1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Gumuk pasir pada umumnya dijumpai di wilayah beriklim gurun (Pye and
Tsoar, 2009). Tenaga utama pembentuk gumuk pasir adalah angin. Gumuk pasir
di wilayah pesisir Parangtritis terletak di wilayah beriklim tropis basah merupakan
fenomena fisik lingkungan yang langka dengan tipe barkhan atau bulan sabit
(Verstappen, 2013 : Sunarto, 2014). Secara klimatologis, iklim tropis basah di
wilayah khatulistiwa dilewati beberapa jenis angin, seperti angin pasat dan angin
monsun (Bayong, 2004). Angin ini berperan sebagai tenaga pengangkut material
pasir dalam pembentukan gumuk pasir. Hal menarik adalah bahwa keberadaan
gumuk pasir barkhan Parangtritis merupakan satu-satunya bentukan gumuk pasir
di Asia Tenggara (Simoen, 1996).
Iklim tropis basah di Pulau Jawa menyebabkan curah hujan dan temperatur
yang tinggi (Bayong, 2004). Curah hujan tinggi mempercepat proses fluvial
(sungai) dalam membawa material pasir yang bersumber dari Gunungapi Merapi
menuju muara sungai di laut. Wilayah dengan temperatur tinggi merupakan
wilayah tujuan angin, karena angin bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi
dengan temperatur rendah menuju wilayah bertekanan rendah yang memiliki
temperatur tinggi (Pye and Tsoar, 2009). Angin tersebut menyebabkan terjadinya
proses aeolian dan membentuk gumuk pasir, seperti pada gumuk pasir
Parangtritis. Faktor morfologi pesisir yang landai, sinar Matahari intensif, adanya
akumulasi material pasir dari sungai yang bermuara di sekitar kawasan gumuk
pasir, dan terdapat bukit penghalang mendukung terbentuknya gumuk pasir
(Widodo, 2003). Faktor pendukung ini terdapat di wilayah pesisir Parangtritis.
Wilayah pesisir dengan gumuk pasirnya bermanfaat dalam mengurangi
risiko bencana kepesisiran (Sunarto, 2008). Gumuk pasir berfungsi sebagai
peredam getaran gempa tektonik, tsunami, dan intrusi air laut (Widodo, 2003 :
Sunarto, 2008). Tekstur pasir pada gumuk pasir mampu meredam getaran gempa
tektonik. Morfometri gumuk pasir yang membentang sekitar 2 kilometer dengan
2
ketinggian maksimal 15 meter (Verstappen, 2013), berfungsi meredam hantaman
gelombang tsunami. secara hidrologis, berfungsi sebagai wilayah imbuhan
airtanah atau recharge area (Sujatmiko, 2009). Melalui proses infiltrasi dan
perkolasi, air hujan yang tertangkap di gumuk pasir akan menjadi airtanah bersifat
tawar. Ketersediaan airtanah tawar di wilayah pesisir dapat mencegah terjadinya
intrusi air laut.
Gumuk pasir dan kawasan pesisir Parangtritis menjadi daya tarik
wisatawan karena keindahan dan kemudahan aksesibilitas (Torrido, 2012). Wisata
pantai dan seluncur pasir (sand boarding) menjadi daya tarik utama yang sesuai
dengan kondisi fisik pesisir dan gumuk pasir Parangtritis (Pemkab Bantul, 2015).
Kondisi ini berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata di kawasan gumuk pasir
Parangtritis. Berkembangnya pariwisata di kawasan pesisir Parangtritis
berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat dan
investor yang menanamkan modal (Triyono, 2009). Pariwisata yang berkembang
pesat dengan diikuti pembangunan bangunan di kawasan gumuk pasir Parangtritis
menyebabkan hilangnya tipe gumuk pasir barkhan Parangtritis yang pernah ada.
Bangunan, pertanian lahan pasir, dan hutan belukar yang berkembang di
kawasan gumuk pasir Parangtritis terus mengalami peningkatan. Hasil penelitian
Fakhruddin, dkk (2010) menunjukkan bahwa dari tahun 1972 hingga 2010 luas
gumuk pasir Parangtritis-Parangkusumo mengalami penurunan dari 393,755 ha
menjadi 173,508 ha. Sujatmiko (2009) menunjukkan peningkatan bangunan
losmen dan hotel yang semula 156 unit pada tahun 2000 menjadi 182 unit pada
tahun 2006 atau meningkat 16,67 %. Peningkatan jumlah bangunan didukung oleh
aksesibilitas berupa pembangunan jalan Parangtritis - Depok. Keberadaan jalan
pendukung ini menjadi penyebab berkembangnya bangunan di kawasan gumuk
pasir Parangtritis.
Bangunan tumbuh berkembang akibat alih fungsi lahan, yakni dari lahan
konservasi menjadi lahan terbangun dan budidaya. Pemahaman antroposentris
serta orientasi ekonomi memicu ancaman urbanogenik dan agrogenik yang
menyebabkan pemanfaatan lahan terbangun dan budidaya berkembang pesat
(Sunarto, 2014). Perubahan seperti ini dapat mengancam kelestarian gumuk pasir
dengan menghambat proses alami perkembangan gumuk pasir dan merusak tipe
3
gumuk pasir barkhan yang langka. Bangunan berpengaruh terhadap arah dan
kecepatan angin (Gao et.al., 2012 ; Razak et.al., 2013). Adanya bangunan di
kawasan gumuk pasir dapat berpengaruh terhadap angin dalam membawa material
pasir yang akan diendapkan pada gumuk pasir. Gerakan material pasir menjadi
terganggu oleh bangunan dan menyebabkan berkurangnya imbuhan pasir yang
menuju ke gumuk pasir.
