BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan elemen yang
sangat penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Aktivitas manusia tidak bisa
lepas dari pemanfaatan tanah dalam kegiatannya sehari-hari karena sumber daya
tanah merupakan modal yang sangat utama dalam kelancaran pembangunan serta
memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat.
Tanah memiliki nilai yang sangat tinggi baik dari nilai ekonomis, budaya, dan
sosiologis, dikarenakan kebutuhan dari aktivitas manusia yang akan selalu bertambah
sedangkan luas tanah kecil kemungkinan untuk bertambah. Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk, tentunya dibutuhkan berbagai fasilitas penunjang
untuk aktivitas masyarakat seperti jaringan transportasi, jaringan komunikasi, tempat
peribadatan, sarana olah raga, sarana pendidikan, dan sebagainya.
Huybers dalam bukunya Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,
mendefinisikan kepentingan umum sebagai “kepentingan masyarakat secara
keseluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan
hak-hak individu sebagai warga negara dan menyangkut pengadaan serta
pemeliharaan sarana publik dan pelayanan publik.”1 Sedangkan kepentingan umum
menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5280), selanjutnya disingkat UU Pengadaan Tanah, telah ditentukan bahwa,
“Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.” Kepentingan umum dimaksud menurut Pasal 10 huruf a sampai dengan huruf
r UU Pengadaan Tanah meliputi antara lain, jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur
kereta api, waduk, bendungan, bendung, irigasi, pelabuhan, bandar udara, dan lain-
lain.
Pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tentunya membutuhkan
tanah sebagai fondasinya. Dalam hal luas tanah masih mencukupi, maka
pembangunan tersebut tidak akan menemui masalah, sedangkan seperti kita ketahui
bahwa tanah sebagai sumber daya alam yang sangat terbatas, sehingga pemerintah
sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan lokasi dalam rangka pembangunan
untuk kepentingan umum. Tanah yang tersedia bagi pembangunan untuk kepentingan
umum salah satunya diperoleh dari tanah Negara atau dapat pula dari tanah
masyarakat yang sebagian besar telah dilekati dengan hak atas tanah.
1 Maria S.W Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi & Implementasi, PT.
Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya di singkat Sumardjono I),
hal. 107
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi
dari fungsi sosial hak atas tanah yang telah diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034), selanjutnya disingkat UUPA,
yang menyatakan, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Konsep fungsi
sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah
dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh
warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga
masyarakat adat bersangkutan.2
Tanah merupakan modal dasar bagi pembangunan, selama persediaan tanah
mencukupi, kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dapat terlaksana.
Ketika persediaan tanah negara terbatas, pembangunan pun dilakukan di atas tanah-
tanah hak. Artinya, pemerintah mengambil tanah dari masyarakat melalui kegiatan
pengadaan tanah.3 Pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 UU Pengadaan Tanah
yaitu, “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
2 Bernhard Limbong, 2014, Politik Pertanahan. PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Bernhard I) hal. 49 3 Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, MB Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Bernhard II), hal. 111
Dalam proses pelaksanaan pengadaan tanah terdapat berbagai tahapan dan
proses yang merupakan persoalan yang pelik dan rumit karena tidak jarang ada
kepentingan dari para pihak yang saling bertentangan. Di Indonesia, yang pada
umumnya yang menjadi permasalahan utama bukan saja apakah suatu proyek
termasuk dalam kategori kepentingan umum atau tidak, melainkan juga mengenai
masalah tentang pelaksanaan dan substansi musyawarah untuk mencapai kesepakatan
antara para pihak.4
Pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan
untuk kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 9 UU Pengadaan Tanah
dilaksanakan dengan cara pelepasan hak atas tanah masyarakat menjadi tanah Negara
melalui lembaga pertanahan yang wajib diikuti dengan ganti rugi yang layak dan
telah disepakati oleh para pihak. Tanah milik masyarakat yang digunakan untuk
kepentingan umum sering hanya digunakan sebagian dari total luas tanah yang
dimiliki masyarakat, terutama jika kepentingan umum tersebut adalah berupa jalan
umum. Sisa dari bidang tanah milik masyarakat yang terkena pengadaan tanah dan
masih dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya sering tidak
dilakukan perbaruan data di lembaga pertanahan yaitu kantor Badan Pertanahan
Nasional (selanjutnya disingkat BPN).
