1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum berdasarkan isinya dapat dibagi menjadi dua (2), yaitu hukum
privat dan hukum publik. Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan
orang per orang, sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan warga negaranya.
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana
terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku
tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana
materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum
pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia,
pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan Undang- Undang Nomor
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Simon,1 berpendapat sebagai berikut:
“Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal untuk
membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana
material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik,
peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidana suatu perbuatan,
petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang
pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat
dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana
negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.”
1 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam
Teori Dan Praktek, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, hlm.1.
2
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur,
apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai, tahap proses selanjutnya adalah
penuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan. Ketika proses ini telah
selesai, maka hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”.
Apabila pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah
terakhir untuk menjatuhkan putusan. Bentuk putusan yang akan dijatuhkan
tergantung dari hasil musyawarah berdasarkan surat dakwaan dengan segala
sesuatu yang terbukti dalam persidangan di sidang pengadilan.
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP, Putusan
Pengadilan Negeri yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana berdasarkan
KUHAP, bisa berbentuk sebagai berikut:
1. Putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (3) KUHAP);
2. Putusan yang membebaskan terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP);
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Salah satu putusan pengadilan, yaitu Putusan bebas yang dijatuhkan
oleh hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto yakni putusan dengan nomor
register perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt, dimana terdakwa didakwa dengan
dakwaan subsidaritas yaitu dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
3
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dakwaan subsidair Pasal 3 jo.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.”
Putusan dalam perkara ini, terdakwa yang menjabat sebagai Kepala
Seksi Bantuan Bencana dan Kemiskinan pada kantor Dinas Kesejahteraan Sosial
dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) Kabupaten Banyumas dengan
kehendak sendiri tanpa ada laporan dan permintaan dari unit koperasi
Penanggulangan Bencana dan penanggulangan pengungsi (PBP) kecamatan,
bahkan tanpa adanya perintah atau izin dari yang berwenang, terdakwa telah
mengambil dan menyalurkan barang yang seharusnya untuk kepentingan
penanggulangan bencana yang tersimpan dalam gudang barang kantor DKSPM.
Penyaluran bantuan tersebut telah diatur dengan Sistem dan Prosedur
Tetap (PROTAP) Penanggulangan Bencana Dan Penanganan Pengungsi yang
dikeluarkan oleh Bupati Banyumas pada bulan Desember 2004 dalam Bab V
Huruf A angka 2a yang mengatur bahwa:
“bantuan pertama didasarkan atas laporan terjadinya bencana, baik
laporan lisan maupun tertulis berupa radiogram atau interlokal dari unit
4
operasi penanggulangan bencana dan penanggulangan pengungsi (PBP)
kecamatan.”
Sedangkan pertanggungjawaban penyaluran bantuan diatur pada Bab V
Huruf A angka 4a Mengatur bahwa:
“setiap penyaluran bantuan harus diikuti administrasi
pertanggungjawaban pengeluaran.”
Terdakwa dalam hal ini tidak dapat membuat pertanggungjawaban atas
pengeluaran barang tersebut. Oleh karena itu, terdakwa didakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
Tindak Pidana Korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Tindak Pidana Korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak
pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar biasa (Extra Ordinary Crime).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul: PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NO. 174/PID.B/2009/PN.Pwt).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah disebutkan di
atas, maka perumusan masalahnya yaitu:
5
1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan bebas
pada perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt ?
2. Bagaimana akibat hukum dengan dijatuhkannya Putusan bebas bagi terdakwa
pada perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan
bebas pada perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dengan dijatuhkannya Putusan bebas bagi
terdakwa pada perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan penulis, serta menmbah pengetahuan bagi para pembaca
terutama mengenai penjatuhan Putusan bebas .
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan terhadap
aparat penegak hukum, yaitu salah satunya jaksa, agar dalam membuat
dakwaan dan tuntutan sesuai apa yang dilakukan oleh terdakwa serta lebih
teliti dalam hal pembuktian sehingga hakim tidak menjatuhkan Putusan
bebas.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana merupakan salah satu lingkup dari hukum pidana.
Ruang lingkup hukum pidana luas, baik hukum pidana materiil yang disebut
hukum pidana dan hukum pidana formil yang disebut hukum acara pidana.
Hukum pidana materiil atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian
tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu
perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang
pemidanaan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan,
sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-
alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi
berisi acara pidana.2
Menurut Wiryono Prodjodikoro,3 sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah mengatakan bahwa:
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai
tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
Dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan
peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut:
2 Andi Hamzah, 2001, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi.
Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 4. 3 Ibid.hlm 7.
7
1. Tindakan apa yang diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
2. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan
oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara
bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku.
3. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu
menangkap, menahan dan kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan.
4. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu
tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti,
menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada
hubungannya dengan perbuatan tersebut.
5. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan
oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri,
yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.4
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
memberikan pengertian resmi mengenai hukum acara pidana, yang ada adalah
berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum acara pidana,
misalnya penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan lain sebagainya.
Pengertian hukum acara pidana dapat ditemukan dalam berbagai literatur yang
dikemukakan oleh para pakar, seperti:
1. Wiryono Prodjodikoro,5
Hukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang
berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus bertindak
guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
2. R.Achad Soemadipraja,6
Hukum acara pidana adalah hukum yang mempelajari peraturan
yang diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan telah
dilanggarnya undang-undang pidana.
4 Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek. Bandung:
Penerbit Mandar Maju, hlm. 3. 5 Waluyadi, 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan
Khusus). Bandung: Mandar Maju. hlm. 9. 6 Ibid.
8
3. Van Bemmelen,7
Hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur bagaimana cara negara, bila dihadapkan pada suatu
kejadian yang menimbulkan prasangka telah terjadi pelanggaran
hukum pidana, dengan perantara alat-alatnya mencari kebenaran,
menetapkan di muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan
yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal
yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus
dilaksanakan.
4. Bambang Poernomo,8 mengklasifikasikan hukum acara pidana
menjadi tiga arti:
a. Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai
dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan
pengadilan.
b. Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian sempit,
juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar
peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana.
c. Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah
sampai pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian
dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana)
yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara
menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani
pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.
2. Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi dari hukum acara pidana menurut M. Faisal Salam, 9 yaitu:
Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum,
dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
7 Ibid. hlm 11.
8 Ibid.
9 Moch. Faisal Salam, loc. cit.
9
Menurut Van Bemmelen,10
seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah,
mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:
a. Mencari dan menemukan kebenaran.
b. Pemberian keputusan oleh hakim.
c. Pelaksanaan keputusan.
Fungsi hukum acara pidana tersebut, yang paling penting karena
menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti
itulah, hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang
kemudian dilaksanakan oleh jaksa.11
Bambang Poernomo, 12
berpendapat:
Fungsi hukum acara pidana berawal pada tugas mencari dan
menemukan kebenaran hukum, sebagai tugas awal hukum acara pidana
tersebut menjadi landasan dari tugas berikutnya dalam memberikan
suatu putusan hakim dan tugas melaksanakan putusan hakim.
Menurut Waluyadi,13
tugas atau fungsi dalam Hukum Acara Pidana
melalui alat perlengkapannya ialah:
a. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran.
b. Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat.
c. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan.
d. Melaksanakan keputusan secara adil.
10
Andi Hamzah, op. cit. hlm. 8-9. 11
Ibid. hlm 9. 12
Bambang Poernomo, 1999, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara
Pidana. Yogyakarta: Liberty, Hlm. 17. 13
Waluyadi, op. cit. hlm. 29.
10
Berdasarkan hal tersebut dapat ditunjukkan bahwa antara hukum pidana
materiil yang disebut hukum pidana dan hukum pidana formil yang disebut
hukum acara pidana adalah pasangan yang tidak dapat dipisahkan dan
mempunyai hubungan yang sangat erat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang.
3. Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana pada dasarnya sama dengan
tugas dan tujuan ilmu hukum pada umumnya yaitu mempelajari hukum untuk
mewujudkan kedamaian yang meliputi ketertiban dan ketenangan dengan
memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum kepada masyarakat.
KUHAP dalam pedoman pelaksanaannya menjelaskan tujuan hukum
acara pidana sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa tindak pidana yang telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”14
Memperhatikan rumusan di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan hukum
acara pidana meliputi empat hal yaitu:
1. Mencari dan mendapatkan kebenaran.
Hukum acara pidana menjelaskan yang bertugas mencari dan
menemukan kebenaran adalah pihak kepolisian, dalam hal ini adalah
penyelidik dan penyidik. Kebenaran yang dimaksudkan adalah
keseluruhan fakta-fakta yang terjadi yang ada hubungannya dengan
perbuatan pidana yang terjadi.
2. Melakukan penuntutan.
Tujuan melakukan penuntutan adalah menjadi tugas dari kejaksaan
yang dilakukan oleh JPU. Penuntutan harus dilakukan secermat
14 Andi Hamzah, loc. cit.
11
mungkin sehingga penuntutan itu merupakan penuntutan yang tepat
dan benar sebab kesalahan penuntutan akan berakibat fatal yaitu
gagalnya penuntutan yang berakibat pelaku bebas.
3. Melakukan pemeriksaan dan putusan.
Mengenai tujuan ketiga yaitu melakukan pemeriksaan dan membuat
dan menemukan putusan menjadi tugas hakim di pengadilan.
Pemeriksaan harus jujur dan tidak memihak dan putusannya pun
harus putusan yang adil bagi semua pihak.
4. Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim.
Tujuan terakhir dari hukum acara pidana adalah melaksanakan
eksekusi putusan hakim yang secara administratif dilakukan oleh
jaksa akan tetapi secara operasionalnya dilakukan dan menjadi tugas
lembaga pemasyarakatan kalu putusan itu putusan pidana penjara.
Namun, jika putusannya pidana mati maka langsung dilakukan oleh
regu tembak yang khusus disiapkan untuk itu.15
Andi Hamzah,16
berpendapat:
Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan
tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban,
ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam
masyarakat.
Tujuan KUHAP yaitu mencari suatu kebenaran materiil diperlukan
barang bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan undang-undang. Proses
mencari dan mengumpulkan barang bukti dan alat bukti dilakukan pada tahap
penyidikan.
Djoko Prakoso,17
berpendapat:
Tujuan daripada hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan
peraturan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.
15
Ibid. hlm. 9. 16
Ibid. 17
Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm.9.
12
4. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Pengertian asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum
yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi
pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orang-orang yang
berkepentingan dengan hukum acara pidana.
KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan
sebagai dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi
instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.
Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau
prinsip yang dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap
anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan
tindakan yang menyangkut KUHAP.18
Asas-asas yang penting yang tercantum dalam hukum acara pidana
tersebut adalah :
A. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman No. 48 Tahun 2009, yang menghendaki agar pelaksanaan penegakan
hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, tepat, sederhana, dan biaya
ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apalagi jika keterlambatan penyelesaian
kasus terhadap hukum dan martabat manusia.
Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif,
sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada
18
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan Dan Penuntutan,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.35.
13
tersangka/terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga
terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang berbunyi:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”.
Mengenai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, Bambang
Poernomo19
berpendapat:
Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat diartikan
menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai
efisiensi kerja dalam waktu yang singkat. Proses yang sederhana
diartikan penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar
pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang
berjalan dalam satu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran
dalam bekerja yang berbelit-belit. Biaya yang murah diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya
para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang
berkepentingan tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan.
Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang
cepat, tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak:
1. Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik,
2. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik,
3. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum,
4. Berhak segera diadili oleh pegadilan.
B. Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence
Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP.
Asas ini juga dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
19
Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm.66.
14
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”
Mengenai asas praduga tak bersalah, M. Yahya Harahap20
berpendapat:
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari
segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau accusatory
procedure (accusatorial system). Prinsip akusator menempatkan
kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:
- Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu
tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,
- Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa.
Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.
Untuk menjamin agar asas praduga tak bersalah dapat ditegakan dalam
setiap tingkat pemeriksaan, KUHAP telah memberikan perlindungan kepada
tersangka atau terdakwa berupa hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati
dan dilindungi oleh penegak hukum.
C. Asas Oportunitas
Ketentuan dalam hukum acara pidana mengenal suatu badan khusus
yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang
disebut penuntut umum, yang dikenal jaksa di Indonesia (Pasal 1 butir a dan b
serta Pasal 137 dan seterusnya dalam KUHAP).
Pasal 35 c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal itu berbunyi:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
20
M. Yahya, Harahap, Op. Cit, hlm. 40
15
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum. Asas
Oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk menuntut atau
tidak menuntut seseorang ke pengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya
diberikan kepada kejaksaan.
Menurut A.Z Abidin Farid21
yang dikutip dalam buku Andi Hamzah
memberikan rumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut :
Asas Oportunitas ialah asas hukum yang memberikan wewenang
kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan
atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik
demi kepentingan umum.
Andi Hamzah22
menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan delik jika menuntut pertimbangannya akan
merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum,
seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.
Mengenai kriteria kepentingan umum itu, di dalam pedoman
pelaksanaan KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara
dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi.
D. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam
Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan:
21
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 15. 22
Ibid. hlm. 16.
16
“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.
Saat membuka persidangan pemeriksaan perkara seseorang terdakwa,
hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas
ketentuan tersebut atau tidak terpenuhinya ketentuan itu mengakibatkan
putusan pengadilan “batal demi hukum”. Pengecualian asas ini adalah terhadap
kasus kesusilaan dan terdakwa anak-anak.
Mengenai asas pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum, M.
Yahya Harahap23
berpendapat:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan pemeriksaan
perkara yang terdakwanya anak-anak dilakukan dengan pintu tertutup.
Sebab jika dilakukan terbuka untuk umum akan membawa akibat
psikologis yang lebih parah kepada jiwa dan batin si anak.
Asas ini memberikan makna bahwa tindakan penegakan hukum di
Indonesia harus dilandasi oleh jiwa persamaan dan keterbukaan serta adanya
penerapan sistem musyawarah dan mufakat.
L. Sumantri24
menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat
dihadiri oleh umum, sehingga dapat lebih menjamin obyektifitas
peradilan dan tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak
asasi terdakwa. Di lain pihak juga ditentukan pengecualian apabila
kesusilaan dan terdakwanya anak-anak.
Menurut Andi Hamzah25
:
Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim diberikan
kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang
terbuka atau tertutup untuk umum.
23
M Yahya Harahap, Op. Cit, hlm.56. 24
L. Sumartini, 1996, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang
Hukum Acara Pidana, Jakarta :Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm. 18. 25
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 19.
