13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu peristiwa
demokrasi bagi masyarakat sebagai penduduk untuk memilih calon pemimpin
daerahnya. Kegiatan ini menyedot perhatian penduduk dalam jangka waktu yang
cukup panjang, dimulai dengan pengusungan pasangan calon sampai pasca
pemilihan. Koverasi berita pemilihan kepala daerah pun beradaptasi dengan teknologi
komunikasi baru, hingga dapat dilihat tidak hanya media cetak dan penyiaran seperti
radio dan televisi saja yang memasukkan konten Pilkada dalam slot waktu dan space
artikelnya, tetapi juga media baru melalui masivitas konten dengan beragam bentuk,
baik teks, visual, maupun audiovisual. Media baru bahkan memampukan aktor
sebagai produsen pesan tidak hanya dari big media, tetapi dari individual sebagai
pemilik akun dalam media baru.
Pada pertengahan tahun 2012, sejak dim ulainya agenda pemilihan kepala
daerah di ibukota khususnya, dunia media baru m ulai riuh dengan kicauan pengguna
mikroblog Twitter dengan nuansa yang serupa, yakni Pilkada DKI Ja karta 2012.
Sejak masa pencalonan gubernur, linimassa makin hiruk pikuk dengan pemikiran
beragam pemilik akun Twitter yang mendominasi konten, termasuk bentuk
interaktivitas antar pemilik akunnya. Dalam konteks kampanye Pilkada DKI Jakarta
2012, terlihat sejum lah akun dengan intensitas tweetposting yang tinggi dan masing-
masing membawa pasangan calon yang mereka usung sendiri hingga mampu
mempengaruhi twituniverse untuk ikut serta memberi komentar dan berdialog melalui
konten serta menjadi percakapan umum dalam twituniverse dalam jangka waktu yang
panjang bahkan keluar dari platform, menjadi tak hanya sekadar Twitter, tetapi
meluas ke dalam bentuk media arus utama seperti media penyiaran dan media cetak.
Perluasan koverasi media dalam konteks Pilkada pada m edia baru
menunjukkan tingginyainteraktivitas penggunaselamaproses pemilihan. Partisipasi
14
aktif dalam media baru yang disebut sebagai user-generated content makin
memposisikan aktor sebagai elemen yang berkontribusi dalam konteks sosial tertentu.
Dalam proses kampanye misalnya, terdapat peluang munculnya aktor yang memiliki
kuasa atas suatu masyarakat atau publik melalui jabatan, status, ataupun label yang
disandangnya sebagai aktor atau penggerak, peran sentral maupun peran dominan
dalam proses berlangsungnya kegiatan tersebut. Dalam dunia nyata, aktor atau
komunikator dominan dalam konteks pemilihan memiliki latar belakang yang sangat
beragam, bahkan pada media baru,identitas dalam realitas virtual menjadi hal yang
dapat dikaburkan melalui bentuk pseudonym bahkan keragaman identitas yang
digunakan oleh satu orang dalam satu waktu.
Aktor bersifatunknown ini merupakan salah satu hal yang menarik perhatian
dalam media baru, terutama jika mereka memegang peranan sentral dalam wacana di
media baru. Label aktor dominan atau yang disebut selebriti kemudian muncul dalam
dunia jejaring sosial online, atau yang secara spesifik disebut sebagai selebriti mikro.
Label selebriti mikro memiliki dom inasi atas wacana kontekstual dalam media baru
dan memberi kontribusi dalam mengarahkan perhatian publik. Konteks kampanye
Pilkada menjadi area dalam melihat kecenderungan publik memilih calon gubernur
yang akan memimpin masayarakatnya dimana ia tinggal. Melalui media baru dengan
interaktivitas tinggi dan respon langsung, diharapkan membuka sekat dalam
mendiskusikan kampanye Pilkada, dalam hal ini DKI, meski begitu, kekuasaan
komunikator sentral dalam bentuk selebriti mikro ini menjadi batasan tersendiri bagi
tiap orang untuk dapat menyuarakan visinya dengan jelas.
Secara kontekstual, kampanye Pilkada DKI Jakarta sendiri memiliki dampak
yang besar, terutama lokasinya yang merupakan ibukota negara Republik Indonesia
dengan pengaruh yang besar bagi seluruh wilayah yang berelasi dengannya. Sensasi
yang dimunculkan melalui kampanye P ilkada DKI Jakarta 2012 juga beragam mulai
dari calon independen, keberagaman latar belakang pengunsung calon, serta
munculnya isu rasisme dalam negara multikultur ini.
15
Dengan relasi antara konteks, karakteristik dan teknologi media baru, serta
aktor dalam bentuk selebriti mikro, menjadi konsep penting dalam masa kampanye
era teknologi saat ini. Selebriti menjadi aktor yang memegang kendali atas sarana
lingkungan teknologi tempatnya bernaung serta kendali atas audiens yang menjadi
twituniversenya, atau yang dalam relasi selebriti dan audiens sebut sebagai fans atau
pengagum selebriti yang mendedikasikan waktunya untuk mengikuti informasi dan
instruksi yang disampaikan oleh selebriti atau keep updated.
Label media baru sendiri memberi harapan bagi dekonstruksi nilai dan
karakteristik media lama. Ketika media lama dianggap tidak memberi ruang gerak
bagi calon aktor yang tidak memiliki modal yang kuat, harapan muncul ketika hadir
media baru dengan sifat entry barrier yang lebih longgar. Jejaring yang mudah
dibangun dengan interaktivitas yang kuat membawa ekspektasi yang tinggi dalam
terbentuknya masyarakat informasi dan ruang publik. Pada dasarnya terdapat tiga
perspektif dalam melihat teknologi digital, yakni utopian,dystopian, dan syntopian1.
Dalam perspektif utopian, teknologi digital dipandang sebagai pilihan bagi
perkembangan sosial, kesejahteraan masyarakat dan menekankan euforia media baru.
Di sisi lain, dalam kacamata dystopian, teknologi dianggap sebagai sumber
permasalahan baik sosial maupun ekonomi. Pandangan syntopian merupakan
perpektif yang lebih seimbang di antara keduanya.
Merujuk pada pandangan dystopian, media baru dapat dianalisis melalui
pemikiran kritis Marxis dengan adanya unsur hegemoni dan kontrol kekuasaan.
Media dan hegemoninya dipandang mempengaruhi dan membentuk gagasan orang
tentang mereka sendiri dan pandangan dunianya2. Dalam hal ini, media baru yang
diharapkan mampu menjadi alternatif bagi ruang publik, memiliki kecenderungan
sekaligus menjadi arena bagi praktik cyberpower dan politik virtual yang berarti
bahwa individual atau komunitas yang eksis adalah hanya mereka yang memiliki
1 Jan Van Dijk. 2006. The Network Society. London :Sage. Hal. 2.
2 Arthur Asa Berger. 1991. Media Analysis Technique. Revised Edition.Volume 10 the sage commtext
series. USA: Sage. Hal. 50
16
kontrol atas informasi dan teknologi3. Permasalahan dominasi dalam media baru ini
dapat dilihat dari praktik selebriti mikro di microblog Twitter.
Selebriti sendiri merupakan objek yang menarik untuk dianalisis, terutama
dari tiga bagiannya yakni kepribadian, jangkauan dan konten4. Tiga hal yang dimiliki
selebriti tersebut mempengaruhi eksistensi selebriti dalam masyarakat. Kepribadian
selebriti menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemarnya, termasuk pengelolaan
konten untuk dapat menjangkau audiensnya. Selain memiliki kultur tersendiri,
selebriti diposisikan sebagai representasi masyarakat dalam fenomena sosial
masyarakat modern, sehingga dengan m eneliti selebriti, diharapkan mampu melihat
masyarakatnya sekaligus. Sosok idola dalam selebriti menjadi referensi bagi
masyarakat sebagai ‗penggemar‘ dari selebriti tersebut. Problematika dalam selebriti
mikro sebagai saluran komunikasi baru semakin kom pleks dengan sifat
interaktivitasnya, akses langsung pada audiens masif, serta konteks terkini yang
penuh persaingan dalam meraih pengaruh atas kekuasaan pembentukan opini dan
tindakan masyarakat.
Selebriti m ikro yang akan diteliti dalam melihat penguasaan adalah akun yang
sangat aktif dalam linimassa terutama dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2012,
yakni akun Twitter Ade Ayu S atau @TrioMacan2000 dengan status pseudonym yang
memilikifollower 133,616 dan Rudi Valinka atau @kurawayang menyatakan dalam
bio-nya sebagai akun asli dengan follower 9,218 (up-dated 14 September 2012 08:20
WIB). Dalam catatan di media, kedua akun ini cukup kontroversial dengan sejumlah
kicauannya, terutama dalam opininya mengenai calon Gubernur dalam Putaran II
Pilkada DKI Jakarta 2012. Senin 23/7/2012, akun @TrioMacan2000 mendapatkan
serangan dari akun @kurawa yang diawali dari tweet posting @TrioMacan2000
sebelum Pilkada DKI Jakarta putaran I menyerang Foke kemudian berbalik
3 Aelan Arumpac. 2006. A Research Paper on Cyberculture and Virtual Politics. Asian Youth Culture
Camp "Doing Cultural Spaces in Asia" Session 8 “Globalization of Communication and Culture”.
University of Philippines, Philippine Asia Culture Forum. Hal. 7. 4 Shane Tilton. 2011. Nanocelebrity: How to Combine Expertise with Voice. SxSW Future15 “Post
Post-Modern Celebrity” Session. Hal. 1
17
menyerang Jokowi. Keduanya terlibat twitwar, perang terbuka dalam Twitter5. Tweet
@TrioMacan2000 dan @kurawa mendapat banyak respon baik positif maupun
negatif, meski begitu akun ini tidak berhenti menyuarakan opininya dalam
membentuk persepsi follower-nya.
Akun @TrioMacan2000 dan @kurawa dengan labelnya sebagai selebriti
mikro memiliki potensi untuk menjadi trendsetter dalam pemilihan calon gubernur
dalam konteks pilkada DKI Jakarta 2012 dengan pasangan calon yang diusung oleh
masing-masing pihak. Hal ini merujuk pada kekuasaan selebriti dengan posisi sentral
yang mempu mengarahkan opini publik, paling tidak dalam lingkup khusus
jejaringnya.
Bentuk penguasaan atas jejaring dalam akun ini dapat dikaji melalui konsep
penguasaan dalam media baru yang salah satunya dijelaskan melalui konsep
technopower yang memposisikan kekuasaan sebagai strategi utama kekuasaan di
jantung media baru6. Selain itu, Arumpac juga menawarkan konsep cyberpower;
kekuasaan di dunia maya yang membuat manusia semakin terindividualisasi7
.
Kekuasaan melalui teknologi dapat dikendalikan oleh satu pihak atas pihak lain yang
sama-sama menggunakan media baru. Dalam konteks masyarakat demokratis,
kekuasaan bersifat persuasif dan manipulatif8
. Dari paparan tersebut muncul
permasalahan tentang penguasaan dalam media baru. Meski media baru, diposisikan
sebagai ruang publik baru, tetapi tetap ada kecenderungan kontrol dari satu pihak
tertentu.
Penelitian ini akan membedah konten media baru dengan metode kualitatif.
Konten media baru akan dianalisis berdasar tweet-posting yang akan disampaikan
oleh dua akun selebriti dalam linimassa-nya yang dibatasi dalam konteks Pilkada
5http://news.lintas.me/article/salingsilang.com/membongkar -motif-akun-triomacan2000--oleh-
kurawa&utm_source=LATEST&utm_medium=LATEST_6&utm_campaign=LATEST 6 Theo Rohle 2005. Power, Reason, Closure : Critical Perspectives on New Media Theory. New Media &
Society Vol 7 (3). London: Sage Publications. Hal. 211. 7 Arumpac. Op. Cit. Hal. 7
8 Coulthard, Carmen Rosa Caldas- dan Malcolm Coulthard (ed). 2003. Texts and Practices: Readings in
Critical Discourse Analysis. USA: Taylor & Francis e-library. Hal. 85
18
DKI Jakarta 2012. Dalam Twitter tidak ada administrator website, sehingga filter atau
gatekeeper atas informasi yang disampaikan ada pada aktor dan feedback yang
terlihat dari interaktivita s yang terbangun dari relasi selebriti mikro dan follower-nya.
Dengan membedah penguasaan yang tersaji dalam konten media baru,
diharapkan mampu melihat bagaimana media sosial online digunakan dalam konteks
politik oleh selebriti mikro sebagai aktor. Analisis wacana atas konten selebriti mikro
ini juga diharapkan mampu berkontribusi bagi teori media baru yang bernada
dystopian dan melihat bagaimana konsep Foucault terkait teks dan kekuasaan
digunakan untuk menganalisis konten media baru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah :
―Bagaimana penguasaan oleh selebriti mikro melalui akun Twitter
@TrioMacan2000 dan @kurawa dalam Pilkada DKI Jakarta 2012?‖
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana penguasaan yang dilakukan
oleh selebriti mikro melalui akun Twitter @TrioMacan2000 dan @kurawa dalam
Pilkada DKI Jakarta 2012.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran penguasaan selebriti mikro dalam microblog bagi
pengguna media baru.
2. Mengajak khalayak untuk berpikir kritis tentang konten media yang
dikonstruksi oleh aktor.
3. Menjadi bahan bacaan dan kajian yang ingin mendalamistudi analisis wacana
kritis khususnya wacana Foucaultian.
19
E. Kerangka Pemikiran
1. Selebriti dan Media Baru
Selebriti, berikut praktik dan labelnya, menarik untuk dikaji, termasuk
sejarahnya, analisis produksi,dan siapa yang mengonsumsi selebriti serta beragam
relasi diantaranya. Selebriti sendirilekat sebagai komoditas;properti komersial yang
harus dikelola dengan strategi untuk mendapatkan keuntungan. Konten selebriti
bahkan menjadi dasar bagi media di abad 21 dan dalam beragam bentuk
menunjukkan kapasitasnya dalam menarik perhatian dan mengarahkan konsumsi9.
Meski demikian, selebriti memiliki fungsi sosial dan diposisikan sebagai representasi,
wacana, dan industri serta formasi kultural, sehingga selebriti menyediakan tubuh
teks kaya semiotik dan wacana.
