KARAKTERISTIK ELEKTROLIT GADOLINIUM DOPED
CERIUM (GDC) DENGAN VARIASI TEMPERATUR
KALSINASI UNTUK INTERMEDIATE TEMPERATURE
SOLID OXIDE FUEL CELL (IT SOFC)
SKRIPSI
WINDI AZIZAH FITRI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
KARAKTERISTIK ELEKTROLIT GADOLINIUM DOPED
CERIUM (GDC) DENGAN VARIASI TEMPERATUR
KALSINASI UNTUK INTERMEDIATE TEMPERATURE
SOLID OXIDE FUEL CELL (IT SOFC)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
WINDI AZIZAH FITRI
1112096000047
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
ABSTRAK
Windi Azizah Fitri. Karakteristik Elektrolit Gadolinium Doped Cerium (GDC)
dengan Variasi Temperatur Kalsinasi untuk Intermediate Temperatur Solid Oxide
Fuel Cell (IT SOFC). Dibimbing oleh Jarot Raharjo dan Nanda Saridewi.
Komponen utama dalam SOFC adalah elektrolit. Material berbasis cerium
memiliki prospek yang menjanjikan untuk digunakan pada IT SOFC sebagai
elektrolit padat karena mampu beroperasi pada temperatur rendah namun
menghasilkan konduktivitas listrik yang baik. Produksi elektrolit SOFC biasanya
menggunakan material komersial dengan harga tinggi. Untuk itu dalam penelitian
ini dikembangkan material yang hemat biaya produksi yaitu buatan lokal. Pada
penelitian ini serbuk Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC 10) dari bahan komersial (GDC K)
maupun dari bahan lokal (GDC L) disintesis menggunakan metode solid state
dengan variasi temperatur kalsinasi 0oC (non kalsinasi), 600
oC, 700
oC, 800
oC.
Serbuk GDC K dan GDC L dibuat pellet. Analisa yang dilakukan yaitu sifat
kestabilan termal dengan TGA menunjukkan GDC K lebih stabil daripada GDC
L. GDC K 800 mengalami pengurangan massa terkecil yaitu 1,653%. Analisa
XRD menunjukkan GDC memiliki struktur kristal kubik. Hasil PSA menunjukkan
Semakin kecil temperatur kalsinasi yang diberikan maka semakin kecil ukuran
partikel. Ukuran partikel terkecil terdapat pada sampel GDC K 600 yaitu 647,3
nm, untuk GDC L 600 sebesar 463,3 nm. XRF mengkonfirmasi keberadaan
unsur-unsur gadolinium, cerium dan oksigen. Hasil analisa densitas menunjukkan
densitas tertinggi terdapat pada sampel GDC K 800 yaitu sebesar 99,94%.
Konduktivitas tertinggi dari hasil EIS terdapat pada sampel GDC K 600oC sebesar
0,0153 S.cm-1
.
Kata kunci: Elektrolit, GDC, SOFC
ABSTRACT
Windi Azizah Fitri. Characteristics Electrolyte of Gadolinium Doped Cerium
Electrolyte (GDC) with Variation Calcination Temperature for Intermediate
Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT SOFC). Supervised by Jarot Raharjo
and Nanda Saridewi.
Major components in SOFC is the electrolyte. Cerium based materials
have promising prospects for use in medium temperature solid oxide fuel cells as
solid electrolyte because they are able to operate at low temperatures but produce
good electrical conductivity. SOFC electrolyte usually uses commercial material
with high price. Therefore, this research will be developed cost effective material
production and derived from natural resources or locally made. In this study,
Ce0,9Gd0,1O1,95 (GDC 10) powder from commercial materials (GDC K) and from
local materials (GDC L) was synthesized using solid state method with variation
of calcination temperature, 0 oC (non calcine), 600
oC , 700
oC , 800
oC. GDC K
and GDC L powder made pellets. The analyzes thermal stability with TGAshow
GDC K more stable than GDC L. GDC K 800 has the smallest mass reduction
that is 1,653%. XRD analysis shows that GDC has a cubic structure. The PSA
results show PSA results show The smaller the calcination temperature given the
smaller the particle size. The smallest particle size was found in GDC K 600
samples 647.3 nm, for GDC L 600 463.3 nm. XRF confirmed the existence of
gadolinium, cerium and oxygen elements. The result of density analysis shows the
highest density is in GDC K 800 sample that is 99,94%. The highest conductivity
of the EIS results is in GDC K 600 oC samples of 0.0153 S.cm-1.
Keywords: electrolyte , GDC, SOFC
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Elektrolit Gadolinium Doped
Cerium (GDC) dengan Variasi Temperatur Kalsinasi untuk Intermediate
Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT SOFC)”. Penelitian ini telah dilaksanakan
di Laboratorium Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Puspiptek, Serpong pada bulan Januari-Agustus 2017. Penulis tidak
mungkin selesai menyusun skripsi ini tanpa pihak-pihak yang terus memberikan
bimbingan serta dukungannya. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Jarot Raharjo, M.Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan
pengetahuan, arahan serta nasihat bagi penulis.
2. Nanda Saridewi, M.Si, selaku pembimbing II yang telah memberikan kritik
dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis.
3. Dr. Hendrawati, M.Si sebagai Penguji I yang telah memberi saran dan
masukkan yang sangat bermanfaat bagi penulis pada skripsi ini.
4. Nurhasni, M.Si sebagai Penguji II yang telah memberi saran dan masukan
yang sangat bermanfaat bagi penulis untuk skripsi ini.
5. Damisih, M.Si dan Novita Amie Lestari, M.Si, selaku pembimbing teknis di
laboratorium Pusat Teknologi Material yang telah membantu penulis dalam
kegiatan di laboratorium.
6. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
8. Seluruh Dosen Program Studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama
mengikuti perkuliahan.
9. Orang tua saya Effendi Rusli (Bapak), Wiwi Kartini (Mama) yang tak pernah
lelah mendoakan, mencurahkan kasih sayang, memberikan nasihat serta
dukungan moril maupun materil kepada penulis.
10. Semua teman-teman mahasiswa tugas akhir di PTM BPPT, teman – teman
Kimia UIN 2012, kakak-kakak dan adik-adik kelas yang telah membantu dan
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Semoga arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan menjadi amal
ibadah bagi keluarga, bapak, ibu, dan rekan-rekan, sehingga memperoleh balasan
yang lebih baik dari Allah SWT. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
serta dapat dijadikan sebagai sumbangan pikiran untuk perkembangan ilmu
pengetahuan.
Jakarta, Januari 2018
Windi Azizah Fitri
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….….iii
DAFTAR GAMBAR ……….................................................................................v
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2.Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.3.Hipotesis ............................................................................................................ 5
1.4.Tujuan ............................................................................................................... 5
1.5.Manfaat Penelitian ............................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
2.1.Fuel Cell ............................................................................................................ 7
2.2. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)……………………………………………… 10
2.3. Prinsip kerja Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) .................................................. 11
2.4. Intermediete Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT-SOFC) ....................... 12
2.5. Komponen Penyusun SOFC .......................................................................... 13
2.6. Elektrolit Berbasis Cerium ............................................................................. 14
2.7. Struktur Florit Padatan Oksida (fluorite structure of solid oxides) ................ 15
2.8. Metode Solid State ......................................................................................... 16
2.9. Ball Mill ......................................................................................................... 17
2.10.Scanning Electron Microscope (SEM).......................................................... 18
2.11. Particle Size Analysis (PSA) ........................................................................ 20
2.12. X-Ray Diffraction (XRD) ............................................................................ 21
2.13. Thermal Gravimetric Analysis (TGA) ......................................................... 23
2.14. Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) ......................................... 25
2.15. X-Ray Flourecence (XRF) ........................................................................... 26
iv
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 28
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 28
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................... 28
3.3 Prosedur Penelitian.......................................................................................... 28
3.3.1 Preparasi sampel CeO2 lokal ................................................................ 28
3.3.2. Sintesis GDC dengan metode solid state……………………………. 29
3.3.3. Pembuatan Pellet (Kompaksi) ............................................................ 30
3.3.4. Identifikasi Fasa dan Struktur Kristal dengan XRD ........................... 30
3.3.5. Identifikasi Ukuran Partikel dengan PSA(ASTM D422-63) ............... 31
3.3.6. Identifikasi Permukaan Material dengan SEM (ASTM E1508-12a) ... 31
3.3.7. TGA (Termogravimetry Analysis)(ASTM E1131) .............................. 31
3.3.8. Analisa Densitas dengan Hukum Archimedes..................................... 32
3.3.9. Identifikasi Nilai Konduktivitas Material dengan EIS ........................ 32
3.4.Diagram alir penelitian .................................................................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 35
4.1. Sintesis elektrolit GDC .................................................................................. 35
4.2. Analisis Kestabilan Thermal dengan (Thermogravimetry analysis) TGA .... 36
4.3. Karakteristik GDC K variasi temperatur kalsinasi dengan XRD................... 41
4.4 Analisis Komposisi Unsur GDC K dan GDC L dengan XRF ....................... 48
4.5. Analisis ukuran partikel GDC K dengan Particle Size Analyzer (PSA) ........ 50
4.6. Analisis ukuran partikel GDC L dengan Particle Size Analyzer (PSA) ........ 52
4.7. Analisis morfologi permukaan dengan menggunakan SEM .......................... 54
4.8. Densitas GDC K ............................................................................................ 55
4.9. Densitas GDC L ............................................................................................ 57
4.10. Pengukuran Konduktivitas GDC K dengan EIS .......................................... 58
4.11. Pengukuran konduktivitas GDC L dengan EIS ........................................... 61
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 64
5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 64
5.2 Saran .............................................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66
LAMPIRAN ......................................................................................................... 71
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Prinsip Pengoperasian SOFC ........................................................... 12
Gambar 2. Struktur florit CeO2.......................................................................... 16
Gambar 3. Planetary Ball Mill .......................................................................... 17
Gambar 4. Material dan bola penghancur didalam vial (dinding vial = lingkaran
dengan garis putus-putus, bola penghancur = bulat hitam besar, material
= bulat hitam kecil) ........................................................................... 18
Gambar 5. Skema kerja SEM ............................................................................ 19
Gambar 6. Skema DLS PSA.............................................................................. 21
Gambar 7. Difraksi Bragg ................................................................................. 22
Gambar 8. Skema Kerja XRD ........................................................................... 23
Gambar 9. (a) Instrumen TGA di Pusat Teknologi Material, BPPT (b) skema 24
Gambar 10. Skema kerja EIS ............................................................................ 26
Gambar 11. Instrumen XRF .............................................................................. 27
Gambar 12 Ilustrasi partikel yang bertumbukkan selama proses milling ......... 35
Gambar 13 a) sampel GDC K variasi temperatur kalsinasi, b) sampel GDC L
variasi temperatur kalsinasi ............................................................. 36
Gambar 14. Dekomposisi Massa TGA GDC K ................................................ 37
Gambar 15. Dekomposisi Massa TGA GDC L ................................................. 39
Gambar 16. Pola difraksi XRD GDC K variasi temperatur kalsinasi ............... 41
Gambar 17. Pola difraksi XRD GDC L variasi temperatur kalsinasi ................ 45
Gambar 18. Grafik analisis PSA GDC K variasi temperatur kalsinasi ............. 50
Gambar 19. Grafik analisis PSA GDC L variasi temperatur kalsinasi .............. 52
Gambar 20 (a) Morfologi serbuk GDC K 700oC (b) Morfologi serbuk GDC L
700oC .............................................................................................. 54
Gambar 21. Densitas GDC K ............................................................................ 55
Gambar 22. Densitas GDC L ............................................................................. 57
Gambar 23. Konduktivitas GDC K ................................................................... 59
Gambar 24. Konduktivitas GDC L .................................................................... 62
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tipe fuel cell berdasarkan temperatur operasi dan elektrolit ................. 9
Tabel 2. Data berat masing-masing senyawa ..................................................... 29
Tabel 3. Puncak-Pucak tertinggi GDC K ........................................................... 43
Tabel 4. Puncak-puncak tertinggi GDC L .......................................................... 47
Tabel 5. Data analisa XRF GDC K dan GDC L................................................. 48
Tabel 6. Data analisis XRF CeO2 L .................................................................... 49
Tabel 7 Hasil uji EIS Konduktivitas GDC K .................................................... 60
Tabel 8 Hasil uji EIS konduktivitas GDC L ...................................................... 62
Tabel 9 Data hasil pengujian densitas GDC K .................................................. 76
Tabel 10. Data hasil pengujian densitas GDC L ................................................ 76
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan stoikiometri ............................................................... 72
Lampiran 2. Perhitungan ukuran kristal menggunakan persamaan Scherrer .... 74
Lampiran 3. Perhitungan porositas dan densitas dengan prinsip Archimedes .. 76
Lampiran 4. Foto penelitian .............................................................................. 78
Lampiran 5. Analisis XRD menggunakan software HighScore........................ 84
Lampiran 6. Hasil analisa PSA ......................................................................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kebutuhan energi di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,9%
setiap tahunnya (BPPT Outlook Energi Indonesia, 2014). Penggunaan minyak bumi
di Indonesia sebagai bahan bakar fosil masih mendominasi yaitu sebesar 51,66 %
(ESDM, 2008). Cadangan minyak bumi di Indonesia hanya 3,7 milyar barel dan
diperkirakan akan habis dalam waktu 24 tahun (Handbook of Energy and Economic
Statistic of Indonesia, 2016). Perlu dilakukan upaya untuk menghasilkan sumber
alternatif energi yang baru.
Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) merupakan salah satu alternatif teknologi yang
prospektif untuk digunakan. SOFC adalah suatu jenis perangkat elektrokimia yang
menggunakan bahan bakar oksida padat yang dapat mengkonversi energi kimia
menjadi energi listrik secara langsung sehingga lebih efisien dan bebas dari polusi
(EG&G Technical Service Inc, 2004). Pengembangan energi alternatif ini berkaitan
dengan surat Al Jatsiyah ayat 13.
Artinya: “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”
Ayat ini menjelaskan bahwa semua ciptaan Allah tidak ada yang sia-sia,
melainkan ada manfaat dan hikmah yang dapat diambil. Manusia sebagai kaum yang
2
diberi akal untuk kemampuan berpikir menggali ilmu pengetahuan dengan tujuan
dapat memanfaatkan ciptaan-ciptaan Allah agar bisa digunakan atau dikembangkan
untuk menjadi hal yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan adanya pengembangan
energi alternatif SOFC karena lebih efisien dan bebas polusi.
Komponen utama dalam SOFC adalah elektrolit. Elektrolit SOFC berbasis
zirconia, seperti yttria-stabilized-zirconia (YSZ) adalah material yang paling populer
digunakan untuk elektrolit dalam SOFC (Raharjo et al., 2007). Kerapatan arus yang
cukup tinggi dan daya output yang berguna didapatkan saat YSZ dioperasikan pada
temperatur 800 – 1000°C (Sriyanti et al., 2009). Temperatur operasi SOFC yang
tinggi merupakan kelemahan dalam skala komersial. SOFC yang beroperasi pada
temperatur tinggi mudah rusak sehingga umur SOFC menjadi lebih pendek. SOFC
yang beroperasi pada temperatur tinggi juga menyebabkan sistem yang digunakan
untuk jangka panjang tidak stabil, dan memerlukan biaya yang tinggi. Penurunan
temperatur operasi SOFC menjadi 600 oC hingga 800
oC menjadi suatu alternatif
pilihan yang tepat (Raharjo et al., 2007).
Penurunan temperatur operasi akan menyebabkan penurunan performa
SOFC,yang diakibatkan oleh penurunan konduktivitas secara drastis dari elektrolit
YSZ. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini yaitu
menggunakan material elektrolit alternatif yang konduktivitas ionnya lebih tinggi
pada temperatur menengah, seperti mengganti elektrolit YSZ dengan elektrolit
berbasis cerium. Elektrolit berbasis cerium pada temperatur kurang dari 700 oC
memiliki konduktivitas lebih tinggi daripada YSZ sehingga berpotensi untuk
digunakan sebagai elektrolit SOFC pada temperatur menengah (Sriyanti et al., 2009).
3
Produksi elektrolit SOFC ini biasanya menggunakan bahan yang komersial
dengan harga tinggi. Penelitian ini telah mengembangkan material yang hemat biaya
dan yang berasal dari sumber daya alam atau buatan lokal. Penelitian ini sesuai
dengan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengamanatkan peningkatan
nilai tambah sumber daya alam, maka Pemerintah harus mendorong pengembangan
industri pengolahan di dalam negeri.Sehingga dalam penelitian ini dilakukan
pengolahan monasit dari PT. Timah untuk mendapatkan logam tanah jarang Cerium
(Ce) sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal.
Terdapat perbedaan tingkat kemurnian dari bahan komersial dan bahan lokal.
Bahan komersial memiliki tingkat kemurnian yang tinggi dibandingkan dengan bahan
lokal. Hal tersebut akan mempengaruhi sifat fisik dan kimia kedua material tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini akan membandingkansifat fisik dan kimia kedua
material tersebut.
Elektrolit pada SOFC harus memiliki konduktivitas ionik yang tinggi,
densitas diatas 95% agar tidak terjadi kebocoran, stabil pada temperatur sedang
(Fuentes & Baker, 2008). Salah satu strategi yang menunjukkan hasil konduktivitas
ionik yang tinggi, kestabilan termal pada temperatur sedang dan densitas yang lebih
baik dari pada sel elektrolit adalah penambahan doping (Ahmad, et al., 2016).
Doping adalah penambahan atom asing ke dalam kisi kristal dengan jumlah yang
kecil. Doping biasanya mengganti kation valensi rendah dalam kisi untuk
mempertahankan netralitas muatan oksigen dan dapat mengubah sifat listrik material
(Kuphaldt, 2010).
Cerium yang didoping dengan unsur tanah jarang sangat potensial untuk
menghasilkan konduktivitas ionik yang lebih tinggi dibanding YSZ (Abdullah et al.,
4
2008). Jika cerium didoping dengan oksida tanah jarang yang bervalensi dua atau
tiga, maka kekosongan oksigen akan terbentuk didalam kisi sehingga meningkatkan
konduktivitas ionik (Sriyanti et al., 2009). Doping yang paling sering digunakan
adalah Gd3+
. Gadolinium Doped Cerium telah merupakan salah satu elektrolit yang
berpotensi untuk SOFC pada temperatur operasi yang rendah (Aydin et al., 2014).
Penelitian ini digunakan GDC dengan rumus stokiometri Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC10)
karena memiliki konduktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan variasi
konsentrasi lain (Burinkas et al., 2010).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode solid state
menggunakan alat ball mill. Pemilihan metode ini dikarenakan metode ini biasa
digunakan untuk mengubah ukuran partikel material menjadi lebih kecil (Chung, et
al., 2002). Ball mill digunakan karena pada saat proses pencampuran (milling) bahan
dari berbagai komposisi dicampur sampai homogen dan tidak ada kristal yang berdiri
sendiri atau dominan. Ball mill sering digunakan karena prosesnya sederhana dan
efektif untuk menghaluskan butiran sampai skala nanometer pada kebanyakan logam
dan paduan logam (Xu, 2002). Parameter dalam penelitian ini adalah temperatur
kalsinasi. Parameter ini sangat erat kaitannya dengan menentukan ukuran partikel
yang dihasilkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik maupun kimia sel
elektrolit yang dihasilkan sehingga perlu diketahui pengaruh temperatur
kalsinasipada partikel yang dihasilkan.
5
1.2.Rumusan Masalah
Permasalahan pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakteristik GDC
yang dihasilkan?
2. Bagaimanakah pengaruh variasi temperatur kalsinasi GDC terhadap
konduktivitas?
3. Bagaimana pengaruh kemurnian CeO2 terhadap karakteristik GDC yang
dihasilkan?
1.3.Hipotesis
1. Variasi temperatur kalsinasi berpengaruh pada ukuran partikel GDC yang
dihasilkan.
2. Variasi temperatur kalsinasi berpengaruh terhadap konduktivitas, semakin
kecil ukuran partikel maka akan semakin besar konduktivitas.
3. Kemurnian CeO2 berpengaruh pada karakteristik GDC yang dihasilkan
1.4.Tujuan
1. Menentukan pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakteristik
GDC yang dihasilkan.
2. Menentukan pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap konduktivitas.
3. Menentukan pengaruh kemurnian GDC terhadap sifat fisik dan kimia yang
dihasilkan.
6
1.5.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak terkait
mengenai sintesis sel elektrolit Gadolinium Doped Cerium (GDC) untuk penggunaan
SOFC (Solid Oxide Fuel Cell) sebagai salah satu energi alternatif yang ramah
lingkungan yang menjanjikan untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Fuel Cell
Fuel cell ditemukan oleh Francis Bacon (1904-1992), lulusan Cambridge
University berkebangsaan Inggris. Fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang
secara kontinyu mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik selama terdapat
bahan bakar dan pengoksidan (Idham, 2009). Fuel cell merupakan suatu
alat/perangkat untuk menghasilkan energi listrik dengan hasil sampingan berupa air
dan panas, dengan cara mengoksidasi bahan bakar secara elektrokimia (Raharjo,
2007). Fuel cell dikembangkan untuk mengatasi ketergantungan terhadap bahan
bakar fosil yang menghasilkan polusi. Di bawah ini merupakan beberapa jenis fuel
cell yang saat ini masih dalam tahap pengembangan.
a. AFC (Alkaline Fuel Cell)
AFC menggunakan cairan elektrolit kalium hidroksida (KOH) karena
konduktivitas alkali hidroksida tinggi. AFC beroperasi pada temperatur antara 100°C
sampai 250°C. Sebagian besar AFC telah dirancang untuk aplikasi transportasi. Salah
satu kelemahan utama dari AFC adalah terkait penggunaan cairan elektrolit yang
harus sangat murni (Vaghari et al., 2013).
b. MCFC (Molten Carbonate Fuel Cell)
MCFC adalah sel bahan bakar temperatur tinggi yang menggunakan
elektrolit yang terdiri dari garam campuran karbonat cair (garam natrium atau
magnesium karbonat) yang tersuspensi ke dalam pori yang secara kimia inert
terhadap matriks keramik lithium aluminium oksida (LiAlO2). Elektrolit MCFC
beroperasi sampai 650°C. Kelemahan utama MCFC adalah komponen sel bahan
8
bakar yang mudah rusak karena temperatur operasi tinggi dan penggunaan elektrolit
korosif (Vaghari et al., 2013).
c. PAFC (Phosphoric Acid Fuel Cell)
PAFC menggunakan asam fosfat (H3PO4) dengan konsentrasi tinggi (> 95 %)
sebagai elektrolit dan katalis elektroda karbon berpori yang mengandung platinum
dan secara signifikan meningkatkan biaya sel. PAFC biasanya beroperasi pada
temperatur antara 170°C sampai 210°C. PAFC dapat mentoleransikehadiran karbon
monoksida pada konsentrasi sekitar 1,5%, hal inilah yang memperluas pilihan
penggunaannya (Vaghari et al., 2013).
d. PEMFC (Proton Exchange Membrane Fuel Cell)
Sel bahan bakar membran pertukaran proton (PEMFC) juga dikenal sebagai
membran elektrolit polimer (PEM). Ada dua jenis sel bahan bakar membran
pertukaran proton, yaitu: sel bahan bakar hidrogen dan sel bahan bakar metanol
langsung (DMFC), keduanya memanfaatkan membran pertukaran proton untuk
mentransfer proton hidrogen ke anoda. Kelemahan sel bahan bakar ini rentan
terhadap pembengkakan osmotik, metanol crossover dan biaya tinggi merupakan
salah satu faktor menghambat komersialisasi DMFC (Vaghari et al., 2013).
e. SOFC ( Solid Oxide Fuel Cell )
SOFC menggunakan elektrolit oksida padat yang terdiri dari campuran logam
oksida yang tak berpori. Bahan bakar yang digunakan adalah hidrogen, metana dan
gas alam. (Gregor, 2003).
9
Tabel 1. Tipe fuel cell berdasarkan temperatur operasi dan elektrolit
Jenis Fuel Cell Temperatur
operasi
Elektrolit
SOFC
MCFC
AFC
PAFC
PEMFC
DMFC
800-1000 oC
630- 650 oC
a.
b. 100°C- 250 oC
c.
d.
e.
f. 170-210 oC
g.
h.
i. 50-200 oC
j.
k.
l. 50-110 oC
Elektrolit berbasis
zirconia, seperti
YSZ(Yttrium-stabil
zirkonia)
garam campuran
karbonat cair
(garam natrium atau
magnesium
karbonat)
cairan elektrolit
kalium hidroksida
(KOH)
asam fosfat (H3PO4)
dengan konsentrasi
tinggi (> 95 %)
asam sulfat atau
larutan asam sulfat
yang dicampurkan
ke dalam membran
padat atau larutan
asam sulfat
asam sulfat atau
larutan asam sulfat
yang dicampurkan
ke dalam membran
padat atau larutan
asam sulfat
(Sumber : Vaghari et al., 2013).
10
Perbedaan 6 tipe sel bahan bakar dapat diilustrasikan dari Tabel 1 bahwa
setiap tipe fuel cell memiliki temperatur operasi yang berbeda dan jenis elektrolit
yang digunakan juga berbeda untuk setiap fuel cell.
2.2 Solid Oxide Fuel Cell ( SOFC )
Solid oxide fuel cell adalah suatu jenis perangkat elektrokimia yang dapat
mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik secara langsung sehingga lebih
efisien dan bahan bakarnya bebas dari polusi (EG&G Technical Service Inc.,
2004).SOFC paling cocok untuk pembangkit listrik stasioner skala besar seperti
pabrik dan kota. Satu sel perangkat SOFC terdiri dari sebuah anoda dan katoda yang
dipisahkan oleh elektrolit. SOFC menggunakan senyawa logam keramik, seperti
kalsium oksida atau oksida zirkonium sebagai elektrolit (Vaghari et al., 2013). SOFC
beroperasi pada temperatur 800-1000°C dimana pada temperatur ini konduktivitas
ionik pada elektrolit dapat berlangsung dengan baik (EG&G Technical Service Inc.,
2004).