Pertumbuhan bangunan yang ada di kawasan gumuk pasir Parangtritis
seakan-akan tidak menjadi masalah serius. Undang-undang (UU) Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan
Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2030 , mengamanatkan bahwa kawasan gumuk
pasir dapat menjadi kawasan cagar alam atau kawasan konservasi yang harus
dilindungi. Mengingat bahwa gumuk pasir dengan tipe barkhan di pesisir
Parangtritis merupakan fenomena fisik lingkungan yang langka dan perlu
dilestarikan. Undang-undang ini merupakan kepedulian negara dalam
melestarikan gumuk pasir.
Pemerintah, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan akademisi
bekerjasama dalam upaya penyelamatan gumuk pasir barkhan Parangtritis dengan
melibatkan masyarakat setempat. Upaya penyelamatan gumuk pasir barkhan
Parangtritis dilakukan dengan rencana restorasi kawasan gumuk pasir Parangtritis.
Restorasi gumuk pasir Parangtritis ditandai dengan penentuan zonasi kawasan
gumuk pasir Parangtritis. Zonasi kawasan gumuk pasir Parangtritis terdiri atas
zona inti, zona terbatas, dan zona penunjang / pendukung. Zona inti diperuntukan
sebagai wilayah khusus konservasi gumuk pasir barkhan dengan bebas dari segala
jenis hasil aktivitas manusia, seperti bangunan dan vegetasi. Zona terbatas
diperuntukan sebagai bagian dari kawasan gumuk pasir dengan penggunaan lahan
yang dibatasi. Zona penunjang / pendukung diperuntukan sebagai penunjang atau
pendukung proses pembentukan gumuk pasir Parangtritis. Zonasi ini telah
diresmikan pada 11 September 2015 disertai peresmian Parangtritis Geomaritime
Science Park oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Menteri
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir (Tempo, 2015).
4
Gumuk pasir Parangtritis bersifat dinamis. Berbagai ancaman akibat
aktivitas manusia dapat menyebabkan gumuk pasir mengalami degradasi
(Widodo, 2003 ; Sunarto, 2014). Perlu diketahui bahwa gumuk pasir memiliki
manfaat yang tidak ternilai bagi kehidupan masyarakat, baik manfaat pendidikan,
penelitian, pariwisata dan pengurangan risiko bencana. Manfaat dari gumuk pasir
perlu dijaga dan dilestarikan demi keberlanjutan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang, dapat dirumuskan dalam pertanyaan
permasalahan sebagai berikut :
1. Berapa besar pengaruh bangunan terhadap arah angin dan kecepatan angin di
zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis ?
2. Bagaimana karakteristik granulometri material pasir yang tertahan oleh
bangunan di zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis ?
3. Bagaimana distribusi endapan pasir yang tertahan oleh bangunan di zona
pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan, tujuan dari penelitian
adalah :
1. Mengidentifikasi pengaruh bangunan di zona pendukung dan zona terbatas
gumuk pasir Parangtritis terhadap arah angin dan kecepatan angin.
2. Memperbandingkan berat pasir dan karakteristik granulometri pasir di lokasi
tenggar (bebas hambatan) dengan di lokasi terpengaruh bangunan di zona
pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis.
3. Memperbandingkan distribusi keruangan pasir yang tertahan oleh bangunan di
zona pendukung dan zona terbatas gumuk pasir Parangtritis.
5
1.4. Sasaran Penelitian
1. Tersedianya data hasil penelitian pengaruh bangunan terhadap transportasi
material pasir oleh angin di kawasan gumuk pasir Parangtritis.
2. Terwujudnya bukti akademis seberapa besar pengaruh bangunan terhadap
perkembangan gumuk pasir Parangtritis.
1.5. Kegunaan Penelitian
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam bidang ilmu
geomorfologi dan lingkungan, khususnya dalam upaya konservasi gumuk
pasir Parangtritis dengan bentuk barkhan/ bulan sabit yang langka di wilayah
tropis basah.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam
penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kawasan pesisir Parangtritis
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan
kelestarian gumuk pasir barkhan.
3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan tambahan
akan pentingnya pemilihan lokasi dalam hal pembangunan infrastruktur, agar
tidak mengganggu kelestarian gumuk pasir Parangtritis.
1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1. Bangunan
1.6.1.1. Pengertian Bangunan
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1985 pasal 1 ayat 2
tentang Pajak Bumi dan Bangunan, bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Ching (2008)
menambahkan bahwa bangunan terdiri setidaknya atas komponen lantai, dinding
dan atap. Dalam UU Nomor 12 Tahun 1985 dalam ketentuan penjelas, yang
dimaksud bangunan mencakup rumah tempat tinggal, jalan lingkunan dalam suatu
kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga,
6
galangan kapal, dermaga, tempat penampungan (kilang minyak, pipa), dan
fasilitas lain yang bermanfaat. Pengertian ini menunjukkan bahwa bangunan
bukan bentukan alami, melainkan buatan manusia melalui upaya konstruksi teknik
pada tanah, perairan, dan gabungan atau campuran pada tanah dan perairan secara
tetap.
1.6.1.2. Bentuk Bangunan dan Sifat Bangunan Menurut Jenis Konstruksi
Bentuk bangunan dapat diartikan sebagai penampilan luar yang dapat
dilihat gambar struktur formal, tata susun, komposisi yang menghasilkan wujud
nyata, bentuk tiga dimensi, penampilan, dan konfigurasi (Riany dkk, 2013).
Tambahan pula, bahwa unsur utama timbulnya suatu bentuk adalah titik, garis,
bidang, dan ruang. Ching (2008) menyatakan bahwa wujud dasar dari bentuk
terdiri atas tiga macam, yakni bentuk lingkaran, bentuk segitiga, dan bentuk bujur
sangkar. Semua bentuk dasar dapat dilakukan perubahan melalui variasi bentuk
dasar. Perubahan bentuk dasar dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni
perubahan dimensi, perubahan dengan pengurangan, dan perubahan dengan
penambahan (Riany dkk, 2013).
