1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Historiografi nasional Indonesia, khususnya periode awal abad ke-20 tidak
dapat dipisahkan dari perkotaan. Selain karena narasinya dibangun di dalam
batasan spasial perkotaan, kota adalah wujud dari kemodernan yang darinya narasi
sejarah (pergerakan) nasional dirangkai dengan alur logika yang khas.1 Dimulai
dan digerakkan oleh kelas-kelas menengah pribumi di perkotaan yang tumbuh
sebagai bagian dari dinamika sosial dan ekonomi kota pada permulaan abad ke-
20, gagasan-gagasan modern berkembang dan meluas hingga menimbulkan
kesadaran serta pergerakan nasional yang dilandasi semangat nasionalisme.2
Tentu saja nasionalismenya adalah nasionalisme yang berdasarkan etnisitas,
dibatasi pada orang-orang pribumi terdidik di perkotaan (yang kemudian
menyandang predikat nasionalis Indonesia) serta bertujuan untuk lepas dari
kekuasaan bangsa asing atau dalam hal ini adalah Belanda, begitulah kira-kira alur
berpikirnya.3
1 Contoh dari historiografi nasional ini misalnya adalah : Marwati Djouned
dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka dan juga terbitan resmi bentuk berikutnya : Taufik Abdullah, dkk (Ed.),
Indonesia dalam Arus Sejarah. (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2009).
2 Lihat Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the
Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian
Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011).
3 Ke-pribumi-an dalam konsep nasionalisme Indonesia turut ditentukan
oleh tiga kelompok cendekiawan di Belanda maupun Hindia, yaitu Perhimpunan
Indonesia, Indonesische Studieclub dan Algemeene Studieclub. Lihat Frank
Dhont, Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920an. (Yogyakarta :
UGM Press, 2005).
2
Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah resiko terpinggirkannya atau
bahkan hilangnya bagian-bagian lain dari sejarah Indonesia yang tidak menjadi
bagian dari alur logika itu.4 Bagian-bagian yang terpinggirkan atau hilang tersebut
mencakup beragam aspek di dalam sejarah, baik subjek sejarah seperti individu
ataupun kelompok masyarakat, spasial atau unit geografis sejarah, pemikiran
bahkan ideologi dalam narasi sejarah itu sendiri. Sebagai contoh, tereksklusinya
golongan masyarakat minoritas di perkotaan dalam sejarah nasional resmi, baik
karena faktor rasial, etnis, kepercayaan, kelas sosial maupun relasi sosial di dalam
masyarakat adalah salah satu bukti bahwa pemahaman atas sejarah nasional
mengandung persoalan. Persoalannya bukan semata-mata menentukan siapa atau
kelompok mana yang berhak di atas panggung sejarah nasional Indonesia, tetapi
bagaimana seharusnya narasi sejarah nasional itu dipahami.
Tradisi sejarah nasional, khususnya periode dekade-dekade awal abad ke-
20 dibangun dengan upaya-upaya perlawanan, baik yang moderat maupun radikal,
terhadap segala bentuk ketidakadilan oleh penguasa kolonial termasuk berbagai
bentuk diskriminasi ras oleh bangsa kulit putih terhadap pribumi.5 Diskriminasi
dalam berbagai aspek kehidupan yang diterapkan pemerintah kolonial adalah
suatu titik tolak bahwa kolonialisme harus segera diakhiri. Segala yang bersifat
asing ataupun yang terkait dengannya lantas diasosiasikan dengan penjajah yang
4 Henk Schulte Nordholt, “De-colonizing Indonesian Historiography”,
Working Paper No. 6, (Centre for East and South-East Asian Studies Lund
University, 2004), p.1.
5 Tradisi ini mengacu pada sejarah Indonesiasentris sebagai perlawanan
terhadap tradisi sebelumnya dimana sejarah Indonesia ditulis dari perspektif
pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography.
(Yogyakarta : Kanisius, 2001), hlm.30.
3
harus diwaspadai dan ditentang.6 Namun waktu telah berlalu, sementara bangunan
sejarah nasional masih terus memproduksi penolakan-penolakan terhadap
berbagai hal yang dianggap “non-pribumi” seolah-olah sebagai representasi dari
penjajahan. Akibat pelabelan tersebut, diskriminasi ras, etnis, ataupun
kepercayaan justru terus terulang terjadi hingga kini di dalam kehidupan
masyarakat maupun bangsa yang konon dibangun berlandaskan asas kemanusiaan
dan keadilan.7 Diskriminasi secara terang-terangan telah mendorong polarisasi di
dalam masyarakat, termasuk gesekan antar golongan masyarakat mayoritas dan
minoritas yang mengemuka dewasa ini. Kemajemukan atau pluralitas hanya
disadari secara faktual semata dan pada implementasinya “bangsa” tetap
dibayangkan sebagai suatu substansi yang homogen.8 Hal ini menunjukkan bahwa
seakan-akan telah terjadi kegagalan dalam memahami kemajemukan itu sendiri
dan oleh karenanya sejarah nasional sebagai pembentuk kesadaran masyarakat
tentu turut andil atas terjadinya berbagai ketidakharmonisan ini.
Bertolak dari hal di atas penting kiranya dilakukan upaya untuk
memperluas kajian sejarah yang harus keluar dari dominasi narasi sejarah
nasional. Itu bisa dilakukan dengan mengangkat aspek-aspek sejarah yang
6 Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris menurut Bambang
Purwanto memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika
dibandingkan dengan historiografi kolonial. Mengenai kritik terhadap
historiografi Indonesiasentris selengkapnya lihat Bambang Purwanto, Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris?!. (Yogyakarta : Ombak, 2006).
7 Berbagai peristiwa kerusuhan antar etnis maupun agama di berbagai
daerah, termasuk yang baru-baru ini mengemuka di ibukota mencuatnya kasus
diskriminasi agama, bahwa yang berhak atas jabatan kepala daerah haruslah
seorang muslim.
8 Budi Hardiman, “Belajar dari Politik Multikulturalisme”, dalam Will
Kymlicka, Kewargaan Multikultural (judul asli : Multicultural Citizenship).
(Jakarta : Pustaka LP3ES), hlm. xiv.
4
tereksklusi akibat narasi sejarah nasional. Konteks perkotaan pada awal abad ke-
20, yang dalam narasi sejarah nasional diletakkan sebagai sumber dari
“pergerakan nasional” itu sendiri dapat digunakan untuk membuktikan bahwa
generalisasi terhadapnya merupakan suatu langkah yang kurang tepat. Hal ini
tentu masuk akal, karena kota sebagai entitas yang majemuk tentu juga memiliki
logika sejarah yang beraneka ragam.
Pembicaraan mengenai kota pada awal abad ke-20 tentu tidak terlepas dari
dinamika kolonial Hindia Belanda yang mengalami babak baru dengan adanya
kebijakan pembaruan politik pemerintahan. Sementara itu dinamika kolonial
Hindia Belanda itu sendiri juga dipengaruhi oleh kelompok-kelompok politik di
Belanda pada masa itu yang menganggap pemerintahan Hindia Belanda seolah-
olah adalah suatu perwalian (Guardianship)9 yang diperlukan guna membimbing
bangsa pribumi oleh orang-orang kulit putih untuk mencapai kemajuan serta pada
akhirnya kemandirian dengan pengajaran moral (The White Man’s Burden).10
Kelompok-kelompok politik yang berbeda itu adalah kelompok agama, sosialis
dan etis. Meski berbeda secara ideologi, mereka memiliki ide dasar yang
bersamaan mengenai politik kolonial, yakni “menyisihkan sistem eksploitasi dan
menitikberatkan pada usaha untuk kesejahteraan rakyat”.11
Ide dari kelompok
partai-partai agama (Partai Roma Katolik, Partai Antirevolusioner, Partai Kristen
9 Bernard H.M. Vlekke menyatakan bahwa pada dasarnya pada dekade-
dekade pertama dan kedua abad ke-20 orang-orang di Belanda setuju bahwa
peerintahan kolonial harus dianggap suatu trusteeship (perwalian). Lihat Bernard
H.M. Vlekke, Nusantara : Sejarah Indonesia (judul asli : Nusantara : A History of
Indonesia). (Jakarta : KPG, 2016), hlm.340.
10
Lihat J.S.Furnivall, op.cit., hlm. 243.
11
Lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah
Pergerakan Nasional (Jilid 2). (Yogyakarta : Ombak, 2014), hlm. 36.
5
Historis) adalah perlunya asimilasi penduduk pribumi ke dalam peradaban Barat
sebagai bagian dari upaya misi pengadaban (civilizing mission). Guna mencapai
hal tersebut maka misi pengadaban ini tidak menekankan pada ide keunggulan
ras, melainkan perlunya toleransi antar ras yang berbeda-beda serta kesatuan
kemanusiaan.12
Sementara itu, kelompok sosialis menyerukan bahwa politik
kolonial seharusnya meningkatkan kesejahteraan dan moral penduduk pribumi,
bukan eksploitasi kolonial namun pertanggungjawaban moral yang seharusnya
ditekankan.13
Sedangkan kelompok etis mendesak kepada pemerintah kolonial
untuk menjalankan suatu sistem yang bertujuan untuk memberadabkan penduduk
melalui berbagai program etis seperti edukasi, irigasi, kredit rakyat dan
emigrasi.14
Berbagai desakan dan pemikiran baru tersebut pada akhirnya bermuara
pada Politik Etis, Politik Balas Budi, Politik Kemakmuran atau pun Asosiasi.15
Furnivall juga menyatakan bahwa pada awal abad ke-20, seluruh kelompok
politik di Belanda mendukung kebijakan aktivitas negara ke arah perluasan,
12
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah
Pergerakan Nasional (Jilid 2), ibid., hlm. 37.
