1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembuatan gel dengan sifat fisik tertentu yang sesuai dengan tujuan
penggunaan dapat dilakukan dengan mencampurkan dua atau lebih basis atau
bahan pembentuk gel (Lieberman dkk., 1998). Kombinasi basis karbomer dan
HPMC dapat membentuk massa gel yang baik secara fisik dibandingkan
penggunaan basis tunggalnya (Quinones & Ghaly, 2008).
Karbomer dan HPMC tergolong basis gel hidrofilik. Basis gel yang bersifat
hidrofilik memiliki daya sebar yang baik pada kulit, mudah dicuci dengan air,
memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan
obatnya baik. Keunggulan kedua basis tersebut dibanding basis lain adalah dapat
menghasilkan gel yang bening, mudah larut dengan air, mudah diaplikasikan pada
kulit, tidak mengiritasi dan nyaman digunakan pada kulit (Anwar, 2012).
Gel merupakan salah satu bentuk sediaan topikal yang masih banyak diminati
konsumen maupun industri obat dan kosmestika. Gel dengan sifat fisik yang
optimum dapat meningkatkan efektifitas terapi dan kenyamanan penggunaan.
Sifat fisik gel yang optimum dapat diperoleh melalui optimasi formula gel dengan
mengkombinasikan dua atau lebih basis yang berbeda.
2
Bentuk sediaan gel dipilih karena mempunyai beberapa keunggulan
dibanding jenis sediaan topikal lain, yaitu memiliki kemampuan pelepasan obat
yang baik, mudah dibersihkan dengan air, memberikan efek dingin akibat
penguapan lambat di kulit, mempunyai kemampuan penyebaran yang baik di kulit
serta tidak memiliki hambatan fungsi rambut secara fisiologis (Voigt, 1984).
Asam salisilat sebagai zat aktif merupakan contoh senyawa farmasetis yang
memiliki banyak manfaat dalam berbagai jenis pengobatan topikal yang masih
banyak digunakan hingga saat ini (Effendi dkk., 2012).
Metode SLD (Simplex Lattice Design) digunakan untuk menentukan formula
optimum kombinasi basis karbomer dan HPMC. Keuntungan dari metode ini
adalah praktis dan cepat karena bukan merupakan penentuan formula dengan trial
and error. Verifikasi dilakukan pada formula yang memiliki respon paling
optimum untuk mengetahui validitasnya (Armstrong & James, 1996).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan formula optimum gel asam salisilat dengan sifat fisik optimum
menggunakan metode Simplex Lattice Design serta mengetahui validitas dari
formula optimum tersebut melalui proses verifikasi.
3
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh interaksi karbomer dan HPMC terhadap sifat fisik
gel asam salisilat?
2. Berapakah perbandingan konsentrasi dari kombinasi basis karbomer dan
HPMC yang dapat menghasilkan formula gel asam salisilat dengan sifat fisik
optimum menggunakan metode Simplex Lattice Design?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh interaksi karbomer dan HPMC terhadap sifat fisik gel
asam salisilat.
2. Mencari perbandingan konsentrasi dari kombinasi basis karbomer dan HPMC
yang dapat menghasilkan formula gel asam salisilat dengan sifat fisik
optimum menggunakan metode Simplex Lattice Design.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran bahwa formulasi sediaan gel
dengan sifat fisik optimum dapat dilakukan dengan mengkombinasikan basis gel
yang berbeda. Pemilihan basis mempunyai peranan yang cukup penting dalam
formulasi sediaan gel. Gel dengan sifat fisik yang optimum akan meningkatkan
kenyamanan dalam penggunaan oleh pemakainya serta ketercapaian efek terapi.
Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan kemanfaatan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kefarmasian di Indonesia.
4
E. Tinjauan Pustaka
1. Gel
Bentuk-bentuk sediaan topikal ada beberapa macam antara lain krim, gel,
salep dan pasta (Lachman dkk., 2008). Gel merupakan sistem semipadat terdiri
dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik
yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Anonim, 2014). Definisi lain gel
adalah suatu sistem semipadat dimana pergerakan dari medium pendispersi
terbatas oleh jalinan tiga dimensi dari partikel atau molekul dari fase terdispersi
(Gennaro, 2001). Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih,
tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai
kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase
terdispersi (Ansel, 1989).
