1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekeringan merupakan salah satu masalah lingkungan hidup yang secara
spesifik dihadapi oleh Kabupaten Bojonegoro. Hal ini disebabkan oleh jenis tanah
yang didominasi oleh jenis tanah Alluvial sebesar 46.357 Ha (20,09%) dan jenis
tanah Grumusol sebesar 88,944 Ha (38,55%) dari seluruh luasan wilayah di
Kabupaten Bojonegoro. Kedua jenis tanah ini berupa tanah liat yang memiliki
sifat sulit untuk meresapkan air. Sehingga pada musim penghujan, air hujan
langsung mengalir ke sungai Bengawan Solo dan hanya sedikit yang tertampung,
baik di dalam tanah maupun di permukaan tanah. Hal ini mengakibatkan banjir
saat musim pengujan dan kekeringan pada saat musim kemarau, karena kondisi
seperti ini juga mengakibatkan air permukaan menjadi habis (kering) dan
sedikitnya cadangan air dalam tanah pada musim kemarau.1
Kekeringan yang melanda Kabupaten Bojonegoro terjadi setiap tahun. Hal
ini tentu saja mengganggu kegiatan pertanian masyarakat, terlebih diketahui
bahwa potensi Kabupaten Bojonegoro banyak terletak pada hasil pertanian seperti
tembakau, padi, jagung, ubi kayu, kedelai, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang
hijau. Ini dibuktikan dengan luas lahan yang merupakan lahan persawahan yang
ada di Kabupaten Bojonegoro mencapai 32,58 % dari total luas lahan. Meskipun
tidak menutup kemungkinan berdampak pula terhadap kegiatan-kegiatan industri,
perkebunan dan ketersediaan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Mengingat selain potensi unggulan pada bidang pertanian, Kabupaten Bojonegoro
1 Diakses melalui laman http://swa.co.id/business-strategy/management/tiga-program-andalan
kabupaten-bojonegoro diakses pada tanggal 02-10-2015 Pukul 03.00 WIB
2
juga kaya akan potensi di bidang holtikultura, perkebunan, perikanan dan
peternakan. Sehingga permasalahan kekeringan yang melanda Kabupaten
Bojonegoro perlu ditanggapi dengan serius melalui kebijakan-kebijakan yang
tepat oleh Pemerintah Daerah untuk mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan
dari bencana kekeringan.
Setidaknya terdapat tiga Kecamatan di Kabupaten Bojonegoro yang
tergolong kedalam kawasan rawan kekeringan, diantaranya Kecamatan Sekar,
Kecamatan Bubulan dan Kecamatan Gondang.2 Ketiga kawasan tersebut
merupakan kawasan dengan potensi produk pertanian seperti padi, jagung, ubi
kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang hijau untuk Kecamatan Sekar.
Sedangkan Kecamatan Bubulan unggul pada hasil pertanian padi, ubi kayu,
jagung dan kacang tanah. Terakhir, Kecamatan Gondang memiliki potensi produk
pertanian pada ubi kayu, jagung dan padi. Sejauh ini, dalam menanggulangi
kekurangan air untuk kebutuhan pengairan pada lahan pertanian di musim
kemarau, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melakukan penaikan air dari sungai
Bengawan Solo melalui pompanisasi yang tersebar di 24 Desa. Selain itu, sejak
tahun 2008 juga digiatkan program pembangunan 1000 embung yang ditargetkan
selesai pada tahun 2018.
Kekeringan yang berkepanjangan seperti yang telah dibahas sebelumnya,
sangat berpotensi menurunkan kualitas hasil pertanian petani. Menurunnya
kualitas hasil pertanian tidak dapat dipandang remeh. Lebih jauh, kondisi ini dapat
menyebabkan penurunan kondisi pangan nasional yang berpengaruh terhadap
stabilitas perekonomian nasional. Sektor pertanian sangat rentan terhadap
2 Buku Profil Kabupaten Bojonegoro Tahun 2013. Hlm 14.
3
perubahan iklim karena berpengaruh pada pola tanam, waktu tanam, produksi,
dan kualitas hasil.3 Dengan demikian dapat kita pahami bahwa kekeringan
merupakan satu kondisi yang harus ditanggapi dengan serius dalam upaya
menjaga kualitas hasil pertanian, juga memenuhi kebutuhan air untuk aktivitas
yang lain. Sehingga diperlukan inovasi dalam melakukan manajemen pengelolaan
air pada musim kemarau, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Sejak tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menginisiasi
Program Pembangunan 1000 Embung sebagai langkah mengatasi persoalan
kekeringan di daerahnya yang terintegrasi dengan visi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bojonegoro tahun 2013-2018
yaitu: terwujudnya pondasi Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan energi
negeri yang produktif, berdaya saing, adil, sejahtera, bahagia dan berkelanjutan.
Disebut embung adalah tandon air atau waduk berukuran kecil pada lokasi
pertanian yang bertujuan untuk menampung kelebihan air hujan di musim
penghujan dan pemanfaatannya pada musim kemarau untuk berbagai keperluan,
baik di bidang pertanian maupun kepentingan masyarakat banyak.
Pelaksana teknis kegiatan program pembangunan 1000 embung
dilaksanakan oleh empat instansi diantaranya Dinas Pekerjaan Umum, Instansi
Perusahaan Jasa Tirta, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan
Solo (PSAWS.BS) dan Dinas Pengairan. Sedangkan tipe embung yang dibangun
meliputi embung geo membran, embung reservoir dan embung pedesaan yang
tanggulnya berasal dari tanah bekas galian. Khusus pada penelitian ini hanya
3 Nurdin.2011. Antisipasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Ketahanan Pangan dalam
Ketahanan Pangan dalam Perubahan Iklim Global dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik.
Hlm:7.
4
dilakukan penelitian pembangunan embung pedesaan oleh Dinas Pengairan
Kabupaten Bojonegoro.
Pembangunan embung oleh Dinas Pengairan sebelumnya telah
dilaksanakan dari tahun 2009 dan merupakan salah satu unit kegiatan yang
termasuk kedalam program pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan
sumber air lainnya yang dilaksanakan dengan melakukan pembangunan embung,
peningkatan embung, operasi pengelolaan embung, pemeliharaan embung dan
rehabilitasi embung. Pembangunan embung dimulai tahun 2009 dengan
membangun embung pedesaan yang tanggulnya berasal dari tanah bekas galian.
Pembangunan embung dilaksanakan sesuai dengan usulan Pemerintah Desa
melalui proposal pengajuan bantuan pembangunan embung.