13
Ibid., hlm. 38.
14
Orang-orang seperti Van Kol, C.Th. van Deventer, dan Brooshooft
adalah para penganjur dan pemikir gagasan-gagasan etis. Van Kol adalah sosialis
lulusan Delft yang dalam pidato-pidato kritik politiknya menyita perhatian
Parlemen Belanda. Van Deventer seorang liberal aliran Multatuli menulis artikel
yang berjudul Een Ereschuld (Hutang Budi) yang menekankan pada pentingnya
kesejahteraan penduduk pribumi/asli di atas segala-galanya. Ia dikenal sebagai
Bapak Pergerakan Etis dan ialah yang mendesak perluasan pengajaran di Hindia
hingga akhirnya berdampak pada kemunculkan elite-elite modern Indonesia. Lihat
Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. (judul asli : The Emergence
of the Modern Indonesian Elite). (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm.54-58.
15
Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 43.
6
efisiensi dan kesejahteraan Hindia sebagai yang utama dalam kebijakan
kolonial.16
Ide-ide serta implementasi dari kebijakan pembaruan, baik itu etis maupun
desentralis/otonomi yang merupakan pendelegasian pemerintahan secara bertahap
rupanya tidak dapat memenuhi harapan kelompok nasionalis yang menginginkan
penentuan nasib sendiri.17
Terinspirasi dari ide-ide sosialis18
, muncullah gerakan-
gerakan non-kooperasi yang radikal pada dekade-dekade kedua abad ke-20 seperti
aksi-aksi pemogokan dan gerakan yang lebih revolusioner tahun 1926.19
Gerakan-
gerakan yang ditanggapi dengan kebijakan represif tersebut untuk sementara
mereda hingga kemudian mencuat kembali pasca Perang Dunia II. Demikianlah
kekuasaan kolonial Belanda terlikuidasi dari Indonesia akibat nasionalisme.
Jika arus utama narasi historiografi nasional berupa penolakan atas
kebijakan pembaruan dan menganggapnya hanya sebagai bagian dari upaya
16
J.S.Furnivall, Hindia Belanda : Studi tentang Ekonomi Majemuk (judul
asli : Netherlands India : A Study of Plural Economy). (Jakarta : Freedom
Institute, 2009), hlm. 243.
17
Secara lebih khusus, kelompok-kelompok politik nasionalis seperti
Perhimpunan Indonesia (PI) menolak desentralisasi karena dianggap tidak cukup
kuat untuk tujuan kemerdekaan, begitupula dengan Algemeene Studieclub di
Bandung dan Indonesische Studieclub di Surabaya. Lihat Frank Dhont,
“Pandangan Kaum Intelektual Nasionalis Indonesia Muda Akhir 1920an Terhadap
Demokrasi, Politik Lokal dan Otonomi”, dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko
Yunanto, Anton Birowo & Bambang Purwanto, Desentralisasi, Globalisasi dan
Demokrasi Lokal. (Jakarta : LP3ES, 2005).
18
Tokoh sosialis garis keras, Henk Sneevliet dan Asser Baars, menyatakan
bahwa Politik Etis adalah mirip “mutiara palsu dan berlian tiruan yang dipakai
pria renta yang lusuh untuk menyia-nyiakan anaknya”. Lihat Frances Gouda,
Dutch Culture Overseas Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. (Jakarta
: Serambi, 2007), hlm. 56.
19
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-
1926 (judul asli : An Age in Motion :Popular Radicalismm in Java 1912-1926).
(Jakarta : Pustaka Utama, 1997).
7
melanggengkan eksploitasi kolonial, maka di dalam tataran lokal perlu dilihat
kembali secara lebih seksama. Pada kenyataannya, dinamika di tataran lokal
mampu memperlihatkan bagaimana masyarakat sipil, termasuk pribumi dapat
“bertemu” dengan orang-orang kulit putih, berbeda dengan di tataran nasional
yang keduanya cenderung dibenturkan guna mencapai narasi nasionalis. Di
tataran lokal dapat pula dilihat masyarakat sipil dapat menjalin dialog maupun
negosiasi dengan penguasa atau negara. Itu terjadi di dalam lingkup lokal
perkotaan, khususnya pasca desentralisasi.20
Desentralisasi adalah kebijakan penting yang turut menggerakkan berbagai
aspek pranata-pranata perkotaan baik itu pemerintahan maupun sosial
kemasyarakatan ke arah kemandirian dari kekuasaan pusat.21
Secara kelembagaan
pemerintahan, penerapan kebijakan tersebut dimulai dengan pembentukan
Kotapraja (Gemeente) secara bertahap baik di Jawa maupun di luar Jawa.22
Pada
perkembangannya, desentralisasi telah merangsang naiknya beragam partisipasi
masyarakat sipil perkotaan baik politik, sosial, ekonomi, budaya, dll.23
20
Mengenai pembicaraan tentang tahapan kebijakan desentralisasi lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial
Hindia-Belanda Kebijakan dan Upaya Akhir Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan
Kolonial di Indonesia 1900-1940. (Malang : Bayumedia, 2008).
21
Penjelasan mengenai perkembangan implementasi desentralisasi lihat
.W.M.Kerchman, 25 Jaren Decentralisatie in Ned.Indie 1905-1930. (Semarang :
Vereeniging voor Locale Belangen).
22
Mengenai hal ini lihat P.J.M.Nas, “The Origin and Development of the
Urban Municipality in Indonesia”, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast
Asia, Vol. 5, No. 1 February 1990, pp. 101.
23
Akira Nagazumi menyatakan bahwa desentralisasi perlu segera
diterapkan karena diasumsikan bahwa pemerintah lokal-lah yang semestinya
bertanggungjawab atas kesejahteraan penduduk pribumi. Akira Nagazumi,
Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. (Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti, 1989), hlm. 28.
8
Mengingat pentingnya desentralisasi bagi perkembangan masyarakat sipil
kota, maka studi ini akan menitikberatkan pada aspek kemasyarakatan di salah
satu kota yang menjadi bagian dari desentralisasi, yakni Kotapraja Magelang pada
awal abad ke-20. Kota Magelang cenderung lebih terabaikan dibanding dengan
kota lain akibat perannya dalam pergerakan nasional yang tidak menonjol,
berbeda dengan di Surakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta, dsb.
Terdapat dinamika masyarakat sipil di kota ini yang merefleksikan suatu bentuk
kewarganegaraan yang orientasinya tidak berkaitan dengan pembentukan negara
baru. Masyarakat sipil di kota Magelang tersebut direpresentasikan oleh beberapa
perkumpulan yang bergerak dalam bidang penyediaan layanan sosial (social
goods) maupun filantropi bagi penduduk kota pada umumnya, seperti pengentasan
kemiskinan (Rumah Miskin “Blondo”), pengasuhan anak terlantar (panti asuhan
Van der Steur), layanan kesehatan (Boedi-Rahajoe) serta asuransi dan simpan
pinjam (Boemi-Poetera). Semua layanan sosial tersebut digagas oleh orang-orang
yang berbeda secara ras, sebagian orang Eropa (Johannes van der Steur,
A.Merkelijn), sebagian orang Eurasia/setengah Eropa setengah Asia (L.H.Berg)
dan orang Asia, tepatnya Jawa (K.H.Soebroto, Dwijosewodjo, Adimidjojo).
Selain latar belakang identitas rasial yang berbeda, mereka juga memiliki
perbedaan dalam orientasi atau sasaran layanan sosialnya. Namun secara temporal
mereka hidup bersamaaan dan pertumbuhannya pun beriringan dengan
perkembangan kota-kota kolonial dan dalam hal ini adalah Kotapraja Magelang
yang berdiri sejak tahun 1906.24
24
Daftar yayasan-yayasan sosial atau filantropi di Jawa dapat dilihat pada
laporan pemerintah kolonial (Kolonial Verslag) dari tahun ke tahun yang
jumlahnya semakin banyak. Untuk Boemi-Poetera dapat dilihat dalam buku
9
Keberadaan perkumpulan sosial masyarakat tersebut menjadi penting
mengingat kota-kota kolonial pada awal abad ke-20 memiliki kecenderungan
untuk mengembangkan infrastruktur fisiknya yang dalam beberapa hal
mengabaikan infrastruktur sosial, seperti rumah sakit maupun pendidikan,
khususnya bagi orang-orang miskin. Suatu laporan desentralisasi menunjukkan
bahwa pos anggaran untuk pekerjaan umum kota selalu menempati urutan
tertinggi dibanding pos yang lain.25
Dengan demikian partisipasi sosial oleh
perkumpulan-perkumpulan masyarakat berperan sebagai pengisi ruang-ruang
kosong yang ditinggalkan atau diabaikan oleh negara.
Corak perkumpulan-perkumpulan sosial maupun filantropi seperti di atas
juga banyak terdapat di kota-kota yang lain. Keberadaan mereka dapat dilacak dan
diketahui tersebar di berbagai wilayah di Jawa maupun luar Jawa. Sebagai contoh
pada tahun 1929, terdapat 20an lebih organisasi sosial-amal di Jawa dan Sumatera
yang mengusahakan panti-panti sosial yang tercatat di dalam laporan pemerintah
kolonial.26
Mereka beragam, ada yang berupa panti asuhan, panti orang-orang
buta, panti orang-orang terlantar, panti kesehatan,dll.27
Itu belum termasuk
misalnya Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21. Jakarta : 1992 serta berbagai
terbitan surat kabar maupun majalah seperti Medan Goroe Hindia yang terbit
dekade-dekade awal abad ke-20.
