janetee0795.files.wordpress.com file · web viewsetelah terbentuk bangsa-bangsa pokok, maka...
TRANSCRIPT
GERAKAN-GERAKAN MENENTANG KOLONIALISME
DI ASIA TENGGARA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara
Dosen Pengampu: Drs. Ba’in, M.Hum
Disusun oleh
Siti Nurjanah (3101413050)
Sifi Dianing Ratri (3101413053)
Program Studi: Pendidikan Sejarah
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dibentuk dan ditempa oleh pergerakan
bangsa-bangsa dari Asia Tengah ke Asia Tenggara yang berkembang menjadi
bangsa-bangsa pokok, pengaruh Cina dan India, pengaruh Islam dan pengaruh bangsa
Barat. Pergerakan bangsa-bangsa dari Asia Tengah ke Asia Tenggara berlangsung
secara bergelombang dalam kurun waktu yang lama dan akhirnya membentuk
bangsa-bangsa pokok yang sekarang menjadi bangsa-bangsa di Asia Tenggara
dengan suku-suku minoritas.
Setelah terbentuk bangsa-bangsa pokok, maka masuklah pengaruh asing ke
Asia Tenggara silih berganti, baik dari Asia sendiri, dari Asia Barat (Timur Tengah),
dan kemudian dari Barat. Hal ini disebabkan karena letak Asia Tenggara yang sangat
strategis karena berada di persilangan antara dua benua dan dua samudra, tetapi juga
berada di jalur perdagangan dunia, serta hasil alamnya yang sangat berlimpah ruah.
Yang menarik dari bertubi-tubinya masuknya pengaruh asing itu adalah
pengaruh yang lebih dulu datang melakukan reaksi terhadap pengaruh yang dating
berikutnya, kecuali pengaruh Cina yang memang relatif kecil dibandingkan India,
Islam dan Barat. Sebaliknya pengaruh yang baru datang berusaha menghapus atau
mendesak pengaruh asing sebelumnya.
Adapun reaksi Asia Tenggara yang paling keras terjadi sewaktu Asia
Tenggara kedatangan bangsa Barat, sebab di samping melakukan perdagangan,
bangsa Barat itu kemudian menguasai wilayah Asia Tenggara. Reaksi pertama
dilakukan oleh penguasa-penguasa (kerajaan-kerajaan) yang lebih dulu tumbuh dan
berkembang di berbagai kawasan di Asia Tenggara. Sedangkan reaksi berikutnya
dilakukan oleh masyarakat pedesaan dengan mengadakan gerakan sosial yang
bermuara pada timbulnya gerakan nasional.
Kerajaan-kerajaan tradisional yang lahir di Asia Tenggara, terutama akibat
pengaruh India (Hindu-Budha). Karena itu melihat reaksi Asia terhadap pengaruh
baru yang datang ke Asia Tenggara, khususnya terhadap bangsa Barat, maka tidak
lepas dari pasang-surut kerajaan-kerajaan (penguasa-penguasa) di Asia Tenggara.
Rumusan Masalah
1. Gerakan-gerakan apa saja yang menentang kolonialisme di Asia
Tenggara?
2. Dimanakah gerakan-gerakan yang menentang kolonialisme tersebut
tumbuh?
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui gerakan-gerakan apa saja yang menentang kolonialisme di
Asia Tenggara
2. Mengetahui tempat-tempat bersejarah tumbuhnya gerakan-gerakan
yang menentang kolonialisme
3. Menambah pengetahuan tentang sejarah yang ada di wilayah Asia
Tenggara
4. Memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara.
BAB II
GERAKAN-GERAKAN YANG MENENTANG KOLONIALISME
DI ASIA TENGGARA
Reaksi Para Penguasa Tradisional di Asia Tenggara
Pada masa pra nasionalisme di Asia Tenggara sudah berlangsung perjuangan
untuk mengusir penjajah, baik dengan bentuk perlawanan bersenjata atau melalui
gerakan sosial. Gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kebebasan dari pengaruh
dan tekanan sistem kolonial dimulai dengan adanya perlawanan dari kerajaan-
kerajaan yang terlebih dulu berdiri di wilayah Asia Tenggara sebelum datangnya para
penjajah di tanah Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan yang melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme di wilayah Asia Tenggara adalah
1. Kesultanan Malaka
Pengaruh India (Hindu-Budha) berlangsung antara abad ke-1 sampai abad ke-
15, serta pernah memiliki pusat-pusat kekuasaan seperti Funan, Sriwijaya, Ayuthia
dan Majapahit. Pada abad ke-15, kekuasaan Majapahit mulai merosot, sehingga
muncul kerajaan-kerajaan yang mulai memisahkan diri dari Majapahit, termasuk
Malaka.
Menurut Tome Pires, penguasa Malaka yang pertama yaitu Parameswara
meminta Sultan Pasai agar Malaka diperbolehkan membayar impor emas sendiri
(ketika itu kerajaan Malaka di bawah pengaruh Samudra Pasai). Sultan Pasai setuju
asal penguasa Malaka masuk Islam. Usul itu ditolaknya tetapi Parameswara
membiarkan pedagang-pedagang Islam masuk ke Malaka asal membawa emas.
Barang-barang lain yang diperdagangkan di Malaka yaitu lada hitam, timah, kapur,
kayu cendana, damar dan sarang burung.
Dengan masuknya pedagang-pedagang Islam itu, Malaka semakin ramai
tetapi pengaruh Islam juga bertambah. Setelah penguasa Malaka mendapat tawaran
Putri Pasai dan setuju, akibatnya agama Islam mulai masuk istana. Menurut Tome
Pires, raja Malaka yang pertama kali memeluk Islam adalah Parameswara. Saat itu
usia Parameswara sudah 72 tahun. Setelah memeluk agama Islam, Parameswara
menggunakan gelar Megar Iskandar Syah. Namun tampaknya agama Islam belum
meresap ke masyarakat Malaka, bahkan juga di istana kerajaan Malaka. Hal ini
tampak dari nama-nama pengganti Parameswara yang masih menggunakan nama
Hindu, seperti Sri Maharaja dan Sria Prameswara Dewa Syah.
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di Malaka berturut-turut adalah
Prameswara (1400-1424), Sri Maharaja ( 1424-1444), Sri Prameswara Dewa Syah
(1444-1445), Sultan Muzzafar Syah (1445-1459), Sultan Mansyur Syah (1459-1477),
Sultan Alaudin Riayat Syah (1477-1488) dan Sultan Mahmud Syah (1488-1511).
Dari sederatan nama raja-raja Malaka tersebut, maka raja-raja Malaka yang
pertama sampai dengan yang ketiga masih bernafaskan Hindu. Sedangkan mulai
Muzaffar Syah, maka raja-raja Malaka bergelar Sultan. Ini berarti bahwa Malaka
benar-benar menjadi kerajaan atau kesultanan Islam baru dimulai pada masa
pemerintahan Muzaffar Syah. Hal ini disebabkan karena adanya revolusi istana yang
member peluang kepada orang-orang Gujarat untuk mengendalikan politik Malaka.
