1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari
periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya
dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.1 Dalam kebudayaan lokal
Jawa dapat dilihat dari hadirnya sastra yang menumbuhkan perasaan cinta
ketuhanan. Selain itu, sastra Jawa juga mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup
dan moralitas seperti yang terefleksikan dalam bentuk tembang-tembang, serat
dan cerita kentrung.
A. Teew membagi kebudayaan Indonesia menjadi tiga kelompok. Pertama,
kebudayaan masyarakat yang belum dipengaruhi agama Hindu dan Islam.
Kedua, kebudayaan masyarakat yang kuat dipengaruhi kebudayaan Hindu dan
tipis pengaruh Islamnya. Ketiga, kebudayaan masyarakat yang sangat
dipengaruhi Islam. Dari ketiga corak kebudayaan itu yang harus dipandang
paling khas dan istimewa, menurut Abdul hadi W.M. adalah kebudayaan Jawa
yang terpaut Hinduisme.2
Taufik Abdullah (1997) telah mengkritik pandangan yang meletakkan
Islam sebagai outsider dalam perkembangan kebudayaan dan masyarakat Jawa.
Pandangan demikian, menurut Taufik Abdullah, sebenarnya merupakan hasil
1 K. Setiono, Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia, (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2002), hlm. 87 2 Ibid.
2
konstruksi pengetahuan yang dibuat oleh Belanda setelah berakhirnya Perang
Diponegoro (1825-1830). Sejak masa itu, ikhtiar untuk memisahkan Islam dari
kebudayaan Jawa dijalankan secara begitu sistematik, terutama melalui
penulisan buku sejarah, antropologi dan hasil penelitian fisiologi.
Kecenderungan mengesampingkan Islam dalam penelitian karya-karya mistikal
Jawa nampak pada banyak karya-karya tulis tokoh-tokoh barat.3
Syari’at Islam tidak pernah melarang pemeluknya mengikuti budaya yang
dianut masyarakat selama tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar
Islam seperti aqidah dan ketauhidan. Bahkan Islam sangat mengapresiasi
kebudayaan manusia yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia yang
berbudi. Wujud konkrit bahwa Islam cukup memperthitungkan kebudayaan
dalam menetapkan syari’at yaitu dengan adanya qaidah fiqhiyah “ دة محكمةعاال ”
yang artinya adat itu bisa dijadikan hukum. Ini membuktikan Islam tidak pernah
menafikan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sebaliknya, Islam sangat mendukung manusia sebagai khalifah di bumi untuk
terus berkarya dengan segala kompetensi yang merupakan anugerah dari Allah
SWT. Dalam al-Qur’an juga banyak ayat yang mendorong umat Islam untuk
menggunakan segala potensinya. Misalnya surat al-Baqarah ayat 219,
فكرتت لكملع اتالآي لكم الله نيبي كونكذل
Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.4
3 Ibid. 4 Departement Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT.
Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 34
3
Ini menunjukan bahwa Syari’at Islam tidak pernah membatasi manusia
dalam berkarya dengan segala kompetensinya.
Manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan
mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakannya selama hidup. Salah
satu esensi ajaran teologi Islam mendeskripsikan bahwa makhluk hidup
bukanlah satu-satunya yang mempunyai eksistensi, tetapi Allah lebih
mempunyai eksistensi. Dalam tradisi pemikiran ketuhanan, dikenal dua metode
yang paling mendasar. Pertama, refleksi manusia terhadap alam semesta melalui
hukum alam dan menjurus kepada teologi kealaman. Kedua, merupakan
penyingkapan Tuhan melalui turunnya wahyu. Idealnya antara kebudayaan dan
Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara
kebudayaan dan Agama Islam.
Ketika terjadi ketidaksingkronisan antara budaya dengan ajaran Islam,
maka sudah selayaknya Syari’at Islam yang selalu relefan dalam setiap zaman
lebih diutamakan dari semua aturan yang merupakan hasil kebudayaan manusia,
sekalipun kebudayaan tersebut telah diakui kebenarannya secara kolektif.
Namun, hal itu tetap tidak dapat mengubah syari’at Islam yang telah
disempurnakan oleh Allah.
Di Kota Yogyakarta sering kali masyarakat menjadikan alasan menjaga
kebudayaan lokal ketika melakukan ritual-ritual yang bersebrangan dengan nilai-
nilai Islam. Sekaten adalah salah satu budaya lokal yang masih tetap dilestarikan
oleh masyarakat Yogyakarta. Masyarakat tetap melestarikan tradisi sekaten
meskipun mereka tidak mengetahui asal usul sekaten dan maksud dari
4
diadakannya sekaten. Hal ini tentu menjadi fenomena yang penting untuk dikaji.
Risalah ini secara mendalam mengkaji budaya sekaten yang masih dilestarikan
oleh masyarakat Kota Yogyakarta dari sudut pandang Islam. Diharapkan
masyarakat Kota Yogyakarta tidak taqlid dengan melakukan ritual peribadatan
yang mereka tidak tahu pasti dari mana asal mula ibadah itu. Tanpa mereka
sadari, ritual-ritual yang mereka kerjakan adalah ritual sesembahan Agama
Hindu yang diambil oleh ulama’ terdahulu untuk memudahkan penyebaran
ajaran agama Islam.
Meskipun Islam tidak sepenuhnya menafikan tradisi kebudayaan leluhur
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun Islam juga memberi
batasan-batasan sejauh mana umatnya boleh melakukan ritual yang merupakan
peninggalan pendahulu masyarakat setempat sebagai usaha melestarikan
kebudayaan lokal.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang timbul
adalah:
1. Bagaimana seluk beluk budaya sekaten di Kraton Yogyakarta?
2. Bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi sekaten sebagai kebudayaan
lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota Yogyakarta?