Perangkat SOFC sebagai energi alternatif memiliki beberapa keunggulan,
diantaranya:
a. Jenis fuel cell yang paling efisien dalam hal menghasilkan listrik
b. Tidak seperti jenis-jenis fuel cell lain yang hanya menggunakan hidrogen
sebagai bahan bakar, SOFC fleksibel dalam pilihan bahan bakar karena
bisa berfungsi dengan hidrogen, butana, metanol, dan produk minyak
bumi lainnya.
c. Memiliki emisi yang sangat rendah, sehingga ramah lingkungan (Fu,
2014)
11
2.3. Prinsip kerja Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
Prinsip operasi dari SOFC adalah kombinasi reaktan elektrokimia untuk
menghasilkan listrik (Fu, 2014). SOFC tersusun atas anoda, katoda dan elektrolit
(membrane). Anoda berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2)
menjadi proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya
reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air. Elektrolit
adalah media untuk mengalirkan proton. Elektrolit oksida padat juga berperan
sebagai jembatan bagi ion oksigen dari katoda ke anoda (Raharjo et al., 2007).
Prinsip kerja SOFC diilustrasikan pada Gambar 1 dimana terdapat, 2
elektroda yaitu anoda dan katoda diantara elektrolit yang terpisah satu sama lain. Gas
hidrogen yang digunakan sebagai bahan bakar akan dialirkan melalui anoda. Gas
hidrogen akan mengalami reaksi oksidasi akibat adanya katalis Ni pada anoda.
Reaksi yang terjadi adalah 2H2(g) + 2O2-
→ 2H2O + 4e. Elektron yang dilepaskan dari
anoda, akan dialirkan melalui sirkuit luar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi
listrik. Elektron bergerak lagi menuju katoda sehingga terjadi reaksi reduksi ketika
gas oksigen dialirkan ke dalam katoda.. Reaksi yang terjadi adalah O2(g) + 4e- → 2O
2-
. Ion oksigen yang dihasilkan di katoda, akan melewati elektrolit dengan bantuan
oxygen vacancy yang tersedia. Ion oksigen kemudian dapat langsung bereaksi dengan
ion hidrogen untuk membentuk air di anoda.Sehingga reaksi keseluruhan yang terjadi
di dalam sel adalah sebagai berikut H2
2O2 → H2O (Sammes, 2006).
12
Gambar 1. Prinsip Pengoperasian SOFC
Sumber : (Sammes, 2006)
2.4. Intermediete Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT-SOFC)
SOFC dengan temperatur tinggi telah dikembangkan dengan elektrolit YSZ
(Yttrium-stabil zirkonia) bahanfase tunggal yang telah membuat keberhasilan besar
dalam teknologi. Namun, teknologi temperatur tinggi telah menyebabkan biaya tinggi
yang menghambat komersialisasi SOFC (Zhu,2006). Selain itu temperatur
operasional yang tinggi juga dapat menimbulkan masalah pada bahan, misalnya
mengalami degradasi termal dan terjadi reaksi diantara komponen SOFC. (Fuentes &
Baker, 2008).
SOFC dengan temperatur rendah memiliki kecenderungan baru untuk
dikembangkan. Salah satu komponen utama SOFC adalah sel elektrolit padat, yang
membutuhkan konduktivitas ionik yang tinggi agar stabil pada keadaan oksidasi
maupun reduksi. YSZ memiliki konduktivitas ionik yang rendah pada temperatur
operasi dibawah 8000C dan tidak sesuai untuk SOFC temperatur rendah, maka dari
itu diperlukan alternatif lain bahan sel elektrolit (Raharjo et al.,2007). Cerium ion
doped (gadolinium dan samarium doping), dianggap sebagai yang kandidat yang
paling menjanjikan untuk temperatur menengah.
SOFC temperatur rendah menarik karena penurunan biaya produksi dan
meminimalisir degradasi material sehingga life time penggunaan dapat lebih lama
13
(Ormerod, 2003). SOFC juga memiliki efisiensi yang tinggi serta bisa dioperasikan
dengan beberapa jenis bahan bakar seperti batubara, biomassa, metanol dan etanol.
Pada temperatur rendah banyak peluang baru yang muncul untuk penggunaan bahan
murah untuk seluruh sistem sel bahan bakar (Zhu, 2006)
2.5. Komponen Penyusun SOFC
SOFC tersusun dari beberapa komponen. Komponen tersebut berupa anoda,
katoda dan elektrolit yang masing-masing memiliki peran penting dalam
menghasilkan energi listrik. Di bawah ini merupakan komponen penyusun SOFC
beserta fungsinya.
a. Anoda
Anoda dalam perangkat SOFC berperan sebagai tempat tereduksinya bahan
bakar (gas hidrogen). Logam transisi adalah kandidat yang terbaik untuk material
anoda SOFC sebab memiliki aktifitas katalitik yang tinggi dan stabilitas yang
tinggi.Berdasarkan stabilitas kimia, aktifitas katalitik, dan biaya, nikel merupakan
kandidat yang terbaik sebagai anoda logam (Raharjo et al., 2007).Bahan pembuat
anoda untuk perangkat SOFC biasanya terdiri dari campuran nikel dan YSZ (Yttria
Stabilized Zirconia). Komponen Ni/YSZ mampu menghasilkan konduktivitas ionic
(EG&G Technical Services, Inc., 2004).
14
b. Katoda
Katoda dalam perangkat SOFC berperan sebagai tempat tereduksinya oksidan
(gas oksigen). La1-xSrxMnO3 (LSM) adalah kandidat terbaik sebagai material katoda
sebab stabilitas tinggi pada temperatur tinggi. Telah diketahui bahwa LSM adalah
konduktor elektronik dengan konduktivitas ion oksigen yang rendah (Raharjo et al.,
2007).
c. Elektrolit
Elektrolit merupakan komponen penting dalam SOFC karena berperan sebagai
jembatan antara anoda dan katoda. Material yang berpotensi untuk digunakan sebagai
elektrolit adalah zirkonia dan CeO2 yang berstruktur fluorit dan La2Ga2O3 yang
berstruktur perovskit. Dari ketiga sistem elektrolit tersebut, zirkonia terstabilkan
yttria (YSZ), lantanum galat terdoping stronsium dan magnesium (LSGM), dan CeO2
terdoping gadolinium atau samarium (GDC atau SDC), masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. CeO2 terdoping dengan logam tanah jarang dan metal
oksida memiliki konduktivitas tinggi pada temperatur yang lebih rendah
dibandingkan dengan YSZ (Jacobson, 2009).
Syarat sel elektrolit yang baik untuk perangkat SOFC antara lain memiliki
kristal dengan bentuk kubik, konduktivitas ionik yang lebih dari 10-2
S/cm pada
temperatur operasi, stabil terhadap temperatur operasi, densitas lebih dari 95% agar
tidak mengalami kebocoran gas (Singhal dan Kendall, 2003).
2.6. Elektrolit Berbasis Cerium
SOFC beroperasi pada temperatur operasi yang tinggi merupakan kekurangan
yang yang menghambat skala komersial SOFC. Temperatur menengah SOFC pada
15
saat ini menjadi perhatian sebab menurunkan temperatur dapat mengurangi
permasalahan material dan pabrikasi, dan meningkatkan daya tahan waktu operasi.
Elektrolit berbasis zirconia, seperti YSZ adalah material yang paling populer
digunakan untuk elektrolit dalam SOFC, sebab material ini memiliki konduktivitas
yang tinggi, stabil dalam lingkungan oksidasi dan reduksi, serta sesuai dengan
material elektroda. Namun, pada temperatur yang rendah, konduktivitas ionik YSZ
lebih rendah daripada elektrolit berbasis cerium seperti gadolinia doped cerium
(GDC) (Raharjo et al., 2007). Pemilihan cerium sebagai elektrolit karena cerium
mampu menghasilkan konduktivitas ionik yang tinggi pada temperatur menengah
(600-800 oC) (Huang et al., 2007). Konduktivitas ionik yang baik ini terjadi karena
radius ionik dari Ce4+
(0.87 Å) lebih besar jika dibandingkan dengan Zr4+
(0.72 Å).
Ionik radius yang besar memungkinkan struktur Ce terbuka lebih lebar sehingga ion
dapat bermigrasi lebih baik (Faro et al., 2009).
2.7. Struktur Florit Padatan Oksida (fluorite structure of solid oxides)
Cerium oxide memiliki struktur florit, yang terdiri dari sub-kisi oksigen kubik
sederhana dengan ion cerium memenuhi bagian tengah kubik. Hal ini menyebabkan
terjadinya migrasi anion melalui kisi. Material yang digunakan sebagai elektrolit
untuk SOFC pada dasarnya merupakan material konduktor ion oksida (Ismunandar,
2006).
Struktur florit yang ideal ditunjukkan pada Gambar 2. ThO2,CeO2, UO2, dan
PuO2, memiliki struktur ini dalam keadaan murni. Sebagian besar konduktor ion
oksigen mengkristal dalam struktur fluorit kubik, yang meliputi seperti zirkonia,
thoria, cerium dan bismut trioksida. Konduktivitas ionik oksida terutama dari ZrO2,
ThO2 dan CeO2 sangat akan meningkat ketika didoping dengan oksida logam dan
16
diyakini terbentuk kekosongan oksigen berlebih. Konduktivitas ionik yang
maksimum disebabkan oleh interaksi dari substitusi ion tanah jarang dan kekosongan
oksigen (Chourashiya, 2007).
Doping dilibatkan dalam proses pembuatan sel elektrolit berbasis cerium
untuk menggantikan kation dengan valensi yang lebih rendah ke dalam kisi. Agar
dapat menjaga muatan netral, maka harus terbentuk kekosongan oksigen, yang
memperbolehkan migrasi ion oksigen. Gd4+
digunakan sebagai dopan pada CeO2
karena merupakan kation yang relatif besar sehingga dapat menopang struktur fluorit
pada temperaturmenengah (Dikmen et al., 2010). Maka dari itu GDC kandidat kuat
sel elektrolit untuk digunakan dalam temperatur yang lebih rendah atau temperatur
menengah.
Gambar 2. Struktur florit CeO2
2.8. Metode Solid State
Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan paling
umumdigunakan baik dalam industri dan di laboratorium. Metode solid state adalah
metode yang dilakukan dengan mereaksikan padatan dengan padatan tertentu pada
temperatur tinggi. Metode solid state digunakan dilakukan pada kondisi ekstrim,
seperti temperatur tinggi dan tekanan, tanpa pelarut. Karena tidak ada pelarut yang
diperlukan dalam reaksi maka tidak ada masalah dalam pembuangan limbah. Metode
ini merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk sintesis bahan anorganik
17
dengan mengikuti rute yang hampir universal, yakni melibatkan pemanasan berbagai
komponen pada temperatur tinggi selama periode yang relatif lama (Ismunandar,
2006).
2.9. Ball Mill
Metode solid state dengan menggunakan ball mill merupakan metode yang
sering digunakan untuk mengubah ukuran partikel material menjadi lebih kecil.
Metode ball milling merupakan metode yang sering digunakan untuk mensintesis
nanopartikel. Proses pengecilan ukuran partikel menggunakan ball mill ini
dinamakan sebagai mechanical milling. Ball mill telah menjadi sebuah teknik inovatif
di bidangsintesis bahan dan mechanochemistry (Chung, et al., 2002).
Metode ball mill ini berprinsip pada penghancuran bahan menggunakan
sejumlah bola penumbuk dalam sebuah tabung horizontal yang berputar sehingga
bola-bola akan terangkat pada sisi tabung kemudian jatuh ke bahan yang ditumbuk
dan menyebabkan fragmentasi pada stuktur bahan menjadi ukuran yang sangat halus
(Widjanarko et al., 2014).
Gambar 3. Planetary Ball Mill
18
2.9.1. Mekanisme Ball mill
Ball-mill merupakan salah satu instrumen/alat yang dapat digunakan untuk
memproduksi nanomaterial. Komponen ball-mill ini terdiri atas sebuah tabung (vial)
penampung material dan bola-bola penghancur. Pada proses pembuatan nanomaterial
menggunakan ball mill ini, material yang akan dibuat ukurannya menjadi skala nano
dimasukkan kedalam vial bersama bola-bola penghancur, lihat Gambar 3. Kemudian
ball mill digerakan bisa secara rotasi maupun vibrasi dengan frekuensi tinggi.
Gerakan rotasi atau vibrasi ini dapat divariasi sesuai kebutuhan. Akibatnya material
yang terperangkap antara bola penghancur dan dinding vial akan saling
bertumbukkan menghasilkan deformasi pada material tersebut. Deformasi material
tersebut menyebabkan fragmentasi struktur material sehingga terpecah menjadi
susunan yang lebih kecil (Widjanarko et al., 2014).
Gambar 4. Material dan bola penghancur didalam vial (dinding vial = lingkaran
dengan garis putus-putus, bola penghancur = bulat hitam besar, material = bulat
hitam kecil)
2.10.Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk mengetahui morfologi
dari senyawa hasil sintesis, distribusi pertumbuhan kristal, perubahan fisika yang
terjadi pada kondisi preparasi. Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan
19
salah satu tipe mikroskop elektron yang mampu menghasilkan gambar beresolusi
tinggi dari sebuah permukaan sampel. Selama ini SEM dikembangkan untuk
mengatasi batasan-batasan pada mikroskop optik dan meningkatkan perbesaran dan
resolusi jauh lebih besar dari sistem optikal. SEM merupakan alat yang sangat kuat
untuk menguji dan mengintepretasikan mikro-struktur dari suatu material, dan
digunakan secara luas pada material - material sains. Mikroskop ini digunakan untuk
mempelajari struktur permukaan objek, yang secara umum diperbesar antara 1.000-
40.000 kali.