Terdapat tiga pandangan dalam melihat selebriti, pertama, oleh kolumnis dan
intelektual publik yang menyatakan bahwa selebriti modern merupakan gejala
perubahan kultural yang membebaskan, singkat, serta sensasional. Kedua, oleh
konsumen, selebriti dideskripsikan sebagai kualitas alami yang hanya dimiliki oleh
individual luar biasa dan ditemukan oleh pencari bakat. Ketiga, dalam literatur
akademik, berfokus pada selebriti sebagai produk sejum lah proses ekonom i dan
kultural10
.Tiga pandangan tersebut juga mengalami perkembangan sampai saat ini,
terlebih dengan kemunculan beragam bentu k definisi serta proses labelling selebriti
yang disandang seseorang dalam fenomena sosial.
Dalam sejarahnya, label pahlawan lebih dahulu disematkan sebelum selebriti
sebagai sosok yang dipuja masyarakat. Carlyle11
menyatakan enam tipe klasik
pahlawan, yakni sebagai teolog, nabi, penulis, pendeta, man of letters, dan raja.
9
Turner, Graeme. 2010. Approaching Celebrity Studies . Diakses dari
http://dx.doi.org/10.1080/19392390903519024, Hal. 11-14.
10
Graeme Turner.2004. Understanding Celebrity . Great Britain: Athenaeum Press. Hal. 4 11
Dalam James Monaco. 1978. Preface to Celebrity : The M edia as Image Makers. Doubleday. Hal. 4.
20
Seluruh tipe tersebut memiliki kualitas yang menempatkan mereka terpisah dengan
orang awam. Mereka telah melakukan sesuatu, bertindak dalam dunia, baik tertulis,
pemikiran, pemahaman, maupun kepemimpinan. Selebriti, di sisi lain, tidak perlu
melakukan salah satunya karena fungsinya tidak untuk bertindak, namun terancang.
Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan sejarah selebriti berkaitan erat
dengan perkembangan teknologi media, meski tidak secara spesifik bergantung
dengannya.
Seperti yang dinyatakan Andy Warhol bahwa di masa depan, tiap orang akan
populer mendunia untuk waktu lima belas menit. Kalimat tersebut menunjukkan
bahwa selebriti memiliki kultur modern dan teknologi terkini dengan adanya selebriti
―sementara‖12
. Akhir tahun 1970an, James Monaco menyebut selebriti dengan
kategori tersebutdengan istilah quasars. Sementara Chris Rojek di tahun 2001
menyebutnya celetoids atau celeactors.
Label selebriti pun tidak hanya dari film, selebriti masa kini juga hadir di
televisi, melalui event olahraga, di internet, dan juga konteks politik13
. Janet
(2003:175) juga menyatakan meski sistem bintang film Hollywood sudah sejak tahun
1920an dan 1930an, pada dekade terkini selebriti juga berasal dari ikon olahraga, dan
kelompok rock yang dibentuk secara sadar, hal ini menunjukkan bahwa struktur
popularitas menjadi pervasif14
.
Proses penyematan label selebriti juga memiliki interpretasi yang beragam.
Breese mengungkapkan bahwa selebriti tidak ditemukan, tetapi dibuat oleh industri
hiburan dan media massa, terkhusus oleh eksekutifdalam dunia hiburan dan editor
12
Riley, Sam G. 2010. Temporary Celebrity: Media ‘Fodder’ and Diversion . The Evolving Media's
Impact on Rhetoric and Society: Proceedings of the 2010 International Colloquium on
Communication. Hal. 1. 13
Breese, Elizabeth Butler. 2010. Reports from “Backstage” in Entertainment News . Springer
Science+Business Media, LLC 2010. Hal. 397. 14
Browne, Janet. 2003. Charles Darwin as a Celebrity . Science in Context 16, no. 1: 175-194. Accessed
February 21, 2013 2:52:46 AM EST. Citable Link http://nrs.harvard.edu/urn-
3:HUL.InstRepos:3345923. Hal. 175
21
majalah sebagai co-conspirator15
. Serupa dengan yang dinyatakan Alexander bahwa
agen pers bekerja sebagai pelindung dari sakralitas label selebriti dengan pemberitaan
dan beragam kegiatan selebrasi16
. Selebriti dikelola melalui pengakuan adanya
perbedaan kekuasaan antara penggemar dan praktisi selebriti dan pengelolaan basis
penggemar yang dilakukan menunjukkan kedekatan, afiliasi, dan respon publik.
Dengan posisi sentral dalam jejaring yang dimiliki selebriti, mereka menjadi alat
politik yang paling penting untuk meraih perhatian historis secara personal dan
terbatas secara cepat dan mudah17
. Dapat dikatakan bahwa selebriti memiliki kontrol
atas teritori, paling tidak dalam lingkup penggemarnya.
Dalam relasi selebriti dan media baru, gejala selebrifikasi makin masifmelalui
web-based media yang memungkinkan respon langsung, baik dalam bentuk kuantitas
follower maupun jumlah pengguna yang klik „likes‟. Dalam hal ini, media baru tidak
hanya menyediakan outlet baru dalam eksploitasi selebriti, tetapi juga memperumit
dinamika antara praktisi selebriti, audiens, dan orang-orang yang ada dalam rentang
antara keduanya18
. Mikroblog Twitter menunjukkan transformasi selebriti dari
kualitas personal menuju popularitas yang bersirkulasi melalui media sosial modern.
Dengan standar dan konvensi yang dim ilikinya, seperti mention, hashtags dan
retweet, Twitter mampu mengubah bentuk interaksi dengan memfasilitasi respon
cepat atas konten yang disampaikan dalam bentuk tweet19
. Komunikasi melalui
internet memberikan immediacy, aksesibilitas, dan keberlanjutan pada ekspresi emosi.
Internet menciptakan mode baru komunikasi manusia, memungkinkan partisipan
15
Breese. Op. Cit. Hal. 340. 16
Alexander, Jeffrey C. 2010. Cultural sociology alexander The Celebrity -Icon. Cultural Sociology 2010
Volume 4(3): 323–336. Hal. 329 17
Monaco. Op. Cit. Hal. 4. 18
Alice E Marwick. dan Danah Boyd. 2011. To See and To Be Seen: Celebrity Practice on Twitter. Sage.
Convergence . 2011. Convergence: The International Journal of Research into New Media
Technologies 17(2) 139–158 (pdf). Hal. 156. 19
Edgar Meij, Wouter Weerkamp, dan Maarten de Rijke. 2012. Adding Semantics to Microblog Posts .
ISLA, University of Amsterdam. Amsterdam. Hal. 2.
22
untuk ambil bagian dalam komunikasi massa dua arah20
. Pengguna di web tidak lagi
merupakan audiens pasif, te tapi partisipan aktif yang mengontrol konten informasi.
Mereka membentuk kualitas data dan meresponnya
Dalam komunitas virtual yang terbentuk di ruang online, pengguna memiliki
kesempatan untuk bebas mengekspresikan diri dan melakukan penyingkapan diri21
.
Dengan internet, penggemar pun dapat membangun komunitas dengan cepat
dibandingkan sebelumnya, setiap orang dapat terlibat dalam penciptaan, distribusi,
dan promosi konten dalam tiap kapasitas.
YouTube menjadi sensasi di tahun 2006, jurnalis dan analis menyatakan bahwa
media tersebut dapat mendemokratisasikan selebriti dan memungkinkan para penari,
penyanyi, komedian berbakat menjadi terkenal tanpa menggunakan mesin Big Media,
seperti yang terjadi pada Justin Bieber. Henry Jenkins menyebutnya kultur
partisipatoris; gaya baru konsumerisme yang masuk dalam lingkungan. Konsumen
media ingin menjadi produsen media, sementara produsen media ingin mengelola
dominasi tradisionalnya atas konten media22
. Kemudahan teknologi kom unikasi pada
pemanfaatannya mempermudah diseminasi informasi, termasuk konten dan
popularitas.
Selebriti menggunakan blog sebagai sarana publisitas dan iklan. Kontennya
informatif dan promosional. Visual dan video digunakan untuk memperluas konten
promosi. Sejumlah selebriti menggunakan blognya dengan kemampuannya untuk
menciptakan berita dengan memberikan sudut pandangnya dalam beragam isu
20
L Sade-Beck. 2004. Internet ethnography: Online and offline . International Journal of Qualitative
Methods, 3(2). Article 4. Retrieved [INSERT DATE]
fromhttp://www.ualberta.ca/~iiqm/backissues/3_2/ pdf/s adebeck.pdf. Hal. 1-4. 21
Baym, Nancy. 2008. Online Community and Fandom . Larm Oslo. Hal. 1. 22
Alice E Marwick. et al. 2010. Youth, Privacy and Reputation. The Berkman Center for Internet &
Society at Harvard University. Hal. 226-230.
23
kontemporer23
. Blog selebriti memiliki jumlah pengikut penggemar yang banyak dan
berkomunikasi dengan frekuensi yang tinggi serta bicara tentang status dan
popularitas orang terkenal.
Gagasan tentang selebriti terutama dipengaruhi oleh acara talkshow .
Hollywood bahkan menyematkan mitos selebriti dan faktor X yang dimilikinya
(talenta dan kharisma). Teknologi media sosial online seperti Twitter, Myspace, Blog,
YouTube, hingga kini memampukan seseorang yang populer dan non populer untuk
meningkatkan kuantitas media personal, melalui manipulasi dan distribusi konten
secara luas, termasuk meraih audiens baik nyata maupun imajinasi24
. Selebriti dalam
jejaring sosial online, menggunakan profil dan foto sebagai basis mengevaluasi
karakter seseorang karena informasi yang diunggah dalam profil menjadi domain
publik dan bukan lagi menjadi sesuatu yang diperoleh oleh pemilik orisinil.
Dalam Twitter, relasi selebriti dan penggemar secara kuantitatif ditunjukkan
melalui jumlah follower. McNamara25
menyebut adanya pengelolaan citra melalui
akuisisi teman, foto, status dan beragam undangan kegiatan, dan kesemuanya berkait
dengan pengaruh dalam jejaring yang dapat meningkatkan popularita s dan posisi
sosial selebriti mikro tersebut. Jejaring juga digunakan sebagai filter dan membuat
selebriti mikro makin hati-hati dengan cara mereka mempresentasikan dirinya.
2. Media Baru dan Kuasa
Terdapat beragam kesimpangsiuran dalam memaknai kekuasaan . Sejumlah
penulis merujuk pada kemampuan mendapatkan sesuatu meskipun terdapat resistensi,
kemampuan untuk memenangkan pertarungan politik, atau kapasitas untuk
23
Singh, Vrat dan Manisha Solanki. 2011. A Celebrity Blogs Revisited A Content Analysis Applying
Social Media Framework. July- September 2011. Media Minamansa. Diakses dari
http://www.mediamimansa.com/16A%20-%20Vol.5,%20No.%201%20English%20-
%20PART%20_B.pdf. 20 Feb 2011. Hal. 2-7. 24
Marwick et al. Op. Cit. Hal. 229. 25
Kim McNamara. 2009. Publicizing Private Lives: Celebrities, Image Control and the Reconfiguration
of Public Space ,Social and Cultural Geography, 10 (February). Hal. 27-29.
24
outmaneuver oposisinya26
. Sedangkan pemaknaan lain menekankan sisi positif
kekuasaan, kemampuan memobilisasi sumber daya untuk menyelesaikan sejumlah
persoalan, serta kekuasaan sebagai kemampuan untuk mengontrol tindakan.
Kekuasaan dan praktik kekuasaan oleh aktor mencerminkan hubungan kelas
sosial. Kekuasaan didefinisikan sebagai makna umum untuk peraihan tujuan,
mewujud pada kapasitas untuk mengelola dan mengontrol orang, material dan
wilayah27
. Dalam situasi tertentu, praktik kekuasaan terkaitberagam media yang
memobilisasi kebutuhan relasi dan instrumentalitas untuk penghargaan objektif yang
dipilih.
Istilah kekuasaan banyak digunakan dan diselewengkan dalam tingkatan
global pada beragam kapasitas dan dampak. Istilahnya berasal dari bahasa latin
potere – to be able – kapasitas untuk meraih sejumlah titik. Namun, kekuasaan secara
umum melibatkan kontrol atas orang lain28
. Kekuasaan merupakan kekuasaan satu
agen (atau kelompok) atas yang lain, kekuasaan untuk menjamin kepatuhan yang lain
terhadap keinginan seseorang.
Kata kekuasaan dapat digunakan dalam dua cara yang agak berbeda.
Kekuasaan yang pertama adalah kesan menang-kalah dari ―power over”, sedangkan
yang kedua adalah ―power to”29
. Dalam ―power over” secara khusus melibatkan
relasi eksploitasi, dom inasi atau paksaan dan dirujuk sebagai kekuasaan distributive,
karena menunjukkan distribusi (kesenjangan) dari beragam properti kehidupan
(respek, kekayaan, teritori, otoritas). Sedangkan ―power to” melibatkan kapasitas
sistemik atau organisasional (kapasitas produktif dari kapitalisme, kapasitas
administratif dari negara patrimonial, jangkauan logistik dari kekuatan perjuangan)
26
Martin Kilduff and David Krackhardt. 2008. Interpersonal Networks in Organizations: Cogition,
Personality, Dynamics, and Culture . UK: Cambridge University Press. Hal. 85. 27
John A Hall dan Ralph Schroeder (Ed). 2005. An Anatomy of Power: The Social Theory of Michael
Mann. Cambridge : Cambridge University Press. Hal. 74. 28
Kim Dovey. 1999. Framing Places: Mediating Power in Built Form . NY: Taylor & Francis. Hal. 9-10 29
Hall dan Schroeder. Op. Cit. Hal. 102.
25
dan dirujuk sebagai kekuasaan kolektif, karena mengikutsertakan kapasitas
kolektivitas untuk mengubah atau mengontrol lingkungan socio-spatial. Kedua tipe
kekuasaan ini tidak ekslusif satu sama lain, kontrasnya, kebanyakan jejaring
kekuasaan memiliki keduanya.
Dalam kerangka praktik kekuasaan dalam media, diposisikan sebagai sumber
potensial bagi pihak yang ingin menguatkan dom inasi melalui pesan yang terkandung
di dalamnya. Media massa, menurut Sallach30
memiliki potensi untuk manipulasi
pemikiran publik dari pemahaman orisinil, seperti dalam cara iklan komersial.
Pengaruh media massa didukung jejaring kontak interpersonal di antara pemimpin
opini.