17
Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya
atau sebagian tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di
belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada
hakim yang melakukan hal itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan
penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar
sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya.26
E. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP.
Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP berbunyi:
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”
Pendapat Andi Hamzah27
mengenai asas semua orang diperlakukan
sama didepan hukum adalah :
Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara Hukum maka dihadapan
hukum semua orang sama dan sederajat. Bagaimanapun kedudukan
manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara
Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
26 Ibid.
27 Ibid. hlm. 20
18
F. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum
Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum terdapat
pada Pasal 54 KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapatkan bentuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata
cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut
dalam suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi
pembelaannya maupun untuk mendapatkan nasehat atau penyuluhan tentang
jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya sebagai
tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum dalam KUHAP tidak terdapat
penjelasan atau definisi mengenai pengertian bantuan hukum.
M. Yahya Harahap28
menjelaskan mengenai bantuan hukum diatur
didalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, dimana didalamnya
diatur tentang kebebasan yang sangat luas yang didapat oleh tersangka atau
terdakwa. Kebebasan tersebut antara lain :
a) Bantuan Hukum dapat diberikan saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d) Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka tidak didengar
oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan Negara.
e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat
hukum guna kepentingan pembelaan.
f) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka atau terdakwa.
28
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 21.
19
G. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sidang pengadilan
melakukan pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau orang lain yang
terlibat, dengan mengadakan pembicaraan lisan, berupa tanya jawab dengan
majelis hakim. Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat
dalam persidangan harus dilakukan dengan berbicara satu sama lain secara
lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dan yang bersangkutan tanpa
tekanan dari pihak manapun.
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal
154 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut :
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil
masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan
bebas;
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak
hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang
meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah;
(3) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, hakim ketua
sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya;
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah, pemeriksaan
tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi;
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak
semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap
terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan;
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir
tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua
kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya;
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan
menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
20
Mengenai asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan, M. Yahya
Harahap29
berpendapat :
Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam
memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan.
Tidak boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap
terdakwa maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli,
pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip
pemeriksaan dalam persidangan dilakukan secara langsung berhadap-
hadapan dalam ruang sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan
dan jawaban atau keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain
untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar menemukan
kebenaran yang hakiki. Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan
lisan, tidak hanya keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat
didengar dan diteliti, tetapi sikap dan cara mereka memberikan
keterangan dapat menentukan isi dan nilai keterangan.
Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 213 KUHAP, yang berbunyi:
“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili
disidang”.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan.30
29
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm.113. 30
Ibid.hlm. 273.
21
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian inilah
ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat bukti yang
ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan
bersalah.
Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana menurut Yahya
Harahap,31
antara lain:
a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau
penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak
dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang
dianggapnya benar diluar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.
Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai
dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama
pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan
kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang akan dijatuhkan,
kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan
kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.
Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang
tidak bersalah mendapat ganjaran hukuman.
b. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus
berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara
“limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
2. Macam-Macam Teori Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara
meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil
31
Ibid, hlm.274.
22
dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup
memadai membuktikan kesalahan terdakwa.32
Macam-macam teori sistem pembuktian adalah sebagai berikut:
1. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari
mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga
hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.33
Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu
mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada
seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung
oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa
dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time,
32
Ibid, hlm.276. 33
Yahya Harahap, 2002..Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 277.
23
sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup
itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim.34
Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar
alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas
dasar “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang
paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti
yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
ini.35
Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga
sulit diawasi.36
2. Conviction-Raisonee
Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam
sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa
batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”.37
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim
dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-
alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat
34
Ibid. 35
Ibid. 36
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, hlm. 231. 37
Yahya Harahap, Loc. Cit.
24
diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis
dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan
yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.38
Sistem atau teori
pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk
menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).39
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke
Stelsel)
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya
terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”.
Terpenuhinya syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-
undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan
keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan
terdakwa, bukan menjadi masalah.40
Pemeriksaan perkara oleh hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai
pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang
diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim
majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan
menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.41
38
Ibid., hlm. 278. 39
Andi Hamzah, Loc. Cit. 40
Yahya Harahap, Loc. Cit. 41
Ibid.
25
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat
kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman
terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan
hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas:
seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan
kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang.42
Sistem ini, disebut juga teori pembuktian formal
(formele bewijstheorie).43
4. Pembuktian menurut undang-undang secara negative (negative wettelijk
stelsel).
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction – in time). Dalam sistem
ini, terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang, serta dibarengi dengan keyakinan hakim.44
Bertitik tolak dari uraian diatas, untuk menyatakan salah atau tidak
seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif,
terdapat dua komponen:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah dan menurut undang-undang,
42
Ibid. 43
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 229 44
Ibid, hlm. 278 - 279
26
2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
3. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP
KUHAP tidak menentukan secara jelas mengenai sistem pembuktian
yang dianut oleh KUHAP, akan tetapi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 183
KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP tersebut, untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa
harus:
1. Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Bertitik tolak dari Pasal 183 KUHAP diatas, sistem pembuktian yang
dianut didalam KUHAP adalah Pembuktian menurut undang-undang secara
negative (negative wettelijk stelsel). Sistem ini, terdakwa baru dapat dinyatakan
bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan
dengan cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, serta
dibarengi dengan keyakinan hakim.45
45
Ibid, hlm.278
27
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.46
Berdasarkan
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan
diantara kedua unsur tersebut, misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup
terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” akan
kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan
bersalah.47
Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh
bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, akan tetapi keyakinan tersebut
tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti inipun terdakwa
tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen
tersebut harus “saling mendukung”.48
Mengenai sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif,
Wirjono Projodikoro,49
berpendapat :
Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama
46
Ibid. 47
Ibid., hlm. 279. 48
Ibid. 49
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 235
28
memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan
yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam
melakukan peradilan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka undang-undang juga menentukan
macam alat bukti secara limitatif sebagaimana yang tercantum pada Pasal 184
ayat (1) KUHAP, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa.
C. Putusan dalam Tindak Pidana
1. Pengertian Putusan
Muara dari seluruh proses persidangan perkara pidana adalah
pengambilan keputusan hakim atau sering disebut juga dengan istilah “Putusan
Pengadilan” atau “Putusan Akhir” atau lebih sering disebut dengan istilah
“Putusan” saja.50
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
tertulis maupun lisan.51
Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) KUHAP, apabila
pemeriksaan sidang dinyatakan selesai, tahap proses selanjutnya adalah
penuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan. Ketika proses ini telah
selesai, maka hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”.
50
Al. Wisnubroto, 2002, Praktek Peradilan Pidana: Proses Penganganan Perkara
Pidana, Jakarta: galaxy puspa mega, hlm.119. 51
Leden Marpaung.,2010, Proses penanganan perkara pidana (Di Kejaksaan dan
pengadilan negeri, upaya hukum dan eksepsi). Jakarta: Sinar grafika. hlm.129.
29
Apabila pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan
musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. Bentuk putusan yang akan
dijatuhkan tergantung dari hasil musyawarah berdasarkan surat dakwaan
dengan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan di sidang pengadilan.
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Proses atau acara pengambilan putusan diawali setelah hakim ketua
sidang menyatakan pemeriksaan ditutup, dan selanjutnya hakim akan
mengadakan musyawarah. Berdasarkan ketentuan Pasal 182 KUHAP untuk
menentukan putusan, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari
hakim yang paling muda sampai hakim yang lebih tua, sedangkan yang
terakhir hakim ketua akan menyatakan pendapatnya.
Hasil musyawarah majelis hakim merupakan permukatan bulat, namun
jika telah benar-benar diupayakan tetapi tetap tidak dapat mencapai suatu
permukatan bulat maka akan ditempuh dua cara, yaitu:
1. Putusan diambil dengan suara terbanyak (voting);
2. Putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan
bagi terdakwa.
Proses penyusunan materi muatan putusan perlu mencermati ketentuan
Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa
musyawarah majelis hakim dalam menyusun putusan harus didasarkan atas
surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
30
Proses pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku himpunan putusan
yang disediakan khusus untuk itu yang sifatnya rahasia. Putusan Pengadilan
Negeri dapat dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau pada hari yang lain, yang
sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa atau
penasihat hukum terdakwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 195 KUHAP, semua
putusan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum.
2. Macam-macam Putusan dalam KUHAP
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP diatas, Putusan
Pengadilan Negeri yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana berdasarkan
KUHAP, bisa berbentuk sebagai berikut:
1. Putusan pemidanaan
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman
yang ditentukan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa.52
Pasal 193 ayat (1) KUHAP:
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melaksanakan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan
menjatuhkan pidana.
52
Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 354.
31
Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan
pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika
pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman
pidana terhadap terdakwa. Atau dengan kata lain bahwa apabila menurut
pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya
sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang
telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
Yahya Harahap,53
berpendapat:
“Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang
terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk
menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut
dalam pasal pidana yang didakwakan.”
Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa adalah bebas, artinya memberikan kebebasan
kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan
maksimum sesuai dengan pasal pidana yang didakwakan. Namun, titik tolak
hakim dalam menjatuhkan pidana harus didasarkan kepada ancaman pidana
yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan dan seberapa besar
kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.
Hakim dalam hal menjatuhkan putusan pemidanaan, dapat menentukan
salah satu dari macam-macam hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP
yaitu salah satu dari hukuman pokok.
53
Ibid.
32
Pasal 10 KUHP:
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus melihat status terdakwa.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP yang menyatakan
bahwa:
a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan,
dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila
dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hak terdakwa ditahan, dapat menetapkan terdakwa tetap
dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup
untuk itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP sebagaimana
tersebut diatas, ada dua (2) kemungkinan status penahanan terdakwa, yaitu:
1. Jika status terdakwa tidak ditahan, maka status penahanan terdakwa
berubah menjadi “ditahan”;
2. Jika status terdakwa ditahan, maka status terdakwa tetap dalam
tahanan atau membebaskannya berdasarkan alasan yang cukup.
2. Putusan yang membebaskan terdakwa
Putusan pembebasan atau sering disebut dengan putusan bebas diatur
dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.”
33
Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas
dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum
acara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup
membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah.
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berkaitan dengan Pasal 183 KUHAP diatas, pembentuk undang-undang
menentukan macam-macam alat bukti yang sah sebagaimana tercantum pada
Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk, Keterangan terdakwa.
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau disebut juga onslag van
recht vervolging,54
diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan
bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum”.
Yahya Harahap,55
berpendapat bahwa:
54
Ibid.hlm. 352.
34
“Putusan lepas dari segala tuntutan, terdakwa bukan dibebaskan dari
ancaman pidana tetapi “dilepaskan dari penuntutan”.
Disisi lain menurut Yahya Harahap,56
Putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dapat ditijau dari beberapa segi yaitu:
1. Ditinjau dari segi pembuktian, apa yang didakwakan kepada terdakwa
cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-
undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP, tetapi perbuatan yang terbukti tersebut “tidak
merupakan tindak pidana”. Jadi perbuatan yang didakwakan dan yang
terbukti atau terungkap dalam persidangan, tidak termasuk dalam ruang
lingkup hukum pidana tetapi mungkin termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang, atau mungkin hukum adat.
2. Ditinjau dari segi penuntutan, pada hakekatnya apa yang didakwakan bukan
merupakan perbuatan tindak pidana. Mungkin hanya berupa quasi tindak
pidana, seolah-olah penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai
perbuatan tindak pidana.
Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera
dibebaskan dari tahanan, sesuai Pasal 191 ayat (3) KUHAP yang menyatakan
bahwa:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan”.
Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera
dibebaskan dari tahanan, kecuali ada alasan lain. Perintah untuk membebaskan
terdakwa dari tahanan segera dilaksanakan oleh jaksa setelah putusan
diucapkan dan laporan tertulis mengenai perintah tersebut dilampiri surat
55
Ibid. 56
Ibid.
35
penglepasan yang diserahkan kepada Ketua Pengadilan selambat-lambatnya
dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.57
D. Putusan Bebas
1. Pengertian Putusan Bebas
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya, Putusan bebas atau disebut
juga vrijspraak,58
diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan
bahwa:
“ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.”
Yahya Harahap,59
berpendapat bahwa:
“Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan
bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak)”.
Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa
dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.60
Jadi putusan hakim yang
mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristiwa yang
disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan
selama persidangan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak
terbukti.61
57
Ibid. hlm. 353-354. 58
Ibid. hlm. 347. 59
Ibid. 60
Djoko Prakoso, 1986., Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm .270. 61
Ibid.
36
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut
penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti
menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183
KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus
dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
2. Syarat dijatuhkannya Putusan Bebas
Putusan Bebas ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP yang
menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP , terkandung dua asas
mengenai pembuktian, yaitu :
1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan
terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2) Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan
suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup
terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan
terdakwa.
Ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP, pembentuk undang-
undang telah menentukan macam alat bukti secara limitatif sebagaimana
tercantum pada Pasal 184 KUHAP, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli,
37
surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa. Jadi agar dapat menjadi alat bukti
yang sempurna, yang dapat menjatuhkan suatu hukuman, harus ada kesesuaian
antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain, sehingga mampu
menciptakan keyakinan hakim terhadap kesalahan terdakwa atas tindak pidana
yang didakwakan kepadanya.
Penjatuhan Putusan bebas selain diatur dalam Pasal 191 KUHAP, juga
dapat diperluas dengan syarat-syarat Putusan pembebasan atau pelepasan dari
segala tuntutan hukum yang diatur dalam KUHP. Didalam KUHP, Buku
Kesatu Bab III terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal yang
menghapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa. Jika pada diri seorang
terdakwa terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dalam pasal-pasal
KUHP yang bersaangkutan, hal-hal atau keadaan itu merupakan alasan yang
membebaskan terdakwa dari pemidanaan,62
antara lain: Pasal 44 KUHP, Pasal
45 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP dan Pasal 50 KUHP.
3. Akibat Hukum Dijatuhkannya Putusan bebas
Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan,
sesuai Pasal 191 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan”.
Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan,
kecuali ada alasan lain. Perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan
segera dilaksanakan oleh jaksa setelah putusan diucapkan dan laporan tertulis
62
Yahya Harahap, Op.cit, hlm .348-349.
38
mengenai perintah tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan
kepada Ketua Pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh
empat jam.63
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2001
tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang
Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan
bahwa:
“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus
dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari
segara dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag
van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera
dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan di depan sidang
terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan
putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan
tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extract vonis)
guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku
eksekutor dari putusan Hakim”.