Sediaan gel mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki viskositas dan
daya lekat tinggi sehingga tidak mudah mengalir pada permukaan kulit, memiliki
sifat tiksotropi sehingga mudah merata bila dioles, tidak meninggalkan bekas,
hanya berupa lapisan tipis seperti film saat pemakaian, mudah tercucikan dengan
air, dan memberikan sensasi dingin setelah digunakan, mampu berpenetrasi lebih
jauh dari krim, sangat baik dipakai untuk area berambut dan lebih disukai secara
kosmetika, gel segera mencair jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu
lapisan dan absorpsinya pada kulit lebih baik daripada krim (Sharma, 2008).
5
Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik
meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-
bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksi etil selulosa,
karboksi metil selulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis
dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan, atau
diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel
(Lachman dkk., 2008). Bahan pembentuk gel untuk farmasi dan kosmetik
idealnya harus bersifat inert, aman dan tidak bereaksi dengan bahan-bahan lain
dalam formula, tidak menunjukkan perubahan viskositas yang berarti pada
penyimpanan normal (Zats & Gregory, 1996).
Konsistensi gel disebabkan oleh bahan pembentuk gel yang pada umumnya
akan membentuk struktur tiga dimensi setelah mengabsorpsi air. Gel dapat
mengembang, mengabsorpsi larutan dengan peningkatan volume. Pengembangan
dapat terlihat sebagai tahap awal dari disperse dimana fase luar terpenetrasi
kedalam matriks gel dan menyebabkan adanya interaksi antara pembentuk gel dan
solven, sehingga gel merupakan interaksi antara unit-unit pada fase koloidal dari
senyawa organik maupun anorganik yang membentuk structural viscosity yang
tidak memisah dari fase luar. Karakteristik gel yang digunakan harus sesuai
dengan tujuan penggunaan gel. Gel topikal tidak boleh terlalu liat, konsentrasi
bahan pembentuk gel yang terlalu tinggi atau penggunaan bahan pembentuk gel
dengan berat molekul yang terlalu besar dapat mengakibatkan sediaan sulit
dioleskan dan didispersikan (Zats & Gregory, 1996).
6
Sediaan gel memiliki sifat sebagai berikut (Lachman dkk., 2008) :
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah inert,
aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan yang
baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan diberikan
kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam botol, pemerasan
tube, atau selama penggunaan topikal.
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan yang
diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau BM
besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau digunakan.
5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh
polimer seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang
akan membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan
tersebut akan membentuk gel.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
pemanasan disebut thermogelation.
Sifat dan karakteristik gel (Zats & Gregory, 1996), meliputi :
1. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi
larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi diantara
matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan gel
7
kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di dalam matriks gel yang
dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang.
2. Sineresis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan
yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu
pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang
tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat
adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada
ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga
memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada
hidrogel maupun organogel.
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui penurunan
temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga
suhu tertentu. Polimer separti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin
membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang
disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation.
4. Efek elektrolit
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel hidrofilik
dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada
dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan
konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu
8
untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan
segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium yang
disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium
alginat yang tidak larut.
5. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas
dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten
terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur
gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi
memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas dan menunjukkan jalan aliran
non–Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju
aliran.
Dalam pembuatan gel, pemilihan basis dapat mempengaruhi karakter gel
yang terbentuk (Liebermen, 1998). Basis gel dibedakan menjadi basis gel
hidrofobik dan basis gel hidrofilik. Gel dengan basis hidrofilik yang bersifat
memperlambat pengeringan merupakan bahan yang cocok untuk penggunaan
topikal karena mampu bertahan lama pada permukaan kulit (Bakker dkk., 1990).
Sistem koloid pada gel hidrofilik juga lebih mudah dibuat dan memiliki stabilitas
yang lebih besar dibanding hidrofobik (Ansel, 1989). Dasar gel hidrofobik terdiri
dari fase anorganik. Interaksi yang terjadi antara dasar gel hidrofobik dengan fase
9
pendispersinya hanya sedikit. Bahan hidrofobik tidak menyebar dengan spontan
(Ansel, 1989).
Penggolongan gel, dibagi berdasarkan :
A. Berdasarkan sifat fasa koloid (Lieberman, 1998), meliputi :
a. Gel anorganik, contoh : bentonit magma.
b. Gel organik, pembentuk gel berupa polimer.
