7
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1 Koefisien Kekasaran pada Kecepatan Aliran Penampang Saluran.
Kecepatan aliran melalui saluran terbuka dapat mengalami perlawanan aliran. Perlawanan
aliran ini dipengaruhi oleh koefisien kekasaran dasar, kemiringan energi, kedalaman aliran
dan ukuran penampang saluran (Chow, 1959).
Perlawanan aliran yang terjadi ditentukan dengan mengetahui besarnya koefisien
kekasaran dasar pada setiap jenis material pembentuk dasar (Chow, 1959, Adili, 2016).
Semakin besar butiran penyusun permukaan pada saluran, maka semakin besar nilai koefisien
kekasaran dasar (Chow, 1959).
2.1.1 Kekasaran Dasar (Bed Roughness).
Kekasaran dasar (ks) atau kekasaran butiran ekuivalen sebanding dengan diameter butiran
(Nikuradse,1933). Konsep ini awalnya diperkenalkan (Nikuradse,1933) didasarkan pada
situasi dasar datar yang terdiri dari bola seragam. Liu (2001) menyatakan, diameter seperti
bola dinamakan dengan tinggi kekasaran dasar (k� = diameter seperti bola).
Permukaan dasar saluran senantiasa menunjukkan nilai kekasaran dasar (Pramono,
2005; Ansari, 2011). Nilai kekasaran dasar membuat pusaran pada zona pemisah yang
mempengaruhi kecepatan aliran di dekat dasar (Liu, 2001). Pusaran yang terbentuk di dekat
dasar saluran akan tenggelam dalam pola turbulensi aliran (Karim, 1999). Ukuran zona
pemisahan aliran merupakan besanya kehilangan energi tarik bentuk (form drag). Secara
umum, semakin tinggi dan curam bentuk dasar maka semakin besar zona pemisahan aliran
dan tarik bentuknya (Van der Mark, 2009).
Konsep adanya sub lapis laminar di dalam lapis batas turbulen, digunakan untuk
menjelaskan kekasaran permukaan (Triadmojo, 1992), seperti Gambar 21.
Gambar 21, menunjukan keadaan kekasaran permukaan dasar pada beberapa kondisi
hidraulik aliran. Tinggi ketidakteraturan permukaan dasar akan membentuk tinggi bentuk
dasar (). Bila tinggi bentuk dasar lebih kecil dari tebal sub lapisan laminer, maka
Gambar 21. Sketsa Kekasaran Permukaan (a) Hidraulik halus, (b) Hidraulik kasar (Triadmojo, 1992)
a b
8
ketidakteraturan permukaan menjadi sangat kecil. Sehingga tonjolan tengelam dalam
sublapisan laminar Gambar 21a. Kekasaran dasar permukaan pada kondisi ini jauh lebih
kecil dibandingkan tebal lapisan laminer (��). Dalam hal ini kecepatan aliran dipengaruhi
oleh kekentalan cairan. Kekasaran dasar pada permukaan dinamakan hidraulik halus
(Triadmojo, 1992). Bila tinggi bentuk dasar lebih besar dari tinggi bentuk dasar kritis
(> ��),maka tonjolan akan memiliki besar dan kecuraman sudut melebihi tebal lapisan
laminar sehingga akan mempengaruhi aliran di saluran. Kekasaran pada permukaan dasar
dinamakan hidraulik kasar Gambar 21b (Triadmojo, 1992).
Kondisi aliran transisi terjadi diantara hidraulik halus dan kasar. Aliran transisi ini
dipengaruhi oleh kekentalan cairan dan kekasaran dasar saluran.
2.1.2. Kekasaran Dasar Berkaitan dengan Butiran (Grain Roughness)
Kekasaran dasar berkaitan dengan butiran (k��) disebabkan adanya partikel yang bersaltasi
pada sedimen dasar (Wiberg and Smith, 1989; Wiberg and Rubin, 1989; Griffiths, 1989).
Kekasaran dasar berkaitan butiran dikaitkan dengan skin drag (Bennett, 1995). Kekasaran
berkaitan butiran ini biasanya hanya memberikan kontribusi sedikit pada total kekasaran dasar
(k�).
Kekasaran dasar berkaitan butiran dapat digunakan sebagai nilai ukuran kekasaran
ekivalen minimum di bidang dasar. Liu (2001) mengusulkan nilai k�� pada dasar pasir rata
(flat sand bed) k�� = (1 − 10)d��. Kekasaran berkaitan butiran dasar umumnya pada material
dasar saluran tidak seragam (Nuryanto, 2002). Parameter kekasaran butiran dasar berbanding
lurus dengan ukuran material dasar saluran. Beberapa peneliti mengkaji kekasaran dasar
berkaitan dengan butiran, diantaranya ��� = 1,25���(Ackers and White, 1973), ��
� =
2���(Kamphuis, 1974), ��� = 3��� (Van Rijn, 1993), ��
� = 2���(Yang and Lim, 2003)
dalam (Pramono, 2005).
2.1.3. Kekasaran Dasar Berkaitan Bentuk (Form Roughness)
Geometri bentuk konfigurasi dasar disebabkan oleh terakumulasinya ukuran kekasaran dasar
ekivalen (Pramono, 2005).
Variasi kekasaran dikarenakan (����) keberadaan konfigurasi dasar, setara dengan
tinggi bentuk (k��� ≈ ∆) (Bennett, 1995). Banyak penelitian menunjukkan bahwa, panjang (λ)
dan kecuraman bentuk konfigurasi dasar (∆/λ) memiliki pengaruh pada kekasaran bentuk.
Hubungan tinggi bentuk dasar, ditunjukan dalam Persamaan 2.1:
k��� = p
∆�
� ……….………..…….……………..(2.1)
9
dimana ∆ = tinggi bentuk dasar, λ = panjang bentuk dasar dan p = konstanta. Nilai � yang
ada dalam literatur berada pada kisaran 828 (Grant and Madsen, 1982; Nielsen, 1983; Van
Rijn 1984 & 1993; Wikramanayake, 1993).
2.2 Koefisien Kekasaran Manning
Kekasaran dasar butiran merupakan keadaan tidak rata pada permukaan dasar saluran (Chow,
1959; Pramono, 2005; Ansari, 2011; Nohani, 2015; Adili, 2016).
Kekasaran dasar pada aliran seragam diantaranya, nilai koefisien kekasaran Manning
(Chow, 1959; Gani and Siddik, 2010). Rumusan nilai koefisien kekasaran Manning pada
mulanya membandingkan dan mengevaluasi tujuh rumus yang paling terkenal. Rumusan
tersebut adalah Du Buat (1786), Eyelwein (1814), Weisbach (1845), St. Venant (1851),
Neville (1860), Darcy and Bazin (1865), serta Ganguillet and Kutter (1869) dalam Fadi
Khoury (2007).
Manning mengembangkan rumusan kecepatan aliran pada tahun 1885. Ia melakukan
penelitian berdasarkan data Bazin, yang selanjutnya dicocokkan dengan 170 percobaan.
Beberapa buku akhir abad ke19, merumuskan nilai koefisien kekasaran Manning
sebagaimana Persamaan 2.2 :
n =�
�R�/�S�
�/�..………..……………………………(2.2)
dimana :
V = kecepatan ratarata aliran (m/detik)
R = jarijari hidraulik (m)
n = koefisien kekasaran Manning
S� = kemiringan energi
Prosedur untuk memilih nilai koefisien kekasaran Manning (n) merupakan penilaian
subjektif dan membutuhkan keterampilan dalam pengembangan melalui pengalaman (Ghani
et al., 2007). Pengembangan metode perkiraan nilai koefisien kekasaran Manning terus
dilakukan dan masih sangat diperlukan (Bilgil and Altun, 2008).
Penelitian terdahulu, yang mengkaji mengenai nilai koefisien kekasaran Manning,
disajikan dalam bentuk tabelaris sebagaimana Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penelitian untuk Memprediksi Nilai Koefisien Kekasaran Manning
Peneliti Rumusan Uraian
1. Strickler (1923) n = 0,047d501/6 (m �/�) n akibat butiran
2 Keulegan (1938) n = 0,039d���/� (m �/�) n akibat butiran
10
Tabel 2.1 Penelitian untuk Memprediksi Nilai Koefisien Kekasaran Manning (lanjutan)
Peneliti Rumusan Uraian
3 MeyerPeterMuller
(1948)
n = 0,038d���/� (m �/�) n akibat butiran
4 Henderson(1966) n = 0,031d���/� (m �/�) n akibat butiran
5 Raudkidvi (1976) n = 0,042d���/� (m �/�) n akibat butiran
6 Subramanya(1982) n = 0,047d���/� (m �/�) n akibat butiran
7 Wong and Parker,
(2006)
n = 0,043d���/� (m �/�) n akibat butiran
8 Limerinos (1970) �
��/�=
�,����
�,����,�����
����
Penggunaan rumusan untuk aplikasi di lapangan. perlawanan aliran yang digunakan hanya jarijari hidraulik dan ukuran diameter sedimen
9 Griffiths (1981) n =
�,�����/�
�,����,�����(�/���)
Penggunaan rumusan untuk aplikasi di lapangan
10 Brownlie (1983) Lower regime
n = �1,6940�R
d����,����
S�,����σ�,����� 0,034d��1/6
Upper regime
n = �1,0123�R
d����,����
S�,����σ�,����� 0,034d��1/6
Rumusan koefisien kekasaran Manning dengan memasukan unsur butiran dan perlawanan aliran; Belum memasukan bentuk dasar
11 Jarrett (1985) n = 0,32S�,��R��,�� Penggunaan rumusan untuk aplikasi di lapangan dengan kemiringan yang besar
12 Karim and Kennedy
(1990) n = 0,037d��
�,��� ��
����,���
untuk 0,15 < ��∗
� �� < 3,64
Penggunaan factor gesek DarcyWeisbach, menghasilkan nilai koefisien kekasaran Manning agak besar
13 Ghani et al. (2007) n = 5x10�� �
R
d����
− 7x10�� �R
d��� + 0,0622
Rumusan koefisien kekasaran Manning dengan memasukan unsur butiran dan perlawanan aliran; Belum memasukan bentuk dasar
14 Moramarco and Singh (2010), Mirauda and Greco (2014)
n =R�/�/�g
Φ(M).1k[ln(koefisien) − konstanta]
Penggunaan rumusan untuk aplikasi di lapangan dengan metode entropi.
11
Tabel 2.1 Penelitian untuk Memprediksi Nilai Koefisien Kekasaran Manning (lanjutan)
Peneliti Rumusan Uraian
15 Schnepper and Chow, 1954) n =
1
VR�/�S�
�/� Nilai koefisien kekasaran Manning dibuatlah suatu daftar nilai (n tabel).
16 Babai (2008) dan Nohani (2015) n =
1
VR�/�S�
�/� meneliti koefisiein kekasaran Manning di Sungai alamiah. Mereka embandingkan dan memperkirakan menggunakan metode eksperimental dan langsung di lapangan
17 Adili (2016) n =
1
VR�/�S�
�/� Meneliti mengenai pengaruh kekasaran Manning pada bilangan Froude di aliran sub kritis. Hasil penelitian menunjukan hubungan bilangan Froude dan kekasaran koefisien Manning (n) dalam aliran subkritis menghasilkan hubungan terbalik
18 Mitra and Saikia (2016) n =
1
VR�/�S�
�/� Penelitian dilakukan dengan berbagai debit aliran yang berbeda di laboratorium. Hasil penelitian menunjukan, koefisien kekasaran Darcy selalu lebih besar dibandingkan koefisien kekasaran Manning
19 Bajorunas (1952) n�� = ϕ�����
�,������;
�
�. R��
�/�S�/�
n� = 0,034d501/6 (m �/�)
Tidak secara detail berkaitan dengan bentuk dasar saluran, koefisien kekasaran Manning hanya berfungsi sebagai paremeter sedimen
20 Talebbeydokhti et al. (2006)
n�� = 0,0269 �∆
�� + 0,0026
n�� = n− n′ (kondisi dunes)
n� = 0,047d501/6 (m �/�)
n =�
�R�/�S�
�/�
Masih menggunakan rumusan Manning, sehingga secara tidak langsung mereferensi n. Manning. Koefisien kekasaran Manning akibat bentuk perlu dikaji secara analitis
2.2.1 Koefisien Kekasaran Manning berdasarkan pada Metode Pemisahan Linear
Metode pemisahan linear telah diakui secara luas oleh para ahli hidraulik sebagai suatu
prinsip dan pendekatan penjumlahan komponen perlawanan (Yang and Tan, 2008).
