-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada sejak dahulu kala sampai saat ini
paradigma realis adalah paradigma yang mendominasi dalam kajian studi ilmu
hubungan internasional. Pada dasarnya kaum realis memiliki beberapa asumsi
dasar seperti halnya, bahwa negara adalah aktor utama dalam sistem internasional,
sistem internasional yang ada di dunia adalah sistem yang bersifat konfliktual
(anarki) dimana setiap negara hanya mementingkan kepentingan negaranya
sendiri untuk memperoler power serta kekuasaan sebanyak-banyak tanpa
memperdulikan kepentingan pihak lain atau yang biasa kita sebut dengan struggle
for power. Negara sebagai aktor utama selalu bertindak berdasarkan rasional
dimana selalu menghitung cost and benefit yang akan didapatkan, dan yang paling
utama dalam paradigma realis adalah bahwa power, kekuasaan, dan kepentingan
adalah faktor penting dalam menjelaskan segala fenomena yang terjadi dalam
dunia internasional. Berbicara tentang dunia internasional dalam pandangan realis
selalu erat kaitannya dengan dunia yang anarki, penuh konflik, dan penuh dengan
perebutan kekuasaan yang tiada henti. 1
Pandangan kaum realis tersebut juga tergambar dalam konflik yang terjadi
di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT)2
1 James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, Contending Theories of International Relations: A
Comprehensive Survey, 5th ed (New York: Longman, 2001), page 63–64. 2 Pengunaan istilah (RRT) berdasarkan Keppres RI No. 12 Tahun 2014 pada keputusan poin
kedua berbunyi “Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka dalam semua kegiatan
-
2
beserta 4 negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei
Darussalam). Laut Tiongkok Selatan secara geografis merupakan bagian dari
Samudera Pasifik. Membentang dari selat Malaka sampai ke selat Taiwan,
dikelilingi oleh negara-negara ASEAN, di utara berbatasan dengan RRT dan
Taiwan, barat berbatasan dengan Vietnam Kamboja dan Thailand, Selatan
berbatasan dengan Malaysia, Brunai Darussalam, Indonesia dan Singapura, di
timur berbatasan dengan Filipina yang memiliki luas 3,5 juta km² yang memiliki
banyak potensi yang dimiliki berupa kandungan hayati, mineral minyak bumi dan
gas, serta menjadi area jalur perdagangan dan pelayaran iinternasional.3
Laut Tiongkok Selatan merukapan laut yang memiliki luas sekitar 3,5 juta
kilometer persegi. Luas tersebut merupakan 39% dari total luas wilayah laut di
Asia Tenggara yang berjumlah lebih kurang 8,9 juta kilometer persegi. Klaim
pertama kali di Laut Tiongkok Selatan terjadi pada tahun 1947 yang dilakukan
oleh Tiongkok yang secara sepihak mengklaim hampir seluruh wilayah Laut
Tiongkok Selatan dengan menerbitkan peta secara sepihak yang berupa tanda
sembilan garis putus-putus di seputar wilayah perairan itu.4 Hingga sekarang
masih terjadi pertikaian konflik atau saling klaim antara negara yang merasa
memiliki hak atas wilayah sekitar Laut Tiongkok Selatan, seperti Negara Republik
penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina
diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik
Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.” 3 Anugrah baginda Harahap, “Upaya ASEAN Dalam menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok
Selatan Tahun 2010 – 2015”, JOM FISIP Vol. 3 No. 2 – Oktober 2016, hal. 2 4 Akmal Akmal and Pazli Pazli, ―Strategi Indonesia Menjaga Keamanan Wilayah Perbatasan
Terkait Konflik Laut Tiongkok Selatan Pada Tahun 2009-2014,” Jom Fisip Volume 2 No. 2
Oktober 2015, Universitas Riau, hal. 2.
-
3
Rakyat Tiongkok (RRT), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei
Darussalam.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya konflik di
wilayah Laut Tiongkok Selatan yaitu adanya perbedaan Klaim antara Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) dengan beberapa negara anggota ASEAN seperti
Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pihak Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) sendiri mengeluarkan serta mengklaim peta yang biasa disebut
Nine Dash Line atau 9 garis putus-putus dalam perbatasan laut atau ZEE mereka
di wilayah Laut Tiongkok, yang didasari oleh catatan sejarah, peta-peta kuno pada
zaman dinasti, dokumen-dokumen kuno, dan penggunaan gugus pulau di
sekitaran daerah sengketa oleh nelayannya yang diperkirakan sejak 2000 tahun
yang lalu.5 Namun, dilain pihak negara-negara ASEAN (Vietnam, Filipina,
Malaysia dan Brunei Darussalam) yang terlibat konflik lainnya menggunakan
patokan untuk menentukan ZEE berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional
1982.6
Penyebab yang kedua mengapa konflik di Laut Tiongkok Selatan
berkelanjutan dikarenakan setiap negara yang terlibat konflik menginginkan
kekayaan sumber daya alam dan nilai strategis yang dimiliki oleh wilayah Laut
Tiongkok Selatan. Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu perairan penting
dan strategis dalam pelayaran internasional bukan hanya bagi Republik Rakyat
5 Tues Kindyana, Kebijakan Jepang dalam Mengamankan Kepentinganya terkait Konflik Laut
Tiongkok Selatan, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta, hal. 31 – 35. 6 Faudzan Farhana, Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Tiongkok Selatan, Jurnal Penelitian Politik, Volume 11 No. 1 Juni 2014, Jakarta, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, hal. 168.
-
4
Tiongkok (RRT) dan kesepuluh negara pengklaim tapi juga negara-negara besar
lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Committee for Coordination
of Joint Prospecting for Mineral Resources in Asian Offshore Areas, Economic
Commission for Asia and the Far East, pada 1960-an telah ditemukan penemuan
bahwa kawasan Laut Tiongkok Selatan memiliki potensi mineral yang besar
terutama minyak dan gas.7
Sejauh ini upaya yang dilakukan dalam menangani konflik di Laut
Tiongkok Selatan adalah melalui ASEAN sebagai organisasi regional berupaya
andil peran dalam konflik yang terjadi, seperti pembentukan DOC (Declaration of
Conduct) hingga upaya pembentukkan Coc (Code of Conduct). ASEAN
menyatakan sikapnya atas sengketa-sengketa di Laut Tiongkok Selatan, yaitu
memandang bahwa Laut Tiongkok Selatan harus dijadikan peluang adanya
kerjasama untuk kepentingan bersama daripada sebagai sumber konflik. Para
pihak dari sengketa yang belum selesai harus menghindari tindakan yang dapat
menganggu perdamaian, keamanan, kebebasan, dan keselamatan navigasi dari
Laut Tiongkok Selatan, ASEAN dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yakin
bahwa sengketa territorial di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan negara-
negara ASEAN dan RRT jangan sampai merusak kerjasama ASEAN- RRT.8
7 Asnani Usman dan Rizal Sukma, Konflik Laut Tiongkok Selatan dan Tantangan bagi ASEAN,
CSIS, 1997. Dalam Harini, Setyasih. Kepentingan Nasional RRT dalam Konflik Laut Tiongkok
Selatan. Transformasi. Vol 14, No 21. 2011, hal. 45.
8 Widia Dwita Utami, Upaya Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dalam Meredam
Konflik atas Sengketa Spratly Island, Skripsi, Depok: Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,
halm. 99
-
5
Komitmen ASEAN- (RRT) untuk tidak menggunakan kekerasan pada
tahun 1997 tetap berlaku. ASEAN memiliki pandangan bahwa (RRT) juga
memiliki kewajiban hukum untuk menyelesaikan setiap konflik dan sengketa
yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan secara damai dan menggunakan tindakan
yang non-kekerasan yang mana sejalan dengan nilai-nilai TAC (Treaty Amity of
Cooperation) ASEAN9 yang dianut oleh negara-negara di Asia Tenggara.
10
Mengingat konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan berkelanjutan
dan mempunyai resiko dalam mengganggu kestabilan kawasan baik secara politik
maupun ekonomi dikarenakan dapat mengancam keberlangsungan kerjasama
ekonomi antara ASEAN dengan RRT. Dalam upaya menjaga perdamaian dan
stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, para Menteri Luar Negeri negara anggota
ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration on the South China Sea yang
ditandatangani di Manila tanggal 22 Juli 1992. Sepuluh tahun kemudian, bersama
RRT, ASEAN mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South
RRT Sea (DOC) yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, pada 4
November 2002. Deklarasi ini berisikan komitmen dari negara anggota ASEAN
dan RRT untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati
9 TAC ASEAN merupakan sebuah kerjasama yang disepakati oleh seluruh anggota ASEAN yang
diterapkan serta di sepakati untuk di jadkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dijadikan sebagai
pedoman negara-negara ASEAN dalam berbangsa dan bernegara, yang mana terbentuknya TAC
itu sendiri didasari oleh kesadaran akan kesamaan sejarah, pengalaman serta tujuan cita-cita setiap
negara di Asia Tenggara itu sendiri. TAC itu terdiri dari prinsip-prinsip seperti: saling
menghormati kedaulatan, kemerdekaan, persamaan, keadilan, batas negara, serta identitas nasional
setiap negara, hak setiap negara untuk bebas dari interfensi atau paksaan dari pihak asing, non-
inteference masalah domestic antar negara ASEAN, penyelesaian perbedaan dan sengeketa secara
damai, penolakan terhadap penggunaan kekuatan militer dan ancaman. Baca lebih lanjut, ASEAN,
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976, dalam,
http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/. 10
Widia Dwita Utami, Upaya Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dalam Meredam
Konflik atas Sengketa Spratly Island, Skripsi, Depok: Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,
halm. 99
-
6
freedom of navigation di Laut Tiongkok Selatan, menyelesaikan sengketa secara
damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.
