1
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Thesis ini disusun untuk membandingkan kebijakan luar negeri Amerika
Serikat terhadap program nuklir yang dilakukan oleh Iran pada dalam masa
pemerintahan 2 Presiden terakhir yaitu George Walker Bush (2001-2009) dan
Barack Obama (2009-sekarang). Program nuklir Iran, mulai mencuat menjadi
perhatian dunia Internasional pada awal tahun 2000.1 Iran menyatakan, bahwa
segala aktifitas nuklir yang dikembangkan di negaranya tersebut dimaksudkan
untuk tujuan damai yakni sebagai sumber energi alternatif dan isotop kesehatan.
Namun, Amerika Serikat meyakini bahwa yang berusaha dilakukan oleh Iran
dengan nuklirnya ialah memperkuat persenjataan militer dengan tengah
mengembangkan teknologi untuk merakit senjata pemusnah massal atau WMD
(Weapon of Mass Destruction).2
Sebagai pusat kekuatan unipolar dan hegemon tunggal dunia, Amerika
Serikat menjadi salah satu suara vokal yang mengecam keras aktifitas nuklir Iran.
Pandangan tersebut menjadikan Amerika Serikat baik dalam tubuh NPT (Nuclear
Non-Proliferation Treaty), IAEA (International Atomic Enegry Agency) maupun
Dewan Keamanan PBB melihat Iran sebagai ancaman kemanan Internasional.
Persepsi ancaman ini kemudian menempatkan perubahan rezim di Iran, dengan
tuntutan penghentian aktifitas Iran yang terkait dengan nuklir sebagai jantung dari
kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.3
Saat Amerika Serikat berada dibawah pemerintahan Bush, selain kecaman
dan deretan sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap Iran, Washington
berulang kali mengancam akan menggunakan kekuatan militer terhadap Iran
1 Aftab Alam, 2011, Sanctioning Iran: Limits of Coercive Diplomacy, India Quarterly: A Journal
of International Affairs, http://iqq.sagepub.com/content/67/1/37 2 John R. Crook, 2011, Contemporary Practice of the United States, American Journal of
International Law, Vol.105, pp 122-162, American Society of International Law. 3 Asli Ü. Bâli , 2006, The US and the Iranian Nuclear Impasse, Middle East Report, No. 241,
Iran: Looking Ahead, pp. 12-21 Middle East Research and Information Project
2
apabila Iran tidak mau bekerjasama terkait dengan program nuklirnya. Disisi lain,
pihak Iran sendiri menyatakan tidak akan mundur dari program pengembangan
nuklirnya dengan mengatasanamakan hak nasional bangsa Iran. Ditambah lagi,
dalam pandangan Amerika Serikat, Iran dinilai tidak transparan dalam proses
investigasi dan ditemukan melanggar kesepakatan yang termuat dalam NPT pada
tahun 2005. Setahun kemudian secara mengejutkan Presiden Iran periode 2005-
2013 Mahmoud Ahmadinejad mengumumkan bahwa Iran telah berhasil
memperkaya uranium menjadi 3,5 persen U-235 dengan menggunakan 164
sentrifugal, dan mengklaim bahwa Iran telah bergabung dengan grup negara yang
memiliki teknologi nuklir.4 Hal ini membuat Iran dijatuhi berbagai resolusi sanksi
dari Dewan Kemananan PBB yang dimotori oleh Amerika Serikat. Terhitung dari
tahun 2006 hingga 2008, Iran telah dikenakan sebanyak 4 resolusi sanksi oleh
Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan aktifitas nuklirnya sementara, dan
juga dalam bentuk sanksi ekonomi.
Memasuki Pemerintahan Obama, pencapaian kesepakatan dengan Iran
terkait program nuklirnya masih menjadi tantangan dalam kebijakan luar negeri
Amerika Serikat. Sekilas, upaya yang ditempuh oleh Obama untuk membuat Iran
menghentikan program nuklirnya tampak tidak jauh berbeda dengan yang
dilakukan oleh Bush. Meskipun tidak betumpu pada kekuatan militer, Amerika
Serikat dibawah Obama memperketat banyak sanksi yang telah diberlakukan
terhadap Iran sebelumnya dengan memperluas embargo senjata di tahun 2010.
Bahkan, sebagai dampak tidak tercapainya kesepakatan dengan pihak Iran dalam
perundingan-perundingan dalam periode pemerintahan Obama, Amerika Serikat
dan Negara-negara sekutunya di Eropa ‘mengencangkan’ lebih erat hukuman bagi
Iran dengan memberlakukan Oil Embargo atau larangan impor minyak dari Iran
di tahun 2012. Iran juga dikenakan sanksi lanjutan berupa larangan perdagangan
logam mulia emas, berlian dan barang berharga milik badan publik Iran di Eropa,
larangan kerja sama dengan Bank, asuransi dan PMA (Produce Marketing
Association) dalam sektor gas dan minyak bumi Iran. Aset pemerintah Iran baik di
Amerika Serikat maupun di Eropa juga ikut dibekukan. Deretan sanksi tersebut
4 Op Cit, Alam, 2011
3
diharapkan pemerintahan Obama dapat melemahkan perekonomian Iran sehingga
akan memaksanya kembali ke meja perundingan terkait dengan isu nuklirnya.5
Secara garis besar, kebijakan masa pemerintahan Bush terhadap Iran dapat
dikatakan berbentuk "diplomasi koersif", sebuah istilah yang dipinjam dari Studi
Diplomatik, dimana langkah diplomasi yang ditempuh bergantung pada langkah-
langkah paksaan atau hukuman seperti sanksi ekonomi, politik dan tekanan
militer.6 Terlihat kemiripan kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Iran
dalam 2 pemerintahan yang berbeda tersebut dikarenakan pada masa
pemerintahan Obama, banyak dari kebijakan-kebijakan koersif tersebut yang
berlanjut, bahkan cenderung diperketat. Aksi baru Obama terlihat sejalan dengan
kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan sebelumnya oleh Bush. Isu ini
menjadi menarik dikarenakan Obama pada awal kepemimpinannya menginginkan
adalnya perubahan pendekatan dengan negara-negara muslim khususnya Iran
dengan mengedepankan upaya diplomasi. Bahkan, Obama menyatakan
kesediaannya untuk perundingan langsung tanpa syarat dengan pemerintah Iran.
Meski demikian, dalam praktiknya Amerika Serikat di bawah Obama terus
memperluas sanksi ilegal terhadap Republik Islam dan mengambil kebijakan-
kebijakan yang arogan.7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang diatas, kita dapat melihat secara singkat
bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam merespon program
pengembangan nuklir di Iran pada periode pemerintahan Bush dan Obama
sepintas memperlihatkan kemiripan. Terlihat bahwa Pemerintahan Obama
menggunakan metode-metode yang koersif sebagaimana telah dilakukan oleh
Pemerintahan Bush dalam upaya membuat Iran menghentikan program nuklirnya.
Penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut dengan membandingkan kebijakan
5 Adirini pujayanti, Info Singkat Hubungan Internasional – Sanksi Ekonomi Terhadap Iran dan
dampak Internasionalnya ,Vol. IV, No. 04/II/P3DI/Februari/2012 6 Ali-Fatholah Nejad, 2011, From Bush to Obama, US Policy Towards Iran, Global Ressearch,
http://www.globalresearch.ca/from-bush-to-obama-us-policy-towards-iran/26669 diakses pada
tanggal 20 September 2014 7 Sanksi Darurat Nasional atas Iran, 2012, Iran Indonesian Radio,
http://indonesian.irib.ir/editorial/fokus/item/53771-Sanksi_Darurat_Nasional_AS_Atas_Iran
diakses pada tanggal 20 September 2014
4
pada kedua periode pemerintahan tersebut. Dengan demikian, rumusan pertanyaan
penelitian penulis adalah,
Bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program
nuklir Iran dari masa pemerintahan Bush menuju masa pemerintahan
Obama?
1.3 Review Literatur
Permasalahan mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa
pemerintahan Bush dan Obama khususnya terkait hubungannya dengan negara-
negara di Timur Tengah telah banyak diteliti. Khusus untuk kebijakan dalam
merespon perkembangan nuklir di Iran, corak dominan yang penulis temukan
dalan tulisan-tulisan tersebut berpendapat bahwa, alih-alih mengalami perubahan,
kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Iran menunjukkan adanya
persamaan, yang lebih lanjut dalam tulisan-tulisan dibawah dinilai sebagai
continuity, atau kelangsungan.
Perihal kemiripan ini dinyatakan langsung oleh Stephen Hedley, mantan
penasehat keamanan Amerika Serikat yang mengatakan bahwa memang terdapat
persamaan kebijakan dalam pemerintahan Bush menuju Obama yang dinilai
Hedley sebagai kontinuitas. Hal tersebut menurut Hedley menjadi penanda
transisi pemerintahan Bush menuju Obama.8 Senada dengan Hedley, berbagai
literatur yang dimuat pada penelitian ini menjabarkan mengenai spekulasi
beberapa penulis kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap kawasan Timur
Tengah, khususnya mengenai containment strategy terhadap Iran yang mayoritas
menunjukkan adanya kemiripan. Melalui penjabaran berikut akan terlihat bahwa,
seiring berjalannya waktu, kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat
dibawah Obama, khususnya yang terkait dengan keamanan, hanya mengalami
sedikit perubahan.
Timothy J Lynch dan Robert S Singh, dalam After Bush, The Case of
Continuity in American Foregin Policy, mengatakan bahwa dalam kebijakan luar
8 Stephen Hadley, 2010, US foreign policy marked by continuity, http://www.dw.de/us-foreign-
policy-marked-by-continuity-says-former-national-security-adviser/a-14731694 diakses pada
tanggal 6 Oktober 2014
5
negeri Amerika Serikat, kontinuitas menjadi faktor yang utama dikarenakan
sebagaimana yang telah ditunjukkan di tahun-tahun terakhir, Amerika Serikat
tetap menjadi aktor utama dan pusat pergerakan politik di panggung dunia, posisi
dasar Amerika Serikat dalam tatanan dunia Internasional ini berpengaruh pada
kelangsungan kebijakan luar negeri karena akan menyebabkan Presiden
berikutnya hanya mampu untuk mengubah sedikit dari kebijakan penerusnya.9
Studi mengenai kebijakan luar negeri pada periode pemerintahan Presiden
Amerika ke 44 dan 45 yang sepintas terlihat mengalami kelangsungan ini menjadi
menarik dikarenakan Obama, pada masa kampanye pemilu menjanjikan
perubahan dari masa pemeritahan Bush yang digambarkan dengan slogan
’Change We Can Believe In’. Obama juga menjanjikan untuk me ’reset’ atau
menata ulang hubungan antara Amerika dengan negara-negara di Timur Tengah
dengan mengedepankan upaya perundingan atau negosiasi. Disamping itu, Obama
pernah mengkritisi kebijakan-kebijakan koersif dan diplomasi keras yang
dikeluarkan oleh Bush saat Obama masih menjabat sebagai senator. Namun,
meski memiliki titik awal yang berbeda, pada implmentasiannya kebijakan yang
diberlakukan Obama terhadap Iran seolah melanjutkan langkah-langkah yang
sama yang ditempuh oleh Bush pada masa pemerintahannya.
Dalam American Foreign and Security Policy under Barack Obama:
Change and Continuity, Robert Ondrejcsak meyakini bahwa pemerintahan Obama
datang dengan membawa perubahan bagi kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Isu mengenai nuklir Iran memang tidak dapat dipungkiri menjadi tantangan bagi
komitmen perubahan kebijakan luar negeri Obama. Hal ini dikarenakan, tujuan
utama dari kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah ialah tetap menjaga
stabilitas dan melestarikan pengaruhnya. Obama menyatakan kesediaan untuk
bekerja sama dengan Iran berdasarkan kepentingan bersama.10
Kerjasama
Internasional dan koalisi menjadi faktor penting dalam pendekatan yang dipilih
Obama terhadap Iran, Korea Utara, juga dalam menangani terorisme
internasional. Berbeda dengan Bush yang mengedepankan tindakan unilateralisme
9 Timothy J Lynch dan Robert S Singh, 2008,After Bush, The Case of Continuity in American
Foregin Policy, Cambridge University Press : UK 10 Robert Ondrejcsak,2009, American Foreign and Security Policy under Barack Obama: change
and continuity, Panorama of global security environment, Bratislava: CENAA, pp. 147-162.
6
atau pengambilan keputusan secara sepihak tanpa membutuhkan persetujuan dari
pihak-pihak lain, pendekatan Obama dapat dikatakan bersifat multilateralisme.
