1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inti ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi yaitu, al-Qur‟an dan hadits
(sunnah). Keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Banyak ayat-ayat al-Qur‟an
yang tidak bisa diartikan dengan benar dan tepat tanpa bantuan keterangan dari
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh adalah tentang tata cara shalat
yang tidak mungkin dipraktekan tanpa bantuan dari Sunnah Nabi. Karena al-
Qur‟an sendiri tidak menyebutkan tata cara shalat itu dan al-Qur‟an hanya
menegaskan hanya wajibnya shalat lima waktu itu saja.
Masa kontemporer sekarang ini pembahasan tentang hadits Nabi
Muhammad SAW banyak mendapat perhatian baik dari kalangan muslim maupun
non-muslim. Kajian-kajian masa kini banyak dilakukan terhadap hadits baik yang
menyangkut kritik terhadap otentitasnya maupun metodologi pemahamannya
yang terus berkembang.
Perkembangan pemahaman tersebut didasari oleh pemikiran bahwa
diperlukan adanya pendekatan lain selain pendekatan yang sudah dilakukan oleh
muhaditsin terdahulu seperti menggunakan ilmu asbab al wurud untuk memahami
hadits Nabi Muhammad SAW yang ada ada penyebab sebuah hadits disabdakan
oleh beliau.
Hadits nabi Muhammad SAW tidak semuanya ada asbab Al- Wurud nya,
menghadapi permasalahn ini, maka alim ulama atau ahli hadits menggunakan
pendekatan-pendekatan lain untuk memahami sebuah hadits. Pendekatan-
pendekatan tersebut adalah dengan pendekatan historis, sosiologis,
fenomenologis, sosio-kultural, filosofis. Sebagaimana diketahui bahwa pendekatan
tersebut biasa digunakan dalam studi Islam untuk mengkaji berbagai persoalan
masyarakat muslim terhadap pemahaman ajaran-ajaran agama Islam.
Pemikiran perlunya pemahaman hadits menggunakan pendekatan-
pendekatan lain selain pendekatan tersebut adalah untuk dapat mengungkapkan
2
makna kontekstual yang terdapat dalam sebuah hadits dan bukan hanya
memahami sebuah hadits hanya berdasarkan teksnya.
Realitanya bahwa hadits nabi lebih banyak dipahami secara tekstual,
bahkan belakangan gejala ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja
di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam lainnya.
Pendekatan ini–terhadap sebahagian hadis Nabi merupakan satu
keharusan–tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-
persoalan yang muncul belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang
kontradiktif sehingga memalingkan kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena
pemahaman seperti ini maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang
hadis yang tampak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–meskipun
ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu
hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan makbul (shahih).
Pemahaman hadits menggunakan pendekatan tersebut diharapkan akan
mampu memberikan pemahaman hadits yang relatif lebih tepat, apresisif dan
akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga dalam
memahami suatu hadits tidak hanya terpaku pada zhahirnya teks hadits melainkan
harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu. Dengan demikian hadits-
hadits nabi Muhammad SAW sebagai mitra al-qur‟an secara teologis juga
diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk membantu menyelesaikan
permasalahan masyarakat sekarang dan masa kontemporer sekarang.1
Seorang muslim berhadapan dengan hadis-hadis Rasulullah SAW dan
ingin beribadah keapda Allah, maka sebelum mengamalkan hadis-hadis tersebut,
dia harus memahami beberapa hal yang merupakan kaidah (dalam memahami)
hadis itu. Agar pemahamannya benar dan pengamalannya terhadap hadis tersebut
mendapat petunjuk.