Gambar 5. Skema kerja SEM
(Sumber : Hanke, 2001)
Berdasarkan Gambar 5 sebuah pistol elektron memproduksi berkas elektron
dan dipercepat pada anoda. Lensa magnetik kemudian memfokuskan elektron menuju
sampel. Berkas elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan
diarahkan oleh kumparan pemindai. Ketika elektron mengenai sampel, maka sampel
akan mengeluarkan elektron yang baru yang akan diterima oleh detektor (Hanke,
2001).
20
Energy Dispersive Spectroscopy (EDS) menghasilkan kandungan unsur
secara kualitatif ataupun semi kuantitatif terhadap suatu permukaan spesimen.
Analisis menggunakan SEM yang digabung dengan EDS dapat mengidentifikasi
unsur-unsur yang dimiliki oleh fasa yang terlihat pada gambar mikrostruktur. EDS
dihasilkan dari sinar X karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar X pada posisi
yang ingin diketahui komposisinya. Setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan
maka akan muncul puncak–puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang
terkandung. EDS juga dapat digunakan untuk menganalisa secara kuantitatif
persentase masing–masing elemen (Cahyana et al, 2014).
2.11. Particle Size Analysis (PSA)
Ukuran dan distribusi partikel dapat ditentukan dengan menggunakan
instrumen Particle Size Analysis (PSA) dengan prinsip Dynamic Light Scattering
(DLS). DLS memberikan banyak keuntungan dalam analisis ukuran partikel karena
dapat mengukur populasi partikel dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat,
serta tidak dipengaruhi oleh medium. Metode ini dapat mengukur ukuran partikel dari
0.6 nm hingga 6 µm (Bumiller et al., 2006).
Ukuran partikel dihitung berdasarkan gerak Brown dari sampel. Gerak Brown
adalah hasil pemboman partikel-partikel oleh molekul-molekul medium pendispersi
(Martin, 2008). Ukuran partikel yang dihasilkan oleh alat ini merupakan hasil yang
sebanding dengan kecepatan gerak partikel. Partikel yang memiliki ukuran yang lebih
kecil akan bergerak lebih cepat di dalam medium dibandingkan dengan partikel yang
berukuran lebih besar (Rawle, 2002).
21
Gambar 6. Skema DLS PSA
(Sumber : Rawle, 2002).
Penentuan ukuran dan distribusi partikel menggunakan PSA dapat dilakuan dengan :
1. Difraksi sinar laser untuk partikel dari ukuran submikron sampai dengan
milimeter.
2. Counter principle untuk mengukur dan menghitung partikel yang berukuran
mikron sampai dengan milimeter.
3. Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang berukuran mikron sampai
dengan nanometer (Etzler, 2004).
2.12. X-Ray Diffraction (XRD)
Teknik analisis XRD digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam
material dengan cara menentukan parameter struktur kisi. Mekanisme kerja analisis
XRD ini yakni material yang akan dianalisis digerus sampai halus kemudian
dipreparasi lebih lanjut menjadi lebih padat dalam suatu holder. Holder tersebut
diletakkan pada alat XRD dan diradiasi dengan sinar X. Data hasil penyinaran sinar
X berupa spektrum difraksi sinar X. Data difraksi tersebut direkam dan dicatat oleh
komputer dalam bentuk grafik peak intensitas. Jarak antara bidang kisi kristal yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan hukum Bragg pada komputer dengan
22
menggunakan software General Structure Analysis System (GSAS) sehingga dapat
menghasilkan suatu data (Sudarningsih dan Fahruddin, 2008).
Gambar 7. Difraksi Bragg
Gambar 7. memperlihatkan seberkas sinar mengenai atom A pada bidang
pertama dan B pada bidang berikutnya. Jarak antara bidang A dengan bidang B
adalah d, sedangkan adalah sudut difraksi. Berkas-berkas tersebut mempunyai
panjang gelombang λ, dan jatuh pada bidang kristal dengan jarak d dan sudut θ. Agar
mengalami interferensi konstruktif, kedua berkas tersebut harus memiliki beda jarak
nλ. Sedangkan beda jarak lintasan kedua berkas adalah 2d sin θ. Interferensi
konstruktif terjadi jika beda jalan sinar adalah kelipatan bulat panjang gelombang λ,
sehingga dapat dinyatakan dengan persamaan: nλ = 2d sin θ.
Prinsip dasar dari XRD adalah hamburan elektron yang mengenai permukaan
kristal. Bila sinar dilewatkan ke permukaan kristal, sebagian kristal akan diteruskan
ke lapisan berikutnya. Sinar yang dihamburkan akan berinterferensi secara
konstruktif dan destruktif. Hamburan sinar yang berinterferensi konstruktif inilah
yang digunakan sebagai analisis. Prinsip dasar yang digunakan untuk menentukan
sistem kristal adalah dengan menggunakan persamaan hukum Bragg.
2𝑑 sin 𝜃 = 𝑛𝜆 .......................................................................................................... (1)
23
Dimana d adalah jarak antar-bidang kisi, 𝑛 merupakan indeks difraksi,
sedangkan 𝜆 adalah panjang gelombang sumber sinar-X dan 𝜃 adalah sudut
pengukuran (Kittel, 1999).
Gambar 8.Skema Kerja XRD
2.13. Thermal Gravimetric Analysis (TGA)
Analisis termal merupakan suatu teknik pengukuran perubahan sifat fisik dan
kimia suatu sampel sebagai fungsi perubahan temperatur. Pada umumnya, teknik
analisa ini mengamati efek dari suatu material yang dipanaskan. Terdapat dua jenis
analisa termal yang biasa digunakan yaitu Thermogravimetry Analysis (TGA) dan
Differential Thermal Analysis (DTA) (Setiabudi et al., 2012).
Analisis Termogravimetri adalah teknik untuk mengukur massa sampel ketika
sedang dipanaskan, didinginkan atau diadakan isotermal dalam suasana yang telah
ditetapkan. Terutama digunakan untuk analisa kuantitatif produk. Kurva TGA yang
khas menunjukkan langkah-langkah kehilangan massa berkaitan dengan hilangnya
komponen volatil (kelembaban, pelarut, monomer), polimer dekomposisi,
pembakaran karbon hitam, dan residu akhir (abu, filler, serat kaca). Metode ini
memungkinkan untuk mempelajari dekomposisi produk dan bahan dan untuk
24
menarik kesimpulan tentang konstituen masing-masing. Turunan pertama dari kurva
TGA terhadap waktu dikenal sebagai kurva DTG; kurva ini sebanding dengan laju
dekomposisi sampel. Dalam pengukuran TGA / DSC, sinyal DSC dan informasi berat
dicatat secara bersamaan. Hal ini memungkinkan efek endotermik atau eksotermik
untuk dideteksi dan dievaluasi (Hammer. 2010).
Gambar 9. (a) Instrumen TGA di Pusat Teknologi Material, BPPT (b) skema
kerja TGA
(Sumber: Perkin Elmer, 2010).
25
2.14. Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS)
Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) adalah perangkat yang
mampu mengkarakterisasi sifat listrik dari suatu material dan hubungannya dengan
konduktivitas listrik elektroda. Evaluasi sifat elektrokimia dari elektrolit ataupun
elektroda dilakukan dengan pemberian voltase dan mengamati respon yang terjadi.
EIS mempelajari sifat intrinsik dari material yang mempengaruhi
konduktivitas dari sistem material itu sendiri. Terdapat dua parameter yang
digunakan sebagai acuan. Parameter pertama adalah segala hal yang berhubungan
langsung dengan material itu sendiri seperti konduktivitas dan konstanta dielektrik.
Parameter yang kedua berkaitan dengan hubungan antara elektrolit dengan elektroda
seperti reaksi absorbsi dan koefisien difusi pada elektrolit itu sendiri (Barsoukov dan
Macdonald, 2005)
Selama pengukuran impedansi, analisa respon frekuensi (FRA) digunakan
untuk memaksakan sinyal amplitudo AC kecil untuk sel bahan bakar melalui beban
(Gambar 10). Tegangan AC dan respon saat ini sel bahan bakar dianalisis oleh FRA
untuk menentukan resistif, kapasitif dan perilaku induktif - impedansi - sel pada
frekuensi tertentu. proses fisikokimia yang terjadi di dalam sel - elektron & transport
ion, gas dan transportasi padat fase reaktan dan reaksi heterogen memiliki
karakteristik waktu-konstanta yang berbeda, oleh karena itu diperlihatkan pada
frekuensi AC yang berbeda. Ketika dilakukan atas berbagai frekuensi, impedansi
spektroskopi dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur impedansi yang
terkait dengan berbagai proses.
26
Gambar 10. Skema kerja EIS (Sumber : Scribner Associates Inc., 2009)
Keuntungan dari EIS: .
a. Pengukuran listrik yang relatif sederhana yang dapat otomatis. .
b. Sebuah pengukuran presisi tinggi.
2.15. X-Ray Flourecence (XRF)
Spektrometri X-Ray Flourecence (XRF) adalah suatu metode analisis
berdasarkan pengukuran tenaga dan intensitas sinar-X suatu unsur di dalam cuplikan
hasil eksitasi sumber radioisotop. Spektrometer XRF didasarkan pada lepasnya
elektron bagian dalam dari atom akibat dikenai sumber radiasi dan pengukuran
intensitas pendar sinar-X karakteristik yang dipancarkan oleh atom unsur dalam
sampel. Metode ini tidak merusak bahan yang dianalisis baik dari segi fisik maupun
kimiawi sehingga sampel dapat digunakan untuk analisis berikutnya.
27
Uji XRF bertujuan menentukan jenis dan presentase komponen unsur-unsur
penyusun dari sel elektrolit. XRF merupakan teknik analisa non-destruktif yang
digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada
sampel padat, bubuk ataupun cair.
Keunggulan dari metode ini adalah sampel yang dianalisis tidak perlu dirusak,
memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya
standar, serta dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologik maupun
dalam tubuh secara langsung (Setiabudi et al., 2012).
Gambar 11. Instrumen XRF
(Sumber : Setiabudi et al., 2012)
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2017 sampai dengan bulan
Agustus 2017 pada Laboratorium Pusat Teknologi Material (PTM), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kawasan Puspiptek, Serpong.
Karakterisasi sampel dilakukan di beberapa instansi, seperti XRD di Puslit LIPI
Fisika, PSA di P.T. DKSH, EIS di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas,
mortarplanetary ball mill, oven, furnace, Instrumen XRD Rigaku, instrumen SEM
Tescan Vega 3, instrumen PSA Malvern, TGA 51 Shimadzu, instrumen EIS tipe
Solarton SI-1286, instrumen XRF Energi Dispersif Rigaku.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gadolinium (III) oksida
(Gd2O3) dan cerium (IV) oksida (CeO2) yang berasal dari Sigma Aldrich (komersial),
cerium (IV) hidroksida (Ce(OH)4) lokal, ethanol (pa).
3.3Prosedur Penelitian
3.3.1 Preparasi sampel CeO2 lokal
Penelitian ini diawali dengan preparasi sampel CeO2 lokal yaitu ditimbang
sampel berupa Ce(OH)4 berbentuk pasta yang berasal dari Batan sebanyak 125 gram.
Sampel dimasukkan kedalam oven selama 24 jam dengan temperatur 110oC.
Kemudian sampel digerus hingga halus. Sampel dikalsinasi pada temperatur 1000 oC
(Purwani et al., 2016).
29
3.3.2 Sintesis Gadolinium Doped Cerium (GDC) menggunakan metode solid state
dengan proses milling.
Penelitian ini dilanjutkan dengan mensintesis serbuk GDC dengan
menimbang bahan sesuai dengan rumus stokiometri. Berbagai jumlah variasi Gd
doping digunakan untuk pembentukan elektrolit padat berbasis cerium. GDC dengan
rumus stokiometri Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC10) memiliki konduktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan variasi konsentrasi lain (Burinkas et al., 2010). Metode yang
digunakan adalah metode solid state dengan bantuan alat ball mill. Ada 2 jar milling
yang digunakan dalam penelitian ini, masing-masing diberi jar milling A dan jar
milling B.
Tabel 2. Data berat masing-masing senyawa
Alat Gd2O3 sigma aldrich
(komersial)
CeO2 sigma aldrich
(komersial)
CeO2
Local
Jar milling A
Jar milling B
0,5236 gr
0,5236 gr
-
4,4766 gr
4,4766gr
-
Data berat masing-masing senyawa tersebut berdasarkan perhitungan
stoikiometri yang terdapat pada Lampiran 1. Semua bahan tersebut dimasukkan ke
dalam pada jar milling A dan alat jar milling B yang berbahan dasar alumina
kemudian ditambahkan etanol pada masing-masing jar milling sebagai media
pencampuran agar serbuk yang dimilling tidak menggumpal. Etanol dipilih karena
cepat menguap dan tidak menghasilkan reaksi samping etanol juga merupakan media
pencampuran yang paling umum (Gupta et al.,2012). Kemudian, dimasukkan bola
penumbuk dengan rasio serbuk dan bola 1:2.