pendekatan Obama juga secara spesifik mengacu kepada isu pendidikan,
kesehatan, dukungan ekonomi pasar, serta investasi di daerah-daerah konflik
dibandingkan dengan penggunaan kekuatan militer. Obama dan timnya juga tidak
terlalu memfokuskan kebijakan pada ancaman tradisional, namun ancaman non-
tradisional seperti penekanan dalam faktor-faktor sosial dan sosial yang lebih luas,
termasuk perubahan iklim atau kemiskinan di wilayah luar perbatasan Amerika
Serikat.11
Pada dasarnya Ondrejcsak menilai latar belakang perubahan yang diusung
Obama ini didorong oleh aspek moral dan ideologi. Disamping menggunakan
momentum positif segera setelah pemilu dan pelantikannya, terlihat harapan yang
besar secara global bahwa pemerintahan Obama akan mengubah persepsi
mengenai Amerika Serikat baik di mata domestik maupun publik dunia dengan
mengembalikan prestise dan superioritas moral Amerika Serikat. Hal ini
menjadikan Amerika Serikat ingin mendirikan kembali elemen-elemen soft power
dalam hubungan Internasional.12
Dalam literatur lain, Nik Hynek dengan tulisannya Continuity and Change
in the U.S Foreign and Security Policy with the Accession of President Obama,
mulai menganalisis dari 2 aspek. Hynek menjabarkan perubahan yang terjadi
dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap nuklir Iran, namun juga
tidak menafikan kelanjutan yang terlihat. Iran adalah salah satu dari dua isu yang
paling ditekankan dialam diskursi kebijakan luar negeri dan keamanan Amerika
Serikat. Obama membuat dua perubahan yang signifikan terhadap kebijakan
Amerika terhadap Iran: (1) Setelah pengangkatannya sebagai Presiden, Obama
secara kontraproduktif berhasil menghilangkan wacana yang dibuat oleh Bush
seperti pengelompokkan Axis of Evil sehingga Amerika Serikat dapat secara
terpisah bekerja dengan Iran dan Korea Utara. Tindakan ini mencerminkan
kenyataan bahwa Iran adalah negara secara yang politis lebih kompleks dan
memiliki pengaruh langsung yang lebih besar terhadap kawasan Timur Tengah.
(2) Dengan penghapusan mengenai wacana negara-negara Axis of Evil, Obama
11 Ibid 12Ibid
7
mulai mendekati Iran dengan sikap diplomatik yang berwawasan luas, berbeda
dengan tindakan diplomatik Bush yang memboikot Iran dari tahun 2002 hingga
akhir tahun 2008.13
Dikarenakan tulisan tersebut disusun pada tahun 2009, Hynek melihat
akan sulit untuk membandingkan 8 tahun masa pemerintahan Bush dengan 7
bulan yang disebutnya sebagai early stage masa pemerintahan Obama. Namun,
secara garis besar Hynek melihat perubahan yang terjadi pada kebijakan luar
negeri Amerika Serikat terhadap nuklir Iran ialah dimulainya sebuah inisatif
membentuk interaksi diplomatik dengan Iran dengan menafikan kondisi awal
dalam pembangunan dialog. Obama juga berupaya untuk melaksanakan kegiatan
diplomatik utama di tingkat bilateral. Hal ini tentu berbeda dengan pendekatan
Bush yang seolah menafikan peran negara. Akan tetapi, meski Obama telah
memulai sebuah inisiatif baru, pihak Iran tidak menerima pendekatan yang
dilakukan oleh Obama. Iran menolak upaya perundingan diplomatik dan
bersikeras melanjutkan konfrontasi yang sebelumnya telah dilakukan. Melalui sisi
tersebutlah Hynek menjelaskan mengapa kemudian terdapat kelangsungan
kebijakan terhadap Iran. Penolakan yang dilakukan oleh Iran membuat Obama
tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan metode stick and carrot atau
pemberian reward and punishment, sebagaimana yang telah dilakukan Amerika
Serikat dibawah Bush.14
Melawan sisi idealis Ondrejcsak, Cristian Brose datang dengan argumen
yang lebih pragmatis. Brose yang merupakan penulis pidato untuk mantan menetri
Luar Negeri Amerika Serikat, Condolezza Rice, menemukan alih-alih memberi
perubahan pada kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat warisan
pemerintahan Bush, Obama melanjutkan sebagian besar dari kebijakan tersebut.
Kelangsungan kebijakan luar negeri Bush ke masa pemerintahan Obama
dijabarkan dengan komperhesif oleh Brose dalam tulisannya The Making of
George Obama W. Berdasarkan pengamatannya, terdapat banyak kelanjutan
kebijakan luar negeri pada masa pemerintahan kedua Bush ke masa pemerintahan
pertama Obama dibandingkan dengan masa pemerintahan pertama dan kedua
13 Nik Hynek, 2009, Continuity and Change in the U.S Foreign and Security Policy with the
Accession of President Obama, Institute of International Relations: Prague 14 Ibid
8
Bush sendiri. Tulisan Brose lebih jauh menyoroti kelangsungan kebijakan antara
masa pemerintahan Bush dan Obama secara keseluruhan, seperti penyelesaian
konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. Memang terdapat beberapa
kebijakan yang berubah, namun untuk kebijakan mengenai program nuklir negara
berkembang, kebijakan pada masa pemerintahan Obama tidak akan bertolak jauh
dari masa pemerintahan Bush.15
Sebagai contoh ialah kebijakan terhadap negara-negara yang dicap Bush
sebagai Axis of Evil. Setelah berhasil mengubah rezim di Baghdad, pemerintahan
periode keduanya berkomitmen penuh untuk mengubah perilaku Pyongyang dan
Teheran. Akibatnya, Obama akan menerima tongkat estafet yang sulit pada
negosiasi multilateral jika berangkat dari posisi yang ditinggalkan oleh Bush.
Terhadap Iran, dijelaskan oleh Brose, Obama dipastikan melanjutkan kebijakan
Bush dengan metode stick and carrot dalam mencari solusi diplomatik sebagai
pilihan ketiga selain kedua pilihan lainnya yaitu membiarkan perilaku Iran atau
menyerang Iran untuk merubah rezimnya. 16
Ternyata pihak Iran pun menyadari kesamaan perilaku Amerika Serikat
dibawah 2 Presiden dengan latar belakang partai politik yang berbeda ini. David
Albright and Jacqueline Shire dalam “Iran's Growing Weapons Capability and Its
Impact on Negotiations”, mengutip pernyataan Pemimpin Tertinggi Iran
Ayatollah Ali Khamenei dalam Press TV pada 3 November 2009. Khamenei
menyatakan keberatan tentang prospek perundingan dengan Amerika Serikat dan
mengeluhkan bahwa Amerika Serikat di bawah pemerintahan Obama tidak
berubah dan bahwa hubungan Iran-Amerika Serikat tetap selayaknya ‘domba dan
serigala’.17
Hal senada juga diungkapkan oleh Michael C Desch dalam The More
Things Change, the More They Stay the Same: The Liberal Tradition and
Obama's Counterterrorism Policy yang menyatakan bahwa slogan kampanye
Obama ’Changes We Believe In’ lebih tampak bagaikan harapan dibandingkan
15 Christian Brose,2009, “The Making of George Obama W”, Foreign Policy, No. 170 ,
Washington post Newsweek Interactive, pp. 52-55 16 Ibid 17 David Albright and Jacqueline Shire,2009, “Iran's Growing Weapons Capability and Its Impact
on Negotiations”, Arms Control Today, Vol. 39, No. 10 (DECEMBER 2009), pp. 6-14. Arms
Control Association
9
dengan kenyataan. Meski Desch tidak menafikan perubahan yang besar pada masa
pemerintahan Bush dan Obama, namun menurutnya, kelangsungan kebijakan luar
negeri pada masa 2 pemerintahan tersebut cukup mencolok, khususnya dalam
Counterterrorism Policy, mulai dari penghentian ditingkatkannya teknik
interogasi terhadap tersangka teroris, penutupan penjara rahasia di luar negeri,
menarik sejumlah militer Amerika Serikat yang ada di Irak, hingga kesediaan
untuk terlibat dalam dialog dengan Iran tentang program nuklirnya.