Pembentuk bangunan terdiri atas empat elemen, yakni elemen : horizontal
bawah, horizontal atas, vertikal, dan pelengkap (Ching, 2008). Elemen horizontal
bawah merupakan bidang alas atau lantai, sedangkan elemen horizontal atas
merupakan atap dan bidang langit-langit. Elemen vertikal merupakan bidang
dinding luar dan dinding dalam atau pembatas. Elemen pelengkap merupakan
elemen tambahan suatu bangunan, seperti pintu, jendela, dan furnitur. Elemen ini
sebagai wujud dari konstruksi. Mengacu pada Peraturan Menteri (Permen)
Pekerjaan Umum (PU) No 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis
Bangunan Gedung, tipe bangunan wilayah kajian didasarkan atas tingkat
permanensi.
Tingkat permanensi didasarkan atas jenis konstruksinya, meliputi
bangunan permanen, bangunan semi-permanen, dan non-permanen. Bangunan
permanen dicirikan dengan konstruksi bersifat tetap dan pada umumnya terbuat
dari beton. Bangunan semi-permanen dicirikan dengan konstruksi bersifat tetap,
namun konstruksinya tidak utuh terbuat dari beton. Konstruksi bangunan semi-
7
permanen dapat berupa kombinasi beton dengan kayu dan atau bahan lain yang
bukan beton. Bangunan non-permanen memiliki sifat konstruksi tidak tetap,
seperti terbuat dari kayu dan atau bambu.
1.6.2. Angin
1.6.2.1.Terbentuknya Angin
Angin terjadi sebagai akibat udara yang bergerak (Nielsen and Willets,
1991 : Pye and Tsoar, 2009). Terbentuknya angin akibat perbedaan tekanan di
permukaan Bumi. Angin bergerak dari wilayah yang memiliki tekanan tinggi
menuju wilayah bertekanan rendah. Tekanan tinggi diakibatkan oleh suhu suatu
wilayah yang dingin, sedangkan tekanan rendah diakibatkan oleh suhu suatu
wilayah yang panas (Pye and Tsoar, 2009). Suhu wilayah dapat berbeda akibat
radiasi Matahari yang diterima setiap wilayah berbeda pula. Radiasi Matahari
yang diterima di setiap wilayah dipengaruhi oleh letak astronomis, yakni
berdasarkan garis lintang dan garis bujur (Nielsen and Willets, 1991).
1.6.2.2.Arah Angin dan Kecepatan Angin
Arah angin dipengaruhi oleh gradien tekanan permukaan Bumi, gaya
Coriolis, sel Hadley, dan gesekan permukaan Bumi (frictional roughness)
(Nielsen and Willets, 1991 : Pye and Tsoar, 2009). Gradien tekanan permukaan
Bumi menghasilkan perbedaaan suhu di suatu wilayah di permukaan Bumi. Angin
akan bergerak dari wilayah bersuhu dingin menuju wilayah bersuhu panas.
Pengaruh gradien tekanan permukaan Bumi ini menyebabkan angin bergerak
berdasarkan perbedaan suhu suatu wilayah. Gaya Coriolis disebabkan oleh rotasi
Bumi (Pye and Tsoar, 2009). Rotasi Bumi mengakibatkan perbedaan tekanan di
belahan Bumi utara dan selatan. Pengaruh gaya Coriolis adalah arah angin akan
membelok ke kanan di belahan Bumi utara dan membelok ke kiri di belahan Bumi
selatan. Sel Hadley disebabkan oleh suhu panas di wilayah intertropical
convergence zone (ITCZ) atau wilayah ekuator yang memiliki iklim tropis (Pye
and Tsoar, 2009). Dampak dari sel Hadley adalah wilayah tropis sebagai tujuan
arah angin dari wilayah kutub dan lintang tengah. Gesekan permukaan Bumi
berpengaruh terhadap gerakan angin. Angin yang terhambat atau terhalang akan
8
membelok dari arah semula. Gesekan permukaan berpengaruh pula terhadap
kecepatan angin, yakni semakin besar gesekan, maka semakin mengurangi
kecepatan angin (Pye and Tsoar, 2009).
Kecepatan angin berbanding lurus dengan ketinggian (Bayong, 2004 : Pye
and Tsoar, 2009). Ketinggian angin semakin tinggi memiliki kecepatan angin
semakin kencang, sedangkan ketinggian angin semakin rendah memiliki
kecepatan angin semakin rendah. Keadaan ini dipengaruhi oleh gesekan
permukaan Bumi (Pye and Tsoar, 2009). Pada ketinggian rendah gesekan
permukaan Bumi besar, sehingga kecepatan angin terhambat. Ketinggian angin
yang tinggi memiliki gesekan permukaan Bumi sangat rendah, sehingga
kecepatan angin tidak terhambat.
1.6.2.3. Regim Angin Kepesisiran (Coastal Wind Regimes)
Energi angin di pesisir relatif lebih tinggi dibandingkan dengan energi
angin di daratan (Pye and Tsoar, 2009). Kondisi ini disebabkan oleh gesekan
permukaan di pesisir relatif lebih rendah dibandingkan daratan. Pye and Tsoar
(2009) menambahkan pula bahwa di wilayah kepesisiran (coastal area) terdapat
perbedaan suhu secara tegas. Perbedaan suhu ini disebabkan oleh wilayah
kepesisiran berbatasan langsung dengan laut. Laut dan pesisir memiliki perbedaan
dalam menerima radiasi Matahari. Dampak dari perbedaan radiasi Matahari
adalah terjadinya angin akibat suhu antara laut dan pesisir yang berbeda. Jarak
pesisir dengan laut yang langsung berdekatan mengakibatkan kecepatan angin
yang kencang (Pye and Tsoar, 2009).