Pembangunan embung difungsikan untuk menampung curah hujan yang
tinggi (infiltrasi) secara maksimal pada musim penghujan. Sehingga dapat
menyuplai kebutuhan air pada musim kemarau untuk beragam kegiatan
masyarakat. Infiltrasi sangat berguna untuk mengurangi besarnya banjir dan erosi,
mengisi aliran sungai pada waktu musim kemarau, menyediakan air tanah untuk
pertumbuhan tanaman dan sebagai pemasukan air tanah.4
Pembangunan embung oleh Dinas Pengairan pada dasarnya adalah untuk
mengairi lahan pertanian terutama pada akhir musim tanam II, manfaat lain dari
embung adalah dibidang perikanan, embung dapat dimanfaatkan menjadi kolam
pemeliharaan ikan dan sebagai persediaan minuman ternak maupun untuk
keperluan rumah tangga. Pengelolaan embung yang dibangun oleh Dinas
Pengairan sepenuhnya merupakan hak Pemerintah Desa, termasuk dalam
4 Nugroho Adisusanto.2015.Aplikasi Hidrologi.Yogyakarta: Jogja Mediautama.hlm:119-120
5
menetapkan pemanfaatan embung disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
desa.
Pembangunan embung membutuhkan teknik-teknik tertentu untuk
mencapai kualitas embung dengan daya tampung maksimal. Wahyuni (2014)
Teknik pembuatan embung meliputi penentuan tekstur tanah, kemiringan lahan,
bentuk, ukuran penggalian tanah, kelapisan tanah, kelapisan plastik, penembokan
dan pelapisan kapur. Oleh karena itu, sebelum melakukan pembangunan embung,
pertama-tama Dinas Pengairan melakukan survei kelayakan lokasi pembangunan
embung untuk menentukan apakah kemudian proposal akan disetujui atau tidak.
Pembangunan embung di tiap-tiap Kecamatan di Kabupaten Bojonegoro
diharapkan dapat membantu dalam penyediaan air pada musim kemarau.
Melanjutkan pernyataan sebelumnya, pembangunan embung oleh Dinas
Pengairan dilakukan untuk menguatkan Kabupaten Bojonegoro sebagai lumbung
pangan negeri yang ingin diwujudkan dengan kemampuan menghasilkan hasil
pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang berkualitas.
Terhitung hingga bulan September 2015, telah dibangun 37 embung
dengan rincian 27 embung telah selesai dibangun, dan 10 embung masih dalam
tahap pembangunan yang tersebar di beberapa Kecamatan, diantaranya
Kecamatan Ngasem, Kedungadem, Baureno, Sumberjo, dan Tambakrejo.
Hasilnya, terdapat sebanyak 227 embung yang telah berhasil dibangun oleh Dinas
Pengairan dan tersebar di 28 Kecamatan di hampir seluruh desa di Kabupaten
Bojonegoro.
Proses pengadaan embung dan realisasinya di desa-desa yang ada di
Kabupaten Bojonegoro dimulai dari pengajuan proposal oleh pihak Pemerintah
6
Desa (Pemdes). Pemerintah Desa mengajukan proposal pengajuan pembangunan
embung yang disertai berita acara. Proses selanjutnya adalah survei lokasi untuk
melihat lahan lokasi pembangunan embung. Perlu dicatat sebelumnya bahwa
lahan yang digunakan dalam pembangunan embung sebagian besar menggunakan
Tanah Kas Desa (TKD) yang diajukan dan diberikan oleh Pemerintah Desa
setempat dengan kesepakatan bersama seluruh masyarakat desa melalui kegiatan
musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). Setelah proses survei
lokasi, dilaksanakan rapat internal oleh Dinas Pengairan untuk menentukan
diterima atau tidak proposal pengajuan bantuan pembangunan embung oleh
Pemerintah Desa.
Sesuai dengan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 54 ayat 1, disebut
musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa dan unsur masyarakat Desa untuk
memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Desa. Salah
satu hal strategis yang dimaksud adalah penambahan dan pelepasan Aset Desa.
TKD merupakan satu dari yang termasuk sebagai Aset Desa. Proposal pengajuan
pembangunan embung oleh Pemerintah Desa merupakan hasil dari Musyawarah
Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Selain menggunakan TKD, pembangunan embung juga menggunakan
Tanah Solo Vallei Werken (SVW) milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Pengadaan lahan menjadi satu problematika dalam mencapai sasaran target 1000
embung oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Salah satu yang menjadi
kendala selama ini adalah perijinan penggunaan lahan milik Perhutani. Seperti
telah diketahui, mayoritas lahan yang terdapat di Kabupaten Bojonegoro
7
merupakan peruntukkan hutan negara yang mencapai 40,15% dari total luas
wilayah Kabupaten Bojonegoro. Dalam hubungannya dengan pembangunan 1000
embung, setidaknya terdapat 12 titik yang direncanakan akan dibangun embung
diatas lahan milik Perhutani tersebut, akan tetapi belum dapat terealisasi karena
belum mendapatkan ijin dari Kementerian Kehutanan untuk penggunaan lahan.
Selain itu, muncul penolakan pembangunan embung di Desa Balenrejo,
Kecamatan Balen karena masyarakat setempat beranggapan bahwa letak
pembangunan embung terlalu berdekatan dengan pemukiman warga. Sehingga
warga khawatir akan membahayakan anak-anak di sekitar embung. Munculnya
problematika dari pelaksanaan Program Pembangunan 1000 Embung merupakan
satu hal yang wajar dalam sebuah implementasi kebijakan publik. Sebuah
kebijakan publik memang tidak mungkin diterima oleh seluruh kalangan, sebagian
kalangan ada yang merasa dirugikan dan sebagian lain merasa diuntungkan.
Program Pembangunan 1000 Embung merupakan satu inovasi kebijakan
dalam mengatasi persoalan kekeringan yang tiap tahun melanda hampir seluruh
kawasan di Kabupaten Bojonegoro. Inovasi dapat didefinisikan sebagai proses
kegiatan yang melibatkan pemikiran yang dalam oleh manusia yang dilakukan
untuk menemukan sesuatu yang baru atas suatu hal, baik yang belum pernah ada
sebelumnya ataupun yang sudah ada untuk kemudian diperbaharui.
Dewasa ini, istilah inovasi dalam pemerintahan semakin populer seiring
dengan perkembangan zaman. Yoo (2002) dalam Asropi (2008:3) Pada negara
seperti Korea, konsep inovasi bahkan telah “menggantikan” konsep reformasi.
Pengalaman Korea menunjukan bahwa penerapan inovasi pada negara tersebut
telah meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal.