3. Bagaimana seharusnya masyarakat Kota Yogyakarta menyikapi budaya
sekaten?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah
5
1. Mengkaji seluk beluk budaya sekaten di Kota Yogyakarta.
2. Menganalisis berdasarkan sudut pandang Islam mengenai tradisi sekaten
sebagai kebudayaan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota
Yogyakarta.
3. Supaya masyarakat Yogyakarta dapat menyikapi budaya sekaten dengan
benar sesuai syari’at Islam.
Adapun manfaat penelitian ini adalah secara teoritis, kajian ini diharapkan
dapat memberi masukan yang dapat berguna bagi perkembangan pemikiran
Islam dewasa ini. Sedangkan secara praktis, kajian ini diharapkan dapat
memberi penegasan bahwa syari’at Islam telah sempurna dan tidak dapat di ubah
sedemikian rupa untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, sekalipun dengan
alasan untuk melestarikan kebudayaan lokal. Diharapkan masyarakat dapat
menentukan sikap dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak
menafikan hukum-hukum Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Fungsi kajian pustaka adalah mengemukakan secara sistematis hasil
penelitian terdahulu yang relevan memberikan pemaparan tentang penelitian
yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Juz'an, M.Hum. berjudul “Nilai-Nilai
Pendidikan Islam Dalam Tradisi Garebeg Maulud Di Kraton Yogyakarta”.
Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai pendidikan islam dalam tradisi
Garebeg Maulud di Kraton Yogyakarta. Fokus yang dikaji dalam penelitian ini
adalah Bagaimana sejarah tradisi gerebeg maulud di kraton Yogyakarta, ritual
6
apa saja yang terdapat dalam prosesi Garebeg Maulud di kraton Yogyakarta,
nilai-nilai pendidikan Islam apa saja yang terdapat dalam tradisi Garebeg
Maulud di kraton Yogyakarta.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhtaram yang berjudul “Nilai-Nilai
Pendidikan Dalam Makna Simbol Perayaan Sekaten”. Penelitian ini bermaksud
mengungkap dan mengetahui secara detail tentang prosesi upacara sekaten
dengan semua simbol-simbol yang digunakannya serta makna dari simbol-
simbol yang digunakan dalam perayaan sekaten tersebut dan mengungkap nilai-
nilai atau pesan-pesan pendidikan terhadap umat adanya prosesi upacara sekaten
di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Penelitian yang diklakukan oleh Drs. Juz'an, M.Hum. dan Muhtaram
hanya membahas budaya sekaten dari sudut pandang yang memposisikan
budaya sekaten sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan. Penelitian
Drs. Juz'an, M.Hum. dan Muhtaram tidak menyentuh ranah nilai-nilai aqidah,
ketauhidan, dan semua ketentuan Islam yang mengatur kehidupan manusia,
termasuk dalam menyikapi hasil akal budi manusia. Sedangkan risalah ini
menggunakan sudut pandang Islam mengkaji budaya sekaten secara ditail dan
komprehensif. Capaian dalam risalah ini adalah masyarakat Kota Yogyakarta
dapat menentukan sikap dalam menyambut ritual tahunan yang diadakan di
Kraton Yogyakarta, sehingga tetap terjalin keselarasan antara nilai kebudayaan
dengan nilai-nilai Islam dalam budaya sekaten di Kota Yogyakarta.
7
E. Batasan Masalah
Risalah ini mengkaji budaya sekaten sebagai kebudayaan lokal yang
merupakan hasil dari budi daya manusia di Kota Yogyakarta mulai dari filosofi,
praktek dan kepercayaan masyarakat yang melekat dalam budaya sekaten.
Risalah berisi analisis budaya sekaten dari sudut pandang Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan menyertakan pendapat Muhammadiyah
dalam memandang budaya sekaten.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan
pendekatan deskriptif analisis. Prosedur dari penelitian ini adalah untuk
menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis setelah dilakukan analisis
pemikiran dari teks ataupun dari realitas masyarakat yang tengah berkembang.
Dalam pengumpulan data, risalah ini menggunakan sumber data primer
yaitu naskah keraton dan buku-buku tentang kebudayaan kejawen. Juga
menggunakan sumber data sekunder yang diambil dari buku, artikel, jurnal,
karya tulis lain yang mempunyai relevansi untuk memperkuat pendapat dan
melengkapi hasil risalah ini.
Proses analisis data dalam risalah ini menggunakan metode deskriptif yaitu
penelitian secara apa adanya berdasarkan data yang diperoleh sehingga diperoleh
gambaran sistematik dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Capaian dalam
analisis ini adalah menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan
lokal menurut perspektif Islam.
8
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan risalah ini disusun secara sistematis untuk memudahkan
pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan yang ada. Adapun sistematika
dalam risalah ini sebagai berikut:
Bab I pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta
sistematika pembahasan. Hal ini bertujuan agar risalah ini menjadi
karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bab II landasan teoritik untuk memperjelas makna judul risalah ini. Bab ini
berisi teori mengenai istilah Islam, kebudayaan dipandang dari segi
semantik dan istilah, serta gambaran umum Kota Yogyakarta untuk
mengetahui keadaan geografis maupun sosial masyarakat Yogyakarta.
Bab III berisi analisis hukum sekaten yang diadakan oleh masyarakat Kota
Yogyakarta dalam sudut pandang Islam dengan pengambilan hukum
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis dalam menyikapinya.
Diharapkan pembaca mempunyai gambaran utuh untuk menyikapi
tradisi sekaten menurut sudut pandang Islam.
Bab IV berisi penutup yang mencakup kesimpulan, saran-saran serta kata
penutup, dan daftar pustaka. Bab ini sangat diperlukan karena inti dari
hasil risalah ini telah terangkum di dalamnya.