25
Suatu data statistik tentang pengeluaran keuangan kepegawaian di
beberapa kotapraja (Batavia, Soerabia, Semarang, Bandoeng, Medan,
Mr.Cornelis, Buitenzorg, Palembang dan Makassar) pada tahun 1929
menunjukkan anggaran untuk mengatasi kemiskinan secara langsung dalam
bentuk armenhuis adalah kosong alias nihil. W.M.Kerchman, op.cit., hlm. 58-59.
26
Lihat “Opgaven, voor zooveel ontvangen, betreffende de in
Nederlandsch-lndië bestaande weeshuizen en andere instellingen van
liefdadigheid, zoomede uitkeeringsfondsen, meerendeels over 1929”. Koloniaal
Verslag 1930.
27
Ibid.
10
perkumpulan-perkumpulan amal lain yang berbasis penggalangan dana untuk
sekolah, pemakaman dan pensiun yang jika dihitung jumlahnya akan sangat
banyak. Di antara mereka dikelola oleh organisasi filantropi gereja, filantropi
Islam seperti Muhammadiyah28
maupun organisasi non keagamaan (sekuler).
Kecuali perkumpulan-perkumpulan yang menerapkan pembatasan ras dalam
keanggotaannya, beberapa perkumpulan-perkumpulan amal tersebut terdapat yang
terbuka untuk berbagai golongan atau tidak berdasar pada pembatasan ras
tertentu.29
Berbagai gambaran perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan
tersebut menarik untuk dikaji karena berkaitan dengan dinamika masyarakat sipil
yang pada akhirnya juga berpengaruh pada dinamika kota itu sendiri.30
B. Permasalahan dan Batasan Penelitian
Bertolak dari latar belakang di atas, penelitian ini berusaha untuk
menangkap fenomena citizenship (kewarganegaraan) kolonial pada paruh pertama
abad ke-20 di Kota Magelang. Ini dilakukan dengan menangkap ekspresi-ekspresi
dari „moda-urban‟, dalam hal ini perkumpulan-perkumpulan yang berkepentingan
dalam bidang sosial kemanusiaan seperti penanganan kemiskinan, pendidikan dan
28
Kajian filantropi Islam, terutama Muhammadiyah telah disoroti oleh
Hilman Latief. Lihat Hilman Latief, Melayani Umat Filantropi Islam dan Ideologi
Kesejahteraan Kaum Modernis. (Jakarta : Gramedia, 2010).
29
Salah satu penjelasan mengenai lembaga-lembaga penanganan
kemiskinan dimuat di dalam terbitan pemerintah. Lihat De Staatsarmenzorg voor
Europeanen in Nederlandsch-Indie, Hoofdstuk I-IV. Batavia Landsdrukkerij,
1901.
30
Amelia Fauzia menyatakan bahwa kebijakan sekuler dan tidak campur
tangan pemerintah kolonial dalam filantropi telah menjadi dasar yang baik bagi
pertumbuhan masyarakat sipil muslim. Amelia Fauzia, Filantropi Islam Sejarah
dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia. (judul asli : Faith and
the State A History of Islamic Philanthropy in Indonesia). Yogyakarta : Gading,
2016, hlm.146
11
kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat sipil lintas ras ataupun etnis di kota ini.
Adapun pertanyaan utamanya adalah bagaimana kewarganegaraan dalam lingkup
lokal, khususnya di Kotapraja Magelang pada awal abad ke-20 dapat dipahami
melalui ekspansi partisipasi masyarakat sipil dalam penyediaan layanan sosial-
kemanusiaan? Di dalamnya juga akan ditanyakan siapa sajakah yang dimaksud
masyarakat sipil di dalam partisipasi sosial itu? Bagaimanakah bentuk partisipasi
sosial itu? bagaimanakah keterpautannya dengan instansi Kotapraja baik pada
tahap sebelum tahun 1930 maupun pasca tahun 1930? serta bagaimanakah corak
dari partisipasi masyarakat sipil yang dimaksud di situ?
Batasan dalam penelitian ini secara temporal dimulai pada tahun 1900an,
di mana kota-kota pada umumnya mulai mengalami perkembangan dari aspek
partisipasi masyarakat dengan diterapkannya desentralisasi yang kemudian diikuti
dengan terbentuknya institusi kotapraja.31
Kotapraja Magelang itu sendiri
terbentuk pada tahun 1906. Batasan akhir dari penelitian ini adalah tahun 1940an
dimana gejolak politik yang terjadi saat itu telah menghambat ataupun menutup
kemungkinan bagi keberlangsungan beberapa partisipasi sosial masyarakat sipil di
Kotapraja Magelang, termasuk juga penghapusan institusi Kotapraja itu sendiri.32
31
Perkembangan tentu saja juga dari segi populasi penduduk. Pada tahun
1920an, 6,63% penduduk Jawa tinggal di perkotaan dan tahun 1930an penduduk
Jawa yang tinggal di perkotaan meningkat menjadi 8,7%. Hal itu menunjukkan
bahwa pertumbuhan penduduk di kota lebih cepat dibandingkan di pedesaan,
alhasil kota menjadi bagian paling dinamis dalam perkembangan masyarakat di
Hindia. W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, a Study of Social
Change (terjm.). (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999), hlm. 143-144.
32
Menurut Kuntowijoyo, cakupan waktu dalam studi sejarah tidaklah
secara langsung menunjuk pada suatu periodisasi, sebab dalam perkembangan
sejarah dan sosial tidak ada permulaan maupun akhir. Kuntowijoyo, Perubahan
Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. (Yogyakarta: PAU
UGM), hlm. 1.
12
Aspek spasial dari penelitian ini adalah di Kotapraja Magelang. Namun
demikian studi kasus yang diamati bisa melebar ke wilayah-wilayah geografis di
sekitarnya, yaitu di Kabupaten (Regentschap) Magelang. Hal ini jelas sangat
wajar karena Kotapraja Magelang sendiri letaknya dikelilingi oleh wilayah
Kabupaten Magelang, baik sejak awal abad ke-20 maupun hingga saat ini.33
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan mengamati kasus penyediaan layanan sosial di Kotapraja
Magelang, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa dinamika kota pada
awal abad ke-20 seiring dengan desentralisasi memperlihatkan terciptanya
persehubungan institusional yang dilakukan oleh berbagai pihak kelompok
masyarakat sipil dengan institusi kotapraja. Melalui dinamika tersebut diharapkan
dapat digambarkan suatu bentuk kewarganegaraan dalam konteks lokal di
Magelang.34
Di samping itu, aspek pelayanan sosial dari pihak-pihak tersebut
akan dapat menggambaran fungsi strategis maupun politis lembaga pemerintah
maupun swasta dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat sebagai warga kota.
Untuk mendukung hal ini maka pertama-tama harus dilihat dulu dalam koridor
kelembagaan formal institusi Kotapraja Magelang.
33
Hal ini bisa dil ihat didalam peta yang dikeluarkan pada masa itu. Lihat
Wegenkaart Gemeente Magelang 1935.
34
Dinamika di lingkup lokal tentu menyimpan banyak realitas yang belum
muncul di permukaan. Kuntowijoyo menyatakan: “..dalam kapasitas kita masing-
masing, marilah kita menyumbangkan usaha-usha kesejarahan untuk mengungkap
sebanyak mungkin sejarah lokal di tempat kita masing-masing bekerja, sehingga -
sejarah dari bawah- ini akan menumpuk menjadi sejarah nasional yang lengkap.”
Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana,
2003), hlm. 21.
13
Manfaat dari penelitian ini adalah menambah ragam penelitian sejarah
perkotaan.35
Narasi sejarah pada tataran lokal memiliki asumsi yang berbeda
dengan narasi nasional dan seringkali narasi nasional menutup berbagai realitas-
realitas lokal. Itu perlu dimunculkan guna menunjukkan bahwa kota adalah ruang
yang seharusnya inklusif terhadap berbagai perbedaan, baik ras, etnis maupun
kepercayaan. Di samping itu sejarah perkotaan khususnya mengenai Kota
Magelang masih banyak yang hanya menempatkan Magelang sebagai aspek
spasialnya saja, bukan digunakan secara spesifik untuk mengkaji kekotaan. Perlu
dibedakan antara kota hanya sebagai aspek spasial dan kota sebagai aspek utama
dan spesifik dalam kajian sejarah. Penelitian ini juga diharapkan memberikan
sumbangan pengetahuan mengenai sejarah pelayanan sosial di perkotaan yang
dapat berjalan apabila terjadi kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak
pemangku kekuasaan dengan masyarakat sipil yang beragam sebagai penyedia
layanan tersebut.
D. Kerangka Konseptual
Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin, pars yang berarti
bagian dan capere yang berarti mengambil, sehingga partisipasi dapat diartikan
“mengambil bagian”. Sementara itu dalam bahasa Inggris, participation dapat
dimaknai sebagai “mengambil peranan”. Dengan demikian partisipasi dalam studi
35
Keragaman sejarah tentu saja merupakan napas dari “sejarah” itu
sendiri. Tanpa keragaman maka sejarah sebagai ilmu tidak akan berkembang. Jadi
tugas penting sejarawan pada saat ini adalah membuat narasi sejarah menjadi
beragam, sehingga realitas tentang masa lalu dapat terungkap dengan beragam
pula. Sartono Kartodirdjo telah menyarankan agar sejarawan memberi penekanan
pada mikro-histori, tentu saja dengan maksud agar realitas yang beragam semakin
terungkap. Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia Suatu Alternatif. (Jakarta : Gramedia, 1982), hlm. 20.
14
ini dapat dipahami sebagai masyarakat yang mengambil peranan dengan
menyediakan berbagai pelayanan sosial di Magelang. Partisipasi masyarakat
tersebut menjadi penting mengingat konteks periode kolonial yang mana segala
kemungkinan bagi partisipasi masyarakat cenderung tertutup dan melalui
partisipasi non-politiklah hal tersebut masih memungkinkan.
