BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Debu di Lingkungan Kerja
2.1.1 Pengertian Debu
Menurut Suma’mur (1998) debu adalah partikel-partikel zat padat yang
ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,
penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari
bahan-bahan baik organik maupun anorganik. Secara fisik debu atau particulate
dikategorikan sebagai pencemar udara yaitu dust dan aerosol. Debu terdiri dari dua
golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat
dibagi menjadi 3 macam :
1. Dust
Dust atau debu terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai
yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam
sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup
ke dalam paru-paru.
2. Fumes
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari
bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain
dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti
logam Cadmium dan timbal ( Plumbum).
Universitas Sumatera Utara
3. Smoke
Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak
sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron.
2.1.2 Macam dan Sifat-sifat Debu
Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu (Depkes R.I,
1993) :
1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu
daun-daunan, tembakau dan sebagainya).
2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg,
Cd, dan Arsen).
3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks ( SiO2,
SiO3
Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik
(debu tanah, batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik) dan debu
biologis (virus, bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu
bara, Pb), debu radioaktif (uranium, tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi
kimia dengan zat lain). Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan
baku atau hasil produksi. Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan
elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi.
, dll).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Depkes RI (1993) sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :
1. Sifat Pengendapan
Yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Debu
yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu
yang terdapat di udara.
2. Permukaan Cenderung Selalu Bersih
Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya
selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai
upaya pengendalian debu di tempat kerja.
3. Sifat Penggumpalan
Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu
satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat
kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah
debu membentuk gumpalan.
4. Debu Listrik Statik
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang
berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya
penggumpalan.
5. Sifat Opsis
Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang
dapat terlihat dalam kamar gelap.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan sifat kimianya dibedakan atas 3 golongan yaitu (Depkes RI,
1993) :
1. Inert Dust
Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru-
paru. Efeknya sangat sedikit sekali pada penghirupan normal. Reaksi jaringan pada
paru-paru terhadap jenis debu ini adalah :
a. Susunan saluran nafas tetap utuh
b. Tidak terbentuk jaringan parut ( fibrosis ) di paru-paru
c. Reaksi jaringan potensial dapat pulih kembali dan tidak menyebabkan
gangguan paru-paru.
2. Profilferative Dust
Golongan debu ini di dalam paru-paru akan membentuk jaringan parut (Fibrosis).
Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu
fungsi paru. Contoh debu ini yaitu debu silika, kapur, asbes dan sebagainya.
3. Debu Asam atau Basa Kuat
Golongan debu yang tidak ditahan dalam paru namun dapat menimbulkan efek
iritasi. Efek yang ditimbulkan bisa efek keracunan secara umum misalnya debu
arsen dan efek alergi, khususnya golongan debu organik.
2.1.3 Klasifikasi Debu
Berdasarkan kemudahan mengendapnya, debu industri yang terdapat dalam
udara terbagi dua yaitu (Pudjiastuti, 2002) :
Universitas Sumatera Utara
1. Deposit Particulate Matter
Yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera
mengendap karena daya tarik bumi.
2. Suspended Particulate Matter
Yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Debu
dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang
berhubungan dengan debu yang dihasilkan proses produksinya.
Lestari (2007) membedakan klasifikasi debu berdasarkan ukuran debu dan
lokasi tempat partikulat dapat terdeposit. Klasifikasi ini dibedakan atas dua fraksi,
yaitu non inspirable fraction dan inspirable fraction. Inspirable fraction dapat di
subklasifikasikan menjadi lagi menjadi tiga bagian, yaitu fraksi nasofaring, fraksi
trakeobronkial dan fraksi respirable.
Gambar 2.1 Klasifikasi Debu
Sumber : Lestari, 2007
Debu Total
Fraksi Non Inspirable Fraksi Inspirable
Fraksi Nasofaring
Fraksi Trakeobronkial
Fraksi Respirable
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Ukuran Partikel Debu
Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.
Partikulat yang terdeposit pada bagian sistem pernafasan manusia sangat bergantung
kepada ukuran partikel tersebut. Partikulat dengan ukuran ≥ 100 μm terdeposit pada
bagian hidung dan disebut sebagai inhalable particle. Partikulat dengan ukuran > 4-
10 μm terdeposit pada bagian toraks dan disebut thoracic particle. Dan partikulat < 4
μm terdeposit pada bagian paru dan disebut sebagai partikel respirabel (particle
respirable) (Lestari, 2007).
Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle merupakan
indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya
hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel
debu di udara (Pope, 2003).
2.1.5 NAB Debu di Lingkungan Kerja
Untuk menghindari bahaya gangguan kesehatan pekerja akibat paparan debu,
pemerintah telah nenetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) debu lingkungan kerja.
NAB debu adalah standar konsentrasi debu yang dianjurkan di tempat kerja agar
tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan
kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan
NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan
penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya
terhadap kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi No. PER 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja adalah bahwa NAB kadar debu di udara
tidak boleh melebihi 3,0 mg/m³. NAB dari debu-debu yang hanya mengganggu
kenikmatan kerja adalah 10 mg/m³. Nilai Ambang Batas (NAB) Konsentrasi debu
pada udara ambien di Indonesia diatur juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, sebesar 10 mg/m3
2.1.6 Mekanisme Penimbunan Debu di dalam Paru
untuk waktu
pengukuran rata-rata 8 jam.
Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-
paru. Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran
0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia
yang berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran 5-10 mikron
yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu bernafas. Sedangkan yang
berukuran 3-5 mikron ditahan pada bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan
pergerakkan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas.
Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga
akhirnya dapat menurunkan fungsi paru (Suma’mur, 1998).
Untuk partikel 1- 3 mikron dapat masuk ke alveoli paru – paru dan partikel
0,1- 1 mikron tidak mudah hinggap di permukaan alveoli karena adanya gerakan
Universitas Sumatera Utara
Brown, tetapi akan membentur permukaan alveoli dan dapat tertimbun di alveoli.
Debu yang masuk alveoli dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan (fibrosis) dan
bila 10 % alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitasnya dalam menampung
volume udara. Kemampuan elastisitas alveoli yang berkurang akan menyebabkan
kemampuan untuk mengikat oksigen juga menurun. Fibrosis yang terjadi ini dapat
menurunkan kapasitas vital paru (Pudjiastuti, 2002).
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru-paru juga
semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli
paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per
millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru-paru.
Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan
dengan terjadinya pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).
Menurut Pope (2003) mekanisme pengendapan partikel debu di paru
berlangsung dengan berbagai cara sebagai berikut:
a. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi.
b. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan
yang kecil.
c. Brown Difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua
mikron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari
partikel oleh energi kinetik.
Universitas Sumatera Utara
d. Elektrostatic terjadi karena saluran napas dilapisi mukus, yang merupakan
konduktor yang baik secara elektrostatik.
e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel
berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana
terjadi pengendapan.
2.1.7 Debu di Lingkungan Pabrik Kelapa Sawit
Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit adalah limbah
cair dan limbah padat. Limbah padatnya berupa tandan buah kosong dan cangkang
sawit. Tandan buah kosong umumnya dapat dimanfaatkan kembali di lahan
perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan pupuk kompos. Prosesnya terlebih dahulu
dicacah sebelum diaplikasikan (dibuang) ke lahan. Sedangkan cangkang buah sawit
dapat dimanfaatkan kembali sebagai alternatif bahan bakar (alternative fuel oil) pada
boiler dan power generation.
Pada umumnya debu di lingkungan PKS bersumber dari abu sisa pembakaran
bahan bakar di boiler, ampas sisa pressing buah kelapa sawit , ampas tandan kosong,
kernel plant dan cangkang buah kelapa sawit serta debu hasil penangkapan pada unit
Dust Collector.
2.1.8 Pengaruh Debu terhadap Pernafasan
Debu terinhalasi akan memberikan efek terhadap saluran pernapasan. Efek
tersebut dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut (Robbin & Cotran, 2006) :
Universitas Sumatera Utara
1. Banyaknya debu yang tertahan. Keadaan ini menggambarkan konsentrasi awal,
lamanya pajanan dan keefektifan mekanisme untuk membersihkannya.
2. Ukuran, bentuk dan keterapungan partikel. Partikel yang berukuran 1-5 µm
cenderung mengendap di dalam alveoli dan merupakan partikel yang secara
patologik paling signifikan.