Kesultanana Malaka di bawah Muzaffar Syah berkembang pesat, dan
mencapai kejayaan sewaktu di bawah Mansur Syah. Namun sewaktu diperintah oleh
Sultan Alaudin Riayat Syah, kesultanan Malaka mulai mengalami kemunduran.
Semasa pemerintahannya, kerajaan-kerajaan kecil pembayar pajak seperti Pahang dan
Siak mulai berani menentang Malaka.
Kondisi dalam negeri sendiri juga mengalami kemerosotan. Tumenggung
Mutahir yang dilantik menjadi Bendahara, banyak yang menentangnya. Kalangan
umum sebenarnya menghendaki putra Tun Perak yang menjabatnya, sebab dinilai
masih berdarah Melayu.
Di samping dinilai cenderung kepada orang-orang Gujarat (Tamil Islam), Tun
Mutahir juga dinilai tamak dan mau menerima suap dari pedagang-pedagang asing. Ia
juga dinilai sombong dan tidak mematuhi adat istiadat. Jika para Bendahara
sebelumnya selalu mengawinkan putrinya dengan sultan, maka ia mengawinkan
putrinya dengan Tun Ali, yakni salah seorang menterinya. Hal inilah yang
menimbulkan perlawanan terhadap Bendahara.
Ketika Tun Mutahir bertindak sebagai hakim alam suatu peradilan perdata, ia
telah menerima suap dari dari salah satu pihak yang bersengketa. Sedangkan pihak
lainnya juga telah memberikan suap kepada Laksamana. Tindakan Bendahara
tersebut mengundang kemarahan Sultan, sehingga Sultan memerintahkan untuk
membunuh Bendahara bersama keluarganya kecuali anak-anaknya yang masih kecil
seperti Tun Hamzah dan Tun Fatimah yang akhirnya diperistri oleh Sultan.
Sepeninggal Tun Mutahir, Paduka Tuan (putra Tun Perak) diangkat menjadi
Bendahara, walaupun timpang dan lumpuh. Dengan demikian Malaka tidak
mempunyai pimpinan yang bijak serta kuat semasa negeri itu sedang mengalami
ancaman dari luar yang lebih hebat.
Di samping adanya pejabat-pejabat yang lemah, maka sistem politik negeri itu
juga melemahkan Malaka. Titik utama kelemahan politik Malaka adalah penggantian
Sultan. Di situ tidak ada aturan bahwa anak tertua mempunyai hak untuk
menggantikan ayahnya. Raja memang bisa mempersiapkan penggantinya, namun
setelah ia wafat maka yang menentukan raja baru adalah Bendahara. Dasar pilihan
bukanlah keturunan atau kecakapan namun kedekatan mereka terhadap Bendahara
maupun pembesar-pembesar istana lainnya.
Munculnya Tun Mutahir sebagai Bendahara tahun 1500 menghidupkan
kembali persaingan antara bangsawan Melayu dan Tamil dalam istana di Malaka.
Dengan demikian apabila Portugis tiba, Malaka sudah hancur karena perpecahan
dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Tun Mutahir bukan saja tidak menghormati
Sultan tetapi juga berani membatalkan perintah Sultan yang member jaminan
keselamatan kepada orang-orang Portugis semasa lawatan mereka yang pertama di
tahun 1509.
Sebaliknya, Tun Mutahir justru membuat komplotan dengan orang-orang
Tamil atau pedagang-pedagang Gujarat untuk menyerang kapal-kapal Portugis secara
mengejutkan. Dengan tindakan ini, Tun Mutahir memberikan satu alasan yang baik
kepada D’Albuquerque untuk datang dengan tentara yang besar guna menuntut ganti
rugi, atau sekaligus menaklukan Malaka.
Di samping krisis kepemimpinan, kelemahan sistem politik, Malaka juga
dilanda kelemahan ekonomi. Walaupun pelabuhan Malaka tetap ramai, namun
pelaksana perdagangan itu adalah orang asing, bahkan penjajak barang-barang pun
orang asing sedangkan penduduk Melayu hanya sebagai kuli saja. Sedangkan orang-
orang Melayu yang terlibat dalam perdagangan hanya Sultan dan para pembesar
istana. Mereka inilah yang memperoleh cukai, tol dan hadiah-hadiah dari para
pedagang.
Kondisi perdagangan di Malaka itu menyebabkan munculnya kelompok
pedagan yang berkuasa dan kaya raya di Malaka. Kesetiaan mereka kepada raja
bukan karena menghormati sultan, tetapi hanya karena kepentingan-kepentingan dan
keselamatan mereka sendiri. Untuk menjamin kepentingannya itu mereka tidak
segan-segan menyuap kepada Sultan atau pembesar-pembesar Malaka, sehingga
membuat pemerintahan di Malaka menjadi keropos.
Beberapa kelompok saudagar yang terkenal adalah Upeh, yaitu kelompok
pedagang-pedangang Jawa yang menguasai impor beras di Malaka. Kelompok ini
dipimpin oleh Utimuti Raja. Kelompok lain yang juga terkenal adalah kelompok
Keling atau Tamil yang dipimpin oleh Raja Mendaliar. Demi kepentingan dan
keselamatan sendiri, kelompok pedagang yang setia kepada Sultan itu setelah
kedatangan Portugis di Malaka juga menyatakan setia kepada Portugis.
Sultan Malaka tidak bisa mengharapkan bantuan dari kelompok saudagar-
saudagar kaya untuk mempertahankan diri dari serangan Portugis. Utimuti Raja yang
pernah sekali lagi menjanjikan bantuan kepada Sultan yang sedang terjepit itu, tetapi
terlambat. Akhirnya Portugis mengetahui sehingga Utimuti dan keluarganya dijatuhi
hukuman mati di tanah lapang agar orang Malaka tidak berani melawan Portugis.
Kelemahan ekonomi Malaka yang lain adalah bahwa makanan penduduk kota
itu sangat tergantung luar. Jika kota itu dikepung musuh, pasti akan segera jatuh.
Orang-orang Cina pernah menasehatkan kepada D’Albuquerque supaya menaklukan
Malaka dengan blokade sehingga Malaka akan mudah dikuasai karena seluruh
penduduknya kelaparan.
Kemunduran Malaka bersamaan dengan masa penjelajahan samudra oleh
bangsa-bangsa Eropa. Ketika Portugis sudah sampai di India, mereka melihat Malaka
sebagai asset perdagangan yang menguntungkan. Namun sebaliknya pedagang-
pedagang Islam merasa terancam sehingga membentuk persekutuan untuk menjaga
perairan Samudra Hindia dan Afrika sampai Timur Jauh. Pada tahun 1511
D’Albuquerque menyerbu Malaka secara besar-besaran. Para pedagang Islam
terutama dari Gujarat menasehati sultan agar menentang kedatangan Portugis itu,
sebab armada Portugis itu dinilai hanya kecil dan akan kembali ke India mennti angin
musim timur laut.