30
Selanjutnya dilakukan milling selama 4 jam dengan kecepatan 240 rpm (Maca
et al., 2007). Setelah milling, sampel kemudian dikeringkan pada temperatur 110˚C
selama 24 jam menggunakan oven. Kemudian sampel dibagi menjadi 4 ada yaitu non
kalsin dan 3 lainnya dilakukan kalsinasi dengan variasi temperatur 600 oC, 700
oC,
800 oC. Setelah itu serbuk dibuat menjadi pellet.
3.3.3. Pembuatan Pellet (Kompaksi)
Proses pemadatan dilakukan dengan mencampurkan serbuk sampel sebanyak
1,5 gram dan binder berupa Acrysol sebanyak 0,5 gram kedalam pelarut etanol (pa)
sebanyak 10 mL dengan tujuan untuk menstabilkan bentuk pellet agar tidak mudah
hancur. Kemudian dilakukan pengadukan dengan magnetic stirring selama 10 menit
lalu dikeringkan dengan temperatur 110˚C selama 3 jam. Larutan yang telah kering
dihaluskan dengan mortar dan kemudian dimasukkan ke dalam carver dan siap
dikompaksi. Proses kompaksi dilakukan dengan tekanan 3 ton (Imperial College,
2013). Pellet yang sudah dikompaksi dikeluarkan dari carver, kemudian dilakukan
proses sintering pada temperatur 1350oC (Dikmen et al., 2010).
3.3.4. Identifikasi Fasa dan Struktur Kristal dengan XRD(ASTM D3906-03)
Sampel GDC yang dihasilkan dicetak pada cetakan alumunium yang
merupakan cetakan standar untuk analisis XRD berukuran 20x10 mm dan tebal 1
mm.Pengujian menggunakan XRD Rigaku, XRD beroperasi pada tegangan 40kV
dengan arus sebesar 30mA. Sumber radiasi sinar X pada alat XRD ini adalah Copper
(Cu) yang memiliki panjang gelombang elektromagnetik, λ, sebesar 1,39225 Å.
Penentuan jenis fasa dan ukuran kristal menggunakan X-Ray Diffraction (XRD)
ditentukan dengan melihat dari puncak-puncak yang dihasilkan dari data
31
eksperimental XRD (besar sudut 2θ) dan membandingkannya dengan ICDD
(International Center for Diffraction Data).
3.3.5.Identifikasi Ukuran Partikel dengan PSA (ASTM D422-63)
Uji ukuran partikel dilakukan menggunakan pengujian PSA (Partilces Size
Analyzer) Malvern. Sampel diambil dengan menggunakan sudip, lalu diberi 1 tetes
surfaktan, kemudian dilarutkan dalam 3 mL aquabidest dan diaduk sampai homogen.
Larutan kemudian dimasukan ke dalam tabung dengan tinggi larutan maksimum 1
cm. kemudian larutan sampel dianalisa menggunakan instrumen PSA dan ditentukan
distribusi ukuran partikelnya.
3.3.6.Identifikasi Permukaan Material dengan SEM (ASTM E1508-12a)
Sampel yang akan dikarakterisasi dengan alat instrumentasi SEM terlebih
dahulu dibersihkan dan dikeringkan lalu diletakkan pada specimen holder.
Selanjutnya sampel dilapisi dengan lapisan tipis logam aurum (Au). Pemotretan
dilakukan dengan menggunakan perbesaran yang diinginkan untuk mengetahui
butiran, batas butir, keretakan, dan dislokasi.
3.3.7. TGA (Termogravimetry Analysis) (ASTM E1131-03)
TGA merupakan teknik analisis yang digunakan untuk menentukan stabilitas
panas suatu senyawa dengan melihat perubahan massa yang hilang ketika sampel
dipanaskan. Uji dekomposisi material dilakukan dengan alat TGA berdasarkan
ASTM E1131-03. Pengeluaran laju alir gas Ar2 dan O2 diatur untuk menyediakan
lingkungan yang sesuai. Cuplikan sampel di tempatkan pada sample holder dan
ditunggu hingga beratnya konstan. Pemanasan sampai temperatur 900oC dapat segera
dimulai dengan diaktifkannya program. Pengurangan fraksi massa sampel selama
eksperimen dicatat.
32
3.3.8.Analisa Densitas dengan Hukum Archimedes (ASTM, D792)
Pengukuran densitas pelaksanaannya mengacu pada standar ASTM C. 373 -72.
Prosedur kerja untuk menentukan besarnya densitas relatif (g/cm3) dengan hukum
Archimedes.Pellet yang telah disinter ditimbang beratnya hingga konstan (Mk). Air
dituangkan kira-kira 5/4 dari volume gelas beker dan diletakkan tiang penyangga
sampel di atas neraca. Pellet yang sudah ditimbang berat keringnya kemudian
dimasukkan ke dalam air dan ditimbang massa basahnya (Mb). Pellet diangkatdan
dikeringkan permukaannya yang selanjutnya ditimbang kembali (Ms). Pellet yang
telah ditimbang kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 110oC selama 2
jam. Perhitungan densitas dapat dihitung dengan rumus
Densitas = !00- (Ms)-(Mk)
Densitas air ....................................................................(2)
3.3.9. Identifikasi Nilai Konduktivitas Material dengan EIS
Analisis konduktivitas sampel dengan EIS tipe Solarton SI-1286 dan
rangsangan frekuensi tinggi dengan alat HFRA Solarton 1255. Setelah pengukuran
resistensi pada temperatur operasi 400-800 oC. Konduktivitas dari GDC dapat
dihitung dengan persamaan
σ =
………………………………………………...(3)
Dimana :
𝜎= Konduktivitas [Ω-1
m-1
] atau [S/m].
T = Ketebalan sampel (cm),
Rt = Tahanan elektrolit sampel(Ω), dan
WA = Area kerja sampel (cm2)
Plot Arrhenius dari total konduktivitas itudiplot untuk ln (sT) sebagai fungsi
temperatur (1000 / T / K) dari400oC sampai 800
oC,
33
3.3.10. Analisis Komposisi Unsur dengan XRF (ASTM D5381-93)
Sampel ditimbang sebanyak 3 gram lalu dimasukkan kedalam sampel holder lalu
dianalisis komposisi unsurnya. Hasil dari XRF yaitu tampilan presentase berupa (%
massa) dari unsur yang terkandung didalam bahan.
34
3.4.Diagram alir penelitian
Preparasi sampel
CeO2 (Sigma
Aldrich)
Ce(OH)4 dikeringkan,
kalsinasi 1000oC
Gd2O3
(Sigma
Aldrich)
CeO2 lokal
Ditimbang ssesuai dengan stoikiometri Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC10)
CeO2 (Sigma Aldrich) + Gd2O3 (Sigma Aldrich) GDC10 (K)
CeO2 lokal + Gd2O3 (Sigma Aldrich) GDC10 (L)
Sintesis sel elektrolit GDC dengan metode solid state menggunakan alat
ball mill selama 4 jam dengan kecepatan 240 rpm
Dikeringkan pada temperatur 110 o C selama 24 jam menggunakan oven.
Setelah kering sampel dikalsinasi dengan variasi temperatur 600 oC, 700
oC,
800 oC. Sampel dibagi dua yaitu powder dan sisanya dibuat menjadi pellet
GDC powder
GDC pellet
disintering dengan
temperatur1350oC
dikarakterisasi dengan:
TGA, XRD, XRF, PSA,
SEM. dikarakterisasi dengan:
Uji Densitas dan
porositas, EIS.
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sintesis elektrolit GDC
Saat proses penggerusan atau proses milling bahan akan mengalami reaksi
penggabungan partikel pada rentang waktu tertentu. Proses milling dilakukan sampai
bahan dari berbagai komposisi tersebut tercampur sempurna dan tidak ada kristal
yang berdiri sendiri atau dominan. Alat yang digunakan untuk proses milling adalah
planetary ball mill. Bahan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam jar alumina,
kemudian di milling bersama ball mill dalam waktu 4 jam. Semua material dicampur
menjadi satu agar didapatkan suatu fasa material yaitu Ce0.9Gd0.1O1.95. Terjadi reaksi
kimia selama proses milling yaitu sebagai berikut:
0,9CeO2 + 0,05Gd2O3 Ce0.9Gd0.1O1,95………………………………………………….( 4 )
Gambar 12 Ilustrasi partikel yang bertumbukkan selama proses milling
(Sumber: Micro nano tools, 2017)
Selama proses milling yang terjadi di planetary ball mill sampel berada pada
wadah atau yang biasa disebut dengan vial atau jar yang ditempatkan pada piringan
berputar. Piringan akan berputar secara revolusi dan vial akan berputar secara rotasi.
Arah putar dari revolusi rotasi ini berlawanan arah sehingga partikel yang
36
dimasukkan ke dalam jar akan tertumbuk oleh bola dan dinding dari jar. Akibatnya
material yang terperangkap antara bola penghancur dan dinding vial akan saling
bertumbukkan menghasilkan deformasi pada material tersebut. Deformasi material
tersebut menyebabkan fragmentasi struktur material sehingga terpecah menjadi
susunan yang lebih kecil (Widjanarko et al., 2014).
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa serbuk GDC K yang dihasilkan
berwarna putih kekuningan sedangkan GDC L berwarna coklat muda.
(a) (b)
Gambar 13 a) sampel GDC K variasi temperatur kalsinasi, b) sampel GDC L variasi
temperatur kalsinasi
4.2. Analisis Kestabilan Thermal dengan (Thermogravimetry analysis) TGA
Thermogravimetry analysis merupakan suatu metode yang dapat
mengidentifikasi sifat suatu material bila diberi perlakuan thermal. Pada karakterisasi
GDC , TGA merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk mengetahui
kestabilan termalnya.
37
200 300 400 500 600 700 800 900
94
95
96
97
98
99
100
101
102
III
II
I
TG (
%)
Temperature (oC)
NonKalsin
600o
C
700o
C
800o
C
GDC K
Gambar 14. Dekomposisi Massa TGA GDC K
Hasil TGA untuk serbuk GDC K non kalsinasi dan GDC K dengan variasi
temperatur kalsinasi 600 – 800˚C , menunjukkan bahwa pada rentang temperatur 600
– 800˚C (Gambar 14) bobot yang hilang tidak terlalu signifikan sehingga material
GDC stabil dan dapat beroperasi pada temperatur tersebut. Terdapat tiga tahapan
pada analisis TGA. Pada tahap pertama, kehilangan bobot sampel dikaitkan dengan
kehilangan unsur volatil dan karbon, diperkirakan juga karena kandungan air
menguap, sehingga berat dari material berkurang (Chuang et al, 2012).
Tahap kedua dan ketiga yaitu temperatur 600°C-900°C terjadi eliminasi
residu senyawa organik yang telah hampir selesai, selain itu merupakan fasa
kestabilan termal. Dengan demikian, ini mewakili temperatur kalsinasi yang tepat
untuk serbuk GDC K. Hal ini juga didukung dengan penelitian (Cheng et al., 2003)
hasil serbuk sintesis GDC K dilakukan proses kalsinasi pada temperatur 600°C dan
800°C dengan metode gel casting, dan hal ini juga didukung dengan penelitian (Herle
et al., 1996) hasil serbuk sintesis GDC K dilakukan proses kalsinasi pada temperatur
700°C dan 800°C dengan metode kopresitasi.
38
Sampel GDC K non kalsinasi pada tahap I mengalami pengurangan massa
sebesar 1,971 %, pada tahap II hingga tahap III yaitu pada temperatur 600oC-900
oC
sebesar 1,748%, jadi total pengurangan massa pada sampel GDC K non kalsinasi
adalah 3,719%. Sedangkan, pada tahap I sampel GDC K kalsinasi 600 oC, yaitu pada
temperatur dibawah 200 oC mengalami pengurangan massa sebesar 1,569 %, pada
tahap II hingga tahap III pada temperatur 600oC-900
oC sebesar 1,044%, jadi total
pengurangan massa pada sampel GDC K 600oC adalah 2,613%. Sementara itu,
pengurangan massa pada sampel GDC K 700 oC saat tahap I yaitu pada temperatur
dibawah 200 oC mengalami pengurangan massa sebesar 1,129 %, pada tahap II
hingga tahap III pada temperatur 600oC-900
oC sebesar 1,3%, jadi total pengurangan
massa pada sampel GDC K 700oC adalah 2,429%. Pengurangan massa pada tahap I
sampel GDC K 800 oC yaitu pada temperatur dibawah 200
oC sebesar 0,317 %, pada
tahap II hingga tahap III pada temperatur 600-900oC sebesar 1,336%, jadi total
pengurangan massa pada sampel GDC K 800oC adalah 1,653%.
Pengurangan massa terbesar terjadi pada sampel GDC K non kalsinasi sebesar
3,719 % dan pengurangan massa terkecil terjadi pada sampel GDC K 800oC sebesar
1,653 %. Pengurangan massa akan menurun seiring bertambahnya temperatur
kalsinasi. Salah satu parameter penentu kestabilan sampel adalah pengurangan massa
yang sedikit (Chuang et al., 2012). Temperatur operasi dari IT-SOFC adalah 600-800
oC. Diharapkan sel elektrolit GDC K akan stabil pada temperatur tersebut. Dari
gambar diatas menunjukkan bahwa GDC K yang paling stabil untuk menjadi sel
elektrolit IT SOFC adalah GDC K 800oC.