Pemisahan linear dimaksudkan untuk memisahkan fungsi menjadi dua atau lebih, bagian yang
merupakan satu fungsi (Yang and Tan, 2008).
12
Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et al. (2006) telah meneliti mengenai
pemisahan pada nilai koefisien kekasaran Manning. Rumusan pemisahan linaer, sebagaimana
yang ditunjukan pada Persamaan 2.3:
n = n� +n��..............................................................(2.3)
dimana :
n� = perlawanan aliran berhubungan dengan butiran dasar.
n��= perlawanan aliran berhubungan dengan perlawanan bentuk.
2.2.2 Koefisien Kekasaran Manning akibat Perlawanan Bentuk
Interaksi kompleks antara aliran dan angkutan sedimen menyebabkan butiran material akan
membentuk struktur dasar saluran atau bentuk konfigurasi dasar dengan berbagai kekasaran
dasar (Pramono, 2004; Van der Mark, 2009). Pada aliran subkritis, dua jenis yang paling
umum dari bentuk dasar adalah riak (ripples) dan bukit pasir (dunes). Bentuk dasar ini terjadi
sebagai deformasi periodik dasar pada panjang (λ) dan tinggi (Δ).
Gambaran bentuk dasar ditandai dengan permukaan stoss face lembut dan curam lee
face (Zhang, 1999). Elevasi permukaan dasar stoss face naik, disebabkan percepatan aliran
dan penurunan tekanan aliran. Pada sisi bagian hilir puncak bentuk dasar, kecepatan aliran
berkurang, dan meningkatkan tekanan aliran (Lin, 2011). Perbedaan tinggi tekanan antara
aliran hulu dan hilir dalam bentuk dasar akan menghasilkan kekasaran dasar akibat bentuk
tarik (form drag). Terjadinya bentuk tarik, ketika pemisahan aliran terjadi di belakang bentuk
dasar. Variasi tekanan atas bentuk dasar yang jauh lebih besar dari endapan partikel tunggal
(Van Rijn, 1990; Van der Mark, 2009). Integrasi komponen memanjang pada tekanan yang
dihasilkan bentuk dasar dalam form drag, disebut perlawanan bentuk (McLean et al., 1999).
Meningkatnya tekanan dalam arah aliran hilir puncak bentuk dasar disebut dengan
gradien tekanan balik (Van der Mark, 2009). Jika gradien tekanan berlawanan cukup besar,
dapat menyebabkan sisi lee face bentuk dasar menjadi begitu curam. Permukaan aliran bisa
tidak mengikuti permukaan dasar lagi dan terjadi pemisahan aliran. Pemisahan aliran
mengakibatkan daerah dengan aliran sirkulasi (Hoerner, 1965). Pada sisi lee face yang lembut
(bentuk dasar ramping), kemiringan tekanan akan berlawanan dan mungkin terlalu kecil. Hal
ini mengakibatkan aliran dapat terpisahkan. Sebaliknya, hal ini dapat membentuk komponen
drag form. Besarnya aliran zona pemisahan merupakan ukuran nilai kehilangan energi pada
form drag (Van der Mark, 2009).
Secara umum, semakin tinggi dan curam bentuk dasar, maka semakin besar aliran
zona pemisahan dan perlawann bentuk (Van der Mark, 2009). Perlawanan bentuk tidak hanya
13
merupakan fungsi tinggi dan kecuraman bentuk dasar (Δ λ⁄ ) (perbandingan antara tinggi dan
panjang rata–rata bentuk dasar), tetapi juga merupakan fungsi bilangan Froude (Garde, 2006).
Selain itu, bentuk dasar juga berpengaruh pada ukuran aliran zona pemisahan (Parteli et al.,
2006). Ukuran dari aliran zona pemisahan juga dipengaruhi oleh aturan jarak antara bentuk
dasar berikutnya (Best, 2005; Coleman et al., 2005).
Bentuk dasar pada dasar aluvial sangat tidak teratur, baik dalam ukuran, bentuk, dan
aturan jarak (Nordin, 1971). Dengan demikian, variabilitas geometri bentuk dasar juga
berpengaruh terhadap form drag (Van der Mark, 2009). Kondisi aliran stabil dan seragam,
Persamaan empiris geometri bentuk dasar yang ada pada perlawanan dasar, tidak
menghasilkan ketelitian dalam memprediksi perlawanan dasar. Hal ini dikarenakan hasil yang
diperoleh mempunyai sebaran besar (Wilbers, 2004).
Perkiraan nilai perlawanan aliran karena perlawanan bentuk (n��) dan adanya spesifik
stream power, belum banyak penelitiannya. Bajorunas (1952) telah mengembangkan nilai
perlawanan aliran karena keberadaan bentuk berkaitan dengan fungsi angkutan sedimen ��
���.
Hubungan antara perlawanan bentuk (���) dan fungsi angkutan sedimen ��
���, sebagaimana
ditunjukan Gambar 22.
Gambar 22 menunjukan bahwa, komponen perlawanan kekasaran butiran lebih
dominan, dari perlawanan bentuk (���). Sehingga, tidak sesuai dengan ungkapan, perlawanan
bentuk adanya bentuk dasar akan memberikan kontribusi lebih dominan dibandingkan
perlawanan akibat kekasaran butiran (Kazemipour and Apelt, 1983; McLean et al., 1999;
Talebbydokhti et al., 2006; Martin and Jerolmack, 2013). Pengaruh perlawanan kekasaran
butiran hanya berkaitan berfungsi sebagai diameter ukuran butiran sedimen, bukan bentuk
konfigurasi dasar. Ketika angkutan sedimen mulai bergerak akibat energi disipasi (Knighton,
Gambar 22 ��� sebagai Fungsi dari ��
��� Bajorunas (1952)
14
1999), dasar saluran menjadi tidak stabil, dan mulai terjadinya bentuk konfigurasi dasar
(Engelund and Hansen, 1967; Yalin, 1992). Sehingga keberadaan bentuk konfigurasi dasar,
memberikan kontribusi perlawanan bentuk.
Talebbeydokhti et al. (2006) meneliti model pada bentuk dasar dunes dalam saluran
dasar pasirr, yang berkaitan dengan koefisien kekasaran Manning. Penelitian mereka
merupakan pengembangan yang dilakukan oleh Bajorunas (1952). Penelitian Talebbeydokhti
et al. (2006), masih menggunakan rumusan nilai koefisien kekasaran Manning (Chow, 1959).
Sehingga secara tidak langsung masih mereferensi pada penggunaan nilai koefisien kekasaran
Manning. Penelitian Talebbeydokhti et al. (2006) masih perlu dikembangkan lebih lanjut
dalam perhitungan nilai koefisien kekasaran Manning akibat perlawanan (n��), secara analitik
dan spesifik stream power.
2.2.3 Rumusan Kekasaran Butiran dan Kekasaran Bentuk pada Rumusan Koefisien
Kekasaran Manning tidak Berdimensi
Modifikasi rumusan nilai koefisien kekasaran Manning, dikembangkan untuk tinjauan analisis
dimensi. Modifikasi ini diperlukan, untuk menjelaskan pengaruh perlawanan kekasaran
butiran dan perlawanan bentuk.
Rumusan koefisien kekasaran Manning dalam bentuk tidak berdimensi (Yen, 1991),
dinyatakan dalam Persamaan 2.4 sampai Persamaan 2.6:
�
��/��g =
�∗
� atau
�
��/��g =
���
��
� ………..….……………….(2.4)
��
���/� �g =
����
��
�=
��∗
� ……………………..….………………(2.5)
���
����/� �g =
�����
��
�=
���∗
� ..…………………………..………...(2.6)
2.2.4 Nilai Koefisien Kekasaran Manning tidak Berdimensi didasarkan pada
Pengukuran Kecepatan Aliran
Keulegan (1938) menyatakan, rumusan logaritma distribusi kecepatan tergantung pada tinggi
kekasaran (Chow, 1959). Tinggi kekasaran dasar saluran dapat dihubungkan dengan nilai
koefisien kekasaran Manning (Chow, 1959).
Kekasaran dasar berkaitan dengan nilai n Manning, dapat diambil sebagai faktor
penentu yang mempengaruhi distribusi kecepatan. Bila distribusi kecepatan diketahui, maka
nilai n Manning dapat ditentukan (Chow, 1959). Distribusi kecepatan aliran turbulen pada
15
dasar kasar dapat diturunkan dari rumusan tegangan geser untuk aliran turbulen sebagaimana
Persamaan 2.7 :
�
�∗=
�
kln �
�
��� …………………………………………..(2.7)
dimana V merupakan kecepatan pada jarak y dari dasar, k adalah konstanta vonkarman
(biasanya 0.40 untuk air jernih). V∗adalah kecepatan geser (m/detik) dan �� adalah jarak
dimana V=0 pada y=��. Nikuradse melakukan percobaan untuk mendaptkan nilai �� untuk
berbagai tipe kekasaran dasar. Pada dasar halus diperoleh (�� = � 107)⁄ dan dasar kasar
(y� = k� 30)⁄ . Mensubstitusikan nilai �� dari eskperimen untuk dasar halus dan kasar, maka
diperoleh distribusi kecepatan (Keulegan, 1938), seperti Persamaan 2.8 dan Persamaan 2.9 :
�
�∗=
�
kln�
�∗�
�� + 5,50 = 5,75 log �9,05
�∗�
�� untuk dasar halus .................(2.8)
�
�∗=
�
kln �
�
��� + 8,50 = 5,75 log �30,2
�
��� untuk dasar kasar ..................(2.9)
Boyer (1954) dan Boris (1943) telah merumuskan nilai n dari distribusi kecepatan
vertikal saluran. Mereka memperkirakan nilai kecepatan aliran 0,2y=h (��,�) atau 20%
kedalaman aliran dari muka air dan kecepatan aliran 0,8y=h (��,�). Rumusan kecepatan aliran
dinyatakan dalam Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 :
��,� = 5,75V∗ log ����
��� …………………………………(2.10)
��,� = 5,75V∗ log ���
��� …………..………………………(2.11)
Boyer (1954), dan Boris (1943) telah merumuskan nilai n Manning dari Persamaan
2.2, Persamaan 2.9 Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11, sebagaimana Persamaan 2.12:
n =(���)��/�
�,��(���,��)denganx =
��,�
��,� …………..……………(2.12)
2.3. Angkutan Sedimen pada Saluran Aluvial Material Non Kohesif
Sedimen umumnya terjadi pada saluran aluvial non kohesif. Pengangkutan sedimen
merupakan mekanisme pemindahan partikel sedimen dari tempat lepasnya ke tempat barunya
akibat aliran air (Asdak, 1995). Mekanisme angkutan sedimen dapat dibagi menjadi 3 (tiga) :
a). muatan melayang (suspended load), umumnya terjadi pada sedimen yang sangat kecil
ukurannya (seperti lempung) sehingga mampu diangkut oleh aliran air (Asdak, 1995).
b).muatan dasar (bedload), terjadi pada sedimen relatif lebih besar (seperti pasir, kerikil,
kerakal, bongkah). Gaya yang ada pada aliran dapat bergerak memindahkan partikel di dasar.
Pergerakan dari butiran pasir, dimulai saat gaya aliran melebihi kekuatan inertia butiran pasir
16
kondisi diam. Gerakan sedimen bisa menggelinding, menggeser, atau bahkan bisa mendorong
sedimen yang satu dengan lainnya (Soewarno, 1991). c.) saltasi, umumnya terjadi pada
sedimen berukuran pasir, dimana aliran fluida mampu mengerus dan mengangkut sedimen
pasir, sampai akhirnya karena gaya grafitasi mengembalikan sedimen pasir ke dasar saluran
(Soewarno, 1991).