Diantara banyak isu-isu kebijakan lainnya, hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan perang melawan terorisme lah dimana kelangsungan terlihat sangat
menonjol. Setidaknya terdapat 3 kelangsungan kebijakan yang diungkapkan oleh
Desch, Pertama, baik pemerintahan Bush dan Obama menganggap proliferasi
senjata pemusnah massal, senjata nuklir khususnya, sebagai salah satu ancaman
pada abad kedua puluh, terutama dengan alasan bahwa senjata-senjata tersebut
kemungkinan berada di tangan para teroris. Kedua, Obama menggeser sentra
perang melawan terorisme dari Irak kembali ke Afghanistan. Strategi yang
digunakan Obama untuk berperang di Afghanistan memiliki kemiripan mencolok
dengan strategi yang digunakan oleh pemerintahan Bush di Irak, termasuk
lonjakan jumlah pasukan di wilayah perang. Yang terakhir sebagaimana dituliskan
oleh Brose pula ialah usaha Amerika Serikat untuk membangun perdamaian di
wilayah Timur Tengah, khususnya konflik antara Palestina dan Israel.
Terdapat 4 alasan yang dikemukakan oleh Desch mengenai kelangsungan
kebijakan luar negeri dalam pemerintahan 2 Presiden ini, (1) banyak dari
kebijakan luar negeri tersebut yang dilanjutkan karena sulitnya mengubah
kebijakan yang diberlakukan pada pemerintahan sebelumnya, bukan karena
komitmen Obama sebagai Presiden yang baru. (2) Desch menjelaskan dengan
menggunakan teori politik birokrasi. Jabatan yang diduduki akan menentukan
posisi dimana seseorang akan berdiri. Dengan demikian, jika dilihat berdasarkan
jabatan, Presiden ingin memperluas kewenangan atau otoritasnya. Ini
mengasumsikan, bahwa kepentingan lembaga kepresidenan sangat jelas dan tidak
berubah, dan kebijakan yang sama/ identik adalah satu-satunya cara untuk
mempertahankan kewenangan atau otoritas tersebut. (3) Menurut Desch, masa
kampanye dan masa jabatan tidak dapat disamakan. Meskipun Obama sangat
10
mengedepankan perubahan dalam pemerintahannya, namun pada akhirnya,
urgensi yang terdapat dalam pemerintahan terakhirlah yang membawa kebijakan
menuju ke arah yang sama. Dan yang terakhir, (4) merujuk kepada alasan
konsesus yang luas di kalangan para elit yang mengedepankan permasalahan
keamanan Amerika Serikat, terutama semenjak tragedi 9/11.
Jika kita mengacu pada salah satu alasan yang dikemukakan oleh Desch
yaitu konsesus pada elit yang membawa aspek keamanan, kita dapat melihat
bahwa hal tersebut tidak berlaku pada kasus Irak dan Afghanistan. Dalam persepsi
keamanan, Amerika Serikat tentu akan berusaha melindungi negaranya dari
ancaman-ancaman luar sehingga containment policy tentu menjadi strategi utama
dalam politik luar negerinya. Namun, permasalahan keamanan justru membawa
perubahan pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Irak dan
Afghanistan saat berada dibawah pemerintahan Obama. Obama menarik sejumlah
pasukan di Irak dan dipindahkan ke Afghanistan. Obama menggeser fokus dan
prioritas dari Irak dengan menjadikan Afghanistan sebagai agenda utama
pemberantasan terorisme Internasional.
Disamping itu, dalam menanggapi isu terorisme Afghanistan, Bush terlihat
begitu keras dengan bergantung pada kekuatan militer dalam memerangi
kelompok Al-Qaeda yang berada dibawah pimpinan Osama bin Laden.
Sedangkan Obama lebih kepada memanfaatkan Smart Power, yang merupakan
perpaduan antara penggunaan Hard power dan Soft Power.18
Meski tetap
melibatkan kekuatan militer, Obama lebih menggunakan pendekatan strategis
agar tidak menimbulkan lebih banyak korban jatuh dari pihak rakyat Afghanistan
sendiri. Hal ini berbeda dengan kasus Iran, yang jika mengacu pada literatur-
literatur sebelumnya, dalam pemerintahan Obama terjadi konsistensi kebijakan
khususnya dalam pemberian sanksi dan metode yang digunakan untuk membuat
Iran menghentikan program nuklirnya.
Dari sekian literatur, mayoritas penstudi kebijakan luar negeri Amerika
Serikat melihat bahwa terdapat persamaan dalam masa pemerintahan Bush dan
Obama dalam merespon isu nuklir di Iran. Posisi Amerika Serikat yang tidak
berubah dalam melihat hal ini sebagai ancaman mendasari tindakan koersif yang
18 Suzzane Nossel, 2004, Smart Power, Foreign Affairs Vol.83 No. 2, hal 131-142
11
pada mulanya dijalankan oleh pemerintahan Bush dan dilanjutkan oleh
pemerintahan Obama terhadap republik Islam Iran. Dalam sebuah periode
pemerintahan, kebijakan luar negeri yang diambil oleh seorang pemimpin negara
dalam merespon sebuah isu belum tentu sejalan dengan pendahulunya, dan belum
tentu pula diteruskan pula oleh penerusnya. Kebijakan luar negeri yang diambil
oleh seorang pemimpin negara akan mengalami penyesuaian yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi baik internal, maupun eksternal. Oleh sebab itu
fokus dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kebijakan luar negeri yang
diambil oleh Bush dan Obama dalam merespon nuklir di Iran dilihat dari aspek-
aspek yang menjadi indikator analisis kebijakan sesuai dengan konsep Foreign
Policy Analysis.