Putusan hakim yang menjatuhkan putusan bebas tidak dapat diajukan
upaya hukum biasa, dalam hal ini yaitu upaya hukum banding dan kasasi. Hal
ini sesuai dengan Pasal 67 KUHAP dan Pasal 244 KUHAP.
Pasal 67 KUHAP:
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukim dan putusan pengadilan dalam acara cepat”
Pasal 244 KUHAP:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
63
Ibid, hlm. 351.
39
Berdasarkan ketentuan kedua pasal yang tersebut diatas, dapat diketahui
bahwa untuk putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum banding
maupun kasasi sebagai upaya hukum biasa.
Djoko prakoso, 64
berpendapat:
Mengenai Putusan bebas/vrijspraak tidak dapat diajukan permohonan
kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang (Pasal 244
KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan Keputusan Menteri
Kehakiman RI: M. 14-P.W. 07. 03 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat
dalam Pasal 19 yang menyatakan:”Terhadap Putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding tetapi demi situasi dan kondisi, demi hukum,
keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan
kasasi.”
Pendapat diatas sesusai dengan ketentuan Pasal 259 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan bahwa:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa agung”
Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari
Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari pengadilan-
pengadilan terdahulu, dan ini merupakan peradilan terakhir. Tujuan dari kasasi
ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang – undang atau keliru
dalam menerapkan hukum.
Yahya Harahap berpendapat,65
ada beberapa tujuan utama upaya hukum
kasasi yaitu:
64
Djoko Prakoso, Op.cit, hlm.288. 65
Yahya Harahap, op. cit. hlm. 539-542.
40
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu
tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan
hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta
apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut
ketentuan undang-undang,
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya
tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk
yurisprudensi,
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari
pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman”
penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal
opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan
yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik
tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi,
dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para
hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang
dimilikinya.
Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa.66
Hal
ini dikarenakan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya terbatas
pada putusan Pengadilan Negeri dan atau putusan Pengadilan tinggi.
Yahya Harahap, 67
berpendapat bahwa :
Pada hakikatnya kasasi demi kepentingan hukum tidak berbeda
tujuannya dengan permohonan kasasi biasa, sama-sama bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan penerapan hukum, keteledoran cara
melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang, serta
mencegah terjadinya tindakan pengadilan yang melampaui batas
wewenangnya. Bertitik tolak dari tujuan koreksi ini, alasan kasasi demi
kepentingan hukum pun sama dan sejajar dengan kasasi biasa seperti
yang telah dirinci dalam Pasal 253 ayat (1). Akan tetapi, kalau bertitik
tolak dari perkataan demi kepentingan hukum, berarti tidak hanya
terbatas kepada kesalahan yang disebut Pasal 253 ayat (1). Bahkan
meliputi segala segi yang menyangkut kepentingan hukum. Baik yang
menyangkut pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian
pembuktian, dan sebagainya.
66
Ibid, hlm.608. 67
Ibid, hlm.612-613.
41
Pejabat yang berwenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa Agung”
Berdasarkan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP, putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan terdakwa. Selain itu, kasasi demi
kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja.
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh diajukan
secara lisan. Dengan kata lain, permohonan kasasi demi kepentingan hukum
diajukan secara tertulis dan disertai risalah yang memuat alasan kasasi. Risalah
itu merupakan syarat mutlak yang bersifat “memaksa”. Hal ini dikarenakan
tanpa risalah, permohonan dianggap tidak memenuhi syarat formal.
Konsekuensinya, permohonan dinyatakan “tidak dapat diterima”. Jadi, agar
permohonan memenuhi syarat formal, Jaksa Agung wajib mengajukan risalah
atau memori.68
Salinan risalah disampaikan panitera kepada pihak yang
berkepentingan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 260 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa panitera Pengadilan Negeri segera menyampaikan risalah
kepada pihak yang berkepentingan. Penyampaian salinan risalah mengandung
maksud agar memberikan hak kepada pihak yang menerima salinan risalah
tersebut untuk menyusun dan mengajukan kontra risalah.
68
Ibid, hlm.612.
42
Putusan dan pemberitahuan putusan kasasi demi kepentingan hukum
mempunyai persamaan bentuk dan cara penyampaiannya dengan putusan
kasasi biasa. Namun ada sedikit perbedaan antara keduanya, yaitu untuk
salinan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan,
sedangkan untuk kasasi biasa, salinan putusan kasasi hanya diberikan kepada
pengadilan negeri yang bersangkutan.
E. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menyatakan
kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi
dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di
bawah kekuasaan jabatannya.69
Tindak Pidana Korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
69
Evi Hartanti, 2007,Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 9
43
Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi, akan tetapi, dengan
memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas
mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud.
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah:
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi:
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
44
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur setiap orang berarti orang perseorangan atau koorporasi. Adapun
yang dimaksud dengan koorporasi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi adalah kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan hukum maupun
tidak.70
Unsur secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
70
Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, Hlm. 16.
45
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.71
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa tindak pidana
korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat
terkait untuk pembuktian. Rumusan secara formil yang dianut undang-undang
ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak
pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.72
Unsur Keuangan Negara yang dimaksud dalam tindak pidana korupsi
dapat dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana yang dimaksud
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang
dipidahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum
dan Perusahan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
negara.
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
71
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011. Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui
untuk Mencegah, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 15 72
Ibid.
46
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan
kesejahteraan seluruh kehidupan masyarakat.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case
Approach). Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) digunakan
karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pendekatan kasus
(Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah
diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.73
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah preskriptif analitis. Sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma
hukum. 74
Analitis karena kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai
aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum dan berbagai pengertian
hukum yang berkaitan dengan penelitian ini..
73
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu
media Publishing, 2011, hml. 295 – 321. 74
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Media
Group,hlm.22.
48
C. Sumber Data
Peneliti dalam penelitian ini, akan menggunakan data sekunder untuk
membangun penelitian dan untuk mendapatkan hasil yang objektif dari penelitian.
Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan menjadi:
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang
digunakan yaitu:
1. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi,
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,
3. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-
buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-
jurnal hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang
berkaitan dengan topik penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.75
75
Johnny Ibrahim, op.cit, hlm.295 – 296.
49
D. Metode Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan
studi dokumen. Studi pustaka ini akan menggali berbagai kemungkinan jawaban
permasalahan dalam penelitian ini. Studi dokumen suatu cara pengumpulan bahan
dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non
pemerintah berupa Surat Keputusan, Mass Media, Internet, Instruksi, Aturan suatu
instansi, Publikasi, Arsip-arsip Ilmiah, putusan Pengadilan dan sebagainya.76
E. Metode Penyajian Data
Peneliti setelah memperoleh data (berupa bahan hukum primer,
sekunder, tersier) akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap data
tersebut. Nantinya data yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis.
Antara data yang satu dengan yang lain memilki hubungan yang dapat menjawab
permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini.77
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam studi kepustakaan, aturan perundang-
undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa Analisis tehadap bahan hukum
dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.78
76
Ibid, hlm. 296 77
Ibid. 78
Ibid, hlm. 393
50
Data yang ada dianalisis untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan Putusan bebas, serta akibat hukum bagi terdakwa yang
dijatuhi putusan bebas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara
Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dalam rangka upaya
penanganan bencana kekeringan dan pemberian bantuan bagi masyarakat miskin
membutuhkan bahan makanan dan pakaian, oleh karena itu Pemerintah Daerah
Kabupaten Banyumas melalui surat nomor : 466/404/2007 tanggal 7 Agustus
2007 telah mengajukan permohonan bantuan kepada Dinas Kesejahteraan Sosial
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan permohonan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas pada hari Selasa 21 agustus 2007 telah menerima bantuan dari Dinas
Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang hanya
diperuntukkan bagi penanganan bencana, berupa 50 dos mie instant,1500 kaleng
sarden, 1200 botol sambal, 1200 kecap, 150 botol masing-masing berisi 2liter
minyak goreng, 600 paket makanan tambahan, 100 potong jarit, 100 sarung, 100
potong selimut, 100 potong daster, 100 potong kaos, yang semuanya diperkirakan
sejumlah RP.52.369.500,00 untuk penanganan bencana yang pengelolaannya oleh
Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) Kabupaten
Banyumas, dimana Terdakwa menjabat sebagai Kepala Seksi Bantuan Bencana
dan Kemiskinan pada kantor Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan
Masyarakat (DKSPM) Kabupaten Banyumas.
52
Penyaluran bantuan tersebut telah diatur dengan Sistem dan Prosedur
Tetap (PROTAP) Penanggulangan Bencana Dan Penanganan Pengungsi yang
dikeluarkan oleh Bupati Banyumas.Pada kenyataannya ketika Terdakwa menjabat
sebagai Kepala Seksi Bantuan Bencana Dan Kemiskinan Kantor DKSPM
Kabupaten Banyumas, pada hari Rabu tanggal 22 Agustus 2007 terdakwa dengan
kehendak sendiri tanpa ada laporan dan permintaan dari Unit Koperasi
Penanggulangan Bencana Dan Penanggulangan Pengungsi (PBP) kecamatan,
bahkan tanpa adanya perintah atau izin dari yang berwenang, terdakwa telah
mengambil dan menyalurkan barang yang seharusnya untuk kepentingan
penanggulangan bencana yang tersimpan dalam gudang barang kantor DKSPM
untuk keperluan lain selain itu, yaitu untuk keperluan dalam rangka penjaringan
simpatisan pemilihan salah satu Calon Bupati Banyumas, oleh karena itu
Terdakwa tidak dapat membuat pertanggungjawaban atas pengeluaran barang
tersebut. Perbuatan yang dilakukan Terdakwa menimbulkan kerugian keuangan
negara lebih kurang RP 52.369.500,00 (lima puluh dua juta tiga ratus enam puluh
sembilan ribu lima ratus rupiah) atau setidak-tidaknya disekitar jumlah tersebut.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Penuntut umum dalam persidangan ini mengajukan terdakwa dengan
dakwaan subsidaritas, yaitu sebagai berikut:
a. Dakwaan Primer
Terdakwa M E, S.H. yang menjabat sebagai Kepala Seksi Bantuan dan
Kemiskinan pada Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan
Masyarakat (DKSPM) Kabupaten Banyumas berdasarkan Surat Keputusan
53
Bupati Banyumas Nomor: 821.2/031/2005 tanggal 25 Januari 2005, pada hari
Sabtu tanggal 22 Agustus 2007 atau setidak-tidaknya dalam Bulan Agustus
2007, bertempat di gudang milik Dinas Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) Jl. Margantara Tanjung Purwokerto, atau
setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang masih termasuk daerah hukum
Pengadilan Negeri Purwokerto, secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan mana dilakukan
terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut:
- Dalam rangka upaya penanganan bencana kekeringan dan pemberian
bantuan bagi masyarakat miskin pemerintah daerah Kabupaten
Banyumas membutuhkan bahan makanan dan pakaian, oleh karena itu
pemerintah daerah Kabupaten Banyumas melalui surat nomor :
466/404/2007 tanggal 7 Agustus 2007 telah mengajukan permohonan
bantuan kepada dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah;
- Berdasarkan permohonan tersebut, pemerintah Kabupaten Banyumas
pada hari Selasa tanggal 21 Agustus 2007 telah menerima bantuan dari
Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang
hanya diperuntukan bagi penanganan bencana, berupa 50 dos mie
instant,1500 kaleng sarden, 1200 botol sambal, 1200 kecap, 150 botol
masing-masing berisi 2liter minyak goreng, 600 paket makanan
tambahan, 100 potong jarit, 100 sarung, 100 potong selimut, 100
54
potong daster, 100 potong kaos, yang semuanya diperkirakan sejumlah
RP 52.369.500,00 untuk penanganan bencana yang pengelolaannya
oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
(DKSPM) Kabupaten Banyumas, dimana Terdakwa menjabat sebagai
Kepala Seksi Bantuan Bencana dan Kemiskinan pada kantor Dinas
Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM)
Kabupaten Banyumas. Adapun penyaluran bantuan tersebut telah diatur
dengan Sistem dan Prosedur Tetap (PROTAP) Penanggulangan
Bencana Dan Penanganan Pengungsi yang dikeluarkan oleh Bupati
Banyumas pada bulan Desember 2004 dalam Bab V Huruf A angka 2a
yang mengatur bahwa bantuan pertama didasarkan atas laporan
terjadinya bencana, baik laporan lisan maupun tertulis berupa
radiogram atau interlokal dari unit operasi penanggulangan bencana
dan penanggulangan pengungsi (PBP) kecamatan, sedangkan
pertanggungjawaban penyaluran bantuan diatur pada Bab V Huruf A
angka 4a. Mengatur bahwa setiap penyaluran bantuan harus diikuti
administrasi pertanggungjawaban pengeluaran, namun kenyataannya
ketika Terdakwa menjabat sebagai Kepala Seksi Bantuan Bencana Dan
Kemiskinan Kantor DKSPM Kabupaten Banyumas pada hari Rabu
tanggal 22 Agustus 2007, dia dengan kehendak sendiri tanpa ada
laporan dan permintaan dari unit koperasi Penanggulangan Bencana
dan penanggulangan pengungsi (PBP) kecamatan, bahkan tanpa adanya
perintah atau izin dari yang berwenang, dia telah mengambil dan
55
menyalurkan barang yang seharusnya untuk kepentingan
penanggulangan bencana yang tersimpan dalam gudang barang kantor
DKSPM berupa 50 dos mie, 1500 kaleng sarden, , 1200 botol sambal,
1200 kecap, 150 botol masing-masing berisi 2liter minyak goreng, 600
paket makanan tambahan, 100 potong jarit, 100 sarung, 100 potong
selimut, 100 potong daster, 100 potong kaos, untuk keperluan lain
selain peruntukannya yakni untuk kepentingan memperkaya diri pribadi
atau orang lain melalui Suwardi dan kawan-kawan dalam rangka
penjaringan simpatisan pemilihan salah satu Calon Bupati Banyumas,
oleh karena itu Terdakwa tidak dapat membuat pertanggungjawaban
atas pengeluaran barang tersebut.
Perbuatan yang dilakukan Terdakwa sebagaimana telah diuraikan
tersebut diatas telah menimbulkan kerugian keuangan negara lebih kurang RP
52.369.500,00 (lima puluh dua juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu lima
ratus rupiah) atau setidak-tidaknya disekitar jumlah tersebut.
