1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korporasi dikenal dari beberapa bahasa, yaitu Belanda dengan istilah
coorporatie, di Inggris dengan istilah corporation, di Jerman dengan istilah
Korporation dan di Indonesia dengan istilah Korporasi. Secara etismologis
Corporare sendiri berasal dari kata “corpu” (Indonesia=badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, Corporatio itu berarti
hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap
badan manusia, yang terjadi menurut alam.1 Korporasi adalah suatu badan hasil
ciptaan hukum yang terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya
hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan hukum itu mempunyai
kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka
kecuali penciptanya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.2 Dalam
kamus bahasa Indonesia Korporasi adalah perusahaan atau badan usaha yang
sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu
perusahaan besar.
Korporasi yang merupakan suatu perusahaan-perusahaan besar telah banyak
memberikan kontribusi yang sangat besar juga bagi kehidupan setiap orang,
pembangunan industri dan perdagangan dunia. Perusahaan-perusahaan besar
1Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Pembangunan, Jakarta, 1955, hlm.
83;
2Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 110;
2
tersebut telah menyediakan kesempatan kerja kepada jutaan orang dan telah
meningkatkan kekayaan bangsa, mempengaruhi harga-harga dan dengan demikian
juga mempengaruhi tingkat inflasi, kualitas barang, dan tingkat pengangguran.
Selain pengaruh pertumbuhan yang sangat luar biasa, aset kegiatan menjual dari
suatu korporasi menjadikan korporasi memiliki kekuasaan ekonomi, sosial dan
politik yang luar biasa dan dapat dikatakan bahwa korporasi “mengkontrol”
kehidupan ekonomi, soasial dan politik Negara.
Di era globalisasi yang sangat maju suatu korporasi dituntut untuk bisa
berjalan ekstra cepat dan mampu bersaing tidak hanya didalam satu negara tetapi
juga antar negara lain. Akibat dari suatu persaingan tersebut, Kongres PBB V
tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum (The
Preventive of Crime and Treatment of Offender) tahun 1975 yang kemudian
dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukan bahwa
terdapat kejahatan baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakan oleh
pengusaha terhormat yang membawa dampak yang sangat negatif pada
perekonomian negara yang bersangkutan.3 Kejahatan korporasi yang semakin
canggih, baik bentuk atau jenisnya maupun modus operandinya sering melampaui
batas – batas negara (trans-border crime) dan juga sering dipengaruhi oleh negara
lain akibat era globalisasi ini.
Marshall B Clinard dan Peter C Yeager memberikan pengertian Kejahatan
Korporasi (organizational occupational crime) ialah A corporate crime is any act
commited by corporations that is punisbed by the state, regardless of whether it is
punished under administrative, civil, or criminal law (setiap tindakan yang
3Andi Hamzah, Kejahatan di Bidang Ekonomi dan Cara Penanggulangannya, Makalah, Jakarta,
1994, hlm. 1;
3
dilakukan oleh Korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah
hukum administasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana).4 Menurut
Muladi dan Dwidja, dalam membahas kejahatan korporasi harus membedakan
antara:
a. Crimes of corporation, inilah yang merupakan Kejahatan Korporasi
atau lebih lanjut dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Korporasi
(corporate crime), yang mana pelaku dari kejahatan korporasi ini
adalah korporasi itu sediri dan hasil kejahatannya adalah untuk
korporasi itu sendiri;
b. Crime against corporation, kejahatan terhadap korporasi atau sering
dinamakan employee crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para
karyawan atau pekerja terhadap korporasi, misalnya penggelapan dana
perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut. Pelaku dari
crime against corporation ini tidak hanya tebatas pada pejabat atau
karyawan dari badan hukum atau korporasi yang bersangkutan, tetapi
masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan terhadap
korporasi ini;
c. Criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan
dikendalikan untuk melakukan kejahatan dan kedudukan korporasi
dalam criminal corporation hanyalah sebagai sarana untuk melakukan
kejahatan. Pelakunya utamannya adalah penjahat diluar korporasi itu
sendiri dan hasil kejahatan yang diperoleh sesuai dengan peran dari
pelakunya. 5
Dalam penelitian ini, penulis kemudian memfokuskan kepada Crimes of
corporation yang merupakan Kejahatan Korporasi atau dapat dikatakan sebagai