Angkutan sedimen yang bergerak, bergeser disepanjang dasar saluran atau melayang
pada aliran saluran. Hal ini tergantung pada komposisi (ukuran dan berat), kecepatan aliran
dan karakteristik aliran (Van Rijn , 1990). Proses angkutan sedimen akan membawa bahan
angkutan sedimen ,yang berasal dari pengikisan dinding dan dasar saluran. Bahan angkutan
sedimen yang berasal dari pengikisan dinding dan dasar saluran akan terbawa aliran air. Salah
satu bahan angkutan sedimen tersebut berupa bahan aluvial (Garde, 2006). Saluran aluvial
merupakan saluran dengan dasar bergerak yang terdiri dari material non kohesif. Material non
kohesif berupa butiran partikel diantaranya pasir (sands), lanau (silts) dan lempung atau clays
(Garde, 2006).
2.3.1 Klasifikasi Ukuran Butiran Pasir.
Sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butiran dan komposisi. Ukuran sedimen
diklasifikasikan sebagai kerikil, pasir, lanau, atau lempung. Pengklasifikasikan ini didasarkan
pada ukuran partikel sedimen yang diusulkan oleh American Geophysical Union (Van Rijn,
1990). Klasifikasi ukuran butiran pasir sebagaimana Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi Ukuran Partikel Pasir (Van Rijn , 1990)
Klasifikasi Butiran Pasir Ukuran Butiran Pasir sangat kasar (very coarse sand) 1,02,0 mm Pasir kasar (coarse sand) 0,51,0 mm Pasir medium 0,250,50 mm Pasir halus (fine sand) 0,1250,25 mm Pasir sangat halus (very fine sand) 0,06250,125 mm
2.3.2. Tegangan Geser Dasar
Apabila aliran terjadi di dalam saluran, maka terjadi perlawanan air dari hulir ke hulu.
Perlawanan tersebut berlawanan dengan komponen gaya gravitasi dalam arah aliran (Chow,
1959).
Aliran seragam terbentuk apabila perlawanan diimbangi oleh gaya gravitasi. Gaya
perlawanan tersebut menimbulkan gaya atau tegangan geser yang arahnya sejajar dengan gaya
bekerja (Chow, 1959). Tegangan geser merupakan gaya angkut suatu cairan dibagi luas
permukaan pada badan saluran oleh aliran (Chow, 1959; Potter et al., 2012).
17
Tegangan geser dapat dihitung dengan Persamaan DuBoys (1879) dalam Bureau of
Reclamation (2006), sebagaimana Persamaan 2.13 :
τ� = ρgRS� = ρgRS�= ρV∗� dengan V∗ = �gRS�………..…..(2.13)
dimana :
���� = tegangan geser pada dasar saluran (kg/m.detik2).
ρ = rapat massa air (kg/m3)
g = percepatan gravitasi bumi (m/detik2)
�� = kemiringan pada energi saluran (m/m)
�∗ = kecepatan geser butiran (m/detik).
R = jarijari hidraulik (m ).
Einstein and Barbarossa (1952) telah mengusulkan pemisahan pada jarijari hidraulik
(R) yang berkaitan dengan kekasaran butiran (R�) dan kekasaran bentuk (R��)atau (R = R� +
R"). Sedangkan tegangan geser total merupakan jumlah dari dua komponen tegangan geser
yang berhubungan dengan kekasaran butiran (τ��)dan bentuk dasar (τ�
��). Total tegangan
geser dasar, sebagaimana Persamaan 2.14:
τ� = ρgS(R� + R��) = γS(R� + R��) = τ�� +τ�
��……..…....(2.14)
Engelund (1966), Engelund and Hansen (1967) serta Griffiths (1989) telah
mengusulkan metode perhitungan pendekatan perlawanan aliran yang disebabkan kekasaran
butiran berdasarkan tegangan geser tidak berdimensi, masingmasing �∗� dan �∗
��. Rumusan
tegangan geser tidak berdimensi seperti pada Persamaan 2.15 :
τ∗ = τ∗� + τ∗
��………………….…….……….……..(2.15)
Griffiths (1989) mengembangkan rumusan tegangan geser akibat butiran dan bentuk,
sebagaimana Persamaan 2.16:
τ�� = τ∗
�(γ� − γ)d� dan τ��� = τ∗
��(γ� − γ)d� ……..……..(2.16)
dimana :
τ∗ = tegangan geser tidak berdimensi total
τ∗� = tegangan geser tidak berdimensi yang berhubungan dengan butiran.
τ∗�� = tegangan geser tidak berdimensi yang berhubungan dengan perlawanan bentuk
�� = massa jenis sedimen (N/m3).
� = �. � = massa jenis air (N/m3)
� = rapat jenis air (kg/m3)
18
2.3.3 Pergerakan Awal Butiran Sedimen
Saluran aluvial dengan material dasar pasir pada debit tertentu, dengan partikel dasar akan
mengalami gaya yang dikenal dengan gaya hidrodinamika (Christine, 2009). Kecepatan aliran
akan meningkat dengan bertambahnya debit aliran. Kecepatan aliran ini menyebabkan
partikel dasar saluran tidak dapat bertahan lagi, dan akan mulai bergerak tergerus, yang
diistilah dengan kondisi kritis (Christine, 2009).
Gerak awal butiran dasar dijelaskan dengan cara (Graf,1971; Christine, 2009)
a).dengan menggunakan persamaan kecepatan kritis (critical velocity equations).; b). kondisi
tegangan geser kritis (critical shear stress equations); c). kriteria gaya angkat (lift force
criteria). Menurut Liu (2001), jika suatu fluida yang nyata melewati suatu benda maka
partikel butiran yang bergerak tergantung dari besarnya gaya hambat (drag force) dan gaya
angkat (lift force). Rumusan gaya hambat dan angkat ditulis pada Persamaan 2.17 dan
Persamaan 2.18 :
F� = ½C�AV� .................................................(2.17)
F� = ½C�AV� .................................................(2.18)
dimana :
A = Luas proyeksi tubuh ke tegak lurus terhadap arah aliran.
C�, C� = Koefisien hambat (drag) dan angkat (lift), tergantung pada
kekasaran bentuk dan kekasaran permukaan butiran.
Breusers and Reudkivi (1991) memberikan analisis dimensi untuk menentukan
beberapa parameter tak berdimensi dan ditetapkan dalam bentuk diagram pergerakan awal
(incipientmotion). Salah satu kriteria untuk menggambarkan gerak awal sedimen adalah
diagram Shields (1936). Awal gerak butiran sedimen tergantung besarnya tegangan geser
yang terjadi, bila tegangan geser dasar aliran berada di atas atau di bawah nilai kritisnya,
dengan kata lain (�� ≤ ��), maka butiran tidak bergerak. apabila (�� = ��), butiran dasar mulai
akan bergerak, dan (�� ≥ ��) butiran dasar bergerak.
Rumusan kecepatan dan tegangan geser kritis, dinyatakan dalam Persamaan 2.19 :
θ� =��
(����)��� dan τ� = θ�(ρ� − ρ)gd�…………………..(2.19)
dimana :
θ� = koefisien Shields tidak berdimensi
d� = diameter partikel sedimen (mm).
τ� = tegangan geser kritis (kg/m2)
19
Diagram Shields menyatakan hubungan antara ��, dan bilangan Reynold geser
(R�∗ = �∗�� �⁄ ). Diagram Shields ini digunakan untuk mengevaluasi critical shear stress,
sebagaimana terlihat pada Gambar 23.
Griffiths (1989) menyatakan bahwa, kondisi dasar tak bergerak dalam fungsi Shields.
Bila tegangan geser dasar aliran berada di atas nilai kritisnya, maka butiran sedimen bergerak,
atau dengan kata lain (�∗≤ �∗�, maka butiran tidak bergerak; �∗ = �∗�, maka butiran dasar
mulai akan bergerak ; �∗ ≥ �∗�, maka butiran dasar bergerak).
Hubungan material butiran seragam dan kondisi permulaan gerak, dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kondisi Permulaan Gerak pada Material Seragam (Julien, 2010)
Class name �� (mm) �∗. ∅(deg) �∗� �� (kg/m2) �� (m/s)
Sand Very coarse > 1,00 25 32 0,029 0,0479 0,0216
Sand Coarse 0,50 12,5 31 0,033 0,0275 0,0164
Medium 0,25 6,3 30 0,048 0,0198 0,0139
Fine >0,125 3,2 30 0,072 0,0148 0,0120
Very fine > 0.0625 1,6 30 0,109 0,0112 0,0105
Dalam penentuan batas kritis kecepatan aliran, butiran akan bergerak/ diam dilakukan
dengan menggunakan Gambar Hjulstorm (1935). Grafik ini merupakan modifikasi dari
diagram Shields.
Hubungan antara kecepatan aliran dan angkutan sedimen dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 23. Diagram Shields pada Material Butiran (Bureau of Reclamation, 2006)
20
2.3.4 Pergerakan Butiran Sedimen pada Bidang Dasar
Tinjauan pada mobilitas partikel yang ditujukan dari fisika umum. Prosedurnya meliputi
semua gaya yang bekerja pada partikel dan kondisi kritis ketika partikel mulai bergerak
(Griffiths,1989; Cheng and Emadzadeh, 2014).
Gaya yang bekerja pada partikel dengan adanya interaksi butiran (Cheng and
Emadzadeh, 2014), dalam arah longitudinal (satu dimensi), sebagaimana terlihat Gambar 25.
Gambar 25, menggambarkan sebuah partikel yang tidak bergerak di bidang dasar
terendam, di bawah aliran seragam stabil. Permulaan gerak, digambarkan sebagai suatu titik.
Partikel hanya bergerak, jika ada gaya tambahan yang diterapkan betapapun kecilnya
(Griffiths,1989; Cheng and Emadzadeh, 2014). Setelah gaya tambahan diterapkan, maka
partikel akan bergerak dengan salah satu dari tiga cara (pengangkatan, geser, atau berputar).
Gaya yang bekerja pada partikel , meliputi gaya seret (drag), angkat (lift), berat butiran
(weight), dan perlawanan aliran. Gaya drag dan lift disebabkan oleh adanya aliran sekitarnya
butiran dan gaya berat terendam butiran dalam cairan (Cheng and Emadzadeh, 2014).
Gambar 24 Hubungan antara Kecepatan Aliran dan Angkutan Sedimen pada butiran lepas di Diagram Hjulström (Bureau of Reclamation, 2006)
Gambar 25. Gaya yang Bekerja pada Partikel Sedimen (Cheng and Emadzadeh, 2014)
21
Perlawanan aliran merupakan gaya gesekan yang bekerja antara permukaan butiran
dan permukaan dasar. Gaya ini meliputi gaya drag, lift, berat partikel, dan perlawanan aliran
(Cheng and Emadzadeh, 2014), sebagaimana Persamaan 2.20 sampai Persamaan 2.23:
���� ∶ F� = C����
�
�
ρs(�����)�
� ................................(2.20)
���� ∶ F� = C� ���
�
ρs(�����)�
� ...............................(2.21)
����ℎ� ∶ W = (γ� − γ)���
�
�= (ρ� − ρ)�
����
� .......(2.22)
���������� ∶ F� = Wcos β tan∅ ..................................(2.23)
dimana
�� = kecepatan aliran ratarata lokal pada pusat fluida (m/detik)
�� = kecepatan partikel ratarata pada partikel yang bersaltasi (m/detik)
FD = gaya hambat hidrodinamika (N)
FL = gaya angkat (N)
W = berat sendiri partikel (kg)
� = sudut kemiringan dasar saluran
FR = perlawanan karena interaksi butiran dasar = �cos � tan∅ (N)
∅ = sudut angle of respose (Tabel 2.3)
Partikel akan bergeser sepanjang permukaan dasar, ketika resultan gaya diterapkan
oleh aliran dalam arah x adalah positif (Griffiths 1989; Cheng and Emadzadeh, 2014).
Permulaan gerak partikel (Engelund and Fredsfe, 1976), dinyatakan dalam Persamaan 2.24:
�� + W sin� −�� = 0 atau �� = �� −W sin� ……………………….(4.16)
�
��� �
����
�� �(�� − ��)
� = ����
�
��(�� − �)�(cos � tan∅ − sin�), �� > 0 .....(2.24)
Griffiths (1989) menyatakan, gaya drag (gesekan permukaan dan tekanan drag) oleh
butiran dalam langkah saltasi ratarata yang di tampilkan dalam Persamaan 2.25 :
�
��� �
����
�� �(�� − ��)
��� =�
����� �
���3
6� ��
�, �� > 0 ……….……(2.25)
dimana Λ�� = panjang langkah partikel ratarata dan Λ = konstanta ; �� = faktor koreksi untuk
massa pada kecepatan kecil; dan s = rapat massa sedimen.