9
BAB II
LANDASAN TEORITIK
A. Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris disebut
culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.5
Secara substansial, kebudayaan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan
dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat.6 Oleh karena itu, sangat
beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kebudayaan lokal merupakan entitas
yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal
itu berarti kebudayaan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan
kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang
menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.7
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi
kebudayaan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam
5 Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta”, http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-
sekaten-di-yogyakarta/. html, akses 23 Desember 2011
6 Ibid. 7 Ibid.
10
masyarakat kita, kebudayaan lokal dapat ditemui dalam ritual, nyanyian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam
perilaku sehari-hari. Kebudayaan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-
kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan
kebudayaan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok
masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat
diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.8
B. Gambaran Umum Kota Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat)
Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat berdiri sejak tahun 1756 M. Didirikan
oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono
I. Saat ini, Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Paduka Sultan Hamengku
Buwono X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Puro
Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IX sekaligus sebagai Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Keduanya memainkan peran yang
sangat menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa
dan merupakan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat
heterogen.9
8 Ibid. 9 Kementrian Agama RI, “Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta,”
http://yogyakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=8, html akses 1 januari 2012
11
Secara administratif, Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 Km² adalah salah
satu kota bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah penduduk
509.146 jiwa, dan jumlah desa 163.10
Secara fisiografis, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat
dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah, yaitu satuan fisiografi Gunung
Merapi, satuan pegunungan selatan, satuan Pegunungan Kulonprogo, dan satuan
dataran rendah. Di satuan dataran rendah inilah terletak Ibukota Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, yaitu Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang
merupakan sentral kegiatan dari segenap masyarakat dari berbagai penjuru tanah
air. Karena itu pula, maka kota ini dikenal luas sebagai kota pelajar, pendidikan,
perjuangan, serta kota budaya. Secara historis Yogyakarta merupakan kota tua
dari Kerajaan Mataram yang sampai sekarang ini masih berdiri.11
Ditinjau menurut pemeluk agama, komposisi penduduk Kota Yogyakarta
adalah pemeluk agama Islam 91,38 %, pemeluk agama Kristen 2,88 %, pemeluk
agama katolik 5,38 %, pemeluk agama Hindu 0,17 %, pemeluk Agama Budha
0,16 %, pemeluk agama lain 0,03 %.12
Kehidupan beragama di Kota Yogyakarta nampak berjalan secara
harmonis, serasi dan seimbang. Hal tersebut dapat dilihat dari kegairahan
masyarakat beragama untuk berperan aktif dalam menyukseskan program
pembangunan bidang agama khususnya, dan Program Pembangunan Nasional
10 Widjiono Wasis, Ensiklopedia Nusantara, cet. pertama (Jakarta: Mawar Gempita,
1989), hlm. 443 11 Ibid. 12 Ibid.
12
pada umumnya. Pendekatan para tokoh dan pemuka agama untuk memberikan
motivasi lewat jalur agama telah menunjukkan karya nyata serta
menumbuhkembangkan kehidupan beragama untuk mewujudkan nilai-nilai
religius dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.13
C. Pengertian Islam
Secara bahasa, Islam berasal dari bahasa arab aslama yang berarti tunduk,
patuh, menyerah, berdamai, bebas, lepas, dan selamat.14 Secara Istilah, Islam
adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang
ajarannya bersifat fleksibel dan universal, selamat, sentosa, dan sejahtera,
penyerahan diri kepada Allah tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang yang
menganut agama Islam disebut muslim artinya pemeluk agama Islam atau orang
yang menyerahkan diri kepada Allah.15
Dalam Ensiklopedia, Islam diartikan sebagai agama samawi (langit) yang
diturunkan oleh Allah SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW. Ajaran-
ajaran Islam terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk
perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.16
Islam ialah agama yang diturunkan Allah kepada manusia dengan wahyu
melalui utusan-Nya, yang mengajarkan supaya umat manusia tunduk dan patuh 13 Ibid. 14 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua, cet.
Keempat belas (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 654 15 Abu Muhammad, Kamus Istilah Agama Islam, cet. pertama (Tangerang: PT Albama,
2012), hlm. 117 16 Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam, jilid 2, cet. kesebelas (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 246
13
serta berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sebagaimana telah disinggung di
atas bahwa Islam itu menuntut agar manusia setelah melakukan segala aktivitas
(yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam) hendaknya berserah diri pada
Allah.17 Ummat Islam telah sepantasnya berdo’a hanya kepada Allah,
bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya.
D. Kebudayaan dalam Perspektif Islam
Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah sebagaimana
diterangkan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat 3
كميند لكم لتأكم موالي
Artinya: Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu, agamamu... Ayat ini menunjukan Islam adalah agama yang telah sempurna dalam mengatur
segala aspek kehidupan manusia mulai dari urusan ibadah maupun mu’amalah.
Begitupula dalam perihal budaya yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa
manusia. Islam mempunyai beberapa peran penting dalam mengatur kebudayaan
masyarakat yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa peran
Islam dalam perkembangan budaya adalah
1. Melestarikan
Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia yang merupakan
hasil dari rasa, cipta, dan karsa manusia. Allah melalui ayat-ayat al-Qur’an
banyak mendorong manusia untuk semaksimal mungkin menggunakan segala
17 Prof. Dr. H. Chatibul Umam, Aqidah Akhlak jilid 1, cet. pertama (Kudus: Menara
kudus, 2004), hlm. 17
14
kompetensi yang Allah berikan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 219,
آذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرونArtinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.18 Islam tidak melarang umatnya untuk mengembangkan segala potensi yang
dimiliki, termasuk dalam berkebudayaan. Bentuk apresiasi Islam terhadap
kebudayaan adalah dengan tetap melestarikan kebudayaan yang sarat akan
nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta tidak bertentangan dengan
prinsip Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin. Contohnya adalah budaya
ziarah kubur. Meskipun Nabi Muhammad sempat melarang umat Islam untuk
ziarah kubur karena Nabi khawatir umatnya yang tatkala itu masih dekat
dengan budaya jahiliah akan melakukan perbuatan musyrik dengan berdo’a
kepada orang yang telah mati. Tetapi, pada akhirnya Nabi memerintahkan
umatnya untuk berziarah kubur karena dapat mengingatkan manusia akan
kematian sehingga manusia selalu memperbanyak amal kebaikan untuk bekal
di akhirat.