Tindak Pidana Korporasi (corporate crime) dan secara lebih jelas dapat diartikan:
“Organization crime occurring in the context of complex relationship and
expectation among boards of directors, executives and managers, on the
other hand, and among parent corporations, corporate dicisions, and
subsidiaries, on the other (kejahatan yang terorganisasi atau dilakukan
oleh kelompok yang terdiri dari beberapa orang dalam kompleks
hubungan-hubungan misalnya antara dewan direksi, direktur eksekutif dan
4Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimilogis dan Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana Indonesia), Cetakan ke-4,Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 20;
5Muladi dan Dwija P, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1991, hlm. 175;
4
manajer, atau hubungan di antara anak perusanaan, divisi-divisi dalam
perusahaan dan cabang-cabang perusahaan).6”
Kejahatan korporasi juga harus dibedakan dari kejahatan ekonomi pada
umumnya, karena kejahatan korporasi hanya dilakukan dalam konteks oleh bisnis
besar dan bukan dilakukan oleh kelompok bisnis kecil. Dengan demikian unsur
dari kejahatan korporasi adalah: (a) kejahatan, (b) dilakukan oleh orang
terpandang/terhormat, (c) status sosial tinggi, (d) dalam hubungan dengan
pekerjaannya, dan (e) dengan melanggar kepercayaan publik.7 Ruang lingkup
kejahatan korporasi pada dasarnya meliputi penyalahgunaan kepercayaan
masyarakat (kejahatan korporasi dibidang keuangan, perbankan dan asuransi),
kejahatan korporasi terhadap konsumen (penggunanaan bahan substitusi,
berbahaya pada produk makanan, minuman dan kosmetik), iklan yang
menyesatkan, obat-obatan yang mempunyai efek samping, dan kejahatan
korporasi perusakan lingkungan.8 Motif dari terjadinya kejahatan korporasi itu
sendiri ialah motif ekonomi yang mana sebagian korporasi untuk memperoleh
keuntungan dan kekayaan besar-besaran dengan menimbulkan kerugian besar
kepada warga masyarakat dan warga negara dapat dilakukan melalui perbuatan-
perbuatan atau kejahatan terselubung dengan modus operandi yang halus. Selain
itu, konsekuensi dari kompetisi dunia niaga yang telah menempatkan beberapa
korporasi atau badan hukum dalam posisi yang sulit yang kemudian menjadi
6Ibid, hlm. 174;
7Reksodiputro, B. Marjono, Peranggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi,
Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1989, hlm.
3;
8Susanto, Kejahatan Korporasi, Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi,
Semarang. 1998, hlm. 4;
5
tekanan berat untuk korporasi sehingga korporasi menjalankan niaga secara
curang dan melakukan perbuatan tidak terpuji yang illegal dan kriminal.
Kejahatan Korporasi sendiri merupakan suatu gejala baru pada abad ke-20.
Suatu kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi pada dasarnya sangat
sulit untuk ditemukan, diinvestigasi, atau untuk dikembangkan secara sukses
sebagai kasus-kasus hukum oleh karena kompleksitas dan kerumitannya. Apabila
dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan biasa yang mana korban mengetahui
bahwa yang bersangkutan telah menjadi korban, namun berbeda halnya dengan
kejahatan korporasi dimana korban sering tidak mengetahui bahwa mereka telah
menjadi korban dari kejahatan-kejahatan korporasi, sehingga hal tersebut pun
kemudian akan berpengaruh kepada bagaimana pertanggungajwaban yang
dilakukan oleh korporasi yang telah melakukan kejahatan tersebut.
Seperti yang dipahami bahwa korporasi sangat berpengaruh terhadap
pembangunan industri dan perdagangan dunia baik dalam negara berkembang
seperti Indonesia maupun Amerika Serikat yang merupakan negara maju, dengan
demikian maka tidak menutup kemungkinan korporasi akan melakukan tindak
kejahatan. Terkait dengan kejahatan korporasi khususnya yang terjadi di
Indonesia dan Amerika Serikat, maka penulis pun tertarik untuk meneliti konsep
pertangggungjawaban korporasi atas tindak kejahatan yang dilakukan dengan
mengacu kepada dua sistem hukum yang berbeda yaitu Civil Law yang dianut
oleh Indonesia dan Common Law yang dianut oleh Amerika Serikat. Hal ini
dianggap sangat menarik untuk diperbandingkan karena seperti yang dipahami
bahwa sistem hukum Civil Law memiliki tiga karakteristik dimana adanya
kodifikasi, hakim tidak terikat kepada Presiden sehingga undang-undang menjadi
6
sumber hukum yang terutama dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial
sedangkan sistem hukum Common Law merupakan suatu sistem yang didasarkan
pada yurisprudensi atau putusan hakim, atau putusan pengadilan yang didominasi
oleh hukum tidak tertulis atau hukum kebiasan melalui putusan hakim
sebelumnya.
