1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan kurikulum disinyalir menjadi salah satu alasan munculnya
berbagai permasalahan dalam bidang pendidikan. Kurikulum yang dalam
Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 butir
18 didefinisikan sebagai “…..seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu” akan membingungkan jika landasan pengembangan dan perubahannya
tidak dipahami secara filsafat. Kurikulum menjadi amat penting dalam sebuah
proses pendidikan sebagai acuan utama untuk mencapai tujuan pendidikan secara
umum.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, kurikulum pendidikan nasional telah
berubah beberapa kali. Tahun 1947 istilah yang digunakan adalah kurikulum Leer
Plan (rencana pembelajaran). Kurikulum ini mengutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan jasmani. Tahun 1952
muncul kurikulum rencana pelajaran terurai yang mulai merinci setiap mata
pelajaran. Masa orde baru, kurikulum selalu mengalami perubahan hampir tiap
dekade seperti kurikulum 1968, 1975, 1984 dan terakhir kurikulum 1994.
Pascareformasi (Mei 1998) muncul kurikulum baru bernama KBK tahun 2004
yang kemudian berkembang menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
2
Pendidikan) tahun 2006 serta yang terakhir adalah kurikulum 2013 yang
merupakan pengembangan lebih lanjut dari KBK dan disiapkan untuk generasi
emas tahun 2045.
Kurikulum 2013 melandaskan argumen pada Menteri Pendidikan
Muhammad Nuh (Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2013) dirancang untuk
mendorong peserta didik agar mampu lebih baik dalam melakukan
observasi/mengamati, bertanya, menalar, dan mengomunikasikan. Melalui
pendekatan itu diharapkan peserta didik memiliki kompetensi sikap, ketrampilan
dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Peserta didik dengan menggunakan
kurikulum 2013 diharapkan akan lebih kreatif, inovatif dan produktif sehingga
bisa sukses menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya dan
mampu memasuki masa depan yang lebih baik.
Perubahan dalam pendidikan khususnya kurikulum adalah hal yang wajar.
Perubahan harus disertai dengan beberapa aspek seperti aspek kebutuhan bangsa,
kebutuhan subyek didik, kebutuhan lembaga yang mendidik atau pemerintah,
kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan teknologi dan
pengajaran. Semua aspek harus merasa siap dan mampu mengetahui titik tolak
perubahan kurikulum khususnya kurikulum 2013 karena kurikulum memiliki nilai
filsafat yang tinggi dan merupakan basis dasar atau bekal dalam pendidikan.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang bagus namun persoalan yang
melingkupi kurikulum 2013 jumlahnya tidak sedikit. Sulistyo, Ketua Pengurus
Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) mengatakan bahwa
3
kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan kurikulum berbasis observasi
integratif itu dinilai mengabaikan kesiapan guru. Guru masih belum banyak yang
mengetahui konsep kurikulum 2013. Pemerintah dianggap kurang
mempertimbangkan kondisi heterogen guru terutama guru di pedalaman yang
tidak mudah beradaptasi pada hal-hal yang baru pada waktu singkat (Kedaulatan
Rakyat, 25 januari 2013).
Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta memiliki
pendapat yang sama dengan menjelaskan bahwa sebagus apa pun kurikulum tanpa
diimbangi kesiapan aspek guru, implementasinya menjadi sia-sia. Kurikulum
2013 seakan-akan seperti ‘dipaksakan’ (Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2013).
Faktor kesiapan semua aspek dalam perubahan kurikulum harus dilihat secara
menyeluruh agar revisi atau penyempurnaan kurikulum berdampak positif.
Permasalahan kurikulum 2013 bukanlah masalah yang sepele karena
kurikulum 2013 disiapkan untuk generasi emas tahun 2045. Orientasi
keindonesiaan harusnya lebih kuat tetapi dokumen-dokumen dan naskah
kurikulum dirasa kurang bersemangat sebab tidak disebutkan kata Pancasila di
dalamnya. Penyiapan kurikulum bukan pemikiran seluruh bangsa tetapi segelintir
manusia saja jadi terkesan sentralistik. Guru tidak dilibatkan dalam pembuatan
kurikulum sehingga banyak guru yang merasa kebingungan dalam aplikasi dan
implementasi kurikulum 2013, guru seharusnya sebagai pengolah bukan hanya
penerima. Paradigma berpikir pun seakan-akan bergeser bukan Pancasila dan
keindonesiaan namun lebih pada ke tenaga kerja.
4
Revisi kurikulum memang harus dilakukan antara lain karena banyaknya
mata pelajaran dan terlalu padatnya materi yang ingin dijejalkan kepada peserta
didik. Kecermatan dan ketepatan dalam mengidentifikasi permasalahan-
permasalahan di dunia pendidikan amat diharapkan agar menghasilkan kurikulum
yang sesuai dengan perkembangan zaman (Kompas, 14 Desember 2012).
Pembaruan metode pembelajaran dibutuhkan dan seharusnya dilakukan
sejak lama dalam pendidikan. Pertama, karena adanya “revolusi copernican”
dalam definisi pendidikan dari pembelajaran berpusat pada guru (teacher
centered) seperti dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid (student centered)
menurut UU No 20 Tahun 2003 sebagai revisi UU Sisdiknas. Kedua, sekolah di
Indonesia sedikit sekali membantu menumbuhkan potensi seorang murid.