4 Maria S.W Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Sumardjono II), hal. 258
Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, yang harus diperhatikan bukan
hanya pada pelaksanaan pengadaan tanah, tetapi juga pemeliharaan data dengan cara
mendaftarkan hak atas tanah yang diperoleh dalam pengadaan tanah tersebut oleh
instansi yang memerlukan tanah, sedangkan sisa bidang tanah yang masih bisa
digunakan oleh masyarakat didaftarkan haknya oleh masyarakat pemilik tanah.
Perubahan data wajib dilakukan, baik terhadap data fisik maupun data yuridis dari
obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar.
Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah, memerlukan
perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten
sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal tersebut tercapai
melalui pendaftaran tanah. Dalam rangka untuk melaksanakan pendaftaran tanah
yang dimaksud dalam UUPA telah dtetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961
Nomor: 28; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2171) yang
pertama kali dikeluarkan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya telah disempurnakan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor: 59), selanjutnya
disingkat PP 24 Tahun 1997, jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 yang merupakan peraturan pelaksana dari PP 24
Tahun 1997.
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas mutakhir dalam pendaftaran tanah
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 Penjelasan Atas PP 24 Tahun 1997,
menuntut pembaruan data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu sesuai
dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan
mengenai data yang benar setiap saat. Data yang dihimpun dalam pendaftaran tanah
menurut Pasal 1 PP 24 Tahun 1997 meliputi dua hal yaitu :
1. Data fisik, yakni keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah
dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai
adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.
2. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan
satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain
serta beban-beban lain yang membebaninya.
Kegiatan pendaftaran tanah mempunyai tujuan, yaitu untuk menjamin
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Pendaftaran tanah dilakukan demi
kepentingan pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan
bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu, melalui pemberian
sertifikat hak atas tanah.5 Tujuan adanya pendaftaran tanah tersebut juga untuk
5 Aartje Tehupeiory, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih Asa Sukses,
Jakarta, hal. 9
menghindari terjadinya sengketa batas dan juga untuk penetapan nilai pajak atas
tanah tersebut.6
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam
Penjelasan Umum Memori Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria bagian IV terutama dalam pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran
tanah, salah satunya dalam Pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian
hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat “rechts
kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Terselenggaranya
pendaftaran tanah membantu pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat
mengetahui status hukum dari pada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan
batas-batasnya, siapa pemiliknya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah
tersebut.
Dalam memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka dari itu
UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran hak atas
tanah adalah kewajiban bagi pemegang hak atas tanah bersangkutan yang kemudian
dipertegas dalam Pasal 36 ayat (2) PP 24 Tahun 1997, bahwa pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik dan data yusridis,
6 A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
(selanjutnya di singkat Parlindungan I), hal 5-7
ketentuan dimaksud bertujuan agar masyarakat memperoleh kepastian tentang hak
atas tanah dan luas yang dimilikinya.
Kurangnya informasi mengenai pendaftaran hak atas tanah menyebabkan sisa
dari bidang tanah milik masyarakat yang terkena pengadaan tanah dan masih dapat
difungsikan sesuai peruntukannya tidak didaftarkan perubahan datanya oleh
masyarakat, baik perubahan data fisik maupun data yuridisnya di Kantor Pertanahan.
Permasalahan ini muncul dapat disebabkan karena kurangnya sosialisasi pada saat
musyawarah pengadaan tanah dan keengganan masyarakat sendiri untuk mencari
informasi tentang pendaftaran hak atas tanah yang telah berubah datanya.
Keengganan dimaksud dikarenakan berbagai pertimbangan diantaranya
seperti transparansi pelayanan yang masih dirasakan belum baik di Kantor
Pertanahan, besarnya biaya yang kemungkinan akan dikeluarkan oleh masyarakat,
jarak serta waktu yang diperlukan untuk mengurus pendaftaran tersebut ke Kantor
Pertanahan dan pola pikir masyarakat yang cenderung menyimpulkan bahwa jika
proyek tersebut dilaksanakan oleh pemerintah, maka pemerintahlah yang seharusnya
menyelesaikan segala urusan administrasi pertanahan yang diperlukan sampai selesai.