39
4.2.1. Analisis Kestabilan Thermal dengan TGA GDC L
200 300 400 500 600 700 800 900
94
95
96
97
98
99
100
101
102
IIIIII
II
I
TG (
%)
Temperature (oC)
Non-Kalsin
600o
C
700o
C
800o
C
GDC L
Gambar 15. Dekomposisi Massa TGA GDC L
Hasil TGA untuk serbuk GDC L non kalsinasi dan GDC K dengan variasi
temperatur kalsinasi 600 – 800 oC, menunjukkan bahwa pada rentang temperatur 600
– 800 oC (Gambar 15) bobot yang hilang tidak terlalu signifikan sehingga material
GDC stabil dan dapat beroperasi pada temperatur tersebut. Pada tahap I, kehilangan
bobot sampel dikaitkan dengan kehilangan unsur volatil dan karbon.Pada tahap kedua
dan ketiga, yaitu temperatur 600°C-800°C terjadi eliminasi residu senyawa organik
yang telah hampir selesai. Hal ini juga sesuai dengan analisis TGA komersial.
Penentuan temperatur kalsinasi untuk GDC L disesuaikan dengan GDC K karena
tidak terjadi perbedaan yang signifikan, selain itu agar dapat dibandingkan dengan
GDC K.
Tahap I pada sampel GDC L non kalsinasi yaitu pada temperatur dibawah
200 oC mengalami pengurangan massa sebesar 1,081 %, pada tahap II hingga tahap
III yaitu pada temperatur 600-900oC sebesar 1,449%, jadi total pengurangan massa
pada sampel GDC L non kalsinasi adalah 2,510%. Sedangkan, pada sampel GDC L
40
kalsinasi 600 oC, pada tahap I yaitu pada temperatur dibawah 200
oC mengalami
pengurangan massa sebesar 0,237 %, pada tahap II hingga tahap III pada temperatur
600oC-900
oC sebesar 1,143%, jadi total pengurangan massa pada sampel GDC L
600oC adalah 1,380%. Selanjutnya, pengurangan massa sampel GDC K 700
oC pada
tahap I yaitu pada temperatur dibawah 200 oC sebesar 0,438 %, pada tahap II hingga
tahap III pada temperatur 600-900oC sebesar 1,802%, jadi total pengurangan massa
pada sampel GDC L 700oC adalah 2,230%. Sementara itu, GDC K 800
oCmengalami
pengurangan massa pada tahap I yaitu temperatur dibawah 200 oC sebesar 0,325 %,
pada tahap II hingga tahap III pada temperatur 600-900oC sebesar 2,043%, jadi total
pengurangan massa pada sampel GDC L 800oC adalah 2,368%.
Pengurangan massa terbesar terjadi pada sampel GDC L non kalsin sebesar
2,510 % dan pengurangan massa terkecil terjadi pada sampel GDC L 600oC sebesar
1,380 %. Syarat elektrolit SOFC yang baik adalah kestabilan termal pada temperatur
sedang (Ahmad et al., 2016). Salah satu parameter penentu kestabilan sampel adalah
pengurangan massa yang sedikit. Pengurangan massa akan menurun seiring
bertambahnya temperatur kalsinasi. (Chuang et al, 2012). Namun, berdasarkan tabel
diatas dapat dilihat bahwa terjadi naik turun pengurangan massa seiring
bertambahnya temperatur kalsinasi. Hal ini menandakan bahwa GDC L tidak stabil
untuk digunakan menjadi sel elektrolit IT SOFC jika dibandingkan dengan GDC K.
Pengurangan massa paling sedikit terjadi disampel GDC L dengan temperatur
kalsinasi 600oC, hal ini menunjukkan bahwa GDC L yang paling stabil untuk menjadi
sel elektrolit IT SOFC adalah GDC L yang dikalsinasi pada temperatur 600oC.
41
4.3.Karakteristik GDC K variasi temperatur kalsinasi dengan XRD
Karakterisasi jenis kristal dan ukuran kristal material Ce0.9Gd0.1O1.95
dilakukan dengan menggunakan XRD Rigaku. XRD beroperasi pada tegangan 40kV
dengan arus sebesar 30mA. Sumber radiasi sinar X pada alat XRD ini adalah Copper
(Cu) yang memiliki panjang gelombang elektromagnetik, λ sebesar 1,39225 Å. Data
diolah menggunakan software Highscore dan analisis dilakukan dengan mencocokan
pada database ICDD (International Centre for Diffraction Database) 01-075-0161.
Hasil analisis Highscore dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik hasil karakterisasi
XRD untuk sampel GDC K dengan variasi temperatur kalsinasi yang berbeda
ditunjukkan pada Gambar 15.
0 20 40 60 80 100
800 o
C
Non Kalsin
600 o
C
700 o
C
Inte
nsity
(co
unts
)
2-Theta (Degree)
111
200220
311
222 400
331
420 422
GDC K
Gambar 16. Pola difraksi XRD GDC K variasi temperatur kalsinasi
Puncak-puncak yang muncul pada sampel komersial dengan variasi
temperatur kalsinasi ditunjukkan pada Gambar 16, pada sampel GDC K non kalsinasi
Puncak-puncak XRD yang dihasilkan berada disekitar sudut 2θ = 28,5 o, 33,01
o,
47,50o, 56,39
o, 59,07
o, 69,33
o, 76,67
o, 79,04
o, 88,48
o yang merupakan pola difraksi
42
oleh bidang (111), (200), (220), (311), (222), (400), (331), (420),(422), dan sesuai
dengan referensi ICDD 01-075-0161. Hasilnya menunjukkan bahwa puncak-puncak
yang muncul berasal dari material GDC dengan struktur kristal face centered cubic
(fcc) dan tidak adanya kemunculan fasa yang lebih dari satu (single phase) yaitu fasa.
Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi terdapat pada sudut 28,51o. GDC K sudah mulai
terbentuk walau tidak dikalsinasi namun intensitasnya rendah.
Sementara itu, puncak-puncak XRD GDC K 600 oC berada disekitar sudut 2θ
= 28,57o, 33,06
o, 47,44
o, 56,36
o, 59,19
o, 69,48
o, 76,73
o, 79,10
o, 88,56
o yang
merupakan pola difraksi oleh bidang (111), (200), (220), (311), (222), (400), (331),
(420),(422), dan sesuai dengan referensi ICDD 01-075-0161. Hasilnya menunjukkan
bahwa puncak-puncak yang muncul berasal dari material GDC dengan struktur
kristal face centered cubic (fcc) dan tidak adanya kemunculan fasa yang lebih dari
satu (single phase) yaitu fasa Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi terdapat pada sudut
28,57o.
Sampel GDC K 700 oC, menunjukkan puncak-puncak XRD yang dihasilkan
berada disekitar sudut 2θ = 28,55o, 33,09
o, 47,45
o, 56,36
o, 59,08
o, 69,47
o, 76,71
o,
79,08o, 88,42
o yang merupakan pola difraksi oleh bidang (111), (200), (220), (311),
(222), (400), (331), (420), (422), dan sesuai dengan referensi ICDD 01-075-0161.
Hasilnya menunjukkan bahwa puncak-puncak yang muncul berasal dari material
GDC dengan struktur kristal face centered cubic (fcc)dan tidak adanya kemunculan
fasa yang lebih dari satu (single phase) yaitu fasa . Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi
terdapat pada sudut 28,55o.
Puncak-puncak XRD yang dihasilkan GDC K 800 oC berada disekitar sudut
2θ = 28,57o, 33,10
o, 47,49
o, 56,37
o, 59,05
o, 69,47
o, 76,71
o, 79,16
o, 88,43
o yang
43
merupakan pola difraksi oleh bidang (111), (200), (220), (311), (222), (400), (331),
(420), (422), dan sesuai dengan referensi ICDD 01-075-0161. Hasilnya menunjukkan
bahwa puncak-puncak yang muncul berasal dari material GDC dengan struktur
kristal face centered cubic (fcc) dan tidak adanya kemunculan fasa yang lebih dari
satu (single phase) yaitu fasa Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi terdapat pada sudut
28,57o.
Tabel 3. Puncak-Pucak tertinggi GDC K
Sampel 2θ (oC) Intesitas
(counts)
FWHM (Full
Width Half
Maximum)
Ukuran
kristal (nm)
GDC K Non K 28,51 134 0,33 22,12
GDC K 6000C 28,57 147 0,32 22,72
GDC K 7000C 28,55 172 0,32 22,94
GDC K 8000C 28,57 180 0,26 28,08
Puncak tertinggi dari sampel GDC K dan puncak utama atau tertinggi
difraksi GDC K berdasarkan Tabel 3 berada pada sudut sekitar 28,5o. Pada pola
difraksi GDC K semua variasi temperatur kalsinasi sudut sekitar 28,5o
memiliki
intensitas yang paling besar. Hal ini sesuai dengan penelitian Godinho et al., (2009).
Dilihat dari puncak-puncak yang terbentuk pada pola XRD Gambar 16 secara
umum terlihat bahwa nilai intensitas semakin bertambah seiring dengan kenaikan
temperatur kalsinasi yang diberikan , fenomena ini dapat dilihat pada intensitas yang
meningkat dan puncak – puncaknya menyempit. Intensitas juga berpengaruh
terhadap derajat kristalinitas, semakin tinggi intensitas semakin tinggi derajat
kristalinitas (Sari et al., 2014).
Selain itu, pada temperatur yang semakin meninggi puncak yang ditunjukkan
semakin meninggi dan lebarnya sedikit menyempit, sedangkan pada temperatur
44
kalsinasi rendah puncak yang terlihat cenderung rendah dan sedikit agak melebar.
Menurut Pratapa et al.,(2010), lebar puncak dan tinggi puncak dapat mengindikasikan
kristalinitas suatu material. Dengan bertambahnya temperatur kalsinasi akan
menyebabkan kristalinitas fasa meningkat. Dalam pola difraksi, fenomena ini dapat
dilihat pada intensitas yang meningkat dan puncak – puncaknya menyempit. Hal ini
dikarenakan keteraturan bidang kristal meningkat sehingga bidang – bidang kristal
yang terdeteksi oleh peralatan XRD semakin bertambah dan menyebabkan intensitas
yang dihasilkan semakin tinggi (Sari et al., 2014).
Bertambahnya intensitas seiring dengan penambahan temperatur kalsinasi hal
ini mengindikasikan derajat kristalinitas semakin bertambah dengan bertambahnya
temperatur kalsinasi. Semakin banyak kristal yang terbentuk dikarenakan susunan
dalam atom dalam bahan semakin teratur. Energi termal yang terus meningkat dapat
mengakibatkan pertumbuhan kristal yang terus menerus hingga transformasi akhir,
yaitu amorf menjadi kristal. Laju pertumbuhan kristal akan semakin tinggi dengan
meningkatnya temperatur pemanasan yang dikenai pada bahan tersebut (Diana et al.,
2015)
Ukuran kristal GDC dapat dihitung dengan menggunakan persamaan scherrer
dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa ukuran
kristal GDC Non Kalsinasi sebesar 22,12 nm, sedangkan ukuran kristal GDC K
600oC sebesar 22,72 nm. Ukuran Kristal GDC K 700
oC sebesar 22,94nm. Ukuran
Kristal GDC K 800oC sebesar 28,08 nm. Berdasarkan ukuran kristal setiap sampel
mengindikasikan bahwa semakin tinggi temperatur kalsinasi yang diberikan maka
semakin besar ukuran kristal. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh (Cheng et al., 2002).
45
Parameter kisi yang didapatkan material GDC K adalah (a = b = c).
Parameter kisi yang didapatkan sampel GDC Non Kalsinasi sebesar 5,4126 Å, GDC
K 600oC sebesar 5,4119 Å, GDC K 700
oC sebesar 5,4115 Å, GDC K 800
oC sebesar
5,4114 Å. Nilai parameter kisi (a = b = c), adalah salah satu karakteristik dari struktur
kristal kubik, dan hal ini menunjukkan bahwa strukur kristal yang terbentuk
merupakan struktur kristal kubik.
4.3.1.Karakteristik Material GDC L variasi temperatur kalsinasi dengan XRD
0 20 40 60 80 100
600 o
C
700 o
C
422420331
400222
311220200
111
Inte
nsi
tas
(Counts
)
2-Theta (Degree)
GDC L
800 o
C
Non Kalsin
Gambar 17. Pola difraksi XRD GDC L variasi temperatur kalsinasi
Grafik hasil karakterisasi XRD untuk sampel GDC L dengan variasi temperatur
kalsinasi yang berbeda pada Gambar 17 menunjukkan puncak-puncak yang muncul
pada sampel lokal dengan variasi temperatur kalsinasi, pada sampel GDC L non
kalsinasi puncak-puncak XRD yang dihasilkan berada disekitar sudut 2θ = 28,50o,
33,04o, 47,44
o, 56,29
o, 59,06
o, 69,37
o, 76,65
o, 79,03
o, 88,37
o yang merupakan pola
difraksi oleh bidang (111), (200), (220), (311), (222), (400), (331), (420), (422), dan
46
sesuai dengan referensi ICDD 01-075-0161. Hasilnya menunjukkan bahwa puncak-
puncak yang muncul berasal dari material GDC dengan struktur face centered cubic
(fcc) dan tidak adanya kemunculan fasa yang lebih dari satu (single phase) yaitu fasa
. Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi terdapat pada sudut 28,50o. GDC Lsudah mulai
terbentuk walau tidak dikalsinasi namun intensitasnya rendah.