Pengaruh sekolah yang menjemukan serta tidak imajinatif itu tetap terasa ketika
seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakat. Ketiga, Peningkatan
profesionalisme guru seyogyanya ditandai dengan berbagai aktivitas dan kinerja
guru. Keempat, pola kurikulum KTSP tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif
sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan anak didik (Kompas, 21
Februari 2013).
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang memiliki banyak landasan filsafat
sehingga dapat dikatakan eklektif inkorporatif. Kurikulum 2013 menyatakan
bahwa tidak ada satu pun filsafat pendidikan yang dapat digunakan secara
spesifik.
5
Landasan filsafat dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filsafat yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak ada satupun filsafat pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas (Kerangka dasar Kurikulum 2013, Permendikbud Nomor 68 2013).
Kurikulum ini menjadi seperti ‘gado-gado’ yang harus diolah sedemikian rupa
sehingga semua aspek, baik itu pemerintah, guru, peserta didik mau dan mampu
mengimplementasikannya.
Filsafat Pendidikan kurikulum 2013 secara tersurat menyatakan menganut
tiga hal yaitu essensialisme, eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme. Tiga
filsafat pendidikan itu digunakan sebagai landasan dasar pembuatan kurikulum
2013. Tiga landasan filsafat itu dianggap mampu menjadi dasar bagi
pengembangan kurikulum 2013. Tiga landasan filsafat itu membuat kurikulum
2013 menggunakan dasar eklektik inkorporatif. Ekelektik inkorporatif memiliki
arti pengembangan dan pemerkayaan filosofi pendidikan nasional dari berbagai
unsur filosofi pendidikan asing.
Peneliti sebagai pembelajar dalam dunia filsafat tertantang untuk
memberikan sumbangsih pikir mengenai hal tersebut. Kajian yang akan peneliti
pakai adalah filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan berfungsi mengembangkan
manusia dengan segala potensi kemanusiaannya. Kneller seperti yang dikutip oleh
Barnadib (2002 : 10) menyatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam filsafat
pendidikan yaitu pendekatan spekulatif, preskriptif, dan analitis. Spekulatif berarti
6
pemikiran sistematis terhadap apa yang ada, baik abstrak maupun konkret.
Preskriptif adalah pendekatan untuk mempelajari peranan nilai dalam pendidikan.
Analitis berusaha mengenali makna sesuatu dengan mengadakan analisis kata-
kata pada khususnya dan bahasa pada umumnya.
Pondasi filsafat pendidikan berisi kajian pemikiran reflektif tentang upaya
manusia memikirkan kehidupan secara menyeluruh, upaya mencapai pendidikan
yang baik, serta mencari akar fundamental dari penyelenggaraan pendidikan yang
dianggap baik (Rohman, 2013 : 69).
Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat sehingga
sudah sewajarnya pemikir-pemikir filsafat memberikan kritik dan saran terhadap
berbagai permasalahan mengenai pendidikan tidak terkecuali mengenai kurikulum
2013. Kritik terhadap kurikulum 2013 tidak selalu harus negatif tetapi lebih
menguatkan respon dan respect terhadap naskah kurikulum 2013. Kritik harus
dapat dipertanggungjawabkan, mengkritisi kurikulum melalui filsafat pendidikan
merupakan hal yang bagus dalam bidang keilmuan.
Filsafat pendidikan memiliki banyak aliran. Aliran filsafat pendidikan
yang peneliti pakai dalam membedah dan mengupas kurikulum 2013 adalah
progressivisme. Peneliti berkeyakinan kurikulum 2013 memiliki warna
progressivisme yang sangat dominan dan harus diungkap. Progressivisme
mengatakan bahwa kurikulum dapat berubah karena zaman dan ilmu pengetahuan
berubah, jadi perubahan adalah hal yang wajar.
Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat
pragmatisme yang telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu
7
manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua tantangan, harus
pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Aliran progressivisme lahir
sebagai reaksi atas pelaksanaan bentuk pendidikan tradisional. Dewey, dalam hal
ini mengatakan bahwa:
“…many progressives were merely reacting against traditional school practices and had failed to formulate an educational philosophy which was capable of serving as a plan of pragmatic operation “(Gutek, 1985: 141).
Progesivisme memandang bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh manusia
dewasa ini karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu. Ini
meliputi ilmu-ilmu sosial, budaya, maupun ilmu pengetahuan alam.
Dewey menekankan bahwa pendidikan merupakan petunjuk yang tiada
akhir, sesuatu yang berlangsung terus-menerus, akumulasi rekonstruksi
pengalaman. Dewey tidak menerima pandangan bahwa manusia itu diberkahi
kebenaran-kebenaran absolut. Pendidikan pada akhirnya dapat dikenal melalui
prosesnya seperti sebuah horison yang tidak pernah dapat dijangkau.
“According to Dewey, education is leads to no final ends, it is something continuous, a reconstruction of accumulated experience. Unlike those who assert that man is blessed with there are fixed and ultimate ends, Dewey hold no such view. The aim, such it is, is identified with the process, like the horizon” (Meyer, 1952 : 44-45).
Aspek yang dapat dilihat dalam segi filsafat di dunia pendidikan yang
berkembang secara terus menerus adalah kurikulum.
8
Peneliti menyadari bahwa filsafat pendidikan merupakan hal yang menarik
untuk dikupas. Filsafat harus memandang pendidikan sebagai suatu keinginan
manusia yang tertinggi yang mampu mengatasi berbagai masalah.
Philosophy should focus about education as the supreme human interest in
which, moreover, other problem, cosmological, moral, logical, come to
head (Child, 1951 : 419-420).