DOC menjadi pedoman bertindak bagi negara anggota ASEAN dan RRT dalam
menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah yang menjadi sengketa dengan
semangat kerja sama dan saling percaya.11
DOC pada sengketa Laut Tiongkok Selatan yang disepakati oleh pihak
ASEAN dan RRT tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat serta mengikat,
akibatnya pihak-pihak yang terlibat sengeketa di Laut Tiongkok Selatan
khususnya RRT tidak melaksanakan secara menyeluruh prinsip-prinsip DOC
tentang konflik di Laut Tiongkok Selatan yang disepakati pada tahun 2002
tersebut. Sebagai contoh RRT malah mengumumkan regulasi tentang operasi
armada laut guna memperkuat hak pencarian ikan di Laut Tiongkok Selatan,
selain itu RRT juga menunujukan tindakan-tindakan yang sangat agresif terhadap
pihak asing (kapal-kapal asing) yang melintasi kawasan laut RRT berupa
penyerangan pada kapal-kapal tersebut.12
Keluarnya regulasi serta tindakan-
tindakan RRT yang provokatif menunjukan bahwa RRT seakan-akan tidak
menghormati DOC yang telah disepakati oleh kedua pihak yang bersengketa.13
Maka dari itu banyak tuntutan untuk membentuk sebuah Coc yang
merupakan perjanjian tertulis yang mempunyai kekuatan hukum yang jelas serta
mengikat. Terkait pembentukkan Coc konflik Laut Tiongkok Selatan tercacat
11
Laut Tiongkok Selatan, Kementerian Luar Negeri Indonesia, diakses dalam
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Laut-RRT-Selatan.aspx diakses pada 20
Maret 2017 pada 17.45 Wib 12
Setyasih Harini, Kepentingan Nasional RRT dalam Konflik Laut Tiongkok Selatan.
Transformasi. Vol 14, No 21. 2011, hal. 46 13
Ibid, hal. 43.
-
7
beberapa kali ASEAN mencoba merumuskan COC tersebut. Pertama kali
pembahasan COC dilaksanakan pada KTT ASEAN di Kamboja pada tahun 2012
namun tidak ditemukan kesepakatan akhir terkait COC atas Laut Tiongkok
Selatan dikarenakan Kamboja menolak terkait upaya pembentukan COC tersebut
dikarenakan adanya ketidaksepakatan antara negara-negara anggota ASEAN
terkait melibatkan (RRT) atau tidak dalam pembuatan Code of Conduct (COC)
masalah Laut Tiongkok Selatan.14
Selain itu juga adanya penyebab gagalnya ASEAN dalam membentuk
COC dkarenakan adanya sebuah perbedaan persepsi negara Kamboja dengan
negara anggota ASEAN lainnya dalam memandang konflik di Laut Tiongkok
Selatan. Kamboja beranggapan bahwa sengketa di Laut Tiongkok Selatan
bukanlah urusan dari ASEAN melainkan urusan negara yang terlibat sengketa.
Sedangkan, Negara ASEAN lainnya beranggapan bahwa ASEAN harus
memberikan sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah di Laut Tiongkok
Selatan mengingat konflik tersebut berpotensi mengancam stabilitas kawasan.
Upaya perumusan COC terkait Laut Tiongkok Selatan juga beberapa kali
dilaksanakan setiap dilaksanakannya KTT ASEAN namun sampai saat ini COC
terkait Laut Tiongkok Selatan mengalami kebuntuan dan tidak ditemukannya
sebuah jalan keluar.15
14
Rizal Sukma, ASEAN dan Sengketa Laut Tiongkok Selatan, Kompas diakses dalam
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/11/02542066/ASEAN.dan.Sengketa.Laut.RRT.Sela
tan diakses pada 20 Maret 2017 pada 18.45 Wib 15
ASEAN Studies Progam, “The South RRT Sea and ASEAN Unity: A Cambodian Perspective
diakses dalam https://thcasean.org/read/articles/268/The-South-RRT-Sea-and-ASEAN-Unity-A-
Cambodian-Perspective pada 10 November 2017 pukul 21.14. Wib
https://thcasean.org/read/articles/268/The-South-China-Sea-and-ASEAN-Unity-A-Cambodian-Perspectivehttps://thcasean.org/read/articles/268/The-South-China-Sea-and-ASEAN-Unity-A-Cambodian-Perspective
-
8
Posisi Kamboja sebagai sesama anggota ASEAN seharusnya mendukung
sesama negara anggota ASEAN namun sikap Kamboja yang seolah-olah
mendukung (RRT) terkait konflik Laut Tiongkok Selatan menarik untuk dibahas
lebih mendalam, hal itu terbukti setelah dikeluarkannya keputusan arbitrase
internasional yang diterbitkan pada 12 Juli 201616
terkait sengketa di Laut
Tiongkok Selatan menyatakan bahwa (RRT) tidak berhak atas klaim pulau
Spratly yang disengketakan namun (RRT) tidak menerima keputusan arbitrase
internasional tersebut dan Kamboja pun mendukung sikap (RRT) tersebut dan
Kamboja tetap bersikukuh mendorong bahwa sengketa yang terjadi lebih baik
diselesaikan secara bilateral.17
Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap Kamboja
yang berpihak kepada (RRT) sebagai penghambat ASEAN dalam merumuskan
Code of Conduct (COC) terkait Laut Tiongkok Selatan.
Dalam skripsi ini akan membahas bagaimana perkembangan konflik di
Laut Tiongkok Selatan, yang diwarnai dengan adanya sebuah sikap penolakan
Kamboja dalam pembentukan COC (Code of Conduct) yang coba dibentuk oleh
ASEAN dalam konflik di Laut Tiongkok Selatan. Fenomena tersebut menjadi
menarik untuk diteliti dikarenakan ASEAN adalah organisasi regional yang
dikenal kompak dan berkomitmen dalam menyelesaikan masalah internal maupun
eksternal. Hal tersebut didasari oleh terbentuknya ASEAN yang dibentuk dari
komitmen elite Negara-negara dan secara konstitusional sudah matang. Kamboja
16
https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahkamah-arbitrase-soal-
laut-RRT-selatan 17
Kamboja Veto, ASEAN Gagal Bahas Laut RRT Selatan diakses dalam
http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=76676-
Kamboja%20Veto,%20ASEAN%20Gagal%20Bahas%20Laut%20RRT%20Selatan diakses pada
20 Maret 2017 20.00 wib
-
9
sebagai sesama negara ASEAN yang mana dalam tata cara berhubungan antar
negara sesama ASEAN didasari oleh prinsip TAC (Treaty of Amity Cooperation).
Salah satu poin dalam TAC diantaranya berisikan bahwa sesama anggota
ASEAN harus saling dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi, sosial, politik
dan keamanan di kawasan. Namun, pada fenomena konflik yang terjadi di Laut
Tiongkok Selatan. Sikap Kamboja tidak sesuai dengan salah satu poin prinsip
TAC tersebut dan berdampak pada gagalnya upaya pembentukan COC yang coba
dirumuskan oleh ASEAN untuk menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan
pada tahun 2012. Dimana sebuah sikap ketidakkooperatifan yang dilakukan oleh
Kamboja menjadi menarik untuk di teliti, dikarenakan akibat dari penolakan yang
dilakukan Kamboja tersebut menjadi sebuah hambatan ASEAN dalam
menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan.
1.1 Rumusan Masalah
Mengapa Kamboja menolak proses pembentukan COC pada konflik Laut
Tiongkok Selatan pada tahun 2012?
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui serta memahami bagaimana perkembangan dari konflik
di Laut Tiongkok Selatan dalam perspektif Negara ASEAN dan (RRT)
2. Untuk Mengetahui pendekatan yang dilakukan oleh (RRT) dalam
menjaga kepentingan (RRT) di Laut Tiongkok Selatan
-
10
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan perilaku penolakan Kamboja atas
proses pembentukan COC pada tahun 2012
4. Dampak dari sikap penolakan Kamboja dalam upaya penyelesaian konflik
di Laut Tiongkok Selatan oleh ASEAN
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu membantu memberikan informasi yang
dapat menjadi referensi terkait dengan perkembangan konflik di Laut
Tiongkok Selatan, upaya apa saja yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan
konflik di Laut Tiongkok Selatan, adanya sebuah sikap penolakan Kamboja
atas proses pembentukkan COC pada tahun 2012, mengapa hal tersebut bisa
terjadi serta bagaimana kepentingan Kamboja dalam konflik yang terjadi di
Laut Tiongkok Selatan.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu membantu memberikan sebuah
informasi yang relevan dan signifikan serta masukan untuk semua pihak yang
terlibat dalam konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan serta untuk mengetahui
dan menjelaskan penyebab gagalnya resolusi konflik di Laut Tiongkok Selatan
yang disebabkan oleh penolakan Kamboja atas perumusan COC. Penulis
mempercayai bahwa sikap penolakan proses pembentukan COC yang dilakukan
Kamboja dikarenakan adanya kepentingan Kamboja di Laut Tiongkok Selatan.