Puncak-puncak XRD GDC L 600 oCyang dihasilkan berada disekitar sudut 2θ
= 28,51o, 33,04
o, 47,45
o, 56,30
o, 59,03
o, 69,37
o, 76,70
o, 79,02
o, 88,35
oyang
merupakan pola difraksi oleh bidang (111), (200), (220), (311), (222), (400), (331),
(420),(422), dan sesuai dengan referensi ICDD 01-075-0161. Hasilnya menunjukkan
bahwa puncak-puncak yang muncul berasal dari material GDC dengan struktur
kristal face centered cubic (fcc) dan tidak adanya kemunculan fasa yang lebih dari
satu (single phase) yaitu fasa . Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi terdapat pada sudut
28,51o.
Sampel GDC L 700 oC , puncak-puncak XRD yang dihasilkan berada
disekitar sudut 2θ = 28,51o, 33,03
o, 47,45
o, 56,29
o, 59,07
o, 69,38
o, 76,64
o, 78,98
o,
88,36oyang merupakan pola difraksi oleh bidang(111), (200), (220), (311), (222),
(400), (331), (420), (422), dan sesuai dengan referensi ICDD 01-075-0161. Hasilnya
menunjukkan bahwa puncak-puncak yang muncul berasal dari material GDC dengan
struktur face centered cubic (fcc) dan tidak adanya kemunculan fasa yang lebih dari
satu (single phase) yaitu fasa .Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi terdapat pada sudut
28,51o.
Sementara itu, sampel GDC L 800 oC menunjukkan puncak-puncak XRD
berada disekitar sudut 2θ = 28,52o, 33,05
o, 47,43
o, 56,30
o, 59,07
o, 69,32
o, 76,65
o,
79,02o, 88,35
o yang merupakan pola difraksi oleh bidang (111), (200), (220), (311),
47
(222), (400), (331), (420), (422), dan sesuai dengan referensi ICDD01-075-0161.
Hasilnya menunjukkan bahwa puncak-puncak yang muncul berasal dari material
GDC dengan struktur kristal face centered cubic (fcc) dan tidak adanya kemunculan
fasa yang lebih dari satu (single phase) yaitu fasa . Ce0.9Gd0.1O1.95. Puncak tertinggi
terdapat pada sudut 28,52o.
Tabel 4. Puncak-puncak tertinggi GDC L
Sampel 2θ (oC) Intesitas
(counts)
FWHM Ukuran
kristal (nm)
GDC L Non K 28,51 269 0,186 39,85
GDC L 6000C 28,50 294 0,186 39,85
GDC L 7000C 28,51 277 0,195 43,34
GDC L 8000C 28,52 271 0,164 45,20
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh puncak tertinggi dari sampel GDC L dan
difraksi GDC L pada sudut sekitar 28,5o. Pada pola difraksi GDC L semua variasi
temperatur kalsinasi sudut sekitar 28,5o memiliki intensitas yang paling besar.
Dilihat dari puncak-puncak yang terbentuk pada pola xrd Gambar 4 secara
umum terlihat bahwa nilai intensitas yang tidak stabil yaitu naik turun seiring dengan
kenaikan temperatur kalsinasi yang diberikan. Intensitas tertinggi terdapat pada
sampel GDC L 600 oC. Intensitas juga berpengaruh terhadap derajat kristalinitas,
semakin tinggi intensitas semakin tinggi derajat kristalinitas (Sari et al.,2014). Hal
ini bisa terjadi karena saat analisis TGA menunjukkan bahwa pengurangan massa
yang paling sedikit terdapat pada sampel GDC L 600 oC. Pengurangan massa
mempengaruhi intensitas, semakin banyaknya pengurangan massa maka semakin
sedikit intensitasnya.
Ukuran kristal GDC dapat dihitung dengan menggunakan persamaan scherrer
dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa ukuran
48
kristal GDC L Non Kalsinasi sebesar 41,27 nm, sedangkan ukuran kristal GDC L
600oC sebesar 42,35 nm. Ukuran kristal GDC L 700
oC sebesar 42,42nm. Ukuran
Kristal GDC L 800oC sebesar 42,57 nm. Sama halnya dengan sampel GDC K, ukuran
partikel yang dihasilkan setiap sampel GDC L juga mengindikasikan bahwa semakin
tinggi temperatur kalsinasi yang diberikan maka semakin besar ukuran partikel.
Parameter kisi yang didapatkan material GDC L adalah (a = b = c). Parameter
kisi yang didapatkan sampel GDC L Non Kalsinasi sebesar 5,4143 Å, GDC L 600oC
sebesar 5,4143 Å, GDC L 700oC sebesar 5,4145 Å, GDC L 800
oC sebesar 5,4118 Å.
Nilai parameter kisi GDC L juga sama dengan GDC K yaitu (a = b = c), nilai
parameter kisi adalah salah satu karakteristik dari struktur kristal kubik, dan hal ini
menunjukkan bahwa strukur kristal yang terbentuk merupakan struktur kristal kubik.
4.4 Analisis Komposisi Unsur GDC K dan GDC L dengan XRF
Tabel 5. Data analisa XRF GDC K dan GDC L
Nama
Sampel Non Kalsinasi Kalsinasi 600
oC Kalsinasi 700
oC
Kalsinasi
800oC
%Massa %Massa %Massa %Massa
GDC K
Ce 93,3
O 0,0098
Gd 6,69
Ce 93,4
O 0,0097
Gd 6,59
Ce 93,29
O 0,0098
Gd 6,70
Ce 93,27
O 0,0098
Gd 6,70
GDC L
Ce 90,3
O 0,009
Gd 9,69
Ce 90,8
O 0,0096
Gd 9,19
Ce 89,7
O 0,009
Gd 10,2
Ce 89,5
O 0,168
Gd 10,332
Tabel 5 mengkonfirmasi sampel yang disintesis menggunakan berbagai
variasi temperatur kalsinasi mengandung dua unsur yang dominan yakni Ce dan Gd.
Ini menandakan bahwa sudah terbentuk GDC pada semua sampel tersebut. Namun,
terdapat perbedaan kadar Ce pada sampel GDC K dan GDC L untuk itu perlu diuji
kandungan apa saja yang terdapat pada CeO2 Lokal.
49
Tabel 6. Data analisis XRF CeO2 L
Nama sampel %Massa
CeO2 Lokal
Ce 98,10
Si 0,43
P 0,01
S 0,59
Cl 0,15
Y 0,28
Zr 0,03
Mo 0,014
Ag 0,0078
Sn 0,0196
La 0,024
Nd 0,145
O 0,001
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada CeO2 L terdapat kandungan zat
lain selain Ce dan O, hal ini yang menyebabkan pada kandungan Ce pada sampel
GDC K dan GDC L juga sedikit berbeda hal ini disebabkan karena kandungan Ce
pada CeO2 Lokal hanya 98,10 %, lebih kecil dari kandungan Ce pada CeO2 komersial
yang berasal dari Sigma Aldrich yaitu sebesar 99,95%, hal ini juga akan
mempengaruhi kandungan Ce pada sampel GDC K dan GDC L, bisa dilihat
kandungan Ce pada sampel GDC K lebih besar daripada kandungan Ce pada sampel
GDC L.
Material GDC yang dibuat adalah GDC 10 (Ce0,9Gd0,1O1,95). Konsentrasi
unsur yang disajikan pada tabel sesuai dengan perhitungan stoikiometri saat
melakukan sintesis GDC melalui metode solid state. Berdasarkan Tabel 5 dapat
dilihat bahwa komposisi cerium lebih besar daripada gadolinium, Hal ini sesuai
dengan penelitian Samui et al (2016) bahwa komposisi basis dari elektrolit lebih
besar daripada dopan, dimana cerium sebagai basis ektrolit dan gadolinium sebagai
dopan.
50
4.5. Analisis ukuran partikel GDC K dengan Particle Size Analyzer (PSA)
Karakterisasi ukuran partikel material GDC dilakukan menggunakan Particle
Size Analyzer (PSA) dengan prinsip Dynamic Light Scattering (DLS).Surfaktan yang
digunakan adalah Tween 80. Hasil analisis ukuran partikel GDC K ditampilkan pada
Gambar 18.
0 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
200 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
200 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
200 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
20
GDC K
Inte
nsity
Dist
ribut
ion (%
)
Size (nm)
Non
Kalsin622,9 nm
Pd I 0,317
600 o
C647,3 nm
PdI 0,554
700 o
C
755,7 nm
PdI 0,328
800 o
C
811,8 nm
PdI 0,476
Gambar 18. Grafik analisis PSA GDC K variasi temperatur kalsinasi
Pola distribusi ukuran partikel GDC K yang disintesis dengan metode solid
state dengan variasi temperatur kalsinasi ditunjukkan pada Gambar 18. Sampel GDC
K non kalsinasi memiliki ukuran partikel 622,9 nm dan nilai PdI (Polidispersity
Index) sebesar 0,317. GDC K temperature kalsinasi 600 oC memiliki ukuran partikel
sebesar 647,3 nm dan nilai PdI sebesar 0,554. GDC K temperatur kalsinasi 700oC
memiliki ukuran partikel sebesar 755,7 nm dan nilai PdI sebesar 0,328. GDC K
51
temperatur kalsinasi 800oC memiliki ukuran partikel sebesar 811,8 nm dan nilai PdI
sebesar 0,476.
Hasil analisa GDC K dengan variasi temperatur kalsinasi yang diuji dengan
PSA menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa semakin besar temperatur
kalsinasi yang digunakan maka semakin besar rata-rata ukuran partikel yang
dihasilkan. Hasil analisa PSA juga sesuai dengan hasil analisa ukuran kristal XRD.
Dimana semakin besar temperatur kalsinasi semakin besar ukuran kristal. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi temperatur kalsinasi yang diberikan menyebabkan
peningkatan ukuran butir atau disebut dengan fenomena grain growth. Terjadinya
peningkatan ukuran butir akibat perlakuan termal yang diberikan sehingga
menyebabkan butir – butir yang berukuran kecil cenderung bersatu dengan butir yang
memiliki ukuran yang lebih besar karena butir yang memiliki ukuran yang lebih besar
lebih stabil (Sari et al., 2014). Hal ini juga didukung penelitian Raharjo et al (2016)
bahwa ukuran partikel meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur kalsinasi
yang diberikan.
Selain ukuran partikel dari hasil analisa PSA juga didapatkan nilai PdI.
Nilai PdI merupakan indikasi pola distribusi yang dapat merepretasikan data DLS.
Range, nilai PdI adalah 0-1. Nilai lebih dari 0,7 menunjukkan pola distribusinya
sangat polidisper sehingga sampel tidak sesuai untuk pengukuran DLS, dimana akan
muncul puncak lain yang jauh dari rata-rata nilai sebenarnya. Nilai PdI yang
didapatkan pada semua sampel GDC K menunjukkan kurang dari 0,7 hal ini
menunjukkan pola distribusi yang sesuai dengan pengukuran DLS (Rahayu, 2017).
52
4.6. Analisis ukuran partikel GDC L dengan Particle Size Analyzer (PSA)
0 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
200 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
200 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
200 500 1000 1500 2000
0
5
10
15
20
Inte
nsity
Dis
tribu
tion
(%)
Size (nm)
Non
Kalsin 350,7 nm
PdI 0,258
600 o
C 463,3 nm
PdI 0,365
700 o
C
557,7 nm
PdI 0,382
800 o
C
GDC L646,8 nm
PdI 0,280
Gambar 19. Grafik analisis PSA GDC L variasi temperatur kalsinasi Pola distribusi ukuran partikel GDC L yang disintesis dengan metode solid
state dengan variasi temperatur kalsinasi ditunjukkan pada Gambar 19. Sampel GDC
L non kalsinasi memiliki ukuran partikel 350,7 nm dan nilai PdI (Polidispersity
Index) sebesar 0,258. GDC Ltemperatur kalsinasi 600 oC memiliki ukuran partikel
sebesar 463,3 nm dan nilai PdI sebesar 0,365. GDC L temperatur kalsinasi 700oC
memiliki ukuran partikel sebesar 557,7 nm dan nilai PdI sebesar 0,382. GDC L
temperatur kalsinasi 800oC memiliki ukuran partikel sebesar 646,8 nm dan nilai PdI
sebesar 0,280.
Hasil analisa GDC L dengan variasi temperatur kalsinasi yang diuji dengan
PSA menunjukkan hasil yang sama dengan GDC K yaitu terdapat kecenderungan
bahwa semakin besar temperatur kalsinasi yang digunakan maka semakin besar rata-
53
rata ukuran partikel yang dihasilkan. Nilai PdI dari semua sampel GDC L
menunjukkan kurang dari 0,7 hal ini menunjukkan pola distribusi yang sesuai dengan
pengukuran DLS.
Jika dibandingkan dengan hasil analisa ukuran kristal XRD terdapat
perbedaan yaitu ukuran kristal GDC K lebih kecil daripada ukuran kristal GDC L,
sedangkan hasil analisa ukuran partikel dengan PSA menunjukkan ukuran partikel
GDC K lebih besar dari ukuran partikel GDC L. Seharusnya ukuran kristal
berbanding lurus dengan ukuran partikel. Hal ini bisa terjadi karena dipengaruhi
beberapa faktor, salah satunya adalah penggunaan surfaktan. Salah satu hal yang
penting dalam preparasi sampel berbentuk serbuk untuk karakterisasi PSA adalah
penambahan surfaktan.