D’Albuquerque mula-mula mengajukan permohonan kepada sultan agar
membebaskan para tawanan Portugis. Permintaan itu semula ditolak tetapi setelah
Portugis membakar rumah-rumah di sepanjang pantai Upeh dan menyerang kapal-
kapal pedagang Gujarat, barulah Sultan mengabulkannya, namun diikuti dengan
persiapan perang.
Dalam menghadapi serangan Portugis, Malaka didukung oleh tentara
bayangan dari Jawa. Tentara Malaka yang dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud
dan puteranya, Ahmad, dengan naik gajah dan bersenjatakan panah beracun, namun
tidak bisa menandingi tentara Portugis dengan senapan-senapannya dan meriam jarak
jauh. Dengan demikian jatuhlah Malaka ke tangan bangsa Barat setelah berkuasa
selama seabad.
Bangsa Portugis menduduki Malaka dengan maksud menguasai perdagangan
lada dan rempah-rempah di dunia Barat yang bertitik pangkal di kota Bandar tersebut.
Maksud ini ternyata menyebabkan peranan kota itu sebagai bandar entrepot berakhir.
Sesudah tahun 1511 rute dan pusat perdagangan lada serta rempah-rempah
dipindahkan ke tempat lain.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, perdagangan laut di Asia Tenggara
tetap berjalan. Untuk mengatur perdagangan di Asia Tenggara maka dibuatlah
undang-undang laut. Undang-undang itu berisi peraturan-peraturan tentang
perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara. Setengah abad setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis, undang-undang tersebut masih berlaku dengan Makasar sebagai
pusatnya. Sampai sekarang undang-undang itu masih berlaku sebagai hukum yang
tidak tertulis (hukum adat).
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, sultan Malaka
memindahkan ibukotanya ke muara sungai Johor, sehingga kerajaan Malaka lebih
dikenal sebagai kerajaan Johor atau kerajaan Melayu (kerajaan Melayu Johor). Ketika
itu di ujung Sumatera Utara sudah berkuasa Kesultanan Aceh. Dengan munculnya
Portugis, maka Selat Malaka diperebutkan oleh tiga kekuasaan yaitu Johor, Aceh dan
Portugis.
Kerajaan Johor menguasai daerah pedalaman Malaka, Johor, kepulauan Riau
dan Lingga. Sedangkan daerah jajahannya yaitu Deli, Rokan, Siak, Kampar,
Inderagiri dan Pahang. Untuk menghindari serangan Portugis maka ibukotanya
dipindah-pindah. Sejak itu timbul permusuhan terus menerus antara Johor dan
Malaka.
Sewaktu Malaka direbut oleh Belanda tahun 1641, Johor memperoleh
kesempatan untuk merebut kembali Malaka, sebab Johor bersekutu dengan Belanda
untuk bekerjasama menyerbu Portugis di Malaka. Kesempatan itu tidak dapat
digunakan karena Johor diperintah oleh raja yang lemah. Bahkan pada tahun 1717,
raja Johor diusir oleh raja Siak dengan bantuan Daeng Parani (bajak laut Bugis di
kepulauan Riau) dengan janji akan diangkat menjadi Yamtuan Muda di Riau.
Karena Daeng Parani tidak jadi diangkat sebgai Yamtuan Muda di Riau, maka
pada tahun 1722 raja Siak diusir oleh Daeng Parani. Ia lalu mengangkat dirinya
menjadi raja Johor dengan gelar Sultan Sulaiman Badr Alam Syah. Adiknya, Daeng
Merawah, diangkat menjadi Yamtuan Muda di Riau. Secara riil kekuasaan Johor
berada di tangan orang Bugis.
Kedudukan orang Bugis ini membuat iri hati para bangsawan Melayu di
Johor. Akibatnya mereka berusaha menyingkirkan Sultan Sulaiman. Namun sikap
mereka diketahui oleh Sultan. Untuk memperkuat kedudukannya, maka pada tahun
1745 Sultan Sulaiman dengan diam-diam mengadakan perjanjian dengan Belanda
yang isinya
- Johor dan Belanda monopoli penjualan bahan pakaian di Siak
- Belanda monopoli timah di Selangor
- Kapal-kapal Belanda bebas bea di Johor.
Perjanjian tersebut menimbulkan perang antara Siak dengan Belanda: Karena
Bugis membantu Siak, maka berubah menjadi perang Bugis-Belanda. Pemimpin
Bugis yang terakhir, Raja Haji pada tahun 1782 tewas terbunuh. Karena itu pada
tahun 1785 Mahmud (bangsawan Melayu) diangkat menjadi sultan Johor tanpa
Bugis, tetapi diganti residen Belanda.
Sultan Mahmud tidak senang campur tangan Belanda itu, karena itu ia
berusaha mengusir Belanda. Untuk itu ia minta bantuan bajak laut Lanun dari
Kalimantan Utara. Tahun 1787 bajak laut Lanun dapat mengusir Belanda dari Riau,
tetapi kemudian juga mengusir sultan Mahmud.
Sultan Mahmud lalu mengajak damai dengan Belanda, tetapi ditolak. Ketika
minta bantuan Inggris ia juga ditolak. Setelah usaha minta bantuan gagal, ia membuat
koalisi dengan Trengganu, Kedah, Siak, Lingga dan Inderagiri untuk mengusir bajak
laut Lanun, Belanda dan Inggris.
Karena usaha membentuk koalisi gagal, akhirnya ia menjadi pemimpin bajak
laut Melayu. Sewaktu Malaka diduduki Inggris pada tahun 1798, ia dinobatkan lagi di
Johor dengan Raja Ali (Bugis) sebagai Yamtuan Muda. Ia berkuasa di Johor sampai
dengan tahun 1812, setelah itu kerajaan Johor pecah menjadi dua kerajaan karena
putra sultan Mahmud dua orang, yaitu Husen dan Abdurahman.
Abdurahman menjadi raja di kerajaan Melayu Riau yang berada di bawah
pengaruh Belanda, sedang Husen menjadi raja di kerajaan Melayu Johor di bawah
pengaruh Inggris. Dengan demikian kerajaan Malaka yang kemudian pindah ke
Johor, akhirnya di bawah pengaruh Belanda dan Inggris.
2. Kerajaan Ayuthia
Sebelum berdiri kerajaan Ayuthia, di Muangthai sudah ada kerajaan Sukhotai.
Kerajaan ini berdiri pada abad ke-13. Terletak di Muangthai tengah, dan akibat
pengaruh India (Hindu). Pada saat itu agama Islam sudah mulai tersebar di kerajaan
itu berkat adanya hubungan dagang yang dibangun oleh para saudagar Muslim.