B. Berdasarkan sifat pelarut (Lieberman,1998), meliputi :
a. Hidrogel (pelarut air)
Hidrogel pada umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik yang
saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti interaksi
ionik, ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel mempunyai
biokompatibilitas yang tinggi sebab hidrogel mempunyai tegangan permukaan
yang rendah dengan cairan biologi dan jaringan sehingga meminimalkan kekuatan
adsorbsi protein dan adhesi sel, hidrogel menstimulasi sifat hidrodinamik dari gel
biologikal, sel dan jaringan dengan berbagai cara, hidrogel bersifat lunak, elastis
sehingga meminimalkan iritasi karena friksi pada jaringan sekitarnya. Kekurangan
hidrogel yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan yang rendah setelah
mengembang. Contoh : bentonit magma, gelatin.
b. Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)
Contoh : plastibase (suatu polietilen dengan BM rendah yang terlarut dalam
minyak mineral dan didinginkan secara shock cooled) dan dispersi logam stearat
dalam minyak.
10
c. Xerogel
Gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang rendah diketahui
sebagai xerogel. Kondisi ini dapat dikembalikan pada keadaan semula dengan
penambahan agen yang mengimbibisi, dan mengembangkan matriks gel. Contoh :
gelatin kering, tragakan ribbons, acacia tears, selulosa kering dan polystyrene.
C. Berdasarkan karakteristik cairan gel (gel hidrofilik dan gel hidrofobik).
a. Gel hidrofilik, memiliki basis yang umumnya terdiri dari molekul-molekul
organik yang besar dan dapat dilarutkan dengan fase pendispersi. Sistem koloid
hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki kestabilann yang lebih besar
dibanding hidrofobik. Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan
pengembang, air, penahan lembab dan pengawet (Ansel dkk., 1999). Karakteristik
gel jenis ini mempunyai aliran tiksotropik, tidak lengket, mudah menyebar,
mudah dibersihkan, kompatibel dengan beberapa eksipien dan larut dalam air
(Rowe dkk., 2009).
b. Gel hidrofobik, memiliki basis yang umumnya mengandung parafin cair dan
polietilen atau minyak lemak dengan bahan pembentuk gel koloidal silika atau
aluminium atau zink sabun (Lieberman, 1998). Gel ini tersusun dari partikel-
partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi
interaksi antara basis gel dan fase pendispersi. Basis gel hidrofobik tidak secara
spontan menyebar (Ansel dkk., 1999).
D. Berdasarkan jumlah fasenya (gel fase tunggal dan gel fase ganda).
a. Gel fase tunggal merupakan gel yang terdiri dari makromolekul organik yang
tersebar merata dalam suatu cairan sampai tidak terlihat adanya ikatan antara
11
makromolekul yang terdispersi dengan cairan (Lieberman dkk., 1998). Gel fase
tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik misalnya karbomer atau dari gom
alam, misalnya tragakan (Anonim, 2014).
b. Gel fase ganda merupakan massa gel yang terdiri dari kelompok-kelompok
partikel kecil yang berbeda sehingga gel ini digolongkan sebagai gel fase ganda
atau gel dengan sistem dua fase yang sering disebut magma (Ansel dkk., 1999).
Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar,
massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma, misalnya magma bentonit.
Baik gel maupun magma dapat bersifat tiksotropik, membentuk semipadat jika
dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu
sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas (Anonim, 2014).
Kontrol kualitas sediaan gel, meliputi :
a. Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis bertujuan untuk mendeskripsikan sediaan gel yang
meliputi bentuk, warna, bau, dan kejernihan. Pengamatan dilakukan secara
makroskopis (Paye dkk., 2001).
b. Homogenitas
Pengujian homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan gel yang
dihasilkan sudah tercampurkan dengan homogen dan merata. Pengujian
homogenitas dapat dilakukan dengan cara visual (Paye dkk., 2001). Homogenitas
gel diamati di atas kaca objek dengan adanya bantuan cahaya. Pengamatan
dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat bagian-bagian yang tidak
tercampurkan dengan baik. Gel yang bersifat stabil akan dapat menunjukkan
12
susunan yang homogen. Homogenitas sediaan gel ditunjukkan dengan
tercampurnya bahan-bahan yang digunakan dalam formula gel, baik bahan aktif
maupun bahan tambahan secara merata. Cara pengujian homogenitas yaitu dengan
meletakkan gel pada object glass kemudian meratakannya untuk melihat adanya
partikel-partikel kecil yang tidak terdispersi sempurna.
c. Daya sebar
Pengujian daya sebar bertujuan untuk mengetahui kemampuan penyebaran
sediaan gel yang dihasilkan pada tempat aplikasi. Daya sebar yang baik adalah
jika gel mudah digunakan dengan mengoleskan tanpa memerlukan penekanan
berlebih. Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Kemampuan
menyebar yang baik di kulit sangat diharapkan pada sediaan topikal. Diameter
daya sebar sediaan semipadat berkisar antara 5-7 cm (Garg dkk., 2002). Sejumlah
zat tertentu diletakkan di atas kaca yang berskala kemudian bagian atasnya diberi
kaca yang sama, ditingkatkan bebannya, dan di beri rentang waktu 1-2 menit.