8
Selanjutnya Shenkar (2006) dalam Asropi (2008:3) Sementara di China, inovasi
telah dianggap sebagai bagian dari tradisi China. Inovasi atas birokrasi sangat
medukung bagi berkembangnya ekonomi dan teknologi China dewasa ini. Semua
ini menunjukan nilai penting inovasi bagi perubahan yang dinginkan.
Lebih jauh lagi, inovasi dalam pemerintahan diperlukan untuk mencapai
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sebuah inovasi dianggap
berhasil apabila dapat memotong lama waktu dan biaya yang dibutuhkan, serta
manfatnya yang besar bagi masyarakat luas. Kembali dengan permilihan embung
sebagai satu alternatif kebijakan didalam mengatasi masalah kekeringan di
Kabupaten Bojonegoro, jika ditinjau dari kapasitas tampungan air memang relatif
kecil jika dibandingkan dengan kemampuan waduk atau jaringan irigasi. Akan
tetapi, untuk membangun jaringan irigasi pada lahan tadah hujan memerlukan
biaya yang sangat besar, karena itu perlu diatasi dengan teknologi yang lebih
murah dan terjangkau yaitu dengan teknologi pembuatan embung yang relatif
lebih murah.
Penulisan ini merupakan satu kajian dalam melihat Program pembangunan
1000 embung sebagai salah satu inovasi kebijakan Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro dalam menangani kekeringan serta menganalisa efektifitas program
dalam keberhasilannya menangani kekeringan. Selain itu juga ingin diurai faktor
penghambat dan pendukung pelaksanaan program. Alasan tersebutlah yang
menarik perhatian penulis untuk mengkaji secara lebih jauh mengenai “Inovasi
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam Mengatasi
Kekeringan, Studi tentang Program Pembangunan 1000 Embung Tahun
2013”.
9
B. Rumusan Masalah
Program pembangunan 1000 embung yang digalakkan oleh Pemerintah
Kabupaten Bojonegoro sejak tahun 2013 seharusnya sedikit banyak dapat
membantu dalam mengatasi krisis air pada musim kemarau. Dimana diketahui
pada musim kemarau, penduduk Kabupaten Bojonegoro kesulitan dalam
mengakses air untuk pemenuhan kebutuhan akan air, termasuk didalamnya
kebutuhan air untuk kegiatan irigasi wilayah pertanian dan peternakan, rumah
tangga.
Berdasarkan kepada latar belakang masalah diatas, maka pertanyaan
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah inovasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam mengatasi
kekeringan?
2. Apakah program pembangunan 1000 embung dapat berjalan efektif bagi
penanganan kekeringan di Kabupaten Bojonegoro?
3. Apakah faktor pendukung dan faktor penghambat pelaksanaan Program
Pembangunan 1000 Embung?
10
C. Tujuan Penelitian
Kekeringan yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro setiap tahun
menyebabkan permasalahan yang cukup kompleks. Tidak hanya berkisar pada
pemenuhan kebutuhan air dalam kegiatan pertanian, lebih jauh juga pada
kebutuhan air bersih untuk kegiatan sehari-hari, perkebunan, peternakan, juga
perikanan. Seiring dengan pelaksanaan program pembangunan 1000 embung yang
dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, muncul berbagai kendala
dalam rangka pencapaian target sasaran pembangunan. Oleh karena itu
pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui inovasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam
mengatasi kekeringan
2. Mengetahui efektifitas program pembangunan 1000 embung bagi penanganan
kekeringan di Kabupaten Bojonegoro?
3. Mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pelaksanaan
program pembangunan 1000 embung.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi, sebagai tambahan pengetahuan dan
pengalaman bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi bagi Dinas Pengairan pada
khususnya dalam mengkaji, mengembangkan dan mengevaluasi pelaksanaan
program pembangunan 1000 embung.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau bahan perbandingan
bagi peneliti selanjutnya yang membahas atau mengkaji tema yang serupa.
11
E. Definisi Konseptual
1. Inovasi
Kata inovasi berasal dari bahasa inggris innovation yang berarti
perubahan. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang
dianggap/dirasa baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan
dianggap/dirasa baru terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang,
belum tentu juga pada sebagian yang lain. Kesemuanya bergantung pada apa yang
dirasakan oleh individu atau kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Diah dalam Prananda (2013) Inovasi Pemerintahan adalah suatu hal yang
sekarang ini sedang memasuki trend, sedangkan inovasi sendiri memiliki
pengertian sebagai kemampuan pemimpin daerah untuk membuat sebuah
terobosan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, termasuk
diantaranya kemampuan marketing dan promosi bagi daerah.5
Kajian mengenai inovasi di bidang pemerintahan sendiri sebenarnya relatif
jarang, hal ini disebabkan karena lembaga pemerintah dipandang sebagai satu
lembaga yang kaku dan sulit menerima perubahan. Padahal, inovasi pemerintahan
dalam kaitannya penanganan bencana merupakan terjemahan dari satu tugas
pemerintah, yaitu memberikan rasa aman, dan perlindungan dari kemungkinan
bencana yang terjadi.
Inovasi pemerintah didalam menanggulangi bencana kekeringan sesuai
dengan Pedoman Mitigasi Bencana dilaksanakan melalui serangkaian upaya
pengurangan dampak bencana dalam bentuk kebijakan dan strategi. Kebijakan
yang diambil di dalam mengurangi dampak kekeringan dimaksudkan untuk:
5 Diakses dari http://www.kompasiana.com/rigaprananda/website-daerah-sebagai-inovasi-
pemerintah-daerah-efektifkah_5529f4f16ea834381a552d1b pada tanggal 17-11-2015 Pukul 01.56
12
Pertama, menyamakan persepsi yang sama kepada semua pihak, baik jajaran
pemerintahan maupun segenap unsur masyarakat. Kedua, melaksanakan mitigasi
bencana secara terpadu dengan melakukan koordinasi yang melibatkan seluruh
potensi pemerintah dan masyarakat. Ketiga, melaksanakan upaya preventif yang
dimaksudkan untuk meminimalisir dampak dan korban jiwa. Keempat,
melaksanakan kerjasama dengan semua pihak, melalui pemberdayaan masyarakat
dan kampanye.6
Dengan demikian, inovasi pemerintah dalam menanggulangi kekeringan
dapat kita definisikan sebagai satu ide, gagasan, terobosan, atau upaya dari
pemerintah yang dilaksanakan melalui pemilihan kebijakan mitigasi dampak
bencana yang tepat dan berkelanjutan yang difungsikan untuk mengurangi
dampak yang dihasilkan dari bencana kekeringan.