1.6.3. Gumuk Pasir
1.6.3.1.Pengertian Gumuk Pasir
Gumuk pasir secara sederhana diartikan sebagai bukit (hill) atau igir
(ridge) akibat gundukan pasir oleh proses angin (Pye and Tsoar, 2009). Gumuk
pasir merupakan bentuklahan asal proses angin (aeolian). Gumuk pasir terbentuk
akibat proses deflasi. Deflasi secara umum diartikan sebagai perpindahan material
pasir atau debu akibat energi angin (Sunarto dkk, 2014).
9
1.6.3.2.Tipe Gerakan Pasir oleh Angin dalam Pembentukan Gumuk Pasir
Terdapat tiga tipe gerakan pasir oleh angin dalam pembentukan gumuk
pasir. Tiga tipe gerakan yaitu : merayap (creep), meloncat (saltation), dan
melayang (suspension) (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Penjelasan
setiap tipe gerakan sebagai berikut.
Merayap
Merayap berupa gerakan pengangkutan material yang pada umumnya berupa pasir
kasar (ukuran butir 0,1 mm – 0,5 mm) dengan ketinggian maksimum 1 cm di atas
permukaan gumuk pasir (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Gerakan
merayap akan berlangsung sempurna jika tidak terdapat penghalang. Jika pasir
yang merayap membentur penghalang, seperti vegetasi, batu, bangunan, atau
benda lain, maka pasir akan mengendap. Endapan ini semakin lama akan semakin
membesar hingga membentuk bukit kecil (Sunarto dkk, 2014).
Meloncat
Meloncat berupa gerakan pengangkutan material pasir dengan ketinggian 1 cm
hingga 1 m dengan material pasir mempunyai diameter yang lebih ringan dari
pada material pasir yang merayap (Sunarto dkk, 2014). Dalam proses pergerakan
secara meloncat, terdapat tambahan tenaga pengangkutan (additional lift) yang
disebut efek Magnus (Magnus effect) (Pye and Tsoar, 2009). Adanya efek
Magnus mengakibatkan tekanan berbeda pada bentuk butir pasir, sehingga
menjadi tidak simetris. Proses meloncat menyebabkan gelembur pasir (sand
ripples) yang memiliki ketinggian 1 cm hingga 5 cm dengan panjang 5 cm hingga
15 cm (Sunarto dkk, 2014)
Melayang
Melayang berupa gerakan pengangkutan material yang umumnya berupa debu
dengan besar butir 0,001 mm – 0,05 mm dengan ketinggian lebih dari 1 m diatas
permukaan gumuk pasir (Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Gerakan
melayang memiliki rasio besar antara ketika butir pasir naik dan butir pasir turun
ketika terbawa angin hingga energi angin lemah. Akibat perbedaan rasio
ketinggian mengakibatkan pemadatan butir pasir akibat perbedaan tekanan (Pye
and Tsoar, 2009).
10
1.6.3.3. Klasifikasi dan Tipe Gumuk Pasir
Summerfield (1991) dan Hugget (2007) mengklasifikasikan gumuk pasir
menjadi dua macam, yaitu gumuk pasir bebas (free dunes) dan gumuk pasir
terhalang (impeded dunes/anchored dunes). Gumuk pasir bebas terbentuk akibat
laju angin yang membawa sedimen transpot tidak terhalang oleh vegetasi dan
topografi, sehingga tidak ada gangguan dalam proses pembentukan, perpindahan,
dan morfologinya. Gumuk pasir terhalang terbentuk akibat laju angin yang
membawa sedimen transport terhalang oleh vegetasi dan topografi sehingga
berpengaruh terhadap pembentukan, perpindahan, dan morfologinya. Klasifikasi
dan tipe gumuk pasir ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Klasifikasi dan Tipe Gumuk Pasir Bentukan Primer Kriteria Subdivisi Bentukan Sekunder Deskripsi
Gumuk Pasir Bebas
(Free dunes)
Morfologi / Orientasi
Transversal
Transversal igir asimetris
Barkhan bentuk bulan sabit
Kubah gundukan berbentuk
lingkaran atau eips
Terbalik (Reversing)
igir asimetris dengan
goresan di kedua sisi
bagian atas gundukan
Linier
Longitudinal (Seif) igir dengan gombak
tajam
Igir pasir (Sand ridge) bulat, simetris, lurus
atau berliku-liku
Bintang
Bintang
puncak di tengah
dengan jumlah lengan
lebih dari tiga
Jaringan (Network)
kumpulan dari
bebrapa gundukan
pasir dengan orientasi
yang tidak
diutamakan
Lembaran (Sheets)
Zibar (rolling
transverse ridge)
bentuk dasar tidak
halus dari relief
rendah dan tidak
terbentuk akibat
muka yang tergelincir
Coretan (Streaks) atau
Balok (Stringers) atau
Lembaran Pasir (Sand
sheets)
bentuk hamparan
pasir yang luas tanpa
bentuk gundukan
yang dapat dilihat
secara jelas
11
Tabel 1.1. Klasifikasi dan Tipe Gumuk Pasir (lanjutan)
Bentukan Primer Kriteria Subdivisi Bentukan Sekunder Deskripsi
Gumuk Pasir
Terhalang (Impeded
dunes / Anchored
dunes)
Vegetasi dan Topografi
Vegetasi
Lunette
berbentuk bulan sabit
berlawanan dengan arah
angin
Gundukan pasir
bervegetasi
elips tidak teratur,
efisien melawan arah
angin
Parabolik
berbentuk "U" atau "V"
dengan lengan
membuka melawan
angin
Coastal
gumuk pasir yang
terbentuk di belakang
pantai
Kisut (Blowout) lereng melingkar di
wilayah depresi
Topografi
Echo
igir yang terbaring
memanjang secara
sejajar dengan, dan
terpisah dari, sisi angin
yang terhalang
topografi
Gumuk merangkak
(Climbing dune/ Sand
ramp)
akumulasi tidak teratur
akibat angin yang
terhalang topografi
Cliff-top
gumuk pasir yang
terbentuk di atas lereng
curam
Jatuhan (Falling)
akumulasi tidak teratur
terbentuk di bawah
topografi yang besar
Teduh (Lee)
memanjang, melawan
arah angin akibat
terhalang topografi
Depan (Fore)
berbentuk busur kasar
dengan lengan di kedua
sisi melawan arah angin
(Sumber : Hugget, 2007)
Sunarto dkk (2014) menambahkan, khusus di kawasan gumuk pasir
Parangtritis terdapat beberapa tipe gumuk pasir. Tipe gumuk pasir yang ada di
Parangtritis ada yang termasuk kelas gumuk pasir bebas dan kelas gumuk pasir
terhalang. Tipe gumuk pasir yang terdapat di kawasan gumuk Parangtritis sebagai
berikut.
