilai tempat bilangan antara satuan sampai dengan noto
Kelompok ini terdiri dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, juta,
dan miliar. Pada kelompok ini, tehnik yang diterapkan seperti pada lazimnya
perlakuan yang diberikan pada bilangan –sesuai dengan basis bilangan yang
digunakan.
Misalnya :
1558 dibaca limabelas ratus limapuluh delapan
12 3456 dibaca duabelas ribu tigapuluh empatratus limapuluh enam
43
43
575 8923 7561 dibaca dibaca limaratus tujuhpuluh limalaksa delapanpuluh
sembilanratus duapuluh tigaribu tujuhpuluh limaratus enampuluh satu.
Dalam hal membaca terasa sulit, namun itulah harga yang harus dibayar untuk
sebuah kebenaran bilangan --bukan kebetulan bilangan.
b. Satuan nilai tempat antara noto dan Indonesia tidak diterapkan aturanseperti
aturan yang berlaku antara satuan sampai dengan noto. Dalam hal ini,
antara noto dan Indonesia dipisahkan oleh triliun.
Dengan demikian, ada dua kelompok satuan nilai tempat bilangan, yaitu :
1. Satuan nilai tempat bilangan antara noto dengan triliun
2. Satuan nilai tempat bilangan antara triliun dengan Indonesia
Pada 1 , dalam hal ini, satuan nilai tempat yang dipergunakan mengunakan
satuan bilangan yang menyangkut aspek madani atau yang dipandang sebagai bagian
dari aspek itu atau pendukung dari aspek tersebut yang perlu dan /harus ditata oleh
penguasa di negeri ini. Amburadulnya aspek madani akan berakibat pada kekalahan
madani bangsa ini terhadap bangsa lain, dan muaranya adalah rasa rendah diri sebagai
bangsa. Keadaan ini sangat berbahaya, terlebih jika menimpa “pemimpin bangsa”.
Sedangkan pada 2, satuan nilai tempat yang dipergunakan adalah satuan
bilangan yang menyangkut aspek tsaqofi. Ambruknya aspek ini akan membawa
bangsa ini ke arah hilangnya jati diri sebagai bangsa dan keberadaannya menjadi tak
lebih dari bak buih di lautan.
Kedua aspek tersebut sangat diperlukan untuk membangun peradaban
Indonesia seutuhnya, bukankah peradaban suatu bangsa akan bertahan jika di antara
ke dua aspek tersebut saling menunjang?
Ketiga, sistem bilangan Indonesia sebagai yang terurai di atas merupakan
sebuah sistem yang baku. Maka dari itu, sebagai sebuah sistem, keberadaannya akan
44
44
mempengaruhi sistem yang lain. Ini berarti, perbedaan yang memang merupakan
sebuah perbedaan asal-usul mengharuskan timbulnya perbedaan dalam memberikan
perlakuan.
Dalam hal ini, Perlakuan berbeda terhadap satuan nilai tempat bilangan yang
digunakan di atas noto disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Meskipun teknik pemunculan satuan bilangan yang digunakan sama --antara
satuan sampai dengan Indonesia-- namun dalam teknik pemunculan satuan
nilai tempat berbeda. Hal ini dimaksudkan agar seratus (102) --kita-- tidak
lupa kepada sepuluh (10) --asal-usul kita. Ingat, --pangkat-- noto berada tepat
di tengah antara satu (10)0 dan Indonesia (10)128. Bukankah sangat tidak etis,
jika sampai terjadi kacang lupa kepada kulitnya? Oleh karena itu,
pemunculan satuan nilai tempat antara noto sampai dengan triliun
menggunakan pola deret hitung dengan basis seribu (104).
b. Noto merupakan satuan bilangan yang sudah sangat besar dan –mungkin--
baru akan dipergunakan beberapa abad yang akan datang, atau bahkan
mungkin tidak pernah digunakan karena “kebesarannya”. Namun, pada saat
penguasa (pemegang kedaulatan rakyat) menata suatu masalah –misalnya
noto negara--maka disitu terdapat beban moral yang harus disandang senilai
(10)68. Dengan demikian diharapkan mereka lebih arif dan bijaksana sebab
yang dipertanggungjawabkan bukan hanya 1 keputusan /ketetapan
/kebijaksanaan melainkan 1 dengan 0 sebanyak enam puluh delapan buah peri
kehidupan bernegara. Kesalahan mereka dalam mengendalikan arah kemudi
biduk yang bernama negara ini senilai dengan 1 noto negara, begitu pula
sebaliknya.
Oleh karena itu, dalam sistem bilangan Indonesia, jika dilihat dari basis
sepuluh, antara satuan sampai dengan noto akan terlihat sebagai berikut :
(10)0 = satu
(10)1 = sepuluh
45
45
(10)2 = seratus
(10)4 = seribu
(10)8 = selaksa
(10)16 = seketi
(10)32 = sejuta
(10)48 = miliar
Sedangkan satuan nilai tempat antara noto sampai dengan indonesia akan terlihat
sebagai berikut –jika dilihat dari basis sepuluh :
(10)64 = noto
(10)68 = noto negara
(10)72 = noto nusa
(10)76 = noto lahan kehidupan
(10)80 = noto bahasa
(10)84 = noto bilangan
(10)88 = noto tarikh
(10)92 = noto uang
(10)96 = triliun
(10)100 = noto agama
(10)104 = noto ilmu
(10)108 = noto pendidikan
(10)112 = noto adil
(10)116 = noto bangsa
(10)120 = noto penguasa
(10)124 = noto bela negara
(10)128 = Indonesia
Yang jelas, setiap satu satuan bilangan besar sebagai termaktub di atas akan
membawahi (mengatur) sepuluh macam hal yang harus ditata, dan setiap sepuluh hal
tersebut akan dijabarkan lagi masing-masing menjadi sepuluh, begitu seterusnya,
46
46
sampai ranting terakhir, kelak pada ranting ke se-Indonesia (10)128. Dengan demikian,
setiap noto induk akan menata sepuluh noto anaknya.
Sebenarnya, sepuluh sebagai yang dimaksud di atas bukanlah angka mati,
sebab pada masalah tertentu bisa jadi kurang dari sepuluh dan pada masalah yang lain
bisa jadi lebih dari sepuluh. Yang jelas, semua harus melihat kondisi riil bangsa ini.
2.4 Revolusi Bilangan
Hal terakhir yang perlu dibahas dalam bab ini adalah kapan satuan bilangan
Indonesia ini dapat diterapkan? Sebenarnya, menentukan waktu merupakan masalah
yang kesekian. Ada hal lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Pertama, yaitu pengakuan pakar –bilangan-- Matematika bahwa penerapan
seribu (103) sebagai basis bilangan di Indonesia –lah yang menjadi sumber petaka di
negara ini, dan ini ditandai dengan adanya lompatan penerapan satuan bilangan
desimal dari basis sepuluh (10) ke basis seribu (103) dengan menafikan keberadaan
basis seratus (102). Ini merupakan kesalahan sejarah -- bilangan-- Matematika di
Indonesia. Mereka terlalu maju. Bukankah terlalu maju juga tidak baik?
Kedua, sekalipun yang berhadapan dengan murid adalah guru, kesalahan
bukan ada pada kelompok ini. Sekali lagi, guru hanyalah perenang, bukan penyelam!
Bukan pada mereka otoritas menentukan kebenaran suatu ilmu. Oleh karena itu,
menurut penulis, hanya ada satu solusi, mundur --dari basis seribu (103) ke basis
seratus (102).
Masalahnya, beranikah “penyelam” mengakui kesalahan itu dan sepakat
dengan revolusi bilangan yang penulis paparkan, itu masalah lain. Atau paling tidak
Matematika –sebagai ratunya ilmu-- mampu menelorkan konsep baru yang lebih baik
dan benar daripada konsep basis seribu (103) yang nyata-nyata telah membawa
bangsa ini ke jurang krisis ekonomi yang nyaris tak bertepi, sehingga semua krisis
yang menyertai krisis ekonomi pun dapat teratasi. Wallahualam.
47
47
Kalau pembaca perhatikan, pada uraian di atas terdapat dua buah sistem
bilangan yaitu sistem bilangan Indonesia pada masa transisi dan sistem bilangan
Indonesia. Meskipun keduanya berpola desimal basis seratus (102), keduanya
memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada saat pemuculan satuan
nilai tempat bilangan.
Perhatikan perbedaan mendasar antara keduanya :
Sistem bilangan Indonesia pada masa transisi adalah sistem bilangan yang
digunakan di Indonesia selama masa transisi (peralihan), artinya sistem bilangan
tersebut hanya bersifat sementara. Dengan demikian jangka waktunya terbatas,
sifatnya peralihan, dan --jauh-- lebih konsisten daripada sistem desimal pola basis
seribu (103) fersi Indonesia selama ini. Mengingat waktunya terbatas, maka
perubahan tersebut tidak perlu terlalu dimunculkan ke permukaan, artinya
perubahan cara memandang terhadap bilangan baru terjadi pada level pengawal
bilangan (baca : pakar dan guru).
Mereka tidak harus menghafal sistem bilangan untuk masa transisi tersebut,
malah sistem bakulah –sistem bilangan Indonesia-- yang seharusnya mereka pahami.
Mereka perlu mengolah filosofi bilangan --sebagai contoh, bilangan (10)64 sudah
tepatkah dinobatkan sebagai Noto, implementasi bilangan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara --sebagai contoh, apa hubungan antara (n)0 , (n)1, dengan
(n)2 di mana n adalah basis bilangan. Apa hubungan antara 0, 1, dan 2-- dalam
menata bangsa, menata negara, menata penguasa, menata peradaban, dan sebagainya
agar negara ini dapat “subur makmur loh jinawi, toto tentrem tur raharjo”
Karena sifatnya yang sementara maka reformasi bilangan (2.2)
mengisyaratkan bahwa adanya jeda antara pengakuan kekeliruan membilang, dari
pakar bilangan --bahwa pengakuan kekeliruan tersebut tidak perlu diformalkan
dalam bentuk pernyataan itu lebih baik (?). Bagi penulis tidak menjadi masalah.
48
48
Kita sudah sama-sama tahu. Siapa biang keladinya dan apa sebenarnya tujuan
mereka-- sampai dengan start masa transisi, dan juga mengisyaratkan adanya batas
akhir (finish) dari sistem bilangan ini.
Menurut penulis waktu yang ideal untuk masa transisi ini adalah sembilan
tahun. Hal ini didasarkan pada Wajib Belajar 9 tahun. Sebab, bagaimanapun kecilnya,
adanya perubahan pada sebuah sistem akan mempengaruhi sistem lain, dan itu butuh
waktu panjang. Dan, itu perlu belajar. Mulai dari mengkaji ulang, menyusun konsep,
mendiskusikan, seminar, lokakarya, dan sebagainya.
Masalahnya, siapakah yang paling berhak menentukan saat start dan saat
finish dari masa transisi? Menurut penulis, hanya MPR sebagai pemegang kedaulatan
rakyatlah yang paling berhak menentukannya, sebab dengan berakhirnya masa
transisi maka kondisi –segalanya-- akan bergeser sembilan puluh derajat dari tempat
semula. Hal ini dikarenakan, dengan mereformasi bilangan akan banyak sekali
perubahan mendasar yang terjadi di negara ini. Pertanyaan berikutnya, maukah MPR?
Nah, di situlah letak masalahnya. Sekalipun para pakar sepakat, misalnya, apalah arti
kesepakatan mereka. Bukan di tangan para pakar letak kedaulatan rakyat berada, tapi
sekali lagi di tangan MPR .
Sistem bilangan Indonesia adalah sistem bilangan desimal dengan
memandang seratus(102) sebagai basis bilangan yang pada paruh pertama
lambang bilangannya bersifat konkrit sedangkan pada paruh kedua bersifat
abstrak. Pada bilangan yang abstrak tersebut terkandung aspek madani dan
tsaqofi yang akan dibangun /dicita-citakan bangsa ini dalam rangka
merealisasikan amanah Allah, Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi.
Saat masa transisi memasuki finish, semua konsep tentang ke –Indonesiaan
yang baku dan didambakan telah terwujud. Sementara itu, penopang konsep pun telah
terbentuk (dalam arti sudah tersusun). Jadi, konsep baku dan penopang sudah benar-
benar siap berangkat. Dan, tibalah giliran sistem bilangan Indonesia masa transisi
ditinggalkan. Bersamaan dengan itu terjadi Revolusi Bilangan, sehingga bilangan
Indonesia sudah benar-benar konsisten dan baku.
49
49
Dengan berlakunya sistem tersebut maka akan terlihat siapa sebenarnya
penguasa bilangan dan siapa penguasa lambang bilangan, siapa yang mendominasi
langit atas dan siapa yang mendominasi langit bawah. Bilangan sebagai “makhluk”
abstrak kembali dikuasai oleh yang abstrak (baca : negara sebagai produsen)
sementara lambang bilangan sebagai “makhluk” konkrit kembali dikuasai oleh yang
konkrit (baca : rakyat sebagai konsumen).
Dari situ dapat difahamkan bahwa :
Pertama, Indonesia dalam hal bilangan sudah memiliki sistem bilangan
sendiri. Itu sebagai pertanda satu pilar penopang hegemoni barat tumbang. Satu lagi
madani kita sebagai bangsa telah merdeka.
Kedua, hak negara pada saat memasuki babak baru Indonesia ada pada
bilangannya, sehingga seandainya saat itu kekayaan negara hanya Rp 1 triliun, pada
masa transisi – (10)16-- maka sebenarnya kekayaan negara terangkat menjadi Rp
1096 ,00 dan itu dipandang sebagai modal awal. Dari sini terlihat kebenaran teori
bahwa bilangan adalah abstrak, baik saat murni sebagai bilangan maupun saat berada
pada pusaran uang.
Adapun hak yang diterima negara sesudah itu serta kewajiban negara yang
timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan lambang bilangan yang harus
ditunaikan sesuai rencana penguasa negara untuk masalah tersebut. Sementara
itu, hak dan kewajiban rakyat ada pada lambang bilangan yang dipegangnya
selama masa transisi, bukan pada bilangannya.
Masa transisi sebagai yang dimaksud dalam tulisan ini adalah saat dimulainya
perubahan dan diawali dari bilangan –dan itu harus dimulai dari dunia pendidikan--
serta dilanjutkan ke bidang-bidang lain untuk masa yang telah ditentukan. Menurut
penulis, masa transisi yang diperlukan –sekali lagi-- adalah sembilan tahun. Tanpa
adanya batasan, kapan start dan kapan finish dari masa transisi maka akan berakibat
tidak kunjung selesainya sebuah reformasi –hal yang baku. Oleh karena itu, semakin
cepat datangnya masa transisi akan semakin cepat pula kesembuhan negara ini dari
krisis multidimensi yang menderanya, begitu pula sebaliknya. Sebagai catatan
50
50
terakhir, selama masa transisi, semua lembaga tinggi negara beserta seluruh
perangkatnya mau-tidak mau, suka atau tidak suka, harus dalam posisi domisioner -
mundur ke situasi Proklamasi, 17 Agustus 1945.
Diharapkan, semua orang meletakkan kepentingan pribadinya, kelompoknya,
golongannya, maupun yang senafas dengan itu. Artinya, tidak berulah macam-
macam, tidak menoleh ke kiri, juga tidak menoleh ke kanan. Mata memandang lurus
ke depan. Saat itu MPR bekerja keras menata negara tercinta.
Kegagalan dalam menyusun konsep baru selama masa transisi yang lebih adil
bagi semua pihak --termasuk dalam hal bilangan-- adalah pertanda “negara ini
belum merdeka secara hakiki” dan itu berarti kaki tangan kaum kolonial masih
bergentayangan! Itu menunjukkan, kemerdekaan yang diperoleh dengan harta, air
mata, dan darah oleh para pendahulu ternyata masih berkisar pada kemerdekaan fisik
Indonesia belaka, sementara jiwa Indonesia masih tergadai di sana!
51
51
BAB III
MANUVER BILANGAN
DALAM MENATA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
“Reformasi” telah bergulir sekian tahun yang lalu. Angin perubahan ke arah
yang lebih baik dan benar pun ditunggu oeh seluruh rakyat Indonesia, atau paling
tidak sebagian besar penghuni negara ini. Keadaan yang lebih baik dari sebelum
reformasi dalam segala bidang akan lebih bernilai jika diikuti oleh kebenaran dan
keadilan.
Tentu saja, kebenaran dan keadilan tersebut bukan atas ukuran orang-perorang
atau kelompok-perkelompok. Namun kebenaran yang hakiki, kebenaran yang
memang seharusnya benar karena kebenaran bersifat universal, berdasarkan bukti-
bukti atau paling tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dilihat, atau keadaan yang
dapat dirasakan. Jadi, bukan kebenaran yang dipaksakan pun bukan pula adil bagi
yang kuat namun sebaliknya bagi yang lemah.
Reformasi bilangan seperti yang terurai pada bab terdahulu akan dapat
berjalan dengan baik, sepanjang tidak dicemari oleh tangan-tangan kotor dan rakus.
Apalagi, dengan memperhatikan kerugian konsumen bilangan yang prosentasenya
sangat fantastis itu maka adalah hal yang sangat wajar jika Indonesia dari segi
ekonomi dilanda krisis keuangan yang hebat, hutang luar negara makin besar,
pengangguran dari waktu ke waktu terus bertambah, tindak kejahatan menjadi berita
sehari-hari, dan jurang antara si miskin dan si kaya makin menganga lebar. Semua
terjadi di depan mata, di sekitar kita.
Dengan demikian, tanpa larinya investor ke luar negeri, tanpa KKN, tanpa
buruknya kinerja pemerintah (?), tanpa tumpulnya hukum terhadap yang kuat dan
memegang kendali kekuasaan –pun Indonesia akan gulung tikar dan selanjutnya
perekonomian akan ambruk dengan sendirinya. Di sisi lain, krisis multi dimensi pun
akan terjadi sebab bagaimanapun juga masalah keuangan dan semua masalah di
52
52
negara ini berkait erat dengan bilangan, baik langsung maupun tidak langsung.
Hanya masalah waktu, cepat atau lambat, semua pasti terjadi!
Dalam hal ini, dapat dilihat pada penyebab bubarnya VOC pada 31 Desember
1799. Satu hal yang tidak pernah diungkap, sistem bilangan yang digunakan
pemerintah kerajaan Belanda dan sistem bilangan VOC pasti sama. Tetapi, nilai
mata uang kerajaan Belanda dengan mata uang VOC, apakah sama? Mereka yang
sama-sama orang “sana” saja, pada akhirnya bangkrut, apalagi …. Oleh karena itu,
dibutuhkan sebuah keberanian dan kemauan bersama membangun terobosan baru
untuk menyeimbangkan adanya perbedaan tersebut.
3.1 Noto Lahan Kehidupan (10)76
Jika sistem bilangan Indonesia –sebagai hasil pelurusan sistem bilangan
Hindu Arab-- yang penulis paparkan di atas dapat “tumbuh” di Indonesia, maka
dengan sendirinya pecahan uang seribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima
puluh ribu, dan seratus ribu perlu direvisi –direvisi bilangannya. Langkah tersebut
baru merupakan langkah awal perbaikan keuangan /perekonomian Indonesia. Dengan
demikian, masih ada langkah lain yang lebih bersifat praktis /ekonomis –dalam hal ini
pembahasan lebih tepat jika diungkap oleh para ekonom-- yaitu pada masa transisi
digunakan rumusan :
Seluruh keuangan yang menjadi hak negara serta kewajiban negara yang
timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan bilangannya (pelafalan
/pengucapan nominalnya), sedangkan realita uang yang beredar dihitung
berdasarkan pada lambang bilangan (jumlah nominal ) uang tersebut.
Contoh selengkapnya tentang teknik penerapan sistem bilangan Indonesia
pada masa transisi dapat dilihat pada lampiran tersendiri. (lampiran 1)
Dari sini timbul pertanyaan, mengapa ada perbedaan perlakuan terhadap uang
negara dan terhadap uang yang beredar di masyarakat. Mengapa tidak diperlakukan
sama, atau sederet pertanyaan lain. Untuk itu, kita perlu mundur beberapa langkah.
53
53
Adanya lompatan penggunaan basis bilangan –dari basis sepuluh (10) ke basis seribu
(103)-- sudah pasti bukan tindakan gegabah. Mereka telah memperhitungkan dengan
sangat cermat dan teliti. Dalam hal ini, watak kolonial sangat kental mewarnai , tentu
saja dalam upaya menguasai dunia, penetrasi ekonomi, dan dominasi budaya. Satu di
antara perilakunya adalah pengerukan sumber daya alam di dunia ketiga.
Perlu diingat kekuasaan kaum kolonial bukan hanya bertumpu pada kekuatan
--militer-- saja. Namun juga pada seluruh sistem yang mereka bangun. Ada sistem
yang berupa sistem pertahanan, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem
ekonomi, dan lain-lain maupun sistem pola pikir yang berupa teori seperti yang
diterapkan pada bahasa (baca : linguistik), tulisan (aksara), dan hitungan (bilangan).
dari semua sistem tersebut, sistem pola pikirlah yang paling berbahaya, sebab
padanya tersimpan kekuatan untuk menguasai bangsa lain tanpa harus melakukan
sebuah penjajahan primitif seperti yang dilakukan pendahulu mereka, bak jala sutra.
Jika salah satu sistem mereka mengalami penonjolan, maka tak pelak lagi,
ekspansi merupakan jalan keluarnya. Mereka akan membangun koloni baru, dan tentu
saja, dengan membawa serta seluruh sistem yang lain, baik secara terang-terangan
maupun secara terselubung. Daerah koloni pun secara perlahan menjelma menjadi
daerah jajahan, baik dalam arti madani maupun tsaqofi. Penduduknya menjadi --
sekedar-- pelaksana. Mereka tidak lagi memiliki otoritas dalam menyusun konsep,
apalagi dalam menentukan langkah maju. Atau bisa jadi, mereka akan meragukan
kemampuan bangsa sendiri, memandang rendah produk bangsa sendiri. Dengan kata
lain, menjadi bangsa robot yang selalu patuh kepada tuannya.
Semangat nasionalis para pendahulu negara ini berhasil memporak-
porandakan kekuatan militer mereka, dan ini telah dibuktikan dengan Proklamsi 17
Agustus 1945. Jadi, secara fisik, kita telah merdeka. Secara madani, kita telah
merdeka. Militer mereka telah enyah dari bumi Pertiwi. Dalam hal ini, sebagai
catatan penting, Bahasa Indonesia sudah merdeka jauh lebih dahulu –sebelum di-
formalkan dalam Undang Undang Dasar 1945-- yaitu dengan adanya pengakuan
54
54
“Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” dalam peristiwa bersejarah
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928
Namun di sisi lain, dalam usianya yang ke sekian puluh tahun sejak
proklamasi, jiwa bangsa ini masih terbelenggu oleh sisa sistem warisan mereka. Lihat
saja, tulisan yang anda baca ini, apakah menggunakan huruf produk Indonesia?
Sistem bilangan yang kita pakai, apakah produk Indonesia? Padahal, dengan
menggunakan huruf mereka, bangsa ini akan bergantung pada produk teknologi
mereka. Lihat saja mesin ketik dan komputer, bukankah itu produk sana? Belum
mampukah kita memproduksinya? Bukankah, kita memiliki ribuan sarjana teknik,
sarjana elektro, dan entah sarjana apa lagi? Yang setiap tahun selalu bertambah, dan
terus bertambah. Ke manakah gerangan para sarjana teknik kita pergi? Lantas
apakah arti semua itu? Bisa jadi para pembaca menjawab, kita belum mampu
memproduksinya. Jika betul demikian, bagus. Jujur mengakui kekurangan. Jadi,
lulusan sarjana kita masih, Ah …? Atau malah mungkin sudah bisa, tapi ….
Dengan itu, bukankah berarti, kita harus membayar lisensi atau royalti untuk
mereka? Atau, tidakkah sebenarnya kita sadar bahwa negara ini hanya dijadikan pasar
dari semua produk mereka? Padahal, seandainya mau, bukankah sudah ada
kemampuan untuk itu? Dan pada gilirannya nanti, modal yang kita punya tidak akan
lari ke sana? Ini hanyalah sebuah contoh kecil dari masih tergantungnya bangsa ini
pada kaum kolonial, termasuk penulis tentunya.
Oleh karena itu, melanjutkan sistem yang mereka buat sama artinya dengan
semakin membenamkan diri dalam cengkeraman mereka. Begitu pula dengan
menjiplak atau memodifikasi sistem baru yang mereka buat akan sama artinya dengan
melepaskan diri dari cengkeraman induk dan masuk ke dalam cengkeraman
kloningnya, yang lebih rakus dan jahat. Dengan demikian, untuk melepaskan diri
bangsa ini dari belenggu kolonialis modern dengan dua anak kembarnya yaitu
komunis dan kapitalis-- hanya ada satu kata kunci, meninggalkan sistem mereka.
55
55
“Anda sendiri kan tahu, bahwa orang-orang yang memegang kendali dunia (selalu) berusaha
menggunakan penemuan ilmiah untuk memperbaiki kebobrokan dan kehancuran, dalam
kepentingan (memperbaiki) pengaruh cengkeraman terhadap bangsa lain, bahkan sampai pada
kasus-kasus pengalaman administrasi dan teori-teori administrasi itu sendiri, dari satu sisi,
diarahkan untuk kepentingan bangsa tertentu dan di sisi lain untuk untuk menguasai
kepentingan-kepentingan bangsa lain, bahkan kejadian psikologis pun dipergunakan untuk
menaklukkan bangsa-bangsa tertentu kepada bangsa-bangsa lain”
(Sa’id Hawwa, 1989 : 98)
Kegamangan untuk meninggalkan sistem buatan mereka, akan selalu mereka
manfaatkan dengan menawarkan bungkus-bungkus kemajuan madani mereka.
“Kebaikan” hati mereka bermuara pada satu tujuan, kita semakin masuk dalam
bayang-bayang mereka. Itu artinya, negara ini makin terpuruk.
Pada saat itu, tanpa kita sadari, seluruh sumber daya yang kita miliki mereka
keruk, mereka angkut, dan mereka habiskan untuk memenuhi nafsu rakus mereka
akan dunia. Bukankah, mereka memang menjadikan dunia sebagai tujuan? Lantas,
apa yang tersisa ? Sampah teknologi mereka? Ataukah tumpukan uang mereka yang
terbuat dari helai-helai kertas, bukan? Sebegitu berhargakah uang mereka, sampai-
sampai kekayaan alam untuk anak cucu pun kita habiskan. Di mana nurani kita
sebagai bangsa? Padahal, apakah uang itu?“Uang adalah kertas, emas, perak atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar
tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara sebagai alat penukar atau standar
pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah”
(Kamus Besar bahasa Indonesia, 1990 : 979)
Dengan memperhatikan pengertian uang sebagai yang termaktub di atas maka
tak pelak lagi antara uang dan bilangan tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi awal
tersebut telah berkembang seiring dengan tingkat kemajuan suatu bangsa. Hal ini
dikarenakan adanya sirkulasi uang dalam kegiatan ekonomi. Pada tingkat ini, seperti
yang diungkap oleh M. Manulang, “uang memiliki fungsi sebagai alat penukar, alat pengukur nilai, dan alat penimbun
kekayaan”
(Setijawan, 1987: 15)
56
56
Adanya pembatasan fungsi tersebut ternyata belum mencukupi. Dalam hal ini dapat
dapat dilihat pada kejadian di sekitar kita.
Dengan uang, seseoramg dapat memperoleh lahan yang dengan lahan itu yang
bersangkutan dapat memenuhi hajat hidupnya. Padahal, lahan kehidupan pada saat ini
bukan hanyan berarti lahan dalam arti sesungguhnya, namun sudah bergeser. Lahan
kehidupan sudah bisa berarti status –dengan NIP /NRP, pangkat, bahkan suatu
jabatan. Dengan statusnya, dengan pangkatnya, begitu pula dengan jabatan yang
disandangnya, uangnya pun bertambah.
Sepanjang uang dipergunakan untuk membeli lahan kehidupan dalam arti
sesungguhnya, misalnya berupa lahan pertanian atau seperangkat alat produksi, yang
karena semua itu terjadi di luar sistem birokrasi maka tidak akan menimbulkan
masalah. Namun, pada saat uang tersebut sudah digunakan untuk “membeli” lahan
kehidupan dalam arti yang kedua maka akan terjadi isu-isu tak sedap. Oleh karena itu,
isu money politic setiap ada pemilihan pejabat publik –mulai dari kepala desa hingga
gubernur-- dapat dijadikan bukti bahwa dengan uang, jabatan dapat dibeli, apalagi
hanya pangkat dan status. Memang, semua itu hanya isu. Siapa pembeli dan siapa
pula penjualnya juga tidak jelas. Oleh karena itu, biarlah semuanya menjadi rahasia
umum, tidak perlu menjadi rahasia negara.
Sungguhpun demikian, sikap realistis, obyektif dan sudi membeningkan hati
dalam menilai masalah ini sangat diperlukan. Peluang “ya atau tidak” adanya politik
uang adalah satu banding satu. Dalam kondisi tertentu, semua bisa saja terjadi. Juga
dalam kondisi tertentu, semua tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, perangkat
penangkalnya pun perlu segera dipersiapkan sejak dini.
Menurut penulis, persolan tersebut sebenarnya berpulang kepada nurani
bangsa, bukan orang-perorang. Dalam hal ini, penulis tidak sependapat jika masalah
tersebut ditimpakan sepenuhnya kepada oknum pelaku. Hal ini dikarenakan adanya
situasi yang mendukung terjadinya penyelewengan dan di samping itu adanya pihak
lain yang diuntungkan dengan situasi seperti itu.
57
57
Dengan kata lain, dalam masalah tersebut lembagalah yang harus
mempertanggungjawabkannya. Bukankah oknum bisa datang dan pergi sesuai dengan
tuntutan keadaan? Masalah pada gilirannya nanti lembaga minta pertanggungjawaban
kepada oknum pelaku penyelewengan, itu masalah lain, dan memang begitulah
seharusnya.
Dengan demikian, adanya kesempatan untuk melakukan penyimpangan yang
mengakibatkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin
sebenarnya berawal dari pola pembagian lahan kehidupan yang tidak jelas. Lahan
kehidupan haruslah dibagi secara adil agar tidak menimbulkan masalah. Pembagian
yang adil tentu saja bukan dilihat pada saat ini, melainkan harus mundur ke saat
negara ini baru lahir. Dengan begitu akan dapat diketahui di mana sebenarnya posisi
seseorang dalam mencari lahan kehidupannya.
Perhatikan, pembagian lahan kehidupan untuk rakyat negara ini saat start awal
Proklamasi, 17 Agustus 1945 berikut ini :
Tabel 11
Keterangan :
Komponen I : Komponen di dalam birokrasi (baca : rakyat birokrasi)
Komponen II : Komponen di luar birokrasi (baca : rakyat murni)
58
58
1 2
AA Aa aA aa X bb bB Bb BB
Posisi lemah, fasilitas lemah
Posisi lemah, fasilitas kuat
Posisi kuat, fasilitas lemah
Posisi kuat, fasilitas kuat
Dalam hal pekerjaan, mereka telah memilih. Dalam hal tempat untuk
dapatnya memenuhi kebutuhan,mereka telah memilih. Bahwa demokrasi,
pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mereka
laksanakan. Gen murni telah tersusun. Siapa di dalam --struktur birokrasi-- dan siapa
di luar –struktur birokrasi-- telah mereka tentukan, tanpa ada paksaan dari siapapun,
dan dari manapun. Mereka telah memilih berdasarkan panggilan jiwanya.
Oleh karena itu, jika pada akhirnya keturunan mereka sampai memperebutkan
kembali lahan kehidupan yang telah mereka bangun, sungguh merupakan sebuah
pengingkaran sejarah. Memang, di dalam memperebutkan lahan kehidupan tidaklah
seperti pelelangan ikan ….“Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dari mana didapatnya belanja buat hidup,
harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat
menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya”.
(Penjelasan pasal 23, Undang-Undang Dasar 1945)
Perhatikan :“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.
(Pasal 27, Undang-Undang Dasar 1945)
Seiring dengan perjalanan waktu, generasi pertama negara ini mulai
mengakhiri pengabdiannya pada Pertiwi. Satu persatu, mereka berpulang ke
pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini timbul masalah, sebab adanya aturan
main yang berbeda antara Kelompok I dan Kelompok II.
Pada Kelompok I :
a. Lahan kehidupan tidak diwariskan;
b. Lahan kehidupan (pekerjaan) dapat diperoleh sesuai dengan keahlian.
Pada Kelompok II :
a. Lahan kehidupan dapat diwariskan;
b. Lahan kehidupan (pekerjaan) dapat diperoleh sesuai dengan keahlian;
c. Lahan kehidupan dapat dibeli.
59
59
Dengan demikian, pintu masuk ke lahan 1 hanya ada satu, yaitu berupa
keahlian –dan ini dapat diperoleh dengan pendidikan yang memadai. Sedangkan pada
lahan 2, pintu masuknya ada tiga buah, jadi cukup longgar. Namun, karena
longgarnya maka memudahkan AA (dari Kelompok I) untuk menembusnya dengan
cara membeli, sementara posisinya di lahan 1 tetap. Begitu pula halnya dengan BB
(dari Kelompok II), dengan segala kemampuannya, ia pun mampu menembus lahan
1, sementara posisinya di lahan 2 tetap.
Dalam hal ini, penulis tidak menafikan adanya perpindahan stratum dalam
satu kelompok karena adanya sebab-sebab tertentu di antara mereka, dan itu bisa saja
terjadi secara alami. Dengan demikian, pada lahan kehidupan akan terjadi perubahan
pemetaan karena munculnya kelompok baru, dan akan terjadi sebagai berikut :
Turun
an
Kelompok I di Lahan 1
(di dalam sistem birokrasi)
Kelompok II di Lahan 2
(di luar sistem birokrasi)
Kelompok III
(di luar sistem)
F AA Aa aA aa BB Bb bB bb
F1 AA Aa aA BB BB Bb bB bb aa
F11 AA Aa BB aA BB Bb bB AA aa bb
F 111 AA BB Aa AA BB Bb AA bB aa bb
Tabel 12
Pada F1 :
1. “aa” dari Kelompok I yang berposisi lemah dengan finansial yang juga
lemah tergusur dari tempatnya.
Bisa jadi, “aa” berdesakan dengan ‘bb”, masuk Kelompok II di lahan
II. Namun, bisa jadi, ia membentuk kelompok baru, kelompok yang
tersisihkan /kelompok pencari kerja (Kelompok III)
Untuk sementara waktu, tempat “aa” diisi oleh “BB”.
BB dapat menembus lahan 1 karena memang mempunyai kemampuan
untuk itu.
60
60
Dengan kata lain, F1 adalah lonceng kematian untuk “aa”
2. “bb” masih bisa bertahan pada tempatnya karena mendapatkan tempat
(warisan) dari F
Pada F2 :
1. Dengan segala kelebihan yang dimiliki, “BB” mulai menggeser “aA” dan
--mungkin-- tanpa harus menunggu alih generasi, “BB” sudah dapat
berdekatan dengan “AA” dengan menggeser “Aa”.
2. “AA” mulai menggeser “bb”. Hal ini ditandai dengan adanya usaha
sejenis yang dilakukan “AA”, dan tentu saja dengan didukung oleh
fasilitas dan posisinya yang kuat di lahan 1 (dalam struktur birokrasi).
Pada F2 inilah lonceng kematian “bb” bergema.
Pada F3 :
1. “AA dan BB” sudah berdekatan, kondisi inilah yang memunculkan
pejabat yang juga pengusaha, atau sebaliknya, pengusaha yang juga
merangkap sebagai pejabat
2. “aa dan bb” semakin tergeser dan tergusur. Lahan kehidupan hanya
dikuasai oleh yang kuat, baik kuat dalam posisi maupun dalam finansial.
Kedudukan keduanya hanyalah sebagai pencari kerja. Mereka sudah tidak
lagi memiliki lahan kehidupan yang dapat diperjualbelikan serta tak dapat
pula diwariskan.
Pada F3, deretan makin panjang untuk “aa” maupun “bb”
Dalam hal ini, ada yang perlu dicatat bahwa pencari kerja setiap tahunnya kurang lebih
2,5 juta orang, dan akan terus bertambah
(Kuncoro Ningrat, Berita Petang TVRI, 26 April 2002)
61
61
Sejauh ini, penulis belum pernah mendengar adanya penelitian empiris
tentang nasib keturunan “aa”, baik dari a1a1 sampai dengan a111a111. Begitu pula
dengan keturunan “bb”, baik dari b1b1 sampai b11b11. Secara teori, mereka telah
termarginalkan sejak F1 untuk a1a1 dan sejak F2 untuk b1b1, terdepak ke luar dari
struktur yang telah dibangun bersama gen inti lainnya.
Sebagai bangsa yang mengaku “Berkemanusiaan yang adil dan beradab”, ada
satu pertanyaan, adilkah melibas lahan kehidupan orang lain? Dalam hal ini, kita
tidak perlu menjawab dengan langsung. Kita perlu merenung. Bagaimana seandainya,
kita ada di posisi “aa” atau “bb”?
Bahwa, mereka tidak pernah menghutangkan perjuangan mereka, itu benar.
Bahwa, mereka dulu ikhlas tanpa pamrih, itu pun tidak salah. Namun, ada satu hal
yang harus diingat, mereka yang mendirikan negara ini. Mereka yang telah membuka
lahan kehidupan.
Bisa jadi, pembaca beranggapan bahwa mereka telah memilih, dan
termarginalkan itu merupakan konsekuensi hidup. Anggapan itu bisa jadi benar,
seandainya Peraturan Pemerintah tentang pensiun (maaf, penulis tidak mamiliki
arsip) terbit saat proklamasi. Jadi, mereka sudah tahu akan resiko yang akan
diterimanya jika memilih berada di dalam struktur birokrasi.
Masalahnya, peraturan pemerintah tersebut terbit saat “aa” sudah mulai uzur
serta saat “BB” atau malah mungkin “Bb” mulai mengintervensi lahan 1. Keuzuran
“aa”, lemahnya posisi tawar, dan lemahnya finansial membuat “aa” pasrah menerima
nasib saat miliknya “dirampas” negara oleh penguasa.
Dari sini, timbul pertanyaan. Bukankah mereka telah menerima pensiun?
Dan, penulis balik bertanya, bukankah sekian persen dari gaji mereka memang untuk
itu? Dengan kata lain, sebenarnya uang pensiun itu milik siapa?
Bukantah itu memang miliknya? Tapi, ke mana perginya NIP /NRP --atau
mungkin nomor lain yang sejenis dengan itu-- milik mereka? Bukankah NIP /NRP
tersebut dapat dianggap sebagai tanda bukti “kepemilikan” mereka terhadap lahan 1?
62
62
Dengan kata lain, NIP /NRP mereka tidak dapat disejajarkan dengan NIP
/NRP aparat negera ini dari generasi berikutnya –sebagai nomor registrasi, itu sudah
pasti. Mereka bukanlah aparat biasa, namun juga sebagai pemilik seperti halnya AA,
Aa, aA, BB, Bb, bB, dan bb --masalah (1). Mereka adalah pembuka lahan kehidupan.
Dengan demikian, “aa” juga pemilik lahan kehidupan di negera.
Sebagai pembanding, saat Anda naik becak. Anda duduk manis di atas becak
dan minta diantarkan. Sesampai di tempat yang Anda tuju, Anda memberi imbalan
yang pantas kepada si tukang becak. Lantas, becaknya? Apakah karena Anda telah
merasa memberi upah, lantas becaknya juga Anda minta? Dan, kalaupun Anda
mengucapkan terima kasih, karena si tukang becak telah bersusah payah, apa
ruginya? Bukankah, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa
pahlawannya? Atau mungkin, Anda memarkir kendaraan di tempat penitipan sepeda.
Setelah hajat Anda selesai, anda membayar ongkos parkir dan berteima kasih.
Apakah karena telah merasa membayar, lantas Anda merampas bidang kerjanya?
Masuknya “BB” ke lahan 1 bukannya tanpa resiko. Kebiasaan yang terjadi
pada lahan 2 –bisa jadi-- terbawa, sebagai contoh jual beli lahan. Bahwa semua
pemegang otoritas pengadaan personalia di negara ini membantah, itu sudah pasti.
Semua hanya kabar burung, tanpa bukti, fitnah dan entah apa lagi sumpah serapah
mereka. Yang jelas, mereka mengelak tegas. --(masalah 2).
Dengan demikian, lahan kehidupan yang ada di birokrasi (Lahan 1) telah
menelantarkan “aa” --masalah (1)-- serta adanya perilaku (isu) jual beli jabatan
/pekerjaan (masalah 2) itu harus segera dihentikan. Masalah pertama merupakan
masalah ketidakadilan, sedangkan masalah kedua merupakan masalah harga diri.
Kedua masalah ini harus diselesaikan. Dalam hal ini, ada dua pilihan yaitu:
1. Aturan waris yang berlaku pada Kelompok II di lahan 2 (luar
birokrasi) juga diterapkan dalam Kelompok I di lahan 1 (dalam birokrasi)
2. Aturan waris pada Kelompok II di lahan 2 (luar birokrasi) dihilangkan
seperti perlakuan negara terhadap kelompok I di lahan 1
63
63
Sebuah dilema. Jika aturan pertama diterapkan, maka semua komponen II
akan memprotes. Itu, menciptakan feodalisme baru atau malah mungkin memandang
itu ciri masyarakat terbelakang. Begitu pula seandainya aturan kedua yang
diterapkan, mereka juga akan protes keras. Itu perlakuan sosialis, komunis, dan itu
merampas hak rakyat. Dominasi Kelompok II sangat kuat di negeri ini, sampai-
sampai gen murni dalam birokrasi pun tidak diberi kesempatan tumbuh.
Jika menyangkut hak rakyat yang ada di kelompok II dirampas negara,
mereka tidak setuju, bahkan mungkin ramai-ramai berunjuk rasa. Namun, di saat
yang sama, jika yang dirampas oleh penguasa --atas nama negara-- itu hak rakyat
dari kelompok I, setuju-setuju saja. Jadi, aslinya mereka hipokrit bin munafik.
Di luar birokrasi diterapkan pola kapitalis, sedangkan di dalam birokrsi
diterapkan pola …. Semua milik negara /bersama –termasuk NIP /NRP dari generasi
pertama negara ini.Dengan demikian benar sekali bahwa antara komunis dan kapitalis
itu bersaudara, kembar malah. Jadi, jika yang satu ada di kiri, maka yang lain ada di
kanan. Jika yang satu ada di dalam, dapat dipastikan pasangannya ada di luar.
Baik langsung maupun tidak langsung, semua ini terjadi karena uang. Jika
“aa” mampu secara finansial, maka dia akan mampu membiayai pendidikan
keturunannya, sehingga –meskipun-- lemah posisinya, lahannya tidak akan digeser
oleh “BB”. Begitu pula dengan “BB”, karena hanya --maaf-- sebuah status (?) dia
mau melepaskan sedemikian banyak uang untuk membiayai pendidikan
keturunannya sehingga mampu menembus lahan 1, dan … semua komponen bangsa
ini diam seribu bahasa. Pertanyaannya, Mengapa “aa” di anak tirikan?
Oleh karena itu, jika gen murni “BB” adalah x maka setelah yang
bersangkutan duduk sebagai pejabat, sifat asli bawaannya akan muncul. Jadilah ia
seorang pejabat x, sehingga dengan jabatannya akan lancar usaha x sanak ke-
luarganya. Itulah onani jabatan! Mereka hanya memuaskan diri sendiri –keluarga dan
kroninya, sumber nepotisme di negara ini.
64
64
Di luar birokrasi, nepotisme merupakam hal yang lumrah, bahkan sangat
manusiawi. Mana ada manusia tega melihat sanak keluarganya yang kekurangan,
apalagi jika yang menderita itu anaknya sendiri. Padahal, di saat itu dirinya mampu
memberikan pertolongan. Lihat saja, tukang cendol akan memberikan gerobak
cendolnya saat merasa dirinya sudah uzur kepada anaknya untuk mencari nafkah.
Pedagang di pasar akan dengan sukarela memberikan kios miliknya kepada anaknya,
atau paling tidak anaknya akan diupayaan memiliki usaha seperti dirinya. Petanipun
akan menyerahkan sawah-ladang milik kesayangannya kepada anaknya.
Sedangkan di dalam birokrasi praktek semacam itu, tabu. Berhubung “BB”
memiliki posisi strategis maka dengan segala cara dan mudah (?) yang bersangkutan
menarik masuk sanak keluarganya dalam struktur birokrasi dan mendepak keluar
“aa” dari atas kursi pengabdiannya. Tentu saja, harus ada peraturan sebagai perisai.
Bagaimana seandainya pejabat x tersebut meng-x-kan jabatannya? Itulah
pelacuran jabatan! Dengan melacurkan jabatannya yang bersangkutan dapat
mengeruk keuntungan pribadi. Dan, itulah kolusi. Sebuah bentuk kong-kali-kong
antara orang dalam dengan orang luar. Lantas, bagaimana seandainya pejabat x
tersebut meng-x-kan jabatan yang ada di bawahnya? Gawat bukan? Menurut penulis,
persaingan tidak sehatlah yang akan terjadi. Ujung-ujungnya, yang menjadi korban
perilaku ini adalah “aa atau “bb” lagi.
Bahwa kekuasaan itu seperti gula-gula seperti kata sebagian orang ada
benarnya juga. Banyak orang yang memikirkan, namun sedikit sekali yang dapat
menggapainya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan jika gen murni “BB” adalah
“benalu” atau malah “rayap”.
Mereka akan menggerogoti negara dari dalam. Itulah korupsi! Di sini,
korupsi bukan hanya berarti korupsi uang negara. Namun juga dapat berarti korupsi
waktu. Sudah saatnya bekerja memberikan pelayanan kepada masyarakat malah asyik
menyibukkan diri dengan kegiatan lain yang “dipaksa” relevan dengan bidang
kerjanya. Korupsi waktu hampir dianggap biasa dan nyaris menyentuh seluruh
lapisan, “Hanya, sepuluh menit, atau hanya satu jam”.
65
65
Satu jam masih dianggap “hanya”. Padahal, bagi seorang sopir dalam waktu
satu jam sudah dapat menempuh jarak berapa kilometer? Bagi seorang dokter, berapa
orang yang dapat diobati, atau malah mungkin diselamatkan? Bagi seorang penyadap
getah karet, berapa liter getah dapat diambil?
Memang, semua mempunyai alasan, dan semua alasan mereka sangat masuk
akal. Namun, di era profesional menjadi suatu keharusan maka ketepatan waktu
dalam memberikan pelayanan kepada publik sedikit banyak akan turut membantu
percepatan terbentuknya kepercayaan. Sebab, jika dalam masalah waktu saja sudah
sering lalai, apalagi ….
Masalahnya, siapa yang membuat aturan semacam itu? Pemerintah sendiri!
Dengan kata lain, Peraturan Pemerintah tentang pensiun itu hanya menimbulkan
borok atau malah “hanya” untuk menutup borok yang bernama korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Nah, untuk menutup borok tersebut, kepada “aa” diberikan hak pensiun.
Padahal, uang pensiun itu adalah uang mereka sendiri. Sekali lagi, lantas
dikemanakan NIP /NRP yang bersangkutan? Bukankah deretan angka tersebut
sebenarnya dapat dipandang sebagai bukti kepemilikan lahan kehidupan atau
semacam sertifikat tanah sawah bagi petani? Atau semacam kios bagi seorang
pedagang di pasar? Atau semacam BPKB sepeda motor milik tukang ojek? Sekali
lagi, mereka tidak seperti aparat negara dari generasi berikutnya.
Oleh karena itu, seandainya, keturunan “aa” mulai dari “a1a1 sampai dengan
anan” melakukan tindak pelanggaran dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
menurut penulis, itu sangat wajar –bukan maksud penulis mentolelir kejahatannya.
Pelanggaran yang dilakukan mereka tidak dapat disamakan dengan pelanggaran yang
dilakukan oleh “AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, maupun bb” sendiri.
Mereka juga butuh hidup, untuk hidup butuh biaya, untuk dapat biaya harus
kerja, untuk dapat kerja harus ada lahan yang dikerjakan, dan saat lahan “aa”
dirampas negara, ke mana harus membuka lahan baru? Bukankah lahan 2 sudah ada
pemiliknya?! Sekali lagi, mengapa saat “aa” yang tergusur semua diam? Semua tidak
ambil pusing?
66
66
Memang, teorinya, mereka dapat bekerja apa saja. Jadi, intinya peraturan
pemerintah tersebut menginginkan (menciptakan) agar keturunan mereka dijadikan
kelas pekerja (baca : pencari kerja) atau malah mungkin kelompok tanpa kelas!
Bukan lagi kelas pemilik. Padahal, saat start awal, Kelompok I dan Kelompok II
sama-sama sebagai pemilik lahan kehidupan.
Dari dua gambaran masalah di atas terlihat dengan jelas bahwa sumber petaka
yang bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di negara ini adalah uang.
Kedudukan para pelaku KKN hanyalah sebagai faktor pemercepat saja, maka
penyelesaiannya pun harus dengan uang atau sesuatu yang dapat diuangkan.
Penyelesaian seperti itu barulah adil, sungguhpun pahit.
Perhatikan :
Jika : untuk masuk ke lahan 1 = p
untuk masuk ke lahan 2 = q , dimana p = q
Maka :
1. Pada p dan q bernilai keahlian, maka p = q
2. Pada p dan q bernilai uang, maka x = q
3. Pada p dan q bernilai waris, maka x = q
Dari situ terlihat bahwa pintu masuk ke lahan 1 ada dua yang belum terpakai
yaitu uang dan waris. Menggunakan uang berarti haruslah ada penjual, ada yang
dijual, dan ada pembeli. Dalam hal ini, yang berkedudukan sebagai penjual adalah
gen murni aparat birokrasi /negara (Kelompok I, “AA,Aa,aA, dan aa”).
Yang dijual adalah miliknya yang paling mendasar sebagai aparat negara,
yaitu Nomor Induk Pegawai (NIP) atau Nomor Resimen Pusat (NRP).
Sedangkan pembelinya adalah unsur luar birokrasi yang hendak masuk ke
birokrasi, dari Kelompok II (BB, Bb, bB, dan bb). Jual-beli NIP /NRP dapat terjadi,
jika ada ahli waris yang bersangkutan menjualnya.
67
67
Dengan demikian, sebenarnya, kepemilikan pada lahan 1 juga ada tiga
macam, yaitu : melalui keahlian, melalui waris, dan dengan cara membeli. Pintu
keahlian baru terbuka pada saat negara membuka lembaga baru, misalnya sebuah
departemen baru, sekolah baru, batalion baru, puskesmas baru, dll. Jika, seseorang
masuk ke lahan 1 hanya berbekal keahlian tanpa ada tugas membuka lahan baru,
maka keberadaanya tidak lebih dari pekerja profesional. --Teknik ini, meskipun
dalam konteks yang berbeda telah diterapkan pemerintah dalam program
transmigrasi. Kepada para transmigran (dari Kelompok II) diberikan lahan pertanian
seluas sekian hektar, rumah sebegai tempat tinggal, alat-alat pertanian, dan jaminan
hidup sekian bulan. Pintu waris hanya diperuntukkan bagi generasi penerus mereka
belaka. Sedangkan, cara membeli, sekalipun sudah tersedia uang yang cukup maka
masih tetap harus ditambah dengan persyaratan akademik yang memadai, yang sesuai
dengan kebutuhan bidang kerja.
Dari sini timbul pertanyaan, bukankah keahlian seorang anak bisa jadi
berbeda dengan orangtuanya? Pertanyaan itu memang tepat. Oleh karena itu, jika ahli
waris tidak tertarik melanjutkan pekerjaan orangtuanya karena tidak adanya keahlian
atau karena ada sebab lain maka ada tiga macam pilihan, yaitu :
Pertama, yang bersangkutan dapat menyewakan lahan kehidupannya dalam
jangka waktu tertentu kepada orang lain. Seperti halnya anak seorang petani yang
enggan melanjutkan pekerjaan ayahnya --karena, misalnya lebih tertarik untuk
menjadi pedagang-- bukankah ia dapat menyewakan sawah miliknya? Nah, di sinilah
sebenarnya terjadi kontrak kerja --dokter kontrak, guru kontrak, dan sebagainya.
Kedua, yang bersangkutan dapat saja menjual lahan miliknya --yang berupa
NIP /NRP-- kepada yang menginginkan, dan tentu saja si pembeli harus memenuhi
persyaratan akademik dan persyaratan lain yang diperlukan. Tapi, menurut penulis,
hal ini akan langka terjadi, di sini ada sebuah kehormatan.
Ketiga, yang bersangkutan hanya memetik jasa (baca : pokok gaji) dari
leluhurnya dan merelakan posisinya ditempati orang lain. Dalam hal ini, dalam
konteks pertanian, dikenal dengan bagi hasil.
68
68
Seandainya, konsep ini diterapkan maka keturunan “aa” atau bahkan
mungkin keturunan Kelompok I yang lain tidak akan termarginalkan, atau sekalipun
pada akhirnya harus keluar dari birokrasi yang telah dibangunnya maka “aa” sudah
mengantongi modal untuk membuka lahan baru di lahan 2. Sehingga, keturunan “aa”
tidak sampai menjadi kelompok pencari kerja /penganggur. Sementara itu, “BB” atau
dari Kelompok II yang lain tidak mungkin dapat dengan begitu mudah menguasai dua
lahan kehidupan sekaligus, sebab untuk “masuk” ke jajaran birokrasi, mereka juga
harus membeli terlebih dahulu atau paling tidak mengontrak. Jadi, tidak cukup hanya
dengan mengandalkan keahlian seperti yang berlaku selama ini (?).
Namun, ada satu hal yang patut disyukuri, “Uang bukanlah segalanya”.
Mungkin karena itulah maka keturunan “aa” masih terus bertahan dan berjuang. Jika
pada masa lalu “aa” berjuang bersama “AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, dan bb” mengusir
penjajah, maka keturunannya berjuang sendiri mancari, dan terus mencari lahan baru
sekedar untuk mempertahankan hidup.
Dengan kata lain, “aa” telah dikhianati oleh kawan seperjuangannya.
Mereka hanya bisa pasrah, dan menerima nasib sebagai orang yang dipinggirkan,
sebagai warga negara yang tersisihkan oleh sebuah sistem yang diciptakan oleh yang
kuat. Keadaan ini, jelas bukan sebuah cermin keadilan.
Jadi, demokrasi yang mereka bangun bersama saat proklamasi itu adalah
demokrasi cap mobil, “bukan” Demokrasi Pancasila. Pada saat mobil mogok, semua
ikut mendorong, seia-sekata dalam pahit-getirnya perjuangan. Namun kala mobil
mulai hidup dan lari kencang, mereka ditinggalkan. Dan, dengan ucapan manis si
sopir, awak sopir, dan penumpang mengucapkan “Terima kasih, Pahlawan”.
Bahwa segudang tanda ucapan terima kasih layak mereka terima, itu sudah
pasti. Tapi, jangan lantas merampas hak mereka. Oleh karena itu, pada saat start
Indonesia Baru pasca transisi nanti, hak “aa” dan mungkin Kelompok I yang lain
selayaknya dikembalikan, dan ini adalah kewajiban pemegang kedaulatan rakyat di
negara ini, atau paling tidak menjadi kewajiban pemerintah --lihat lampiran 2.
69
69
Selain itu, masuknya “AA” atau unsur Kelompok I ke lahan 2 pun ada yang
perlu diwaspadai. Tidak setiap unsur luar yang masuk berdampak positif, pun tidak
selalu masuknya unsur luar berdampak negatif. Namun, jika negatifnya lebih
menonjol maka lebih baik unsur luar tersebut dikembalikan ke habitatnya.
Dengan kata lain, masuknya “AA” ke lahan 2 bukannya tidak beresiko, sebab
sedikit banyak akan mempercepat kematian usaha kecil sejenis di daerah itu (lahan
2). Dan, itu hanya masalah waktu. Menyusutnya lahan pertanian karena salah
letaknya suatu proyek atau karena berpindah tangan kepada pejabat “kaya”, rusaknya
hutan di banyak tempat karena salah urus, menyusutnya air tanah sebagai akibat tidak
langsung dari rusaknya hutan, kurang bagusnya mutu bangunan tempat-tempat
umum –misalnya gedung sekolah dasar-- dapat dijadikan contoh sisi negatif yang
perlu dicermati.
Semua sisi negatif tersebut sedikit banyak mempercepat kematian “bb”, dan
keturunannya makin terpingirkan. Mereka hanya menjadi penonton kemajuan
pembangunan. Nasib mereka tak jauh berbeda dengan nasib “aa”, malah mungkin
lebih susah.
Seyogyanya, kepemilikan lahan berada pada tangan yang tepat. Sebagai
contoh : tanah pertanian, paling tepat berada di tangan para petani. Tanah ladang
dimiliki oleh peladang, tambak-tambak dikuasai nelayan, dunia pendidikan berada di
tangan pendidik –bukan di tangan administratur (?), dunia militer di tangan militer –
bukan di tangan sipil, dunia spiritual berada di tangan para rohaniawan, dan
sebagainya. Secara hakiki, merekalah sebenarnya pemegang otonomi. Bukankah,
jika sebuah urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya, kita hanya tinggal menunggu
saat kehancurannya?
Pembaca yang budiman, masalahnya sekarang adalah siapa itu gen murni dari
kelompok I dan siapa pula gen murni dari kelompok II? Gen murni kelompok I
adalah mereka yang sejak start Proklamasi, 17 Agustus 1945 berada di dalam
kelompok I, begitu pula dengan gen murni kelompok II adalah mereka yang sejak
start tersebut berada di dalam kelompok II.
70
70
Padahal, saat negara ini memproklamirkan diri, pemegang kedaulatan belum
berada di tangan bangsa ini. Bukankah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda
baru terjadi pada 27 Desember 1949?
Oleh karena itu, pengertian gen murni pun berkembang menjadi siapa yang
saat itu berada dalam kelompok I menjadi gen murni kelompok I dan siapa yang saat
itu berada pada kelompok II menjadi gen murni kelompok II (1). Dalam
perkembangan selanjutnya, negara /pemerintah membuka lembaga-lembaga baru di
berbagai sektor kehidupan. Mereka yang berasal dari kelompok I karena faktor x
berhijrah ke kelompok II (2), di saat lain, mereka dari kelompok II berbondong-
bondong pindah ke dalam kelompok I (3). Dari tiga macam rentetan kejadian di atas,
akhirnya dapat dijelaskan bahwa gen murni kelompok I adalah :
Pertama, mereka yang sejak 27 Desember 1949 telah berada di dalam
kelompok I.
Kedua, mereka yang berasal dari kelompok II yang mendapat tugas membuka
“lembaga baru” yang disediakan oleh negara /pemerintah pada lahan I.
Sedangkan gen murni kelompok II adalah :
Pertama, mereka yang sejak 27 Desember 1949 telah berada di dalam
kelompok II.
Kedua, mereka yang berasal dari kelompok I yang memanfaatkan lahan baru
yang dibuka oleh negara /pemerintah pada lahan II –dalam hal ini, misalnya ikut
program transmigrasi khusus (?).