3. Reaktifitas fisika kimiawi dan kelarutan partikel. Partikel yang bersifat sangat larut
dapat menimbulkan toksisitas dengan cepat. Partikel lainnya mungkin tidak bisa
bisa dilarutkan dan dengan bertahan dalam keadaan tak larut, partikel tersebut
berpotensi untuk menimbulkan reaksi fibrotik yang kronik.
Dari hasil penelitian ukuran partikel debu dapat mencapai target organ sebagai
berikut (Depkes RI, 2001) :
1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan. Ini dapat
menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.
2. Partikel diameter 0,5–5,0 mikron terkumpul di paru – paru hingga alveoli. Ini dapat
menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.
3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam
darah.
Paparan debu yang sama baik jenis, ukuran partikel, konsentrasi maupun
lamanya paparan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian
ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin
ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Menurut Miller (1989) hal ini
Universitas Sumatera Utara
diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh
terhadap paparan partikel debu terinhalasi sebagai berikut (Mangkunegoro, 2003) :
1. Secara Mekanik
Pertahanan tubuh secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan
menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran
pernafasan. Penyaringan berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas
bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh
bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan
reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi.
Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi
berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel
debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.
2. Secara Kimia
Pertahanan tubuh secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara
fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan
silia yang “mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksifikasi
dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus
dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag
alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
Universitas Sumatera Utara
3. Secara Imunitas
Pertahanan tubuh secara imunitas adalah melalui proses biokimiawi yaitu humoral
dan seluler.
Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga
partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi
mekanisme rekasi atau perpindahan partikel.
Debu yang masuk ke dalam saluan napas menyebabkan timbulnya reaksi
mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport
mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila
kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan
dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau
mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran napas sehingga
resistensi jalan napas meningkat.
Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan
berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh
makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas
menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas
merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas
tadi sehingga terjadi lagi autolisis. Keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan
dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan
Universitas Sumatera Utara
jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini
terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat
fibrosis paru menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru yaitu
kelainan fungsi paru (Pope, 2003).
2.2 Sistem Pernafasan
2.2.1 Pengertian Pernafasan
Pernapasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 atau oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung CO2 atau karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh.
Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Pernafasan
dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2
1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.
Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih ada
udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan
ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini
penting karena menyediakan O
dari sel kembali ke
atmosfer. Proses ini dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu (Guyton & Hall, 1997) :
2
2. Difusi O
dalam alveoli untuk menghasilkan darah.
2 dan CO2
3. Pengangkutan O
antara alveoli dan darah.
2 dan CO2
4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.
dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-
sel.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Raharjo dkk (1994) dari aspek fisiologis ada dua macam pernafasan,
yaitu :
a. Pernafasan luar (external respiration) yaitu penyerapan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida dari paru-paru.
b. Pernafasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah pertukaran
gas pada metabolisme energi dalam sel.
2.2.2 Anatomi Pernafasan
Munurut Mukono (1997) anotomi saluran pernafasan terdiri dari:
1. Hidung
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa
bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran
pernafasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel
goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam
lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan
mukosa. Gerakan silia menuju pharing. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan
suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing,
dapat dikatakan hampir “bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dan
kelembabannya 100%.
Universitas Sumatera Utara
2. Pharing
Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi dalam
tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan
saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Normalnya bila
makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara otomatis
sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda-
benda asing (organisme) yang masuk ke hidung dan pharing.
3. Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan
disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran
pernafasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai melewati
glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan benda atau
sekret dari saluran pernafasan bagian bawah.
4. Trachea
Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid kartilago
laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trachea bercabang menjadi
bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri dari
6-10 cincin kartilago.
5. Bronkhus
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen lobus,
kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang
Universitas Sumatera Utara
terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah
sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos.
6. Bronchiolus
Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal,
merupakan struktur akhir paru-paru. Anderson (1999) mengatakan bahwa diluar
bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan
tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respirasi yang
mempunyai alveoli.
7. Paru-paru
Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total
seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut
surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terdapat
pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada
waktu respirasi (Davis dan Cornwell, 1991). Pembentukan surfaktan oleh sel
pembatas alveolus tergantung dari beberapa faktor antara lain pendewasaan sel
alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran
darah kedinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor penting dan berperan
sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada (Raharjoe dkk, 1994).