12
Gumuk Pasir Tipe Barkhan
Morfologi dari gumuk pasir barkhan dicirikan oleh adanya dua tanduk gumuk
pasir yang mengarah ke belakang menyerupai bulan sabit. Penampang gumuk
pasir tidak simetris pada puncaknya dan berangsur-angsur menjadi hampir
simetris pada tanduknya. Ketinggian gumuk pasir barkhan dapat mencapai ± 10
meter dengan besar sudut belakang lebih besar dari 25°. Gumuk pasir barkhan
terletak pada wilayah yang relatif datar dan terbuka dengan kecepatan angin relatif
kuat dan stabil. Tipe gumuk pasir ini mudah berpindah. Berdasarkan ukurannya,
gumuk pasir yang kecil lebih cepat berpindah daripada yang besar.
Gumuk Pasir Tipe Barkhanoid
Morfologi dari gumuk pasir barkhanoid mirip dengan gumuk pasir barkhan.
Gumuk pasir ini merupakan bentukan beberapa gumuk pasir barkhan yang
bergabung membentuk jalur memanjang dan tidak simetris. Ujung tanduk gumuk
pasir barkhan saling bersinggungan dengan ujung tanduk gumuk pasir barkhan
yang lain. Lebar gumuk pasir barkhanoid dapat mencapai lebih dari 100 meter.
Gumuk pasir barkhanoid terbentuk pada wilayah dengan suplai pasir yang
melimpah dengan kecepatan angin yang tinggi.
Gumuk Pasir Tipe Transversal
Morfologi gumuk pasir transversal merupakan bentukan gumuk pasir yang
memanjang dan tidak simetris. Bentuk gumuk pasir ini sejajar dengan garis pantai
dan tegak lurus dengan arah angin. Gumuk pasir ini mempunyai muka gelincir
yang panjang.
Gumuk Pasir Tipe Nebkha
Gumuk pasir nebkha termasuk dalam gumuk pasir terhalang (impeded dunes),
sedangkan gumuk pasir tipe : barkhan, barkhanoid, dan transversal termasuk
dalam gumuk pasir bebas (free dunes). Penghalang pada tipe gumuk pasir nebkha
adalah vegetasi. Gerak angin yang terhalang oleh vegetasi menimbulkan bentukan
cekungan dibelakangnya. Angin yang bertiup cukup kuat, menyebabkan semakin
besarnya gundukan yang disebabkan karena adanya pengendapan di muka gumuk
pasir ini.
13
1.6.4. Faktor Pembentuk Gumuk Pasir
Gumuk pasir terbentuk oleh berbagai faktor pada lingkungan tertentu.
Sunarto (2014), menyimpulkan bahwa terdapat 9 (sembilan) faktor pembentuk
gumuk pasir di lingkungan kepesisiran. Sembilan faktor pembentuk gumuk pasir
di lingkungan kepesisiran meliputi : (1) adanya tiupan angin dari laut menuju ke
pantai; (2) adanya koridor angin atau lorong angin alami (wind tunnel); (3) adanya
pasokan material pasir; (4) material berbentuk lepas-lepas; (5) morfologi gisik; (6)
kelerengan gisik; (7) lebar gisik; (8) julat pasut; dan (9) penghalang angin.
1.6.5. Penelitian Sebelumnya
Verstappen (Sujarwo, 1984), pada tahun 1957 melakukan penelitian di
kawasan gumuk pasir Parangtritis dengan judul Short Note on The Dunes Near
Parangtritis (Java). Dalam penelitian ini, digunakan peta topografi dan foto udara
sebagai sumber data dan alat analisis. Hasil penelitian menunjukkan lebar dan
tinggi gumuk pasir. Perkembangan gumuk pasir dipengaruhi oleh material pasir,
iklim, angin, dan penghalang (tumbuhan). Material pasir pembentuk Gumuk Pasir
Parangtritis diperkirakan bersumber dari Gunungapi Merapi yang terangkut oleh
aliran Sungai Opak dan Sungai Progo. Komposisi mineral dari pasir terdiri atas :
plagioklas, augite, hypersthene, fragmen batuan andesit, magnetis, hornblende,
dan glas vulkanik.
Material pasir yang telah sampai di laut, terbawa oleh gelombang air laut
menuju tepi pantai dan membentuk gisik. Selama musim kemarau dengan radiasi
Matahari intensif menyebabkan material pasir bersifat kering dan ringan. Angin
membawa material pasir tersebut ke arah darat dan terbentuklah gumuk pasir.
Pembentukan gumuk pasir dipengaruhi oleh penghalang berupa vegetasi. Vegetasi
berfungsi sebagai pelindung pasir dari tenaga angkut angin.