Partisipasi masyarakat lantas akan membawa pada diskusi pentingnya
aspek kewarganegaraan (yang bersumber dari konsep citizenship) di dalam suatu
kehidupan perkotaan kolonial. Konsep citizenship yang sejatinya menuntut
perlunya pengakuan atas hak-hak warga oleh penguasa, termasuk hak-hak politik
secara luas, tentulah tidak dimungkinkan pada masa kolonial, khususnya pada
dekade ke-tiga abad ke-20 hak-hak warga dalam aktifitas pergerakan politik
dianggap mengganggu “ketertiban”.36
Dengan kata lain sebaiknya
kewarganegaraan pada masa kolonial tidak dipahami dalam artian politik semata
mengingat sangat terbatasnya hak-hak sipil masyarakat kolonial. Untuk itulah
kajian-kajian yang berkaitan dengan kewarganegaraan pada masa kolonial
memerlukan perspektif lain karena atmosfer sosio-politik yang tidak
memungkinkan. Henk Schulte Nordholt menawarkan konsep cultural citizenship
yang menitikberatkan pada aktifitas kelas menengah sebagai subjek yang
berorientasi pada gaya hidup yang berkembang di perkotaan.37
Tawaran Schulte
36
Elsbeth Locher-Scholten, “The Colonial Heritage of Human Rights in
Indonesia: The Case of the Vote for Women, 1916-4”, Journal of Southeast Asian
Studies, Vol. 30, No. 1 (Mar., 1999), pp. 54-73. Cambridge University Press.
37Lihat Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the
Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian
Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011).
15
Nordholt ini sebenarnya untuk memecah kebuntuan kajian berkait dengan
kewarganegaraan di suatu negara kolonial.
Konsep citizenship sebelumnya juga telah diteorisasikan oleh T.H.
Marshall. Marshall menyatakan bahwa citizenship itu sendiri terbagai menjadi tiga
kategori, yakni civil citizenship, political citizenship, dan social citizenship.38
Konseptualisasi ini digunakan oleh Marshall untuk menjelaskan perkembangan
kelas sosial masyarakat Inggris selama kurun waktu tiga abad sejak abad ke-18
hingga ke-20 yang pada akhirnya berujung pada perwujudan social citizenship itu
sendiri. Pada periode social citizenship itulah tuntutan hak-hak warga tidak hanya
berorientasi pada partisipasi pemerintahan semata, namun juga tuntutan atas hak-
hak sosial seperti pendidikan, kesehatan, dll. Selain itu social citizenship ini juga
akan membawa pada arah atau suatu bentuk welfare state. Itu semua diwujudkan
oleh perjuangan warga dalam keduduannya sebagai citizen (warga).
Konsep citizenship berkembang pesat di Indonesia setelah runtuhnya
rezim Orde Baru. Muhammad AS. Hikam adalah salah satu yang menawarkan
konsep “politik kewarganegaraan” sebagai alternatif bagi landasan politik
Indonesia pasca reformasi 1998. Menurutnya keturutsertaan warga dalam bidang
politik sangat diperlukan untuk mereformasi sistem yang telah ada. Dinamika
politik sudah seharusnya dipandang dari perspektif warga bukan dari visi
38
T.H.Marshall, “Citizenship and Social Class” dikutip Kathleen Knight
Abowitz and Jason Harnish, “Contemporary Discourses of Citizenship”, Review
of Educational Research, Vol. 76, No. 4 (Winter, 2006), pp. 653-690. American
Educational Research Association.
16
penguasa (the people point of view).39
Dengan demikian perspektif top-down
semestinya bergeser menjadi bottom-up.
Meskipun memiliki makna luas, citizenship memiliki elemen dasar yang
menekankan pada aspek yang berhubungan dengan hak-hak warga, partisipasi
serta keanggotaan baik sebagai warga dalam negara/kota maupun warga dalam
masyarakat itu sendiri. Kewaragaan dalam konteks kota (urban citizenship) akan
sangat berkaitan apabila dipandang dalam arus bottom-up citizenship dan
citizenship sebagai praktek serta partisipasi.40
Urbanisasi membawa bentuk-
bentuk baru warga kota dalam wadah “publik” dalam aspek politik, ekonomi
maupun sosial dan karena kompleksnya kehidupan di perkotaan membuat
berbagai kebutuhan pun muncul. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan itu tidak serta
merta disediakan oleh pemerintah kota sehingga memunculkan gerakan dari
bawah yang mendorong adanya ekspansi partisipasi dari masyarakat.
Kewarganegaraan menekankan partisipasi dan tanggung jawab publik dari setiap
warga.41
Aktivitas kewarganegaraan ini dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa
39
Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan : Landasan
Redemokratisasi di Indonesia. (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1999), hlm. 149.
40 Lihat Joe Painter, Urban Citizenship and Rights to the City.
International Centre For Regional Regeneration And Development Studies
(ICRRDS), (Durham University, 2005), hlm. 7.
41 A.S.Hikam telah mengelaborasikan berbagai penjelasan tentang
citizenship ini dan menyebut dalam enam pengertian. Pertama, kewarganegaraan
sebagai konstruksi legal, sebagaimana dikembangkan oleh Dahrendorf dan Smith;
kedua, kewarganegaraan diartikan sebagai posisi netralitas sebagaimana
digunakan oleh Rawls dan Rorty; ketiga, kewarganegaraan sebagai keterlibatan
dalam kehidupan komunal yang dikembangkan oleh Tocqueville, Barber dan
Walzer; keempat, kewarganegaraan dikaitkan dengan upaya pencegahaan
terhadap terjadinya konflik-konflik berdasarkan perbedaan kelas yang dikenalkan
oleh TH.Marshall; kelima, kewarganegaraan sebagai upaya pemenuhan diri (self
sufficiency) dikenalkan oleh Mead dan Fullinwider dan keenam, kewarganegaran
sebagai proses “hermeunitik” yang berupa dialog dengan tradisi, hukum dan
17
memandang latar belakang sosial maupun ekonomi, seperti ras, etnis,
kepercayaan, pencaharian, dll. Meskipun demikian dalam konteks kolonial yang
tampak mendominasi hal ini adalah dari kalangan kelas menengah dan elit di
perkotaan.
Penjelasan dari konsep yang berkaitan dengan kewarganegaraan
dimaksudkan untuk membingkai penelitian ini. Penekanan pada warga Kota
Magelang dalam berbagai aktifitas pelayanan sosial akan menunjukkan betapa
pentingnya peran warga dalam suatu kota kolonial. Maksud dari kewarganegaraan
pada masa kolonial di dalam studi ini bukanlah bentuk kewarganegaraan yang
diperoleh sebagai hasil dari aktivitas-aktivitas “pergerakan nasionalis”, bukan
pula ingin memperlihatkan suatu “kewarganegaraan Hindia” mengingat konteks
kolonialisme yang membatasi elemen-elemen kewarganegaraan itu sendiri untuk
berkembang. Untuk menghindari hal itu maka kewarganegaraan di sini sebaiknya
tidak ditempatkan pada konteks nasional, melainkan konteks lokal. Di sinilah kota
sebagai suatu lokalitas dapat dijadikan konteksnya.
Di samping itu, prinsip kewarganegaraan ini juga berkaitan dengan tatanan
civil society, karena civil society itu akan kokoh bersamaan dengan kuatnya pula
prinsip-prinsip kewarganegaraan. Jika merujuk pada peraturan pemerintah
kolonial yang menyatakan bahwa urusan sokongan kemiskinan adalah sebesar-
besarnya tanggung jawab masyarakat42
, maka ini bisa menjadi titik tolak bagi
institusi seperti pemahaman Gadamer, Arendt dan Alejandro. A.S.Hikam, op.cit.,
hlm. 163-164.
42Staatsblad van Nederlandsch Indie 1934 no.26 tentang Armenzorg
(sokongan/dukungan bagi orang-orang miskin).
18
naiknya gerakan masyarakat sipil43
pada ranah kepedulian sosial atau gerakan non
politik.44
Untuk melihat ini maka orientasinya harus dilepaskan dari pandangan
nasionalistik yang cenderung menempatkan persoalan kemerdekaan sebagai
klimaksnya. Mengutip pernyataan Abdul Wahid, bahwa dinamisme kota dan
partisipasi warganya tersebut hanya bisa dipotret secara berbeda jika ia tidak lagi
dipandang melalui lensa dan pendekatan nasionalistik yang menempatkannya
sebagai kepanjangan dinamika politik pusat atau bagian dari dinamisme politik di
kalangan elit pribumi yang menginginkan tercapainya kemerdekaan Indonesia.45
Dengan demikian tentu saja civil society di dalam studi ini harus dimaknai secara
terbatas, di mana ciri keswadayaan dan kemandirian masyarakat sipil yang
direfleksikan oleh perkumpulan sosial-kemanusiaan di Magelang ini tidak mutlak
independen dari hubungan yang lebih kooperatif dengan negara.46
43
Perlu diketahui bahwa berbagai gerakan kemasyarakatan adalah bagian
yang esensial dan merupakan pertanda kehadiran civil society. Lihat Dawam
Rahardjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial.
(Jakarta : LP3ES, 1999), hlm.136.
44
Pada prinsipnya diskursus civil society senantiasa menempatkan aktor-
aktor dalam suatu ruang dengan tujuan untuk memperluas batas-batas ruang
tersebut vis-a-vis negara. Lihat Nico Schulte Nordholt, “Pelembagaan Civil
Society dalam Proses Desentralisasi di Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt
& Gusti Asnan (Ed), Indonesia in Transition Work in Progress. (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003), hlm.30
45
Abdul Wahid, “Kota, Pranata Perkotaan dan Colonial Governance :
Beberapa Catatan tentang Administrasi Perkotaan di Indonesia Pada Masa
Kolonial Akhir”, disampaikan dalam The Second National Graduate Seminar on
Urban History of Indonesia 2014. Yogyakarta, 18-19 Juni 2014, Jurusan Sejarah,
FIB, UGM, hlm. 10.