Pada tahun 1350 di hilir Sungai Menam (Chao Phya) berdiri kerajaan Ayuthia
oleh Ramadipati. Ibukota kerajaan itu adalah Dwarawati Sri Ayuthia. Cita-citanya
menaklukan Sukhotai dan Chieng Mai (Muangthai Utara). Pada abad ke-14 Sukhotai
berhasil ditaklukan oleh Ayuthia.
Pada masa pemerintahan kerajaan Ayuthia, agama Islam sudah memiliki
pengaruh yang besar. Hal itu terbukti adanya kaum Muslim yang diangkat sebagai
menteri dan pejabat penting di kerajaannya. Peran kaum Muslim sebagai menteri dan
saudagar yang dekat dengan raja menjadikan mereka kelompok yang berpengaruh di
istana.
Ayuthia merupakan dasar negara nasional Muangthai sebab:
a. Ramadipati membuat hukum Siam yang berlaku sampai zaman
Chulalongkorn (Bapak Muangthai).
b. Raja Trailok (Baroma Trailokrat, 1448-1483) telah menyusun sistem
monarki Siam yang sentralistis dalam pemerintahan maupun militer.
Antara tahun 1534-1590 Ayuthia menjadi jajahan (vazal) Birma (Myanmar).
Tahun 1584 Pra Naret (putra Maha Tamaraja, raja vazal Bima di Siam) berhasil
membebaskan Siam. Pada tahun 1590 Pra Naret mengangkat dirinya menjadi raja
Ayuthia dengan gelar Narasuen. Saat itu bersamaan dengan mundurnya dinasti
Toungu di Birma, sehingga ia merebut daerah-daerah milik Birma seperti Chieng
Mai, Laos, Shan dan Jazirah Melayu.
Sewaktu dinasti Toungu bangkit lagi, ternyata berhasil merebut kembali
daerahnya. Kebetulan waktu itu di Ayuthia terjadi perebutan tahta. Narai berhasil
merebut tahta dan berusaha mempertahankan kedudukannya. Bersamaan dengan
kemenangan Narai, bangsa Barat mulai masuk di Siam.
Inggris dan Perancis diterima Narai di Ayuthia dengan harapan dapat
mencegah meluasnya kekuasaan Belanda (VOC) di Siam. Ternyata kedua bangsa
Barat itu di kemudian hari berusaha untuk menguasai Siam. Karena itu rakyat Siam
mulai mencurigai dan menentang mereka.
Pada tahun 1678 Pra Petraya memaksa Perancis meninggalkan Siam kecuali
para misionaris dan pedagang. Namun mereka pun akhirnya diusir pula. Pada selang
selanjutnya Inggris dan Belanda juga terusir dari Siam pada tahun itu pula. Dengan
demikian Pra Pretaya berhasil mengusir bangsa Barat dari Siam dan sekaligus
mempersatukan Siam, serta mengatasi masalah-masalah dalam negeri sampai tahun
1700.
Di bawah pemerintahan Maha Tamaraja II (cucu Pra Petraya), Ayuthia
melakukan ekspansi keluar. Ketika Ayuthia mencoba intervensi ke Laos, ternyata
Laos sudah dikuasai Birma dan Cina. Akhirnya Siam hanya berhasil merebut Laos
yang diduduki Birma. Sedangkan intervensi ke Kamboja gagal karena Kamboja
sudah dikuasai Vietnam.
Pada zaman raja Baromoraja V (1758-1767) Ayuthia dua kali diserang Birma
yaitu oleh raja Alaungpaya (1758) dan Hsinbuyshin (1767). Penyerbuan yang kedua
menghancurkan Ayuthia, ibukota dibinasakan dan rajanya hilang. Siam lalu
ditinggalkan oleh Birma sehingga kacau.
Ketika Siam mengalami kekacauan, muncul Phya Taksin yang menduduki
Siam sambil membersihkan sisa-sisa tentara Birma. Pada tahun 1767 itu pula ia
berhasil mengangkat dirinya menjadi raja Siam. Phya Taksin mendirikan ibukota baru
di Tanaburi (Thorburi) di sebelah Barat muara sungai Chao Phya. Sedangkan kota
Ayuthia sudah menjadi puing-puing dan tak pernah dibangun kembali.
Setelah berhasil memegang kekuasaan, ia lalu menaklukan raja-raja kecil
yang memproklamasikan diri setelah mundurnya tentara Birma. Karena banyaknya
perang yang dilakukan, ia akhirnya menjadi gila. Dalam kondisi seperti itu ada
gejala-gejala kudeta.
Sewaktu kondisi Siam tidak menentu, Phra Chulalok (Chakri) yaitu panglima
perang Phya Taksin, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Rama Tibodi
(1782-1809). Dialah pembentuk dinasti Chakri yang menurunkan raja-raja Thailand
sampai saat ini.
Nama aslinya adalah Thong Duang, lahir tahun 1736 dari keluarga Ban
Ampawa di propinsi Samut Songkram. Ia mendirikan ibukota baru di sebelah timur
muara sungai Chao Phya dan disebutnya Bangkok. Sepeninggalnya, Siam terus
berjuang menghadapi masuknya Inggris dari Birma dan Perancis dari Indocina.
3. Kerajaan Vietnam
Sewaktu dinasti Chin diperintah oleh Shih Huang Ti, Vietnam digabungkan
dengan Cina (246 BC-939 AD). Pada saat itu terjadi kolonisasi besar-besaran dari
Cina ke Vietnam, akibatnya Vietnam merupakan satu-satunya wilayah Asia Tenggara
yang paling banyak menerima pengaruh Cina. Namun karena kekuasaan Cina
mengalami pasang surut, Vietnam juga mengalami masa penjajahan tetapi juga masa-
masa kemerdekaan, sehingga punya nasionalisme tradisional.
Pada saat dijajah Cina, Tongkin dan Annam dijadikan sebuah propinsi yang
disebutnya sebagai Nam-Viet (Propinsi Selatan). Di propinsi ini bangsa Vietnam
diserahi untuk mengatur pemerintahan sendiri. Ibukotanya adalah Hanoi, tempat
kedudukan gubernur Cina.
Selama dalam masa penjajahan Cina, terjadi tiga kali pemberontakan besar
dari bangsa Vietnam untuk memperoleh kemerdekaan. Pertama kali pada tahun 544-
547, yang kedua tahun 590, dan yang ketiga tahun 600-602. Namun ketiga-tiganya
gagal karena Cina sangat kuat.
Pada tahun 907, pada saat dinasti Tang jatuh, timbullah gerakan kemerdekaan
lagi. Gerakan kemerdekaan ini baru berakhir pada tahun 939. Dengan demikian
sejarah Vietnam merdeka baru dimulai tahun 939, yakni setelah bangsa Vietnam
dapat membebaskan diri dari penjajahan Cina.