Ketika Rasul mengucapkan suatu hadis atau beramal dengan suatu amalan,
sesungguhnya beliau menghendaki maksud tertentu dari ucapan dan amalan
1 Suyudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1990) h. 14
3
tersebut, sehingga tidak ada perbedaan yang kontradiktif antara lafadz hadis
(teksnya) dan maknanya serta keterangan dari hadis tersebut. Karena jika hadis
dipahami dengan salah atau diamalkan tidak sesuai dengan maksud hadis itu,
maka akan turun wahyu untuk meluruskan (amalan yang salah itu) dan
mengoreksinya.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah hadis sebenarnya tidak bertambah
lagi setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sementara permasalahan yang dihadapi
oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh
karena itu, untuk memahami hadis secara cepat, diperlukan adanya suatu
pendekatan baik yang berhubungan dengan sanad hadis maupun matan hadis,
dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu dalam mencari kebenaran penafsiran
melalui beberapa pendekatan yang komprehensif.
B. Batasan Masalah
Pembahasan mengenai Pendekatan dalam Pemahaman Hadits akan sangat
luas cakupannya, penulis akan membatasi pada beberapa topik berikut ini :
A. Pengertian Pendekatan Pemahaman Hadits
B. Urgensi Pendekatan dalam Pemahaman Hadits
C. Beberapa Pendekatan dalam Pemahaman Hadits (Pendekatan Sosiologis,
Historis, Fenomenologis, Sosio Kultural, Filosofis dan contoh).
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan dalam Pemahaman Hadits
Pendekatan menurut Ramayulis merupakan terjemahan dari kata “approach”
dalam bahasa inggris, diartikan dengan come near (menghampiri) go to (jalan ke)
dan way path dengan (arti jalan) dalam pengertian ini dapat dikatakan bahwa
approach adalah cara menghampiri atau mendatangi sesuatu.2 Pendekatan juga
berarti cara pandang terhadap sebuah objek persoalan, dimana cara pandang
tersebut adalah cara pandang dalam konteks yang lebih luas.
Menurut Ibn Manzhur, kata „hadits‟ berasal dari bahasa Arab, yaitu al-
hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata
ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim
(yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar berita atau berita.3
Di samping pengertian tersebut, M.M Azami mendefinisikan bahwa kata
„hadits‟ secara etimologi berarti „komunikasi‟, „kisah‟, „percakapan‟: religius atau
sekular, historis atau kontemporer.4
Secara terminologi, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama
ushul, merumuskan hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut
disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu
saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.5
Sebagian ulama berkata, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi SAW, meliputi perkataan (qaul), perbuatan, atau
ketetapan (taqrir), termasuk sifat khuluqiyyah (berkaitan dengan akhlak Nabi) dan
khalqiyyah (berkaitan dengan fisik Nabi), baik sebelum bi‟tsah (diutus menjadi
2 Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2006) h. 85
3 Muhammad Ibn Mukaram Ibn Manzhur. Lisan al-Arab. Juz II. 1992. h. 131.
4 M.M Azami. Studies in Hadits Methodologi dan Literature. Terj. Meth Kieraha. (Jakarta:
Lentera. 2003) h. 21-23. 5 Endang Soetari. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: Mimbar Pustaka.
2005) h. 2.
5
rasul) maupun sesudahnya. Definisi tersebut dianut oleh ulama hadis. Mereka
berangkat dari asumsi bahwa Nabi SAW adalah uswah hasanah, sehingga semua
yang datang dari beliau layak untuk dijadikan teladan hidup.
Hadits merupakan sumber berita yang datang dari Nabi Muhammad SAW
dalam bentuk, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan.
Definisi di atas memberikan kesimpulan, bahwa hadits mempunyai komponen,
yaitu sebagai berikut.6
1. Hadits perkataan yang disebut dengan hadis qawli, misalnya sabda
beliau:
“Jika dua orang muslim bertemu dengan pedangnya, maka pembunuh
dan yang dibunuh di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari)
2. Hadis perbuatan, disebut hadits fi‟il, misalnya shalatnya beliau, haji,
perang, dan lain-lain.