Pola berpikir penelitian ini harus filsafat dengan menjurus pada konsep
pendidikan yang ideal bukan pada tataran praktis sehingga tidak terjerumus pada
peneliti pendidikan tingkat praksis. Ini merupakan hal yang baru karena belum
ada tesis yang meneliti mengenai kurikulum pendidikan secara khusus terutama
mengenai kurikulum 2013. Peneliti sendiri mengkhususkan pada persoalan
kurikulum 2013 untuk dicoba dicari landasan filsafat dan warna progressivisme di
dalamnya agar mampu memahami makna terdalam dari suatu kurikulum
pendidikan.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti mengemukakan tiga
rumusan masalah yaitu :
a. Apa hakikat kurikulum 2013 ?
b. Apa saja landasan filsafat kurikulum 2013 ?
c. Bagaimana pandangan filsafat pendidikan progressivisme terhadap
kurikulum 2013 ?
9
2. Keaslian Penelitian
Setelah peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian
yang ada, belum ada satu pun tesis yang membahas kurikulum sebagai objek
material namun terdapat beberapapenelitian yang mengkaji tentang filsafat
pendidikan progressivisme yakni sebagai berikut :
Tesis Konsep Demokrasi dalam Pendidikan Menurut Progressivisme oleh
Ahmad Samawi tahun 1995. Penelitian tesis pada tahun 1995 ini menjelaskan
bahwa konsep demokrasi dalam pendidikan yang dimaksudkan oleh John Dewey
adalah suatu pandangan, sikap, aktivitas yang memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya terhadap peserta didik untuk berpartisipasi dalam menentukan
pendidikannya agar ia tumbuh dan berkembang secara optimal dan wajar sesuai
dengan potensinya. Demokrasi dalam pendidikan mempunyai implikasi yang luas
di berbagai bidang pendidikan seperti : kurikulum work and play, metode
pendidikan yang membiasakan anak menjadi problem solver, aspek-aspek
kejuruan yang menumbuhkan intelektual dan moral, dan subject matter
pendidikan dari problem kehidupan. Pandangan dewey mengenai progressivisme
pendidikan khususnya tentang demokrasi pendidikan memiliki kekuatan dalam
hal mengembangkan peserta didik sebagai makhluk individu yang bebas tetapi
lemah karena anak didik cenderung anrkhis. Pandangan Dewey mengenai
demokrasi dalam pendidikan memberikan kontribusi bagi pengembangan
pendidikan nasional dalam hal mengembangkan kualitas manusia secara
individual.
10
Tesis Filsafat Pendidikan Alfred North Whitehead dalam The Aims of
Education and other Essays ditulis oleh Andri Prianto tahun 2004. Tesis oleh
mahasiswa filsafat UGM ini mencoba menyelidiki gagasan filsafat Alfred North
Whitehead mengenai pendidikan yang terdapat dalam karyanya berjudul the Aims
of education and other essay. Whitehead berpandangan bahwa peserta didik dan
guru merupakan sosok yang dinamis. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan
adalah tercapainya pengetahuan dan kebijaksanaan. Kurikulum yang disampaikan
adalah kurikulum yang mampu mencakup nilai dan realitas.
Tesis Konsep Filsafat Pendidikan Hamka dalam Sistem Pendidikan
Nasional oleh Eknathon, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM tahun 1999.
Penelitian ini bertujuan mengetahui konsepsi filsafat pendidikan menurut Hamka
dan relevansinya bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Kesimpulan
dari tesis ini bahwa konsepdasar filsafat pendidikan Hamka bercorak
esensialisme.
Skripsi Konsep Pendidikan Multikultural menurut Perspektif Filsafat
Pendidikan Progressivisme John Dewey ditulis oleh R. Adhi Putro H tahun 1997.
Penelitian ini menjelaskan bahwa pendidikan progressivisme John Dewey
menekankan pada pengalaman yang diperoleh dalam interaksi sosial. Interaksi
pengalaman penting dalam membentuk pengalaman yang edukatif. Pendidikan
multikultural merupakan aplikasi dari multikulturalisme dalam pendidikan yang
menjawab segala persoalan dalam masyarakat multikultural. Pendidikan
multikultural menurut filsafat pendidikan progressivisme John Dewey merupakan
11
suatu pendidikan yang berdasar pada pengalaman, selalu dalam proses
perkembangan sesuai dengan realita yang senantiasa berubah.
Skripsi Titik Temu Pandangan Hsun Tzu dan Progressivisme tentang
Pendidikan ; Sebuah Kajian Filsafat Pendidikan, oleh Ibrahim tahun 1995.
Ibrahim mengemukakan bahwa antara Progressivisme dengan pandangan Hsun
Tzu memiliki keterkaitan dalam beberapa aspek, pertama kesesuaian pendapat
tentang metode pendidikan yang baik tidaklah bersifat “menjejali” atau otoriter.
Kedua Hsun Tzu sangat menghargai perubahan-perubahan dalam diri manusia
sama halnya dengan progressivisme yang mengusung kata perubahan yang
senantiasa berkembang dalam proses pendidikan manusia. Terakhir, pendidikan
tidak dipengaruhi oleh faktor keturunan atau warisan apalagi faktor kekayaan.
Faktor yang lebih berpengaruh adalah untuk mencapai derajat yang lebih tinggi
sehingga hak-hak istimewa dalam pendidikan adalah hak yang harus ditolak.