2. Merombak
Selain melestarikan kebudayaan yang telah ada, Islam juga merombak
beberapa kebudayaan yang kurang pas dengan nilai-nilai Islam. Contohnya
adalah budaya nikah pada waktu jahiliah yang salah satu prakteknya yaitu
dengan cara beberapa laki-laki menggauli satu wanita. Ketika wanita tersebut
18 Departement Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya
(Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 548
15
hamil dan melahirkan, maka dipanggillah beberapa laki-laki yang dulu
menggaulinya, kemudian wanita tersebut memilih salah satu dari laki-laki
tersebut untuk menjadi ayah dari bayi yang dilahirkan. Laki-laki pilihannya
itulah yang akhirnya menjadi suaminya. Bentuk pernikahan seperti ini tentu
tak ubahnya seperti hewan, Maka Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin
pun mengubah budaya nikah pada masa jahiliyah itu dengan nikah yang telah
kita kenal sekarang ini. Yaitu dengan adanya mempelai putra dan putri, wali
nikah, mahar, sighat akad nikah dan saksi.
3. Membasmi
Meskipun Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia, namun
Islam juga tidak sepenuhnya menerima semua kebudayaan meskipun
kebudayaan tersebut telah diakui kebenarannya secara kolektif di masyarakat
setempat. Islam juga Membasmi beberapa kebudayaan jahiliyah yang
bertentangan dengan prinsip ajaran agama Islam. Contohnya adalah budaya
mengubur anak perempuan hidup-hidup yang dulu sempat berkembang di
kalangan masyarakat jahiliyah. Islam sedikitpun tidak mentolerir kebudayaan
yang jelas melanggar hak manusia untuk hidup dan berkembang karena jelas
ini bertolak belakang dengan prinsip Islam sebagai agama rahmatan
lil’alamiin.
16
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Sekaten
Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun
Jawa. Sekaten meliputi Sekaten Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan
Garebeg di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta atau sering disebut sebagai
Masjid Gedhe Kauman.19
Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadat. Istilah Syahadat
yang diucapkan sebagai Syahadatain ini kemudian berangsur-angsur berubah
dalam pengucapannya, sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya menjadi
istilah Sekaten hingga sekarang. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain
juga berasal dari beberapa kata yaitu:20
1. Sahutain yang berarti menghentikan atau menghindari dua perkara, yaitu sifat
lacur dan menyeleweng.
2. Sakhatain yang berarti menghilangkan dua perkara yaitu sifat hewan dan sifat
setan yang melambangkan kerusakan.
3. Sakhotain yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi
luhur dan menyembah Tuhan.
19 Ibid. 20 Ibid.
17
4. Sekati yang berarti seimbang dalam menilai hal-hal yang baik dengan yang
buruk.
5. Sekat yang berati batas untuk tidak berbuat kejahatan, yaitu tahu dimana batas
kebaikan dengan kejahatan.
Sekaten dimulai dari zaman Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada
tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raja Demak yang pertama adalah Raden
Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu
berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh pelosok negeri. Namun,
masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu sehingga Raden
Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan meyakini
akan kebenaran Agama Islam. Kemudian Raden Patah pun mengadakan
pertemuan dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan
Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga,
Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan anatar Raden Patah dan Wali
Songo tersebut membahas tentang bagaimana menyebarkan ajaran Islam dimulai
dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga memiliki usul tentang
cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu
sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat
dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan
18
beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya
seperti:21
1. Semedi
Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada
dewa. Karena Agama Islam tidak mengenal dewa, maka hal ini digantikan
dengan memuja Allah SWT dengan melakukan shalat yang merupakan
kewajiban bagi setiap muslim.
2. Sesaji
Sesaji menurut Agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan
kepada dewa dan jin. Agar sesuai dengan syari’at Islam yang sudah tertulis
dalam al-Quran, maka digantikan dengan zakat fitrah kepada fakir miskin.
3. Keramaian
Dalam agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati
kepada para dewa. Keramaian kemudian digantikan dengan menghormati hari
raya Islam. Karena orang Jawa menyukai seni musik, maka penghormatan
terhadap Hari Raya Islam diberikan unsur musik seperti menabuh gamelan.
Salah satunya yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di dalam
masjid diadakan tabuh gamelan agar orang-orang tertarik. Jika sudah
berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk
21 Ibid.
19
keperluan itu, para Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan
Kiai Sekati.22
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Songo dan Raden
Patah, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud
dengan unsur gamelan. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datang
ke masjid dan melihat gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang ke
kerajaan untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapa
hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah tenda di alun-alun untuk
bermalam. Bupati menghadap raja beserta para rakyatnya mengiring raja ke
masjid. Karena hal tersebut, maka muncul kata Garebeg yang berasal dari kata
Anggrubyung yang berarti menggiring atau berkerumun.23
Orang-orang yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk
mendengarkan pidato tentang ajaran Islam. Pidato itu berisi tentang dasar ajaran
Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut.
Kalimat syahadat merupakan kalimat yang dibaca seseorang ketika masuk Islam
dan juga untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. Kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang masjid.24
Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja yang memerintah pada masa
berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram. Pada zaman Kerajaan Mataram
22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid.