Terkait dengan pertanggungjawaban oleh korporasi yang telah melakukan
suatu kejahatan korporasi, penulis terlebih dahulu melihat Kebijakan Hukum
Pidana (formulasi) terhadap Kejahatan Korporasi yang belaku di Indonesia.
KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai kebijakan tentang
pertanggungjawaban pidana Korporasi dalam arti belum mengenal Korporasi
sebagai subjek dari tindak pidana karena KUHP adalah warisan dari pemerintah
kolonial Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law), dengan
kata lain subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang
perseorangan. Hal ini didasarkan pada Pasal 59 KUHP yang berbunyi: “dalam
hal-hal dimana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus,
anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris yang tidak ikut
campur melakukan pelanggran, tidak dipidana”, dari bunyi pasal tersebut maka
dapat dimaknai apabila Korporasi yang melakukan tindak pidana maka
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus Korporasi dalam hal
pengurus Korporasi yang melakukan tindak pidana dalam rangka mewakili atau
dilakukan atas nama Korporasi tersebut. Secara sederhana maka dapat dipahami
didalam KUHP yang bertanggungjawab ialah pengurus Korporasi (perseorangan)
dan bukan Korporasinya.
7
Hal yang berbeda pun kemudian muncul dalam beberapa kebijakan
perundangan-udangan diluar KUHP terkait dengan pertanggungjawaban kejahatan
Korporasi. Beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUHP yang
mencantumkan korporasi dapat bertanggungjawab atas kejahatan yang telah
dilakukan antaralain dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor), Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), apabila
kejahatan dilakukan oleh korporasi maka penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi.
Dengan dapat dijatuhkannya pidana kepada korporasi atas kejahatan yang
dilakukan, maka telah terjadi suatu pergeseran dan modifikasi suatu kebijakan
hukum pidana (fomulasi) terkait dengan korporasi yang pada awalnya didalam
KUHP bukan sebagai subjek hukum, namun didalam peraturan perundang-
undangan diluar KUHP korporasi (judicial person) muncul sebagai subjek yang
dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai
pembuat tindak pidana disamping manusia alamiah. Selain itu dalam hal
mempermudah aparat penegak hukum dalam menangani perkara kejahatan
korporasi, dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Isi dari
Perma ini mengatur tentang bagaimana proses penanganan perkara Tindak Pidana
Korporasi dari bagaimana tahap pemeriksaan Korporasi, penyidikan dan sampai
dengan penjatuhan putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal
8
pembentukan Perma ini, Mahkamah Agung bertujuan untuk memberikan
kelancaran bagi penyelenggaraan peradilan karena dalam beberapa perundang-
undangan yang mengatur tentang Korporasi belum diatur tentang tata cara
penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi. Kedudukan
Perma sendiri mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sama halnya dengan
suatu Peraturan Perundang-Undangan karena merupakan peraturan yang
ditetapkan oleh Mahkamah Agung9 walaupun tidak masuk kedalam hirarki
Peraturan Perundang-Undangan seperti yang tercantum didalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Dalam hal konsep pertanggungajwaban kejahatan korporasi, di Indonesiai
sejauh ini dikenal dengan 3 (tiga) konsep yaitu:
a. Pelakunya adalah Perseorangan/Pengurus (natural person) dan
pertanggungjawaban dibebankan kepada Perseorangan/Pengurus
(natural person);
b. Pelakunya adalah Korporasi dan pertanggungjawaban dibebankan
kepada Perseorangan/Pengurus (natural person); dan
c. Pelakunya adalah Korporasi dan pertanggungjawaban dibebankan
kepada Korporasi.10
Problematika yang sekarang sedang terjadi ialah di Indonesia walaupun
konsep pertanggungjawaban kejahatan korporasi sudah diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan yang berlaku, masih sangat sedikit kasus yang
diusut terkait kejahatan korporasi karena kompleksitas dan kerumitannya serta
konsep pertanggungjawaban, hal tersebut dibuktikan dengan masih sangat
9Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Nrgara Republik Indonesia Nomor 5234);
10Muliadi, Dwidja Priyatni, Pertanggungjawaban pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana
Cetakan ke-3, Jakarta, Kencana Prenada Media Grub, 2012, hlm. 232;
9
sedikitnya putusan pengadilan terkait dengan kasus kejahatan korporasi. Selain
kompleksitas dan kerumitannya, aturan perundang-undangan diluar KUHP yang
mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi pun saling berbeda satu sama
lain seperti halnya ajaran pemidanaan yang diterapkan masing-masing peraturan
perundang-undangan. Dalam UU Tipikor menerapkan ajaran pemidanaan “ajaran
identifikasi” sedangkan dalam UU PPLH belum secara tegas menentukan ajaran
apa yang digunakan untuk membebankan pertanggungajwaban pidana kepada
korporasi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya terkait kompleksitas,
kerumitannya dan perbedaan masing-masing peraturan perundang-undangan
dalam hal pertanggungajawaban korporasi maka sampai saat ini di Indonesia
masih sangat sedikit korporasi yang dimintai pertanggungjawaban. Selain itu,
terkait dengan pidana pokok yang diberikan kepada korporasi yang berupa denda,
dianggap masih dapat memungkinkan korporasi melakukan kejahatannya
berulang-ulang, karena setelah membayar pidana denda korporasi masih dapat
beroperasi kembali.