22
2.3.5 Koefisien Drag (��)
Ketika butiran sedimen bergerak melalui suatu fluida, maka terjadi interaksi antara butiran
sedimen dengan fluida (Liu, 2001). Interaksi antara butiran sedimen, berupa bentuk gaya
resultan pertemuan antar muka fluida partikel sedimen. Hal ini digambarkan dalam tegangan
geser (akibat efek viskos) dan tekanan diseluruh permukaan butiran sedimen (Liu, 2001).
Gaya resultan dalam arah yang sama dengan kecepatan aliran bagian hulu dinamakan
drag (gaya hambat atau seret). Gaya resultan yang tegak lurus arah kecepatan aliran
dinamakan gaya angkat atau lift (Liu, 2001). Gaya drag dapat dibedakan menjadi (2) dua,
yakni :
1) Drag tekanan , yaitu gaya drag yang langsung berkaitan dengan tekanan.
Drag ini sering dinamakan dengan drag bentuk, karena ketergantungan yang kuat
dengan bentuk butiran atau partikel sedimen.
2) Drag permukaan (surface drag), yaitu disebabkan oleh pergesekan sepanjang
permukaan dari partikel.
Menurut Stokes (1851) dalam (Julien, 2010), gaya hambat yang ditimbulkan oleh
partikel sedimen terhadap air merupakan fungsi dari diameter butiran, viskositas dinamik zat
cair. Secara empiris hubungan antara koefisien hambat (C�) dan bilangan Reynolds partikuler
(Graf . 1984), dapat ditulis sebagaimana Persamaan 2.26 :
C� =��
���………………….…..………………….(2.26)
dimana : Re� = bilangan Reynolds partikuler. ν = viskositas kinematik (m2/detik).
Hubungan antara ukuran partikel sedimen dan bilangan Reynolds partikuler, disajikan
dalam Tabel 2.4
Tabel 2.4 Hubungan Ukuran Partikel Sedimen dan bilangan Reynolds (Julien, 1999)
Class name �� (mm) Kecepatanjatuh (cm/detik) Re� �∗.
Medium Sand 0,50 6,40 21,1 9,58
0,25 2,86 4,71 4,79
Medium Silt 0,031 0,0569 0,0302 0,594
0,016 0,0152 0,0156 0,306
Engelund and Hansen (1967) memberikan persamaan koefisien drag (C�), pada
bilangan Reynolds partikuler (Re�) dengan batasan Re� < 20 dan Re� > 20. Engelund and
Hansen (1967) mengusulkan hubungan antara koefisien drag (C�) dan bilangan Reynolds
partikuler (Re�) dalam Gambar 26 :
23
2.4 Daya Aliran (Stream Power).
Daya aliran merupakan laju disipasi energi dari suatu aliran untuk menggerakan butiran
sedimen, baik dasar maupun tepi saluran (Knigton, 1999; Petit et al., 2005). Energi yang
dihasilkan berasal dari energi potensial aliran tersebut, energi ini pada akhirnya akan
berubah menjadi energi kinetik (Knighton, 1999). Dengan adanya daya aliran pada
perlawanan dasar, butiran sedimen akan menggelinding atau menggelincir sepanjang dasar
saluran dan hal ini merupakan permulaan terjadi angkutan sedimen (Knighton, 1998 &1999;
Molinas and Wu, 2012; Petit et al., 2005).
2.4.1 Rumusan Stream Power
Cheng (2002) menyatakan, untuk tegangan geser, laju angkutan sedimen pada beban dasar
(bedload, ��), sebanding dengan hasil dari tegangan geser (��), dan kecepatan geser (�∗)atau.,
��~���∗). Hasil , ���∗, merupakan energi dari aliran yang terdapat di dekat dasar saluran,
yang erat terkaitnya dengan gerakan partikel..
Bagnold (1966) memperkenalkan konsep stream power untuk angkutan sedimen
berdasarkan fisika umum. Engelund and Hansen (1967) menggunakan konsep ini sebagai
teoritis dasar dalam mengembangkan fungsi angkutan sedimen. Daya aliran per unit panjang
yang didefinisikan sebagaimana Persamaan 2.27:
Ω = γQS= ρgQS …………………………..…………(2.27)
Stream power sering diturunkan menjadi istilah spesifik stream power, �. Spesifik
stream power mewakili distribusi daya aliran per unit lebar saluran (Bagnold, 1977). Specific
stream power ini digunakan untuk membandingkan antara dasar saluran dengan ukuran
butiran partikel yang berbeda (Ferguson, 2012). Rumusan spesifik stream power (�)
ditunjukan dalam Persamaan 2.28:
ω =�
�=
���
�≅≅ ��� atau ≅ ��� =
���/�
��/���
�∗� ………….……(2.28)
Gambar 26 Koefieisn Drag pada material Pasir dan Kerikil (Modifikasi Engelund and Hansen (1967)
24
dimana :
Ω = stream power (kgm2/m detik3) atau (watt/m ), (1 watt = kg.m2/detik3)
� = specific stream power (watt/m �).
� = debit aliran (m3/detik).
� = lebar saluran (m)
� = kemiringan arah memanjang
� = tegangan geser dasar pada partikel (kg/m.detik2) atau (Newton/m2)
1 Newton = kgm/detik2
�
�∗ = perlawanan aliran dalam bentuk tidak berdimensi
Barubaru ini jarak tempuh oleh angkutan beban dasar (bedload) telah dimobilisasi, Hal
ini dikaitkan dengan kelebihan daya aliran tertentu (Ferguson, 2012). Hubungan ini dikaitkan
dengan daya aliran kritis (Bagnold 1977). sebagaimana Persamaan (2.29) :
ω� ≅ V�τ�� =���
�,�
��/����
�∗��………………………………..(2.29)
dimana
ω� adalah daya aliran kritis (kgm2/detik3) atau (watt/m �).
��� adalah tegangan geser dasar kritis.
2.4.2 Hubungan Spesifik Stream Power pada Pergerakan Butiran Dasar
Keragamaan material sedimen dasar memainkan peran penting dalam mendefinisikan kondisi
kritis butiran dasar untuk permulaan gerak.
Parameter kritis, seperti kecepatan aliran kritis, spesifik stream power dan tegangan
geser, digunakan untuk menggambarkan gerak permulaan dari suatu partikel dengan diameter
tertentu. Beberapa peneliti telah menghubungan spesifik stream power dengan pergerakan
butiran dasar, sebagaimana Tabel 2.5
Tabel 2.5 Penelitian Hubungan antara Spesifik Stream Power dan Pergerakan Butiran Dasar
Peneliti Rumusan
Costa (1983) ��� = 0,030���,�� (50 < �� < 1000) mm
Williams (1983) ��� = 0,079���,�� (10 < �� < 1500) mm
Jacob (2003) ��� = 0,025���,��� (700 < �� < 2300) mm
Petit et al. (2005) ��� = 1,130���,��� (20 < �� < 150) mm
Mao et al, (2008) ��� = 31,502���,��� (2 < �� < 1000) mm
Galia and Hradecký (2011) ��� = 3,0397���,,���� (200 < �� < 400) mm
��� adalah spesifik stream power kritis material dasar untuk ukuran fraksi ; �� diameter representatif dari material dasar pada ukuran fraksi i.
25
2.4.3 Hubungan Spesifik Stream Power dan Koefisien Kekasaran Manning
Beberapa penelitian yang berkaitan antara spesifik stream power dan koefisien kekasaran
Manning, diantaranya :
a) Simons and Richardson (1961) mengembangkan sebuah perdiksi bedform yang
didasarkan pada stream power sebagaimana Persamaan 2.30 dan Persamaan 2.31 :
logω = −0,60 + 1,05��� untuk ��� < 0,25mm …………………..(2.30)
logω = −0,442+ 0,44��� untuk ��� > 0,25mm …………………..(2.31)
b) Sisingih (2000) melakukan penelitian pengaruh karakteristik material dasar dengan
koefisien kekasaran n, Manning dan diperoleh Persamaan 2.32:
Adanya bentuk dasar
� = 1,2328(ω) + 0,216 ……………………………(2.32)
Kemiringan yang relatif datar diperoleh hubungan, sebagaimana Persamaan 2.33:
� = −5,5692(ω) + 0,0193 ……………..…………(2.33)
2.5 Bentuk Konfigurasi Dasar pada Saluran Aluvial
Bentuk dasar saluran merupakan konfigurasi yang ditemukan di dasar saluran. Bentuk
konfigurasi dasar ini sebagai hasil dari kumpulan ukuran partikel yang tidak teratur (Setiawan
et al., 2010).
Bentuk dasar yang terbentuk dikarenakan adanya pergerakan material dasar saluran,
pada satu kondisi debit tertentu. Konfigurasi dasar ini merupakan jejak dari sedimen yang
dipindahkan, dan hasil dari pergerakan sebelumnya (Hadhisiswoyo, 1988). Sesudah
pergerakan tersebut, maka bentuk dasar yang dihasilkan berhubungan dengan perlawanan
aliran (Pramono, 2005).
2.5.1 Bentuk Dasar
Bentuk dasar merupakan pola terbentuk pada dasar saluran aluvial karena aliran air, atau
semua ketidakteraturan dasar (irregularities bed) yang lebih besar dibandingkan ukuran
partikel terbentuk di dasar saluran (Simons and Richardson, 1966; Graf, 1971; Van Rijn,
1990; Simons and Senturk, 1992; Wang and White, 1993; Yang, 1996; Simons et al., 2004;
Julien, 2010).
2.5.2 Regime Aliran
Berbagai konfigurasi dasar yang terjadi, berdasarkan pada kemiripan bentuk, perlawanan
aliran, proses energi disipasi, phase antara permukaan dasar dan air serta mode angkutan
26
sedimen. Kesemuanya ini diklasifikasikan dengan regime aliran (Garde and Alberson, 1959;
Simons dan Richardson 1966; Kodoatie, 2009). Regime aliran merupakan perubahan pada
karakteristik sedimen, aliran dan/atau fluida, yang menyebabkan perubahan di permukaan air
dan di dasar saluran aluvial secara bersamaan (Garde and Alberson, 1959).
Regime aliran bentuk dasar di kelompokan menjadi dua bagian, yakni regime aliran
rendah dan regime aliran tinggi serta transisi (Lewis, 1984). Simons and Richardson (1966)
menyatakan bahwa, regime aliran rendah saluran aluvial ditandai dengan perlawanan aliran
besar dan angkutan sedimen kecil. Sedangkan regime aliran tinggi ditandai dengan
perlawanan aliran kecil dan angkutan sedimen besar. Terdapat regime aliran transisi antara
regime aliran rendah dan tinggi. Bentuk dasar regime transisi ditandai dengan terkikisnya
dunes ke plane bed atau ke antidunes (Simons dan Richardson 1966).
Dua jenis bentuk konfigurasi dasar pada regime aliran rendah saluran aluvial, yaitu
riak (ripples) dan bukit pasir (dunes). Geometri bentuk konfigurasi dasar ini sangat mirip,
baik bentuk asimetris, kemiringan sisi pundak bentuk dasar bagian hulu (stoss), ketajaman
puncak dan kecuraman sisi pundak bentuk dasar bagian hulu atau lee (Simons and
Richardson, 1966). Keduanya memiliki perbedaan keberadaan dimensi geometris bentuk
dasar yakni skala panjang dan tinggi riak (ripples) dengan ukuran sedimen (Yalin, 1992;
Zhang, 1999) dan pada panjang bukit pasir (dunes) yang setara kedalaman air (Zhang, 1999).
Permukaan stoss dikaitkan dengan bagian konvergen dan kecepatan aliran dalam
proses erosi sedimen. Permukaan lee ditandai dengan pemisahan aliran yang berasal dari
perluasan tibatiba pada bagian hilir bentuk. Pada kecepatan rendah, pemisahan berhubungan
dengan pengendapan (deposisi) sedimen. Berbagai bentuk konfigurasi dasar di saluran
aluvial, dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Berbagai Bentuk Konfigurasi Dasar yang terjadi Saluran Aluvial
(Simons and Richardson, 1966)
27
Dalam bentuk dasar dunes, domain pada zona pemisahan biasanya mempengaruhi
seluruh aliran dari dasar saluran ke permukaan bebas. Pusaran ini menghalangi bagian aliran
dan menghabiskan sebagian besar dari daya aliran (stream power) untuk menjaga osilasinya.