3. Hadits persetujuan, disebut hadits taqriri, yaitu suatu perbuatan atau
perkataan di antara para sahabat yang disetujui Nabi. Misalnya, Nabi
diam ketika melihat bahwa Ibnu Abbas menyuguhi beliau dalam satu
nampan minyak samin, mentega, dan daging binatang dhabb (sejenis
biawak tetapi bukan biawak). Beliau makan sebagian dari mentega dan
minyak samin itu dan tidak mengambil daging binatang dhabb karena
jijik. Seandainya haram, tentunya daging tersebut tidak disuguhkan
kepada beliau. (HR. Al-Bukhori)
Secara epistemologis, hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‟an. Sebab ia merupakan penjelasan
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang masih mujmal (global), „amm (umum) dan
mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri, hadis dapat berfungsi sebagai
penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur‟an. Namun
demikian memahami maksud suatu hadis secara baik, terkadang tidak mudah.
6 Abdul Majid Khon. Ulumul Hadits. Jakarta: AMZAH. 2013. Hlm. 3-4.
6
Terutama ketika kita menemukan hadis-hadis yang secara tekstual terkesan tidak
sejalan dengan perkembangan zaman, termasuk pula hadis-hadis yang tampak
saling bertentangan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendekatan
pemahaman dalam hadits merupan cara pandang terhadap untuk memahami hadits
nabi Muhammad SAW berdasarkan teks maupun konteksnya.
B. Urgensi Pendekatan Dalam Pemahaman Hadits
Urgensi bisa berarti „pentingnya‟, misalnya urgensi „kepemimpinan muda‟
itu lebih berarti „pentingnya kepemimpinan muda‟. Dalam pembahasan ini akan
dibahas pentingnya pendekatan dalam pemahaman hadis.
Seluruh umat Islam, tanpa terkecuali telah sepakat bahwa hadis merupakan
salah satu sumber ajaran Islam yang menempati kedudukannya sangat penting
setelah al-Qur‟an. Sunnah atau hadits digunakan sebagai pendoman hidup umat
muslim sepanjang zaman kedua setelah al-Qur‟an. Posisi hadits sangat penting
dalam menentukan hukum dalam menjalankan kehidupan sosial sebagai umat
muslim, namun berbagai macam problematika umat yang bertambah dan selalu
berganti di setiap masa menuntut manusia untuk terus bergerak atau bermobilitas.
Allah telah berjanji melindungi isi al-Qur‟an dari tangan-tangan yang
ingin merusaknya, sehingga bentuk dan isi al-Qur‟an dari zaman Nabi
Muhammad ketika pertama kali diutus hingga zaman modern tidak mengalami
perubahan sedikitpun. Namun, hadis yang bersumber dari qouliyah,
fi‟liyah dan taqririyah Rasulullah yang disampaikan oleh para sahabat melalui
jalur periwayatan memiliki banyak kekurangan.
Permasalahan-permasalahan yang belum pernah dibahas di dalam al-
Qur‟an atau sunnah rasul, menyebabkan ulama maupun tokoh Islam terus
menerus mengkaji al-Qur‟an dan sunnah untuk menemukan jawaban-jawaban dari
problematika sosial yang ada.
7
Di lingkungan umat Islam sering muncul pendapat yang eksklusif yang
merasa bahwa pemahaman mereka terhadap sebuah hadits adalah yang paling
benar. Munculnya realitas sosial yang melanda sebagian umat Islam bahwa
mereka merasa paling benar tersebut timbul akibat adanya perbedaan cara
pandang atau pendekatan dalam memahami hadits dengan pemahaman yang
dijalani oleh kelompok lainnya. Dan jika pendekatan dalam memahami hadits
dapat disadari secara jernih, kemungkinan memandang pemahaman dirinya paling
benar akan bisa terhindarkan, karena masing-masing menyadari perbedaan titik
berangkat pemahaman yang menyebabkan hasil pemahamannya juga berbeda.7
Perbedaan pemahaman di atas tercermin misalnya, perbedaan pendekatan
dalam memahami hadits tentang larangan wanita menjadi pemimpin, larangan
melukis dan memajang gambar makhluk bernyawa, keabsahan tampuk
kepemimpinan dari kerturunan Quraisy, dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini dibahas berbagai pendekatan dengan alat bantu keilmuan
yang pernah dihasilkan pada abad modern dalam memahami hadits Nabi,
misalnya dengan bantuan disiplin ilmu sosiologi, historis, fenomenologis, sosio-
kultural, dan fiosofis. Semua metode pendekatan tersebut dengan melihat konsep
hadits, sehingga hadits tersebut dapat didekati dengan pendekatan yang sesuai
dengan konteks konsep hadits. Implikasinya adalah hadits dimaknai sesuai porsi
dan kandungannya.