-
11
1.4 Penelitian Terdahulu
Konflik Laut Tiongkok Selatan adalah konflik yang lama yang belum
menemui solusi akhirnya, maka banyak penelitian yang membahas terkait konflik
di Laut Tiongkok Selatan. Hal tersebut membantu penulis sebagai referensi dan
data pendukung dalam melakukan penelitian ini. Penulis mengambil beberapa
penelitian terdahulu yang membahas dinamika konflik di Laut Tiongkok Selatan
yang dapat di klasifikasikan pembahasannya membahasan secara bilateral,
multilateral, regional. Adapun penelitian terdahulu yang membahas tentang
perilaku sebuahNegara dalam sebuah sistem internasional atau lingkungannya
untuk memahami dan membantu penulis untuk menentukan teori yang relevan
untuk menjelaskan fenomena yang coba diangkat, diantaranya:
Skripsi dari Widia Dwita Utami, Universitas Indonesia yang berjudul Upaya
Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dalam Meredam Konflik atas
Sengketa Spratly Island. Dalam skripsi tersebut penulis membahas tentang upaya
yang telah dilakukan ASEAN dalam meredam konflik atas sengketa pulau Spratly
yang merupakan salah satu pulau yang berada di kawasan konflik di Laut
Tiongkok Selatan. Penulis menjelaskan bahwa sebenarnya sudah banyak upaya
yang dilakukan ASEAN untuk mengatasi konflik di Laut Tiongkok Selatan,
dimana ASEAN memiliki posisi melihat sengketa di Laut Tiongkok Selatan
sebagai peluang dalam mengeratkan kerjasama antar negara ASEAN beserta
dengan (RRT) maka segala tindakan yang dapat menimbulkan konflik yang
destruktif harus dihindari, dan hasil dari serangkain upaya yang dilakukan oleh
ASEAN dalam tulisan tersebut adanya sebuah keinginan bersama untuk
-
12
membentuk sebuah Declaration of Conduct (DOC) terkait konflik Laut Tiongkok
Selatan, hal itu menunjukkan bahwa ASEAN memberikan dampak positif dalam
konflik Laut Tiongkok Selatan. Guna meredam konflik di Laut (RRT) Selatan,
ASEAN mengusulkan perumusan suatu Regional Code of Conduct pada
pertemuan ACSOC ke-5 tanggal 5-7 April 1999 di Kumning, (RRT). Usulan ini
kemudian disetujui oleh (RRT) pada KTT ASEAN- (RRT) tahun 1999.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada pertemuan ACSOC ke-6 yang
diselenggarakan pada tanggal 24-25 April 2000 di Kuching, Serawak, telah
disepakati untuk membentuk WorkingGroup on the Code of Conduct in the South
(RRT) Sea di bawah ACSOC.
Selanjutnya adalah penelitian tugas akhir dari Madinna Ulfa Nurjanaj,
mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penelitian Madinna mendeskripsikan
bagaiamana ASEAN berusaha menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara
dengan menciptakan beberapa forum diskusi yang dapat dijadikan wadah untuk
membahas isu isu yang terjadi di kawasan Asia Tenggara termasuk masalah di
Laut Tiongkok Selatan. Peran ARF (ASEAN Regional Forum) adalah fokus
kajian pada penelitian yang dilakukan oleh Madinna, dimana dalam tulisannya dia
beranggapan bahwa ARF tidak mampu dalam menangani ketengangan yang
terjadi pada 2011-2012 akibat dari tindakan (RRT) di daerah sengketa di Lau
(RRT) Selatan.
Penelitian selanjutnya adalah tulisan dari Colonel Guan-Jiun Jeff Jang yang
berjudul Conflict Prevention and Confidence Building Measures in the South
(RRT) Sea. Tulisan tersebut menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi di
-
13
Laut Tiongkok Selatan yang mana bukan hanya masalah territorial namun adanya
eksploitasi sumber daya alam, serta perebutan sumber daya alam yang melimpah
didaerah yang diklaim oleh masing-masing negara-negara yang bersengketa di
kawasan Laut Tiongkok Selatan. Pelajaran di tahun-tahun lalu membuat
terjadinya trauma perang, oleh sebab itu negara-negara mencoba meminimalisir
terjadinya konflik yang menggunakan kekerasan di kawasan Laut Tiongkok
Selatan. Colonel Guan-Jiun Jeff jang, menawarkan konsep pencegahan konflik
sebagai upaya mencegah terjadinya kondisi regional yang anarki dikawasan Laut
Tiongkok Selatan, dimana penulis tersebut mempercayai bahwa diskusi antar
negara yang terkait sengketa di Laut Tiongkok Selatan sangat diperlukan dan
sangat fundamental jadi harus dilakukan secara intens agar tidak menimbulkan
konflik yang semakin meluas.
Tulisan berikutnya adalah skripsi dari mahasiswa ilmu hubungan internasional
UMM dengan judul Peran dan Upaya Shangri-La Dialogue dalam
Menyelesaikan Konflik di Laut (RRT) Selatan. Penulis dalam skripsi tersebut
menjelaskan konflik Laut Tiongkok Selatan adalah konflik yang sangat panjang
dan memiliki potensi yang besar dalam mengantar penggunakan militer maka
dimana konflik tersbeut melibatkan negara di Asia Tenggara maka dari itu harus
ada upaya lain yang harus di lakukan oleh negara yang terlibat dalam konflik laut
(RRT) selain penggunan negosiasi bilateral yaitu salah satunya adalah
pemanfaatan Shangri La Dialogue sebagai salah satu sarana untuk memediasi
negara-negara yang berkonflik di Laut Tiongkok Selatan. Beberapa hal yang
sudah dilakukan oleh Shangri-La Dialoge dalam berupaya mengatasi Konflik di
-
14
Laut (RRT) Selatan yaitu meningkatkan pembahasan terkait perkembangan isu
terbaru konflik Laut Tiongkok Selatan dan mencoba menenangkan segala pihak
yang terlibat konflik, bagaimana mekanisme dalam Shangri-La Dialogue dan
penulis tersebut percaya bahwa Shangri-La Dialogue cukup berhasil dalam
meredam atau menurunkan tensi konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan
Penelitian berikutnya berjudul Upaya Pemerintah Indonesia dalam Mencapai
Kepentingan Nasional di Laut Tiongkok Selatan yang ditulis oleh Deviana
Prasetyani, dalam tulisannya menjelaskan bahwa konflik Laut Tiongkok Selatan
merupakan sebuah ancaman bagi kepentingan nasional negara Indonesia oleh
karena itu perlu dilakukan upaya-upaya terkait dengan territorial dan terkait batas
wilayah yang berkaitan dengan konflik Laut Tiongkok Selatan demi menjaga
kepentingan nasional Indonesia, dikarenakan dalam lautan banyak kepentingan
Indonesia didalamnya mulai dari aktivitas ekonomi dan lainnya, dimana jika
Indonesia dapat mempertahankan kepentingan nasionalnya di wilayah perbatasan
terkait konflik Laut Tiongkok Selatan dapat memberikan peningkatan bagi
pendapatan ekonomi bagi Indonesia dikarenakan laut yang disengketakan di
wilayah Laut Tiongkok Selatan memiliki banyak potensi kekayaan alam, selain itu
dengan adanya upaya pengamanan perbatasan di sekitar konflik Laut Tiongkok
Selatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dapat meningkatkan keamanan
Indonesia dan tentunya kepentingan nasional Indonesia tetap terjaga.
Penelitian selanjutnya adalah sebuah Jurnal dari Setyasih Harini yang berjudul
“Kepentingan (RRT) dalam Konflik di Laut Tiongkok Selatan” dimana penulis
menjabarkan bahwa tindakan agresif (RRT) mengklaim banyak pulau dan
-
15
wilayah berdasarkan 9 garis putus-putus yang di keluarkan (RRT) didasari oleh
kepentingan nasional (RRT) itu sendiri untuk memenuhi kepentingan
nasionalnya. Dimana mengingat (RRT) mengalami pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat dan meningkatnya jumlah populasi masyarakat (RRT),
menyebabkan kebutuhan (RRT) akan sumber energipun juga meningkat. Maka
dari itu (RRT) terus meningkatkan ekspor minyaknya. Namun, (RRT) menyadari
bahwa hal tersebut tidak bisa terus dilakukan, (RRT) harus mencari sumber daya
energy alternatif lain. Maka hal tersebut menghasilkan tindakan (RRT) yang
mengklaim banyak wilayah di Laut Tiongkok Selatan, mengingat di kawasan
yang diklaim oleh (RRT) sangat kaya akan sumber energi alam yang dibutuhkan
oleh (RRT).
Penelitian selanjutnya ada sebuah penelitian yang ditulis oleh Anak Agung,
Wiwik Dharmiasih & Bagus Surya Widya yang berjudul “Penyebab Kegagalan
ASEAN dalam Menyelesaikan Konflik di Laut Tiongkok Selatan” menjelaskan
bahwa Penyebab kegagalan ASEAN dalam penyusunan Code of Conduct dibagi
menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang dilihat dari
konsep kelemahan organisasi nasional berdasarkan power negara anggota,
mekanisme pengambilan keputusan, serta mekanisme penyelesaian sengketa dan
pola penegakan aturan. Selain itu, faktor eksternal disebabkan oleh adanya
pengaruh dari negara non anggota ASEAN, yaitu Cina. ASEAN tidak memiliki
common position dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan karena negara-negara
anggota ASEAN memiliki kepentingan nasional yang berbeda. Mekanisme
pengambilan keputusan yang berdasarkan konsensus memperlambat proses
-
16
penyusunan COC yang dibuktikan melalui gagalnya penyusunan joint
communiqué pada ASEAN Ministerial Meeting tahun 2012 yang disebabkan
penolakan satu negara, yaitu Kamboja, untuk mencantumkan poin yang berkaitan
dengan Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa
dengan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan High Council memiliki
kelemahan dan tidak berjalan dengan efektif. ASEAN juga tidak memiliki pola
penegakan aturan (enforcement) yang tegas karena adanya prinsip non intervensi
dalam ASEAN Way. Faktor eksternal yang sangat berpengaruh adalah adanya
hubungan ekonomi yang erat antara negara-negara ASEAN dan Cina, strategi
persuasi dan penundaan yang dilakukan Cina, serta strategi ability to prevail yang
dilakukan Cina untuk membujuk Negara yang ditargetkan, dalam hal ini
Kamboja, agar mendukung kepentingan Cina
Tabel 1.1 : Posisi Penelitian
NO
JUDUL DAN
NAMA
PENELITI
JENIS
PENELITIAN
DAN ALAT
ANALISA
HASIL
1 Skripsi: Upaya
Association of
Southeast Asian
Nation (ASEAN)
dalam Meredam
Konflik atas
Sengketa Spratly
Island.