Dengan demikian :
1. Mereka yang saat start awal masa transisi berada dalam kelompok I
namun tidak memenuhi salah satu syarat gen murni kelompok tersebut
maka, mereka tidak dapat dipandang sebagai gen murni kelompok I.
Mereka inilah sebenarnya yang disebut Pegawai Negeri, dan Peraturan
Pemerintah tentang pensiun layak ditetapkan kepada mereka.
71
71
2. Gen murni kelompok I memiliki status kepegawaian yang lain /lebih
tinggi. Mereka adalah Pegawai Negara bukan hanya sekedar pegawai
negeri biasa.
Dengan demikian, pola waris lahan kehidupan di lahan I hanya dapat
diterapkan pada Pegawai Negara tersebut dan oleh karena itu pegawai negara tidak
mendapatkan pensiun. Sejalan dengan hal itu, maka, jika selama ini sebagian gajinya
dipotong untuk dana pensiun maka harus dikembalikan …., kecuali jika atas kemauan
sendiri yang bersangkutan ikut Taspen.
Dari situ timbul dua buah pertanyaan mendasar :
Pertama, mengapa Pegawai Negeri tidak dapat mewariskan lahan
kehidupannya? Pembaca yang budiman, “membuka” lahan baru tidak dapat
disamakan sulitnya dengan “mengerjakan” di atas lahan yang sudah ada.
Dalam contoh yang paling sederhana, membuka lahan pertanian baru (yang
dikerjakan para transmigran) jauh lebih sulit daripada menanami lahan pertanian saat
lahan (baca : sawah, atau ladang) telah terbuka.
Pada yang pertama, macam kendala tak terhingga banyaknya mulai dari
“kayu-kayu” yang malang-melintang tak karuan, akar-akar yang masih kokoh
tertancap, teknik memindah kayu, teknik membongkar akar bercokol sampai “hewan”
buas dan berbahaya, teknis menghalau hewan buas, dan sebagainya. Sedangkan pada
yang kedua, kendala memang ada, dan penghalang itu hanyalah berupa teknis belaka.
Dalam konteks yang lebih dalam, bisa jadi ada yang berpendapat lain, mengisi
kemerdekaan tidak lebih gampang daripada merebut kemerdekaan. Pernyataan itu
benar dan tepat sepanjang “isi” yang hendak dimasukkan ke dalam “wadah”
kemerdekaan belum ada. Jadi, jika “isi” sudah ada, dan “wadah” telah tersedia,
lantas di mana letak sulitnya?
72
72
Masalahnya akan sangat lain, jika wadah “merdeka” sudah ada sementara
“isi” yang hendak dimasukkan masih harus “mengambil” dari “sumur tetangga”,
apalagi … timbanya tidak tersedia! Maka akan terasa sangat sulit. Atau mungkin,
sekalipun timbanya ada. Namun, bolong.
Kedua, mengapa Pegawai Negara tidak mendapatkan pensiun? Pembaca yang
budiman, sebagai “pemilik lahan” maka saat lahan telah diwariskan maka sudah
barang pasti status kepemilikannya berpindah kepada keturunannya, atau kalau lahan
kehidupannya dijual maka akan berpindah kepemilikannya kepada si pembeli. Lantas,
siapa yang memberinya pensiun? negara /pemerintah? Mana mau negara /pemerintah
merugi. Dalam hal ini, harus dibedakan antara hak Taspen dengan hak pensiun.
Pembaca mungkin akan mengajukan pertanyaan lain, bukankah lahan kehidupan
tersebut milik negara? Pembaca memang benar adanya, jangankan lahan kehidupan.
Bahkan bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara (ayat 3, pasal 33, UUD 1945).
Masalahnya, bukankah sejak awal lahan kehidupan tersebut sudah dibagi
secara adil? Lahan pertanian /sawah adalah milik petani, lahan perdagangan /pasar
dikuasai pedagang, lahan pendidikan /sekolah merupakan tempat mencari rezeki bagi
guru, rumah sakit untuk dokter, pondok pesantren untuk para ulama, asrama /markas
untuk militer, dan sebagainya.
Marilah, kita belajar kepada alam. Bagaimanapun, ikan hanya dapat hidup
dengan tenang di air, burung-burung akan terbang bebas di angkasa, harimau akan
menjadi raja saat di hutan, dan sebagainya. Kalaulah sesekali, mereka meninggalkan
habitatnya pastilah ada sesuatu yang dicari, dan saat yang dicari telah diketemukan,
bukankah mereka akan kembali ke habitat aslinya? Mengapa, manusia tidak mau
belajar kepada mereka? Mereka yang tidak memiliki akal budi saja tidak merebut
lahan hidup makhluk lain, mengapa manusia sebagai makhluk yang “sempurna”
berebut lahan kehidupan? Salah yang mengatur ataukah salah yang diatur? Jika salah
yang mengatur, berarti kesalahan ada pada sistem. Namun, jika kesalahan ada pada
yang diatur, itu berarti hanya ada satu kata kunci jawaban, tamak!
73
73
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “aparatur negara” –bukan
pejabat negara-- dibedakan menjadi dua macam, yaitu : Pegawai Negara dan
Pegawai Negeri. Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, siapa Pegawai Negara? dan
siapa pula Pegawai Negeri?
Pegawai Negara terdiri dari dua angkatan, yaitu :
1. Angkatan pertama adalah mereka yang pada 27 Desember 1949 telah
berada dalam struktur birokrasi;
2. Angkatan kedua yaitu mereka yang mendapat tugas dari negara
/pemerintah membuka “lembaga baru” yang disiapkan oleh negara.
Dari sini muncul sebuah pertanyaan mendasar, setelah membuka lembaga
baru, apa yang dikerjakan? Pembaca yang budiman, setelah membuka lembaga maka
yang bersangkutan berkewajiban “mengerjakan” lembaga tersebut. Berapa lama?
Bukankah –misal-- perang kemerdekaan saja ada masanya? Jadi, untuk membuka
“lembaga baru” -pun harus ada “batas masa” –nya. Kapan dikatakan sebagai “masa
membuka” dan kapan dikatakan sebagai “masa mengerjakan”.
Menurut penulis, ada patokan yang dapat dipergunakan sebagai dasar
perhitungan, yaitu :
1. Wajib Belajar 6 Tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden Suharto
pada 2 Mei 1984;
2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang juga telah ditetapkan
oleh Presiden Suharto sepuluh tahun kemudian, 2 Mei 1994.
Dalam hal ini, mungkin pembaca bertanya, apa hubungan antara “lembaga
baru” dengan wajib belajar? Pembaca, jika makna tersurat yang dibaca maka wajib
belajar memang hanya akan berlaku pada bidang pendidikan. Padahal, lahan
kehidupan bukan hanya ada pada pendidikan. Namun, jika makna tersirat dapat kita
tangkap maka cakupan wajib belajar tersebut sangat luas.
74
74
Misalnya, wajib belajar kesehatan, wajib belajar hukum, dan sebagainya, yang
kesemuanya akan berujung pada “pembukaan lembaga baru”, misalnya:
a. Pada bidang kesehatan berupa pembukaan Puskesmas baru;
b. Pada bidang militer berupa pembukaan Koramil baru;
c. Pada bidang pendidikan berupa universita /fakultas /sekolah baru;
d. dan lain-lain.
Dengan demikian, maka “periode” untuk membuka lahan baru dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu :
1. Periode pertama, dimulai pada 27 Desember 1949 dan diakhiri 2 Mei
1984 (25 tahun);
2. Periode kedua, antara 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 (10 tahun);
3. Periode ketiga, antara 2 Mei 1994 s.d. ….
Dari ketiga periode pembukaan lahan baru, hanya periode kedua yang telah
memilki batasan yang jelas, yaitu Wajib Belajar 6 Tahun. Sedangkan untuk periode
pertama belum ada, begitu pula dengan yang ketiga. Untuk itu, mari, kita hitung!
Jika :
a. Periode kesatu :
27 - 12 - 1949 s.d. 2 - 05 - 1984 = 24 th. 04 bl.05 hari
Wajib Belajar yang ditetapkan p
b. Periode kedua :
02 – 05 - 1984 s.d. 02 – 05 - 1994 = 10 tahun
Waktu yang diperlukan = a + b = 34 th. 04 bl. 05 hari
Wajib Belajar 6 Tahun, 6 tahun dimisalkan q
c. Periode ketiga : 02 – 05 – 1994 s.d. ….
Wajib Belajar 9 Tahun, 9 tahun dimisalkan r
75
75
Maka :
24 th. 04 bl. 05 hari x q = p
34 th. 04 bl. 05 hari
7 x q = p
10
Substitusikan :
7 x 6 = p
10
42 = p
10
4,2 = p 4 th = p (dibulatkan)
Dengan demikian, pada periode pertama “berlaku” Wajib Belajar 4 Tahun --
yang meskipun tidak pernah dikumandangkan oleh Presiden Soekarno. Tidak
dikumandangkannya wajib belajar bukan berarti menafikan kewajiban untuk belajar.
Bukankah, pada dasarnya wajib belajar itu seumur hidup? Jadi, komando wajib
belajar tersebut hanyalah bentuk formal dari sebuah perintah.
Ini berarti “masa membuka lembaga baru” ada tiga periode serta dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Periode kesatu : 27 Desember 1949 s.d. 2 Mei 1984 masa membuka
lembaga baru adalah 4 tahun;
2. Periode kedua : 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 masa membuka lembaga
baru adalah 6 tahun;
3. Periode ketiga : 2 Mei 1994 s.d. … masa membuka lembaga baru adalah
9 tahun. Periode ketiga ini akan berakhir, kelak pada saat pemerintah
mengumandangkan adanya Wajib Belajar 12 Tahun --entah, kapan.
76
76
Dengan berakhirnya “masa membuka” maka yang bersangkutan barulah
memasuki “masa mengerjakan”. Pembaca yang budiman, “Pengabdian selama
masa membuka itulah yang dijadikan tiket untuk mendapatkan status sebagai
Pegawai Negara”.
Bisa jadi muncul pertanyaan, bukankah selama “masa membuka” yang
bersangkutan mendapatkan gaji? Dan, penulis balik bertanya, bukankah selama tanah
garapan belum menghasilkan --dalam konteks serupa-- para transmigran juga
mendapatkan biaya hidup dari negara /pemerintah? Dan, bukankah sesudah itu, lahan
pertanian /tanah garapan tersebut menjadi milik mereka?
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Pegawai Negara angkatan kedua tersebut aterdiri dari tiga gelombang, yaitu :
a. Gelombang pertama, periode 27 Desember 1949 s.d. 2 Mei 1984
Misalnya, pada lembaga x adalah :
1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga x dan mampu bertahan
≥ 4 tahun;
2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga x sebelum lembaga tersebut
genap berusia 4 tahun dan bertahan ≥ 4 tahun.
b. Gelombang kedua, periode 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994
Misalnya, pada lembaga y adalah :
1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga y dan mampu bertahan
≥ 6 tahun;
2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga y sebelum lembaga tersebut
genap berusia 6 tahun dan bertahan ≥ 6 tahun.
c. Gelombang ketiga, periode 2 Mei 1994 s.d. ….
Misalnya, pada lembaga z adalah :
77
77
1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga z pada periode ini dan
mampu bertahan ≥ 9 tahun;
2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga z sebelum lembaga tersebut
berusia 9 tahun dan bertahan ≥ 9 tahun.
Dengan pola seperti terurai di atas maka akan terjaring Pegawai Negara yang
sampai saat ini “keberadaan dan pengertiannya masih tumpang tindih” dengan
Pegawai Negeri. Pegawai Negara inilah sebenarnya gen murni birokrasi (rakyat
birokrasi). Dari sini timbul pertanyaan, apakah ini bukan merupakan perlakuan
diskriminatif terhadap sesama aparat? Pembaca yang budiman, perlu diketahui
bahwa tidak semua Pegawai Negeri bersedia untuk mengemban misi membuka
lembaga baru. Jadi, mirip saat revolusi, tidak semua rakyat bersedia mengangkat
senjata, yang berkolaborasi dengan musuh pun banyak, yang skeptis juga banyak. Hal
ini dikarenakan beberapa faktor.
Pertama, lembaga baru pada umumnya terletak di daerah yang relatif sulit
dan belum terjangkau “kemajuan”. Kedua, lembaga baru masih sarat dengan
kekurangan. Ibarat tumbuhan, mereka adalah lumut yang masih harus
menghancurkan batuan. Ibarat lahan pertanian, mereka masih harus mencetak sawah
baru, menyiapkan pematang, membuat saluran irigasi, mendirikan dangau, dan
sebagainya. Padahal, pada saat yang bersamaan, lembaga baru tersebut juga harus
memberikan pelayanan kepada publik. Dengan kata lain, ke bawah membangun basic
dan ke atas memberikan servis. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak menarik.
Sungguh berbeda dengan lembaga yang sudah memiliki basic, pengelola lembaga ini
hanya tinggal melanjutkan perjuangan pendahulu lembaga tersebut dalam
memberikan pelayanan kepada publik.
Dengan berakhirnya “masa membuka” maka dengan sendirinya lembaga
tersebut memasuki “masa mengerjakan”. Dengan demikian, sebagai contoh,
seandainya si fulan TMT 1 April 1985 mendapat tugas di sebuah lembaga yang
didirikan pada 1 Agustus l984 dan ia bertahan sampai tujuh tahun maka :
78
78
a. 1 April 1985 s.d. 30 Maret 1991 adalah “masa membuka” --6 tahun
b. 1 April 1991 s.d. 30 Maret 1992 adalah “masa mengerjakan” --1tahun
Sekali lagi, “masa membuka” itulah tiket untuk mendapatkan kursi sebagai
Pegawai Negara. Dan, menjadi Pegawai Negara berarti pemilik lahan “infra struktur”
di dalam negara. Urusan di lembaga mana, bidang apa, di mana, semua itu tergantung
pada profesionalis masing-masing. Sebab, bisa saja mereka ada pada dunia militer,
dan bisa juga ada di dunia sipil. Mereka adalah sel dari sebuah tangan negara.
Sedangkan Pegawai Negeri adalah alat dari sebuah tangan negara. Jadi,
Pegawai Negara merupakan bagian dalam dari struktur negara itu sendiri. Sedangkan
Pegawai Negeri merupakan alat negara (bagian luar struktur negara). Dari itu, status
kepegawaian di antara keduanya selayaknya berbeda, yang pertama lebih tinggi dari
yang kedua, oleh karena itu hak merekapun berbeda.
Perhatikan dengan apa yang telah mereka lakukan –setiap kegiatan bernilai 1 :
No. Kegiatan Pegawai Negara Pegawai Negeri Rasio
1.
2.
Membuka lahan
Mengerjakan lahan
1
1
0
1
1 : 0
1 : 1
Jumlah 2 1 2 : 1
Tabel 13
Dari tabel di atas terlihat bahwa pegawai negara mengerjakan dua poin
kegiatan sedangkan pegawai negeri melakukan satu poin kegiatan., atau dengan kata
lain rasio di antara mereka adalah 2 : 1. Ironisnya, hak yang mereka terima sama.
Perhatikan penerimaan mereka dalam hitungan kasar :
No. Penerimaan Pegawai Negara Pegawai Negeri Rasio
1. Gaji pokok ditambah
tunjangan*
1 1 1 : 1
Jumlah 1 1 1 :1
* sesuai dengan peraturan pemerintah
Tabel 14
79
79
Dengan membandingkan dua buah tabel di atas terlihat dengan jelas bahwa
perlakuan tersebut sangat tidak adil sebab memberikan nilai yang sama terhadap
mereka yang dua kali kerja dengan yang satu kali kerja. Bukankah seharusnya, kerja
dua kali akan mendapat imbalan dua kali juga?
Oleh karena itu, MPR harus meluruskan. MPR harus mengembalikan hak
pegawai negara. Urusan kewenangan ini dilimpahkan kepada institusi yang berada di
bawahnya , itu masalah lain dan wajar. MPR tidak mungkin untuk mengurus hal kecil
semacam itu. Menurut penulis, sebagai solusi, tidak ada cara selain dari harus
memberikan pemasukan lain kepada mereka agar perbandingan dapat seimbang, 2 :1.
Pemasukan lain yang penulis maksud bukan pemasukan berupa kenaikan gaji
pokok atau pemberian tunjangan tambahan, sebab jika hal itu ditempuh maka akan
menimbulkan kerancuan dalam sistem penggajian pegawai. Seyogyanya, kepada
pegawai negara diberikan pokok gaji. Dengan demikian penerimaan pegawai akan
terlihat sebagai berikut :
No Penerimaan Pegawai Negara Pegawai Negeri Rasio
1.
2.
Pokok gaji
Gaji pokok ditambah
tunjangan*
1
1
0
1
1 : 0
1 : 1
Jumlah 2 1 2 : 1
*sesuai dengan peraturan pemerintahTabel 15
Pokok gaji dan NIP /NRP dari pegawai negara inilah kelak yang akan
diwariskan kepada keturunan mereka. NIP /NRP sebagai bukti kepemilikan mereka
atas lahan kehidupan di lahan 1 (di dalam birokrasi) , sedangkan pokok gaji ini dapat
dipandang sebagai jasa atas saham kepemilikan mereka di lahan 1.
Dengan begitu, kelak :
1. Jika keturunan Pegawai Negara akan masuk ke dalam struktur, tidak ada
yang dapat menghambatnya, sepanjang orangtuanya telah mengundurkan
diri –seperti anak petani mengerjakan sawah orangtuanya.
80
80
Dan, ini tergantung pada keahlian keturunan Pegawai Negara tersebut.
Disitulah akan terbukti kebenaran bahwa pahlawan berjuang sampai tetes
darah yang terakhir.
2. Jika ada keturunan pendiri “lahan kehidupan” yang karena satu dan lain
hal tidak dapat mencari nafkah, maka yang bersangkutan masih dapat
membiayai hidupnya dengan warisan leluhurnya. Dengan demikian,
kehormatan dia dan kehormatan leluhurnya dapat terjaga. Nah, disitulah
bukti nyata dari ucapan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat
menghargai jasa pahlawannya”
Pembaca yang budiman, oleh karena ada dua angkatan Pegawai Negara
dengan dua medan juang yang berbeda bobot perjuangannya –yang pertama
mengangkat senjata menghalau penjajah, yang kedua mengangkat kapur tulis
menghalau kebodohan /mengangkat jarum suntik menghalau penyakit /mengangkat
palu menghalau ketidak-adilan, dsb. --maka adalah wajar jika penghargaan yang
mereka terima pun berbeda. Saham generasi pertama lebih tinggi daripada generasi
kedua, di sana ada darah dipertaruhkan. Konsekuensi dari perbedaan besar saham
mereka adalah adanya perbedaan besar pokok gaji mereka.
Dengan melihat pokok gaji seorang Pegawai Negara, maka akan terlihat
seberapa besar “saham” yang telah ditanamkan leluhurnya. Yang jelas, sebagai
pemilik lahan, Pegawai Negara itulah yang berhak untuk menentukan siapa yang
layak untuk duduk pada sebuah jabatan struktural. Peluang ini, tentu saja akan
terbuka lebar bagi yang memiliki “saham” besar. Dalam sebuah “perusahaan” hal
semacam itu wajar terjadi. Namun dalam hal “negara” maka manjadi tidak wajar. Di
situlah perlunya dewan penasihat. Oleh karena itu, jika memungkinkan, hendaknya
dewan ini benar-benar terisi oleh para profesional.
Pola ini akan menggiring Pegawai Negara untuk “tahu diri”. Ada tanggung
jawab moral untuk menjaga nama baik leluhur. Sebagai pemilik lahan, mereka akan
dituntut untuk mengoptimalkan mutu perjuangan yang telah dirintis oleh leluhurnya.
Kemunduran mereka tak ubahnya mencoreng nama baik leluhurnya sendiri.
81
81
Bagi Pegawai Negeri, modal mereka hanya berupa keahlian, sementara
keahlian semacam itu, di luar struktur birokrasi, luar biasa banyaknya. Mereka tidak
pernah menanamkan sahamnya. Oleh karena itu, jangan macam-macam, jangan
nakal-nakal dalam bekerja, tahu dirilah!!
Dari sini muncul pertanyaan, siapa Pegawai Negara dan siapa Pegawai Negeri
itu? Pegawai Negara dapat berada di jalur sipil dan dapat juga berada di jalur militer.
Selanjutnya, untuk memudahkan pembahasan, mereka yang berada di jalur sipil
disebut Aparatur Negara Sipil (ANS), sedangkan yang berada di jalur militer disebut
Aparatur Negara Militer (ANM).
Sedangkan Pegawai Negeri pun ada dua macam, yang satu berada pada jalur
sipil, untuk selanjutnya disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satunya lagi berada di
jalur militer dan untuk selanjutnya disebut Pegawai Negeri Militer (PNM).
ANS dan PNS dapat tersebar di seluruh perangkat birokrasi sipil di negara ini,
dari level terendah sampai tertinggi. Sedangkan ANM maupun PNM bisa berada pada
ketentaraan maupun kepolisian. Jadi, perbedaan antara pegawai negara dengan
pegawai negeri hanya status ke-”pegawaian”-nya. Oleh karena beda status, maka
akan berbeda pula haknya dan kewajibannya.
Pegawai Negara (ANS dan ANM) angkatan pertama telah purna tugas,
angkatan kedua pun mulai menyusul. Satu persatu, mereka mundur dari medan juang
karena faktor usia. Masalahnya, siapakah ahli waris dari Pegawai Negara? Mereka
adalah semua anak /keturunan yang sah dengan jumlah yang sesuai dengan peraturan
kala itu. Dengan demikian, ada dua kelompok besar, yaitu :
Pertama, mereka yang belum terkena peraturan 2 (dua) orang anak.
Kedua, mereka yang sudah terkena peraturan 2 (dua) orang anak.
Maka dari itu, pada segmen pertama masa transisi, F1 /F11 /Fn dari pegawai
negara tersebut harus dicari dan didata. Pada segmen kedua, mereka akan dilatih dan
dibimbing dengan intensif. Merekalah pewaris sah dari lahan kehidupan yang telah
dibangun orangtua mereka. Dalam hal ini, kedudukan Pegawai Negeri (baik PNS
maupun PNM) sebagai wali --“anak” yang belum cukup umur.
82
82
Sedangkan pada segmen ketiga, mereka mulai magang, dan untuk selanjutnya
menerima “lahan kehidupan” warisan pendahulunya. Kalaupun mereka canggung di
awal-awal masa pasca transisi itu adalah hal yang wajar, mereka terlalu lama terlunta-
lunta di “luar sana”. Adalah menjadi tugas kita semua –khususnya para
wali--“membimbing” mereka. Dengan masa magang yang cukup, penulis rasa,
mereka siap untuk masuk dalam barisan dan mampu menyesuaikan langkah dengan
barisan yang telah ada.
Pertanyaannya, di mana posisi Pegawai Negeri saat pasca transisi? Pembaca
yang budiman, dengan jiwa ksatria, seandainya mereka berada pada jabatan
struktural, maka tidak ada kata lain selain mundur. Kursi yang mereka duduki
ternyata milik orang lain. Kecuali, jika keahliannya masih diperlukan karena sangat
spesifik.
Dari sini terlihat betapa sangat pentingnya memberi kesempatan tumbuh
kepada birokrasi, baik secara infra struktur (aparatur) maupun secara struktur
(kelembagaan) pun juga terlihat betapa tingginya negara memberikan penghormatan
kepada para pendahulunya yang telah merintis lahan kehidupan. Jadi, tidak sekedar
ucapan “Terima kasih, Pahlawan”.
Oleh karena itu, model pemangkasan “sesuka hati” hendaknya ditinggalkan,
semua harus mengikuti pola bilangan satu, sepuluh, seratus, dst. Dengan demikian,
mereka yang layak untuk dinaikkan akan menduduki jabatan fungsional baru --yang
belum pernah ada sebelumnya, baik pada masa transisi maupun pada masa pra
transisi (sampai tulisan ini selesai ditulis, 6 Desember 2002). Sedangkan bagi mereka
yang dipandang kurang layak, … mundur.
Nasib yang menimpa “aa” (Pegawai Negara) yang juga menimpa “bb”
sebagai bagian kelompok II yang lemah, kelak juga harus diatasi. Mereka sebagai
pemilik lahan kehidupan --lahan dalam arti sesungguhnya-- tergusur oleh
pembangunan. Jika ketergusuran mereka dapat dibuktikan, dalam arti mereka tidak
menerima ganti rugi yang memadai –kala itu-- maka selayaknya sebuah kompensasi
yang saling menguntungkan antara negara dengan rakyatnya diperlukan.
83
83
Menurut penulis, solusi terbaik untuk mengatasi masalah “bb” yang tergusur
dan tergeser dari lahan kehidupannya adalah keikutsertaan dalam kepemilikan. Ini
berarti, sekian persen dari nilai “bangunan” yang berdiri di atas lahan yang tergusur
tersebut adalah saham mereka. Mengingat “bangunan” tersebut juga menghasilkan
(produktif) maka sudah sewajarnya jika sekian persen dari laba usaha tersebut juga
dialirkan kepada mereka.
Dengan pola seperti itu, mereka akan ikut merasa memiliki. Rasa itu sangat
penting untuk ditumbuhkan dalam hati masyarakat dalam rangka menjaga aset
negara. Tanpa adanya rasa tersebut akan menjadi bertambah berat tugas komponen
keamanan negara ini, khususnya. Pembaca dapat melihat sendiri perusakan yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab terhadap aset kepentingan
umum. Kalau sudah begini, siapa yang rugi?
Sejalan dengan itu, pada gilirannya nanti, Badan Pertanahan hendaknya
menertibkan administrasi tanah. Masalah yang sangat rawan ini harus dituntaskan.
Jangan sampai --misalnya-- karena intimidasi dari sekelompok lidah api akhirnya
merugikan orang lain yang dalam posisi lemah. Badan pertanahan hendaknya mampu
memproyeksikan, daerah mana yang ditetapkan sebagai daerah pemukiman, daerah
untuk fasilitas umum, daerah resapan, lahan hijau, hutan, berapa luas maksimal hak
kepemilikan tanah pemukiman, dan sebagainya.
Pola di atas akan menggiring terwujudnya sebuah lahan kehidupan bagi
seseorang. Dengan demikian, sungguh tidak pada tempatnya jika ada penganggur di
negara ini sementara di sisi lain ada yang kekurangan waktu untuk melaksanakan
kewajibannya, karena yang bersangkutan memang mempunyai banyak pekerjaan. Di
samping itu, pola di atas juga akan menggiring untuk dapatnya seseorang memiliki
tempat tinggal tetap yang layak. Bukankah tidak pada tempatnya, di negara yang luas
ini ada warganya yang tercecer di jalanan? Sementara di sisi lain, ada pemilik tanah
yang luasnya sampai …. Yang tidak sempat mengurus tanahnya, dan hanya sekedar
untuk menumpuk kekayaan. Bukankah penetrasi penguasaan tanah itu pada
hakekatnya juga merampas hak orang lain?
84
84
3.2 Noto Uang (10) 92
Selain semua paparan di atas, uang juga dapat dipergunakan untuk membeli
uang, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jika tujuannya untuk
memudahkan saat transaksi dengan pihak asing maka yang dibeli adalah mata uang
asing. Tujuan mulia ini juga telah dipelintir oleh mereka yang sama sekali tidak
pernah sekalipun berhubungan dengan pihak asing, namun sangat berkepentingan
dengan mata uang mereka, sebab dengan uang tersebut mereka dapat memperoleh
keuntungan dalam bentuk uang pula. Ironis memang, melacurkan uang sendiri.
Pembelian uang secara tidak langsung inilah yang lebih banyak menyedot
pelaku. Lihat saja, dengan iming-iming bunga tinggi, hadiah besar, dan berbagai
kemudahan, orang pun berbondong-bondong “membeli uang dengan uang”. Mereka
akan “membelanjakan” uang mereka untuk jangka waktu tertentu di bank-bank
konvensional, sebulan, triwulan, setahun, atau lebih dari itu. Dan, pada saat yang
telah disepakati bersama, mereka akan mengambil kembali uang yang telah mereka
“belanjakan” dan sudah barang tentu lengkap dengan anak cucu uang tersebut.
Praktek ribawi, jelas tidak senafas dengan Islam. Dalam hal ini, patut
disyukuri bank-bank syariah telah tumbuh dan mulai berkembang. Alangkah baiknya,
seandainya bank-bank pemerintah memberlakukan sistem ini kepada nasabahnya
yang Muslim. Dengan demikian tidak ada lagi keraguan. Dengan kata lain, satu bank
dengan dua pintu. Mereka yang Muslim biarlah hidup dengan cara muslimnya.
Sedangkan bagi mereka yang non muslim biarlah hidup dengan cara mereka.
Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Oleh karena itu, sangatlah terpuji jika pihak
bank tidak memanfaatkan ketidakberdayaan si Muslim untuk memetik keuntungan
sendiri. Dengan pola seperti itu, maka bank sudah andil dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Mengingat sudah sedemikian pesatnya fugsi uang dalam kehidupan sehari-
hari, maka tak pelak lagi uang seakan-akan menjadi darah kehidupan, darah ekonomi
rakyat. Oleh karena itu, memposisikan Bank Indonesia --sebagai bank sentral
85
85
dengan tugas untuk mengkoordinir, membimbing, dan mengawasi seluruh dunia
erbankan Indonesia, baik bank-bank pemerintah serta swasta nasional dan maupun
bank-bank asing (Undang-Undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967)-- di bawah
payung eksekutif dan legislatif sangatlah berbahaya, sebab dapat saja dimanfaatkan
oleh komunitas tertentu untuk kepentingan sesaat dan itu sangat berbahaya.
Oleh karena itu, harus ada lembaga keuangan nasional, yang untuk
selanjutnya penulis beri nama Badan Keuangan Republik Indonesia, dan berdiri
sebagai institusi tersendiri dan langsung berada di bawah payung MPR. Jadi,
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia pada saat start awal pasca transisi
bernaung di bawah lembaga tersebut. Tidak lagi bernaung di bawah presiden.
Maka dari itu, pada Badan Keuangan Republik Indonesia akan ada jabatan
baru, di atas Kepala Departemen Keuangan Republik Indonesia (sebutan baru untuk
mengganti Menteri Keuangan Republik Indonesia) dan Gubernur Bank Indonesia,
yaitu Presiden Bank Republik Indonesia. Pejabat yang mempertanggungjawabkan
uang negara kepada majelis tertinggi negara (MPR).
Dari semua paparan di atas, terlihat dengan jelas bahwa uang telah hampir
menguasai kehidupan dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bisa menjadi senjata
ampuh untuk menaklukan bangsa lain, tanpa harus mengangkat senjata. Uang dapat
membuat jatuh bangunnya sebuah regim, seorang penguasa, ataupun seorang pejabat
publik. Uang juga dapat menentukan posisi negara dalam tataran internasional.
Kehebatan uang dalam hal ini dapat dilihat pada perbandingan mata uang setiap
negara yang setiap hari dimuat pada berbagai media, baik media cetak maupun media
elektronik..
Kurs Tansaksi Bank Indonesia* :
Mata uang Beli Jual
US $
Pound
Aust $
9.022,00
14.329,64
5.055,93
9.112,00
14.477,15
5.110,92
86
86
Sin $
MYR
HK $
Yen
Euro
5.117,70
2.373,90
1.156,71
75,3403
9.120,34
5.171,69
2.398,21
1.168,29
76,1109
9.218,61
* Sumber : Kompas, 14 November 2002
Tabel 16
Dari kurs mata uang di atas terlihat betapa hebatnya mata uang AS, ba-
yangkan, 1$ mampu menghadang Rp 9.112,00; 1 poundsterling mampu menjinakkan
Rp 14.477,15; dan seterusnya. Padahal, antara dolar, poundsterling, rupiah, dan lain-
lain tersebut berstatus sama, mata uang tertinggi suatu negara --yang padanya
melekat kehormatan negara pemiliknya. Dunia bahasa Indonesia mengajarkan bahwa
duduk sama rendah, berdiri sama tingi. Namun dalam hal uang, sunguh jauh
panggang dari api. Pertanyaannya, adakah yang salah dalam materi pelajaran Bahasa
Indonesia tersebut?
Dalam hal ini, bisa jadi, para pakar berargumen dengan sederet alasan yang
sangat --dan sekali lagi sangat-- masuk akal. Semua argumen tersebut akan bermuara
pada satu jawaban yang mendasar. Kita kalah dalam kekuasaan, bangsa ini tak
berdaya, negara ini tak berkutik dalam menghadapi uang mereka. Dengan kata lain,
Rupiah lemah. Ia menjadi “makhluk” yang tak berdaya.
Jangankan dengan mata uang asing, dengan produk domistik pun, ia takluk
menyerah. Rupiah tak berdaya mempertahankan kehormatannya. “Ia” terpuruk
dipermainkan keadaan. Padahal, sejak proklamasi, sudah berapa kali rupiah
didevaluasi?
“ …, maka Indonesia telah mengalami tujuh kali tindakan moneter drastis yaitu tiga kali
dalam masa Orde Lama dan ditambah masa Liberal dan empat kali di masa Orde Baru”
(Setijawan , 1987 : 44)
87
87
Pertanyaannya, mengapa ekonom selalu gagal menciptakan rupiah yang
stabil? Bukankah dengan devaluasi dimaksudkan untuk memperkuat rupiah atau
paling tidak untuk meningkatkan daya saingnya? Atau, hal lain yang masih senafas
dengan upaya peningkatan stabilitas ekonomi rakyat? Mengapa selalu gagal?
Kegagalan tersebut, menurut penulis, bukan karena kurang piawainya para
ekonom penyelenggara negara, namun ada sebab lain di luar otoritas mereka. Mereka
telah melanglang buana untuk menimba ilmu untuk diterapkan di negara tercinta,
demi kemakmuran rakyat tentunya. Untuk itu harus dituntaskan duduk
permasalahannya dengan cara merunut ke belakang agar kesalahan tidak terlalu
ditimpakan kepada tim ekonomi..
Sebagi contoh, perhatikan :
1. Gunting Syafrudin Prawiranegara, dari Rp 10.000,00 diturunkan menjadi
Rp 100,00 dengan koefisien Rp 1, 00 = 100 sen
2. Kabinet Dwikora, dari Rp 1.000,00 diturunkan menjadi Rp 1, 00 dengan
koefisien Rp 1, 00 = 100 sen
Dalam konteks lambang bilangan, akan terlihat sebagai berikut :
No. Devaluasi Dilepas rakyat Diterima rakyat Rasio
1.
2.
Syafrudin
Prawiranegara
Kabinet Dwikora
10 000
1 000
100 x 100 = 10 000
1 x 100 = 100
1 : 1
10 : 1
* Koefisien Rp 1, 00 = 100 sen
Tabel 17
Dalam konteks bilangan, kita misalkan:
satu = a
88
88
sepuluh = b
seratus = c
seribu = d
Maka dalam konteks bilangan akan terlihat sebagai berikut :
No. Devaluasi Dilepas rakyat Diterima rakyat Rasio
1.
2.
Syafrudin
Prawironegoro
Kabinet Dwikora
bd = b. bc
= bb. c
= c.c
= cc
d = bc
c.c = cc
ac
1 : 1
10 : 1
Tabel 18
Dari dua buah tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dipandang dari sudut ekonomi, gunting Syafrudin Prawironegara sangat
tepat, impas. Namun, dari sudut matematika sangatlah bertolak belakang.
Mengapa persoalan basis seribu (103) harus diselesaikan dengan
menggunakan basis seratus (102)? Bukankah, seharusnya persoalan basis
seribu (103) juga diselesaikan sendiri oleh basis seribu (103)?
2. Devaluasi yang dilakukan oleh Kabinet Dwikora, jika dipandang dari segi
matematika sangat tepat sebab persoalan basis seribu (103) diselesaikan
oleh basis seribu (103). Namun, jika masalah ini dipandang dari segi
ekonomi sangat merugikan rakyat.
Dengan segala keterbatasan ilmu yang penulis miliki, semua itu disebab kan
oleh karena kita menggunakan sistem bilangan yang sama –seperti yang mereka
gunakan-- namun menerapkan harga uang yang berbeda. Yang jelas, pengalaman
VOC di Indonesia beberapa abad yang lalu patut dijadikan pelajaran.
89
89
Sistem bilangan yang digunakan VOC sama dengan sistem bilangan yang
berlaku di negeri Belanda, namun nilai uang mereka berbeda, di mana nilai gulden
Belanda lebih tingi dari mata uang yang dikeluarkan oleh VOC. Akhirnya, kongsi
dagang Belanda itu pun bangkrut, mereka gulung tikar. Hanya saja, yang selalu kita
pelajari dalam pelajaran sejarah adalah sebab kebangkrutan VOC antara lain :
peperangan dan pejabat yang korup.
Pengalaman pahit VOC diulang kembali oleh Indonesia saat merdeka.
Bedanya, penguasa saat itu --tanpa ada maksud menafikan keberadaan raja-raja yang
masih berdaulat-- adalah orang Belanda, sedangkan pada saat Indonesia merdeka
para penguasa adalah bangsa sendiri. Hanya saja, ada istilah yang belum muncul saat
itu, krisis multi dimensi. Problem VOC belum sekompleks saat Indonesia merdeka …
Oleh karena itu, ketidakberanian (?) para pakar Matematika di negara ini
menciptakan sistem bilangan sendiri setelah merdeka sekian puluh tahun --dalam
rangka memperkuat rupiah-- untuk menghadang uang mereka tentunya sangat
disayangkan. Masa yang demikian panjang itu, akhirnya terbuang sia-sia. Sungguh
sangat beruntung, hidup tidak selalu menggunakan kalkulasi Matematika. Sebab, jika
Matematika dijadikan tolok ukur, entah apa yang terjadi.
Kembali ke masalah bilangan. Secara hakiki, satu di Amerika Serikat dan
dimanapun juga, termasuk di Indonesia adalah sama. Tetapi Rp 1,00 ≠ 1 $ Sangat
jauh sekali selisih antara keduanya. Oleh karena adanya perbedaan cara pandang
terhadap bilangan setelah masuk ke dalam pusaran uang itulah maka diperlukan
keberanian membongkar sistem bilangan lama dan membangun sistem bilangan
baru, yang tidak merugikan mereka, namun menguntungkan kita sebagai bangsa.
Urusan berani atau tidak itu tanggungjawab kita semua.
Apalah artinya seragam dalam sistem bilangan, jika pada akhirnya uang kita
(baca rupiah) menjadi tak berdaya di hadapan uang mereka, bahkan menjadi santapan
uang mereka belaka. Bukankah –lebih baik--membangun sistem bilangan baru yang
lebih adil? Dari sini pun muncul sebuah pertanyaan, beranikah para pakar –penguasa
langit atas-- Matematika melakukan? Nah, di situlah letak masalahnya!
90
90
Pada bagian terdahulu telah disingung bahwa sebenarnya nilai kualitas seribu
adalah 1 dengan 0 sebanyak empat buah, karena nilai kualitas yang diterima
konsumen (baca : negara Indonesia) sengaja dijatuhkan oleh produsen bilangan --
maaf, lewat tangan para Pakar Matematika-- sehingga menjadi 1 dengan 0 sebanyak
tiga buah, dan ini merupakan sumber petaka krisis keuangan /ekonomi di negara ini
maka hak yang seharusnya diterima negara harus dikembalikan.
Dengan demikian, secara formal –misalnya-- seribu rupiah tetap seribu rupiah,
namun secara materi akan bertambah. Oleh karena itu, pada dasarnya secara formal
keuangan negara tetap, tidak bertambah /tidak berkurang. Sunguhpun demikian,
kekuatan rupiah akan menanjak tajam, bahkan tajam sekali.
Perhatikan peta kekuatan rupiah masa transisi --saat reformasi bilangan!
Nilai (Rp) Rupiah saat ini Rupiah saat transisi Rasio kekuatan
Satu
Sepuluh
Seratus
Seribu
Sejuta
Semiliar
Setriliun
1
10
100
1 000
1 000 000
1 000 000 000
1 000 000 000 000
1
10
100
1 0000
1 0000 0000
1 0000 0000 0000
1 0000 0000 0000 0000
1 : 1
1 : 1
1 : 1
1 : 10
1 : 100
1 : 1 000
1 : 1 0000
Tabel 19
Akan terjadi lompatan kuantitas uang. Hal ini dikarenakan, pada saat negara
melaksanakan kewajibannya maka Bank Indonesia –sebagai bank sentral-- harus
menyiapkan dana sesuai nilai formal uang tersebut. Adanya penambahan kuantitas
uang pada saat negara melaksanakan kewajibannya sudah barang pasti berdampak
pada perekonomian rakyat.
Jika dilihat sekilas, akan terjadi banjir uang. Negara akan banyak –secara
kuantitas-- mengeluarkan uang, namun secara formal --secara kualitas-- uang yang
dikeluarkan negara tetap. Kondisi itu akan lebih baik daripada pemerintah menambah
jumlah peredaran uang dengan meluncurkan program-program pengentasan
kemiskinan.
91
91
Pada yang pertama akan menggairahkan usaha, sedangkan pada yang kedua
akan menggairahkan “tangan tengadah”.
Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan yang mendasar. Sekalipun secara materi
jumlah uang yang beredar sama-sama bertambah, namun dengan mereformasi
bilangan terlebih dahulu, secara formal uang yang beredar tidak bertambah. Namun,
pada program-program pengentasan kemiskinan, secara formal jumlah uang yang
beredar pun bertambah. Dan, bukankah, jika secara formal uang bertambah maka laju
inflasi pun akan meroket? Lihat saja, sebagai contoh, setiap ada kenaikan gaji PNS
/ABRI atau saat ada kenaikan UMR, prosentasenya selalu berada di bawah
prosentase kenaikan harga barang kebutuhan di pasar yang mengikutinya.
Oleh karena itu, kekhawatiran akan adanya gejolak yang biasa ditim-
bulkan oleh para spekulan setiap ada devaluasi rupiah sangat tidak beralasan –sebab
pada dasarnya tidak ada devaluasi rupiah selama masa transisi. Memang, saat itu
akan terjadi banjir uang di setiap lini kehidupan. Oleh karena itu, nanti akan muncul
orang kaya baru. Mereka akan dengan cepat menaikkan strata sosial
kehidupannya.roda kehidupan akan berputar dengan cepat. Perekonomian akan
bangkit, dengan catatan, sekali lagi, asal tidak dikotori oleh tangan-tangan kotor yang
tamak dan rakus. Kejadian serupa, kalau penulis tidak salah –dalam konteks
berbeda-- pernah dialami bangsa Jepang saat revolusi Meiji.
Pembaca yang budiman. Devaluasi rupiah memang harus dilaksanakan,
namun pelaksanaannya kelak pada pasca masa transisi --Dalam hal ini, ada sedikit
hal mendasar yang perlu penulis tambahkan. Perlu diingat bahwa satuan uang kecil di
bawah rupiah adalah sen, kelip, ketip, dan tali.
Di antara empat satuan uang tersebut, dua di antaranya yang menggunakan
bilangan dasar sepuluh adalah sen dan ketip.
Perhatikan :
1 rupiah = 10 ketip
1 rupiah = 100 sen
1 ketip = 10 sen
92
92
Sedangkan kelip dan tali mempunyai korelasi tersendiri, dan sepengetahuan
penulis tidak ada sangkut-pautnya dengan bilangan dasar sepuluh.
Perhatikan :
1 kelip = 5 sen
1 tali = 5 kelip
1 tali = 25 sen
Dengan demikian, satuan uang kecil yang berpeluang untuk hidup adalah sen
dan ketip. Dari itu, muncul pertanyaan, di mana posisi keduanya? Perhatikan :
1. Karena:
1. Dalam konteks basis seribu (103), 1 rupiah = 10 ketip
2. Pengertian seribu berubah dari (103) menjadi (104)
3. 104 = (103) x (10)
Maka : 1 rupiah = 10 ketip x 10 = 100 ketip
2. Karena :
1. Dalam konteks basis seribu (103), 1 ketip = 10 sen
2. Pengertian seribu berubah dari (103) menjadi (104)
3. 104 = 103 x 10
Maka : 1 ketip = 10 sen x 10 = 100 sen
Oleh karena itu, devaluasi /senering saat itu mirip dengan gunting Syafrudin
Prawironegara yang terkenal itu juga mirip dengan devaluasi Kabinet Dwikora.
Setiap Rp 1 0000,00 (seribu rupiah) uang lama diturunkan nilainya menjadi Rp 1,00
(satu rupiah) uang baru dengan angka koefisien 1 0000 (seribu).
Ini berarti :
1. Rp 1 0000, 00 uang lama akan diturunkan menjadi Rp 1, 00 uang baru;
2. Rp 1, 00 uang baru akan senilai dengan 100 ketip;
3. Rp 1, 00 uang baru akan senilai dengan 1 0000 sen
4. 1 ketip senilai dengan 100 sen
93
93
Dari sini terjadilah perubahan pengertian, perhatikan!
Pengertian lama, dalam basis seribu (103) :
1. Ketip n mata uang yang nilainya sama dengan sepersepuluh rupiah
atau sepuluh sen, picis
seketip sepuluh sen, sepicis
2. Kelip n mata uang dari nikel bernilai lima sen
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 411-435)
Pengertian baru, dalam basis seribu (104) :
a. Ketip n mata uang yang nilainya sama dengan seperseratus
rupiah atau seratus sen, picis
seketip seratus sen, sepicis
b. Kelip : ditiadakan 3
Pembaca yang budiman, dengan demikian, baik dipandang dari sudut
ekonomi maupun dipandang dari sudut Matematika, devaluasi kali ini benar. Ada tiga
buah keuntungan mendasar dalam devaluasi pada akhir masa transisi, yaitu :
Pertama, rakyat tidak dirugikan. Devaluasi akan sangat tidak bermakna kala
rakyat sebagai pengguna (konsumen) uang menderita kerugian, terlebih jika kerugian
tersebut mencapai prosentase yang tinggi.
Kedua, rupiah menjadi mampu bersaing dengan mata uang asing sehingga
membuat mata uang republik ini tidak “diremehkan”. Lebih-lebih dengan adanya dua
mata uang kecil di bawah rupiah, maka dengan sendirinya posisi rupiah akan
terangkat. “Ia” memiliki dua lapis fondasi. Menurut penulis, itu sudah cukup
membuat rupiah kokoh dalam menghadapi dunia.
3. kalaupun negara mengeluarkan uang lima sen-an, maka tetap dibaca lima sen.
Dengan demikian, tidak perlu memunculkan satuan “uang” lagi, agar tidak rancu
94
94
Ketiga, antara satuan bilangan dengan uang terdapat hubungan –karena
masing-masing menggunakan basis bilangan yang sama, dan ini sangat penting.
Kembali ke masalah uang.
Setelah uang keluar dari kas negara –karena negara melakukan kewajibannya-
maka uang akan jatuh ke tangan masyarakat, dan menjadi hak mereka. Secara hakiki,
kekayaan yang dimiliki masyarakat adalah lambang bilangannya /jumlah nominal
uang, bukan pada bilangannya. Dari sini terlihat adanya dominasi atas dan dominasi
bawah, dan juga terlihat daerah kekuasaannya. Dominasi atas (baca : negara)
menguasai bilangan yang tertera pada uang sedangkan dominasi bawah (baca :
rakyat) menguasai lambang bilangan yang tertera pada uang tersebut. Dengan
demikian, keduanya mendapatkan daerah “kekuasaan”. Adil, bukan?
Dominasi ini akan tetap dipertahankan dan akan dilanjutkan pada saat revolusi
bilangan benar-benar terlaksana, sebab sistem bilangan di Indonesia telah baku. Pada
hari H nanti --start awal pasca transisi, semua satuan bilangan yang telah ditidurkan
oleh para pakar –laksa dan keti-- serta satuan bilangan yang telah dipaksa tidur oleh
seorang guru –miliar-- akan dibangunkan oleh MPR untuk berbakti bersama-sama
pada Pertiwi.
Pada hari itu, kekayaan yang dimiliki negara ada pada bilangan uang
sedangkan kekayaan yang dimiliki rakyat ada pada lambang bilangan uang– yang
keduanya tertera pada uang yang sama. Nah, pada hari H + 7 --misalnya--
devaluasi /senering rupiah seperti terurai di atas dilaksanakan.
3. 3 Noto Pendidikan (10)108
Tanpa turun tangannya bidang pendidikan, sebagus apapun manfaat sebuah
ilmu (baca : sistem) tidak akan dapat berjalan, ilmu hanya akan sebagai ilmu, sebab
pada pundak para pendidiklah ilmu tersebut dapat dibumikan kepada tunas-tunas
bangsa. Oleh sebab itu, pada bidang pendidikan ada tiga komponen pokok yang
saling berkait dan berkelindan yaitu pendidik, peserta didik, dan ilmu.
95
95
Perlu diingat dalam era otonomi daerah, bidang pendidikan –selain per-
guruan tinggi-- dialihkan ke daerah. Pengalihan tanggung jawab itu sah-sah saja,
memenuhi tuntutan daerah (?), dan sambil melihat seberapa besar kesungguhan
daerah dalam menangani bidang pendidikan. Namun sebagai bangsa, kita harus
realistis. Apa yang diharapkan dari pendidikan dengan pola semacam itu?
Apakah memang ada faktor kesengajaan untuk menarik mundur ke situasi pra
zaman pergerakan? Mengkotak-kotakkan lagi daerah?
Kita harus ingat bahwa di bidang pendidikanlah tempat yang paling stategis
untuk menanamkan konsep ke-Indonesia-an. Bahwa mencerdaskan kehidupan
bangsa itu sudah jelas-jelas termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
1945 , dengan itu nyata sekali bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini
adalah untuk mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, membelokkan pengertian dari
negara menjadi daerah –bagi penulis-- sangat sulit untuk dipahami, sungguhpun
daerah merupakan bagian integral dari negara itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya
karakteristik setiap daerah yang berbeda –baik ditinjau dari sosio budaya, geografis,
etnik, maupun “warna” pucuk pimpinan di daerah itu-- dan pendidikan nasional
merupakan wadahnya.
Jangankan pendidikan berada di tangan pemerintah daerah, sekalipun
pendidikan masih berada di tangan pusat jika kacamata yang digunakan pemerintah
pusat berwarna merah maka akan merah pula pendidikan. Jika kacamata yang
digunakan berwarna kuning akan kuning pula pendidikan, demikian pula jika warna
hijau yang dikenakan. Masalahnya, sedemikian mudahkah pendidikan berganti
warna?
Kita dapat melihat perjalanan pendidikan pada masa lalu. Pada saat penguasa
mengenakan kacamata pahlawan, maka semangat heroik sempat mewarnai
pendidikan sampai-sampai muncul mata pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa
(PSPB). Tak berselang lama, saat Pancasila menjadi tolok ukur moral muncul mata
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, bahkan sampai dengan diadakan berbagai
penataran P4, sedemikian rentannya dunia pendidikan menghadaip intervensi dari
96
96
penguasa. Itu baru dalam hal mata pelajaran /kurikulum, belum lagi soal libur
panjang pada pendidikan dasar /menengah, program CBSA, kelas unggulan, sekolah
unggulan, SD Inti /SD Imbas, EBTANAS /UAS, UMPT /SPMB, BP3, Komite
Sekolah dan entah akan ada apa lagi. Oleh karena itu sangat tidak salah jika sampai
ada suara sumbang, ganti Menteri ganti kurikulum, ganti peraturan. Dengan pola
kerja semacam itu --yang sering ganti-- kesan asal jalan, kesan coba-coba, dan kesan
asal comot tidak dapat dihindarkan. “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan /atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”
(Pasal 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989)
Dari situ terlihat bahwa pendidikan dilakukan secara sadar. Jika usaha sadar
tersebut menanamkan konsep ke-Indonesia-an maka peserta didik pun akan
berwawasan Indonesia. Jika konsep barat yang ditanamkan maka peserta didikpun
akan kebarat-baratan, bahkan mungkin lebih barat dari orang barat sendiri. Namun,
jika konsep kedaerahan yang ditonjolkan maka harapan tumbuhnya wawasan
Indonesia akan semakin jauh. Kita harus ingat bahwa dengan mengedepankan konsep
ke-Indonesia-an saja masih sering terjadi konflik horisontal lantas apa gerangan yang
akan terjadi sekian puluh tahun lagi jika konsep kedaerahan terus dipertahankan.
Dalam hal ini, penulis tidak memandang sepi peran pemerintah daerah dalam
pendidikan. Jika dipandang dari segi materi yang telah diberikan dapat dipandang
cukup, hanya saja pemerataannya yang kurang. Namun pendidikan bukan hanya
bersifat materi yang dapat diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik, fasilitas,
kesejahteraan pendidik, dan sebagainya, masih ada aspek lain yang tidak kalah
pentingnya yaitu aspek imateri yang dalam hal ini berupa kurikulum, kompetensi
pendidik, profesionalisme pendidik yang pada akhinya akan sangat mempengaruhi
mutu pendidikan itu sendiri, dan kesamaan visi dalam membangun Indonesia yang
satu. Dalam hal materi, pemerintah daerah dapat dipastikan mampu(?), namun dalam
hal imateri?
97
97
Terputusnya herarki pendidikan dari pusat di level atas dengan sekolah di
level bawah --bagi penulis-- sangat memprihatinkan. Adanya celah antar institusi
pendidikan tersebut dapat dipandang sebagai bukti akan rentannya dunia pendidikan
terhadap intervensi politik (?).
Bandingkan saja pada masa pra otonomi, meskipun tidak secara keseluruhan,
terpecah secara vertikal --pada tingkat provinsi ada Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan Nasional dan ada Dinas Pendidikan Provinsi, pada tingkat kabupaten
/kodia ada Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten /Kodia dan ada Dinas
Pendidikan Kabupaten /Kodia, di tingkat kecamatan ada Kantor Departemen
Pendidikan nasional Kecamatan dan ada Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan.
Pembaca dapat saja berargumen bahwa bidang garapan kedua instansi
pendidikan tersebut berbeda. Namun, hendaknya juga ingat bahwa “payung” mereka
juga berbeda, yang satu bernaung di bawah Menteri Pendidikan Nasional sedang
yang lainnya di bawah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Yang jelas, adanya
dualisme tersebut merupakan pertanda ketidaksehatan sebuah organisasi. Sesekali
beriring sejalan, sesekali bertolak belakang, membuat bingung lapisan bawah.
Sedangkan pada era otonomi keadaannya lebih parah lagi, pendidikan dapat
dikatakan seatap di bawah, namun terpotong-potong di atas. Dari dua model tersebut
muaranya sama, pendidikan terkoyak.
Memang, pada setiap model seperti yang tertera di atas ada pihak yang
diuntungkan, dan pihak ini akan terus berusaha mempertahankan pola yang
dianutnya. Dan, yang berposisi sebagai obyek penderita adalah sama, yaitu: dunia
pendidikan secara keseluruhan, atau paling tidak Guru.
Dari situ dapat dimengerti, jika pada akhirnya output pendidikan pun juga
mudah terkoyak sebab mereka memang sudah membawa virus terkoyak selama
dalam pendidikan. Sungguhpun demikian, bukan berarti pendidikan akan lebih baik
jika pola sentralisasi kembali diterapkan sehingga dunia pendidikan akan membentuk
sebuah kurva lurus.
98
98
Padahal, dari banyak macam warna4 yang tersedia dapat dipastikan hanya ada
satu yang benar-benar berkenan di hati peserta didik. Sebuah pilihan yang benar-
benar berasal dari lubuk hatinya. Jika “warna” tersebut cocok dengan “warna”
penguasa maka tidak akan menimbulkan masalah, namun jika berbeda --apalagi
kalau sampai berseberangan-- lagi-lagi output pendidikan yang akan menjadi korban.
Oleh karena itu, pada masa pasca transisi, pendidikan harus dilepaskan dari
jeratan “warna” –politik pemerintah. Lepas dari jeratan politik berarti keluar dari
bayang-bayang pemerintah. Artinya, pendidikan harus merupakan institusi tersendiri
yang mandiri, sebuah badan --Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI).
Dengan kata lain, badan ini setara dengan lembaga tinggi negara yang
lain. BPNI hanya menangani satu bidang garapan negara, yaitu mengurus
masalah pendidikan seperti yang diamanatkan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.
Badan Pendidikan Nasional Indonesia
BPNI merupakan wadah pendidikan di tingkat nasional. Disinilah sebenarnya
puncak organisasi satuan pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah badan pendidikan,
maka tugasnya adalah mengurus masalah pendidikan nasional dengan segala
aspeknya. BPNI inilah yang menghadapi “dunia luar” pendidikan di dalam MPR.
Badan ini di bawah pimpinan guru (bukan sipil lain) dengan jabatan struktural guru
tertinggi di Indonesia, yaitu Guru Pendidikan Nasional.
Dibawah BPNI ini terdapat tiga buah lembaga, yaitu : Pertama, sepuluh buah
Satuan Lembaga Pendidikan (SLP) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Guru
Pendidikan Tinggi Strata 3 Bagian --misalnya : Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian
Sumatera, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Jawa, Guru Pendidikan Tinggi S3
Bagian Kalimantan, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Sulawesi, dsb. Kedua, adalah4 lihat Noto Agama
99
99
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dibawah pimpinan Kepala
Departemen Pendidikan Nasional (bukan Menteri Pendidikan Nasional), dan ketiga
adalah sebuah Lembaga Pendidikan Nasional (Lemdiknas) dibawah pimpinan
Gubernur Pendidikan Nasional.
Satuan Lembaga Pendidikan
Satuan Lembaga Pendidikan (SLP) adalah satuan organik pendidikan. Sebagai
sebuah satuan organik akan terlihat perputaran sesungguhnya dari roda kehidupan
pendidikan. Hal ini dikarenakan, pada setiap satuan pendidikan terdapat kewenangan
untuk mengurus masalah teknis edukatif dan edukatif sesuai lingkupnya. Di dalam
struktur organisasinya terdapat :
a. Guru --dengan status Aparatur Negara Sipil (ANS);
b. Pegawai Guru -- dengan spesialisasi sebagai guru, dengan status tertinggi
Pegawai Negeri Sipil (PNS);
c. Pegawai Pendidikan --dengan status Aparatur Negara Sipil (ANS)
yang mengurus masalah non teknis, misalnya : laboran, pustakawan, tata
usaha, penjaga, dan sebagainya.;
d. Pegawai Sipil Pendidikan --dengan status tertinggi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang juga mengurus masalah non teknis.
Pada SLP inilah sebenarnya terletak otonomi pendidikan. Oleh karena itu,
penjenjangan Satuan Lembaga Pendidikan dengan Pendidikan Nasional Indonesia
sebagai satuan pendidikan utama (satuan puncak) akan terlihat sebagai berikut :
No Jenjang
Pendidikan
Jenjang Satuan Pendidikan Nomor
Satuan
Satuan
Pendidikan
100
100
1. Pendidikan
dasar
Pendidikan dasar 1 SD
Pendidikan dasar atas 2 SLTP
2. Pendidikan
menengah
Pendidikan menengah dasar 3 SLTA
Pendidikan menengah atas 4 Diploma 1
5 Diploma 2
6 Diploma 3
7 Diploma 4
3..
.