Perbuatan terdakwa tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
56
b. Dakwaan Subsidair
Terdakwa M E, S.H. yang menjabat sebagai Kepala Seksi Bantuan dan
Kemiskinan pada Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan
Masyarakat (DKSPM) Kabupaten Banyumas berdasarkan Surat Keputusan
Bupati Banyumas Nomor: 821.2/031/2005 tanggal 25 Januari 2005, pada hari
Sabtu tanggal 22 Agustus 2007 atau setidak-tidaknya dalam Bulan Agustus
2007, bertempat di gudang milik Dinas Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) Jl. Margantara Tanjung Purwokerto, atau
setidak-tidaknya di tempaet-tempat lain yang masih termasuk daerah hukum
Pengadilan Negeri Purwokerto, secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan mana dilakukan
terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut:
Bermula dari adanya Surat Keputusan Bupati Banyumas Nomor:
821.2/031/2005 tanggal 25 Januari 2005, dimana terdaakwa diangkat menjadi
Kepala Seksi Bantuan dan Kemiskinan pada Kantor Dinas Kesejahteraan
Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) yang dalam melaksanakan
tugasnya mempunyai kewenangan sebagaimana diatur oleh Peraturan Bupati
Banyumas Nomor 15 Tahun 2004 Tanggal 21 Desember 2004 tentang Tugas
pokok, fungsi, uraian tugas jabatan dan tatakerja pada Dinas Kesejahteraan
Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyumas, pada Pasal 20
mengatur bahwa Kepala Seksi Bantuan Bencana dan Kemiskinan mempunyai
tugas pokok mengelola kegiatan penyaluran bantuan bencana/sosial dan
57
penanggulangan kemiskinan guna mewujudkan kesejahteraan sosial yang
merata, tetapi terdakwa selama menjalankan jabatannya selaku Kepala Seksi
Bantuan dan Kemiskinan pada Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) yang ada telah melakukan perbuatan
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yakni:
- Bahwa dalam rangka upaya penanganan bencana kekeringan dan
pemberian bantuan bagi masyarakat miskin pemerintah daerah
Kabupaten Banyumas membutuhkan bahan makanan dan pakaian, oleh
karena itu pemerintah daerah Kabupaten Banyumas melalui surat
nomor : 466/404/2007 tanggal 7 Agustus 2007 telah mengajukan
permohonan bantuan kepada dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah;
- Berdasarkan permohonan tersebut, pemerintah Kabupaten Banyumas
pada hari Selasa tanggal 21 Agustus 2007 telah menerima bantuan dari
dinas kesejahteraan sosial pemerintah provinsi jawa tengah yang hanya
diperuntukan bagi penanganan bencana, berupa 50 dos mie instant,1500
kaleng sarden, 1200 botol sambal, 1200 kecap, 150 botol masing-
masing berisi 2liter minyak goreng, 600 paket makanan tambahan, 100
potong jarit, 100 sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster, 100
potong kaos, yang semuanya diperkirakan sejumlah RP 52.369.500,00
untuk penanganan bencana yang pengelolaannya oleh Dinas
Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM)
Kabupaten Banyumas, dimana Terdakwa menjabat sebagai Kepala
58
Seksi Bantuan Bencana dan Kemiskinan pada kantor Dinas
Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM)
Kabupaten Banyumas. Adapun penyaluran bantuan tersebut telah diatur
dengan Sistem dan Prosedur Tetap (PROTAP) Penanggulangan
Bencana Dan Penanganan Pengungsi yang dikeluarkan oleh Bupati
Banyumas pada bulan Desember 2004 dalam Bab V Huruf A angka 2a
yang mengatur bahwa bantuan pertama didasarkan atas laporan
terjadinya bencana, baik laporan lisan maupun tertulis berupa
radiogram atau interlokal dari unit operasi penanggulangan bencana
dan penanggulangan pengungsi (PBP) kecamatan, sedangkan
pertanggungjawaban penyaluran bantuan diatur pada Bab V Huruf A
angka 4a. Mengatur bahwa setiap penyaluran bantuan harus diikuti
administrasi pertanggungjawaban pengeluaran, namun kenyataannya
ketika Terdakwa menjabat sebagai Kepala Seksi Bantuan Bencana Dan
Kemiskinan Kantor DKSPM Kabupaten Banyumas pada hari Rabu
tanggal 22 Agustus 2007, dia dengan kehendak sendiri tanpa ada
laporan dan permintaan dari unit koperasi Penanggulangan Bencana
dan penanggulangan pengungsi (PBP) kecamatan, bahkan tanpa adanya
perintah atau izin dari yang berwenang, dia telah mengambil dan
menyalurkan barang yang seharusnya untuk kepentingan
penanggulangan bencana yang tersimpan dalam gudang barang kantor
DKSPM berupa 50 dos mie, 1500 kaleng sarden, , 1200 botol sambal,
1200 kecap, 150 botol masing-masing berisi 2liter minyak goreng, 600
59
paket makanan tambahan, 100 potong jarit, 100 sarung, 100 potong
selimut, 100 potong daster, 100 potong kaos, untuk keperluan lain
selain peruntukannya yakni untuk kepentingan memperkaya diri pribadi
atau orang lain melalui Suwardi dan kawan-kawan dalam rangka
penjaringan simpatisan pemilihan salah satu Calon Bupati Banyumas,
oleh karena itu Terdakwa tidak dapat membuat pertanggungjawaban
atas pengeluaran barang tersebut.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa sebagaimana telah diuraikan
tersebut diatas telah menimbulkan kerugian keuangan negara lebih kurang RP
52.369.500,00 (lima puluh dua juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu lima
ratus rupiah) atau setidak-tidaknya disekitar jumlah tersebut.
Perbuatan terdakwa tersebut merupakan tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Pembuktian di Persidangan
Proses pembuktian di persidangan telah di dengarkan keterangan
berupa:
60
a. Keterangan Saksi-Saksi
1. Saksi Asror Efendi, S.Sos bin Afandi
Saksi adalah PNS pemerintah daerah yang merupakan staf
terdakwa. Saksi menerangkan bahwa pada hari Senin malam tanggal 20
Agustus 2007 terdakwa menelpon saksi dan menyuruh saksi untuk
mengambil barang bantuan di Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.
Keeseokan paginya saksi dijemput oleh supir dan kernet truk dan berangkat
ke Semarang. Mereka tiba di semarang pada pukul 11.00 WIB dan langsung
menuju gudang Dinas Sosial Propinsi dan menunggu sebentar sampai
petugas datang, setelah itu memasukkan barang bantuan tersebut ke dalam
truk. Selanjutnya saksi bersama supir dan kernet truk langsung pulang
menuju Purwokerto dan tiba pada pukul 19.00 WIB. Sesampainya di
Purwokerto mereka langsung menuju ke gudang DKSPM dan membongkar
muatan truk tersebut untuk dimasukkan ke dalam gudang. Keesokan
paginya saksi melapor kepada terdakwa.
Saksi menerangkan juga bahwa saksi tidak diberi surat tugas pada
waktu ke Semarang. Saksi hanya membawa foto copy surat permohonan
bantuan dan saksi diberi uang sebesar Rp. 1.100.000,00 untuk biaya ke
Semarang.
Barang-barang yang diambil diambil oleh saksi adalah berupa 100
potong jarik, 100 potong sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster, 100
potong kaos, serta bahan makanan berupa 50 dos mie instan, 1500 sarden,
1200 botol sambel. 1200 botol kecap, 150 botol masing-masing berisi 2liter
61
minyak goreng, dan 600 paket makanan tambahan. Barang-barang tersebut
diambil untuk penanggulangan bencana alam.
2. Saksi Suyitno Bin Sahidi
Saksi adalah seorang PNS yang merupakan staff terdakwa yang
bertugas menjaga gudang. Pada tanggal 22 Agustus 2007 saksi mendapat
tugas dari atasan yang mengatakan bahwa kalau ada orang yang datang
bernama Suwardi,S.H., M.H. maka barang bantuan diserahkan kepada orang
tersebut. Setelah Suwardi,S.H.,M.H. datang, saksi menyerahkan barang
bantuan tersebut kepadanya dan barang tersebut dibawa ke rumah Suwardi,
S.H.,M.H., Penyerahan barang bantuan tersebut juga dihadiri oleh terdakwa
yang datang ke gudang DKSPM di Tanjung, Purwokerto.
Barang bantuan tersebut jumlahnya cukup banyak dan nilainya
sekitar RP.30.000.000,00 yang merupakan hasil dari permohonan bantuan
kepada Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah untuk bencana alam di
Kabupaten Banyumas. Saksi tidak tahu penggunaan barang tersebut setelah
barang tersebut diserahkan kepada Suwardi, S.H.,M.H.
Saksi menerangkan bahwa dia yang semula diperintah untuk
mengambil barang bantuan di Semarang, akan tetapi pada waktu itu saksi
ada tugas lain di desa, jadi tugas ke Dinas Propinsi mengambil barang
bantuan tersebut digantikan oleh saksi Asror Efendi. Saksi pernah
menyerahkan blangko untuk tanda terima barang ke Suwardi,S.H.,M.H.
akan tetapi tanda terima barang itu tidak pernah dibuat oleh
Suwardi,S.H.,M.H.
62
3. Saksi Adhi Pramono
Saksi adalah seorang PNS yang menjabat sebagai kepala bidang
sebagai atasan dari terdakwa. Saksi menerangkan bahwa prosedur
permohonan bantuan itu harus ada bencana lebih dahulu, baru kemudian
diajukan ke Dinas (DKSPM), lalu ke Bupati melalui Sekretaris Daerah
kemudian dikirim ke Propinsi Jawa Tengah. Penyaluran bantuan bencana
sudah diatur dalamKeputusan Bupati Tahun 2004 yang merupakan Prosedur
Tetap (PROTAP) dan harus ada laporan dari kecamatan.
Saksi mengatakan bahwa saksi tidak tahu ada permohonan bantuan
ke Dinas Sosial Propinsi. Saksi mengetahui berita tersebut melalui berita
dari surat kabar dan diperiksa di Kejaksaan Negeri Purwokerto.
Saksi menerangkan bahwa biasanya saksi dilapori oleh penjaga
gudang, akan tetapi dalam kasus ini saksi tidak mendapat laporan dari
petugas gudang mengenai barang bantuan. Saksi sempat melihat barang
bantuan tersebut yang jumlahnya diperkirakan sebanyak RP.30.000.000,00.
Saksi mengatakan pernah melihat barang bantuan tersebut. Saksi
pernah melaporkan kepada Kepala Dinas (DKSPM), akan tetapi karena
surat yang tanda tangan adalah Sekretaris Daerah, maka dia
membiarkannya.
4. Saksi Drs. Riyoto SP, MM bin Rekso Suwardjo
Pada tahun 2007 saksi menjabat sebagai Kasi Asistensi Korban
Bencana di Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah yang
menangani logistik bencana. Saksi pernah menerima surat dari Kabupaten
63
Banyumas tertanggal 7 Agustus 2007 No. 466/ 404/ 2007 perihal
permohonan bantuan untuk korban bencana alam yang ditanda tangani oleh
Sekretaris Daerah Banyumas.
Pada tanggal 21 Agustus 2007, permohonan tersebut dikabulkan.
Barang bantuan tersebut diambil oleh Asror Efendi yang berupa 100 potong
jarik, 100 potong sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster, 100 potong
kaos, serta bahan makanan berupa 50 dos mie instan, 1500 sarden, 1200
botol sambel. 1200 botol kecap, 150 botol masing-masing berisi 2liter
minyak goreng, dan 600 paket makanan tambahan. Seluruh barang bantuan
tersebut sekitar RP.40.000.000,00 dan sumber dana tersebut dari APBN.
Barang bantuan tersebut semestinya digunakan untuk korban
bencana alam, tetapi pada kenyataanya barang tersebut habis dibagikan
untuk kemiskinan dan kekeringan di Kabupaten Banyumas. Saksi
mengatakan bahwa kekeringan bukan bencana alam, yang termasuk bencana
alam adalah banjir, tanah longsor, angin topan. Selain itu saksi juga
mengatakan bahwa tugas/ tanggung jawab terdakwa adalah
mendistribusikan dan menerima bantuan.
5. Saksi Admo bin Martawirya
Saksi adalah seorang tukang becak dan kadang-kadang menjadi
kuli panggul. Saksi menerangkan bahwa pada tanggal yang sudah tidak
diingat lagi dalam bulan Agustus 2007 sekitar pukul 17.00 WIB, Suyitno
datang ke rumah saksi dengan maksud meyuruh saksi untuk membantu
mengangkat barang di gudang DKSPM Tanjung Purwokerto.
64
Pada hari pertama setelah sholat maghrib barang baru datang dari
Semarang dan dimasukkan ke gudang. Keesokan harinya pukul 16.00 WIB
barang-barang tersebut dinaikkan kedalam truk pasir dan dibawa ke
Perumahan Tanjung Elok Purwokerto ke rumah Suwardi,S.H.,M.H.
Saksi ikut ke Perumahan Tanjung Elok bersama Suyitno,
Suwardi,SH.,M.H, dan ada terdakwa. Terdakwa datang ke rumah Suwardi,
S.H.,M.H menaiki mobil kijang. Saksi diberi ongkos karena telah membantu
mengangkat barang bantuan tersebut sebesar RP. 50.000,00. Menurut
sepengetahuan saksi, barang bantuan itu milik pemerintah untuk bantuan
bencana alam di Kabupaten Banyumas.
6. Saksi Suwardi, S.Pd alias Wardi OR bin Asmadi
Saksi adalah seorang PNS pada Dinas Pendidikan yang merupakan
staff dari Suwardi, S.H., M.H. Saksi menerangkan bahwa pada hari Rabu
tanggal 22 Agustus 2007 pukul 16.00 WIB saksi diperintah oleh Suwardi,
S.H.,M.H. untuk mencari truk dan nanti langsung dibawa ke gudang
DKSPM Tanjung Purwokerto.
Setelah saksi mendapatkan truk, kemudian saksi membawa truk
tersebut ke gudang DKSPM Tanjung. Disana ada terdakwa, Suwardi,
S.H.,M.H., Suyitno, Admo, dan sopir truk.
Setelah barang bantuan bencana alam dinaikkan ke truk, lalu
dibawa ke rumah Suwardi, S.H.,M.H. di Perumahan Tanjung Elok
Purwokerto. Barang bantuan tersebut dibagikan oleh Suwardi S.H.,M.H.
