Transcript
Page 1: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

 237

                                                           

Bab Delapan

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

Pengantar

Kerusuhan (konflik) terjadi antar dua kelompok masya-rakat Islam-Kristen1 1999 hingga 2003 membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat Ambon. Kerusuhan itu, praktis me-misahkan keduanya menurut garis kelompok masing-masing. Konflik antar kedua kelompok masyarakat merupakan konflik fisik yang sangat parah dan banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Kerusuhan dalam beberapa bulan, menelan ribuan korban jiwa manusia dan hancurnya bangunan fisik.

Pada Mei 1999, sejak kerusuhan melanda kota Ambon, tercatat sekitar 3.783 kepala keluaga atau 15.941 jiwa dari segala

 1 Pariela Tony. D (2008:95-98) menguraikan tentang beda persepsi dan tafsir tentang akar konflik di Maluku. Perbedaan ini terjadi baik di aras lokal maupun nasional. Adakah konflik Maluku merupakan konflik agama ataukah konflik Politik yang dikemas melalui media agama?. Selain pembahasan tersebut, nampaknya belum ada satu penelitian yang valid tentang akar kerusuhan di Maluku.  

Page 2: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 238  

                                                           

penjuru Pulau Ambon kehilangan harta benda dan mengungsi2. Lebih lanjut disampaikan pula bahwa akibat kerusuhan tersebut berdiri 55 penampungan pengungsi (kamp) di berbagai lokasi. Data dari Kepolisian Resort Ambon dan Pulau-pulau Lease menyebutkan sepanjang tahun 1999-2000, api kerusuhan di kota Ambon mengakibatkan: rumah warga yang terbakar 4.938 unit, Rumah-Toko (Ruko) 1.158, gedung sekolah 11, gedung pemerintah 21, kantor swasta 10, hotel 4, kantor bank 4 dan barak militer 3. Sementara nyawa warga sipil yang melayang sia-sia 508 orang dan 20 orang aparat keamanan3. Untuk menampung warga yang mengungsi Gereja dan Masjid menjadi tujuan, mengingat kedua sarana ibadah itu merupakan tempat berlindung yang aman. Bahkan kedua tempat tersebut, tidak lagi mampu menampung anggota masyarakat yang mengungsi untuk menyelamatkan diri.

Implikasi dan dampak buruk kerusuhan nyata pada aktivitas ekonomi masyarakat dengan dihancurkannya sarana dan prasarana ekonomi. Di pusat kota Ambon, terdapat tiga lokasi pasar masing-masing pasar Belakang Kota (pasar lama), Pasar Mardika dan Pasar Batu Merah. Dua dari tiga pasar tersebut, tidak luput dari amukan massa. Pasar sebagai sarana ekonomi dibakar dan dihancurkan, sehingga praktis tidak lagi dapat dimanfaatkan. Hancurnya pasar mengakibatkan kebutuh-an pangan dan sandang masyarakat mengalami kelangkaan karena arus pendistribusian barang dan jasa tidak normal.

Kesulitan benar-benar dirasakan masyarakat kedua belah pihak karena kelangkaan kebutuhan itu. Pasokan barang kebu-tuhan terhambat dan terlambat masuk. Faktor keamanan dan

 2 Koran Kompas, 5 Mei 1999. 3 Majalah Tempo 20 Februari 2000. 

Page 3: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 239 

keselamatan diri para pengelola dan penyelenggara alat trans-portasi udara, laut dan darat menjadi penyebab utama. Mereka tidak berani mengambil resiko untuk memasok barang kebu-tuhan masyarakat.

Bukan saja masyarakat pada umumnya yang berhenti berinteraksi, tetapi juga papalele. Mereka selama ini merupakan satu entitas yang dinamis dalam berusaha. Pedagang dari berbagai latar belakang kelompok dan suku menjadi bagian kerjasama dari papalele. Ketika kerusuhan terjadi, interaksi mereka juga terhenti. Bahkan secara umum aktivitas masyarakat dengan sendiri tidak bisa berjalan. Kedua kelompok masyarakat yang puluhan tahun hidup berdampingan sebagai saudara, hancur lebur dalam hitungan menit, saat kerusuhan. Daya rekat yang selama ini menjadi pranata sosial ‘pela-gandong’ tidak lagi menjadi media ampuh untuk menjembatani konflik.

Hampir sekitar dua tahun lamanya, praktis kedua kelom-pok masyarakat tidak dapat berkomunikasi dan bertemu. Karena itu, tidak pernah terbayang sedikit pun bagi papalele bahwa dalam perjalanan usahanya, mereka mencari nafkah dalam suasana kerusuhan. Namun bagi papalele sekat antar kedua kelompok yang bertikai berhasil ditembusi melalui komunikasi dan rasa saling percaya, peduli, menghargai dan melindungi. Sekat yang ditembusi oleh papalele bukan terjadi secara mendadak saat suasana kerusuhan masih terasa, tetapi jauh sebelum konflik, relasi mereka telah terbina. Sehingga dari proses interaksi mereka diperoleh banyak pengalaman dan cerita yang tidak terungkap (untold stories) ke publik.

Namun demikian ketika kerusuhan mulai mereda dan kondisi keamanan mulai membaik, kelompok papalele adalah bagian dari masyarakat yang mulai membuka kebuntuan komu-nikasi antar kelompok. Papalele mulai membuka komunikasi beberapa bulan kemudian setelah intensitas dan eskalasi keru-

Page 4: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 240  

suhan mulai menurun (cooling down). Mereka adalah salah satu kelompok di antara warga masyarakat yang membuka kebuntu-an aktivitas ekonomi; transaksi barang dan jasa. Menciptakan kembali komunikasi antar mereka tidak hanya untuk kepen-tingan ekonomis tetapi tersirat kontribusi sebagai aktor perda-maian (tetapi bukan satu-satunya). Setidaknya dengan transaksi ekonomi kebuntuan komunikasi terpecahkan antar kelompok yang bertikai.

Ketika eskalasi kerusuhan mulai menurun, tidak semua papalele berani melakukan transaksi di simpul perbatasan. Hanya ada beberapa di antara mereka yang memberanikan diri bertransaksi di perbatasan konflik. Upaya papalele ini merupa-kan dampak terhadap kelangkaan bahan-bahan untuk dijual. Sehingga untuk tetap bertahan dapat terus berjualan, mereka harus mencari ke perbatasan bertemu dengan pedagang dari komunitas lain. Perjumpaan untuk bertransaksi kadang meng-ancam nyawa mereka. Dalam penelitian ini, ada lima papalele yang selalu mencari buah di lokasi-lokasi perbatasan.

Sementara, papalele yang lain lebih banyak menghindari resiko mencari bahan kebutuhan berjualan di perbatasan. Bagi mereka, rasa takut akibat kerusuhan merupakan alasan utama. Menghindari resiko dan keselamatan diri menjadi yang utama. Karena mereka tidak bertransaksi di perbatasan, mereka biasa-nya lebih bersifat menunggu. Menunggu sesama rekan papalele sekembali saat bertransaksi disana, atau para pedagang lain sesama komunitas.

Faktor mendesaknya kebutuhan ekonomis membuat me-reka mengambil resiko berdagang. Berjuang untuk memperta-hankan kehidupan keluarga di satu sisi dan kerusuhan (konflik) di bagian lain, telah menyatu saat itu. Padahal perjuangan mereka untuk tetap mempertahankan kehidupan ekonomi

Page 5: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 241 

keluarga harus terus berlangsung, walaupun berada dalam suasana konflik.