Media memiliki kuasa atas konstruksi kebenaran yang menjadi bagian dari
kekuasaan. Terlebih dalam tiap masyarakat memiliki sistem kebenaran, politik
kebenaran, wacana yang berfungsi sebagai kebenaran yang berarti mekanisme dan
contoh untuk membedakan pernyataan benar salah, teknik serta prosedur
mencocokkan nilai dalam kebenaran, status yang dilabeli sebagai kebenaran31
. Hal ini
berarti tidak ada praktik kekuasaan tanpa wacana dan basis asosiasi kebenaran yang
beroperasi melaluinya. Kekuasaan tidak dapat dipraktikkan kecuali melalui produksi
kebenaran. Dan tidak ada jalan keluar dari kekuasaan ke dalam kebebasan pada
sistem kuasa yang paralel dengan masyarakat32
. Kita hanya akan memijak dari satu ke
yang lainnya. Logika tersebut membantu memahami pijakan dari media lama ke
media baru, berikut kekuasaan yang ada pada keduanya.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, di Inggris dan Amerika, perjuangan atas
makna terletak dalam media massa, melalui industri budaya, iklan, dan produksi
30
David L Sallach. 1974. Class Domination and Ideological Hegemony . The Sociological Quarterly, Vol.
15, No. 1 (Winter, 1974), pp. 38-50. Wiley on behalf of the Midwest Sociological Society. Diakses dari
http://www.jstor.org/stable/4105619. Diakses pada 29/11/2012 01:15 . Hal. 43 31
Taylor, Charles. 1984. Foucault on Freedom and Truth. Political Theory, Vol. 12. No.2 (May, 1984)
pp. 152-183. Hal. 175. 32
Ibid. Hal. 152.
26
media baru 33
. Interpretasi dominan dicetak dalam produk media yang dijual pada
publik dalam bentuk berita, hiburan, dan kultur. Kekuasaan dalam media berkait
dengan dimana kekuasaan ditempatkan, bagaimana didistribusikan dan dipraktikkan.
Media juga memiliki kuasa atas kemampuannya menunjukkan kredibilitas
informasi dalam persetujuan dengan mitos dan ideologi populer diantara elit
dominan34
. Dalam media, terlebih media baru, jejaring merupakan konsep
fundamental yang menjadi wilayah praktik kekuasaan. Jejaring merupakan
containersumber kekuasaan35
. Relasi kuasa menunjukkan bentuk kekuasaan atas dan
untuk sesuatu.
Media baru didefinisikan sebagai bentuk yang mengkombinasikan tiga C;
yakni computing and information technology, communication networks, digitised
media and information content dan mengalami proses convergence36
. Teknologi yang
dimiliki media baru memudahkan pertukaran informasi yang disampaikan dalam
jejaring komunikasi dalam bentuk konten digital. Perubahan teknologi sendiri
menunjukkan hubungan antara teknologi dan masyarakat yang tidak pernah hanya
satu arah. Teknologi dikembangkan sebagai respon pada agenda aktor sosial yang
berkuasa. Mereka membentuk sendiri tradisi dan mengubah teknologi pada
kepentingannya sendiri37
. Bahkan dalam lingkungan komunikasi terkini, teknologi
komunikasi interaktif memungkinkan pengguna untuk memonitor satu sama lain38
.
Internet memberi kesempatan pada identitas untuk mempublikasikan
pesannya dan bicara pada audiens potensial yang luas, potensi bagi mobilisasi politik,
33
Stephen M. E Marmura. 2008. Hegemony in the Digital Age: The Arab/Israeli Conflict Online . USA:
Lexington Books. Hal. 6. 34
Ibid. Hal. 14. 35
Hall dan Schroeder. Op. Cit. Hal. 5. 36
Terry Flew. 2004. New Media: An Introduction (2nd Edition). UK: Oxford University Press. Hal. 2. 37
Paul DiMaggio, Eszter Hargittai, W. Russell Neuman and John P. Robinson . 2001. Social Implications
of the Internet. Annual Review of Sociology, Vol. 27 (2001), pp. 307-336. URL:
http://www.jstor.org/stable/2678624 .Accessed: 29/11/2012 01:29 . Hal. 327. 38
Papacharissi, Zizi (Ed). 2011. A Networked Self: Identity, Community, and Culture on Social Ne twork
Sites. Edited by Zizi Papacharissi. New York: Routledge. Hal. 235.
27
fasilitasi komunikasi, pembangunan asosiasi, serta strategi aktivis39
. Internet telah
menjadi daya tarik luas sebagai forum media dan sarana jejaring sosial. Partai politik,
gerakan sosial, blogger berita, amal, organisasi keagamaan, dan kelompok berbasis
masyarakat menggunakan medium komunikasi tersebut dalam akses informasi.
Dalam sudut pandang politik, internet menjadi ruang publik terbarukan atau
arena elektronik. Meski begitu media baru perlu dilihat dalam sudut pandang utopian
dan distopian. Pihak yang skeptis mempredikasikan kepentingan ruang komersial
yang tidak responsif didominasi oleh pemain korporat tipikal – tetapi dengan
peningkatan kapasitas untuk menginvasi privasi masyarakat individual40
.
Internet sebagai bentuk media baru memiliki kemampuan dan hambatan
dalam konteks informasi; internet memberikan beragam sumber informasi dengan
mendukung sumber lokal terkait informasi dengan sumber dari beragam lokalitas, dan
untuk mengkomparasikan sudut pandang yang bertentangan, sedangkan hambatannya
ialah, ketiadaan filter dan gatekeeper sehingga memerlukan kapabilitas pengguna
dalam jumlah yang progresif untuk dapat memberikan nilai dan validitas atas
informasi online41
. Keragaman sumber ini menjadi peluang yang sangat baik bagi
kebutuhan informasi, namun validitas informasi memberikan audiens satu upaya
ekstra dalam memahami informasi dengan memberikan tugas tambahan sebagai
upaya konfirmasi atas informasi.
Kultur ini memainkan peran sentral dalam membangun realitas virtual sebagai
hasil konstruksi aktor yang berelasi dengan sistem. Dalam konteks teknologi
komunikasi dan informasi, cyberculture memiliki keterkaitan dengan konsepsi baru
tentang relasi antara politik, teknologi, dan seni sebagai cerminan perubahan dalam
industri kultural yang mengelilingi teknologi komunikasi dan informasi dalam
39
Marmura. Op. Cit. Hal. 1. 40
DiMaggio. Op. Cit. Hal. 319. 41
Flew. Op. Cit. Hal. 8.
28
masyarakat terkini42
. Dengan sifat interaktivitas, jejaring, dan konten digital serta
beragam sifat la in yang menyertai media baru, menjadikan relasi dalam ruang online
mengalami transformasi dan sifatnya semakin bebas secara teknis dan aplikasi
meskipun masih terdapat barrier dalam akses.
Interaktivitas tingkat tinggi dalam media baru menjadikannya medium yang
dinamis. Media interaktif memberi derajat pilihan bagi pengguna dalam sistem
informasi, baik dalam pilihan akses pada sumber informasi dan kontrol atas hasil
dengan menggunakan sistem itu dan membuat sejumlah pilihan43
. Kultur digital
mengubah penggunaan media dalam keseharian. Kultur media cetak bertransformas i
ke dalam kultur audiovisual dan media komputer elektronik. Pengguna media akan
semakin aktif dengan media baru dengan kemunculan interaktivitasnya. Terlebih
pengguna aktif tidak lagi memerlukan intermediasi editor dan retailer dalam jejaring,
menjadikannya lebih interaktif dan otonom44
. Pilihan, kontrol, dan otonomi yang
disebutkan dalam kerangka media baru di atas menunjukkan hadirnya elemen
kekuasaan yang diberikan pada aktor untuk melakukan interaksi dengan pengguna
lain dalam media baru.
Dinamika relasi kuasa di seputaran internet dapat dideskripsikan sebagai
upaya perjuangan antara pemberdayaan individu dan dominasi elit. Individual yang
eksis dalam ruang cyber dengan menggunakan alat bergantung pada infrastruktur
teknologi yang dikontrol oleh elit, te tapi infrastruktur teknologis tersebut eksis untuk
memberikan alat bagi penggunaan individual untuk pemberdayaan45
. Dari pernyataan
tersebut dapat dilihat isu kontrol dari elit yang berarti bahwa kekuasaan masih
dipegang pihak tertentu, meski dalam konteks media baru. Pembagian kekuasaan
sendiri merupakan satu dari aspek sosial yang penting dalam rencana dan penggunaan
42
Hall dan Schroeder. Op. Cit. Hal. 519. 43
Flew. Op. Cit. Hal. 13. 44
Dijk. Op. Cit. Hal. 191. 45
Theo Rohle. 2005. Power, Reason, Closure : C ritical Perspectives on New Media Theory. New Media
& Society Vol 7 (3). London: Sage Publications. Hal. 211.
29
jaringan komunikasi. Sifat media komunikasi secara teknis maupun politis sama
sekali tidak netral. Struktur jejaring memungkinkan untuk sentralisasi maupun
desentralisasi. Pusatnya, node dan terminalnya dapat terhubung dengan sejumlah
cara. Di masa depan, posisi sentral atau periperi terkait orang di dalam jejaring
komunikasi, atau pengasingan mereka dari jejaring, yang secara luas menentukan
posisi mereka dalam masyarakat46
. Relasi individu dengan kepemilikan informasi dan
akses pada infrastruktur disertai kemampuan menggunakan, memproses, memilih,
dan mendistribusikannya menentukan kekuasaan seseorang.
Media baru menyebabkan berkurangnya privasi dan meningkatnya kontrol
total dari atas. Hal ini berarti penggunaan masif dari media baru akan membentuk
penguasaan semakin kuat. Kendali infrastruktur yang dipegang oleh elit memang
menjadi batasan bagi individu untuk mengakses media baru dan menjadikan konten
sebagai salah satu sarana ekspresi eksistensi individu. Meski begitu, dominasi atas
konten perlu ditelusur lebih lanjut untuk melihat kecenderungan kontrol atas konten.
Konten yang tersebar dengan digitalisasi memungkinkan peningkatan
produksi, penyebaran, dan konsumsi informasi dan sinyal komunikasi terjadi dalam
kecepatan tinggi47
. Produksi konten dan distribusi global instan menjadi mudah
dijangkau bagi sejumlah besar orang. Hal ini juga menekankan bahwa internet
memiliki kapabilitas partisipatoris yang lebih besar dibandingkan media lain, upaya
berulang untuk mengontrol konten dan menyetir aliran data.
3. Konten Selebriti M ikro dan Kuasa
Dalam media baru, pengguna dapat memposisikan dirinya sebagai selebriti
dalam tingkat mikro jika memiliki sejumlah follower yang secara aktif berinteraksi
dalam bentuk komunikasi termediasi di internet. Dalam relasinya dengan lingkup
sosial, label selebriti dilihat sebagai representasi masyarakat dalam mengkritisi
46
Dijk. Op. Cit. Hal. 95. 47
Dijk. Op. Cit. Hal. 193.
30
masyarakat modern. Melalui kepribadian, jangkauan dan konten, selebriti dibangun
untuk mempersuasi audiens dan meningkatkan status sosial.
Selebriti mikro secara kuantitatif dibatasi dengan audiens yang dimiliki,
minimal 6,000 akun pengguna dan membentuk konten dalam ceruk tema tertentu48
.
Selebriti mikro menyampaikan informasi dan menjelaskan topik khusus pada audiens.
Jumlah ‗pengikut‘ yang menjadi batasan jangkauan yang dimiliki selebriti m ikro
menjadi penting untuk melihat kemampuannya dalam membangun percakapan
bermakna dalam topik tertentu pada kom unitas dan jejaring yang lebih sempit dan
intim.
Konten menjadi konsep kunci komoditas yang mampu ditawarkan kreator
kepada publik sebagai audiens maupun konsumen media. Kreator konten pada media
baru sangat beragam, mulai dari individu dari kaum sipil, kelompok, organisasi,
korporat, sampai lembaga negara yang terinstitusionalisasi. Hal ini memberikan corak
bagi konteks konten itu sendiri. Konteks politik pun tak luput dari upaya selebriti
mikro untuk membangun wacana dalam mikroblog.
Pada konteks politik, media baru diposisikan sebagai sistem dan selebriti
mikro sebagai aktor. Hal itu menyebabkan demokrasi berada dalam posisi yang
mencemaskan49
. Dilihat dari sudut pandang keterikatan warga negara, analisis kultur
media secara umum, dengan penekanan pada konsumsi dan hiburan, memperlihatkan
adanya bentuk pelemahan jenis kultur publik untuk demokrasi yang sehat. Secara
spesifik, jurnalisme modern sering disalahkan dengan mengancam demokrasi dalam
koverasi politik, melalui berkembangnya komersialisasi, sensasionalisme, trivialisasi,
fiksasi kepribadian, dan sebagainya.
48
Tilton, Shane. 2011. Nanocelebrity: How to Combine Expertise with Voice. SxSW Future15 “Post
Post-Modern Celebrity” Session. Hal. 2. 49
John Corner dan Dick Pels (ed). 2003. Media and The Restyling of Politics: Consumerism, Celebrity,
and Cynicism . London: Sage. Hal. 151.
31
Teks diperlukan untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan relasi kuasa
yang mempengaruhi dan dipengaruhi dalam teks pada interaksi dalam media baru50
.
Terutama dalam beberapa tahun terak5.hir, media sosial dikatakan memiliki dampak
pada wacana publik dan komunikasi dalam masyarakat. Secara khusus, media sosial
mengalami peningkatan penggunaan dalam konteks politik. Twitter sendiri
merupakan platform ideal bagi pengguna untuk menyebarkan tidak hanya informasi
secara umum tetapi opini politik secara publik melalui jejaring, institusi politik
(politisi, parpol, yayasan politik, dan sebagainya.)
Media sosial menjadi basis informasi untuk mengukur opini publik dalam
kebijakan dan posisi politik termasuk juga untuk membangun dukungan komunitas
untuk berjalannya kandidat untuk kantor publik51
. Sejalan dengan perkembangan
media sosial, secara khusus Twitter dan Facebook, makin banyak digunakan dalam
konteks politik – baik oleh warga dan institusi politik. Dari perspektif institusi politik,
penting untuk secara aktif berpartisipasi dalam komunikasi politik berbasis media
sosial, terutama dalam masa kampanye pemilihan, termasuk juga dalam konteks
negara berkembang seperti Indonesia.