Pendidikan
tinggi
Pendidikan tinggi dasar 8 Strata 1
Pendidikan tinggi menengah 9 Strata 2
Pendidikan tinggi atas 10 Strata 3
Tabel 20
Pola di atas akan menggiring pada penataan teritorial Indonesia5, penataan
penguasa6, dan terbentuknya sebuah piramida besar pendidikan. Hal ini dikarenakan
beberapa sebab:
Pertama, Pendidikan Nasional Indonesia (Universitas bumi Indonesia)
merupakan satuan (10)0 lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian,
idealnya pada “Universitas bumi Indonesia” terdapat 10 buah Pendidikan Tinggi
Strata 3 yang terdapat pada setiap bagian Indonesia.
Setiap Pendidikan Tinggi Strata 3 mewadahi 10 buah Pendidikan Tinggi
Strata 2. Pendidikan Tinggi Strata 2 tersebar di tiap wilayah bagian. Jadi pada setiap
wilayah bagian hanya terdapat sebuah Pendidian Tinggi Strata 2.
5 lihat Noto Nusa ; 6 lihat Noto Penguasa
Setiap Pendidikan Tinggi Strata 2 mewadahi 10 buah Pendidikan Tinggi
Strata 1. Pendidikan Tinggi Strata 1 tersebar pada setiap provinsi. Jadi, pada setiap
provinsi hanya ada sebuah Pendidikan Tinggi Strata 1.
101
101
Setiap Pendidikan Tinggi Strata 1 mewadahi 10 Pendidikan Diploma IV.
Pendidikan Diploma IV terdapat di tiap karesidenan. Dengan demikian, pada tiap
karesidenan hanya ada sebuah pendidikan Diploma IV.
Setiap Pendidikan Diploma IV mewadahi 10 Pendidikan Diploma III.
Pendidikan Diploma III tersebar di tiap kabupaten. Oleh karena itu, pada tiap
kabupaten hanya ada sebuah Pendidikan Diploma III.
Setiap Pendidikan Diploma III mewadahi 10 Pendidikan Diploma II.
Pendidikan Diploma II berada pada setiap kota. Maka dari itu, pada tiap kota akan
terdapat sebuah Pendidikan Diploma II.
Setiap Pendidikan Diploma II mewadahi 10 Pendidikan Diploma l.
Pendidikan Diploma 1 tersebar di setiap kawedanan. Oleh karena itu, pada tiap
kawedanan hanya ada sebuah Pendidikan Diploma I.
Setiap Pendidikan Diploma I mewadahi 10 SLTA. Lembaga pendidikan ini
tersebar di tiap kecamatan. Oleh karena itu, sebuah Sekolah Menengah Umum
(SMU) terdapat di tiap kecamatan, sedangkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
hendaknya ada pada setiap kawedanan --sesuai kebutuhan daerah setempat. Jadi,
pada galibnya sebuah SMK untuk 100 SLTP.
Setiap SMU mewadahi 10 SLTP. Lembaga pendidikan ini tersebar di tiap
desa. Dengan demikian, pada tiap desa harus ada sebuah SLTP.
Setiap SLTP mewadahi 10 SD. Setiap SD tersebar di tiap Kelurahan. Dengan
demikian, pada tiap kelurahan hanya ada sebuah SD, dan setiap SD tidak harus
mewadahi 10 buah TK --karena TK belum merupakan jalur pendidikan formal
sungguhpun pada beberapa SD favorit menerapkan persyaratan calon murid Kelas I
adalah “lulusan” TK. Yang penulis maksud dengan mewadahi adalah sebagai
“rayon”, bukan jurusan, bukan pula program.
Dengan pola semacam itu, sepanjang pendidikan masih bersifat “umum” --
dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi-- maka peserta didik yang tamat
dari sebuah sekolah untuk dapat masuk ke lembaga pendidikan yang memayungi
sekolahnya, padanya tidak perlu lagi diberikan tes penerimaan murid baru. Dengan
102
102
demikian, mereka cukup mengikuti ujian akhir. Tes penerimaan murid baru hanya
diberikan, jika peserta didik berasal dari rayon lain.
Kedua, pola tersebut juga menggiring dunia pendidikan menjadi sebuah
piramida besar dengan satu puncak dan piramida besar tersebut adalah Universitas
bumi Indonesia itu sendiri. Piramida-piramida terkecil sebagai penyusunnya adalah
sekolah dasar, sedangkan sekolah dasar sendiri tersusun dari dua macam “batu” mata
pelajaran . Perhatikan :
1. Pendidikan Dasar
Pada Sekolah Dasar terdapat enam tingkat /kelas. Pada enam tingkat /kelas
tersebut terdapat mata pelajaran dasar umum dan mata pelajaran dasar khusus.
Mata pelajaran dasar umum terdapat pada : Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) –seyogyanya untuk yang akan datang diganti dengan
Pendidikan Bela Negara sehingga cakupannya lebih luas, Bahasa Indonesia, Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Matematika.
Sedangkan mata pelajaran dasar khusus terdapat pada : Pendidikan Agama, Kerajinan
Tangan dan Kesenian, Olah raga dan Kesehatan, dan Muatan Lokal. Mata pelajaran
dasar umum menjadi tugas Guru Kelas, sedangkan mata pelajaran dasar khusus
menjadi tugas Guru Mata Pelajaran.
Dengan demikian, seharusnya pada setiap sekolah dasar sedikitnya terdapat
empat macam guru mata pelajaran. Guru mata pelajaran dasar umum (baca : Guru
Kelas) hanya menggarap segi intelektual, sedangkan Guru mata pelajaran dasar
khusus mempunyai bidang garapan yang lebih luas, yaitu : segi spiritual (Guru
Agama), segi emosional (Guru Kerajinan Tangan dan Kesenian serta Guru Muatan
Lokal yang berbasis seni budaya daerah), dan segi motorik (Guru Olahraga).
Sejalan dengan hal itu, idealnya pada setiap sekolah dasar dengan 6
rombongan belajar, rasio Guru Kelas dengan jumlah kelas (rombongan belajar)
adalah 1 : 1, rasio Guru Mata Pelajaran dengan kelas adalah 1 : 6, dan rasio guru :
murid –pada SD tipe paling sederhana-- adalah 1 : 10. Dengan kondisi seperti itu,
103
103
barulah dapat diharapkan “tamatan” Sekolah Dasar memiliki pribadi yang utuh. Hal
ini dikarenakan yang bersangkutan mendapatkan “pelayanan” dari ahlinya serta lebih
longgar bagi guru untuk dapat memberikan pelayanan individu. Keadaan serupa akan
semakin tegas terlihat saat yang bersangkutan menamatkan pendidikan dasar (SLTP),
sebab mata pelajaran dasar sudah terpilah lebih jelas --hal ini terlihat dari Guru Kelas
(di SD) menjadi Guru Mata Pelajaran di SLTP-- sementara mata pelajaran dasar
khusus masih berlanjut.
Pola di atas akan menggiring pertumbuhan sekolah dasar sehingga tipe SD
pada pasca transisi menjadi empat macam. Perhatikan tabel berikut :
No. Tipe
SD
Jumlah
Rombongan
Belajar
Guru
Kelas*
Guru
Mapel
Murid Rasio Guru
/Murid
1. A 12 12 8 240 1 : 12
2. B 6 6 4 120 1 : 12
3. C 6 5 1 60 1 : 10
4. D 6 - 1 10 1 : 10
*Belum termasuk pimpinan sekolah.
Tabel 21
Bandingkan dengan rasio dosen /mahasiswa beberapa Perguruan Tinggi Negeri :
a. Universitas Indonesia = 1 : 10
b. Institut Teknologi Bandung = 1 : 7
c. Universitas Diponegoro = 1 : 6
d. Universitas Gajahmada = 1 : 15
e. Universitas Airlangga = 1 : 10
f. Institut Teknologi Sepuluh November = 1 : 13
(Prestasi Tinggi Mulai di Sini, 2002 : 5)
Oleh karena itu, memandang ideal rasio guru SD /murid ± 1 : 40 atau 1 :
30 seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0424/U/1993 Tanggal 1 Desember 1993 tentang Pembakuan Tipe Sekolah pada
Satuan Pendidikan Dasar jelas merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang
104
104
terlembagakan. Begitu pula dengan memposisikan Guru SD Kecil (SD Tipe C)
selama ini yang dikondisikan untuk melaksanakan tatap muka pada dua kelas dengan
tanpa memandang jumlah muridnya (sekalipun sudah melebihi ambang batas
kewajaran) merupakan sebuah bentuk penganiayaan profesi. Dari sini muncul
pertanyaan, bagaimana mungkin institusi di luar pendidikan dapat berlaku adil jika
penguasa pendidikan sendiri tidak dapat berlaku adil terhadap para pendidiknya?
Bahwa guru akan mampu mengatasi permasalahan, itu benar (?). Namun,
perlu diingat bahwa standart pendidikan keprofesionalan Guru SD belum mencapai
taraf profesional purna. Pada perguruan tinggi yang staf pengajarnya –mayoritas--
sudah berkualifikasi profesional purna saja, rasio tertinggi adalah 1:15. Mengapa
pada SD yang para pendidiknya baru berkualifikasi profesional parapurna
(berpendidikan SLTA) dan sebagian profesional semipurna II (berpendidikan
Diploma II) sudah menerapkan rasio 1: 30 atau malah 1 : 40, apalagi ada yang masih
harus mengajar rangkap karena kekurangan guru?
Di mana letak keadilannya? Dalam hal ini, mungkin pembaca mengajukan
argumen, bukankah di SD banyak juga guru yang berpendidikan S1 Keguruan?
Bukankah itu menunjukkan mereka sudah berkualifikasi profesional dekat purna?
Pendapat tersebut tidak salah sepanjang pendidikan S1 yang mereka tempuh adalah
S1 jurusan Guru Kelas, bukan S1 jurusan Guru bidang studi --kecuali untuk
Pendidikan Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olahraga, dan Muatan Lokal.
Oleh karena itu, keberadaan pendidikan S1 untuk jurusan Guru Kelas seyogyanya
dipertimbangkan /dikembangkan.
Pola di atas akan menggiring akan keberadaan sebuah SD pada setiap
kelurahan, dan pada gilirannya nanti, sebuah SLTP pada setiap desa, sebuah SMU
setiap kecamatan, dan seterusnya hingga pada setiap bagian Indonesia terdapat
sebuah lembaga Pendidikan Tinggi dengan kualifikasi S3. Dengan pola seperti itu
barulah dapat diharapkan tuntasnya Wajib Belajar 9 tahun. Mengingat adanya
perubahan pola pada SD, maka dengan sendirinya tipe SLTP harus menyesuaikannya.
Dengan demikian, pada masa transisi sebagai langkah persiapan harus dituntaskan
105
105
perampingan sekolah-sekolah dasar kompleks. Ini berarti, pada setiap lokasi hanya
ada sebuah lembaga. Oleh sebab itu, pada masa transisi, dari tiga macam tipe sekolah
dasar akan ada lima macam tipe sekolah dasar. Perhatikan :
No. Tipe
SD
Jumlah
Rombongan
Belajar
Guru
Kelas*
Guru
Mapel
Murid RasioGuru /Murid
1. A 18 18 12 720 1 : 24
2. B 12 12 8 480 1 : 24
3. C 6 6 4 240 1 : 24
4. D 6 3 1 60 1 : 15
5. E 6 - 1 18 1 : 18
* Belum termasuk pimpinan sekolah
Tabel 22
Dari tabel di atas, akhirnya dapat diproyeksikan pertumbuhan sekolah dasar
yang bersangkutan sebagai berikut: Kelak, sekolah dasar dengan tipe A akan
ditumbuhkembangkan sehingga pada lembaga tersebut akan lahir sebuah SLTP
(menjadi SD + SLTP) dan untuk selanjutnya dari situ juga akan lahir sebuah SLTA
(SD + SLTP + SMU) dengan tipe yang paling sesuai.
Sedangkan pada tipe B akan dirintis untuk melahirkan sebuah SLTP. Ini
berarti, pada lembaga tersebut selain terdapat sebuah SD juga akan terdapat sebuah
SLTP. Jadi, masalah tipe mana yang akan ditempati tergantung pada faktor
pendukung dan kendala yang ada, dengan demikian sifatnya longgar.
Tipe sekolah yang baku hendaknya tidak dijadikan alasan untuk
membonsai sebuah sekolah untuk tumbuh, juga tidak dijadikan dalih “untuk
menyembunyikan penganggur terselubung …”.
Dengan demikian, tipe sekolah adalah baku. Namun sebenarnya yang
dimaksud baku tersebut adalah tipenya, bukan sekolahnya. Oleh karena itu, tipe
sebuah sekolah dapat saja berubah dari tipe yang satu menjadi tipe yang lain. Bisa
jadi, suatu saat menjadi tipe yang lebih tinggi dan pada saat yang lain akan turun.
106
106
Begitu pula halnya dengan SLTP yang sudah ada, lembaga tersebut harus
berani membangun basis sendiri. Yang dimaksud dengan membangun basic sendiri
berarti membangun sebuah garis lurus dengan sepuluh lembaga pendidikan di
bawahnya. Ini berarti SLTP tersebut akan menjadi wadah dari sepuluh SD yang sudah
dapat dipastikan berada di dalamnya.
2. Pendidikan Menengah
Pada SLTA, mata pelajaran dasar umum (MPDU) dan mata pelajaran dasar
khusus (MPDK) mulai menempuh jalur masing-masing. Pada SMU, Mata pelajaran
dasar umum dan mata pelajaran Agama merupakan pelajaran wajib, sedangkan mata
pelajaran dasar khusus dan mata pelajaran Agama merupakan pelajaran wajib di
SMK. Dengan demikian, pada SMK, MPDK menjadi MPDU.
Jadi, pada SMK barulah berupa dasar dari penjurusan keterampilan dasar.
Dari situ terlihat bahwa tidak ada perubahan yang mendasar dari pola. pendidikan
sampai pada level pendidikan menengah bawah. Tetapi, pada pendidikan menengah
atas (diploma) --umum, mata pelajaran dasar umum mulai memisahkan diri satu
persatu sehingga menjadi mata ajaran. Sehingga, setiap peserta didik menyelesaikan
satu periode pembelajaran pada pendidikan menengah atas maka sudah dipandang
dapat menamatkan satu paket “mata pelajaran” yang terdiri dari sepuluh mata ajaran.
Dengan demikian, seandainya, karena satu dan lain hal, peserta didik tidak
dapat menamatkan pendidikannya sampai pada program Diploma IV, maka berarti
yang bersangkutan tetap memiliki nilai jual sebab ia telah dapat menamatkan sepuluh
mata ajaran di program Diploma III. Begitu pula, seandainya peserta didik terputus di
tengah jalan dalam program S1 –nya, maka ia tetap memiliki nilai dari program
Diploma IV –nya.
3. Pendidikan Tinggi
Sebagai mana kita tahu, pada perguruan tinggi terdapat beberapa buah
fakultas dengan spesifikasi tertentu. Dengan pola bilangan maka akan menuntun
munculnya sepuluh macam fakultas pada setiap perguruan tinggi dan akan
107
107
menggiring lahirnya sepuluh jurusan pada setiap fakultas, yang tentu saja
kesemuanya akan berorientasi langsung dengan dunia pasar sebagai pengguna output
pendidikan serta dengan tidak meninggalkan jati diri ilmu itu sendiri.
Pola bilangan juga menggiring akan makin singkatnya masa belajar pada
Pendidikan Tinggi, khususnya pada program S1, sebab untuk dapat masuk ke jenjang
tersebut peserta didik telah melewati program Diploma. Dengan demikian, dari
seratus sekian Sistem Kredit Semester (SKS) yang harus diselesaikan dalam program
S1, maka pada saat pola ini diterapkan hanya tinggal beberapa buah saja.
Jadi, setiap setiap satu macam pelajaran menjadi wadah dari sepuluh macam
cabang pelajaran dari pelajaran tersebut. Dengan kata lain, pohon pelajarannya ada
di Pendidikan Dasar (baca : SD) sedangkan ranting terkecilnya ada di Pendidikan S3.
Ingat, setiap pohon bercabang sepuluh, setiap cabang bercabang sepuluh, dan
seterusnya.
Ketiga, noto pendidikan akan menggiring kelahiran lembaga pendidikan
negeri (baca : Sekolah Dasar Negeri sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri) baru
untuk mendampingi sekolah-sekolah negeri yang telah lebih dahulu lahir (untuk SD,
adalah SD Induk dan SD Inpres) Lembaga pendidikan negeri “baru” tersebut adalah
lembaga pendidikan swasta yang dinegerikan secara masal pada pasca transisi nanti,
dengan kata lain negerinisasi lembaga pendidikan swasta. Lembaga-lembaga
pendidikan negeri baru tersebut layak menyandang status reformasi, karena
kelahirannya pada zaman reformasi.
Hal ini dikarenakan, adanya tuntutan –bilangan-- tiadanya lembaga
pendidikan yang setingkat pada sebuah wilayah teritorial. Dengan kata lain, tidak ada
lembaga pendidikan tandingan, “satu” daerah teritorial akan diisi “satu” satuan
lembaga pendidikan. Dalam hal ini, kualifikasi guru sangat perlu untuk diperhatikan.
Dari situ muncul pertanyaan, di mana peran masyarakat dalam pendidikan?
Pembaca yang budiman, sebagai mana telah diamanatkan oleh Pembukaan UUD
1945 bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini adalah mencerdaskan peri
kehidupan bangsa. Jadi, menjadi tugas negaralah untuk mencerdaskan bangsa ini.
108
108
Kelak, tugas negara tersebut, dalam konteks pembagian daerah kerja, telah diemban
oleh Badan Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada dalih bagi
negara untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Bahkan pada saat
inipun, menurut penulis, peran masyarakat yang diartikan sebagai penyelenggara
pendidikan pun adalah sebuah bentuk lari dari tanggung jawab dan –secara mikro-
sangat berbahaya bagi dunia pendidikan itu sendiri.
Oleh karena itu, jangan heran jika ada suara sumbang tentang amburadulnya
dunia pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan seringnya muncul ijazah aspal
(asli tapi palsu), atau yang disinyalir oleh Adri Wibowo (HR & Division Head PT
Gotrans Interna Express) bahwa ijazah dapat dibeli (Tarbawi, edisi 38 Th. 4 : 33),
model belah bambu dalam menangani lembaga pendidikan sejenis, maupun berita
miring yang lain.
Dengan demikian, kelak, penetrasi pendidikan tidak hanya pada daerah-
daerah tertentu dan dunia pendidikan benar-benar diperuntukkan bagi seluruh anak
bangsa –tanpa memandang status sosial (dalam kondisi tertentu, memang perlu).
Dengan model semacam itu baik dunia pendidikan maupun masyarakat sebagai
pengguna jasa pendidikan akan sama-sama diuntungkan.
Oleh karena itu, jika Guru Pendidikan Nasional adalah satuan pertama dan
“utama” jabatan struktural dalam dunia pendidikan maka jabatan struktural
organik pendidikan akan berkembang menjadi sebagai berikut :
1. Guru Pendidikan Tinggi Strata 3 --pra transisi : Rektor Pendidikan
Tinggi dengan kualifikasi S3
2. Guru Pendidikan Tinggi Strata 2 --pra transisi : Rektor Pendidikan Tinggi
dengan kualifikasi S2
3. Guru Pendidikan Tinggi Strata 1 --pra transisi : Rektor Pendidikan Tinggi
dengan kualifikasi Sl
4. Guru Pendidikan Tinggi --pra transisi : Dekan Diploma 4
5. Guru Pendidikan Menengah Atas --pra transisi : Dekan Diploma 3
109
109
6. Guru Pendidikan Menengah Dasar --pra transisi : Dekan Diploma 2
7. Guru Pendidikan Dasar --pra transisi : Dekan Diploma 1
8. Guru SLTA --pra transisi : Kepala SLTA
9. Guru SLTP – pra transisi : Kepala SLTP
10. Guru SD –pra transisi : Kepala SD
Dari situ terlihat bahwa sebenarnya Kepala Sekolah Dasar pada masa pra
transisi (saat ini) adalah sebuah jabatan struktural terendah pada dunia pendidikan.
Oleh karena itu, sungguh sangat naif jika menafikan keberadaanya. Kelak, hak
Kepala Sekolah Dasar yang berupa tunjangan struktural harus dikembalikan untuk
mendampingi kewajiban yang telah dilaksanakannya.
Jabatan sebagai tersebut di atas merupakan jenjang jabatan struktural, oleh
karena itu selama masih dalam jalur pendidikan “umum” maka dari Guru Sekolah
Dasar sampai dengan Guru Pendidikan Tinggi Strata 3 akan membentuk sebuah
kurva lurus. Oleh karena itu, ke depan perlu ada pendidikan umum di atas SLTA
(baca :SMU). Merekalah kelak yang akan menjadi Sarjana Pendidikan sebenarnya --
jadi sarjana pendidikan bukan output dari FKIP. Merekalah yang dapat diharapkan
mampu merumuskan arah pendidikan secara utuh.
Kelak, pola di atas akan menggiring ke situasi tidak ada “pejabat
administrasi” di atas jabatan guru atau lebih tepatnya, atasan guru adalah Guru. Guru
mempunyai tugas membimbing guru.
Dengan demikian, sebagai contoh :
1. Atasan Guru Kelas I/II/III/IV/V/VI dan Guru mata pelajaran Agama,
Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olahraga, dan Muatan Lokal pada SD
adalah Guru SD;
2. Atasan Guru SD adalah Guru SLTP. Selain membawahi sepuluh orang
Guru SD, Guru SLTP juga membawahi seluruh guru yang ada di SLTP –
nya. Pada kondisi sempurna (SLTP tipe A) antara Guru SLTP dan guru
yang ada di SLTP terdapat jabatan Guru MIPA /Sosbud /BK /lain-lain
110
110
sesuai kebutuhan. Guru MIPA akan menjadi atasan lansung Guru Mata
Pelajaran Matematika, Fisika, dan Biologi. Guru Sosial Budaya akan
membawahi Guru Mata Pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi.
Dengan kata lain, jabatan struktural guru tergantung pada satuan pendidikan
tempatnya mengabdikan diri, semakin besar piramida pendidikan semakin panjang
pula deretan jabatan struktural yang tersedia.
Adapun fungsional guru dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, fungsional
dalam arti pekerjaan guru. Kedua, fungsional dalam arti pekerjaan pendidikan. hal itu
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Fungsi guru dalam arti pekerjaan guru terdiri atas :
a. Pada pendidikan tinggi : Guru mata kuliah x
b. Pada pendidikan menengah : Guru mata ajaran x
c. Pada pendidikan dasar :
1. Guru mata pelajaran x
2. Guru kelas x
2. Fungsi guru dalam arti pekerjaan pendidikan –untuk selanjutnya digunakan
istilah fungsi pendidikan. Dalam hal ini berarti ada dua lapis. Lapis pertama
menduduki jabatan struktural dan lapis kedua menduduki jabatan fungsional.
Jabatan struktural dalam bidang pendidikan sudah terinci di bagian atas.
Sedangkan jabatan fungsional guru bukan ada pada pekerjaan guru. Dengan
demikian ternyata bahwa fungsi guru dalam pekerjaan maupun dalam bidang
pendidikan adalah berbeda. Perbedaan tersebut terlihat dari adanya beban
tambahan yang harus diselesaikan, baik berupa beban pekerjaan administrasi
maupun beban dalam masalah bimbingan konseling.
Dari situ muncul sebuah pertanyaan. Fungsi guru yang manakah yang
dihitung sehingga pada mereka diberikan tunjangan fungsional? Fungsi pertama atau
fungsi kedua? Sebab, dalam kenyataan, fungsi guru bukan hanya sekedar sebagai
guru (fungsi guru), padanya masih dibebani tugas lain (fungsi pendidikan) dan tugas
111
111
itu tidak diemban semua guru yang –maaf-- tidak ada hitungannya, atau semacam
kerja bakti. Sebagai contoh :
1. Guru Kelas I SD, secara otomatis akan merangkap sebagai Wali Kelas I.
Pekerjaan (baca : fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Kelas I.
Sedangkan Wali. Kelas I adalah jabatan fungsional (baca : fungsi
pendidikan);
2. Guru mata pelajaran Matematika SLTP Negeri 1 yang juga sebagai Wali
Kelas II, maka pekerjaan (fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru
mata pelajaran Matematika. Sedangkan Wali Kelas II adalah jabatan
fungsional (fungsi pendidikan);
3. Guru Biologi SMU Negeri IX yang tidak menjadi wali kelas.Pekerjaan
(fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Biologi, sedangkan jabatan
fungsional yang bersangkutan tidak memiliki.
4. Guru olahraga SD yang tidak menjadi wali kelas. Pekerjaan (fungsi guru)
yang bersangkutan adalah Guru Olahraga dan jabatan fungsional tidak
dimilikinya.
Dengan kata lain, pemberian tunjangan fungsional kepada guru selama ini
sangat tidak tepat sasaran, sebab semua guru mendapatkannya. Keadaan akan
menjadi lain, jika istilah yang digunakan adalah “tunjangan pendidikan”. Sedangkan
tunjangan fungsional hanya diberikan kepada guru yang memegang jabatan
fungsional. Dalam hal ini jabatan fungsional harus dibedakan dengan jabatan
struktural. Dengan demikian, seharusnya kepada nomor satu dan dua sebagai contoh
di atas mendapatkan dua macam tunjangan yaitu tunjangan pendidikan dan tunjangan
fungsional. Sedangkan untuk nomor tiga dan empat hanya mendapatkan satu macam
tunjangan (tunjangan pendidikan) saja.
Fungsi pendidikan adalah merupakan kedudukan guru pada suatu daerah
satuan pendidikan. Bagi guru di sekolah dasar fungsi guru menjadi tumpang-tindih
dengan fungsi pendidikan, bayangkan selain sebagai guru kelas juga merangkap
sebagai wali kelas. Padahal, di antara keduanya terdapat hak dan kewajiban yang
112
112
berbeda. Jadi, Wali Kelas adalah satuan --wali (guru)-- yang pertama dan terkecil itu
setingkat dengan kepala urusan di kantor kelurahan.
Dengan demikian, jabatan fungsional guru berikutnya adalah :
1. Wali Guru SD
2. Wali Guru SLTP
3. Wali Guru SLTA
4. Wali Guru Diploma 1
5. Wali Guru Diploma II
6. Wali Guru Diploma III
7. Wali Guru Diploma IV
8. Wali Guru Pendidikan Strata 1
9. Wali Guru Pendidikan Strata 2
10. Wali Guru Pendidikan Strata 3
Contoh :
1. Seharusnya seorang Guru Kelas I di Sekolah Dasar mendapatkan dua
macam tunjangan –selain tunjangan istri/anak/beras-- yaitu: tunjangan
pendidikan karena berprofesi sebagai guru, dan tunjangan fungional
karena menjadi Wali Kelas I. Sedangkan guru mata pelajaran x di
Sekolah Dasar hanya mendapatkan satu macam tunjangan, yaitu tunjangan
pendidikan sebab yang bersangkutan “hanya” menjadi guru mata pelajaran
x, tidak menjadi wali kelas.
2. Wali Guru SD membawahi 6 Wali Guru Kelas --yaitu Wali Guru Kelas
I, Wali Guru Kelas II, wali Guru Kelas III, Wali Guru Kelas IV, Wali
Guru Kelas V, dan wali Guru Kelas VI-- dan 4 Wali Guru Mata Pelajaran
(Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikann jasmani dan
kesehatan, dan Muatan Lokal) dari sepuluh buah sekolah dasar. Pada
113
113
merekalah tugas membimbing berada. Dengan model seperti itu akan
dapat ditekan pemborosan biaya /waktu “penataran” ataupun pelatihan.
3. Wali Guru x, Fakultas y, Universitas z --pada Pendidikan Tinggi
dengan kualifikasi S-- (sebelum transisi, baca : Ketua Jurusan x, Fakultas
y, Universitas z) membawahi sejumlah Guru Mata Kuliah yang ada pada
jurusan x.
Para wali guru tersebutlah yang mempunyai tugas membimbing dan melatih
guru dalam meningkatkan pengetahuan /keterampilan yang kesemuanya akan
memacu peningkatan mutu “keprofesional” guru.
Sebagai contoh,
1. Wali Guru Kelas I mempunyai tugas membimbing Guru Kelas I;
2. Wali Guru Agama SD mempunyai tugas membimbing Guru Agama SD;
3. Wali Guru SD mempunyai tugas membimbing Guru SD;
4. Wali Guru Agama SLTP mempunyai tugas membimbing Guru Agama
SLTP;
5. Wali Guru Fisika SLTP bertugas membimbing Guru Fisika SLTP.
Namun perlu diingat, wali guru bukan jabatan struktural melainkan jabatan
fungsional. Kewenangan mereka sebatas melatih , bukan menilai. Oleh karena itu,
mereka tetap mempunyai tugas melaksanakan tatap muka sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Dengan demikian, sebagai contoh :
1. Pada Sekolah Dasar, jabatan Wali Guru Sekolah Dasar itulah sebenarnya
tempat bagi Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah Dasar. Jabatan Wali
Guru Kelas I. itulah sebenarnya tempat Ketua Kelompok Kerja Guru
Kelas I, dan seterusnya;
2. Pada SLTA, jabatan Wali Guru MIPA menjai tempat bagi Ketua jurusan
MIPA (bukan IPA);
114
114
3. Pada perguruan tinggi, Wali Guru Hukum Internasional itulah tempat bagi
Ketua jurusan Hukum Internasional, dan seterusnya.
Adapun pangkat guru, menurut penulis, sebenarnya terdapat pada jabatan
guru yang disandangnya. Konsep ini akan menyederhanakan sistem kepangkatan
guru. Dengan demikian, seorang guru pratama dengan pangkat pengatur muda, IIa.
Maka seharusnya, pangkat guru tersebut adalah guru pratama. Sedangkan golongan
ruangnya adalah IIa. Dalam hal pangkat /golongan ruang guru, tanpa mengurangi rasa
hormat penulis kepada para guru, seyogyanya, kelak juga dimulai dari I a. Bukankah,
pada dasarnya yang penting bukan tinggi pangkatnya, melainkan tingkat
kesejahteraannya?
Apalah arti sebuah pangkat yang tinggi menjulang, jika ternyata tingkat
kesejahteraan yang dirasakan oleh keluarganya jauh dari yang seharusnya? Bukankah
malah membuat malu “penguasa guru”?
Dengan pola semacam itu, lulusan Diploma 1 jurusan pendidikan sudah dapat
menjadi guru Sekolah Dasar. Keadaan ini jelas membantu percepatan pengurangan
pengangguran. Pertanyaan yang muncul dari kondisi ini adalah, bagaimana dengan
mutu guru tersebut, dapatkah dipertanggungjawabkan?
Sudah menjadi rahasia umum, peserta didik yang agak pintar alergi untuk
menjadi guru. Dan, itu wajar, sebab selain, gaji guru tergolong minim juga karena,
mungkin, kurang menantang. Jadi, sebelum dana pendidikan memadai, janganlah
berbicara mutu. Jangan pula menuntut yang muluk-muluk dari dunia pendidikan.
Namun, dengan reformasi bilangan, 20 % dari APBN sudah lebih dari cukup!
Disamping itu, tidak digunakannya pangkat pegawai negeri dalam pangkat
guru dimaksudkan untuk membedakan institusi guru dengan institusi pegawai negeri
lain yang menaunginya.
Dengan kata lain, pangkat guru akan terlihat sebagai berikut :
1. Guru Juru, Ia
2. Guru Juru Tingkat I, Ib
115
115
3. Guru Bantu, Ic
4. Guru Bantu Tingkat I, Id
5. Guru Pratama, IIa
6. Guru Pratama Tingkat I, IIb
7. Guru Muda, IIc
8. Guru Muda Tingkat I, IId
9. Guru Madia, IIIa
10. Guru Madia Tingkat I, IIIb
11. Guru Dewasa, IIIc
12. Guru Dewasa Tingkat I, IIId
13. Guru Pembina, IVa
14. Guru Pembina Tingkat I, IVb
15. Guru Utama Muda, IVc
16. Guru Utama Madia, IVd
17. Guru Utama, IVe
Makin panjangnya pangkat guru akan membuat lebih longgar ruang
kepangkatan guru sehingga mereka tidak berdesak-desakan. Hal ini dikarenakan,
adanya perubahan start awal kepangkatan guru. Guru Juru, diperuntukkan bagi calon
guru tamatan SLTA yang sudah menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Guru Juru.
Karena modal akademik calon guru adalah SLTA, maka yang bersangkutan telah
mengantongi kelebihan 3 poin di atas Wajib Belajar 9 Tahun atau satu tingkat lebih
tinggi dari tamatan pendidikan dasar.
Maka dari itu, secara akademik yang bersangkutan telah layak mengajar di
Sekolah Dasar. Mungkin ada pertanyaan begini, sudah layakkah tamatan SLTA
menjadi guru? Jika si calon guru berasal dari luar keluarga guru, pertanyaan tersebut
sangat relevan. Sebab, mereka “asing” dengan kesibukan guru. Namun, jika calon
guru berasal dari keluarga guru, pertanyaan tersebut menjadi aneh. Sebab, pertama,
116
116
secara genetika sifat bawaan akan menurun, sekalipun tidak semurni induknya.
Kedua, sedikit banyak, mereka telah tahu peri kehidupan “dunia” guru.
Kekurangmurnian ini akan tertutup dengan dua cara, pertama dengan
pendidikan dan ke dua dengan pelatihan. Jika jalur pendidikan yang ditempuh, maka
berarti harus masuk ke pandidikan guru. Namun, jika jalur pelatihan yang ditempuh,
maka ia harus mengikuti penataran. Penataran sebagai aplikasi dari pendidikan
sebagai yang dimaksud menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional, kelak.
Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional hanya akan mengurus dua masalah yaitu
edukasi (baca : pendidikan untuk calon pendidik) serta melaksanakan kepengawasan.
1. Masalah Edukasi
Masalah edukasi dimunculkan dalam bentuk keberadaan sekolah yang harus
ditangani. Pada sekolah-sekolah tersebut itulah tempat para Widya Iswara
mendarmakan ilmunya untuk kemajuan pendidikan. Mereka menjalankan fungsi guru
sekaligus menjalankan fungsi pendidikan. Dengan demikian, bidang garapan untuk
masalah edukasi adalah Sekolah Pendidikan Guru dan Sekolah Pendidikaan Non
Guru. Pada Sekolah Pendidikan Guru ini ada empat buah jenjang yang masing-
masing berdiri lepas namun merupakan sebuah kesatuan /berkesinambungan serta
sebuah sekolah jabatan guru.
Perhatikan :
1. Sekolah Pendidikan Guru terdiri dari:
a. Sekolah Pendidikan Guru Juru;
b. Sekolah Pendidikan Guru Pratama;
c. Sekolah Pendidikan Guru Madia;
d. Sekolah Pendidikan Guru Pembina;
117
117
2. Sekolah jabatan guru yang dimaksud adalah Sekolah Guru.
Sedangkan Sekolah Pendidikan Non Guru diperuntukkan bagi tenaga di lingkup
pendidikan non guru yang meliputi :
a. Sekolah Juru;
b. Sekolah Pratama;
c. Sekolah Penata;
d. Sekolah Pembina.
Keberadaan Sekolah Pendidikan Guru, Sekolah Guru, dan Sekolah
Pendidikan Non Guru dimaksudkan untuk menampung gen murni pendidikan (dari
Kelompok I) yang akan mewarisi lahan kehidupan orangtuanya untuk mendapatkan
keahlian mendidik /kecakapan khusus. Dalam hal ini, mereka harus memenuhi
persyaratan umum.
Misalnya, berpendidikan SLTA untuk masuk ke Sekolah Pendidikan Guru
Juru, berpendidikan Diploma untuk Sekolah Pendidikan Guru Pratama,
berpendidikan S1 untuk masuk ke Sekolah Pendidikan Guru Madia dan seterusnya.
Keberadaan sekolah ini harus dibedakan dengan Diploma Pendidikan /Fakultas
Pendidikan, juga dibedakan dengan PGSD /FKIP /lainnya.
Lembaga pendidikan guru tersebut –mulai dari Sekolah Pendidikan Guru Juru
sampai dengan Sekolah Pendidikan Guru Pembina --dipersiapkan untuk mencetak
tenaga guru, sedangkan Sekolah Guru dipersiapkan untuk guru-guru yang akan
menduduki jabatan struktural. Adalah sebuah keniscayaan, setiap Guru yang akan
menduduki jabatan struktural wajib untuk mengenyam terlebih dahulu Sekolah Guru
tersebut. Dengan demikian, mereka tidak gagap edukasi.
Sedangkan Diploma Pendidikan/Fakultas Pendidikan –yang bernaung di
bawah Satuan Lembaga Pendidikan-- yang mempelajari ilmu murni pendidikan
tersebut diperuntukkan bagi gen luar (dari Kelompok II) yang akan masuk ke dalam
Kelompok I dengan cara kontrak, membeli, atau sebagai pegawai pada “lahan
kehidupan” guru.
118
118
2. Masalah Kepengawasan
Kepengawasan dimunculkan dengan keberadaan Inspektorat Pendidikan dari
tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Dengan demikian, pada level terendah,
sebuah Kantor Inspektorat Pendidikan Kecamatan (F) akan mengawasi kinerja
sepuluh buah lembaga pendidikan dasar (baca : 10 SLTP), sedangkan untuk tingkat
desa yang ada adalah Kantor Kepenilikan Pendidikan Desa (F1), lembaga ini akan
menjadi institusi pengawas bagi sepuluh buah sekolah dasar yang tersebar di sepuluh
buah kelurahan
Oleh karena itu, pada kantor kepenilikan tersebut akan muncul sepuluh
jabatan penilik, yaitu : Penilik Kelas I, Penilik Kelas II, Penilik Kelas III, Penilik
Kelas IV, Penilik Kelas V, Penilik Kelas VI, Penilik Agama, Penilik Kerajinan
Tangan dan Kesenian, Penilik Olahraga, dan Penilik Muatan Lokal. Kesepuluh
macam penilik tersebut dibawah pimpinan seorang Penilik Sekolah Dasar.
Lembaga Pendidikan Nasional
Lembaga Pendidikan Nasional (Lemdiknas) mengurus masalah non teknis
/non edukatif pendidikan . Dengan demikian, lembaga ini dapat dipandang sebagai
sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik dan dunia pendidikan pada
umumnya. Bisa juga dipandang sebagai sebuah badan usaha milik pendidikan. Di
bawah lembaga ini bernaung beberapa buah dinas, misalnya :
a. Dinas Kesejahteraan Guru;
b. Dinas Kesehatan Guru;
c. Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan;
d. dan sebagainya, sesuai kebutuhan.
119
119
Masing-masing dinas membawahi beberapa bidang garapan. Misalnya :
1. Dinas Kesejahteraan Guru bergerak dalam bidang perbankan (bank
guru /bank pendidikan), perumahan (realestat guru), asuransi, dan
sebagainya;
2. Dinas Kesehatan Guru akan mendorong tumbuhnya rumah sakit milik
guru. Ke sanalah para guru akan dapat memperoleh pelayanan kesehatan
bagi diri dan keluarganya dengan sangat memuaskan, karena semua
personal yang bekerja di rumah sakit tersebut berada di bawah “payung”
guru.
Model ini termasuk satu di antara kiat untuk mengangkat citra guru. Dengan
demikian, guru tidak digiring ke situasi untuk mendirikan lembaga pendidikan
tandingan sendiri. Guru mengalihkan bidang usahanya. Bahwa semua yang terpapar
di atas tidak dapat dikerjakan oleh guru, itu memang benar. Semua bidang tersebut
harus berada di tangan ahlinya. Nah, di situlah letak partisipasi guru dalam dalam
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Guru, sebagai person, mampu
menyediakan lapanga kerja untuk mantan anak-anak didiknya.
Sebagai sebuah badan usaha, dinas-dinas sebagai dimaksud di atas merupakan
sebuah Badan Usaha Milik Guru dan merupakan unit usaha waralaba yang padanya
melekat nuansa edukasi. Maka orientasi pasar yang hendak dibidik pun harus jelas.
Pembaca yang budiman, pola tersebut di atas terpaksa akan meninggalkan
model lama dunia pendidikan. Keunggulan model tersebut antara lain:
Pertama, segi edukasi. Di dalam pola ini tidak ada organisasi setara di dalam
organisasi /daerah teritorial, sehingga tidak ada dua /lebih pucuk pimpinan dalam satu
daerah kerja –yang satu sebagai kepala sedangkan yang satunya lagi sebagai ketua,
tidak ada siapa menjadi kepanjangan tangan siapa, juga tidak ada siapa akan
dimanfaatkan siapa. Jadi, loyalitas guru kepada atasannya tidak dapat begitu saja
120
120
diartikan secara sempit. Atasan bisa datang dan pergi seiring perjalanan waktu,
namun satuan pendidikan? Dengan demikian, loyalitas guru kepada atasan adalah
selama atasan tidak merugikan lembaga pendidikannya. Rasa ikut memiliki “ satuan
pendidikan” sangat diperlukan sebab dengan adanya rasa tersebut yang bersangkutan
dapat menentukan sikap dengan benar terhadap isu-isu inovasi pendidikan, setiap ada
intervensi dari luar terhadap satuan pendidikannya, serta berani
mempertanggungjawabkan sikap yang telah diambilnya.
Kedua, segi profesi. Persaingan murni dalam kelompok pendidikan mulai
level terendah sampai dengan level tertinggi akan memacu semangat untuk lebih
profesional. Di sinilah letak perlunya kompetensi guru. Dengan kompetensi yang
tepat akan dapat diharapkan munculnya guru yang profesional. Pada gilirannya nanti,
peserta didik pun akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan
mereka. Satu di antara parameter yang paling sederhana untuk mengukur kompetensi
yaitu lewat pendidikan.
Di samping itu, oleh karena arena perjuangan guru adalah adalah lembaga
pendidikan, maka setinggi apapun pangkat dan jabatannya, padanya masih melekat
kewajiban melaksanakan tatap muka. Kewajiban yang satu ini tidak dapat
didelegasikan begitu saja kepada guru /orang lain. Ingat, Guru adalah Guru, dan
predikat itu akan sirna saat yang bersangkutan tidak memiliki murid seorangpun.
Oleh karena itu, jika Guru SD (baca : saat pra transisi Kepala SD) memiliki
kewajiban tatap muka selama enam jam pelajaran per minggu, maka harus dihitung
dengan cermat berapa jam pelajaran kewajiban tatap muka seorang Guru Pendidikan
Nasional per tahun.
Ketiga, segi kesejahteraan guru dan tenaga lain yang ada pada lingkungan
pendidikan. Dengan adanya Lemdiknas, maka kesejahteraan guru /tenaga lain dapat
diproyeksikan sebagai berikut:
Keberadaan Dinas Kesejahteraan Guru akan melahirkan Bank Guru. Bank ini
sangat diperlukan untuk menopang perekonomian guru. Gaji guru, hutang-
121
121
piutang guru, jual beli lahan kehidupan guru, ataupun kontrak kerja guru akan
diurus oleh ahlinya dibawah pengawasan orang dalam (baca :guru).
Keberadaan Dinas Kesehatan Guru akan memungkinkan guru mendapatkan
pelayanan kesehatan yang lebih memuaskan dari sebelumnya, dan jika
dikelola dengan baik maka tidak mustahil akan menjadi sumber pendapatan
asli pendidikan.
Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan jelas merupakan kemajuan
tersendiri. Dinas inilah yang akan mengurus /menyelesaikan masalah hukum
antara guru dengan pihak lain.
dan seterusnya.
3. 4 Noto Agama (10)100
Masalah adanya perbedaan “warna” output pendidikan tersebut jika dirunut ke
belakang maka akan terlihat bahwa sumbernya ada pada pendidikan itu sendiri. Hal
ini dapat dilihat pada beberapa fase proses pendidikan.
Fase pertama, input pendidikan adalah anak yang masih polos, polos dalam
arti sesungguhnya. Mereka masih bebas dari segala warna kehidupan, ambisi
pribadi, primordialisme, maupun -isme-isme yang lain. Mereka memandang dunia
dengan mata penuh ceria, hanya karena keinginan orangtua maka mereka masuk ke
lingkungan pendidikan --formal.
Fase kedua, selama proses pembelajaran (baca : bersekolah) kepada peserta
didik diperkenalkan aneka warna kehidupan. Sejak dari a sampai z –nya kehidupan,
termasuk “warna ekonomi” --misalnya tentang laba-rugi, bunga, kurs, “warna politik”
–misalnya tentang organisasi, susunan pemerintahan, daerah pemerintahan, wilayah--
dan berbagai warna yang lain.
122
122
Fase ketiga, jika peserta didik mampu menembus perguruan tinggi maka
“warna” pilihan peserta didik makin mengkristal --lihat saja, ada elemen mahasiswa
yang berkibar di bawah bendera merah, bendera putih, atau mungkin bendera lain --
dan ini akan terus terbawa sampai yang bersangkutan kembali ke masyarakat, habitat
asalnya. Yang, kesemuanya memang ada di dalam sebuah masyarakat yang majemuk.
Kondisi seperti itu dapat diejawantahkan sebagai seberkas sinar putih yang
menembus sebuah prisma bening sehingga menghasilkan warna pelangi yang
langsung ditangkap sebuah layar. Pelangi memang indah, mereka saling memberi
ruang gerak pada warna yang lain, tidak ada dominasi. Masalahnya, dunia nyata
tidaklah seindah dan semengerti pelangi.
Oleh karena itu, negara ini harus mampu menyiapkan prisma bening kedua
yang bersifat mengikat saat peserta didik dikembalikan ke tengah masyarakat
sehingga peserta didik dapat kembali putih seperti sediakala, yang mau-tidak mau
harus dilaluinya. Hanya disitu terdapat perbedaan, saat sebagai input, peserta didik
masih putih dan polos karena belum mengerti, namun saat sebagi output yang
bersangkutan putih dan polos karena sudah mengerti.
Dengan menggunakan mata dan hati yang benar-benar bening, barulah output
pendidikan dapat memandang wajah asli “dunia”. Ia akan dapat membedakan mana
merah karena memang kodratnya merah atau merah karena kacamata yang
dikenakan merah. Mana kuning yang kodratnya memang kuning atau kuning karena
lensa kacamatanya berwarna kuning, dan seterusnya. Mata dan hati yang bening
hanya akan terwujud jika negara mampu --sekali lagi-- membangun prisma bening
kedua sebelum peserta didik dilepaskan.
Jika membilang diawali dari satu –kecil, maka akan diakhiri dengan satu –
besar. Jika pembelajaran warna hidup berbangsa dan bernegara diawali dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pula peserta
didik mengakhiri masa belajarnya. Dengan berakhir masa belajar pada jenjang
123
123
pendidikan formal, berarti kembali ke tengan masyarakat. Kembali ke masyarakat,
berarti masuk ke pendidikan “umum” nasional
Ini berarti, prisma kedua yang harus dipasang oleh pendidikan adalah ilmu
yang berdasarkan pada moral transedental, sebab hanya ilmu tersebut yang dapat
membeningkan seluruh ilmu di mayapada ini. Dengan demikian, prisma kedua
tersebut adalah ajaran agama. Pendidikan agama harus dipahami, diyakini, dan untuk
diamalkan sesuai dengan kemampuan dan keyakinan agama yang dianutnya.
Dengan demikian, pada level terakhir pendidikan nanti –Pendidikan
Nasional Indonesia-- negara harus mampu meluruskan pandangan-pandangan
yang keliru, dengan kata lain, Pendidikan Nasional Indonesia harus mampu
menyeimbangkan “ warna” pada diri peserta didiknya.
Bahwa pada akhirnya ada kecondongan hati pada salah satu “warna” itu sudah
alami. Adalah hal sangat mustahil menyukai “semua warna”. Namun setidaknya,
peserta didik memiliki bekal yang cukup sehingga kelak tidak memandang rival
kepada yang berseberangan dengannya. Itu teorinya, berhasil atau tidaknya berpulang
pada niat masing-masing. Bukankah, sebagus apapun bingkai yang dipasang, fokus
pandangan akan tetap jatuh ke pusat bingkai?
Penulis percaya bahwa untuk menambah jam pelajaran agama dalam
pendidikan (baca : sekolah) itu tidak gampang, harus ada terobosan baru. Mereka
yang berkeberatan akan mengajukan berderet-deret argumen Dari pandangan bahwa
agama merupakan urusan individu –hak asasi-- sampai dengan parameter yang
digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman yang diwujudkan dalam bentuk
pengamalan --yang ikhlas. Padahal, pada dasarnya, mereka (!) sangat berkepentingan
dengan semakin dangkalnya tingkat pemahaman agama bangsa ini.
Mereka sangat berkepentingan dengan tumbuhnya tunas-tunas bangsa yang
asing dengan ajaran agamanya. Padahal, mayoritas penduduk negeri ini adalah
Muslim. Oleh karena itu, jangan heran jika ada lembaga pendidikan --negeri-- yang
sampai belasan tahun tidak memiliki Guru Agama, dalam arti formal. Beruntung,
124
124
pendidik pada lembaga tersebut seagama dengan peserta didik, dan masih beruntung
pula ada tokoh-tokoh agama setempat yang peduli.
Jika tidak, apa gerangan yang terjadi? Dalam hal ini, penanggung jawab
pendidikan dapat mengajukan sederet alasan seperti pelajaran alasan yang mereka
terima dari atasan mereka, dan atasan mereka pun akan mengajukan deretan alasan
lagi seperti deretan alasan yang mereka terima dari atasannya lagi, dan akhirnya,
siapa yang berada di balik itu semua? Muara dari semua jawaban ada pada sistem
pendidikan itu sendiri.
Bisa jadi pembaca beranggapan bahwa generalisasi yang penulis paparkan di
atas keliru, tidak tepat, atau tanpa dasar. Tapi, dari banyak kejadian, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa agama hanya dijadikan sarana untuk mencari dukungan saat
yang bersangkutan membutuhkan dukungan, agama hanya dijadikan benteng terakhir
saat mereka terjepit, saat tumbang dari kekuasaan di depan mata, atau malah saat
nyawa sudah sampai di batang tenggorok.
Mereka baru sadar dan baru berlindung pada baju agamanya dan peduli pada
kewajibannya. Mereka lupa bahwa selama berkuasa, politik belah bambu telah
mereka praktekkan, sebagian kecil diangkat dan selebihnya diinjak. Lihat saja,
mereka yang komitmen terhadap ajaran agamanya malah dituduh sebagai sok alim
oleh kanan-kiri, ektrem oleh penjajah Belanda, sampai dengan stempel teroris oleh
polisi dunia dan kawan-kawannya.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa tanpa turun tangannya mereka yang
“sok alim”, yang “ekstremis”, dan yang “teroris” maka negara ini belumlah merdeka
dan kaum penjajah tetap bercokol di negara ini. Memang, dari masa ke masa, secara
materi terjadi pergantian individu. Tetapi, kita harus selau ingat bahwa populasi
mereka sama, komunitas mereka sama, mereka adalah umat beragama.
Dari situ timbul pertanyaan, umat agama yang mana? Bukankah ada enam
macam agama yang diakui sah berlaku di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, Buda, dan Khong Hu Chu lantas yang mana?
125
125
Dalam hal ini, kita harus realistis. Jika komunitasnya kecil, populasinya kecil
maka kontribusi yang diberikan juga kecil dan cakupannya pun kecil, begitu pula
sebaliknya. Kondisi seperti itu sudah sesuai dengan hukum alam, yang kecil akan
menggunakan ruang kecil, dan yang besar akan membutuhkan ruang lebih besar.
Kalau pada akhirnya ruang gerak yang mereka gunakan sama luasnya, maka di situ
ada keserakahan dari yang kecil dan ada faktor luar yang mengakibatkan
ketidakberdayaan pada yang besar.
Dalam masalah yang peka ini, kita harus menggunakan mata bening dengan
hati jernih. Menghilangkan prasangka buruk dengan mau secara suka rela melepaskan
kepentingan pribadi atau kelompok. Harus diakui, kontribusi yang diberikan oleh
umat Islam terhadap negara ini jauh lebih besar daripada umat lain. Jumlah mereka
sebagai mayoritas jelas merupakan sebuah modal kelebihan sepanjang tidak keliru
dalam mengelolanya, sebaliknya jika salah dalam pengelolaan maka akan
menimbulkan masalah yang besar pula.
Dalam hal ini, penulis rasa tidak pada tempatnya untuk membahas hal
tersebut. Oleh karena itu, rasa saling pengertian dengan mengalah sedikit untuk
tujuan bersama yang jauh lebih besar sangat diperlukan. Dan, tujuan bersama tersebut
adalah membangun Indonesia yang satu, yang adil, yang aman serta damai, dan cita-
cita mulia yang lain.
Dengan kondisi seperti itu maka pikiran, tenaga, dan dana yang harus umat
Islam keluarkan juga menjadi jauh lebih besar. Apalagi, selain dana wajib sebagai
warga negara yang berupa pajak, bagi umat Islam yang mampu juga masih harus
mengeluarkan zakat. Dengan demikian --langsung atau tidak langsung, umat Islam
akan “bayar” dua kali untuk hidup di bumi yang bernama Indonesia ini, sedangkan
umat lain cukup satu kali.
Perhatikan --sebelum Khong Hu Chu ditetapkan sebagai agama-- :
No. Umat Frekuensi % Rata-rata
1. Islam 2 33,33… 20
126
126
2.
3.
4.
5.
Kristen Katolik
Kristen Protestan
Hindu
Buda
1
1
1
1
16,66…
16,66…
16,66…
16,66…
20
20
20
20
Jumlah 6 100 100
Tabel 23
Dari gambaran di atas terlihat bahwa umat Islam sudah mensubsidi negara.
Padahal, apa yang penulis paparkan di atas barulah berupa nilai kasar yang berupa
frekuensi --cermin kesetiakawanan sosial nasional. Bisa dibayangkan seandainya
angka-angka itu merupakan angka yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangat wajar
jika hendak memperbaiki tempat ibadah saja --di antara mereka-- ada yang harus
tengadahkan kaleng dipinggir jalan dari pagi hari sampai sore hari …. Jadi, bukan
salah mereka!
Bisa jadi, dalam hal ini, pembaca berpendapat bahwa bukankah zakat berputar
pada kalangan umat Islam sendiri? Pendapat itu memang benar adanya. Tetapi,
bukankah pajak yang mereka bayar itu akan dipakai oleh negara untuk belanja negara
dan pengguna negara ini bukan hanya umat Islam saja? Jadi, pemanfaatan pajak tanpa
memandang agama mereka lagi.
Kondisi seperti itu, jelas merupakan ketidakadilan sosial sebuah sistem, sebab
pada akhirnya yang memanfaatkan adalah negara --baik langsung maupun tidak
langsung. Sistem seperti itu, menurut penulis-- merupakan sebuah pola pemiskinan
yang sistematis dan sangat terselubung oleh negara kepada rakyatnya.
Dari sini timbul pertanyaan, untuk apa negara memiskinkan rakyatnya? Untuk
menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur ke situasi pra kemerdekaan.
Perhatikan kronologi berikut ini:
1. 22 Juni 1945 Panitia sembilan menghasilkan Piagam Jakarta. Kompromi
politik yang bernama Piagam Jakarta ini adalah “benang pertama” –
127
127
benang putih-- yang dihasilkan oleh para petinggi nasional, pendiri
negara.
2. 7 Agustus 1945 PPKI terbentuk.
3. 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
4. 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang mengagendakan pertemuan dimulai pukul 09.30, ternyata sampai
pukul 11.30 belum juga dimulai. Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut
itu ternyata sesuatu yang amat penting bagi sejarah konstitusi Indonesia.
Hatta menuturkan bahwa petang hari 17 Agustus 1945, seorang apsir
Angkatan Laut Jepang datang padanya, dan mengatakan bahwa orang-
orang Protestan dan Katholik dalam kawasan opsir tersebut keberatan
sangat atas anak kalimat Islami dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Karena begitu serius rupanya, sebelum sidang dimulai saya ajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku
Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kita
mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum
Kristen itu dengan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Prawoto Mangkusasmito
menyampaikan catatan sebagai berikut : Reaksi positif Teuku Hasan atas usul
perubahan tersebut dapat dipahami, karena dia sama sekali tidak tergolong
kelompok nasionalis Islami. Sedangkan H.A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam
pertemuan 18 Agustus 1945 itu karena dia sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur.
Sementara itu, Kasman Singodimedjo, yang menjadi anggota baru sebagai
tambahan, menerima undangan baru pada pagi itu dan dapat dimengerti bila dia
sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah tersebut. Jadi—seluruh
tekanan psykologis tentang hasil atau tidaknya penentuan Undang-Undang dasar
terletak di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya exponen
128
128
perjuangan Islam pada saat itu. Sangat penting untuk dicatat , bahwa hanya empat
orang penandatangan Piagam Jakarta yang ditunjuk dan dipilih sebagai anggota
Panitia Persiapan, yaitu: Soekarno, Hatta, Subardjo, dan Wahid Hasyim. Karena,
Wahid Hasyim --satu-satunya penandatangan dari pihak Islam yang dapat diangkat
menjadi anggota Panitia Persiapan-- sedang ke Jawa Timur maka praktis hanya
tinggal tiga orang penandatangan Piagam Jakarta yang terlibat dalam perubahan
penting yang menghilangkan kalimat Islami dari Pembukaan Undang-Undang dasar
1945, ketiga-tiganya dari kelompok nasionalis sekuler Perubahan tersebut tentu saja
diterima dengan sepenuh hati oleh kaum nasionalis sekuler dan sungguhpun kecewa,
kelompok nasionalis Islami menunjukkan toleransinya. Lebih-lebih dengan adanya
janji Soekarno saat mengambil alih pimpinan.
(Al- Muslimun, 1985, No. 179 : 60)
Singkatnya, hasil pertemuan sidang PPKI sebagai berikut :
a. Kata “Mukadimah” diganti dengan kata “Pembukaan”;
b. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihilangkan;
c. Pasal 6, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama
Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
d. Pasal 29, “Negara berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk -nya”,
diganti dengan “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”.
Dengan hilangnya tujuh kata itu, kaum nasionalis sekuler mempunyai hutang
sejarah kepada kaum nasionalis Islami. Islam mengalah, Pancasila mulai tampil
memimpin negeri. Pancasila adalah “telur kedua” –benang merah-- yang
dihasilkan oleh kaum nasionalis negara, petinggi pendiri negara ini.
5. Sepuluh tahun kemudian, yaitu sesudah pemilihan umum pertama tahun
1955, di bawah payung UUDS 1950, kembali Pancasila dan Islam
129
129
bergumul pada pelataran konstitusional, dalam Dewan Konstitutuante.
Sekalipun seru, Konstituante baru dapat menyelesaikan 90% dari
tugasnya saat Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 (A. Syafii Maarif, 1993 : 198)
Penulis tidak hendak menceritakan pasang surut Pancasila sebagai dasar
negara, karena memang tidak ada relevansinya dengan maksud dibuatnya tulisan ini.
Yang jelas, dasar negara tersebut telah menghasilkan perundang-undangan yang
berlaku di negeri ini. Dengan kata lain, benang merah --hukum merah-- telah
menetas dan bahkan beranak pinak. Sebagai produk hukum, semua bersifat mengikat.