65
yang merupakan tim sukses calon bupati pak Singgih Wiranto,
S.H.,M.Hum.
7. Saksi Tasito bin Mardjono
Saksi menerangkan bahwa pada hari dan tanggal yang sudah tidak
diingat lagi pada bulan Agustus 2007, saksi bekerja merenovasi rumah
Suwardi, S.H.,M.H di Perumahan Tanjung Elok Purwokerto. Pada saat
bekerja, saksi melihat banyak barang-barang, jadi saksi bertanya kepada
Suwardi,S.H.,M.H kenapa banyak barang-barang disana. Kemudian
Suwardi, S.H.,M.H menjawab bahwa barang-barang tersebut untuk bantuan
orang miskin. Jika saksi menginginkan barang bantuan tersebut, saksi
disuruh untuk didaftarkan sebagai orang miskin di desa tempat kediaman
saksi. Oleh karena itu, saksi kemudian mendaftar bersama dengan 10 orang
tetangga saksi. Saksi menerima 10 bungkus sekitar harga RP.500.000,00.
Barang-barang yang dibagi kepada saksi adalah barang-barang sembako
yang antara lain yaitu minyak goreng, sarden, kecap, dan indomie.
Saksi menerangkan bahwa cukup banyak orang yang mendapat
bantuan dari suwardi, S.H,.M.H. akan tetapi, terkait dengan PILKADA
Banyumas, saksi menyatakan tidak tahu. Saksi tidak mengetahui barang-
barang tersebut milik siapa, akan tetapi saksi mengetahui barang-barang
tersebut ada label Departemen Sosial dan tidak diperjual-belikan.
8. Saksi Arif Wicaksono
Saksi menerangkan bahwa pada hari dan tanggal yang sudah tidak
diingat lagi dalam bulan Agustus 2007, saksi mengadakan sosialisasi warga
66
miskin/ buta huruf dengan mengundang Suwardi, S.H.,M.H di Balai
Muslimat Desa Pekuncen. Kemudian para peserta dibagikan barang berupa
indomie, sarden, minyak goreng, kecap, dan lain-lain oleh
Suwardi,S.H.,M.H.
Pada waktu lain di Balai Desa Banjaranyar dan di masjid Desa
Tumiyang Kecamatan Pekuncen, Suwardi, S.H.,M.H juga membagikan
barang-barang kepada warga miskin. Barang-barang yang dibagikan oleh
Suwardi, S.H.,M.H seharga Rp. 1.000.000,00.
Pada saat pembagian barang-barang tersebut tidak menggunakan
tanda terima, selain itu juga terdapat label Departemen Sosial dan tidak
diperjual-belikan. Saksi menerangkan bahwa saksi tidak tahu apabila
pembagian barang-barang tersebut ada kaitannya dengan PILKADA
Kabupaten Banyumas.
9. Saksi Drs. Restu Yuwono bin Rustam
Saksi sewaktu PNS menjadi bawahan Suwardi, S.H.,M.H dan
sekarang saksi menjabat sebagai Kepala Desa Karangkemojing Kecamatan
Gumelar, Kabupaten Banyumas. Saksi menerangkan bahwa pada hari dan
tanggal yang sudah tidak diingat lagi pada bulan Agustus 2007, saksi datang
kerumah Suwardi, S.H.,M.H di Perumahan Tanjung Elok Purwokerto.
Kemudian pada saat saksi akan pulang, saksi diberi barang-barang berupa 1
doos saos, 2 doos kecap kecil untuk dibagikan ke warga tempat kediaman
saksi berada dan sudah dibagikan habis.
67
Saksi sudah menyalurkan barang-barang yang diberikan tadi
kepada warga desa yang miskin. Saksi tidak mengetahui barang tersebut
milik siapa, akan tetapi barang-barang tersebut ada label Departemen Sosial
dan tidak diperjual-belikan. Selain itu barang-barang tersebut juga tidak
terkait dengan PILKADA Bupati Banyumas. Barang-barang tersebut
diberikan kepada masyarakat dengan tujuan untuk memberi dorongan agar
mau belajar dan terbebas dari buta aksara.
10. Saksi Drs. Purwito, M.Hum bin Tirtomihardjo
Saksi menjadi Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyumas dari awal tahun 2005
sampai Juli 2008, dan sejak bulan Juli 2008 sampai sekarang saksi menjadi
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas. Saksi menjadi atasan terdakwa karena terdakwa masih menjabat
sebagai Kepala Seksi Bantuan Bencana dan Kemiskinan yang tugasnya
adalah penyaluran bantuan bencana alam dan bencana sosial serta
penanggulangan kemiskinan.
Saksi menerangkan bahwa cara pengajuan permohonan bantuan
kepada dinas sosial Propinsi adalah apabila telah ada laporan dari
kecamatan dilengkapi rekap oleh kepala seksi dan kepala bidang diajukan
kepada Kepala dinas, apabila disetujui akan diparaf. Kemudian dikirim
kepada Bupati melalui Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah
dan Sekretaris daerah umtuk ditanda tangani Bupati. Jika telah selesai baru
dikirim kepada Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah.
68
Saksi berpendapat bahwa yang namanya bencana adalah tanah
longsor, banjir, dan angin puting beliung atau korban kerusuhan.
Penanganan korban bencana tingkat kabupaten dilaksanakan oleh
SATLAK-PB dan untuk tingkat kecamatan ditangani oleh Unit
Penanggulangan Bencana. Apabila ada bencana, maka dilaporkan terlebih
dahulu ke tingkat kecamatan, baru kemudian oleh Kecamatan setelah
lengkap datanya dilaporkan ke tingkat Kabupaten.
Pada perkara ini, terdakwa selaku kepala seksi langsung membuat
surat permohonan bantuan, lalu ditanda tangani oleh Sekretaris Daerah,
dikirim kepada Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah dan permohonan
tersebut dikabulkan. Saksi awalnya tidak tahu dan tidak pernah mendapat
laporan, oleh karena itu sewaktu terdakwa melapor kepada saksi, saksi
sempat memberikan teguran secara lisan.
Selama saksi menjabat sebagai Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial
dan Pemberdayaan Masyarakat tidak pernah ada bencana. Saksi berpendapat
bahwa bantuan tersebut tidak tepat sasaran.
11. Saksi Rujito Bin Siswosudarmo
Saksi adalah supir yang mengambil barang bantuan sosial di
semarang. Saksi menerangkan pada tanggal 21 Agustus 2007 pagi, saksi
berangkat ke Semarang untuk mengambil barang bantuan bencana alam di
Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah menaiki truk bersama Asror Efendi dan
mali. Sesampainya di Semarang mereka langsung mengambil barang
kemudian segera pulang kembali. Setelah sampai di gudang DKSPM
69
Tanjung Purwokerto pukul 19.00 WIB barang dimasukkan ke dalam
gudang. Barang diturunkan dari truk dan dimasukkan ke dalam gudang oleh
Admo dan Mali. Menurut saksi, barang tersebut adalah milik Pemerintah.
12. Saksi Sardi Bin Wiryo Admo
Saksi adalah PNS yang berdinas di Dinas Perindustrian,
Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas selaku staf pada seksi
perlindungan konsumen, pada bidang perdagangan Kabupaten Banyumas.
Saksi bertugas untuk memonitoring dan survey harga.
Pada tanggal 14 April 2009 saksi telah melakukan survey harga di
pasar-pasar Purwokerto dan pasar Ajibarang. Saksi mendapat harga dari
barang-barang yang termasuk dalam barang bantuan bencana sejumlah
Rp.52.369.500,00.
13. Saksi Suwardi, S.H.,M.H.
Saksi menerangkan bahwa terdakwa pernah berkunjung ke rumah
saksi untuk menitipkan anaknya yang baru lulus Sekolah Dasar untuk
mencari sekolahan/ SMP Negeri. Sewaktu terdakwa di rumah saksi,
terdakwa juga membicarakan rencana pencalonan Singgih Wiranto, S.H.,
M.Hum menjadi calon Bupati Banyumas dan terdakwa menawarkan barang-
barang untuk sosialisasi pencalonan Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum. Saksi
menjawab bahwa di rumah saksi juga sudah banyak barang.
Terdakwa mengatakan bahwa barang-barang bantuan tersebut
datang dari Semarang, dan jika barang sudah datang, saksi akan diberitahu
oleh terdakwa. Tidak lama kemudian saksi mendapat telepon dari terdakwa
70
yang mengatakan bahwa barang hampir datang di purwokerto dan akan
dimasukkan ke gudang DKSPM Tanjung.
Pada tanggal 22 Agustus 2007 pukul 16.00 WIB saksi meminta
tolong kepada Suwardi, S.Pd untuk mencari truk lalu dibawa ke gudang.
Saksi juga pergi ke gudang untuk bertemu Suyitno yang diperintahkan oleh
terdakwa untuk menyerahkan barang kepada saksi. Selang 20 menit
kemudian terdakwa datang dan barang- barang tersebut diangkat oleh Admo
bersama kernet untuk dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke rumah saksi
di Perumahan Tanjung Elok Purwokerto.
Setelah menerima barang tersebut saksi lalu membagikan barang-
barang tersebut bersama Restu Yuwono, Arif Wicaksono, dan Tasito. saksi
mengatakan bahwa saksi tidak pernah diperintah oleh Singgih Wiranto,
S.H.,M.Hum, hanya saja saksi mendengar terdakwa mengatakan untuk
membagi barang tersebut kepada warga miskin. Barang-barang tersebut
telah habis dibagikan tanpa tanda terima Kecamatan Lumbir, Pekuncen, dan
Gumelar.
14. Saksi Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum
Saksi menerangkan bahwa untuk perkara ini adalah hasil dari
Rapat Persiapan Penanggulangan Bencana yang dipimpin oleh Bupati
Banyumas dan dihadiri oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan
Pemerintah (ASEKBANG) dan dari dinas terkait. Terdakwa hadir mewakili
DKSPM. Saksi mengatakan bahwa secara struktural perkara ini yang
71
bertanggung jawab adalah Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan
Masyarakat (DKSPM).
Saksi juga menerangkan bahwa pada bulan Juli 2007 ada rapat
mengenai bencana, akan tetapi saksi tidak ikut rapat. Ketika hadir terlambat,
saksi mendapat laporan dari terdakwa bahwa hasil rapat untuk meminta
bantuan ke Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah. Saksi hanya diam dan tidak
lama kemudian muncul surat permohonan bantuan, oleh karena itu saksi
berpikir bahwa surat tersebut adalah kelanjutan dari hasil rapat dan saksi
menanda tangani surat tersebut. Selang beberapa waktu kemudian juga
muncul tanda terima barang di meja kerja saksi dan saksi menanda
tanganinya saja.
Saksi mengatakan bahwa barang bantuan tersebut tidak ada
kaitannya dengan saksi yang mencalonkan diri menjadi calon Bupati
Banyumas. Saksi juga mengatakan bahwa barang tersebut milik negara.
b. Keterangan Terdakwa
Pada bulan Juli 2007 ada rapat penanggulangan bencana yang
dipimpin oleh Bupati dan diikuti oleh Asisten Perekonomian dan
Pembangunan Pemerintah (ASEKBANG) dan dinas terkait. Terdakwa
mengusulkan agar mengajukan pemohonan bantuan ke Dinas Sosial
Propinsi Jawa Tengah karena pemerintah daerah tidak memiliki anggaran
untuk persiapan penanggulangan bencana alam. Hasil rapat akhirnya
menyetujui untuk mengajukan permohonan bantuan karena tidak ada
anggaran untuk bantuan bencana alam.
72
Setelah selesai rapat terdakwa bertemu Sekretaris Daerah yaitu
Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum untuk melaporkan tentang hasil rapat
persiapan penanggulangan bencana alam. Terdakwa kemudian menceritakan
tentang hasil rapat bahwa akan mengajukan permohonan bantuan bencana
alam ke Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah.
Pada hari berikutnya terdakwa membuat konsep surat permohonan
dan mengajukan surat tersebut kepada Sekretaris Daerah , dan sebatas yang
terdaakwa tahu, surat itu sudah ditanda tangani oleh Singgih Wiranto,
S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Daerah, kemudian terdakwa mengirim surat
tersebut lewat pos kepada Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah di Semarang.
Satu bulan berikutnya ada kabar melalui telepon yang diterima oleh
Suyitno yang memberitahukan bahwa permohonan dikabulkan. Kemudian
pada tanggal 21 Agustus 2007 pagi Asror Efendi mengambil barang bantuan
tersebut ke semarang dengan membawa surat permohonannya. Sewaktu
perjalanan pulang dan barang bantuan akan datang, terdakwa menelpon
Suwardi, S.H.,M.H untuk mengabarkan barang bantuan akan datang dan
menyuruh Suwardi, S.H.,M.H untuk mengambil barang bantuan tersebut
dan membawanya ke rumah Suwardi, S.H.,M.H.
Barang bantuan tersebut berupa 100 potong jarik, 100 potong
sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster, 100 potong kaos, serta bahan
makanan berupa 50 dos mie instan, 1500 sarden, 1200 botol sambel. 1200
botol kecap, 150 liter minyak goreng, dan 600 paket makanan tambahan.
73
Terdakwa mengetahui bahwa konsep surat yang sudah jadi
seharusnya dikirim ke Kabid, akan tetapi terdakwa malah mengirim ke
Sekretaris Daerah. Terdakwa mengatakan bahwa ia belum pernah membaca
Peraturan Bupati Nomor 15 Tahun 2004.
Terdakwa membenarkan bahwa uang terdakwa yang dipakai
sebagai biaya ke Semarang sudah diganti oleh Suwardi,S.H.,M.H sebesar
Rp.1.000.000,00. Menurut terdakwa, barang-barang tersebut adalah milik
Pemerintah Daerah Banyumas. Terdakwa juga mengatakan bahwa ia tidak
pernah meminta jabatan.