2. Kebijakan
Kebijakan adalah salah satu konsep dalam ilmu politik.7 Kebijakan
(policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau
kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan
itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakan.8
Menurut Wayne Parsons (2005) kebijakan merupakan terjemahan dari
kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kebijakan (policy) adalah istiah yang
tampaknya banyak disepakati bersama. Dalam penggunaannya yang umum, istilah
kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang “lebih besar” ketimbang
6 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi
Bencana 7 M i r i a m B u d i a r d j o . 2 0 0 9 . Dasar-dasar Ilmu Politik. J a k a r t a :
P T . G r a m e d i a P u s t a k a . 8 Ibid . H a l . 2 0
13
keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial. Jadi kebijakan
adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu.9
Sedangkan James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17)
mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action followed
by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”
(Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu).
Dari pendefinisian makna kebijakan diatas, maka kebijakan dapat
disimpulkan sebagai gagasan, ide, serangkaian tindakan yang diambil oleh
pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan
diantara berbagai alternatif yang ada dan dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu guna menyelesaikan masalah tertentu. Program pembangunan 1000
embung merupakan satu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro yang ditujukan untuk mengatasi kekeringan di daerahnya dengan
upaya peningkatan ketersediaan air melalui pembuatan embung.
Selanjutnya, di dalam studi kebijakan publik dikenal istilah model
kebijakan publik. Rinka dalam Rusli (2009) menyebutkan model lebih merujuk
pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakan realitas. Berbeda dengan
teori yang kesahihannya telah dibuktikan melalui pengujian emperis, model
didasarkan pada isomorphism, yaitu kesamaan kesamaan antara kenyataan satu
dengan kenyataan lainnya. Dye dalam Rusli (2009) menyebutkan pada dasarnya
9Parsons,Wayne.2005.Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.Jakarta:Kencana.Hal.14
14
terdapat sembilan macam model perumusan kebijakan, salah satunya adalah teori
inkremental. Pemilihan teori inkremental didasarkan atas alasan bahwa teori ini
adalah tepat untuk penelitian ini.
Wibawa (1994:11) dalam Soetari (2014:75) Model inkremental pada
dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional. Pembuatan kebijakan tidak
pernah melakukan proses seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan rasional
karena tidak memiliki cukup waktu, intelektual, dan biaya, ada kekhawatiran
muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat
sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan dan menghindari konflik.
Teori inkremental memandang bahwa kebijakan sebagai variasi terhadap
kebijakan masa lampau atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang ada
sekarang ini merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah pada waktu yang lalu
yang disertai modifikasi secara bertahap. Pilihan ini biasanya dilakukan oleh
pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang tidak
mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga.
Pembangunan embung merupakan kebijakan masa lampu yang
dimodifikasi. Sebelumnya mulai tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
melalui Dinas Pekerjaan Umum Bidang Pengairan telah melakukan pembangunan
embung tipe geo membran. Kemudian melihat besaran manfaat yang dapat
dihasilkan dari adanya embung, sejak tahun 2013 Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro mencanangkan program pembangunan 1000 embung dengan
melakukan modifikasi seperti perluasan tipe embung yang dibangun dan institusi
15
pelaksana pembangunan embung. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari stretegi
untuk mempercepat sasaran pembangunan 1000 embung pada tahun 2018.
Adanya pencanangan program pembangunan 1000 embung diawali oleh
janji politik Bupati Kabupaten Bojonegoro ketika itu yang saat ini diwujudkan
sebagai bagian dari upaya mengatasi kekeringan sekaligus mencapai Kabupaten
Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri. Dampak dari adanya pencanangan
ini adalah meningkatnya kuantitas pembangunan embung, khususnya yang
dibangun oleh Dinas Pengairan. Terdapat peningkatan yang cukup signifikan dari
sebelum dan sesudah adanya pencanganan program pembangunan 1000 embung
yang akan diuraikan melalui tabel di bab selanjutnya. Secara kuantitas, maupun
kualitas, adanya pencanangan ini berdampak positif bagi percepatan pencapaian
pembangunan 1000 embung.
2. Inovasi Kebijakan
Inovasi kebijakan terdiri atas dua padanan kata, yaitu inovasi dan
kebijakan. Inovasi berorientasi pada terobosan dan hal yang baru. Baru disini
dapat dimaknai berupa suatu hal yang benar-benar baru atau baru ditemukan, juga
dapat dimaknai sebagai suatu hal yang baru bagi satu individu, kelompok,
organisasi, maupun pemerintahan, terlepas dari apakah inovasi tersebut sudah
dilaksanakan di tempat lain atau belum.
Sedangkan kebijakan dalam konteks pemerintahan lebih dimaknai sebagai
suatu tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mengatasi persoalan
publik atau mencapai satu tujuan tertentu. Dari dua pemahaman inovasi dengan
kebijakan, secara sederhana dapat ditarik satu pemahaman bahwa inovasi
pemerintah merupakan satu kajian yang membahas mengenai apa yang baru
16
dilakukan pemerintah dalam rangka menyelesaikan masalah publik. Hasil inovasi
kebijakan berupa kebijakan-kebijakan publik.
Windrum (2008:8) dalam Abdullah (2013:95) Policy innovations change
the thought or behavioural intentions associated with a policy belief system
(Sabatier, 1987, 1999). Policy innovations are associated with three types of
learning (Glasbergen, 1994). First, there is learning of how policy instruments
can be improved to achieve a set of goals. Second, there is conceptual learning
that follows changes in shared understanding of a problem and appropriate
courses of action. Third, there is social learning based on shared understanding
of the appropriate roles of policy actors. (Inovasi kebijakan merubah hubungan
pemikiran atau maksud tindakan dengan sebuah sistem kebijakan (Sabatier,1987,
1999). Inovasi kebijakan dihubungkan dengan tiga tipe pembelajaran (Glasbergen,
1994). Pertama, pembelajaran dari bagaimana instrumen kebijakan dapat di
perbaiki untuk mencapai serangkaian tujuan-tujuan. Kedua, konsep pembelajaran
mengikuti perubahan pada pembagian pemahaman tentang sebuah masalah dan
arah yang tepat bagi tindakan. Ketiga, pembelajaran sosial didasarkan pada
pembagian pemahaman yang tepat dari peran aktor kebijakan.
Program pembangunan 1000 embung hadir sebagai bagian dari inovasi
kebijakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang didasarkan pada serangkaian
pemahaman bahwa persoalan kekeringan tidak dapat terus dihadapi secara
represif, yaitu melalui kegiatan dropping air. Kekeringan memerlukan satu
tindakan yang berkelanjutan dan bermanfaat dalam jangka panjang sehingga
dampak yang dapat dihasilkan dari kekeringan dapat ditekan sekecil mungkin.