Kemudian diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban, saat
sediaan berhenti menyebar (dengan waktu tertentu secara teratur).
d. Daya lekat
Pengujian daya lekat bertujuan untuk mengetahui waktu retensi atau
kemampuan melekat sediaan gel yang dihasilkan pada saat penggunaan di tempat
aplikasi. Daya lekat merupakan kemampuan sediaan untuk menempel pada
lapisan epidermis. Tidak terdapat persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan
semipadat. Semakin besar kemampuan gel untuk melekat, maka akan semakin
baik penghantaran obatnya.
13
e. Viskositas
Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya pada
saat proses produksi, proses pengemasan, serta sifat-sifat penting pada saat
pemakaian, seperti daya sebar, konsisitensi atau bentuk, dan kelembaban. Selain
itu, viskositas juga dapat mempengaruhi stabilitas fisik dan bioavailabilitasnya
(Paye dkk., 2001). Semakin tinggi viskositas, maka daya lekat akan semakin
besar, sedangkan daya sebarnya akan semakin kecil. Viskositas sediaan dapat
dinaikkan dengan penambahan polimer (Donovan & Flanagan, 1996).
f. pH
Pemeriksaan pH bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman dari sediaan gel
yang dihasilkan. Pengamatan nilai pH dilakukan segera setelah sediaan selesai
dibuat. Sebaiknya besar nilai pH sama dengan nilai pH kulit atau tempat
pemakaian untuk menghindari terjadinya iritasi. pH normal kulit manusia berkisar
antara 4,5-6,5 (Draelos & Lauren, 2006).
14
2. Monografi bahan
A. Asam salisilat
a. Karakteristik dan struktur kimia
Gambar 1. Asam salisilat (Anonim, 2014).
Asam salisilat dikenal juga dengan nama orthohydrobenzoic acid atau 2-
hydroxy-benzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat
mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 101,0% C7H6O3
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Asam salisilat memiliki pKa 2,97.
Bentuk makroskopik asam salisilat berupa serbuk kristal putih, berbentuk jarum
halus dengan rasa agak manis, tidak berbau, dan stabil pada udara bebas. Serbuk
asam salisilat bersifat sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut dalam
etanol dan eter, larut dalam air mendidih, agak sukar larut dalam kloroform,
memiliki khasiat sebagai antifungi dan keratolitikum (Anonim, 2014).
b. Penggunaan Asam Salisilat
Asam salisilat merupakan bahan keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874
(Jabarah dkk., 1997). Hingga saat ini asam salisilat masih digunakan dalam terapi
veruka, kalus, psoriasis, dermatitis seboroik pada kulit kepala, dan iktiosis.
Penggunaannya semakin berkembang sebagai bahan peeling dalam terapi penuaan
kulit, melasma, hiperpigmentasi pascainflamasi dan akne (Nakatsui & Lin, 1998).
15
Berbagai penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting
pada mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu menurunkan ikatan korneosit,
melarutkan semen interselular, melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit.
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan menghilangkan ikatan kovalen
lipid interselular yang berikatan dengan cornified envelope di sekitar keratinosit
(Leveque dkk., 2002). Penggunaan asam salisilat dalam pengobatan semakin
berkembang sebagai bahan peeling dalam terapi penuaan kulit, melasma,
hiperpigmentasi pascainflamasi dan akne (Lee & Kim, 2003). Asam salisilat
diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen, spearmint dan sweet birch.
Saat ini asam salisilat telah dapat diproduksi secara sintetik (Hessel dkk., 2007).
Di Amerika Serikat, berbagai sediaan mengandung preparat asam salisilat
dalam konsentrasi 1-40%. Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Sifat
lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada lapisan epidermis
(Effendi dkk., 2012). Mekanisme kerja asam salisilat adalah melalui pemecahan
struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit
(Imayama dkk., 2000).
Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja asam
salisilat topikal. Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi. Asam salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih
besar (20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap digunakan
pada terapi veruka dan kalus. Pengelupasan secara mekanik dapat meningkatkan
efektivitas kerja asam salisilat topikal. Pasien dapat diedukasi untuk mengusap
kulit dengan spon halus atau handuk basah saat mandi. Pada terapi kalus,
16
pengelupasan dapat pula dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini
akan menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit diberikan asam
salisilat topikal selama beberapa hari (Effendi dkk., 2012). Selain memiliki efek
keratolitik, bahan ini juga memiliki efek keratoplastik, antipruritus, anti-inflamasi,
analgetik, bakteriostatik, fungistatik dan tabir surya. Asam salisilat dan
turunannya diketahui dapat bekerja sebagai tabir surya (Lim, 2008). Mekanisme
efek tabir surya kimiawi asam salisilat melalui transformasi cincin benzena
aromatik pada paparan UV (Hessel dkk., 2007).
Asam salisilat telah teruji dalam terapi berbagai penyakit kulit dengan
manifestasi hiperkeratosis. Selain itu, asam salisilat merupakan terapi tambahan
pada dermatomikosis superfisialis, moluskum kontagiosum, jerawat dan
kerusakan kulit akibat sinar matahari (Effendi dkk., 2012). Asam salisilat juga
digunakan sebagai bahan peeling atau keratolitik dalam krim, gel dan shampo
yang digunakan untuk mengurangi sisik pada kulit atau kulit kepala penderita
psoriasis. Sedangkan yang dimaksud dengan peeling atau keratolitik itu sendiri
adalah bahan yang merangsang pelembutan dan pengelupasan lapisan luar kulit.
Bahan aktif ini yang sering digunakan dalam produk kosmetik perawatan kulit
berjerawat dengan kadar maksimum 2%, selain bersifat keratolitik, asam salisilat
juga berfungsi sebagai bakteriostatik. Sediaan asam salisilat telah lama diketahui
memiliki efek pengobatan sebagai anti-inflamasi. Sebagai contoh, diketahui
aspirin atau asam asetil salisilat sudah digunakan secara luas sebagai analgesik,
anti-piretik, dan anti-inflamasi sistemik. Asam salisilat memiliki kemampuan
menghambat biosintesis prostaglandin (Burke dkk., 2005).
17
Asam salisilat memiliki efek anti-inflamasi dalam formulasi sediaan topikal
dengan konsentrasi 0,5-5% (Draelos, 1997). Asam salisilat digunakan juga
sebagai bahan analgesik dalam pengobatan. Seperti diketahui metil salisilat
topikal, sebagai contoh minyak gandapura dapat bersifat sebagai counter irritant
ringan. Zat ini sering dikombinasikan dengan mentol dalam sediaan topikal yang
digunakan dalam pengobatan nyeri di otot dan persendian (Burke dkk., 2005).
B. Karbomer (Karbopol)
Karbomer disebut juga karbopol, carboxyvinyl polimer, critamer, acrylic
acid polimer (Ansel dkk., 1999). Karbomer merupakan basis gel yang kuat,
sehingga penggunaanya hanya sekitar 0,5-2,0%. Karbomer berupa serbuk halus,
berwarna putih, bersifat asam dan higroskopis. Karbomer bersifat higroskopis,
pada temperatur yang berlebih dapat mengakibatkan kekentalannya menurun
sehingga mengurangi stabilitas (Barel dkk., 2009).
Karbopol merupakan polimer asam akrilat, berupa serbuk putih, higoskopik,
bersifat asam dan mempunyai bau khas (Wade & Waller, 2011). Air diperlukan
untuk menghilangkan udara yang terperangkap di dalam karbomer, kemudian
penambahan suatu basa yang sesuai seperti KOH, NaOH dan NH4OH diperlukan
untuk menetralisasi karbomer (Barry, 1983). Karbomer larut di dalam air, etanol,
gliserin, dapat terdispersi di dalam air untuk membentuk larutan koloidal yang
bersifat asam dan memiliki sifat merekat rendah (Rowe dkk., 2006).
18
Karakteristik karbomer yaitu larut dalam air dan alkohol menunjukkan
viskositas yang tinggi pada konsentrasi kecil, bekerja efektif pada range pH yang
luas, berupa cairan kental transparan. Karbopol dapat terdispersi di dalam air
membentuk larutan koloidal bersifat asam (Wade & Waller, 2011).
Karbomer merupakan bahan yang stabil dan higroskopis, yang dapat
dipanaskan pada suhu di bawah 104 o
C selama 2 jam tanpa mempengaruhi
kemampuan thickening-nya. Serbuk kering karbomer tidak dapat ditumbuhi
jamur dan mikroba. Namun ketika digunakan dalam dispersi aqueous, perlu
ditambahkan pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Pengawet
yang dapat digunakan antara lain, 0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metil paraben,
0,02% propil paraben, atau 0,1% b/v tiomersal. Pada umumnya digunakan
pengawet metil paraben atau propil paraben 0,1% b/v karena tidak mempengaruhi
efektivitas thickening karbomer (Wade & Waller, 2011).