Sutikno, Joyosuharto, dan Sunarto (1983), melakukan penelitian mengenai
perkembangan Gumuk Pasir Parangtritis yang berdampak pada perubahan tata
guna lahan. Perubahan tata guna lahan yang dimaksud adalah tertimbunnya
permukiman, persawahan, saluran irigasi, dan kuburan. Penelitian ini dilakukan
menggunakan metode interpretasi foto udara, pengamatan dan pengukuran di
14
lapangan, serta memperbandingkan peta/foto udara terdahulu dengan kondisi
sekarang. Hasil dari penelitian ini adalah :
1. ukuran butir pembentuk gumuk pasir semakin ke arah timur dan ke arah
daratan semakin halus.
2. perkembangan gumuk pasir ke arah daratan dibedakan menjadi dua, yaitu
yang diakibatkan oleh angin dengan arah umum barat laut dan yang
diakibatkan oleh guguran pasir pada lereng belakang yang berlawanan
arah angin.
3. material pasir yang terangkut ke arah daratan berdasarkan pengukuran
dengan sand trap sebesar 10.581,6 m3/th.
4. kecepatan perkembangan gumuk pasir 2,09 m/th ke arah vertikal dan 5,25
m/th ke arah horizontal.
5. penimbunan pasir terhadap lahan budidaya manusia semenjak 40 tahun
terakhir tercatat 10.925 ha dan saluran irigasi sepanjang 600-700 m.
Sujarwo (1984), melakukan penelitian mengenai morfometri tipe bukit
pasir (gumuk pasir) di Parangtritis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
proses pembentukan gumuk pasir di Parangtritis, mempelajari morfometri dan
faktor-faktor pembentuk gumuk pasir serta hubungan antara keduanya. Metode
yang digunakan adalah dengan interpretasi foto udara, peta topografi, pengamatan
dan pengukuran langsung di lapangan. Hasil penelitian yang dilakukan adalah :
1. Proses pembentukan gumuk pasir ditentukan oleh material pasir dan
tenaga angin. Material pasir penyusun gumuk pasir yang berada di
puncaknya mempunyai nilai Mϕ lebih besar dari nilai Mdϕ dan
mempunyai nilai kemencengan positif. Hal ini menunjukkan bahwa
gumuk pasir terjadi akibat dari pengaruh tenaga angin.
2. Diameter pasir pada puncak gumuk pasir makin dekat dengan pantai
makin besar, 0,49 mm dekat pantai dan 0,31 mm jauh dari pantai.
3. Diameter pasir pada puncak bukit pasir makin dekat dengan muara Sungai
Opak makin kasar, 0,49 mm dan 0,29 mm jauh dari muara Sungai Opak.
4. Jumlah pasir yang terangkut oleh angin pada gumuk pasir barkhan lebih
banyak bila dibandingkan dengan jumlah pasir yang terangkut oleh angin
15
pada gumuk pasir garis. Sebab, pada bukit pasir garis angin terhalang oleh
vegetasi.
Prabintoro (1999), dalam penelitiannya mengenai karakteristik gumuk
pasir ditinjau dari faktor-faktor pembentuknya di Parangtritis. Dijelaskan
mengenai karakteristik material, morfometri, angin, dan vegetasi. Tipe gumuk
pasir yang dominan adalah tipe bulan sabit dan tipe garis dengan perbandingan
luasan mendekati 70% : 30%. Pengambilan sampel lebih banyak dilakukan pada
gumuk pasir tipe bulan sabit dengan pertimbangan luasan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran butir pasir semakin kecil.
Pasir dengan ukuran butir yang besar akan terendapkan terlebih dahulu dan yang
kecil akan terus terbawa oleh angin dan diendapkan menjauhi pantai.
Mardiatno (2000), melakukan penelitian untuk mengetahui besarnya
deflasi pasir dan mengetahui pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar
Parangtritis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dan
analisis laboratorium. Hasil penelitian yang diperoleh adalah data tingkat deflasi
pasir. Berdasarkan perhitungan deflasi dengan persamaan Bagnold (1941)
diperoleh bahwa besar deflasi pasir adalah 0,15 gr/dtk pada beting gisik (beach
ridge), 0,17 gr/dtk pada gumuk pasir tipe memanjang, 0,21 gr/dtk pada gumuk
pasir tipe barkhan, dan 0,25 gr/dtk pada gumuk pasir yang tidak aktif (non active).
Besarnya deflasi hasil perhitungan dengan persamaan Bagnold (1941) selalu lebih
besar dari hasil pengukuran di lapangan. Hal ini diakibatkan oleh variabel-variabel
yang digunakan dalam persamaan Bagnold (1941), yakni kepadatan udara,
percepatan gravitasi, koefisien variasi menurut ukuran butir, diameter pasir hasil
pengukuran, dan kecepatan angin pada ketinggian tertentu.
Rudjito (2001), melakukan penelitian studi gumuk pasir di pesisir
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui perkembangan gumuk pasir di pesisir Kabupaten Bantul dan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan agihan
dan tipe gumuk pasir di sebelah timur dan barat Sungai Opak. Pendekatan yang
digunakan adalah deskriptif komparatif dengan pengamatan dan survei lapangan.
Hasil penelitian berupa peta geomorfologi daerah penelitian, windrose dari setiap
sampel perwakilan, peta kerapatan vegetasi, dan profil topografi. Faktor yang
16
berpengaruh dalam perkembangan gumuk pasir adalah arah angin, kecepatan
angin, ukuran butir material pasir, dan kerapatan vegetasi.
