5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1 Fisiologi Tidur
Tidur dalah sebuah mekanisme fisiologi tubuh yang diatur oleh dua hal,
yaitu sleep homeostasis dan irama sirkardian. Sleep homeostasis adalah kondisi di
mana tubuh mempertahankan keseimbangannya seperti tekanan darah, suhu
tubuh, dan keseimbangan asam-basa. Jumlah tidur dalam semalam diatur oleh
sistem ini. Saat kita bangun, pengaturan keseimbangan tidur mulai terakumulasi
sampai sore hari. Menurut penelitian, salah satu yang mempengruhi sistem ini
adalah adenosin. Ketika terjaga, kadar adenosin dalam darah terus meningkat
sehingga mengakibatkan rasa ingin tidur juga bertambah. Sebaliknya, saat tertidur
kadar adenosin menurun (National Sleep Foundation, 2006).
Irama sirkadian adalah siklus perubahan secara biologi yang diatur oleh
otak selama 24 jam. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral
anterior hypothalamus di suprachiasmatic nucleus (SCN) (National Sleep
Foundation, 2006). Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan
sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata yang
disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblogata disebut
sebagai pusat penggugah atau aurosal state (Japardi, 2002).
Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mesensefalon dan bagian atas pons. Reticular Activating System (RAS) berlokasi
6
pada batang otak teratas. RAS dipercayai terdiri dari sel khusus yang
mempertahankan kewaspadaan dan tidur. Selain itu, RAS dapat memberikan
rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan juga dapat menerima
stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.
Neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin dalam
keadan sadar. Demikian juga pada saat tidur, kemungkinan disebabkan adanya
pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak
tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR), sedangkan bangun
tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem
limbik. Sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur
adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008).
2.1.2 Tahapan Tidur
Tahapan tidur dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu Rapid Eye
Movement (REM) dan Non Rapid Eye Movement (NREM)
2.1.2.1 Tidur Rapid Eye Movement (REM)
Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial
yang ditandai dengan mimpi yang bermacam-macam, otot- otot yang meregang,
kecepatan jantung dan pernafasan tidak teratur (sering lebih cepat), perubahan
tekanan darah, gerakan otot tidak teratur, gerakkan mata cepat, pembebasan
steroid, sekresi lambung meningkat dan ereksi penis pada pria. Saraf-saraf
simpatetik bekerja selama tidur REM, diperkirakan terjadi proses penyimpanan
secara mental yang digunakan sebagai pelajaran, adaptasi psikologis dan memori
(Lehmann et al. 2016).
7
2.1.2.2 Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)
Saat tidur NREM gelombang otak makin lambat dan teratur. Tidur makin
dalam serta pernafasan menjadi lambat dan teratur. Mendengkur terjadi pada
waktu tidur NREM. Ada 4 tahapan dalam NREM yang dikenal dengan tahap I,II,
III dan IV. Tidur yang paling dalam adalah pada tingkat IV, dan aktivitas listrik
paling dalam (W., 2010).
Tahap I merupakan tahap transisidimana seseorang akan mengalami tidur
yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau
gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan,
dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2011). Tahap II merupakan tahap tidur ringan
dan proses tubuhmenurun.Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti
(Patlak, 2011).Tahap III, individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun,
individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung
selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010). Gelombang otak menjadi lebih
teratur dan terdapat penambahan gelombang delta yang lambat. Terakhir tahap
IVmerupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat.
Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi
fisik (Smith & Segal, 2010). Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam
atau deep sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk
merasa cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2011).
2.1.3 Siklus Tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan
NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup
mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk
8
menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan
bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang
gesit (Mardjono, 2008).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:
(Lehmann et al. 2016)
Gambar 2.1
Tahap-tahap Siklus Tidur
Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan
siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga
merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan
psikologis dapat terganggu (Hysing et al. 2015).
2.1.4 Pola Tidur
Tidur dengan pola yang teratur ternyata lebih penting jika dibandingkan
dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Secara umum, durasi atau waktu lama tidur
mengikuti pola sesuai dengan tahap tumbuh kembang manusia.