Bab ini selanjutnya akan menggambarkan tentang kisah papalele saat bertransaksi dalam suasana kerusuhan di Ambon. Papalele mulai bertransaksi setelah eskalasi kerusuhan mulai menurun. Untuk tetap bertahan berjualan dalam situasi keru-suhan, sedapat mungkin mereka mencari dan membeli buah dengan kondisi seadanya. Mereka yang menjalani papalele tidak akan berhenti berusaha. Berhenti berusaha sama artinya keluar-ga akan tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomis. Karena itu, apa pun kondisinya berjualan harus terus dilakukan. Bagi mereka, papalele telah menjadi mata pecaharian.

Terkait dengan hal tersebut, maka pembahasan akan di-awali dengan keadaan sebelum kerusuhan, kemudian dilanjut-kan dengan dampak yang ditimbulkan kerusuhan terhadap aktivitas papalele, diakhiri dengan strategi-strategi dan proses transaksi yang dipergunakan papalele selama berjumpa di simpul-simpul perbatasan.

Keadaan sebelum Kerusuhan

Papalele di tengah pedagang berbeda, tiga hari sebelum terjadinya konflik untuk pertama kali. Seperti hari-hari sebe-lumnya, papalele tersebar di banyak lokasi di pasar. Pada umumnya mereka menempati depan pelataran toko-toko yang menjual aneka kebutuhan masyarakat. Seperti toko pakaian, sepatu dan sandal, kelontong dan seterusnya. Deretan pertoko-an ini berada di pusat pasar dan terminal Mardika hingga terminal Batu Merah Ambon. Lokasi tandeng yang ditempati papalele sengaja dipilih karena keramaian orang dan banyaknya pembeli. Sementara papalele yang lain, sering berkelompok pada satu lokasi tertentu. Papalele yang berkelompok biasanya

Page 6: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 242  

                                                           

memilih lokasi yang sama agar mereka dapat saling membantu satu dengan yang lain.

Di lokasi sekitar tempat tandeng papalele, banyak peda-gang yang berdekatan dengan mereka. Umumnya para peda-gang itu berasal dari berbagai suku seperti Bugis, Jawa, Makassar atau pedagang lokal lain; Seram, Kailolo, Pelauw dan dari pulau Lease Saparua. Tiga hari sebelum tanggal 19 Januari 1999 saat konflik pertama kali terjadi4, kira-kira siang hari, waktu menje-lang tanda-tanda kondisi tidak normal seperti hari biasanya mulai terlihat. Mereka melihat orang-orang dan beberapa peda-gang di sekitarnya mulai berlarian meninggalkan tempat jualan sambil membawa barang. Sementara ada juga beberapa toko di samping kiri, kanan dan depan mereka terlihat mendadak ditutup lebih cepat dari biasanya5. Sambil tetap memperhatikan kepanikan orang-orang tersebut, mereka mulai bertanya dalam hati ‘apa yang sesungguhnya sedang terjadi?’, sambil terus memperhatikan beberapa di antara orang-orang tersebut, ada yang sibuk bertelepon.

Papalele terlihat bingung ketika melihat perubahan peri-laku pedagang lain di sekitar tempat berjualan. Perubahan peri-laku pedagang terlihat ketika pedagang mulai mengemas barang jualan atau menurunkan harga. Sementara kepanikan orang-orang di pasar saat itu membuat sebagian papalele mulai ke-bingungan karena orang-orang dan pedagang banyak yang harus secepatnya meninggalkan tempat berjualan, sehingga mereka berlarian tidak tentu arah. Dalam kondisi demikian

 4 Awal terjadinya kerusuhan di kota Ambon, diperkirakan sekitar pukul 14.30 Wit, sebagaimana dapat dilihat dalam Pariela Tony D, 2008 “Damai di Tengah Konflik Maluku; Preserved Social Capital Sebagai Basis Survival Strategy. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Hal. 84-94. 5 Wawancara dengan Christina (Ting) Alfons, tanggal 20 April 2009. 

Page 7: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 243 

terlihat juga perubahan perilaku para pedagang pada umumnya. Salah satu nampak pada pedagang yang berasal dari suku Jawa yang sering berdekatan berjualan dengan papalele. Pedagang itu setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut), beras dan beberapa bahan lainnya. Sebagaimana yang diketahuinya, pada hari itu pedagang tersebut sejak pagi menjual beras ketan (pulut) Rp 4.500 sama seperti harga eceran tertinggi di pasaran untuk jenis ini. Harga jual tersebut termasuk yang paling mahal untuk komuditas itu. Padahal yang diketahui mereka selama ini, si pedagang tidak pernah turunkan harga jual menjelang sore, tetapi hari itu si pedagang menurunkan harga hingga mencapai nilai terendah Rp 2.500. Rupanya kepanikan yang sama juga terjadi dengan si pedagang. Namun demikian si pedagang berlagak tidak ada perubahan kondisi dan kepanikan apa pun, bahkan menawarkan jasa untuk membantu salah satu papalele menjual dagangannya yang belum sempat habis terjual. Tang-gapan si pedagang itu tanpa disertai dengan penjelasan dan alasan sedikit pun kepada papalele terhadap kondisi yang sementara terjadi.

Suasana panik pedagang di pasar semakin membuat orang-orang di sekitarnya tidak merasa nyaman. Tanda-tanda akan terjadinya kerusuhan di Ambon tidak diketahui banyak orang. Ada sebagian orang yang sudah menduga kerusuhan akan terjadi, tetapi sebagian yang lain bahkan tidak menge-tahuinya sama sekali; termasuk para papalele. Bagi sebagian mereka yang telah mengetahui informasi akan terjadi kerusuhan, sengaja tidak dibicarakan secara terbuka. Mereka yang telah mengetahui lebih memilih berdiam dan mengemas barang-barang yang dijual. Tetapi, kepanikan tetap terlihat pada bebe-rapa pedagang. Hal yang sama juga nampak pada salah satu pramuniaga toko di salah satu toko milik warga keturunan Cina (Tionghoa) yang menjual barang-barang kelontong. Situasi dan kondisi yang telah diketahuinya, disampaikan secara bisik-

Page 8: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 244  

bisik kepada salah seorang papalele. Menurut pramuniaga tersebut, ia akan segera pulang ke daerah asalnya (Jawa) karena telah dihubungi oleh orang tuanya, tetapi sang majikan (pemilik toko) tidak menghendakinya untuk segera pulang. Kebetulan saja mereka berdua sudah saling mengenal, karena sang bos sang pemilik toko selalu berlangganan buah langsat, pepaya, mangga atau pisang dari papalele tersebut. Bahkan sehabis papalele berjualan dan sebelum pulang biasanya peralatan jualan dititip-kan, disimpan di toko tersebut.