46
Menurut Muhammad AS Hikam, civil society dapat didefinisikan
sebagai “wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan,
antara lain : kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan
keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh
19
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan dengan menelaah berbagai kajian yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan, yakni sejarah kota/urban history dan juga
kajian sejarah Kota Magelang.
Kajian perkotaan sebenarnya telah dimulai semenjak awal abad ke-20.
Karya-karya tersebut muncul di beberapa kota dan ditulis dengan tujuan untuk
memperlihatkan identitas beserta gambaran kotanya oleh orang-orang yang
biasanya merupakan bagian dari kotapraja. Beberapa di antaranya adalah Oud
Soerabaia & Nieuw Soerabaia oleh G.H. von Faber47
, Wetenswaardigheden van
Magelang oleh H.J.Sjouke48
, 25 Jaren Decentralisatie in Ned.Indie 1905-1930
yang disunting oleh J.W.M.Kerchman49
, Malang de bergstad van Oost-Java oleh
Kotapraja Malang50
dan sebagainya. Disertai dengan gambar dan foto-foto yang
menarik, di dalam karya-karya tersebut diceritakan berbagai hal seperti penduduk,
bangunan-bangunan, tempat wisata, kondisi perkotaan, sarana-sarana publik
termasuk berbagai halaman iklan. Beberapa di antaranya juga menampilkan
cerita-cerita sejarah kemunculan daerah atau asal nama kota itu sendiri. Ini
sengaja dibuat sebagai bagian dari upaya menunjukkan keberadaan kota serta
promosi kota, khususnya keberhasilan semenjak desentralisasi diterapkan. Kesan
yang muncul adalah potret kemajuan kota itu sendiri dari beragam aspek.
warganya. Lihat Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society. (Jakarta :
Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm.3.
47
G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia. (Soerabaia : N.V. van Ingen, 1935).
48
H.J. Sjouke, Wetenswaardigheden van Magelang. (Magelang : 1935).
49
J.W.M.Kerchman, 25 Jaren Decentralisatie in Ned.Indie 1905-1930.
(Semarang : Vereeniging voor Locale Belangen).
50
Gemeenteraad Malang, Malang de bergstad van Oost-Java. (Malang :
Gemeenteraad Malang, 1927).
20
Meskipun karya-karya tersebut tidak berfokus pada satu hal, namun dari karya-
karya itulah kajian perkotaan pada masa kini biasanya dirujuk. Karya-karya
perkotaan selanjutnya terus bermunculan hingga masa-masa pasca kemerdekaan
dan menjadi bagian dari berbagai disiplin ilmu yang menjadikan tema perkotaan
menjadi kajian secara khusus seperti arsitektur, antropologi, arkeologi maupun
sejarah. Hal itu menandai perubahan objek perkotaan itu sendiri dari sekedar
realitas perkotaan menjadi realitas pengetahuan.51
Dewasa ini kajian sejarah kota Indonesia, khususnya periode kolonial
akhir (akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20) barangkali dapat
dimaknai ke dalam tiga garis besar. Pertama, kajian yang menempatkan perkotaan
sebagai pangkal yang berimplikasi pada meningkatnya kelas menengah yang
kemudian membangkitkan nasionalisme. Ini dilakukan oleh W.F.Wertheim dalam
studinya mengenai transisi masyarakat Indonesia dimana orang-orang baru
pribumi sebagai warga perkotaan dan terpelajar akan memiliki peran penting
dalam perkembangan kesadaran kebangsaan ataupun nasionalisme serta berbagai
perkembangan sosial dan politik di masa yang akan datang.52
Sejarawan Sartono
Kartodirdjo menggambarkan kondisi kota-kota sekitar awal abad ke-20 sebagai
suatu ruang sosial dimana di dalamnya memicu terbangunnya “integrasi
nasional”, suatu konsep yang juga mengarah pada kebangkitan pergerakan
51
Purnawan Basundoro, “Dari Realitas Kota Menjadi Realitas
Pengetahuan : Sebuah Catatan Historiografis”, disampaikan dalam Seminar
Sejarah Kota Indonesia : Kota dan Permasalahan Sosial : Dari Kota Kolonial
hingga Pascakolonial. Diselenggarakan oleh Mahasiswa Pascasarjana Sejarah
FIB UGM (Yogyakarta, 18-19 Juni 2014).
52
W.F.Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan
Sosial (judul asli : Indonesian Society in Transition a Study of Social Change).
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999).
21
nasional.53
Sementara itu Adrian Vickers dengan penekanan pada “rasa modern”
yang tumbuh di ruang kota juga menyatakan bahwa kota berperan penting dalam
“menciptakan rasa ke-Indonesiaan bagi orang-orang yang oleh Belanda disebut
pribumi”. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa rasa modern itu penting dalam
menempa nasionalisme orang-orang Indonesia.54
Begitu pula dengan buku berseri
Indonesia dalam Arus Sejarah yang merupakan sejarah Indonesia resmi versi
pemerintah, sub bab atau bagian yang menyoroti sejarah perkotaan diikuti dengan
bab “kemunculan kebangsaan” atau yang mengarah pada nasionalisme.55
Kajian
perkotaan bercorak historis-sosiologis oleh Akhmad Ramdhon yang baru-baru ini
terbit pun menyatakan hal yang sama, bahwa suatu kota membingkai upaya dan
kerja keras kekuatan awal nasionalisme.56
Sementara itu, ruang kota sebagai
pendorong nasionalisme yang lebih radikal digambarkan oleh W. H. Frederick.
Kota digambarkan sebagai arena kontestasi antara pihak penduduk pribumi yang
didorong oleh kelompok priyayi baru dan pemerintah kota sebagai representasi
dari pemerintah kolonial (studi kasus Surabaya). Pertentangan keduanya sampai
pada taraf yang radikal hingga berujung pada suatu gerakan revolusi Indonesia.57
Sejarah kota yang bercorak demikian juga ditemui di dalam historiografi yang
mengambil fokus pada periode revolusi (pasca 1945). Revolusi di berbagai kota
53
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah
Pergerakan Nasional (Jilid 2). (Yogyakarta : Ombak, 2014), hlm 80-113.
54
Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern (judul asli : A History of
Modern Indonesia). (Yogyakarta : Insan Madani, 2011), hlm.92.
55
Taufik Abdullah, dkk (Eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah 5. (Jakarta :
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2009).
56
Akhmad Ramdhon, Merayakan Negara Mematrikan Tradisi Narasi
Perubahan Kampung-Kota di Surakarta. (Yogyakarta, 2016).
57
W.Frederick, “Indonesian Urban Society in Transition : Surabaya 1926-
1946”, Tesis Ph.D., (University of Hawaii, 1978).
22
menunjukkan perlawan terhadap kekuatan asing sebagai akibat dari kesadaran dan
kesepakatan orang-orang pribumi atas proklamasi kemerdekaan di Jakarta.
Meskipun dengan eksplanasi yang berbeda-beda, historiografi masa revolusi di
berbagai kota mengikuti alur pemahaman bahwa kota adalah ruang yang
menstimulus berbagai gerakan yang bersifat nasionalis atau untuk tujuan nasional
yang harus bertentangan dengan kekuasaan kolonial Belanda itu sendiri.58
Karya-
karya tersebut adalah studi sejarah lokal kota seperti di Surabaya, Bandung59
,
Jakarta60
dll. Pembedaan antara kelompok-kelompok nasionalis (pribumi) dan
orang-orang kolonial (pemerintah) ini kemudian diikuti oleh historiografi-
historiografi sesudahnya, seperti misalnya perebutan ruang kota oleh Purnawan
Basundoro yang juga bercorak demikian.61
Dengan demikian historiografi seperti
ini cenderung menekankan pada aspek konflik politik ataupun sosial-politik
perkotaan di dalam kajiannya.
Kedua, kajian perkotaan yang dimaknai sebagai pangkal dari modernisasi
kota kolonial. Berkaitan dengan kajian kota semacam itu perlu dikemukakan
program penelitian Indonesia Across Orders : The Reorganisation of Indonesian
58
Dewasa ini telah ada upaya untuk menggali berbagai realitas konflik-
konflik peperangan Indonesia-Belanda yang bebas dari narasi baku ketatnya
batasan “pejuang” dan “musuh” dengan terbitnya historiografi masa revolusi atau
historiografi “perang” yang memanfaatkan sumber-sumber baru, yaitu ego-
dokumen yang dianggap mewakili suara-suara pelaku pertempuran di lapangan.
Lihat Gert Oostindie, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (judul asli :
Soldaat in Indonesie 1945-1950 : Getuigenissen van een oorlog aan de verkeerde
kant van de geschiedenis). (Jakarta : KITLV-Yayasan Obor, 2016).
59
John R.W. Smail, Bandung Awal Revolusi 1945-1946. (Jakarta :
Komunitas Bambu, 2011).
60
Robert B. Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta Pergulatan Antara
Otonomi dan Hegemoni. (Jakarta : Grafiti, 1990).
61Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin Kota
Surabaya 1900-1960an. (Tangerang : Marjin Kiri, 2013).