Dalam kurun waktu yang panjang itu terjadi berbagai persoalan melanda, misal :
krisis keamanan --DI/TII (1948), PRRI/Permesta (1958), RMS (1950), GAM, dsb.,
krisis politik (1965), krisis moneter (1997), kisis kepercayaan, krisis jati diri atau
lebih lengkap biasa disebut krisis multi dimensi.
Dari sini timbul pertanyaan sederhana, mengapa? dan muara dari jawabannya
adalah pemegang amanah tidak dapat menunaikan amanah yang dipegangnya.
Pemegang amanah tersebut tahu bahwa hukum di bawah naungan Pancasila
dapat disiasati, semua bisa diatur. Bukankah pembuat hukum tersebut adalah mereka
(baca : manusia) sendiri?
Oleh karena itu, jangan heran, jika hukum menjadi tumpul pada saat
berhadapan dengan yang orang “besar”, uang, atau segala sesuatu yang memiliki
akses kekuasaan. Ironisnya, hukum menjadi sangat tegak saat berhadapan dengan
yang kecil, lemah, atau yang semakna dengan itu. Jadi, sejatinya hukum yang mereka
buat itu hanya diperuntukkan bagi rakyat yang lemah.
Padahal, posisi lemah akan ditempati oleh mayoritas penduduk negeri ini, dan
mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Jadi, hukum yang mereka buat itu
pada galibnya memang untuk mengatur umat Islam, dengan kata lain, umat Islam
menjadi obyek hukum. Mereka belum menjadi subyek hukum.
Jadi, sebenarnya … penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut
adalah tikaman pertama teman seperjuangan. Sedangkan Dekrit Presiden yang
130
130
terkenal itu adalah tikaman kedua dari seorang penguasa kepada umat Islam. Dari sini
timbul pertanyaan sederhana, mengapa? jawabnya pun sederhana, sebab pada
awalnya, semua pasal-pasal dalam UUD 1945 memang diperuntukkan menopang
Piagam Jakarta, bukan untuk menopang Pancasila. Bukankah menurut Matematika,
jika langkah pertama diubah maka akan “mengubah” seluruh langkah selanjutnya dan
hasil akhir?
Islam sebagai agama, telah membekali dirinya sendiri dengan hukum. Hukum
Islam sudah sangat lengkap. Padanya terdapat aturan yang sempurna, bahkan sangat
sempurna, karena pembuat hukum Islam adalah Sang Maha Pencipta sendiri, pencipta
manusia. Ahli fikih Islam dapat menguraikan lebih luas, lebih rinci, dan lebih jelas.
Sebagai hukum positif, Islam bersifat mengikat terhadap siapa yang menganutnya.
Dengan terkondisikannya umat Islam dalam posisi lemah, maka akan
memudahkan pihak lain (yang juga atas jasa kaum orientalis) datang sebagai
pahlawan untuk membantu. Mereka bak dewa penolong datang membantu musafir
yang kehausan di padang pasir, mulai dalam bentuk makanan; melayani para
transmigran seperti yang diberitakan Mingguan Hidup, No. 16/ 17, 15-22 April 1984
(Al-Muslimun, 1984), beasiswa, sampai dengan pinjaman lunak tuan besar IMF
atau tuan besar yang lain. Bantuan tersebut sebenarnya adalah sembilan puluh
sembilan bungkus manis terhadap satu maksud mereka yang sesungguhnya.
Bukankah pada setiap bantuan tersedia perangkap yang akan menghilangkan
pertumbuhan ekonomi dan integritas nasional seperti yang pernah disinyalir oleh M.
Amin Rais? (1994 :89) Mereka sangat ahli dalam membungkus satu kebusukan
dengan sembilan puluh sembilan macam kebaikan. Dan, kebusukan tersebut sungguh-
sungguh akan menghapus tandas seluruh kebaikan mereka saat tersingkap.
Perlu diingat, musuh utama kaum kolonialis adalah Islam (ingat
dendam barat akibat perang salib). Mereka memelihara dengan baik naluri
untuk menguasai, sedangkan Islam mengajarkan kemerdekaan.
Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka tidak ada pilihan
lain, penghancuran peradaban Indonesia dengan segala cara, dan itu artinya sebuah
131
131
penjajahan haruslah dilaksanakan, dengan tangan sendiri (penjajahan primitif) atau
dengan penjajahan internal, pinjam tangan bangsa Indonesia sendiri (penjajahan
modern). Penjajahan model kedua ini lebih aman bagi mereka, lebih efektif, dan juga
akan lebih menguntungkan.
Sampai pada titik ini, misi kaum orientalis berhasil dengan nyaris sempurna,
dan ini tidak lepas dari hasil pendidikan nasional. Pendidikan Nasional tidak mampu
membangun secara optimal prisma bening ke dua. Prisma bening hanya muncul
dalam pelajaran agama yang sangat kecil prosentasenya. Selebihnya, siswa maupun
“siswa” mencari sendiri di kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah (ekstra
kurikuler) atau di luar sekolah.
Pendidikan, sekalipun mengklaim bertujuan membangun manusia Indonesia
seutuhnya, pada kenyataannya, lebih menekankan pada aspek kognitif --intelektual
(IQ)-- sedangkan aspek afektif dan spirituial – perasaan dan keagamaan (EQ dan
SQ) kurang. Pendidikan kering jika hanya mengejar target kurikulum. Pendidikan
lupa bahwa sekalipun IQ tinggi jika tidak dibentengi dengan EQ dan SQ yang
memadai akan menghasilkan manusia pandai yang “nakal”. Kondisi semacam itu,
jelas sangat berbahaya.
Oleh karena itu, pada masa pasca transisi, institusi agama harus ditarik keluar
dari payung pemerintah, maupun lembaga tinggi negara. Agama terlalu agung untuk
bernaung pada payung itu. Ini berarti agama berdiri sendiri sebagai badan (dewan).
Pada level nasional –yang setara dengan lembaga tinggi negara-- ini akan diisi oleh
tokoh umat beragama dengan komposisi berimbang. Mereka akan duduk semeja.
Dari situ muncul pertanyaan, bukankah tokoh agama yang tertarik pada
“politik” pemerintahan (negara) telah tersebar pada berbagai partai politik. Partai
politik yang mana?
Dalam hal ini, kita harus membedakan antara partai agama dengan agama
partai –sekalipun muaranya sama. Partai agama adalah partai politik yang membawa
132
132
simbul-simbul agama tertentu ke dalam partai, simbul agama tersebut dimaksudkan
sebagai tanda adanya keterikatan partai tersebut dengan agama tertentu sehingga
mudah dikenali, sekalipun oleh awam. Jadi, di sini posisi simbul menjadi sangat
penting. Sedangkan agama partai adalah azas yang dianut oleh sebuah partai politik.
Dengan melihat azas partai, akan terlihat isi partai, apakah itu Nasionalis Islami,
nasionalis sekuler, atau sosialis. Jika azas yang digunakan adalah x maka akan di
kelompokkan sebagai golongan x, dan dalam perkembangan selanjutnya, bisa jadi
azas partai tersebut tidak hanya satu, semuanya tergantung pada misi apa yang akan
dipersembahkan pada negeri ini.
Di samping itu, kita hendaknya juga ingat bahwa pemuka-pemuka tiap agama
juga telah mengkristal. Suara mereka, fatwa mereka sangat diharapkan /diperhatikan
untuk dilaksanakan oleh umat. Dengan demikian, sungguhpun tujuan mereka “sama”,
harus ada pemilahan medan juang antara daerah pemuka agama dengan daerah partai
politik bebasis agama.
Maka dari itu, Dewan Agama Indonesia akan menjadi wadah bagi : Majelis
Ulama Indonesia, Wali Gereja Indonesia, Dewan Gereja Indonesia, Parisada Hindu
Darma, Walubi, dan lainnya. Pada dewan agama itulah para pemuka agama duduk
semeja. Dalam hal ini, mereka bukan untuk berdoa bersama seperti yang akhir-akhir
ini sering kita dengar. Sebagai pemuka umat beragama, mereka berkewajiban
memberikan timbangan wahyu terhadap semua keputusan majelis teringgi.
Dewan Agama Indonesia ini sudah selayaknya diisi dengan komposisi yang
berimbang, sesuai dengan prosentase agama penduduk Indonesia. Dewan Agama
Indonesia inilah kelak yang menjadi elemen moral bagi MPR, karena padanya
melekat hak menolak keputusan majelis yang dirasa merugikan umat beragama.
Sedangkan bidang “pemerintahan agama”akan diisi oleh partai agama mayoritas
komunitas umat beragama (baca : penganut agama terbanyak) di sebuah daerah
teritorial, di sinilah tempat perjuangan partai agama itu.
Dengan demikian, dalam Noto Agama pada :
Teritorial x
133
133
Mayoritas penganut agama y
Maka pada teritorial x harus ada pemerintah agama y
Dengan menggunakan pola seperti itu akan terlihat, sebagai contoh:
1. Teritorial Indonesia.
“Pemerintah Pusat Agama” akan diisi oleh komunitas Islam, mereka –partai-
partai Islam -- akan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), bukan partai Masyumi!, dan mengurus urusan “dalam negeri”
umat Islam.
Oleh karena itu, pada Masyumi inilah tempat Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), partai-partai Islam
lainnya, dan ormas-ormas Islam (misalnya : NU, Muhammadiah, Al Irsyad,
Persis, dan lain-lain) berada.
Di bawah Masyumi inilah Departemen Agama Islam (Depag Islam) bernaung,
departemen ini dipimpin oleh Kepala Departemen Agama Islam Pusat (bukan
Menteri Agama, meskipun jabatan tersebut setingkat menteri).
Pada daerah teritorial yang lebih kecil serta mayoritas penduduknya Muslim
maka akan didirikan Depag. Islam pula. Dengan demikian akan ada Depag.
Islam Provinsi Jawa Timur, Depag. Islam Provinsi Sulawesi Selatan, dan
sebagainya. Yang kesemuanya dipimpin oleh Kepala Depag. Islam Provinsi.
Turunan Depag. Islam ini akan terus paralel dengan level pemerintahan
sampai yang terendah.
2. Teritorial Sulawesi Utara “pemerintah provinsi agama” akan diisi oleh
komunitas Nasrani --jika umat Protentan dan Katolik berkoalisi.
Di sana akan terdapat Depatemen Agama Nasrani dan dipimpin oleh Kepala
Departemen Agama Nasrani Provinsi Sulawesi Utara.
Departemen Agama Nasrani Provinsi Sulawesi Utara ini akan mengurus
urusan “dalam negeri” umat Nasrani. Depag. Nasrani ini pun akan paralel
dengan level pemerintahan sampai yang terendah di daerah itu.
134
134
3. Teritorial Bali “pemerintah provinsi agama” akan diisi oleh komunitas Hindu-
Buda --jika umat Hindu-Buda berkoalisi. Departemen Agama Hindu-Buda
akan berdiri di sana. Depag. Hindu-Buda Provinsi Bali akan mengurus urusan
“dalam negeri” umat Hindu-Buda di sana. Depag. Hindu-Buda akan dipimpin
oleh Kepala Departemen Agama Hindu-Buda dan akan terus paralel dengan
level pemerintahan di daerah itu.
4. Teritorial Kabupaten Jember “pemerintah kabupaten agama” akan didisi oleh
komunitas Islam. Dengan demikian akan ada Depag. Islam Kabupaten Jember
dipimpin oleh Kepala Depag. Islam Kabupaten Jember. Depag. Islam ini akan
mengurus “urusan dalam negeri” umat Islam Kabupaten Jember.
5. Teritorial Kecamatan Bangsalsari “pemerintah kecamatan agama” akan diisi
oleh komunitas Muslim. Dengan demikian, pada kecamatan tersebut akan ada
Departemen Agama Islam Kecamatan Bangsalsari dipimpin oleh Kepala
Depag Islam Kecamatan Bangsalsari. Depag Islam Kecamatan Bangsalsari ini
akan mengurus urusan “dalam negeri” umat Islam di Kecamatan Bangsalari.
6. Teritorial kelurahan x dengan mayoritas penganut agama y, maka di situ akan
ada departemen agama y.
Dengan pola seperti di atas pada gilirannya nanti akan terlihat, umat mana
yang seharusnya tampil sebagai pemimpin umat beragama. Juga akan terlihat umat
mana sebenarnya yang merupakan rahmat bagi negeri, dan umat mana sebagai
pembawa laknat bagi negeri. Pun juga akan terlihat, umat mana yang “nakal” dalam
usaha penyebaran agamanya.
Dengan demikian, butir ajaran demokrasi bahwa keputusan –dalam hal ini
kepemimpinan-- diambil dari suara terbanyak dibuktikan. Hanya dengan melihat hasil
sensus penduduk maka akan dengan mudah akan didapat penganut agama mayoritas
pada suatu wilayah teritorial di negera ini.
Keberadaan Dewan Agama Indonesia ini menjadi sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi sebuah negera yang majemuk
seperti Indonesia ini. Hal ini dikarenakan beberapa sebab.
135
135
Pertama, dengan semakin canggihnya teknologi maka deal-deal politik, lalu
lintas informasi, pendelegasian kewenangan, dan sebagainya menjadi tidak dapat
dilacak perangkat hukum karena nyaris minimnya /tak ada saksi. Sebagai contoh,
kasus Supersemar, Tanjung Priok, rekaman kaset Theo Syafii, Bullogate, dan
sebagainya akan dapat selesai dengan sumpah agama -Muhabalah.
Sumpahnya para tertuduh /saksi di muka majelis hakim dalam persidangan
selama ini tidak dapat disamakan dengan sumpah agama. Sekalipun sama-sama
mengatasnamakan Tuhan, ataupun di bawah kitab suci sebab dalam persidangan
tersebut tidak digunakan hukum agama /sanksi agama.
Pertanyaannya, bukankah Indonesia bukan negara agama? Perlu diingat
bahwa bangsa ini telah mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengakuan tersebut
menunjukkan bahwa bangsa ini --suka atau tidak suka-- tunduk kepada kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa. Masalah adanya perbedaan konsep ketuhanan antar ajaran
agama, serta urusan siapa yang dimaksud tuhan oleh Pancasila dan siapa yang
dimaksud Tuhan oleh agama, itu masalah lain pula, sebab ternyata pada atheispun
masih dikenal tuhan --hanya tuhan mereka berbeda dengan Tuhan milik umat
beragama pada umumnya.
“Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tidak identik agama tetapi berkaitan dengannya. Nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk
berkembang di Indonesia. Nilai ini berfungsi sebagai kekuatan mental spiritual dalam
Ketahanan Nasional. Dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Atheisme tidak berhak hidup
di bumi Indonesia”.
(Ketahanan Nasional, 1997 : 43)
Kedua, umat beragama tidak hanya menjadi obyek hukum negara namun juga
sebagai subyek hukum negara itu sendiri. Ini berarti, mereka tidak hanya
136
136
dikendalikan oleh hukum negara tetapi juga sebagai pengendali. Konkritnya, selain
sebagai pemain, umat beragama juga sebagai sutradara.
Sebagai sutradara, mereka akan berpegang pada pakem. Masalahnya, pakem
tersebut diyakini penganutnya bukanlah produk manusia namun wahyu dari Sang
Maha Pencipta yang tertulis dalam kitab suci ajaran agama yang mereka imani. Oleh
karena itu pada mereka juga ada beban pertanggungjawawaban kepada Tuhan
mereka. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara negara hukum --Indonesia,
“negara Pancasila” dengan negara hukum --Indonesia -- baru, negara Pancasila.
Dengan pola seperti itu, antara konteks negara dengan kontek agama terlihat
sejalan, tidak lagi siapa mengendarai siapa. Pada yang pertama, posisi hukum sangat
sentral, sampai-sampai harus ditegakkan dengan segala daya.
Padahal hukum tersebut adalah buah akal budi manusia biasa yang bisa saja
suatu saat akan usang dan mungkin ditinggalkan. Lihat, nasib negara hukum
“komunis”. Sebaliknya, pada yang kedua, posisi hukum sebagai alat untuk
menegakkan ajaran agama yang dianut oleh rakyatnya, tegaknya agama akan
membuat tegak pula negaranya. Pada yang pertama, hukum dapat tegak karena rakyat
dipaksa ikut menegakkan, sedangkan pada yang kedua hukum akan tegak karena
rakyat sadar akan fungsi hukum.
Ketiga, sebagai timbangan kalbu (moral), Dewan Agama Indonesia me-
miliki hak untuk menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta lembaga tinggi negara yang lain jika keputusan
tersebut beresiko bagi umat beragama. Konkritnya, sekalipun anggota Dewan Agama
Indonesia merangkap sebagai anggota MPR, sebagai dewan padanya melekat hak
veto dan hak ini tidak boleh dimiliki oleh lembaga tinggi yang lain.
Oleh karena itu, dewan ini dapat dipandang sebagai rem bagi majelis tertinggi.
Dengan demikian suara mayoritas, baik dalam pemilu maupun saat penetapan
rancangan tidak lagi berfungsi dan bukan merupakan suatu jaminan untuk
mengegoalkan sebuah skenario. Apalah arti mayoritas “kelas beo”, “kelas perkutut”,
137
137
“kelas bebek”, lebih-lebih, apalah arti mayoritas “kelas tikus” jika pada akhirnya
hanya mampu menggasak tandas isi lumbung yang harus dijaganya. Sebab, muara
dari semua kelas tersebut adalah kesengsaraan rakyat banyak.
Keempat, dengan adanya institusi agama dalam struktur negara maka akan
nampak perubahan yang sangat signifikan. Agama akan menjadi pemain dalam
kenegaraan, dan Islam sebagai pemain utamanya, bukan sebagai figuran. Sebagai
mayoritas, ia akan mendapat tempat tersendiri. Dengan tampilnya Islam sebagai
pemain inti dari “regu putih” --regu agama-- akan menopang regu merah, dalam
menjalankan biduk yang bernama Indonesia. Saat itulah, cakrawala baru tersingkap.
Dan, hal ini akan selaras dengan yang pernah diungkap oleh mantan Wakil Presiden
RI Umar Wirahidikusumah bahwa Pancasila tanpa agama akan kosong (Al
Muslimun, 172 : 97) Nah, disini perlu ada kejelasan dari agama mana yang dimaksud.
Dari sinilah, kita baru bisa berharap adanya nurani pada hukum. Tanpa itu,
tuntutan tegaknya hukum hanyalah sebuah bumerang, bukankah takkan pernah ada
Keadilan yang adil dan beradab tanpa ada Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa? Selain itu,
konsep ini juga semakin memperjelas, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan
Tuhan Yang Maha Esa pada Pancasila.
Dengan pola seperti yang terurai di atas, maka pada pasca tarnsisi nanti,
giliran “benang putih” –Piagam Jakarta, yang telah dipersiapkan sejak awal oleh
PPKI, akan menjahit Merah Putih yang sobek di sana-sini, mendampingi “benang
merah” –Pancasila, yang aus dimakan zaman.
Hanya saja, ada satu syarat yang harus dipenuhi untuk itu, yaitu pada H
minus sekian (misalnya, minus 7), semua isi lembaga pemasyarakatan harus
dikeluarkan tanpa kecuali, baik tahanan politik maupun tahanan kriminal, atau
tahanan yang lain. Mereka masuk tempat tersebut –sekalipun bersalah--
berhukum pada hukum yang timpang, hukum yang tidak adil. Atau dengan kata
lain diadakan pemutihan hukum.
Dengan demikian, pada hari pertama pasca transisi, lembaga tersebut dalam
keadaan kosong. Semua orang diharapkan jujur menilai dirinya masing-masing –
138
138
termasuk dari mana asal-usul hartanya. Dari sini timbul pertanyaan, mungkinkah?
Bukankah, sangat mustahil meminta maling mengaku? Hanya Tuhan Yang Tahu.
Bukankah, Tuhan Maha Kaya? Sebagai solusi untuk memebersihkan keraguan,
menjaga nama baik, dan demi kebaikan semua, seyogyanya diadakan sedekah
nasional untuk negara. Jika sedekah tersebut berupa materi, maka, kelak harus
dilelang secara terbuka, dan hasil pelelangan tersebut masuk kas negara.
Pada H minus 1, diadakan pertobatan nasional. Semua komponen bangsa
saling memaafkan. Semua dendam lama, semua sakit hati, semua intrik buruk untuk
menjegal atau menjatuhkan teman yang dianggap pesaing, maupun yang dipandang
sebagai lawan harus ditinggalkan. Dan, ini sifatnya wajib. Sebab pasca transisi nanti,
hukum telah mempunyai nurani, tanpa pandang bulu, dari rakyat jelata sampai
dengan individu pemegang kedaulatan rakyat (wakil rakyat di MPR) … Jika bersalah
akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, hukum yang mereka pilih sendiri.
Pada pertobatan nasional itulah terdapat relevansi antara halal bi halal dengan
kegiatan kenegaraan, sebab hajat tersebut bukan lagi merupakan hajat seorang
penguasa melainkan hajat negara. Dengan demikian, hajat tersebut tidak hanya
mengikat umat Islam saja, namun juga mengikat umat agama lain. –lihat noto tarikh.
Dengan kata lain, pada masa pasca transisi nanti, mereka berhukum kepada hukum
merah atau berhukum kepada hukum putih tergantung pada pilihannya. Nah, saat
itulah kita mulai menata hidup baru sebagai bangsa. Hukum merah --Pancasila--
mengatur siapa, dan hukum putih –Islam-- akan mengatur siapa. Dalam hal apa dan
dalam hal bagaimana kedua hukum itu bertemu menjadi tugas praktisi hukum untuk
membahasnya, mempersiapkan perangkat pendudukungnya, dan mensosialisasikan.
Kalaupun pembaca memaksa bertanya tentang dasar penggunaan “benang
putih” tersebut, maka silakan baca dan renungkan kembali alinea ketiga dalam
Pembukaan UUD RI 1945,
139
139
“Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur,supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”.
Siapa Allah yang dimaksud dalam alinea tersebut? Itu adalah Tuhannya umat
Islam, yang pada-Nya melekat segala sifat Maha, dan para pendiri negara ini pun
telah mengakui. Hal itu dipertegas, dan dapat juga dilihat sebelum tujuh kata pada sila
pertama Pancasila dihilangkan, dan kata “Islam” pada ayat 1, pasal 6 diganti dengan
kata “Indonesia asli”.
Oleh karena itu, pada saat itulah hutang konstitusi --generasi awal--
mereka kepada Muslim terbayar dan lunas. Demikian pula, hutang penguasa yang
semena-mena terhadap Konstituante terbayar. Kalau tidak, sampai kapan hutang
konstitusi itu dilunasi? Beruntung, hutang mereka hanya dihitung pokok
pinjamannya saja, tanpa ada bunga!
Di atas telah disinggung bahwa satu terlalu suci untuk disinggung dan
dibicarakan. Oleh karena itu, satu di sini berarti Indonesia itu sendiri. Dengan
demikian, satuan terbesar dalam negara ini adalah Negara Indonesia, yang padanya
terdapat rakyat, budaya, bentang alam, dan seluruh yang ada di dalamnya. Jadi,
sekalipun seekor semut, sepanjang tidak membuat “keributan” ia berhak hidup dan
mendapatkan perlindungan.
Oleh karena itu, sikap konsisten terhadap pola menghitung seyogyanya juga
terpancar pada perilaku “ negara”. Bilangan telah mengajarkan tentang adanya 11
satuan bilangan, di mana “satuan” adalah satuan puncak dengan sepuluh satuan lain
sebagai penopangnya.
Kondisi ini, jika ditarik ke konteks negara akan sesuai dengan hasil yang
dicapai oleh MPR, sebab selama masa transisi MPR memposisikan diri sebagai PPKI
–MPR sebagai PPKI II-- pra sidang 18 Agustus 1945.
Dengan demikian , dari uraian di atas dapat ditarik sebuah benang Merah
Putih sebagai berikut :
140
140
1. Jika, PPKI pada 18 Agustus 1945 menghasilkan “satu” dasar negara yaitu
Pancasila. Maka MPR sebagai PPKI II menghasilkan “satu” jiwa dari
dasar negara, yaitu Piagam Jakarta. Dari situ baru terbukti kebenaran
bahwa Piagam Jakarta menjiwai Pancasila seperti pengakuan mantan
Presiden Soekarno pada Pengantar Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Jiwa
tanpa masuk ke dalam raga bagai air tanpa wadah, begitu pula sebaliknya.
Pengakuan tanpa diformalkan oleh yang berwenang untuk itu maka
kedudukannya menjadi tidak lebih dari sebuah pengakuan, tanpa ada
ikatan, hanya sebatas lisan;
2. Jika, pada PPKI I nasionalis Islami mengalah, maka pada PPKI II nanti
tiba giliran nasionalis Sekuler yang harus mengalah --bayar hutang!
Sebab, kalau tidak saat itu, sampai kapan hutang turunan tersebut
disandang? Bayar hutang memang terasa berat namun karena hal tersebut
adalah sebuah kewajiban maka betapapun beratnya harus ditunaikan;
3. Jika, MPR sebagai “satuan tertinggi” lembaga negara, maka MPR akan
membawahi sepuluh lembaga tinggi negara yang lain, sehingga MPR
menjadi lembaga tertinggi negara .
Penulis percaya, konsep ini akan mengundang gelombang penolakan dari
banyak pihak. Jangankan berskala nasional, berskala provinsi saja --jika menyangkut
nasib umat Islam-- sering terabaikan, lihat nasib Nangro Aceh Darussalam, berapa
lama mereka “berjuang”? Bandingkan dengan Timor Timur, berapa lama mereka
berjuang? Padahal, pada yang pertama memperjuangkan status istimewa yang
memang layak disandangnya, dan pada yang kedua memperjuangkan lepas dari
pelukan Pertiwi.
Konteks kesejarahan masuknya dua daerah tersebut ke wilayah Indonesia
tidak dapat dijadikan alasan, sebab pada dasarnya Indonesia tidaklah menganeksasi
Timor Timur, dan disamping itu pengorbanan militer pada yang kedua sangat besar,
begitu pula dana yang harus dikeluarkan negara ini. Kalaupun terjadi juga penolakan,
maka mereka yang menolak tersebut dapat dipastikan mengidap Islam phobia atau
141
141
bisa juga lantaran sangat ketakutan kehilangan “telur emas” yang selalu dihasilkan
oleh umat Islam. Dalam hal ini, penulis maklum, bukankah bangsa ikan merasa
ketakutan untuk tinggal di perairan yang jernih?
Jika penolakan tersebut datang dari umat non Muslim, kepada mereka penulis
bertanya, apakah hak anda mengatur peri kehidupan Muslim? Dan kalaupun
penolakan datang dari kelompok Muslim sendiri, kepada mereka penulis hanya dapat
mendoakan semoga cepat sadar, bertobatlah. Agama anda memerintahkan untuk
masuk Islam secara kafah, jangan menerima yang sebagian dan menolak sebagian
yang lain.
Dan, bukankah dapat dibuktikan dengan referendum –khusus bagi umat
Islam-- tentang hal ini? Anda tidak bisa berdalih bahwa tidak ada paksaan dalam
agama. Dalih semacam itu memang tepat saat diucapkan oleh orang yang belum
memeluk Islam. Namun saat Islam sudah Anda pilih sendiri, tidak ada yang
menyuruh, juga tidak ada yang memaksa, dan Anda telah berada dalam pelukannya,
dengan sendirinya dalih tersebut tidak berlaku lagi.
Jadi, sebenarnya, Andalah yang paling bertanggungjawab atas lemahnya
kondisi jutaan umat Islam di negara ini! Bagaimana? Bukankah kemunduran umat
Islam karena meninggalkan aturan agamanya?
Oleh karena itu, dalam perjalanannya nanti, dari segi ekonomi negara maka
baitul maal akan terbentuk sehingga pajak bagi umat Islam ditiadakan karena sudah
ada zakat --baik zakat fitrah, zakat ternak, maupun zakat yang lain. Yang jelas, jika
umat lain bayar satu untuk negara maka umat Islam juga bayar satu, meskipun pada
yang satu tersebut ada penjelasan lebih lanjut.
Tentang detail dua setengah persen, lima persen, sepuluh persen, atau dua
puluh persen serta bagaimana hubungan antara baitul maal dengan pendapatan
/belanja negara, penulis tidak mampu menjelaskan. Tapi percayalah, di luar sana,
ribuan ahli hukum syariah siap menguraikan dengan rinci.
142
142
Dengan berdirinya baitul maal, barulah dapat ditata ekonomi rakyat dengan
adil. Bahkan, di samping itu, kita baru dapat mempersiapkan diri untuk menyongsong
revolusi industri jilid dua. Jika jilid satu model Eropa yang didanai riba hasilnya
adalah kerusakan bumi --Indonesia, maka pada jilid dua nanti yang didanai oleh dana
umat Islam akan terlihat sebaliknya.
3. 5. Noto Ilmu (10)104
Di atas ada disinggung bahwa daerah ilmu adalah daerah pikir dengan
cakupan yang terbatas, sebatas materi yang dapat ditangkap nalar. Adanya dikotomi
antara ilmu umum dengan ilmu agama --mungkin-- dikarenakan adanya anggapan
bahwa agama itu juga termasuk ilmu. Padahal, di dalam agama itulah ilmu bernaung.
Ini berarti ada bagian agama yang tidak dapat ditangkap ilmu, dan bagian tersebut
hanyalah dapat diterima oleh iman (keyakinan). Adalah hal yang sia-sia jika ada
keinginan untuk menguak areal iman.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, ilmu menjadi sangat penting dalam rangka
membangun peradaban bangsa. Lebih-lebih sejak pasca Proklamasi 1945 hingga saat
ini, tak henti-hentinya derita melanda penduduk negeri ini. Bukankah seharusnya
setelah merdeka, menata langkah untuk maju bersama? Bukan malah sikut kiri, sikut
kanan. Atau malah lebih parah lagi, menggunting dalam lipatan untuk maju sendiri.
Apalah artinya, seorang jenderal terangkat ke singgasana jika ribuan prajurit menjadi
penopang singgasananya itu.
Masalahnya, sudahkah ilmu Indonesia itu merdeka? Sebagaimana pendapat
para ahli bahwa ilmu itu bercabang-cabang, masing-masing cabang melahirkan
cabang baru lagi, beranting-ranting, dan beranting-ranting lagi. Semua berkembang
seiring dengan lajunya pengetahuan umat manusia. Lahirnya ranting ilmu yang terlalu
dini akan membuat merana ilmu itu sendiri, sebab “pasar” belum siap menerimanya.
Bahkan, bisa-bisa yang melahirkan ilmu tersebut dianggap miring.
143
143
Begitu pula sebaliknya, jika ranting terlalu banyak --dan sejenis-- maka,
pasarpun akan menjadi jenuh. Muara dari titik jenuh itulah yang disebut dengan
pengangguran. Kondisi ini sudah ada di depan mata.
Dari sini, dapat dimengerti, jika awam berpendapat untuk apa menuntut ilmu
--yang membutuhkan banyak biaya -- jika pada akhirnya hanya menjadi seorang
pengangur. Bisa jadi, para penanggung jawab pendidikan berkilah bahwa tugas
lembaga pendidikan hanya membekali siswanya dengan kail. Urusan mengail di
mana itu sudah bukan tanggungjawabnya lagi.
Dalih semacam itu tidak salah, sepanjang masih ada kolam, empang, perigi,
danau, atau laut yang masih sarat dengan ikan. Namun saat tempat-tempat yang
seharusnya berisi ikan tersebut telah kosong, bahkan airnya pun telah lenyap, lantas
untuk apa gerangan kail yang mereka cari dengan susah payah itu? Bahwa
pendidikan berganti haluan, membekali siswanya dengan parang pun tak akan
berguna saat kayu-kayu di hutan telah tinggal pokok-pokok pepohonannya saja.
Semua telah habis, dan tandas. Dari itu, seharusnya, pendidikan mampu membekali
siswanya dengan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Pembaca yang budiman, perlu diingat bahwa tugas pendidik (guru) dan
pengajar ( baca : dosen) hanyalah sebagai penyampai, tugas pokok mereka bukanlah
“menemukan” ilmu, sekalipun pada guru tertentu dan pengajar ada tugas tambahan
untuk itu –sesekali menjadi penyelam. Untuk itu, wadah para ilmuwan Indonesia
perlu ada. Pada merekalah tertumpu lahirnya ilmu yang berguna bagi zamannya,
bahkan kalau mungkin, bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Yang penulis
maksud dengan berguna bagi zamannya adalah ilmu tersebut berguna bagi pencari
ilmu saat yang bersangkutan tamat dari lembaga pendidikan karena dunia kerja
memerlukan ilmu tersebut. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi mencari
tambahan ilmu pengetahuan di luar lembaga pendidikan.
Mencari tambahan ilmu menunjukkan kurangnya bobot bekal ilmu yang
mereka terima dari lembaga pendidikan. Dan, jika itu terjadi berarti ada kesenjangan
yang dalam antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.
144
144
Itu menunjukkan lembaga pendidikan yang dimaksud tidak menghasilkan
lulusan yang siap pakai juga dapat dipandang sebagai adanya kekurang percayaan
masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kalau kondisi seperti ini tercipta, siapa yang
rugi? Output pendidikan, bukan?
Menjamurnya Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) di berbagai kawasan di
satu sisi memang baik, sebab dapat dipandang ada semacam gairah menimba ilmu.
Namun, di sisi lain, sisi gelap membayang pada pencari ilmu dari keluarga yang
hidupnya pas-pasan. Ini, jelas sebuah ketidakadilan dalam penyebaran ilmu.
Dengan model semacam itu, akhirnya ilmu hanya akan tersebar pada mereka
yang mampu, sedangkan pada mereka yang tidak /kurang mampu cukuplah sebagai
penonton. Padahal, jumlah mereka yang tidak mampu jauh lebih banyak daripada
mereka yang mampu. Beruntung, banyak LBB yang memberikan semacam beasiswa
kepada siswa-siswanya dengan persyaratan tertentu., dan itu sudah merupakan sebuah
pengorbanan (?) dari LBB tersebut. Dalam kondisi seperti itu, kita kembali kepada
hukum alam. Oleh karena itu, terlalu menggiring peserta didik ke arah yang tidak
sejalan dengan jalur hidupnya hanyalah akan menghasilkan kekecewaan.
Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa saat memasuki bangku sekolah
(baca :pendidikan) peserta didik diibaratkan seberkas sinar putih yang menembus
prisma bening dan darinya akan terlahir banyak macam warna yang akan ditangkap
layar. Dalam hal ini, seluas “layar” Indonesia. Jika sinar putih tadi diganti dengan
ilmu murni Indonesia maka akan nampak aneka warna ilmu, misalnya : ilmu
tatanegara, ilmu kesenian, ilmu kesehatan, ilmu bahasa, dan sebagainya. Kesemuanya
berakhir pada ilmu “tradisional”. Memang, dari yang tradisional itulah akan lahir
yang nasional. Namun, memandang nasional adalah hasil penjumlahan dari yang
tradisional tidak selalu tepat.
Persoalan tidak semua yang tradisional dapat terangkat ke permukaan
Indonesia sehingga menjadi milik nasional harus diatasi. Sebagai contoh, bahasa
Indonesia yang terlahir dari rumpun bahasa Melayu akan membuat bangga orang
Sumatera, karena satu di antara banyak bahasa daerah yang ada di Indonesia dapat
145
145
tampil sebagai bahasa nasional. Perjalanan waktu yang ditempuh bahasa Melayu
untuk dapat menasional cukup panjang. Namun, hasil yang dicapai juga gemilang,
mampu menguasai jagat Indonesia. Bagaimana dengan ilmu yang lain? Keengganan
menerima kelebihan budaya etnik lain yang sebangsa jelas bukan sikap yang
diharapkan dalam membangun peradaban Indonesia secara keseluruhan.
Padahal, tidak diragukan, jika kelebihan tersebut dimanfaatkan dan ditambah
sedikit polesan akan melepaskan bangsa ini dari belenggu tiran kolonialis modern.
Apakah arti kolonialis kalau bukan penjajahan. Pertanyaannya, masihkan bangsa ini
terjajah? Menurut hemat penulis, sepanjang negara tidak mampu memasang prisma
bening kedua, maka kemerdekaan masih jauh. Mari kita buktikan tentang masih
adanya penjajahan dari ilmu yang dihasilkan pakar dan diajarkan oleh guru untuk
bangsa ini! Sepanjang “pengetahuan” penulis, ada empat macam penjajahan, yaitu:
penjajahan tarikh7, penjajahan aksara8 , penjajahan bilangan9, dan penjajahan
internal10, yang kesemuanya bersimpul pada satu simpulan.
Pembaca yang budiman, dari pentingnya ilmu yang berakar di Indonesia demi
masa depan bangsa dan negara ini maka harus ada satu wadah yang lebih besar bagi
para ilmuwan. Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai
lembaga bentukan pemerintah sangat layak untuk dinaikkan statusnya menjadi sebuah
lembaga tinggi negara. Dengan demikian, LIPI bernaung di bawah MPR.
lembaga ini mendapat mandat dari pemegang kedaulatan rakyat serta
mendapat tugas tambahan untuk menggali “ilmu murni (ilmu dasar)” Indonesia dan
segala bentuk pertangungjawaban keilmuan menjadi tanggungjawabnya. Pada “ilmu
murni” Indonesia itulah terletak jati diri sebagai bangsa.
Oleh karena itu, badan ini diharapkan merangkul ilmuwan-ilmuwan lain yang
masih terkotak-kotak di luar, seperti ICMI misalnya. Kotak-kotak ilmuwan tersebut
dapat dipandang sebagai satuan organik. Kehadiran badan ini menjadi sangat penting
karena setiap ilmu yang berakar dan tumbuh di Indonesia akan melahirkan sebuah
sistem yang “merdeka”. Dengan sistem itulah, peradaban Indonesia dibangun.7 lihat Noto Tarikh ; 8 lihat Noto Bahasa; 9 lihat Noto Bilangan; 10 lihat Noto Bela Negara
146
146
3. 6 Noto Tarikh Indonesia (10)88
Tarikh yang dipakai di Indonesia adalah tarikh Masehi (samsiah), itu artinya
produk barat, bukan produk timur. Bangsa-bangsa timur lazimnya menggunakan
tarikh bulan (komariah). Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara bulan dengan
hari besar agama mereka. Bukan hanya agama pagan semisal Hindu dan Buda yang
mempergunakannya, bahkan Islam pun menyandarkan perhitungan tarikhnya pada
bulan. Dalam konteks Indonesia mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
a. Dipandang dari sudut agama
Ini berarti mengistimewakan umat Nasrani –Kristen Katolik dan Kristen
Protestan- dengan menafikan (?) umat lain -Islam, Hindu, dan Buda- dalam masalah
perhitungan waktu. Itu sama artinya dengan dua makan tiga, atau minoritas
menguasai mayoritas. Padahal, umat Nasrani hanyalah minoritas dan hari Minggu
adalah hari Tuhan mereka, sedangkan umat Islam yang mayoritas dengan hari Jumat
sebagai hari Tuhan mereka.
Hari Tuhan minoritas dijadikan hari libur umum, di mana gerangan hari
Tuhan mayoritas? Lantas di mana hari Tuhan Hindu dan Buda? belum lagi urusan
taklif dan berbagai ritual yang ada hubungan langsung dengan masalah waktu,
misalnya Ramadhan, liburan sekolah, dan sebagainya.
b. Dipandang dari segi tarikh itu
Pada 1 Masehi, di manakah posisi Indonesia? Di mana pula posisi umat
Nasrani -Indonesia-? Sejarah tanah air dimulai dari Kutai, lantas apa gerangan
hubungan antara Kutai dengan Masehi? Bukankah agama Masehi sendiri masuk
Indonesia bersamaan dengan masuknya Portugis di Maluku? Bukankah dalam
rentang waktu yang panjang antara Kutai dengan masuknya bangsa barat tersebut di
147
147
tanah air ini telah ada negara berdaulat, dan sebagai negara berdaulat dan berbudaya,
bukankah dari situ dapat dipastikan saat itu, Kutai telah memiliki tarikh sendiri?
Bukankah mereka mengadakan pemujaan secara periodik?
Bahkan, bukankah sampai detik-detik proklamasipun secara hukum Aceh
masih berdaulat di samping Yogyakarta? Itu artinya, Indonesia belum jatuh ke tangan
penjajah. Jadi, klaim sejarahwan bahwa Indonesia telah dijajah bangsa barat selama
ratusan tahun perlu dipertanyakan sebab Yogyakarta dan Aceh masih berdaulat,
hanya saja wilayah –Indonesia- makin sempit karena sebagian besar jatuh ke tangan
asing. Selain itu masih ada bukti lain yang membingungkan, jika kita mau
merenung :
Satu tujuh delapan tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka, nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
…………………
(Lagu wajib, H. Mutahar)
Berarti, masa sebelum 17 agustus 1945 bangsa Indonesia belum ada. Dan, kalau
belum ada, bagaimana mungkin bisa terjajah selama ratusan tahun?
Memang, secara materi -wilayah dan populasi penghuninya- jatuh ke tangan
bangsa barat, namun, bukankah mereka semua belum menjadi “Bangsa Indonesia”?
Jadi, untuk apa gerangan mempelajari sejarah Kutai, Sriwijaya, Mataram, Medang,
Majapahit, sampai dengan kerajan-kerajaan bercorak Islam seperti Goa, Mataram,
Banten, dan sebagainya, jika ternyata semua itu bukan Indonesia, karena Indonesia
sendiri belum lahir. Bukankah pengakuan satu bangsa baru muncul saat Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928? Itu menunjukkan bahwa, sebenarnya bangsa Indonesia
baru terjajah Belanda sejak Sumpah Pemuda sampai dengan masuknya Jepang ke
148
148
tanah air ini. Sebelum itu, mereka masih merupakan bangsa (bukan suku bangsa)
Jawa, bangsa Batak, bangsa Ambon, bangsa Pasundan, Bangsa Sulawesi, dan
sebagainya, yang dalam hal kepemudaan dimunculkan dalam bentuk organisasi
pemuda mereka.
Dari situ dapat difahamkan bahwa pengakuan dan pembelajaran kepada
peserta didik sebagai bangsa yang dijajah selama ratusan tahun sangat tidak tepat dan
menyesatkan. Penulis maklum, bukankah para sejarahwan mempelajari sejarah
negara sendiri pada bangsa -yang memandang dirinya sebagai bangsa- superior -
Belanda, dan memandang bangsa ini sebagai bangsa inferior yang perlu ditata, diatur,
dan diarahkan untuk menjadi bangsa “beradab” seperti yang mereka inginkan.
Dengan kata lain, ada kesengajaan agar bangsa ini dihinggapi rasa rendah diri karena
memiliki masa lalu yang suram, sebagai bangsa terjajah.
Sungguh sangat berbahaya, jika rasa rendah diri ini sampai menghinggapi
bangsa, apalagi para pemimpin negara ini, saat jalinan hubungan bilateral maupun
multilateral menjadi sebuah kebutuhan bagi sebuah negara. Dengan adanya rasa
rendah diri, maka akan hilanglah rasa percaya diri, meragukan kemampuan bangsa
sendiri, dan berbagai sifat negatif lain dan ini akan bermuara pada memberi
kemudahan bagi “barat” untuk mendiktekan kemauannya untuk dipatuhi. Lagi-lagi,
rakyat yang menjadi korban.
Pembaca yang budiman dapat melihat hal ini pada setiap perjanjian antara
negeri ini dengan pihak barat, mulai dari Linggarjati, 25 Maret 1947, sampai dengan
AFTA dengan model pasar bebasnya. Apa arti semua itu? Kita hanya digiring untuk
menjadi bangsa figuran, atau mungkin paling tinggi sebagai bangsa pajangan. Negara
ini hanya akan dijadikan “sapi perah” bahan mentah dan pada gilirannya nanti
menjadi “tong sampah” teknologi mereka.
Bahwa teknologi itu penting, memang benar. Namun, apa arti sebuah
teknologi, jika pada akhirnya membuat tanah tercemar, air tercemar, udara penuh
asap, ozon bolong, hutan gundul, ekonomi ambruk, dan mempercepat tumbuhnya
pengangguran serta masalah sosial lain. Bahwa bangsa ini membutuhkan teknologi
149
149
mereka untuk melaksanakan pembangunan, itupun tidak salah. Namun hendaknya
tidak dilupakan bahwa negara ini masih memiliki nilai tawar yang tinggi. Mereka
masih membutuhkan suplai bahan mentah dan pasar.
Di samping itu, sebelum sejarah dimulai disebut zaman pra sejarah yang --
dalam hal ini pembabakannya didasarkan pada alat-alat yang mereka pergunakan--
dikelompokkan dua masa, yaitu zaman batu dan zaman logam. Zaman batu sendiri
dipilah lagi menjadi tiga masa, yaitu zaman batu tua (paleoliticum), zaman batu
tengah (mesoliticum), dan zaman batu muda (neoliticum) yang masing-masing
mempunyai ciri sendiri-sendiri. Adapun zaman logam dipilah lagi menjadi dua
zaman, yaitu zaman perunggu dan zaman besi.
Oleh karena itu, jika tarikh Masehi dimulai dengan 1 M, dan sejarah Indonesia
dimulai dari Kutai (400 M), maka masa pra sejarah Indonesia adalah masa sebelum
Kutai. Ini berarti, masa pra sejarah Indonesia terpisah menjadi dua, yaitu zaman
sebelum Masehi dan zaman antara 1 M dengan 400 M. Pemilahan tersebut jelas tidak
adil. Sebab pertama, zaman pra sejarah itu sendiri merupakan sebuah rentang waktu
yang padanya terdapat lima zaman. Apalagi, konon rentang waktu masing-masing
ratusan sampai dengan ribuan tahun. Kedua, apakah dapat dipastikan bahwa zaman
logam diawali 1 M dan diakhiri saat Kutai berdiri, sementara zaman batu berakhir
pada 1 SM?
Jika tarikh Masehi dikaitkan dengan pendidikan, maka akan lebih runyam
lagi. Kita tahu, bahwa mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim yang setiap
tahun mempunyai kewajiban menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Pro-kontra tentang perlu tidaknya Ramadhan dijadikan hari efektif telah terjawab
dengan munculnya istilah hari efektif fakultatif. Ini menunjukkan akumulasi
kebingungan dunia pendidikan dengan realita.
Pendidikan menghadapi dilema, akan meliburkan bukan saatnya libur,
sementara akan mengefektifkan … bukan saat yang tepat untuk berefektif. Akhirnya,
sebagai solusi, silakan masuk jika ingin masuk. Dengan kata lain, tidak ada
keharusan. Jika masuk, maka akan menjadi tugas berat bagi Guru Agama, ia ahlinya.
150
150
Sebaliknya, jika diliburkan maka lembaga pendidikan akan dipandang kurang /tidak
proaktif dengan kondisi religius. Akhirnya, hanya lembaga pendidikan tertentu saja
yang mampu (?) melaksanakan dengan baik (?), dan hasilnya juga baik (?).
Situasi yang mengambang seperti itu, jelas sulit untuk menghasilkan hasil
yang optimal, terlebih lagi apabila asal melaksanakan. Menyikapi keadaan seperti itu
ada yang perlu direnungkan bersama.
Pertama, adanya hari efektif fakultatif selama ± 15 hari (dibulatkan) dan jika
dikonversikan ke dalam jam petemuan akan menjadi ± 630 jam pertemuan pada hari
efektif.
Kedua, pembelajaran tidak dapat disamakan dengan pekerjaan administrasi
atau pekerjaan lain yang dapat dihentikan di tengah jalan untuk kemudian dilanjutkan
pada waktu yang akan datang.
Pembelajaran adalah sebuah proses dari awal sampai akhir tahun pelajaran,
yang kalau dihentikan di tengah jalan maka tak ubahnya dengan kegiatan memasak di
dapur yang berhenti di tengah jalan, lantas apa yang terjadi? Bukankah akan membuat
“makanan” menjadi masak setengah? Mentah, tidak, dikatakan masak juga belum.
Keadaan akan menjadi lain, seandainya, penanggung jawab pendidikan
berinisiatif menambah jumlah jam pertemuan pada mata pelajaran Pendidikan
Agama, dari dua jam pertemuan menjadi ± 5 jam pertemuan setiap minggunya. –tiga
jam menjadi tugas Guru Agama, sedangkan yang dua jam itu tempat bagi Guru
Mengaji! Guru Al Kitab! Atau yang sejenis dengan itu. Sudah saatnya, mereka ditarik
masuk struktur!-- Dengan kata lain, tidak ada hari efektif fakultatif. Hari efektif, ya,
efektif. Hari libur, ya, libur. Bukankah, pembelajaran akan lebih berhasil saat
disampaikan sedikit demi sedikit, namun teratur dan berkesinambungan?
Dari gambaran di atas terlihat bahwa dalam konteks Indonesia, penggunaan
tarikh Masehi hanya menimbulkan penjajahan internal terhadap mayoritas yang
akhirnya bermuara pada kebingungan penguasa mengelola waktu kerja dan juga
menentukan waktu libur yang tepat, karena mayoritas penduduk negara ini
menyandarkan hitungan waktunya pada bulan bukan pada matahari.
151
151
Oleh karena itu, mengembalikan penggunaan tarikh komariah (bulan)
sangatlah tepat. Menempatkan hari Jumat sebagai hari libur umum, juga tepat, sebab
mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Hanya saja perlu diingat, kita berbicara
dalam koridor Merah Putih. Dan di samping itu, saat Proklamasi 17 Agustus 1945
yang bertepatan dengan 9 Romadhon 1364 H pun hari Jumat.
Dengan demikian, sekalipun menggunakan tarikh komariah maka nanti yang
ditetapkan sebagai Tahun 1 Indonesia adalah saat berdirinya Kutai di bumi
Kalimantan. Jadi, untuk tahun dimulai dari Kutai (pengaruh agama pagan), untuk
bulan menggunakan bulan Hijriah (pengaruh Islam), sedangkan untuk hari
menggunakan hari Masehi (pengaruh Nasrani). Jadi, semua agama
menyumbangkan andil sebagai saham untuk membangun tarikh Indonesia.
Dari situ muncul pertanyaan, mengapa tidak sekalian saja menggunakan
tarikh Hijriah? Pembaca yang budiman, kembali penggunaan tarikh Hijriah secara
total dengan menggantikan tarikh Masehi akan sama artinya dengan membalik
dominasi, giliran yang besar makan yang kecil. Juga akan terkesan meng-Arab-kan
Indonesia, atau bisa juga dipandang meng-Islam-kan Indonesia.
Hal semacam itu haruslah dihindari, sebab pada masa pasca transisi nanti,
bangsa ini sudah harus berani mengucapkan “selamat tinggal, dominasi”. Apapun
bentuknya, sebab yang namanya dominasi sangatlah menyebalkan bagi yang
didominasi. Oleh karena itu, rasa ikut memiliki yang akan lebih memperkokoh
mozaik Indonesia haruslah dibangun bersama.
Pertanyaanya, kapan tahun baru Indonsia? Apakah seperti tahun baru hijriah
ataukah seperti tahun baru saka? Menurut hemat penulis, tidak seperti kedua-duanya.
Tarikh Indonesia, sekalipun menggunakan bulan sebagai dasar pehitungan,
mempunyai tahun baru sendiri. Bagi mayoritas penduduk Indonesia di antara dua
belas bulan dalam dalam kalender hijriah terdapat sebuah bulan yang istimewa yaitu
bulan Syawal yang juga biasa disebut Lebaran. Lihat saja, mulai hiruk-pikuknya
dapur, pasar, pusat-pusat perbelanjaan, sampai dengan arus mudik saat itu.
152
152
Oleh karena itu, nantinya, pengertian Syawal dan Lebaran harus dipertegas.
Perhatikan :
Syawal adalah bulan bulan kesepuluh dalam perhitungan Tahun Hijriah;
Lebaran hari raya umat Islam sehabis menjalankan ibadah puasa (tanggal 1 Syawal);
idhulfitri;
(Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990 : 506 /878)
Pada 1 Syawal, umat Islam di seluruh dunia –bukan hanya di Indonesia--
bergembira karena dapat “lulus ujian” dalam menunaikan ibadah puasa di bulan suci
Ramadhan. Dengan demikian, masa penggemblengan untuk dapat kuat dalam
memerangi hawa nafsu “selesai”. Dalam hal ini ditandai dengan dilaksanakannya
shalat Idhul Fitri. Jadi urusan Ramadhan “selesai” pada 1 Syawal dengan Idhul
Fitrinya. Oleh karena itu, pengertian Syawal lebih mendunia.
Sedangkan pengertian lebaran sekalipun yang dimaksud adalah sama, namun
“semesta” –nya hanya sebatas Indonesia. Dengan kata lain, semesta lebaran lebih
sempit, sebatas bumi Indonesia. Dengan kata lain, lebaran adalah produk akal budi
manusia Indonesia. Di luar sana, sesudah shalat Idhul Fitri, mereka kembali bekerja.
Padahal, untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim --Muslim
Indonesia-- tidaklah berakhir begitu saja, masih ada acara lain, yaitu berhalal bi halal.
Sepengetahuan penulis, acara ini dirintis oleh presiden pertama negara ini. Memang,
kegiatan tersebut senafas dengan Islam karena di dalamnya ada silaturahmi, dan itu
sangat dianjurkan.
Namun, merayakan lebaran itu adalah budaya murni Indonesia. Jadi, menurut
penulis, memformalkan silaturahmi pada bulan Syawal tersebut tidak ada kaitan
langsung dengan Islam. Bukankah silaturahmi dapat dilakukan kapan saja? Begitu
pula dengan bermaaf-maafan, tidak harus menunggu datangnya bukan Syawal,
bukan? Bukankah, jika merasa bersalah akan lebih baik apabila segera minta maaf,
mengapa harus menunggu datangnya Syawal?
153
153
Oleh karena kegiatan tersebut adalah budaya Indonesia --yang dalam hal ini
bisa jadi melibatkan umat agama lain, baik langsung maupun tidak langsung-- maka
Islam berposisi sebagai pengisi bingkai budaya. Sehingga, ketika isi bingkai sudah
menempati 1 Syawal, maka dengan sendirinya si bingkai akan menempati 2 Syawal.
Nah, pada 2 Syawal itulah start awal budaya Indonesia. Padahal, start harus dimulai
dari satu, tidak dari dua, apalagi dari nol --konsep ini secara keseluruhan menampik
nihilisme-- Dengan demikian, maka 2 Syawal = 1 Lebaran.
Oleh karena itu, menurut penulis, 1 Lebaran lebih tepat jika ditetapkan
sebagai tahun baru Indonesia (penggunaan istilah lebaran ini untuk membedakan
antara kalender Indonesia dengan kalender Islam agar tidak membingungkan saudara-
saudara sebangsa yang Muslim, kelak). Dari sini muncul pertanyaan, apakah sistem
tersebut tidak terlalu mengistimewakan Islam? Praduga semacam itu wajar, sebab,
jika hanya diperhatikan sekilas, maka nanti akan terlihat bahwa libur semester 2 dan
libur sekitar proklamasi bersamaan dengan bulan suci Ramadhan, dan libur sekitar
tahun baru beriringan dengan Idhul Fitri. Namun sesungguhnya yang terjadi tidaklah
seperti itu, justru Indonesia yang akan memetik keuntungan.
Perhatikan :
Pertama, bulan Ramadhan sebagai bulan suci dapat benar-benar dibuktikan
kesuciannya dengan “nihil” aktifitas selain ibadah, nihil aktifitas jangan diartikan
tidak bekerja. Dengan Ramadhan umat Islam berkesempatan untuk meningkatkan
kualitas ibadahnya. Mereka secara otomatis akan menghentikan segala aktifitas yang
bertentangan dengan norma agama kecuali mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsu
mereka sendiri. Dengan kata lain, beraktifitas sebelas bulan, menata batin
sebulan.Sehingga usai Ramadhan akan lahir pribadi baru yang lebih baik.
Di saat mereka merayakan kemenangan tersebut, tibalah tahun baru Indonesia.
Dengan bagusnya akhlak mayoritas isi negara ini maka akan membawa ke arah
kebaikan pula, begitu pula sebaliknya. Muatan positif Islam akan terasa membumi
manakala negara dapat memanfaatkan dengan baik dan benar, sebaliknya muatan
tersebut hanya akan bermanfaat bagi umat Islam secara mikro saat negara
154
154
mengabaikannya. Dalam hal ini, pendapat dari Karen Amstrong dalam The Battle for
God yang perlu untuk direnungkan bersama :“Di bawah kerajaan Islam, agama Yahudi dan Kristen mampu hidup damai secara harmonis
selama lebih dari enam ratus tahun . … Mereka tidak menjadi korban pembantaian seperti di
belahan Eropa lainnya”
(Sabili, 01 Th. X : 17)
Kedua, bagi dunia pendidikan khususnya, akan memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk beristirahat panjang. Sehingga, saat masuk kembali sekolah
(belajar) suasana, benar-benar baru karena tahun ajaran telah berganti. Sedangkan
bagi dunia kerja, situasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pekerja untuk
mengambil cuti tahunan mareka –kecuali untuk bidang-bidang tertentu-- sehingga
sesudah berlibur, semangat kerja dan produktifitas meningkat.
Terus terang, penulis merasa kagum atas pandangan jauh ke depan presiden
pertama negara ini dalam membaca muatan positif yang dibawa oleh Islam. Hanya
saja, tindak lanjut dari apa yang telah dibangunnya menjadi hampa dan kurang
bermakna bagi Indonesia seutuhnya karena budaya yang telah dibangun tersebut
hanya berhenti sampai di situ (baca : sesudah halal bi halal, ya, “sudah”). Jadi, jika
ingin muatan positif yang dibawa Islam bermakna bagi negara karena bersifat
mondial, tidak ada cara lain tinggalkan tarikh Masehi. Dengan demikian, rintisan
budaya yang telah dibangun Ir. Soekarno tidak sia-sia.
Ketiga, dengan 1 Lebaran sebagai tahun baru Indonesia, budaya hedonistis
yang identik dengan hura-hura dengan sendirinya akan minggir dan “pulang” ke
negara asalnya. Dari situ dapat difahamkan bahwa Ramadhan adalah embrio untuk
melahirkan budaya Indonesia yang santun, yang secara keseluruhan bertolak
belakang dengan ciri budaya hedonistik.
Dari sini muncul pertanyaan, bukankah sering terjadi ada dua fersi 1 Syawal?
Lantas yang manakah yang dipakai sebagai pedoman 1 Lebaran. Keberadaan dua
fersi tersebut tidaklah lantas begitu saja menggugurkan ketepatan penggunaan tarikh
155
155
bulan. Sebab, sejak jaman Rasulullah SAW. pun kejadian serupa pernah juga terjadi
(?). Oleh karena itu, jika pada hari H (yang pertama) itu adalah 1 Syawal, hari
rayanya umat Islam. Maka pada H + 1 itu adalah 1 Lebaran, tahun baru Indonesia.
Dan, bisa jadi, pada suatu ketika antara 1 Syawal fersi kedua akan bertemu dengan 1
Lebaran dalam sehari. Dalam hal ini, ada sedikit hal yang perlu penulis tambahkan,
bahwa agar lebih meng-Indonesia, maka seyogyanya nama-nama bulan tarikh
Indonesia menggunakan dialek Indonesia. Misalnya : Suro untuk bulan Muharam.
Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana dengan hari libur yang lain?