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru - paru adalah hidung, faring,
laring, trakhea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai
Universitas Sumatera Utara
bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Permukaan epitel diliputi
oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa (Ganong, 1998).
Anatomi sistem pernafasan manusia dapat ditunjukkan seperti gambar 2.2
dibawah ini :
Gambar 2.2 Anatomi Sistem Pernafasan Manusia
Sumber : Pearce, 1986 2.3 Volume dan Kapasitas Paru
2.3.1 Volume Paru
Selama pernapasan berlangsung volume paru selalu berubah-ubah, dimana
mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi. Dalam keadaan
normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir tanpa disadari
(Suma’mur, 1998). Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Volume Tidal (Tidal Volume = TV) adalah volume udara yang dihirup atau yang
dihembuskan pada satu siklus pernapasan selama pernafasan biasa. Besarnya TV
orang dewasa sebanyak 500 ml.
b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV) adalah volume
udara yang masih dapat dihirup ke dalam paru sesudah inspirasi biasa. Besarnya
IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml.
c. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume = ERV) adalah
volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa.
Besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml.
d. Volume Residu (Residual Volume = RV) adalah udara yang masih tersisa di
dalam paru sesudah ekspirasi maksimal.
2.3.2 Kapasitas Paru
Kapasitas paru merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih
(Suma’mur,1998). Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Kapasitas Inspirasi
Kapasitas Inspirasi (Inspiration Capacity/IC) adalah jumlah udara yang dapat
dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan
paru sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 ml). Nilai kapasitas ini merupakan
hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (TV) dengan volume cadangan inspirasi
(IRV).
Universitas Sumatera Utara
b. Kapasitas Residu Fungsional
Kapasitas Residu Fungsional (Fungtional Residual Capacity/FRC) adalah jumlah
udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml).
Nilai kapasitas ini adalah hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV)
ditambah volume cadangan ekspirasi (ERV).
c. Kapasitas Paru Total
Kapasitas paru total (Total Lung Capacity /TLC) adalah volume maksimum di
mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira
5800 ml).
d. Kapasitas Vital
Kapasitas vital paru (Vital Capacity/VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasi
setelah inspirasi secara maksimal. Besarnya adalah 4800 ml. Kapasitas vital paru-
paru merupakan hasil penjumlahan dari volume tidal, volume cadangan inspirasi
dan volume cadangan ekspirasi, seharusnya 80 % TLC. Berdasarkan pada tinggi
badan seseorang dapat ditaksir besar kapasitas vitalnya. Orang yang semakin tinggi
cenderung mempunyai kapasitas vital paru-paru yang lebih besar dari orang yang
tinggi badannya rendah. Pada pria kapasitas vital prediksi = (27,63-0,112 U)TB. U
merupakan umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam cm. Persentase
kapasitas vital dapat diukur dengan membandingkan kapasitas vital hasil
pengukuran dengan spirometer terhadap kapasitas vital prediksi dan dinyatakan
dalam satuan persen.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Kurva Volume dan Kapasitas Paru
2.3.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru
a. Karakteristik Individu
Kelainan paru karena adanya deposit debu dalam jaringan paru disebut
pneumokoniosis. Menurut definisi dari International Labor Organization (ILO)
pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru
terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai
10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru
akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam
jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009).
Nilai kapasitas vital paru pada dasarnya dipengaruhi oleh bentuk anatomi
tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernapasan serta
pengembangan paru dan otot dada (compliance paru). Penurunan kapasitas paru dapat
disebabkan oleh kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada penyakit poliomyelitis
Universitas Sumatera Utara
atau cedera saraf spinal, berkurangnya compliance paru, misalnya pada penderita
asma kronik, tuberkulosa, bronchitis kronik, kanker paru dan pleuritis fibrosa dan
pada penderita penyakit bendungan paru, misalnya pada payah jantung kiri (Guyton,
1994).
Daya tahan kardiorespirasi, yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh
darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk
mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme
tubuh, dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor antara lain: keturunan/genetik, usia,
jenis kelamin, masa kerja, waktu kerja, kebiasaan merokok, riwayat penyakit
gangguan pernafasan, status gizi, kebiasaan berolah raga/aktivitas fisik dan
penggunaan alat pelindung diri berupa masker (Yunus, 1997; Guyton & Hall, 1996;
Harrington, 2005; Murray & Lopez, 2006; Suma’mur, 1994; Raharjoe dkk, 1994).