Sosok akun pseudonym @TrioMacan20000 populer dengan kicauannya yang
menuai kontroversi. Banyak akun Twitter yang tertarik mengikuti sepak terjang akun
ini di linimassa. Terpantau sejak Senin 3/9/2012 malam, akun tersebut kembali
menjadi perbincangan di linimassa, bukan tentang kontroversi kicauannya, tetapi
tagar #3macan2ribu sebagai objek pertanyaan pengguna Twitter52
. Akun
@ndorokakung menyebut tagar ini sebagai konspirasi para pelawak linimassa. Salah
50
Stefan Stieglitz dan Linh Dang Xuan. 2010. Social media and political communication: a social media
analytics framework. Springer-Verlag. Hal. 51
Zeng, Daniel, Hsinchun Chen, Lusch, R., Shu-Hsing Li, Social Media Analytics and
Intelligence , Intelligent Systems, IEEE , vol.25, no.6, pp.13,16, Nov.-Dec. 2010.
URL: http://ieeexplore.ieee.org/stamp/stamp.jsp?tp=&arnumber=5678581&isnumber=5678575 Hal.
14-15. 52
http://news.lintas.me/article/salingsilang.com/membongkar -motif-akun-triomacan2000--oleh
kurawa&utm_source=LATEST&utm_medium=LATEST_6&utm_campaign=LATEST
32
satu hal yang dapat digarisbawahi dari peristiwa tersebut adalah fokus pa da konten
yang menjadi daya tarik sekaligus poin pembeda antara akun satu dengan lainnya
hingga menjadikannya pusat dari perbincangan.
Kuasa dan sentralitas dalam jejaring merupakan fokus dalam melihat
penggunaan mikroblog oleh selebriti mikro. Individual yang memiliki posisi sentral
tentu saja menikmati posisi kebebasan atas yang di bawahnya pada batasan tertentu.
Sejumlah kajian menyatakan bahwa sentralitas membatasi dengan kekuasaan, baik
dalam organisasi maupun jejaring informal.Di tahun 1948, Bavelas telah menguji
hipotesis posisi sentral memberikan pengaruh53
. Kajian dalam kelompok kecil
menunjukkan bahwa sentralitas berdampak pada jangkauan luas isu dari
kepemimpinan sampai kepuasan personal dalam anggota kelompok. Sentralitas dalam
jejaring mengoperasikan sesuatu seperti kesenjangan dalam stratifikasi sosial.
Melalui konten, citra dikembangkan oleh media tentang dunia dandigunakan
untuk mengkonstruksi makna tentang isu sosial dan politik. Sistem membuat
keseluruhan prosesnya berjalan normal dan alami bahwa seni konstruksi sosial tidak
terlihat54
. Citra tidak hanya merupakan reproduksi, te tapi juga memiliki makna lain,
yakni gambaran mental dari sesuatu yang tidak nyata atau ada.
Selain citra, wacana juga memiliki kontribusi dalam kontruksi, secara khusus
peran aktif dalam mengkonstruksikan dunia sosial55
. Bagi Foucault, wacana
beroperasi dalam empat cara dasar, yakni wacana menciptakan dunia, wacana
mengembangkan pengetahuan dan kebenaran, wacana bicara tentang orang yang
53
Alain Degenne dan Michel Forse. 1999. Introducing Social Networks. Great Britain: Redwood Books.
Hal. 132. 54
William A Gamson, David Croteau, William Hoynes dan Theodore Sasson. 1992. Media Images and
the Social Construction of Reality . Annual Review of Sociology, Vol. 18 (1992), pp. 373-393. URL:
http://www.jstor.org/stable/2083459 .Accessed: 29/11/2012 00:59. Hal. 374. 55
Marianne Jorgensen dan Louise J. Phillips. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method . Great
Britain: Sage. Hal. 7.
33
membicarakannya, serta wacana dan kekuasaan 56
. Secara khusus, konsep wacana
yang ditawarkan oleh Foucault fokus pada kekuasaan yang dikenali sebagai inti dari
seluruh wacana dan satu alasan seseorang berpartisipasi dalam wacana57
. Penelitian
Foucault berfokus pada cara wacana dikelola dan lebih spesifik pada siapa yang
berpartisipasi dan berkontribusi dan siapa yang dieliminasi.
Wacana yang diproduksi oleh selebriti mikro bersirkulasi dalam jejaring
sosial. Jejaring sosial terdiri yang dari orang yang berinteraksi satu sama lain dalam
basis reguler bersifat signifikan secara politis karena merupakan sarana utama untuk
mengkomunikasikan informasi, meningkatkan dan menguatkan emosi umum, dan
karena orang membuat pilihan tentang tindakan politik berlatarbelakang kelompok,
bukan individual58
. Jejaringmikroblog menjadi sarana untuk meraih dan
mempengaruhi pengguna. Termasuk juga memprediksi apakah pesan akan
memproduksi respon pengguna dan membuka kesempatan memaksimalkan viralitas,
jangkauan, serta efektivitas pesan dan kampanye iklan59
. Karena jejaring mengalami
peningkatan penggunaan sebagai saluran untuk meraih dan pemasaran pada
penggunanya, konten mengembangkan tujuan untuk memaksimalkan dampak
terhadap pesan. Tidak seperti produksi berita konvensional, jejaring dalam Twitter
memberi kesempatan untuk mengamati bagaimana pesan yang diproduksi oleh
pengguna, terkhusus selebriti mikro, meraih dan mempengaruhi pengguna.
4. Analisis Teks Media Baru dan Konten Kuasa
56
Whisnant, Clayton. 2010. Foucault & Discourse . A Handout for HIS 389 .
http://webs.wofford.edu/whisnantcj/his389/foucault_discourse.pd f. Hal. 6. 57
Bernd Carsten Stahl. 2004. Whose Discourse? A Comparison of the Foucauldian and Habermasian
Concept of Discourse in Critical IS Research. De Montfort University. Proceedings of The Tenth
Americas Conference on Information Systems, New York, August 2004. Hal. 2. 58
David Johns. 2009. A New Conservation Politics: Power, Organization Building, and Effectiveness .
Malaysia: Wiley-Blackwell. Hal. 65. 59
Yoav Artzi. 2012. Predicting Responses to Microblog Posts. Computer Science & Engineering. USA:
University of Washington Seattle, WA . Hal. 1.
34
Internet sebagai medium unik yang mampu mengintegrasikan mode
komunikasi dan ragam konten merupakan situs penelitian penting untuk
menganalisisdifusi teknologi dan dampak media. Penelitian terkini pada internet
cenderung fokus dalam lima wilayah, yakni digital divide, komunitas dan kapital
sosial, partisipasi politik, organisasi dan institusi ekonomi, serta partisipasi kultural
dan keragaman kultural60
. Internet dengan jejaring elektroniknya menghubungkan
orang dan informasi melalui perangkat digital dan memberi ruang komunikasi
interpersonal.
Internet sebagai media baru memiliki beragam keunikan karakteristik fitur dan
teks yang mampu digali lebih mendalam. Beragam pemanfaatan dan konteks mulai
dari informal sampai formal, skala mikro sampai makro, pada tataran aktor dan
sistem, memberikan daya tarik sebagai objek penelitian. Label selebriti yang
terbentuk dalam media baru menjadi salah satu objek penelitian yang menarik dalam
melihat bagaimana praktik selebriti mikro termasuk relasinya dengan pengagumnya
dalam dunia online. Dalam bagian ini, perlu ditelusur lebih jauh kajian sebelumnya
terkait selebriti, media baru, serta penelitian terkini terkait praktik selebriti melalui
internet.
Penelitian dengan fokus pada selebriti sendiri cukup banyak ragamnya, salah
satunya yang diteliti oleh Ali Ahmed et al (2012) yang menunjukkan pengaruh yang
dibawa oleh selebriti melalui iklan61
. Penelitiannya menekankan bahwa label selebriti
merupakan pribadi yang dikenal publik karena kredibilitasnya atau daya tariknya.
Pengiklan menggunakan selebriti dalam iklannya untuk meningkatkan keyakinan
komersialnya serta efektivitas terkait pengaruhnya pada pembelian. Sedangkan James
Monaco (1978) mengkaji selebriti dari sudut pandang dunia industri perfilman dan
60
DiMaggio. Op. Cit. Hal. 307. 61
Ali Ahmed, Farhan Azmat Mir, dan Omer Farooq. 2012. Effect of Celebrity Endorsement on
Customers Buying Behavior: A Perpective From Pakistan . Interdisciplinary Journal of Contemporary
Research In Business. September 2012 Vol. 4 No. 5. Ijcrb.webs.com .
35
bagaimana selebriti dipandang sebagai tokoh sentral dari film62
. Kedua kajian
tersebut menegaskan signifikansi selebriti dari dulu hingga kini.
Seiring perkembangan platform jejaring sosial, analisis pengguna online
menjadi topik yang populer dengan perkembangannya pada wilayah penelitian yang
berbeda. Melalui penelitian Falkowski (2009), partisipasi aktif pengguna media baru
memainkan peran kunci dalam menentukan keuntungan individual dalam jejaring63
.
Karena jejaring sosial merepresentasikan dan dikategorisasikan oleh sifat seperangkat
aktor dan properti relasi diantaranya, termasuk latar be lakang yang dimiliki oleh
pengguna.
Dalam jejaring, terdapat konsep sentral yang di dalamnya juga terdapat
hubungan biner dan bernilai. Dalam Twitter, hubungan biner ditandai dengan
konvensi follow, sedangkan konvensi retweet termasuk dalam hubungan bernilai64
.
Relasi follow dan RT dapat dengan mudah dikuantifikasikan tetapi dalam dunia sosial
sangat sulit untuk menentukan dan mengkuantifikasikan kualitas hubungan
interpersonal. Meski dapat dianalisis menggunakan frekuensi kom unikasi yang dapat
mencerminkan konten emosional, dan jumlah pengaruh dalam hubungan.
Jejaring sosial dapat dianalisis untuk mengukur kekuasaan, pengaruh, atau
karakteristik individual lain berdasar pada pola koneksi65
. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat kepentingan individual dalam jejaring melalui kekuasaan yang dimilikinya
untuk mengatur stream dan mengelola kesamaan pemahaman dalam jejaring.
Dalam tataran pengguna media baru, Qi Gao et al (2012) melakukan kajian
komparatif dari perilaku pengguna mikroblog yang menggunakan Sina Weibo dan
62
Monaco. Op. Cit.Hal. 4 63
Tanja Falkowski. 2009. Community Analysis in Dynamic Social Netw orks . Dissertation. Magdeburg.
Hal. 5. 64
Maksim Tsvetovat dan Alexander Kouznetsov. 2011. Social Network Analysis for Startups . United
States of America: O’Reilly Media. Hal. 2. 65
Ibid. Hal. 45.
36
Twitter66
. Penelitian tersebut menegaskan layanan mikroblog seperti Twitter memberi
kesempatan pada pengguna untuk mengelola dirinya dalam jejaring follower-
followee. Dengan menganalisis kegiatan microblogging individual, memungkinkan
untuk mempelajari karakteristik, preferensi dan fokus pada pengguna.
Jika penelitian sebelumnya menekankan pada aktor, penelitian Qiming Diao
et al (2010) mengkaji topik dalam mikroblog, dan hasilnya menyatakan bahwa
mikroblog seperti Twitter mencerminkan reaksi publik umum pada peristiwa utama67
.
Topik yang berkembang dari mikroblog menunjukkan suatu peristiwa yang
berdampak pada mayoritas perhatian online. Penelitian Danah Boyd et al (2010)
memiliki fokus yang serupa,tepatnya pada konvensi retweeting sebagai cara
partisipan mengada dalam percakapan.
Konvensi lain adalah penggunaan @user syntax untuk merujuk pada orang
lain dan mengarahkan pesan kepadanya; Honeycutt dan Herring mengkaji praktik
konversasional ini. Seperangkat partisipan juga menggunakan hashtags (#) untuk
menandai tweet dalam basis topik sehingga yang lain dapat mengikuti percakapan
merujuk pada topik khusus. Dalam penelitian Ruth Page (2012), hashtags merupakan
sumber kuat dalam sistem untuk promosi visibilitas dar i update Twitter68
. Hasilnya
menunjukkan self-branding dan selebriti mikro beroperasi dalam kontinum yang
mencerminkan dan mendorong hirarki sosial dan ekonomi yang eksis dalam konteks
offline. Kultur partisipatoris dalam Twitter tidak didistribusikan merata, dan wacana
praktisi selebriti dan korporasi menunjukkan personalisasi sintetis.
66
Qi Gao, Fabian Abel, Geert-Jan Houben, Yong Yu. 2012. A Comparative Study of Users'
Microblogging Behavior on Sina Weibo and Twitter. http://qigao.me/papers/2012-wis-microblog-
comp-umap.pdf. Hal. 2. 67
Qiming Diao, Jing Jiang, Feida Zhu, Ee-Peng Lim. 2010. Finding Bursty Topics from Microblogs . Livin g
Analytics Research Centre. School of Information Systems. Singapore Management University. Hal. 2 68
Ruth Page. 2012. The Linguistics of Self-Branding and Micro-Celebrity in Twitter: The Role of
Hashtags.Hal. 2
37
Penelitian dengan objek mikroblog Twitter dengan konteks peristiwa krisis
juga pernah dilakukan oleh Sarah Vieweg et al (2010) di Amerika Serikat69
.
Penelitian Vieweg semakin menunjukkan sifat pervasif TIK dan mikroblog menjadi
sarana komunikasi dengan sifat ubiquity, kecepatan komunikasi, termasuk juga
aksesibilitas lintas platform.
Sampai sejauh ini analisis wacana berkaitan dengan berita pada media hanya
berfokus pada konten yang diungkapkan oleh aktor kebijakan70
. Kekuasaan tersebut
diposisikan dalam genggaman aktor kebijakan. Sedangkan dalam media baru, siapa
saja memiliki kekuasaan dan pilihan atas dominasi merupakan pilihan bebas.
Mikroblog sebagai salah satu bentuk media sosial dalam internet, dalam
pemanfaatan topik politik, diteliti oleh Goldbeck et. al.71
yang berfokus pada kongres
Amerika dan menganalisis konten lebih dari 6000 tweet dari anggota kongres. Dari
penelitian itu ditemukan bahwa anggota kongres lebih yakin Twitter sebagai
kendaraan untuk promosi diri karena mereka menggunakan Twitter secara umum
untuk membagi informasi, dan dalam lingkup khusus menghubungkannya dengan
artikel berita tentangnya dan untuk blog post personal.