Pembaca yang budiman, menurut penulis, semua hari besar nasional yang kita
rayakan setiap tahun hanyalah sebuah seremonial yang ”kering” karena nyaris tak
ubahnya dengan membaca cepat sejarah bangsa maupun cita-cita sang pembina
upacara. Jadi, sekalipun amanah Pembina Upacara terdengar menggelora dan
membakar semangat. Namun kenyataannya, berapa persen dari isi negara ini yang
peduli dengan isi amanahnya? Atau berapa persen penduduk yang hadir dalam
upacara tersebut? Atau lebih dalam lagi, berapa persen dari yang hadir yang serius
dalam mengikuti upacara? Atau, apa yang didapat peserta upacara dan bangsa ini
sesudah mengikuti upacara? Padahal, bukankah negara ini milik kita semua?
Jadi, berkaitan dengan itu, maka libur nasional cukup dua kali, yaitu :
a. Libur sekitar proklamasi, meliputi :
(10)0 = 1 hari libur untuk detik-detik proklamasi;
(10)1 = 10 hari libur untuk sekitar proklamasi;
b. Libur tahun baru Indonesia
(10) = 10 hari sebagai hari libur tahun baru Indonesia.
Daripada waktu, pikiran, dana, dan sebagainya terbuang sia-sia karena
seringnya ada peringatan-peringatan hari besar yang tidak jelas manfaatnya, lebih
baik untuk “bekerja”. Sudah saatnya bangsa ini giat bekerja bukan malah disibukkan
dengan upacara peringatan. Bukankah mengenang perjuangan para pendahulu tidak
identik dengan mengadakan peringatan yang sesudah itu, sudah! Jika pendahulu
“giat” menghalau musuh, menjadi tugas penerus “giat” mengisi kemerdekaan.
156
156
Sedangkan libur untuk hari-hari besar agama mendapatkan porsi lebih, yaitu
setiap agama mendapatkan jatah masing-masing tiga hari, sehingga dalam setahun
akan terlihat pemanfaatan hari --pada lingkungan pendidikan-- sebagai berikut :
1. Hari efektif = 247 hari
2. Hari libur 6 agama @ 3 hari = 18 hari
3. Hari libur umum = 48 hari
4. Hari libur semester 1 = 10 hari
5. Hari libur semester 2 = 10 hari
6. Hari libur Proklamasi = 1 hari
7. Hari libur sekitar Proklamasi = 10 hari
8. Hari libur sekitar Tahun Baru = 10 hari
9. Cadangan = 1 hari
Jumlah = 355 hari
Bandingkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Jawa Timur Nomor 188/701/108.03/2002 tentang Hari Sekolah dan Hari
Libur bagi Sekolah di Propinsi Jawa Timur Tahun Pelajaran 2002 /2003, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Hari efektif = 241 hari
2. Hari efektif fakultatif = 18 hari
3. Hari libur umum = 52 hari
4. Hari libur hari besar = 14 hari
5. o Libur semester 1 = 12 hari
o Libur semester 2 = 12 hari
6. Libur permulaan puasa = 3 hari
7. Libur sekitar hari raya = 12 hari
Jumlah = 364 hari
157
157
Dengan demikian, selama masa transisi segmen kedua, adalah menjadi tugas
para sejarahwan untuk menyusun tarikh Indonesia yang baru, yang juga tidak
berkiblat ke manapun. Mereka juga berkewajiban menata ulang sejarah bangsa
/negara ini. Mereka harus menyusun konsep untuk dapat mengembalikan image
kebesaran Indonesia yang telah berhasil diporakporandakan oleh kaum orientalis
sebagai kaki tangan imperialis modern. Hal ini dikarenakan, pada pasca transisi
nanti, pembabakan sejarah Indonesia akan terlihat sebagai berikut :
1. Masa sebelum Kutai disebut masa pra sejarah Indonesia
… < tahun 1 Sebelum Indonesia ( … < 1 SI);
2. Masa antara Kutai sampai dengan Proklamasi dalam tarikh Masehi
disebut Indonesia pada masa feodal. Jika dikonversikan dalam
tarikh Indonesia akan menjadi: tahun 1 sampai dengan tahun x;
3. Masa antara Proklamasi sampai dengan berakhirnya masa transisi
dalam tarikh Masehi disebut Indonesia pada masa republik. Jika
dikonversikan akan menjadi : tahun x sampai dengan tahun y;
4. Indonesia pasca transisi disebut Indonesia Merdeka, dan itu baru
tercapai pada tahun y.
Dengan pengelompokan /pembabakan sejarah seperti itu, barulah terasa
faedah mempelajari sejarah bangsa sendiri /sejarah tanah air sebab ternyata, yang
dimaksud dengan INDONESIA itu adalah Kutai sampai dengan Indonesia.
Bahwa pada zaman pra sejarah, wajah Indonesia seperti “itu”. Pada masa
feodal wajah Indonesia seperti “ini” karena waktu itu madani dan tsaqofinya mulai
dirongrong bangsa asing. Pada masa republik, wajah Indonesia seperti “ini” karena
madani telah merdeka, sementara tsaqofi yang merdeka barulah bahasa Indonesia dan
158
158
politik luar negeri, sementara yang lain belum. Karena tiadanya “rem” pada MPR,
hukum hanya dapat tegak di atas yang lemah sementara pada yang kuat, hukum
menjadi tumpul. Karena tiadanya kekuatan agama masuk dalam struktur negara,
maka politik luar negeri yang seharusnya diterapkan pemerintah adalah bebas aktif
menjadi begini, kadang condong ke sana, kadang condong ke sana. Dan disamping
itu, terjadi pendangkalan akidah agama dan bahkan pemurtadan (dengan berbagai
cara) karena penyebaran agama yang vulgar. Islam hanya dijadikan kendaraan politik.
Karena kesalahan sistem bilangan, maka terjadilah krisis keuangan.
Karena masuknya srtuktur luar birokrasi ke dalam birokrasi serta menafikan
keberadaan Pegawai Negara maka terjadilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
dan pengangguran. Karena masuknya struktur dalam birokrasi ke struktur luar
birokrasi maka terjadilah pengangguran, dan dari keduanya terciptalah kelas baru,
kelas pekerja. Karena militer berada di bawah sipil maka militer menjadi represif,
sipil (baca : -isme) yang berkuasa cenderung ingin menyingkirkan sipil lain yang
dianggap menjadi pesaing beratnya dengan memanfaatkan kekuatan militer. Karena
mengadopsi aksara ciptaan barat maka matilah industri berbasis aksara. Karena
terlalu banyaknya “piramida” dalam pendidikan, maka pendidikan menjadi tidak
maju-maju, dan seterusnya, dan seterusnya.
Bahwa wajah Indonesia setelah merdeka seperti ini, semua -isme hidup
berdampingan dengan damai karena pada dasarnya kesemuanya adalah hasil buah
pikir (budaya) umat manusia di bawah naungan iman kepada Yang Maha Kuasa,
semua nampak transparan, namun bukan berarti telanjang. Saat itulah, krisis jati diri
sebagai bangsa lenyap karena setiap orang berani menampilkan jati dirinya yang
sesungguhnya dengan rasa aman.
Negara milik rakyat, bukan milik penguasa karena penguasa
memandang kekuasaannya adalah sebuah amanah yang harus
dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada atasannya, namun juga kepada
atasan dari atasannya, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
159
159
Hukum tegak di atas semua rakyat tanpa pandang bulu, baik mereka yang ada
di dalam struktur birokrasi maupun mereka yang berada di luar birokrasi, baik kepada
yang lemah maupun kepada yang kuat, dan seterusnya.
3.7 Noto Adil (10)112
Di atas ada disingung bahwa sejak 17 Agustus 1945 bangsa ini
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, sementara di bagian lain juga
disinggung adanya penjajahan bangsa atas bangsa ini sendiri. Keadaan yang
sepertinya mustahil ini, karena bertolak belakang, akan terlihat saat pembaca
membuka perjalanan sejarah bangsa ini. Sejak awal, jadi sebelum proklamasi
kemerdekaan, ada tiga buah -isme yang menonjol di tanah air yaitu nasionalis Islami,
nasionalis sekuler, dan sosialis, yang pada dua yang terakhir ini sering dikaburkan
menjadi satu, nasionalis sekuler.
Di bagian lain juga ada disinggung bahwa Islam mempunyai dimensi iman
dengan demikian pada nasionalis Islami ada dasar iman di sana, bumi ini milik Allah
SWT –jadi, bukan hanya berdasarkan ilmu. Kedudukan manusia hanyalah sebagai
hamba-Nya. Dari situ dapat ditarik benang merah bahwa Islam sebenarnya bukanlah
sebuah -isme, sebab Islam bukan produk manusia.
Sebaliknya, -isme yang lain adalah produk manusia, buah akal budinya.
Adanya perbedaan akar tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah dalam
perjalanan politik bangsa. Kita bisa melihat, bagaimana perlakuan penguasa negera
ini terhadap tokoh-tokoh Islam dari waktu ke waktu saat mereka dianggap mendekati
“kursi kekuasaan”, mulai dari Karto Suwiryo, Kahar Muzakar, Andi Azis,
Mohammad Natsir, Buya Hamka, sampai dengan Abu Bakar Baasyir.
Jangankan kepada mereka, kepada sesama -isme yang sama-sama produk
manusia pun saling sikut. Lihat peristiwa berdarah 1965, yang oleh CIA dinamakan
“salah satu pembunuhan massal paling buruk abad 20” (Prof. Peter Dale Scott, 1998 :
3). itu semua menunjukkan adanya tangan kuat bermain di sana.
160
160
Pertanyaannya, siapa tangan kuat tersebut? Behwa untuk membabat gerakan
berbasis Islam maka militer bergerak sendiri, sebaliknya untuk menumpas -isme yang
lain, maka militer memerlukan dukungan Islam. Dengan kata lain, Islam
dimanfaatkan oleh militer, Islam hanya dijadikan –maaf-- kuda troya.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang memanfaatkan militer?“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara”
(Pasal 10,Undang-Undang Dasar 1945)
Perlu diingat bahwa, pasal-pasal pada batang tubuh UUD 1945 sebenarnya
dipersiapkan untuk menopang “Piagam Jakarta” bukan untuk menopang Pancasila,
sebab jika dasar negara ini –misalnya-- Piagam Jakarta, maka presiden –yang orang
Islam (Pasal 6, UUD 1945)-- akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara
Islam, di mana yang bersangkutan akan selalu terkondisi dan dikondisikan pada
koridor amar ma’ruf nahi mungkar dengan bingkai Merah Putih.
Oleh karena itu, dengan dihilangkannya tujuh kata pada Piagam Jakarta dan
mengubah Pasal 6, tanpa ada perubahan pada Pasal 10 itulah penyebab
ketidakstabilan politik dan keamanan di dalam negeri --Lihat, karena kepiawaian
mendiang Presiden Soekarno merengkuh militer, maka Konstituante dapat
dibubarkan dengan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Padahal, lembaga dengan tugas
utama menyusun konstitusi negara tersebut hampir dapat menyelesaikan tugas yang
diembannya. Karena kurang berhasil merangkul militer, mantan Presiden
Abdulrahman Wahid gagal membubarkan DPR dengan dekritnya. Padahal, presiden
adalah Kepala Negara (penjelasan pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 UUD 1945)-- Bahkan,
untuk mempersubur kekuasaan, diciptakan pula massa mengambang. Massa
mengambang, bak buih di lautan, dapat dipandang sebagai massa tanpa jati diri.
Mereka akan rapat-rapat mengunci jati dirinya agar tidak dituduh kanan atau
kiri.Padahal, apalah arti kanan atau kiri saat sudut pandang dibalik.
161
161
Dalam konteks dunia, dalam teks yang abadi, siapakah musuh Islam
sebenarnya? Penulis tidak perlu mencarikan rumusan, sebab rumusan tersebut sudah
ada sejak sekian abad yang silam.
“Dan orang-orang Yahudi dan Nashara tidak akan suka kepadamu hingga engkau turut agama
mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (sebenar-benar) petunjuk”. Dan
sesungguhnya jika engkau turut kemauan-kemauan mereka, sesudah datang pengetahuan
kepadamu, maka engkau tidak akan dapat dari Allah, pengawal dan (tidak) pembantu”
(QS, Al Baqoroh : 120)
Di samping itu, ada beberapa pendapat barat yang dikeluarkan oleh tokoh mereka
yang perlu direnungkan dalam menata Indonesia :
1. “Missi utama yang dibebankan oleh negara-negara Kristen kepada kita bukanlah
menjadikan kaum muslimin sebagai orang Kristen, karena hal itu adalah soal hidayah dan
kemuliaan. Missi utama kita ialah mengeluarkan seorang muslim dari Islam, supaya
menjadi orang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Allah, sehingga ia tidak
mempunyai ikatan akhlak sebagai pegangan hidup umat Islam. Dengan demikian akan
membuka pintu bagi kemenangan imperialis di kerajaan-kerajaan Islam. Tugas kalian
adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, tetapi tidak usah
memasukkannya ke dalam Kristen. Generasi muslim yang sesuai dengan kehendak kaum
penjajah, generasi yang pemalas, dan hanya mementingkan kepuasan hawa nafsunya.
Dengan demikian missi utama kalian bisa terpenuhi dengan sebaik-baiknya,” Samuel
Zweimer, Direktur organisasi missi pada konferensi para missionaris di kota Qudus tahun
1935.
(DR. Jalal ‘Alam, 1996 : 54)
2. Pimpinan redaksi majalah Time dalam bukunya yang berjudul Safar Asia, memberikan
nasihat kepada pemerintah Amerika membangun suatu pemerintahan diktator militer di
negara-negara Islam. Tujuannya tidak lain untuk mempermainkan umat Islam sehingga
tetap dalam penjajahan barat.
(DR. Jalal ‘Alam, 1996 : 58)
162
162
Dalam konteks Indonesia, gambaran yang tertuang dalam wahyu Illahi,
berbagai -isme, militer berseberangan dengan militansi sipil, adanya perbedaan latar
belakang bersatu, dan perbedaan tujuan masing-masing untuk bersatu serta adanya
sedikit metamorfose --pengakuan sebangsa, bangsa Indonesia--, dan adanya
kecurigaan terhadap sumber falsafah lain di luar Pancasila. Hal terakhir ini pernah
disinyalir oleh L.B Moerdani, mantan Panglima ABRI,
“ …Dari segi sumber-sumber ancaman itu sendiri, kiranya perlu secara jelas dapat diuraikan
sifat-sifat yang menunjukkan bahwa marxisme dan komunisme dan falsafah-falsafah lainnya
di luar Pancasila memang benar-benar ancaman”.
(Al Muslimun, No. 172 : 96)
Keadaan ini sungguh merupakan sebuah tantangan yang harus diselesaikan
dengan cantik. Padahal, semua perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan dari
bangunan sebuah bangsa yang majemuk, dan itu merupakan hukum alam yang tak
terpatahkan sepanjang masa, sebuah sunatullah. Sebuah bangunan yang besar tidak
hanya terdiri dari satu macam bahan, di situ ada aneka ragam unsur pendukung yang
saling menunjang dan saling melengkapi.
Oleh karena itu, saat satu “-isme” menguasai sistem birokrasi dan militer
berada dalam kendalinya, sedangkan sistem yang lain dengan –isme yang lain
menguasai luar birokrasi maka umat Islam pada posisi terjepit. Image sebagai
penebar teror pun segera menguasai jagat media informasi, opini masyarakat digiring
untuk mendiskriditkannya. Padahal, umat Islam (garis keras) hanyalah membela diri
dari kepungan musuh-musuh Islam, baik yang terang-terangan maupun yang
terselubung. Ingat, umat Islam mempunyai andil besar dalam mendirikan negara ini.
Melupakan andil mereka tak ubahnya dengan tidak tahu berterima kasih.
Namun, apa yang diperoleh? Mereka hanya disibukkan dengan ritual –baru--
dan pemenuhan hajat hidup sehingga tidak sadar bahwa mereka telah terkepung dari
segala penjuru.
163
163
Dengan demikian, nyatalah bahwa Pasal 10 UUD 1945 tersebut akan
menggiring penguasa --siapa saja dan dari golongan mana saja-- untuk melenyapkan
saingannya atau yang dianggap sebagai pesaingnya, dengan halus maupun kasar.
Padahal, konon, negara ini berfaham demokrasi. Bukankah dalam demokrasi
seharusnya beda pendapat (baca : beda pandangan --isme) adalah sesuatu yang wajar?
Bukankah, semuanya berhak untuk hidup? Sungguh sangat beruntung, umat Islam –di
Indonesia, khususnya-- masih menggenggam erat pedoman hidupnya,
“Sesungguhnya sembahyangku, dan ibadahku, dan hidupku, dan matiku, adalah karena Allah,
Tuhan bagi sekalian makhluk”
(QS. Al An’am, 6 :162)
Jadi, sebenarnya medan perjuangan umat Islam (di Indonesia) tidaklah hanya
sebatas teritorial Indonesia ini saja. Medan perjuangan mereka seluas bumi ini.
Nasionalisme mereka melampaui luas “nasionalisme” yang lain. Sangat berbeda jauh
dengan pedoman hidup yang diajarkan oleh dunia pendidikan.
Perhatikan :Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
(Lagu wajib, Kusbini)
Lagu tersebut merupakan sebuah ajaran yang sangat menyesatkan peserta
didik. Bagi bangsa ini, yang mayoritas Muslim, itu sebuah ajaran yang akan
menggiring mereka untuk melakukan perbuatan syirik. Jadi, sangat bertolak belakang
dengan pedoman mayoritas bangsa ini. Bayangkan, jiwa raga dipersembahkan untuk
negeri! Salah atau benar negeri harus dibela! Apakah ini tidak bertentangan dengan
ajaran sila pertama dari Pancasila? Dan, pada gilirannya nanti, sekalipun
penguasanya zalim harus dibela!
164
164
Apakah itu bukan merupakan sebuah bentuk pemujaan diluar ajaran Islam?
Apakah itu bukan berarti menuhankan negeri? Dengan kata lain, lagu tersebut akan
menggiring muslim di negeri ini untuk menjadi seorang musyrik dengan sangat
halus /tanpa disadari oleh Muslim itu sendiri. Sampai pada titik ini, misi Kristen di
Indonesia seperti yang diungkap oleh Samuel Zweiner tercapai dengan sangat
menggembirakan, bagi mereka, namun tentunya akan menjadi sebaliknya bagi si
muslim. Sebuah ketimpangan religi.
Negeri (baca : negara Indonesia) memang harus dicintai, dijunjung, dan
dibela sampai tetes darah terakhir. Namun, harus ada penjelasan lebih lanjut tentang
batas paling kiri dan batas paling kanan dari pembelaan tersebut. Tanpa adanya
batasan, maka tak ubahnya sebuah cinta yang membabi buta. Dan, kalaupun pada
akhirnya mati di dalam pembelaannya itu, maka matinya akan mirip dengan kematian
Sang Kumbakarno. Demi Alengka, ia korbankan jiwa raganya. Padahal, ia pun
tahu bahwa Rahwana adalah seorang yang keji. Padahal, ia pun tahu bahwa dirinya
hanya dimanfaatkan. Sebuah kematian yang sia-sia! Ia hanya mati sebagai pahlawan
untuk satu masa saja. Pada saat terjadi pergantian regim yang berkuasa, maka bisa
jadi penghormatan itu hilang dan berganti dengan kebalikannya.
Hal ini sejalan dengan penuturan Yusril Ihza Mahendra, SH yang
mengungkap pendapat Prof. Muchtar Lintang dari Universitas Kebangsaan Malaisia,“Sebenarnya Tuhan itu, hanyalah menciptakan satu bumi untuk di huni manusia, tetapi
manusia sendirilah, yang telah membagi-bagi bumi ini ke dalam wilayah-wilayah, yang
mereka katakan, sebagai milik leluhur mereka sendiri.”
(Al Muslimun, 172 : 80)
Dari situ, dapat dimengerti jika Hizbullah tampil ke permukaan, baik secara
perseorangan maupun kelompok. Mereka akan tampil dengan berbagai nama, sesuai
dengan jamannya. Mereka akan membela saudaranya sesama Muslim di dalam
negara ini khususnya dari kepungan musuh yang semakin beragam dan kian samar,
karena … bisa jadi, sebangsa.
165
165
Di samping itu, dapat juga dimengerti jika suatu saat Hizbullah membantu
saudaranya yang lain di luar negara ini. Bukankah dimensi perjuangan mereka
melampaui batas teritorial sebuah negara?
Mengingat pentingnya arti militer bagi negara dalam mengendalikan
pertahanan dan keamanan negara di satu sisi serta adanya kekuatan besar di luar
struktur birokrasi /negara sejak Proklamasi, 17 agustus 1945 di dalam negara ini
(baca : Tentara Tuhan /Hizbullah), maka harus ada pemilahan daerah kekuasaan
masing-masing –lihat noto bela negara. Ini harus dilakukan sebelum terjadi benturan
terbuka antara militer yang dikendarai sipil dengan Hizbullah sebagai militansi Islam.
Konflik bersenjata antara keduanya memang selalu diharapkan oleh pihak ketiga,
sebab merekalah yang akan diuntungkan.
3. 8. Noto Bela Negara (10) 124
Oleh karena itu, pada pasca transisi nanti militer harus ditarik keluar dari
payung pemerintah /payung sipil. Dengan kata lain, militer berdiri sendiri sebagai
sebuah badan, Badan Pertahanan dan Keamanan Indonesia. Itu berarti, Pasal 10 UUD
1945 harus diamandemen --urusan setuju atau menolak, itu masalah lain.. Dengan
begitu maka panglima tertinggi militer adalah seorang militer, bukankah hanya
militer yang tahu seluk beluk militer? Dari sini, kita baru bisa berharap azas netralitas
militer dapat berjalan dengan benar.
Setahu penulis, struktur organisasi militer adalah sebuah struktur yang paling
solid dibandingkan dengan struktur arganisasi yang lain. Sungguhpun demikian perlu
ada parameter tentang hubungan sipil-militer. Dalam hal ini harus jelas, siapa militer,
siapa sipil --dan siapa pula rakyat, sebab pada keduanya terdapat hak dan kewajiban
membela negara (Pasal 30 UUD 1945) yang lebih dikenal dengan pertahanan
keamanan rakyat semesta (Hankamrata).
166
166
Militer : tentara; anggota tentara; ketentaraan
Sipil : berkenaan dengan penduduk atau rakyat (bukan militer)
Rakyat : segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah)
Dari pengertian tersebut di atas, jika ditarik mundur ke belakang saat
proklamasi maka terlihat bahwa militer terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan
Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang
kesemuanya masuk ke dalam sistem birokrasi, sedangkan Hizbullah memposisikan
diri di luar birokrasi. Mereka yang berada di dalam sistem itulah cikal-bakal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), merekalah gen murni pertahanan
dan keamanan (militer) negara ini.
Di situlah letak kebenaran ABRI berasal dari rakyat. Sedangkan Hizbullah
adalah gen murni pertahanan dan keamanan sipil. Dalam perjalanan berikutnya, Polri
melepaskan /dilepaskan (?) dari ABRI, dan difungsikan sebagai pertahanan negara.
Selama ini, Hizbullah sebagai Tentara Tuhan belum mendapatkan tempat
dalam struktur birokrasi /negara, namun fungsinya telah ditempati oleh institusi
lain… Memang, dalam kapasitas papan nama, Hizbullah dapat muncul dengan
berbagai nama, secara materi dapat saja berganti individu, namun pada hakekatnya
institusi mereka adalah sama.
Mereka adalah Tertara Allah, Tantara Tuhan, yang akan selalu dan selalu
hadir di setiap zaman, di seluruh penjuru bumi –bukan hanya di Indonesia. Oleh
karena itu, tidak memberi tempat kepada institusi tersebut --menurut penulis--
seperti membiarkan “gunung karang” terbang. Itu sangat berbahaya.
Oleh karena itu, berkaitan dengan adanya dua kekuatan besar, keberadaan
militer, keberadaan sipil, dan keberadaan rakyat serta jika dihubungkan dengan Noto
Adil maka pada pasca masa transisi nanti, jika, bela negara adalah satuan bela
negara yang pertama dan utama,maka satuan bela negara berikutnya adalah:
167
167
No. Nomor satuan Satuan bela negara Unit kerja pembelaan
A 1 Pertahanan dan keamanan negara Aparatur Negara Militer
2 Pertahanan dan keamanan sipil Aparatur Negara Sipil
3 Petahanan dan keamanan rakyat Rakyat
B 4 Keamanan negara Pegawai Negeri Militer (TNI)
5 Keamanan sipil Tentara Tuhan
6 Keamanan rakyat Keamanan Rakyat (Kamra)
C 7 Pertahanan negara Polisi
8 Pertahanan sipil Pegawai Negeri Sipil (PNS)
9 Pertahanan rakyat Pekerja
D 10 Pertahanan dan keamanan rakyat semesta Seluruh rakyat Indonesia
Tabel 24
Dari kolom nomor pada tabel di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
A. Kelompok ini adalah pemilik lahan kehidupan, generasi pertama
negara ini.
B. Kelompok ini berisi para ksatria negara;
C. Kelompok ini terisi para profesional dan “profesional”
D. Kelompok ini terisi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecualai, baik yang
berada pada dunia militer, dunia sipil, dan rakyat murni.
A. Kelompok pemilik lahan kehidupan
Aparatur Negara Militer dan Aparatur Negara Sipil berada di dalam
struktur birokrasi dan selanjutnya berstatus sebagai Pegawai Negara. Sedangkan
rakyat berada di luar struktur birokrasi. Sebagai pemilik lahan kehidupan, padanya
melekat sederet hak-hak istimewa kepemilikan, misalnya mewariskan
(mengalihkan), menyewakan, mengontrakkan, memperjualbelikan, maupun
melepaskan kepemilikannya.
168
168
1. Unit kerja pertahanan dan keamanan negara ditempati oleh Aparatur
Negara Militer. Dengan demikian, adanya tuntutan sementara pihak agar militer
pulang ke barak tidak sepenuhnya tepat. Bahwa barak adalah habitat militer itu ada
benarnya, namun harus diingat bahwa barak --dalam konteks pendidikan-- dapat
disejajarkan dengan sekolah, dalam konteks perdagangan dapat disejajarkan dengan
pasar, dalam konteks pertanian dapat disejajarkan dengan sawah. Mengingat beratnya
tugas yang diemban, yaitu menjaga eksistensi negara secara keseluruhan, maka
menggiring sepenuhnya militer pulang ke barak akan sama artinya dengan
menempatkan pagar di dalam kamar, bukan pada tempatnya.
Dengan kata lain, pola tersebut akan membelenggu militer dan muaranya, saat
pemerintah sipil “kalah” secara politis dengan pemerintah sipil negara lain, siapa
yang rugi? Oleh karena itu, harus ada penjelasan yang lebih rinci tentang militer
mana yang harus berada di dalam barak tersebut. Mengingat aparatur ini dapat berada
pada satuan organik AD, AL, dan AU. Maka, jika mereka berada pada satuan organik
itulah ada benarnya tuntutan militer pulang ke barak.
Menurut konsep bilangan, keberadaan “pemerintah militer” perlu sampai ke
tingkat kelurahan --level terendah pemerintah sipil. Jadi, seyogyanya, di bawah
Komando rayon Militer (Koramil) –yang selanjutnya bernama Komando Pertahanan
dan Keamanan Kecamatan-- masih ada dua institusi militer lagi, yaitu di tingkat desa
dan di tingkat kelurahan. Bagaimana akan mampu dengan cepat menyerap informasi
adanya infiltrasi /subversi atau anasir-anasir berbahaya jika keberadaanya masih
“agak” jauh. Ketakutan akan represifnya militer sudah saatnya ditinggalkan. Militer
sudah netral. Pada markas komando itulah tempat sebenarnya bagi aparatur tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, petinggi militer dari struktur terendah
sampai tertinggi dipilih dari militer dan oleh militer sendiri tanpa ada campur
tangan sipil. Dengan demikian, mereka --secara perseorangan /institusi-- tidak
mempunyai beban hutang budi kepada sipil yang memilih /mendukungnya.
Bagaimanapun, keinginan membayar hutang budi adalah hal yang manusiawi.
169
169
Oleh karena itu, dengan dihilangkannya peluang untuk itu, militer akan sulit
untuk dimanfaatkan sipil untuk mendukung kepentingan sipil sesaat, terlebih jika
kepentingan sipil tersebut sampai menjurus pada lepasnya “kedaulatan”. Jadi,
keberadaan “pemerintah militer” hendaknya tidak dipandang sebagai pemerintah
bayangan. Militer mempunyai kewajiban untuk itu, dan bahkan, dalam hal tertentu
militer berkewajiban mendampingi sipil –sebagai suport energi.
Tugas apatur ini adalah menghadapi segala macam bentuk ancaman bagi
negara yang datang baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, baik
ancaman langsung maupun tidak langsung. Jika dipandang perlu, mereka dapat
diperbantukan ke sipil. Yang penulis diperbantukan adalah untuk menangani
masalah tertentu karena sipil tidak /belum mempunyai kemampuan untuk itu.
2. Unit kerja pertahanan dan keamanan sipil diisi oleh Aparatur Negara Sipil.
Mereka dapat saja tersebar pada berbagai institusi sipil sesuai dengan keahlian
masing-masing di dalam struktur birokrasi. Dengan demikian, fungsi unit ini akan
diisi oleh Aparatur Negara Sipil.
Pada Aparatur Negara Sipil inilah sebenarnya terdapat hak untuk memilih
dan dipilih untuk duduk dalam jabatan “pemerintahan” sipil, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Jadi, menurut konsep ini sebagai contoh :
Jabatan pada pemerintah dari lurah sampai dengan presiden dipilih dari dan
oleh Aparatur Negara Sipil yang ada pada bidang tersebut;
Jabatan pendidikan, dari Guru Sekolah Dasar sampai dengan Guru
Pendidikan Nasional dipilih oleh dan dari Aparatur Negara Sipil yang ada
di bidang pendidikan (baca : Guru) di daerah itu.
Dengan demikian, “sipil” memilih sendiri siapa yang tepat sebagai
pemimpinnya. Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, presiden bukan dipilih oleh
MPR. Presiden pun tidak boleh berasal dari militer. Presiden juga tidak boleh dari
rakyat murni.
170
170
Dengan kata lain, pola ini akan menggiring ke situasi persaingan murni tanpa
mengabaikan senioritas. Begitu pula dengan jabatan lain dalam lingkup sipil. Jika
dipandang perlu, sipil dengan keahlian tertentu dapat diperbantukan ke militer,
misalnya untuk menangani administrasi, kebersihan, dan sebagainya. Dengan
demikian, tidak ada halangan bagi sipil untuk hidup di dunia militer, dan begitu pula
sebaliknya, semua tergantung kebutuhan.
3. Pertahanan dan keamanan rakyat diisi oleh rakyat yang menguasai unit-unit
produksi, baik unit prokduksi dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti produksi
jasa, serta dalam arti jasa itu sendiri. Pada unit produksi, mereka dapat terlihat dalam
penguasaan lahan pertanian, perikanan, perkebunan, perindustrian, dan sebagainya.
Sedangkan pada unit produksi jasa dapat terlihat pada penguasaan sarana jasa,
misalnya alat-alat pertanian (baca : traktor, dsb.), alat transportasi (baca : taksi, bis,
sado, dsb.), alat komunikasi (baca : wartel, warnet), sarana hiburan, dan sebagainya.
Jasa itu sendiri dapat berupa jasa tenaga, jasa keahlian, dan sebagainya.
B. Kelompok ksatria negara secara keseluruhan.
Pada kelompok ini, nasionalis ilmu dan nasionalis iman bertemu dalam satu
paket dengan bidang garapan yang berbeda.
4. Keamanan Negara diisi oleh warga negara Indonesia yang
melaksanakan /terkena wajib militer. Oleh karena itu, doktrin militer (baca : Sapta
Marga) mengikat mereka. Dengan demikian, berdasarkan pola ini, mereka dapat
berasal dari gen murni militer, gen murni sipil, dan dapat pula berasal dari gen
murni rakyat. Perhatikan :
Apabila mereka berasal dari keturunan militer, maka yang
bersangkutan adalah Militer Wajib yang melaksanakan Wajib Militer.
Jika berasal dari keturunan sipil, maka yang bersangkutan adalah Sipil
Wajib yang melaksanakan Wajib Militer.
171
171
Sedangkan jika berasal dari rakyat, maka mereka adalah rakyat yang
melaksanakan Wajib Militer .
Butir satuan keamanan negara ini, jika ditempati oleh militer yang berasal
dari rakyat maka yang bersangkutan berstatus sebagai Pegawai Negeri Militer.
Dengan statusnya itu, hak dan kewajiban sebagai pegawai negeri melekat padanya.
Mereka berada di dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan
Udara (AU).
5. Keamanan Sipil ditempati oleh militansi sipil.
Kelompok ini tidak lain adalah Tentara Tuhan di muka bumi. Maka dari itu,
modal pembelaan mereka kepada negara adalah iman. Pada posisi puncak, fungsi
ini ditempati oleh Hizbullah, sedangkan pada level yang lain akan sejalan dengan
Pemerintahan Agama yang ada. Dengan demikian, untuk daerah Bali misalnya akan
diisi oleh Pacalang, untuk Minahasa akan diisi oleh Tentara Salib, dan sebagainya.
Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa bukan keturunan F? Perlu
diingat bahwa keimanan sebagai dasar seseorang masuk ke dalam barisan itu tidaklah
dapat diwarisi, iman juga tidak dapat dibeli. Bukankah tidak menutup kemungkinan,
ada yang orang tuanya seperti Sultan Agung Hanyokrokusuma sedangkan anaknya
seperti Amangkurat? atau malah mungkin sebaliknya ….
Tugas mereka adalah menghadapi “sipil” yang mengganggu /mengancam
keamanan sipil lain. Dengan demikian, seharusnya, tempat polisi yang kita kenal
selama ini adalah tempat bagi mereka, tempat polisi bukan di sana. Mereka memiliki
kekuatan yang luar biasa, karena dilandasi oleh iman, maka keberadaan mereka harus
ditarik ke dalam struktur. Dalam dunia pewayangan, mereka adalah Gunawan
Wibisono. Mereka mencintai negaranya, namun juga berani bersikap kritis terhadap
penguasanya. Bahkan bila perlu, berseberanganpun, mereka tidaklah gentar.
Relefansi pengabdian mereka kepada negara tidaklah sebatas dunia yang fana, di situ
ada warna pengabdian kepada Yang Maha Kuasa.
172
172
Dari sini, muncul pertanyaan, lantas di manakah posisi polisi berada? Untuk
itu, silakan lihat pada butir pertahanan negara. Sebab, menempatkan sesuatu jika
bukan pada tempatnya akan menimbulkan masalah bagi “sesuatu” itu sendiri.
6. Keamanan rakyat ini akan ditempati oleh rakyat dengan identitas tertentu.
Fungsi ini ditempati oleh Keamanan Rakyat (Kamra) yang kita kenal selama ini.
Sungguhpun demikian, perlu diingat bahwa kelahiran Kamra jauh terjadi sesudah
proklamasi kemerdekaan negeri ini. Dengan kata lain, Kamra memang anak kandung
dari gen ketiga, oleh karena itu bidang garapan dan regenerasi di antara mereka perlu
dikaji lebih lanjut oleh para pakar pertahanan dan keamanan nasional.
Saat ini, dalam konteks yang sederhana, posisi Kamra telah ditempati oleh
Satpam yang dapat dilihat kehadirannya pada tempat-tempat tertentu. Dan, dalam
konteks yang paling sederhana mereka muncul sebagai penjaga keamanan “seorang”
rakyat, dalam hal ini mereka dikenal sebagai pengawal pribadi.
Oleh karena sangat pentingnya arti Kamra bagi suatu komunitas atau bagi
orang-orang tertentu, maka ada baiknya jika keberadaannya dibina dengan lebih
intensif sehingga keberadaannya membawa rasa aman bagi yang melahirkan di satu
sisi serta tidak menimbulkan gangguan keamanan bagi “pasangan” yang melahirkan.
Sebagai contoh, pasangan pedagang adalah pembeli /pelanggan. Pasangan guru
adalah murid. Pasangan sopir /awak angkutan adalah penumpang, dan sebagainya.
Pada dasarnya, tugas mereka adalah menjaga keamanan rakyat dari gangguan
rakyat. Sebagai contoh, rakyat pedagang akan melahirkan Kamra pedagang. Dengan
demikian, di satu sisi, pada Kamra Pedaganglah tugas menghadapi preman, tukang
palak, dan sebagainya dan di sisi lain, mereka dapat menimbulkan rasa aman bagi
pembeli. Rakyat petani akan melahirkan Kamra petani. Rakyat nelayan akan
melahirkan Kamra nelayan, dan begitu seterusnya.
173
173
C. Kelompok ini diisi oleh kelompok profesi /semua komponen (baca: militer,
sipil, dan rakyat) yang terkena kewajiban melakukan pertahanan
7. Pada butir pertahanan negara akan ditempati oleh militer tertentu yang
terkena kewajiban. Dengan demikian,berdasarkan konsep bilangan maka satuan ini
sebenarnya masih bernaung dibawah payung pertahanan dan keamanan negara.
Dengan demikian, posisi ini ditempati oleh Polisi Republik Indonesia (Polri). Namun
polisi yang dimaksud bukanlah polisi yang kita kenal selama ini.
Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan militer tertentu
itu? Pembaca yang budiman, militer yang dimaksud adalah militer yang telah
mencapai kondisi tertentu, misalnya karena faktor usia. Dengan demikian, batasan
antara seorang tamtama, bintara, atau perwira untuk dialihfungsikan haruslah jelas.
Misalnya, untuk seorang tamtama adalah 48 tahun, untuk bintara 54 tahun, dan untuk
perwira adalah 60 tahun. Dengan demikian, polisi adalah tempat pengabdian yang
terakhir bagi militer apapun statusnya kepada Pertiwi.
Tugas mereka adalah menghadapi segala macam ancaman bagi negara yang
datang dari dalam negara, baik ancaman yang datang dari sipil maupun dari rakyat.
Maka dari itu, tempat bagi mereka adalah menjaga aset negara. Aset tersebut berupa
barang tidak bergerak seperti aset perkantoran, aset budaya, pertambangan, hutan,
laut, maupun aset negara yang lain. Aset bergerak seperti kendaraan, serta aset lain
yang berupa jaminan keamanan bagi penyelenggara negara. Dalam konteks yang
paling sederhana, aktivitas mereka adalah mengawasi absensi pegawai negeri pada
sebuah institusi negara dan menjaga keamanan institusi tersebut.
Dari sini muncul pertanyaan, lantas di manakah posisi polisi yang kita kenal
selama ini? Pembaca yang budiman, tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada
polisi, tempat mereka bukan di sana. Selagi mereka masih muda dan energik, posisi
mereka adalah di dunia militer, bukan di dunia sipil. Kelak, saat usia sudah berangkat
senja maka dengan sendirinya mereka akan masuk ke dunia sipil.
174
174
Urusan sipil, biarlah diurus oleh sipil murni sendiri –lihat keamanan sipil di
atas. Dengan demikian, kelak, tidak ada polisi berusia muda.
8. Pertahanan sipil ditempati oleh sipil dengan identitas tertentu. Yang
penulis maksud dengan identitas tertentu bukan menyangkut suku, agama, ras, atau
golongan (SARA) melainkan identitas melekat yang berupa profesionalis
/keahlian /kecakapan yang bersangkutan. Keahlian mereka dibutuhkan oleh negara
/pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada rakyat secara
keseluruhan.
Dengan kata lain, sipil dengan identitas tertentu tersebut dapat berasal dari
militer, dari sipil sendiri, dan dapat pula berasal dari rakyat murni.
Jika mereka berasal dari militer, maka mereka adalah Militer Wajib
yang menjalankan wajib Sipil;
Jika berasal dari sipil sendiri, maka mereka adalah Sipil Wajib yang
menjalankan Wajib Sipil;
Sedangkan jika berasal dari rakyat, maka merekalah yang selama ini
dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jadi, pegawai negeri sipil adalah
rakyat yang melaksanakan Wajib Sipil.
9. Pertahanan rakyat. Jika ditarik mundur ke saat Proklamasi, 17 Agustus
1945, pola ini akan menggiring kita pada spesialisasi yang telah dipilih gen murni
para pendahulu negeri ini. Spesialisasi gen murni nampak pada mata pencaharian
yang berkaitan dengan keahlian mereka. Dengan demikian, pada dasarnya, pada mata
pencaharian rakyat itulah sesungguhnya fungsi rakyat dalam pertahanan rakyat.
Pertahanan rakyat dapat dilihat pada berbagai sektor kehidupan, misalnya :
buruh, tukang, sopir, artis, sekretaris, akuntan, dan sebagainya. Jadi pada dasarnya,
kelompok ini diisi oleh para pekerja dari segala strata kehidupan sosial. Pertumbuhan
kelompok ini sangat cepat, baik dilihat dari angka pencari kerja maupun dari
175
175
pertumbuhan keahlian itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan proyek-proyek padat
karya dalam berbagai lini kehidupan sangat membantu terhindarnya ledakan
pengangguran dan berbagai masalah sosial lain yang menyertainya.
Mengingat pada fungsi pertahanan rakyat sangat mudah terjadi permutasian,
maka pembekalan kecakapan /keahlian yang diberikan oleh pendidikan hendaknya
ditingkatkan. Baik porsi, macam, maupun intensitasnya Sehingga output pendidikan
tidak sampai ketinggalan kereta “pasar tenaga kerja” yang membutuhkan. Bahkan,
bila dipandang perlu Balai Latihan Kerja (BLK), kursus-kursus, dan yang sejenis
dengan itu diperbanyak.
D. Pertahanan dan keamanan rakyat semesta
10. Unit kerja pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Dalam hal ini ada
dua pengertian yang perlu diperhatikan. Pengertian pertama, pertahanan dan
keamanan dalam arti sempit. Dengan kacamata mikro, maka yang dimaksud oleh
dunia militer akan berbeda dengan yang dimaksud oleh dunia sipil, begitu pula
dengan dunia rakyat. Masing-masing mempunyai pandangan sendiri-sendiri, sebagai
gambaran sederhana :
Militer akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia militer dari
ganguan dunia sipil maupun dari dunia rakyat;
Sipil akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia sipil dari
intervensi dunia militer, dunia sipil lain, maupun dari dunia rakyat;
Pendidik akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia pendidikan
dari pengaruh negatif yang datang dari dunia lain agar peserta didik
dapat menjadi pribadi yang utuh;
Rakyat akan menjaga “pertahanan dan keamanan” rakyat dari serbuan
dunia sipil, dunia militer, atau dunia rakyat lain.
Gangguan tidak selalu harus diartikan dalam bentuk gangguan keamanan atau
fisik belaka, sebab dalam keseharian bentuk gangguan dapat saja berupa kebijakan
176
176
yang tidak populer karena merugian rakyat banyak atau merugikan sebagian rakyat,
sementara ada “rakyat lain” diuntungkan. Dalam hal ini, sangat banyak sekali contoh
yang dapat dilihat dan dirasakan.
Dengan demikian, pada dasarnya masing-masing “kehidupan” mempunyai
naluri untuk mempertahankan diri dari gangguan keamanan yang datang dari
“kehidupan” lain. Padahal, pada Noto Kehidupan kepemilikan lahan kehidupan telah
terbagi sejak pasca Proklamasi, 17 Agustus 1945 yang lalu. Dari sini, dapat
dimengerti bahwa secara mikro penanggung jawab pertahanan dan keamanan rakyat
semesta menjadi tanggung jawab mereka sendiri, sesuai dengan tempat mereka
berada.
Mereka yang berada di dalam srtuktur menjaga pertahanan dan keamanan
dari dalam struktur, sementara mereka yang berada di luar struktur menjaga
pertahanan dan keamanan dari luar struktur birokrasi. Dengan kata lain, mereka yang
berada di dalam struktur birokrasi melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bela
negara lewat jalur birokrasi (baik sipil maupun militer). Adapun, mereka yang berada
di luar struktur birokrasi melaksanakan hak dan kewajibannya lewat jalur parlemen.
Baik jalur birokrasi maupun jalur parlemen akhirnya akan bermuara pada satu titik
yang sama, yaitu majelis tertinggi11.
Masalahnya, tempat yang telah tertata pada generasi pertama menjadi kacau.
Mereka yang seharusnya berada di lahan satu tempat tergeser oleh kekuatan lain
tanpa ada yang meluruskan. Bahwa A tidak mungkin digantikan oleh B, begitu pula
sebaliknya. Memang, dalam kondisi tertentu substitusi dapat dilakukan, namun
memposisikan A = B jelas sangat tidak adil. Bukankah seharusnya, siapa yang datang
lebih dahulu akan menempati barisan di depan? Pola tersebut di atas akan
menggiring masuknya rakyat pada lembaga perwakilan rakyat di dalam struktur
negara yang selanjutnya disebut lembaga perwakilan rakyat (parlemen).11 lihat Noto Penguasa
Untuk selanjutnya lembaga perwakilan tersebut (DPR) akan melakukan fungsi
legislatif. Oleh karena itu, di dalam DPR --atau turunannya, wakil rakyat harus jelas
177
177
basisnya sehingga saat menyuarakan aspirasi rakyat menjadi jelas rakyat mana yang
diwakilinya. Begitu pula saat rakyat mengadukan nasibnya, akan jelas pula, kepada
siapa mereka akan mengadu.
Dari sini muncul pertanyaan, bukankah di DPR sudah terdapat komisi-komisi
dengan bidang garapan yang berlainan? Bukankah seharusnya kepada mereka rakyat
mengadu? Memang, komisi telah ada dan akan secepatnya (?) merespon aspirasi
rakyat. Namun perlu diingat bahwa pada komisi-komisi tersebut para wakil rakyat
masih akan membawa pandangan fraksi /partainya atau dengan kata lain masih
mambawa kepentingan sempit. Adanya perbedaan cara pandang setiap partai itulah
yang membuat sebuah masalah menjadi tidak cepat selesai, terkatung-katung, dan
akhirnya terabaikan karena rumitnya memadukan perbedaan cara pandang.
Pada akhirnya, rakyat sendirilah yang rugi. Muaranya adalah
ketidakpercayaan rakyat terhadap para wakil mereka yang telah mereka antarkan
sampai ke kursi parlemen. Ketidakpercayaan akan membuahkan kekecewaan. Pada
saat rasa kecewa mencapai puncaknya, bisa saja mereka lupa pada rambu-rambu
kehidupan yang dijunjungnya.
Berdasarkan konsep bilangan, akhirnya dapat ditelusuri bahwa lembaga
perwakilan rakyat haruslah ada sejak dari tataran terendah pemerintah sampai tingkat
nasional, dan itu berarti harus ada sebelas macam satuan lembaga legislasi. Oleh
karena itu, jika lembaga legislatif tingkat pusat (baca : DPR RI) adalah satuan
perwakilan rakyat yang pertama dan utama, maka akan ada sepuluh macam satuan
legislatif yang ada dibawahnya, yaitu :
l. Bagian : DPR Bagian
2. Wilayah : DPR Wilayah
3. Provinsi : DPR Provinsi
4. Karesidenan : DPR Karesidenan
5. Kabupaten : DPR Kabupaten
6. Kota : Perwakilan Rakyat Kota
178
178
7. Kawedanan : Perwakilan Rakyat Kawedanan
8. Kecamatan : Perwakilan Rakyat Kecamatan
9. Desa : Perwakilan Rakyat Desa
10. Kelurahan : Perwakilan Rakyat Kelurahan
Mengingat yang dimaksud rakyat adalah mereka yang berada di luar struktur
birokrasi yang di dalam hak dan kewajiban pembelaan negara serta pemenuhan hajat
hidup tidak lagi memandang –isme maka dari itu keberadaan partai politik
“praktis” menjadi tidak perlu. Negara ini sudah merdeka. Jadi, apa untungnya
membentur-benturkan rakyat di dalam pemilihan umum. Apalagi dengan dana yang
bukan main besarnya. Dengan demikian, yang diperlukan adalah partai politik yang
sesuai dengan kondisi riil mereka. Sebuah partai yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan mendasar mereka, sebuah partai politik praktis.
Dengan kata lain, partai yang diperlukan adalah partai yang sesuai dengan
warna dasar mereka di luar yang berbau suku, agama, ras, maupun antar golongan /-
isme (SARA). Bahwa posisi suku sudah mendapatkan tempat pada bangsa, posisi
agama sudah mendapatkan tempat terhormat dalam struktur negara, ras sudah luruh
dalam pengertian manusia Indonesia, dan masa bakti -isme sudah berlalu dengan
merdekanya bangsa.. Maka dari itu, akhirnya dapat diketahui bahwa warna dasar
selain yang berbau SARA adalah pekerjaan. Sebagai contoh “partai politik” petani,
“partai politik” pedagang, “partai politik” nelayan, “partai politik” pengusaha,
“partai politik” pekerja pabrik, “partai politik” seniman, dan sebagainya itulah yang
mereka perlukan.
Dengan demikian, tingkat keprofesionalan, basis, dan keterkaitan batin antara
pemilih dan yang dipilih dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi seperti ini jelas
tidak seperti pola menjual kucing dalam karung, yang pada akhirnya mengecewakan
para pemilih. Dan, lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat.
Dasar perjuangan partai mereka sama, yaitu Pancasila --yang telah
mempunyai nurani karena Piagam Jakarta telah mengisi kekosongan jiwanya. Dengan
179
179
demikian, tidak pada tempatnya menaruh kecurigaan akan tumbuh suburnya sebuah –
isme di dalam partai. Ingat, agama sudah mempunyai posisi kontrol yang kuat dari
lembaga tertinggi negara sampai lembaga terendah negara sehingga tipis
kemungkinan bagi sebuah “partai” untuk keluar dari rel yang telah ditentukan.
Pola ini akan menggiring ke arah terciptanya sebuah lahan kehidupan yang
adil bagi seluruh rakyat. Pola ini pun akan menggiring rakyat untuk menjadi pemilik
lahan kehidupan tertentu. Jika petani, di mana sawahnya. Jika pedagaang, di mana
tempat berdagangnya. Jika penjahit, di mana tempat usahanya. Jika sopir pada
perusahaan apa, trayeknya mana. Jika tukang, tukang apa, dan sebagainya. Semuanya
dapat dilacak dan akan tertata. Sebab, di situlah sumber pendapatan mereka. Mereka
yang memilih sendiri dan peran mereka dalam pembangunan benar-benar
dipertaruhkan.
Oleh karena itu, dengan numerisasi penduduk berdasarkan matapencaharian
secara tepat dan akurat akan dapat memproyeksikan penataan sesuai keahlian dan
/jumlah kebutuhan tempat usaha mereka. Dengan demikian, semua akan tertata, tidak
kacau-balau. Mereka yang ahli hukum akan bergerak di bidang hukum, misalnya.
Oleh karena spesialisasi mereka yang majemuk, maka berdasarkan konsep
bilangan dapatlah dilacak berapa orang jumlah ideal anggota lembaga legislatif dari
level terendah sampai level tertinggi. Jika “bilangan desimal basis sepuluh (10)”
diganti dengan “basis kehidupan” yang berarti pekerjaan, maka pada langit bawah
parlemen akan terisi oleh 10 unsur basis kehidupan di daerah itu.
Dengan kata lain, pada Perwakilan Rakyat Kelurahan sampai dengan
Perwakilan Rakyat Kota adalah 10 orang. Sedangkan pada langit atas parlemen,
penggunaan hitungan dengan menggunakan bilangan desimal basis sepuluh (10)
sudah ditinggalkan karena pada tataran tersebut dimensi kehidupan makin bervariasi
sehingga dipergunakan basis seratus (102), oleh karena itu pada DPR kabupaten
sampai dengan DPR Bagian beranggotakan 100 orang.
Dari sini muncul pertanyaan, berapa orang anggota DPR RI? Perlu diingat
bahwa seratus tidak hanya berasal dari sepuluh puluhan, namun juga berasal dari
180
180
sepuluh puluh. Dengan demikian, jika pengertian pertama telah dipergunakan pada
parlemen tingkat daerah (baca : DPR Kabupaten sampai dengan DPR Bagian), maka
pengertian kedua akan digunakan pada parlemen tingkat pusat. Oleh karena itu, DPR
RI pun beranggotakan 100 orang dan sudah barang tentu dengan prosentase yang
seimbang antar basic kehidupan rakyat.
Berdasarkan konsep tersebut, dengan sendirinya, dengan kepala tegak,
militer akan keluar dari parlemen, dan … begitu pula dengan keberadaan dan
partai-partai politik! Itulah saatnya bagi partai politik yang selama ini mengaku
berisi kaum profesional membuktikan kebolehannya.
Sejalan dengan hal itu, maka kementerian (istilah pengganti departemen) akan
menyesuaikan keberadaannya sehingga DPR dapat melakukan fungsinya dengan
tepat, dan nyambung …. Sehingga misalnya, Kementerian Pertanian akan diawasi
oleh Partai politik Petani. Kementerian Perindustrian akan diawasi oleh Partai politik
Kerajinan /Industri, dan sebagainya. Begitu pula halnya dengan dinas-dinas yang ada
pada tataran daerah.
Pengertian kedua, pertahanan dan keamanan rakyat semesta dapat diartikan
sebagai upaya bertahan dari gangguan keamanan secara bersama-sama. Mengingat
asal-usul gangguan tidak hanya berasal dari dalam negara namun juga dapat berasal
dari luar negara, maka sepanjang gangguan yang datang dari dalam tersebut tidak
ada niatan untuk melepaskan diri dari pelukan Pertiwi seyogyanya dihadapi dengan
lembut dan persuasif. --Bukankah, saat seorang anak menolak untuk makan belum
tentu makanannya tidak enak? Bisa jadi, ia sedang sakit, kecewa, atau mungkin sebab
lain yang tidak dapat diungkapkan secara terbuka. Bukannya langsung dihajar!
Disitulah perlunya dialog, baik lintas agama, lintas sektor, lintas generasi,
maupun lintas-lintas yang lain. Dengan demikian, setiap permasalahan akan menjadi
jelas duduk persoalannya. Sebaliknya, apapun bentuknya, semua gangguan yang
datang dari luar harus dihadapi bersama.
3.9 Noto Bilangan (10)84
181
181
Masalah ini selengkapnya dapat dilihat kembali pada Bab II. Namun di sini,
ada sedikit hal yang perlu penulis tambahkan.
Pertama, bahwa karena sistem bilangan Hindu Arab yang dipakai di
Indonesia --andaikan pohon-- tidak berakar di Indonesia maka menurut penulis
sampai kapanpun hutang Indonesia sulit untuk lunas, malah makin membengkak.
Keuntungan akan tetap lari ke sana, pemodal. Sebab, bagaimanapun, di dalam
menghitung uang digunakan bilangan. Jadi, saat bilangan yang dipelajari ternyata
salah karena adanya kecurangan, maka …. Lantas, apa yang masih tersisa ?
Kedua, keberadaan sistem bilangan Indonesia akan mempengaruhi sistem lain
dan itu adalah hal yang wajar. Menurut penulis, dengan segala keterbatasan ilmu
yang penulis miliki, sistem bilangan Indonesia akan menuntun ke arah keadilan yang
hakiki. Dengan bilangan, semua materi --yang layak dihitung-- dapat dihitung.
Ketiga, kelak, pada saat ada sepuluh negara tetangga /lain yang dengan “suka
rela” mau tunduk dan bernaung di bawah kibaran Merah Putih akan muncul satuan
puncak bilangan Indonesia, 1 Indonesia Raya (10)256.
Keempat, bilangan dengan sistem bilangan Indonesia mempunyai batas. Ini
menandakan adanya keterbatasan kemampuan manusia. Bilangan di atas (10)256 sudah
bukan daerah kekuasaan manusia, sudah merupakan daerah kekuasan-Nya.
Pola bilangan menggiring manusia Indonesia untuk tahu batas, sehingga
tidak menjadi manusia yang melampaui batas /tidak tahu batas.
3.10 Noto Bahasa (10)80
Sebagai satu di antara unsur budaya, bahasa mempunyai dua buah unsur
pendukung yaitu, bahasa itu sendiri (linguistik) dan aksara. Yang, antara keduanya
dapat diibaratkan sebagai suami istri. Dalam tulisan ini, pokok permasalahan lebih
dititik beratkan pada aksara Indonesia sebagai pasangan bahasa Indonesia.
Perlu diingat bahwa sebelum 1901 bahasa Melayu ditulis dengan meng-
gunakan huruf Arab-Melayu dan dibeberapa tempat ditulis dengan menggunakan
182
182
huruf latin. Karena adanya ketidak-seragaman tersebut, atas perintah dari Peme-
rintah Hindia Belanda maka sejak 1896 Charles Adrian Van Ophuysen memulai
usahan penciptaan ejaan untuk menuliskan bahasa Melayu. Usaha tersebut dapat
diselesaikan pada 1901 serta dibukukan dalam “Kitab Logat Melajoe”. Untuk
selanjutnya, agar tidak terjadi kerancuan dalam pengertian, penulis manggunakan
kata aksara sebagai pengganti kata ejaan.
Dalam perjalanannya, aksara ciptaan Van Ophuysen itu dimodifikasi beberapa
kali dengan maksud agar lebih praktis tentunya. Modifikasi terakhir adalah dengan
ditetapkannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) oleh mantan Presiden Soeharto
pada 17 Agustus 1971. Jadi, pada dasarnya EYD adalah meta- morfose terakhir dari
ejaan Van Ophuysen.
Sebagai seorang ahli bahasa, Van Ophuysen dapat membaca ke arah mana
sebenarnya arah dari perintah yang diterimanya. Membangun sebuah pintu “masuk”
bagi sebuah budaya baru. Sejak itu, perang budaya baru dimulai. Daerah jajahan
tidak lagi sekedar sebagai “sapi perah” namun juga menjelma sebagai “satelit”
budaya mereka. Dengan kata lain, mereka mulai melakukan penaklukan budaya
dengan melalui “pintu aksara”. Bukankah, bahasa adalah bangsa? Bukankah bahasa
baru lengkap setelah disandingkan dengan aksara? Jadi, sekalipun bahasa Indonesia
telah merdeka, maka kemerdekaannya menjadi kurang mampu bersaing karena belum
lahir aksara Indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya bangsa ini baru sebatas bisa
bicara ….
Apakah arti semua itu? Pembaca yang budiman, sebagai bangsa yang telah
berbudaya sejak Kedatuan Kutai hingga Kesultanan Yogyakarta bangsa ini telah
mengenal aksara, dari huruf Palawa, pra nagari, Jawa, Batak, Bugis, Arab, dan
sebagainya, yang hingga saat ini ada di antara aksara tersebut masih bertahan dan jika
aksara tersebut milik etnik (baca : suku bangsa) tertentu untuk selanjutnya disebut
sebagai aksara daerah.
Gencarnya pembelajaran bahasa Indonesia mempercepat terpinggirkannya
aksara daerah. Ini berarti aksara daerah telah berada dalam stadium koma, di ambang
183
183
kematian. Bisa jadi, hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa aksara daerah
kurang praktis. Namun, anggapan tersebut juga lemah, sebab pada EYD pun terdapat
sederet kelemahan. Pertama, pada EYD terdapat konsonan rangkap seperti sy, ny, ng,
dan sebagainya. Kedua, pada EYD terdapat vokal rangkap seperti ai, au, dan oi.