Berikut dijabarkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai kapasitas vital paru
sebagai berikut :
1. Keturunan/Genetik
Dari penelitian diketahui bahwa 93,4% volume O2
2. Umur
max ditentukan oleh faktor
genetik. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan latihan yang optimal (Yunus,
1997).
Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis
sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai
Universitas Sumatera Utara
pada fase anak sampai kira – kira umur 22 – 24 tahun terjadi pertumbuhan paru
sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan
pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner)
kemudian menurun secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah
mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (FVC = Force Vital
Capacity/Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Force Expiratory Volum/Volume
Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml
tiap pertambahan satu tahun umur individu (Pearce, 1986).
Kapasitas paru orang berumur > 30 tahun rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml,
dan pada mereka yang berusia > 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya
umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya
gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja (Yunus, 2006).
3. Jenis Kelamin
Nilai kapasitas vital paru pria dan wanita sampai usia pubertas tidak berbeda,
namun setelah itu dewasa laki-laki lebih tinggi 20-25% daripada wanita dewasa.
Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan otot pria dan wanita
(Yunus, 1997).
4. Status Gizi
Indeks masa tubuh dapat digunakan sebagai indikator kondisi status gizi
pekerja. Status gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang.
Ketidakseimbangan gizi dalam tubuh akan mengakibatkan menurunkan imunitas
Universitas Sumatera Utara
dan anti bodi sehingga seseorang mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare
dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap
benda asing seperti debu yang masuk ke dalam tubuh (Murray & Lopez, 2006).
Keadaan kesehatan berdasarkan kecukupan gizi umumnya dapat ditentukan
dengan Indeks Masa Tubuh/IMT atau Body Mass Index/BMI. Menurut WHO
ditetapkan tabel 2.1 seperti dibawah ini.
Tabel 2.1 Ambang Batas IMT
Category BMI Risk of Co-Morbidities
Underweight < 18.5
Normal 18.5 – 24.9 Average
Overwieght 25.0 – 29.9 Increased
Obese I 30.0 – 34.9 Moderate
Obese II 35.0 – 39.9 Severe
Obese III ≥ 40 Very Severe
Sumber : WHO, 2003
( Berat Badan) kg
IMT = (Tinggi Badan) 2
5. Kebiasan Merokok
m
Raharjoe dkk (1994) mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat
menimbulkan gangguan ventilasi paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi
mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi
efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan
media yang baik tumbuhnya bakteri.
Universitas Sumatera Utara
Yunus (1997) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit
bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok bila
bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut.
Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,721 ml untuk non
perokok dan 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif.
Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pengaruh debu yang hanya sepertiga
dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2009).
Kebiasaan merokok menurut Jama (1994) telah membagi menjadi 3 (tiga)
kategori perokok yaitu sebagai berikut :
a. Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6 batang/hari
b. Perokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12 batang/hari
c. Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12 batang/hari
6. Kebiasaan Berolah Raga
Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik. Gangguan
faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang
teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru (Yunus, 1997). Secara umum
olah raga akan meningkatkan total kapasitas paru. Pada banyak individu yang
melakukan olah raga secara teratur maka kapasitas vital paru akan meningkat
meskipun hanya sedikit, tetapi pada saat yang bersamaan residual volume atau
jumlah udara yang tidak dapat berpindah atau keluar dari paru akan menurun.
Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas vital paru, olah raga yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
hendaknya memperhatikan empat hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi,
durasi, dan intensitasnya (Wilmore, 1994).
7. Waktu Kerja
Menurut Harrington (2005), lama bekerja adalah durasi waktu untuk
melakukan suatu kegiatan/pekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan
jam. Budiono (2003) menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar
risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya (time
exposure).
Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu
dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu
bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per
minggu (UU Nomor 13, 2003).
8. Masa Kerja
Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu
tempat. Menurut Suma’mur (1994) semakin lama seseorang dalam bekerja maka
semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja
tersebut.
Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin
lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan
fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi
Universitas Sumatera Utara
dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa
kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada
pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).
9. Riwayat Penyakit Gangguan Pernafasan
Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru
seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong,
2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru,
penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot
pernapasan (Price & Wilson, 1995).