NREM tahap I
Tahap pra tidur
Tidur REM
NREM tahap IV NREM tahap II NREM tahap III
NREM tahap III NREM tahap IV
9
Tabel 2.1 Kebutuhan Tidur Manusia Berdasarkan Usia
Usia Tingkat Perkembangan Jumlah Kebutuhan Tidur
0-1 bulan Masa neonates 14-18 jam/hari
1-18 bulan Masa bayi 12-14 jam/hari
18 bulan-3 tahun Masa anak 11-12 jam/hari
3-6 tahun Masa prasekolah 11 jam/hari
6-12 tahun Masa sekolah 10 jam/hari
12-18 tahun Masa remaja 8,5 jam/hari
18-40 tahun Masa dewasa muda 7-8 jam/hari
40-60 tahun Masa paruh baya 7 jam/hari
60 tahun ke atas Masa dewasa tua 6 jam/hari
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015)
2.1.5 Kekurangan Tidur
Kekurangan tidur merupakan hasil dari periode terbangun yang semakin
panjang atau menurunnya waktu tidur setiap harinya dimana terjadi apabila
individu tidak dapat tidur sesuai kebutuhannya. Prevalensinya cukup tinggi, yaitu
1:5 orang dewasa mengalami kekurangan tidur. Penyebabnya bisa karena penyakit
tertentu, pekerjaan terlalu banyak, voluntary behavior, dan personal obligations
(American Academy of Sleep Medicine, 2008).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang kurang
baik dari kurang tidur terhadap kemampuan kognitif manusia. Salah satunya
adalah penelitian yang dilakukan oleh David Dinges dari University of
Pennsylvania School of Medicine in Philadelphia. Hasilnya menunjukkan bahwa
proses belajar terganggu bukan hanya karena tidur kurang tetapi juga karena
terjaga dalam waktu yang terlalu lama dapat mengikis proses biologis pada otak
yang penting dalam proses mengingat dan belajar (Banks & Dinges, 2007).
10
Dampak utama dari kekurangan tidur adalah rasa kantuk yang berat.
Dampak yang lain dari kekurangan tidur dapat terlihat pada berbagai aspek
psikologis seperti terhadap mood. Gangguan dalam mood ditunjukkan dalam
bentuk lekas marah (Irritability), kurang motivasi, cemas dan simtom depresi.
Dampak dari kurang tidur bisa juga mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif
dan gangguan pada respon refleks. Gangguan pada fungsi kognitif dapat muncul
dalam bentuk kurang konsentrasi, attention deficits, waktu reaksi yang lama,
mudah teralihkan, kurang energi, lelah, gelisah, kurang kemampuan koordinasi,
pengambilan keputusan yang tidak baik, meningkatnya kesalahan, dan pelupa
(American Academy of Sleep Medicine, 2008).
Setelah satu periode terbangun yang panjang atau menurunnya waktu
tidur, sel saraf (neuron) mulai berfungsi kurang baik, sehingga berpengaruh pada
perilaku manusia. Beberapa organ, seperti otot-otot, dapat dapat berfungsi
kembali meski manusia tidak tertidur cukup lama, dengan cara tetap rileks dalam
suatu lingkungan yang tenang (Stevens, 2008).
2.2 Sistem Lakrimalis
Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular,
dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas
salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan mata kering (Kanski et
al, 2011).
11
2.2.1. Aparatus Lakrimalis
Aparatus atau sistem lakrimalis terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus
ekskretori (Kanski et al, 2011; American Academy of Ophthalmology, 2012),
yaitu :
2.2.1.1 Aparatus Sekretorius Lakrimalis.
Aparatus sekretorius lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal utama,
kelenjar lakrimal assesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea
palpebra (kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem
sekresi terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi
air mata tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila
ada rangsangan eksternal (Kanski et al, 2011; American Academy of
Ophthalmology, 2012).