Tanda-tanda akan terjadinya kondisi tidak aman menjadi isyarat hubungan dagang antara papalele dan pedagang harus berakhir. Sulit untuk menghilangkan perasaan saling membu-tuhkan antar mereka selama berjualan tatkala harus dipisahkan oleh kerusuhan. Hubungan baik dalam berdagang setidaknya telah membentuk karakter saling membutuhkan satu sama lain. Papalele maupun pedagang memahami pentingnya relasi dagang untuk melanggengkan usaha. Relasi seperti itu pula yang membuat keduanya tetap bisa bertahan dalam usaha. Namun, tanpa disangka relasi yang telah terbina sejak lama harus berakhir karena kerusuhan. Meskipun demikian, tidak berarti relasi tersebut terputus dengan sendirinya. Masih ada saling perhatian di antara keduanya. Perhatian itu ditunjukkan ketika para pedagang memahami bahwa pasar tempat mereka berjualan akan dikuasai oleh satu kelompok masyarakat, sehingga mereka yang berbeda harus dilindungi.

Seperti kedekatan antara salah satu papalele dengan peda-gang asal Bugis. Keduanya berada satu lokasi berjualan. Tatkala situasi buruk akan dialami, pedagang masih sempat menawar-kan jasa untuk menjual barang dagangan papalele yang tersisa. ‘Soro’ demikian ia biasa dipanggil. Menurut papalele; mama Ting, hari itu mereka berdua sedang duduk berjualan, dan

Page 9: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 245 

sambil memegang sepotong tongkat yang disentuhkan ke tangan mama Ting, Soro bertanya “se jaualan su abis kabalong, kalo balong abis, nanti katong jual?” (barang kamu sudah habis terjual atau belum?, kalau belum habis terjual, biarkan sisanya kami yang menjual). Mendengar tawaran itu, mama Ting menjawab sesuai apa adanya “seng tinggal sadiki sa di nyiru tu, di karanjang jua su abis” (ya, hanya tersisa sedikit di nyiru, buah di dalam keranjang juga sudah habis terjual). Sambil mama Ting juga melihat barang dagangan Soro yang masih banyak, mama Ting pun sempat bertanya tentang barangnya yang masih banyak, apakah mungkin bisa juga menjual milik saya?. Lebih lanjut, sambil setengah berbisik Soro mengatakan “taru akang sini sa, suda tar apa-apa nani beta jual akang, la se jual se pung capat-capat sudah, jual akang sabarang-sabarang sa, la capat bale nai jua” (tinggalkan saja di sini, tidak mengapa, sudahlah nanti saya yang menjualnya, sebaiknya kamu jual secepatnya, jual dengan harga terserah saja biar cepat terjual, setelah itu segera pulang saja).

Baik Soro, dan pramuniaga tadi telah menunjukkan tanda-tanda akan adanya kerusuhan. Walaupun keduanya tidak memberikan penjelasan yang rinci terhadap situasi itu. Situasi tidak aman boleh terjadi, tetapi hubungan baik antar mereka tetap terpelihara. Hingga akhirnya kerusuhan yang tidak diinginkan itu mulai pecah tanggal 19 Januari 1999 yang berawal di Desa Batu Merah Ambon.

Dampak Kerusuhan terhadap Pola Usaha Papalele

• Berjualan dan Menyatu dengan Komunitas Sendiri

Kerusuhan mengakibatkan papalele terkelompokkan ber-aktivitas berdasarkan garis keagamaan. Jauh sebelum kerusuhan di kota Ambon terjadi, kehidupan masyarakat berjalan sebagai-

Page 10: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 246  

mana mestinya. Tidak mengenal adanya pemisahan antar warga masyarakat berdasarkan suku, agama, ras dan golongan dalam setiap kegiatan, khususnya ekonomi (usaha). Semua anggota masyarakat memiliki ruang berusaha yang sama tanpa dibatasi oleh sekat berdasarkan kelompok suku dan agama. Demikian halnya dengan papalele dan pedagang juga memiliki kebebasan menentukan lokasi berusaha. Lokasi usaha ditentukan tanpa ada perasaan pembeda tadi. Demikian pula jika harus berjualan berkeliling. Namun sejak kerusuhan terjadi, yang diperkuat dengan simbol-simbol tertentu diikuti oleh pengelompokan berdasarkan garis keagamaan, masyarakat praktis terpisahkan oleh sitausi itu.

Kerusuhan berakibat pula pada papalele baronda dan tandeng sehingga tidak dapat saling melintasi komunitas seperti sebelum terjadi kerusuhan, mereka harus kembali pada komu-nitas masing-masing. Dampak lain terhadap pola berjualan papalele juga terjadi. Perubahan nampak terjadi pada aspek operasional usaha papalele, baik yang baronda maupun yang tandeng. Baronda yang selama ini melintasi berbagai lokasi dengan jarak perjalanan yang panjang, saat itu tidak lagi bisa dilakukan. Jarak menjadi pendek, karena batas konflik ditandai secara tegas memisahkan kedua kelompok masyarakat. Semen-tara mereka yang tandeng, harus mencari tempat dan lokasi yang baru.

Sejak kerusuhan terjadi di kota Ambon, pasar yang selama ini menjadi media bersama antara papalele dengan pembeli dari berbagai kalangan masyarakat tidak luput dari amukan massa. Pasar dihancurkan dan dibakar sehingga tidak lagi bisa diman-faatkan. Selain itu, para pengguna pasar itu sendiri harus men-cari tempat berjualan lain disesuaikan dengan garis kelompok keagamaan masing-masing. Seperti halnya papalele; baik yang

Page 11: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 247 

                                                           

beragama Kristen dan Islam tidak lagi bisa menyatu di pasar yang selama ini menjadi perekat sosial, ekonomi. Akibatnya pasar kemudian terbentuk dengan sendirinya berdasarkan kelompok yang bertikai. Pasar di Batu Meja dan pasar Benteng untuk masyarakat yang beragama Kristen, sementara pasar Lama, pasar Batu Merah untuk masyarakat yang beragama Islam. Demikian halnya dengan papalele baronda, yang biasa-nya melintasi wilayah tanpa mempertimbangkan simbol-simbol pemisah. Seperti pengalaman mama Habsah (57)6, pada masa sebelum kerusuhan, papalele baronda dilakukan ke berbagai lokasi dengan menjunjung bahan kebutuhan dapur, ikan mentah, berbagai jenis bumbu dapur dan sayur-mayur. Baronda terbiasa baginya menyusuri hampir seluruh lingkungan pemu-kiman masyarakat, khususnya pada warga di lingkungan yang mayoritas beragama Kristen.

…beta baronda koliling, pikol sayur, kalapa, ikan, apa saja, orang dolo balong baronda, jadi beta baronda saja, beta pigi baronda di orang Karesten kampong sampe di Skip dong bilang jambatan puti, sampe Karang Tagepe, kampong ganemu ka atas, bajalan naik ke atas yang tinggi-tinggi itu di rumah-rumah gunung nona sana tu.

(saya berjalan berjualan berkeliling membawa sayur, kelapa, ikan dan lainnya. Sewaktu dulu belum banyak orang yang berkeliling, hanya saya saja. Saya berkeliling ke berbagi lokasi orang Kristen; Kampung Skip di Jembatan Putih, kampung Karang Tagepe, Kampung Ganemo bagian atas, hingga perumahan di daerah sekitar Gunung Nona Kelurahan Kudamati).