Mukono (1997) mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan
antara Force Vital Capacity (FVC) dan Vital Capacity (VC), sedangkan pada
keadaan kelainan obstruksi terdapat berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity
(VC) merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau
kekakuan pergerakan dinding toraks. Vital Capacity (VC) yang menurun
merupakan kekuatan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan
pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan
penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan
sedikit atau mungkin normal.
10. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari
pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat
Universitas Sumatera Utara
kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan
uap logam), pencemaran oleh gas atau uap. Alat pelindung pernafasan adalah
bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan
terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat
bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting,
mengingat 90% kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia
beracun atau korosi lewat saluran pernafasan (Milos, 1991).
Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup
wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan
apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi
dan berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut.
Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Milos, 1991) :
a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara
Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik,
respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.
b. Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara
Suplai udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat
pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus).
Universitas Sumatera Utara
c. Respirator dengan Suplai Oksigen
Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas
pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri
berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat
terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-
partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari
kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat
terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai
kapasitas vital paru dapat diminimalisir.
Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung
debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran
pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar
debunya tinggi (Suma’mur, 1996).
b. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja
Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya
pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban.
Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Ventilasi
Ventilasi industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara
dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses
produksi dan kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk
menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang
tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja.
Prinsip sistem ventilasi yang digunakan dalam suatu industri adalah membuat
prinsip suatu proses pertukaran udara di dalam ruang kerja. Pertukaran udara
dan mengganti udara segar yang dilaksanakan secara bersama-sama. Jika tidak
ada sistem pertukaran udara, kontaminan yang ada akan bergerak perlahan di
dalam udara ruang kerja. Sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar
sumber dan di daerah sekitar pernafasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi
(Khumaidah, 2009).
Pertukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan
peralatan mekanik. Pertukaran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan,
dimana udara bergerak dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah
yang tekanannya rendah. Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi
ruangan panas. Dengan kondisi panas udara akan memuai dan naik lalu keluar
melalui vena di atap. Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar
yang masuk melalui lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang
terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan. Pertukaran udara secara mekanik
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan cara memasang sistem pengeluaran udara (exchaust system)
dan pemasukan udara (supply system) dengan menggunakan fan. Exhaust
system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta kontaminan yang ada
sekitar ruang kerja, biasanya ditempatkan disekitar ruang kerja atau dekat
dengan sumber dimana kontaminan dikeluarkan. Supply system dipasang untuk
memasukkan udara ke dalam ruangan, umumnya digunakan untuk menurunkan
tingkat konsentrasi kontaminan di dalam lingkungan kerja (Khumaidah, 2009).
2. Suhu
Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja
adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga
kerja yaitu berkisar antara 18 0C sampai 31
0C. Suhu yang rendah dapat
menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar,
sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu
polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara
sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang
menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi
pekerja. Bila suhu udara > 31 0C perlu menggunakan alat penata udara seperti
air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar < 18 0
C perlu
menggunakan alat pemanas ruangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13/MEN/X/2011).
Universitas Sumatera Utara
3. Kelembaban
Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang
terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara
berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu
menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh
kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Udara yang lembab
menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di
udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel
tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja
secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara
yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan
selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari
material bangunan (Suma’mur, 1996). Bila kelembaban udara ruang kerja > 95
% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja
<65 % perlu menggunakan humidifier (Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).
2.3.4 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru
Menurut Pinzon (1999), kapasitas vital paru prediksi untuk pria adalah (27,63-
0,112 U) TB, sementara pada wanita adalah (21,78-0,101 U) TB dimana U adalah
umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam centimeter.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koesyanto (2005) nilai standar kapasitas vital paru dibagi kedalam
perbedaan jenis kelamin adalah seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Usia
(Tahun)
Nilai Standar Kapasitas
Vital Paru (ml)
Usia
(Tahun)
Nilai Standar Kapasitas
Vital Paru (ml)
Laki-laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
17 4100 2750 27 4180 2740
18 4200 2800 28 4150 2720
19 4300 2800 29 4120 2710
20 4320 2800 30 4100 2700
21 4320 2800 31-35 3990 2640
22 4300 2800 36-40 3800 2520
23 4280 2790 41-45 3600 2390
24 4250 2780 46-50 3410 2250
25 4220 2770 51-55 3240 2160
26 4200 2760 56-60 3100 2060
Sumber : Koesyanto (2005)
Berdasarkan American Thoracic Society (1995) nilai prediksi kapasitas vital
paru dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan tinggi badan. Adapun nilai prediksi
kapasitas vital paru (estimated vital capacity) untuk pria adalah seperti terdapat pada
tabel 2.3 lampiran 1.