2.2.1.2 Aparatus Ekskretorius Lakrimalis.
Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus kemudian
bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus
superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebeum
ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikulus, terdapat katup Rosenmuller
yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus
lakrimalis, air mata akan diekskresikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang
12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior. Di sini juga terdapat katup Hasner
untuk mencegah aliran balik (American Academy of Ophthalmology, 2012).
12
(Wagner et al, 2006)
Gambar 2.2
Anatomi Sistem Lakrimalis
2.2.2 Faktor-faktor Sekresi Air Mata
Semua jaringan pada permukaan bola mata, kelenjar sekretorius,
palpebra dan saluran ekskretorius dari jalur nasolakrimal terhubung oleh
jaringan neural yang kompleks/unit fungsional . Jalur sensori aferen berasal dari
saraf ofthalmik cabang dari saraf trigeminus. Jalur eferen bersifat otonom yaitu
simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis berasal dari ganglion
servikal superior. Saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivarius superior
yang berlokasi di pons, keluar dari batang otak bersama saraf fasialis
(n.VII). Saraf lakrimalis kemudian meninggalkan n VII menuju kelenjar
lakrimal. Persarafan yang kompleks ini berfungsi untuk mengontrol fungsi
kelenjar lakrimal sehingga menjaga homeostasis lapisan air mata dan berespon
terhadap stress dan trauma (American Academy of Ophthalmology, 2011 -
2012a; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).
13
Mekanisme hormonal juga berperan dalam pengaturan sekresi air mata
dimana hormon androgen memiliki peranan penting. Hormon androgen
mengatur anatomi, fisiologi dan sistem imun pada kelenjar lakrimal. Hormon
lain seperti luteinizing hormon, follicle stimulating hormone, prolactin,
thyroid stimulating hormon, progesterone dan estrogen juga berpengaruh
terhadap fungsi lakrimal (International Dry Eye Workshop, 2007; Lemp,
2008). Pada pasien menopause terjadi penurunan sekresi air mata yang diyakini
karena defisiensi estrogen (Schaumberg et al., 2003).
Kelenjar lakrimal sering menjadi target sistem imun dan
menunjukkan tanda tanda inflamasi pada kondisi patologis tertentu. Hal ini
dapat terjadi pada penyakit autoimun (Sindrom Sjogren) atau pada proses
penuaan. Inflamasi kelenjar lakrimal akan mengganggu sekresi air mata.
Pada proses penuaan akan terjadi perubahan struktur kelenjar lakrimal yang
dipicu karena inf lamasi (Ríos et al., 2005; Lemp, 2008). Sindrom Sjogren
(SS) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik dimana secara primer
mempengaruhi kelenjar lakrimal dan kelenjar air liur. Etiologi dari SS
multifaktorial, meliputi virus, genetik dan faktor lingkungan (Mariette et al.,
2004).
Pasien dengan SS biasanya akan mengeluhkan rasa kering pada mata
dan mulut. Umumnya SS dikaitkan dengan hipergamaglobulinemia, artritis
rematoid atau antibody antinuklear. Pemeriksaan histologi kelenjar lakrimal
dan kelenjar saliva menunjukkan infiltrasi limfosit dengan adanya area
destruktif kelenjar (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).
14
Gangguan pada jalur aferen dan atau eferen pada lengkung reflek
menurunkan sekresi lakrimal. Gangguan jalur aferen dapat disebabkan antara
lain karena pengunaan lensa kontak, akibat operasi seperti laser insitu
keratomileusis (LASIK) ataupun ekstraksi katarak ekstrakapsular (EKEK).
Gangguan jalur eferen dipengaruhi oleh konsumsi obat antikolinergik seperti
antihipertensi; antidepresan; antiaritmia; antiparkinson; dekongestan seperti
efedrin dan pseudoefedrin; antihistamin; anti ulkus dan obat untuk spasme
otot. Obat antihipertensi yang terbukti menurunkan produksi air mata antara
lain clonidine, prazosin, propanolol, reserpine, methyldopa dan guanethidine.