Berbeda halnya dengan di Amerika Serikat yang menganut Common Law
System, Korporasi diterima sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1909 dan
sistem pertanggungjawaban pidana Korporasi mengacu kepada Model Penal Code
(MPR), Official Draft and Axplanatory Notes yang merupakan model hukum
pidana Amerika, diterbitkan oleh The American Law Institutes pada tahun 1985
dan dalam konsep pertanggujawaban kejahatan koporasi hanya menganut satu
prinsip saja yaitu Vicarious Liability. Menurut MPC, khususnya yang menyangkut
sistem pertanggungjawaban pidana Korporasi diatur dalam section 2.07, dibawah
10
title “Liability of Corporations, Unincorporated Associations and Person Acting,
or Under a Duty to Act, in Their Behalf”.11 MPC menganggap bahwa tujuan dasar
dari dipidananya korporasi adalah untuk membangkitkan kehati-hatian managerial
dalam mengawasi kepatuhan korporasi pada hukum pidana dari pada memidana
atau mencegah korporasi melakukan pelanggaran pada umumnya.
Pengadilan Negara bagian New York menggunakan doktrin respondeat
superior / doktrin vicarious yang menyatakan bahwa Korporasi dapat diminta
pertanggungjawaban jika salah satu pegawainya melakukan kejahatan dalam
lingkup pekerjaannya dan kejahatan tersebut dilakukan untuk keuntungan
Korporasi. Di Amerika Serikat pertanggungjawaban Korporasi ruang lingkupnya
cukup besar, dimana Korporasi dapat dihukum karena melakukan tindak pidana
umum, termasuk penipuan, pencucian uang, serta tindakan lain yang dapat
dianggap sebagai kejahatan kerah putih atau pejabat.12 Selain MPC, peraturan
yang mengkaitkan korporasi di Amerika Serikat salah satunya ialah
Comprehensive Environmental Response Compensation And Liability Act
(CERLA) atau dapat dikenal sebagai Undang-Undang Lingkungan Amerika
Serikat. Dalam CERLA ajararan yang dianut dalam pemidanaan pelaku tindak
ialah menganut Strict Liability. Dan menurut John C. Coffe aturan tentang
Vicarious Liability jangan dikacaukan dengan Strict Liability. Korporasi tidaklah
bertanggungjawab hanya karena seorang agen melakukan perbuatan terlarang
(actus reus), namun harus terbukti 3 tiga unsur:
11Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kebijakan Legislasi,
Cet. ke-1, Depok, Kencana, 2017, hlm. 194; 12Edward B. Diskant, Comparative acorporate Criminal Liability: Exploring the Uniuely
American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure, The Yale Law Journal, 2008, Vol.
118;126, hlm. 138;
11
a. Agen itu telah melakukan kejahatan (that an agents has commited a
crime);
b. Perbuatannya dilakukan dalam ruang lingkup kewenangannya (while
acting within the scope of this authority); dan
c. Dilakukan dengan tujuan/sengaja untuk menguntungkan korporasi
(with an intent to benefit the corporation).13
Dari penjelasan diatas, maka dalam penelitian ini penulis ingin
membandingkan dan mengkaji secara lebih mendalam tekait dengan kebijakan
formulasi tentang konsep pertanggungjawaban korporasi dengan mengacu kepada
sistem hukum dan sumber hukum yang berbeda serta doktrin-doktrin yang
digunakan dalam konsep pertanggungjawaban korporasi dimasing-masing negara.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melihat
perbandingan pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi yang diterapkan di
Indonesia maka dengan demikian penulis mengakat judul tesis tentang
“PERBANDINGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DI INDONESIA
DAN AMERIKA SERIKAT”
B. Rumusan Masalah
Terkait dengan Perbandingan antara kebijakan formulasi hukum pidana
tentang pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia dan Amerika
Serikat, maka pertanyaan yang akan menjadi issue penelitian ialah;
13 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm.201;
12
1. Bagaimana perbandingan kebijakan fomulasi hukum pidana Indonesia dan
Amerika Serikat tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi?