20
hingga pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk
kepentingan politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan
para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten bupati harus
datang dengan menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada
raja. Apabila bupati berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak
kerajaan. Apabila bupati yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal
tersebut dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.25
Pada masa Kerajaan Mataram, selain untuk tujuan memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW dan kepentingan politik kerajaan, sekaten diadakan
untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih memiliki hubungan dengan
Nabi Muhammad SAW. Selain itu, sekaten juga memiliki peran dalam ekonomi
karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten kemudian dimanfaatkan
dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan untuk berdagang
oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.26
B. Praktek Pelaksanaan Sekaten
Berikut prosesi sekaten menurut selebaran yang dibuat oleh bagian humas
dan informasi Setda Kota Yogyakarta tahun 2009. Pada intinya, keramaian
sekaten dapat dipilahkan menjadi tiga keramaian, yaitu;
1. Keramaian Adat
25 Ibid. 26 Ibid.
21
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan
mengeluarkan gamelan Kenjeng Kiai Sekati dari tempat penyimpanannya.
Kanjeng Kiai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng
Kiai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi
dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan pusaka tersebut yaitu prajurit
Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.
Setelah waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal
memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah
mendapat perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka
dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kiai
Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu
dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu.
Menyusul kemudian Kanjeng Kiai Nogowilogo dengan gendhing rachikan
pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Secara bergantian Kanjeng Kiai
Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Nogowilogo dibunyikan. Di tengah
gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai
Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan atau wakil
Sri Sultan menaburkan udhik-udhik (uang logam) di depan gerbang
Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas.
Tepat pukul 24.00 WIB, gamelan sekaten dipindahkan ke halaman
Masjid Gedhe dan dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit
22
Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Kanjeng Kiai Guntur Madu
ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid Gedhe dan
Kanjeng Kiai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura
Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu
dan Kanjeng Kiai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam
selama enam hari berturut -turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai
shalat Jum’at siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke
Masjid untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang
berupa pembacaan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan
oleh Kiai Pengulu. Upacara tersebut diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah
semua selesai, perangkat gamelan sekaten dibawa kembali dari halaman
Masjid Gedhe menuju Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa
Sekaten telah berakhir.
Acara puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Garebeg yang
diadakan tanggal 12 Maulud (menurut penanggalan Jawa) mulai jam 08.00
WIB. Garebeg dimulai dengan dikawal oleh sepuluh prajurit kraton yaitu
Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro,
Ketanggung, Mantrirejo, Surokarso dan Bugis. Garebeg menampilkan
Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk
kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan
makanan. Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati
23
Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan
Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada
masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan
membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini
dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah
mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan
malapetaka.
2. Keramaian Penunjang
Keramaian rakyat tradisional yang menyertai upacara sekaten.
Beberapa bentuk keramaian penunjang antara lain adalah para penjaja
makanan tradisional, penjaja mainan tradisional dan kesenian kesenian
rakyat tradisional.
3. Keramaian Pendukung
Keramaian pendukung diadakan dan dikelola oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta dalam rangka memanfaatkan sekaten tentang upaya dan hasil
pembangunan nasional antara pemerintah dan masyarakat. Beberapa bentuk
keramaian pendukung antara lain, pameran pembangunan yang diadakan
oleh Pemerintah Daerah. Pameran dan promosi sebagai upaya
memasyarakatan produksi dalam negeri dan meningkatkan barang ekspor
non migas. Pameran kebudayaan seperti Pameran Kraton, Puro Pakualaman
24
dan lainnya. Keramaian pendukung lainnya seperti arena permainan anak-
anak, rumah makan, dan cindera mata.
C. Hukum Sekaten Menurut Muhammadiyah
Memperingati hari kelahiran seseorang termasuk kelahiran Nabi, tidak ada
tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun perintah untuk
mengadakannya. Namun, juga tidak ada nash yang melarangnya. Tidak adanya
nash yang menyuruh maupun melarang untuk merayakan kelahiran Nabi
Muhammad SAW, maka hal ini dapat dimasukan pada masalah ijtihadiyyah.27
Dalam suatu kitab yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari bahwa Syaikh
Yusuf bin Ismail an-Nabhani menyatakan bahwa Nabi dilahirkan di kota
Makkah di rumah Muhammad bin Yusuf, dan disusui oleh Tsuwaibah budak
Abu Lahab yang dimerdekakan oleh Abu Lahab ketika ia merasa senang atas
kelahiran Nabi itu. Kalau Abu lahab saja yang kafir mendapat kebaikan, karena
merasa senang di hari kelahiran Nabi, tentu orang Islam akan mendapat balasan
dari Allah kalau juga merasa senang di hari kelahiran Nabi itu.28
Tentu qiyas ini tidak dapat dijadikan pegangan karena riwayat itu bukan
dasar yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasarnya
27 Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah,
1998, hlm. 271. 28 Ibid.
25
dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang
didasarkan illah mashlahah.29
Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar
kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima
hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran
kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan
ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan
kebaikan dan menghindari kerusakan.30
Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten.
Karena, memang tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, maka sekaten yang
merupakan acara yang diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi saw
tidaklah diharamkan, jikalau acara yang diselenggarakan itu tidak ada unsur-
unsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal yang dilarang oleh syari’at Islam.
Sekaten tidak pernah diajarkan dalam Islam, namun kegiatan sekaten juga
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan ini dapat bernilai positif
karena dapat memperluas syi’ar Islam.