Deskriptif
Deduktif
Upaya ASEAN dalam meredam
sengketa atas Spratly Island
1). Sikap ASEAN pertama kali
atas sengketa Spratly Islands
adalah mengeluarkan ASEAN
Declaration on the South (RRT)
Sea yang ditandatangani enam
Menteri Luar Negeri negara
ASEAN (Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand) pada 22
Juli 1992 di Manila, Filipina
2). Setelah tahun 1997, ASEAN
-
17
Oleh: Widia Dwita
Utami (Mahasiswi
Universitas
Indonesia Fakultas
Hukum)
Pendekatan:
Organisasi
Internasional,
Hukum
Internasional
dan (RRT) semakin erat
mendiskusikan Laut (RRT)
Selatan. Mereka membicarakan
Code of Conduct in the South
(RRT) Sea yang bertujuan untuk
meningkatkan percaya diri di Laut
(RRT) Selatan, namun tidak
memiliki efek kekuatan mengikat.
Akan tetapi, pembicaraan
ASEAN- (RRT) mengenai Code of
Conduct in the South (RRT) Sea
mengalami kesulitan
3). Terdapat kesulitan dalam
menyusun Coc
2 Skripsi: Peran
Organisasi
Regional Asia
Tenggara
Terhadap
Penyelesaian
Sengketa Luat
(RRT) Selatan
Periode Tahun
2011 – 2012
Oleh : Madinna
Ulfa N. (UIN
Syarif
Hidayatullah,
Jakarta)
Deskriptif
Deduktif
Pendekatan :
Organisasi
Internasional
Penulis Madinna menjelaskan
bagaimana peran ARF (ASEAN
Regional Forum) dalam upaya
penyelesaian konflik yang terjadi
di Laut Tiongkok Selatan
3 Jurnal : Conflict
Prevention and
Confidence
Building Measures
Eksplanatif
Deduktif
Menurutnya permasalahan yang
ada di Laut (RRT) Selatan bukan
hanya masalah kedaulatan
territorial namun ada eksploitasi
sumber daya alam. Pelajaran
ditahun-tahun lalu membuat ada
-
18
in the South
(RRT) Sea
Oleh: Colonel
Huan-Jiun Jeff
Jang
Pendekatan:
Conflict
Prevention,
Diplomasi G to
G
trauma perang, oleh sebab itu
negara-negara mencoba untuk
meminimalisir, Colonel Guan-Jiun
Jess Jang, menawarkan konsep
pencegahan konflik sebagai upaya
mencegah terjadinya kondisi
anarki regional.
4 Skripsi: Peran dan
Upaya Shangri-La
Dialogue dalam
Menyelesaikan
Konflik di Laut
(RRT) Selatan
Oleh: Chotitah
Anggun Ds.
Deskriptif
Deduktif
Pendekatan:
Diplomasi
Polilateral,
Diplomasi
Pertahan,
Diplomasi
Gastronomi
Penulis dalam skripsi tersebut
menjelaskan apa saja upaya yang
sudah dilakukan oleh Shangri-La
Dialoge dalam mengatasi Konflik
di Laut (RRT) Selatan, bagaimana
mekanisme dalam Shangri-La
Dialogue dan penulis tersebut
percaya bahwa Shangri-La
Dialogue cukup berhasil dalam
meredam atau menurunkan tensi
konflik yang terjadi di Laut
Tiongkok Selatan
5 Upaya Pemerintah
Indonesia dalam
Mencapai
Kepentingan
Nasional di Laut
Deskriptif
Deduktif
Indonesia dapat mempengaruhi
peningkatan perekonomian,
keamanan laut dan batas wilayah
territorial untuk kepentingan
nasionalnya. Penulis menjelaskan
tentang upaya apa saja yang
dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam Laut Tiongkok
-
19
Tiongkok Selatan
Oleh: Deviana
Prasetyani
Pendekatan:
Kepentingan
Nasional,
Kekuatan
Negara
Geo-Politik
Selatan demi kepentingan nasional
yang ingin dicapai.
6 Peran ASEAN
dalam
Penanganan
Konflik Laut
Tiongkok Selatan
Oleh: Akis Jasuli
Eksplanatif
Deduktif
Pendekatan:
Organisasi
Internasional,
Regional
Security
Complex
Penulis menjelaskan upaya apa
saja yang di lakukan ASEAN
dalam konflik yang terjadi di Laut
Tiongkok Selatan. ASEAN
berupaya meredam konflik yang
terjadi di Laut Tiongkok Selatan
dengan beberapa upaya seperti
pembentukan forum diskusi ARF
serta pembentukan DOC pada
tahun 2002, dimana penulis
menjelaskan bahwa konflik yang
terjadi di Laut Tiongkok Selatan
yang melibatkan beberapa negara
ASEAN sangat komplek karena
setia negara ingin mencapai
kepentingan nasionalnya masing-
masing.
7 Jurnal:
Kepentingan
(RRT) dalam
Konfllik di Laut
Tiongkok Selatan
Deskriptif
Deduktif
Klaim (RRT) terhadap Laut
Tiongkok Selatan dilatarbekalangi
oleh kepentingan nasionalnya.
Pertama, dari segi ekonomi
menunjukkan keberhasilan
modernisasi yang dimulai dari
masa Deng Xiaping hingga
sekarang. Pertumbuhan ekonomi
yang semakin meningkat yang
disertai dengan meningkatnya
tingkat kesejahteraan masyarakat
tentu membutuhkan sumber energi
yang semakin besar. Sumber
energy terutama energi alam dari
dalam negeri semakin lama tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan
-
20
Oleh: Setyasih
Harini
Pendekatan:
Realis,
National
Interest
penduduk. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah
Beijing perlu mencari sumber
alam alternatif dari luar negeri.
Laut Tiongkok Selatan
berdasarkan berbagai penelitian
menunjukkan adanya kekayaan
alam yang melimpah sehingga
dapat dijadikan sebagai sumber
energi untuk masa mendatang.
8 Penyebab
Kegagalan
ASEAN dalam
Penyusunan Code
of Conduct
Sengketa Laut
Tiongkok Selatan
Selama Periode
2002 - 2012
Oleh: Anak
Agung, Wiwik
Dharmiasih &
Bagus Surya
Widya
Eksplanatif
Deduktif
Pendekatan
Organisasi
Internasional,
Regiolisme
Kegagalan ASEAN dalam
membentuk COC disebabkan oleh
2 faktor utama yaitu faktor internal
dan eksternal. Dimana faktor
internal tersebut dapat diuraikan
bahwa adanya perbedaan
kepentingan Negara ASEAN
dalam konflik di laut tiongkok
selatan menyebabkan adanya
ketidak kesepakatan dalam
perumusan COC pada tahun 2012,
selain itu faktor internal lainnya
adalah mekanisme pengambilan
keputusan yang di anut ASEAN
melalui konsensus merupakan
sebuah kelemahan dikarenakan
mudah untuk tidak mencapai
kesapakatan jika ada Negara
anggota yang menolak sebuah
keputusan yang di ambil dalam
KTT ASEAN. Adapun faktor
internalnya adalah pengaruh cina
yang sangat besar terhadap
kerjasama ekonomi Negara
ASEAN dan Kamboja menjadi
hambatan yang besar bagi
pembentukkan COC, Tiongkok
dengan strategi Delaying dan
persuasi terhadap Negara ASEAN
terbukti berhasil hal itu dapat
dilihat dari sikap Kamboja yang
menolak pembentukkan COC pada
tahun 2012
-
21
9 Analisis Sikap
Penolakan
Kamboja dalam
Proses
Pembentukan
Code of Conduct
(COC) sebagai
Penyebab
Kegagalan
ASEAN dalam
Menyelesaikan
Konflik di Laut
Tiongkok Selatan
Oleh: Maharadis
Juanda
Eksplanatif
Deduktif
Pendekatan:
Stag Hunt
Game Theory,
Regionalisme
Sikap penolakan Kamboja dalam
proses pembentukan COC dalam
konflik Laut Tiongkok Selatan,
setelah penulis melakukan analisa
menggunakan pendekatan Stag
Hunt Game Theory dan konsep
regionalisme terdapat sebuah
penjelasan bahwa:
-sikap penolakan atas
pembentukan COC oleh Kamboja
didasari oleh suatu permainan
politik. Kamboja melakukan
tindakan yang menunjukkan
ketidak komitmen an Kamboja
dalam mencapai tujuan bersama
ASEAN dalam hal penyelesaian
konflik di Laut Tiongkok Selatan,
melalui sikap penolakannya dalam
pembentukan COC yang secara
tidak langsung mendukung dan
tetap menjaga kepentingan (RRT),
yang dampak dari tindakannya
tersebut memberikan kerugian/
hambatan kepada ASEAN dalam
upayanya untuk menyelesaikan
konflik di Laut Tiongkok Selatan
dan hal itu merupakan permainan
yang dilakukan (RRT) untuk tetap
menjaga hubungan Kamboja –
(RRT) tetap baik, mengingat
Kamboja mengalami
ketergantungan secara ekonomi,
politis kepada (RRT).
-berdasarkan konsep regionalism,
bahwa adanya sebuah adanya
sikap ketidak kooperatifan
Kamboja dengan penolakannya
terhadap pembentukkan COC
menunjukkan bahwa adanya
sebuah ketidak samaan pandangan
antar Negara ASEAN dalam
melihat permasalahan di dalam
kawasan
-
22
Beberapa referensi diatas adalah beberapa referensi yang yang digunakan
sebagai acuan penulis untuk menulis penilitan ini sekaligus sebagai data
pendukung bagi penulis. Meskipun memiliki pembahasan yang sama terkait tema
penelitian penulis dengan daftar penelitian di atas yaitu terkait konflik di Laut
Tiongkok Selatan. Namun, ada beberapa perbedaan dalam isi pembahasan.
Perbedaan tersebut terletak pada subjek penelitian yang coba di angkat dan
pendekatan yang di gunakan dalam menjelaskan studi kasus. Saya sebagai penulis
melihat Kamboja yang merupakan negara bukan yang terlibat dalam konflik Laut
Tiongkok Selatan ternyata juga ikut terlibat dalam dinamika konflik Laut
Tiongkok Selatan.