Aprilia (2004), melakukan penelitian mengenai deflasi pasir pada berbagai
tipe gumuk pasir di Parangtritis. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
karakteristik material yang berupa ukuran butir, kebundaran, dan kebulatan pada
tipe-tipe gumuk pasir, mengetahui distribusi vertikal pasir yang bergerak dengan
merayap, meloncat, dan melayang pada tipe-tipe gumuk pasir, dan mengetahui
besarnya deflasi pada tiap tipe gumuk pasir dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode survei lapangan. hasil
penelitian menunjukkan bahwa karakteristik fisik material yang meliputi ukuran
butir pasir, kebundaran, dan kebulatan pada tiap tipe gumuk pasir berbeda karena
adanya lingkungan pengendapan dan jarak dari pantai. Besarnya deflasi sebagai
berikut :
1. Distribusi vertikal butir pasir lebih banyak dipengaruhi oleh pasir yang
bergerak secara merayap (84,81%), dari pada pasir yang bergerak secara
meloncat (15,17%) maupun melayang (0,02%).
2. Deflasi pasir pada gumuk pasir tipe barkhan sebesar 233,5 gr/jam, pada
tipe barchanoid sebesar 440,97 gr/jam, pada tipe transversal aktif sebesar
115,07 gr/jam, pada tipe transversal inaktif sebesar 41,36 gr/jam, dan pada
tipe nebkha sebesar 170,06 gr/jam.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap deflasi adalah kecepatan angin,
morfometri gumuk pasir, karakteristik fisik material gumuk pasir, kerapatan
vegetasi, dan jarak dari pantai.
Susmayadi dkk (Sunarto dkk, 2014), melakukan penelitian mengenai
proses fisik dan dinamika kawasan pesisir, rip current, deflasi, dan abrasi di
kawasan Parangtritis. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi risiko
rip current, deflasi, dan abrasi. Salah satu hasil penelitian berupa tabel potensi
risiko deflasi serta peta bahaya, rawan, dan risiko deflasi. Berdasarkan hasil
tersebut, wilayah antropogenik di kawasan Parangtritis memiliki tingkat risiko
deflasi yang tinggi.
Malawani (2014), melakukan penelitian mengenai karakteristik deflasi dan
dampaknya terhadap pariwisata di kawasan Parangtritis. Tujuan dari penelitian ini
17
adalah mengetahui besar deflasi pasir di kawasan Parangtritis, mengetahui
karakteristik deflasi pada kawasan Parangtritis, dan menemukenali dampak deflasi
terhadap aktivitas pariwisata di kawasan Parangtritis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa besar deflasi siang hari lebih besar daripada malam hari,
yaitu sebesar 87,08 gr/cm-jam pada siang hari dan 3,39 gr/cm-jam pada malam
hari. Ukuran diameter pasir berkisar antara 0,318 mm sampai 0,395 mm dengan
dominasi tekstur pasir sedang. Kebulatan dan kebundaran material sedimen
terdapat pada skala 0,5 dan 0,7.
Perbedaan mendasar penelitian sebelumnya dengan peneliti adalah fokus
kajian pada faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan gumuk pasir.
Peneliti terfokus pada bangunan yang dapat berpengaruh terhadap transportasi
material pasir. Penelitian sebelumnya dijadikan pertimbangan oleh peneliti,
mengingat transportasi material berkaitan dengan proses deflasi. Perbandingan
peneliti dengan beberapa peneliti sebelumnya ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Perbandingan Peneliti dengan Beberapa Peneliti Sebelumnya
Peneliti Judul Tujuan Hasil
Rujito (2001)
Studi gumuk pasir
di pesisir
Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa
Yogyakarta
(1) mengetahui
perkembangan gumuk
pasir di pesisir
Kabupaten Bantul Faktor yang
mempengaruhi
perbedaan
perkembangan gumuk
pasir yakni arah angin,
kecepatan angin, ukuran
butir material pasir, dan
kerapatan vegetasi
(2) mengetahui faktor-
faktor yang
mempengaruhi
perbedaan
perkembangan agihan
dan tipe gumuk pasir di
sebelah timur dan barat
Sungai Opak
Aprilia
(2004)
Deflasi pasir pada
berbagai tipe
gumuk pasir di
Parangtritis
(1) mengetahui
karakteristik material
yang berupa ukuran
butir, kebundaran, dan
kebulatan pada tipe-tipe
gumuk pasir
(1) karakteristik
material, vegetasi, dan
angin
(2) mengetahui
distribusi vertikal pasir
yang bergerak dengan
merayap, meloncat, dan
melayang pada tipe-tipe
gumuk pasir
(2) perbandingan
distribusi vertikal tiap
tipe gumuk pasir
18
Tabel 1.2. Perbandingan Peneliti dengan Beberapa Peneliti Sebelumnya (lanjutan)
Peneliti Judul Tujuan Hasil
Aprilia (2004)
Deflasi pasir pada
berbagai tipe
gumuk pasir di
Parangtritis
(3) mengetahui besarnya
deflasi pada tiap tipe gumuk
pasir dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya
(3) besar deflasi
pada tiap tipe
gumuk pasir
(4) persamaan
regressi untuk
mengetahui besar
deflasi
(5) peta
geomorfologi
Malawani
(2014)
Karakteristik
deflasi dan
dampaknya
terhadap pariwisata
di kawasan
Parangtritis
(1) mengetahui besar deflasi
pasir di kawasan
Parangtritis
(1) besar deflasi di
kawasan
Parangtritis
(2) mengetahui karakteristik
deflasi pada kawasan
Parangtritis
(2) karakteristik
fisik material
terdeflasi di
kawasan
Parangtritis
(3) menemukenali dampak
deflasi terhadap aktivitas
pariwisata di kawasan
Parangtritis
(3) dampak deflasi
pada kegiatan
pariwisata
Sugiarto
(2016)
Kajian Pengaruh
Bangunan Terhadap
Perkembangan
Gumuk Pasir
Parangtritis
(1) mengidentifikasi
pengaruh bangunan di
kawasan gumuk pasir
Parangtritis terhadap arah
angin dan kecepatan angin
(1) besar
berat/volume pasir,
granulometri pasir,
arah angin, dan
kecepatan angin
(2) memperbandingkan
berat atau volume pasir dan
granulometri pasir di
wilayah tenggar dan di
belakang bangunan di
kawasan gumuk pasir
Parangtritis
(2) perbandingan
karakteristik pasir
di wilayah tenggar
dan di kawasan
bangunan
(3) mencari hubungan
distribusi keruangan pasir
yang tertahan oleh
bangunan di kawasan
gumuk pasir Parangtritis
(3) peta distribusi
keruangan pasir
yang tertahan
bangunan di
kawasan gumuk
pasir Parangtritis
1.7. Kerangka Pemikiran Teoretik
Proses aeolian merupakan salah satu proses geomorfologi yang disebabkan
oleh tenaga angin. Proses aeolian berpengaruh terhadap pembentukan gumuk
pasir. Terbentuknya gumuk pasir disebabkan oleh faktor pembentuk gumuk pasir.