2.3.5 Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru
Pemeriksaan kapasitas vital paru adalah suatu pemeriksaan yang sering
digunakan secara klinik sebagai indeks fungsi paru (Ganong, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan
spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan
praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif,
akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal
(Yunus, 2006).
Cara kerja spirometer adalah dengan cara menarik nafas dan menghembuskan
nafas) dalam keadaan hidung ditutup, sementara itu drum pencatat bergerak sesuai
jarum jam sehingga pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi
udara.
Dengan spirometri ini dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi
(Price and Wilson, 1992) :
1. Vital Capacity (VC), adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah
inspirasi maksimal
2. Force Vital Capacity (FVC), adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada
ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin.
3. Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1), adalah volume udara yang dapat
diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC .
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru dengan
menggunakan Spirometer, maka kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain
(Aurorina, 2003) :
Universitas Sumatera Utara
1. Normal bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC ≥ 80%
2. Gangguan restriksi bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC < 80%
3. Gangguan obstruktif bila FEV1/FVC < 75%, FVC ≥ 80% dan FEV1 < 95%
prediksi.
4. Gangguan campuran (restriksi dan obstruktif) bila FEV1/FVC < 75% dan FVC <
80%.
Hasil pengukuran kapasitas vital paru tersebut dapat diklasifikasikan seperti
pada gambar 2.4 dibawah ini.
Gambar 2.4 Klasifikasi Penilaian Faal Paru
Sumber : American Thoracic Society, 1995 Menurut Alsagaf (2004) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV) adalah
besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi
orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat
mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai FVC. Fase detik pertama ini
dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan
FEV1/FVC
Normal
75%
Obstruksi
0 80% FVC
Restriksi
ObstuksiRestriksi
Universitas Sumatera Utara
didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak
didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila
FEV/FVC lebih dari 75% berarti normal. Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik
atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital
(kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV1/FVC kurang 80%.
2.3.6 Penyakit Gangguan Faal Paru
Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami oleh paru-
paru yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus, bakteri, debu maupun
partikel lainnya. Penyakit-penyakit pernapasan yang diklasifikasikan karena uji
spirometri ada 2 macam, yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan
ventilasi obstruktif dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ventilasi restriktif
(Guyton, 1994).
1. Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun
Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Suyono, 1995).
Menurut Guyton (1994), penyakit-penyakit yang terrmasuk PPOM yaitu:
a. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam
Universitas Sumatera Utara
setahun. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang terdapat
pada daerah industri.
b. Emfisema
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas paru
dan luas permukaan Alveolus. Resiko primer untuk emfisema adalah merokok.
Pajanan berulang ke asap rokok (perokok pasif) juga dapat menyebabkan
emfisema. Selain itu terdapat suatu suatu bentuk emfisema familial yang timbul
pada orang-orang yang tidak terpajan asap rokok.
c. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-
cabang takeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan
reversibel akibat bronkospasme.
d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis yang menyebabkan atau
mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk,
demam, dan dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau.
2. Penyakit Pernapasan Restriktif
Menurut Suyono (1995), ada beberapa macam penyakit pernapasan restriktif,
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Sarkoidosis
Penyakit ini relatif sering ditemukan yang ditandai dengan grunuloma non-
kaseosa pada jaringan manapun. Paru adalah tempat yang biasa terkena, secara
karakteristik granuloma tersebar difus (menunjukkan gambaran retikuloduner
pada foto sinar X) dan tidak terlihat secara makroskopik kecuali fokus
granuloma yang berpadu. Lesi paru condong untuk penyembuh sehingga
mungkin terlihat sebagai parut secara mikroskopik.