Serta adanya sebuah sikap opportunis dari Kamboja terkait konflik Laut
Tiongkok Selatan yang mana Kamboja sebagai negara anggota ASEAN
seharusnya mendukung sebuah upaya pembentukan COC yang di inisiasi oleh
ASEAN, namun pada nyatanya Kamboja malah menolak adanya upaya
perumusan COC tersebut pada pertemuan AMM ke-45 dan seakan malah
mendukung pihak (RRT) dimana menunjukkan ketidak komitmenan Kamboja
dalam mencapai kepentingan bersama ASEAN dalam kasus di Laut Tiongkok
Selatan. Adapun pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan Game
Theory Stag Hunt dan Regionalisme.
-
23
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Stag Hunt Game Theory
Dunia ini merupakan sebuah panggung dunia yang penuh dengan drama,
konflik, anarki serta penuh dengan permainan dimana banyak aktor atau pemain
yang mencoba menjadi pemenang setiap persaingan, dan kompetisi yang ada.
Game theory memiliki asumsi dasar bahwa setiap aktor dalam dunia internasional
selalu bertindak bagaikan sebuah permainan catur yang mana setiap tindakannya
didasari oleh rasional serta logika dan memiliki tujuan untuk mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya serta meminimalisirkan bahkan menihilkan
kerugian yang ada, setiap aktor dalam tindakannya selalu melakukan tindakan
yang dia anggap paling memberikan keuntungan bagi aktor tersebut, hal itu sesuai
dengan penjelasan dari James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr yang
menjelaskan bahwa:
“Game theory is based on abstract form of reasoning, arising from
combination of mathematics and logic. … In the social sciences,
game theory specifies what whould happen in situation in which
actors—each with strategies, goals, and preferred outcomes—
engage in interaction in the form of a game. Nearly all game
theorists agree that the theory with which they deal is addressed to
what is rationally correct behavior in situations in which the
participant are trying to win—to maximize gain or minimize loss—
rather than to the way they actually may behave in such situation.
For the sake of theoretical analysis, game theorist assume rational
behavior, simply because they find this assumption more profitable
for theory building than observe of it.”18
18
James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, 2001, Contending Theories of International
Relations: A Comprehensive Survey, (ed.5) New York: Longman, hal. 562.
-
24
Game Theory dipahami sebagai sebuah permainan dimana setiap aktor
dalam bertindak berdasarkan rasional, yang memiliki harapan keluar sebagai
pemenang, namun hasil dari permainan tersebut tidak hanya di tentukan oleh
strateti pemain saja, namun juga strategi dari aktor lainnya. Penerapan Game
theory dalam kebijakan adalah proses pembuatan kebijakan yang berdasarkan
logika dan berdasarkan rasionalitas. Dimana tujuan dari Game Theory adalah
melakukan sebuah tindakan menggunakan strategi yang paling Cocok untuk
mereka mainkan demi mencapai kepentingan mereka.19
Setiap teori pasti memiliki
tujuan hasil maupun hasil yang ingin dicapai, Richard C. Snyder menjelaskan
tentang Game Theory beserta tujuannya adalah:
“The purpose of game theory is two-fold: to formulate mathematically
complete principles that will specify what is rational behavior in certan
kinds of social situations and, on the basis of such principles, to isolate the
general characteristic os such behaviours. Thus it is a method of analysis
and a method of selecting the best courses of actions. The social situation
are those that are goal-oriented—action is geared to accomplishment of
certain ends. These situations call for rational behavior, i.e, behavior
designed to produce decisions and courses of action embodying the least
costly way to achieve goals or to keep losses to a minimum given operating
conditions. These situations are market by conlflict, competition, and often
co-operation.”20
Penggunakan dari Game Theory digunakan di berbagai bidang ilmu
pengetahuan, baik itu ekonomi, matematik, psikologi sampai ilmu sosial. Dan
kaitan Game Theory dengan sosial dan ekonomi yaitu, dalam ilmu sosial kurang
lebih seperti penjelasan sebelumnya bahwa Game Theory dalam ilmu sosial
19
James R. Situmorang, Penggunaan Game Theory dalam Ilmu Sosial, Jurnal Administrasi Bisnis
(2015), Vol.11, No.2: hal. 160–172, (ISSN:0216–1249), Universitas Katolik Parahyangan, hal. 161
– 163.
20 James N. Rosenau, 1975, International Politics and Foreign Policy: A Reader In Research and
Theory, New York: The Free Press; London: Collier Macmillan, hal. 383.
-
25
digunakan untuk menjelaskan bahwa aktor dalam bermain dalam dunia
internasional selalu bertindak sesuai tindakan yang paling memberikan
keuntungan bagi mereka atau meminimalkan sebuah kerugian, dimana Game
Theory sebuah metode untuk menganalisa dan memberikan opsi pilihan maupun
strategi apa yang terbaik yang harus dilakukan oleh suatu aktor agar dapat
mendapatkan keuntungan sebanyak dan kerugian seminim mungkin.21
Stag Hunt merupakan salah satu macam Game Theory yang berkembang
dalam kajian keilmuan saat ini, ide Stag Hunt pada awalnya muncul dari Jean Jack
Roussenau dalam karyanya yang berjudul Kontrak Sosial dimana Rossesnau
membahas tentang bagaimana menciptakan sebuah kondisi saling bekerja sama
dalam kondisi yang kompetitif/ dalam kondisi persaingan. Brian Skryms
mengulas kembali secara lebih rinci masalah Stag Hunt dalam bukunya yang
berjudul The Stag Hunt and the Evolution of Social Structure. Stag Hunt adalah
sebuah teori yang menjelaskan tentang sebuah kondisi dimana jika segerombolan/
sekelompok orang melakukan perburuan rusa di hutan. Dimana jika semua
anggota yang berburu memiliki komitmen yang sama dalam memburu rusa maka
kemungkinan untuk mendapatkan rusa semakin tinggi dan semua anggota dapat
memakan rusa, namun jika ada salah satu anggota yang tidak berkomitmen dan
malah memilih untuk berpaling memburu kelinci daripada berfokus mengepung
dan menangkap rusa, maka kemungkinan rusa akan kabur dan semua orang tidak
mendapatkan rusa dan makan selain anggota yang memilih menangkap kelinci
saja yang mendapatkan makan dari hasil tangkapan kelincinya tersebut. Anggota
21
James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, 2001, Contending Theories of International
Relations: A Comprehensive Survey, (ed.5) New York: Longman, hal. 562.
-
26
yang pembelot tersebut disebut sebagai The Defector yang menolak untuk
berkomitmen bekerjasama untuk menangkap rusa dan lebih memilih menangkap
kelinci.22
Setiap tindakan yang diambil oleh setiap anggota yang ikut bergabung
dalam berburu dipengaruhi pada dasarnya dilandasi dengan pandangan anggota
tersebut terhadap tindakan apa yang akan dilakukan oleh anggota lainnya. Selain
itu banyak dimensi yang ada didalamnya yang juga mempengaruhi sikap yang
diambil oleh anggota tersebut dalam memilih berkomitmen memburu rusa atau
memburu kelinci yang memiliki resiko dan hasil masing-masing, dimensi tersebut
diantaranya adalah pay off yang berkaitan dengan hasil apa yang akan dia peroleh
setelah melakukan tindakan tertentu, dan biasanya pay off yang diinginkan oleh
setiap anggota adalah hasil timbal balik yang banyak memberikan keuntungan
kepada dirinya.23
Selanjutnya The Shadow of The Future (bayangan masa depan) bayangan
masa depan atau segala kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan,
merupakan sebuah dimensi yang kecenderungan mendorong aktor tersebut untuk
melakukan kerjasama dengan aktor lainnya. Shadow of The Future terbentuk dari
beberapa unsur yaitu Long Time Horizon yaitu kerjasama yang terus berlanjut
dalam kurun waktu yang tak terhinggga, Regularity of Stakes yaitu interaksi yang
terus menerus terjadi di antara aktor, diulang-ulang dilalukan oleh aktor tersebut
dengan aktor lainya, Reliability of Information about the Other yaitu informasi
yang bisa diandalkan tentang tindakan apa yang di ambil oleh aktor lain yang
22
Bryan Skyrms, 2004, The Stag Hunt and the Evolution of Sosial Structure, New York,
Cambridge University Press, hal. 2 – 4 23
Ibid
-
27
sangat menentukan tindakan apa selanjutnya yang akan di ambil oleh aktor
tersebut. Reliability of Information about the Other merupakan unsur yang sangat
penting dikarenakan informasi antar aktor satu dengan lainnya akan membentuk
sebuah rasa saling kepercayaan, Quick Feedback yaitu timbal balik antara
kebijakan aktor satu dengan aktor lainnya yang saling mempengaruhi satu sama
lain.24
Stag Hunt Game Theory menjelaskan bahwa tindakan aktor untuk
berkomitmen bekerjasama atau tidak, dipengaruhi oleh pandangan aktor tersebut
terhadap tujuan yang ingin dicapai. Dimana dalam Stag Hunt terbagi menjadi dua
pihak yang mempunyai tindakan yang berbeda. Pihak yang pertama yaitu aktor
yang berkomitmen bekerja yang dilandasi dengan dasar keuntungan bersama.