Hal ini menghasilkan berbagai bentuk dasar dengan regime aliran, didasarkan meningkatnya
intensitas aliran atau stream power di dasar pasir (Knighton, 1998).
Bentuk permukaan dasar sedimen yang terjadi pada dasar saluran, berdasarkan jenis
aliran ditunjukkan oleh Gambar 28.
Konsep regime dan konfigurasi dasar dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Perubahan Perlawanan Aliran akibat Kekasaran Dasar Saluran Sebagai akibat Kenaikan nilai satu Parameter (Simons and Senturk, 1992)
Parameter Ripples Dunes Plane bed Antidune Chute and Pools
�/�� 612 815 1523 1020 916
n Manning 0,0180,035 0,0180,035 0,0120,016 0,0120,028 0,0150,031
Kedalaman D I, d�� > 0,30 mm D I → U
D, d�� < 0,30 mm Kedalaman terbatas
D, d�� > 0,30 mm → D
Dasar aliran dalam
Kemiringan I, Dangkal I, w > 0,2 fps N I U Kec. jatuh N I I I U Tipe kekasaran
Kekasaran Bentuk lebih dominan
Kekasaran Bentuk lebih dominan
Kekasaran Butiran lebih dominan
Kekasaran Butiran lebih dominan
Kekasaran Butiran lebih dominan
(*) Simbol C = koefisien Chezy (m1/2/detik), D = decreasing (menurun); N tidak berubah I = increasing (meningkat) ; U tidak diketahui
Gambar 28. Bentuk Permukaan Sedimen sesuai dengan Jenis Aliran yang Mengalir pada Saluran (Hassanzadeh, 2012)
Stream Power
28
Tahap Dasar Rata (flat Bed).
Kondisi permukaan dasar rata, dikarenakan tegangan geser dasar aliran yang bekerja pada
butiran sedimen dasar, belum melebihi tegangan geser dasar kritis dari butiran. Sehingga
butiran sedimen dasar tidak bergerak. Pada kondisi ini, permukaan aliran dalam keadaan
tenang dan nilai bilangan Froude kecil. Apabila pada phase ini mulai terjadi angkutan
sedimen (kecepatan aliran bertambah), maka laju disipasi energi dari aliran menggerakan
butiran sedimen di dasar saluran (Knighton, 1999). Laju disipasi energi menyebabkan butiran
sedimen akan bergerak menggelinding, menggeser atau meloncat secara random (terhadap
ruang dan waktu) di sepanjang dasar saluran, dan merupakan permulaan terjadi angkutan
sedimen (Knighton, 1998).
Pada material sedimen halus, pergerakan butiran dapat terjadi secara saltasi dan
suspended load. Bertambahnya intensitas kecepatan angkutan sedimen menyebabkan
terbentuk konfigurasi dasar (Hadhisiswoyo, 1988). Bentuk konfigurasi dasar yang terjadi pada
regime aliran rendah meliputi ripples atau dunes (Yalin, 1992; Zhang, 1999; Liu, 2001).
Riak Pasir (Ripples)
Pada kondisi dasar riak (ripples) nilai gC berkisar antara 6 – 12. Pergeseran antara satu
kategori ke yang lain, menyebabkan bertambahnya kecepatan aliran. Pertambahan kecepatan
aliran disertai energi disipasi, menyebabkan tegangan geser dasar melebihi tegangan geser
kritis butiran, sehingga butiran mulai bergerak (Hadhisiswoyo, 1988).
Pergerakan butiran berupa menggelinding, menggeser dan meloncat (Asdak, 1995).
Setelah butiran bergerak, butiran akan membentuk gundukan pasir secara random. Gundukan
tersebut akan menyatu, membentuk bukit pasir teratur dan simetris (Yalin, 1992; Zhang,
1999). Tinggi ripple (Δ) berkisar antara 50 – 200 d50 (Yalin ,1985), dan panjang riak (�)
berkisar antara � 500 – 1000 d50 (Yalin, 1992; Liu, 2001) dan lebih kecil dibanding panjang
gelombang (Δ < �).
Yalin (1992) menyatakan bahwa, ripples terjadi pada nilai bilangan Reynolds geser (Re∗)
kecil atau (Re∗ ≤ 5,5). Perubahan dari ripples ke dunes yang berpengaruh pada perubahan
bentuk dasar. Perubahan yang terjadi secara bertahap menyebabkan ripples hilang, dan
membentuk dunes, disertai dengan naiknya tegangan geser dasar (Liu, 2001).
Karakteristik aliran pada dasar ripple diberikan ringkas dalam Tabel 2.7
29
Tabel 2.7 Karakteristik aliran di dasar ripples (Simons and Senturk, 1992)
1. D50 <0,0006 m 2. Muka air : mendatar atau rata 3. Sedimen bergerak kebanyakan sebagai bed load; suspensi material dasar
dapat diaktakan tidak ada. 4. Hambatan aliran berbanding terbalik dengan stream power () 5. Bentuk geometri adalah segi tiga tegak lurus arah aliran atau tiga dimensi
terletak dibidang datar dengan bentuk seperti daundaun mawar. Bagian ini mungkin tersusun secara melintang.
- Gundukan Pasir (dunes)
Liu (2001) menyatakan bahwa, untuk ukuran material dasar lebih besar dari 0,6 mm, maka
pada flatbed akan terjadi keadaan aliran baru, menyebabkan terbentuknya dasar dunes.
Kondisi ini, tegangan geser (RS) dan stream power (VRS) mulai naik melebihi dasar
ripples.
Dunes merupakan gundukan tiga dimensi di dasar dan lebih besar dari ripples.
Gundukan pasir yang terbentuk, mempunyai sisi hulu lebih landai dan sisi hilir lebih curam
dan membentuk sudut sekitar 3040 derajat. Bilangan Froude yang ada lebih kecil dari satu,
sehingga kondisi aliran tergolong subkritis. Dunes menyebabkan separation zone yang besar
pada aliran. Zone pemisah ini akhirnya menimbulkan tonjolan gelombang aliran di
permukaan air. Kecepatan aliran separation zone dibagian hilir puncak dunes, menunjukkan
kecepatan arah hulu mencapai ½ 1/3 dari kecepatan saluran ratarata (Garde, 2006).
Karakteristik aliran pada dasar dunes diberikan ringkas dalam Tabel 2.8
Tabel 2.8 Karakteristik aliran pada dasar dunes (Simon and Senturk, 1992)
1. Dune sering terjadi pada 0,6 < d50 < 15 mm 2. Pernukaan air : tidak rata atau bergelombang 3. Permukaan dasar aliran bergelombang menyempit pada puncak dan membesar
pada lembah. 4. Terdapat suspensi material dasar. 5. Untuk d50 > 0,3 mm perlawanan aliran sebanding dengan streampower ()
Untuk d50 < 0,3 mm perlawanan aliran berbanding terbalik dengan Untuk d50 > 0,6 mm perlawanan aliran berbanding terbalik dengan
6. Bentuk geometri dunes adalah tigadimensi
2.5.3 Geometri Bentuk Konfigurasi Dasar
Nomenklatur dari bentuk konfigurasi dasar dapat dinyatakan dalam tinggi bentuk dasar (∆)
yang merupakan jarak vertikal dari puncak ke palung dari bentuk dasar. Panjang bentuk dasar
(l) merupakan jarak horisontal antara palung bentuk dasar ke palung dari bentuk dasar yang
berdekatan ( Lin, 2011). Sebagaimana yang ditunjukan pada Gambar 29.
30
Perbandingan antara (Δ �⁄ )disebut dengan kecuraman bentuk konfigurasi dasar. Yalin
(1992) menyatakan bahwa panjang gundukan pasir (dunes) λ sebanding dengan kedalaman
aliran (h), sedangkan panjang pada riak (ripples) λ sebanding dengan ukuran butir d�
(Yalin,1992).
2.5.4 Penelitian Perubahan Konfigurasi Dasar Secara Gambar dan Empiris
Penentuan berbagai bentuk konfigurasi dasar yang terjadi saluran aluvial dapat dilakukan
secara gambar dan analitis.
a. Pendekatan Gambar
Beberapa kajian pada klasifikasi bentuk dasar yang berdasarkan pada kondisi aliran dan
sedimen yang telah dilaksanakan dalam bentuk gambar diantaranya : Liu (1957), Simons and
Richarson (1966), Athaullah (1968), Bogardi (1974) dan Van Rijn (1984) dalam Pramono
(2005).
b. Pendekatan Empiris
Penelitian untuk memprediksi bentuk konfigurasi dasar telah banyak dikembangkan, terutama
pada tinggi dan panjang bentuk dasar, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Penelitian untuk Memprediksi Bentuk Konfigurasi Dasar
Peneliti Rumusan yang digunakan Uraian
1. Garde and Albertson
(1959)
∆
h= 0,4115(V∗
ds
u)��,���(
t�
(ρ� − ρ)gd50)��,���
l
h= (V∗
ds
u)��,���(
t�(ρ� − ρ)gd��
)�,���
kondisi lower regime prediksi pada tinggi
dan panjang bentuk dasar
melibatkan unsur kekentalan
2 Allen (1968) ∆= 0,086h�,��; λ= h�,� prediksi pada tinggi dan panjang bentuk dasar ripples
3 Mahmood et al.
(1984)
∆
�= 0,02(1 −θ��,��)(10 − �); l = 0,5 h
� =��∗
����(�∗��)
�
(�∗��)� T= Transport Stage
θ = tb/(ρs − ρ)gd��
kondisi lower regime
prediksi pada tinggi bentuk dasar ripples
prediksi pada panjang bentuk dasar ripples
Gambar 29. Nomenklatur pada Bentuk Konfigurasi Dasar (Lin, 2011 ).
Stoss Lee
31
Tabel 2.9 Penelitian untuk Memprediksi Bentuk Konfigurasi Dasar (lanjutan)
Peneliti Rumusan yang digunakan Uraian
4 Yalin (1985 ) 50 – 200 d50 ; l 500 – 1000 d50 prediksi pada tinggi dan panjang bentuk dasar ripples
5 Zhou Liu (2001) 100 d50 ; l 1000 d50 prediksi pada tinggi dan panjang bentuk dasar ripples
6 Yalin (1964)
h=1
6�1 −
τ�.��τ�
� kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
7 Fredsoe (1975) ∆
λ=
1
8,4�1 −
0,06�d�(s − 1)g
V∗− 0,4
V∗
�d�(s − 1)g�
�
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
8 Allen (1978)
h= 0,080 + 2,24�
θ
3� − 18,13�
θ
3��
+ 70,90 �θ
3��
− 88,33�θ
3��
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
9 Yalin and Karahan
(1979)
∆
�= ϕ�
V∗V∗��
,h
d�� = ϕ(η, Z)
Δ
�= 0,0127(η − 1) exp�−(η − 1)f(z)�
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
10 Zhang (1999) ∆
�= 0,04(1 − exp(−0,0119�))
�0,5
1 + 3(log� − 2,8)�+ 1� (� exp(1 − �)�)
� =η−1
η�−1 dengan η� =
���������
�������
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
11 Van Rijn (1984) ∆
l= 0,015 �
d��h��,�
(1 − e��,��)(25− T)
∆
h= 0,11 �
d��h��,�
(1 − e��,��)(25− T)
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
12 Kennedy and Odgaard (1990) ∆
h=1
2�1,2αkf�8C�
��1,2αf�8C�
��
+2πF�
�f�C�C�
�f
f�−1,2k
2��
�,�
�
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
13 Julien and Klaassen (1995)
∆
�= ξ �
���
���,��
dan l = 6,25h
dimana 0,8 < ξ < 8 dan ξ���� = 2,5
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
14 Karim (1995) ∆
h= −0,04+ 0,294�
V∗w� + 0,00316�
V∗w��
− 0,0319+ 00272�V∗w��
kondisi lower regime prediksi pada bentuk
dasar dunes
32
Tabel 2.9 Penelitian untuk Memprediksi Bentuk Konfigurasi Dasar (lanjutan)
Peneliti Rumusan yang digunakan Uraian
15 Karim (1999)
∆
h=
⎣⎢⎢⎢⎡�S− 0,0168�
d��R �
�,��
F��� �
λR�
�,�
0,47F��
⎦⎥⎥⎥⎤�,��
∆
h=
⎣⎢⎢⎢⎡�S− 0,0168�
d��R �
�,��
F��� �
λR�
�,�
0,085F��
⎦⎥⎥⎥⎤�,��
kondisi lower regime prediksi bentuk dasar
ripples dan dunes kondisi upper regime prediksi pada bentuk
dasar transisi antidunes atau standing waves
Berdasarkan literatur bentuk dasar yang ada, dapat diringkas sebagai berikut:
1) Persamaan yang ada umumnya merupakan fungsi aliran eksplisit dan sifat sedimen,
biasanya digunakan untuk memprediksi nilai ratarata geometri bentuk dasar.