Memahami hadits secara benar, diperlukan adanya suatu pendekatan.
Dengan beberapa pendekatan yang akan dibahas dalam sub berikutnya akan
mampu memberikan pemahaman hadits yang relatif lebih tepat, terhadap
perubahan dan perkembangan zaman sehingga.
Ayat al-Qur‟an maupun hadits tidak semua dapat dipahami apa adanya,
selain kualitas hadits yang bisa dihukumi sahih, hasan dan dhoif, ada beberapa
matan hadits yang tekstual pun ada pula yang kontekstual. Namun tidak semua
7 Aryasupang.pdf. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (telaah atas pemikiran Syuhudi Ismail)
diunduh 12 Mei 2018. h. 2
8
orang pada umumnya mengetahui hal ini, dan cenderung menggunakan berbagai
hadis nabi yang telah diyakini meski tidak benar-benar mengerti makna
sebenarnya. Hal inilah yang menjadi permasalahan besar dan tugas umat Islam
bersama.
Manusia sebagai makhluk yang fana, tentu pernah melakukan kesalahan,
sehingga mempengaruhi kebenaran hadis itu sendiri. Untuk itulah wajib bagi umat
muslim dimanapun dia berada untuk memahami hadis dan tidak menggunakannya
tanpa meneliti sebelumnya.
C. Pendekatan Dalam Pemahaman Hadits
Hadits atau „sunnah‟ adalah segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Nabi
SAW baik berupa perkataan (qaul) atau ketetapan (taqrir) atau sifat (Khuluqiyah)
sifat akhlaq nabi atau (kholqiyah) sifat ciptaan atau bentuk tubuh nabi sebelum
bi‟tsah (diutus menjadi rosul) atau sesudahnya. Secara epistemologis, hadits
dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur‟an, sebab ia merupakan bayan (penjelasan), terhadap ayat-ayat al-Quran
yang masih mujmal (global), „am (umum) dan mutlaq (tanpa batasan). Bahkan
secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqorrir) suatu hukum
yang belum ditetapkan oleh al-Qur‟an.
Namun demikian untuk memahami maksud suatu hadis secara baik
terkadang relatif tidak mudah, khususnya jika menjumpai hadits-hadits yang
tampak saling bertentangan. Terhadap hal yang demikian, dilakukannya analisis
pemahaman hadis dengan beberapa pendekatan di antaranya :
1. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi berasal dari bahasa Latin sicius yang berarti teman, dan
logos yang berarti berkata atau berbicara tentang manusia yang
berteman atau bermasyarakat.8
8 Abdul Sani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, (Lampung: Pustaka Jaya, 1995) h. 2
9
Secara terminologis sosiologi adalah ilmu yang mempelajarai
tentang struktur sosial dan proses-proses sosial temasuk perubahan
sosial.9
Ulama menyarankan menggunakan pendekatan sosiologis agar
orang yang memaknai dan memahami hadits memperhatikan keadaan
masyarakatsetempat secara umum. Kondisi masyarakat saat
munculnya hadits sangat mempengaruhi munculnya suatu hadits. Jadi
keterkaitan antara hadits dengan situasi pada sat itu tidak dapat
dipisahkan, karena hal itu, maka memahami kondisi masyarakat harus
dipertimbangkan agar pemaknaan tersebut tidak salah.10
Pendekatan sosiologis terhadap suatu hadis merupakan usaha untuk
memahami hadits dari aspek tingkah laku sosial masyarakat pada saat
itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologis
terhadap hadits adalah mencari uraian dan alasan tentang posisi
masyarakat sosial yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan
dalam hadits. Penguasaan konsep-konsep sosiologi dapat memberikan
kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hadits
dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar
mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik. Misalnya
hadits berikut:11
م اال هع ذى هحرم ال تسافر الورأة ثالث أيا
Artinya : Janganlah seorang wanita bepergian sejauh perjalanan
(yang ditempuh) tiga hari kecuali bersama mahrom.