Konsep pendidikan Hsun Tzu yang memiliki kesesuaian dengan Progressivisme
tercermin dalam sistem pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah otonomi
sekolah.
Skripsi Konsep Kurikulum dalam Pendidikan Menurut John Dewey ditulis
oleh Nofi Nachriatun Nurchijah tahun 2003. Nofi dalam skripsinya
mendeskripsikan bahwa menurut John Dewey kurikulum memiliki sifat yang luas
dengan jangka waktu yang tidak terbatas pada ruang. Tugas guru terhadap
kurikulum ialah menjembatani perbedaan yang terdapat pada gagasan bahan
ajaran dan gagasan asing yang ada dalam diri peserta didik. Teori yang diterima
oleh anak didik hendaknya sebanding dengan apa yang dimuat oleh kurikulum
12
dan semua bidang studi harus tunduk pada pertumbuhan anak. Isi kurikulum
hendaklah sesuai dengan kemampuan anak, tidak ada kesenjangan yang jauh
antara teori dan praktek dalam kurikulum. Kurikulum John Dewey dapat
disimpulkan adalah kurikulum eksperimental karena ilmu pengetahuan yang
terdapat pada kurikulum ialah ilmu pengetahuan yang didapatkan dari
pengalaman. Ilmu pengetahuan senantiasa berubah, karena bersifat dinamis tidak
statis jadi menjadi hal yang wajar kalau kurikulum pendidikan juga senantiasa
berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Skripsi Konsep Pendidikan Dalam model Kurikulum 1994, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menurut
Perspektif Filsafat Pendidikan Konstruksivisme oleh Marfuah Puji Astuti tahun
2012. Marfuah mencoba menjelaskan bahwa ketiga kurikulum yang ada di
Indonesia yaitu Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan sama-sama berorientasi pada keaktifan siswa.
Perbedaannya terletak pada pergeseran fungsi guru. Kurikulum 1994 lebih
memusatkan pada guru sebagai pusat sedangkan pada KBK dan KTSP guru
sebagai fasilitator sedangkan siswa sebagai pusat. Perbedaan lainnya bahwa
materi pendidikan Kurikulum 1994 lebih difokuskan pada aspek kognitif,
sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Jurnal Education and Culture dengan judul “John Dewey’s View of the
Curriculum in The Child and the Curriculum” oleh Douglas J. Simpson dan
Michael J. B. Jackson Vol 20 No 2 tahun 2003. Douglas dan Michael memberikan
13
pemahaman mengenai kurikulum yang dijelaskan oleh John Dewey dalam
bukunya The Child and the Curriculum bahwa kurikulum yang baik harus
berpusat pada kebutuhan dan keinginan siswa sebagai subyek pendidikan.
Pembelajaran dalam dunia pendidikan harus bersifat dinamis tidak statis.
Jurnal Kurikulum dan Pengajaran Asia Pasifik dengan judul “Kurikulum
ke arah Penghasilan Kemahiran Berpikir Kritis, kreatif, dan Inovatif” oleh Abu
Bakar Nordin Vol 1 No 1 tahun 2013. Penelitian ini menjelaskan bahwa sistem
pendidikan dalam dunia global mengalami peningkatan dan perkembangan.
Budaya belajar yang berpikir kritis, kreatif, dan inovatif harus digerakkan oleh
bangsa mana pun agar tidak tergerus perkembangan zaman. Generasi yang
dihasilkan pun akan menjadi generasi yang unggul bukan generasi yang usang.
Jurnal UNIERA dengan judul “Progressivisme Pendidikan dan
Relevansinya di Indonesia” oleh Ricardo F. Nanuru Vol 2 No 2 ISSN 2086-0404
tahun 2013. Progressivisme yang menekankan pada kebebasan anak dalam
berkreasi merupakan hal yang menarik bagi perkembangan pendidikan di
Indonesia. Ricardo menjelaskan bahwa dengan memberikan ruang lebih banyak
dan terbuka bagi pengembangan SMK diharapkan progressivitas pendidikan
Indonesia dapat ditingkatkan. Alasannya adalah SMK menekankan hubungan
yang linear antara pendidikan dengan dunia kerja yang sesuai keterampilan atau
pengalaman.
14
3. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi :
1) Bagi masyarakat
Memberikan pemahaman dan pandangan baru mengenai kurikulum
pendidikan yang ada di Indonesia khususnya mengenai kurikulum
2013.
2) Bagi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Menambah khasanah filsafat dan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran filsafat mengenai filsafat pendidikan progressivisme dalam
memandang kurikulum tahun 2013.
3) Bagi Peneliti
Menambah pengalaman serta memberi pengetahuan yang lebih
mengenai filsafat pendidikan pada umumnya dan kurikulum
pendidikan pada khususnya.
B. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan isi kurikulum 2013 secara jelas dan komprehensif.
b. Menjelaskan landasan-landasan filsafat yang ada dalam kurikulum
2013.
c. Merefleksikan pandangan progressivisme dalam pengembangan
kurikulum 2013 di Indonesia.
15
C. Tinjauan Pustaka
Setiap penyusun kurikulum hendaknya senantiasa mempelajari keadaan,
perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat. Kurikulum yang seragam
diyakini mematikan inisiatif guru, mengekang kebebasan dan menutup
kemungkinan untuk menyesuaikan kurikulum dengan keadaan masyarakat dan
kebutuhan murid-murid setempat. Kurikulum yang seragam juga bertentangan
dengan prinsip untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan individual.