Sedangkan pihak yang kedua merupakan pihak yang memilih untuk tidak bekerja
sama atau disebut dengan The Defector yang didasari oleh resiko yang ingin
dihindari. Dalam Stag Hunt menjelaskan bahwa pihak The Defector yang tidak
berkomitmen bekerjasama selain didasari oleh upaya untuk menghindari resiko,
juga disebabkan ketidak sadaran pihak tersebut terhadap keuntungan bersama
yang dapat dicapai yang notabene lebih besar yang bersifat long-term
dibandingkan dengan keuntungan yang didapat setelah bertindak secara
individualis (menolak bekerjasama) yang hanya bersifat short-term dan adanya
rasa saling ketidak percayaan antar satu pemain dengan lainnya.25
Adanya bayangan masa depan dan juga pay-off structure, tidak selalu
ditentukan oleh pertimbangan yang obyektif. Ekspektasi menjadi faktor yang
24
R. Axelrod & R.O. Keohane, „Achieving cooperation under anarchy: Strategies and institutions,‟
World politics, vol. 38, no. 1, 1985 , hal. 232 – 234 25
Bryan Skyrms , Op. Cit., hal. 3 – 9
-
28
sangat penting, karenanya setiap rezim memiliki ekspektasi yang berbeda-beda,
dan ketika pada masa perubahan rezim maka hal itu juga mempengaruhi
pertimbangan aktor lainnya. Selain itu dimensi yang mempengaruhi dalam Stag
Hunt adalah Number of Actor dimana hal itu dipahami sebagai jumlah aktor yang
tergabung juga menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi pertimbangan
suatu aktor, dimana dengan adanya mengetahui jumlah aktor yang bergabung
maka seseorang aktor dapat mengidentifikasi siapa yang akan menjadi the
Defector dan mereka akan mencari cari bagaimana untuk menekan ataupun
menentukan tindakan apa yang harus diberikan agar the Defector tidak bertindak
sendiri yang berujung pada kerugian bersama.26
The Defector atau pihak yang bertindak sendiri atau lebih memilih
menangkap kelinci memiliki hasil yang tidak dipengaruhi oleh tindakan pihak
yang lainnya, namun sebaliknya pihak yang ingin menangkap rusa hasil yang
akan di peroleh sangat di pengaruhi oleh tindakan pihak lainnya, dimana jika
semua pihak berkomitmen untuk saling bekerjasama dalam menangkap rusa maka
rusa tersebut akan tertangkap namun jika ada satu pihak saja yang tidak
bekerjasama maka kemungkinan rusa itu akan lepas akan sangat tinggi. Dalam
teori Stag Hunt pihak yang lebih memilih untuk tidak bekerjasama dalam
menangkap rusa dan lebih memilih kelinci didasari oleh ketidaksadaran akan
dampak keuntungan bersama yang akan didapatkan jika pihak tersebut
bekerjasama untuk bersama-sama menangkap rusa seperti jumlah daging banyak
26
R. Axelrod & R.O. Keohane, Op.Cit., hal. 235
-
29
yang akan di peroleh.27
Jika di gambarkan dalam tabel maka perhitungannya
seperti tabel berikut:
Tabel 1.2. Perhitungan Dalam Stag Hunt
Stag Rabbit
Stag 5 , 5 0 , 3
Rabbit 3 , 0 3 , 3
Gambar 1.1 Ilustrasi Permainan dalam Stag Hunt
28
Jika dikaitkan dalam kajian ilmu hubungan internasional teori Stag Hunt
sangat relevan untuk menjelaskan sebuah kerjasama yang dilakukan oleh beberapa
Negara dalam kondisi yang saling kompetitif, dimana setiap Negara dianalogikan
sebagai pemburu rusa, dimana rusa adalah kepentingan besar yang ingin dicapai
bersama-sama, sedangkan pemburu yang membelot dan tidak berkomitmen dalam
menangkap rusa dan memilih menangkap kelinci adalah Negara yang tidak
27
Bryan Skyrms , Op. Cit., hal. 5 28
https://mindyourdecisions.com/blog/2016/12/06/how-a-culture-of-honor-can-be-a-barrier-to-
cooperation-a-stag-hunt-game-experiment-in-rural-india-game-theory-tuesdays/ diakses pada
November 2017 pukul 20.00 Wib
https://mindyourdecisions.com/blog/2016/12/06/how-a-culture-of-honor-can-be-a-barrier-to-cooperation-a-stag-hunt-game-experiment-in-rural-india-game-theory-tuesdays/https://mindyourdecisions.com/blog/2016/12/06/how-a-culture-of-honor-can-be-a-barrier-to-cooperation-a-stag-hunt-game-experiment-in-rural-india-game-theory-tuesdays/
-
30
berkomitmen dalam mencapai kepentingan bersama yang ingin dicapai oleh
sekelompok Negara, dimana Negara tersebut adalah the Defector yang menolak
untuk bekerjasama dalam mencapai kepentingan bersama dan malah ingin
mencapai kepentingannya sendiri.
Dalam kasus sikap sikap penolakan yang di tunjukkan oleh Kamboja pada
saat proses pembentukan COC (Code of Conduct) yang di inisiasi oleh ASEAN
pada tahun 2012 yaitu sikap penolakan Kamboja dalam proses pembentukkan
COC dapat di jelaskan melalui teori Stag Hunt. Dimana sekelompok berburu yang
bersama-sama bertujuan ingin memburu rusa (tujuan bersama) adalah setiap
Negara ASEAN yang mencoba merumuskan COC pada tahun 2012 sedangkan
rusa (tujuan bersama) yang ingin dicapai adalah terbentuknya COC (Code of
Conduct). Seperti yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya bahwa Stag Hunt
adalah teori yang menjelaskan tentang komitmen untuk bekerjasama untuk
mencapai tujuan bersama yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti Pay-off,
Shadow of The Future, Number of Player dimana anggapan setiap masing-masing
pemain memiliki asumsi bahwa setiap pemain yang ikut bermain memiliki
kepentingan yang berbeda-beda.
Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut halnya tidak
membuat semua anggota yang berburu tetap ingin berkomitmen dalam bekerja
sama dalam mencapai tujuan bersama, namun atas pertimbangan untuk mencapai
kepentingannya sendiri yang biasanya berjangka pendek maka muncul anggota
yang lebih memilih berburu kelinci (keuntungan yang hanya didapatkan oleh
pihak tersebut, tidak dengan anggota lainya) dimana hasil yang akan didapatkan
-
31
tidak dipengaruhi oleh tindakan pihak lain dan pemain tersebut disebut The
Defector dan dalam kasus ini yang menjadi pihak The Defector adalah Kamboja
sebagai pihak yang menolak berkomitmen untuk mencapai kepentingan bersama
hal itu tergambarkan dari sikap penolakan Kamboja dalam proses pembentukan
COC pada tahun 2012, sedangkan kelinci (keuntungan pribadi) yang ingin dicapai
oleh Kamboja adalah untuk tetap menjaga hubungan yang dalam dengan (RRT),
mengingat (RRT) adalah Negara terbesar dalam memberikan bantuan Kamboja
dalam sektor ekonomi, bantuan donor dana ataupun militer.29
Adapun skema
perhitungan dari Stag Hunt dalam kasus sikap penolakan Kamboja dan Kamboja
sebagai pihak The Defector yang tidak bekerjasama dalam menangkap rusa atau
tujuan bersama dan memilih menangkap kelinci (keuntungan sendiri tanpa
dipengaurhi oleh tindakan pihak lain) sebagai berikut:
Tabel Stag 1.2.2 Hunt Dalam Kasus Sikap Penolakan Kamboja dalam Proses
Pembentukkan COC
Kamboja Cooperate Kamboja Defect
(Anggota ASEAN
lainnya) Cooperate
5,5 0,3
(Anggota ASEAN
lainnya) Defect
0,0 0,3
*note angka hanyalah penggambaran keuntungan yang akan didapatkan.
Perhitungan tabel diatas yang menunjukkan keuntungan yang akan didapat
Kamboja atas tindakannya sebagai The Defector di dasari oleh beberapa
alasan, seperti halnya (RRT) merupakan partner kerjasama dalam berbagai
29
Sovinda Po and Veasne Var, "Cambodia‟s South RRT Sea Dilemma Between RRT and
ASEAN, diakses dalam https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html pada 1
November 2017 pada pukul 17.15 Wib
https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html
-
32
bidang baik ekonomi seperti halnya perdagangan bebas yang dilakukan oleh
kedua Negara mencapai 4,8 US Dollar pada tahun 2015,30
militer, politis.
Mengingat Kamboja memiliki ketergantungan ekonomi yang sangat kuat dari
(RRT), mulai dari 40% investasi di Kamboja berasal dari (RRT), banyaknya
bantuan persenjataan militer yang di pasok dari (RRT), banyaknya bantuan yang
diberikan setiap tahunnya, dimana (RRT) sebagai pendonor dana terbesar di
Kamboja.31
Selain itu dalam pembangunan infrastruktur di Kamboja (RRT) juga
mempunyai peran yang besar hal itu dapat di lihat dari 10 jembatan dan lebih dari
2000 km di bangun dari bantuan dana yang diberikan oleh (RRT). Selain itu
banyaknya MNC dari (RRT) yang ada di Kamboja kurang lebih sejumlah 3000
perusahaan memberikan sebuah lowongan pekerjaan bagi banyak masyarakat
Kamboja, dan menyumbang 2% kepada GDP Negara Kamboja.32
Seperti yang dijelaskan sebelumnya jika hasil dari pihak The Defector
tidak dipengaruhi oleh tindakan dari pihak lainnya, maka dalam kasus ini
Kamboja sebagai pihak The Defector hasil yang akan diperoleh tidak dipengaruhi
oleh tindakan pihak anggota ASEAN lainnya yang menginginkan terbentuknnya
COC (Code od Conduct). Pada dasarnya teori Game Theory pada umumnya
termasuk Stag Hunt akan menghasilkan suatu kondisi ekuilibrium atau kondisi
atau strategi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, namun dalam teori
Stag Hunt tidak selamanya memberikan kondisi ekuilibrium yang menguntungkan
semua pihak. Dalam kasus penolakan Kamboja terhadap pembentukkan COC
30
https://www.voacambodia.com/a/close-relations-with-RRT-in-cambodia-interest-foreign-
minister/4028819.html diakses pada 1 Novermber 2017 pukul 18.10 Wib 31
Ibid 32
http://www.khmertimeskh.com/news/26618/RRT---s-influence-in-cambodia/ diakses pada 1
Novermber 2017 pukul 18.10 Wib
https://www.voacambodia.com/a/close-relations-with-china-in-cambodia-interest-foreign-minister/4028819.htmlhttps://www.voacambodia.com/a/close-relations-with-china-in-cambodia-interest-foreign-minister/4028819.htmlhttp://www.khmertimeskh.com/news/26618/china---s-influence-in-cambodia/
-
33
pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sikap kamboja tidak memberikan
keuntungan anggota ASEAN lainnya yang menginginkan terbentukknya COC.