23
Society 1930-1960 yang diselenggarakan oleh NIOD (Nederlands Instituut voor
Ooorlogsdocumentatie). Program penelitian yang bekerjasama dengan berbagai
lembaga ini (LIPI, PSSAT dan Jurusan Sejarah UGM, Jurusan Sejarah Universitas
Airlangga) menghasilkan berbagai publikasi sejarah kota yang menarik dan
memberikan kerangka baru dalam memahami perkotaan. Dekolonisasi dipahami
sebagai suatu proses kesinambungan serta perubahan ruang dan waktu. Berbagai
kajian dalam program ini penting dalam menghasilkan peluang untuk memahami
kota tidak hanya sebagai arena dominasi dan perlawanan melainkan juga sebagai
suatu arena modernitas.62
Contoh mutakhir kajian ini adalah buku yang dieditori
oleh Freek Colombijn dan Joost Cote, yang berisi kumpulan tulisan para ahli
perkotaan baik dari kalangan sejarawan maupun ilmu sosial lain dengan beragam
tema, seperti pemukiman, kesehatan, transportasi, perairan serta isu-isu sosial lain
yang terjadi dalam suatu kota sejak dekade kedua hingga pertengahan abad ke-
20.63
Ini adalah suatu hal yang menarik bagi perkembangan historiografi
perkotaan pada khususnya dan historiografi Indonesia pada umumnya dimana
narasi yang dibangun telah membuktikan bahwa kota tidak hanya semata-mata
dan tiba-tiba memberikan ruang bagi orang-orang Indonesia (nasionalis) untuk
62
Banyak penelitian yang telah dihasilkan dan dipublikasikan berkaitan
dengan program penelitian dari NIOD ini, seperti Freek Colombijn, dkk, Kota
Lama Kota Baru Sejarah Kota-kota di Indonesia. Yogyakarta : NIOD, Ombak
dan Jurusan Sejarah Universitas Airlangga, 2005; Abdullah dan Sukri
Abdurrachman (ed), Indonesia Across Orders : Arus Bawah Sejarah Bangsa
(1930-1960). (Jakarta : LIPI Press dan NIOD, 2010); serta berbagai buku tentang
simbolisme urban seperti Dedi Irwanto Santun, Venesia dari Timur : Memaknai
Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai
Pascakolonial. (Yogyakarta : Ombak, 2011); Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu
Gereja Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado.
(Yogyakarta : Ombak, 2010); dan lain-lain.
63
Lihat Freek Colombijn & Joost Cote, Cars, Conduits, and Kampongs,
The Modernization of the Indonesian City, 1920–1960. KITLV, (Vol 295, 2014).
24
muncul dan menolak segala aspek yang dianggap sebagai hasil dari rezim
kolonial. Bahwasanya modernitas menciptakan situasi yang tidak dapat dihindari
yang menuntut perilaku baru oleh semua orang, menyadarkan suatu realitas
bahwa suatu kota adalah hasil dari proses yang berkesinambungan antara
urbanisasi, modernisasi dan dekolonisasi. Ini artinya ada satu hal, yakni
modernitas yang tidak luput dari proses tersebut dan tidak dapat ditolak oleh
orang-orang Indonesia. Dengan demikian dekolonisasi di Indonesia yang terjadi
dalam bentuk revolusi itu, di dalamnya tidak dapat dipungkiri adalah orang-orang
yang secara kultural menerima gagasan-gagasan yang dibawa oleh Barat
(kolonial) yang diadopsi seiring dengan gelombang modernisasi.
Ketiga, urbanisasi sebagai pangkal yang merangsang peningkatan
kelompok kelas menengah namun tidak berujung pada nasionalisme politik,
melainkan cultural citizens (warga kebudayaan) sebagai hasil akhirnya. Henk
Schulte Nordholt, seorang Indonesianis berkewarganegaraan Belanda
menawarkan gagasan sejarah perkotaan Indonesia semacam ini. Bahwasanya
pandangan historiografi konvensional selama ini yang menempatkan kota sebagai
ruang yang menumbuhkan kelas-kelas menengah sebagai penggerak nasionalisme
hingga revolusi, diperlukan penafsiran ulang. Tidak seluruhnya kelas menengah
yang tinggal di perkotaan menyetujui dan turut serta dalam pergerakan nasional
secara terbuka dan radikal. Nasionalisme terlalu beresiko dan berpotensi
mengancam standar hidup mereka.64
Mereka lantas berpartisipasi dalam bingkai
64
Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the
Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian
Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011).
25
cultural citizenship yang terlihat dari gaya hidup mereka sehari-hari, bukannya
kemerdekaan ataupun revolusi sebagai tujuannya.65
Tanpa bermaksud menegasikan arti pentingnya, garis besar ke dua dan ke
tiga dari historiografi kota menurut kategori di atas dapat dinyatakan sebagai
upaya revisi atau pemahaman baru terhadap historiografi kota garis besar yang
pertama. Historiografi kota yang tergabung dalam garis besar pertama menurut
kategori di atas adalah hasil dari pemahaman sejarah yang berpusat pada narasi
sejarah nasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa sejarah nasional yang mula-
mula dicanangkan pada tahun 1957, tepatnya pada Seminar Sejarah I di
Yogyakarta adalah sejarah yang menekankan pentingnya penjiwaan nasional,
unsur-unsur kemerdekaan serta perjuangan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, Muh.
Yamin menyatakan bahwa filosofi sejarah Indonesia adalah bangsa Indonesia
dengan semangat nasionalisme Indonesia, yaitu rasa patriotisme terhadap
persatuan bangsa, tanah air dan kebulatan kebudayaan pada waktu membina
pembentukan bangsa (nation bulding) Indonesia.66
Semangat zaman tidak dapat
dipungkiri telah turut memengaruhi corak historiografi nasional, termasuk
historiografi kota itu sendiri.
65
Berkaitan dengan gaya hidup (perkotaan) pada masa-masa kota Indies
(sebelum abad ke-20) secara lebih detil telah dibahas oleh Djoko Soekiman, yakni
gaya hidup Indies yang berkembang sebagai akibat bercampurnya orang-orang
Eropa dengan Pribumi. Gaya hidup perkotaan yang dipaparkan oleh Djoko
Soekiman lebih cenderung terhadap kelompok-kelompok elit, baik itu
pemerintahan maupun pengusaha kaya Eropa, bukan kelas-kelas menengah
perkotaan apalagi yang merujuk pada orang-orang pribumi. Djoko Soekiman,
Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. (Jakarta : Komunitas
Bambu, 2011), hlm.99-132.
66
Pembicaraan mengenai Seminar Sejarah I dapat disimak di dalam
Laporan Acara I dan II tentang Konsepsi Filsafat Sedjarah Nasional dan
Periodisasi Sedjarah Indonesia. (Jogjakarta : Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,
1958), hlm. 1-91.
26
Seiring dengan perkembangannya, historiografi nasional kemudian tidak
terlepas dari berbagai macam kritik. Penulisan sejarah Indonesia yang diilhami
semangat nasionalisme telah dipahami semata-mata sebagai reaksi terhadap
kolonialisme ataupun pemerintahan kolonial Belanda. Pendekatan
Indonesiasentris67
dalam penulisan sejarah diartikan sekedar sebagai
menempatkan orang-orang Belanda sebagai musuh dan orang-orang pribumi
sebagai aktor utama.68
Penulisan sejarah yang bersifat demikian telah
meminggirkan berbagai realitas yang sebenarnya merupakan bagian dari sejarah
Indonesia, hanya karena aktor-aktor dari realitas tersebut dianggap “bukan
Indonesia”. Golongan-golongan yang merupakan bagian atau yang berhubungan
dengan kekuasaan kolonial atau juga yang diuntungkan secara sosial-ekonomi
oleh hubungan kekuasaan kolonial itu, seperti golongan Indo, Tionghoa maupun
birokrat atau bangsawan pro-Belanda tidak mendapat tempat di dalam sejarah
Indonesia.69
Begitu pula dengan berbagai penulisan sejarah lokal, yang semula
bertujuan untuk mengungkap berbagai realitas yang lebih beragam di lokalitas
tertentu, justru banyak yang dipaksa untuk terpaku pada arus utama sejarah
nasional, sehingga yang tampak adalah sejarah nasional versi lokal, studi sejarah
67
Istilah “Indonesiasentris” dan “Eropasentris” diperkenalkan oleh G.W.
Locher, seorang guru besar antropologi yang kemudian dipakai oleh G.J. Resink
dalam tinjauannya mengenai historiografi Indonesia. Lihat A.B. Lapian,
“Pengantar”, dalam G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah (judul asli: Indonesian
History Between the myths : Essay in Legal History and Historical Theory).
(Jakarta : Kounitas Bambu, 2013), hlm. xxi.
68
Historiografi Indonesiasentris menurut Bambang Purwanto pada
prinsipnya memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika
dibandingkan dengan historiografi kolonial. Mengenai kritik terhadap
historiografi Indonesiasentris selengkapnya lihat Bambang Purwanto, Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris?!. (Yogyakarta : Ombak, 2006).
69
Lihat Pradipto Niwandhono, Yang Ter(di)lupakan Kaum Indo dan Benih
Nasionalisme Indonesia. (Yogyakarta : Djaman Baroe, 2011), hlm.103.
27
lokal hanya menjadi penyumbang bagi sejarah nasional.70
Dengan demikian perlu
dipertimbangkan untuk mencari alternatif lain dalam penulisan sejarah Indonesia
dengan cara memperluas interpretasi berkaitan dengan berbagai realitas masa lalu
itu sendiri.71
Beberapa kajian yang telah dilakukan adalah menunjukkan
keragaman interpretasi atas identifikasi nasionalisme itu sendiri dalam suatu studi
kasus, seperti misalnya nasionalisme Jawa72
, aristokrat Jawa73
dan nasionalisme
Hindia.74
Berkaitan dengan hal tersebut, studi sejarah perkotaan sebaiknya
dilepaskan dari kerangka sejarah nasional yang telah ada. Jika Schulte Nordholt
menawarkan gagasan dalam bentuk modernitas gaya hidup sebagai fokusnya75
,
70
Kritik atas studi sejarah lokal telah dilakukan oleh Taufik Abdullah
dengan menjelaskan metodologi sejarah lokal yang berbeda dengan sejarah
nasional. Lihat Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Lokal di Indonesia. (Yogyakarta :
UGM Press, 2010), hlm. 1-46.