Antidepresan dan psikotropik seperti amitriptilin, imipramide, phenothiazine,
dan diazepam menimbulkan DES. Disopyramide dan mexiletine adalah obat
untuk antiaritmia yang berpotensi menimbulkan penurunan sekresi air mata.
Antiparkinson seperti trihexyphenidyl, benztropine, biperiden dan procyclidine
berpotensi menurunkan produksi air mata (American Academy of
Ophthalmology, 2011-2012b).
Gangguan kelenjar lakrimal dapat berhubungan dengan penyakit
sistemik dan autoimun lainnya. Walaupun kelenjar lakrimal bukan sebagai
target primer, namun proses inflamasi dapat terjadi. Salah satu penyakit yang
dapat mengganggu sekresi air mata adalah diabetes melitus (Goebbels, 2000;
Nepp et al., 2000; Grus et al., 2002).
2.2.3 Reflek Lakrimasi
Sekresi kelenjar lakrimal dipengaruhi oleh reflek lakrimasi yang dipicu
oleh suatu iritasi pada permukaan bola mata. Reseptor sensori merespon kondisi
permukaan bola mata yaitu pada kornea dan konjungtiva. Reseptor ini selanjutnya
15
akan mengirimkan sinyal aferen ke sistem saraf pusat yang kemudian akan
memberikan impuls eferen berupa parasimpatis dan simpatis pada kelenjar
lakrimal. Kondisi emosi seseorang juga dapat memicu reflek lakrimasi dan
menghasilkan sekresi air mata dalam jumlah yang banyak, dimana penting untuk
melarutkan material asing seperti debu, alergen dan toksin pada permukaan bola
mata (Lemp, 2008; Tsubota et al., 2008).
2.2.4 Evaluasi Sekresi Lakrimalis
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan aqueous air
mata adalah dengan tes schirmer. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x
5 mm yang berisikan ukuran yang distandarisasi. Kertas diletakkan pada palpebra
bawah sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral.
Pasien dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah
karena air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti
tes schirmer negatif yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm
merupakan diagnostik dari aqueous tear deficiency (ATD) (International Dry Eye
Workshop, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a).
Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes mata anestesi
yang berfungsi untuk mengukur sekresi basal dan sekresi reflek lakrimasi. Tes
Schirmer-sekresi basal dikerjakan dengan penetesan anestesi topikal sebelum
meletakkan kertas schirmer. Tes ini dilakukan untuk mengukur sekresi basal saja
(Lemp. 2011). Pemeriksaan sekresi air mata yang dilakukan untuk mengukur
kualitas tear film dengan menggunakan kertas saring Whattman 41 yang
diletakkan di forniks konjungtiva inferior. Dikatakan normal apabila > 10 mm
selama 5 menit. Apabila kurang dari 10 mm, maka kualitas tear film pada mata
16
tersebut menurun. Tes schirmer II mengukur reflek lakrimasi. Tahap yang
dilakukan sama dengan tes schirmer I, namun setelah dipasang kertas filter
kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan kapas. Nilai
normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy of
Ophthalmology, 2011-2012a).
Ocular Surface Disease Index (OSDI)
Tabel 2.2 Ocular Surface Disease Index (OSDI)
Apakah anda pernah
mengalami hal-hal di
bawah ini selama 1
minggu yang lalu?
Sepanjang
waktu
Sering Kadang-
kadang
jarang Tidak
sama
sekali
1. Sensitif terhadap
cahaya?
4 3 2 1 0
2. Merasa berpasir? 4 3 2 1 0
3. Nyeri atau sakit mata? 4 3 2 1 0
4. Pandangan kabur? 4 3 2 1 0
5. Pandangan menurun? 4 3 2 1 0
Jumlah (A)
Apakah hal-hal diatas
mengganggu aktifitas
anda?