Keadaan tidak didaftarkannya sisa bidang tanah milik masyarakat yang
terkena pengadaan tanah memberi akibat yang buruk kedepannya baik bagi
pemegang hak atas tanah itu sendiri sekarang maupun generasinya yang akan datang.
Beberapa akibat yang muncul bagi masyarakat jika sisa bidang tanah tidak dilakukan
pendaftaran perubahan datanya diantaranya adalah:
1. Masyarakat tetap membayar pajak seluas tanah sebelum diadakannya pengadaan
tanah, karena luas tanahnya belum dikurangi dengan luas tanah yang telah
dibebaskan untuk kepentingan umum.
2. Masyarakat dapat menuntut ganti rugi karena jalan umum tersebut masih dalam
bagian tanahnya (tidak tergambar dalam surat ukur), hal ini bisa terjadi karena
waktu dibebaskan untuk pengadaan tanah, pemilik tanah tidak menerima ganti
rugi.
3. Masyarakat merasa bahwa jalan umum tersebut masih merupakan bagian dari hak
atas tanahnya, sehingga di kemudian hari bisa terjadi konflik yang berujung pada
penutupan jalan oleh masyarakat tersebut.
Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat di pedesaan yang pada umumnya
berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah, di sisi lain pemerintah
kehilangan uang pemasukan ke Negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dari kegiatan pendaftaran perubahan data fisik dan data yuridis. Dalam
rangka tertib administrasi pertanahan, kegiatan pendaftaran perubahan data wajib
dilakukan, jika tidak dilaksanakan maka akan dapat memicu konflik pada ahli waris
pemilik sisa bidang tanah yang terkena pengadaan tanah di kemudian hari.
Selain itu, dampak tidak didaftarkannya perubahan data di kantor BPN
berakibat tidak termonitornya alih fungsi lahan di lokasi pengadaan tanah. Keadaan
tidak adanya dana dalam proses pengadaan tanah juga sering membuat aparat
pemerintah setempat dihadapkan pada posisi dilematis, pada satu pihak harus
mengamankan pembangunan yang diamanatkan oleh pemerintah, tetapi pada pihak
yang lain mengalami kesulitan dalam memperoleh dana untuk pengadaan tanah.7
Bali merupakan pusat pariwisata di Indonesia dan juga sebagai salah satu
daerah tujuan wisata terkemuka di dunia. Pesonanya yang memukau membuat Bali
banyak dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Sebagai daerah
pariwisata bertaraf Internasional, maka dibutuhkan banyak fasilitas pendukung yang
baik sebagai penunjang kegiatan pariwisata, salah satunya adalah jalan raya sebagai
jalur utama transportasi darat yang menghubungkan antar daerah dan akomodasi
wisata di Bali.
Pengadaan tanah untuk pelebaran jalan atau pembuatan jalan baru juga terjadi
di Bali untuk menunjang kegiatan pariwisata yang semakin meningkat, salah satunya
di Kabupaten Jembrana. Pengadaan tanah di Kabupaten Jembrana adalah untuk
membuat jalan baru sebagai jalur pengangkutan hasil bumi sehingga mempermudah
pengirimannya ke daerah yang membutuhkan, diantaranya ke daerah dengan aktivitas
wisata yang tinggi di Bali.
7Aminuddin Salle, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Total media,
Yogyakarta, hal 172
Pengadaan tanah di Kabupaten Jembrana telah selesai dilaksanakan dan
pembangunan jalan telah rampung, namun pendaftaran perubahan data pertanahan di
Kantor Pertanahan sampai saat ini belum juga dilakukan. Walaupun kegiatan
pembangunan jalan untuk kepentingan umum telah selesai dilaksanakan, namun
pemerintah tetap harus menjamin pemeliharaan data fisik dan data yuridis (perubahan
data baik pada buku tanah maupun pada sertifikat tanah masyarakat) segera setelah
pengadaan tanah untuk kepentingan umum berjalan dengan semestinya, sehingga
tujuan dari pendaftaran tanah yaitu menjamin kepastian hukum dapat tercapai dan
tentunya tidak ada pihak yang dirugikan baik secara material atau immaterial.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, penulis mengambil judul dalam
penelitian ini yaitu, “Peran Pemerintah berkaitan dengan kendala pendaftaran sisa
bidang tanah akibat pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum (Studi pada Pembangunan Jalan Umum di Kabupaten
Jembrana)”.