Barang bukti yang diajukan di persidangan berupa:
a. Surat pernyataan tertanggal 27 Maret 2009 yang ditanda tangani oleh M
E, S.H.;
b. Foto copy SK Bupati Nomor: 821.2/005/51-2001 tanggal 15 Januari
2001 tentang Pengangkatan/ penunjukan PNS dalam jabatan struktural
eselon IV di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas
c. 1 (satu) buah buku barang bantuan dinas sosial propinsi tahun 2007;
d. Surat dari sekda kab. Banyumas No. 446/404/2007 tanggal 7 agustus
2007 perihal permohonan bantuan;
e. Berita acara serah terima barang bantuan lauk pauk untuk korban
bencana tanggal 21 agustus 2007 dan berita acara terima barang bantuan
sandang untuk korban bencana tanggal 21 agustus 2007;
f. 1 (satu) buah buku kas sumbangan UKS;
74
g. 1 (satu) surat dari sekda kabupaten banyumas perihal permohonan
bantuan untuk korban bencana tanggal 21 agustus 2007;
h. 4 (empat) lembar berita acara serah terima barang bantuan sandang untuk
korban bencana dan bantuan lauk pauk untuk korban bencana hari selasa
tanggal 21 agustus 2007
i. 1 (satu) lembar foto copy (yang telah diotentifikasi) petikan surat putusan
Bupati banyumas Nomor: 821.2/031/2005 tanggal 25 januari 2005
tentang pemberhentian/ pengangkatan PNS dalam jabatan struktural III
dan IV di lingkungan dinas kesejahteraan sosial dan pemberdayaan
masyarakat kabupaten banyumas atas nama M E, S.H tetap terlampir
dalam berkas perkara;
j. Uang tunai sebesar Rp.13.750.000,00.
4. Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut umum menuntut terdakwa yang pada intinya mohon kepada
majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan
yaitu:
1. Membebaskan terdakwa M E, S.H. dari dakwaan primair;
2. Menyatakan bahwa terdakwa M E, S.H. terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
75
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa M E, S.H. dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dengan dikurangkan sepenuhnya
selama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa tetap dalam tahanan
dan denda sebesar RP. 50.000.000,00 subsidair 4 bulan kurungan.
Menyatakan barang bukti berupa:
a. Surat pernyataan tertanggal 27 Maret 2009 yang ditanda tangani oleh
M E, S.H.;
b. Foto copy SK Bupati Nomor: 821.2/005/51-2001 tanggal 15 Januari
2001 tentang Pengangkatan/ penunjukan PNS dalam jabatan
struktural eselon IV di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas
c. 1 (satu) buah buku barang bantuan dinas sosial propinsi tahun 2007;
d. Surat dari sekda kab. Banyumas No. 446/404/2007 tanggal 7 agustus
2007 perihal permohonan bantuan;
e. Berita acara serah terima barang bantuan lauk pauk untuk korban
bencana tanggal 21 agustus 2007 dan berita acara terima barang
bantuan sandang untuk korban bencana tanggal 21 agustus 2007;
f. 1 (satu) buah buku kas sumbangan UKS;
g. 1 (satu) surat dari sekda kabupaten banyumas perihal permohonan
bantuan untuk korban bencana tanggal 21 agustus 2007;
76
h. 4 (empat) lembar berita acara serah terima barang bantuan sandang
untuk korban bencana dan bantuan lauk pauk untuk korban bencana
hari selasa tanggal 21 agustus 2007
i. 1 (satu) lembar foto copy (yang telah diotentifikasi) petikan surat
putusan Bupati banyumas Nomor: 821.2/031/2005 tanggal 25 januari
2005 tentang pemberhentian/ pengangkatan PNS dalam jabatan
struktural III dan IV di lingkungan dinas kesejahteraan sosial dan
pemberdayaan masyarakat kabupaten banyumas atas nama M E, S.H
tetap terlampir dalam berkas perkara;
j. Uang tunai sebesar Rp.13.750.000,00 dirampas untuk negara.
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,00- (lima ribu rupiah).
5. Putusan Hukum Hakim
a) Pertimbangan Hukum Hakim
Terhadap dakwaan penuntut umum yang disusun secara subsidair,
majelis hakim berpendapat bahwa dakwaan subsidair, tersebut harus dapat
dibuktikan baik dakwaaan primer maupun subsidair. Dakwaan primer yaitu
melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan dakwaan subsidair
melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
77
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim berpendapat untuk
terbuktinya tindak pidana, maka semua unsur yang ada dalam pasal yang di
dakwakan harus terpenuhi oleh perbuatan terdakwa.
Dakwaan primer melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang,
2) Secara melawan hukum,
3) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi,
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur “secara melawan hukum”
Unsur “melawan hukum” adalah telah melakukan perbuatan yang
sifatnya melawan/bertentangan dengan hukum. Unsur “melawan hukum”
dalam dakwaan primer merupakan bagian tertulis dari rumusan delik. Ini
maksudnya, pembentuk undang-undang ingin membatasi supaya rumusannya
dan pengertiannya tidak terlampau luas. Secara doktrinal, rumusan delik seperti
ini, sifat melawan hukumnya harus dibuktikan secara hukum karena bersifat
khusus atau faset. Apakah perbuatan Terdakwa benar-benar telah melawan
hukum.
78
Terdakwa sebagai kepala seksi DKSPM dalam seksi bantuan bencana
dan kemiskinan menelepon saksi Asror Efendi, S. Sos selaku bawahan (staf)
dari terdakwa pada hari Senin malam tanggal 20 Agustus 2007 dengan
menyuruh saksi untuk mengambil barang- barang di Dinas Sosial Propinsi
Semarang dan sesampainya di Semarang pukul 11.00 WIB langsung menuju
Gudang Kantor Dinas Sosial Propinsi dan oleh petugas barang-barang tersebut
dinaikkan ke truk kemudian saksi bersama supir dan kernet langsung pulang ke
Purwokerto dan tiba sekitar pukul 19.00 WIB di gudang DKSPM Kab.
Banyumas yang langsung membongkar dan memasukkan barang-barang
tersebut kedalam gudang dengan 4 orang kuli, keesokan harinya saksi melapor
kepada terdakwa.
Saksi diberi uang melalui kernet truk bernama mali untuk biaya
perjalanan sebesar Rp.1.100.000,00 untuk mengambil barang-barang berupa:
100 potong jarik, 100 potong sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster,
100 potong kaos, serta bahan makanan berupa 50 dos mie instan, 1500 sarden,
1200 botol sambel. 1200 botol kecap, 150 liter minyak goreng, dan 600 paket
makanan tambahan. Barang-barang tersebut diperuntukkan untuk
penanggulangan bencana alam dan yang menandatangani serah terima barang
tersebut adalah saksi bersama petugas bernama wibowo.
Saksi Suyitno sebagai penjaga dan pemegang kunci gudang yang
merupakan bawahan dari terdakwa pada tanggal 22 Agustus 2007 pukul 16.00
WIB mendapat perintah dari terdakwa untuk menyerahkan barang-barang
tersebut kepada seseorang bernama saksi Suwardi,S.H.,M.H. beberapa menit
79
kemudian terdakwa datang, kemudian saksi Atmo datang dan kernet truk yang
mengangkat dan memasukkan ke dalam truk untuk dibawa ke Perumahan
Tanjung Elok di rumahnya saksi Suwardi, S.H.,M.H.
Berdasarkan keterangan saksi Adhi Pramono, S.H sebagai kepala
bidang dan selaku atasan dari terdakwa tidak pernah mendapat laporan adanya
barang-barang bantuan dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah maupun
keluarnya barang-barang bantuan tersebut dari gudang. Saksi mengetahui hal
tersebut dari koran dan dari perangkat desa yang seharusnya terdakwa
menggunakan prosedur tetap berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 15 Tahun
2004 dalam mengelola kegiatan penyaluran bantuan bencana alam dan bencana
sosial serta penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan uraian fakta persidangan
diatas, maka unsur melawan hukum telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa.
Unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi”.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan saksi
Suwardi, S.H.,M.H barang-barang tersebut sudah dibagikan kepada orang-
orang miskin di Kecamatan Pakuncen, Kecamatan Lumbir, dan Kecamatan
Gumelar, Demikian juga berdasarkan keterangan saksi Drs. Restu Yuwono
yang dahulunya sebagai bawahan dari saksi Suwardi, S.H.,M.H untuk
diberikan tugas membagikan barang-barang tersebut kepada warganya yang
miskin.
Berdasarkan keterangan Arif Wicaksono,S.Pd bahwa sekitar bulan
Agustus 2007 saksi mengadakan sosialisasi warga miskin/buta huruf dengan
80
mengundang saksi Suwardi, S.H.,M.H di balai muslimat pekuncen yang pada
akhirnya saksi Suwardi, S.H.,M.H membagi-bagikan bantuan berupa indomie,
sarden, minyak gorang, kecap, dan lain-lainnya. Pada waktu itu juga
membagikan bantuan di Balai Desa Banjar Anyar dan di masjid desa
Tumiyang. Hal tersebut dibenarkan oleh saksi Tasito beserta 10 orang yang
didaftarkannya sebagai masyarakat miskin telah menerima bantuan dari saksi
Suwardi, S.H.,M.H. berdasarkan uraian fakta tersebut, unsur untuk
memperkaya diri sendiri, orang lain yakni saksi Suwardi, S.H.,M.H atau untuk
orang-orang miskin dan suatu koorporasi tidak terbukti.
Berdasarkan pertimbangan hukum terhadap unsur memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi dalam dakwaan primer tidak
terbukti, Majelis Hakim berpendapat tidak perlu mempertimbangkan unsur
lainnya dan terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer.
Dakwaan subsidair Penuntut Umum adalah terdakwa didakwa
melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang unsur-unsurnya yaitu:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukannya;
81
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur “menyalahgunakan
kewenangan” dalam dakwaan subsidair merupakan delik inti, sedangkan unsur
“dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi” dan unsur “dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara” hanyalah merupakan “elemen delict” dan karena tidak menentukan
perbuatan yang dirumuskan sebagai “straftbaarhandelling” (perbuatan yang
dapat dipidana). Setiap orang boleh saja menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu koorporasi sepanjang tidak dilakukan dengan cara
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan. Oleh karena itu, Majelis Hakim
mempertimbangkan unsur ke-3, baru kemudian unsur-unsur yang lain.
Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan
penjelasan tentang arti penyalahgunaan kewenangan. Apabila merujuk pada
Penjelasan Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan penyalahgunaan
kewenangan adalah telah menggunakan wewenang itu untuk tujuan lain dari
82
yang dimaksud ketika diberikan wewenang itu atau dikenal dengan
“detournement de pouvoir”.
Pemahaman tersebut apabila dihubungkan dengan tindak pidana
korupsi, khususnya dihubungkan dengan unsur “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan”, ini berarti bahwa pelaku memiliki kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang digunakannya secara melawan hukum.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, dari
keterangan terdakwa sebagai Kepala seksi DKSPM dalam seksi bantuan
bencana dan kemiskinan menelpon saksi Asror Efendi, S.Sos selaku staf dari
terdakwa pada hari Senin malam tanggal 20 Agustus 2007 dan menyuruh saksi
untuk mengambil barang-barang di Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah di
Semarang. Sesampainya di Semarang pukul 11.00 WIB langsung menuju
Kantor Dinas Sosial Propinsi dan oleh petugas barang-barang tersebut
dinaikkan ke truk kemudian saksi bersama supir dan kernet langsung pulang ke
Purwokerto. Mereka tiba di Purwokerto sekitar pukul 19.00 WIB dan langsung
menuju gudang DKSPM. Barang-barang tersbut diangkat dan dimasukkan ke
gudang oleh saksi Atmo sebagai pembawa kunci dengan 4( empat) orang kuli.
Keesokan harinya saksi melapor kepada terdakwa.
Saksi diberi uang melalui kernet truk bernama Mali untuk biaya
perjalanan sebesar Rp.1.100.000,00 untuk mengambil barang-barang berupa:
100 potong jarik, 100 potong sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster,
100 potong kaos, serta bahan makanan berupa 50 dos mie instan, 1500 sarden,
83
1200 botol sambel. 1200 botol kecap, 150 liter minyak goreng, dan 600 paket
makanan tambahan. Barang-barang tersebut diperuntukkan untuk
penanggukangan bencana alam dan yang menandatangani serah terima barang
tersebut adalah saksi bersama petugas bernama Wibowo.
Saksi Suyitno sebagai penjaga dan pemegang kunci gudang yang
merupakan bawahan dari terdakwa pada tanggal 22 Agustus 2007 pukul 16.00
WIB mendapat perintah dari terdakwa untuk menyerahkan barang-barang
tersebut kepada seseorang bernama saksi Suwardi,S.H.,M.H. beberapa menit
kemudian terdakwa datang, kemudian saksi Atmo datang dan kernet truk yang
mengangkat dan memasukkan ke dalam truk untuk dibawa ke Perumahan
Tanjung Elok di rumahnya saksi Suwardi, S.H.,M.H.
Terdakwa sebagai kepala seksi pada DKSPM seharusnya meyalurkan
bantuan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada padanya, bukan malah
menyerahkan kepada saksi Suwardi,S.H.,M.H untuk membagi-bagikan kepada
masyarakat miskin. Berdasarkan uraian fakta diatas, unsur “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan telah terbukti.
Unsur “dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu koorporasi”.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa
memerintahkan saksi Asror Efendi, S.Sos untuk mengambil bantuan di Dinas
Sosial Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut berdasarkan surat dari Sekretaris
Daerah Kabupaten Banymas Nomor 466/404/2007 tanggal 7 Agustus 2007
84
perihal permohonan bantuan yang didasarkan pada hasil rapat antara Bupati
dan Asisten Ekonomi dan Pembangunan serta dinas-dinas terkait persiapan
untuk penanggulangan bencana alam di Kabupaten Banyumas yang pada
waktu itu tidak memilili anggaran untuk penanggulangan bencana. Untuk itu
terdakwa meminta bantuan dinas lain yakni Dinas Pendidikan melalui saksi
Suwardi, S.H.,M.H untuk menyalurkan barang-barang tersebut kepada
masyarakat yang terkena bencana termasuk orang-orang yang miskin.
Kemudian saksi Suwardi, S.H.,M.H telah menyalurkan seluruh bantuan
tersebut kepada saksi Drs. Restu Yuwono yang dahulunya sebagai bawahan
dari saksi Suwardi, S.H.,M.H untuk membagikan barang-barang tersebut
kepada warganya yang miskin.
Selain itu, berdasarkan keterangan dari saksi Arif Wicaksono, S.Pd
yang menerangkan bahwa sekitar bulan Agustus 2007 saksi mengadakan
sosialisasi warga miskin/buta huruf dengan mengundang saksi Suwardi,
S.H.,M.H di balai muslimat Pekuncen yang pada akhirnya saksi Suwardi,
S.H.,M.H membagi-bagikan bantuan berupa indomie, sarden, minyak gorang,
kecap, dan lain-lainnya. Pada waktu itu juga membagikan bantuan di Balai
Desa Banjaranyar dan di masjid desa Tumiyang. Hal tersebut dibenarkan oleh
saksi Tasito beserta 10 orang yang didaftarkannya sebagai masyarakat miskin
telah menerima bantuan dari saksi Suwardi, S.H.,M.H.