Pembuatan karbomer diawali dengan mendispersikan karbomer ke dalam
aquadest mendidih sampai membentuk larutan koloid yang bersifat asam dengan
viskositas rendah dan akan terbentuk menjadi gel dalam viskositas yang tinggi
setelah dinetralkan dengan penambahan suatu basa. Bahan yang dapat digunakan
untuk menetralkan karbomer antara lain KOH, NaOH, amin organik polar seperti
trietanolamin, lauryl dan stearyl amine. Karbomer membentuk gel dengan
viskositas yang cukup baik pada pH 6-11. Viskositas karbomer akan menurun
pada pH kurang dari 3 dan pada pH lebih dari 12 atau dengan adanya elektrolit
kuat. Karbomer memiliki kemampuan gelling agent yang tinggi karena dengan
19
konsentrasi rendah, bahan ini sudah dapat membentuk gel dengan kekentalan yang
cukup (Carter, 1975).
C. HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose)
HPMC (Hidroksi Propil Metil Selulosa) disebut juga MHPC, Methocel,
Hypromellosum, Metolose, Pharmacoat, Benecel MHPC, Tylopur, Tylose MO.
Merupakan polimer glukosa yang tersubstitusi dengan hidroksi propil dan metil
pada gugus hidroksinya. HPMC berupa serbuk putih hingga kekuningan, larut
dalam air, tidak berasa dan berbau, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol dan
eter (Rowe dkk., 2009).
Pada sediaan gel, HPMC digunakan sebagai gelling agent dan dapat
mencegah etanol terpisah dari gel ketika terjadi peningkatan water ability. Basis
ini dapat menghasilkan gel yang netral, tidak berwarna dan tidak berasa, jernih,
stabil pada pH 3 hingga 11 dan punya resistensi yang baik terhadap serangan
mikroba serta memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit
(Rowe dkk., 2009).
HPMC merupakan turunan dari metilselulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk
atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam eter,
etanol atau aseton. Dapat mudah larut dalam air panas dan akan segera
menggumpal dan membentuk koloid. Mampu menjaga penguapan air sehingga
secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi
lainnya (Rowe dkk., 2006). HPMC digunakan sebagai agen pengemulsi, agen
pensuspensi, dan sebagai agen penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep,
sebagai koloid pelindung yaitu dapat mencegah tetesan air dan partikel dari
20
penggabungan atau aglomerasi, sehingga menghambat pembentukan sedimen
(Rowe dkk., 2006).
D. Propilen glikol
Propilen glikol memiliki rumus molekul C3H7O2. Propilen glikol memilki
wujud berupa cairan kental, tidak berwarna, jernih, rasa khas, tidak memiliki bau,
dan menyerap air di udara dengan kelembaban tinggi. Bahan ini dapat bercampur
dengan air, aseton, dan kloroform. Propilen glikol larut dalam eter dan dalam
beberapa minyak esensial, namun tidak dapat bercampur dengan minyak lemak.
Bahan ini harus disimpan dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 2014). Propilen
glikol pada umumnya digunakan sebagai pelarut sediaan topikal pada konsentrasi
5-80% (Wade & Waller, 2011).
Dalam sediaan gel, propilen glikol digunakan sebagai humektan, penahan
lembab, memungkinkan kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan serta
melindungi gel dari pengeringan (Rowe dkk., 2006). Propilen glikol memiliki
berat molekul yang lebih kecil, viskositas yang lebih rendah dan kemampuan
menguap yang lebih tinggi dibandingkan dengan gliserol. Propilen glikol
merupakan bahan yang berfungsi sebagai humectant, pelarut, plasticizer. Fungsi
lain propilen glikol adalah sebagai pengawet pada konsentrasi 15-30%,
hygroscopic agent, desinfectan, stabilizer vitamin dan pelarut pengganti yang
dapat campur dengan air. Stabil dalam suhu ruang dan pada suhu tinggi akan
teroksidasi menghasilkan propionaldehida, asam laktat, asam piruvat dan asam
asetat. Propilen glikol stabil secara kimia apabila dicampur dengan etanol (95%),
gliserin, air atau larutan dalam air dapat disterilkan dengan autoklaf. Propilen
21
glikol bersifat higroskopis, harus disimpan dalam wadah yang tertutup dengan
baik, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering. Propilen glikol
inkompatibel dengan oksidator seperti kalium permanganat (Rowe dkk.,2006).