Padahal pada masa modern tugas pendidikan untuk mempersiapkan anak agar
dapat berdiri sendiri dibebankan kepada sekolah (Nasution, 1982 : 110-132).
Kurikulum secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Curir yang
artinya pelari dan Curare yang artinya tempat berpacu. Istilah kurikulum
mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis
awal menuju garis akhir. Kurikulum dalam bidang pendidikan memiliki makna
seperangkat perencanaan yang dijadikan acuan pendidikan untuk menjalankan
proses pendidikan mulai dari awal hingga akhir (Hasan, 1986 : 176).
Schubert (1986, 31) menekankan bahwa pemahaman kurikulum memuat
dari kurikulum sebagai mata pelajaran yang berhubungan dengan daftar mata
pelajaran yang diajarkan ke kurikulum sebagai kecakapan hidup. Kurikulum
sebagai program kegiatan memiliki arti perencanaan ruang lingkup, urutan,
keseimbangan mata pelajaran, teknik mengajar, cara-cara memotivasi siswa, dan
hal-hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya dalam pelajaran. Kurikulum
sebagai hasil belajar yang bertujuan untuk memberikan fokus hasil belajar yang
16
dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Kurikulum sebagai reproduksi
kebudayaan yang bertujuan mencapai tujuan nasional dan membangun generasi
yang mempunyai peradaban dan martabat yang tinggi. Kurikulum sebagai tugas
dan konsep yang merupakan interpretasi kecakapan hidup manusia.
Kurikulum bukan hanya mementingkan tujuan pendidikan saja tetapi juga
pembelajaran dan pengembangan kepribadian. Kurikulum penting untuk
menunjukkan pemilihan dan pengorganisasian substansi yang akan mencerminkan
investasi dalam pola kegiatan pembelajaran (Taba, 1962 : 6).
John Dewey berpendapat bahwa kurikulum yang baik harus
mencerminkan miniatur masyarakatnya. Kurikulum harus dapat mengembangkan
minat maupun kemampuan individu sehingga individu mampu berperan secara
aktif baik di lingkungan sekolahnya maupun di masyarakat. Murid harus diberi
kebebasan yang bertanggung jawab agar timbul sikap kreatif dalam menjalani
kehidupan dan menyelesaikan masalah (Dewey, 1962 : 23).
Kurikulum pendidikan hendaknya bersifat fleksibel dan harus lebih
banyak bersangkutan dengan proses belajar daripada sekedar untuk memperoleh
seperangkat informasi (Subiyanto, 1991 : 11), serta disusun berdasarkan tujuan
pendidikan yang berorientasi pada anak (Brubacher, 1978 : 238). Dewey
menempatkan anak secara khusus di dalam kurikulum, dan selanjutnya
menyatakan :
“it is his present power which are to assert themselves ; his present capacities which are to be exercised ; his present attitudes which are to be realized. But save as the teacher knows, knows wisely and
17
thoroughly, the race expression whichis embodied in that thing we call the Curriculum, the teacher knows neither what the present power, capacity, or attitude is, nor yet how it is to be asserted, exercised, and realized” (Dewey, 1962 : 31).
Tugas sekolah ialah memilih dan menyederhanakan unsur-unsur
kebudayaan yang dibutuhkan individu untuk berpartisipasi di dalam masyarakat.
Sekolah di satu pihak dapat memajukan kehidupan masyarakat, dan di pihak lain
sekolah yang maju hanya dapat ditemukan di dalam masyarakat yang telah maju
pula (Dewey, 1962 : 6-7).
Kurikulum yang baik secara lebih khusus menyatakan bahwa agar anak
sebagai subyek didik mampu berpikir lebih kompleks dan kontinuitas. Aktivitas
anak akan berkembang menjadi lebih rumit. Pola bermain dan bekerja harus
diterapkan dalam dunia kurikulum pendidikan agar proses penambahan
pengetahuan yang terserap dalam diri peserta didik terasa menyenangkan tidak
bersifat otoriter. Seperti yang dikatakan oleh Dewey (1964 : 205) :
It is the fact that the aim is thought of as more activity in the same line, without defining contunuity of action in reference to results produced. Activities as they grow more complicated gain added meaning by greater attention to specific results achieved.
Kurikulum yang baik menurut progressivisme juga dapat bersifat dinamis serta
sesuai dengan perkembangan zaman.
Kurikulum progressivisme menekankan pada anak didik. Semua bidang
studi harus tunduk pada pertumbuhan anak. Isi kurikulum hendaklah sesuai
dengan kemampuan anak, tidak ada kesenjangan yang jauh antara teori dan
praktek dalam kurikulum. Kurikulum progressivisme John Dewey dapat
disimpulkan adalah kurikulum eksperimental karena ilmu pengetahuan yang
18
terdapat pada kurikulum ialah ilmu pengetahuan yang didapatkan dari
pengalaman. Ilmu pengetahuan senantiasa berubah, karena bersifat dinamis tidak
statis jadi menjadi hal yang wajar kalau kurikulum pendidikan juga senantiasa
berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Nofi, Skripsi, 2003 : 23).
Kurikulum pendidikan nasional dalam perjalanan sejarah sejak tahun
1945, telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 1999, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Kurikulum
sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis
sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat
(Darmaningtyas, 2012 : 216).
Herliyati (2008 : 25) menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka dalam
pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum
sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum
berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), serta kurikulum berbasis
kompetensi (2004 dan 2006).
Perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar karena zaman juga
berubah. Perkembangan kurikulum di Indonesia lebih bersifat pada
penyempurnaan kurikulum. Kurikulum 1994, 2004, dan 2006 merupakan contoh
nyata penyempurnaan tersebut. Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis
Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sama-sama berorientasi
19
pada keaktifan siswa. Perbedaannya terletak pada pergeseran fungsi guru.
Kurikulum 1994 lebih memusatkan pada guru sebagai pusat sedangkan pada
KBK dan KTSP guru sebagai fasilitator sedangkan siswa sebagai pusat.
Perbedaan lainnya bahwa materi pendidikan Kurikulum 1994 lebih difokuskan
pada aspek kognitif, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menekankan pada aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik (Marfuah, Skripsi, 2012 : 102).
D. Landasan Teori
Filsafat pendidikan merupakan salah satu dari cabang filsafat yang
memiliki konsentrasi pada pendidikan sebagai dasar pemikiran. Filsafat
pendidikan memiliki banyak aliran dasar yang berbeda-beda antara lain yaitu
idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, perennialisme, essensialisme,
progressivisme, dan rekonstruksivisme. Aliran pendidikan yang cukup banyak itu
menunjukkan bahwa pendekatan manusia mengenai pendidikan berbeda-beda.
Idealisme dan realisme merupakan dua aliran filsafat pendidikan yang
paling tua. Idealisme adalah aliran filsafat pendidikan yang mengatakan bahwa
realitas sifatnya tidak dapat berubah, pengetahuan dapat diperoleh dengan
memikirkan ide-ide bawaan yang terdapat dalam diri manusia dan nilai dari
pengetahuan manusia adalah abadi dan absolut. Realisme berlawanan dengan
idealisme, realitas menurut realisme adalah berasak dari hukum alam bersifat
objektif dan tersusun dari materi, pengetahuan bukan diperoleh dengan
20
memikirkan ide-ide tetapi melalui sensasi dan abstraksi, nilai yang diperoleh
adalah sama dengan hukum-hukum alam (Ornstein & Allan, 1985 : 188).
Pragmatisme atau eksperimentalisme memiliki teori yang berbeda.
Menurut pragmatisme, realitas adalah interaksi antara individu dengan lingkungan
maka pengetahuan pendidikan dapat diperoleh melalui pengalaman dan metode
alam, nilai yang dihasilkan bersifat relatif dan situasional. Sementara itu, ada lagi
filsafat pendidikan eksistensialisme yang mengatakan bahwa realitas bersifat
subyektif, pengetahuan didapat melalui pilihan personal dan nilai dari filsafat
pendidikan eksistensialisme adalah bebas dalam memilih.
Perennialisme merupakan teori filsafat pendidikan yang mempunyai
tujuan untuk mendidik manusia secara rasional. Akar dari perennialisme adalah
realisme. Perennialisme lebih bersifat regressif karena mementingkan pandangan-
pandangan pendidikan pada zaman dahulu. Pengetahuan pendidikan bersifat abadi
dan tidak berubah. Materi kurikulum dalam perennialisme bersifat hierarki yang
berfungsi untuk mengolah dan memperkuat subyek didik menjadi orang-orang
yang pandai.
Essensialisme adalah teori filsafat pendidikan yang didasarkan pada
idealisme dan realisme. Essensialisme bertujuan agar peserta didik mampu
menjadi orang yang berguna dan kompeten di bidang masing-masing. Kurikulum
yang digunakan dalam essensialisme adalah pelajaran dasar seperti membaca,
menulis, aritmatika, sejarah, ilmu pengetahuan alam dan bahasa (Ornstein &
Allan, 1985 : 189). Ciri khas dari pendidikan yang bercorak essensialisme adalah
21
menggunakan pembagian mata pelajaran dalam mendidik peserta didik seperti
pelajaran alam, pelajaran sosial, pelajaran bahasa dan sebagainya.
Progressivisme pendidikan merupakan teori pendidikan yang basisnya
adalah pragamatisme. Pendidikan progressif mempunyai tujuan untuk mendidik
individu atau siswa didik agar sesuai dengan keinginan, hasrat dan kebutuhan.
Kurikulumnya lebih mendasarkan pada aktivitas dan proyek-proyek.
Progressivisme merupakan teori pendidikan yang lebih menekankan pada
pengembangan peserta didik sebagai sumber utama. Pembelajarannya adalah
student center learning.
Penelitian tesis ini menggunakan aliran filsafat pendidikan progressivisme
sebagai landasan teori. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teori
pendidikan progressivisme sebagai pisau analisis karena aliran ini sangat cocok
untuk menjelaskan dinamika kurikulum yang berkembang.
Kata kunci untuk memahami filsafat pendidikan progressivisme adalah
dengan melihat kata sifat yang terkandung dalam terminologi tersebut, yakni kata
“progresif”. Kemajuan (progress) bersifat alamiah (naturalistic) yang
mengimplikasikan perubahan. Perubahan mengimplikasikan kebaruan. Kebaruan
tersebut terdapat di dalam realitas. Pendidikan yang progressif selalu menekankan
bagaimana cara memecahkan masalah terhadap realitas yang selalu mengalami
perubahan atau dengan kata lain pendidikan yang progresif selalu mencoba
mengembangkan inisiatif dan kepercayaan diri seseorang. Brubhacer (1978 : 330)
mengatakan :
22
“Progress is naturalistic, it implies change. Change implies novelty and novelty lays claim to being genuine rather than the revalation of an antecedently complete reality”.