D. Kepercayaan Masyarakat Tentang Sekaten
Beberapa kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat tentang
budaya sekaten:
29 Ibid 30 Ibid.
26
1. Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka
akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda.31
2. Pada hari pertama dalam sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang
dilakukan masyarakat adalah mengunyah daun sirih di halaman Masjid
Gedhe. Oleh karena itu banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini
untuk berjualan daun sirih dan ramuan-ramuan lainnya di halaman Masjid
Gedhe.32
3. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar
panennya berhasil.33
4. Acara Garebeg merupakan acara yang dianggap sakral bagi para warga.
Dengan dibawanya sebuah gunungan ke halaman Masjid Gedhe, banyak
warga yang berebut mengambil makanan dari gunungan tersebut karena
menganggap dapat membawa berkah.34
5. Gunungan pada acara Garebeg adalah sesaji yang dibentuk kerucut.
Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan.
Gunungan ini dibawa dari Istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan
Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Gunungan makanan inilah yang
diperebutkan oleh para warga karena dipercaya dapat membawa berkah.
Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan
31 Ibid. 32 Ibid. 33Ibid. 34Ibid.
27
ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari
segala macam bencana dan malapetaka.35
6. Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan
yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan
perlengkapan upacara sekaten, seperti:36
a. Gamelan Sekaten yaitu benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai
Sekati yang memiliki dua perangkat. Pertama, Kanjeng Kiai
Nogowilogo. Kedua, Kanjeng Kiai Guntur Madu. Gamelan sekaten
tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang
karawitan dan diyakini sebagai gamelan yang pertama kali dibuat. Alat
pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau.
b. Gendhing Sekaten yang merupakan serangakaian lagu gendhing,
diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima,
Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andhong-
andhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung
pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru
Putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet
lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet
barang.
35 Ibid. 36 Ibid.
28
c. Selain Gamelan Sekaten dan Gendhing Sekaten, perlengkapan-
perlengkapan lainnya yaitu uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam
sekaten dan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum
upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat
di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk
mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas
memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan
siram jamas.37
E. Budaya Sekaten dalam Perspektif Islam
Sebagaimana pendapat Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama,
bahwa sekaten yang merupakan acara peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad itu tidak ada tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun
perintah untuk mengadakannya.38 Sedangkan untuk dilakukan qiyas, tidak ada
riwayat yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasar
dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang
didasarkan illah mashlahah.39
Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar
kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, 37 Ibid. 38 Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah,
1998, hlm. 271. 39 Ibid
29
yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran
kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan
ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan
kebaikan dan menghindari kerusakan.40
Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten.
Karena tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis sebagai dasar hukum
menyelenggarakan sekaten, maka sekaten yang merupakan acara untuk
memperingati kelahiran Nabi saw tidaklah diharamkan dengan syarat acara yang
diselenggarakan itu tidak ada unsur-unsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal
yang dilarang oleh syari’at Islam.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus
benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan
dan keturunan. Namun, dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah
mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang banyak
menyalahi prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan.
Berikut analisis kepercayaan masyarakat seputar sekaten yang menyalahi
prinsip ajaran Islam:
1. Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka
akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda. Pada hari pertama acara
40 Ibid.
30
sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah
mengunyah daun sirih di halaman Masjid Gedhe.41
Kesyirikan yang termuat dalam kepercayaan ini adalah meyakini
bahwa ritual sekaten merupakan waktu sakral yang dapat mendatangkan
kemaslahatan bagi orang-orang yang mengikutinya, seperti dapat awet muda
dan mendapat pahala. Sedangkan Islam selalu mengajarkan pada umatnya
untuk menyandarkan segala urusannya kepada Allah dan tidak
mengkhususkan hari-hari tertentu yang tidak ada tuntunannya dalam al-
Qur’an ataupun al-Hadis. Hal ini bertentangan dengan surat Fatir ayat 2,
ب نم ل لهسرفلا م سكما يما وله سكمفلا م ةمحر ناس ملنل ح اللهفتا يم هدع يمكالح زيزالع وهو
Artinya :
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.42
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menganugrerahkan rahmat kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya, yaitu para hambanya yang beriman dan
bertaqwa. Bukan berarti orang-orang yang mengikuti acara sekaten itu pasti
mendapat rahmat Allah dengan dianugerahi awet muda. Karena merupakan
haq Allah untuk memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki.
41 Ibid. 42 Ibid, hlm. 434
31
Ancaman Allah sangat keras bagi orang yang melakukan kesyirikan,
sebagaimana Allah berfirman dalam sura al-Ma’idah ayat 72
من يشرك بالله فقد حرم الله عليه الجنة ومأواه النار وما للظالمني من أنصار
Artinya:
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada penolong sama sekali.43
2. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar
panennya berhasil.
Allah adalah pencipta segala alam semesta sebagaimana firman-Nya
di dalam surat al-Baqarah ayat 21-22
يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون الذي نم به جراء فأخاء ممالس نل مزأناء واء بنمالسا واشرف ضالأر ل لكمعج
قا لكمرز اترونالثملمعت متأنا واددأن لهلوا لعجفلا ت
Artinya:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.44
43 Ibid., hlm. 106 44 Ibid., hlm. 4
32
Patutlah kita sebagai hamba hanya menyembah dan memohon
kepada Allah dimana pun dan kapan pun, karena Allah adalah Dzat yang
maha mengabulkan Do’a. Allah berfirman dalam surat al-Qasash ayat 68
ارتخياء وشا يم لقخي كبرو
Artinya:
Dan rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.45
Manusia tidak diperbolehkan mengkhususkan hari untuk berdo’a
karena dianggap hari yang mustajab untuk berdo’a. Kecuali ada ayat
ataupun hadis yang menjadi dasar untuk mengkhususkan waktu-waktu
tertentu karena dianggap waktu yang mustajab untuk berdo’a seperti waktu
antara adzan dan iqamah. Maka perbuatan menghususkan hari
diselenggarakannya sekaten untuk berdo’a agar panennya berhasil
merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada satupun ayat al-Qur’an
maupun al-Hadis yang menjelaskan bahwa hari kelahran Nabi merupakan
waktu mustajab untuk berdo’a.