E. Trietanolamin
Trietanolamin memiliki rumus molekul C6H15NO3, dengan sinonim yaitu
TEA, trolamin, triethylolamine, trihydroxytriethylamine, dan trolaminum. Bahan
ini memiliki berat molekul 149,19 g/mol. Dalam sediaan gel, trietanolamin
digunakan untuk penstabil karbomer (Rowe dkk., 2006). Trietanolamin
merupakan campuran dari trietanolamina, dietanolamina, dan monoetilamina.
Bahan ini berupa cairan kental, berwarna kuning sampai kuning pucat, larut dalam
air, etanol, dan kloroform. Trietanolamin dapat bereaksi dengan asam mineral
menjadi bentuk garam kristal dan ester dengan adanya asam lemak tinggi. Zat ini
harus disimpan dalam wadah tertutup rapat karena dapat berubah warna menjadi
coklat akibat dari adanya cahaya dan udara (Anonim, 2014).
F. Etanol
Etanol memiliki rumus kimia C2H5OH. Pemerian dari etanol yaitu berupa
cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna, memiliki bau khas dan
menyebabkan rasa terbakar pada lidah, mudah menguap walaupun pada suhu
rendah, dan mudah terbakar. Etanol dapat bercampur dengan air dan praktis
bercampur dengan semua pelarut organik (Anonim, 2014). Dalam sediaan gel
asam salisilat, etanol berfungsi untuk melarutkan asam salisilat. Etanol merupakan
pelarut yang penggunaannya sangat luas dalam pembuatan berbagai macam
sediaan farmasi (Rowe dkk., 2006).
22
G. NaOH
NaOH berfungsi untuk penstabil karbomer yang bersifat asam dalam
formulasi sediaan gel. NaOH bersifat sangat mudah larut dalam air dan dalam
etanol. NaOH memiliki bentuk berupa butiran, batang, massa hablur, rapuh,
kering, keras, mudah meleleh, basah, korosif, menunjukkan susunan hablur putih,
dan sangat alkalis (Rowe dkk., 2006).
H. Metil Paraben (Nipagin)
Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih, hampir
tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa
tebal (Anonim, 2014). Sinonim : 4-hydroxybenzoic acid methyl ester, methyl p-
hydroxybenzoate. Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan
antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi dan
digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau dengan
antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba
yang paling sering digunakan. Jenis paraben lainnya efektif pada kisaran pH yang
luas dan memiliki aktivitas antimikroba yang kuat. Metil paraben meningkatkan
aktivitas antimikroba dengan panjangnya rantai alkil, namun dapat menurunkan
kelarutan terhadap air, sehingga paraben sering dicampur dengan bahan tambahan
yang berfungsi meningkatkan kelarutan. Kemampuan pengawet metil paraben
ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Rowe dkk., 2006).
23
I. Propil Paraben (Nipasol)
Propil paraben atau propil p-hikroksi benzoat mengandung tidak kurang dari
98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C10H12O3 dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan. Pemerian serbuk putih atau hablur kecil tidak berwarna, sangat sukar
larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, sukar larut dalam air
mendidih. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. Berfungsi sebagai pengawet
pada sediaan obat dan kosmetik (Anonim, 2014).
3. Simplex Lattice Design
Optimasi merupakan suatu metode atau desain eksperimental yang bertujuan
untuk memperoleh interpretasi data secara matematis serta memudahkan dalam
proses penyusunannya (Armstrong & James, 1996). Model Simplex Lattice
Design merupakan salah satu metode yang paling sederhana yang dapat
digunakan untuk mengoptimasi suatu formula dengan berbagai komposisi bahan
yang berbeda. Metode ini biasa digunakan untuk mengoptimasi campuran dalam
bahan sediaan padat, semipadat, atau untuk mengoptimasi pelarut baik pada
campuran biner atau lebih.