1.4 Landasan Konseptual
Landasan konseptual yang dijabarkan pada bagian ini akan berisi
penjelasan konsep yang sekiranya relevan untuk membantu menganalisis
pertanyaan penelitian. Dalam tulisan ini, konsep yang berusaha dielaborasikan
dengan penelitian ini ialah konsep Analisa Kebijakan Luar Negeri atau Foreign
Policy Analysis (FPA). Penggunaan kata-kata “Foreign” atau “Luar Negeri”
disini untuk membedakan antara kebijakan Luar Negeri dengan Kebijakan Dalam
Negeri. Pengertian, Policy atau Kebijakan itu sendiri Menurut Yani ialah
seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat
aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
sebelumnya. Policy berakar pada konsep “pilihan (choices)” yang berarti memilih
tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan.19
Elemen yang kemudian membagi kebijakan ini menjadi Kebijakan Dalam
dan Luar negeri ialah area of issues, atau ruang lingkup isu dimana kebijakan
tersebut diimplementasikan. Pada Kebijakan Dalam Negeri (Domestic Policy)
penggunaan kata "domestik" dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kebijakan
tersebut dibuat dan diterapkan dalam sistem politik internal. Kebijakan domestik
adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang akan secara langsung
19 Yanyan Mochamad Yani, 2010, Politik Luar Negeri, Pustaka Ilmiah Universitas Padjajaran,
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pdf diakses pada
tanggal 4 November 2014
12
mempengaruhi masyarakat dalam negeri. Kebijakan ini terkait dengan semua
masalah dan aktivitas dalam batas-batas teritorial suatu negara, seperti hukum.
pendidikan, energi, kesehatan, sumber daya alam, kesejahteraan sosial, hak-hak
pribadi dan kebebasan, program pemerintah, serta keputusan-keputusan yang
terkait administrasi dalam negeri seperti bisnis dan pajak.20
Sebagaimanya dinyatakan oleh Henry Kissinger, “Foreign policy begin
when domiestic policy ends”21
, Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy), mengacu
kepada kebijakan yang diterapka suatu negara terhadap dunia luar batas teritorial
negara tersebut. Kebijakan Luar negeri menurut Holsti ialah, strategi atau rencana
tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam
menghadapi negara lain atau unit politik Internasional lainnya dan dikendalikan
untuk mencapai tujuan nasional yang dituangkan dalam terminologi kepentingan
nasional.22
George Modelski menyatakan bahwa kebijakan luar negeri adalah
sistem kegiatan yang terlibat dengan masyarakat untuk mengubah perilaku negara
lain dan untuk menyesuaikan kegiatan mereka sendiri untuk lingkungan
Internasional. Dan Adeed dawisha dalam “Islam in Foreign Policy” menjelaskan
bahwa kebijakan luar negeri adalah tindakan suatu negara terhadap lingkungan
eksternalnya dan kondisi dimana tindakan tersebut diformulasikan. Secara
singkat, Kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai totalitas kebijakan suatu
negara terhadap dan interaksi dengan lingkungan luar batas negara.23
Contoh-
contoh hal yang termasuk dalam perumusan Kebijakan Luar Negeri ialah perang
dengan negara lain, penandatanganan perjanjian perdagangan Internasional, atau
membantu pemberontakan gerilyawan.24
Studi yang menganalisis Kebijakan Luar Negeri (FPA) adalah cabang
studi dari ilmu politik yang berhubungan dengan pengembangan teori dan studi
empiris mengenai proses dan hasil dari kebijakan luar negeri. Tujuan melakukan
studi kebijakan luar negeri adalah untuk memahami tindakan dan perilaku negara
20 Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, and Ryan K. Beasley, The Analysis of Foreign Policy in
Comparative Perspective, http://www.cqpress.com/docs/college/Beasley2e.pdf 21 Wolfram F. Hanrieder. 1971. Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays. New York:
David McKay Co., 22 K J Holsti, 1992, International Politics a Framework for Analysis 6th ed, Simon & Schuster
Company : New Jersey. 23 Marijke Breuning, 2007, Foregin Policy Analysis : A Comparative Introduction, Plagrave
Macmillan : New York 24 Op Cit, Kaarbo et al.
13
terhadap negara-negara lain dan lingkungan Internasional pada umumnya. Studi
ini, mengkaji manajemen hubungan eksternal dan kegiatan negara atau hubungan
pemerintah pusat dalam skala Internasional yang tidak hanya dibangun dengan
negara-negara lain, namun juga dengan organisasi-organisasi Internasional dan
NGO. Aspek-aspek yang dianalisis dalam FPA berupa tujuan, strategi, langkah-
langkah, metode, pedoman, arahan, dan perjanjian.25
Studi kebijakan luar negeri tradisional berfokus pada isu-isu yang terkait
dengan keamanan tradisional, seperti upaya untuk mempertahankan dan
meningkatkan kekuatan serta keamanan suatu negara. Studi ini berpusat pada
upaya pencegahan perang bila memungkinkan, keputusan untuk melawan jika
diperlukan, dan memastikan integritas perbatasan negara. Dalam era kontemporer,
hubungan ekonomi antara negara-negara mendapat perhatian tersendiri. Sejak
Perang Dingin berakhir, globalisasi telah menjadi proses penting yang menyoroti
keterkaitan ekonomi dunia. Hal ini memiliki dampak yang lebih besar pada
negara-negara dengan ekonomi yang, di era sebelumnya, tidak terhubungkan
dengan ekonomi Internasional. Era berakhirnya Perang Dingin juga membuat
negara tidak lagi hanya memfokuskan diri dalam agenda keamanan tradisional,
namun juga keamanan non tradisional. Dengan demikian, ruang lingkup
Kebijakan Luar Negeri tidak berhenti pada isu terkait keamanan saja, namun juga
hal-hal yang terkait dengan ekonomi. Bahkan, agenda kebijakan luar negeri dalam
beberapa dekade terakhir telah menyertakan isu-isu seperti lingkungan, hak asasi
manusia, pertumbuhan penduduk dan migrasi, kebijakan pangan dan energi,
bantuan luar negeri, serta hubungan antara negara-negara kaya dan miskin.26
Kebijakan Luar Negeri dalam Studi Komparasi
Konsep analisis kebijakan luar negeri dalam penelitian ini akan digunakan
untuk membandingkan kebijakan pada masa pemerintahan 2 Presiden Amerika
Serikat terakhir yaitu Bush dan Obama. Alex Mintz menjelaskan pentingnya
melakukan studi perbandingan dengan menggunakan konsep analisis ini ialah
untuk mempelajari bagaimana para pemimpin negara yang berbeda membuat
25 Robert Jackson, Georg Sorensen's, 2013, Introduction to International Relations: Theories and
Approaches, 5th ed. Oxford University Press. 26 Op, Cit Breuning,
14
keputusan ekonomi pada perdagangan, bantuan, dan transfer senjata atau
tantangan lingkungan global seperti kontrol polusi. Keuntungan dari pendekatan
kebijakan luar negeri komparatif ialah dapat memungkinkan penstudi analisis
kebijakan luar negeri untuk mempelajari tidak hanya satu kasus, tetapi juga dapat
membandingkan persamaan dan perbedaan di beberapa kasus dengan
menggunakan pendekatan studi ini. Dengan demikian, dari sudut pandang
metodologi, pendekatan kebijakan luar negeri komparatif dapat meningkatkan
validitas studi kasus tunggal.27
Ditekankan pula oleh Breuning, bahwa mempelajari kebijakan luar negeri
dengan menggunakan metode perbandingan ini, akan memberikan wawasan yang
lebih besar mengenai perilaku dan konsekuensi dari kebijakan luar negeri
dibandingkan dengan mempelajari kasus tunggal atau menggunakan analogi
sederhana.28
Tujuan dari analisis kebijakan luar negeri adalah untuk mendapatkan
pengetahuan secara umum yang berlaku tentang bagaimana keputusan kebijakan
luar negeri yang dibuat; mengapa para pemimpin membuat keputusan tersebut,
dan mengapa negara terlibat dalam jenis perilaku tertentu dalam merumuskan
kebijakan luar negeri, serta menilai peluang dan kendala yang disajikan oleh
sistem Internasional, untuk mendapatkan hasil yang terbaik. 29
Charles O Lerche
menjabarkan proses-proses perumusan kebijakan luar negeri yang terdiri dari 8
tahapan, yaitu pembentukan kriteria, variabel penentuan dengan kriteria,
pengukuran variabel dengan kriteria pemilihan tujuan, elaborasi strategi untuk
mencapai tujuan, keputusan untuk bertindak, tindakan itu sendiri, dan yang
terakhir evaluasi hasil tindakan berdasarkan kriteria awal yang telah ditentukan.30