17
3. Kekeringan
Kekeringan pada hakikatnya merupakan satu kondisi sedikitnya
kandungan air yang terdapat di dalam tanah, sehingga tidak mampu mencukupi
kebutuhan air pada umumnya. Dampaknya, kekeringan menyebabkan tanah
menjadi tandus dan gersang yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kualitas
tanah didalamnya. Kekeringan yang berlangsung terlalu lama dapat berdampak
terhadap kegiatan ekonomi, bahkan juga sosial dan politik.
Permasalahan kekeringan merupakan satu permasalahan yang memerlukan
intervensi dari Pemerintah selaku pembuat kebijakan, mengingat air merupakan
barang publik (public goods) yang merupakan hak dasar masyarakat yang harus
dipenuhi. Sebagaimana di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, khususnya Pasal 5 menyatakan bahwa “Negara menjamin hak
setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari
guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap
pemenuhan air kepada masyarakat dalam rangka penyediaan kebutuhan dasarnya.
Nurhayati (2014:10) Campur tangan pemerintah dimaksudkan untuk
melindungi kaum rentan dan termarginalkan dalam mengakses kebutuhan
dasarnya, yaitu kebutuhan akan air. Kewajiban negara dalam mencukupi hak
masyarakat dalam mengakses air juga diperkuat melalui UU No. 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Secara garis besar, ketentuan ini mewajibkan bagi negara menyelenggarakan
berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan air bagi setiap orang yang tinggal di
18
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di dalamnya
menjamin akses setiap orang ke sumber air untuk mendapatkan air.
Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu wilayah langganan
kekeringan di Jawa Timur. Berdasarkan kepada data BPBD Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2012, Kabupaten Bojonegoro termasuk kedalam daerah dengan
bencana kekeringan yang paling parah bersama Kabupaten Lamongan,
Trenggalek dan Pacitan yang disebabkan karena menurunnya debit air di Sungai
Brantas dan Bengawan Solo.10
Sedangkan per Juli 2015 ini Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 188 Tahun 2015 tentang
Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana Kekeringan di Kabupaten Bojonegoro
menetapkan Kabupaten Bojonegoro darurat kekeringan dalam rangka penanganan
kekeringan di wilayahnya terhitung sejak tanggal 25 Mei sampai dengan 31
Oktober 2015.
Menanggapi status bencana kekeringan, seluruh stakeholder saling bahu-
membahu dalam menanggulangi akibat dari musim kering yang berlangsung lebih
lama melalui serangkaian penanganan seperti pendistribusian air bersih yang
dilaksanakan oleh Dinas Sosial bersama-sama dengan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD). Selain itu, BPBD juga melaksanakan pembuatan sumur
bor air tanah dan juga pembuatan water treatment mini di sekitar embung.
Diperkirakan untuk tahun 2015, terdapat 11 Kecamatan yang akan mengalami
kesulitan air diantaranya seperti Kecamatan Kedungadem pada masa musim
kering tahun ini. Sedangkan Dinas Pengairan melalui kegiatan pembangunan
embung membantu dalam menjaga ketersediaan air ketika musim kemarau tiba.
10
Badan Penanggulangan Bencana Daerah – Jawa Timur, 2012.
19
Stage I
Identifikasi permasalahan
Analisa Penyebab Kekeringan:
Tekstur tanah, alluvial dan grumusol
Stage II
Perumusan Kebijakan
Program Pembangunan
1000 Embung
Stage III
Implementasi Kebijakan
dilaksanakan oleh Dinas
Pengairan, Instansi PJT, Balai
PSAWS.BS dan Dinas PU
Stage V
Penyempurnaan Kebijakan
F. Definisi Operasional
1. Program Pembangunan 1000 Embung sebagai Kebijakan Penanganan
Kekeringan di Kabupaten Bojonegoro
Terbentuknya program pembangunan 1000 embung tentu tidak terjadi
begitu saja. Sebuah kebijakan terbentuk sebagai respon terhadap munculnya
masalah publik. Demikian juga dalam hal ini, proses hingga dipilihnya program
embung sebagai satu bagian inovasi dari Pemkab Bojonegoro muncul atas
permasalah kekeringan yang telah menjadi bagian hidup (part of life) bagi
masyarakat Kabupaten Bojonegoro. Masalah sulitnya mendapatkan sumber air
muncul akibat dari tidak seimbangnya antara kebutuhan dan tersedianya sarana.
Jika digambarkan, maka gambaran yang tepat siklus pembuatan kebijakan adalah
dengan menggunakan policy cycling milik Laster dan Stewart berikut:
Stage IV
Evaluasi Kebijakan dengan
menghitung capaian kinerja
Identifikasi permasalahan:
Kekeringan
Stage VI
Program berakhir pada
tahun 2018
Sumber : Modifikasi dari James P. Lester & Joseph Stewart (2000) Public
Policy An Evolutionary Approach. California:Wadsworth Thomson Learning
dalam Tafsir Nurchamid. (2009) Evaluasi Kebijakan. Fisip UI.
Gambar 4.1 The Policy Cycle
20
Tahapan pertama dalam pembuatan kebijakan publik adalah penyusunan
agenda dengan mengumpulkan masalah-masalah publik. Salah satu masalah
lingkungan yang dialami Kabupaten Bojonegoro adalah kekeringan. Kekeringan
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, Pertama, jenis tanah yang
mendominasi luasan wilayah di Kabupaten Bojonegoro adalah jenis tanah
Alluvial dan Grumusol yang sulit meresapkan air.
Kedua, 30 juta tahun yang lalu Kabupaten Bojonegoro merupakan lautan,
hal ini menyulitkan dalam menentukan sumber air. Pengalaman dari BPBD
Kabupaten Bojonegoro dalam melakukan pengeboran sumur, ditemui kedalaman
75-100 meter, kandungan air dalam tanah adalah air laut yang tidak cocok untuk
kebutuhan air minum. Akibatnya air yang masuk ke bumi menjadi berkurang
karena jenis tanah yang sulit menyerap air. Sementara, masyarakat Kabupaten
Bojonegoro mengandalkan air bawah tanah.