Pahlawan kemerdekaan Vieetnam pada saat itu adalah Ngo Quyen, pendiri
dinasti Ngo (939-968) dengan kerajaannya Dai-co-viet. Selanjutnya aa 15 dinasti
yang memegang pemerintahan kerajaan itu. Kerajaan ini wilayahnya mula-mula
adalah Nam-Viet (Tongkin dan Annam), serta tak pernah minta pengakuan dari Cina.
Dalam perjalanan selanjutnya, Vietnam pernah jatuh ke tangan Cina lagi.
Tahun 1418 Le Loi melakukan gerakan kemerdekaan, dan baru tahun 1428 berhasil
memproklamasikan kemerdekaanya. Untuk menghilangkan kemarahan Cina dan
menghindari serangannya lagi, maka ia dan keturunannya meminta pengakuan Cina.
Sampai abad ke-15 (1471), sejarahnya adalah sejarah perang rebut kuasa dengan
kerajaan Champa, yang berakhir dengan runtuhnya kerajaan Champa itu. Karena
kemenangannya itu, maka bangsa Vietnam menjadi bangsa yang dominan. Bangsa
Champa terasimilir ke dalam bangsa Vietnam, baik politik maupun kultural sampai
sekarang.
Pada tahun 1570 dinasti Le Loi pecah menjadi tiga yaitu
a. Keluarga Mac: berkuasa di Tongkin dengan Hanoi sebagai ibukota.
b. Keluarga Trinh: yang memerintah atas nama dinasti Le. Berkuasa di
Thanh Hoa, Nghe Anh dan Ha Tinh dengan Tay Lo sebagai ibukota.
c. Keluarga Nguyen: juga atas nama dinasti Le, mengasai propinsi
Selatan dengan Quangtri sebagai ibukota.
Dalam perkembangannya, dinasti Mac diusir keluarga Trinh. Sejak itu timbul
konflik antara keluarga Trinh dan keluarga Nguyen (1620-1672). Di dalam
peperangan antara keluarga Trinh melawan keluarga Nguyen tidak ada yang menang
dan tidak ada yang kalah. Nguyen lebih baik dalam perlengkapan senjatanya, serta
mendapat bantuan dari Portugis. Sedangkan Trinh memiliki man power yang unggul.
Adapun faktor-faktor yang merupakan rintangan bagi Trinh adalah:
a. Dinding-dinding besar yang didirikan oleh Nguyen di utara Hue.
b. Adanya kerajaan Mac di utara yang sering muncul.
Dengan berakhirnya peperangan antara kedua pihak pada tahun 1672, maka
keadaan menjadi damai kembali, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri.
Trinh memusatkan perkembangan kekuasaannya di Tongkin, sedangkan Nguyen
mengadakan ekspansi ke selatan. Sebagai akibat ekspansi yang dilakukan adalah:
a. Bangsa Champa dan Khmer makin menderita
b. Tersebarnya pengaruh Annam ke daerah-daerah tersebut.
Berkat ekspansinya ke selatan, Nguyen berhasil menjadikan Udong dan
Saigon sebagai vazal-vazalnya pada tahun 1673. Pada tahun 1677 Ang Non, penguasa
Saigon, berusaha menduduki tahta di Kamboja, Ang Sor, raja Kamboja minta bantuan
kepada Siam dan berhasil mengalahkan Ang Non. Yang akhir ini lari ke Annam
untuk minta bantuan Hien Vueng.
Bersamaan waktunya datang pula di Tourane sejumlah 3000 orang pelarian
bangsa Cina di bawah dua orang pemimpinnya yang bernama Yang dan Ch’en.
Mereka ini adalah partisan dari dinasti Ming yang pada waktu itu mengalami
kekalahan di Cina.
Oleh Hien Vueng, mereka itu diserahkan kepada Ang Non yang membawa
mereka menduduki daerah Bien-Hoa. Sedangkan Yang beserta bawahannya menuju
ke Mitho. Yang terakhir ini nantinya akan menjadi raja bajak sungai. Kemudian
dimulai lagi perebutan tahta Kamboja antara Ang Sor dan Ang Non. Akhirnya
Annam berhasil memaksa Ang Sor untuk mengakui kekuasaan Annam. Juga Ha-Tien
yang terletak di teluk Siam akhirnya menjadi daerah vazal Annam. Adapun yang
diangkat sebagai gubernur di situ ialah seorang pelarian bangsa Cina lainnya yang
bernama Mac Cuu.
Sewaktu Siam dibawah Phya Taksin, maka terjadilah perebutan pengaruh di
Kamboja antara Annam dan Siam. Suatu keuntungan bagi Siam, karena bertepatan
waktunya di Annam timbul kekacauan yaitu dengan berkobarnya pemberontakan
Tayson tahun 1773. Pemberontakan ini berhasil meruntuhkan keluarga Trinh dan
Nguyen.
Pada tahun 1802 pemberontakan Tayson membubarkan diri karena tujuanya
tidak jelas. Sewaktu pemberontak bergerak ke Vietnam Utara, Nguyen Phuch Anh
(keluarga Nguyen) menyatakan kemerdekaannya dan mengangkat dirinya di Vietnam
Selatan dengan Gia Liong. Setelah perlawanan Tayson berakhir maka Gia Liong
menguasai seluruh Vietnam.
Pada masa pemerintahan Gia Liong, hubungan dengan Perancis berlangsung
damai. Namun pengganti-penggantinya seperti Minh Mang, Thieu Tri dan Tu Duc
melawan Perancis. Dengan alasan melindungi orang-orang Katolik yang dikejar-kejar
oleh pemerintah Vietnam, maka Perancis melancarkan pendudukan ke Vietnam.
Setapak demi setapak Perancis merebut Vietnam sehingga sejak 1883 Vietnam
dijajah Perancis.
4. Keraajaan Birma
Pada tahun 1404 lahirlah kerajaan Pagan dari bangsa Birma. Kerajaan Pagan
runtuh karena adanya invasi tentara Mongol masa kaisar Kubhilai Khan, yang terjadi
antara tahun 1271-1287, sehingga sejak tahun 1287 Pagan menjadi vazal Cina.
Pada tahun 1299 suku Shan berhasil membangun kerajaan Shan di Birma
serta melepaskan Birma dari kekuasaan Cina. Pada saaat itu Pagan dimusnahkan,
sedang raja Kyaswa yang pro Cina dibunuh. Dan pada tahun 1301 kerajaan Shan
mengirim upeti ke Cina. Mula-mula ibukota Shan di Myinsaing, kemudian dipindah
ke Pinya (1312).
Pada tahun 1315 kerajaan Shan pecah menjadi dua yaitu Pinya dan Sagaing.