Namun disatu sisi tindakan tidak bekerjasama dengan Negara anggota
ASEAN lainnya memberikan keuntungan kepada Kamboja, sebagai penjelasan
sebelumnya bahwa hasil yang diperoleh The Defector tidak dipengaruhi oleh
pihak lain, dengan tindakan penolakkan Kamboja terhadap pembentukkan COC
berdampak kepada tetap terjaganya hubungan baik antara Kamboja denga (RRT),
dikarenakan dalam pandangan Kamboja jika COC tersebut dibentuk maka
mengancam hubungan (RRT) dengan ASEAN.
Shadow of The Future atau ekspetasi yang ingin di dapatkan oleh masing-
masing anggota ASEAN yang ingin merumuskan COC pada tahun 2012. Pada
dasarnya menginginkan COC terkait konflik sengketa terbentuk, dan memberikan
keamanan kedaulatan politik, serta ekonomi kepada seluruh Negara anggota
ASEAN yang berkonflik serta untuk menghentikan (RRT) dari klaim sepihaknya.
Namun Kamboja yang selaku The Defector memiliki ekspetasi yang berbeda
dimana Kamboja berkeinginan agar COC tidak terbentuk dikarenakan Kamboja
berpendapat jika COC terbentuk maka hal tersebut akan mengancam
keberlangsungan kerjasama yang dilakukan oleh ASEAN- (RRT) mengingat
(RRT) adalah partner yang sangat penting bagi ASEAN khususnya dalam bidang
perdagangan, dan nantinya juga akan berdampak kepada keberlangsungan agenda
Kamboja yaitu pembangunan ekonomi dan negaranya yang sangat membutuhkan
-
34
kerjasama internasional, dan peran (RRT) dalam bantuan pembangunan di
Kamboja sangat besar.33
Dengan adanya hubungan kerjasama yang intens dan saling kepercayaan
yang timbul antara Kamboja – (RRT), yang saling mempengaruhi tindakan satu
sama lain merupakan unsur yang membentuk Shadow of Future dari pihak
Kamboja itu sendiri. Selain itu seperti penjelasan sebelumnya bahwa The Defector
adalah pihak yang menghindari adanya resiko, hal itu sangat sejalan dengan sikap
penolakan Kamboja pada proses pembentukan COC pada 2012. Dimana sikap
penolakkan Kamboja sangat terlihat syarat kepentingan, bisa dikatakan sikap
penolakan Kamboja merupakan sebuah tindakan untuk menghindari resiko akan
keberlangsungan hubungan antara Kamboja – (RRT).
Pay-Off yaitu timbal balik yang didapatkan oleh setiap anggota yang ingin
berburu, timbal balik yang diharapkan oleh Negara anggota ASEAN yang
menginginkan terbentuknya COC pada tahun 2012 yaitu 0 atau tidak ada timbal
balik atau keuntungan yang di dapatkan. Sedangan Kamboja sebagai Negara The
Defector mendapatkan timbal balik yang hanya mereka dapatkan sendiri yaitu
sebuah keberlanjutan hubungan Kamboja- (RRT) guna mendukung mencapai
agenda Negara Kamboja yaitu pembangungan dalam sektor ekonomi dan
infrastruktur. Selain itu Kamboja juga mendapatkan bantuan luar negeri yang
paling besar selama ini yaitu bantuan 2 miliar US dollar dari (RRT) pasca 2 bulan
penolakan Kamboja atas pembentukkan COC yang terjadi di tahun 2012.34
33
Ibid 34
Radio Free Asia, Cambodia Scores More Aid From RRT, diakses dalam
http://www.rfa.org/english/news/cambodia/RRT-04102013151022.html diakses pada 20 April
2017
-
35
1.5.2 Regionalisme
Intergrasi regional atau kawasan adalah sebuah fenomena yang menyebar
luas hamper keseluruh Negara di dunia, hal itu di tandai dengan banyaknya
terbentuk organisasi regional yang ada di dunia. Tidak ada definisi pasti tentang
integrasi kawasan atau regionalism tapi banyak teoritisi hubungan internasional
yang menjelaskan karakteristik atau pola-pola yang terjadi di integrasi regional
atau terjadinya sebuah regionalism. Seperti yang di jelaskan oleh Bruce Russes
dalam bukunya International Regions and the Interntional System (1967)
menjelaskan sebuah kawasan mempunyai 3 kriteria atau karakteristik: adanya
sebuah kedekatan fisik atau geografis, adanya saling ketergantungan satu sama
lain, dan homogenitas. Kedekatan geografis merupakan salah satu faktor yang
mengawali terjadinya integrasi kawasan meskipun pada saat ini seiring dengan
meningkatnya transportasi dan komunikasi, banyak pakar yang berpendapat
bahwa faktor kedekatan geografis kurang relevan.35
Kriteria yang kedua yaitu keterkaitan saling ketergantungan satu sama lain
juga mempengaruhi terjadinya sebuah integrasi kawasan, dimana dikarenakan
adanya ketergantungan khususnya pada bidang ekonomi akan mendorong
terjadinya sebuah integrasi kawasan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
Negara mereka. Kriteria yang yang ketiga yaitu adanya sebuah homogenitas, yang
dimaksudkan dengan homogenitas adalah adanya sebuah kesamaan nilai, sistem
ekonomi, sistem politik, jalan hidup, tingkat pembangunan ekonomi dan lain-lain.
35
Walter Carknaes, Thomas Risse & Beth A Simmons, 2013, Handbook Hubungan Internasional,
terj. Imam Baehaqie, Bandung: Nusa Media, hal. 998 – 999
-
36
Dalam artian Negara-negara yang melakukan integrasi regional memiliki
kecenderungan sikap yang sama dalam melihat sebuah isu yang terjadi di sebuah
kawasan tersebut.36
Adapun para teoritisi lainnya menjelaskan bahwa suatu kawasan yang
berintegrasi memiliki lima karakteristik. Pertama memiliki kedekatan geografis.
Kedua, memiliki kesamaan dalam sosio-kultural. Ketiga, kesamaan dalam
keanggotaan dalam organisasi internasional. Keempat, adanya ketergantungan
ekonomi antar Negara. Kelima, terdapat kemiripan dalam sikap dan tindakan
politik dalam organisasi internasional.37
Dalam kasus penolakkan yang dilakukan
Kamboja dalam proses pembentukkan COC dapat dikatakan sebuah kasus yang
menarik dikarenakan salah satu poin dalam sebuah kawasan yaitu homogenitas
kesamaan nilai, ataupun sikap dan tindakan yang seharusnya Negara yang sudah
berintegrasi memiliki sebuah kesamaan atau kesepakatan suara dalam suatu
permasalahan yang terjadi di kawasan. Dalam hal tersebut Kamboja dapat
dikatakan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang termuat dalam TAC (Treaty Amity
of Cooperation) dimana TAC tersebut pada dasarnya sebuah norma atau tata cara
bergaul dalam ASEAN yang selain menekankan non-intervensi antar anggota
ASEAN juga saling bekerja sama dalam menyelesaikan masalah bersama.38
36
Ibid 37
Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochammad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 104 38
TAC ASEAN merupakan sebuah kerjasama yang disepakati oleh seluruh anggota ASEAN yang
diterapkan serta di sepakati untuk di jadkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dijadikan sebagai
pedoman negara-negara ASEAN dalam berbangsa dan bernegara, yang mana terbentuknya TAC
itu sendiri didasari oleh kesadaran akan kesamaan sejarah, pengalaman serta tujuan cita-cita setiap
negara di Asia Tenggara itu sendiri. TAC itu terdiri dari prinsip-prinsip seperti: saling
menghormati kedaulatan, kemerdekaan, persamaan, keadilan, batas negara, serta identitas nasional
setiap negara, hak setiap negara untuk bebas dari interfensi atau paksaan dari pihak asing, non-
inteference masalah domestic antar negara ASEAN, penyelesaian perbedaan dan sengeketa secara
-
37
Namun dalam kasus penolakkan yang dilakukan Kamboja pada
pembentukkan COC pada tahun 2012 menunjukkan bahwa adanya sebuah ketidak
samaan nilai/persepsi dalam memandang suatu permasalahan kawasan, dimana
Negara ASEAN lainnya ingin terbentuk COC sebagai solusi terhadap
permasalahan di Laut Tiongkok Selatan, namun Kamboja memiliki pandangan
yang berbeda dimana dalam pandangan Kamboja jika COC di bentuk maka
memberikan dampak buruk bagi ASEAN khususnya terkait hubungan ASEAN
dengan (RRT) mengingat (RRT) merupakan partner yang sangat vital dengan
ASEAN dalam berbagai aspek kerjasama multilateral yang ada.39
Hal itu
menunjukkan bahwa regionalism yang terjadi di Asia Tenggara tidak berjalan
sepenuhnya dimana masih banyaknya perbedaan setiap masing-masing Negara
dalam berbagai permasalahan yang ada dalam kawasan belum lagi sering
terjadinya konflik antar Negara ASEAN secara bilateral.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Variabel Penelitian dan Level Analisa
Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel dependen
(variabel yang di pengaruhi) dan independen (variabel yang mempengaruhi
variabel dependen) adapun cara untuk mengidentifikasi variabel dependen atau
independen dengan menentukan terlebih dahulu tingkat analisis, yakni sebuah
damai, penolakan terhadap penggunaan kekuatan militer dan ancaman. Baca lebih lanjut, ASEAN,
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976, dalam,
http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/. 39
Sovinda Po and Veasne Var, "Cambodia‟s South RRT Sea Dilemma Between RRT and
ASEAN, diakses dalam https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html pada 1
November 2017 pada pukul 17.15 Wib
https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html
-
38
penentuan kepada subyek untuk menjelaskan mengapa sebuah peristiwa dapat
terjadi. Penentuan tingkat analisis bertujuan supaya penulis dapat memilih teori
yang relevan untuk menjelaskan suatu fenomena yang terjadi.40
Dalam penilitian
penulis tingkat analisis dapat di jelaskan sebagai berikut:
Unit Analisis dalam penelitian ini adalah: Sikap Penolakan Kamboja yang
menolak terhadap Proses Perumusan COC yang diinisiasi oleh ASEAN
pada tahun 2012
Sedangkan, Unit Eksplanasinya adalah: Proses Pembentukan COC oleh
ASEAN pada tahun 2012
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah Negara-bangsa
sedangkan yang menjadi unit eskplanasi adalah sistem regional/ global, maka
penelitian ini menggunakan model analisa induksionis dikarenakan unit
eksplanasi lebih tinggi daripada unit analis. Selain itu unit analisis dapat dipahami
sebagai variabel dependen sedangkan unit eksplanasi dapat dipahami sebagai
variabel independen.