Setelah berhasil ditemukan masalah, kemudian diikuti dengan analisa
masalah dan dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan. Jumlah air adalah tetap,
sedangkan kebutuhan air terus meningkat. Analisis ini yang kemudian
membangun kesadaran Pemkab untuk menangkap air hujan dengan cara
dimasukan kedalam tanah (konservasi air) melalui pembuatan sumur resapan yang
banyak, serta dengan menampung air dengan menggunakan embung dengan
menggaungkan program pembangunan 1000 embung. Pembuatan embung
pertama kali dilaksanakan di Sumberwungu yang merupakan inisiatif dari
Pemkab.
Siklus selanjutnya adalah penerapan kebijakan dalam masyarakat yang
diikuti oleh evaluasi. Keberhasilan embung Sumberwungu memacu Pemkab
21
untuk mengadopsinya di desa terdampak kekeringan lain di Kabupaten
Bojonegoro. Akan tetapi, untuk mendapatkan bantuan embung, Pemerintah Desa
yang harus aktif menyerahkan proposal bantuan pembangunan embung. Sehingga,
Pemerintah Desa diminta untuk aktif dan jemput bola dalam menyelesaikan
masalah kekeringan di desanya. Artinya, kebijakan program pembangunan 1000
embung dibangun dengan melibatkan masyarakat dalam partisipasinya mengatasi
kekeringan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah.
Sebelumnya dilakukan evaluasi bahwa kebutuhan air di setiap desa
berbeda kegunaannya. Hingga kemudian ditetapkan bahwa embung dibangun
dalam tiga jenis yaitu embung tipe pertanian, embung tipe geo membran dan
embung tipe reservoir dan diserahkan kepada instansi yang sesuai dengan
kewenangannya. Penyesuaian dan perubahan kebijakan ini dilakukan dalam
rangka penyempurnaan kebijakan. Embung tipe pertanian adalah embung yang
tampungannya merupakan tanah bekas galian, embung dengan tipe ini selain lebih
murah juga memiliki banyak fungsi, tampungan air dalam embung tipe pertanian
dapat digunakan untuk kegiatan irigasi, minum ternak, konservasi air, sumber air
baku, dan budidaya ikan. Akan tetapi, kelemahan embung tipe pertanian adalah
untuk mengoptimalkan daya tampung air, maka embung secara rutin harus
dinormalisasi kurang lebih setiap dua tahun sekali.
Berbeda dengan embung tipe pertanian, embung geo membran merupakan
embung yang dilapisi lapisan membran pada dinding embung. Embung geo
membran hanya memiliki satu fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sumber air
minum manusia. Sedangkan embung reservoir adalah embung yang difungsikan
untuk kebutuhan konservasi sumber daya air. Konservasi sumber daya air sesuai
22
dengan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah upaya memelihara
keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan kualitas yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang
akan datang. Konservasi sumber daya air yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bojonegoro untuk menaikkan sumber air pada sumur-sumur resapan.
Langkah terakhir dari siklus pembuatan kebijakan adalah mengakhiri
kebijakan karena sudah tercapai. Program pembangunan 1000 embung
ditargetkan akan selesai pada tahun 2018 mendatang dengan kemampuan
mencapai target pembangunan 1000 embung yang hasilnya diharapkan dapat
mengurangi dampak yang dihasilkan dari kekeringan. Melalui adanya program
ini, tujuan yang ingin dicapai adalah mempermudah akses masyarakat dalam
mendapatkan air, serta mencapai peningkatan produksi dan produktivitas tanaman
pangan.
2. Pelaksanaan Tugas Dinas Pengairan
Pembangunan embung oleh Dinas Pengairan dilaksanakan dengan
melakukan tiga kegiatan diantaranya :
a. Pembangunan embung
Pembangunan embung oleh Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro
dilaksanakan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Pengajuan proposal bantuan pembangunan embung oleh Pemerintah Desa
kepada Dinas Pengairan;
2. Verifikasi kelengkapan data proposal;
3. Survei lokasi yang akan dibangun embung dengan mempertimbangkan tekstur
tanah, lokasi sekitar bangunan embung;
23
4. Pembangunan embung (mendatangkan alat berat (exavator), pengerukan (2-3
minggu);
5. Penyerahan pengelolaan embung dari Dinas Pengairan kepada Pemerintah
Desa dengan berita acara;
6. Penarikan alat berat.
b. Peningkatan embung dan Rehabilitas Embung
Peningkatan embung merupakan kegiatan perluasan luas embung yang
dilakukan oleh Dinas Pengairan. Peningkatan luas bangunan embung
dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Pengajuan proposal peningkatan luas bangunan embung;
2. Survei lokasi bangunan embung (mempertimbangkan kejelasan kepemilikan
lahan);
3. Peningkatan bangunan embung (perluasan bangunan dengan pengerukan,
dilaksanakan pada musim kemarau);
4. Penarikan alat berat (exavator) dan penyerahan berita acara kepada Pemerintah
Desa.
3. Rehabilitasi Embung
Rehabilitasi embung oleh Dinas Pengairan menitik beratkan pada kegiatan
pekerjaan struktur di kolam tampungan embung dengan melakukan kegiatan
pengerukan embung untuk meningkatkan daya tampung embung. Tahapan
pengajuan bantuan rehabilitasi embung dilaksanakan dengan tahapan:
1. Pengajuan proposal rehabilitasi embung;
2. Verifikasi kelengkapan data proposal (mempertimbangkan usia bangunan
embung);
24
3. Survei lokasi untuk melihat kedalaman bangunan embung;
4. Rehabilitasi embung dengan pengerukan kembali bangunan embung untuk
menjaga kedalaman embung;
5. Penarikan alat berat.
3. Difusi Inovasi
Difusi inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal
yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus
menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun
waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada
sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi adalah di
adopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, bidang pengembangan
masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa
individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.11
Lebih jauh, Rogertz (1983) dalam Hanafi (1981) Keberhasilan sebuah
inovasi juga ditentukan oleh proses difusi (penyebaran) inovasi yang terdiri atas
empat unsur yaitu: (1) inovasi yang (2) dikomunikasikan melalui saluran tertentu
(3) dalam jangka waktu tertentu, kepada (4) anggota suatu sistem sosial.
Munculnya problematika seiring dengan implementasi program
pembangunan 1000 embung memiliki kaitan dengan proses difusi inovasi.
Penyebaran program tidak hanya berkisar antar lembaga pemerintah, lebih dari itu
proses difusi dilakukan pula antar lembaga pemerintah (pada level desa) bersama
masyarakat melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa komunikasi memegang peranan yang
11
Abdillah Hanafi. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru.Surabaya:Usaha Nasional.
25
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan, difusi inovasi juga
merupakan bagian dari pengkomunikasian kebijakan untuk mencapai
kesepahaman dalam mengartikan kebijakan.