Serupa dengan penelitian Goldbeck, studi Ammann (2010) berfokus pada
penggunaan Twitter oleh kandidat senat Amerika dan konten tweet selama musim
pemilihan pertengahan tahun 201072
. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan Twitter oleh kandidat merupakan bagian dari kampanye politik. Dalam
kajian adopsi Twitter dan penggunaannya oleh anggota kongres Amerika, Lassen dan
69
Sarah Vieweg , Amanda L. Hughes, Kate Starbird dan Leysia Palen. 2010. Microblogging During Tw o
Natural Hazards Events: What Twitter May Contribute to Situational Awareness . April 10–15, 2010,
Atlanta, GA, USA 70
Tracey Skillington. 1997. Politics and the Struggle to Define: A Discourse Analysis of the Framing
Strategies of Competing Actors in a 'New' Participatory. The British Journal of Sociology, Vol. 48, No. 3
(Sep., 1997), pp. 493-513. Published by: Wiley-Blackwell on behalf of The London School of
Economics and Political Science Stable. Hal. 498. 71
Dalam Stieglitz. Op. Cit. Hal. 3. 72
SL Ammann. 2010. A Political Campaign Message In 140 Characters Or Less: The Use Of Twitter By
U.S. Senate Candidates In 2010.
38
Brown (2011) menemukan karakteristik anggota yang sering menggunakan Twitter,
yakni mereka yang berasal dari partai minoritas, dalam kondisi keperluan penggunaan
oleh pemimpin partai, termasuk dalam kategori kaum muda, atau mereka yang
melayani dalam senat73
. Hong dan Nadler (2011) memperkirakan dampak
penggunaan Twitter oleh politisi Amerika dalam perubahan opini publik dari politisi
tersebut sepanjang waktu dan menemukan fakta bahwa penggunaan Twitter oleh
politisi tidak memiliki dampak positif maupun negatif dalam opini publik74
.
Larsson dan Moe (2011) mengkaji tentang Twitter selama tahun 2010 dalam
pemilihan umum di Swedia dan menyatakan bahwa Twitter menjadi saluran untuk
diseminasi konten politik dan tidak untuk dialog politik75
. Yardi dan Boyd (2010)
menyatakan bahwa, dalam konteks politik, pengguna Twitter lebih suka berinteraksi
dengan orang lain yang berbagi pandangan yang sama seperti apa yang mereka
lakukan dalam frasa retweet, tetapi mereka juga secara aktif terlibat dengan mereka
yang juga tidak setuju76
.
Twitter sebagai mikroblog pada dasarnya memiliki karakteristik public-
contributed content, sehingga tidak hanya orang yang benar-benar terbiasa
melakukan posting dalam media sosial online saja yang bisa melakukannya, tetapi
juga dilakukan oleh aktivis dan beragam elemen publik lainnya. Media sosial yang
mudah dijangkau ini dijadikannya sebagai salah satu alat untuk melanggengkan
kekuasaan dan dominasinya. Interaksi yang terjadi dalam relasi ‗pengikut‘ dan
selebriti mikro, berbentuk quote tweet, bentuk chirpstory, retweet, agreement ini
73
DS Lassen dan Brown AR. 2011. Twitter: The electoral connection? Soc Sci Comp Rev 29(4):419–436 74
S Hong dan Nadler D. 2011. Does the Early Bird Move the Polls? The use of the social media tool
‘Twitter’ by U.S. politicians and its impact on public opinion. Proceedings of the
InternationalConference on Digital Government Research 75
A Larsson dan Moe H. 2011. Who tweets? Tracking microblogging use in the 2010 Swedish election
campaign. ECIS 2011 Proceedings Paper. Hal. 251. 76
S Yardi dan D Boyd. 2010. Dynamic Debates: An A nalysis Of Group Polariz ation Over Time On
Twitter. Bull Sci Technol Soc 20. Hal. 8.
39
terbangun untuk melanggengkan kekuasaan. Tetap ada ciri khas ruang publik dalam
media baru, namun dominasi konten tidak dapat serta merta hilang.
F. Kerangka Konsep
1.Internet dan Mikroblog
Pada awalnya, infrastruktur internet hadir sejak tahun 1960an untuk
kepentingan militer melalui ARPANET77
. Pada perkembangannya kemudian
konteksnya tidak terbatas secara militer, begitu juga ragam perkembangan internet
yang mengalami evolusi di Amerika dan memunculkan bentuk lain seperti website,
interface dan user-friendly dengan protokol transfer file yang sudah umum saat ini.
Kehadiran media baru dalam interaksi interpersonal memberi implikasi tersendiri
pada bentuk dan pola komunikasi sesuai karakteristik platform media baru yang
digunakan.
Implikasi yang dibawa pada komunikasi sosial oleh teknologi menjadikan
relasi interpersonal yang termediasi bukan merupakan hal yang langka. Relasi yang
termediasi oleh komputer dan jaringan ini disebutkan sebagai masyarakat berjaringan
oleh Castell78
. Penemuan teknologi mendorong sistem manajemen informasi dan
komunikasi yang menciptakan dampak besar pada kehidupan manusia. Adaptasi dari
penggunaan teknologi dalam kehidupan manusia ini perlu dipahami adanya konsep
cyberculture yang dipahami sebagai flux yang luas, dalam, dan konstan79
. Jejaring
cyberculture menghubungkan tubuh, ekonomi, teknologi, subjek, dan ideologi serta
sistem nilai.Informasi sendiri merupakan elemen yang sangat penting dalam dinamika
dunia media baru. Bahkan dalam dunia postmodern, teknologi itu prominent dan
informasi itu penting. Postmodernisme menerima realitas dunia pasca industri yang
bergerak menuju dunia berbasis informasi.
77
Arumpac. Op. Cit. Hal. 1. 78
Manuel Castells dan Gustavo Cardoso. 2005. The Network Society: From Knowledge to Policy. USA:
Center For Transatlantic Relations. Hal. 16. 79
Arumpac. Op. Cit. Hal. 3-4.
40
Di permulaan abad 21 pada dekade kedua, kajian dunia virtual diposisikan
pada persilangan yang sangat menarik. Tidak hanya jumlah dunia virtual yang
meluas; genre dunia virtual terus berlanjut untuk meluas80
. Dunia virtual hadir dan
memainkan peran signifikan dalam sosialitas manusia secara mendunia. Sejumlah
orang akan menghabiskan waktu dalam dunia virtual sebagai sarana untuk melarikan
sejumlah aspek dari kehidupan dunia aktual; yang lain akan menghabiskan waktu
dalam dunia virtual yang menginteraksikannya dengan dunia aktual. Tetapi
kebanyakan orang melakukan keduanya.
Implikasi yang dibawa dengan penggunaan internet sebagai wilayah baru
dengan uncertainty yang tinggi juga menimbulkan kekaburan batasan antara ruang
privat dan ruang publik. Kekaburan ini menimbulkan kerancuan pada sisi konten
yang disampaikan melalui media baru, seperti email, foto, dan video kepada
pengguna lain yang diberikan akses pada laman pribadi di jejaring sosial81
. Interaksi
antar pengguna dalam jejaring menciptakan dan memperluas ikatan sosial. Bentuk
lain jejaring sosial yang dikategorikan sebagai media yang lebih ‗serius‘ adalah blog.
Blog hadir pada pertengahan tahun 2000an dengan adopsi percakapan sosial dari
banyak-ke-banyak dan memulai adanya diskusi untuk topik-topik baru82
.
Pemanfaatan jejaring sosial hingga kinisalah satunya digunakan untuk
diseminasi informasi politik. Pada konteks pemilihan untuk kandidat politik di
Amerika tahun 2004, pemilihan di pertengahan tahun 2006, dan pada kampanye
presidensial tahun 2008, blog kandidat menjadi hal yang umum83
. Senator Hillary
Clinton menyewa blogger politik untuk membangun kampanye citra secara
online.Begitu juga dengan tim kom umikasi Obama yang juga melibatkan Facebook,
MySpace, YouTube, Twitter dan mybarackobama.com.
80
Astrid Ensslin dan Eben Muse. 2011. Creating Second Lives : Community, Identity and Spatiality as
Constructions of The Virtual. UK: Taylor and Francis. Hal. 212. 81
Papacharissi. Op. Cit. Hal. 210. 82
Leila Green. 2010. The Internet: An Introduction to New Media. UK : MPG Books Group. Hal. 72. 83
Papacharissi. Op. Cit. Hal. 209.
41
Jejaring sosial menarik karena pengguna merasa lebih seperti berbicara
daripada menulis. Oralitas merupakan basis pengalaman manusia yang bersifat
partisipatoris, interaktif, komunal, dan fokus pada kekinian84
. Salah satu bentuk
jejaring sosial atau mikroblog yang banyak digunakan adalah Twitter. Twitter telah
dirujuk sebagai marketplace yang berkembang untuk ‗new gurus‟, tempat dimana
pembaca dapat menemukan dan berbagi informasi dan bahkan sebagai alat untuk
pemberdayaan masyarakat untuk mengelola protes skala besar dan merepresentasikan
perubahan sosial85
. Twitter kemudian dapat dilihat, sepanjang situs jejaring sosial dan
sarana komunikasi online, sebagai bagian dari lanskap baru realitas media.
Twitter serupa dengan SMS (layanan pesan singkat) untuk perangkat 2G dan
telah ada sejak 200686
. Tujuan Twitter adalah untuk menulis dalam momen tindakan
keseharian, perilaku, pengalaman atau detail berbasis harian yang membentuk
koneksi antara individual yang secara fisik jauh satu sama lain. Terkadang publikasi
momen mikro juga digunakan untuk memberikan informasi sampai ke menit tentang
berita yang chaos dan terkini.
Melalui Twitter, dapat diamati interaktivitas antar pengguna sangat tingg i,
karena ruang yang disediakan dalam Twitter memang ditujukan bagi pertukaran
pesan antar pengguna dengan sejumlah istilah atau kode khusus yang dipertukarkan
dalam Twitter, seperti ReTweet, Hashtags, dan lain sebagainya87
. Komunitas dalam
Twitter tidak dinyatakan dengan tegas, namun jaringan yang terbentuk dengan
statusfollower pada akun selebriti tertentu membuka interaksi dengan kesamaan tema.
Pada konteks politik, Twitter juga digunakan untuk kegiatan kampanye
bottom-up. Pendukung diberi kebebasan untuk menggunakan media baru untuk
84
Carla Mooney. 2009. Online Social Netw orking. USA: Lucent Books. Baym, Nancy K.. 2012. Fans Or
Friends? : Seeing Social Media Audiences As Musicians Do. Participations: Journal of Sudience and
Reception Studies. Volume 9, Issue 2 November 2012. Microsoft Research, New England USA. Hal. 22. 85
Papacharissi. Op. Cit. Hal. 236. 86
Green. Op. Cit. Hal. 95. 87
Tee Morris.2010. All a Twitter: A Personal and Professional G uide to Social Networking with Twitter .
USA: Pearson Education. Hal. 7.
42
mengelola kegiatan politik mereka sendiri88
. Aktivis yang telah menggunakan
internet sebagai teknologi untuk mengelola dan berkomunikasi dalam jejaring digital,
menggunakan internet untuk memulai penyiaran dan pengelolaan pesa n kepada
audiens global.
Dengan media baru, kampanye politik dapat mengakumulasi data dari
beragam sumber yang dapat digunakan untuk ekstrapolasi informasi politik tanpa
secara langsung berhubungan dengan responden89
. Hal ini semakin menandaskan
salah satu peran penting media baru dalam politik dengan membuka pasar informasi
politik.
Pada akhirnya, dapat dibaca relasi antara teknologi dan manusia membawa
implikasi pada keseharian, terutama aspek komunikasi yang akan diperdalam pada
penelitian ini. Teknolog i media baru mengembangkan jenis identitas baru individu,
yang muncul dalam jejaring, sedangkan dalam konteks politik, identitas online
tersebut membawa pengaruh pada relasi kuasa antaraindividu yang saling berinteraksi
dalam ruang maya dengan karakteristik cyberculture.
2. Selebriti Mikro
Lebih dari satu dekade, studi tentang selebriti menjadi wilayah yang
berkembang dan bertumbuh dengan subur dan bersaing dengan perluasan kultur
selebriti itu sendiri. Studi selebriti berasal dari beragam latar belakang te rmasuk
psikologi sosial, kajian media, sosiologi dan cultural studies, dan analisis selebriti
memberi jalan bagi pengelolaan makna dan signifikansi dalam kultur kontemporer.
Kajian selebriti sangat berguna sebagai titik luncuran bagi investigasi individualitas,
tubuh dan imaji tubuh, cara imaji media bekerja pada publik, selebrasi kepribadian
88
Richard Kahn dan Douglas Kellner. 2004. New Media and Internet Activism: from the battle of
seattle to blogging. New Media and Society 6 (1).Sage.Vol6(1):87–95 DOI:
10.1177/1461444804039908. London. Hal. 87. 89
Philip N. Howard. 2005. Deep Democracy, Thin Citizenship : The Impact of Digital Media in Political
Campaign Strategy . Annals of The American Academy of Political and Social Science. Vol. 597.
Cultural Production in a Digital Age (Jan, 2005). Pp. 153. 170. Sage. Hal. 154.
43
oleh kelompok audiens dan subkultur, persimpangan psikologis terkait kemasyuran
atau reputasi, narsisisme dan diri, kajian tentang aib, ekonomi politik budaya dan
sejumlah besar isu dan fokus yang saling berpotongan90
. Selebriti eksis di publik dan
dalam wacana publik mereka ditandai sebagai pemberi stimulan konsumerisme,
antusiasme, debat publik dan tindakan di antara orang populer.
Dalam sejarahnya, selebriti mendahului industri budaya yang
menguntungkan darinya. Selebriti merupakan bentuk singkat dari celebrated
individual. Selebriti menjadi pusat berbagai bentuk populer produksi kultural yang
dihubungkan dengan kehidupan keseharian modern; musik, televisi, film, jurnalisme,
internet, iklan, dan lainnya91
. Selebriti merupakan hiburan m anusia, yang oleh proses
hidupnya menyediakan hiburan bagi audiens 92
. Narasi yang memiliki nilai hiburan
dapat menciptakan popularitas. Selebriti menjadi dampak dari humanpseudo-event,
karakter publik yang diciptakan untuk tujuan publisitas dan keuntungan93
. Budaya
selebriti menunjukkan komodifikasi yang berguna bagi objek penjualan.
Sebagai ‗figur publik‘, selebriti itu unik dalam cara didukung oleh publik.
Dalam fandom pada konteks selebriti konvensional, selebriti menjadi pusat dari
pengagum yang terhubung dengan nilai dan gagasan94
. Sistem bintang diakreditasi
dengan jumlah besar kekuasaan dalam periode yang mengindikasikan besarnya trend
dalam kehidupan pengikut atau pengagumnya. Popularitas selebriti adalah hasil dari
citra yang secara konstan hadir dalam domain publik.