2) Belum banyak rumusan yang memperhitungkan koefisien kekasaran dasar dikarenakan
kehadiran tinggi () dan panjang (λ) bentuk dasar serta spesifik stream power
3) Belum banyak dari persamaan di atas, yang berikan dengan perlawanan aliran yang
disebabkan perlawanan bentuk (form drag) dan spesifik stream power
4) Belum ada prediksi bentuk dasar yang menghubungkan adanya stream power
Berdasarkan pada penelitian di atas, maka gap penelitian yang didapat adalah sebagai berikut:
1) Pengembangan pada penelitian terdahulu oleh Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et
al. (2006), belum diteliti secara menyeluruh dan mendetail dari sudut pandang teoritis
pada koefisien kekasaran Manning terutama akibat adanya perlawanan bentuk.
2) Bagaimana mencari hubungan kekasaran dasar dikarenakan kehadiran tinggi () dan
panjang (λ) bentuk dasar dan spesifik stream power
3) Bagaimana mencari hubungan antara koefisien kekasaran Manning berkaitan dengan
perlawanan bentuk (form drag), yang disebabkan bentuk konfigurasi dasar saluran.
4) Bagaimana pengaruh stream power terhadap perlawanan bentuk dalam kaitannya dengan
bentuk konfigurasi dasar dan spesifik stream power
2.6 Perlawanan Aliran ( Resistance of Flow )
Prediksi kondisi keseimbangan hidraulik di saluran dengan dasar pasir, membutuhkan
pengetahuan yang erat hubungan penggabungan fenomena perlawanan aliran dan angkutan
sedimen pada material dasar (Bennett,1995).
Perlawanan aliran bekerja dalam arah yang berlawanan pada aliran (Van der Mark,
2009). Perlawanan aliran terdiri dari semua sumber perlawanan terhadap aliran, seperti
33
perlawanan vegetasi di dataran banjir, perlawanan karena hambatan seperti krib (groin) dan
tiang jembatan, perlawanan karena bentuk saluran, meanders, atau tikungan, dan perlawanan
dasar (Knighton, 1998; Van der Mark, 2009).
2.6.1 Perlawanan Dasar (Bed Resistance)
Perlawanan dasar merupakan perlawanan terhadap aliran, terutama di dasar saluran (Rouse,
1965; Van der Mark, 2009). Perlawanan dasar ini terdiri dari dua komponen (Rouse, 1965;
Smith, 1991; Yen, 2002; Morvan et al., 2008; Mark der Mark, 2009), yakni :
1. grain friction yang dikarenakan butiran individu menonjol di dalam aliran
2. Perlawanan bentuk (form drag) karena bentuk dasar (bedforms).
Perlawanan dasar pada bidang dasar rata, hanya terdiri dari komponen gesekan butiran
saja. Ketika angkutan sedimen mulai bergerak, dasar saluran mungkin menjadi tidak stabil
dan terjadilah bentuk dasar ripples atau dunes, yang mulai berkembang (Simons and
Richardson, 1966; Engelund and Hansen, 1967; Yalin, 1992; Simons and Senturk, 1992).
Perlawanan dasar adanya bentuk dasar, terdiri dari kedua komponen yakni kekasaran butiran
dan perlawanan bentuk. Dalam kasus keberadaan bentuk dasar, kontribusi perlawanan bentuk
, biasanya lebih dominan dibandingkan gesekan butiran (Knighton, 1998; McLean et al.,
1999; Julien, 2010).
Einstein and Barbarossa (1952) membedakan antara tegangan geser dasar karena
gesekan butiran dan tegangan geser dasar karena perlawanan bentuk. Sehingga penjumlahan
dari kedua tegangan sama pada tegangan geser dasar (Yang and Tan, 2008). Mereka
mengasumsikan, (i) tegangan geser dasar, (ii) tegangan geser karena butiran, dan (iii)
tegangan geser dasar dikarenakan bentuk dasar dan, disebabkan oleh kecepatan aliran yang
sama (Yang and Tan, 2008; Mark der Mark, 2009). Dengan demikian, diperoleh koefisien
perlawanan dasar sama dengan penjumlahan dari koefisien perlawanan akibat gesekan butiran
dan karena perlawanan bentuk (Yang and Tan, 2008).
2.6.2 Variabel pada Perlawanan Aliran
Perlawanan aliran pada saluran aluvial sangat komplek, karena banyaknya variabel sangat
tergantung satu sama lain (Simons and Richardson, 1966; Simons and Senturk, 1992;
Kodoatie , 2009). Simons and Richardson (1966), menyatakan variabel pada perlawanan
aliran di saluran aluvial, sebagaimana ditulis dalam Persamaan 2.34:
f(V, h, S,, ν, �, d�,, �, S�, S�, S�, f�, C�, C�, ω�, τ) = 0................(2.34)
dimana :
V = kecepatan aliran(m/s) atau (LT1)
34
h = kedalaman aliran (m) atau (L)
S = kemiringan garis gradien energi (non dimensi)
= rapat massa air (kg/m3) atau (ML3)
s = rapat massa sedimen (kg/m3) atau (ML3)
= viskositas kinematik = / (m2/detik) atau (L2T1)
= kekentalan kinematis (m/l.detik) atau ML1T1
� = percepatan grafitasi bumi (m/detik2) atau LT2
d� = ukuran diameter material dasar saluran (mm) atau (L)
= gradasi ukuran sedimen (non dimensi)
S� = faktor bentuk partikel (non dimensi)
S� = faktor bentuk dari saluran memanjang (non dimensi)
S� = faktor bentuk dari saluran melintang. (non dimensi)
f� = gaya resapan (seepage forces) pada dasar dan tebing sungai
C� = konsentrasi material dasar saluran (ppm)
C� = konsentrasi material halus (ppm)
ω� = kecepatan jatuh partikel (cm/s) atau (LT1)
τ = tegangan geser kg/m.detik2 (N/m2) atau ML1T2
Penyederhanaan Persamaan 2.34, dengan menghilangkan beberapa variabel
,S�, S�, S�, f�, C�, ω� (Simons and Richardson, 1966; Michiue and Allen, 1975), diperoleh
Persamaan 2.35 :
f (�, h, S, , �, ν, �, d�, τ) = 0...............................................(2.35)
Pengembangan pada Persamaan 2.35 dengan memasukan unsur stream power yang
berkaitan dengan bentuk konfigurasi dasar, sebagaimana Persamaan 2.36 :
��V, h, S, , �, ν, �, d�, τ, Δ, λ, V∗,� = 0 ………….……....(2.36)
dimana
� = menyatakan fungsi.
V∗ = kecepatan geser = �ghS = �τ/ρ (m/s) atau (LT1)
Δ = tinggi bentuk dasar (m) atau (L)
λ = panjang bentuk dasar (m) atau (L)
= spesifik daya aliran (stream power) kg.m/m.detik 3 atau MT��
35
2.6.3 Distribusi Kecepatan dan Perlawanan Aliran
Keulegan (1938) mengusulkan suatu teori kekasaran partikel saluran, dengan bidang dasar.
Keulegan memberikan persamaan yang digunakan untuk memperoleh jarijari hidraulik yang
berkaitan kekasaran butiran (��), sebagaimana Persamaan 2.37:
�
�∗� = 5,75log �12,27
��
���� ………………….………….(2.37)
dimana nilai � merupakan fungsi dari (��/�). dikoreksi dengan menggunakan faktor
kecepatan logaritma (Einstein, 1950), sebagaimana Gambar 210 :
Einstein and Barbarossa (1952) melanjutkan penelitian Keulegan (1938) dengan
menggunakan data keduanya, yakni data flume dan lapangan. Mereka mengungkapkan
bahwa perlawanan bentuk(� �∗��⁄ ) merupakan fungsi pada besarnya intensitas geser pada
butiran sedimen (��), sebagaimana terlihat pada Gambar 211 :
Dalam bentuk matematika, dinyatakan dalam Persamaan 2.38 :
�
�∗�� = �(��) = �
����
��
���
���� …………....……………………(2.38)
Gambar 211 Kehilangan Gesekan dikarenakan Ketidakteraturan Saluran sebagai fungsi Angkutan Sedimen (Einstein and Barbarossa, 1952)
Gambar 210 Faktor Koreksi � dalam Distribusi Kecepatan Logaritma (Einstein, 1950)
36
dimana �� = kekasaran butiran eqivalen (mm)
� = ketebalan lapisan batas � = 11,6�/�∗�
�� = parameter laju angkutan sedimen
Einstein dan Barbarossa (1952), menyarankan prosedur perhitungan pada total
jarijari hidraulik untuk kekasaran ukuran butiran (�′) dan kekasaran bentuk (�′′). bila debit
air yang diberikan atau sebaliknya :
langkah 1: mengasumsikan nilai jarijari hidraulik (��).
langkah 2: menggunakan Persamaan 2.38 dan Gambar 211 untuk menentukan kecepatan
aliran (V).
langkah 3: Perhitungan y� menggunakan Persamaan 2.38, dan hubungan dengan nilai
�/�∗�� dari Gambar 211. Reduksi � dari fungsi dari ��/� dari Gambar 210.
langkah 4: Perhitungan �∗� dan hubungan dengan nilai ���
langkah 5 : Menghitung R = R� + R�� dan berhubungan dengan luas penampang saluran.
langkah 6 : Perhitungan Q dengan nilai R yang diperoleh pada langkah 6. Selanjutya R yang
diperoleh, selanjutnya dibandingkan dengan nilai R yang diberikan. Jika nilai
debit aliran Q = VA terpenuhi. Jika tidak, prosedur perhitungan akan diulangi
dengan mengasumsikan nilai yang berbeda dari R�, sampai R dihitung
memenuhi.
2.7. Pendekatan Analisa Dimensi
Triatmodjo (1992) menyatakan bahwa, permasalahan yang ada dalam mekanika fluida dapat
didekati dengan analisa dimensi. Analisis dimensi merupakan suatu metode untuk mengurangi
jumlah kerumitan variabel eksperimental, yang mempengaruhi gejala fisika tertentu.
Metode yang digunakan adalah semacam teknik peringkasan (Triatmodjo, 1992).
Kalau suatu gejala tergantung n variabel berdimensi, analisis dimensi akan menyederhanakan
persoalan tergantung pada k variabel berdimensi, sedangkan pengurangannya n – k = 1,2,3
atau 5 tergantung kesulitan persoalnya. Umumnya n – k sama dengan jumlah dimensi yang
berbeda (dimensi pokok, utama, atau dasar).
Analisa ini didasarkan pada metode Buckingham. Metode ini dikembangkan oleh E.