4. Strategi Mitigasi Kekeringan
Secara lebih rinci upaya mitigasi bencana dapat dilaksanakan dengan
serangkaian kegiatan-kegiatan diantaranya:
a. Perlu melakukan pengelolaan air secara bijaksana, yaitu dengan mengganti
penggunaan air tanah dengan penggunaan air permukaan dengan cara pembuatan
waduk, pembuatan saluran distribusi yang efisien.
b. Konservasi tanah dan pengurangan tingkat erosi dengan pembuatan check dam,
reboisasi.
c. Pengalihan bahan bakar kayu bakar menjadi bahan bakar minyak untuk
menghindari penebangan hutan/tanaman.
d. Pengenalan pola tanam dan penanaman jenis tanaman yang bervariasi.
e. Pendidikan dan pelatihan.
f. Meningkatkan/memperbaiki daerah yang tandus dengan melaksanakan
pengelolaan Iahan, pengelolaan hutan, waduk peresapan dan irigasi.
g. Pembangunan check dam, waduk, sumur serta penampungan air, penghijauan
secara swadaya.
h. Mengurangi pemanfaatan kayu bakar.
i. Pembuatan dan sosialisasi kebijakan konservasi air.
j. Pengelolaan peternakan disesuaikan dengan kondisi ketersediaan air di
wilayahnya.
26
k. Mengembangkan industri alternatif non pertanian.12
5. Penyelesaian Kekeringan di Beberapa Daerah
Kekeringan merupakan satu masalah yang banyak dialami hampir seluruh
daerah di Indonesia. Hal ini tentu memaksa Pemerintah melakukan tindakan
mitigasi dalam rangka penanganan kekeringan agar dampak yang ditimbulkan
dapat di minimalisir. Sejauh ini, tindakan preventif pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam mengatasi
masalah kekeringan dilaksanakan dengan menggunakan tiga strategi.
Pertama, di bidang irigasi, dibangun pompa di sungai-sungai dan melalui
efisiensi penggunaan air melalui sistem pergiliran dalam penggunaan air dan
tekhnologi hemat air. Kedua, terkait dengan penyediaan air baku, melalui Ditjen
SDA Kementerian PUPR mengadakan operasi waduk kering, yaitu penggunaan
air baku di waduk yang diprioritaskan untuk keperluan air minum, irigasi dan
industri. Ketiga, dalam upaya penanggulangan bencana kekeringan, disediakan
761 unit pompa air untuk membantu suplai air yang tersebar di 11 Balai Wilayah
Sungai Kementerian PUPR yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.13
Sedangkan penanganan kekeringan di Nusa Tenggara Timur (NTT),
BPBD Provinsi NTT mengucurkan dana senilai Rp. 4 Miliar untuk kebutuhan
membeli air di 15 titik kekeringan yang melanda 15 Kabupaten di Nusa Tenggara
12
Permendagri Nomer 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana 13
Anonymous.2015.Gencarkan Program Membangun 1000 Embung. Diakses dan diolah melalui
laman http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/29/206687343/kekeringan-mengancam-begini-
cara-pemerintah-mengatasinya diakses pada 13-10-2015 Pukul 10.32 WIB.
27
Timur. Selain itu, juga dilakukan pembangunan sumur bor yang akan dibangun di
Sumba Tengah.14
Besaran dampak yang dapat dihasilkan dari bencana kekeringan membuat
penangan kekeringan harus dilaksanakan secara serius dan berkelanjutan guna
mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan. Selain itu kebutuhan air merupakan
kebutuhan esensial manusia yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Oleh sebab
itu penanganan kekeringan perlu mendapat perhatian khusus.
6. Manfaat Embung
1. Air Embung: Pada prinsipnya air embung digunakan untuk mengairi lahan
terutama pada musim kemarau. Pemanfaatan air pada musim kemarau perlu juga
memperhatikan luasan lahan dengan ketersediaan air yang ada didalam embung.
Apakah untuk mengairi sawah atau palawija dengan memperhitungkan kebutuhan
air sebagai misal untuk padi 200 mm per bulan atau 1 liter/ detik /Ha. Disamping
itu juga perlu diperhatikan jika embung juga untuk persediaan minuman ternak.
2. Pengairan padi dan palawija. Pengairan dari embung untuk padi dan palawija
tidak sepenuhnya menggunakan air, hanya dilakukan pada saat kritis, yaitu pada
fase primordial (bunting), pembungaan dan pengisian gabah. Saat ini air
disalurkan ke petak pertanian bisa menggunakan selang plastik hingga kondisi
tanah jenuh air. Untuk tanaman palawija caranya dengan menyiram seputar
pangkal tanaman, mengingat ketersediaan air di embung terbatas. Sebaiknya perlu
diketahui kebutuhan dari masing-masing jenis palawija akan air per musim atau
per hektar-nya.
14
Yohanes Andrianus.2014.BNPB Kucurkan Rp 4 Miliar Atasi Krisis Air NTT.
http://www.antaranews.com/berita/457525/bnpb-kucurkan-rp4-miliar-atasi-krisis-air-ntt diakses
pada 13-10-2015 Pukul 09.59 WIB.
28
3. Peternakan: Pada musim kemarau ada kalanya sulit untuk mendapatkan air
untuk minuman ternaknya dan harus diangkut dari tempat yang jauh. Dengan
adanya air embung ini dapat digunakan untuk memberi minuman ternaknya.
4. Perikanan : Khusus dibidang perikanan embung ini dapat dimanfaatkan pada
musim hujan maupun musim kemarau, dengan catatan untuk musim kemarau
ketersediaan air harus cukup. Beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan jika
embung digunakan untuk pemeliharaan ikan adalah; curah hujan, penguapan,
tekstur tanah, kontruksi kolam dan mutu air yang ada di embung. Untuk mutu air
sendiri perlu juga diperhatikan oksigen terlarut dan Amonia.
Jenis ikan untuk embung perlu dipilih yang tepat dan sesuai dengan
kondisi embung yang pada dasarnya serba terbatas, yaitu air yang menggenang.
Jenis ikan yang cocok yaitu, Gurame, Mujair, Tawes, dan Lele. Untuk pakannya
dapat berupa dedak, sisa makanan atau pellet serta tanaman-tanaman seperti daun
talas.
29
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan
pendekatan kualitatif. Suharsimi mendefinisikan penelitian deskriptif sebagai
penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status
suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat
penelitian dilakukan. 15
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif karena peneliti ingin menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif,
dan memperoleh pemahaman atas fenomena yang diteliti. Adapun fenomena
permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah inovasi kebijakan
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam mengatasi kekeringan melalui Program
Pembangunan 1000 embung tahun 2013.