Pemikiran progressivisme memunculkan definisi kurikulum yang tak
terbantahkan. Kurikulum sebagai kegiatan belajar di mana terdapat pertemuan
ruang kelas yang di sana disajikan beberapa bagian dari materi pelajaran dalam
jangka waktu tidak terbatas dan pembawaannya tidak dapat didefinisikan dalam
ruang. Dewey juga menerima asumsi tentang penyusunan materi pokok yang
harus diberikan kepada murid (Jackson, 1992 : 6).
Progressivisme memiliki pandangan bahwa kurikulum yang baik berasal
dari siswa sebagai subyek didik.
“Progressives generally were not interested in using the curriculum to transmit subjects to student. Rather, the curriculum was to come from the child. Learning could take a variety of forms such as problem such as problem solving, field trips, creative artistic expression, and projects. Above all, progressives saw the teaching-learning as active, exciting and everchanging” (Oinstein dan Levine, 1985: 205).
Subyek didik selalu berkembang, maka kurikulum pun dapat berkembang dan
berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Pembelajaran aktif sangat
diperlukan bagi siswa atau subyek didik di sekolah.
Progressivisme memiliki 6 prinsip dasar menurut Gutek salah seorang
filsuf pendidikan. Keenam hal itu antara lain kebebasan bagi siswa, minat, guru
lebih sebagai fasilitator, prestasi siswa ditekankan pada penggabungan berbagai
aspek seperti sikap mental, moral dan sosial, pertumbuhan siswa bukan hanya di
dapat dengan belajar di sekolah tetapi juga bisa di rumah, serta sekolah
23
merupakan laboratorium bagi siswa agar mampu berinovasi mengembangkan ide
dan praktek.
“(1) progressive aducation should provide the freedom that would encourage the child’s natural development and growth through activities which cultivate his initiative, creativity, and self-axpression; (2) all instruction should be guided by the child’s own interest, stimulated by contact with the real world; (3) the progressive teacher is to guide the child’s learning as a director of reaserch activities, rather than a drill or task master; (4) student achievement is to be measured in terms of mental, physical, moral and social development; (5) there should be greater coopration between the teacher and school and the home and the family in meeting the child’s needs for growth and development; (6) the truly progressive school should be a laboratory in innovative education ideas and practices” (Gutek, 1985: 140).
Keenam prinsip dasar progressivisme itu menjadi sesuatu yang mampu merombak
pola pendidikan agar selalu berjalan maju.
Metode yang digunakan dalam kurikulum progressivisme adalah tematik
dan dapat berintegrasi.
The curriculum must be an integrated one so as to produce an integrated personaliny. The method, as far as possible, should be that of self discovery, and engaging in group learning (Akinpelu, 1981 : 64).
Progressivisme menekankan pada harapan agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara alamiah baik jasmani maupun rohani. Pendidikan merupakan
suatu proses aktif dan konstruktif. Pendidikan menurut Dewey berarti suatu proses
yang benar-benar sangat utama. Pendidikan juga dapat disebut sebagai aktivitas
pengembangan dan pembentukan khususnya pengembangan manusia dalam aspek
sosial.
Education means just a process of leading or bringing up. When we have the otcame of the process in mind, we speak of education as shaping,
24
forming, molding activity, that is, a shaping into the standard form of social activity (Dewey, 1964 : 10).
Progressivisme merupakan suatu aliran filsafat yang sifatnya maju dan
terbuka. Siswa menjadi subyek didik, guru sebagai fasilitator, serta
pengembangan minat dan bakat pada siswa menjadi acuan. Progressivisme akan
peneliti gunakan menjadi pisau analisis bagi pengembangan proses kurikulum di
Indonesia khususnya kurikulum 2013. Kurikulum yang memiliki banyak landasan
filsafat ini sejatinya memiliki warna landasan filsafat progressivisme yang harus
diungkap.
E. Metode Penelitian
1. Bahan penelitian
Penelitian yang peneliti lakukan berupa penelitian kepustakaan. Penelitian
ini merupakan tipe penelitian kualitatif tentang masalah aktual. Penelitian filsafat
jenis ini menggunakan objek material masalah aktual yang sedang dihadapi
manusia dewasa ini dan objek formal cabang filsafat yaitu filsafat pendidikan
(Kaelan, 2005 : 292).
Peneliti dalam melakukan kajian menelusur berbagai literatur yang
tersedia, baik itu berupa buku, dokumen, naskah kurikulum, jurnal, makalah,
artikel, dan laporan penelitian. Peneliti untuk penelitian ini mencoba
mensistemasikan data dari berbagai literatur-literatur tersebut dalam dua bagian :
a. Data primer, yaitu data yang dijadikan rujukan utama dalam
penelitian ini. Sumber yang dijadikan sebagai data primer adalah:
25
1. Dokumen kurikulum 2013 Permendikbud Nomor 67, 68,
dan 69 tahun 2013
2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 81A tahun 2013
3. Salinan Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang SKL
4. Salinan Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang standar
proses
5. Salinan Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang standar
nilai
b. Data sekunder, yaitu berupa buku, artikel atau jurnal yang
menunjang penelitian ini diantaranya adalah :
1. Akinpelu, J. A. 1981. Philosophy of Education. London :
Macmillan Publisher.
2. Barnadib, Imam. 1976. Sistim-sistim Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta : Yayasan Penerbitan FIP-IKIP.