71
Di sini harus dilepaskan terlebih dahulu anggapan-anggapan yang
terpaku pada historiografi nasional resmi yang menutup celah berbagai realitas
kolonial untuk muncul karena adanya dikotomi yang dianggap nasionalis dan
yang kolonialis, dimana yang terakhir harus ditolak tanpa perlu memperhatikan
keragaman dan kompleksnya keadaan di dalamnya. Suatu kalimat menarik dari
Nicholas B. Dirks yang menyatakan “Eropa maupun Dunia Ketiga dan bangsa
penjajah maupun bangsa terjajah tidak akan terwujud tanpa sejarah kolonialisme”.
Nicholas B. Dirks, “Kolonialisme dan Kebudayaan (judul asli : Introduction :
Colonialism and Culture)”, dalam Budi Susanto, Indonesia di Mata (mata-i) Post
Kolonialitas. (Yogyakarta : Kanisius, 2014), hlm. 67.
72
Lihat Takashi Shiraisi, “Satria vs Pandita Sebuah Debat dalam mencari
Identitas”, dalam Akira Nagazumi (Ed), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang
Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme
Indonesia. (Jakarta : YOI, 1986), hlm. 158.
73
Studi ini dilakukan Farabi Fakih dengan menelaah perbedaan pemikiran
dua tokoh aristokrat Jawa, yaitu Noto Soeroto dan Soetatmo. Lihat Farabi Fakih,
“Conservative Corporatist: Nationalist Thoughts of Aristocrats : The Ideas of
Soetatmo Soeriokoesoeo and Noto Soeroto”, (BKI Vol.168 No.4, 2012), pp. 420-
444.
74
Lihat Pradipto Niwandhono, op.cit. hlm.100.
75
Henk Schulte Nordholt, loc.cit.
28
maka Bambang Purwanto menyarankan agar studi sejarah perkotaan mengangkat
“masyarakat kebanyakan” dalam bingkai konstruksi sejarah kehidupan sehari-
hari.76
Alternatif tersebut mulai dikembangkan, meski tidak selalu di dalam kajian
berlabel sejarah kota, seperti misalnya kajian sejarah oleh Apriani Harahap yang
mengangkat sejarah kehidupan sehari-hari orang-orang India di Medan dan juga
Yelda Syafrina yang melihat kehidupan sehari-hari di Minangkabau sejak awal
hingga pertengahan abad ke-20.77
Studi tersebut mengangkat “orang kebanyakan”
sebagai alternatif untuk menampilkan sejarah Indonesia yang dianggap bisa lebih
Indonesiasentris. Namun demikian itu tawaran alternatif yang tidak lantas mutlak
harus dipatuhi bagi setiap sejarawan yang akan menulis sejarah Indonesia atau
bagian dari sejarah Indonesia. Tentu saja terbuka peluang-peluang lain untuk
menggapai sejarah sebagaimana dimaksud di atas.
Adanya tawaran alternatif tersebut bukan berarti menafikan arti penting
studi sejarah kota yang telah ada sebelumnya. Meskipun memiliki perbedaan
dalam sudut penafsiran atas realitas perkotaan, ketiga garis besar historiografi
kota yang telah disebut di atas tersebut jika ditinjau secara umum dapat ditarik
satu benang merah. Ketiganya, disamping merupakan implikasi-implikasi dari
urbanisasi, juga merupakan suatu wujud peningkatan partisipasi (tentu saja bukan
76
Bambang Purwanto bahkan menawarkan subjek kajian terhadap
kelompok masyarakat yang terabaikan yang selama ini tidak dominan seperti
gelandangan, pemulung, pengemis, tukang ojek, penjual gorengan, penjual bakso,
dan lain-lain yang tidak sekedar membicarakan mereka secara eksklusif namun
aspek yang menyertainya secara lebih luas Bambang Purwanto, “Menulis
Kehidupan Sehari-hari Jakarta”, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk, (Ed).,
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. (Jakarta : 2013), hlm. 245.
77
Yelda Syafrina, “Minangkabau dalam Kemoderenan: Kehidupan Sehari-
hari di Sumatera Barat 1900-1940-an”, Tesis. (Yogyakarta : Departemen Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2015).
29
hanya partisipasi politik) masyarakat kota. Hasil akhir dari ketiga garis besar
historiografi di atas, yakni nasionalisme-kemerdekaan, modernisasi dan
kewarganegaraan-budaya adalah bagian dari ekspansi partisipasi masyarakat
dalam konteks perkotaan yang terjadi pada beragam aspek (politik, sosial,
budaya,dsb). Jadi dinamika perkotaan itu dapat diasumsikan bergerak karena
adanya partisipasi yang sifatnya luas dan beragam yang terjadi dalam berbagai
tingkatan di berbagai kelompok masyarakat ras, etnis maupun kelas.78
Kajian
perkotaan yang telah dilakukan seperti disebutkan di atas dengan demikian telah
memberikan gambaran yang penting sebagai pemahaman atas perkembangan
sejarah kota di Indonesia.
Jika aspek penting dari perkembangan ruang kota adalah “partisipasi”
maka dengan demikian perlu kiranya untuk meninjau seberapa jauh masyarakat
kota turut serta atau berpartisipasi di dalam ranah kekotaan. Ini berarti konteks
diskusi yang sebaiknnya dilakukan adalah pada kenaikan masyarakat sipil kota
yang mampu menentukan dinamika perkotaan itu sendiri ke berbagai arah.
Meskipun demikian, masyarakat sipil itu terbentuk oleh berbagai situasi dan
kondisi yang tengah terjadi pada kota sehingga kota pun memberikan pengaruh
pada dinamika masyarakatnya. Jadi, keduanya baik itu kota sebagai ruang dan
masyarakat sebagai unsur yang aktif saling terjalin dan memengaruhi.
78
“Gerak” menjadi kata yang khas untuk menggambarkan dinamika
sejarah Indonesia dalam kurun pertengahan pertama abad ke-20. Takashi Shiraishi
dalam kajiannya sendiri telah menyatakan bahwa “pergerakan mempunyai makna
yang lebih besar dan kompleks daripada sekedar bangkitnya nasionalisme
Indonesia”. lihat Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926 (judul asli : An Age in Motion :Popular Radicalismm in Java
1912-1926). (Jakarta : Pustaka Utama, 1997), hlm. 469.
30
Selain pustaka-pustaka yang mengkaji kota-kota selain Magelang seperti
di atas, tulisan-tulisan tentang Magelang sendiri telah ditulis dari perspektif
arkeologis dan arsitektur. Tesis yang berjudul Pengelolaan Kawasan Arkeologis
Kota Magelang oleh Irna Saptaningrum dari Jurusan Arkeologi UGM mencoba
mengidentifikasi bangunan-bangunan peninggalan kolonial di Magelang.79
Peninggalan-peninggalan kolonial itu kemudian dicoba untuk dikaji bagaimana
upaya untuk melestarikannya. Tulisan Irna Saptaningrum ini memang menarik
dan tentu saja perlu dikaji dengan perspektif sejarah. Wahyu Utami dari Jurusan
Arsitektur UGM telah menulis disertasi yang berjudul Konsep Saujana Kota
Magelang.80
Disertasi ini berpendapat bahwa tata letak elemen fisik di Kota
Magelang sejak pemerintahan kolonial telah memperhatikan nilai-nilai estetik,
alam ataupun lingkungan, bukan hanya faktor ekonomis semata. Kondisi alam di
Magelang turut mempengaruhi penduduk Magelang merencanakan ruang-
ruangnya, seperti ruang untuk pemerintahan, untuk perumahan, untuk kawasan
pertanian maupun kawasan peristirahatan. Wahyu Utami kemudian berkesimpulan
bahwa konsep saujana Kota Magelang terdiri dari empat hal, yaitu : Suci
(kesucian gunung-gunung yang merupakan tempat tinggal para dewa), Subur
(kesuburan lembah Magelang karena dialiri oleh banyak sungai), Indah (dengan
dikelilingi oleh tujuh gunung dan diapit dua sungai besar) dan Strategis
(persimpangan antara jalur jalur Jogja-Semarang-Purworejo). Karya Irna
Saptaningrum dan Wahyu Utami di atas cenderung menitikberatkan pada elemen
79
Irna Saptaningrum, “Pengelolaan Kawasan Arkeologis Kota Magelang”,
Tesis, Jurusan Arkeologi, FIB, UGM.
80 Wahyu Utami, “Konsep Saujana Kota Magelang”, Disertasi. (Fakultas
Teknik, UGM. 2013).
31
fisik di Kota Magelang. Penekanan pada aspek fisik ini tentu belum dapat melihat
secara lebih dekat yang berkait dengan kondisi masyarakat kotanya sehingga
perlulah kiranya dilakukan penelitian yang lebih mengarah pada aspek tersebut.
Ada skripsi menarik yang melihat perkembangan masyarakat kota Magelang,
khususnya orang-orang Indo, yang ditulis oleh Tedy Harnawan. Skripsi berjudul
Di Bawah Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang
1906-194281
ini melihat lebih jelas masyarakat Magelang (orang-orang Indo)
dengan gaya hidupnya yang modern. Karya ini cukup relevan dengan penelitian
karena orang-orang Indo adalah bagian dari masyarakat kota di Hindia yang dari
keberadaannya menyimpan realitas yang masih perlu diungkapkan.