1.6.2 Metode Penelitian
Skripsi ini menggunakan metode eksplanatif, dimana penilitian tipe
eksplanatif dapat dipahami sebuah penelitian yang menganalisa sebuah peristiwa
40
Endi Haryono & Saptopo B Ilkodar, Menulis Skripsi: Panduan Untuk Mahasiswa Ilmu
Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 32
-
39
dengan tujuan untuk mencoba menerapkan teori/ konsep yang digunakan dalam
rangka mencoba menjelaskan fenomena, penelitian eksplanatif bertujuan untuk
menjawab sebuah pertanyaan “mengapa” suatu fenoma bisa terjadi.41
Dalam
kasus penilitian penulis ingin menjelaskan fenomena “mengapa” sikap penolakan
Kamboja dalam proses pembentukan COC pada tahun 2012 bisa terjadi
menggunakan teori Stag Hunt dan Regionalisme.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
deduktif, yaitu sebuah Analisa data yang menyangkut kegiatan reduksi, penyajian
data dan menarik sebuah kesimpulan. Langkah melakukan reduksi data meliputi
kegiatan memilih data yang relevan dengan tujuan dan tema penelitian,
menyederhanakan data dengan tanpa mengurangi makna atau membuang data
yang sekiranya memang tidak dibutuhkan. Data terpilih kemudian akan dipahami,
diolah dan kemudian akan dijelaskan melalui pemahaman intelektual yang logis
dan rasional.42
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ilmu hubungan internasional sangat jarang menggunakan data
primer, begitu pula dalam penelitian ini dibutuhkan sumber informasi maupun
data dari satu sumber yaitu data sekunder dengan menggunakan studi pustaka
41
Endi Haryono & Saptopo B Ilkodar, Menulis Skripsi: Panduan Untuk Mahasiswa Ilmu
Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 2 42
Endi Haryono & Saptopo B Ilkodar, Menulis Skripsi: Panduan Untuk Mahasiswa Ilmu
Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 44
-
40
seperti buku-buku ilmiah, website resmi, internet, jurnal, serta referensi-referensi
yang dapat diperoleh dan membantu dakam menguatkan data maupun informasi
yang disampaikan yang berkaitan dengan judul yang diambil oleh penulis. Penulis
menggunakan studi literatur untuk memperoleh informasi maupun pedoman
dalam mencapai data yang akurat, signifikan, faktual dan bermanfaat bagi
penelitian serta bahan-bahan yang bersifat documenter (dokumen tertulis) seperti:
laporan, buku-buku teks, makajal jurnal, ebook, artikel ilmiah yang memuat
pernyataan public atau perseorangan, serta publikasi dari lembaga-lembaga resmi
Negara dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan penelitian ini. 43
1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian
a. Batasan Materi
Penelitian ini akan fokus menelaah sikap penolakan Kamboja dalam
konflik Laut Tiongkok Selatan yang menolak adanya proses pembentukan COC
pada 2012, untuk mengetahui dan menjelaskan kepentingan Kamboja yang
dalam dinamika Konflik di Laut Tiongkok Selatan.
b. Batasan Waktu
Adapun batasan waktu dalam penelitian ini adalah dari tahun sebelum tahun
2011 - 2014. Peneliti ingin menjelaskan sikap penolakan dari Kamboja terkait
penolakkannya dalam proses pembentukan COC konflik Laut Tiongkok Selatan.
Alasan dari batasan waktu tersebut adalah meskipun penolakan yang dilakukan
oleh Kamboja terhadap proses pembentukkan COC pada tahun 2012. Namun,
43
Ibid, hal. 53
-
41
perlu dipahami dinamika dari konflik Laut Tiongkok Selatan itu sendiri, mulai
dari sebelum dan sesudah adanya tindakan penolakkan yang dilakukan oleh
Kamboja (2012), hal itu disebakan pendekatan Game Theory yang penulis
gunakan, dikarenakan ada strategi yang dilakukan sebelum tindakan Kamboja di
ambil, dan timbal balik yang didapatkan Kamboja setelah melakukan penolakkan
terhadap pembentukkan COC pada sengketa di Laut Tiongkok Selatan.
1.7.Hipotesa
Penulis memiliki hipotesa bahwa tindakan penolakan Kamboja yang
seharusnya mendukung sikap negara sesama ASEAN terkait dalam menyikapi
konflik Laut Tiongkok Selatan. Namun, pada kenyataanya Kamboja tidak
menunjukkan adanya itikad untuk mendung ASEAN dengan sikap penolakkan
perumusan COC atas sengketa di Laut tiongkok Selatan. Hal itu menunjukkan
adanya ketidaksamaan pandangan antara Kamboja dengan Negara anggota
ASEAN lainnya. Dimana Negara ASEAN pada umumnya menginginkan
penyelesaian dengan multilateral guna mencapai kepentingan bersama yang ingin
dicapai oleh ASEAN terkait konflik di Laut Tiongkok Selatan. Namun, Kamboja
memiliki pandangan yang berbeda yaitu bahwa konflik Laut Tiongkok Selatan
bukan urusan dari ASEAN serta menolak pembentukkan COC yang ingin
dibentuk oleh ASEAN pada tahun 2012
Adapun hipotesa yang penulis miliki berdasarkan kerangka teori Game
Theory Stag Hunt terkait sikap penolakan Kamboja terhadap proses pembentukan
COC adalah sebagai berikut:
-
42
1. Sikap penolakan Kamboja dalam proses pembentukkan COC pada tahun
2012. Merupakan permainan yang dilakukan oleh Kamboja yang
berdasarkan sikap pragmatism atau self-interest. Dimana posisi Kamboja
dalam permainan pembentukkan COC pada tahun 2012 adalah sebagai
pihak The Defectori yaitu pihak yang memutuskan untuk tidak
bekerjasama dengan anggota lainnya. Dengan tujuan untuk meminimalisir
kerugian dan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
2. Keputusan Kamboja menolak pembentukkan COC tahun 2012 terjadi
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional yang dilakukan oleh
Kamboja. Dimana dalam pandangan Kamboja sangat tidak
menguntungkan jika Kamboja mendukung terbentuknya COC pada tahun
2012. Hal itu disebabkan akan dapat mengganggu hubungan Kamboja –
RRT yang sangat memberikan kerugian bagi Kamboja, mengingat
kamboja sangat tergantung pada RRT. Ketergantungan Kamboja kepada
RRT menjadi faktor utama dalam terbentukknya sikap penolakan yang
dilakukan oleh Kamboja pada COC tahun 2012. Pasalnya 60% dari total
investasi asing di Kamboja berasal dari RRT, banyaknya MNC yang
menjadi penyumbang GDB dan menjadi tempat jutaan warga Kamboja
bekerja. Maka akan menjadi sangat riskan bagi stabilitas hubungan
Kamboja – RRT jika mendukung terbentuknya COC tahun 2012.
-
43
1.8. Sistematika Penulisan
Pada bab I penulis menuliskan tentang latar belakang, tujuan, manfaat,
serta alasan mengapa penelitian tersebut diangkat. Kemudian semua hal tersebut
dianalisis dengan menggunakan teori untuk mendapatkan hasil dari penelitian
tersebut. Selain itu, dalam bab I juga terdapat beberapa penelitian terdahulu yang
menjadi landasan awal penelitian penulis, dan beberapa data yang akan
memperkuat penelitian penulis. Bab I juga akan menjelaskan hipotesis yang
diperkirakan oleh penulis menjadi jawaban dari penelitian ini.
Pada bab II penulis akan memaparkan persoalan yang melatar belakangi
terjadinya konflik sengketa di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Negara
RRT dan beberapa Negara ASEAN, serta pada bab II penulis akan menjelaskan
bagaimana pendekatan politik dari RRT kepada Negara ASEAN untuk
mempengaruhi kebijakan Negara ASEAN terhadap konflik di Laut Tiongkok
Selatan. Selain itu dalam bab ini akan dijelaskan tentang unit analisis sikap
penolakan Kamboja pada proses pembentukkan COC Code of Conduct pada
tahun 2012.
Pada Bab III penulis akan menjelaskan tentang unit eksplanasi yaitu proses
pembentukkan COC (Code of Conduct) yang coba diciptakan oleh ASEAN untuk
menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan. Penjelasan terhadap proses
pembentukkan COC akan menggunakan Game Theory Stag Hunt, yang mana
sikap Kamboja yang berpihak kepada RRT merupakan sebuah bentuk permainan
yang dijalankan oleh Kamboja, dimana dalam proses pembentukkan COC
-
44
Kamboja yang menolak bekerjasama disebut sebagai pihak The Defector yang
bertujuan untuk meminimalisir kerugian untuk mencapai keuntungan sebesar-
besarnya tanpa memperhatikan keuntungan bersama yang ingin dicapai oleh
kelompok.
Bab yang terakhir menjelaskan tentang semua kesimpulan dari penelitian
yang ditulis sehingga dapat menjelaskan tentang poin-poin dalam kesimpulan dan
jawaban dari penelitian ini. Selain itu, dalam bab terakhir ini akan dijelaskan
tentang saran peneliti untuk penelitian selanjutnya.