2. Bagaimana Ius Constituendum terhadap konsep Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia dalam RKUHP tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk dapat mengetahui perbandingan
kebijakan fomulasi hukum pidana tentang pertanggungjawaban Tindak Pidana
Korporasi di Indonesia dan Amerika Serikat, agar memahami doktrin mana yang
lebih cocok diterapkan dalam kebijakan formulasi terkait pertanggungjawaban
korporasi. Sehingga kedepan dapat dilakukan pembaharuan kebijakan hukum
pidana terkait dengan pertanggungjawaban korporasi guna mempermudah
penerapannya terkhusus di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Kemudian manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mampu menambah
pengembangan wawasan dan memberi kontribusi pemikiran bagi
pengembangan ilmu Hukum khususnya Hukum Pidana Korporasi;
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran yuridis khususnya dalam hal pertanggungjawaban Tindak
13
Pidana Korporasi seperti bagaimana perbandingan suatu yang
pertanggungjawaban Korporasi, sebagai tolok ukur untuk adanya
keseragaman pengaturan atau bahkan pengaturan yang lebih baik lagi
terkait dengan pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi.
3. Manfaat Lainnya
Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian –
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya seperti bahan untuk tesis
yang judulnya terkait dengan pertanggungjawaban Korporasi, disertasi
yang terkait dengan pertanggungjawaban Korporasi, sebagai sumber
referensi untuk pembuatan buku dan penelitian ilmiah lainnya.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah Yuridis Normative
dengan pertimbangan bahwa titik tolak dari penelitian ini ialah terhadap
peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban Tindak Pidana
Korporasi. Dalam penelitian ini, Penulis mengkonsepkan hukum ialah
norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Penelitian
kepustakaan dalam penelitiann ini tidak hanya mengacu kepada beberapa
perundang-undangan di Indonesia yang memuat tentang
pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi, tetapi juga aturan-aturan
hukum dari Amerika Serikat yang mengatur tentang pertanggungjawaban
Tindak Pidana Korporasi.
14
2. Pendekatan Masalah
Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan yakni Yuridis
Normative, maka yang pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang – undangan (statute approach) karena yang penulis teliti adalah
berbagai kebijakan hukum terkait tentang Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, dan pendekatan perbandingan (comparative approach) karena
penulis akan membandingkan kebijakan formulasi hukum pidana terkait
pertanggungjawaban korporasi antar 2 (dua) negara yaitu Indonesia dan
Amerika Serikat.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti kebijakan
formulasi masing-masing undang-undang terkait dengan aturan
pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia Amerika Serikat. Sedangkan
pendekatan perbandingan digunakan untuk melihat bagaimana perbedaan
dan persamaan antara kebijakan formulasi masing-masing undang-undang
terkait konsep pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi, yang
kemudian menjadi acuan untuk bahan analisis dan menjawab rumusan
masalah pada penelitian ini.
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Dalam penelitian ini, penulis mengambil bahan hukum yang
bersumber dari masing-masing negara yaitu Indonesia dan Amerika
Serikat.
Bahan hukum primer yang berasal atau yang berlaku di Indonesia
antara lain 2 (dua) Peraturan Perundang-Undangan dan 1 (satu)
15
Peraturan Mahkamah Agung. Peraturan Perundang-Undangan antara
lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), dan serta Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Serta Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015.
Sedangkan yang dari Amerika sendiri mengacu kepada Model
Penal Code (MPC) Section 2.07 dengan title “Liability of
Corporations, Unincorporated Association and Persons Acting, or
Under a Duty to Act, in Their Behalf”, Section 6.04 dengan title
“Penalties Against Corporations and Unincorporated Association;
Forfeiture of Corporate Charter or Revocation of Certificate
Authorizing Foreign Corporation to Do Business in the State“,
Comprehensive Environmental Response Compensation And Liability
Act Section 101 dan Section 107 dengan tittle ”Hazardous Substances
Release, Liability, Compensation“, The Foreign Corrupt Practices Act.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
buku teks, jurnal – jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus – kasus
hukum, yang terkait dengan pembahasan tentang Tindak Pidana
Korporasi;
16
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti ensiklopedia dan lain – lain.