Karya yang lain berkaitan dengan Kota Magelang ditulis oleh kalangan
militer atau yang bersimpati kepada militer sehingga menghadirkan sejarah
perjuangan pada masa revolusi yang seolah-olah sangat heroik. Penulisan
mengenai masa revolusi ini sudah sangat banyak dan memang semuanya tidak
terlepas dari elit-elit militer dan sejarah diangkat untuk mendukung militerisme,
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karya Moehkardi berjudul Magelang
Berjuang, mengkisahkan perjuangan revolusi fisik di Kota Magelang. Tulisannya
bahkan dijadikan sebagai buku pegangan bagi taruna AKABRI untuk
membangkitkan semangat keprajuritan.82
Begitu pula dengan karya-karya
Soekimin Adiwiratsmoko, Magelang Kota Harapan, yang berkaitan dengan
81
Tedy Harnawan, “Di Bawah Bayang-bayang Modernitas : Orang-orang
Indo di Kota Magelang 1906-1942”, Skripsi. (Fakultas Ilmu Budaya, UGM,
2013).
82
Lihat Moehkardi, Magelang Berjuang. (Magelang : Akabri Darat,
1983).
32
tulisan versi pemerintah dan digunakan untuk menunjukkan program-program
pemerintah daerah khususnya periode pasca kemerdekaan.83
F. Metode Penelitian dan Sumber Penelitian
Metode historis mensyaratkan pencarian sumber (heuristik) sebagai
tahapan yang pertama. Penelitian ini menggali berbagai sumber baik arsip
maupun dokumen-dokumen sezaman yang didapatkan di perpustakaan lokal
(Yogyakarta, Magelang, Semarang) maupun perpustakaan nasional di Jakarta.
Arsip juga diperoleh di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) karena koleksi
arsip di Magelang tidak memadai dalam konteks penelitian yang sedang
dilakukan. Harus diakui bahwa studi ini masih mengandalkan dokumen tertulis
dalam pengerjaannya.84
Berbagai dokumen yang dicari dan telah didapatkan
antara lain arsip-arsip laporan tahunan lembaga sosial masyarakat sipil yang akan
dilihat, seperti Jaarverslag Oranje Nassau dan Jaarverslag O.L.M.Boemi-
Poetera. Ditemukan juga catatan-catatan rapat institusi Kotapraja Magelang yaitu
Notulen Gemeenteraad Magelang dari tahun ke tahun, majalah berseri seperti
Locale Belangen, Locale Tekniek, Magelang Vooruit, serta berbagai buku atau
literatur lain yang mendukung.85
Sumber penting di dalam penelitian ini adalah
83
Soekimin Adiwiratmoko, Magelang Kota Harapan. Magelang (tanpa
penerbit).
84
Kalangan postmodernis menekankan sumber-sumber alternatif di dalam
studi sejarah, seperti film, foto, seni pertunjukan atau teater, monumen bahkan
museum. Alun Munslow menyatakan bahwa berbagi sumber-sumber tersebut
merupakan bagian dari ekspresi sejarah. Lihat Alun Munslow, Narrative and
History. (New York : Pilgrave Macmillan, 2007), hlm. 67.
85
Metode historis menurut Kuntowijoyo merupakan suatu metode dalam
menyelidiki masa lampau yang meliputi teknik pencarian sumber atau heuristik,
pengujian validitas atau keaslian sumber/kritik yang meliputi kritik intern dan
ekstern, interpretasi atas data yang sudah didapat meliputi analisis dan sintesis,
serta terakhir adalah historiografi atau penulisan atas data yang sudah dianalisis
33
catatan rapat Kotapraja (Notulen Gemeenteraad), dimana pengamatan terhadap
sumber tersebut seharusnya dapat menggambarkan berbagai hal, utamanya cara
kerja Kotapraja pada masa kolonial. Namun sayangnya penguasaan penulis
terhadap bahasa Belanda sangat kurang sehingga sangat terbatas yang dapat
ditangkap.
Sumber atau data di atas menurut Sartono Kartodirdjo86
termasuk dalam
data (dokumen) dalam artian sempit, yang biasanya berupa data tertulis.
Sementara dokumen dalam arti luas biasanya berupa audio-visual. Sumber visual
seperti foto atau lukisan juga digunakan. Foto dapat digunakan sebagai sumber
alternatif. Arsip foto dapat diperoleh dari website KITLV, Tropenmuseum,
Colonialarsitecture, dsb. yang menyimpan banyak sekali arsip-arsip foto.
Setelah sumber-sumber didapatkan, kemudian dilakukan analisis pada isi
sumber-sumber tersebut. Melakukan analisis juga tentu tidak akan terlepas dari
melakukan kritik. Kritik terhadap sumber yang digunakan penting untuk lebih
memahami bagaimana memanfaatkan sumber-sumber agar lebih bijak. Analisis
juga dilakukan dengan cara mengkomparasikan fakta-fakta yang ditemukan dari
berbagai sumber itu. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menemukan
pandangan-pandangan baru dari perbandingan sumber-sumber yang telah ada. Ini
dan disintesis. Hampir sama juga dengan Gottchalk, penelitian dengan
menggunakan metode sejarah meliputi pengumpulan informasi yang diperlukan
dari berbagai sumber, pengujian otensitas dan kredibilitas/kritik sumber, analisis
dan sintesis mengenai interpretasi fakta sejarah dan penulisan serta historiografi.
Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana,
2003; Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj.Nugroho Notosutanto. (Jakarta : UI
Press, 1986).
86
Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta : Gramedia, 1997),
hlm.46.
34
penting untuk memperluas pandangan atau pengetahuan mengenai sejarah yang
akan ditulis, sehingga nanti juga dapat diketahui perbedaan-perbedaan isi dari
sumber yang satu dan yang lain serta tentunya dengan penelitian sejarah Kota
Magelang yang akan ditulis ini.
G. Rencana Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa bagian guna menjawab
rumusan masalah yang telah ditentukan, yakni sebagai berikut.
Bab 1 akan berisi latar belakang dengan rumusan masalahnya serta point-
point lain yang sesuai dengan kaidah penelitian seperti tujuan penelitian, kerangka
konseptual, tinjauan pustaka dan metode penelitian.
Bab 2 menceritakan berbagai macam bentuk partisipasi masyarakat
perkotaan dan juga meninjau historiografi perkotaan dewasa ini. Ini bertujuan
untuk membuka pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan perkotaan
didorong oleh adanya ekspansi partisipasi dari berbagai pihak (baik oleh
kelompok semi pemerintahan maupun masyarakat sipil) yang sifatnya lintas ras,
etnis dan golongan dalam beragam aspek (partisipasi ekonomi, politik, sosial,
budaya, kesehatan dsb). Itu tidak hanya berlaku di Kota Magelang sebagai objek
kajian namun di berbagai kota pada umumnya pada masa awal abad ke-20 atau
sering disebut dengan masa-masa kolonial akhir. Ekspansi partisipasi yang
digalakkan oleh masyarakat sipil itu dengan demikian telah menunjukkan
sekaligus memperkuat kedudukan masyarakat sipil itu sendiri. Berhubung
partisipasi tidak hanya dilakukan dalam aspek politik-kekuasaan maka dengan
demikian penguatan masyarakat sipil pada masa kolonial tidak selalu hanya
35
mengarah pada timbulnya “pergerakan nasional Indonesia” sebagaimana yang
selama ini dipahami.
Bab 3 berisi uraian perkumpulan-perkumpulan layanan sosial sebagai
representasi dari ekspansi partisipasi sosial-kemanusiaan masyarakat sipil di kota
ini. Ini berisi fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan fokus pengamatan seperti
pendirian Panti asuhan Van der Steur, Rumah/Koloni Miskin Blondo, Boemi-
Poetera serta tinjauan mengenai kondisi spasial Kota Magelang yang mendorong
partisipasi sosial itu muncul. Ini sudah merupakan bagian dari penggambaran
kewargakotaan (citizenship) dimana mereka turut aktif dalam berbagai layanan
yang bermanfaat bagi masyarakat kota pada umumnya. Namun demikian ini
belum cukup untuk dapat memahami secara lebih mendalam gambaran
kewarganegaraan itu, maka perlu dilakukan pembahasan ke arah yang lebih luas
sehingga gambaran tersebut semakin jelas.
Bab 4 berisi gambaran mengenai keterhubungan partisipasi sosial
masyarakat sipil dengan institusi Kotapraja dalam kaitannya dengan dukungan
finansial. Keterhubungan ini dibagi menjadi dua tahap, sebelum depresi ekonomi
tahun 1930 dan pasca 1930. Sebelum depresi ekonomi, Kotapraja turut berperan
dalam hal sokongan kepada partisipasi sosial masyarakat dalam bentuk subsidi
bulanan ataupun tahunan. Namun tidak mudah bagi perkumpulan-perkumpulan
sosial itu agar mendapat bantuan dari Kotapraja karena sikap orang-orang di
dalam Kotapraja yang terkesan cenderung tebang pilih dalam dukungan terhadap
mereka, meski pada akhirnya subsidi tetap diberikan. Pasca tahun 1930, ketika
depresi ekonomi berdampak pada keuangan Kotapraja, terlihat bahwa Kotapraja
turut aktif dalam penggalangan dana untuk perkumpulan sosial tersebut melalui
36
beberapa acara publik, seperti pasar malam dan pertunjukan amal. Termasuk
bagaimana perkumpulan sosial juga berusaha dalam mencari dana untuk
keberlanjutan aksi sosial mereka. Ini lebih merupakan uraian fakta-fakta yang
merupakan penguat dari asumsi pada bab-bab sebelumnya, tetapi justru di sinilah
bentuk kewargakotaan itu terlihat karena masyarakat sipil dengan pemerintah
tergambar dalam hubungan-hubungan yang berada pada tingkat kota/lokal.
Bab 5 berisi kesimpulan