Buckingham (1915) yang memberikan prosedur alternatif yang sekarang disebut teorema pi
Buckingham. Istilah pi diambil dari notasi matematika π. Kelompok bilangan tak berdimensi
didapatkan dari teorema tersebut berupa pangkat yang dinyatakan dengan π�,π�, π� dan
sebagainya. Metode ini memungkinkan untuk memperoleh "pi (π)" — "pi (π)" itu secara
berurutan, tanpa harus memakai pangkatpangkat yang bebas. Beberapa aturan yang perlu
37
diperhatikan di dalam penggunaan teorema pi (π) ini menurut Buckingham adalah sebagai
berikut :
a) Pengumpulan suatu daftar dari variabel yang terkait, misalkan ada n variabel ��..��,
persamaan fisik yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagaimana Persamaan 2.39 :
�(��, �� …………… .��) = 0 …………………………………….(2.39)
b) Tentukan dimensi dasar variabel di atas, misalkan ada m dimensi dasar (M,L,T)
c) Pilih besaran fisik (variabel) � sebanyak r, yang disebut sebagai besaran �primer.
d) Tentukan jumlah suku – π yang perlu, yaitu sebanyak i = nr.
e) Tentukan suku π dengan menyatakan hasil bagi dari besaran � yang tertinggal dengan
hasil dari � primer yang masing masing dipangkatkan dengan eksponen yang akan
ditentukan lebih lanjut. Eksponen ini dapat ditentukan dari persayaratan bahwa tiap suku
π tidak berdimensi. Jadi untuk setiap π persyaratan ini menghasilkan r persamaan dan r
eksponen yang harus dicari sebagaimana Persamaan (2.40)
Untuk π� : �����
��������….����
� = (������)
Untuk π� : �����
��������….����
� = (������) …………….…………………….(2.40)
Untuk π� : ���
��������….����
� = (������)
f). Dengan memecahkan persamaan simultan di atas, guna memperoleh eksponen dari tiap
suku π� dan dengan demikian sukusuku π dapat terbentuk.
g) Maka diperoleh π�= �(π�, π� … . π�).
h). Untuk mendapatkan bentuk akhir, diperlukan langkah sbb.:
Variabel tak berdimensi, langsung sebagai π;
Sembarang π dapat diganti dengan π tersebut pangkat sembarang. Misalnya ��
diganti ��� dan lainlain;
Sembarang π dapat diganti dengan mengalikan π tersebut dengan bilangan numerik
sembarang. Misalnya �� diganti 3�� dan lainlain, dan menambahkan atau
mengurangkan dengan π lain.
Sembarang π dapat diganti dengan π lainnya
Sembarang π dapat diganti dengan mengalikan π tersebut dengan π lainnya.
Misalnya �� diganti ��x �� dan lainlain.
38
2.8 Pendekatan Statistik
Statistik merupakan suatu metoda, ilmu dan seni yang berhubungan dengan caracara
pengumpulan, pencatatan, pengolahan dan pengambilan keputusan yang beralasan
berdasarkan analisis yang dilakukan (Sugiono, 2012).
Penyajian data statistik data ditampilkan dalam bentuk penyajian dengan tabel dan
gambar.
2.8.1 Pendekatan Persamaan Regresi
Bentuk konfigurasi dasar merupakan suatu fenomena kompleks, tidak ada satu parameter
hidraulik yang dapat ditemukan untuk menggambarkan model dalam semua kondisi.
Dalam penelitian ini, akan digunakan pendekatan regresi untuk mencari variabel
dominan yang dapat menentukan hubungan antara koefisien kekasaran dasar Manning dan
bentuk konfigurasi dasar.
2.8.2 Model Regresi dua Variabel
Menurut Sugiono (2012), beberapa alternatif analisi regresi yang umum digunakan dalam
analisis data diantaranya adalah model regresi. Berbagai model regresi untuk membuat
hubungan pasangan data pengamatan {(X�, Y�); � = 1,2, … , �} (Soewarno, 1995), antara lain :
linear sederhana Y = a�X + b�
Model berpangkat Y = b�. ���
fungsi logaritma Y = b� +a� log X
Regresi linear berganda Y = A�X���X�
�� + ⋯X�������.
Penyelesaian persamaan tersebut diselesaikan, dengan perangkat lunak microsoft excel
dan matlab. Penjelasan rumusan secara analitis (Lampiran D)
2.8.3 Analisa Korelasi pada Persamaan Regresi
Ada tidaknya hubungan antara variabelvariabel dan seberapa kuat hubungan tersebut dapat
diolah dengan komputer menggunakan korelasi Pearson (Pearson Correlation).
Rumusan koefisien korelasi, dengan rumusan pada Persamaan 2.41:
R =�∑�����∑�� ∑��
���∑���(∑��)
����∑����(∑��)
��
.......................................(2.41)
dimana X� = X −X� , X adalah data aktual, X� adalah ratarata nilai X, Y� = Y −Y� , Y adalah
hasil peramalan, Y� adalah ratarata nilai Y (Soewarno, 1995).
Hubungan antara fenomena berdasarkan nilai koefisien korelasi dapat dilihat,
sebagaimana Tabel 2.10.
39
Tabel 2.10. Nilai Koefisien Korelasi (Sarwono, 2006)
Koefisien Korelasi (R2) Hubungan
0 0 < R2 ≤ 0,25
0,25 < R2 ≤ 0,50 0,50 < R2 ≤ 0,75 0,75 < R2 ≤ 0,99
1
Tidak terdapat hubungan linier korelasi sangat lemah korelasi cukup korelasi kuat korelasi sangat kuat korelasi sempurna
Tabel 2.10, menunjukan nilai korelasi merupakan derajat hubungan antara variabel,
yang bertujuan untuk mengetahui seberapa baik suatu persamaan menjelasksan hubungan
antara variabel tersebut. Nilai koefisien korelasi berkisar antara 1,0 ≤ R ≤ 1,0.
2.8.4 Uji Kesalahan
Pengujian uji kesalahan dalam perhitungan dilakukan dengan membandingkan hasil nilai
koefisien kekasaran dasar hitungan terhadap nilai koefisien kekasaran Manning pengukuran
rumusan empiris.
Perhitungan Nilai Rasio n data dan n dihitung dengan rumus empiris
Perhitungan nilai koefisien kekasaran (n) hasil hitungan, dibandingkan dengan nilai Manning
pengukuran rumusan empiris. Rumusan yang digunakan sebagaimana Persamaan 2.42 :
Rasionilaikoefisienkekasaran(n) = ���������
������������������� ………………….(2.42)
Perhitungan Persentase Penyimpangan dengan nilai koefisien kekasaran Manning
Penentuan persentase penyimpangan nilai koefisien kekasaran Manning, dimaksudkan untuk
memudahkan, dalam meneliti keakuratan atau kebenaran hasil hitungan. Metode yang
digunakan adalah metode kesalahan absolute ratarata (KAR). Rumusan pada Persamaan 2.43
Kesalahanabsoluterata(KAR) =�
�∑
�������������������������������
�������������������x100% …….(2.43)
Kriteria ketepatan model yang lain adalah Nash atau Nash Sutcliffe Model Efficiency
Coefficient (NSE) memberikan suatu indikasi yang baik pada pencocokan 1: 1 antara simulasi
dan pengamatan. Rumusan Nash sebagaimana Persamaan 2.44.
NSE= 1 −�(���������)�
(����������)�� ................................................(2.44)
dimana ���� adalah data pengamatan, n���� adalah ratarata data pengamatan dan n��� adalah
nilai hasil simulasi. Kriteria nilai NSE dapat dilihat pada Tabel 2.11.
40
Tabel 2.11 Kriteria Nash Sutcliffe Model Efficiency Coefficient (Motovilov et al., 1999)
Nilai Nash Sutcliffe Model Efficiency Coefficient (NSE). Interpretasi
NSE > 0,75 Baik
0,36 <NSE 0,75 Memuaskan
NSE 0,36 Tidak memuaskan
Selanjutnya untuk menghitung akurasi prediksi ini dengan menggunakan kesalahan
normal ratarata (MNE) seperti pada Persamaan 2.45.
MNE =���
�∑
|�������|
���
���� .................................................(2.45)
dengan N = banyak data, Xmi = data pengukuran di laboratorium dan Xci = data hasil
perhitungan simulasi empiris.
2.8.5 Pengujian Hipotesis Penelitian
Hipotesa statistik adalah suatu dugaan atau pernyataan tentang parameter statistik yang
didasarkan pada sampel dari data.
Hipotesa statistik dirumuskan agar kita dapat dengan mudah menerima maupun
menolak dugaan yang kita buat (Soewarno, 1995).
a. Arah atau bentuk uji hipotesa
satu sisi (one tile) adalah bila hipotesis alternativena menyatakan adanya perbedaan dan
ada pernyataan yang mengatakan salah satu lebih tinggi atau rendah dari pada yang lain.
dua sisi (two tile ) adalah merupakan hipotesis alternatif, yang hanya menyatakan
perbedaan tanpa melihat apakah hal satu lebih tinggi atau rendah dari hal lain.
b. Berdasarkan Jumlah sampelnya, pengujian hipotesis dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu
sebagai berikut.
Pengujian hipotesis sampel besar, merupakan pengujian hipotesis yang menggunakan
sampel lebih besar dari 30 (n > 30).
Pengujian hipotesis sampel kecil, merupakan pengujian hipotesis yang menggunakan
sampel lebih kecil atau sama dengan 30 (n ≤ 30).
c. Pengujian hipotesis dengan distribusi t (tstudent), merupakan pengujian hipotesis yang
menggunakan distribusi t sebagai uji statistik. Hipotesa tstudent biasanya digunakan
pada sampel kecil. Tabel pengujiannya disebut tabel tstudent (lampiran E1). Hasil uji
statistik ini kemudian di bandingkan dengan nilai dalam tabel untuk menerima atau
menolak hipotesis nol (H0)
d. Pengujian hipotesis dengan distribusi F (Fratio), merupakan pengujian hipotesis
yang menggunakan distribusi F (Fratio) sebagai uji statistik. Tabel pengujiannya
41
terlampiran dalam tabel F (lampiran E2). Hasil uji statistik ini kemudian di bandingkan
dengan nilai dalam tabel, untuk menerima atau menolak hipotesis nol (H0)
e. Menentukan formulasi hipotesis statistic, di bedakan atas dua jenis, yaitu :
Hipotesis nol/nihil (H0), merupakan hipotesis yang dirumuskan sebagai suatu
pernyataan yang akan diuji. Hipotesis nol, tidak memiliki perbedaan atau
perbedaannya nol dengan hipotesis sebenarnya.
Hipotesis alternatif/tandingan (H1/Ha) , merupakan hipotesis yang di rumuskan sebagai
lawan atau tandingan dari hipotesis nol.
f. Pengujian pada data penelitian meliputi :
Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui status ketidaklinearan suatu distribusi nilai
data hasil yang diperoleh, melalui analisa regresi. Hasil pengujian dikategorikan linier,
maka data penelitian diselesaikan dengan analisa regresi linier. Sebaliknya apabila data
tidak linier maka diselesaikan dengan analisa regresi nonlinier.
Pendeteksian apakah model linear atau tidak dapat dilakukan dengan membandingkan
antara nilai F atau tstatistik dengan F atau tTabel dengan taraf signifikan 5%, yaitu:
Jika nilai t hitungan statistik > tTabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model
linear adalah ditolak.
Jika nilai t hitungan statistik ≤ tTabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model
linear adalah diterima.
Jika nilai F hitungan statistik > FTabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model
linear adalah ditolak.
Jika nilai F hitungan statistik ≤ FTabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model
linear adalah diterima.
Pengambilan keputusan hipotesa berdasarkan pada probabilitas (asymptotic Significant)
Jika probabilitas < 0,05 maka hipotesa nol diterima, maka tidak memiliki perbedaan
atau perbedaannya nol dengan hipotesis sebenarnya
Jika probabilitas > 0,05 maka hipotesa nol ditolak atau angka korelasi tidak sama
dengan 0 (nol), hal ini berarti tidak memiliki perbedaan yang nyata.
Pengertian angka korelasi
angka korelasi 0 (nol) berarti tidak ada korelasi sama sekali, angka 1 (satu) berarti
korelasi sempurna.
tanda ““ (negatif) pada keluaran artinya antar variabel berbanding terbalik. tanda “ + ”
(positif) pada keluaran artinya antar variabel berbanding lurus.
42
g. Pengujian Varian Populasi
Selanjutnya untuk menguji dua variable yang memiliki varian (ukuran sebaran data), maka
dilakukan pengujian varian populasi. Metode statitik yang umum digunakan dalam mengujian
hipotesa adalah UjiF. Apabila varian kedua sampel tersebut setelah diuji ternyata tidak
terdapat perbedaan yang nyata, maka dikatakan variannya sama jenis (homogeneous
variances). Rumusan yang digunakan sebagaimana Persamaan 2.46 :
F =����
�(����)
����(����)
………………………………..…..(2.46)
Jika nilai FStatistik < FTabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa data hasil
rumusan empiris mempunyai kesamaan yang nyata
Jika nilai FStatistik > FTabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa data hasil
rumusan empiris tidak mempunyai kesamaan yang nyata
2.9 Kerangka Berpikir
Secara teoritis debit aliran saluran merupakan informasi yang paling penting bagi pengelolaan
sumberdaya air. Debit aliran merupakan parameter penting dalam merancang struktur
hidraulik atau rekayasa hidraulik. Debit aliran secara empiris dinyatakan sebagai hasil
perkalian antara kecepatan aliran dengan luas penampang basah.