Kedua kerajaan ini saling bersaing, sehingga akhirnya pada tahun 1365 kedua
kerajaan itu dengan mudah dimusnahkan oleh suku Shan yang lain (suku Maw) yang
dipimpin Mohyin. Namun kerajaan Sagaing muncul lagi dan mendesak penguasa
yang lain serta membangun ibukota baru di Ava. Tetapi pada tahun 1527 Ava
ditaklukkan oleh keturunan Mohyin.
Sementara itu orang-orang Birma yang terdesak suku Shan lalu mendirikan
benteng di atas bukit atau kerajaan Toungu. Raja Toungu yang terbesar adalah
Bayinaung. Raja tersebut memaksa Siam mengganti kalender Mahasakarat (78 AD)
dengan kalender Birma yakni Chula Akarat (638 AD) sampai zaman Chulalongkorn
yang menggantinya dengan kalender Gregorian.
Bangsa Birma berhasil merebut Ava dan menjadikan kota itu sebagai ibukota.
Namun kota itu lalu direbut suku Mon dan dihancurkan. Pada saat Toungu diperintah
oleh Aungzea (1752-1760), maka Ava direbut kembali. Namun karena kota itu sudah
rusak maka Aungzea yang kemudian bergelar Alaungpaya membangun ibukota baru
di Rangoon (sekarang Yangoon). Alaungpaya ini kemudian membangun dinasti baru
yang disebut dinasti Aonbaung.
Pada masa Birma diperintah Alaungpaya, Inggris memmbantunya untuk
menyatukan Birma. Dengan demikian Inggris berharap agar Birma bisa berfungsi
sebagai benteng menghadapi Perancis di Indocina. Ketika Alaungpaya masih hidup,
Inggris bersahabat dengan Birma, tetapi setelah Alaungpaya meninggal, maka mulai
timbul pertentangan antara Inggris dengan Birma.
Pada tahun 1794 Arakan berontak. Sewaktu mengejar kaum pemberontak
tentara Birma menyeberang perbatasan India. Peristiwa ini dipergunakan Inggris
untuk memaksa Birma menerima perwakilannya.
Di kemudian hari insiden-insiden semacam itu menjadi alasan Inggris untuk
menyerbu dan menguasai Birma. Akibatnya berkobar perang Birma-Inggris sampai 3
kali.
1. Perang Birma I (1824-1826)
Sebab-sebabnya tentara Birma dibawah Maha Bandula (Panglima perang Raja
Bagjidav), menduduki Assam dan Manipur. Karena tentara Birma selanjutnya lebih
sedehana, maka kalah di segala medan perang. Karena itu terpaksa menandatangani
perjanjian Yandabu ,yang isinya
a. Birma beri ganti satu juta poundsterling.
b. Penyerahan Assam, Manipur, Tenasserin dan Arakat kepada Inggris.
c. Birma tidak intervensi ke India.
d. Penempatan residen Inggris di Ava.
2. Perang Birma II (1852-1853)
Perang ini berkobar pada saat Birma di bawah Pagan Min yang kejam. Sebab-
sebabnya raja merampas dan menahan dua nahkoda Inggris yang dianggap menghina
Birma. Inggris menuntut ganti rugi dan pergantian Gubernur Pegu, tetapi ditolak.
Inggris dipimpin Jenderal Godwin dan Komodor Lambert. Rangoon jatuh ke
tangan Inggris. Raja Pagan Min diganti Midon Min. Ia memindahkan ibukota
Birma dari Rangoon ke Mandalay.
3. Perang Birma III (1885)
Sewaktu Birma di bawah raja Thibaw, terjadi persekutuan dengan Perancis.
Karena merasa ada pendukungnya, maka Birma menasionalisasi firma. Inggris di
Birma, sehingga Inggris mengancam Thibaw.
Setelah Thibaw menolak ultimatum Inggris, maka Inggris menyerbu
Mandalay. Thibaw ditangkap dan diasingkan ke India. Karena itu sejak 1886 Birma
menjadi jajahan Inggris.
Gerakan Sosial di Pedesaan
Dengan adanya perubahan pelaksanaan politik yang dilakukan oleh penjajah
terhadap kawasan pedesaan, maka gerakan sosial petani pedesaan di Asia Tenggara,
khususnya di Indonesia pada abad ke-19 sudah mulai memperlihatkan bentuk
gerakannya yang jelas. Aksi-aksi dalam bentuk fisik yang dilakukan oleh masyarakat
itu telah menuju kepada sasaran yang terarah.
Sebelum abad ke-19 pemerintah kolonial seakan-akan membiarkan kawasan
pedesaan diperintah secara tidak langsung oleh penguasa-penguasa pribumi dengan
pengawasan yang tidak terlalu ketat, maka pada abad ke-19, para penguasa Barat
telah merubah kondisi itu ke arah pemerintah langsung dan dengan pengawasan
langsung pula.
Masyarakat pedesaan yang dalam sejarahnya senantiasa berorientasi kepada
pola pemerintah yang tradisional di mana pusat kekuasaan itu berada di tangan
seorang penguasa yang ditetapkan menurut nilai tradisional pula, dengan adanya
perubahan politik yang dilaksanakan oleh penguasa Barat itu, mengalami
kegoncangan. Timbulnya kegoncangan dalam kehidupan masyarakat petani di
pedesaan, adalah sebagai akibat telah terjadinya pertemuan dua sistem sosial yang
sangat berbeda.
Adapun perbedaan sistem sosial itu adalah bahwa penguasa Barat berusaha
memperkenalkan suatu sistem sosial dan politik yang sama sekali asing dalam
pandangan pemikiran para petani di pedesaan. Sedang di pihak lain, sistem sosial dan
politik tradisional masih berakar dalam kehidupan para petani dan mereka berusaha
mempertahankan kondisi itu.
Kolonialisme Barat abad ke-19 mempunyai pengaruh yang merugikan atas
pertumbuhan sosial, khususnya menghalang-halangi atau melambatkan pertumbuhan
kaum borjuis yang cukup besar di kalangan penduduk seperti di Indonesia ini, di
mana perekonomian kapitalis yang dimasukkan di daerah itu biasanya untuk
memberikan keuntungan kepada kaum penguasa asing, bukan lagi penguasa pribumi.
Penguasa Barat itu juga memperkenalkan sistem sosial dan politik, terutama
yang menyangkut sistem administrasi gaya Barat. Bahwa di dalam suatu institusi
sosial, termasuk politiknya, harus ada suatu norma yang teratur yang bekerja secara
mekanis untuk kepentingan institusi itu. Tiap-tiap bagian dari institusi itu harus ada
orang yang mengendalikannya dan bertanggungjawab secara teratur pada jenjang
yang lebih atas. Pola kehidupan pemimpin harus di atur oleh undang-undang dan dia
harus mempunyai pertanggungjawaban terhadap jabatan yang dipegangnya.