Ketiga, EYD tidak dapat membedakan aksara untuk vokal /e/ pepet , vokal /e/ taling,
dan vokal /e/. Juga tidak dapat membedakan aksara konsonan d pada /dupa/ dan d
pada /dada/, dan sebagainya. Jadi, anggapan kurang praktisnya aksara daerah pun
sebenarnya lemah.
Begitu pula dengan anggapan Van Opusyen tentang tidak praktisnya aksara
Arab, bukankah aksara Arab lebih banyak “macamnya” ? dari situ dapatlah
dimengerti bahwa penggunaan aksara dengan EYD tentulah didorong oleh faktor lain,
ini berarti ada tangan kuat di balik itu.
Pertanyaannya adalah siapa tangan kuat yang dimaksud ? Dengan
digunakannya aksara produk mereka di negeri ini, maka teknologi mereka yang
berbasis aksara akan laku di sini. Lihat saja mulai dari mesin ketik sampai dengan
komputer adalah produk mereka, dan ini dipermulus dengan bahasa mereka yang
gencar juga dimasyarakatkan --dengan adanya jam muatan lokal Bahasa Inggris
sejak Sekolah Dasar pada sekolah-sekolah tertentu.
Memang, pada zaman kolonial Belanda, mereka yang mampu berbahasa
Belanda dengan aktif akan memudahkan yang bersangkutan untuk mendapatkan
posisi /tempat dalam pemerintahan kolonial. Dan, sekarang, mereka yang mampu
berbahasa Inggris makin berpeluang untuk tampil sebagai pemenang dalam kompetisi
“karir”. Pertanyaannya, apakah sekarang bangsa ini telah jatuh ke dalam kolonialis
baru, imperialis Inggris, atau lebih tepatnya penjajahan linguistik Inggris? Atau malah
ke penjajah linguistik yang lain? Kalau tidak, untuk apa membebani semua peserta
didik –di SLTP /SLTA-- mempelajari “bahasa” mereka? Berapa persen dari mereka
yang pada akhirnya menggantungkan hidup pada bahasa tersebut?
Berapa persen yang tidak? Jadi, dengan kata lain, demi satu dua butir telur
dunia pendidikan mengorbankan yang sekeranjang ….
184
184
Menurut penulis, tidak ada jeleknya mempelajari bahasa asing asal ada
manfaat bagi yang mempelajarinya, sehingga “masa” yang dipergunakan untuk
belajar tidak terbuang sia-sia. Mereka hidup di Indonesia, temannya orang Indonesia,
tetangganya orang Indonesia,di pasar orang Indonesia, di atas kendaraan umum orang
Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari berhubungan dengan orang Indonesia. Lantas
untuk apa susah-susah belajar bahasa asing kalau pada akhirnya hanya berhubungan
dengan mereka yang sebangsa dan sebahasa pula?
Oleh karena itu, menurut penulis, seyogyanya pembelajaran bahasa asing
tidak memanfaatkan jam efektif namun dimasukkan pada kegiatan ekstra kurikuler,
sehingga, hanya mereka yang berkeinginan saja yang perlu mempelajari sedangkan
yang tidak berkepentingan tidak terbebani. Bukakah di negara yang berbahasa
Inggris, bahasa Indonesia juga tidak diajarkan di tingkat dasar? Jadi, untuk apa
bangsa ini terlalu mengalah?
Memang ada pepatah Cina mengatakan jika ingin mengalahkan lawan maka
harus tahu isi perut lawan. Masalahnya, untuk mengetahui isi perut lawan tidak
mungkin dapat ramai-ramai, cukup beberapa orang saja. Jadi, hanya mereka yang
benar-benar tertarik dan ada kemampuan untuk itu saja yang dibimbing dengan
intensif. Sedangkan peserta didik yang lain biarlah mempelajari ilmu yang lain.
Dengan demikian, mereka semua dapat belajar sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Perlu diingat bahwa bahasa Inggris tidak hanya digunakan di negeri asalnya,
namun juga di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia --Mereka adalah negara-
negara yang madaninya maju. Itu berarti produk teknologi mereka yang berbasis
aksara menguasai negara ini, jadi bukan hanya sekedar laku. Bahkan, dalam
perkembangan selanjutnya penguasaan bahasa Mandarin, Jepang, Korea pun ikut-
ikutan menentukan mendapatkan posisi (lahan kehidupan). Itu menunjukkan, makin
banyak tangan asing berkuasa di bumi Pertiwi. Jadi, mereka adalah kaum kapitalis,
baik pemain lama –negara barat-- maupun pemain baru –negara Asia, yang
menjadikan Indonesia di satu sisi hanya sebagai sapi perah bahan mentah serta
penyedia tenaga kerja yang murah dan di sisi lain sebagai pasar produk mereka.
185
185
Lantas untuk apa?
Dengan digunakannya aksara yang sama seperti aksara yang mereka gunakan
akan memudahkan mereka untuk mengadakan kontrol terhadap kemajuan yang telah
dicapai bangsa ini. Mereka tidak perlu belajar lagi, rahasia kita telah berada di tangan
mereka. Sebaliknya, siswa-siswa kita harus membagi waktu, mempelajari aksara
sendiri (aksara daerah) agar tidak punah dan mempelajari aksara mereka agar dapat
dikategorikan bangsa “maju”, bahkan bila memungkinkan untuk mendapatkan
predikat “daerah bebas buta aksara” untuk daerahnya, atau “negara bebas buta
aksara” untuk negaranya.
Ini berarti, siswa-siswa kita belajar dua, sedangkan siswa mereka belajar satu.
Waktu yang dipergunakan siswa kita lebih banyak, dengan kata lain … jalan di
tempat. Semakin pandai output pendidikan –dalam ilmu aksara mereka, maka
semakin memperkokoh posisi mereka sebagai kapitalis! Itulah tujuan mereka,
membuat kita jalan di tempat setelah berhasil menghalau mereka dari bumi Nusantara
sebagai bangsa imperalis sekian puluh tahun silam. Atau, paling tinggi berputar-putar
pada tiang tambatan yang mereka buat.
Memang, saat penghuni negara ini menjadi melek huruf “aksara mereka” ada
pihak yang diuntungkan, yaitu media massa. Namun, sadarkah kita bahwa dengan
begitu akan semakin mematikan aksara kita sendiri? Dari kenyataan tersebut muncul
pertanyaan, bagaimana cara melepaskan diri dari “sihir” mereka yang semakin
bervariasi dan semakin canggih? Jawabannya tegas, tinggalkan produk mereka!
Meninggalkan “produk” mereka bukan menyelesaikan masalah selama aksara mareka
tetap kita pakai di sini.
Oleh karena itu, sastrawan, pujangga, ahli bahasa daerah, dan ahli bahasa
Indonesia duduk semeja untuk menciptakan aksara baru. Mereka yang berkompeten
tersebut mempunyai tugas membangun peradaban aksara Indonesia sebagai penopang
bahasa Indonesia yang sudah terlebih dahulu merdeka. Dengan kata lain, aksara
Indonesia harus mengejar ketertinggalannya. Dalam hal ini tentulah sangat berat dan
sulit, terlebih jika tidak ada akar budaya yang kuat di masyarakat. Ini berarti, aksara
186
186
baru nanti harus berupa huruf daerah yang sudah baku sebagai cikal bakal sedangkan
huruf daerah yang lain melengkapi aksara yang belum ada.
Menurut penulis, dinamakan aksara daerah untuk aksara-aksara milik daerah
itupun belumlah benar. Sebab, pertama, belum pernah ada semacam Sumpah Pemuda
yang mencanangkan “Menjunjung aksara persatuan, aksara Indonesia” atau mengakui
aksara “anu” sebagai aksara Indonesia. Kedua, pada galibnya, aksara daerah tersebut
adalah aksara sebuah bangsa pra Sumpah Pemuda. Bukankah sebelum Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka belum mengaku sebagai bangsa Indonesia?
Dengan demikian, sebagai contoh, Yong Celebes marupakan organisasi pemuda --
bangsa-- Celebes.
Hanya saja, saat posisi sebagai bangsa diturunkan sebagai suku bangsa, posisi
aksara milik mereka tidak serta-merta mengikutinya. Aksara tersebut masih bertahan
di tempatnya. “Ia” masih berdaulat penuh, hanya sebutannya saja diubah menjadi
aksara daerah oleh dunia Bahasa Indonesia, dari aksara sebuah negara menjadi aksara
sebuah negeri. Dalam konteks yang berbeda, dalam cerita pewayangan, nasib aksara
daerah ini mirip dengan nasib Dewi Drupadi kala dijadikan taruhan oleh suaminya
yang kalah dalam permainan dadu!
Pembaca yang budiman, sampai saat ini masih ada sembilan buah aksara
daerah yang mampu bertahan hidup, yaitu : aksara Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Karo,
Mandailing, Lampung, Rejang, dan Toba Jika kita perhatikan dengan seksama maka
akan terlihat bahwa antara aksara Sunda, Jawa, dan Bali ada kesamaan. Demikian
juga antara aksara yang ada di pulau Sumatera dengan aksara yang ada di Sulawesi.
Jadi, kalau ditarik garis tegas, hanya ada dua model aksara, yaitu model sujali
(Sunda /Jawa /Bali) dan model sutera susi (Sumatera /Sulawesi) dengan kelebihan
/kekurangan masing-masing. Di samping itu, keberadaan aksara Arab yang tetap
dipelajari oleh umat Islam pun tidak boleh diabaikan.
Jadi, sebenarnya sampai saat ini ada sebelas aksara “bangsa” yang hidup di
bumi Indonesia dengan komposisi aksara sebagai berikut :
187
187
a. Aksara Bali = 21 buah
b. Aksara Jawa = 22 buah
c. Aksara Sunda = 21 buah
d. Aksara Bugis = 23 buah
e. aksara Karo = 21 buah
f. Aksara Mandailing = 19 buah
g. aksara Lampung = 21 buah
h. Aksara Rejang = 22 buah
i. Aksara Toba = 19 buah
j. Aksara Arab = 29 buah
k. Aksara Van Opusyen dengan EYD-nya = 26 buah
(Kamus Besar bahasa Indonesia, 1990 : 1056/1057)
Adanya keseimbangan dalam jumlah aksara di atas, bukanlah berarti adanya
kemutlakan kesamaan fonem aksara tersebut. Sebagai contoh, pada aksara Jawa
fonem /dh/, /ny/, /th/,/ng/, /re/, /le/ dan hanya terdiri dari satu aksara. Pada aksara
Bugis, fonem /mp/, /ng/, ngk/, /nr/, /ny/, /nyc/ pun hanya terdiri dari satu aksara.
Pada aksara Arab, /dl/, /gh/, /ts/, dan sebagainya juga hanya satu akara. Dan, begitu
pula dengan aksara-aksara yang lain, ada yang berfonem sama --tentu saja dengan
aksara berbeda.
Dalam hal ini, kita hendaknya ingat bahwa dalam Indonesia baru pasca
transisi nanti, semua daerah diberi kesempatan untuk menjadi sentral, dalam arti
sebuah sentral budaya bangsa. Oleh karena itu, jika bahasa Indonesia berakar dari
ranah Sumatera, bilangan berakar di Jawa, maka untuk aksara --menurut penulis--
lebih tepat jika diakarkan di daerah yang belum menjadi sentral. Bukan maksud
penulis menggiring opini Pembaca budiman agar menunjuk ranah Sulawesi, namun
jika memungkinkan mengapa tidak. Dan, jika ada kekurangan-lengkapan, maka saat
itulah ditarik “sumbangan” aksara dari daerah lain. Kelak, satu fonem, satu aksara.
Dengan demikian, jumlah aksara Indonesia akan semakin banyak dan lengkap.
Pertanyaannya, dengan lahirnya aksara Indonesia, apakah masih diperlukan
keberadaan aksara daerah? Pertanyaan ini memang agak sulit untuk menjawabnya.
188
188
Hal ini dikarenakan, pada saat Indonesia benar-benar menjadi satu, maka identitas
lokal (baca : aksara daerah) pun melebur menjadi satu. Nah, kondisi seperti ini tidak
muungkin tercipta dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Oleh karena itu,
untuk menjadi lebur dan menjadi satu tersebut sangat diperlukan sebuah
pengorbanan. Dengan demikian, semua unsur aksara --daerah-- sebagai disebut di
atas harus melepaskan konsesi, melepaskan kedaulatannya. Dan, ini tidak dapat
dilakukan oleh ahli bahasa Indonesia, melainkan oleh para budayawan etnik.
Ketidak relaan melepaskan konsesi dengan dalih melenyapkan satu unsur
budaya daerah pun, menurut penulis, kurang tepat. Sebab dengan mempertahankan
keberadaan satu aksara lain sebagai tandingan satu aksara Indonesia akan
memperlemah kedua-duanya. Keadaan ini tentu sangat tidak menguntungkan konsep
Indonesia yang satu.
Agar tidak hilang begitu saja, maka pembelajaran bahasa daerah / aksara
daerah dimunculkan pada kegiatan ekstra kurikuler sehingga keberadaannya akan
menopang budaya daerah. Dengan demikian, secara formal, pada tataran pendidikan
dasar, pembelajaran aksara daerah maupun bahasa daerah harus ditinggalkan.
Kelak, pada jenjang pendidikan menengah, aksara daerah dan bahasa daerah barulah
dimunculkan sebagai mata pelajaran wajib.
Sedangkan mata pelajaran bahasa asing, pada pendidikan dasar --dalam
kondisi normal-- tidak diajarkan. Mata pelajaran ini, pada pendidikan menengah
dasar (baca : SLTA) baru muncul sebagai muatan lokal, dan baru pada pendidikan
menengah atas (baca : diploma) menjadi mata ajaran wajib. Oleh karena itu, aksara
latin dengan EYD-nya barulah dipelajari siswa pada tingkat /jenjang ini.
Pola di atas akan menggiring peserta didik untuk memperkuat
nasionalismenya sehingga bahasa Indonesia dapat berjalan seiring dengan aksara
Indonesia. Dengan demikian, genderang perang budaya yang dicanangkan oleh Van
Ophuysen sejak 1911 telah terjawab! Lihatlah, penjajahan linguistik sudah menguasai
dunia pendidikan, sampai-sampai pada SLTP dan SMU -pun bahasa Inggris
189
189
diebtanaskan. Kedudukannya disejarkan dengan bahasa Indonesia, tentu saja dengan
dalih … bahasa Inggris adalah bahasa dunia.
Pertanyaannya, dunia yang mana? Apa relevansi bahasa Inggris dengan
kehidupan riil peserta didik? Sekali lagi, jangan karena sebutir telur sampai harus
mengorbankan yang sekeranjang! Oleh karena itu, pada gilirannya nanti, Lembaga
Bimbingan Belajar hanya akan memfokuskan materi pembelajarannya pada bahasa
/aksara asing, sedangkan materi yang lain cukuplah diterima siswa di sekolah.
Dengan demikian tidak terjadi pengulangan meteri, tidak terjadi sekolah-sekolah
bayangan sebagai tandingan sekolah-sekolah formal, dan memberi kesempatan
kepada LBB untuk membuka lahan kehidupan yang baru.
Dari sini muncul pertanyaan, apakah itu bukan suatu kemunduran?
Sesungguhnya, apalah artinya mundur sembilan tahun jika sesudah itu mampu
melepaskan diri dari jeratan mereka? Bukankah, deretan panjang para pahlawan telah
memberi contoh dengan merelakan dirinya berjuang “ratusan tahun” tanpa mengenal
kata menyerah sampai tetes darah yang terakhir? Jika pendahulu saja bisa, mengapa
kita tidak? Memang, pada akhirnya, kita semua harus belajar lagi sebab ternyata kita
masih buta huruf!
Sangkaan, bahwa mayoritas (?) bangsa ini sudah melek huruf ternyata keliru.
Karena ternyata, hurufnya sendiri belum ada, belum pernah tercipta. Disitulah letak
perlunya masa transisi sembilan tahun! Guru, murid, dan semua isi penghuni negara
ini harus kembali belajar. Pada tahun pertama pasca transisi, murid Kelas I Sekolah
Dasar akan memulai babak baru. Merekalah generasi yang benar-benar merdeka.
Dengan adanya satu aksara Indonesia yang stiril dari pengaruh imperialis,
barulah kita dapat berharap tumbuhnya industri yang berbasis aksara di negeri ini.
Dengan demikian, tenaga terdidik untuk bidang itu tidak lari ke luar negeri. Di sini
lapangan kerja luas tersedia, dan itu berarti pengurangan pengangguran dan hemat
devisa, pasar dalam negara berada dalam genggaman sendiri.
3.11 Noto Nusa (10)72
190
190
Nusa di sini bararti wilayah teritorial. Satuan teritorial pertama dan utama
yaitu Indonesia. Oleh karena itu, satuan teritorial berikutnya adalah :
1. Bagian
2. Wilayah
3. Provinsi
4. Karesidenan
5. Kabupaten
6. Kota
7. Kawedanan
8. Kecamatan
9. Desa
10. Kelurahan
Dengan pola seperti itu, terlihatlah bahwa ternyata tidak ada satupun wilayah
teritorial di negara Indonesia ini yang bernama Indonesia. Jadi, ibarat pohon “ia”
tidak memiliki akar. Oleh karena itu, jika sampai terjadi masalah disintegrasi --
menurut penulis-- wajar. Logikanya, Bagaimana mungkin sebuah pohon akan kokoh
berdiri tanpa sehelai akarpun yang menghujam ke bumi? Sebab, ternyata ada yang
kurang untuk dapat mempunyai rasa ikut memilikinya.
Maka dari itu, kelak, dari 10 bagian teritorial Indonesia hendaknya 1 bagian
untuk Indonesia, dan diberi nama Bagian Indonesia, sedangkan 9 bagian yang lain
diberi nama disesuaikan dengan faktor geografisnya, misal : Bagian Sumatera,
Bagian Kalimantan, Bagian Irian, Bagian Bali, dan sebagainya.
Bagian Indonesia tadi --setelah dipecah menjadi 10 wilayah-- disisakan lagi 1
wilayah untuk Indonesia, dan diberi nama Wilayah Indonesia. Nama sembilan
wilayah yang lain –misalnya-- disesuaikan dengan kondisi sejarah.
Dengan demikian akan terlihat :
a. Wilayah Indonesia, Bagian Indonesia
191
191
b. Wilayah x, Bagian Indonesia
c. Wilayah y, Bagian Indonesia
d. dan seterusnya.
Begitu pula halnya dengan “Bagian –teritorial-- Indonesia” yang lain, jika
memungkinkan masing-masing dipecah lagi menjadi 10 wilayah dan satuan wilayah
pertama diberi nama seperti “fenotipnya” dan satuan wilayah kedua deberi nama
Indonesia.
Dengan demikian, misalnya :
1. Pada Bagian Sumatera, akan ada :
a. Wilayah Sumatera, Bagian Sumatera
b. Wilayah Indonesia, Bagian Sumatera;
c. Wilayah x, Bagian Sumetera;
2. Pada Bagian Irian akan ada :
a.Wilayah Irian, Bagian Irian;
b.Wilayah Indonesia, Bagian Irian
c. Wilayah x, Bagian Irian;
Sedangkan “bagian” yang tidak memungkinkan untuk dipecah karena
terbatasnya wilayah teritorial maka dengan sendirinya tidak perlu dipecah lagi
sehingga pada tataran “wilayah”, Indonesia tidak muncul. Dalam hal ini, bisa jadi
teritorial Indonesia baru akan muncul pada satuan wilayah teritorial yang lebih kecil,
lebih kecil, atau mungkin lebih kecil lagi, dan bahkan bisa jadi pada satuan teritorial
paling kecil, yaitu kelurahan. Misalnya : Kab. Indonesia, Karesiden x, Prov. Bali,
Wilayah Bali, Bagian Bali.
Untuk selanjutnya, Wilayah Indonesia dipecah lagi menjadi 10 provinsi dan
satu di antaranya adalah Provinsi Indonesia. Sedangkan urusan nama sembilan
192
192
provinsi yang lain terserah keadaan /kondisi /sejarah /kesepakatan penduduk
setempat, dan begitu seterusnya.
Begitu pula halnya dengan wilayah yang lain. Jika memungkinkan, juga
dipecah lagi menjadi 10 provinsi, satu diberi nama Indonesia, satu diberi nama seperti
nama wilayah, dan satu diberi nama seperti bagian, dan seterusnya sampai ke level
terendah wilayah teritorial (kelurahan).
Keuntungan yang dapat dipetik Indonesia dengan model seperti itu adalah
Indonesia akan memiliki akar yang kokoh karena pada tiap-tiap wilayah teritorialnya
benar-benar memiliki “wilayah”. Menurut penulis, selama ini “wilayah” Indonesia
masih ada pada “bungkus” dan di awang-awang. Jadi, belum menyentuh “isi”. Dari
itu, jika sering terjadi benturan antar isi, sekali lagi, wajar. Oleh karena itu, cara
pandang “apalah arti sebuah nama” dalam konteks ke-Indonesia-an perlu
ditinggalkan, sebab pada nama terkandung sebuah makna.
Kelak, 10 % dari (10)128 kelurahan di Indonesia adalah Kelurahan Indonesia,
10% dari (10)96 desa di Indonesia adalah Desa Indonesia, 10 % dari (10)64 kecamatan
di Indonesia adalah Kecamatan Indonesia, 10 % dari (10)48 kawedanan di Indonesia
adalah Kawedanan Indonesia, 10 % dari (10)32 kota di Indonesia adalah Kota
Indonesia, 10% dari (10)16 kabupaten di Indonesia adalah Kabupaten Indonesia, 10 %
dari (10)8 karesidenan di Indonesia adalah Karesidenan Indonesia, 10 % dari (10)4
provinsi di Indonesia adalah Provinsi Indonesia, 10 % dari (10)2 wilayah di Indonesia
adalah Wilayah Indonesia, 10 % dari 10 bagian Negara Indonesia adalah Bagian
Indonesia, dan 1 Negara Indonesia.
Pola ini akan menggiring Indonesia untuk memiliki akar yang kokoh
sehingga dapat mencengkeram ke bawah, karena pada setiap sudutnya telah tertancap
ujung sebuah akarnya, yaitu Kelurahan Indonesia. Dengan demikian, dapat
diketemukan letak sebenarnya “pohon” Indonesia.
Seyogyanya, daerah yang diperuntukkan bagi Indonesia adalah daerah baru
yang merupakan daerah pemekaran sehingga tidak mengurangi nama daerah yang
sudah ada. Oleh karena itu, pada para sejarahwan dan para pini sepuh bangsa ini
193
193
diharapkan sumbangsarannya agar dalam pemetaan pemekaran wilayah tersebut tidak
terlalu menyimpang jauh dari konteks sejarah. Misalnya, daerah tapal kuda, lebih
tepat sebagai Provinsi Blambangan ataukah Provinsi Indonesia?
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam konsep bilangan, antara desa
dan kelurahan adalah berbeda. Sepuluh buah kelurahan akan menjadi sebuah desa.
Jadi sangat berbeda dengan pengertian selama ini.
3. 12 Noto Negara (10)68
Pada noto negara (10)68 akan muncul pemegang kedaulatan negara. Jika
satuan noto negara adalah (10)0 = 1, maka 1 yang dimaksud adalah pelaku pemegang
kedaulatan tertinggi di negara ini. Perlu diingat Pasal 1, UUD RI 1945, menyatakan
bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, yang dimaksud dengan noto
negara adalah majelis tertinggi itu sendiri.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa antara jabatan Kepala Negara
dengan jabatan Kepala Pemerintahan (Presiden) tidaklah sama. Sebab, di dalam
sistem bilangan tidak ada satuan bilangan yang merangkap sebagai satuan bilangan
yang lain. Oleh karena itu, konsep bilangan ini akhirnya menuntun kepada jabatan
yang ada di atas Presiden.
Padahal, kita tahu “person” yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
Presiden adalah Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR). Dengan demikian, akhirnya
dapat diketahui bahwa jabatan Kepala Negara ini disandang oleh Ketua MPR. Pola
ini akan menggiring ke arah “satu orang, satu kursi kekuasaan”.
Jadi, kelak tidak ada rangkap jabatan. Rangkap jabatan terbukti membuat
kisruhnya “langit atas” dan dampaknya sangat terasa di “bumi”. Ingat dengan kasus
Dekrit Presiden oleh mantan Presiden Ir. Soekarno dan geger soal pembekuan DPR
oleh mantan Presiden Abdulrahman Wahid.
194
194
Mengingat hak dan kewajiban antara seorang “ketua” dengan seorang
“kepala” berbeda, seyogyanya di dalam MPR terdapat elemen pemegang nurani.
Sehingga, meskipun keputusan Kepala Negara tersebut tergolong “ludah api” akan
tetap berada pada jalur yang lurus. Selain sebagai pensuplai energi moral juga
berfungsi sebagai kontrol terhadap keputusan lembaga tertinggi negara.
Perlu diingat bahwa noto negara adalah satuan bilangan pertama dan utama
dalam menata negara untuk level negara. Dengan demikian, pada satuan bilangan
kedua akan muncul satuan negara berikutnya. Oleh sebab itu, masih ada 10 satuan
noto negara yang berada di dalamnya. Satuan noto negara tersebut untuk selanjutnya
disebut lembaga tinggi negara. Pada galibnya setiap lembaga tinggi negara akan
menopang lembaga tinggi negara yang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, kelak akan lahir lima buah lembaga tinggi negara untuk
mendampingi lima buah lembaga tinggi yang sudah ada selama ini. Menurut penulis,
keberadaannya sangat diperlukan dalam rangka membangun peradaban Indonesia
seutuhnya.
Perhatikan satuan noto negara pada lapis kedua berikut ini :
No. Satuan noto negara Lembaga tinggi negara
1. Agama Dewan Agama Indonesia
2. Ilmu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3. Pendidikan Badan Pendidikan Nasional Indonesia
4. Uang Badan Keuangan Indonesia
5. Pertahanan dan keamanan Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia
6. Eksekutif Kepresidenan
7. Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat
8. Yudikatif Mahkamah Agung
9. Pengawas keuangan Badan Pemeriksa Keuangan
10 Pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung
Tabel 25
195
195
Pada dasarnya, setiap satuan noto negara akan memiliki turunan, semakin
panjang --sampai di tingkat kelurahan-- menunjukkan semakin sempurnanya satuan
penguasa negara tersebut. Perlu diingat bahwa pada kasus tertentu hal semacam itu
tidak mungkin, sebab malah akan menimbulkan masalah lain. Misalnya untuk
masalah keuangan yang diperiksa oleh Badan Keuangan Indonesia. Jadi,
pertumbuhan setiap noto negara harus realistis, tidak dipaksakan, dan melihat skala
prioritas.
Dari sini muncul pertanyaan, berapa anggota masing-masing lembaga tinggi
negara tersebut? Sistem bilangan Indonesia menunjukkan bahwa seratus merupakan
bilangan tertinggi yang masih belum tercemar. Bilangan tersebut akan menuntun kita
kepada jumlah anggota yang ada pada lembaga tinggi negara tersebut. Oleh karena
itu, misalnya :
a. Lembaga kepresidenan akan beranggotakan 100 orang “presiden” serta
dipimpin oleh seorang Presiden. Ini berarti, lembaga kepresidenan berbentuk
presidium. Di bawah presiden tersusun 10 buah kementerian yang masing-masing
dipimpin oleh seorang menteri.
Turunan paling sederhana dari lembaga kepresidenan adalah lembaga
kelurahan. Bedanya, jika pada lembaga kepresidenan beranggotakan 100 orang, maka
pada lembaga kelurahan hanya beranggotakan 1 orang yaitu lurah. Pada level inilah
terdapat kepemimpinan tunggal.
b. Dewan Pertimbangan Agung akan berisi 100 orang penasihat serta
dipimpin oleh Penasihat Agung (bukan Ketua DPA). Keseratus orang penasihat
tersebut mengelompok menjadi sepuluh kelompok (komisi), sesuai dengan jumlah
lembaga tinggi negara yang ada.
Dengan demikian, ada Penasihat Kepresidenan, Penasihat Pendidikan,
Penasihat Militer, dan sebagainya. Jika pola bilangan dilanjutkan maka setiap orang
dari penasihat tersebut akan mempunyai sebuah lahan dengan sepuluh buah bidang
garapan. Sebagai contoh, pada kelompok penasihat untuk bidang pendidikan akan
muncul :
196
196
1. Penasihat Sekolah Dasar;
2. Penasihat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
3. Penasihat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas;
4. Penasihat Pendidikan Diploma 1;
5. Penasihat Pendidikan Diploma 2;
6. Penasihat Pendidikan Diploma 3;
7. Penasihat Pendidikan Diploma 4;
8. Penasihat Pendidikan Tinggi Strata 1;
9. Penasihat Pendidikan Tinggi Strata 2;
10. Penasihat Pendidikan Tinggi Stata 3.
c. Badan Pendidikan Nasional Indonesia pun beranggotakan 100 orang. Ingat,
badan pendidikan ini dipimpin oleh seorang Guru Pendidikan Nasional. Mereka
mengelompok menjadi sepuluh kelompok (komisi) dan masing-masing kelompok
tersebut beranggotakan 10 orang. Tiap kelompok mempunyai satu “garapan” pada
jenjang satuan pendidikan. Sebagai contoh, pada kelompok Sekolah Dasar akan
muncul jabatan:
1. Guru Pendidikan Nasional Kelas I Sekolah Dasar;
2. Guru Pendidikan Nasional Kelas II Sekolah Dasar;
3. Guru Pendidikan Nasional Kelas III Sekolah Dasar;
4. Guru Pendidikan Nasional Kelas IV Sekolah Dasar;
5. Guru Pendidikan Nasional Kelas V Sekolah Dasar;
6. Guru Pendidikan Nasional Kelas VI Sekolah Dasar;
7. Guru Pendidikan Nasional Agama Sekolah Dasar;
8. Guru Pendidikan Nasional Kerajinan Tangan dan Kesenian Sekolah
Dasar;
9. Guru Pendidikan Nasional Olahraga dan Kesehatan Sekolah Dasar;
10. Guru Pendidikan Nasional Muatan Lokal.
197
197
Sudah pasti untuk lembaga tinggi - lembaga tinggi yang lain, kelompok-
kelompok (komisi) di dalam lembaga tinggi tersebut menyesuaikan diri.
3.13 Noto Penguasa (10)120
Berdasarkan pemetaan wilayah teritorial dan pemetaan noto negara, maka
akhirnya dapat ditelusuri satuan-satuan penguasa pada setiap wilayah tersebut.
Satuan-satuan penguasa tersebut secara keseluruhan pernah ada, dan sebagian masih
terpakai, sebagian tumpang tindih pengertiannya, dan hanya sebuah satuan penguasa
yang benar-benar baru, yaitu Gubernur Madia.
Dalam hal ini, sebagai contoh, jika presiden ialah penyelenggara Pemerintah
Negara yang tertinggi di bawah Majelis (baca : MPR) menjadi satuan pertama pada
noto penguasa eksekutif dalam bidang pemerintahan, maka akan ada 10 satuan
penguasa eksekutif yang bernaung di bawahnya. Penguasa eksekutif di bawah
presiden ada sepuluh tingkatan.
Perhatikan urutan “kepala eksekutif” berikut ini :
1. Gubernur Jendral : Bagian Negara (bukan negara bagian!)
2. Gubernur Madia : Wilayah
3. Gubernur : Provinsi
4. Residen : Karesidenan
5. Bupati : Kabupaten
6. Wali kota : Kota
7. Wedana : Kawedanan
8. Camat : Kecamatan
9. Petinggi : Desa
10. Lurah : Kelurahan
198
198
Dengan pola seperti tersebut di atas serta dikaitkan dengan “ajaran” sistem
bilangan maka pertumbuhan struktur organ negara /pemerintahan akan terpola (10)0,
(10)1, (10)2, dan seterusnya, mengikuti pola bilangan.
Jadi, pertumbuhan struktur organ negara /pemerintahan tidak “sesuka hati”
tanpa bentuk seperti pepohonan di rimba raya yang pada akhirnya hanya memberi
tempat hidup dan ruang gerak yang cukup bagi yang kuat, juga tidak dipangkas
“sesuka hati” oleh penguasa dengan mengorbankan yang lemah. Sudah saatnya,
politik belah bambu ditinggalkan! Pertumbuhan birokrasi akan sangat mengurangi
bahkan menghambat pembusukan birokrat, dan itu sangat penting bagi sebuah negara
yang sedang tumbuh /berkembang untu mendapatkan bentuk ideal. Keteraturan ini
sangat diperlukan dalam memerintah rakyat /menata bangsa.
Dari konsep di atas, apabila ditarik ke dalam konteks pendididikan, sebagai
contoh lain, maka susunan penguasa edukasi akan terlihat sebagai berikut. Jika Guru
Pendidikan Nasional adalah jabatan struktural edukasi pertama dan utama (baca :
tertinggi) maka jabatan struktural edukasi berikutnya akan menjadi :
1. Guru Pendidikan Bagian : Bagian
2. Guru Pedidikan Wilayah : Wilayah
3. Guru Pendidikan Provinsi : Provinsi
4. Guru Pendidikan Karesidenan : Karesidenan
5. Guru Pendidikan Kabupaten : Kabupaten
6. Guru Pendidikan Kota : Kota
7. Guru Pendidikan Kawedanan : Kawedanan
8. Guru Pendidikan Kecamatan : Kecamatan
9. Guru Pendidikan Desa : Desa
10. Guru Pendidikan Kelurahan : Kelurahan
Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa jabatan struktural edukasi berbeda
dengan jabatan struktural organik pendidikan –lihat halaman 102. Struktural edukasi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan struktural organik
199
199
pendidikan. Dengan demikian, pada jabatan strukural edukasi itulah sebenarnya
terletak kewenangan memberikan penilaian tentang prestasi kerja seorang guru,
apapun status, pangkat, maupun golongannya. Oleh karena itu, mengingat baik
/buruknya prestasi kerja seorang guru --termasuk profesi lain-- tergantung banyak
faktor, maka penilaian tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya, bukan kepada
pengguna jasa pendidikan. Dengan kata lain, di situlah tempat gen murni pendidikan.
Dalam garis besar, pembagian kerja institusi pendidikan akan terlihat sebagai
berikut :
o Badan Pendidikan Nasional : Pemerintah edukasi
o Satuan Lembaga Pendidikan : Satuan organik pendidikan
o Depatemen Pendidikan Nasional : Penghasil /pengawasan pendidikan
o Lembaga Pendidikan Nasional : Kesejahteraan pendidikan
Sebagai contoh lain, untuk pemerintah militer, maka jika Komando
Pertahanan dan Keamanan Nasional adalah satuan pemerintah militer yang pertama
dan “utama” maka satuan pertahanan dan keamanan negara berikutnya adalah :
1. Komando Pertahanan dan Keamanan Bagian
2. Komando Pertahanan dan Keamanan Wilayah
3. Komando Pertahanan dan Keamanan Provinsi
4. Komando Pertahanan dan Keamanan Karesidenan
5. Komando Pertahanan dan Keamanan Kabupaten
6. Komando Pertahanan dan Keamanan Kota
7. Komando pertahanan dan Keamanan Kawedanan
8. Komando Pertahanan dan Keamanan Kecamatan
9. Komando Pertahanan dan Keamanan Desa
10.Komando Pertahanan dan Keamanan Kelurahan
Masalah militer akan menggunakan istilah panglima atau komandan untuk
pucuk pimpinan pada masing-masing level pemerintahan militer agaknya perlu dikaji
lebih jauh, yang jelas mereka bukan penguasa organik militer. Namun, mengingat
200
200
pada markas-markas komando itulah sebenarnya tempat gen murni militer, maka
sudah selayaknya pada Markas Komando Pertahanan dan Keamanan Nasional itu
nanti menjadi tempat bagi Panglima Tertinggi Militer.
Oleh karena itu, jika “sepuluh” penguasa teritorial yang setara berada dalam
satu majelis maka tersusunlah pemerintahan daerah dan di situlah tempat bagi
penguasa daerah, atau Kepala Daerah. Dengan kata lain, Kepala Daerah adalah
turunan dari Kepala Negara –bukan turunan kepala eksekutif.
Jadi, pada dasarnya, pada majelis daerah tersebutlah sebenarnya letak otonomi
daerah. Karena majelis bersifat mengikat, maka musyawarah harus diutamakan,
sehingga harus saling sedikit mengalah. Dengan demikian, berdasarkan konsep
bilangan maka seharusnya ada 10 buah “Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”
di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu :
1. “MPR” Bagian
2. “MPR” Wilayah
3. “MPR” Provinsi
4. “MPR” Karesidenan
5. “MPR” Kabupaten
6. “MPR” Kota
7. “MPR” Kawedanan
8. “MPR” Kecamatan
9. “MPR” Desa
10. “MPR” Kelurahan
Sungguhpun “MPR” merupakan turunan dari MPR, pada majelis tersebut
tidak terdapat kedaulatan rakyat sepenuhnya. Hal ini dikarenakan, jika pada “MPR”
juga ada hak berdaulat atau otonomi penuh maka keadaan tersebut tak ubahnya
dengan keberadaan negara di dalam negara.
Oleh karena itu, menurut penulis, kedaulatan “MPR” hanyalah sebatas
menerjemahkan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh pemerintahan pusat ke
201
201
dalam garis-garis kecil. Kongkritnya, sebuah garis besar akan diurai menjadi sepuluh
garis kecil yang mampu untuk dilaksanakan.
Sebuah garis kecil diturunkan kembali kepada pemerintahan yang berada di
bawahnya untuk diterjemahkan lagi menjadi sepuluh garis yang lebih kecil lagi,
sedangkan yang sembilan buah dikerjakan sendiri, dan begitu seterusnya hingga
sampai pada tingkat terendah pemerintahan. Dan, dalam hal ini, sudah bukan menjadi
kewajiban penulis untuk menguraikannya. Dengan demikian, “sepuluh yang besar”
dikerjakan sendiri, sedangkan “sepuluh yang kecil” dikerjakan oleh bawahannya.
Pola di atas akan memberikan keseimbangan beban kerja antara yang di atas
dengan yang di bawah dan di samping itu akan dapat memberikan tempat yang lebih
sesuai dengan kapasitas seseorang. Oleh karena itu, jangan heran, saat seharusnya
berada “di belakang meja” menyelesaikan tugas dalam memberikan pelayanan
kepada publik malah berada di tempat lain yang tidak semestinya. Dengan demikian,
tidak sisa-sia bangsa ini mengangkat mereka sebagai penguasa.
Perlu diingat bahwa berdasarkan pola bilangan, maka kelurahan adalah satuan
‘pemerintah eksekutif pusat” yang terendah. Jadi, posisi lurah (baca : bukan perangkat
kelurahan) adalah tempat bagi gen murni eksekutif pusat sebab pemerintahan pusat
telah tersusun pasca proklamasi, 18 Agustus 1945.
Dari sini, muncul pertanyaan, di mana posisi pemerintah eksekutif daerah?
Berdasarkan butir ajaran demokrasi, pemerintah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Maka, jika pemerintah eksekutif pusat telah tersusun dan mencapai
bentuk sempurna --karena telah sampai di tingkat kelurahan-- dengan sendirinya
yang dimaksud dengan pemerintah eksekutif daerah adalah susunan pemerintahan
yang tersusun di bawah kelurahan
Dalam kehidupan manusia, bentuk pemerintahan yang paling sederhana
adalah keluarga. Di dalam keluarga, siapa yang menjadi pemimpin dan siapa yang
dipimpin sudah jelas. Rambu-rambu hak dan kewajiban dari masing-masing anggota
keluarga telah tertanam sedemikian rupa sehingga meskipun sudah menjadi kaidah
202
202
umum, kadangkala masih terjadi silang pendapat. Itu manusiawi. Maka dari itu, posisi
keluarga menjadi sentral pembentukan basic pemerintahan.
Baik atau buruknya masyarakat pada sebuah “pemerintah daerah” merupakan
cermin dari kelurga-keluarga penyusunnya. Begitu pula dengan baik atau buruknya
kinerja pemerintah pusat tergantung pada baik atau buruknya kinerja pemerintah
daerah. Oleh karena itu, jika keluarga adalah basis dari pemerintah eksekutif
daerah dan kelurahan merupakan basis pemerintah eksekutif pusat maka antara
kepala keluarga dan lurah itulah posisi penguasa eksekutif daerah.
Padahal, di satu sisi antara kepala keluarga sampai dengan lurah --pada masa
pra transisi-- terdapat Ketua RT, Ketua RK, dan Kepala Dusun; dan di sisi lain, pada
masa transisi posisi dusun telah ditingkatkan menjadi kelurahan.
Masalahnya, posisi lurah ≠ kepala dusun, sebab :
1. Lurah adalah gen murni sipil pada tingkat terendah sedangkan kepala
dusun adalah gen murni rakyat pada tingkat tertinggi;
2. Lurah memperoleh “tempat” karena perjuangan orangtuanya /leluhurnya
di masa lalu. Dengan kata lain, lurah duduk di kursi peninggalan
orangtuanya sedangkan kepala dusun mendapatkan “tempat” dari hasil
perjuangan sendiri.
Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang lebih tinggi posisinya? Untuk
menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita belajar bersama kepada saudara-saudara
kita yang Muslim. Mereka mempunyai perilaku yang menarik saat melaksanakan
salat berjamaah (salat bersama), siapa yang datang lebih awal akan menempati sof
depan dan siapa yang datang kemudian akan menempati sof berikutya. Konsep
sederhana itu ternyata menyimpan makna yang dalam.
Menurut penulis, hal tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menata penguasa,
sebab sangat tidak etis, jika yang datang kemudian –untuk duduk-- masih harus
mengusir orang lain dari tempat duduknya, baik dengan cara halus maupun kasar.
203
203
Sudah saatnya ditanamkan, “Kalau ingin duduk di dalam /di luar silakan buat
kursi sendiri, atau paling tidak bawa sendiri. Jangan rampas kursi orang lain, juga
jangan duduk di kursi orang”. Oleh karena itu, berdasarkan ajaran tersebut posisi
lurah lebih tinggi dari kepala kampung. Untuk selanjutnya, agar padu, maka ketua RT
diubah menjadi Kepala RT, ketua RK diubah menjadi Kepala RK.
Perubahan seperti terurai di atas sangat perlu dilakukan, dan itu menunjukkan
bahwa status keberadaan mereka pun sudah dinaikkan sedemikian rupa. Dengan
demikian, mereka telah masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Jadi, jabatan Kepala
Kampung adalah jabatan tertinggi pada pemerintah eksekutif daerah. Maka, pola
pemilihan setiap kepala eksekutif daerah pun menerapkan persaingan murni.
Pola seperti itu hendaknya dipertahankan. Pemerintah eksekutif daerah pada
dasarnya adalah pemerintahan rakyat, menafikan keberadaannya akan sama artinya
dengan mematikan demokrasi “generasi” berikut, sebaliknya jika menarik masuk
semua pemerintah eksekutif daerah ke dalam payung pemerintah eksekutif pusat akan
sama artinya dengan memandang sebelah mata akan hasil pendidikan.
Dengan demikian, pada tataran kelurahan pemerintah eksekutf pusat dan
dan pemerintah eksekutif daerah bertemu, hanya sebatas garis merah putih.
Pemerintah eksekutif pusat (baca : pemerintah sipil) diwujudkan dengan keberadaan
lurah, sedangkan pemerintah eksekutif daerah (baca : pemerintah rakyat)
diwujudkan dengan keberadaan Kepala Kampung. Jika pemerintah pusat, yang
dalam hal ini diwakili oleh keberadaan gen murni sipil maka Kepala Kampung
mewakili gen murni rakyat. Pada kelurahan itulah, lembaga perwakilan rakyat
dimulai dan lembaga ini setara dengan lembaga pemerintahan pusat di kelurahan.
Dari sini muncul pertanyaan, apakah hal itu tidak mengistimewakan gen
murni yang ada di dalam birokrasi? Pembaca yang budiman, jika dilihat sepintas,
kesan tersebut memang sangat terlihat. Oleh karena itu, penulis balik bertanya.
Siapakah yang lebih berhak menjadi penerus Anda, keturunan Anda atau pekerja
Anda? Masalah keturunan Anda tidak bersedia karena satu dan lain hal, itu masalah
lain, dan pemecahan yang adil telah ada.
204
204
Untuk itu, agar lebih jelas, silakan baca kembali Noto Lahan Kehidupan.
Menurut penulis, banyaknya masalah di dalam birokrasi dikarenakan oleh satu sebab
yaitu negara menafikan pemilik pada lahan 1. Penguasa negara memandang lahan 1
sebagai daerah tak bertuan, sehingga siapapun dia asal bisa masuk, masuklah dia.
Penguasa negara tidak peduli dengan asal-usul kepemilikan lahan 1, masalah nanti
diurus nanti, toh … itu bisa diatur! Dan buah dari “itu bisa diatur” sudah sangat
“telanjang” di depan mata.
3. 14 Noto Bangsa (10)116
Penulis tidak tahu dengan pasti, manakah yang lebih dulu lahir dasawisma
ataukah catur warga. Namun secara umum diketahui bahwa yang dimaksud dengan
dasawisma adalah sekumpulan tempat tinggal yang terdiri dari sepuluh buah rumah
/kepala keluarga. Sedangkan catur warga adalah keberadaan jumlah anggota keluarga
yang terdiri dari 1 orang ayah, 1 orang ibu, dan 2 orang anak.
Dengan demikian, pada dasa wisma maka jumlah wisma /kepala keluarga
yang menjadi pijakan, sedangkan pada catur warga maka jumlah batih yang menjadi
sandaran penghitungan.
Dengan demikian, jika :
a. 10 keluarga = 1 RT
10 RT = 1 RK
10 RK = 1 kampung (dusun)
1 kampung = 1 kelurahan
b. 1 keluarga = 4 jiwa
Maka :
Penduduk 1 kelurahan ± 4000 jiwa
Penduduk 1 kelurahan ± 1000 kepala keluarga
205
205
Jika, misalnya, setiap keluarga menempati tanah hunian seluas 100 m2 maka
setiap kelurahan yang dihuni 4000 jiwa tersebut akan membutuhkan lahan seluas ±
0,10 km2 dan jika ditambah fasilitas lain seluas 100% maka setiap kelurahan baru
akan membutuhkan tempat seluas ± 0,20 km2.
Padahal, luas daratan Indonesia adalah ± 1.919.443 km2 (Datta Wardana, 1998
: 3) dan penulis mengasumsikan yang 10 % untuk daerah pemukiman, maka daerah
pemukiman akan menempati areal seluas ± 191.944,3 km2. Ternyata, tanah yang
diperlukan untuk membangun tempat tinggal bangsa ini, sementara waktu masih lebih
dari cukup. Jika, misalnya jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta maka akan
membutuhkan 75.000 buah kelurahan. Jadi pada dasarnya pertumbuhan kelurahan
melihat pertumbuhan penduduk.
Dari sini muncul pertanyaan, perlukah pertumbuhan kelurahan “memakan”
lahan pertanian? Sepengetahuan penulis, makan memang bukan tujuan hidup, namun
untuk dapat bertahan hidup maka harus makan. Masalahnya, jika lahan pertanian
menyusut dari tahun ke tahun karena pertumbuhan penduduk maupun karena
pembangunan maka tidak menutup kemungkinan pada suatu ketika akan terjadi pula
kelangkaan pangan karena adanya penyusutan suplai bahan pangan.
Oleh karena itu, seyogyanya, pembangunan daerah pemukiman “baru” tidak
digiring ke samping, namun digiring ke atas. Dengan demikian, konsep rumah susun
sangatlah tepat. Bahkan, menurut konsep bilangan, rumah susun yang ideal adalah 11
lantai, di mana lantai dasar dipergunakan untuk meletakkan barang-barang bergerak
semacam kendaraan bermotor, dan sepuluh tingkat di atasnya digunakan sebagai
tempat hunian.
Hal tersebut diutarakan dengan alasan, sebuah kelurahan hanya memerlukan
lahan seluas 20 ha, 10 ha di antaranya untuk hunian dan 10 ha yang lainnya untuk
pengadaan fasilitas umum yang diperlukan, misalnya jalan, sarana ibadah, sekolah,
pusat perbelanjaan, bank, dan sebagainya. Pada tempat hunian terdapat 10 petak
rumah susun yang masing-masing petak akan terisi 100 kepala keluarga.
206
206
Pertanyaannya adalah, siapa yang harus menyiapkan rumah rakyat tersebut?
Pembaca yang budiman, pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa satu di antara
tujuan didirikannya negara ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Jika
kondisi ini ditarik mundur pada pasca proklamasi, maka akan terlihat bahwa baik
rakyat maupun negara dalam kondisi lemah, karena baru lahir.
Bahwa rakyat dalam kondisi lemah karena energi yang mereka miliki telah
terkuras untuk merebut kemerdekaan, sementara itu kondisi negara pun lemah karena
baru saja lepas dari cengkeraman kuku kolonial. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pada saat itu keduanya lemah. Posisi lemah negara dan rakyat, pada sutu titik
berpisah, posisi negara makin lemah karena terpuruk oleh berbagai krisis yang
melandanya sementara posisi rakyat, sebagian semakin kuat dan sebagian yang lain
tetap lemah, dan sebagian di antara yang sudah lemah tersebut semakin lemah.
Dengan reformasi bilangan, posisi negara menjadi kuat, rakyat yang sudah
kuat tidak berkurang kekuatannya, sementara rakyat yang lemah akan menjadi kuat,
karena pada kedua macam rakyat tersebut telah ada kepastian keadilan di dalam
hidupnya. Bahwa, yang besar mendapat “kue kemerdekaan” lebih besar dari yang
kecil itu wajar, dan sangat wajar. Begitu pula dengan setiap pelanggaran yang
dilakukan. Meskipun “rakyat besar”, jika melakukan kesalahan akan tetap
mendapatkan sanksi, begitu pula dengan “rakyat kecil”, tidak ada keistimewaan bagi
seseorang di bumi Pertiwi. Dengan kata lain, semua setara di mata hukum.
Kembali ke masalah rumah rakyat. Untuk membangun rumah, maka harus ada
lahan dan rumah itu sendiri. Pertanyaannya, siapakah pemilik lahan untuk rumah itu?
jika yang satu mengatakan bahwa bumi itu milik Allah SWT., negara mengklaim juga
sebagai milkinya, sementara itu di luar sana, permukaan bumi telah dikapling-kapling
oleh penghuninya. Jadi, siapa sebenarnya pemiliknya?
Pengakuan umat beragama benar sekali adanya. Bahwa bumi sebagai satu di
antara sekian banyak ciptaan-Nya adalah milik Sang Maha Pencipta itu sendiri. Posisi
negara sebagai pemilik hanya sebagai tanda batas kekuasaan (?) yang mencakup
kedaulatan, pengelolaan, dan pemanfaatannya.
207
207
Sedangkan, rakyat sebagai “person” kepemilikannya hanya sebatas
pemanfaatan saja. Oleh sebab itu, rakyat tidak boleh menelantarkan tanah miliknya.
Jadi, jika dilihat dari segi pengelolaan dan pemanfaatannya maka tanah yang sudah
dimiliki rakyat adalah milik rakyat itu sendiri di bawah kendali pengawasan negara.
Maka dari itu, sepanjang tidak melakukan pelanggaran yang telah disepakati
bersama12, rakyat (baca : penduduk) suatu daerah tidak dibenarkan mengusir rakyat
(baca : penduduk) lain –apapun alasannya.
Masalahnya, tidak semua rakyat “berkesempatan” memiliki tanah, padahal
tanah adalah prasyarat untuk keberadaan tempat tinggal. Oleh karena itu, pada saat
seorang rakyat sudah beranjak dewasa dan telah siap berkeluarga dan berkehendak
memisahkan diri dari orangtua, maka menjadi kewajiban negara memenuhinya.
Dengan demikian, urusan tempat tinggal (baca : rumah) –bagi rakyat yang tidak
beruntung tersebut-- menjadi kewajiban negara. Saat itulah, hutang negara kepada
rakyat yang telah “memerdekakan”-nya terbalas. Bukankah, pada saat merebut
“kemerdekaan negara”, rakyat juga telah mengorbankan seluruh miliknya?
Masalahnya, tanah-tanah yang dikuasai oleh negara telah dimanfaatkan untuk
berbagai usaha dalam rangka menghidupi negara itu sendiri, sementara tanah milik
rakyat telah ada pula pemiliknya pada saat pasca proklamasi. Bahwa mengambil
tanah milik rakyat untuk diberikan kepada “rakyat” lain, jelas bukan solusi cerdas.
Untuk itu, harus ada pemecahan yang saling menguntungkan.
Rakyat sebagai pemilik tanah mendapat untung, rakyat yang membutuhkan
rumah untung, dan negara yang menunaikan kewajibannya juga untung. Dalam hal
ini, menurut penulis, pola bagi hasil akan dapat membantu penyelesaiannya.
Rakyat sebagai pemilik tanah “menanamkan” saham berupa “tanah” untuk
pemukiman, dengan demikian, kepemilikan tidak berpindah tangan. Masalah
prosentase laba, menentukan pengembang, dan lain sebagainya sudah menjadi
kewajiban negara. Pada waktu yang telah ditentukan, misalnya setiap bulan, pemilik
tanah tinggal mengambil “jasa” dari milknya yang dimanfaatkan oleh negara.2 bentuk kesepakatan sebagai yang dimaksud, sepengetahuan penulis “belum ada”
208
208
Rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal dapat diibaratkan sebagai anak-
anak bangsa yang belum beruntung dalam perantauan yang panjang (baca: puluhan
tahun merdeka). Pada saat seorang anak tidak berhasil “ di rantau”, ke mana harus
kembali? Bukankah, mereka akan pulang ke pangkuan Ibu? Masalah akan terjadi
kejutan psikhologis, itu sudah pasti.
Untuk itu pemuka agama, psikholog, pendidik, dan mereka yang peduli pada
masalah-masalah sosial perlu bahu membahu dalam mengatasinya. Hanya saja, ada
satu hal yang perlu diingat bahwa kewajiban negara hanyalah sebatas menyediakan
rumah untuk tempat tinggal yang layak. Jadi, bukan pada menentukan pilihan “tempat
rumah”. Urusan mereka sendiri dalam menentukan, mau di petak 1, petak 2, di lantai
1, lantai 2, atau kamar 1, atau di kamar berapa, terserah mereka. Mereka juga akan
memilih sendiri, siapa pemimpin-pemimpin mereka. Siapa yang akan menjadi Kepala
Kampung, Kepala RT, dan sebagainya.
Dari sini, muncul pertanyaan, apakah mereka harus membeli? Dan, penulis
balik bertanya. Jika ada kemampuan, adakah yang mau tinggal di tempat-tempat
kumuh seperti di pinggir-pinggir sungai, di tepian rel kereta api, di kolong-kolong
jembatan, atau bahkan tercecer di pasar atau di jalan-jalan sebagai gelandangan? Jadi,
mereka tinggal menempati. Jika pembaca merasa iri dengan keberuntungan yang
mereka terima karena manuver bilangan, silakan ikuti jejak mereka! Gampang,
bukan? Sistemlah yang telah menggiring mereka talantar di negara yang kaya dan
makmur. Dari situ, janji manis bahwa fakir-miskin dan anak-anak telantar menjadi
tanggungan negara direalisasikan dalam karya nyata. Rumah yang merupakan sebuah
kebutuhan mendasar sebagai manusia telah dipenuhi oleh negara.
Dengan pola seperti itu, tidak akan ada daerah kumuh. Pinggir-pinggir rel
kereta api akan bersih dari pemandangan yang memilukan, daerah tepian sungai akan
berfungsi sebagaimana mestinya, kolong-kolong jembatan akan stiril dari
gelandangan, dan sebagainya. Dan, saat mereka terkumpul dalam satu kelurahan,
itulah kelurahan Indonesia! itulah potret kemerdekaan yang diagungkan!
209
209
Memang, penulis mendengar, ada “rakyat besar” dari negara seberang yang
pernah mengatakan bahwa “Jangan kau tanyakan, apa yang telah diberikan negara
kepadamu. Tapi, bertanyalah, apa yang telah engkau berikan kepada negaramu”.
Namanya juga omongan “rakyat besar”, maka dalam tempo yang tidak terlalu lama
menjadi rujukan pendapat dan mendapatkan pembenaran dari kaum oportunis yang
setia mengitarinya.
Pernyataan tersebut sekarang dibalik oleh “rakyat kecil” dengan ungkapan
senada, “Negara, jangan lagi kau tanyakan apa yang telah diberikan rakyat kepadamu.
Tapi bertanyalah, apa yang telah kau berikan kepada rakyatmu? Apakah murah
sandang, murah pangan? Apakah rasa aman? Apakah rasa keadilan? Ataukah
ketakutan, kelaparan, dan kenistaan?” Hanya penguasa yang mampu menjawabnya!
Dari sini muncul pertanyaan, siapakah rakyat Indonesia? Pembaca yang
budiman, pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa pada saat proklamsi, dalam
hal ini, lahan kehidupan telah terbagi dengan adil, sebagian rakyat berada di dalam
sistem birokrasi dan sebagian di luar sistem birokrasi. Mereka yang berada di dalam
struktur birokrasi terbagi menjadi dua kelompok, yang satu berada pada jalur sipil,
dan yang lain berada pada jalur militer.
Oleh karena itu, pada garis besarnya, rakyat Indonesia dikelompokkan
menjadi tiga kelompok besar, yaitu rakyat sipil, rakyat militer, dan rakyat murni.
Pengelompokan seperti itu bukan terjadi secara kebetulan, sebab bukan tanpa alasan
mereka masuk ke dalam sebuah komunitas dengan natar tertentu. Di situ, ada
panggilan jiwa dan iklim yang mendukung. Rakyat sipil akan menurunkan rakyat
sipil, rakyat militer akan menurunkan rakyat militer, begitu pula dengan rakyat murni.
Jika terjadi penyimpangan garis “nasab” sudah dapat dipastikan adanya
ketidakberesan dalam alur kehidupan. Masalah nasib bisa berbeda, namun masalah
“nasab” tidak dapat begitu saja dibelok-belokkan. Itu semua terjadi karena penguasa
negara hanya memberi tempat tumbuh kepada rakyat murni, sementara di sisi lain,
negara memandang keberadaan “rakyat sipil” dan “rakyat militer” hanya sebagai
tumbal kemerdekaan. Hal semacam itu, menurut konsep bilangan, tidaklah tepat!
210
210
Meskipun prosentase rakyat sipil dan rakyat militer tersebut sangat kecil,
keberadaannya harus diperhitungkan dan harus pula dikembalikan hak-haknya.
Dengan demikian, mereka dapat melanjutkan pengabdiannya kepada Pertiwi. Itu, jika
penguasa negara mau berlaku adil terhadap semua rakyatnya. Dalam konteks apapun,
penguasa negara hendaknya adil terhadap semua rakyatnya. Jadi, yang selama ini
dipandang sebagai rakyat kecil hanyalah mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan, atau mungkin masyarakat kelas pinggir jalan, tidak terlalu tepat, sebab
masih ada rakyat kecil “yang lain” yang juga terjepit. Ke mana harus mencari lahan
kehidupan, karena lahan kehidupannya “diserbu” oleh rakyat lain.