Studi perbandingan kebijakan luar negeri juga bertujuan untuk sampai
pada tahap generalisasi untuk melihat ke dalam proses-proses tersebut dan
meningkatkan pemahaman tentang persamaan dan perbedaan antara kebijakan
luar negeri. Karena, Pada masa transisi pemerintahan, ada kebijakan-kebijakan
27 Alex Mintz, 2010, Understanding Foreign Policy Decision Making.
New York: CambridgeUniversity Press. 28 Op Cit, Breuning 29 Richard C Snyder., H.W. Bruck, dan Burton Sapin., 2002, Foreign Policy Decision-making
(Revisited). New York: Palgrave 30 Charles O Lerche Jr., 1961, Foreign Policy of the American People, Prentice Hall Inc
:Englewood Cliffs.
15
lama yang akan dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya dikarenakan masih
relevan, dan ada kebijakan-kebijakan yang kemudian diganti untuk menyesuaikan
visi dan misi tatanan pemerintahan yang baru. Hal ini dikenal dengan istilah
Changes and Continuity, atau Perubahan dan Kelanjutan.
Change. Kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu pemerintahan tidak
selamanya akan memiliki kesamaan dengan kebijakan pemimpin terdahulunya.
Untuk melihat Namun fakta sejarah mengatakan bahwa dalam perumusan
kebijakan luar negeri, perubahan selalu terjadi. perubahan dalam penekanan
kebijakan yang ditetapkan dikarenakan adanya perubahan zaman, karena era masa
kini masyarakat Internasional dihadapkan dengan bahaya yang lebih dibandingkan
dengan pada awal Perang Dunia Kedua. Sebaliknya, Continuity, atau kelanjutan
akan tetap menjadi ciri khas kebijakan luar negeri. Kontinuitas dalam kebijakan
luar negeri tidak hanya dapat diartikan sebagai tidak adanya perubahan, namun
juga sebagai gerakan maju yang terjadi secara bertahap, dan cenderung lambat. 31
Selain itu, keterampilan pemimpin negara dalam menilai kekuatan relatif
mereka untuk formulasi kebijakan sangat dibutuhkan. Hal ini penting dalam
menentukan keberhasilan mereka membangun dan mempertahankan program
yang mereka inginkan yang terformulasikan dalam kebijakan pada masa
pemerintahan mereka, dan mencegah kebijakan tersebut tergantikan di masa
pemerintahan yang akan datang. Kontinuitas kebijakan dapat merupakan hasil dari
tidak berimbangnya antara pergeseran koalisi antara pendukung dan penentang.32
Dengan melihat persamaan dan perbedaan dalam kebijakan luar negeri, dapat
membantu menuntun para pembuat keputusan kebijakan luar negeri untuk tidak
mengambil langkah yang salah seperti misalnya terlibat dalam perang ketika
sebenarnya yang mereka inginkan ialah memelihara perdamaian, atau dapat
memungkinkan mereka untuk memahami kepribadian pemimpin lainnya sehingga
dapat menghasilkan negosiasi produktif dan meningkatkan kemungkinan untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan.33
31 Charles W Kegley Jr. Dan Eugene R Wittkopf, 1982, American Foreign Policy Pattern and
Process, St Martin’s Press : New York 32 Louis Kriesberg , 1984, Policy Continuity and Change, Social Problems, Vol. 32, No. 2 pp. 89-
10 University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems 33 Alexander L George, 1993, Bridging the Gap: Theory and Practice in Foreign Policy.
Washington, DC: United States Institute of Peace Press,
16
Dijelaskan lebih lanjut oleh Breuning, dengan memahami tujuan diatas, 3
hal yang berusaha dijelaskan dengan melakukan studi kebijakan luar negeri secara
komparatif ialah:
1. Decision (Keputusan) : Keputusan mengacu pada opsi yang dipilih.
Pemimpin dihadapkan pada beberapa pilihan yang tidak semuanya
memiliki tingkat menjanjikan yang sama. Untuk memahami bagaimana
seorang pemimpin mengevaluasi pilihan yang berbeda, pilihan mana yang
akan ditolak atau dipilih, dan mengapa para pemimpin memilih kebijakan
yang akhirnya dilakukan, harus ada kajian lebih tentang bagaimana
pemimpin tersebut memandang dunia dan peran negara yang ia pimpin di
dalam tatanan dunia global beserta faktor-faktor domestik. Dengan kata
lain , kebijakan luar negeri memandu hal yang menjadi tujuan umumnya.
Untuk memahami hal ini, akan lebih membantu jika mempelajari lebih
lanjut tentang kepribadian pemimpin untuk memahami persepsinya
mengenai lingkungan politik Internasional dan motivasi di balik
tindakannya. Mengingat pengambilan keputusan kebijakan luar negeri
seringkali tidak hanya merupakan hasil pemikiran dari seorang individu,
melainkan kelompok individu, perlu adanya pemahaman mengenai
kecenderungan dan pandangan dunia dari beberapa individu dan
bagaimana pandangan-pandangan ini saling bersinggungan sebelum dapat
sepenuhnya memahami keputusan kebijakan luar negeri tertentu.
2. Behaviour (Perilaku) : Perilaku dalam kebijakan luar negeri adalah
tindakan yang diambil sebagai implementasi dari keputusan tersebut.
Perilaku kebijakan luar negeri terdiri dari tindakan yang diambil untuk
mempengaruhi perilaku aktor eksternal atau untuk mengamankan
keuntungan bagi negara itu sendiri. Para pembuat kebijakan negara-negara
yang lebih kecil sering lebih fokus pada pengamanan manfaat nyata bagi
negara mereka sendiri (seperti bantuan militer atau bantuan pembangunan)
dibandingkan dengan menyebarkan pengaruh dalam politik global (seperti
mempromosikan perdagangan bebas atau demokrasi). Untuk meneliti
mengapa sebuah negara memiliki perilaku kebijakan luar negeri tertentu,
17
bagaimanapun perlu untuk menggali ke dalam proses pengambilan
keputusan. Terkadang, hasil dari tindakan bergantung bukan hanya pada
keputusan yang diambil oleh para pemimpin dari satu negara, tetapi juga
pada bagaimana aktor-aktor lain dalam lingkungan Internasional bereaksi
terhadap tindakan tersebut.