Sistem sosial dan politik Barat ini tentu berakibat terhadap sistem sosial
tradisional. Sebab pada kenyataannya seorang pemimpin dalam dunia tradisional
adalah bagian dari kehidupan suatu sistem yang berlaku dalam masyarakat. Atas
dasar tersebut, maka tidaklah mengherankan bila pusat kekuasaan atau kekuatan
berada dalam diri si pemimpin. Kemudian rakyat adalah juga merupakan bagian dari
kehidupan di pemimpin. Rakyat bekerja untuk si pemimpin tanpa ada undang-undang
yang mengaturnya.
Sistem administrasi Barat atau birokrasi modern diikuti dengan sistem
perpajakan. Perkenalan sistem pajak ini semakin menyuburkan gerakan sosial di
pedesaan. Hal ini disebabkan, karena kedua sistem Barat itu secara langsung telah
mencampuri kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan. Sistem sosial yang
telah establishet dari dunia tradisional, tiba-tiba mengalami kegoncangan dalam
kehidupan masyarakat. Sistem baru yang diperkenalkan oleh Barat itu, dianggap
sebagai penyebab utama terjadinya kegoncangan dalam dunia mereka. Dan reaksi
yang mereka perlihatkan dalam bentuk aksi yang kemudian berkembang menjadi
pemberontakan, adalah sebagai akibat langsung dari suatu usaha untuk menata
kembali sistem sosial yang telah dirusak oleh penguasa Barat.
Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah jajahan lalu menerapkan sistem
administrasi modern dan sistem perpajakan di masyarakat. Tujuan pemerintah jajahan
disini, adalah jelas untuk menghilangkan sistem administrasi tradisional yang
dianggap sudah tidak efektif lagi, semrawut dan sukar untuk dikontrol. Lalu sistem
perpajakan untuk meningkatkan pendapatan pemerintahan jajahan. Dalam sistem
pajak baru itu, tidak seorang petani pun yang dapat lolos dari cengkeraman pajak
pemerintah jajahan. Dalam menetapkan pajak itu meliputi seluruh harta benda petani
dan hasil produksi pertanian dan perkebunan mereka. Adapun pajak-pajak itu berupa
pajak tanah, pajak rumah, pajak kebun, pajak sawah, pajak harta benda, pajak jalan,
pajak barang bawaan, pajak orang dan lain-lain.
Semua jenis penetapan pajak ini, merupakan hal yang sama sekali baru bagi
masyarakat pedesaan. Akan tetapi bagi pemerintah jajahan, tanpa melihat kondisi
sosial budaya masyarakat, langsung melaksanakan sistem perpajakan itu di
masyarakat. Karena itu wajarlah bahwa kehidupan petani mengalami kegoncangan.
Di samping itu, sistem perpajakan ini menyangkut masalah ekonomi, masalah
pendapatan petani, terutama pada kelompok petani pemilik tanah (tuan tanah) dan
kelompok penguasa pribumi yang secara turun temurun berkuasa di pedesaan sebagai
penguasa tradisional.
Para kelompok petani itu pada kenyataanya beranggapan bahwa dua sistem itu
telah mengganggu unsur stabilitas sosial budaya mereka yang dianggap telah mapan
itu. Mereka, yang selama beberapa generasi hidup aman dan tenteram telah terganggu
oleh intervensi dari luar. Kepincangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
termasuk di dalamnya merosotnya nilai kehidupan tradisi, disebabkan oleh ulah
tingkah laku orang-orang yang telah terpengaruh oleh unsur yang dating dari luar.
Melihat nilai tradisi mereka yang telah kacau balau itu, maka untuk
mengembalikan ke situasi semula yang dianggapnya paling sesuai dengan jiwanya
sebagai tradisi budaya leluhur, mereka pun mengadakan reaksi. Mereka beranggapan
bahwa dunia yang damai, tenteram dan aman hanya dapat terwujud kembali apabila
semua anggota masyarakat kembali kepada budaya leluhur. Alternatif lain tidak ada,
dan unsur yang menyebabkan itu harus dihilangkan.
Dengan anggapan seperti itulah yang menyebabkan banyak pemberontakan-
pemberontakan yang dilakukan oleh petani di Asia Tenggara. Pemberontakan-
pemberontakan tersebut adalah
Pemberontakan Petani di Myanmar
Pemberontakan petani di Myanmar (Birma) muncul pada tahun 1930.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan rakyat Myanmar ke masa
sebelum terjadi perubahan sosial yang dibawa oleh penguasa-penguasa Barat
(Inggris). Tokoh pemberontakan petani di Myanmar itu berasal dari kelompok
religius Budha dan dikenal dengan panggilan Saya San. Meskipun Saya San berasal
dari kelompok religius, tetapi gerakan petani di Myanmar bukanlah bertujuan agama
melainkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi rakyat.
Pemberontakan petani Myanmar yang dipimpin oleh Saya San itu termasuk
gerakan atau pemberontakan yang fanatik. Setelah merasa kekuatannya cukup, Saya
San segera mengerahkan para petani yang menjadi pengikutnya untuk menyerang
kawasan militer yang di dalamnya juga terdapat kelompok administrasi yang sangat
dibencinya. Dengan semangat yang fanatik pula, Saya San melabrak kekuatan militer
Inggris yang jauh lebih kuat, tanpa memperhitungkan kekuatannya sendiri. Karena
didasari mati suci untuk bangsa, negara dan agama, maka berkobarlah pertempuran
yang irasional.
Karena kekuatannya tak sebanding, Inggris dengan mudah sekali menumpas
pemberontakan itu. Inggris menangkap 900 orang pengikut Saya San. Dan 128 orang
diantaranya (termasuk Saya San) dihukum mati. Walaupun pemberontakan itu
berlangsung singkat, tetapi keberaniannya telah menggugah golongan terpelajar
bangkit dan kemudian membentuk gerakan nasional.
Pemberontakan Petani di Filipina
Pemberontakan petani di Filipina berkobar pada tahun 1890-an, dipimpin oleh
Guarda de Honor. Sedangkan pusat pemebrontakan di Barrio Cabaruan. Gerakan
Guarda ini berhasil mengumpulkan pengikut ribuan jumlahnya, dengan tujuan untuk
memperbaiki kehidupan ekonomi pada petani yang banyak diperlakukan tidak adil
oleh tuan tanah. Mereka berjuang untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi
mereka.
Perlawanan petani di Filipina ini banyak ditujukan untuk kelompok tuan tanah
dari pada penguasa kolonial Filipina (Spanyol). Ini disebabkan karena sistem politik
tradisional Filipina adalah berdasar kepada sistem politi keluarga. Dan keluarga yang
berkuasa itu adalah para pemilik-pemilik tanah yang luas.
Pemberontakan petani di Filipina tersebut berakhir pada 1901 setelah pasuka
Amerika Serikat melumpuhkan kekuatan mereka. Sisa-sisa pengikut Garuda yang
masih sekitar 25.000 orang di Cabaruan dibubarkan oleh pemerintah kolonial
Amerika Serikat, yang ternyata lebih kuat dari pemerintah kolonial Spanyol yang
digantikan tahun 1898.