2.Tempat, Waktu dan Subjek Penelitian
Subyek penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang dijadikan
sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Pemilihan
15
Muhammad Idrus.2009.Metode Penelitian Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif).Jakarta:PT Gelora Aksara Pratama.hlm:23
30
subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling.16
Teknik purposive
sampling yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.17
Subjek pada penelitian ini adalah :
Bupati Kabupaten Bojonegoro
Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bojonegoro
Kaur Sarana dan Prasarana Pemerintah Desa Kepohkidul
Petani Desa Kepoh Kidul
Sedangkan tempat penelitian adalah kantor instansi-instansi pada subyek
penelitian dan areal persawahan di sekitar embung Kepohkidul. Waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan November 2015-Januari 2016.
3. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.18
Dilihat dari segi sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis
dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen
pribadi, dan dokumen resmi.19
Dalam memperoleh data untuk penelitian ini dilakukan dengan
mengumpulkan data – data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari wilayah studi.
Dalam kajian ini, data diperoleh dengan melakukan interview terhadap subyek
penelitian, antara lain :
16
Ibid.at 31. 17
Sugiyono.2009.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.Bandung:Alfabeta 18
Lexy J Moleong.2012.Metodologi Penelitian Kualitatif (cet ke-30).Bandung:PT Remaja
Rosdakarya.hlm:157 19
Ibid. at 159.
31
a. Bupati Kabupaten Bojonegoro : Dalam kajian ini peneliti melakukan
wawancara dengan Bupati Kabupaten Bojonegoro yang merupakan inisiator
dalam program pembangunan 1000 embung.
b. Instansi terkait : Dinas Pengairan, Balai Penanggulangan Bencana Daerah,
Pemerintah Desa Kepohkidul di mana dengan pengalaman dan kemampuan tiga
orang yang ada dianggap dapat mewakili seluruh pegawai di instansi tesebut.
c. Petani Desa Kepohkidul : Pemilihan petani sebagai salah satu subyek
penelitian didasarkan atas alasan bahwa petani merupakan bagian dari masyarakat
yang menerima manfaat dari adanya embung.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen – dokumen yang dapat
dijadikan acuan dalam penelitian ini. Data sekunder yang digunakan untuk
mendukung penelitian ini adalah buku-buku terkait, jurnal, laporan, artikel ilmiah,
Renstra Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro tahun 2013-2018, Undang-
Undang serta pemberitaan di media online yang sesuai dengan tema yang
diangkat.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Peneliti melakukan observasi atau pengamatan langsung dilapangan untuk
memahami apa yang diketahui oleh subjek penelitian yang berkaitan dengan tema
yang diangkat dalam penelitian ini. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul. Observasi
bertujuan untuk mendapat data tentang suatu masalah sehingga diperoleh
32
pemahaman atau sebagai alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi
yang diperoleh sebelumnya.20
Observasi yang dilakukan peneliti dilakukan di embung Desa Kepohkidul
dan Desa Karangdinoyo. Peneliti ingin melihat bentuk embung, air embung yang
tersedia dan aktifitas yang melibatkan masyarakat dengan embung.
b. Wawancara
Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat
(Koentjaraningrat:129). Secara umum dalam penelitian sosial, wawancara
merupakan metode pembantu utama dari metode observasi
(Koentjaraningrat:135).
Wawancara yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah wawancara semi
terstruktur yang dicirikan dengan pertanyaan terbuka, namun ada batasan tema
dan alur pembicaraan, kecepatan wawancara dapat diprediksi, fleksibel tetapi
terkontrol (dalam hal pertanyaan atau jawaban), ada pedoman wawancara yang
dijadikan patokan dalam alur, urutan, dan penggunaan kata serta tujuan
wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena.21
Pemilihan model wawancara semi terstruktur dipilih peneliti karena model
ini dinilai akan memudahkan dalam menghimpun data dan informasi apabila
menggunakan metode wawancara semi-terstruktur.
c. Studi Dokumen
Metode dokumentasi adalah mencari data yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan
20
Tri Rahayu.2004.Observasi dan Wawancara.Malang:Bayu Media Publishing. Hlm:1 21
Haris Herdiansyah, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta:Salemba Humanika
33
sebagainya.22
Studi dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui
peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku
mengenai pendapat, dalil yang berhubungan dengan masalah penyelidikan.23
Dokumen-dokumen yang dipergunakan di dalam penelitian ini meliputi buku,
jurnal, artikel ilmiah, laporan, perundang-undangan, Renstra Dinas Pengairan
tahun 2013-2018, pemberitaan di media online yang memiliki kaitan dengan tema
yang diangkat.
5. Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.24
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif model interaktif
Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2009:247) melalui : Pertama,
pengumpulan data, proses pengumpulan data yang dilakukan merupakan
rangkaian aktifitas peneliti pada saat pre-eliminary dengan melakukan wawancara
kepada Kasi Pelaksanaan Teknis Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro untuk
melakukan pembuktian awal bahwa kegiatan pembangunan 1000 embung yang
sedang peneliti lakukan benar-benar ada, pengumpulan data dilanjutkan dengan
serangkaian kegiatan wawancara yang penulis lakukan dengan Bupati Kabupaten
22
Suharasimi Arikunto.2002.Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek edisi revisi ke-
5.Jakarta:PT Rineke Cipta.hlm:206. 23
Hadari Nawawi.2005.Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.hlm:133 24
Moleong. Op. Cit.248.
34
Gambar 1.2 Alur Teknis Analisis Data Miles & Hubermas
Sumber : Sugiyono.2014.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D.Bandung: Alfabeta. Cetakan ke 21.hlm:247
Bojonegoro, BPBD, Kaur Sarana dan Prasarana Pemdes Kepohkidul dan petani
desa Kepohkidul.
Kedua, Penyederhanaan data (Data Reduction), dalam tahapan ini peneliti
melakukan penggabungan segala bentuk data yang peneliti peroleh menjadi satu
bentuk tulisan yang kemudian akan dilakukan proses analisis. Ketiga, Penyajian
data (Data Display), display data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah
seragam dalam bentuk tulisan dan memiliki alur tema yang jelas. Keempat,
Penarikan kesimpulan (Conclution Drawing). Dari data tersebut akan
mengungkapkan peristiwa sebagaimana adanya dalam bentuk kalimat.25
Berikut merupakan gambar tahapan-tahapan beserta alur teknik analisis
data dengan model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman.
25
Ibid
Data
Collection
Conclusion:dra
wing/verifying
Data Display
Data
Reduction