Meskipun terjadi kerusuhan, karena faktor ekonomi

mereka tetap menjalankan usaha. Padahal bila dibandingkan dengan kondisi normal (aman), buah banyak dipasok dari

 6 Wawancara tanggal 28 April 2009. 

Page 12: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 248  

                                                           

berbagai daerah di luar Maluku seperti dari Makasar, Manado, Surabaya dan daerah lain. Karena banyak pasokan buah, maka banyak pilihan dan mudah ditemukan di pasaran. Tetapi sejak kerusuh-an, papalele harus membeli buah seadanya dari tetangga, dari desa-desa sekitar, atau orang/pedagang di lokasi masing-masing. Mereka punya buah, kami membeli untuk dijual lagi, walaupun harganya naik, kata salah satu papalele. Lebih lanjut dikatakan, kami tetap ambil walaupun harga mangga golek per buah mereka jual seharga Rp 6.000 atau Rp 6.500, mengingat buah saat itu tergolong sulit. Kemudian kami menjualnya Rp 7.500, ya kami mendapat sedikit keuntungan7.

Buah-buahan didatangkan dari luar daerah dan harganya melonjak tajam tak terkendali. Buah-buahan seperti mangga, jeruk, apel, semangka dan lainnya yang didatangkan oleh pengusaha dari luar daerah seperti Makassar dan Surabaya harga jual tidak terbendung naik di tingkat pengecer. Keamanan menjadi alasan utama meningkatnya harga buah di pasaran, sehingga biaya itu akan semakin meningkat ketika distribusinya terjadi di daerah perbatasan konflik antar pedagang. Sebaliknya di komunitas Kristen, buah-buah lokal seperti salak, kecapi, gandaria, bicang (sejenis mangga) cukup tersedia. Sementara kondisi sebaliknya terjadi di komunitas Muslim. Kondisi ini memungkinkan terjadinya transaksi sebagaimana diungkapkan salah satu informan:

…waktu itu memang su tau tampa voor baku dapa la jual atau bali, jadi macam dong seng ada kucapi, ka salak, dong datang bilang ada kucapi ka zeng, katong bilang ada, dong bilang besok bawa beta dolo, katong bilang ia nanti besok tunggu di sini saja …

 7 Wawancara tanggal 8 November 2008. 

Page 13: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 249 

                                                           

(pada saat itu memang kami sudah mengetahui tempat di perbatasan untuk saling jual atau beli. Kalau mereka tidak memiliki buah kecapi atau buah salak, mereka mengatakan ‘besok kalau datang lagi tolong dibawakan buah-buah tersebut. kami menyanggupinya dan menga-takan ‘iya, nanti besok kami membawanya, nanti me-nunggu saja di sini-tempat semula’8).

Lagi pula, ketika berjualan di komunitas sendiri mencari

pelanggan baru menjadi tantangan. Pembeli dan pelanggan tetap sebelum kerusuhan berada di berbagai komunitas (Kristen-Islam). Papalele beragama Kristen banyak memiliki pelanggan tetap di warung-warung makan terutama warung masakan milik pengusaha dari Padang dan Makasar. Sementara papalele yang beragama Islam banyak pelanggan tetap terutama ibu-ibu rumah tangga yang setiap hari membeli sayur-sayuran, ikan dan bumbu-bumbuan dapur. Namun sejak kerusuhan, semua pelanggan tetap dengan sendirinya hilang. Butuh waktu yang agak lama untuk harus mencari dan mendapatkan pelang-gan yang baru. Selain bersusah-payah mencari pelanggan baru, tantangan yang harus dihadapi adalah bersaing dengan peda-gang di sesama komunitasnya. Tegasnya, kerusuhan mengaki-batkan penghasilan mengalami penurunan.

• Ketidak-seimbangan Distribusi Barang Dagangan

Setelah kerusuhan berlangsung sekitar enam bulan, masyarakat mulai merasakan kelangkaan bahan-bahan kebu-tuhan pokok dan melambungnya harga. Kondisi seperti itu terus berlangsung lama, sehingga berdampak pada usaha para pedagang kecil dan papalele. Tentu situasi itu tidak diterima apa adanya, mereka berupaya mencari alternatif dan jalan keluar untuk mendapatkan bahan-bahan yang akan dijual.

 8 Wawancara dengan mama Yoke, tanggal 21 April 2009. 

Page 14: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 250  

                                                           

Pasokan bahan kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan bumbu-bumbuan dapur memang agak berkelebihan di komu-nitas Islam. Bahan-bahan kebutuhan sehari-hari nampaknya memang sedikit lebih banyak di wilayah komunitas Islam saat konflik. Selain itu, harga barang-barang juga termasuk murah. Mengingat sarana transportasi laut seperti pelabuhan utama dan perintis antar pulau di Maluku berada di wilayah Muslim, sehingga pasokan bahan kebutuhan masyarakat dari daerah lain terhenti di sini9. Sementara bahan pertanian berupa sayur-mayur banyak diusahakan dan dihasilkan di komunitas Islam. Sayur mayur tersebut diproduksi dan didistribusi dari daerah pegunungan bagian barat Desa Rumah Tiga, tepatnya Jasirah Leihitu seperti Dusun Taeno, Dusun Talaga Pange, Dusun Air Ali, dan Dusun Waringin cap Desa Waiyame.

Kondisi yang berbeda terjadi untuk ikan laut mentah hasil tangkapan para nelayan. Kedua komunitas memiliki ketersedia-an ikan yang cukup. Di desa-desa Kristen, nelayan di pesisir Pulau Ambon terutama di Kecamatan Nusaniwe seperti Desa Latuhalat, Desa Ery dan Desa Amahusu, hingga dari pesisir Pantai Selatan Kecamatan Leitimor merupakan daerah yang memasok ikan tergolong besar. Demikian halnya nelayan di desa-desa Muslim seperti Desa Hitu, Desa Hila, Desa Liang, Desa Tengah-Tengah dan Desa Tulehu di wilayah Jasirah Leihitu turut memasok ikan laut mentah yang sangat banyak. Harga ikan laut mentah di pasaran Ambon saat kerusuhan

 9 Walaupun sarana pelabuhan laut terletak di wilayah yang didominasi umat Islam, tetapi proses bongkar muat dan distribusi barang tidak terhalangi. Barang dari kapal diangkut dengan truk oleh sopir beragama Islam dibawa ke perbatasan yang telah ditunggui dan diambil oleh sopir beragama Kristen degan truk yang sama. Kondisi sebaliknya terjadi untuk proses pengiriman barang dari wilayah Kristen yang akan dikirim ke luar Ambon (Pariela. D. Tony, 2008: 110-111). 

Page 15: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 251 

seperti satu ekor ikan Tuna yang berukuran dua kilogram atau lebih, hanya seharga Rp 25.000 per ekor.

Strategi Papalele Mengatasi Masalah Akibat Kerusuhan

• Pertemuan di Simpul-simpul Perbatasan

Eskalasi pertikaian dua kelompok yang tidak kunjung mereda mengakibatkan kota Ambon memiliki wilayah demar-kasi yang cukup banyak. Bisa disebutkan di sini beberapa wilayah demarkasi yang sering digunakan oleh papalele dan pedagang yang lain untuk saling bertemu dan bertransaksi. Papalele dan pedagang biasanya bertemu di simpul wilayah itu antara lain Kelurahan Hunipopu di sekitar belakang pertokoan Utama jalan A.Y Patty – samping kantor Pemerintah kota Ambon, Kelurahan Uritetu sekitar Lapangan Merdeka – Gereja Marantha dan Kantor Perum Pegadaian depan Markas Batalion 733 Para BS dan Tugu Trikora – Gereja Silo dan Masjid An-Nur dan batas antara desa Batu Merah dan Mardika.