3. Outcome (Hasil) : setelah mengambil tindakan dari opsi-opsi yang
tersedia, tentu akan memberikan hasil. Asumsi yang paling umum ialah
bahwa hasil yang baik, pasti merupakan akibat dari keputusan yang baik.
Pemikiran tersebut seolah menafikan kemungkinan bahwa hasil yang baik
juga dapat berarti karena pemimpin memilih cara lain untuk bereaksi
terhadap apa yang sebelumnya merupakan keputusan yang buruk. Dalam
melihat hasil, penting untuk memahami bagaimana, mengapa, dan oleh
siapa suatu keputusan dibuat, serta bagaimana konteks di mana keputusan
yang dibuat mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Untuk memahami 3 hal ini yaitu decision, behavior dan outcome,
membutuhkan level analisis yang berbeda. Breuning memberi penjelasan
mengenai 3 level tersebut yaitu Individual, State, dan System. Ketiga tingkat
analisis sesuai dengan fokus yang berbeda dari analisis kebijakan luar negeri
sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Level Individu menganalisis pilihan
dalam pembuatan keputusan, level Negara menganalisis perilaku kebijakan luar
negeri, sedangkan level Sistem menganalisis interaksi antara negara-negara dalam
tatanan dunia Internasional yang memberikan hasil. Berikut penjelasan oleh
Breuning;
1. Individual Level (Individu): Dalam upaya untuk menjelaskan kebijakan
luar negeri, analisis dalam tingkatan individu berfokus pada pemimpin dan
pengambil keputusan. Analisis ini mefokuskan pada kepribadian mereka
seperti keyakinan, dan nilai-nilai sebagai faktor yang menjelaskan putusan
kebijakan luar negeri. Dengan melihat ke dalam kepribadian, karakter,
keyakinan, dan nilai-nilai individu, kita dapat mengukur hal yang menjadi
motivasi pemimpin tersebut dalam mengambil keputusan.
2. State Level (Negara) : Dalam analisa kebijakan luar negeri, terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi kebijakan itu sendiri. Studi kebijakan luar
18
negeri ini menjadi sebuah pembahasan yang kompleks karena tidak hanya
melibatkan aspek-aspek eksternal, namun juga aspek internal suatu
negara.34
Tingkat analisis dalam level negara berfokus pada faktor internal
tersebut yang melihat kedalam pihak-pihak yang memaksa negara untuk
terlibat dalam perilaku tertentu dari kebijakan luar negeri. Dalam analisis
terkait faktor internal, Breuning melihat ke dalam beberapa aspek yaitu;
a. kerangka kelembagaan negara (seperti hubungan antara eksekutif dan
legislatif, organisasi birokrasi pemerintah, atau apakah negara
merupakan negara demokratis)
b. konstituen domestik (seperti kelompok kepentingan, ethnicgroups, atau
opini publik yang lebih umum),
c. kondisi ekonomi, dan juga sejarah nasional negara dan budaya.
Pada tingkat analisis ini, penekanannya adalah pada bagaimana faktor-
faktor internal negara mempengaruhi perilaku negara dalam dunia
Internasional. Dari perspektif pengambilan keputusan, faktor-faktor ini
sering dilihat sebagai kendala yang dijadikan parameter penentu bagi
pemimpin. Memperkuat konsep Breuning, Alex Mintz menunjukkan
bahwa perumusan kebijakan luar negeri tidak hanya ditentukan oleh faktor
eksternal yang membuat suatu negara harus bertindak dengan asas
formulasi kebijakan luar negerinya, namun juga terkait dengan
konsekuensi-konsekuensi yang ada di dalam negeri (faktor internal).35
Mintz menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor internal ini yang
menurutnya terbagi dalam 5 aspek yaitu :
a. Diversionary tactics: taktik pengalihan ialah hubungan Internasional
yang menyatu dalam politik luar negeri. Hal ini mengacu kepada
gagasan bahwa para pemimpin menggunakan kekuatan politik pada
waktu yang tepat. Pemimpin yang ingin mempertahankan kekuasannya
sering menggunakan teori ini guna mengalihkan perhatian dari
permasalah domestik dengan menggunakan kekuatan militer negara
untuk melawan ancaman eksternal.
34 James N.Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976, World Politics: An Introduction.
New York: The Free Press. 35 Op. Cit, Yani
19
b. Economic interest and foreign policy decision : Putusan kebijakan luar
negeri sering dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi negara. Misalnya
berkaitan adalah tentang pekerjaan, suber daya minyak, dan keamanan
ekonomi. Akses terhadap sumber daya alam berharga yang terancam,
dapat membentuk kebijakan luar negeri suatu negara.
c. The role of public opinion: opini publik dapat memberikan tekanan
dalam negeri yang berpengaruh pada penggunaan kekuatan, eskalasi,
serta pertimbangan lainnya dalam kebijakan luar negeri
d. Electoral cycle: Siklus pemilu menjadi momentum penting bagi kepala
negara agar dapat bertahan dalam kursi kepemimpinan. Saat siklus
politik mendekat, maka kepala negara akan mencari kesempatan untuk
dipilih kembali. Hal ini dapat membuat kepala negara memanipulasi
kebijakan ekonomi atau menggunakan opsi ikut berperang demi
kepentingan pribadi. 36
3. System Level (Sistem) : Tingkat analisis sistem, berfokus pada
perbandingan dan interaksi antar negara-negara. Tingkat analisis ini
mempertanyaan tentang kekuatan relatif dari negara. Sistem Internasional
didefinisikan sebagai satu set negara yang berinteraksi dan dipandu oleh
kemampuan relatif mereka, seperti kekuasaan dan kekayaan mereka, yang
mempengaruhi kemungkinan mereka untuk bertindak dan agar dapat
sukses di panggung global. Tindakan dan keputusan yang diambil ini
sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan militer. Semakin bersar
kapabilitas negara dalam 2 hal ini, maka akan semakin meningkatkan
peran negara dalam tatanan dunia global.
Singkatnya, penulis merangkum dalam tabel berikut.