Metode Simplex Lattice Design akan menghasilkan suatu persamaan
polinomial (simplex) yang dapat digunakan untuk memprediksi profil respon
(Bolton & Bon, 2004). Hubungan fungsional antara respon sebagai variabel
tergantung dengan komposisi bahan sebagai variabel bebas dapat dinyatakan
dengan persamaan sebagai berikut:
24
Y= β1X1 + β2X2 + β1.2X1.2
Keterangan :
Y : Respon
X1 dan X2 : Fraksi dari setiap komponen
β1 dan β2 : Koefisien regresi dari X1 dan X2
β1.2 : Koefisien regresi dari X1.2
Koefisien diketahui dari perhitungan resresi dan Y adalah respon yang
diinginkan. Bila nilai X1 ditentukan, maka nilai X2 dapat dihitung. Penentuan
formula optimum didapatkan dari respon total yang paling besar. Respon total
dihitung dengan rumus: R total = R1 + R2 + R3 + Rn
R1, R2, dan R3 merupakan respon dari masing-masing sifat fisik sediaan.
Dari persamaan respon total tersebut akan diperoleh formula yang optimum.
Verifikasi dilakukan pada formula yang memiliki respon paling optimum
(Armstrong & James, 1996).
F. Landasan Teori
Asam salisilat yang dikenal sebagai bahan keratolitik tertua telah digunakan
sebagai bahan terapi topikal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu (Del, 2005).
Dalam dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal luas berkhasiat utama
sebagai bahan keratolitik (Hessel dkk., 2007). Asam salisilat sebagai bahan
keratolitik masih digunakan secara luas pada pengobatan dermatologi topikal dan
hingga kini penggunaannya semakin berkembang (Effendi dkk., 2012). Asam
salisilat juga memiliki efek bakteriostatik lemah, terutama terhadap bakteri
25
golongan Streptococcus, Staphylococcus, Escherechia coli, dan Pseudomonas
aeruginosa (Del, 2005).
Gel merupakan suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi
yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar atau saling diserapi cairan (Anonim, 2014).
Beberapa keuntungan sediaan gel adalah sebagai kemampuan penyebarannya
baik pada kulit, efek dingin yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit,
tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis, kemudahan
pencuciannya dengan air yang baik, pelepasan obatnya baik (Voigt, 1984).
Sediaan gel merupakan sediaan yang banyak memiliki kelebihan bila
dibandingkan dengan sediaan topikal lainnya. Gel mudah dicuci dengan air
sehingga tidak menyebabkan lengket di kulit. Gel terasa ringan bila diaplikasikan
pada kulit sehingga meningkatkan kenyamanan penggunaan.
Gel memiliki sifat yang lunak, lembut, mudah dioleskan, serta tidak
meninggalkan lapisan berminyak pada permukaan kulit. Hal ini merupakan nilai
tambah yang menunjukkan kemerataan distribusi dari komponen pembentuk gel
dalam pelarut (Jones, 2010).
Untuk memperoleh sifat fisik gel yang optimum, dapat dilakukan optimasi
formula gel dengan mengkombinasikan dua atau lebih basis yang berbeda
(Lieberman dkk., 1998). Kombinasi basis HPMC dan karbomer dapat membentuk
massa gel yang baik secara fisik dibandingkan penggunaan basis tunggalnya
(Quinones & Ghaly, 2008).
26
Karbomer dan HPMC tergolong basis gel hidrofilik. Basis gel yang bersifat
hidrofilik memiliki daya sebar yang baik pada kulit, mudah dicuci dengan air,
memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan
obatnya baik. Keunggulan kedua basis tersebut dibanding basis lain adalah dapat
menghasilkan gel yang bening, mudah larut dengan air, mudah diaplikasikan pada
kulit, tidak mengiritasi dan nyaman digunakan pada kulit (Anwar, 2012).
Bentuk sediaan gel asam salisilat dengan sifat fisik yang optimum diharapkan
dapat meningkatkan kenyamanan penggunaan sehingga mempermudah
tercapainya tujuan dari pengobatan.
Kombinasi basis karbomer dan HPMC yang tepat dengan jumlah
perbandingan tertentu diharapkan dapat menghasilkan gel dengan sifat fisik yang
optimum. Metode Simplex Lattice Design digunakan untuk mendapatkan formula
optimum dengan kombinasi basis karbomer dan HPMC dalam penelitian ini.
Kemudian dilakukan verifikasi pada formula yang memiliki respon paling
optimum untuk menjamin validitas data yang dihasilkan dari metode tersebut.
G. Hipotesis
1. Interaksi karbomer dan HPMC berpengaruh terhadap sifat fisik gel asam
salisilat, dapat menaikkan atau menurunkan viskositas, daya lekat, daya sebar
maupun pH.
2. Melalui optimasi formula dengan metode Simplex Lattice Design, diperoleh
perbandingan konsentrasi tertentu dari kombinasi basis karbomer dan HPMC
yang menghasilkan formula gel asam salisilat dengan sifat fisik optimum.