90
Su Holmes dan Sean Redmond (ed). 2006. Framing Celebrity: New Directions in Celebrity Culture.
London: Routledge. Hal. 116. 91
Sara Babcox First. 2009. The Mechanics Of Renown; Or, The Rise Of A C elebrity Culture In Early
America. Dissertasion. University of Michigan. Hal. 19. 92
Neal Gabler. 2001. Toward a New Definition of Celebrity . The Norman Lear Centertainment. Hal. 5. 93
Ibid. Hal. 2. 94
Stephanie Spear. 2008. The Scene Through A Screen Fandom , Online Community, And M usic
Subculture. Santa Barbara: University of California. Hal. 324.
44
Selama abad 20, hal yang terkait dengan selebriti dikelola secara sadar dan
merupakan fenomena yang diproduksi berkait dengan industrialisasi budaya95
. Dalam
gagasan selebriti merunut interaksinya, selebriti menyambut audiens ke dalam
hubungan imajiner. Audiens mengidentifikasikan dengan kepribadian yang
terkonstruksi. Selebriti yang ideal mengkonstruksikan kepribadian memiliki konten
substantif.
Dalam relasinya dengan media baru, terdapat perkembangan konsep selebriti
yang mengadaptasi dari karakteristik media baru seperti internet yang memungkinkan
adanya interaksi individu dalam dunia online, yakni konsep micro-celebrity yang
melibatkan penggunaan video, blog dan situs jejaring sosial dalam meraih status
selebriti. Awalnya, blog interaktif melalui komentar personal dan politik dalam situs
diskusi di pertengahan tahun 1990an96
. Twitter, merupakan salah satu bentuk media
yang memberi kesempatan bagi pengguna untuk dapat mengelola fans atau mencari
informasi terkini dari teman sebagai pengguna lain dalam kegiatan kesehariannya.
Selebriti mikro dipahami sebagai gaya baru online performance yang
melibatkan tindakan peningkatan popularitas melalui teknologi web seperti video,
blog, dan situs jejaring sosial97
. Sehingga batasannya jelas dalam mengidentifikasi
seorang ‗selebriti‘ yang lahir melalui media baru tentu saja bukan lebih dahulu
populer melalui bentuk media massa. Terdapat dua tipe selebriti mikro, yang diraih
dan yang dianggap (achieved and ascribed)98
. Selebriti mikro yang diraih secara
sadar merupakan label selebriti berdasar pada seperangkat pilihan individu untuk
meningkatkan visibilitas, status, popularitas seperti menjadi model online atau host
video show; sedangkan selebriti mikro yang dianggap m erupakan posisi selebriti yang
95
P. Eric Louw. 2005. The Media and Political Process . London: Sage. Hal. 172. 96
Thomas L McPhail. 2010. Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends. USA:Wiley-
Blackwell. Hal. 141. 97
Theresa M Senft. 2008. Camgirls: Celebrity & Community In The Age of Social Networks . New York:
Peter Lang. Hal. 25. 98
Marwick. Op. Cit. Hal. 58.
45
ditetapkan melalui produksi media selebriti tentangnya, seperti paparazzi atau blog
post gossip.
Pembeda selebriti dengan selebriti mikro ada pada jangkauan pengaruhnya.
Selebriti secara umum dapat memberi arahan pada audiens yang lebih luas
dibandingkan selebriti mikro dalam suatu jejaring. Dalam kajian selebriti, relasi
antara internet dan selebriti membawa pembedaan konsep antara selebriti dan micro-
celebrity pada konteks situs jejaring sosial dan status. Selebriti secara konseptual
merujuk pada seseorang yang dikenal oleh banyak orang yang menyukainya dan tidak
dikenalnya99
. Micro-celebrity dengan selebriti profesional juga memiliki perbedaan
dalam mimpinya untuk meraih sukses dalam hal finansial. Dalam micro-celebrity,
orang hanya akan terkenal dengan pemikirannya100
. Gagasan yang dibawa oleh
micro-celebrity tidak hanya dinyatakan melalui teks dalam blog, tetapi juga melalui
pilihan gambar yang diunggah serta video dengan beragam konten yang ingin
disampaikannya. Micro-celebrity merupakan tindakan, dan terhubung dengan media
sosial dan selebrifikasi budaya modern. Seorang micro-celebrity menggunakannya
untuk meraih status dan mendemonstrasikan kerja keras, jejaring, dan nilai
kewirausahaan oleh scene teknologi.
Selebriti dalam jejaring sosial ditandai dengan jumlah kontak dan visibilitas
yang meningkat101
. Dengan tingkat visibilitas yang tinggi, selebriti menjadi subjek
pada opini publik atau jejaring yang menjadi lebih tertarik masuk dalam
kehidupannya dalam dunia online. Melalui konstruksi citra dan kredibilitasnya,
pengguna mampu memfungsikan sebagai opinion leader dalam ceruk jejaringnya.
Teknologi media sosial menghubungkan antar pengguna dengan menciptakan dan
berbagi konten.Pada Twitter, selebriti dipraktikkan melalui penampilan dan performa
akses di balik layar. Praktisi selebriti menunjukkan apa yang muncul dari informasi
99
Ibid. Hal. 218. 100
Marwick dan Boyd. Op. Cit. Hal. 139. 101
Pugh. Op. Cit. Hal. 15
46
personal untuk menciptakan kesan kedekatan antara partisipan dan follower, fans
yang diakui secara publik, dan menggunakan bahasa dan referensi kultural yang
menciptakan afiliasi dengan follower102
.
Micro-celebrity merupakan hasil dari beragam perubahan dan pergeseran
dalam teknologi, media hiburan, dan kondisi kultural atas pemujaan selebriti yang
dikonstruksikan sebagai promosi atas diri sendiri. Selebriti diposisikan dalam kultur
masyarakat sebagai model perilaku yang bersifat pervasif dan identitasnya lekat
dengan wacana publik103
. Berbekal tingkat akses yang tinggi terhadap internet,
terutama situs jejaring sosial dan microblog, Indonesia memiliki fenomena menarik
dalam contoh micro-celebrity. Kolektivitas yang tinggi dengan kultur komunal
berbagi informasi yang terkadang cenderung ‗pamer‟ menjadi corak tersendiri dalam
mengamati status yang di-update pengguna Indonesia.
Selebriti mikro memiliki kekuasaan merek dan kekuasaan informasi (Powell,
2009:65). Bentuk kekuasaan tersebut menjadikan sosok selebriti diposisikan pada
titik sentral jejaring dalam jejaring media baru. Twitter sebagai salah satu bentuk
perkembangan media baru berperan dalam media arus utama dan produksi selebriti
melalui koverasi tiap hari, menyatakan bahwa kita makin menyadari terkait batasan
antara dunia media terkait jurnalisme profesional, orang dalam media dan selebriti,
dan dunia umum pengguna, blogger, masyarakat, dan konsumen104
.
Micro-celebrity menjadi salah satu bentuk demotic turn yang meningkatkan
visibilitas ‗orang awam‘ yang mengubah dirinya menjadi konten media melalui kultur
selebriti, terkhusus melalui media online105
. Dalam perkembangannya , media
mengkonstruksikan identitas kultural termasuk konten pesan yang melekat dalam
102
Marwick dan Boyd. Op. Cit. Hal. 139. 103
Marwick. Op. Cit. Hal. 226. 104
James Bennet. 2011. Television Personalities : Stardom and The Small Screen . UK: Routledge. Hal.
168. 105
Turner. Op. Cit. Hal. 2.
47
selebriti atas nama penyiaran. Pengelolaan rekognisi publik oleh selebriti mikro dapat
dilakukan melalui proses konstruksi identitas. Dengan adanya media online dan
fenomena micro-celebrity ini setiap orang memiliki akses yang relatif lebih mudah
untuk menjadi selebriti.
Pada konteks penelitian ini, relasi selebriti mikro dan fans dalam mikroblog
Twitter dipetakan dengan akun selebriti sebagai akun yang banyak dirujuk dengan
banyak pengikut serta interaktivitas yang tinggi, sedangkan follower diibaratkan
sebagai fans. Tema besar dalam akun @TrioMacan2000 dan @kurawa ini adalah isu
politik. Kebanyakan bertemakan permasalahan nasional pada isu khusus korupsi serta
election process, seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada beberapa isu juga
ada yang ditaruh dalam level extended link.
Selebriti menjadi dominasi dalam media dalam kajian dalam kultur
kontemporer. Dalam relasinya dengan kekuasaan, sistem kekuasaan selebriti secara
progresif diterjemahkan dari industri hiburan populer menjadi lahan yang lebih
‗serius‘, seperti bisnis, politik, seni, dan ilmu sains106
.
Konsep selebriti yang diambil dari kultur selebriti konvensional digabungkan
dengan konsep selebriti dari media baru kemudian diposisikan dalam konteks politik
cukup membuat tantangan tersendiri. Namun dalam mendefinisikan selebriti mikro
yang diteliti dalam penelitian ini mendasarkan pemahaman pada seseorang yang
meraih popularitas melalui media baru dengan keunggulan pada konten politik yang
disampaikan melalui internet, khususnya dalam hal ini adalah mikroblog Twitter.
Konten yang disampaikan pun meraih perhatian publik dalam tingkatan yang cukup
besar dan ditunjukkan melalui interaksi keduanya pada komentar atas suatu tweet
post. Besarnya perhatian yang diberikan oleh follower terhadap akun selebriti mikro
juga menandakan kekuatan konten akun selebriti tersebut dalam menarik minat
follower.
106
Corner dan Pels. Op. Cit. Hal. 8.
48
3. Kuasa dan Wacana
Dengan keragaman konsep kuasa dan analisis wacana yang ada dalam kajian
ilmu, konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini berfokus pada sudut pandang
Foucault. Menurut Foucault, konsep kekuasaan memiliki kesalahpahaman paralel.
Kekuasaan bukan merupakan entitas atau institusi yang kaku, tetapi menjelma dalam
tindakan sosial historis107
. Kekuasaan bersifat produktif dengan memproduksi
realitas, menentukan apa yang masuk akal untuk diyakini dan dilakukan. Bagi
Foucault, kekuasaan mengontrol tindakan dan dimanfaatkan atas subjek bebas.
Fenomena media baru yang dilabeli kebebasan, masih menyisakan kekuasaan
postm odern yang tidak lagi top-down, tersentralisasi, nyata, dan stabil tetapibottom-
up, menyebar, berkelanjutan, tidak terlihat, bekerja dalam tindakan mikro, dan secara
konstan bergerak untuk kolonisasi domain baru108
. Karakteristik kekuasaan
postm odern ini semakin meyakinkan praktik kekua saan di media baru dengan
ketiadaan struktur dan hirarki yang mengatur alur komunikasi.
Kekuasaan ada dimana-mana, bukan karena mencakup segalanya, tetapi
karena kekuasaan datang darimana saja109
. Foucault tidak berpikir bahwa kekuasaan
adalah sesuatu yang dimiliki atau dipegang oleh seseorang, tetapi ada dimana-mana
dan aliran ever-changing110
. Cara dimana aliran ini bergerak bergantung pada
bagaimana kelom pok, institusi dan wacana yang berbeda melakukan negosiasi,
berelasi dan berkompetisi satu sama lain. Foucault juga menyatakan bahwa kuasa dan
relasi kuasa bersifat mobile dan tidak ega liter111
. Sifat tersebut berarti bahwa
107
Hubert L Dreyfus. 1996. Being and Power: Heidegger and Foucault. International Journal of
Philosophical Studies 4(1):1 – 16. The Departments of Philosophy : University of California, Berkeley.
Hal. 2. 108
Ibid. Hal. 5. 109
Alan Milchman dan Alan Rosenberg (ed ). 2003. Foucault and Heidegger : Critical Encounters .
USA:University of Minnesota Press. Hal. 44. 110
Geoff Danaher, Tony Schirato, dan Jen Webb. 2000. Understanding Foucault.Australia:
Allen&Unwin. Hal. 80. 111
Hubert L Dreyfus dan Paul Rabinow. 1982. Michel Foucault : Beyond Structuralism and
Hermeneutics (2nd
Ed.). USA: The University of Chicago Press. Hal. 185.
49
kekuasaan bukan merupakan komoditas, posisi, hadiah, atau plot dan membentuk
relasi asimetris. Kekuasaan menyebar pada operasi teknologi setiap hari, lokalisasi
secara spasial dan temporal.
Dalam Discipline and Punish, Foucault menjelaskan cara kekuasaan
postm odern sebagai sesuatu yang baru. Tidak seperti kekuasaan monarki, yang
praktiknya dari atas ke bawah, tersentralisasi, sebentar -sebentar, visible, berlebihan,
dan stabil; kekuasaan postmodern bersifat bottom up, menyebar, berkelanjutan, tak
visible, beroperasi dalam praktik mikro, dan secara konstan pada kolonisasi wilayah
baru. Foucault menekankan pada poin lokal dan regional dari tujuan kekuasaan
sebagai fokus analisis, daripada konsentrasi pada bentuk pusat dan bentuk hasil112
.
Kekuasaan harus dianalisis pada sesuatu yang menyebar, atau paling tidak sesuatu
yang hanya berfungsi dalam bentuk rantai.
Kekuasaan digunakan dan dipraktikkan melalui organisasi seperti jaringan.
Individu merupakan kendaraan kekuasaan, bukan titik aplikasi113
. Dengan kata lain,
dalam analisis kuasa, Foucault berfokus pada bagaimana kuasa membangun relasi
dan memproduksi dampak yang nyata sebagai aliran kekuasaan. Hal ini berkait
dengan pernyataan Foucault bahwa masyarakat tanpa relasi kuasa hanya ada dalam
abstraksi dan kekuasaan sendiri bukan merupakan entitas yang tetap atau institusi,
tetapi menjelma dalam praktik sosial historis114
. Sehingga fokus tentang konsep kuasa
sendiri tidak dapat lepas dari relasi kuasa, karena kuasa tidak lebih atau kurang dari
keanekaragaman relasi kuasa yang ada dalam tubuh sosial115
. Kuasa terdiri dari
perpindahan relasi kuasa, seperti perjuangan, konfrontasi, kontradiksi, kesenjangan,
transformasi, dan integrasi dari relasi kekuatan.
112
Alec McHoul dan Wendy Grace. 1993. A Foucault Primer: Discourse, Powerand the Subject.
Melbourne: Melbourne University Press. Hal. 88. 113
Ibid. Hal. 89. 114
Milchan dan Rosenberg. Op. Cit. Hal. 32-33. 115
McHoul dan Grace. Op. Cit. Hal. 84.