Kecepatan aliran air mengalir melalui saluran terbuka, dapat mengalami perlawanan
aliran yang dipengaruhi oleh kekasaran dasar dan dinding saluran, kemiringan, kedalaman
aliran serta ukuran saluran. Besar perlawanan aliran yang terjadi, dapat ditentukan dengan
mengetahui besarnya koefisien kekasaran pada material dasar penyusun saluran.
Kekasaran material dasar saluran sangat berpengaruh pada karakteristik aliran. Kesalahan
dalam menentukan besarnya nilai kekasaran dasar saluran akan menimbulkan kesalahan
dalam menghitung kecepatan/debit aliran.
Perlawanan aliran bidang dasar rata dalam kondisi turbulen di saluran aluvial non
kohesif, hanya terdiri dari komponen kekasaran butiran saja. Ketika angkutan sedimen mulai
bergerak akibat energi disipasi (spesifik stream power), dasar saluran menjadi tidak stabil dan
membentuk konfigurasi dasar. Ketika pembentukan dasar terjadi, maka form drag harus
ditambahkan pada tarikan permukaan atau perlawanan bentuk. Sehingga dalam menentukan
nilai koefisien kekasaran ada dua elemen yang diperhitungan, pertama akibat kekasaran
butiran dan kedua akibat perlawanan bentuk.
Kekasaran dasar saluran yang digunakan, di lapangan adalah nilai koefisien kekasaran
Manning. Pengunaan koefisien kekasaran Manning (n tabel), hanya disarankan untuk saluran
43
kondisi seragam dan dasar rata. Penerapan n tabel Manning sering memberikan hasil sangat
kasar, karena keadaan aliran lebih banyak tergantung faktor yang tidak diketahui, diantaranya
bentuk dasar dan spesifik streampower.
Penelitian terdahulu yang dilakukan, untuk mendapatkan nilai koefisien kekasaran
Manning, diantaranya Limerinos (1970), Griffiths (1981), Brownlie (1983), Jarrett (1985),
Ghani et al. (2007), Babai (2008), Ali and Saib (2011), Mirauda and Greco (2014), Nohani
(2015). Penelitian – penelitian yang ada tersebut, belum memperhitungkan adanya dasar tidak
rata atau bentuk dasar dan adanya spesifik stream power. Sedangkan pada penelitian Karim
and Kennedy (1990) telah memasukan unsur bentuk dasar, yang berkaitan dengan faktor
gesekan Darcy Weisbach. menghasilkan nilai koefisien kekasaran Manning agak besar.
Penelitian perlawanan bentuk dan akibat kekasaran butiran pada nilai koefisien Manning, diantaranya
Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et al. (2006). Bajorunas (1952) mengusulkan nilai
akibat perlawanan bentuk didasarkan percobaan Einstein (1950), dan memodifikasinya
kedalam rumusan koefisien kekasaran Manning akibat perlawanan bentuk (���). Rumusan Bajorunas
(1952), belum mengkaitkan perlawanan bentuk dengan bentuk dasar.
Talebbeydokhti et al. (2006) telah melakukan pengembangan penelitian Bajorunas
(1952), dalam bentuk dasar dunes. Mereka mengunakan perlawanan bentuk didasarkan pada
pengurangan rumusan nilai koefisien kekasaran Manning terhadap kekasaran butiran rumusan
Strickler (��� = � − ��), Sehingga nilai kekasarannya masih didasarkan koefisien kekasaran
Manning. Penelitian yang dilakukan oleh Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et al. (2006)
belum diteliti secara mendetail dari sudut pandang analitis, terutama perlawanan bentuk
akibat konfigurasi dasar dan spesifik stream power.
Penelitian prediksi bentuk dasar telah banyak dikembangkan, terutama pada tinggi dan
panjang bentuk dasar. Umumnya, nilai koefisien kekasaran dasar dan spesisfik stream power
tidak diperhitungkan bentuk konfigurasi dasar. Konsep spesifik stream power untuk angkutan
sedimen berdasarkan fisika umum telah memperkenalkan Bagnold (1966). Spesifik stream
power berhubungan dengan perubahan energi potensial aliran menjadi energi kinetik. Adanya
stream power pada perlawanan dasar, menyebabkan butiran sedimen akan menggelinding
atau menggelincir sepanjang dasar saluran dan hal ini merupakan permulaan terjadi angkutan
sedimen. Beberapa penelitian telah menghubungkan adanya spesifik stream power terhadap
pergerakan butiran dasar, diantaranya Costa (1983), Williams (1983), Jacob (2003), Petit et al.
(2005), Mao et al, (2008) serta Galia and Hradecký (2011). Oleh karena itu, paper disertasi
hubungan bentuk konfigurasi dasar saluran terhadap koefisien kekasaran dasar material non
44
kohesif, dengan memasukan spesifik stream power. Konsep kerangka berpikir penyusunan
disertasi ini dapat dilihat pada Gambar 212.
Kajian pada penelitian ini, dilakukan berdasarkan pada data primer dan sekunder.
Secara keseluruhan mapping penelitian, berupa tahapan untuk mencapai tujuan dapat dilihat
pada Gambar 213.
Angkutan Sedimen
Kedalaman Aliran (h)
Ukuran Sedimen Dasar
(ds)
Perlawanan Aliran
Stream Power ()
Penelitian yang akan dilaksanakan
Kemiringan
Saluran (S)
Memodifikasi nilai koefisien kekasaran
Manning didasarkan pada kekasaran akibat butiran dan Perlawanan bentuk terhadap bentuk dasar
dengan adanya Spesifikasi stream power
Pengembangan Rumusan Bajorunas (1952)
dan Talebbeydokhti et al. (2006) secara
analitik, yang disebabkan konfigurasi dasar
dan spesifik stream power saluran aluvial
non kohesif
Debit Aliran (Q) Merancang struktur hidraulik atau rekayasa hidraulik
Kecepatan Aliran (V)
Geometri Bentuk
konfigurasi Dasar
Nilai Koefisien Kekasaran Manning
Studi Literatur dan Kajian Teori Penelitian Sebelumnya
1. Penelitian bentuk konfigurasi dasar 2. Penelitian pada koefisien kekasaran
Manning total 3. Penelitian Manning berdasarkan konsep
pemisahan linear 4. Penelitian spesifikasi stream power
Gambar 212. Kerangka Berpikir pada Penelitian
45
2.10 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teoritik, hasil penelitian di atas maka dapat disusun suatu hipotesis sebagai
berikut :
Nilai Koefisien Kekasaran Bentuk Dan Konfigurasi Dasar
(n”) dan Stream power
Gambar 213 Mapping untuk Mencapai Tujuan Penelitian
Hubungan Bentuk Konfigurasi Dasar Saluran terhadap Koefisien Kekasaran
Dasar Material Non Kohesif
Permasalahan 1. Bagaimana pengaruh spesifik stream power ()
terhadap bentuk konfigurasi dasar; 2. Bagaimana pengaruh spesifik stream power ()
terhadap nilai kekasaran dasar saluran dengan adanya bentuk konfigurasi dasar;
3. Bagaimana hubungan antara variabelitas geometri bentuk konfigurasi dasar saluran terhadap nilai koefisien kekasaran Manning, yang diakibatkan komponen kekasaran butiran dan perlawanan bentuk;
4. Bagaimana memodifikasi nilai koefisien kekasaran didasarkan perlawanan bentuk (���) pada rumusan Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et al. (2006) secara analitik, yang disebabkan konfigurasi dasar pada saluran aluvial non kohesif.
Uji model hidraulik, berdasarkan data Kedalaman, Kemiringan, diameter butiran sedimen
Tujuan 1. Mengkaji pengaruh spesifik stream power ()
terhadap bentuk konfigurasi dasar; 2. Mengkaji pengaruh adanya spesifik stream
power () terhadap nilai koefisien kekasaran dasar dengan adanya bentuk konfigurasi dasar;
3. Mengkaji hubungan antara variabelitas geometri bentuk konfigurasi dasar saluran, terhadap nilai koefisien kekasaran Manning, yang diakibatkan komponen kekasaran butiran dan perlawanan bentuk;
4. Memodifikasi rumusan koefisien kekasaran Manning didasarkan perlawanan bentuk (���), disebabkan bentuk konfigurasi dasar yang terjadi pada saluran aluvial non kohesif dengan memasukan unsur spesifik stream power
Keluaran
mendapatkan suatu perhitungan kecepatan aliran pada saluran alam atau buatan berdasarkan koefisien kekasaran Manning yang berkaitan dengan bentuk konfigurasi dasar
Memberikan masukan bagi perkembangan pengetahuan
Mendapatkan nilai koefisien hidraulik dalam hal ini kekasaran bentuk (���) sebagai fungsi bentuk
Jurnal Internasional Konferensi Internasional
Karekteristik Hidraulik aliran stream power, dan Sedimen
Analisis Data
Koefisien Kekasaran Manning
Validasi
Dimensi Konfigurasi Dasar (Δdanλ) , kecuraman (Δ/λ)
Nilai Koefisien Dasar
Manning Butiran (n)
Bentuk Konfigurasi Dasar Saluran
46
1) Terdapat hubungan antara spesifik stream power terhadap bentuk konfigurasi dasar
saluran;
2) Terdapat hubungan antara spesifik stream power terhadap perlawanana bentuk;
3). Terdapat hubungan antara koefisien kekasaran Manning yang berkaitan dengan
perlawanan bentuk (n��) terhadap karakteristik konfigurasi dasar saluran, berupa tinggi
bentuk dasar (∆), panjang bentuk dasar (λ) maupun kecuraman (∆/λ);
4) Terdapat hubungan antara karakteristik material dasar dengan dimensi bentuk konfigurasi
dasar yang terjadi.
2.11 Kebaruan (Noveltis)
Novelty merupakan unsur kebaruan atau temuan dari sebuah penelitian. Penelitian dikatakan
baik jika menemukan unsur temuan baru sehingga memiliki kontribusi baik bagi keilmuan
maupun bagi kehidupan.
Dalam rekayasa hidraulik, koefisien kekasaran dasar merupakan parameter penting
dalam perhitungan kecepatan dan debit aliran untuk merancang struktur hidraulik. Beberapa
penelitian terdahulu telah melakukan kajian terhadap nilai koefisien kekasaran dasar Manning
didasarkan pada perlawanan aliran, dan belum banyak yang melibatkan bentuk dasar.
Sedangkan Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et al. (2006) belum diteliti secara mendetail
dari sudut pandang analitis, terutama perlawanan bentuk akibat konfigurasi dasar dan spesifik
stream power.
Dalam rekayasa hidraulik, koefisien kekasaran dasar merupakan parameter penting
dalam perhitungan kecepatan dan debit aliran untuk merancang struktur hidraulik. Beberapa
penelitian terdahulu telah melakukan kajian terhadap nilai koefisien kekasaran dasar Manning
didasarkan pada perlawanan aliran, dan belum banyak yang melibatkan bentuk dasar.
Sedangkan Bajorunas (1952) dan Talebbeydokhti et al. (2006) belum diteliti secara mendetail
dari sudut pandang analitis, terutama perlawanan bentuk akibat konfigurasi dasar dan spesifik
stream power.
Penelitian Costa (1983), Williams (1983), Jacob (2003), Petit et al. (2005), Mao et al,
(2008) serta Galia and Hradecký (2011, menyatakan pergerakan butiran dasar dipengaruhi
oleh adanya spesifik stream power. Oleh karena itu, dalam disertasi ini novelitisnya adalah
memodifikasi rumusan nilai koefisien kekasaran Manning berkaitan perlawanan bentuk,
dengan mempertimbangkan bentuk konfigurasi dasar dan spesifik stream power. Hubungan
ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dalam memprediksi debit/kecepatan aliran.