Wilayah batas yang tergolong rawan tidak menghalangi terjadinya transaksi. Wilayah batas ini tergolong rawan keru-suhan, sehingga masyarakat cenderung menghindari meliwati daerah jalan-jalan ini. Selain daerah ini sering menjadi pusat bentrokan fisik antar kedua kelompok, tidak jarang terjadi pe-nembakan gelap yang diarahkan ke kedua kelompok masya-rakat. Antara Juli sampai dengan Desember 2000, eskalasi kerusuhan Ambon semakin meningkat, serangan antar kelom-pok masyarakat nampaknya sulit teratasi sehingga pengamanan diperketat di sekitar wilayah-wilayah perbatasan ini.

Papalele selalu bertemu dengan sesama pedagang di simpul perbatasan yang cukup terbuka. Mengingat bangunan rumah, toko, kantor di sekitar wilayah perbatasan telah ter-bakar rata dengan tanah sehingga lokasinya sangat terbuka.

Page 16: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 252  

                                                           

Selain itu, biasanya lokasi perbatasan konflik merupakan jalan-am umum yang terbuka. Pemisahan antar kedua kelompok hanya dipasang barikade berbentuk pagar kayu kawat berduri atau tumpukan batu dan drum bekas yang dibuat masyarakat. Barikade di tempat ini selalu ada pos penjagaan dari satuan TNI atau Polri. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar kedua kelompok yang bertikai tidak saling berhadapan dan memasuki wilayah yang telah dipisahkan. Walaupun di tempat itu ada aparat keamanan yang berjaga tetapi tidak menjamin keselamat-an setiap warga yang mencoba melintas atau berada di sekitar tempat itu.

Dalam dua tahun terakhir masa konflik, muncul simpul-simpul transaksi lebih banyak. Kerusuhan yang semakin berke-panjangan dan bertahan di kota Ambon, mengakibatkan masya-rakat mulai merasa tidak lagi nyaman dengan situasi seperti itu. Tekanan kebutuhan ekonomis membuat masyarakat kedua komunitas mencoba mencari jalan keluar—berkomunikasi dan berhubungan dengan pihak lain. Hubungan ini dimaksudkan agar kebutuhan pokok yang dicari tidak lagi mengalami masalah distribusi maupun harga.

Mengingat kebutuhan, terbentuk jual beli antara papalele dan pedagang. Selama kurun waktu kerusuhan harga-harga kebutuhan melonjak naik. Akibatnya masyarakat pelaku usaha mulai membuka simpul-simpul untuk melakukan transaksi dan membangun hubungan antara satu dengan yang lain (Kristen-Islam)10. Simpul-simpul yang dibentuk secara alami oleh masyarakat ini yang kemudian terus berkembang sebagai tempat jual-beli antar pedagang.

 10 Lihat juga Majalah Mingguan Gatra 18 Agustus 2001. 

Page 17: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 253 

                                                           

Strategi menghadapi kelangkaan barang, proses transaksi harus dilakukan cepat, jika tidak nyawa terancam. Berjumpa dan bertransaksi di perbatasan harus dilakukan secepatnya karena alasan keamanan. Kisah transaksi papalele di wilayah perbatasan ini sangat mengharukan. Tanta Rina misalnya, sejak kerusuhan dia tidak lagi berjualan di pasar lama, tetapi di pasar Batu Meja. Sejak terpisah, mulai terasa kesulitan membeli buah untuk dijual. Memang di wilayahnya ada buah yang bisa dibeli, tetapi terbatas sifatnya. Jika dibandingkan dengan masa sebe-lumnya dia bisa membeli sedikit lebih banyak. Karena kondisi demikian dia mulai mencoba mencari kemungkinan menda-patkan buah di perbatasan.

Salah satu lokasi tanta Rina bertransaksi di lorong kantor Bank BNI yang berbelakangan dengan kantor Perpustakaan Daerah Maluku. Di simpul inilah tanta Rina sering bertemu dengan pedagang buah dari wilayah Muslim. Pada waktu yang disepakati tanta Rina dengan beberapa temannya bertemu dengan mereka untuk bertransaksi. Para pedagang muslim membawa buah yang diperlukan seperti buah mangga, duku, salak. Sebaliknya juga pedagang sering memesan buah jenis lain dari tanta Rina dan teman-teman. Antar mereka sudah saling mengenal melalui salah satu teman tanta Rina yang bernama Ellen. Mereka tidak lagi merasa khawatir dan takut bertemu, bahkan saling percaya sudah terbiasa di antara mereka11.

Bunyi bom membuat papalele dan pedagang berhamburan lari terpisah, namun mereka tidak menjadi korban. Wilayah perbatasan dan simpul transaksi Islam-Kristen, selalu diwarnai kejadian menegangkan pada saat transaksi. Suasana itu dicerita-kan oleh salah satu informan; tanta Mike. Kejadiannya terjadi di satu pagi di akhir bulan Maret 2001, suasana kerusuhan masih

 11 Wawancara tanggal 19 April 2009 

Page 18: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 254  

                                                           

terasa walaupun intensitasnya mulai berkurang. Seperti biasa-nya dia berjualan di pasar Batu Meja, wilayah komunitas Kristen. Karena buah yang akan dicari untuk dijual tidak ada sehingga dia bersama beberapa temannya menuju perbatasan di jalan Kakiay depan kantor Perum Pegadaian bersebelahan jalan dengan Markas Kodim 1504 Pulau Ambon. Lokasi ini lebih dikenal oleh masyarakat kota Ambon dengan sebutan PHB, dan di lokasi ini pula merupakan salah satu simpul transaksi Islam-Kristen selama kerusuhan. Rupanya sudah beberapa kali dia dan teman-temannya bertransaksi di tempat itu.

...waktu kerusuhan katong bajual disini di batu meja, waktu itu katong jaga pi di PHB tampa Pegadian situ, kan ada Acang-Acang yang dong kanal katong, deng dong jaga tunggu di situ. Katong coba bajalang-bajalang kasitu lalu ada teman yang su kamuka lalu katong iko lai, mo waktu itu jaga pi ambel mar taku-taku lai, tapi katong pi saja, beta inga itu. Jadi acang yang su jaga kenal-kenal jaga badiri di situ lalu katong jaga ambel di situ. Tapi seng tahu, waktu itu katong banya, mar katong seng inga lae kata sapa-sapa. Beta inga waktu itu katong ambel lemong manis deng tas-tas merah tu, transaksi deng dong disitu. waktu itu katong takotang majupar ambe.. mar dong panggel mari ambel saja seng apa-apa. Mangkali dong barang su biasa deng katong toh, pas katong masih tanya-tanya harga bagini, bom sabatang babunyi seng tau dimana, katong loko deng lari, dong lai baku lari tapisa, tapi beso katong datang kombali la bayar yang su ambel kamareng. La dar situ dong parcaya sampe tarus skarang ni12. ..