50
Foucault juga mengaitkan kekuasaan dengan pengetahuan116
. Hal ini
dikarenakan pengetahuan tidak hanya mengasumsikan otoritas kebenaran, tetapi
memiliki kekuasaan untuk membuatnya menjadi kebenaran. Pengetahua n, saat
sesekali digunakan untuk mengatur perilaku orang lain, menyebabkan hambatan,
aturan, dan pendisiplinan praktik.
Foucault menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran diproduksi oleh
ilmu manusia, yang pada satu tingkat, terikat pada kekuasaan karena cara dimana hal
itu digunakan untuk mengatur dan menormalisasi individual117
. Dengan kata lain,
pengetahuan melakukan otorisasi dan mengesahkan praktik kekuasaan118
. Dalam
konsep power/knowledge milik Foucault, terdapat konsep kunci di dalamnya, yakni
teknologi119
.
Terkait power/knowledge, Foucault menyatakan bahwakekuasaan dan
pengetahuan tidak bersifat eksternal satu sama lain. Kekuasaan teknologi tidak
berasal dari aplikasi yang sebelumnya dibangun oleh pengetahuan ilmiah. Teknologi
disipliner tidak sesederhana sebagai instrumen yang netral, tetapi rumit dengan kaitan
pada praktik dominasi120
(Foucault, 1977:277 dalam Milchman dan Rosenberg,
2003:62). Bentuk kekuasaan yang dipraktikkan melalui pengetahuan utamanya tidak
bersifat represif, tetapi bersifat produktif. Produktivitas merupakan fitur yang
membedakan dari teknologi modern atas tubuh dibandingkan dengan kekuasaan yang
ada sebelumnya. Teknologi modern tidak mengontrol tubuh dengan mengalahkannya,
tetapi dengan merepresentasikannya sebagai yang lebih berguna dan pasif.
116
Dalam Stuart Hall (ed). 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.
Milton Keynes: The Open University Press. Hal. 49.
117
Danaher, Schirato, dan Webb. Op. Cit. Hal. 26. 118
Ibid. Hal. 4. 119
Milchman dan Rosenberg. Op. Cit. Hal. 61. 120
Ibid. Hal. 62.
51
Dalam tiap masyarakat, terdapat relasi kuasa yang beragam yang menyebar
ke seluruh bagian, mengkarakterisasi dan menyusun tubuh sosial, dan relasi kuasa
tersebut tidak dapat dengan sendirinya terbangun, tidak terkonsolidasi dan
terimplementasi tanpa produksi, akumulasi, sirkulasi dan memfungsikan wacana.
Tidak ada praktik kekuasaan yang mungkin tanpa ekonom i tertantu tentang wacana
kebenaran yang beroperasi melalui dan pada basis asosiasi ini. Kita terjajah pada
produksi wacana melalui kekuasaan dan kita tidak dapat mempraktikkan kekuasaan
kecuali melalui produksi kebenaran121
.
Masih dalam kerangka kekuasaan, terdapat bentuk kekuasaan yang
tersembunyi, yang berarti disini adalah kekuasaan yang ada di balik wacana. Gagasan
tersebut merupakan order sosial wacana yang dikumpulkan bersama sebagai dampak
tersembunyi dari kekuasaan122
. Sehingga, dapat dipahami bahwa di satu sisi
kekuasaan dilakukan dan masuk dalam wacana, di sisi lain, terdapat relasi kuasa di
balik wacana. Sehingga setiap menganalisis suatu wacana, bingkai kekuasaan selalu
hadir, baik menjadi pergulatan maupun menjadi sarana kontro l.
Konsep kekuasaan dalam media dapat dipetakan melalui beragam definisi.
Levy membedakan antara empat sumber potensial kekuasaan – mobilitas nomadic,
kontrol atas teritori, kepemilikan komoditas, dan mastery atas pengetahuan – dan
saran seperangkat hal in teraksi dan negosiasi123
. Gramsci dan Foucault melihat politik
sebagai penggunaan kekuasaan tidak hanya tentang pemerintah, pemilihan, atau
bahkan polisi dan militer. Bahkan politik terjadi dalam keseharian seseorang.
Sejumlah tindakan kekuasaan terjadi dalam level mikro124
. Lebih dari itu, baik
Foucault dan Gramsci melihat bahwa kekuasaan dilakukan dalam cara satu arah yang
121
McHoul dan Grace. Op. Cit. Hal.59. 122
Norman Fairclough. 1989. Language and Power. USA: Longman. Hal. 55. 123
Henry Jenkins. 2006. Fans, Bloggers and G amers : Exploring Participatory Culture . NY : New York
University Press. Hal. 144. 124
Peter Ives. 2004. Language and Hegemony in Gramsci. London: Pluto Press. Hal. 141.
52
sederhana, dengan satu atau sekelom pok orang memegang kekuasaan dan
menggunakannya terhadap orang lain yang secara total tidak memiliki kekuasaan.
Berkait dengan kuasa dan teknologi terkini dalam konteks politik, terdapat
sejumlah pandangan dari paham dystopian, seperti Edmund Husserl, Martin
Heidegger, David Thoreau, Hannah Arendt, Benjamin Barber. Mereka
mengungkapkan bahwa inti dari teknologi adalah cara untuk mengungkapkan atau
menjadi suatu cara berpikir mengenai alam sebagai suatu cadangan tetap, sebagai
suatu sumber untuk dipulihkan, ditata, dan dikontrol125
. Terjadi pelemahan hubungan
politik karena pemusnahan ruang-ruang publik yang muncul secara bersama dalam
rezim totalitarian (rezim komunikasi modern). Komunikasi politik bermedia dilihat
dengan kecurigaan, sebab komunikasi politik di ruang cyber adalah sesuatu yang
abstrak, tak berbentuk dan anonim, sehingga mudah terjadi penyimpa ngan.
Media komunikasi sendiri menurut para kritikus sosial memiliki kepentingan
mengontrol ruang dan waktu sehingga cenderung memiliki spirit ekspansi126
. Bahkan
dalam perkembangan lebih lanjut media menjadi alat yang jitu untuk mengontrol
manusia dan masyarakat. Meski begitu, Foucault menyatakan diri bukan hanya
material mentah yang bekerja oleh wacana, institusi dan relasi kuasa. Individual
mungkin merupakan dampak dari relasi kuasa, namun bukan merupakan objek yang
tak berdaya, dibentuk dan digerakkan ole h kekuasaan, tetapi individual yang tersusun
sebagai subjek oleh praktik pemerintah dari kekuasaan dan normalisasi, dan
individual dapat memilih untuk merespon atau mempertahankan praktiknya127
.
Pembentukan opini politik didom inasi oleh elit-elit dan pembentukan selera
konsumsi ditentukan oleh para kapitalis. Kalau kecenderunan seperti ini berlangsung
terus-menerus maka kemajuan teknologi komunikasi tidak memperluas ruang publik
yang bebas tetapi justru mendistorsinya sehingga dapat menjadi ancaman terhadap
125
Anthony G Wilhelm. 2003. D emokrasi di Era Digital: TantanganKehidupanPolitik di Ruang Cyber
(terj.). Yogyakarta: Pustakapelajar. Hal. Viii. 126
John Tomlison. 1991. Cultural Imperialism: A Critical Introduction. Great Britain: Continuum. 127
Danaher, Schirato, dan Webb. Op. Cit. Hal. 128.
53
proses demokrasi128
. Dari pemetaan pengguna yang bias kelas menengah dengan
tingkat pendidikan tertentu, dapat dijelaskan bahwa opini publik yang muncul di
ruang publik cyber ini dapat dikatakan bukan representasi dari kepentingan seluruh
lapisan sosial129
.
Media, dalam konteks ini adalah media baru, juga menjadi agen untuk
memposisikan manusia (melalui wacana). Wacana media tidak serta merta
dipertentangkan, tetapi karena wacana semacam itu melayani untuk memberi
legitimasi (atau delegitimasi). Makna kemudian hanya hegemonik dalam sense
temporal karena, dari momen konsepsinya, berada di bawah tantangan. Meskipun
begitu, selalu saja ada sejumlah intelektual yang mencoba mengontrol (dan
menstabilisasi) makna130
. Wacana merupakan sarana hegemonic yang kuat secara
potensial untuk kontrol sosial, karena formasi diskursif memiliki kekuasaan untuk
menolak dari diskusi pertanyaan atau isu tertentu.
Kuasa atau relasi kuasa yang ada dalam media dengan memberikan suatu
wacana bagi konsumen medianya, dapat dianalisis melalui discourse analysis.
Analisis wacana sangat krusial terkait kebutuhan pemahaman lingkungan makna.
Kebutuhan ini didasarkan pada kondisi apabila terjadi kegagalan dalam lingkungan
makna menciptakan potensi dimanipulasi oleh mereka yang me ncerminkan proses
komunikatif dan mengurangi kapasitas manusia untuk terkait dalam masyarakat
demokratis131
. Menjadi masyarakat aktif dan komunikator memerlukan seseorang
yang sadar yang memungkinkan dalam sifat dan karakter asli dari makna yang kita
gunakan.
Dalam wilayah media baru, kekuasaan atas makna bukan saja menjadi
konspirasi kaum elit, melainkan juga merupakan hasil dari buruh hegemonis yang
128
Wilhelm. Op. Cit. Hal. Xii. 129
Ibid. Hal. Xiii. 130
Eric Louw. 2001. The Media and Cultural Production . UK: Anthenaum Press. Hal. 24. 131
Ibid. Hal. 2.
54
mampu, dalam era kontemporer, terlibat dalam koordinasi kepentingan jutaan
orang132
. Wacana, terlebih dalam kon teks politik, perlu dianalisis sampai ke tendensi
ideologi produsen konten. Meski ideologi seringkali dinyatakan tidak memberikan
impresi kepemilikan makna pasti yang tunggal, namun ideologi sering memiliki
sejumlah makna, meski tidak berakhir pada variabe l dalam makna, dan maknanya
harus cenderung untuk mengklasifikasikan dalam sejumlah keluarga utama133
. Maka
dari itu penelusuran atas wacana dapat digunakan untuk merunut ideologi yang
berpengaruh pada pembuat konten dan tercermin dari pesan yang disampaikan nya
kepada khalayak.
Pada dasarnya, konsep kuasa yang telah dijelaskan di atas dalam penelitian ini
digunakan sebagai pisau analisis atas fenomena selebriti mikro dalam konteks politik.
Wacana konteks politik dan selebriti mikro sebagai produsen teks merup akan
universe penelitian dalam melihat praktik kuasa. Terkhusus dalam penelitian ini akan
masuk ke dalam logika konten media baru yang diproduksi oleh selebriti mikro
merepresentasikan wacana dengan isu politik.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi merupakan pisau analisis bagi peneliti dan dijadikan protokol
bagi metode penelitian. Dalam kasus penelitian internet, selebriti mikro dan kuasa ini,
penelitian dikategorikan dalam kajian kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah
teks yang diproduksi oleh selebriti mikro, yakni pemilik akun dalam mikroblog
Twitter.
Dalam membedah selebriti mikro, pemilik akun jejaring sosial online
disejajarkan dengan produsen media yang memproduksi konten dalam basis harian.
Media baru sebagai wilayah penelitian baru, memunculkan problem metodologis
yakni pada proses pencatatan dan pendokumentasian konten yang bersifat dinamis.
132
Ibid. Hal. 8. 133
Fairclough. Op. Cit. Hal.93.
55
Situsallmytweet.com yang menyediakan jasa penyimpanan konten akun yang
melebihi kapasitas ratusan per harinya dan chirpstory.com sebagai website yang
memiliki kapasitas untuk merangkai cerita dari tweet dapat digunakan sebagai
alternatif layanan dokumentasi. Meski begitu, timbul problem lain dalam hal sifat
pseudonym akun @TrioMacan2000 yang dapat menjadi hambatan dalam
menjangkau pemilik akun dalam konteks telaah konten dari sisi produsen. Dengan
begitu, peneliti mengoptimalkan sarana komunikasi media baru untuk menggali
informasi dari produsen konten.
Namun, dipertegas kembali bahwa fokus penelitian ini ada pada teks dan
secara khusus pada wacana yang dibuat oleh pemilik akun mikroblog. Bertolak dari
wacana yang dapat diberikan oleh media baru, penelitian ini menggunakan metode
analisis wacana. Analisis wacana mengombinasikan tradisi analisis tekstual dengan
konteks masyarakat yang lebih luas.
1. Jenis atau Format Penelitian yang Digunakan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Dalam konteks ontologis pada kualitatif, realitas yang ada merupakan hasil
konstruksi oleh individual yang terlibat dalam situasi riset. Dalam penelitian kualitatif
terdapat nilai di dalamnya yang melaporkan nilai dan bias 134
. Dalam konteks
penelitian ini, akan berfokus pada teks yang ada pada media baru.
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah analisis wacana. Metode ini
menjadi pisau analisis paling tepat karena dalam isu kuasa oleh selebriti m ikro
@TrioMacan2000 dan @kurawa ini menekankan teks yang dihasilkan oleh kedua
selebriti tersebut. Analisis teks dengan perspektif kritis akan lebih tepat dianalisis
melalui analisis wacana. Peneliti akan menggunakan analisis wa cana Foucaultian
dalam memetakan konstruksi wacana yang berkaitan dengan isu Pilkada DKI Jakarta
2012.
134
John. W Creswell. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage.
Hal. 6.
56
Dalam kerangka analisis wacana, kajian reproduksi kuasa dan dominasi
melalui wacana merupakan objektif utama. Elemen yang digunakan dalam proses
reproduksi ini merupakan struktur dan strategi akses; siapa yang mengontrol
persiapan, partisipan, tujuan, bahasa, genre, pidato, topik, skema, retorika antara fitur
teks, communicative event135
. Hal ini penting terkait pengaruh yang mungkin
ditimbulkan pada pikiran penerima. Akses wacana juga menjadi jalan yang efektif
dalam melakukan kekuasaan dan dominasi.
Menurut Foucault, penggunaan bahasa dan kata dikelola dalam formasi
diskursif – konvensi dan aturan yang membatasi pengetahuan dan makna sesuatu.
Wacana, merupakan arena dimana relasi sosial, praktik, dan perilaku dikonstruksikan
dan dikelola136
.
2. Objek Penelitian
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, terdapat dua akun yang dikategorikan
sebagai selebriti mikro yang konsepnya telah dijelaskan di bagian sebelumnya, yakni
akun @TrioMacam2000 dan @kurawa. Teknologi memiliki andil dalam penempatan
dua akun tersebut dalam status sosial sebagai selebriti m ikro dengan jumlah follower
yang tidak sedikit. Terdapat satu momen sosial politik yang mempertemukan
keduanya head-to-head, dan yang menjadi titik pijak dipilihnya kedua akun tersebut
sebagai objek penelitian, yakni Kam panye Pilkada DKI Jakarta 2012.