3. Brubacher, John S. 1962. Eclectic Philosophy of
Education. New Jersey : Prentice Hall.
4. Ornstein, Allan C. & Levine, Daniel U. 1985. An
Introduction to the Foundations of Education. Boston :
Houghton Mifflin Company.
5. Dewey, John. 1962. The Child And the Curriculum
Cetakan keenam. Chichago : The University of Chichago.
26
6. Dewey, John. 1964. Democracy and Education. Cetakan
keempat. New York : The Macmillan, Company.
7. Dewey, John. 1963. Experience & Education. New York:
Macmillan Company.
8. Gutek, Gerald Lee. 1985. Philosopical Alternatives in
Education.Chichago : The University of Chichago.
2. Jalan penelitian
1. Inventarisasi data : mengumpulkan dan menginventarisir semua data
yang berhubungan dengan penelitian. Peneliti mengumpulkan berbagai
data baik yang berupa sumber buku, naskah penelitian, dokumen, surat
kabar, essai atau jurnal untuk dikaji lebih mendalam.
2. Klasifikasi data : memilah data yang telah diperoleh menjadi data
primer, data sekunder dan data pendukung. Peneliti melakukan
pemisahan dan klasifikasi data agar memudahkan dalam mengkaji
penelitian.
3. Analisis : menganalisis semua data yang ada baik itu data
primer maupun data sekunder dengan metode penelitian yang peneliti
gunakan dalam rangka memperoleh kesimpulan akhir.
4. Penyusunan hasil : hasil yang diperoleh dari analisis kemudian
diuraikan kembali dalam bentuk tulisan yang sistematis.
3. Analisis hasil
Penelitian ini menggunakan unsur-unsur metodis sebagai berikut:
27
Deskripsi : metode ini digunakan untuk memberikan uraian dan
gambaran yang jelas serta utuh dengan memaparkan segenap pemikiran
yang berkaitan dengan pemikiran progressivisme dengan kurikulum 2013.
Verstehen : metode ini digunakan untuk lebih memahami secara
komprehensif mengenai pemikiran tentang progressivisme khususnya
yang mengenai kurikulum.
Interpretasi : setelah data terkumpul dan mencukupi untuk diteliti,
peneliti menyelami dan mendalaminya sehingga didapatkan arti dan
makna progressivisme yang dapat digunakan untuk memandang
permasalahan kurikulum 2013.
Holistik : analisis ini digunakan oleh peneliti untuk memahami
data secara menyeluruh sehingga benar-benar didapatkan pemahaman
yang tepat. Pokok pikiran sentral dari Progressivisme dijadikan acuan
untuk melakukan interpretasi dalam rangka menemukan pemahaman yang
holistik berkaitan dengan adanya kurikulum pendidikan tahun 2013 yang
lebih menekankan pada perkembangan peserta didik.
Refleksi : metode ini digunakan untuk mengembangkan inspirasi
baru yang didapat selama penelitian setelah diperoleh pemahaman yang
komprehensif dari hasil penelitian.
Heuristik : metode ini digunakan oleh peneliti setelah melalui
refleksi untuk menemukan hal yang baru mengenai kurikulum pendidikan
di Indonesia dengan sudut pandang filsafat pendidikan progressivisme.
28
F. Hasil yang Telah Dicapai
Hasil yang telah peneliti capai dalam penelitian ini adalah mampu
memperoleh jawaban dari tiga persoalan yang peneliti sampaikan yaitu :
1) Menemukan hakikat kurikulum secara komprehensif khususnya
mengenai kurikulum 2013
2) Mendapatkan pemahaman landasan filsafat yang dipakai dalam
kurikulum 2013
3) Menemukan sumbangsih pemikiran pandangan progressivisme
pendidikan dalam pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini ditulis rencananya dalam 5 bab :
Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah
(tercakup di dalamnya rumusan masalah, keaslian penelitian, dan manfaat
penelitian), tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian
(mencakup bahan penelitian, jalan penelitian, dan analisis hasil), hasil yang
dicapai, dan sistematika penelitian.
Bab II bercerita mengenai objek formal dalam penelitian ini yaitu
progressivisme pendidikan sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan. Peneliti
mencoba menguraikan pemahaman progressivisme mulai dari lahirnya
progressivisme yang pemikiran dasarnya berbeda dengan perennialisme,
kemudian penjelasan mengenai pokok-pokok pikiran progressivisme, sampai pada
tujuan dari filsafat pendidikan progressivisme.
29
Bab III berisi pembahasan objek material yaitu kurikulum pendidikan
khususnya kurikulum 2013. Peneliti menjelaskan mulai dari definisi kurikulum
secara umum dari banyak tokoh, kurikulum pendidikan Indonesia dari masa ke
masa, lahirnya kurikulum 2013, komponen kurikulum 2013 hingga akhirnya
tujuan dari dibentuknya kurikulum 2013.
Bab IV menguraikan analisis dari dua objek formal dan objek material.
Analisis kurikulum 2013 dalam sudut pandang progressivisme. Peneliti memulai
dengan penjelasan yang komprehensif mengenai hakikat kurikulum 2013,
landasan filsafat kurikulum 2013, kemudian menjelaskan warna progressivisme
yang ada dalam kurikulum 2013, kelebihan dan kekurangan kurikulum 2013
menurut progressivisme yang dianalisis secara seksama, hingga terakhir
sumbangsih pemikiran progressivisme bagi pengembangan kurikulum 2013 di
Indonesia.
Bab V berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran dari penelitian
ini.