19
Faktor pembentuk gumuk pasir meliputi adanya material pasir, tidak adanya
penghalang angin, periode kering yang tegas, dan adanya tenaga angin yang
berperan dalam proses transportasi. Material pasir yang terpapar radiasi Matahari
sepanjang tahun akan bersifat kering. Pasir kering memiliki berat lebih ringan
dibandingkan pasir basah karena kandungan air sudah tidak ada, kondisi demikian
mempermudah angin dalam membawa pasir sebagai material penyusun gumuk
pasir. Gumuk pasir terbentuk oleh akumulasi material pasir yang terendapkan
akibat tenaga angin sudah tidak mampu dalam membawa pasir.
Faktor pengontrol berperan penting terhadap perkembangan gumuk pasir.
Arah angin, kecepatan angin, dan periode kering yang tegas merupakan faktor
alami yang relatif bersifat tetap. Material pasir dan ada tidaknya penghalang
merupakan faktor yang mudah terpengaruh oleh aktivitas manusia. Jumlah
material pasir sebagai sumber utama gumuk pasir dapat berkurang apabila
dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluannya. Akibat yang ditimbulkan adalah
terhambatnya perkembangan tipe gumuk pasir barkhan akibat suplai material
pasir berkurang. Penghalang dapat bersifat alami atau buatan, penghalang alami
dapat berupa konfigurasi relief permukaan Bumi, sedangkan penghalang buatan
adalah hasil budidaya manusia.
Penghalang angin hasil budidaya manusia dapat diartikan sebagai hasil
aktivitas manusia yang bersifat nyata (physically) dan berpengaruh terhadap arah
dan kecepatan angin. Penghalang angin ini dapat berupa vegetasi budidaya dan
bangunan. Dalam konteks penelitian yang diangkat, penghalang angin yang akan
diteliti adalah bangunan. Adanya penghalang angin berpengaruh terhadap arah
angin dan kecepatan angin. Arah angin akan berubah jika terjadi benturan dengan
penghalang angin. Disisi lain, benturan angin dengan penghalang angin akan
menyebabkan kecepatan angin berkurang, kondisi ini dikarenakan adanya gaya
gesek yang menyebabkan kecepatan angin menurun. Dampak dari arah angin dan
kecepatan angin yang terpengaruh penghalang angin adalah terhambatnya proses
transportasi material pasir dan terjadi perubahan lokasi endapan pasir. Kondisi
demikian tentunya akan berpengaruh terhadap keberlangsungan dan
perkembangan dari tipe gumuk pasir barkhan. Dengan demikian dapat dinyatakan
20
bahwa bangunan berpengaruh terhadap proses transportasi material pasir menuju
gumuk pasir. Secara sistematis ditunjukkan dalam diagram alir pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Teoretik :
Pengaruh Bangunan terhadap Perkembangan Gumuk Pasir.
1.8. Batasan Istilah
Angin merupakan udara yang bergerak sejajar dengan permukaan Bumi akibat
perbedaan tekanan (Nielsen and Willets, 1991 : Bayong, 2004 : Pye and Tsoar,
2009).
Arah Angin merupakan arah pergerakan angin yang dinyatakan dalam skala
derajat (Bayong, 2004)
Bangunan merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan (UU No 12 Tahun 1985). Dalam konteks ini
bangunan terbatas pada tanah dan tersusun oleh lantai, dinding, dan atap.
21
Bentuk Bangunan merupakan wujud tiga dimensi dari bangunan secara nyata
(Riany dkk, 2013). Dalam konteks penelitian ini, bentuk bangunan mencakup
ukuran panjang, lebar, dan tinggi penampang depan bangunan yang menghadap
arah angin. Mencakup pula bentuk dari atap bangunan seperti segitiga, bujur
sangkar, limas, dan kombinasi diantaranya.
Gumuk Pasir merupakan bukit (hill) atau igir (ridge) akibat gundukan pasir oleh
proses angin (Pye and Tsoar, 2009). Gumuk pasir yang dimaksud dalam
penelitian adalah gumuk pasir Parangtritis.
Kecepatan Angin merupakan besaran yang menyatakan kecepatan angin secara
horizontal dalam satuan kecepatam (m/s, knot) (Bayong, 2004)
Material Pasir merupakan hasil pergerakan pasir oleh tenaga angin atau deflasi
(Pye and Tsoar, 2009 : Sunarto dkk, 2014). Dalam konteks penelitian ini, material
pasir adalah yang tertangkap sandtrap pada belakang bangunan hasil proses
transportasi, baik yang merayap, meloncat, dan melayang.
Sandtrap merupakan alat yang digunakan untuk menangkap / menampung
material pasir yang tertransportasi oleh tenaga angin (Pye and Tsoar, 2009.
Zona merupakan daerah (wilayah) dengan pembatasan khusus (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2008)