Jika kondisi tersebut ditarik ke pasca transisi, maka rakyat sipil akan kembali
ke dunia sipil dan mengelola pemerintahan sipil, rakyat militer akan kembali ke dunia
militer dan mengelola pemerintahan militer, dan rakyat murni akan kembali ke dunia
rakyat murni serta mengelola pemerintahan rakyat murni. Transfer antar mereka
dapat saja terjadi dan untuk itu sudah ada kejelasan tentang aturan aturan mainnya.
Hanya saja, perlu diperhatikan. Mengingat, rakyat agama dan rakyat sipil
agama pun telah muncul pada masa pasca transisi maka “agama rakyat” menjadi
fokus. Oleh sebab itu, pada daerah yang mayoritas rakyatnya beragama x maka,
seyogyanya, ditempatkan rakyat sipil x dan juga rakyat militer x. Begitu pula pada
daerah yang mayoritas rakyatnya beragama y maka, seyogyanya, ditempatkan rakyat
sipil y dan rakyat militer y.
Ini semua dilakukan untuk mencegah masuknya radikal bebas negatif ke
dalam sebuah sistem. Bagaimanapun, radikal bebas negatif akan sangat berbahaya
bagi sebuah komunitas saat pada posisi yang tidak semestinya.
Dari situ muncul pertanyaan, apakah itu bukan berarti diskriminasi terhadap
agama? Jawabannya, tidak. Masing-masing agama telah diberi tampat tumbuh serta
diberi kesempatan yang sama untuk menjadi nomor satu pada setiap komunitas. Jadi,
pada akhirnya penempatan rakyat sipil dan rakyat militer harus memperhatikan
agama rakyat murni setempat, lebih-lebih bagi mereka yang ditempatkan pada jabatan
struktural baik pada stratum organik maupun non organik.
211
211
Di samping itu, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya. Rasio antara rakyat
sipil, rakyat militer, rakyat agama, rakyat sipil agama, dan rakyat murni pada setiap
kelurahan dapat dijadikan perbandingan. Di atas telah disinggung, idealnya sebuah
kelurahan berisi 1000 kepala keluarga. Itu berarti 4000 jiwa, yang terdiri dari 1000
orang ayah, 1000 orang ibu, dan 2000 orang anak. Dari 1000 keluarga tersebut terinci
sebagai berikut :
a. Rakyat militer : 1 keluarga
b. Rakyat sipil : 10 keluarga
c. Rakyat agama : 1 keluarga
d. Rakyat sipil agama : 10 keluarga
e. Rakyat murni : 978 keluarga
Dari 978 keluarga rakyat murni tersebut dapat dirinci lebih jauh tentang posisi
mereka di dalam sistem sebagai berikut :
a. Pegawai negeri militer : 10 keluarga
b. Pegawai negeri militer sipil (Polisi) : 10 keluarga
c. Pegawai negeri sipil : 100 keluarga
d. Pegawai negeri sipil agama : 10 keluarga
e. Pegawai Daerah Negeri Sipil : 111 keluarga
f. Lembaga perwakilan kelurahan : 11 keluarga
g.”MPR” kelurahan : 1 keluarga
Jumlah : 253 keluarga
Dengan demikian, dari 978 keluarga rakyat murni, yang 253 telah terserap ke
dalam sistem pemerintahan daerah kelurahan. Jadi, sisa 725 keluarga. Nah, pada
mereka inilah lahan kehidupan di luar sistem birokrasi /negara diperuntukkan.
Mereka dapat bergerak dalam bidang usaha. Seandainya, wanita tidak “harus” bekerja
di luar rumah maka peluang bagi kaum pria untuk berhasil dan mendapatkan
penghasilan lebih akan terbuka lebar-lebar .… Dengan demikian, wanita tinggal
mengurus rumah tangga suaminya.
212
212
Karena kondisinya tidak seperti itu, maka secara otomatis lapangan kerja yang
harus tersediapun akan lebih banyak. Bayangkan, tiap 2000 penduduk dewasa, 275
orang di antaranya telah terserap di dalam, sementara sisanya belum mendapatkan
tempat. Jadi, mereka harus berada di luar.
Pembaca yang budiman, rakyat –secara keseluruhan-- negara ini tidak dapat
dipisahkan dari bangsa negara ini sendiri. Justru, rakyat tersebut dapat dipandang
sebagai unsur utama penyusun bangsa. Bukankah timbangan pemerintah adalah
rakyat? Dari sini, muncul pertanyaan, siapakah bangsa Indonesia itu? Jika noto
bangsa menempatkan bangsa Indonesia sebagai satuan bangsa yang pertama dan
utama, maka satuan bangsa berikutnya adalah x.
Bangsa n 1 kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan
sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri; 2 golongan manusia, binatang, atau tumbuh-
tumbuhan yang mempunyai asal-usul sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; 3
macam; jenis; 4 kedudukan (keturunan) mulia (luhur); 5 jenis kelamin.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 76)
Merujuk pada pengertian pengertian pertama, maka yang dimaksud dengan
bangsa Indonesia adalah hasil penjumlahan dari seluruh suku bangsa yang mendiami
wilayah Indonesia (1). Sebab, asal-usul mereka sama, konon dari Hindia Belakang,
Yunan. Adat-istiadat mereka, meskipun tidak sama persis, ada kesamaan. Bahasa
pemersatu mereka miliki, bahkan pada bahasa daerah pun ada kemiripin. Begitu pula
dengan sejarah masa lalunya, mereka senasib, sepenanggungan. Dan, di samping itu,
mereka telah memiliki pemerintahan sendiri, dan telah pula mendapatkan pengakuan
dari dunia (baca : negara lain).
Pengertian tersebut menjadi lebih jelas setelah dikaitkan dengan pengertian
kedua, sebab pada pengertian tersebut terlihat bahwa yang dimaksud dengan bangsa
Indonesia adalah golongan menusia yang mempunyai asal-usul sama dan sifat-sifat
khas atau bersamaan.
213
213
Dari sini, muncul pertanyaan, dari mana asal-usul manusia Indonesia? Sebagai
bangsa yang beragama, maka sudah dapat dipastikan adanya pengakuan bahwa
bangsa ini tidaklah muncul dengan sendirinya. Mereka ada karena ada yang
menciptakan, dan Sang Maha Pencipta tersebut adalah Tuhan YME. Tentang
bagaimana proses penciptaan manusia pertama sampai dengan tumbuhnya bangsa
ini bergantung pada keyakinan agama masing-masing manusia Indonesia itu sendiri.
Di samping karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki, masalah tersebut
sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan iman. Pada daerah tersebut, ilmu tidak
mampu menjangkaunya. Adalah hal yang sia-sia jika ada keinginan menguak areal
tersebut.
Pertanyaan berikutnya, siapa manusia Indonesia? Pembaca yang budiman,
Pancasila mengajarkan bahwa sila kelima dijiwai oleh sila keempat. Sila keempat
dan kelima dijiwai oleh sila ketiga. Sila ketiga, keempat, dan kelima dijiwai oleh sila
kedua. Dan, sila kedua, ketiga, keempat, dam kelima dijiwai oleh sila pertama.
Dengan demikian, manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa. Maka dari itu, pengakuan tentang ke-Esa-an Tuhan menjadi sentral
parameter dan sekaligus menjadi tolok ukur menjadi atau tidak menjadinya seseorang
sebagai manusia Indonesia (2).
Sebagai catatan kecil, ke-Esa-an adalah sifat mutlak Tuhan-nya manusia
Indonesia. Oleh karena itu, dalam hal ini, tidak ada “modifikasi” oleh tangan manusia
–siapapun mereka dan apapun alasannya. Dengan demikian, manusia Indonesia tidak
akan menuhankan Tuhan YME sembari memuja tuhan lain sebagi tandingan.
Padahal, menuhankan sesuatu di luar makhluk akan menggiring pemujanya
untuk memeluk suatu agama. Masalahnya, manusia beragama yang mengakui ke-
Esa-an Tuhan tidak hanya tinggal di antara Sabang sampai Meraoke. Mereka dapat
bertempat tinggal di mana saja, di seluruh penjuru bumi, dari belahan bumi bagian
utara sampai belahan bumi bagian selatan, dari ujung timur sampai ujung barat.
214
214
Dengan hipotesa (1) sebagai penalaran --penulis-- tentang pengertian bangsa
Indonesia, maka untuk menjadi bangsa Indonesia hanya ada lima syarat yang harus
dipenuhi, yaitu : pengakuan kesamaan asal usul, adanya kesamaan adat, memiliki
kesamaan sejarah, dan berpemerintahan sendiri. Sedangkan hipotesa (2) sebagai
penalaran --penulis-- tentang perwujudan manusia Indonesia itu adalah manusia
beragama yang mengakui ke-Esa-an Tuhan dengan segala konsekuensinya. Dengan
kata lain, manusia beriman. Oleh sebab itu, manusia Indonesia dapat muncul sebagai
bangsa apa saja, apa pun warna kulitnya, dan di manapun tempat tinggalnya.
Jadi, konsep ini menuntun kepada satu pengertian yang sangat mendasar
bahwa yang dimaksud dengan manusia Indonesia itu sebenarnya adalah bangsa
manusia --secara keseluruhan-- yang mengakui ke-Esa-an-Nya. Sebaliknya, mereka
yang menampik ke-Esa-an Tuhan, sekalipun mengaku sebagai bangsa Indonesia
ternyata bukan manusia Indonesia. Maka dari itu, cita-cita membangun manusia
Indonesia seutuhnya ternyata hanyalah sebuah fatamorgana.
Ssebab bagaimana mungkin akan menjadi manusia Indonesia seutuhnya jika
jiwanya pecah. Di satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain memuja tuhan lain. Di
satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain memuja kekuasaan. Di satu sisi memuja
Tuhan YME, di sisi lain menuhankan uang. Di satu sisi mengaku ber-Tuhan Yang
Maha Esa, di sisi lain menentang aturan yang datang dari Tuhannya.
Bukankah pada setiap pengakuan ada aturan lain yang mengikat? Oleh karena
itu, sebagai konsekuensi pengakuan sebagai manusia Indonesia, maka mereka harus
tunduk sepenuhnya pada aturan main yang telah ditetapkan oleh agama yang
dianutnya. Dengan demikian, mereka harus taat sepenuhnya kepada Tuhan YME, taat
kepada Rasulullah SAW. –jika Islam-- /ajaran yang dibawa oleh penyebar agama
mereka, dan taat kepada pemerintahnya (a).
Ketaatan kepada Tuhan YME dan taat kepada ajaran agama sudah sering
dibahas oleh para pemuka agama dalam berbagai kesempatan. Masalah sering timbul
pada tataran ketaatan kepada pemerintah. Sejak manusia dilahirkan, perintah pertama
datang dari orangtua, kemudian dari guru, dan terakhir dari pemerintah itu sendiri (b).
215
215
Baik pada (a) maupun pada (b), jika antara ketiganya sejalan maka tidak akan
menimbulkan masalah, namun pada saat terjadi perbedaan arah tujuan perintah maka
suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju harus dikembalikan pada ajaran agama.
Bukankah ajaran agama Tuhan Yang Maha Esa tidak mungkin bertentangan dengan
perintah Tuhan Yang Maha Esa? Oleh karena itu, pada saat ada perbedaan pandangan
dalam hal apa pun juga, bukan serta merta senapan yang harus berbicara.
Oleh karena manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Ke-Tuhan-an Yang
Maha Esa maka sudah sepantasnya, mereka yang bukan manusia Indonesia
menghormati eksistensinya. Pola ini akan menggiring budaya permisif yang datang
dari “sana” pulang ke negeri asalnya Sebagai contoh sederhana, kegembiraan
menyambut “tamu asing” dengan aneka suguhan yang tidak sesuai dengan ajaran
Tuhan YME dengan imbalan segepok uang mereka tak ubahnya dengan melacurkan
negeri untuk menghidupi anak bangsa ini. Bukankah, jika negara ini sebagai Ibu
Pertiwi, maka bangsa ini sebagai anak-anaknya? Sebagai anak, mana mungkin
melacurkan Ibunya, apa lagi “menjualnya”. Dengan kata lain, mereka yang
melacurkan Ibu Pertiwi, sekalipun mengaku sebagai bangsa Indonesia ternyata bukan
manusia Indonesia, mereka adalah anak tetangga! Mereka adalah penumpang gelap!
Maka dari itu, di dalam menata bangsa ini tidak ada pilihan lain, ajaran agama dari
Tuhan YME harus dijadikan landasan yang utama oleh pemegang kekuasaan. Tanpa
itu, berarti penguasa telah mengingkari dasar negara sendiri.
Dari sini muncul pertanyaan. Jika manusia Indonesia dapat muncul dari mana
saja, dari belahan bumi manapun, apapun warna kulitnya, apapun bahasa ibunya,
lantas bagaimana membedakan manusia Indonesia dengan manusia lain? Pembaca
budiman, pertanyaan tersebut mengarah pada ciri-ciri khusus manusia Indonesia.
Kita berbicara dalam konteks moral. Jadi tolok ukur yang digunakan bersifat
normatif yang tidak dapat dijabarkan dengan angka-angka mati. Dengan demikian,
skala penilaian adalah baik dan buruk. Penulis tidak memberi tempat bagi nilai antara
keduanya dengan maksud agar jelas. Jikalau baik, agar menjadi terang akan baik
baginya, dan jikalau buruk menjadi terang akan keburukan yang ada padanya.
216
216
Ciri-ciri manusia Indonesia dapat ditelusuri dari kata kunci yang ada pada
Pancasila, falsafah bangsa Indonesia sendiri. Sepanjang pemahaman penulis, kata-
kata kunci yang padat tersebut menjadi ciri dasar manusia Indonesia. Kata-kata
kunci13 tersebut antara lain : Ber-Tuhan Yang Maha Esa; (berperi) kemanusiaan; adil;
beradab; (mau) bersatu (bukan hanya jasadnya, namun juga jiwanya); (dapat
mengambil) hikmah; (me) rakyat; bijaksana; (suka) musyawarah; dan (berjiwa)
sosial. Dalam hal ini, penulis tidak hendak menafsirkan Pancasila sesuai kehendap
penulis sendiri, sebab falsafah tersebut sudah baku, jelas, padat, dan rinci. Jadi,
tergantung pada individu untuk mengaplikasikan dalam kehidupannya. Dengan
demikian, bagi penulis, kata-kata kunci menjadi itu skala penilaian. Bahwa tidak ada
yang sempurna di dunia, itu pasti. Namun, setidaknya dengan skor enam
menunjukkan seseorang sudah baik.
Pada dasarnya, semua kata kunci tersebut merupakan bentuk pengamalan (?)
tentang pengakuan ke-Esa-an Tuhan. Dengan kata lain, bagi manusia Indonesia,
Tuhan YME adalah sentral. Dia adalah asal dan tujuan akhir manusia Indonesia.
Dengan adanya pengakuan bahwa dirinya lahir di dunia atas kehendak-Nya, hidup
atas kehendak-Nya, dan kalaupun mati maka kematian itupun atas kehendak-Nya.
Pada saat manusia Indonesia berada pada posisi apapun juga, mereka akan
sabar, teguh hati, lapang dada, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Sungguhpun demikian,
karena hanya ada dua pilihan --meskipun hidup menyediakan banyak pilihan-- maka
tergantung pada dirinya sendiri untuk menentukan keadaan yang baik maupun
keadaan yang tidak baik baginya. Dengan demikian, manusia Indonesia bukan
“makhluk” statis. Mereka dinamis, inovatif, kreatif, dan berbaik sangka.
Jadi, kongkritnya, manusia Indonesia adalah orang beriman. Sebagai orang
beriman, manusia Indonesia tidak akan , melakukan kesalahan berulangkali, cukup
satu, dua, dan paling banyak tiga kali. Sebagai makhluk berakal, manusia Indonesia
tidak mau terperosok untuk kedua kali pada lubang yang sama. Dan, agar tidak
terperosok pada lubang lain, mereka akan waspada dan berhati-hati. 13 jika ternyata keliru, penulis akan rujuk pada pendapat yang benar
217
217
Dengan demikian, manusia Indonesia tidak menjadikan harta dan kekuasaan
sebagai tujuan hidupnya. Keduanya dipandang sebagai sarana untuk sebuah
pengabdian total kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, mereka tidak akan berdalih
membangun, padahal sebenarnya merusak, mereka tidak akan berbuat zalim namun
juga tidak mau dizalimi, mereka tidak gentar panasnya peluru yang mematikan dalam
membela yang benar, mereka tidak takut kelaparan karena telah tahu mana makan
yang baik dan halal baginya, mereka tidak silau terhadap kemilau dunia meskipun
berada di tengah kemilau dunia, mereka juga tidak congkak saat berada di puncak
kekuasaan.
Pendeknya, karena berbenteng iman, manusia Indonesia memandang harta
dan kekuasaan sebagai amanah, sebagai barang titipan, yang pada keduanya terdapat
hak orang lain yang harus ditunaikan dan ada pertanggungawaban. Dengan kata lain,
seluruh aktivitas manusia Indonesia hanya dalam rangka mencari ridho-Nya. Jadi,
jika mengaku beragama Islam, mereka akan hidup secara Islami. Jika beragama
Nasrani, mereka akan hidup sebagaimana ajaran Al Masih. Jika sebagai pengikut
Hindu maka ajaran Weda menjadi pedoman hidupnya. Jika memposisikan diri
sebagai penganut Buda maka ajaran Sang Buda akan dipatuhi. Jika menempatkan diri
sebagai penganut Khong Hu Chu, maka akan menjadi penganut yang baik.
Manusia Indonesia berusaha mengaplikasikan ajaran agamanya sebatas
kemampuan maksimal yang ada pada dirinya. Dengan demikian, yang dapat menilai
bukan orang lain. Penilaian orang lain seringkali keliru, sebab tidak jarang, kita
terkecoh dengan penampilan seseorang. Kita menyangka baik, ternyata culas dan
pendendam. Kita menyangka jahat, ternyata berhati lembut,dan sebagainya.
Pertanyaannya, adakah ajaran agama-agama yang dianut manusia Indonesia
membimbing ke arah hidup glamour, vulgar, otoriter, anarkhis, atau mengajarkan hal-
hal negatif yang lain? Tidak bukan? Kita sering terjebak oleh ulah orang lain….
Sekarang saatnya menghitung, apakah kita –termasuk penulis-- meskipun dilahirkan,
218
218
dibesarkan, tinggal, dan kelak akan mati di negara Indonesia (?) termasuk manusia
Indonesia? Jika tidak, andalah kaki tangan penjajah!
Manusia Indonesia dapat muncul dalam berbagai strata kehidupan, dari rakyat
jelata sampai penguasa, dari si miskin yang papa sampai pengusaha kaya raya. Jika
muncul sebagai rakyat, mereka akan menjadi rakyat yang baik. Saat menjadi
penguasa, ia akan menjadi penguasa yang baik, yang tahu akan kesulitan rakyatnya.
Saat miskin karena kefakirannya, ia tidak menjadi peminta-minta. Begitu pula saat
kaya, mereka suka berderma.
Sifat baiknya, prasangka baiknya, dan hal-hal baik yang ada pada mereka
itulah yang seringkali dimanfaatkan oleh orang lain yang bukan manusia Indonesia.
Nah, disitulah letak perlunya Tentara Tuhan pada setiap level pemerintahan. Mereka
akan berada pada posisi keamanan sipil.
0leh karena itu, sangat berbahaya saat yang bukan manusia Indonesia duduk
sebagai pengendali kekuasaan. mereka akan membawa ke situasi ketidakpastian.
Negara dan bangsa akan terombang-ambing, rakyat gelisah, “kemelut” nyaris terjadi
di segala lini kehidupan.
Pertanyaannya, jika sebagai rakyat, sudahkah Anda menjadi rakyat yang baik?
Sudahkah Anda penuhi kewajiban Anda sebagai rakyat? Jangan hanya menuntut hak
Anda! Jika penguasa, sudahkah Anda menjadi penguasa yang baik? Sudahkan Anda
penuhi hak-hak rakyat Anda? Hak-hak bawahan Anda? Janganlah Anda hanya pandai
menuntut kewajiban mereka, penuhi pula hak mereka. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa jika bangsa Indonesia adalah satuan noto bangsa yang pertama
dan “utama”, maka untuk melacak satuan noto bangsa yang lain adalah sebagai
berikut :
a. (10)0 = 1
(10) adalah basis bangsa Indonesia, suku-suku bangsa di Indonesia
0 adalah Sumpah Pemuda, peleburan bangsa-bangsa Nusantara
1 adalah bangsa Indonesia
219
219
b. (10)0 =1
(10) adalah bangsa Indonesia
0 adalah proklamasi
1 adalah rakyat Indonesia
c. (10)0 = 1
(10) adalah rakyat Indonesia
o adalah reformasi bilangan
1 manusia Indonesia
d. (10)0 = 1
(10) adalah manusia Indonesia
o adalah noto bangsa
1 natar manusia Indonesia
Sekarang, mari kita tarik ke dalam konteks bilangan. Berdasarkan hitungan
noto bangsa, ternyata bahwa :
(10)0 = 1 --1 bangsa Indonesia
(10)1 = 10 --10 rakyat Indonesia
(10)2 = 100 --100 manusia Indonesia
(10)4 = 1 0000 --1 0000 natar manusia Indonesia
Dari situ dapat difahamkan bahwa hanya ada satu bangsa Indonesia dengan
sepuluh macam rakyat Indonesia. pertanyaannya, bukankah rakyat Indonesia hanya
ada satu? Rakyat Indonesia memang hanya satu yang tinggal di Indonesia, sedangkan
yang sembilan tidak tinggal di Indonesia, mereka tercecer di sembilan manca negara.
Ini berarti pola bilangan dengan sistem Indonesia menggiring bangsa Indonesia
menjadi bangsa agresor, atau dengan kata lain melakukan intervensi.
220
220
Padahal, pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Jadi?
Bangsa Indonesia adalah manusia yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa,
kelompok bangsa manusia beriman. Jadi, sepanjang eksistensi sembilan rakyat
Indonesia (baca : orang beriman) yang tinggal di manca negara tidak diganggu, maka
tidak ada alasan bagi Indonesia melakukan ekspansi, apalagi menganeksasi.
Perlu dicatat, ekspansi (kalaupun terjadi) tersebut bukan dimaksudkan untuk
menjajah seperti ekspansi barat terhadap dunia timur, justru untuk memerdekakannya.
Dari situ dapat ditengarai akan adanya kekuatan lain yang mendorong lepasnya Timor
Timur dari pelukan Pertiwi.
Oleh sebab itu, kelak, tidak ada alasan bagi penguasa negara untuk
menghalangi keberangkatan Tentara Tuhan (baik Hizbullah, Tentara Salib, Pacalang,
dsb.) ke negara lain, dalam rangka membebaskan rakyat Indonesia sendiri. Justru,
negara harus memfasilitasinya. Apakah ini bukan berarti, Indonesia mencari musuh?
Tidak. Sebagai inti negara manusia beriman, justru di situlah letak dari
pertanggungjawabannya. Siapa yang menyuruh dasar negaranya ber-Ke-Tuhan-an
Yang Maha Esa? Bukankah kekuasaan Tuhan YME tidak mengenal batas teritorial?
Jadi, intinya, intervensi tersebut bukan dalam rangka menjajah melainkan
dalam rangka membebaskan manusia beriman dari belenggu penindasan manusia
tidak beriman, sebuah perang suci. Di medan laga itulah, mereka yang Islam dapat
menunaikan jihatnya, yang Nasrani dapat martir di sana, yang Hindu /Buda dapat
melakukan puputan di sana. Bahwa tidak semua manusia beriman mempunyai
kekuatan fisik yang memadai atau karena adanya halangan lain bukan merupakan
alasan baginya untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan cara lain.
Di sanalah barisan orang beriman bertemu dengan barisan orang tidak
beriman. Mereka akan saling menolong sesamanya. Orang beriman menolong orang
beriman, orang tidak beriman pun akan menolong orang tidak beriman.
221
221
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika sesama orang beriman harus
“berkelahi” di rumah sendiri. Kondisi itu sangat merugikan dan memperlemah diri
orang beriman sendiri, dan di sisi lain membuat orang tidak beriman bersorak dan
semakin kuat. Dengan kata lain, mereka yang untung, kita sendiri yang buntung.
9 (sembilan) adalah angka yang besar, terbesar malah. Itu menunukkan bahwa
ternyata masih banyak orang beriman di negara lain yang belum merdeka. Dalam hal
ini, bisa jadi mereka saling bertikai dengan sesamanya. Ini berarti, tugas besar
membayang di depan mata. Itulah sebabnya, jika penguasa negara tidak di tangan
orang beriman (manusia Indonesia) maka Indonesia akan tetap “indonesia” tidak akan
pernah menjadi INDONESIA. Ternyata, jalan masih panjang dan berliku untuk
menuju Indonesia Raya.
Indonesia Raya adalah negara besar tempat orang-orang beriman, apapun
agamanya, akan mendapatkan perlindungan yang adil dari penguasa. Oleh sebab itu,
bersatulah dan hadapi musuh bersama. Silakan melaksanakan ritual sesuai agama
masing-masing, agar hati menjadi tenteram, jiwa menjadi tenang. Silakan hidup
sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Jangan melanggar trilogi kerukunan
umat beragama, baik terang-terangan maupun terselubung.
Dari sepuluh “macam” rakyat Indonesia, karena hanya satu yang tinggal di
Indonesia, maka dengan sendirinya manusia Indonesia pun hanya tinggal sepuluh
“macam”. Mereka tersebar di dalam agama-agama. Jika, sekarang hanya ada enam
agama di Indonesia, maka seyogyanya yang empat macam tersebut berani
menampakkan diri, tidak terus menerus bersembunyi di balik baju agama-agama lain.
apakah penulis mengada-ada? Tidak.
Dalam hal ini, kita sering melihat /mendengar adanya ritual-ritual tertentu di
daerah tertentu yang bukan merupakan ajaran agama yang kita kenal. Apakah ritual
tersebut bukan merupakan sebuah bentuk pelaksanaan sebuah ajaran agama?
Memang, pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang bersangkutan akan
menyebutkan agama x, agama y, atau agama z. Namun, jika x, y, maupun z tidak
memerintahkan penganutnya untuk melaksanakan ritual semacam itu.
222
222
Apakah itu termasuk sekte agama tertentu? Tidak, bukan? Kalau demikian
adanya, maka itu adalah agama tersendiri, bukan agama yang kita kenal. Nah, dari
pada merusak citra agama tertentu akan terlihat lebih ksatria jika berani
menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya. Dan, jika mereka mau kembali ke
fitrahnya, agama asalnya, tentunya lebih baik bagi dirinya. Seandainya, mereka
mengetahui ….
Dari 1 0000 natar manusia Indonesia, hanya 100 macam yang tinggal di
Indonesia, sedangkan sisanya tersebar di sembilan manca negara. Natar adalah
warna dasar ( semacam kecenderungan). Warna dasar tidak mengenal ras, etnis,
agama, maupun golongan. Dari asal-usulnya dapat dilihat natarnya. Sebagai ilustrasi
sederhana: petani, nelayan, penambang bernatar alam. Pelawak, artis, dalang, dan
pelukis bernatar seni budaya. Dengan melihat natarnya, maka akan dapat dilacak
letak sebenarnya dari lahan hidupnya. --lihat lampiran 3
Pembaca yang budiman, dari 100 natar manusia Indonesia maka 12 macam di
antaranya sudah jelas. Mereka ada pada jalur birokrasi di lahan 1, sedangkan yang 88
berada pada jalur rakyat di lahan 2. Keberadaan natar di lahan 1 (jalur birokrasi) dan
natar di lahan 2 (jalur rakyat murni) tersebut harus diselesaikan agar “kue
kemerdekaan” tidak hanya menetes di bawah dan melimpah ruah di atas.
Pada awalnya, setiap orang mengantongi sebuah natar namun karena satu dan
lain hal, bisa juga lebih dari itu. Nah, pada segmen pertama dari masa transisi adalah
masa untuk melacak natar seseorang sehingga pada pasca transisi nanti satu orang
berarti satu lahan kehidupan, tidak boleh duduk di antara dua kursi.Perlu diingat
bahwa seratus (102) lahir karena basis sepuluh (10) yang dikuadratkan.
Pola ini akan menggiring ke asal-usul natar. Menurut pemahaman penulis,
asal-asul natar adalah satu yaitu natar agama (addin) dan berkembang menjadi 10
macam, yaitu :
1. Natar militer
2. Natar sipil
3. Natar alam
223
223
4. Natar perdagangan
5. Natar komunikasi
6. Natar transportasi
7. Natar seni budaya
8. Natar industri
9. Natar jasa
10. Natar x
Bagi seorang “penyelam”, pengelompokan tersebut bisa jadi kurang tepat.
Terlebih lagi dengan munculnya natar x. Namun, bagi “perenang” yang terbawa arus
dan tenggelam maka dengan sisa-sisa nafas yang masih ada, hanya itu yang terlihat.
Mungkinkah natar x tersebut adalah natar para pendiri negara?
Bisa jadi anggapan penulis benar, sebab, sejak awal pejabat tinggi negara
diposisikan bukan sebagai aparat biasa. Mudah-mudahan para “penyelam” berkenan
melakukan penyelaman ulang yang lebih dalam, sehingga dalam penataannya lebih
tepat --lihat lampiran 2.
Di manapun, dari bangsa apapun, natar militer akan memiliki ciri khas yang
sama. Siap! Natar sipil, jelas berbeda dengan natar militer, baik dalam kedisiplinan
maupun yang lain. Natar nelayan akan berlainan dengan natar petani. Natar pendidik
berbeda dengan natar perdagangan, dan sebagainya. Sunguhpun demikian, karena
pendidikan, pembiasaan, situasi yang mendukung, dan tekanan lain dari luar dirinya
maka kecenderungan sebuah natar akan berubah.
Namun, suatu ketika pada saat “terdesak” maka natar dasarnya akan muncul
kembali. Oleh sebab itu, agar tidak mengganggu natar asli suatu komunitas di dalam
mencari penghidupan, maka posisi natar harus dibagi secara proporsional. Dengan
demikian, semua manusia Indonesia berkesempatan sama. Sebagai contoh, natar alam
akan menjadi natar induk dari natar-natar yang mengandalkan sumber
penghidupannya dari alam, seperti : natar petani, natar peladang, natar perkebunan,
natar kehutanan, natar nelayan, natar peternak, natar penambang, dan sebagainya.
224
224
Oleh sebab itu, tidak ada halangan bagi natar petani untuk mengembangkan
usahanya sepanjang masih di dalam dunia tanah, sebab tanah masih masuk di dalam
lingkup alam dan menghasilkan hasil bumi. Dia boleh menjadi petani dengan sepetak
tanaman sayuran sampai dengan menjadi petani dengan sawah sekian hektar (sesuai
batas maksimal). Tidak ada halangan bagi peternak unggas menjadi peternak lembu,
atau mungkin menjadi peternak gajah. Begitu pula dengan natar pedagang. Ia bisa
muncul, mulai dari pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah, pemilik kios di
pasar, sampai dengan pemilik pasar swalayan semisal Hero, Atrium, Matahari, Alfa,
dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan natar sipil, ia bisa muncul dari tukang
sapu pada sebuah institusi negara sampai dengan presiden.
Pendeknya, selama berusaha di lahan kehidupan masing-masing, tidak ada
hambatan … asal jangan rangkap. Misalnya, sudah memposisikan diri sebagai natar
sipil hendaknya tidak nyelonong ke lahan perdagangan, begitu pula sebaliknya.
Semua itu hanya demi sebuah keteraturan sebuah sistem.
Mengapa hal semacam itu ditabukan? Sederhana saja, di sana sudah ada
penghuninya. Dengan demikian, berdasarkan konsep bilangan, setiap natar leluasa
untuk tumbuh dan bebas bergerak secara vertikal, bukan horisontal. Ini berarti ada
kebebasan untuk berkembang tanpa harus bersaing apalagi mematikan “tetangga”.
Bahasa Indonesia mengajarkan bahwa untuk masuk kandang kambing harus
mengembik, dan untuk masuk kandang harimau harus mengaum. Ajaran tersebut
sesungguhnya bukan untuk menggiring siswa menjadi “manusia bunglon” . Itu adalah
sebuah etika untuk menghormati tuan rumah. Itulah uniknya Indonesia, sebuah
negara multi etnik, multi ras, multi budaya, multi natar, dan multi-multi yang lain.
Perbedaan bukan merupakan petaka. Dus, di situlah letak menariknya!
Jika ajaran tersebut ditarik ke dalam konteks noto bangsa maka jika seseorang
dari natar tertentu untuk berusaha di lahan kehidupan natar lain harus mengikuti
aturan yang ada pada natar yang dituju. Masalahnya tidak sesederhana itu, sebab
belum ada perangkat pendukungnya. Oleh sebab itu, harus diciptakan sebuah aturan
yang jelas, lengkap, dan tidak saling merugikan.
225
225
Ibaratnya, tuan rumah tidak terganggu, dan si tamu merasa betah dan nyaman.
Sebagai alternatif, penulis menawarkan aturan main sebagai berikut :
Pertama, perolehan natar dengan pola waris.
o Berdasarkan garis keturunan dengan start awal proklamasi 17 Agustus 1945.
Dengan model seperti itu, maka secara otomatis natar seorang istri ikut suaminya.
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa? sederhana, wanita yang sudah bersuami akan
mengikuti suaminya … sepanjang tidak diajak melakukan hal-hal yang dilarang oleh
ajaran agama mereka.
Oleh sebab itu, pada jalur lahan 1 (lahan di dalam birokrasi) sudah jelas.
Adapun di lahan 2 (lahan di luar birokrasi) natar seseorang belum jelas. Seiring
dengan perjalanan waktu, natar mereka akan muncul dengan bagaimana cara hidup
mereka.
Jika, mereka menghidupi keluarganya dengan mengandalkan lahan pertanian
maka akan masuk pada natar alam. Jika, mereka hidup sebagai penggali pasir maka
mereka memiliki natar alam. Jika, mereka mencari nafkah dari dunia seni, baik
sebagai penari, penyanyi, dalang, pelawak, dan sebagainya, maka mereka bernatar
seni budaya. Jika mereka mencari nafkah di pasar, baik sebagai penjaja sayuran,
penjual nasi, pedagang kain, dan sebagainya maka dengan sendirinya mengantongi
natar pedagang.
Dengan demikian, pada lahan 2 ada dua kemungkinan :
1. Andaikan, pada saat start transisi, si suami telah tiada dan si istri dapat
menunjukkan lahan kehidupannya –misalnya dengan KTP-- maka di situlah
natarnya. Jika tidak ada tanda bukti dan saat itu usianya belum mencapai 64
tahun maka kepada yang bersangkutan diberi kebebasan untuk memilih.
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa usia 64 tahun? Pembaca yang
budiman, jika bilangan berbasis sepuluh maka usia berbasis umur. Bukankah,
pada (10)64 bilangan menjadi noto? Dengan demikian, apabila (10) kita ganti
dengan (umur) maka pada umur ke-64 yang bersangkutan sudah harus
226
226
menjadi noto. Itulah, posisi puncak usia manusia …, sudah saatnya mundur
dari hiruk-pikuknya dunia. Itulah saat alih generasi, saat-saat terakhir bagi
seseorang untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan lain yang
abadi. Kemudian, berapa batasan usia produktif? Ringkasnya, usia produktif
adalah ± 24 tahun sampai dengan 64 tahun.
2. Andaikan, pada saat start transisi, suami /istri dari F (baca : generasi pertama)
telah tiada dan si anak tidak dapat membuktikan natar ayahnya maka, jika
laki-laki, sepanjang si anak berusia produktif diberi kebebasan untuk memilih
salah satu natar yang ada di lahan 2, sedangkan –jika perempuan-- ia ikut
natar suaminya.
o Natar diturunkan lewat garis ayah. Dengan demikian, 1 orang anak akan
mendapat 1 natar dari orangtuanya, baik mereka yang berada di lahan 1 maupun
mereka yang berada di lahan 2;
o Pada saat peraturan jumlah anak belum ada, maka semua anak (F1) akan
memperoleh natar yang sama nilainya dengan natar yang diterima orangtuanya (F),
baik mereka yang berada di lahan 1, maupun yang di lahan 2. Gender tidak
dipermasalahkan;
o Pada F1, terjadi perkawinan. Sepasang suami istri, bisa jadi memiliki natar
yang sama dan bisa pula berbeda. Yang pasti, mereka telah memegang natar sendiri
sendiri sebagai warisan dari orangtuanya. Mereka memiliki keturunan (F2). Dengan
demikian :
1. Jika keturunan mereka tunggal, maka kedua natar orangtuanya menjadi
miliknya. Ia bebas memilih, pada lahan mana yang bersangkutan akan
melanjutkan. Jadi, satu natar dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Sedangkan
satu natar yang lain, terserah dia --misalnya dijual, disewakan, dikontrakkan,
dan sebagainya.
227
227
2. Jika keturunan mereka lebih dari satu –satu yang dimaksud adalah ketentuan
pemerintah, maka si anak diberi kebebasan untuk memilih garis ayah atau
garis ibu. Jika pemilih sebuah natar lebih dari seorang maka nilai nominal
natar dibagi secara adil, atau sesuai kesepakatan mereka. Artinya, menganut
pola waris fersi agama masing-masing atau fersi konvensional (dibagi rata) …
hanya saja, nilai nominalnya berkurang. Sedangkan natar yang “menganggur”,
terserah kepada mereka.
Dengan demikian, tiap anak tetap memegang sebuah natar. Pola ini akan
menggiring kepada kepemilikan yang sesungguhnya sebuah lahan kehidupan,
baik mereka yang berada di lahan 1 maupun di lahan 2.
Kedua, perolehan natar berdasarkan usaha sendiri.
Perlu diingat, pada lahan 1 kepemilikan lahan telah tertata dalam noto lahan
kehidupan. Dengan demikian, mereka yang dapat menembus lahan 1 dan memenuhi
syarat sebagai yang dimaksud berhak untuk mendapatkan sebuah natar. Satu hal yang
perlu diperhatikan, nilai nominal natar pada gelombang pertama harus lebih tinggi
daripada gelombang berikutnya. Mereka dapat berasal dari Kelompok I maupun
Kelompok II --(a). Pada lahan 2, sepengetahuan penulis, hanya terjadi pada pertanian
dengan terlaksananya transmigrasi umum. Oleh karena itu, mereka pun mengantongi
sebuah natar --(b).
Baik (a) maupun (b) dapat memperoleh natar dua kali karena usahanya –
maksudnya pada lahan kehidupan yang sama namun pada petak yang berbeda.
Pembatasan dua kali tersebut dimaksudkan untuk tidak menjadikan mereka sebagai
“perintis” terus menerus. Mereka cukup menjadi perintis dua kali. Rintisan pertama
terjadi karena mereka memanfaatkan peluang yang diberikan negara /pemerintah,
sedangkan rintisan kedua karena faktor lain yang harus terjadi di luar kehendaknya.
Dengan demikian, tidak ada yang dirugikan. Oleh sebab itu, paling tidak, F1
akan mengantongi sebuah natar dari orangtuanya. Sedangkan mereka yang mau
memanfaatkan peluang yang diberikan negara /pemerintah dengan berusaha sendiri
228
228
maka dengan sendirinya dapat lebih dari satu. Dan, maksimal seorang F1 akan
memegang tiga macam natar. Sebuah berasal dari orangtuanya, dan dua buah atas
usaha sendiri. Yang bersangkutan tidak mungkin dapat menggunakan /mengerjakan
kesemuanya maka dua diantaranya harus dilepaskan dengan berbagai cara. Dan,
sebagai catatan, natar yang sejenis (satu lahan) dapat dikumpulkan menjadi satu.
Natar bukan berupa materi seperti halnya sawah, ladang, toko, pabrik, atau
berupa unit-unit produksi. Dalam konteks noto bangsa, natar adalah warna dasar
seseorang untuk hidup pada sebuah lahan kehidupan.
Dengan demikian, natar generasi pertama harus diwujudkan dalam sebuah
sertifikat natar yang diterbitkan oleh negara. Sejalan dengan hal itu, bagi mereka
yang berada di jalur birokrasi akan menjadi tugas instansi terkait. Sedangkan bagi
mereka yang berada di luar birokrasi akan menjadi tugas perangkat pemerintah
daerah. Yang jelas, masalah natar harus selesai dalam tempo tiga tahun. Di dalam
sertifikat natar harus jelas tercantum identitas diri dan nilai nominal.
Dalam hal ini, negara memberikan natar secara gratis kepada yang berhak
menerimanya --baik rakyat militer, rakyat sipil, maupun rakyat murni. Kelak, natar
juga hanya dapat dibeli dengan natar --tidak dengan uang!
Berdasarkan alternatif pertama dan kedua tersebut di atas, maka sertifikat
natar diberikan kepada :
1. Generasi pertama sebuah keluarga dengan garis lurus ke atas. Artinya,
natar diberikan kepada orangtua, selama orangtua masih ada. Mereka
adalah generasi pertama negara ini.
Jika orangtua sudah tiada, bagi Kelompok I dapat dibuktikan dengan
surat-surat keputusan orangtua yang mereka miliki atau bukti lain sebagai
pendukung bahwa yang bersangkutan benar-benar anak dari si fulan –
meskipun namanya tidak tercantum pada surat keputusan sebagai yang
dimaksud.
Bagi mereka yang berasal dari Kelompok II, maka sartifikat natar jatuh
kepada keturunannya sesuai kecenderungan mereka sendiri.
229
229
2. Generasi pertama dari sebuah lembaga /institusi /transmigran di suatu
petak (lokasi).
Mereka yang berada di lahan 1 (jalur birokrasi), kelak berstatus sebagai
aparatur negara (sipil /militer), dan mereka yang berada di lahan 2 (jalur
rakyat murni) berstatus sebagai rakyat negara.
Ketiga, nilai nominal sertifikat natar harus jelas, misalnya sekian juta rupiah.
Kelak, pada saat sertifikat natar dipecah kepada ahli waris maka dengan
sendirinya natar pun pecah. Yang dimaksud pecah di sini bukanlah nilai nominalnya,
melainkan nilai “nilai natar”. Artinya, jika pada F1 bernilai “A” , pada F11 bernilai
“B”, dan pada F111 bernilai “C”. Adanya perbedaan nilai tersebut akan menunjukkan
senioritas pemegang natar. Kemudian juga harus ada penjelasan rinci, bahwa sekian
“C” akan senilai dengan sekian “B”, dan seterusnya.
Sebagai penjelasan , nilai nominal natar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
nilai “nilai natar”, nilai nominal natar, dan nilai sertifikat natar. Dengan demikian,
pada setiap sertifikat natar akan memuat tiga macam nilai yaitu nilai “nilai natar”,
nilai natar, dan nilai sertifikat natar. Perhatikan :
Nilai “nilai natar” merupakan bilangan yang menunjukkan posisi pemegang
natar. Perlu diingat bahwa dua macam rakyat telah jelas kedudukannya, rakyat
birokrasi berada di dalam (lahan 1) dan rakyat murni berada di luar (lahan 2). Tetapi,
di atas keduanya masih ada rakyat lain (natar x). Dengan demikian, ada tiga macam
rakyat. Jika dikelompokkan berdasarkan kuantitas, maka jumlah paling sedikit adalah
rakyat x, kemudian diikuti oleh rakyat birokrasi, dan terbanyak akan diisi oleh rakyat
murni.
Bilangan telah mengisyaratkan bahwa hanya ada tiga macam satuan bilangan
yang masih suci dan belum tercemar pengertiannya, yaitu satuan (100), puluhan (101),
dan ratusan (102). Dari situ dapat difahamkan bahwa rakyat x menempati satuan. Ini
menunjukkan bawa mereka menempati posisi pertama (I) karena jumlah mereka
230
230
paling sedikit dan berada di atas dua rakyat yang lain /dua lahan. Posisi kedua (II)
ditempati oleh rakyat birokrasi, dan dengan sendirinya posisi ketiga (III) diisi oleh
rakyat murni.
Untuk selanjutnya, nilai “nilai natar” disebut Kelompok Natar . Dengan kata
lain :
I menunjukkan rakyat x
II menunjukkan rakyat birokrasi
III menunjukkan rakyat murni
Pengelompokan tersebut bukan berarti memandang rakyat x adalah warga
negara kelas satu, atau pandangan lain yang semacam itu, melainkan hanya untuk
memilah medan juang mereka.
Mengingat natar bersifat absolut, maka jika F adalah I, maka pada F1 juga I,
pada Fn pun I. Begitu pula, jika F adalah II maka pada F1 juga II, dan Fn pun II.
Demikian pula halnya, jika F adalah III, maka F1 juga III, dan Fn pun III. Dalam hal
ini, perlu diingat bahwa rakyat birokrasi telah berkembang, begitu pula halnya dengan
rakyat murni
Nilai nominal natar adalah bilangan yang menunjukkan nilai yang diperoleh
pemegang natar, baik karena usaha sendiri, diperoleh dari waris, maupu membelinya.
Nilai sertifikat natar adalah besaran yang menunjukkan penghargaan yang
diberikan oleh negara kepada seluruh rakyatnya secara adil. Itu berarti, penghargaan
terhadap I, II, dan III adalah sama. Namun, karena jumlah mereka berbeda maka akan
berbeda pula besar kuantitas yang mereka terima. Berapa?
Perlu diingat bahwa satuan bilangan tertinggi sebelum dominasi barat adalah
juta (106) atau (10)6. Dengan demikian, penghargaan terhadap I, II, dan III adalah Rp
1000000 --satu dengan enam buah nol. Ini berarti,
1. Nilai sertifikat natar untuk rakyat x adalah :
(10)2 x 1 000 000 = n
100 x 1 000 000 = n
231
231
100 000000 = n
Jadi nilai sertifikat natar rakyat x adalah Rp 1 0000 0000,00
2. Nilai sertifikat natar untuk rakyat birokrasi adalah :
(10)1 x 1 000 000 = n
10 x 1 000 000 = n
10 000 000 = n
Jadi nilai sertifikat natar rakyat birokrsi yaitu Rp 1000 0000,00
3. Nilai sertifikat natar untuk rakyat murni adalah :
(10)0 x 1 000 000 = n
1 x 1 000 000 = n
1 000 000 = n
Jadi nilai sertifikat natar rakyat murni adalah Rp 100 0000,00
Sepanjang pemegang sertifikat natar tidak melanggar peraturan pemerintah
tentang jumlah anak maksimal yang dimiliki maka nilai nominal sertifikat natar
bersifat absolut. Ini berarti, jika F bernilai x rupiah, maka pada F1 pun bernilai x
rupiah. Tetapi, jika mereka melanggar maka nilai nominal sertifikat natar pun akan
berkurang.
Perhatikan :
Nilai sertifikat natar pada F adalah x
Jumlah anak maksimal adalah 2 orang
F mempunyai 5 orang anak, maka pada F1 nilai sertifikat natar adalah : 2x :
5 = 0,4 x
Dalam hal ini, ada yang perlu dicermati bahwa :
Peraturan dua orang anak sebagai contoh di atas hanya mengikat rakyat x
dan rakyat birokrasi. Rakyat x dikenai peraturan tersebut karena mereka
sendiri yang membuatnya. Dengan kata lain, peraturan tidak hanya
232
232
mengikat yang diatur, tetapi juga mengikat si pengatur (pembuat aturan)
sendiri. Sementara rakyat birokrasi terikat dengan peraturan tersebut
karena lahan hidup mereka di lahan 1.
Dalam perkembangan selanjutnya negara (melalui pemerintah) membuka
“lahan” baru baik di lahan 1 maupun di lahan 2 oleh karena itu, besaran
nilai nominal serifikat natarpun berbeda. Selengkapnya, lihat lampiran 4.
.
Dari sini muncul pertanyaan, apa fungsi sertifikat natar? Sertifikat natar akan
sangat bermanfaat bagi negara, bermanfaat bagi rakyat secara keseluruhan, dan akan
bermanfaat dalam pemerataan “kue kemerdekaan”. Dalam hal ini, merata bukan
berarti harus sama besar, juga bukan berarti harus tidak sama besar. Merata bersifat
relatif, pada kondisi tertentu semua mendapatkan dan pada kondisi tertentu pula tidak
semua yang mendapatkan. Semua mendapat bagian sesuai amal baktinya.
Bagi negara, sertifikat natar dapat dipandang sebagai balas budi negara
kepada seluruh rakyat yang telah memerdekakan dan “memerdekakan” -nya. Mereka
yang bekerja satu mendapat satu, mereka yang bekerja dua mendapat dua, sedangkan
mereka yang hanya sebagai penonton di tepi lapangan …. Itulah “rampasan perang”
yang dibagi oleh noto bangsa kepada rakyatnya. Meskipun terlambat!
Bagi rakyat, sertifikat natar akan menuntun generasi berikut kepada lahan
kehidupan yang dibangun oleh orangtua /leluhurnya. Urusan, mereka tidak mau
melanjutkan jalan yang dirintis oleh pendahulunya karena telah memiliki pilihan
sendiri, itu masalah mereka sendiri.
Yang jelas, barisan bagi generasi berikut sudah tertata lurus. Jalan yang
terbentang di hadapannya pun sudah lurus. Tinggal bagaimana mereka melangkah,
bersantai, atau berlari untuk sampai ke garis finis itu urusan mereka.
Perlu diingat bahwa rakyat murni yang hidup di jalur birokrasi dapat
dikelompokkan berdasarkan tempat “badan” atau lembaga tinggi negara yang
menaunginya. Mereka dapat berada pada lingkup eksekutif, pendidikan, militer, dan
233
233
sebagainya. Dengan kata lain, pada dasarnya, mereka berada dalam dua buah
kelompok besar, yaitu Korp Militer dan Korp Sipil. Sementara, Korp Sipil sendiri
terdiri dari sepuluh macam. Dan, saat 11 macam “tokoh” mereka tergabung dalam
sebuah wadah maka di situlah kamar pertama dari parlemen. Untuk selanjutnya
wadah tersebut disebut Parlemen Birokrat.
88 macam natar yang merupakan pecahan dari 8 macam natar induk berada di
jalur parlemen murni. Oleh sebab itu, setiap natar induk digiring untuk berani
mendirikan “pemerintah” sendiri. Untuk membedakan antara “pemerintah” di bawah
payung birokrasi dengan “pemerintah” di bawah payung parlemen murni, maka untuk
selanjutnya “pemerintah” di bawah perlemen murni disebut pamong. Oleh sebab itu
akan ada 8 buah pamong di dalam jalur parlemen –untuk selanjutnya disebut
Parlemen Pamong. Setiap pamong menjadi lahan kehidupan bagi 11 macam natar.
Jadi, baik buruknya, maju tidaknya, sejahtera tidaknya setiap natar rakyat murni
menjadi tanggung jawab pamong masing-masing bukan menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Dengan demikian, jika pada saat start proklamasi hanya rakyat sipil dan
rakyat militer yang berada di dalam struktur birokrasi, maka pada start pasca transisi
rakyat murni juga berada di dalam struktur pamong --awas, yang dimaksud di dalam
adalah di dalam pemerintahan mereka sendiri. Begitu pula halnya, jika pasca
proklamasi rakyat militer dianggap duri (?) saat berada di dalam parlemen murni oleh
sebagian komponen maka, kelak, dengan kepala tegak, militer akan keluar dari kamar
parlemen murni untuk masuk ke kamar parlemen birokrasi.
Pada tingkat nasional, jika parlemen birokrat dan parlemen pamong
berkumpul dalam satu wadah maka di situlah posisi Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia (DPRI) dan beranggotakan 1 000 orang (masing-masing natar 10 orang
wakilnya). Sedangkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
beranggotakan 100 orang (10 % dari DPRI).
Dari situ dapat dipahamkan bahwa, rakyat sipil dan rakyat militer yang berada
di dalam pemerintah membentuk parlemen birokrasi, sedangkan rakyat murni yang
234
234
berada di dalam perlemen membentuk pamong. Sekalipun yang dimaksud antara
pemerintah dan pamong adalah sama, namun karena asal-usulnya berbeda maka
pucuk pimpinan pamong disebut Ketua, bukan kepala.
Pembaca yang budiman, dengan menggunakan natar manusia Indonesia, suara
seluruh rakyat –murni-- sudah dapat masuk ke parlemen. Seratus macam suara
mereka! Lantas apa manfaat politik “praktis”? Berdasarkan konsep bilangan, politik
“praktis” tidak diperlukan. Eranya sudah berlalu, kita sudah MERDEKA.
Sudah saatnya rakyat murni, rakyat sipil, dan rakyat militer melangkah maju
bersama, bukan beroposisi (dalam arti negatif) satu dengan yang lain, bukan pula
tukang stempel. Di situlah saat untuk membuktikan kepedulian dan keprofesionalan
para wakil rakyat –masing-masing.
Bahwa pemilihan umum masih diperlukan, itu benar, namun bukan pemilu
seperti yang seperti selama ini. Kelak, harimau bersaing dengan harimau, ayam
bersaing dengan ayam, mahoni bersaing dengan mahoni, ikan bersaing dengan ikan.
Itulah persaingan murni! Siapa yang terbaik di antara mereka silakan tampil sebagai
pemimpin, orang nomor satu pada natar masing-masing. Sudah barang pasti untuk
mewujudkannya dibutuhkan perangkat hukum, infrastuktur, SDM, dan faktor
pendukung yang lain. Semua itu adalah kerja besar, berat, dan nyaris melibatkan
semua orang. Nah, di situlah perlunya masa transisi 9 tahun. Demi masa yang masih
panjang untuk generasi berikut.
Apakah ini berarti pendidikan akan mandek selama itu? Tidak, pendidikan
terus berjalan dengan pola lama, hanya saja, pada tahun ke sepuluh, murid Kelas I
Sekolah Dasar akan mulai membuka lembaran baru, merekalah anak-anak yang
merdeka. Merdeka dalam arti sesungguhnya. Jadi, perubahan tidak dilakukan secara
drastis, satu-demi satu. Tahun kesebelas Kelas I dan Kelas II. Tahun kedua belas
Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, dan begitu seterusnya. Dengan demikian, guru dan
murid akan maju bersama, hukum yang akan ditegakkan oleh subyek hukum kepada
obyek hukum dapat seiring, dan sebagainya. Yang jelas, tidak ada generasi tumbal.
235
235
Pola ini akan menggiring keseimbangan antara pemerintah yang di atas
dengan rakyat yang di bawah. Jika selama masa republik, rakyat hanya berposisi
/diposisikan sebagai obyek (?) pembangunan maka kelak secara keseluruhan mereka
juga akan sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Sebaliknya, jika selama masa
republik pemerintah hanya berposisi sebagai tukang perintah atau subyek perintah
namun kelak menjadi pula tukang melaksanakan keinginan atau obyek perintah.
Dengan demikian, kecemburuan sebagian rakyat murni terhadap birokrat terobati.
Oleh karena itu, seluruh tetek bengek “lahan” yang tidak ada kaitan langsung
dengan pemerintah seyogyanya diserahkan kepada pamong yang berhak
mengelolanya. Misalnya, sawah, ladang, hutan, dan segala yang berkaitan dengan
alam deserahkan kepada Pamong Alam. Pengelolaan pasar, pabean, sampai ekspor-
impor diserah terimakan kepada Pamong perdagangan. Masalah jalan raya, jembatan,
SIM, dan sebagainya kepada Pamong Transportasi.
Keempat, sumber dana.
Pembaca yang budiman, untuk mewujudkan itu semua tentunya dibutuhkan
dana yang bukan main besarnya. Sudah bukan masanya membangun dengan dana
pinjaman. Bagaimanapun, kebiasaan berhutang harus ditinggalkan. Oleh karena itu,
semua pemilik natar mengumpulkan sertifikat natar kepada pemerintah /pamong
masing-masing untuk dijadikan jaminan pinjaman kepada Bank Indonesia.
Dengan demikian, jika yang bersangkutan bekerja pada lingkup natar induk
yang sesuai dengan natar miliknya maka dipandang bekerja pada lahan sendiri. Jika
mereka Muslim, tidak dikenai pajak melainkan dikenai zakat sesuai nisob /ketentuan.
Sebaliknya jika bekerja diluar natar induknya maka dipandang sebagai
pekerja. Pekerja yang berada di lingkungan sipil dengan status tertinggi pegawai
negeri sipil, pekerja yang bekerja di lingkungan militer dengan status tertinggi
sebagai pegawai negeri militer, pekerja yang bekerja di lingkungan pamong dengan
status tertinggi pekerja negeri rakyat. Kepada kelompok inilah “pajak” berganda
dikenakan. Pajak –jika Muslim zakat-- pertama akan menjadi pemasukan bagi negara,
236
236
sementara “pajak” kedua (dapat dipandang sebagai sewa lahan kehidupan) akan
menjadi pemasukan bersih pemerintah /pamong.
Secara keseluruhan, di satu sisi pola ini akan mendorong seseorang untuk
menekuni lahan kehidupan masing-masing. Dengan kata lain, silakan menjadi “besar”
di rumah sendiri. Di sisi lain menghindari terjadinya monopoli lahan kehidupan. Oleh
sebab itu, pemilik modal –baik dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti lain--
akan berpikir dua atau tiga kali sebelum melibas lahan kehidupan “tetangga”.
Menurut penulis, dengan pola ini akan tercapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, sehingga jurang antara si kaya dengan si miskin tidak kian melebar /dalam,
serta akan terhindar terjadinya keserakahan kolektif.
Kelima, pemerintah dan pamong mempunyai kewajiban memberi biaya hidup
“rakyat”-nya.
Kewajiban ini dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan. Mungkin pembaca
bertanya, dari mana dananya? Pembaca tentunya masih ingat bahwa sertifikat natar
dijadikan barang jaminan yang dalam pengelolannya dilakukan oleh pemerintah jika
mereka adalah rakyat sipil /militer dan oleh pamong masing-masing jika mereka
berasal dari rakyat murni, serta di samping itu adanya pajak-pajak yang dikenakan
terhadap para pekerja (lihat butir keempat). Jadi, dana tersebut berasal dari “jasa”
sertifikat natar dan pemasukan bersih –misal, dari sewa-- yang lain.
Pendapatan-pendapatan itulah yang dipergunakan oleh pemerintah /pamong
untuk menghidupi “rakyat” mereka. Untuk selanjutnya, pada aparatur negara biaya
hidup tersebut disebut pokok gaji dan pada rakyat negara disebut gaji rakyat. Dengan
demikian, rakyat sipil yang berposisi sebagai aparatur negara sipil dan rakyat militer
yang berposisi sebagai aparatur negara militer mendapatkan pokok gaji. Begitu pula
halnya dengan rakyat murni, mereka akan mendapatkan gaji rakyat –lihat lampiran 4.
Sekalipun pada dasarnya yang dimaksud pokok gaji dengan gaji rakyat adalah
sama, namun agar tidak rancu maka istilah yang dipergunakan berbeda. Dengan
demikian akan terjadi sirkulasi pendapatan nasional secara merata.