(… saat kerusuhan terjadi kami berjualan di pasar Batu Meja, kami saat itu sering ke perbatasan di PHB depan Kantor Perum Pegadaian Ambon. Di tempat itu selalu

 12 Wawancara 7 November 2008 

Page 19: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 255 

                                                           

ada Acang-Acang13 yang mereka sudah mengenal kami, mereka biasanya menunggu kami di situ. Tapi saat itu, kami mencoba ikut berjalan kesitu karena sudah ada teman yang mendahului. Walaupun sebetulnya kami juga merasa takut, tetapi kami pergi saja, saya masih ingat peristiwa itu. Waktu itu kami dengan teman-teman cukup banyak, tapi saya tidak ingat lagi siapa-siapa saja. Saya masih ingat pada saat kami akan mengambil buah Jeruk dengan tas plastik kresek warna merah ukuran besar. Sebetulnya saat itu kami takut untuk maju bertemu, tetapi mereka memanggil; mari saja, tidak apa-apa. Mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan kami. Pada saat kami sedang berbicara dan saling bertanya harga, tiba-tiba Bom daya ledak besar berbunyi sangat kuat, tidak tahu asal dan tempat-nya dimana, kami mengambil jeruk-jeruk itu dan sece-patnya berlarian terpisah menyelamatkan diri, demikian pula mereka. Tetapi keesokan harinya kami kembali bertemu lagi dan membayar harga jeruk yang kemarin telah kami ambil).

Proses transaksi antar papalele dan pedagang bisa terjadi

karena didukung oleh rasa saling percaya yang sudah ada sebe-lumnya. Pengalaman yang diceritakan ini setidaknya memiliki makna berkaitan dengan rasa saling percaya di antara mereka. Nampaknya hal apa yang dilakukan para papalele dan pedagang, lebih mengutamakan hubungan baik. Kepedulian dan rasa saling membutuhkan yang tercipta, melebihi nilai ekonomi (transaksi) yang hanya mengutamakan keuntungan jangka pendek.

Sebelum kerusuhan mereka sudah saling mengenal, se-hingga kejadian kerusuhan tidak cukup membuat mereka ter-

 13 Saat kerusuhan Ambon, simbol-simbol pemisahan antara kelompok Islam-Kristen terbentuk secara jelas dan tegas. Istilah “Acang” dari kata ‘Hasan’ yang Islam dan “Obed” dari kata ‘Roberth’ yang Kristen. (Pariela Tony, 2008:88 dan Majalah Mingguan Gatra 2001).  

Page 20: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 256  

pecah begitu saja. Hubungan yang telah terjalin lama dan terus melekat, dipertegas dengan pertimbangan bahwa orang Kristen adalah saudara. Kekuatan hubungan saudara tidak hanya dilan-dasi oleh motif ekonomi semata-mata, tetapi di dalamnya sarat akan nilai lokal yang masih kuat tertanam.

Seperti pengalaman tanta Rina dan tanta Mike, penga-laman berbeda dengan mengutamakan nilai lokal (pela-gandong) juga ditunjukkan mama Habsah (57). Saat kerusuhan, walaupun mama Habsah harus mengungsi di Masjid Al-Fatah seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dia tetap berusaha berjualan walaupun situasi tidak memungkinkan. Ketika keru-suhan masih berlanjut, banyak pedagang asal luar daerah seperti dari Buton, Makasar ingin segera kembali ke daerah dan menjual murah barang jualan mereka, mama Habsah membeli dalam jumlah banyak. Bahan-bahan yang dibeli seperti halia (ginseng), daun kemangi, sereh, kuning (kuncir), lada halus dan beberapa lainnya. Semua bahan yang dibelinya kemudian dibawa ke Masjid tempat pengungsiannya. Pagi-pagi setelah dia bangun, semua bahan tersebut dibersihkan kemudian diikat sesuai ukuran masing-masing dalam jumlah kiloan. Ikatan ini dibuat untuk mempermudah saat di bawa ke simpul transaksi untuk dijual.

...dolo sniper kiri-kanan jadi beta seng bisa bajalang bajual lai taku to. Beta bali bawa taru di Mesjid Al-Fatah karna mengungsi tinggal disitu to, tapi pagi-pagi hari beta cuci samua, ika samua bawa kilo, orang dari Batu Meja, Batu Gajah, Air Salobar, Halong beli apa saja, samua datang kasini, dong baja-lan cepat-cepat, sombole lama-lama, dong taku dapa tembak, beta jua bagitu to. Pokoknya beta jual sa, karna beta jua pikir mangkali ada katong pung sudara ka yang karesten, itu samua-samua katong pung gandong, katong pung pela, katong pung basudara datang balanja di situ. Katong pung saudara

Page 21: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 257 

                                                           

dekat, orang Hulaliu, itu orang adik-kakak basudara satu mama satu bapa14...

(dulu waktu kerusuhan, sniper—penembak jitu, di banyak tempat sehingga saya tidak berjalan berjualan karena takut. Saya membeli bahan-bahan dibawa ke Masjid Al-Fatah tempat mengungsi, tapi saat pagi-pagi saya mem-bersihkan dan mengikat bahan-bahan tersebut. Orang dari Batu Meja, Batu Gadjah, Air Salobar, Halong datang membeli, itupun mereka harus bergegas tidak boleh berlama-lama. Mereka takut kena tembak, saya pun demikian. Prinsipnya saya jual saja, karena saya selalu berpikir mungkin ada diantara mereka kami punya gandong, pela. Itu kami punya saudara yang datang membeli. Kami punya saudara dekat dari desa Hulaliu (Kristen)15 adik-kakak bersaudara satu bapak dan Ibu).

Proses transaksi berjalan seperti biasa dan tidak dipenga-

ruhi oleh latar belakang dan status pembeli dan pelanggan. Melayani pembeli dan pelanggan tidak dibedakan karena asal daerah yang sama atau karena agama yang dianut. Dalam benak dan pertimbangan papalele, melayani semua orang adalah sama. Tidak ada yang perlu dibedakan satu sama lain, walaupun dalam kerusuhan dengan nuansa dan simbol keagamaan yang dipakai. Bagi mereka nilai dan norma lokal telah tertanam kuat di dalam pikiran terutama tentang makna ‘orang basudara – pela gandong’ sebagai nilai leluhurnya. Karena itu, bagi dia melayani bukan sekedar untuk mencari keuntungan ekonomis, tetapi nilai persaudaraan (lokal) yang dipegangnya juga dike-depankan dalam kondisi konflik yang sementara berlangsung.

 14 Wawancara tanggal 28 April 2009 15 Mama Habsah berasal dari Desa Kailolo (Islam) Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Desa ini memiliki hubungan kekerabatan Pela-Gandong dengan Desa Hulaliu (Kristen). Persekutuan desa-desa ini dinamakan ‘Amarima Lou Nusa’ yang terdiri dari desa Kailolo, Pelauw, Kabau, Ruhomony (Islam) Hulaliu (Kristen) 

Page 22: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 258  

                                                           