Berdasarkan keterangan saksi Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum,
pembagian barang tersebut tidak ada kaitannya dengan dirinya yang
mencalonkan diri sebagai Bupati Banyumas, dikarenakan saksi masih aktif
85
sebagai Sekretaris Daerah dan mengundurkan diri pada tanggal 17 Desember
2007 dan saksi belum terdaftar sebagai calon bupati.
Berdasarkan uraian fakta-fakta tersebut, terdakwa dalam menyalurkan
bantuan tersebut melalui saksi Suwardi, S.H.,M.H dikarenakan tidak ada
anggaran untuk itu dan terdakwa juga tidak meminta atau mengharapkan
jabatan apabila saksi Singgih Wiranto,S.H.,M.Hum terpilih sebagai Bupati
Banyumas atau ada kerjasama antara terdakwa dengan saksi Suwardi,
S.H.,M.H untuk menyalurkan bantuan tersebut supaya masyarakat memilih
saksi Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum menjadi Bupati Banyumas.
Bantuan tersebut telah disalurkan kepada masyarakat miskin yang salah
satunya untuk memberikan dorongan kepada masyarakat buta huruf untuk mau
belajar dan bukan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Bantuan tersebut
tidak dipergunakan untuk memperoleh jabatan atau memberi kesempatan
kepada orang lain untuk memperoleh jabatan supaya dirinya atau orang lain
kelak nantinya akan mendapatkan jabatan yang lebih baik dari sekarang ini,
sehingga dalam hal ini penyaluran bantuan tersebut memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat miskin.
Berdasarkan hal tersebut diatas, walaupun terdakwa salah menyalurkan
bantuan ke masyarakat miskin yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat
yang mengalami bencana alam, akan tetapi dalam hal ini terdakwa melakukan
tindakan/perbuatan tersebut menimbulkan suatu keuntungan yang dapat
dirasakan oleh masyarakat sehingga dalam hal ini seimbang dengan kerugian
yang ditimbulkan walaupun perbuatannya bertentangan dengan undang-
86
undang. Dengan demikian, tindakan tersebut dapat hilang sifat melawan
hukumnya dikarenakan negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani,
dan terdakwa sendiri tidak mendapat keuntungan. Hal ini telah menjadi
Yurisprudensi tetap berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
42K/Kr/1965, Putusan Mahkamah Agung Nomor 71/K/1970 dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 81/K/Kr/1973. Berdasarkan hal tersebut, maka
unsur “dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi” tidak terbukti.
Majelis Hakim berpendapat terdakwa yang telah dinyatakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dan oleh karena terdakwa dibebaskan dari semua
dakwaan maka terdakwa harus dipulihkan atau direhabilitir hak terdakwa
dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya sesuai Pasal 14
ayat (1) Peraturan Pemerinatah Nomor 27 Tahun 1893 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan dibebaskan dari semua
dakwaan, maka biaya perkara yang timbul dalam perkara ini haruslah
dibebankan kepada negara. Terhadap barang bukti dalam perkara ini berupa :
1. Surat Pernyataan tertanggal 17 Mei 2009 yang ditanda tangani oleh M
E, S.H. dikembalikan kepada terdakwa;
2. Uang tunai sebesar Rp.13.750.000 dikembalikan kepada terdakwa;
87
3. Foto copy SK Bupati Nomor: 812.2/ 005/51-2001 tanggal 15 Januari
2001 tentang pengangkatan/ penunjukan PNS dalam jabatan struktural
eselon IV di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas;
4. 1 (satu) buah buku barang bantuan Dinas Sosial Propinsi Tahun 2007;
5. Surat dari Sekda Kabupaten Banyumas No. 466/ 404/ 2007 tanggal 7
Agustus 2007 perihal permohonan bantuan;
6. Berita acara serah terima barang bantuan lauk pauk untuk korban
bencana tanggal 21 Agustus 2007 dan berita acara terima barang
bantuan sandang untuk korban bencana tanggal 21 Agustus 2007;
7. 1 (satu) buah buku kas sumbangan UKS;
8. 1 (satu) surat dari Sekda Kabupaten Banyumas perihak permohonan
untuk korban bencana tanggal 21 Agustus 2007;
9. 4 (empat) lembar berita acara serah terima barang bantuan sandang
untuk korban bencana dan bantuan lauk pauk untuk korban bencana
hari selasa tanggal 21 Agustus 2007;
10. 1 (satu) lembar foto copy (yang telah diotentifikasi) petikan surat
putusan Bupati Banyumas Nomor: 821.2/ 031/ 2005 tanggal 35 Januari
2005 tentang pemberhentian/ pengangkatan PNS dalam jabatan
struktural III dan IV di lingkungan Dinas Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyumas atas nama M E, S.H.;
Mengingat Pasal 191 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP serta pasal-pasal dari undang-undang dan peraturan lain yang
bersangkutan.
88
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri
MENGADILI
1. Menyatakan terdakwa M E, S.H Bin S S tersebut diatas tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan primair dan subsidair Penuntut Umum;
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair dan
subsidair;
3. Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan setelah putusan
diucapkan;
4. Memulihkan terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta
martabatnya;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
a. Surat Pernyataan tertanggal 17 Mei 2009 yang ditanda tangani M E,
S.H dikembalikan kepada terdakwa M E, S.H.;
b. Uang tunai sebesar Rp.13.750.000 dikembalikan kepada terdakwa;
c. Foto copy SK Bupati Nomor: 812.2/ 005/51-2001 tanggal 15 Januari
2001 tentang pengangkatan/ penunjukan PNS dalam jabatan struktural
eselon IV di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas;
d. 1 (satu) buah buku barang bantuan Dinas Sosial Propinsi Tahun 2007;
e. Surat dari Sekda Kabupaten Banyumas No. 466/ 404/ 2007 tanggal 7
Agustus 2007 perihal permohonan bantuan;
89
f. Berita acara serah terima barang bantuan lauk pauk untuk korban
bencana tanggal 21 Agustus 2007 dan berita acara terima barang
bantuan sandang untuk korban bencana tanggal 21 Agustus 2007;
g. 1 (satu) buah buku kas sumbangan UKS;
h. 1 (satu) surat dari Sekda Kabupaten Banyumas perihak permohonan
untuk korban bencana tanggal 21 Agustus 2007;
i. 4 (empat) lembar berita acara serah terima barang bantuan sandang
untuk korban bencana dan bantuan lauk pauk untuk korban bencana
hari selasa tanggal 21 Agustus 2007;
j. 1 (satu) lembar foto copy (yang telah diotentifikasi) petikan surat
putusan Bupati Banyumas Nomor: 821.2/ 031/ 2005 tanggal 35
Januari 2005 tentang pemberhentian/ pengangkatan PNS dalam
jabatan struktural III dan IV di lingkungan Dinas Kesejahteraan Sosial
dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyumas atas nama M E,
S.H.;
6. Membebankan biaya perkara kepada negara.
B. Pembahasan
1. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas pada
Perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt.
Putusan bebas atau disebut juga vrijspraak,79
diatur dalam Pasal 191
ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
79
Yahya Harahap, op.cit. hlm. 347.
90
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus
bebas.”
Yahya Harahap,80
berpendapat mengenai Putusan bebas bahwa:
“Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan
bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak)”.
Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa
dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.81
Jadi putusan hakim yang
mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristiwa yang
disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan
selama persidangan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak
terbukti.82
Inti dari Putusan Bebas adalah terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Putusan perkara nomor 174/Pid.B/2009/PN. Pwt, Terdakwa
didakwa dengan dakwaan subsidaritas yaitu Dakwaan primer yaitu melanggar
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan dakwaan subsidair
melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
80
Ibid. 81
Djoko Prakoso, Op.cit. hlm. 270. 82
Ibid
91
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak Pidana Korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi, akan tetapi, dengan
memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas
mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud.
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah:
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi:
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
92
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas, terdapat unsur-unsur tindak
pidana korupsi yaitu:
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum melakukan perbuatan;
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur dalam dakwaan primer yaitu Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai unsur
“setiap orang”.
Unsur “setiap orang” berarti orang perseorangan atau koorporasi.
Adapun yang dimaksud dengan koorporasi menurut Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan
93
hukum maupun tidak.83
Terdakwa dalam perkara ini adalah M E, S.H. yang
menjabat sebagai Kepala Seksi Bantuan dan Kemiskinan pada Kantor Dinas
Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (DKSPM) Kabupaten
Banyumas berdasarkan Surat Keputusan Bupati Banyumas Nomor:
821.2/031/2005 tanggal 25 Januari 2005. Oleh karena itu unsur “setiap orang”
terpenuhi.
Unsur “secara melawan hukum”.
Unsur “melawan hukum” adalah telah melakukan perbuatan yang
sifatnya melawan/bertentangan dengan hukum. Unsur secara melawan hukum
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.84
.Kesimpulan majelis hakim yaitu berdasarkan keterangan saksi Adhi
Pramono, S.H sebagai kepala bidang dan selaku atasan dari terdakwa tidak
pernah mendapat laporan adanya barang-barang bantuan dari Dinas Sosial
Propinsi Jawa Tengah maupun keluarnya barang-barang bantuan tersebut daru
gudang. Saksi mengetahui hal tersebut dari koran dan dari perangkat desa yang
seharusnya terdakwa menggunakan prosedur tetap berdasarkan Peraturan
Bupati Nomor 15 Tahun 2004 dalam mengelola kegiatan penyaluran bantuan
83
Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, hlm. 16. 84
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui
untuk Mencegah, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 15.
94
bencana alam dan bencana sosial serta penanggulangan kemiskinan. Sehingga
unsur ini telah terpenuhi.
Unsur “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi”. Memperkaya diri sendiri artinya bahwa dengan perbuatan
melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta
benda miliknya sendiri.85
Pengertian memperkaya orang lain maksudnya akibat
perbuatan melawan hukum pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya harta bendanya.86
Sedangkan pengertian memperkaya
koorporasi maksudnya mungkin juga yang mendapat keuntungan dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
koorporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayan yang terorganisasi,
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.87
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, bahwa terdakwa
memerintahkan saksi Asror Efendi, S.Sos untuk mengambil bantuan di Dinas
Sosial Propinsi Jawa Tengah. Hal tersebut berdasarkan surat dari Sekretaris
Daerah Kabupaten Banymas Nomor 466/404/2007 tanggal 7 Agustus 2007
perihal permohonan bantuan yang didasarkan pada hasil rapat antara Bupati
dan Asisten Ekonomi dan Pembangunan serta dinas-dinas terkait persiapan
untuk penanggulangan bencana alam di Kabupaten Banyumas yang pada
waktu itu tidak memilili anggaran untuk penanggulangan bencana. Untuk itu
terdakwa meminta bantuan dinas lain yakni Dinas Pendidikan melalui saksi
Suwardi, S.H.,M.H untuk menyalurkan barang-barang tersebut kepada
85
Darwan Prinst. 2002. Op.cit, hlm.31 86
Ibid. 87
Ibid.
95
masyarakat yang terkena bencana termasuk orang-orang yang miskin.
Kemudian saksi Suwardi, S.H.,M.H telah menyalurkan seluruh bantuan
tersebut kepada saksi Drs. Restu Yuwono yang dahulunya sebagai bawahan
dari saksi Suwardi, S.H.,M.H untuk membagikan barang-barang tersebut
kepada warganya yang miskin.
Berdasarkan keterangan dari saksi Arif Wicaksono, S.Pd yang
menerangkan bahwa sekitar bulan Agustus 2007 saksi mengadakan sosialisasi
warga miskin/buta huruf dengan mengundang saksi Suwardi, S.H.,M.H di balai
muslimat pekuncen yang pada akhirnya saksi Suwardi, S.H.,M.H membagi-
bagikan bantuan berupa indomie, sarden, minyak gorang, kecap, dan lain-
lainnya. Pada waktu itu juga membagikan bantuan di Balai Desa Banjar anyar
dan di masjid desa Tumiyang. Hal tersebut dibenarkan oleh saksi Tasito beserta
10 orang yang didaftarkannya sebagai masyarakat miskin telah menerima
bantuan dari saksi Suwardi, S.H.,M.H.
Berdasarkan keterangan saksi Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum,
pembagian barang tersebut tidak ada kaitannya dengan dirinya yang
mencalonkan diri sebagai Bupati Banyumas, dikarenakan saksi masih aktif
sebagai Sekretaris Daerah dan mengundurkan diri pada tanggal 17 desember
2007 dan saksi belum terdaftar sebagai calon bupati.
Berdasarkan uraian diatas, terdakwa dalam menyalurkan bantuan
tersebut melalui saksi Suwardi, S.H.,M.H dikarenakan tidak ada anggaran
untuk itu dan terdakwa juga tidak meminta atau mengharapkan jabatan apabila
saksi Singgih Wiranto,S.H.,M.Hum terpilih sebagai Bupati Banyumas atau ada
96
kerjasama antara terdakwa dengan saksi Suwardi, S.H.,M.H untuk
menyalurkan bantuan tersebut supaya masyarakat memilih saksi Singgih
Wiranto, S.H.,M.Hum menjadi Bupati Banyumas.
Bantuan tersebut telah disalurkan kepada masyarakat miskin yang salah
satunya untuk memberikan dorongan kepada masyarakat buta huruf untuk mau
belajar dan bukan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Bantuan tersebut
tidak dipergunakan untuk memperoleh jabatan atau memberi kesempatan
kepada orang lain untuk memperoleh jabatan supaya dirinya atau orang lain
kelak nantinya akan mendapatkan jabatan yang lebih baik dari sekarang ini,
sehingga dalam hal ini penyaluran bantuan tersebut memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat miskin. Berdasarkan uraian fakta
persidangan tersebut, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa, orang
lain dalam hal ini adalah Suwardi, S.H.,M.H, atau suatu koorporasi tidak
mendapat keuntungan, sehingga unsur “Memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi” tidak terpenuhi.
Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan
penjelasan tentang arti penyalahgunaan kewenangan. Apabila merujuk pada
penjelasan Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
97
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan penyalahgunaan
kewenangan adalah telah menggunakan wewenang itu untuk tujuan lain dari
yang dimaksud ketika diberikan wewenang itu atau dikenal dengan
“detournement de pouvoir”.
Pemahaman tersebut apabila dihubungkan dengan tindak pidana
korupsi, khususnya dihubungkan dengan unsur “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan”, ini berarti bahwa pelaku memiliki kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang digunakannya secara melawan hukum.