9 Aulin Ni‟am Masruri. Methode Syarah Hadis. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015)
h.236 10
Abudin Nata. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h.9 11
Diambil dari http://sangperaihimpian.blogspot.co.id/2012/02/memahami-hadis-dengan-
pendekatan-bahasa.html, 11 Mei 2018, pukul 11.05 WIB.
10
Hadits di atas memiliki makna yang tersirat yakni larangan bahwa
Rasullah SAW sebenarnya menghendaki keamanan pada kaum
perempuan pada saat bersafar. Mengingat pada masa itu dimana orang
yang hendak bepergian ia menggunakan kendaraan seperti onta,
keledai dan lain-lain. Tentu sangatlah berbeda dengan keadaan
sekarang yang mana sarana transportasi sungguh lebih modern.
Namun ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan hadits di
atas sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah dan
didukung oleh mayoritas ulama hadits adalah wajib hukumnya yang
hendak haji, harus disertai mahrom atau suami, namun menurut Imam
Syafi‟i tidak wajib ia hanya keamanan saja, keamanan bisa diperolah
oleh adanya mahrom atau suami perempuan-perempuan lain yang
dapat dipercaya.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologis
terhadap hadits adalah mencari uraian dan alasan tentang posisi
masyarakat sosial yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan
dalam hadits. Dengan memahami hadis melalui pendekatan sosiologis
kita dapat memahami hadits dari aspek tingkah laku sosial masyarakat
pada saat itu, dan sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama dan hadits.
2. Pendekatan Historis
Pendekatan historis dalam memahami hadits adalah memahami
hadits dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa
sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadits.
Pemahaman hadis dengan pendekatan historis dapat dilihat misalnya
dalam memahami hadits tentang hukum rajam, sebagai salah satu
produk hukum Islam yang sampai saat ini masih dianggap perlu untuk
diberlakukan menurut sebagian fuqaha. Penetapan hukum rajam hanya
11
dijumpai dari hadits yang diberlakukan bagi pelaku zina muhsan.
Contoh haditsnya ialah12
:
“Telah menceritakan kepadaku (Imam al Bukhori) Isma‟il ibn
Abdullah. Ia telah mengatakan bahwa Malik telah menceritakan
kepadaku yang ia terima dari Nafi; dan Nafi‟ ini menerima dari
Abdullah ibn „umar r.a. yang berkata bahwa sekelompok orang
Yahudi datang kepada Rasulullah SAW. Sambil menceritakan
(masalah yang mereka hadapi) bahwa seorang laki-laki dan
perempuan dari kalangan mereka telah melakukan perbuatan zina.
Kemudian Rasulullah menanyakan kepada mereka;” Apa yang kamu
temukan dalam kitab Taurat mengenai hukum rajam?”, Mereka
menjawab; “kami mempermalukan dan mendera mereka”. Kemudian
Abdullah ibn Salam berkata:” Kamu semua berdusta, sebab kitab
Taurat itu ada hukum rajam. Ambillah kitab Taurat!”, Dan Mereka
menggelar kitab Taurat untuk dibaca, tetapi salah satu diantara
mereka meletakkan telapak tangannya tepat diatas ayat rajam dan dan
hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja, Kemudian Abdullah
ibn Salam berkata lagi: “Angkat tanganmu”. Lalu orang itu
mengangkat tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam.
Selanjutnya mereka mengatakan:”Benar ya Muhammad bahwa dalam
kitab Taurat ada ayat rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan
untuk melakukan hukum rajam tersebut…..”(H.R.Bukhori)
Hadits tersebut pada akhirnya menimbulkan polemik terhadap
pemberlakuannya diterima atau ditolak. Bagi yang menolak
berargumen dengan memberikan argumen bahwa hadits tersebut
dinasakh oleh ketentuan Al-Qur‟an Surat An-Nur ayat: 2 tentang
hukum dera 100 kali.