• Keselamatan Dipertaruhkan

Papalele saat bertransaksi, nyaris tidak didampingi aparat keamanan di lokasi transaksi. Tetapi aktivitas antara papalele dan pedagang selalu mendapat pantauan aparat keamanan di lokasi-lokasi seperti itu. Setiap wilayah perbatasan terutama lokasi yang sering men-jadi tempat transaksi antar pedagang, aparat kemananan selalu berada di lokasi tersebut. penempatan mereka dilengkapi dengan Pos Penjagaan. Posisi Pos dengan tempat transaksi biasanya memiliki jarak tertentu. Seperti lokasi di Jalan Sedap Malam16; sebelah kanan jalan terdapat Kantor Pemerintah Kota Ambon dan di sebelah kiri terdapat Kantor Perpustakaan Daerah Provinsi Maluku. Letak Pos Penjagaan sekitar 50 meter dari tempat transaksi. Kedua komunitas peda-gang sering bertemu dan bertransaksi segala macam keperluan dan kebutuhan. Walaupun berjarak 50 meter dari Pos Aparat, transaksi selalu berjalan tanpa ada kendala. Aparat keamanan TNI selalu memantau setiap aktivitas para pedagang. Mereka mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang merugikan para pedagang. Dengan berjarak seperti itu, para pedagang tidak merasakan adanya gangguan keamanan di antara mereka. Karena itu, setiap akan dilakukan transaksi, para pedagang tidak memerlukan dan meminta pendampingan aparat keamanan berada dekat dengan mereka. Sebagaimana disampaikan salah satu informan tanta Rina:

...wua’nga katong seng pernah pake keamanan, maju sandiri sa deng ada tamang, artinya katong barang dua-tiga orang, lain baku ajak lain, par katong pigi, Ia seng sandiri. Tagal itu ada yang sampe dong larang, dong

 16 Di Ambon, daerah perbatasan ini, lebih dikenal dengan sebutan lorong IKIP. Mengingat pada masa lalu, lokasi ini merupakan tempat perkuliahan Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura Ambon. Sekarang di lokasi tersebut berdiri Kantor Perpustakaan Pusat Provinsi Maluku. 

Page 23: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 259 

                                                           

bilang kata itu jang sampe dong hanya alasan bagitu saja, la dong bala. Ada yang dong larang katong seng boleh pigi, tamang-tamang bilang seng bole pigi. Tapi katong berpikir lai, masakan dong su bae-bae bagitu, dong bale bagitu par katong, sedangkan dong jua jaga larang katong seumpa ada mau terjadi apa-apa dong bilang par katong kata jang datang, hari ini ada bagini, ada bagini. Dong bilang bagitu. Katong mau dengar lai, ragu-ragu mar karna katong seng biking apa-apa jadi aman sa”17.

(ya ampun kami tidak pernah memakai keamanan untuk dampingi, kami maju sendiri dengan teman, artinya kami antara dua atau tiga orang saling mengajak untuk pergi ke perbatasan. Karena itu ada teman-teman yang melarang kami. Mereka mengatakan ‘jangan sampai mereka hanya menggunakan alasan berjualan, yang pada akhirnya mereka bisa membunuh’. Tapi kami juga berpikir, masakan mereka sangat baik dengan kami selama ini, mereka harus melakukan hal itu kepada kami? Bahkan sering mereka justru selalu mengingatkan dan melarang kami untuk datang jika keributan akan terjadi. Larangan teman-teman tadi kami mau mende-ngar tapi kadang kami ragu, tetapi karena kami tidak melakukan apapun jadi semua aman saja).

Keberanian pertemuan dan bertransaksi antar papalele

dan pedagang karena rasa saling percaya, sehingga sering diperingatkan oleh teman dan sanak saudara. Himbauan kepada papalele maupun pedagang sering diingatkan oleh sesama teman dan sanak keluarga. himbauan itu dimaksudkan agar sedapat mungkin dihindari agar tidak terjadi sesuatu dengan mereka. Walaupun keprihatinan dari sesama rekan atau anggota keluar-ga telah disampaikan, tetapi bagi mereka kepercayaan yang telah terbina menjadi perekat hubungan tersebut. Dalam situasi tertentu aspek kepercayaan memang memiliki resiko, resiko yang terkadang terjadi tanpa terduga sebelumnya. Sepanjang

 17 Wawancara tanggal 19 April 2009. 

Page 24: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 260  

kepercayaan itu benar-benar diimplementasikan dan sesuai dengan kesepakatan, maka terhindar dari resiko buruk dan sebaliknya.

Proses Transaksi antara Papalele dan Pedagang

• Mekanisme Pembayaran di Tapal Batas

Saat di perbatasan, pembayaran tunai dilakukan dalam waktu singkat. Situasi itu, merupakan pola pembayaran yang dilakukan antara papalele dan pedagang berbeda saat kerusuhan dan pasca kerusuhan. Saat kerusuhan papalele dan pedagang sama-sama mengharapkan pembayaran dilakukan secara tunai. Tetapi kadang-kadang situasi benturan antar kelompok yang tidak menentu waktunya, mempengaruhi proses pembayaran saat itu. Perjumpaan di tapal batas harus dilakukan secepat-cepatnya sejak kedua pihak bertemu. Semakin lama bertemu resiko keselamatan semakin besar dan sebaliknya. Andaikata pembayaran tertunda karena kondisi tidak memungkinkan, maka pembayaran bisa dilakukan sehari kemudian atau pada saat waktu lain yang disepakati. Sebaliknya, dalam suasana aman (seperti saat ini), pembayaran bisa tunai dan bisa juga dengan cara utang. Artinya sore hari dibayar atau beberapa hari kemudian dibayar. Yang terpenting bagi kedua pihak, kewajib-an harus dipenuhi dan menghindari kelalaian.

Pembayaran secara tunai selalu diutamakan karena mereka menyadari bahwa masing-masing pihak memerlukan modal usaha diputar hari berikutnya. Karena kondisi tidak aman saat ber-jumpa bertansaksi, maka segera pembayaran dilakukan ketika menerima buah. Masing-masing pihak telah membawa buah yang saling dibutuhkan, karena sudah dipesan sebelumnya. Waktu untuk bertemu pun tidak memungkinkan

Page 25: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 261 

                                                           

untuk berlama-lama, resiko akan semakin besar bagi kedua pihak. Pada saat itu barang ditawarkan, dan terjadi kesepakatan harga, transaksi segera diselesaikan. Setelah itu barang diambil dan segera berpisah18.

Papalele dan pedagang menyadari waktu terbatas untuk melakukan tawar-menawar barang. Seperti pasar antar papalele dan pedagang di simpul perbatasan konflik, tidak ada tawar-menawar. Tidak ada perincian perhitungan harga dan tidak tersedia cukup waktu untuk berdiskusi. Waktu menjadi sangat terbatas. Saat kedua pihak bertemu, penyerahan barang dilaku-kan diikuti penyerahan sejumlah uang. Itupun seandainya ter-sedia cukup waktu untuk itu. Seandainya sebelum penyerahan uang, kedua pihak harus meninggalkan lokasi, maka sehari atau dua hari kemudian pembayaran baru dapat dilakukan. Atau kesepakatan hari lainnya yang disepakati keduanya. Mengingat waktu sangat menentukan perjumpaan keduanya. Kecepatan penyerahan uang dan barang meminimalkan bahaya dan resiko terhadap keselamatan diri.

• Hubungan dengan Pedagang Sebelum dan Selama Kerusuhan

Hubungan baik antara papalele dan pedagang telah ber-langsung sejak sebelum kerusuhan hingga selama kerusuhan. Hubungan baik tersebut tidak hanya pada saat mereka berada di pasar sebelum dan selama konflik, tetapi jauh sebelumnya telah berlangsung.