Menyalahgunakan kekuasaan berarti menyalahgunakan waktu yang ada
pada padanya dalam kedudukan atau jabatannya itu. Sementara
menyalahgunakan sarana berarti menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya itu.88
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, dari
keterangan terdakwa sebagai Kepala seksi DKSPM dalam seksi bantuan
bencana dan kemiskinan menelpon saksi Asror Efendi, S.Sos selaku staf dari
terdakwa pada hari Senin malam tanggal 20 Agustus 2007 dan menyuruh saksi
untuk mengambil barang-barang di Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah di
Semarang. Sesampainya di semarang pukul 11.00 WIB langsung menuju
Kantor Dinas Sosial Propinsi dan oleh petugas barang-barang tersebut
dinaikkan ke truk kemudian saksi bersama supir dan kernet langsung pulang ke
Purwokerto. Mereka tiba di purwokerto sekitar pukul 19.00 WIB dan langsung
88
Ibid.
98
menuju gudang DKSPM. Barang-barang tersbut diangkat dan dimasukkan ke
gudang oleh saksi Atmo sebagai pembawa kunci dengan 4 ( empat) orang kuli.
Keesokan harinya saksi melapor kepada terdakwa.
Saksi diberi uang melalui kernet truk bernama mali untuk biaya
perjalanan sebesar Rp.1.100.000,00 untuk mengambil barang-barang berupa:
100 potong jarik, 100 potong sarung, 100 potong selimut, 100 potong daster,
100 potong kaos, serta bahan makanan berupa 50 dos mie instan, 1500 sarden,
1200 botol sambel. 1200 botol kecap, 150 botol masing-masing berisi 2liter
minyak goreng, dan 600 paket makanan tambahan. Barang-barang tersebut
diperuntukkan untuk penanggukangan bencana alam dan yang menandatangani
serah terima barang tersebut adalah saksi bersama petugas bernama wibowo.
Saksi Suyitno sebagai penjaga dan pemegang kunci gudang yang
merupakan bawahan dari terdakwa pada tanggal 22 Agustus 2007 pukul 16.00
WIB mendapat perintah dari terdakwa untuk menyerahkan barang-barang
tersebut kepada seseorang bernama saksi Suwardi,S.H.,M.H. beberapa menit
kemudian terdakwa datang, kemudian saksi atmo datang dan kernet truk yang
mengangkat dan memasukkan ke dalam truk untuk dubawa ke Perumahan
Tanjung Elok di rumahnya saksi Suwardi, S.H.,M.H.
Terdakwa sebagai kepala seksi pada DKSPM seharusnya meyalurkan
bantuan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada padanya, bukan malah
menyerahkan kepada saksi Suwardi,S.H.,M.H untuk membagi-bagikan kepada
masyarakat miskin. Berdasarkan uraian fakta diatas, unsur “menyalahgunakan
99
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan telah terbukti.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tersebut,
terdakwa dijatuhkan putusan bebas, sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yahya Harahap,89
mengenai putusan bebas
dapat ditijau dari beberapa segi yaitu:
1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan
baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta
pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena
menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup
atau tidak memadai, atau;
2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas
minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu
orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum
pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP
yang menegaskan unnus testis nullus testis atau seorang saksi bukan
saksi;
3) Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan
yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun
secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun
nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung
oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan
yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari
tuntutan hukum.90
Majelis hakim dalam pembuktian perkara ini telah sesuai dengan sistem
pembuktian negative wettelijk yang merupakan sistem pembuktian dalam
KUHAP.91
Maksud dari sistem pembuktian ini adalah teori antara sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian
89
Yahya Harahap, loc. cit. 90
Ibid, hlm.348 91
Ibid. hal. 132.
100
menurut keyakinan hakim (Conviction – in time). sistem ini, terdakwa baru
dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya
dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang, serta dibarengi dengan keyakinan hakim.92
Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian negative
wettelijk, menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Alat bukti dalam perkara ini yaitu berupa keterangan saksi, keterangan
terdakwa, serta barang bukti berupa Surat pernyataan tertanggal 27 Maret 2009
yang ditanda tangani oleh M E, S.H., Foto copy SK Bupati Nomor:
821.2/005/51-2001 tanggal 15 Januari 2001 tentang Pengangkatan/ penunjukan
PNS dalam Jabatan Struktural Eselon IV di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Banyumas, 1 (satu) buah buku barang bantuan Dinas Sosial Propinsi tahun
2007, Surat dari Sekretaris Daerah Kabupaten Banyumas No. 446/404/2007
tanggal 7 Agustus 2007 perihal permohonan bantuan, Berita acara serah terima
barang bantuan lauk pauk untuk korban bencana tanggal 21 Agustus 2007 dan
berita acara terima barang bantuan sandang untuk korban bencana tanggal 21
Agustus 2007, 1 (satu) buah buku kas sumbangan UKS, 1 (satu) surat dari
Sekretaris Daerah Kabupaten Banyumas perihal permohonan bantuan untuk
korban bencana tanggal 21 Agustus 2007, 4 (empat) lembar berita acara serah
terima barang bantuan sandang untuk korban bencana dan bantuan lauk pauk
92
Ibid, hlm.278.
101
untuk korban bencana hari Selasa tanggal 21 Agustus 2007, 1 (satu) lembar
foto copy (yang telah diotentifikasi) petikan surat putusan Bupati Banyumas
Nomor: 821.2/031/2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang Pemberhentian/
Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural III Dan IV di Lingkungan Dinas
Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyumas
atas nama M E, S.H, dan uang tunai sebesar Rp.13.750.000,00.
. Hal ini telah sesuai dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Terdakwa dalam perkara ini diputus bebas, karena majelis hakim
menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan
yaitu, terdakwa dalam menyalurkan barang bantuan tersebut walaupun salah
dan memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan” akan tetapi dalam
perkara ini terdakwa, atau orang lain atau suatu koorporasi tidak mendapat
keuntungan.
Barang-barang tersebut telah habis dibagikan kepada masyarakat
miskin miskin yang salah satu tujuannya untuk memberikan dorongan kepada
masyarakat buta huruf untuk mau belajar dan bukan untuk diri sendiri maupun
untuk orang lain. Bantuan tersebut tidak dipergunakan untuk memperoleh
jabatan atau memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperoleh jabatan
supaya dirinya atau orang lain kelak nantinya akan mendapatkan jabatan yang
102
lebih baik dari sekarang ini, sehingga dalam hal ini penyaluran bantuan
tersebut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat miskin.
Berdasarkan hal tersebut diatas, walaupun terdakwa salah menyalurkan
bantuan ke masyarakat miskin yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat
yang mengalami bencana alam dan dalam hal ini terdakwa dalam melakukan
tindakan/perbuatan tersebut adalah merupakan social adequat dan
menimbulkan suatu keuntungan yang dapat dirasakan sehingga dalam hal ini
seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan walaupun perbuatannya
bertentangan dengan undang-undang.
Dengan demikian, tindakan tersebut dapat hilang sifat melawan
hukumnya dikarenakan negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani,
dan terdakwa sendiri tidak mendapat keuntungan. Hal ini telah menjadi
yurisprudensi tetap berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
42K/Kr/1965, Putusan Mahkamah Agung Nomor 71/K/1970 dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 81/K/Kr/1973. Berdasarkan pertimbangan majelis
hakim yang menyatakan bahwa salah satu unsur tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum tidak terbukti, majelis hakim berkesimpulan
bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, sehingga majelis hakim
menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa.
2. Akibat Hukum Dijatuhkannya Putusan Bebas Bagi Terdakwa pada
Perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt.
103
Majelis hakim di dalam amar putusannya menyebutkan
“memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan setelah putusan
diucapkan”. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (3) KUHAP yang
menyatakan bahwa:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan”.
Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001
tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya
Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan bahwa:
“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus
dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari
segara dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag
van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera
dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan di depan sidang
terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan
putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan
tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extract vonis)
guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku
eksekutor dari putusan Hakim”.
Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan,
kecuali ada alasan lain. Perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan
segera dilaksanakan oleh jaksa setelah putusan diucapkan dan laporan tertulis
mengenai perintah tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan
kepada Ketua Pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh
empat jam.93
Putusan hakim yang menjatuhkan putusan bebas tidak dapat
diajukan upaya hukum biasa, dalam hal ini yaitu upaya hukum banding dan
kasasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 67 KUHAP dan Pasal 244 KUHAP.
93
Ibid, hlm. 351.
104
Pasal 67 KUHAP:
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukim dan putusan pengadilan dalam acara cepat”
Pasal 244 KUHAP:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal yang tersebut diatas, dapat diketahui
bahwa untuk putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum banding
maupun kasasi sebagai upaya hukum biasa.
Djoko prakoso, 94
berpendapat:
Mengenai Putusan bebas/vrijspraak tidak dapat diajukan permohonan
kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang (Pasal 244
KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan Keputusan Menteri
Kehakiman RI: M. 14-P.W. 07. 03 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat
dalam Pasal 19 yang menyatakan:”Terhadap Putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding tetapi demi situasi dan kondisi, demi hukum,
keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan
kasasi.”
Pendapat diatas sesusai dengan ketentuan Pasal 259 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan bahwa:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa agung”
Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari
Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari pengadilan-
94
Djoko Prakoso. Op.cit. hlm.288
105
pengadilan terdahulu, dan ini merupakan peradilan terakhir. Tujuan dari kasasi
ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang – undang atau keliru
dalam menerapkan hukum.
Yahya Harahap berpendapat,95
ada beberapa tujuan utama upaya hukum
kasasi yaitu:
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan
kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum,
agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara
mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-
undang,
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya
tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk
yurisprudensi,
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari
pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman”
penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion.
Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan
mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum,
serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan
dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.
Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa.96
Hal
ini dikarenakan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya terbatas
pada putusan Pengadilan Negeri dan atau putusan Pengadilan tinggi.
Yahya Harahap, 97
berpendapat bahwa :
Pada hakikatnya kasasi demi kepentingan hukum tidak berbeda
tujuannya dengan permohonan kasasi biasa, sama-sama bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan penerapan hukum, keteledoran cara
95
Yahya Harahap, op. cit. hlm. 539-542. 96
Ibid, hlm.608 97
Ibid, hlm.612-613
106
melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang, serta
mencegah terjadinya tindakan pengadilan yang melampaui batas
wewenangnya. Bertitik tolak dari tujuan koreksi ini, alasan kasasi demi
kepentingan hukum pun sama dan sejajar dengan kasasi biasa seperti
yang telah dirinci dalam Pasal 253 ayat (1). Akan tetapi, kalau bertitik
tolak dari perkataan demi kepentingan hukum, berarti tidak hanya
terbatas kepada kesalahan yang disebut Pasal 253 ayat (1). Bahkan
meliputi segala segi yang menyangkut kepentingan hukum. Baik yang
menyangkut pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian
pembuktian, dan sebagainya.
Pejabat yang berwenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa Agung”
Berdasarkan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP, putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan terdakwa. Selain itu, kasasi demi
kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja.
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh diajukan
secara lisan. Dengan kata lain, permohonan kasasi demi kepentingan hukum
diajukan secara tertulis dan disertai risalah yang memuat alasan kasasi. Risalah
itu merupakan syarat mutlak yang bersifat “memaksa”. Hal ini dikarenakan
tanpa risalah, permohonan dianggap tidak memenuhi syarat formal.
Konsekuensinya, permohonan dinyatakan “tidak dapat diterima”. Jadi, agar
permohonan memenuhi syarat formal, Jaksa Agung wajib mengajukan risalah
atau memori.98
98
Ibid. hlm.612
107
Salinan risalah disampaikan panitera kepada pihak yang
berkepentingan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 260 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa panitera Pengadilan Negeri segera menyampaikan risalah
kepada pihak yang berkepentingan. Penyampaian salinan risalah mengandung
maksud agar memberikan hak kepada pihak yang menerima salinan risalah
tersebut untuk menyusun dan mengajukan kontra risalah.
Putusan dan pemberitahuan putusan kasasi demi kepentingan hukum
mempunyai persamaan bentuk dan cara penyampaiannya dengan putusan
kasasi biasa. Namun ada sedikit perbedaan antara keduanya, yaitu untuk
salinan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan,
sedangkan untuk kasasi biasa, salinan putusan kasasi hanya diberikan kepada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
yaitu:
1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas pada
perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt adalah berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan, dimana terdakwa dalam menyalurkan
barang bantuan memang tidak sesuai dengan prosedur tetap dalam
penyaluran barang bantuan tersebut. Oleh karena itu perbuatan terdakwa
telah memenuhi unsur “secara melawan hukum melakukan perbuatan” dan
“menyalahgunakan kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukannya. Akan tetapi dalam penyaluran barang bantuan
tersebut terdakwa tidak mendapat keuntungan sama sekali dari penyaluran
barang bantuan tersebut, begitu juga dengan orang lain yang dalam hal ini
yaitu saksi Suwardi, S.H.,M.H. selain itu berdasarkan keterangan dari
saksi Singgih Wiranto, S.H.,M.Hum penyaluran barang bantuan tersebut
tidak ada kaitannya dengan dirinya yang akan mencalonkan diri sebagai
Bupati Banyumas. Oleh karena itu unsur “ Memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu koorporasi´tidak terbukti. Berdasarkan pertimbangan
majelis hakim yang menyatakan bahwa salah satu unsur tindak pidana
yang didakwakan oleh penuntut umum tidak terbukti, majelis hakim
109
berkesimpulkan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
sehingga majelis hakim menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
2. Akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa pada
perkara No.174/PID.B/2009/PN.Pwt, terdakwa harus segera dibebaskan
dari tahanan, kecuali ada alasan lain. Perintah untuk membebaskan
terdakwa dari tahanan segera dilaksanakan oleh jaksa setelah putusan
diucapkan dan laporan tertulis mengenai perintah tersebut dilampiri surat
penglepasan yang diserahkan kepada ketua pengadilan selambat-
lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. Kemudian terhadap
putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum biasa, yaitu upaya
hukum banding maupun kasasi, akan tetapi terhadap putusan bebas dapat
diajukan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum.
B. Saran
Untuk mencegah majelis hakim menjatuhkan putusan bebas, penuntut
umum dalam membuat dakwaan dan tuntutan harus lebih cermat dan teliti dalam
membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, sehingga
terdakwa tidak dijatuhkan putusan bebas.
110