Interaksi yang berlangsung antara kedua akun dengan usungan pasangan calon
masing-masing melalui ―tweet-war”meramaikan linimassa, terutama pada saat
kampanye. Hingga terdengar isu terkait akun bayaran yang sebelum nya tidak a sing
dalam dunia Twitter. Meski demikian, penelitian atas kedua akun ini bukan untuk
melihat kebenaran atas isu akun bayaran tersebut, melainkan lebih kepada wacana
yang dikonstruksikan oleh kedua akun tersebut dalam konteks politik. Terutama
135
Coulthard dan Coulthard. Op. Cit. Hal.102. 136
Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss (ed). 2009. Encyclopedia of Communication Theory (2) .
USA: Sage. Hal. 220.
57
terkait dengan isu kuasa yang dilakukan melalui media baru terhadap pemikiran
orang lain, yang dalam hal ini konteks pengguna media baru, terkhusus pemilik akun
Twitter yang menjadi pengikut dari kedua akun tersebut.
Penelitian ini akan menganalisis chirpstory, yakni konten twitter yang
dikelola secara kronologis untuk memudahkan pembacaan, milik akun
@TrioMacan2000 dan @kurawa terkait kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 pada
mikroblog Twitter. Untuk rentang waktunya, dimulai pada masa pendaftaran
pasangan calon, 13 Maret 2012 sampai pasca pemilihan, yakni 20 September 2012.
Tweet posting tentang Pilkada DKI Jakarta 2012 sudah mulai tertelan isu lain pada
bulan November 2012. Pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 tersebut
tercatat sebanyak 22 chirpstory akun @TrioMacan2000 dan 8 chirpstory akun
@kurawa dalam konteks Pilkada DKI 2012.
3. Teknik Analisis Data
Analisis wacana sebagai sarana untuk mengungkap isi media memiliki
relevansi dengan rumusan masalah serta tujuan yang ingin diraih dari penelitian ini.
Tahapan analisis wacana yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah elaborasi
analisis wacana Foucaultian yang diadopsi dari Julian Henriques137
dan Eriyanto138
.
Julian Henriques memberikan langkah-langkah gagasan wacana Foucaultian yang
daya jangkauannya mampu menjawab bagaimana produksi wacana serta panduan
untuk melihat mekanisme operasi kuasa dan pengetahuan dalam wacana. Dalam
pandangan Foucault, wacana dikontrol, dipilih, dan dikelola. Sehingga dengan
menggunakan perspektif Foucault, dapat membedah konsep kua sa dalam kampanye
Pilkada DKI Jakarta 2012 yang dipraktikkan oleh akun @TrioMacan2000 dan akun
137
Dalam Gavin Kendall dan Gary Wickham. 2003. Using Foucault’s Methods. Reprinted. Great
Britain: Sage. Hal. 41. 138
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hal. 65.
58
@kurawa. Berikut merupakan langkah-langkah analisis wacana menurut
Henriques139
:
1. Pengenalan wacana sebagai corpus statements yang pengelolaannya regular
dan sistematis
2. Identifikasi aturan produksi pernyataan
3. Identifikasi aturan yang membatasi yang dikatakan
4. Identifikasi aturan yang menciptakan ruang diantara pernyataan baru
5. Identifikasi aturan yang menjamin praktik bersifat material dan diskursif di
waktu yang sama
Di sisi lain, analisis wacana dengan perspektif Foucaultian yang disarikan oleh
Eriyanto140
dari Sara Mills (2001) bukan sekadar mengenai pernyataan, tetapi juga
struktur dan tata aturan dari wacana. Poin-poin tersebut kemudian dirangkum dalam
terma produksi wacana yang di dalamnya juga memuat struktur diskursif yang dapat
membantu tahapan analisis berikutnya, yakni melihat kecenderungan wacana
dominan dan terpinggirkan. Dalam praktiknya, akan dielaborasikan tahapan analisis
dari kedua sumber utama tersebut. Berikut merupakan bagan teknik analisis data yang
akan diterapkan dalam melakukan analisis wacana Foucaultian:
139
Dalam Kendall dan Wickham. Op. Cit. Hal.41. 140
Eriyanto. Op. Cit. Hal 65-86.
59
Bagan 1
Desain Analisis Wacana Foucaultian
a. Dimensi pertama : struktur diskursif
Foucault menyatakan bahwa bagaimana kita menginterpretasikan objek dan
peristiwa dan menyusunnya dalam sistem makna bergantung pada struktur
diskursif141
. Struktur diskursif membentuk dan membatasi persepsi dan tafsir atas
objek dan peristiwa sebagai hal yang nyata sehingga memiliki dampak pada
pemikiran dan perilaku.
Struktur wacana digunakan tidak untuk menyingkap kebenaran atau sumber
pernyataan tetapi untuk mengetahui mekanisme pendukung eksistensi wacana
tersebut142
. Terdapat sejumlah poin dalam struktur diskursif, yakni episteme,
statement, discourse, dan archive. Sejumlah poin tersebut merupakan cara dimana
wacana tertentu bersirkulasi dan menjaga eksistensi dampak yang dihasilkan oleh
wacana143
.
141
Sara Mills. 2001. Discourse. UK: Taylor & Francis e-Library. Hal. 51. 142
Ibid. Hal. 49. 143
Ibid. Hal. 56.
Archive
Dimensi pertama
Struktur Diskursif Statement
Episteme
Dimensi kedua
Wacana
Dominasi
Wacana
Terpinggirkan
60
i. Episteme
Episteme dipahami sebagai lahan pemikiran, dalam kasus tertentu
sejumlah pernyataan – dan bukan yang lainnya – akan dihitung sebagai
pengetahuan144
. Episteme terdiri dari jumlah total struktur diskursif yang hadir
tentang sebagai hasil interaksi jangkauan wacana yang bersirkulasi dan terotorisasi
pada waktu tertentu. Episteme terkonstruksi dari seperangkat pernyataan
dikelompokkan ke dalam wacana yang berbeda atau kerangka kerja diskursif.
ii. Statements
Pernyataan merupakan bangunan utama wacana. Dreyfus dan Rabinow
menyatakan bahwa pernyataan bukan merupakan ujaran atau juga rencana, bukan
juga entitas psikologis atau logis, bukan juga bentuk peristiw a maupun ideal 145
.
Pernyataan bukan merupakan ujaran, dalam kesan bahwa satu kalimat dapat berfungsi
sebagai sejumlah pernyataan berbeda, bergantung pada konteks diskursif mana hal
tersebut akan muncul.
Dreyfus dan Rabinow menjelaskan bahwa sejumlah ujaran secara
faktual menyusun satu pernyataan tunggal. Pernyataan baginya ujaran yang memiliki
kekuatan institusional dan divalidasi oleh sejumlah bentuk otoritas – ujaran tersebut
bagi mereka diklasifikasikan sebagai ‗ in the true‟146
. Ujaran dan teks tersebut yang
membuat sejumlah bentuk pernyataan kebenaran (dan berapa banyak yang tidak) dan
yang diterima sebagai pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai pernyataan.
Analisis archaeological Foucault fokus dengan sistem pendukung yang mengatur
produksi dan urutan pernyataan, serta sistem eksklusi ujaran lain yang tidak termasuk
dalam posisi ‗in the true‟147
.
iii. Archive
144
Ibid. Hal. 56. 145
Dreyfus dan Rabinow. Op. Cit. Hal. 45. 146
Michel Foucault. 1978. The History of Sexuality: An Introduction, V ol. I, Penguin, Harmondsworth
(first published 1972). Hal. 224. 147
Mills. Op. Cit. Hal. 61.
61
Struktur diskursif lain keunikan Foucault adalah archive. Foucault
mendeskripsikan archive dalam sejumlah istilah, yakni 1) batasan dan bentuk
expressibility ; 2) batasan bentuk conservation ; 3) batasan dan bentuk memori; dan 4)
batasan dan bentuk reactivation 148
. Archive dapat dilihat sebagai seperangkat
mekanisme diskursif yang membatasi apa yang dikatakan, dalam bentuk apa dan apa
yang dihitung sebagai yang bernilai untuk diketahui dan diingat. Merupakan kesan
batasan yang perlu ditentukan dalam sejumlah detail, karena krusial pada pemakanan
konstitusi struktur diskursif149
. Dalam aplikasinya, chirpstory konteks Pilkada DKI
Jakarta 2012 sebagai objek utama dalam penelitian ini akan diklasifikasikan dalam
sejumlah tema dan dianalisis dengan tiga poin tersebut sekaligus.
b. Dimensi kedua: wacana dominan dan terpinggirkan
Bagi Foucault, wacana menyebabkan penyempitan wilayah konsep seseorang,
untuk mengeliminasi jangkauan luas fenomena yang ditentukan sebagai hal nyata
atau bernilai, dan kemudian membangun seperangkat praktik diskursif150
. Pernyataan
tersebut menggarisbawahi kecenderungan dominasi wacana yang hadir dalam
sosiokultural.
Terdapat dua macam konsekuensi dari wacana dominan151
. Pertama, wacana
dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami,
sehingga terbentuk batasan sejauh mana objek tersebut harus didefinisikan dan akan
membentuk pola diskursif. Kedua, struktur diskursif atas suatu objek tidaklah berarti
kebenaran. Kuasa untuk memilih dan mendukung wacana menjadikan wacana
tertentu menjadi dominan, sedangkan wacana lain akan terpinggirkan (marginalized)
atau terpendam (submerged)152
.
148
Foucault.1978. Op. Cit. Hal. 14-15. 149
Mills. Op. Cit. Hal. 63. 150
Ibid. Hal. 51. 151
Eriyanto. Op. Cit. Hal. 77. 152
Aditjondro, 1994. Dalam Eriyanto Op. Cit. Hal. 77.
62
Proses terpinggirkannya wacana membawa beberapa implikasi. Pertama,
khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari
berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana
menunjukkan praktik ideologi. Sehingga seringkali seseorang ata u suatu kelom pok
menjadi termarjinal lewat penciptaan wacana tertentu153
.
Dalam pemikiran Foucault tentang wacana, terdapat konsep wacana yang
terpinggirkan atau exclusions within discourse . Hal itu ditegaskan dalam tulisan
Foucault berjudul ―The Order of Discourse‖ (1981). Dalam ―The Order Of
Discourse‖, Foucault mendeskripsikan proses eksklusi yang beroperasi pada wacana
untuk membatasi apa yang dikatakan dan apa yang dihitung sebagai pengetahuan.
Prosedur pertama dari penolakan disebut prohibiton atau taboo154
.
Eksklusi tahap kedua ada pada yang disebut pusat di seputaran wacana terkait
mereka yang dianggap sadar maupun tidak rasional. Hal ini digambarkan dengan
kredibilitas dan otoritas produsen pesan yang menjadi penentu nilai pesan dan
perhatian audiens akan pesan155
. Misalnya saja, pesan yang disampaikan oleh dokter
maupun tokoh agama yang memiliki otoritas dalam bidangnya akan lebih dipercaya
oleh lingkungannya.
Eksklusi tahap ketiga memetakan apa yang dianggap sebagai pernyataan yang
menjadi bagian dari kerangka kerja diskursif. Pada tahap ini, pernyataan akan dibagi
antara pengetahuan yang diterima sebagai kebenaran dan yang salah156
.
Penelitian ini dirancang melalui tahap pengumpulan data, analisis, dan
deskripsi fakta-fakta yang ada untuk kemudian dianalisis. Sumber data dalam hal ini
data primer, merupakan serial tweet akun @TrioMacan2000 dan @kurawa pada
mikroblog Twitter pada konteks P ilkada DKI 2012. Tweet akan dipilah berdasar tema
dan juga dikategorikan pada tweet yang sudah berbentuk chirpstory, atau kumpulan
serial tweet dengan satu judul utama. Jumlah chirpstory yang dimiliki kedua akun
153
Riggins, 1997:10-11 dalam Eriyanto. Op Cit. Hal. 84. 154
Mills. Op. Cit. Hal. 63-64. 155
Ibid. Hal. 65. 156
Ibid. Hal. 66.
63
tersebut sebanyak 30 buah. Penelitian ini akan memetakan penguasaan dalam media
baru melalui selebriti mikro dan menganalisis bagaimana interaksi yang muncul dar i
aktor, baik dari sisi selebriti mikro maupun penerima pesan, dalam hal ini follower
yang aktif merespon tweet selebriti mikro tentang konteks pilkada DKI 2012.
Data sekunder akan didapat dengan melakukan studi literasi ke sejumlah
sumber terkait objek penelitian, di antaranya teks yang muncul dalam media lainnya
atau berita di media massa yang juga memiliki topik bahasan terkait
@TrioMacan2000 dan @kurawa mengenai konteks politik ini sebagai data
pendukung yang konkret dan spesifik mengenai fenomena yang diteliti untuk
mempertajam analisis.
4.Limitasi Penelitian
Analisis atas objek penelitian yang dibedah melalui analisis wacana memiliki
sejumlah batasan penelitian. Salah satunya adalah tidak tereksplorasinya seluruh
detail pemaknaan karena perbedaan perspektif. Begitu juga perbedaan interpretasi
antara peneliti dan pembaca yang didasari keragaman sudut pandang, konsep dan
teori yang digunakan. Sehingga dalam penelitian ini akan difokuskan pada konsep
internet, selebriti mikro, dan kuasa. Selain itu juga terdapat batasan konteks, yakni
terpusat pada Pilkada DKI Jakarta 2012.
Penggunaan metode analisis wacana Foucaultian sendiri memiliki tantangan
tersendiri dalam menyusun tahap analisis teks dikarenakan Foucault sendiri tidak
memberikan langkah penelitian secara rigid dan detail. Meski terdapat sejumlah
kesulitan dalam meneliti objek yang cukup baru, yakni konten mikroblog dengan
kuantitas konten yang tidak sedikit, namun penggunaan sejumlah perangkat lunak
dapat membantu proses pendokumentasian. Produsen pesan yang tidak secara resmi
terinstitusi ini juga memberikan kesulitan bagi peneliti untuk menggali data level
produksi pada produsen pesan dan sulit membaca situasi saat teks pesan diproduksi
dikarenakan penelitian dilakukan setelah teks dipublikasikan ke media sosial, bahkan
melalui jeda beberapa bulan setelah produksi pesan.