1.2 Rumusan Masalah
Menelaah latar belakang yang diuraikan, maka rumusan masalah yang
dikemukakan dalam penulisan usulan penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi kendala dalam proses pendaftaran sisa bidang tanah
milik masyarakat yang terkena pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum (jalan umum) di Kabupaten
Jembrana.
2. Bagaimanakah peran pemerintah dalam hal pendaftaran sisa bidang tanah
milik masyarakat yang terkena pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum (jalan umum) di Kabupaten
Jembrana.
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam kegiatan penelitian harus terdapat tujuan yang jelas dan hendak
dicapai. Adapun tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan bersifat khusus. Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan ilmu hukum terkait, khususnya dalam bidang Hukum Agraria dan
memperluas wawasan pengetahuan sehingga nantinya dapat digunakan untuk
membantu dalam penyelesaian masalah di institusi pertanahan dan membantu
masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sehubungan dengan tujuan umum, maka tujuan khusus yg ingin didapat lebih
lanjut adalah sebagai berikut ;
a. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi dalam
proses pendaftaran sisa bidang tanah milik masyarakat yang terkena
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum (jalan umum) di Kabupaten Jembrana.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis peran pemerintah dalam hal
pendaftaran sisa bidang tanah milik masyarakat yang terkena
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum (jalan umum) di Kabupaten Jembrana.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis/Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
masukan bagi para akademisi bidang hukum pada umumnya, dan diharapkan dapat
menambah wawasan, pengalaman, dan pemahaman khususnya yang berkaitan dengan
ilmu Hukum Agraria dan juga dapat berguna bagi masyarakat umum.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan dan
pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria, terutama bagi
para praktisi pengadaan tanah yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya,
yaitu tim pelaksana pengadaan tanah dan masyarakat. Sehingga dapat menimbulkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pendaftaran perubahan data di kantor
pertanahan. Bagi peneliti, di samping untuk kepentingan penyelesaian studi juga
untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum agraria khususnya
mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.
1.5. Landasan Teoritis
Teori adalah suatu prinsip yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau
memecahkan masalah. Teori merupakan alur penalaran yang terdiri dari konsep,
definisi yang disusun secara sistematis.8 Setiap penelitian tidak akan pernah
meninggalkan teori-teori yang mendukung dan relevan, teori-teori tersebut berkaitan
langsung dengan pokok masalahnya dan bermanfaat untuk memberikan dukungan
analisis terhadap topik yang sedang dikaji.9 Teori dalam penelitian empiris selain
berfungsi untuk menjelaskan fakta, juga harus mampu meramalkan fakta-fakta atau
kejadian-kejadian.10
Dalam bagian kerangka teoritik ini dipaparkan teori-teori yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada, relevansi teori-teori tersebut sebagai pembenaran
teoritik untuk mengkaji mengenai dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum
terhadap sisa bidang tanah yang tidak diikuti dengan pendaftaran tanah, sehingga
jelas bahwa teori yang digunakan bermanfaat untuk melakukan penjelasan-penjelasan
ilmiah sesuai dengan fungsi-fungsi teori menurut ilmu hukum.
8 J.Soeprapto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, hal.194. 9 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 144 10 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar Maju,
Bandung, hal. 141
1.5.1 Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui dalam
hal seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuannya. Teori efektivitas hukum menjelaskan mengenai bekerjanya sebuah aturan
perundangan ketika diterapkan dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah
penjelasan mengenai hambatan atau kendala-kendala.11
Mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, menurut Achmad Ali dalam
bukunya yang berjudul “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence)
mengatakan bahwa, maka pertama-tama yang harus dapat diukur adalah “sejauh
mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Tentu saja, jika suatu aturan hukum
ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan
mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun
demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati efektif, seseorang menaati
atau tidak suatu aturan hukum, juga tergantung pada kepentingannya. 12
Kepentingan ada bermacam-macam, di antaranya yang bersifat compliance,
internalization, dan masih banyak jenis kepentingan lain. Ketaatan sebagian besar
11 Ibid., hal. 141 12 Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. hal. 376-378
warga masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena kepentingan yang bersifat
compliance atau hanya takut sanksi, maka derajat ketaatannya rendah, karena
membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. Berbeda dengan ketaatan yang
berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan karena aturan
hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai yang masyarakat anut, maka derajat
ketaatannya adalah yang tertinggi, sehingga aturan tersebut bisa dikatakan efektif
berlakunya di masyarakat.