b. Fibrosis Paru Idiopatik
Kelainan yang ditandai oleh fibrosis interstinum paru progresif yang
menyebabkan hipoksia. Penyakit ini progresif pada kebanyakan kasus,
berakibat insufisiensi paru, kor pulmonaler dan payah jantung.
c. Pneumokoniosis
Pneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi
debu organik dan anorganik tertentu. Penyakit ini sering dikaitkan dengan
penyakit akibat kerja. Bahan-bahan lain yang dapat menyebabkan
pneumokoniosis antara lain silika, batu bara, besi, asbes. Pneumokoniosis
hanya timbul setelah terpajan bertahun-tahun.
d. Pneumonitis Hipersensitivitas
Kelainan karena faktor imunologik ini disebabkan oleh debu atau antigen
terinhalasi, misalnya spora pada jerami, protein bulu dan bakteri termofilik.
Universitas Sumatera Utara
e. Eosinofilia Paru
Bermacam-macam kondisi klinikopatologik yang ditandai oleh sebutan
(infiltrasi) eosinofil dalam interstinum paru dan/atau ruang alveolus, meliputi
eosinofilia paru sederhana, eosinofilia tropikal, eosinofilia paru kronik
sekunder, pneumonia eosinofilia kronik idiopatik.
f. Bronkiolitis Obliterans atau Pneumonia Terorganisasi
Respons yang terjadi terhadap infeksi atau jejas radang pada paru, secara klinis
terkait dengan batuk, sesak napas, dan sering dengan infeksi paru yang baru,
hubungan etiologi lain adalah toksin terinhalasi, obat, dan penyakit vaskuler-
kolagen.
g. Hemoragi Paru Difus
Komplikasi yang serius pada beberapa penyakit paru interstisial, terutama
yang disebut sindrom paru hemoragik, termasuk dalam penyakit ini adalah
sindrom goodpasture, hemosiderosis pulmonal idiopatik dan pendarahan yang
berkaiatan dengan vaskulitis.
h. Proteinosis Alveolar Paru
Penyakit ini dapat terjadi setelah pemaparan debu dan bahan kimia yang
menyebabkan iritasi dan pada penderita yang tertekan kemampuan
imunologiknya. Bersifat progresif pada kebanyakan penderita, tetapi beberapa
penderita dapat mengalami perjalanan-perjalanan penyakit yang ringan dan
akhirnya terjadi resolosilesi.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Landasan Teori
Analisis Pengaruh karakteristik pekerja dan paparan debu serta karakteristik
fisik lingkungan kerja terhadap kapasitas vital paru pekerja di PT. Perkebunan
Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2013
dilakukan mengacu kepada Teori Simpul (Achmadi, 2008) yaitu proses kejadian
penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul sebagai berikut :
1. Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit yaitu risk agent berupa adanya bahan
pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari debu sawit hasil pengolahan
Tandan Buah Segar (TBS).
2. Simpul 2 merupakan media transmisi penyakit yaitu udara lingkungan kerja yang
telah tercemar dengan debu, suhu dan kelembaban udara lingkungan kerja.
3. Simpul 3 adalah perilaku pemajanan (host) yaitu dalam penelitian ini adalah
karakteristik pekerja.
4. Simpul 4 adalah dampak kesehatan bagi manusia yaitu pekerja yang akan dinilai
fungsi faal parunya dengan indikator kapasitas vital paru.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum kerangka teori dapat disampaikan seperti dibawah ini.
Gambar 2.5 Kerangka Teori
Kapasitas Vital Paru Pekerja
Karakteristik Pekerja : Umur Masa kerja Waktu kerja Penggunaan APD Kebiasaan merokok Kebiasaan berolah raga
Proses Pengolahan Kelapa Sawit
Bahan Baku
Proses Produksi
Hasil Produksi
Limbah
Kondisi Fisik Pekerja Udara Lingkungan Kerja
Debu : Sifat debu Kadar debu Kompisi kimia Ukuran partikel
Normal atau terjadi gangguan
Simpul 1
Simpul 2
Kadar Debu di Lingkungan Kerja
Paparan Debu ke Saluran Pernafasan
Anatomi Paru Sistem pertahanan tubuh Status Gizi Penyakit gangguan
pernafasan Jenis Kelamin Faktor Genetik
Simpul 4
Simpul 3 Kondisi fisik lingkungan Kerja : Suhu Kelembaban
Universitas Sumatera Utara