Sepanjang
waktu
Sering Kadang-
kadang
jarang Tidak
sama
sekali
N/A
6. Membaca? 4 3 2 1 0
7. Berkendara pada
malam hari?
4 3 2 1 0
8. Bekerja dengan
komputer atau mesin
bank (ATM)?
4 3 2 1 0
9. Menonton TV? 4 3 2 1 0
Jumlah (B)
10.Apakah mata anda
terasa tidak nyaman
pada kondisi di bawah
ini?
Sepanjang
waktu
Sering Kadang-
kadang
jarang Tidak
sama
sekali
N/A
11.Kondisi berangin? 4 3 2 1 0
12.Tempat atau area
dengan kelembaban
yang rendah (sangat
kering)
4 3 2 1 0
13.Tempat ber-AC? 4 3 2 1 0
Jumlah (C)
17
Jumlahkan A,B,C untuk mendapat D
Total nomor yang telah dijawab
(tidak termasuk pertanyaan yang jawabannya N/A)
(Mulyani, 2014)
Penilaian mata kering
Gunakan jawaban D dan E anda untuk membandingkan jumlah skor untuk
semua pertanyaan yang telah dijawab (D) dan nomor pertanyaan yang dijawab (E)
dengan grafik di bawah ini. Temukan dimana skor pasien anda berada. Cocokkan
corak warna merah koresponden untuk kunci di bawah untuk menentukan apakah
skor pasien anda menunjukkan normal, dry eye yang ringan, sedang, atau berat.
E
Tota
l nom
or
yan
g d
ijaw
ab
(E)
Semua pertanyaan yang telah dijawab
(D)
D
18
(Mulyani, 2014)
Gambar 2.3
Penilaian Sindrom Mata Kering
2.3 Hubungan Kuantitas Tidur dengan Sekresi Lakrimal
Tidur adalah saat mata dapat terpejam dan terhindar dari pajanan kondisi
luar. Kurangnya waktu tidur memperpanjang waktu paparan permukaan okular
terhadap evaporasi. Walaupun pada data hanya dijumpai sedikit peningkatan
evaporasi pada penderita mata kering, hal ini sudah dapat menggangu kestabilan
dinamika air mata dan gangguan pada permukaan okular (Lee et al., 2014).
Kurang tidur menyebabkan peningkatan hormon stres, seperti kortisol,
epineprin, dan norepineprin, serta menurunan aktivitas parasimpatik. Serabut
parasimpatik banyak di kelenjar lakirmal sehingga menyebabkan stimulasi sekresi
kelenjar lakirmal menurun (Joo et al., 2012).
Selain itu juga menyebabkan paparan terhadap cahaya meningkat. Hal ini
menyebabkan supresi hormon melatonin yang menginhibisi sekresi dopamin pada
sistem limbik. Hal ini mengakibatkan kedipan mata turun dan mengalami
gangguan tear film. Beberapa hal di atas menyebabkan penurunan sekresi air
mata pada glandula lakrimalis. Akibatnya mata menjadi kering karena hiposekresi
air mata (Joo et al., 2012).
Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan sekresi air mata
menurun, yaitu mengidap penyakit (diabetes melitus, HIV/AIDS, keganasan,
arthritis rematik, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus, stevens-
Normal Ringan Sedang Berat
19
johnsons’ syndrome, scleroderma, polyarteritis, nodosa, sarcoidosis),
penggunaan obat tetes mata (antibiotika, anti glaukoma, lubrikan, dan air mata
buatan) dalam waktu 2 minggu terakhir, penggunaan lensa kontak dalam 3 bulan
terakhir, pasien sindrom Sjogren, mengkonsumsi obat-obatan (antihipertensi,
antidepresan, antiaritmia, antiparkinson) 3 bulan terakhir. Bila mata kering ini
berlangsung terus menerus dan menjadi kronik, kornea akan menjadi insensitif
sehingga tidak ada lagi refleks kompensasi. Tanpa dan dengan kompensasi,
kerusakan morfologi akan terus berlanjut (Lee et al., 2014)