Beberapa faktor menurut Achmad Ali yang juga diakui oleh C. G. Howard &
R. S. Mummers dalam law: Its Nature and Limits yang mempengaruhi ketaatan
terhadap hukum secara umum dan relevan dengan penelitian dalam tesis ini
diantaranya adalah:
a. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
Sosialisasi aturan harus dilakukan, karena tidak boleh meyakini fiksi
hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah
suatu negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di
negaranya. Penduduk secara umum tidak mungkin mampu mengetahui
keberadaaan suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum
tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.
b. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, dan proses penegakan hukumnya.13
Romli Atmasasmita juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang menghambat
efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak
hukum akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering
13 Ibid.
diabaikan.14 Teori Efektivitas Hukum digunakan oleh penulis untuk membantu dalam
mengkaji masalah tentang kendala dalam proses pendaftaran sisa bidang tanah milik
masyarakat yang terkena pengadaan tanah, dengan teori ini maka dapat diketahui
faktor yang menimbulkan kendala dalam pendaftaran sisa bidang tanah milik
masyarakat yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan dapat
menemukan solusi yang tepat untuk mengurangi kendala atau hambatan tersebut.
1.5.2 Teori Negara Hukum
Mengenai istilah negara hukum, sering disamakan dengan konsep rechtsstaat
dan negara hukum adalah terjemahan dari rechtsstaat.15 Paham rechtsstaat ini
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan
Friedrich Julius Stahl. Negara hukum ialah negara yang pemerintah dan semua
pejabat-pejabat hukum mulai dari Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif,
semuanya dalam menjalankan tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat
kepada hukum. Taat kepada hukum berarti menjunjung tinggi hukum, dalam
mengambil keputusan-keputusan jabatan menurut hati nuraninya, sesuai dengan
hukum.16
Penegasan Negara Indonesia sebagai negara hukum telah ada pada Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan
14 Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hal. 55 15 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi
tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Surabaya, hal. 66. 16 O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hal. 36.
ke-4 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat)”. Dengan penegasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan,
masyarakat, dan negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya
baik anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut.17
Menurut Djokosutomo, hukumlah yang berdaulat dan Negara adalah
merupakan subjek hukum, dalam arti rechstaat. Negara dipandang sebagai subjek
hukum, maka jika ia bersalah dapat dituntut di depan pengadilan karena perbuatan
melanggar hukum. Dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, tetapi harus
berdasarkan pada hukum.18
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa paham rechtsstaat pada
dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam penelitian ini,
digunakan konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena sistem hukum
yang dianut di Indonesia banyak dipengaruhi paham Eropa Kontinental, sehingga
terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait dengan penerapan sistem
hukum Eropa Kontinental.
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya rechtsstaat
mencakup 4 (empat) elemen, yaitu :
17 Baharudin Lopa, 1987, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di
Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, hal.101 18 Kansil, C.S.T dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia:
Pengertian Hukum Tata Negara Dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi
Kemerdekaan 1945 Hingga Kini, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 86
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Peradilan tata usaha negara.19
Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas yang substansinya
adalah menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan
undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, maka badan atau pejabat administrasi
negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau
memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.20
Teori Negara Hukum digunakan oleh penulis untuk membantu dalam
mengkaji masalah tentang bagaimana peran pemerintah dalam mendaftarkan sisa
bidang tanah milik masyarakat yang terkena pengadaan tanah, sehingga dapat
diketahui sejauh mana peran pemerintah yang telah diatur perundang-undangan
dalam mendaftarkan sisa bidang tanah milik masyarakat yang terkena pengadaan
tanah, karena teori Negara Hukum menghendaki agar setiap tindakan badan atau
pejabat administrasi berdasarkan undang-undang.
19 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama,
CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 3 20 Kansil, C.S.T dan Christine S.T., op. cit.,hal. 78
1.5.3 Teori Kepastian Hukum
Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak boleh
tidak; suatu hal yang sudah tentu.21 Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman
mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori
hukum dan filsafat hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 22
Bagi Radbruch, ketiga ide dasar hukum itu merupakan tujuan hukum secara
bersama-sama, namun Radbruch menyadari dalam praktik dapat menimbulkan
masalah. Ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan serasi
(harmonis) satu sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, ketegangan
(Spannungsverhaeltnis) satu sama lain. Keadilan bisa bertabrakan dengan
kemanfaatan dan kepastian hukum begitu juga sebaliknya.
Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas,
prioritas pertamanya adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah
kepastian hukum. Namun karena semakin kompleksnya kehidupan manusia di era
modern, maka pilihan prioritas yang sudah dibakukan, kadang-kadang memunculkan
pertentangan antara kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Sehingga Achmad
Ali berpandangan bahwa, harus diupayakan agar meskipun yang diprioritaskan
21 W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai
Pustaka, hal. 847 22 Achmad Ali, op.cit., hal.288
adalah salah satunya, misalnya kepastian hukum, tetapi tidak mengabaikan sama
sekali keadilan dan kemanfaatannya.
Kemunculan hukum modern membuka pintu bagi masuknya permasalahan
yang tidak ada sebelumnya yang sekarang kita kenal dengan nama kepastian hukum
itu. Nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada sebelum era
hukum modern. Bahkan sudah sejak masa ribuan tahun kedua nilai tersebut masih
ada dalam wacana hukum, tetapi kepastian hukum merupakan sesuatu yang baru.
Kepastian hukum menurut Radbruch adalah “Scherkeit des Rechts selbst”
(kepastian hukum tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum, yaitu:
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-
undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada
fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan
dilakukan oleh hakim, seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa
fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat,
hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….23
Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan. Pendapat
lainnya mengenai kepastian hukum datang dari Roscoe Pound, seperti yang dikutip
oleh Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum
23 Ibid., hal. 292-293
menyatakan bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian yang dikemukakan
sebagai berikut :
Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenagan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja
yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang,
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang
satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.24
Jika mengkaitkan teori ini dengan apa yang akan dikaji, maka penulis
berpendapat bahwa teori kepastian hukum membantu untuk menjelaskan kepastian
hukum dari sisa bidang tanah milik masyarakat yang terkena pengadaan tanah.
Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian dilakukannya pendaftaran
perubahan data fisik dan data yuridis oleh masyarakat, sehingga data tersebut selalu
akurat sesuai dengan asas mutakhir yang telah diamanatkan dalam PP 24 tahun 1997.
Teori kepastian hukum digunakan oleh penulis dalam mengkaji masalah tentang
peran pemerintah dalam mendaftarkan sisa bidang tanah milik masyarakat yang
terkena pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian secara etimologi kata dasarnya adalah teliti yang bermakna cermat,
hati-hati, tekun, telaten, dan sungguh-sungguh. Serangkaian makna itu terkandung
dalam penelitian yang dalam bahasa inggris disebut search. Sementara research dapat
24 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, (selanjutnya di singkat Marzuki I), hal.137
didefinisikan sebagai upaya menemukan informasi kembali dengan cermat, hati-hati,
tekun, telaten, dan sungguh-sungguh. Makna menemukan adalah kegiatan mencari
sesuatu yang sebenarnya telah ada namun belum diformulasikan secara sistematis.25
Metode ilmiah dapat pula diartikan sebagai suatu cara bagaimana penelitian itu harus
dilakukan, dengan mengikuti cara-cara tertentu yang dibenarkan, yang mencakup
mengenai tata cara pengumpulan data, pengolahan data, maupun analisis data.26
Metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam penelitian,
peranan metode dalam penelitian diantaranya adalah untuk menambah kemampuan
para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian dengan cara yang
lebih baik dan lengkap, memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti
hal-hal yang belum diketahui dan memberikan pedoman untuk mengorganisasikan
serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.27
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang
timbul.28 Jenis penelitian hukum dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris29. Penelitian yang dilakukan dalam
tesis ini menggunakan penelitian hukum empiris, penelitian ini beranjak dari adanya
25 Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Penelitian Hukum Empiris Murni: sebuah alternatif,
Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 33 26 Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung,
hal. 35 27 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta (selanjutnya di singkat Soekanto II), hal. 7 28 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 41 29 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, op. cit., hal. 153
kesenjangan antara das solen dengan das sein (kesenjangan antara keadaan teoritis
dengan fakta hukum)30, yaitu dalam Pasal 36 ayat (2) PP 24 Tahun 1997, ditentukan
bahwa pemegang hak atas tanah yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah. Namun dalam kenyataannya
masyarakat tidak mendaftarkan perubahan data obyek pendaftaran tanah yang telah
berkurang akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dalam penelitian hukum empiris dilakukan jenis penelitian mengenai
bagaimana berlakunya hukum di masyarakat, sehingga dapat diketahui apakah hukum
akan bekerja efektif atau telah berjalan efektif, data hukum yang berhasil ditemukan
dianalisis. Penelitian empiris dilakukan di lapangan dengan metode dan teknik
penelitian lapangan yaitu mengadakan kunjungan dan komunikasi dengan para pihak
yang berkaitan langsung.