237
237
Nah, dengan noto bangsa maka rakyat sipil, rakyat militer, dan rakyat murni
sebagai sesama pemilik lahan kehidupan (lihat 2.1) diposisi manapun juga akan
aman, sehingga sekalipun terlempar keluar dari sistem yang mereka bangun sendiri,
andil mereka terhadap negara masih memiliki nilai –bukan sekedar nilai “sejarah”,
dan nilai itu masih dapat diuangkan sebagai biaya hidupnya /keturunannya. Bukankah
“saat terlempar” itu hanya masalah waktu?
Oleh karena itu, pemerintah /pamong masing mempunyai kewajiban
menyalurkan tenaga “rakyat” –sesuai keahlian-- masing-masing. Disitulah
pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat /negaranya.
Pembaca yang budiman, dari penggambaran noto bangsa yang dalam
perjalanannya bertemu dengan beberapa noto yang lain, akhirnya dapat diketahui
bahwa, ternyata merombak sistem bilangan akan mempengaruhi sistem yang lain.
Perhatikan :
1. Parlemen rendah (DPRI) berisi 1000 orang anggota, dengan rincian :
110 orang dari parlemen birokrat --11 natar rakyat murni yang ada pada jalur
birokrasi @ 10 orang
880 orang dari parlemen pamong --88 natar rakyat murni yang ada pada jalur
pamong @ 10 orang
10 orang dari natar rakyat murni x
2. Parlemen tinggi (DPR RI) berisi 100 orang anggota, dengan rincian :
11 orang dari unsur parlemen birokrat --11 natar rakyat murni yang ada
pada jalur birokrasi @ 1 orang
88 orang dari unsur parlemen pamong --88 natar rakyat murni yang ada
pada jalur pamong @ 1 orang
1 orang dari natar rakyat murni x
Sejalan dengan hal itu, agar terjadi perimbangan kekuatan di dalam lembaga
tinggi negara, karena setiap lembaga tinggi negara akan beranggotakan 100 orang.
Dengan demikian, semua lembaga tinggi negara adalah sebuah badan dan pada badan
tersebut semua unsur penopang –dari yang terendah sampai tertinggi harus terlihat.
238
238
Atau dengan kata lain, pada tataran lembaga tinggi negara akan muncul sebuah suara
dari elemen “peri kehidupan”.
Oleh sebab itu, jika masalah ini ditarik ke dalam konteks noto negara, maka
pada MPR akan ada 1000 orang anggota, 100 orang utusan dari 10 bagian Indonesia14
– tiap bagian Indonsia mengirimkan 10 orang utusannya, 10 orang ketua fraksi
(mereka adalah pucuk pimpinan lembaga tinggi negara), dan 1 orang pucuk pimpinan
MPR.
Pada majelis tertinggi itulah posisi Kepala Negara. Hanya saja, seyogyanya
tidak digunakan istilah kepala ataupun ketua. Sebab, kepala adalah sebutan untuk
pucuk pimpinan di bawah payung birokrat sipil sedangkan ketua untuk sebutan pucuk
pimpinan di bawah payung parlemen. Jadi? Bertanyalah kepada bahasa Indonesia,
“ia” telah merdeka! Begitu pula halnya dengan sebutan para pucuk pimpinan majelis
(kepala daerah) yang ada pada setiap wilayah teritorial, seyogyanya juga tidak
menggunakan sebutan kepala atau ketua. Turunan untuk itu sudah disediakan oleh
bahasa Indonesia.
Pada posisi Kepala Negara dan Kepala Daerah itulah baru terdapat kebenaran
pemilihan langsung oleh rakyat secara keseluruhan (baca : rakyat militer, rakyat sipil,
dan rakyat murni). Dengan demikian, isu pemilihan presiden secara langsung yang
digulirkan akhir-akhir ini, berdasarkan konsep bilangan tidaklah tepat. Presiden
“hanyalah” kepala pemerintahan, bukan kepala negara. Dengan kata lain, justru
“Ketua” MPR –lah yang harus dipilih secara langsung.
14 Tiap bagian Indonesia mengirimkan 10 orang wakilnya dari unsur-unsur yang belum terwakili,
misalnya dari unsur natar rakyat murni x yang belum terwakili
3. 15 Langkah-langkah Strategis
239
239
Untuk dapat melaksanakan /mewujudkan kebijakan serta menelorkan badan-
badan sebagai yang dimaksud di atas, tidak ada cara lain selain menarik terlebih
dahulu semua institusi yang dimaksud terlebih dahulu dari naungan payung
pemerintah /lain, dan kewenangan itu hanya berada di tangan majelis tertinggi
(MPR). Oleh sebab itu, dukungan lahir-batin dari seluruh rakyat Indonesia sangat
diperlukan.
Bahwa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena posisinya telanjur kuat
di lahan orang, itu sudah pasti. Itu wajar dan manusiawi. Jangankan tidak tahu,
berhutangpun terasa berat saat membayar. Benar, bukan?
Maka dari itu, selama masa transisi, posisi negara mundur ke suasana
proklamasi, atau tepatnya pagi 18 Agustus 1945. Dengan demikian kendali negara
ada pada MPR. Selama masa transisi, MPR --yang memposisikan diri sebagai PPKI
II dan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, MPR menetapkan kapan start awal masa transisi dan kapan
berakhirnya --seyogyanya diawali 18 Agustus tahun x dan diakhiri 17 Agustus tahun
x + 9. Dengan adanya masa transisi sembilan tahun tersebut, diharapkan semua hasil
kerjanya --yang bersifat mendasar-- nanti akan tidak bersifat sementara, dengan kata
lain hasilnya sudah baku. Di samping itu, MPR tidak dikejar-kejar “waktu”.
Jika penulis tidak salah dalam menghitung, maka pada penghujung tahun
2014 adalah saat terakhir generasi pertama turun dari hiruk-pikuknya percaturan
dunia. Oleh karena itu, selepas dari tahun itu, sekalipun masih bermanfaat, tulisan
ini akan kurang mengena pada sasaran sebab ada butir yang dimatikan. Dan, butir
yang dimatikan tersebut menyangkut aspek keadilan sosial.
Kedua, MPR menetapkan berlakunya sistem bilangan di masa transisi.
240
240
Ketiga, MPR menelorkan lima buah badan /lembaga tinggi negara baru
yang akan dipersiapkan sebagai penopang negara ini untuk mendampingi lima
lembaga tinggi negara yang sudah ada. Kelima badan tersebut adalah:
a. Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI);
b. Dewan Agama Indonesia (DAI);
c. Badan Keuangan Republik Indonesia (BKRI);
d. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
e. Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional (BPKN);
Keempat, pada tahun terakhir masa transisi, MPR menetapkan berlakunya
Piagam Jakarta. Namun harus diingat, semua masih harus belajar. Dan, wajib belajar
tersebut adalah 9 tahun. Dengan demikian, Syariat Islam dilaksanakan setahap demi
setahap dan baru dapat ditegakkan dengan sempurna pada tahun ke sepuluh pasca
transisi.
Selama masa transisi, posisi lembaga-lembaga tinggi negara serta seluruh
perangkat pendukung --sekali lagi-- dalam suasana domisioner. Dengan kata lain,
selama sembilan tahun itu negara ini jalan di tempat. Jalan di tempat dalam arti tidak
melanjutkan perjalanan ke arah yang salah karena banyak menimbulkan korban dan
ketidakadilan di sana sini, namun membelokkan arah tujuan bernegara sembilan
puluh derajat dari arah semula.
Dengan demikian, “melanjutkan” hubungan dengan luar negeri seperti biasa,
semua perangkat negara tetap bekerja seperti biasa, melanjutkan program-program
yang telah direncanakan sebelumnya, dan di atas itu semua adalah segera
mempersiapkan diri untuk dapat merealisasikan setiap butir keputusan MPR
sehingga pada saat berakhirnya masa transisi semua sudah siap.
Di atas sudah ada disinggung bahwa masa transisi yang lamanya sembilan
tahun itu dipilah menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Tiga tahun pertama akan dipergunakan oleh MPR untuk mengolah konsep
ini sampai dengan menghasilkan ketetapan. Setiap sebuah ketetapan
241
241
dihasilkan, maka institusi yang dimaksud harus segera dilepaskan dari
payung eksekutif dan segera mengadakan penataan ke dalam. Selain itu,
semua pakar menyatukan visi ke-Indonesiaan-nya agar jiwa bangsa dan
negara ini benar-benar dapat terlepas dari cengkeraman kolonial sehingga
anak-cucu /generasi penerus bangsa ini dapat tampil sebagai pemenang
dalam perang peradaban. Dengan demikian, mereka yang memiliki dasar
dari segala jurusan ilmu berkepentingan untuk merumuskan konsep ilmu
murni Indonesia (sebagai ilmu dasar) tersebut dengan lokakarya, penataan
wilayah, pemetaan natar, dan sebagainya.
2. Tiga tahun kedua dipergunakan untuk sosialisasi. Dalam hal ini, diisi
dengan penataran --bukan indoktrinasi, pelatihan, dan pendidikan.
3. Tiga tahun ketiga dipergunakan untuk magang, dan dilanjutkan dengan
menunjukkan habitat masing-masing. Dalam hal ini, mereka diberi
kebebasan untuk memilih, melanjutkan pengembaraan di habitat (lahan
kehidupan) orang lain atau kembali ke habitat (lahan kehidupan) sendiri.
Dengan berakhirnya masa transisi, Indonesia memasuki babak baru dalam
berbangsa dan bernegara. Ini berarti semua aturan lama yang merugikan sebagian
komponen bangsa dan hanya menguntungkan sebagian komponen lain bangsa ini
telah dihilangkan /diluruskan. Selain itu, Pancasila (pancasila merah) dan Piagam
Jakarta (pancasila putih) telah terbang beriringan melanglang buana Indonesia. Saat
itulah, hukum memiliki nurani dan akan tegak di atas semua orang, tanpa pandang
bulu. Siapapun dia, apapun jabatannya, dari manapun asal-usulnya, jika salah akan
tetap salah dan akan mendapatkan ganjaran yang sesuai.
Kelak, sesudah masa transisi berlalu, wajah Indonesia akan sangat berbeda
dengan saat ini. Pada saat itu andaikan Indonesia itu sebuah keluarga besar, maka
mereka tidak lagi menempati sebuah rumah besar dengan beberapa buah kamar,
242
242
karena semua anak-anaknya telah beranjak dewasa. Mereka sudah memiliki rumah
sendiri-sendiri. Pada saat itu “Fondasi yang dapat ditembus rayap telah dilapisi beton
anti rayap dan karat. Genting-genting ditata untuk menempati atap bangunan, tidak
berserakan. Genting yang masih utuh diletakkan di atas. Tiang-tiang penyangga
diletakkan pada tempatnya. Rumah besar untuk keluarga besar, rumah kecil untuk
keluarga kecil. Kamar ukuran besar untuk anak yang dewasa, kamar ukuran kecil
untuk anak yang kecil. Baju besar untuk kakak yang besar, baju kecil untuk adik
yang masih kecil. Tanaman sudah terpagar sesuai dengan kelayakannya, pagar kebun
berbeda dengan pagar halaman. Pagar taman berbeda pula dengan pagar kandang.
Ikan-ikan kembali ke air, capung dan belalang kembali ke padang, harimau-harimau
pun kembali ke hutan.
Pendidikan tidak lagi mengajari ikan untuk berlari, namun mengajar ikan
untuk dapat berenang lebih cepat. Tidak mengajari kambing berenang namun
mengajari kambing untuk menghadapi serigala. Tidak juga mengajari durian berbiji
pasilan, semua digiring kembali ke habitat masing-masing, dan sebagainya. Saat
itu, start awal sebuah persaingan murni. Saat itu start awal sebuah keadilan!
Dari semua uraian di atas akhirnya dapat diketahui bahwa sumber petaka yang
benama krisis multi dimensi yang menerpa bangsa ini ternyata mempunyai sebab
yang berbeda dan saling berkaitan. Semua penyebab tersebut berawal dari dalam
dunia pendidikan. Jadi, menurut penulis, penyelesaiannya pun tergantung pada
dunia pendidikan itu sendiri. Masalahnya, beranikah dunia pendidikan
“merombak” dirinya sendiri dengan mengadakan otokritik yang berdasarkan
kebeningan hati dan mengedepankan kejujuran intelektual? Kiranya, hanya
waktu yang akan dapat menjawabnya.
Wallahualam.
243
243
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Bilangan adalah sebuah sistem yang jika penataannya benar maka akan
dapat menata sistem lain dengan benar pula, sebaliknya jika sistem
bilangan itu sendiri kacau /curang maka tak ayal lagi, akan kacau pula
sistem yang lain.
Sistem bilangan Indonesia dengan bilangan desimal dengan memandang
seratus sebagai basis akan dapat mengatasi banyak masalah (krisis
multidimensi) sepanjang tidak dikotori oleh tangan-tangan tamak dan
culas;
2. Dengan memandang Proklamasi, 17 Agustus 1945 sebagai start awal
pembagian lahan kehidupan maka ada dua lahan kehidupan yaitu : lahan 1
terdapat di jalur birokrasi dan lahan 2 terdapat di jalur rakyat.
Keduanya lahan tersebut memiliki rakyat tersendiri. Saat itu, demokrasi
telah mereka tegakkan, siapa di dalam (lahan 1) dan siapa di luar (di
dalam lahan 2) telah mereka pilih sendiri.
Dengan demikian, memandang lahan 1 sebagai daerah tak bertuan /milik
bersama adalah sebuah kesalahan. Kesalahan cara pandang itulah di satu
sisi sebagai penyebab timbulnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
dan di sisi lain sebagai pemicu lahirnya pengangguran;
3. Penerapan sistem bilangan yang sama dengan negara asing namun tidak
sama dalam menilai harga uang tertinggi (Indonesia : Rupiah) merupakan
244
244
penyebab krisis ekonomi. Dengan demikian, jika nilai uang tidak sama
maka sistem bilangan yang digunakan juga seharusnya tidak sama.
Penguasa uang (Badan Keuangan Republik Indonesia) harus independen.
Badan tersebut langsung bertanggungjawab kepada majelis tertinggi. Di
bawah badan ini, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia bernaung
dan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya.
Uang adalah satu di antara beberapa pilar penopang kehormatan negara.
Oleh karena itu, harus ada dua lapis mata uang di bawah rupiah –maaf,
sebagai pakaian dalam rupiah. Di situlah letak perlunya dilakukan
senering yang benar;
4. Pendidikan harus merupakan satu wadah atau sebuah piramida besar
dengan sebuah puncak yang ditopang oleh sepuluh piramida yang lebih
kecil, dan begitu seterusnya. Semua terpola satu - sepuluh. Pendidikan
harus berada di bawah sipil pendidikan, bukan sipil eksekutif. Oleh karena
itu dimunculkan Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI).
Di bawah badan ini satuan organik pendidikan, Lembaga Pendidikan
Nasional, dan Departemen Pendidikan Nasional bernaung. Satuan organik
pendidikan ada sepuluh macam dan itu merupakan sebuah kesatuan,
diwali dari Sekolah Dasar dan diakhiri pada Pendidikan Tinggi Strata 3.
Lembaga Pendidikan Nasional dipimpin oleh Gubernur Pendidikan
Nasional akan menangani masalah non teknis /non edukatif pendidikan,
misalnya : Dinas Kesejahteraan Guru, Dinas Kesehatan Guru, Dinas
Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan.
245
245
Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Kepala
Departemen Pendidikan Nasional menangani masalah edukasi (baca :
pendidikan untuk natar pendidikan) dan pengawasan.
5. Sekalipun Indonesia bukan negara agama --karena ada banyak agama
yang dianut oleh rakyatnya, agama menempati posisi sentral. Agama
harus berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga tinggi, Dewan Agama
Indonesia (DAI). Pada dewan agama itulah terkumpul majelis-majelis
tinggi umat beragama dengan komposisi yang berimbang.
DAI mempunyai hak menolak keputusan MPR jika dipandang keputusan
tersebut merugikan umat beragama.
Di bawah dewan ini, pemerintah pusat agama (baca : Masyumi)
bernaung. Departemen Agama Islam, Departemen Agama Nasrani,
Departemen Agama Hindu, Departemen Agama Buda, dan Departemen
Agama Khong Hu Cu berada di bawah pemerintah pusat agama.
Kedudukan departemen-departemen tersebut sebagai pemerintah daerah
agama;
6. Ilmu murni Indonesia harus digali sebab pada ilmu tersebutlah terletak
identitas sebagai bangsa dan sebagai negara. Ilmu murni tersebut,
misalnya : tarikh, bahasa, dan bilangan. Jika dikembangkan, ilmu murni
Indonesia akan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Dari pentingnya ilmu --dasar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang sudah dibentuk pemerintah perlu ditingkatkan statusnya
sebagai lembaga tinggi negara dengan tujuan agar lebih bebas /leluasa
dalam melangkah;
246
246
7. Penggunaan tarikh Masehi di Indonesia perlu dikritisi, baik dalam bidang
pendidikan maupun dalam “manfaat” --khususnya bagi mayoritas
penghuni negara-- memiliki kelemahan sebab menggunakan matahari
sebagai dasar perhitungannya. Untuk itu, Indonesia harus berani
melahirkan tarikhnya sendiri yang dengan itu, Tarikh Indonesia tidak
berkiblat kemanapun.
Tahun pertama dimulai dari Kutai di bumi Kalimantan. Bulan pertama
dimulai dari Lebaran –start budaya Indonesia. Hari pertama dimulai dari
Jumat --Ingat, saat proklamasi kemerdekaan juga hari Jumat. Tahun baru
Indonesia bertepatan dengan 2 Syawal, bukan 1 Syawal. Dengan
demikian 1 Lebaran = 2 Syawal. Pola ini akan membawa Indonesia
menjadi tuan di negara sendiri.
8. Keadilan yang hakiki baru akan terwujud di bumi Indonesia jika hutang
konstitusi kaum nasionalis sekuler terhadap nasionalis Islami terbayar.
Hutang penguasa kepada konstituante terbayar. Piutang pertama dan
kedua pada dasarnya sama, yaitu Piagam Jakarta.
Jika hutang tersebut dapat dilunasi, dengan sendirinya krisis
kepercayaan /hukum akan terselesaikan. Hukum akan dapat tegak di atas
semua rakyat, tidak pandang siapa mereka, baik pejabat maupun rakyat
jelata;
9. Hak dan kewajiban membela negara harus tegas batasannya. Bela negara
dilakukan oleh rakyat melalui sepuluh macam saluran, yaitu :
a. Pertahanan dan keamanan negara : Aparatur Negara Militer
b. Pertahanan dan keamanan sipil : Aparatur Negara Sipil
c. Pertahanan dan keamanan rakyat : Rakyat
d. Keamanan negara : Pegawai Negeri Militer (Korp TNI)
247
247
e. Keamanan sipil : Tentara Tuhan
f. Keamanan rakyat : Keamanan Rakyat (Kamra)
g. Pertahanan negara : Polisi
h. Pertahanan sipil : Pegawai Negeri Sipil (Korp Sipil)
i. Pertahanan rakyat : Pekerja
j. Pertahanan dan kemanan rakyat semesta : Seluruh rakyat Indonesia
10. Bahasa Indonesia yang sudah merdeka sejak 28 0ktober 1928 sudah
saatnya memiliki pasangan hidup. Bahasa (linguistik) Indonesia harus
berpasangan dengan aksara Indonesia, bukan aksara manca yang
dimodifikasi. Ketidakberanian menciptakan aksara Indonesia sungguh
tidak beralasan.
Sejarah sudah membuktikan bahwa siapa yang menguasai bahasa akan
menguasai media massa /dunia tanpa harus mengangkat senjata. Embrio
sudah ada, aksara model sujali (Sunda-Jawa-Bali) atau model sutera susi
(Sumatera-Sulawesi). Keduanya memiliki akar budaya, hanya saja,
sebagai saran, seyogyanya digunakan model Sutera Susi dengan tekanan
pada Susi, sebab ranah Sulawesi belum terwakili dalam peradaban
Indonesia;
11. Dengan menggunakan pemetaan nusa, terlihat bahwa tidak sebuah titik
pun di Indonesia yang bernama “Indonesia”. Ternyata, Indonesia adalah
negara di atas, sebuah negara maya. Agar yang “maya” menjadi konkrit,
maka teritorial dibagi menjadi sepuluh dan satu di antaranya diberi nama
Indonesia, dan begitu seterusnya.
Idealnya, sebuah daerah teritorial akan mencakup sepuluh daerah
teritorial yang lebih kecil. Pada noto nusa akan terlihat satuan teritorial
248
248
sesudah negara sebagai berikut : bagian, wilayah, provinsi, karesidenan,
kabupaten, kota, kawedanan, kecamatan, desa, dan kelurahan. Dengan
pola ini akan dapat ditemukan, di mana sebenarnya “akar pohon”
Indonesia. Di situlah letak perlunya pemekaran wilayah. Dengan kata
lain, pemekaran harus mengikuti pola.
Jika konsep ini ditarik ke noto pendidikan, maka pada setiap kelurahan
terdapat sebuah sekolah dasar. Pada setiap desa terdapat sebuah SLTP –
Ingat kelurahan berbeda dengan desa. Pada setiap kecamatan akan
terdapat sebuah SLTA, dan seterusnya.
12. Berdasarkan konsep bilangan, dapat ditemukan bahwa seharusnya, di
bawah lembaga tertinggi negara terdapat sepuluh buah lembaga tinggi
negara. Lima di antaranya telah lahir, yaitu : DPR, Presiden, BPK, MA,
dan DPA. Sedangkan yang lima belum lahir. Lima lembaga tinggi yang
belum ada tersebut akan menangani agama, ilmu, pendidikan, keuangan,
serta pertahanan dan keamanan.
Masalah agama akan diurus oleh Dewan Agama Indonesia (DAI),
masalah ilmu oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masalah
pendidikan oleh Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI), masalah
keuangan oleh Badan Keuangan Republik Indonesia (BKRI), sedangkan
pertahanan dan keamanan akan diurus oleh Badan Pertahanan dan
Keamanan Nasional (BPKN).
13. Pemerintah adalah tempat bagi rakyat birokrasi, sedangkan pamong
adalah tempat bagi rakyat murni. Sekalipun yang dimaksud antara
pemerintah dan pamong itu sama, namun karena perbedaan asal-usul
maka digunakan istilah yang berbeda.
249
249
Ada enam macam pemerintah –yang berdiri setara. Sedangkan pamong
terdiri dari sepuluh macam. Dengan demikian, wadah rakyat untuk masuk
ke dalam struktur negara sudah ada. Dalam hal ini, pertumbuhan pamong
lebih cepat dari pertumbuhan pemerintah.
Pemerintahan /pamong ada sebelas tingkat, dan ini sesuai dengan daerah
teritorial yang ada. Pada tataran teritorial yang sama akan berdiri setara.
Di sinilah letak perlunya pertumbuhan birokrasi dalam rangka mencegah
pembusukan birokrat. Bagaimanapun, pembusukan birokrat sangat
merugikan negara, rakyat birokrasi, dan rakyat murni sendiri.
Mengingat pemerintah adalah timbangan dari rakyat --timbangan
pamong-- maka Kepala Pemerintahan berbeda dengan Kepala Negara.
Kepala Negara dijabat oleh Ketua MPR, sedangkan Kepala Daerah
dijabat oleh Ketua “MPR”;
14. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Konsekuensi dari pengakuan tersebut mereka memeluk sebuah agama
sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, rakyat Indonesia
tergolong manusia beriman.
Natar adalah warna dasar. Manusia Indonesia dapat dilacak natarnya
dengan melihat posisi yang bersangkutan pada start negara ini berdiri,
yaitu antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, bisa
juga dilihat dengan menggunakan parameter tertentu.
Dengan diketemukannya natar seseorang, ketepatan posisi mereka dapat
dideteksi. Adanya mobilitas, pendidikan, maupun pengaruh lain sebagai
250
250
faktor perpindahan jalur harus diatasi dengan cantik. Tanpa itu, mereka
yang kuat akan semakin kuat dan sebaliknya yang lemah akan kian
tersingkir. Jika semua itu dapat diatasi, maka saat itulah start sebuah
keadilan.
4.2 Saran
Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam rangka mengentaskan
bangsa dan negara tercinta ini dari terpaan krisis yang datang silih berganti. Dengan
demikian, kajian yang lebih mendalam dari para pakar /ahli sangat diharapkan. Demi
Indonesia tercinta
251
251
KEPUSTAKAAN
Aghnides B.L, Nicolas P, M.A., Ph. D, Pengantar Ilmu Hukum Islam, AB Sitti
Sjamsijah, Solo, 1956
Alam Jalal, Dr, dkk, Dendam Barat dan Yahudi Terhadap Islam CV. Pustaka
Mantiq, Solo, 1996.
Amjas, Moch., Risalah Zakat ke mana bagiankoe …? berikan akoe lapar, Ponpes
Sirajul Anwar Pecoro Rambipuji, Jember,1420 H
Anshari, Endang Saifuddin, H, Sejarah Konsensus nasional Antara Nasionalis
Islami dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Al
Muslimun, 179: 60, Bangil, 1985.
Al-Qordawi, Yusuf, Dr, Membumikan Syariat Islam, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997.
Arifin, M, H, Drs, M.Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan
Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Azis, Jum’ah Amin Abdul, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, Asy
Syaamil Press & Grafika, Bandung, 2002.
Darhim, Drs., dkk, Pendidikan Matematika 2, Buku III IA Modul 7, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SD
Setara D II, Jakarta, 1994.
252
252
Dhofir, Syarqawi, Hadiah Untuk Kebangkitan Islam, Al Muslimun,169: 78, 1984
Djono, I.A, dkk., Kumpulan Nyanyian, Jaya Baya, Surabaya, 1975
Hasan, Said Hamid, M.A., Ph.D, Pendidikan IPS 2, Buku IV 3A Modul 6,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Penigkatan Mutu
Guru SD setara D II, Jakarta, 1994
Hawwa, Sa’id, Agar Kita Tidak Dilindas Zaman, Pustaka Mantiq, Solo, 1989
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Ketahanan Nasional, PT Balai Pustaka
–Lemhanas, Jakarta, 1997
Maarif, Syafii. A, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung,
1994
Manager Gerald, Prestasi Tinggi Mulai di Sini, Lembaga Pendidikan Primagama,
2002
Purwanto, Ngalim, M, Drs. MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, PT Rosda
Karya, bandung, 1997.
Rais, Amien. M. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1994
Ridwan, Nurkholis. M, Mengapa Menolak Syariat Islam?, Sabili, No. 01 Th. X :
3, Juli 2002
Ruseffendi E.T, S.Pd, M.Sc, Ph.D,Prof.,dkk (1993), Pendidikan Matematika 3, Buku
IV IA Modul 2, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Peningkatan
Mutu Guru SD setara D II dan Pendidikan Kependudukan, Jakarta.
253
253
Scott, Peter Dale. Prof, Konspirasi Soeharto-Cia Penggulingan Soeharto 1965-1967,
PMII Unair-Pekad, Surabaya, 1998
Setijawan, Pengaruh Devaluasi dengan Kepercayaan Masyarakat terhadap Uang –
Skripsi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Jember,
Fakultas Hukum, 1987
Shabana, Whs, Kedengkian Barat terhadap Dunia Islam suatu Telaah Kasus, Al
Muslimun, 265 : 69, Bangil, 1412 H /1992 M
Soedijarto, H, Dr, Prof, Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan (Terutama
Guru) dan Implikasinya dalam Penyususnan Kurikulum Lembaga Pendidikan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga, 1997
Sugiono, MA, Politik Luar Negeri Indonesia : Antara Keinginan Mandiri dan
Ketergantungan, Tarbawi, 39 Th. 4 : 50, 2002
Suparman, Drs, dkk., IPS Sejarah 2, Tiga Serangkai, Solo, 1995
Sya’Rawi, Mutawalli, M, Dr, Prof, Islam Di Antara Kapitalisme dan Komunisme,
Gema Insani Press, Jakarta, 1992
Uhin, Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam Pembakuan Tipe Sekolah pada Satuan
Pendidikan Dasar Penyempurnaan Angka Kredit Kenaikan Pangkat Bagi
Guru, CV Kloang Klede, 1994
254
254
Wibowo, Andri, HR&GA Division Head PT Gentrans Interna Express, Tarbawi, 38
Th. 4 : 32, Juli 2002
Wardana, Datta, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 3, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998
Yamani MCJ LL M, Ahmad Zaki, Syari’at Islam Yang Abadi, PT Al Ma’arif,
Bandung, 1980
Perundang-undangan /Peraturan :
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Apollo, Surabaya –
sebelum amandemen
2. Biro Hukum dan Humas, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992
255
255
Lampiran : 1
Implementasi bilangan pada masa transisi
Contoh 1
Pada Tahun Anggaran 2001, cadangan devisa negara adalah Rp 1 triliun, ini
berarti cadangan devisa negara adalah Rp 1.0000.0000.0000.0000,00 bukan Rp.
1.000.000.000.000,00
Penjelasan : Adanya lompatan jumlah devisa negara dalam bentuk rupiah, membuat
pemerintah tidak memiliki alasan apapun untuk membuat hutang baru pada lembaga
keuangan manapun, tidak ada alasan untuk menaikkan BBM, tarif dasar listrik,
pajak, dan atau yang sejenis dengan itu. Dengan kekuatan 10.000 kali di atas Rp 1
triliun sebelumnya, maka akan mengundang “tikus” semakin menggila. Dengan
demikian, “kucing-kucing” harus dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Mereka
inilah yang berkewajiban menggiring “tikus” –dari yang kelas comberan sampai
tikus putih kelas kantoran (?) kembali ke habitatnya. Pencatatan kekayaan para
penyelenggara negara menjadi sangat diperlukan.
.Contoh 2
Gaji seorang pegawai negeri sipil (PNS) pada bulan Januari 2001 adalah
satu juta rupiah (Rp 1.000.000,00). Maka, seharusnya gaji yang diterima adalah Rp
1.0000.0000,00. Bukan Rp 1.000.000,00 --satu dengan enam nol di belakangnya
belum mencapai satu juta.
Penjelasan : Perubahan penerimaan gaji PNS seperti contoh tersebut di atas bukan
merupakan kenaikan gaji, sebab uang yang mereka terima selama ini belum
sekualitas dengan yang seharusnya mereka terima. Sehingga, sebenarnya, tuntutan
agar aparat negeri ini memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat merupakan
tuntutan yang semena-mena, sehingga –maaf-- ada di antara mereka yang “nakal”.
256
256
Baik nakal dalam arti sesungguhnya maupun nakal dalam arti –maaf- melacurkan
jabatan. Misal: PNS merangkap sebagai x. Pejabat merangkap sebagai y.
Dengan pekerjaan dan /jabatan yang disandangnya, ia memuluskan jalan
usahanya di satu sisi pun itu berarti merebut lahan hidup orang lain di sisi lain.
Padahal, antara bidang x dan bidang pekerjaan si PNS tidak ada hubungannya sama
sekali, kalaupun dipandang ada, itu pun terlihat sangat dipaksakan. Antara jabatan
dan bidang y si pejabat pun tidak ada relevansinya. Memang, tidak ada halangan bagi
siapapun untuk berusaha dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya, sepanjang
dilakukan di luar jam dinas serta tidak memanfaatkan fasilitas dan /statusnya. Jadi,
kesalahan total bukan ada pada mereka. Kalau, ada di antara mereka yang nakal …
itu wajar, dan sangat wajar sekali. Tapi, percayalah. PNS yang baik –yang komitmen
terhadap tugasnya- -jauh lebih banyak daripada mereka yang nakal, begitu pula
dengan pejabat (?). Dengan bertambahnya pendapatan PNS –yang hanya satu di
antara sekian kran keluarnya uang negara-- maka pada gilirannya nanti akan
meningkatkan pula pendapatan rakyat. Bukankah PNS tidak mungkin menyimpan
uangnya ke luar negeri? Juga terlalu berlebihan, jika mencurigai mereka akan
membelanjakan rupiah ke manca negara. Mereka sudah dilatih untuk berpola hidup
sederhana, terlebih bagi golongan rendah.
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan :
Pertama, seorang PNS tidak mutlak menerima gaji sebesar terurai di atas
selama masa transisi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan masa kerja yang
bersangkutan antara 27 Desember 1949 sampai dengan start masa transisi. Dengan
demikian ada masa pembetulan gaji. Ini berarti, semakin panjang masa kerja seorang
PNS maka akan semakin panjang pula jangka penerimaan, sebaliknya semakin
sedikit masa kerjanya akan semakin singkat pula penerimaannya. Dengan demikian
seandainya masa transisi dimulai 18 Agustus 2003 dan diakhiri 17 Agustus 2012 dan
itu (9 tahun) = 108 bulan, dan 27 Desember 1949 s.d. 18 Agustus 2003 = 62 tahun
08 bulan – lebih dari 14 hari dibulatkan menjadi 1 bulan = 752 bulan. Maka cara
257
257
menghitung masa “pembetulan gaji” adalah = (masa kerja keseluruhan : 752) x 108
x 1 bulan.
Kedua, dengan berakhirnya masa pembetulan gaji, maka harus diadakan
rasionalisasi gaji. Rasionalisasi gaji sangat diperlukan sebab –bagi PNS sebagai
contoh di atas-- penerimaan gaji 100 kali lebih besar dari penerimaan tentunya akan
menimbulkan dampak psikhologi yang luar biasa, dari (10)0 satuan gaji menjadi
(10)2 satuan gaji atau secara sederhana dari pangkat nol menjadi pangkat dua. Ini
terlalu maju. Oleh karena itu harus dimundurkan, sehingga menjadi pangkat satu atau
(10). Dengan demikian, besar rasionalisasi gaji adalah 10 kali dari gaji yang
diterimanya.
Misalkan :
Anton, gaji Rp 1 000 000,00 (satu juta rupiah) dengan masa kerja keseluruhan
30 tahun 05 bulan = 365 bulan
Maka, masa pembetulan gaji = (365 : 752) x 108 x 1 bulan = 51 bulan.
Dari itu, Anton menerima pembetulan penerimaan gaji selama 51 bulan.
Itu berarti, gaji September 2003 sampai dengan 51 bulan berikutnya
(Desember 2008) tertulis Rp 1.000.000,00, namun yang diterima Anton
adalah Rp 1.0000.0000,00 Sesudah itu, gaji dirasionalisasikan sebagaimana
seharusnya. Dengan demikian, pada bulan Januari 2009 dalam daftar gaji
Anton menerima 10 x gaji atau 10 x Rp 1.000.000,00 sehingga tertulis Rp
1000.0000,00. –jadi, pada Januari 2009 Anton menerima sebesar Rp
1000.0000,00
Supali, pensiunan 1 Januari 1980 dan angkatan pertama negara ini. Gaji Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dengan demikian masa kerja yang
bersangkutan dari 27 Desember 1949 sampai dengan 1 Januari 1980 adalah
258
258
30 tahun = 360 bulan. Maka , masa pembetulan gaji = (360 : 752 ) x 108 x 1
bulan = 51 bulan. Supali menerima pembetulan gaji dari September 2003
sampai dengan 51 bulan berikutnya (Desember 2008). Dengan demikian,
pada daftar gaji tertulis Rp 500.000,00 namun yang diterima adalah Rp
500.0000,00 Pada Januari 2009, gaji Supali pun dirasionalisasikan sehingga ia
menerima 10 x Rp 500.000,00 = Rp 500.0000,00 pada daftar gaji Supali
sudah tertulis Rp 500.0000,00
Armando, seorang hakim angkatan 1 April 1997 dengan gaji, misalnya : Rp
2.000.000,00. Dari itu masa kerja keseluruhan Armando adalah 06 tahun 04
bulan = 52 bulan Maka, masa pembetulan gaji = (52 : 752) x 108 x 1 bulan =
7,5 bulan -- dibulatkan menjadi 8 bulan. Armando menerima pembetulan gaji
selama 8 bulan, mulai September 2003 sampai dengan 8 bulan berikutnya
(April 2004). Dengan demikian, pada daftar gaji tertulis Rp 2.000.000,00
namun yang diterima adalah Rp 2.0000.0000,00. Sedangkan pada bulan ke
sembilan (Mei 2004), gaji Armando telah disesuaikan (dirasionalisasikan)
sehingga tertulis Rp 2000.0000,00, dan deretan angka tersebut berasal dari 10
x Rp 2.000.000,00
Sebagai catatan terakhir untuk masalah ini, seyogyanya selama masa transisi
dan setusnya agar tidak menimbulkan masalah tiap orang memiliki struktur gaji
sendiri-sendiri, seperti para pensiunan, dan menggunakan jasa bank.
Contoh 3
Pada hari Senin, 21 Agustus 2001, harian Jawa Pos menuliskan bahwa akibat
carut-marut MSAA kerugian yang diderita negara adalah Rp 80 triliun. Berdasarkan
sistem dan /rumusan di atas, kerugian yang diderita negara baru mencapai Rp 80 ribu
juta (Rp 80 miliar). Sebab, dalam hal ini kerugian menjadi kewajiban negara.
259
259
Penjelasan : dengan adanya perubahan cara memandang bilangan, maka secara
hakiki kerugian yang diderita negara pun akan mengecil. Mengecil dalam arti kualitas
kerugiannya, sedangkan secara kuantitas tetap. Masalahnya, manakah yang lebih
penting antara nilai kualitas dan nilai kuantitas? Memandang salah satu lebih
penting dari yang lain, jelas merupakan kesalahan yang fatal. Dan, itu akan
membuat timpangnya keadilan. Apalah artinya sebuah kualitas tanpa diimbangi
dengan kuantitas yang memadai, begitu pula sebaliknya.
Masalah ini akan terjawab setelah rupiah didevaluasi, yaitu pada saat sistem
bilangan Indonesia berlaku --revolusi bilangan dikukuhkan. Hanya, jika ingin berhasil
dalam satu hari itu berarti mimpi di siang bolong, namun jika berbilang tahun dan
dilakukan bersama dengan penuh kesadaran itu –baru-- sebuah harapan.
Contoh 4
Pada awal tahun 2001, hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 50 triliun dan
pada triwulan pertama akan dibayar Rp 1 miliar. Berapa sisa hutang luar negeri
Indonesia?
Jawab : Hutang = Rp 50 triliun = Rp 50.000.000.000.000,00
Bayar = Rp 1 miliar = Rp 1.000.0000.0000,00
Sisa hutang = Rp 49.000.000.000.000,00
Ingat, bayar hutang merupakan kewajiban.
Penjelasan : Sepanjang hutang tersebut tidak menggunakan mata uang asing sebagai
alat pembayarnya maka contoh di atas sudah sangat jelas. Namun, jika pembayaran
dengan menggunakan valuta asing maka jumlah dana yang disediakan untuk itu
dikonversikan dengan mata uang asing yang dimaksud.
Adalah menjadi tugas para ekonom untuk menahan laju kekuatan uang
mereka. Bahwa, jumlah hutang luar negeri pemerintah mencapai Rp 1.280,1 triliun
(Sabili, 2000 : 21) benar-benar menyuramkan masa depan anak-anak yang saat ini
260
260
masih berada di bangku sekolah. Mereka tidak ikut berhutang, mereka yang harus
mempertanggungjawabkan. Malang nian ….
Contoh 5
Harga sekaleng sarden kecil Rp 2.000,00 Maka, sebenarnya harga sarden
tersebut baru mencapai dua puluh ratus rupiah, belum sampai dua ribu rupiah --dua
ribu rupiah = Rp 2.0000,00
Penjelasan : dalam hal ini, perubahan hanya terjadi pada pelafalan –bilangan. Namun
sebenarnya yang terjadi adalah kualitas ribuan turun menjadi puluh ratusan,
sedangkan kuantitas 2 dengan 0 sebanyak tiga buah –sebagai kekayaan hakiki rakyat-
tidak diusik.
Contoh 6
Pajak yang dikenakan kepada si A sebagai pemilik sebidang sawah adalah Rp
40.000,00. Dengan demikian, si A membayar sejumlah lambang bilangan yang
menjadi kewajibannya –empat nol nol nol nol yang dalam sistem bilangan Hindu arab
dibaca empat puluh ribu rupiah tetapi karena penerima pajak adalah negara, dan
selanjutnya menjadi hak negara, maka negara tidak lagi melihat deretan bilangan
penyusunnya melainkan menghitung pelafalannya --bilangannya, oleh karena itu
empat puluh ribu = Rp 40.0000,00 (perhatikan perbedaan jumlah nol-nya).
Penjelasan : dengan konsep ini tidak ada lagi bagi alasan pemerintah untuk
menaikkan penerimaan negara dari sektor pajak, sebab pajak yang diterima negara
nilai kualitas uangnya telah dinaikkan.
Dengan demikian, Bank Indonesia –sebagai bank sentral-- berkewajiban
menggenapi kuantitas yang sesuai dengan kualitas pajak yang masuk negara. Dalam
hal ini –sesuai contoh – penyelesaiannya adalah Bank Indonesia berkewajiban
menyediakan dana sebesar Rp 360 000,00 sebagai selisih antara Rp 40 000,00 dengan
Rp 40 0000,00 –perhatikan perbedaan jumlah nol –nya.
261
261
Adapun, jika ada rencana pemerintah untuk menggali pajak dari potensi yang
belum tergarap selama ini, itu tidak menjadi masalah, sebab itu merupakan upaya
pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.
Apalagi, bagi sebuah negara yang beranjak “maju” penerimaan sektor ini
akan menjadi tulang pungung perekonomian nasional dan tentunya sangat
diandalkan.
Contoh 7
Pada hari Jumat, 5 April 2002, harian Kompas memuat berita bahwa kurs
tengah Bank Indonesia terhadap dolar AS adalah : 1$ =Rp 9.733,00 (sembilan ribu
tujuh ratus tiga puluh tiga rupiah). Berdasarkan rumusan di atas, maka kurs mata uang
tersebut sebenarnya baru bernilai sembilan puluh tujuh ratus tiga puluh tiga rupiah.
Jadi, belum mencapai seribu rupiah.
Penjelasan : Ingat, dalam hal ini tidak ada devaluasi. Dan, memang, diharapkan
selama masa transisi pemerintah tidak melakukan devaluasi, apapun alasannya.
Sungguhpun demikian, para ekonom mempunyai kewajiban untuk membendung
kekuatan dolar AS --khususnya dan /mata uang asing lainnya agar tidak sampai
menembus level Rp 10 000,00.
Kepiawaian menerapkan ilmu yang telah mereka serap dari “sana” harus
dibuktikan. Memang, ada sekelompok spekulan yang malah bersyukur dengan
melemahnya rupiah, mereka malah memetik keuntungan yang tak terkira besarnya.
Mereka adalah pemilik modal. Sebenarnya, mereka telah cukup lama menikmati
keuntungan dengan melemahnya rupiah –mereka memiliki sesuatu sebagai harga
tawar. Namun, sebagian besar penghuni negara ini akan merasakan akibat langsung
dari melemahnya rupiah.
Contoh 8
Dalam tahun angggaran 2002, Pemerintah mengalokasikan dana Bantuan
Operasional untuk Sekolah Dasar @ Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) maka
262
262
seharusnya dana yang dicairkan adalah lambang bilangan dua dengan delapan buah
di belakangnya atau Rp 2.0000.0000,00 –perhatikan perbedaan jumlah nol-nya.
Penjelasan : Bisa pembaca bayangkan, dengan dana sebesar itu, Sekolah Dasar (SD)
tidak perlu lagi menarik iuran /sumbangan apaun namanya dari orangtua /wali
muridnya. Rakyat boleh –dan sah-sah saja-- menuntut peningkatan mutu pendidikan
sebab dana yang tersedia memang sangat, sekali lagi sangat, mencukupi. Tanpa ada
kenaikan alokasi angggaran pendidikan pun, dana sudah sangat cukup.
Dengan dana sebesar itu, SD yang kekurangan guru dapat merekrut sendiri
tenaga yang diperlukan. SD akan mampu membayar tenaga terampil untuk
mengajarkan kecakapan tertentu –bahkan tenaga ahli sekalipun. SD akan mampu
menyiapkan fasilitas dan segala sesuatu yang memang selayaknya ada pada tingkat
SD. Penulis rasa, hal serupa juga akan terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Rasanya tidak berlebihan, jika dengan Reformasi Bilangan maka pendidikan
akan gratis. Gratis dalam arti sebenarnya, bukankah sesungguhnya “mencerdaskan
kehidupan bangsa” itu merupakan kewajiban negara?
Dalam bidang ini saja, terlihat adanya pendistribusian tenaga kerja –
khususnya tenaga terdidik. Bisa dibayangkan, jika sebuah SD saja mampu menyerap
empat orang guru baru15 dan ditambah lima orang tenaga terampil non guru16 .
Maka berapa ratus ribu orang pencari kerja yang tertampung SD di seluruh
tanah air ini? Rakyat menuntut sekolah sehari pun tidak menjadi masalah, sebab gaji
guru sudah sangat mencukupi. Mereka sudah dapat duduk setara dengan rekan-rekan
mereka dari negera tetangga ataupun dari negara maju. Di atas kertas, semua terasa
mudah. Semuanya, tergantung pada niat baik pengelola pendidikan.
Contoh 9
45 x 301 = n n = 1 3545
Dibaca : empat puluh lima kali tiga ratus satu = n
n = seribu tiga puluh lima ratus empat puluh lima
15 guru yang dibutuhkan sekolah karena sekolah kekurangan tenaga guru
263
263
16 tenaga terampil, tenaga honorer yang dipanggil sekolah untuk mengajarkan keterampilan tertentu,
misalnya keterampilan elektronik.
Penjelasan : di sini terlihat bahwa secara metematis, reformasi bilangan tidak
merubah hasil . Perubahan hanya terlihat pada berubahnya kualitas bilangan --
pelafalan bilangan-- dan untuk memudahkan pemahaman maka tehnik penulisan
menggunakan empat digit dipisahkan.
Contoh 10 B
Bea retribusi setiap masuk terminal bagi sebuah kendaraan umum adalah
Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).
Penjelasan : Bea retribusi termasuk pendapatan asli daerah –negara. Oleh karena itu,
bagi awak angkutan berkewajiban membayar sejumlah lambang bilangan
penyusunnya yaitu lima nol nol nol, yang dalam sistem bilangan Hindu Arab dibaca
lima ribu rupiah Tetapi, karena penerima adalah Pemerintah Daerah –yang
merupakan kepanjangan tangan dari penguasa negara, maka lima ribu rupiah tidak
lagi berupa Rp 5.000,00 melainkan Rp 5.0000,00 –perhatikan perbedaan lambang
bilangan penyusunnya.
264
264
Lampiran 2
Sebuah Format Demokrasi
265
265
Pemerintah Militer Natar Militer Natar X Dewan Pertimbangan Agung
Rakyat Militer Rakyat XBadan Pertahanan dan Keamanan
Nasional
Rakyat Indonesia
Rakyat Birokrasi
Rakyat Murni
Rakyat Sipil
Natar Sipil Eksekutif
Pemerintah Sipil
Kepresidenan
Natar Sipil Hukum
Pemerintah Hukum
Mahkamah AgungNatar Sipil Pendidikan
Rakyat Agama
Natar Agama
Dewan Agama Indonesia
Natar Alam
Pamong Alam
Natar Pedagang
Pamong Pedagang
Natar Transportasi
Pamong Transportasi
Lampiran 3
TABEL NATAR
No. Natar Induk Natar Manusia
Indonesia
Ruang Gerak Keterangan
1 2 3 4 5
266
266
Natar Pendidik
Natar Ilmu
Pemerintah Edukasi
Badan Pendidikan Nasional Indonesia
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Natar Sipil KeuanganBadan
Pemeriksa Keuangan
Pemerintah Keuangan
Badan Keuangan Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat RI
Natar Sipil Agama
Pemerintah Agama
Natar Komunikasi
Pamong Komunikasi
Natar Seni Budaya
Pamong Seni Budaya
Natar Industri
Pamong Industri
Parlemen Pamong
Natar Rakyat X
Natar Jasa
Pamong Jasa
Pamong Pegawai Negeri Korp Sipil
Pamong Pegawai Negeri Korp TNI
Parlemen Birokrasi
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
1. Natar militer 1. Angkatan Darat
2. Angkatan Laut
3. Angkatan Udara
4. Polisi
5. Tentara Tuhan :
a. Hizbullah
b. Tentara Salib
c. Pacalang
d. Lain-lain
6. Kamra
7. Lain-lain
Pemerintah Militer
Dewan Agama
Indonesia
Sesuai kebutuhan
Lahan 1
Lahan 1
/Militansi sipil
Lahan 1 /2
Militansi rakyat
2. Natar Sipil 1. Pamong praja
2. Agama
3. Pendidikan
4. Keuangan
5. Hukum
1. Pemerintah
Eksekutif
2. Pemerintah
Agama
3. Pemerintah
Edukasi
4. Pemerintah
Keuangan
5. Pemerintah
Hukum
Lahan 1
1 2 3 4 5
3. Natar Alam 1. Pertanian
2. Peladang
3. Perkebunan
4. Peternakan
5. Kehutanan /Utas
6. Perajin
Pamong Alam Lahan 2
267
267
7.Nelayan /kelautan
8. Perlistrikan
9. Pertambangan
10. Lain-lain
4. Natar
Perdagangan
1. Pedagang hasil
bumi :
a.tanaman pangan
b.tanaman sandang
c. tanaman keras
d. lain-lain
2.Pedagang hasil
industri:
a. logam
b. kimia dasar
c. aneka industri
d. industri kecil
e. industri rumah tangga
3. Lain-lain
Pamong Pedagang Lahan 2
1 2 3 4 5
268
268
5. Natar
Komunikasi
1. Pos
2. Telepon
3. Telegram
4. Media cetak
5. Media elektronik
6. Penerjemah
7. Juru bahasa
8. Wartawan
9. Kurir
10. Lain-lain
Pamong
Komunikasi
Lahan 2
6.
1
Natar
Transportasi
2
1. Perhubungan darat
a. Kereta api
b. Bukan kereta api
dalam bagian
c. Bukan kereta api
antar bagian
d.Perhubungan
sungai
e. Perhubungan
danau
2. Perhubungan laut
a. Antar pulau
b. Antar negara
3
Pamong
Transportasi
4
Lahan 2
5
269
269
3. Perhubungan udara
a. Penerbangan
nasional
b. Penerbangan
internasional
3. Lain-lain
7. Natar Seni
Budaya
1. Seniman tradisional
2. Awak seni tradisional
3. Artis /aktor
4. Penyanyi
5. Pelawak
6. Pesulap
7. Akrobatik
8. Sulih suara
9. Awak seni
kontemporer
10. Lain-lain
Pamong Seni
/Budaya
Lahan 2
8. Natar Industri 1. Industri logam :
a. Mesin
b. Elektronik
2. Industri kimia
dasar
3. Aneka industri :
a. Pangan
b. Sandang
Pamong Industri Lahan 2
1 2 3 4 5
270
270
c. Serat dan kimia
d. Bangunan
4. Industri kecil
5. Industri rumah
tangga
6. Lain-lain
9. Natar Jasa 1. Tenaga :
a. Jasa militer :
1.PNM pada lingkup AD
2.PNM pada lingkup AL
3.PNM pada lingkup AU
4. PNM pada lingkup
sipil
5. PNS pada lingkup AD
6. PNS pada lingkup AL
7. PNS pada lingkup AU
8. Militansi sipil pada
lingkup militer
9. Militansi sipil pada
lingkup “sipil”
10. Militansi rakyat
pada lingkup
militer
Pamong Pegawai
Negeri Korp TNI
Lahan 1
271
271
1 2 3 4 5
1 2
b. Jasa sipil :
1. PNS pada lingkup
agama
2. PNS pada lingkup
eksekutif
3. PNS pada lingkup
pendidikan
4. PNS pada LIPI
5. PNS pada lingkup
hukum /peradilan
6. PNS pada lingkup
pemerintah keuangan
7. PNS pada lingkup
BPK
8. PNS pada lingkup
DPA
9. PNS pada lingkup
DPR
10. PNS pada lingkup
lain-lain
c. Jasa tenaga lain-lain
2. Konsultasi
3. Rancang
4. Busana
5. Peralatan
3
Pamong Pegawai
Negeri Korp Sipil
Pamong Jasa
4
Lahan 1
Lahan 2
5
272
272
6. Kendaraan
7. Hunian
8. Wisata
9. Pendidikan
10.Lain-lain :
10 Natar X 1. Pendiri negara
a. Raja-raja
b. Proklamator
c. Tokoh pendiri negara
d. Lain-lain
2. Rakyat murni :
a. LSM
b. Lain-lain
Dewan
Pertimbangan
Agung (DPA)
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)
Lahan 1
Lahan 2
Lampiran 4
273
273
NILAI NATAR
N0
.
Periode Usia Lembaga Kel.
Natar
Nilai
Natar
Nilai
Nominal
Sertifikat
Natar
(Rp)
Pokok
Gaji
/gaji
rakyat
(Rp)
Ket.
1 2 3 4 5 6 7 8
1. 17-08-1945
s.d.
27-12-1949
I 100 108 1000,00 *
II 10 107 100,00 **
III 1 106 10,00 ***
2. 27-12-1949
s.d.
02-05-1984
00 th 01 bl s.d.
00 th 05 bl
II.1.1 10 107 100,00 Wajar
4
Tahun00 th 06 bl s.d.
00 th 10 bl
II.1.2 9 9 x 106 90,00
00 th 11 bl s.d.
01 th 02 bl
II.1.3 8 8 x 106 80,00
01 th 03 bl s.d.
01 th 07 bl
II.1.4 7 7 x 106 70,00
01 th 08 bl s.d.
02 th 00 bl
II.1.5 6 6 x 106 60,00
02 th 01 bl s.d.
02 th 05 bl
II.1.6 5 5 x 106 50,00
274
274
1 2 3 4 5 6 7 8
02 th 06 bl s.d.
02 th 10 bl
II.1.7 4 4 x 106 40,00
02 th 11 bl s.d.
03 th 02 bl
II.1.8 3 3 x 106 30,00
03 th 03 bl s.d.
03 th 07 bl
II.1.9 2 2 x 106 20,00
03 th 08 bl s.d.
≥ 04 th
II.1.10 1 1 x 106 10,00
3. 02-05-1984
s.d.
02-05-1994
00 th 01 bl s.d.
00 th 07 bl
II.2.1 10 1 x 106 10,00 Wajar
6
Tahun00 th 08 bl s.d.
01 th 02 bl
II.2.2 9 9 x 105 9,00
01 th 03 bl s.d.
01 th10 bl
II.2.3 8 8 x 105 8,00
0l th 11 bl s.d.
02 th 05 bl
II.2.4 7 7 x 105 7,00
02 th 06 bl s.d.
03 th 00 bl
II.2.5 6 6 x 105 6,00
03 th 01 bl s.d.
03 th 07 bl
II.2.6 5 5 x 105 5,00
03 th 08 bl s.d.
04 th 03 bl
II.2.7 4 4 x 105 4,00
04 th 04 bl s.d.
04 th 11 bl
II.2.8 3 3 x 105 3,00
05 th 00 bl s.d.
05 th 06 bl
II.2.9 2 2 x 105 2,00
275
275
1 2 3 4 5 6 7 8
05 th 07 bl s.d.
≥ 06 th
II.2.10 1 1 x 105 1,00
4. 02-05-1994
s.d. …
00 th 01 bl s.d.
00 th 11 bl
II.3.1 10 1 x 105 1,00 Wajar
9
Tahun01 th 00 bl s.d.
01 th 11 bl
II.3.2 9 9 x 104 0,90
02 th 00 bl s.d.
02 th 11 bl
II.3.3 8 8 104 0,80
03 th 00 bl s.d.
03 th 11 bl
II.3.4 7 7 x 104 0,70
04 th 00 bl s.d.
04 th 11 bl
II.3.5 6 6 x 104 0,60
05 th 00 bl s.d.
05 th 11 bl
II.3.6 5 5 x 104 0,50
06 th 00 bl s.d.
06 th 11 bl
II.3.7 4 4 x 104 0,40
07 th 00 bl s.d.
07 th 11 bl
II.3.8 3 3 x 104 0,30
08 th 00 bl s.d.
08 th 11 bl
II.3.9 2 2 x 104 0,20
≥ 9 th II.3.10 1 1 x 104 0,10
* Rakyat X /Pendiri Negara
** Rakyat birokrasi
*** Rakyat murni
Sebuah Anekdot
276
276
Suatu pagi. Seorang ibu tani yang tinggal di pedalaman pulau Jawa hendak
menanam padi. Ia membawa serta dua orang anaknya yang masih kecil ke sawah.
Seorang masih bayi dan yang seorang baru mulai disapih. Sementara anak-anaknya
yang lebih besar sibuk menyelesaikan urusan mereka masing-masing.
Ibu tani tersebut berbekal sebungkus singkong (telo, Jawa) rebus sebagai
pengganjal perut dan sebotol air. Sebuah bekal makanan yang sangat sederhana. Ia
tidak mengetahui kandungan gizi pada makanan yang dikonsomsinya, yang penting
kenyang.
Matahari semakin tinggi, hangat panasnya mulai terasa. Ia tak peduli. Satu
demi satu, peluhnya mulai menetes membasahi bumi pertiwi. Dari kejauhan, sesekali
dilihatnya dua orang anaknya. Diam-diam, ia tersenyum.
“Bu, lo!” terdengar teriakan nyaring anak sapihannya.
“Ya, ambillah!” jawabnya singkat.
“Lo, Bu! Lo!” teriakan si anak makin keras.
“Ya, ambil! Jangan teriak-teriak!” jawab ibu tani tak mau kalah kerasnya,
“Makan …! Telo itu memang untuk dimakan!”
Si anak sapihan terus berteriak-teriak, ”Lo! Lo!!” dan si ibu juga tetap
menjawab dengan teriakan-teriakannya yang jauh lebih keras. Ia tak bergiming dari
tempatnya. Bahkan, kala si bayi menangis dan menjerit pun, ia masih terus sibuk
dengan dunianya sendiri. Ia ingin tanaman padinya cepat tumbuh, cepat besar, cepat
berbuah, dan panen. Bahkan, khayalannyapun sempat melayang!
Seiring dengan semilirnya angin, anak sapihannya telah diam. Ia sudah tidak
berteriak-teriak lagi. Ia telah lelah berteriak-teriak. Tangisan si bayi pun telah tak
terdengar. Tentu saja, ibu tani merasa senang. Ia menyangka, anak sapihannya telah
makan dan kenyang. Ia semakin giat bekerja!
Matahari mulai condong. Ibu tani telah menyelesaikan tugasnya. Senyum
tersungging di sudut bibirnya yang tipis. Ia puas melihat hasil kerjanya. Dengan
277
277
langkah kakinya yang ringan, ia menuju dangau tempat dua orang anaknya …. Kala
dilihat anak sapihannya meringkuk pucat di sudut dangau dengan noda darah yang
telah mengering dan bayinya lenyap, ibu tani terkesiap, “Di mana adikmu?”
“Lo, Bu! Lo!” jawab si sapihan sambil menunjuk semak-semak yang
bergerak-gerak di kejauhan sana. Ia berusaha mengungkapkan yang ia tahu agar
ibunya mengerti.
“Lo, lagi! Lo, lagi!” gumannya pendek.
Rupanya, ibu tani lupa bahwa masih ada “Lo” lain selain “telo” yang telah
menelan bayinya. Ia masih terus celingukan mencari, entah sampai kapan …
Sementara itu, sepasang mata menatap tajam dari rimbun semak-semak!!!***
278
278