Decision
Opsi yang dipilih
Individual Level
Melihat kedalam pemimpin, baik
dari segi kepribadian, keyakinan,
dan karakter
36 Op. Cit, Mintz
20
Behaviour
Tindakan yang diambil oleh Negara
sebagai implementasi dari
keputusan yang dipilih pemimpin
State Level
Melihat kedalam Negara,
menganalisis faktor-faktor internal
seperti pihak-pihak dalam
pemerintahan yang menjadikan
negara terlibat dalam suatu perilaku
tertentu (implementasi pilihan)
Outcome
Hasil akhir setelah keputusan
diimplementasikan
System Level
Melihat perbandingan tindakan
antara negara-negara
Akan tetapi, diantara 3 level analisis tersebut, penstudi kebijakan luar negeri,
sebagai spesialisasi dalam bidang ilmu hubungan internasional lebih jarang
memfokuskan penelitian pada hasil, fokus studi ini yang terkait dalam ilmu
hubungan internasional ialah pada pilihan, keputusan, atau perilaku.
Setelah memahami bahwa tujuan dari membandingkan kebijakan luar
negeri dan apa yang berusaha dijelaskan melalui studi kebijakan luar negeri secara
komparatif ini, penting untuk memahami cara melakukan studi komparasi yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. Bagaimana seseorang membandingkan 3 hal
dalam analisis kebijakan luar negeri yaitu keputusan, perilaku, atau hasil? Analisis
kebijakan luar negeri tidak berhenti hanya menggambarkan keputusan, perilaku
dan hasil, tetapi ditentukan oleh upaya untuk memahami mengapa keputusan
tersebut dibuat, opsi apa yang tersedia dan bagaimana anggapan terhadap opsi
tersebut, siapa atau apa yang menjelaskan perilaku serta hasil, dan jika hasil
tersebut tidak menguntungkan, apa yang bisa meningkatkan kemungkinan untuk
mencapai hasil yang lebih baik? Hal ini mengharuskan kita untuk berpikir dalam
hal causes/sebab dan effect /akibat.
Causes ialah hal-hal yang menjadi faktor pertimbangan dalam proses
pengambilan keputusan, yang akan memberntuk perilaku tertentu, dan memberi
hasil tertentu. Dalam analisis kebijakan luar negeri, penyebab disebut variabel
independen. Sedangkan Effect, atau akibat, ialah pilihan-pilihan yang tersedia
21
atau hal yang akan dijelaskan terkait pembuatan keputusan, perilaku, maupun
hasil dari suatu kebijakan luar negeri tertentu. Akibat, dalam studi komparasi
kebijakan luar negeri disebut sebagai variabel dependen. Akibat, sebagai
variabel dependent, tidak akan terjadi jika tidak terdapat variabel independen
dalam hal ini ialah Sebab. Selain itu, variabel dependen akan memiliki bentuk
yang berbeda bergantung dari variable independennya.37
1.5 Hipotesis
Mengelaborasikan tulisan-tulisan yang terdapat dalam review literatur
dengan landasan konseptual berupa studi kebijakan luar negeri secara komparatif,
argument utama dalam penelitian ini ialah, dalam kebijakan luar negeri Amerika
Serikat terhadap nuklir Iran, terdapat perbedaan yang terletak pada pendekatan
atau posisi awal membangun negosiasi, namun terlihat kemiripan dalam metode
yang digunakan untuk menekan Iran. Hal ini didorong oleh beberapa faktor.
Perubahan pendekatan yang ada pada kedua pemerintahan tersebut dalam
membangun kesepakatan dengan Iran didorong oleh faktor individual pemimpin.
yaitu faktor pembuatan keputusan oleh Presiden secara individu, yang dipengaruhi
faktor kepribadian pemimpin. Namun, dalam hal persamaan metode penggunaan
sanksi, hal ini dipengaruhi oleh Proses Pembuatan Kebijakan di tingkatan internal
negara. pemerintahan Bush maupun Obama, mendapatkan pengaruh dari sumber
pemerintah (Governmental Sources) yang berasal dari partai politik yang sama
dengan Presiden.
1.6 Jangkauan Penelitian
Diantara 3 aspek penjelasan kebijakan luar negeri beserta 3 analisis yang
dikemukakan oleh Breuning tersebut, penelitian ini hanya akan melihat 2 aspek
dengan menggunakan 2 level analisis yaitu keputusan pada level individual, serta
perilaku pada level negara. Hal ini selain dikarenakan studi kebijakan luar negeri
sebagai spesialisasi dalam bidang ilmu hubungan internasional lebih
memfokuskan pada 2 aspek tersebut dibandingkan dengan hasil, level sistem
37 Op. Cit, Breuning
22
menganalisis perbandingan kebijakan antara negara-negara. Dimana fokus dari
penelitian ini hanya kepada kebijakan luar negeri Amerika Serikat saja.
Untuk limitasi waktu, Dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap isu nuklir di Iran
pada masa 2 Presiden terakhir, maka limitasi dari penelitian ini ialah periode
Presiden George Walker Bush hingga Barrack Obama yang terhitung pada tahun
2001 hingga sekarang.
1.7 Metode Penelitian
Untuk membandingkan kebijakan luar negeri pada 2 masa pemerintahan
yang berbeda, metode penelitian yang penulis nilai paling tepat digunakan ialah
metode perbandingan atau studi komparasi. Studi komparasi ialah penelitian yang
menggunakan data yang dapat dibandingkan dari 2 atau lebih masyarakat ataupun
proses politik. Menurut Arendt Lijphart, studi komparasi adalah metode otonom
dalam penelitian social layaknya penelitian kualitatif dan kuantitatif.38
Studi komparatif dinilai dapat menjadi suatu landasan yang kontemporer
dibandingkan dengan memfokuskan pada sejarah diplomatik, dan dokumen-
dokumen perjanjian, yang menjadikan kajian dalam ilmu Hubungan Internasional
jauh lebih kompleks. Studi komparatif kerap melibatkan fenomena lintas
masyarakat, negara, bahkan kawasan. Sumber data penelitian ini ialah studi
literatur atau melalui kajian-kajian pustaka, berupa buku, dokumen, jurnal, artikel
yang terkait dengan isu yang diteliti.
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun ke dalam 5 bab, yaitu:
Bab I berisi Pendahuluan yang terdiri dari 8 sub bab yaitu alasan
pemilihan judul, latar belakang, rumusan masalah, review literatur, kerangka
teoritis, hipotesis, jangkauan penelitian, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
38 Arendt Lijphart, 1971, Comparative Politics and Comparative Methods. American Political
Science Review 55 (1971): 682–93.
23
Bab II akan berisi profil politik Amerika Serikat serta akan dipaparkan
pula implementasi politik tersebut dalam uraian sejarah hubungan Amerika
Serikat dan Iran sebelum revolusi dan sesudah terjadinya revolusi Islam
Bab III akan memaparkan dua aspek dalam kebijakan luar negeri
Amerika Serikat terhadap Iran yang meliputi Keputusan dan Perilaku baik pada
masa pemerintahan Presiden George Walker Bush dan pemerintahan Presiden
Barack Hussein Obama.
Bab IV akan memaparkan faktor yang mempengaruhi adanya perubahan
dan kemiripan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada periode
pemerintahan Bush dan Obama.
Bab V akan berisi penutup yang didalamnya mencangkup kesimpulan
dan saran.