1.6.2 Sifat Penelitian
Dilihat dari sudut sifatnya menurut Amirudin dan Zainal Asikin, penelitian
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu, penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan
atau penjelajahan), eksplanatif dan deskriptif. Penelitian yang bersifat eksploratif
umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang masih baru, belum banyak
ditemukan informasi mengenai masalah yang diteliti, atau bahkan belum ada sama
sekali, seperti belum adanya teori-teori dan norma-norma. Kalaupun ada namun hal
30 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman
Pendidikan, Denpasar, hal. 60
itu masih relative sedikit. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak menggunakan
hipotesis.31
Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan) bertujuan menguji
hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara berbagai
variabel yang diteliti. Penelitian ini baru dapat dilakukan apabila informasi-informasi
tentang masalah yang diteliti sudah cukup banyak, yaitu adanya beberapa teori
tertentu dan telah ada berbagai penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesis
tertentu. Oleh karena itu hipotesis mutlak harus ada.32
Pada penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriftif analisis tentang
pokok permasalahan. Penelitian deskriftif pada penelitian secara umum termasuk pula
pada penelitian ilmu hukum yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-
sifat suatu individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan
penyebaran gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-
teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat, baik dalam
literature maupun jurnal, doktrin serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada,
bahkan jumlahnya cukup memadai. 33
Penelitian deskriptif bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal di daerah
serta waktu tertentu dan peneliti sudah mempunyai gambaran tentang permasalahan
31 Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 25 32 Ibid. 33 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, op.cit., hal. 62
yang akan diteliti.34 Penelitian dalam tesis ingin menggambarkan kenyataan yang
terjadi di Kabupaten Jembrana mengenai pelaksanaan pengadaan tanah yang tidak
diikuti dengan pendaftaran sisa bidang tanah milik masyarakat di lembaga
pertanahan.
1.6.3 Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris yaitu data primer dan data
sekunder. Adapun jenis data yang digunakan, yaitu:
a. Data primer
Data primer bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang
diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan dengan melakukan
wawancara dengan responden dan informan. Informan dan responden
merupakan dua hal yang berbeda, informan adalah individu yang memiliki
keahlian serta pemahaman terbaik mengenai isu-isu tertentu sehingga di sini
informan merupakan narasumber, sementara responden adalah individu yang
oleh pewawancara ingin mengetahui informasi mengenai diri dari responden
itu sendiri seperti pendiriannya, sikapnya, serta pandangannya terhadap isu
tertentu.35
Responden dalam penelitian ini yaitu masyarakat yang memiliki bidang tanah
sisa pengadaan tanah yang masih dapat difungsikan sesuai peruntukannya,
namun perubahan datanya tidak didaftarkan di lembaga pertanahan.
34 Suratman dan Philips Dillah, op.cit., hal. 47 35 Ulber Silalahi, 2006, Metode Penelitian Sosial, Unpar Press, Bandung, hal. 287.