12
Diambil dari http://niameyulwiya.blogspot.co.id/2013/06/pendekatan-dalam-memahami-
hadits.html 11 Mei 2018, pukul 11.15 WIB.
12
3. Pendekatan Fenomenologis
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang
mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Fenomenologi
menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam
kesadaran. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam
membangun makna dan konsep yang bersifat intersubyektif. Oleh
karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan
makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep
atau gejala. Artinya fenomenologi merujuk kepada semua pandangan
sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya
sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Dalam hal memahami hadits dengan pendekataan fenomenologis
ini berarti menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah
fenomena dimana perilakunya, perbuatannya, dan ketetapannya untuk
membangun sebuah konsep yang menempatkan umat manusia dalam
keberlangsungan hidupnya. Sebagai contoh hadits perkataan Nabi;
“Mereka para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, amalan Islam
yang manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab: “yaitu orang
yang kaum muslimin selamat dari gangguan mulutnya dan
tangannya.”
Pendekatan ini memperhatikan dua aspek yang dibedakan yaitu :
segi otensitas hadits dan sisi relevansi ajaran. Jika otensitas suatu
hadits dapat diterima belum tentu relevan untuk diterapkan. Untuk
dapat diterapkan secara relevan maka harus dikaji konteksnya, baik
pada masa nabi, masa periwayat, dan masa sekarang.13
4. Pendekatan Sosio-Kultural
13
Alamsyah. Pdf. Memahami Hadis Nabi Tentang Khitan Perempua dari Perspektif
Historis-Fenomenologis. Diacces 12 Mei 2018. Pukuk 23.00 WIB. H. 112
13
Manusia merupakan makhluk sosial yang diberikan berbagai
potensi oleh Allah untuk mengembangkan diri dalam kehidupannya.
Sosio-kultural menekankan bagaimana seseorang menyertakan
kebudayaan ke dalam penalaran, interaksi sosial, dan pemahaman diri
mereka. Ini berarti pendekatan sosio kultural dalam pemahaman hadits
Rasululah SAW menyertakan kebudayaan dan keadaan sosial pada
saat dan menjelang hadits tersebut disabdakan.
Hal itu dilakukan apabila dalam sebuah hadits diindikasikan
terdapat aspek kebudayaan dan aspek sosiologis sekaligus. Pendekatan
sosio-kultural ini dapat diterapkan dalam memahami hadits, misalnya
tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Sebagaimana riwayat
al-Bukhari: lan yufliha qawm wallaw amrahum imra‟ah. Bunyi matan
hadits tersebut adalah sebagai berikut:14
لن يفلح قوم ولوا اهرهن اهراة )رواه البخارييي(
Jumhur ulama memahami hadits kepemimpinan politik perempuan
secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk
hadits tersebut pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim
pengadilan, dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam
agama. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa perempuan menurut
syara‟ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.
5. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis dalam pemahaman hadits memiliki arti
mengkaji dan memahami hadis dengan menggunakan disiplin Ilmu
Filsafat. Dimana pendekatan filosofis menggunakan pikiran. Dalam
memahami hadits itu diperlukan pikiran menyelesaikan permasalahan-
permasalahan dan persoalan Islam.
14
Ditulis oleh Fasjud Syukroni. http://www.icmi.or.id/blog/2015/10/pendekatanpendekatan-
modern-dalam-memahami-hadis-nabi, 11 Mei 2018, pukul 11.30
14
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian pendekatan
filosofis adalah upaya pendekatan hadits melalui ilmu filsafat.