3. Gamelan adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai Sekati
yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kiai Nogowilogo dan Kanjeng
Kiai Guntur Madu. Selain itu, terdapat perlengkapan-perlengkapan lainnya
seperti uang logam, bunga kanthil, busana seragam sekaten yang diyakini
sebagai benda-benda sakral yang dapat memberikan berkah bagi
masyarakat.
45 Ibid., hlm. 393
33
Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena
Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu,
patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu
dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk
perbuatan menyekutukan Allah.
Selain itu, tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari para sahabat
bahwa mereka bertabarruk kepada orang selain Nabi, baik bertabarruk
dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak
pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Para sahabat
setelah wafatnya Nabi tidak ada seorang pun yang melakukan perbuatan
tabarruk kepada orang setelah Nabi. Padahal sepeninggal beliau tidak ada
manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq karena beliaulah
pengganti Nabi. Namun para sahabat tidak pernah bertabarruk kepada Abu
Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan ataupun Ali bin Abi Thalib, padahal merekalah orang-orang yang
paling mulia dari seluruh ummat.46
4. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam
penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk
mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas
46 Syaikh Nashir bin Abdirrahman, “Dilarang Bertabarruk Kepada Selain Nabi”,
http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-doa/38259-dilarang-tabarruk-pada-selain-nabi-sekalipun-generasi-terbaik. html akses 26 Juli 2012
34
memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan
siram jamas.47
Banyak masyarakat Yogyakarta menganggap acara sekaten adalah
ritual sakral yang tidak semua orang dapat mengemban tugas dalam
pelaksanaan sekaten. Orang yang bertugas dalam acara sekaten atau abdi
dalem juga harus melakukan serentetan ritual untuk mensucikan diri
sebelum mengemban tugasnya dalam acara sekaten. Salah satu syarat para
abdi dalem untuk mensucikan diri adalah dengan berpuasa.
Puasa adalah ibadah mahdloh (ibadah yang telah ditentukan rukun
dan syaratnya). Ini telah masuk dalam masalah ta’abbudi (ibadah khusus
atau lazim disebut ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus
mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah makbulah.48 Karena ibadah puasa
dalam acara sekaten ini tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an maupun as-
Sunnah padahal puasa merupakan amalan ta’abbudi, maka puasa para abdi
dalem ini dapat dikategorikan sebagai bid’ah.
Dalam buku Tanya Jawab Agama disebutkan bahwa bid’ah adalah
setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh
dari Rasulullah yang membenarkannya.49
47 Ibid. 48 Ibid., hlm. 138 49 Ibid., hlm. 233
35
Berikut kriteria amalan yang termasuk bid’ah menurut
Muhammadiyah:50
a. Bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan
tuntunan Rasul dan oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari
agama.
b. Bid’ah hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan agama (aqidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan
duniawi.
c. Sebagai kebalikan dari sunnah, maka bid’ah harus ditinggalkan dan
seperti dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan dalam Sunan Ibnu
Majah berikut, bid’ah adalah sesat.
Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.
5. Gunungan sesaji berbentuk kerucut pada acara Garebeg yang Terbuat dari
beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Setelah dido’akan
Gunungan sesaji tersebut dibawa ke halaman Masjid Gedhe. Banyak warga
yang berebut mengambil makanan dari gunungan sesaji tersebut karena
dianggap dapat membawa berkah. Bagian gunungan sesaji yang dianggap
sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah/ladang agar
sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan
malapetaka.
50 Ibid., hlm. 234
36
Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena
Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu,
patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu
dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk
perbuatan menyekutukan Allah satu-satunya tempat bergantung. Nabi SAW
bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
Allahu akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa ‘buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan’. Musa menjawab: ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’. Pasti, kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.
6. Pasar malam dalam perayaan sekaten banyak mengandung kemungkaran
seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya lelaki dan perempuan dan
banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya. Sekaten bukan acara
kebaikan yang di ridlai oleh Allah, tapi kedurkaan yang di benci-Nya.51
Allah berfirman dalam surat at-Thalaq ayat 8
وكأين من قرية عتت عن أمر ربها ورسله فحاسبناها حسابا شديدا وعذبناها
عذابا نكرا
Artinya:
Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu 51 Mahrus Ali, “Panitia Sekaten Nantang Allah, Patuh pada Iblis”, //panitia-perayaan-
sekaten-nantang-allah. html akses 1 januari 2012
37
dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.52 Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus
benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan
dan keturunan. Namun dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah
mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang menyalahi
prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan.
Meskipun sekaten dapat dijadikan sarana untuk syi’ar Islam, tetapi dalam
prakteknya, sekaten juga banyak mengandung unsur kesyirikan yang menjadikan
sekaten sebagai satu kegiatan menyekutukan Allah. Penetapan hukum atas dasar
kemaslahatan ini tidak lagi dapat digunakan untuk membenarkan budaya sekaten
karena kegiatan ini jelas menyalahi prinsip ketauhidan dan aqidah.
Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada
illahnya, dan ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat
mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan. Sedangkan kerusakan yang
timbul akibat diadakannya sekaten itu lebih besar karena dapat mendekatkan
masyarakat dengan kesyirikan dari pada manfaat yang didatangkannya seperti
untuk syi’ar Islam. Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah
53درء املفاصد مقدم على جلب املصاحل
Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
52 Ibid., hlm. 559 53 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ul Awwaliyah, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra,
tt), hlm. 34
38
Kaidah fiqhiyah ini menunjukan bahwa jika ada kerusakan dan manfaat
berkumpul pada satu perkara, maka yang harus lebih diutamakan adalah
menghilangkan kerusakan. Begitu pula dalam kegiatan sekaten, meskipun
kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap lebih
memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan dari
kegiatan sekaten.
Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara tahunan warga
Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus ditiadakan karena adanya
kepercayaan menyimpang masyarakat tentang sekaten. Budaya sekaten yang
awalnya diadakan oleh para wali untuk memudahkan da’wah Islam perlu
dimurnikan kembali sesuai niat awal para wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan
kepercayaan dalam acara sekaten yang menyimpang dari prinsip Islam harus
dihilangkan dan diluruskan agar sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at
Islam. Ketika sekaten telah murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka
penetapan hukum berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam
sekaten. Hal ini dapat dilakukan karena sekaten dapat menjaga kemaslahatan
seperti menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun hal ini
dapat dilakukan ketika sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaan-
kepercayaan mistis masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir,
ikhtilat (percampuran) antara lelaki dan permpuan, praktek penipuan dalam pasar
malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam.
39
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadatain yang pada
akhirnya menjadi istilah Sekaten. Budaya sekaten dimulai dari zaman
Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah pada tahun 1400 Saka
atau 1478 Masehi. Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat yang
sudah melekat dengan ajaran Hindu untuk masuk Islam. Kemudian Raden
Patah mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo. Dari pertemuan
tersebut Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap
melaksanakan adat agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan
agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam. Dari sinilah awal mula
diadakannya acara sekaten yang merupakan peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad. Acara sekaten diadakan selama seminggu penuh dengan
membunyikan gamelan Kenjeng Kiai Sekati dan Kanjeng Kiai Nogowilogo.
Hal ini dilakukan untuk menarik masyarakat agar datang ke Masjid Gedhe
dan mendengarkan riwayat hidup Nabi Muhammad. Namun, sekarang ini
praktek sekaen sudah banyak melenceng dari niat awal para Walo Songo
mengadakan acara sekaten ini. Banyak kepercayaan mistis dari masyarakat
yang menjadikan sekaten menjadi sarana kemusyrikan dan kemaksiatan.
40
2. Islam tidak melarang umatnya untuk melestarikan kebudayaan selama
kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Begitu
pula dengan budaya sekaten. Tidak ada larangan maupun perintah dalam al-
Qur’an dan al-Hadis tentang budaya sekaten, maka dapat dilakukan ijtihad
istishlahi untuk menetapkan hukum sekaten, yaitu ijtihad yang didasarkan
illah mashlahah. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima
hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun prakteknya
sekarang ini, sekaten banyak mengandung unsur kemusyrikan yang
bertentangan dengan prinsip Islam seperti keyakinan masyarakat bahwa
dengan mengikuti sekaten maka akan dianugerahi awet muda, gunungan
sesaji dan gamelan dapat memberi berkah, puasa pensucian diri yang tidak
disyari’atkan Islam, pasar malam dalam perayaan sekaten banyak
mengandung kemungkaran seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya
lelaki dan perempuan dan banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya.
Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah
درء املفاصد مقدم على جلب املصاحل
Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
Kaidah fiqhiyah ini dapat diterapkan dalam hukum sekaten, karena
meskipun kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap
lebih memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan
dari kegiatan sekaten. Begitu banyak kesyirikan yang terkandung dalam
acara sekaten, sedangkan Allah sangat tidak mentolerir dosa syirik. Oleh
41
karena itu, budaya sekaten hukumnya haram dan harus ditiadakan untuk
menghentikan praktek kemusyrikan yang berkembang di masyarakat.
3. Masyarakat Yogyakarta yang mayoritas beragama Islam haruslah kembali
memurnikan aqidah dengan membuang kepercayaan dan perbuatan syirik
dalam acara sekaten. Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara
tahunan warga Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus
ditiadakan karena adanya kepercayaan menyimpang masyarakat tentang
sekaten. Budaya sekaten yang awalnya diadakan oleh para wali untuk
memudahkan da’wah Islam perlu dimurnikan kembali sesuai niat awal para
wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan kepercayaan dalam acara sekaten
yang menyimpang dari prinsip Islam harus dihilangkan dan diluruskan agar
sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at Islam. Ketika sekaten telah
murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka penetapan hukum
berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam sekaten. Hal ini
dapat dilakukan jika kegiatan sekaten telah benar-benar menjaga agama,
jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Hal ini dapat dilakukan ketika
sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaan-kepercayaan syirik
masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir, ikhtilat
(percampuran) antara lelaki dan perempuan, praktek penipuan dalam pasar
malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam.
B. SARAN-SARAN
Penulis ingin menyampaikan saran kepada semua kaum muslimin
khususnya di Kota Yogyakarta untuk meninggalkan segala kepercayaan dan
42
perbuatan syirik. Tentu sangat disayangkan jika budaya sekaten yang telah
berabad-abad menjadi budaya tahunan di Kota Yogyakarta harus dihentikan
karena banyak kepercayaan dan perbuatan masyarakat yang menyimpang dari
Islam. Telah sepatutnya umat Islam mendahulukan syari’at Islam yang telah
sempurna dari pada segala hal yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa
manusia.
C. KATA PENUTUP
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. Dengan
kemurahan dan limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan risalah ini
sesuai dengan ketentuan perguruan.
Bersama dengan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang banyak membantu baik secara moril maupun materiil, semoga
amal baiknya diterima oleh Allah swt.
Bila ada kebenaran itu datangnya hanya dari Allah dan jikalau ada suatu
kekurangan dan kesalahan itu adalah datang dari diri penulis sendiri. Oleh karena
itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar risalah ini dapat lebih sempurna.
Akhirnya hanya kepada Allah swt tempat memohon dan tempat
berlindung, semoga risalah ini dapat bermanfaat untuk penulis sendiri serta bagi
pembaca lainnya.