Sedangkan informan dalam penelitian ini yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten
Jembrana sebagai lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan di
bidang pertanahan salah satunya pendaftaran tanah dan tim pelaksana
pengadaan tanah yaitu termasuk di dalamnya Kepala Desa lokasi pengadaan
tanah.
b. Data sekunder
Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang
diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan
bersumber dari data-data yang sudah terdokumentasikan dalam bentuk bahan-
bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum
Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.36 Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer bersumber dari peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan permasalahan yang dikaji. Peraturan perundang-undangan
tersebut, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2034);
36 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, loc.cit
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor: 59);
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22);
d. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah;
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder diantaranya berupa rancangan undang-undang,
hasil penelitian, pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, surat kabar
(koran), dan berita internet37 yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan teknik wawancara, dimana
teknik ini adalah bagian penting terutama dalam penelitian hukum empiris, karena
peneliti akan mendapatkan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya
langsung kepada responden dan informan.38 Penelitian ini menggunakan teknik
standardized interview (wawancara berencana), dimana daftar pertanyaan (kuesioner)
37 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, op.cit., hal. 158 38 Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 82
telah disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis. Kuesioner yang terstruktur
dan sistematis ini kemudian oleh pewawancara ditanyakan kepada responden atau
informan39.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih kompleks
dan mendetail mengenai permasalahan yang akan diteliti. Adapun yang diwawancarai
dalam penelitian ini yaitu pegawai Kantor Pertanahan yang membidangi pendaftaran
hak atas tanah tanah, Kepala Desa di Kabupaten Jembrana dan masyarakat yang
sebagian tanah hak miliknya terkena pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
umum dan sisa dari bidang tanah yang masih dapat difungsikan tersebut tidak
didaftarkan perubahan datanya di lembaga pertanahan.
Data sekunder diperoleh melaluli teknik studi dokumen yang dilakukan atas
bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data kepustakaan
sebagai data sekunder diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum
primer yang terdiri dari buku-buku, literatus, makalah, hasil penelitian, artikel,
ataupun karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.
1.6.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Secara metodelogis, dalam penelitian ini digunakan teknik non probability
sampling, hasil yang diperoleh tidak digunakan untuk membuat generalisasinya dan
39 Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Sosial, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 77
hanya memberi gambaran tentang suatu elemen.40 Dalam hal ini tidak ada ketentuan
yang pasti berapa sampel harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya,
jadi dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat
mewakili populasi41.
Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Teknik ini dipilih berdasarkan penunjukkan atau rekomendasi dari sampel
sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri dengan mencari key
informan (informan kunci) yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang
dilakukan. Penarikan sampel yang akan diteliti tidak ditentukan secara pasti baik
dalam bentuk sejumlah angka ataupun prosentase, melainkan besarnya jumlah sampel
akan disesuaikan dengan titik jenuh, dalam hal ini penelitian akan dihentikan dan
dianggap telah mewakili keseluruhan obyek penelitian jika data telah menunjukkan
titik jenuh. Data dianggap telah mencapai titik jenuh jika dari jawaban-jawaban baik
para responden maupun informan telah ada kesamaan atau kemiripan.42
Responden dalam penelitian ini yaitu masyarakat yang memiliki bidang tanah
sisa pengadaan tanah yang masih dapat difungsikan sesuai peruntukannya, namun
perubahan datanya tidak didaftarkan di lembaga pertanahan. Sedangkan informan
dalam penelitian ini yaitu BPN sebagai lembaga pemerintah yang menyelenggarakan
urusan di bidang pertanahan salah satunya pendaftaran tanah dan tim pelaksana
40 Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 87 41 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, op.cit., hal.67 42 Ibid.
pengadaan tanah yaitu termasuk di dalamnya Kepala Desa dan instansi terkait
lainnya.
1.6.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, data yang sudah terkumpul
adalah berupa: data yang tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan
pengukuran; data sukar diukur dengan angka; sampel lebih bersifat non probabilitas;
pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan.43
Keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data data sekunder akan
diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistimatis, digolongkan
dalam pola dan tema, dikategorikan dan diklarifikasikan, dihubungkan antara satu
data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalan
situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami
keseluruhan kualitas data.
1.6.7 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Kabupaten
Jembrana dipilih sebagai lokasi penelitian karena proyek pengadaan tanah banyak
terjadi di kabupaten ini, terutama di daerah pedesaan yang kebutuhan jalan untuk
kegiatan masyarakatnya cukup tinggi, terutama untuk memudahkan mengangkut hasil
pertanian menuju daerah yang membutuhkan, seperti ke kota-kota besar di Provinsi
43 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 77-78
Bali. Kabupaten Jembrana merupakan daerah yang masih sangat bisa untuk
berkembang serta jalur utama yang menghubungkan antar provinsi memungkinkan
proyek pengadaan tanah akan terus berlangsung.