Pemberontakan Petani di Vietnam
Sebelum perang Dunia II, di Vietnam muncul tokoh petani yang dikenal
dengan nama Cao Dai. Jika dibanding dengan pengikut Guarda di Filipina, maka
pengikut Cao Dai ini jauh lebih banyak karena mencapai ratusan ribu orang serta
tersebar di seluruh Vietnam.
Tujuan pemberontakan Cao Dai adalah menentang penjajah Barat dalam
semua aspek kehidupan. Pengikut Cao Dai tidak hanya terbatas pada petani pedsaan,
tetapi juga penduduk kota, itulah sebabnya gerakan Cao Dai merupakan lawan yang
terberat yang dihadapi pemerintah kolonial Perancis di Vietnam.
Pemberontakan Petani di Malaysia
Pemberontakan petani di Malaysia meletus pada tahun 1915 dipimpin oleh
Tok Janggut ( Haji Mat Hasan). Latar belakang dari pemberontakan tersebut adalah
ketika Tok Janggut dan pengikutnya merasa dirugikan dengan adanya sistem cukai
yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Inggris di Malaysia. Dalam aksinya Tok
Janggut menyerang tentara Inggris di Kelantan. Namun dengan mudahnya Inggris
dapat melumpuhkannya karena perbedaan teknologi yang amat jauh.
Pemberontakan Petani di Indonesia
Pemberontakan petani yang ada di Indonesia berpusat di Blora, Jawa Tengah
pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 ketika sistem administrasi modern atau
sistem pajak belumlah dikenal.
Bertolak dari kondisi tersebut, rakyat di pedesaan Blora lalu mengadakan
reaksi terhadap dua sistem baru yang berusaha dipaksakan dalam kehidupan institusi
sosial mereka. Kecuali dua sistem baru itu, gerakan mereka juga dirangsang oleh
tekanan ekonomi yang melilit kehidupan mereka sebagai akibat dari pelaksanaan
pajak dari pemerintah jajahan.
Wilayah Blora tidak termasuk daerah yang subur. Dengan penarikan pajak
yang beraneka ragam jenisnya itu, tentulah cukup menyiksa kehidupan para petani
Blora secara keseluruhan. Dengan kondisi sosial yang demikian ini, maka reaksi
sosial yang muncul di masyarakat cepat berkembang dalam waktu yang relatif
singkat.
Melihat reaksi yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan Blora itu pihak
pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk menghadapinya dengan sangat serius.
Hal ini disebabkan karena Belanda sangat takut adanya unsur fanatisme yang terdapat
dalam gerakan sosial itu.
Gerakan petani di pedesaan Blora itu dipimpin oleh Samin. Tokoh Samin
adalah seorang pemimpin yang buta aksara latin. Mula-mula Samin mendapatkan
pengikut dari kalangan penduduk di kampungnya. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya Samin mendapatkan pengikut yang ribuan jumlahnya. Pemimpin petani
Blora itu bukanlah berasal dari lapisan bawah atau lapisan petani. Tokoh yang nama
lengkapnya Kyai Samin Surosentiko itu justru dari lapisan atas atau lapisan aristokrat.
Sasaran protes dari gerakan Samin ini adalah mengenai sistem perpajakan
yang telah diterapkan dalam kehidupan mereka. Selanjutnya gerakan ini juga
menentang tradisi sosial budaya yang telah berlaku di dalam masyarakat Jawa.
Gerakan Samin mempunyai konsep hidup sendiri yang dapat dikatakan
terlepas dari tradisi yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Ini adalah suatu
perkembangan baru dari suatu kelompok sosial anggota masyarakat yang berusaha
menciptakan suatu sistem baru dalam pranata sosial yang sedang berlaku.
Dalam perkembangannya, gerakan Samin tidak bisa bergerak bebas dalam
masyarakat, disamping adanya pengawasan yang ketat dari penjajah, tetapi juga
lokasi yang menjadi pusat pergerakan itu terlampau kecil dan sistem komunikasi pada
saat itu sangat menyedihkan.
Penangkapan atas diri Samin yang diikuti dengan pembuangannya ke
Sawahlunto, berakibat fatal bagi gerakan Samin itu. Setelah Samin tertangkap pada
tanggal 8 November 1907, maka pengikutnya lalu terpecah-pecah dan kemudian
berkembang menjadi aliran metafisika atau spiritualisme yang berorientasi kepada
kehidupan yang bersifat abstrak. Namun, tingkah lakunya dalam dunia realitas tetap
memperlihatkan sikap protes terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah
jajahan, terutama dalam hal yang menyangkut pembayaran pajak.
Samin dan pengikutnya selain menentang pembayaran cukai juga menolak
perkawinan model Islam yang berlaku dalam masyarakat, juga menolak tabungan
desa untuk kepentingan bersama. Pajak menurut Samin dan pengikutnya, tidak lebih
dari suatu derma yang tidak dapat dipaksakan oleh siapa pun. Dan karena pajak
merupakan derma, maka setiap orang dapat membayar atau tidak membayar derma
itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa pra nasionalisme di wilayah Asia Tenggara, sudah berlangsung
gerakan-gerakan yang menentang adanya kolonialisme. Gerakan-gerakan tersebut
dilakukan dengan perlawanan bersenjata yang dimulai pada abad XVI dan gerakan
sosial yang baru berlangsung sekitar abad XIX.
Ketika pengaruh-pengaruh asing masuk di wilayah Asia Tenggara dan
pengaruh-pengaruh yang ada justru merugikan bagi wilayahnya maka tak
mengherankan muncul banyak sekali reaksi dari kerajaan-kerajaan yang lebih dahulu
berdiri di wilayah tersebut. Kerajaan-kerajaan itu diantaranya kesultanan Malaka,
kerajaan Ayuthia, kerajaan Vietnam dan kerajaan Birma.
Selain reaksi yang ditunjukan oleh para penguasa tradisional, masyakarat
lapisan bawah (petani) juga melakukan sebuah reaksi yang tak kalah semangat untuk
menghapuskan sistem dari penjajah dalam menanamkan pengaruh dan kebijakan
yang merugikan rakyatnya. Aksi-aksi tersebut terjadi di wilayah Myanmar, Filipina,
Myanmar, Malaysia dan Indonesia.
Inti dari adanya perjuangan-perjuangan tersebut adalah agar mereka bebas
menentukan arah kehidupan mereka sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak lain
(merdeka).
DAFTAR PUSTAKA
Wiharyanto Kardiyat. 2005. Asia Tenggara Zaman Pranasionalisme. Yogyakarta.
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sudharmono. 2012. Sejarah Asia Tenggara Modern dari Penjajahan ke
Kemerdekaan. Yogyakarta. Obor.
Reid Anthony. 1992. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia.
Hall DGE. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya. Usaha Nasional.