Kepercayaan terbentuk karena hidup berdampingan seba-gai tetangga. Pengalaman hidup sebagai tetangga pernah dijalani salah satu papalele bersama beberapa pedagang asal Makasar dan Buton. Mereka sama-sama berdomisili daerah Kampung Waringin Batu Gantung. Daerah ini merupakan pemukiman

 18 Wawancara dengan ‘tanta Rina’, tanggal 19 April 2009. 

Page 26: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 262  

                                                           

padat penduduk. Salah satu papalele yang sebelum kerusuhan menetap di wilayah ini adalah Mama Yoke. Selama berdiam di lokasi Batu Gantung Waringin, ia banyak memiliki tetangga yang umumnya berasal dari Bugis dan Makasar; Sulawesi Selatan. Hubungan bertetangga dan saling mengenal satu dengan yang lain sudah sejak lama. Kemudian, sejak kerusuhan terjadi banyak diantara mereka yang telah kembali ke daerah asal, sementara ada juga yang lain yang masih menetap di Ambon. Meskipun demikian menurut sang informan; mama Yoke19, walaupun tempat tinggal telah terpisah tetapi mereka sering bertemu, baik sekedar bertegur sapa, maupun saling berjual-beli barang-barang (buah) yang dibutuhkan.

Pertalian hubungan dagang tetap terpelihara dan terjaga walaupun tidak lagi bertemu untuk bertransaksi. Berbeda dengan mama Yoke, mama Anto membina hubungan baik dengan Anwar pedagang asal Desa Batu Merah sebelum keru-suhan. Hubungan mereka berkaitan dengan barang kebutuhan yang diperlukan masing-masing, seperti buah-buahan. Pada saat kerusuhan terjadi, keduanya sempat tidak bertemu karena ter-pisah sesuai kelompoknya. Pada saat terbuka peluang bertran-saksi semasa kerusuhan, hubungan dagang mereka kembali ter-jalin. Menurut salah satu informan (Mama Anto20), masa-masa kerusuhan, mereka berdua selalu melakukan kontak untuk bertemu dan saling bertukar membeli buah yang diperlukan. Keduanya saling mendukung jika salah satu dari keduanya membutuhkan buah yang tidak tersedia. Pertemuan mereka bersama pedagang lain biasanya terjadi di wilayah Mardika dekat Hotel Amans Ambon, yang merupakan salah satu simpul transaksi di perbatasan. Simpul transaski ini, bagi papalele dan

 19 Wawancara tanggal 21 April 2009. 20 Wawancara tanggal 18 April 2009. 

Page 27: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 263 

pedagang serta warga masyarakat kota Ambon dikenal dengan nama ‘zona baku dapa’ (wilayah saling bertemu). Anwar kini telah membuka usaha baru di Terminal Batu Merah dengan nama toko Duta Mainan, namun demikian keakraban dan hubungan mereka hingga kini tetap berlangsung. • Saling Menjaga di Masa Konflik

Papalele dan pedagang sering mendapat informasi dan isu-isu yang menyesatkan saat akan bertemu di perbatasan. Isu atau kabar angin yang tidak jelas sumbernya menyebar menjadi informasi yang mudah dipercaya sehingga membuat suasana semakin tegang. Isu kemudian sering digunakan untuk aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan situasi keamanan dan kegiatan ekonomi mayarakat. Isu-isu tersebut hanya untuk menakuti masyarakat agar menghindari pertemuan dan ber-transaksi, sehingga ketidak-stabilan situasi keamanan tetap ber-tahan. Kedua isu itu selalu dikemas dan disebar ke masyarakat sehingga tidak bisa terhindarkan.

Papalele dan pedagang menghadapi bersama isu-isu negatif dalam rangka mempertahankan transaksi. Berkembang-nya berbagai isu di masyarakat, dibentuk sebagai opini agar para papalele dan pedagang mengurungkan niat bertemu untuk mendapatkan bahan jualan di simpul-simpul perbatasan. Sering sebelum pertemuan berlangsung dan transaksi antar mereka, berbagai isu miring dan menyesatkan telah beredar di masya-rakat. Isu-isu yang menyesatkan seperti: akan adanya penye-rangan dari satu kelompok tertentu kepada kelompok lainnya, atau di lokasi perbatasan tempat bertemu, telah diletakkan ‘bom’ berdaya ledak besar (high explosive) yang siap meledak sewaktu-waktu. Isu-isu tersebut mengakibatkan rasa takut menghantui dan menjadi beban untuk tidak bertemu di perbatasan. Namun untuk menepis isu-isu tersebut, papalele

Page 28: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon  

 264  

                                                           

dan pedagang tidak tinggal diam. Mereka berupaya melakukan konfirmasi satu terhadap yang lain. Jika isu belum terbukti, pertemuan di perbatasan pun bisa berlangsung dan sebaliknya. Tidak hanya sebatas pertemuan dan transaksi pada saat itu, tetapi saling mengingatkan pada isu yang sama pun belangsung untuk beberapa hari kemudian agar sedapat mungkin diantisi-pasi untuk menghindar. Seperti penuturan salah satu informan; tanta Emi21:

…mo pas ada isu-isu kalo ada macang mau baribot kaco, seng baku dapa, katong seng maju, barang ada yang su kanal katong dong bilang jang datang sini, jang maso. Dong bilang par katong hari ini, dong su biking ingatang katong, satu ka dua hari lai jang datang dolo. Jadi kalo dong su bilang datang baru datang, samua yang sakarang ini kalo mo kaco dong bilang par katong orang Kristen…

(…kalau seandainya ada isu akan terjadi kerusuhan, kami tidak akan bertemu, kami tidak menuju ke perbatasan. Karena diantara mereka ada yang sudah mengenal kami, dan itu yang mereka katakan. Mereka juga mengatakan hal yang sama dan mengingatkan kami untuk hari berikutnya ‘jangan datang untuk satu dua hari kedepan. Jika mereka menyuruh datang lagi, baru kami datang menemui mereka. Hal yang sama juga terus dilakukan hingga kini, mereka akan selalu mengatakan itu untuk kami orang Kristen…).

Efek positif dirasakan papalele dari pertemuan berkala

antara mereka dengan pedagang selama konflik. Intensitas pertemuan secara rutin antara papalele dan para pedagang semakin meningkatkan hubungan dan rasa saling percaya yang tinggi satu terhadap yang lain. Antara papalele dan pedagang tidak lagi merasa khawatir dan takut bertemu,

 21 Wawancara tanggal 19 April 2009. 

Page 29: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

 265 

Kesimpulan

Pola dan sistem berjualan papalele memang sudah sejak awal menelusuri batas kelompok dan agama. Papalele senantiasa berjualan baronda menyusuri berbagai lokasi dan pemukiman warga masyarakat. Tidak pernah sedikit pun ada perbedaan pandangan dan rasa saling bermusuhan saat mereka melintasi setiap permukiman.

Kepercayaan merupakan aspek penting dalam proses transaksi di tapal batas. Meskipun suasana konflik berada di sekeliling kehidupan mereka, tetapi kepercayaan terhadap relasi sesama pedagang tetap diutamakan. Kepercayaan ini muncul sudah sejak lama, jauh sebelum konflik terjadi di Kota Ambon. Relasi yang terbina bukan untuk kepentingan jangka pendek karena tidak menguntungkan, tetapi jangka panjang untuk mempertahankan usaha jauh lebih penting. Karena itu, dalam suasana konflik seperti itu, kepercayaan yang diberikan pihak lain tetap dijunjung dan dipertahankan.

Page 30: Bab Delapan Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflikrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/727/9/D_902007002_BAB VIII.pdf · setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut),

Top Related