Berfikir secara filosofis, dapat digunakan dalam memahami hadits agar
hikmah, hakikat atau inti dari hadits tersebut dapat dimengerti dan
dipahami secara seksama. Karena itu ketika memahami hadits,
pertanyaan pertama setelah tidak ada kata-kata sukar ialah pernyataan
ini berisi kiasan apa tidak. Tergesa-gesalah orang yang berpikir bahwa
kalimat yang terkandung di dalam hadits itu bertentangan dengan
kenyataan atau tidak masuk akal karena hanya terdapat kata kiasan di
dalam hadits. Misalnya hadis yang memiliki arti:
”…ketahuilah bahwa surga itu di bawah bayang-bayang pedang
…”
Kalimat ini tidak bisa tidak, harus dipahami sebagai kiasan.
Mustahil bila surga itu benar-benar terdapat di bawah bayang-bayang
pedang. Tetapi yang dimaksudkan dalam hadits ini, surga itu diraih
dengan kerja keras, kesungguhan serta ketulusan seperti perjuangan
berperang melawan musuh-musuh Allah SWT.
15
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut ini :
1. pendekatan pemahaman dalam hadits merupan cara pandang terhadap untuk
memahami hadits nabi Muhammad SAW berdasarkan teks maupun
konteksnya.
2. Penggunaan pendekatan lain dalam memahami hadits diantaranya
pendekatansosiologis, historis, fenomenologis, sosio kultural, serta filosofis
sangatlah penting untuk menghindari adanya kesan pendapat yang eksklusif
yang menyatakan paling benar dalam mamahami hadits.
3. Pendekatan sosiologi dalam memahami hadits dilakukan dengan
mempertimbangkan struktur sosial dan proses-proses sosial temasuk
perubahan sosial terkait dengan keluarnya sebuah hadits.
4. Pendekatan historis dalam memahami hadits adalah memahami hadits dengan
memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait
dengan latar belakang munculnya hadits.
5. Memahami hadits dengan pendekataan fenomenologis ini berarti menjadikan
Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah fenomena dimana perilakunya,
perbuatannya, dan ketetapannya untuk membangun sebuah konsep yang
menempatkan umat manusia dalam keberlangsungan hidupnya.
6. Pendekatan sosio kultural dalam pemahaman hadits Rasululah SAW
menyertakan kebudayaan dan keadaan sosial pada saat dan menjelang hadits
tersebut disabdakan.
7. Pendekatan filosofis dalam memahami hadits dengan berfikir mendalam agar
hikmah, hakikat atau inti dari hadits tersebut dapat dimengerti dan dipahami
secara seksama.
16
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah. Pdf. Memahami Hadis Nabi Tentang Khitan Perempua dari
Perspektif Historis-Fenomenologis. Diacces 12 Mei 2018. Pkl. 23.00 WIB
Aryasupang.pdf. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (telaah atas pemikiran
Syuhudi Ismail) diunduh 12 Mei 2018
Azami, M.M. Studies in Hadits Methodologi dan Literature. Terj. Meth Kieraha.
(Jakarta: Lentera. 2003)
Idris. Studi Hadis. (Jakarta: PT. Fajar Interpratama, 2013)
Ismail, Suyudi. Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1990)
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta: AMZAH. 2013
Masruri, Aulin Ni‟am. Methode Syarah Hadis. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya,
2015)
Muhammad Ibn Mukaram Ibn Manzhur. Lisan al-Arab. Juz II. 1992.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2006)
Sani, Abdul, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, (Lampung: Pustaka Jaya,
1995)
Soetari, Endang. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: Mimbar
Pustaka. 2005)
...... http://sangperaihimpian.blogspot.co.id/2012/02/memahami-hadis-dengan-
pendekatan-bahasa.html, 11 Mei 2018, pukul 11.05 WIB.
......http://niameyulwiya.blogspot.co.id/2013/06/pendekatan-dalam-memahami-
hadits.html 11 Mei 2018, pukul 11.15 WIB
...... http://niameyulwiya.blogspot.co.id/2013/06/pendekatan-dalam-memahami-
hadits.html 11 Mei 2018, pukul 11.15 WIB
......http://www.icmi.or.id/blog/2015/10/pendekatanpendekatan-modern-dalam-
memahami-hadis-nabi, 11 Mei 2018, pukul 11.30