Penambahan surfaktan berfungsi untuk menstabilkan suspensi partikel
dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi) antarpartikel. Karena
keterbatasan surfaktan yang tersedia dilaboratorium maka surfaktan yang digunakan
saat karakterisasi PSA adalah Tween 80. Dari hasil ukuran kristal XRD dan ukuran
partikel PSA menunjukkan penggunaan Tween 80 tidak efektif dalam mencegah
aglomerasi terhadap sampel GDC K dan GDC L hal ini terlihat dari hasil ukuran
kristal XRD menunjukkan ukuran kristal GDC K lebih kecil dari ukuran Kristal GDC
L, maka seharusnya ukuran partikel penyusun GDC K pun harus lebih kecil dari
GDC L. Namun hal ini terjadi sebaliknya saat analisis PSA. Menurut Meyer et al
(2008), semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi gaya interaksi kohesif dan
adhesif yang menyebabkan aglomerasi. Semakin besar ukuran partikel, daya kohesif
dan adhesif partikel akan berkurang. Hal ini yang menyebabkan ukuran partikel GDC
K dari hasil analisis PSA lebih besar dari GDC L. Hal ini juga menunjukkan bahwa
54
Tween 80 tidak efektif dalam mencegah aglomerasi. Untuk membuktikan adanya
aglomerasi pada serbuk tersebut dibutuhkan analisa morfologi serbuk sampel GDC K
dan GDC L dengan menggunakan SEM.
4.7. Analisis morfologi dengan menggunakan SEM
Pengujian SEM dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat morfologi
serbuk GDC K dan GDC L. Selain itu, pengujian SEM juga untuk membuktikan hasil
pengujian PSA. Hasil pengujian SEM disajikan pada Gambar 19
(a) (b)
Gambar 20 (a) Morfologi serbuk GDC K 700oC (b) Morfologi serbuk GDC L
700oC
Berdasarkan Gambar 20 Hasil SEM perbesaran 25000x dapat dilihat bahwa
kedua sampel GDC K 700oC dan GDC L 700
oC bentuk partikel yang terlihat tidak
seragam serta terjadi aglomerasi atau penggumpalan. Namun berdasarkan Gambar 20
tidak bisa dibedakan mana yang memiliki tingkat aglomerasi yang lebih besar. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perbesaran pada sampel. Namun jika dilihat dari hasil
PSA bahwa GDC K yang mengalami tingkat aglomerasi lebih besar.
Adanya aglomerasi yang terdapat pada serbuk sampel hasil milling juga
sesuai dengan penelitian Khakpour et al (2011) bahwa serbuk GDC akan berkurang
55
tingkat aglomerasinya pada waktu milling 30 jam. Dibawah 30 jam aglomerasi pada
serbuk masih terlihat. Untuk menghasilkan serbuk GDC yang homogen maka perlu
dilakukan milling dengan waktu 30 jam.
4.8. Densitas GDC K
Elektrolit IT SOFC berupa padatan. Serbuk hasil sintesis dengan variasi
temperatur kalsinasi akan dikompaksi untuk berubah menjadi padatan atau yang lebih
dikenal dengan nama pellet, setelah dikompaksi pellet akan disintering. Pellet
disintering pada temperatur 1350oC. Tahap sintering adalah tahap akhir untuk
menghasilkan suatu material elektrolit, karena dapat mengkonversi serbuk menjadi
padatan yang kokoh apabila ditempa oleh panas (Winnubst et al., 2009). Salah satu
syarat elektrolit ITSOFC yang baik adalah memiliki kepadatan (densitas) yang tinggi
yaitu diatas 95% (Yasuda et al., 2012). Untuk itu, perlu dilakukan pengujian densitas.
Pengujian densitas menggunakan hukum Archimedes.
GDC K Non K GDC K 600 GDC K 700 GDC K 800
92
94
96
98
100
-- -- - Syarat
minimum densitas 95 %
Densitas
(%)
Sampel
Gambar 21. Densitas GDC K
56
Hasil pengukuran densitas dan porositas pada material GDC K dengan variasi
temperatur kalsinasi 0oC (non kalsinasi), 600
oC, 700
0C, 800
0C ditentukan dengan
persamaan archimedes terdapat pada Lampiran 3. Nilai densitas disajikan pada
Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan nilai densitas cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur kalsinasi. Besarnya densitas dari
suatu material dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti temperatur kalsinasi dan
sintering, ukuran partikel dan tekanan yang diberikan pada suatu material, itu semua
dapat menyebabkan berkurangnya volume sehingga meningkatnya densitas (Dasari et
al., 2010).
Ukuran partikel biasanya berbanding terbalik dengan densitas, apabila ukuran
partikel kecil maka densitasnya akan besar (Taer et al., 2016). Namun hal ini terjadi
sebaliknya pada penelitian ini yaitu ukuran partikel semakin besar maka densitasnya
juga semakin besar. Hal ini dapat terjadi karena proses pemanasan yang terjadi pada
sampel dari proses kalsinasi dan sintering. semakin tinggi temperatur pemanasan
maka energi dalam menjadi lebih besar pula. Butir-butir yang bergerak tersebut akan
saling mendekati satu dengan lainnya sehingga porositas semakin berkurang.
Akibatnya, jarak antar butir menjadi semakin rapat dan porositas menjadi semakin
sedikit sehingga densitas yang diperoleh menjadi semakin tinggi (Masrukan et al.,
2016). Sampel yang dikalsinasi pada suhu 800oC mendapatkan panas yang lebih
banyak dari sampel lain sehingga memiliki energi yang lebih besar dan membuat
proses pemadatan lebih cepat daripada sampel lain maka dari itu memiliki densitas
yang paling besar.
Porositas berbanding terbalik dengan densitas. Porositas yang rendah akan
menghasilkan butiran yang mempunyai densitas yang tinggi. Adanya penurunan
57
porositas ini menunjukkan terjadinya proses pemadatan rongga-rongga yang ada pada
masing-masing sampel (Suryani,2014). Nilai densitas tertinggi terdapat pada sampel
GDC K yang dikalsinasi pada temperatur 8000C adalah 99,94%. Hasil pengujian ini
menunjukkan nilai densitas diatas 95% yang berarti sampel GDC K telah memenuhi
syarat untuk menjadi sel elektrolit SOFC. Elektrolit perlu memiliki kepadatan atau
diatas 95%, hal ini untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kebocoran saat
dialiri gas H2 dari anoda menuju katoda (Yasuda et al., 2012).
4.9. Densitas GDC L
Hasil pengukuran densitas dan porositas pada material GDC L dengan variasi
temperatur kalsinasi 0oC (non kalsinasi), 600
oC, 700
0C, 800
0C ditentukan dengan
persamaan archimedes terdapat pada Lampiran 3. Nilai densitas disajikan pada
Gambar 22.
GDC L Non K GDC L 600 GDC L 700 GDC L 800
82
84
86
88
90
92
94
96
98
100
Densi
tas
(%)
Sampel
- - - Syarat minimum
densitas 95 %
Gambar 22. Densitas GDC L
Berdasarkan Gambar.22 menunjukkan sama halnya dengan GDC K nilai
densitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur kalsinasi.
58
Nilai densitas tertinggi terdapat pada sampel GDC L yang dikalsinasi pada
temperatur 8000C adalah 91,74%. Berdasarkan analisis TGA sampel GDC L setelah
proses kalsinasi menunjukkan pengurangan massa yang tidak stabil, ini menunjukkan
GDC L tidak stabil saat diberi perlakuan panas, padahal salah satu proses untuk
membuat elektrolit adalah proses sintering yang merupakan salah satu perlakuan
panas juga. Selain itu, hal lain yang bisa mempengaruhi densitas adalah serbuk CeO2
lokal yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan sel elektrolit GDC L memiliki
kadar kemurnian yang lebih rendah dibandingkan dengan CeO2 komersial, terdapat
banyak impurities pada sampel CeO2 lokal. Sehingga perlu dilakukan optimasi lagi
dalam pembuatan pelet GDC L agar bisa mendapat densitas diatas 95%.
Hasil pengujian ini menunjukkan nilai densitas dibawah 95% yang berarti
sampel GDC L belum memenuhi syarat untuk menjadi sel elektrolit SOFC. Adapun
syarat yang dibutuhkan oleh suatu elektrolit di antaranya memiliki kepadatan yang
tinggi dengan pori yang kecil, kepadatan yang tinggi ini dihasilkan selama proses
sintering. Proses yang terjadi pada saat sintering, partikel-partikel akan lebih
memadat dan terjadi pertumbuhan butir yang bertujuan untuk mengikat partikel-
partikel serbuk agar dapat mengurangi porositas sehingga menghasilkan kerapatan
atau densitas yang tinggi. Porositas yang tinggi ini menyebabkan densitasnya kecil
(Yasuda et al., 2012).
4.10. Pengukuran Konduktivitas GDC K dengan EIS
Salah satu syarat menjadi elektrolit pada SOFC harus memiliki konduktivitas
yang tinggi yaitu minimal 10-2
S.cm-1
pada temperatur operasi (Singhal & Kendall,
2003). Konduktivitas adalah ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk
menghantarkan arus listrik. (Fuentes & Baker, 2008). Konduktivitas elektrolit GDC
59
K diukur pada temperatur operasi 400oC-800
oC. Konduktivitas listrik elektrolit GDC
K . diekspresikan dalam bentuk hubungan Arrhenius. Plot Arrhenius dari total
konduktivitas itu diplot untuk ln (sT) sebagai fungsi temperatur (1000 / T / K) dari
400oC sampai 800
oC, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22.
Konduktivitas GDC K pada temperatur operasi yang berbeda meningkat
seiring dengan temperatur operasi yang meningkat seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 23. Pellet elektrolit GDC K menunjukkan konduktivitas tertinggi pada
sampel GDC K 600 oC sebesar 1,53 x 10
-2 S·cm
-1 pada temperatur operasi 800
oC.
Gambar 23. Konduktivitas GDC K
Berdasarkan Gambar 23 dapat diamati bahwa semakin tinggi temperatur
kalsinasi yang diberikan maka konduktivitas nya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan
penelitian (Viantyas et al.,2014). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan temperatur
yang tinggi akan mengurangi sifat konduktivitas dari suatu bahan.
60
Selain itu, ada pengaruh ukuran partikel terhadap konduktivitas. Berdasarkan
analisis PSA ukuran partikel GDC K 600OC lebih kecil dibanding GDC K 700
oC
dan 800oC. Hal ini menunjukkan semakin kecil ukuran partikel semakin besar
konduktivitasnya. Partikel yang berukuran lebih besar nilai konduktivitasnya lebih
kecil dibanding dengan partikel yang berukuran lebih kecil. Ukuran partikel yang
besar menyebabkan banyak terjadi rongga. Rongga menyebabkan hambatan yang
lebih besar.Semakin besar hambatan yang diberikan maka nilai konduktivitas akan
semakin kecil begitupula sebaliknya (Pratama et al., 2016).
Ukuran partikel yang lebih kecil tentunya memudahkan mobilitas ion oksigen
dibandingkan dengan ukuran partikel yang besar, karena dengan ukuran partikel yang
lebih besar memerlukan jarak yang jauh untuk pergerakan ion oksigen. Sehingga
konduktivitas yang ditimbulkan akibat adanya mobilitas ion oksigen akan semakin
besar pada sampel yang memiliki ukuran partikel yang kecil (Navarro et al., 1995) ;
(Nur,2005).
Tabel 7 Hasil uji EIS Konduktivitas GDC K
Nama
sampel
Konduktivitas (S cm-1
) pada Temperatur Operasi
400oC 450
oC 500
oC 550
oC 600
oC 650
oC 700
oC 750
oC 800
oC
GDC K
600
10-4
2,8x10-4
8,2x10-4
1,8x10-3
2,4x10-3
4,7x10-3
7,7x10-3
1,1x10-2
1,53x10-2
GDC K
700
10-4
4,8x10-4
9,3x10-4
1,8x10-3
3,1x10-3
5,2x10-3
7,1x10-3
9,5x10-3
1,15x10-2
GDC K
800
7,6x10-5
2,5x10-4
6,3x10-4
1,3x10-3
2,4x10-3
4x10-3
5,8x10-3
7,6x10-3
9,1x10-3
Konduktivitas GDC K cenderung menurun seiring dengan kenaikan
temperatur kalsinasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Konduktivitas tertinggi
didapatkan pada sampel GDC K 600oC. Namun, jika dibandingkan dengan hasil
61
densitas GDC K, densitas GDC K yang paling besar terjadi pada sampel GDC K
800oC. Seharusnya, hasil densitas berbanding lurus dengan hasil konduktivitas. Hal
ini bisa disebabkan oleh proses sintering dan ukuran partikel itu sendiri.Pada
temperatursintering 1350 oC belum mencapai proses sintering yang sempurna. Pada
temperatur sintering yang sama, ukuran partikel yang lebih besar cenderung akan
lebih cepat memadat (dense) dibandingkan dengan ukuran partikel yang kecil. Untuk
itu, perlu dilakukan variasi temperatur sintering untuk mendapatkan densitas yang
sesuai.
Salah satu syarat elektrolit pada perangkat SOFC adalah memiliki
konduktivitas minimal 10-2
S.cm-1
pada temperatur operasi (Singhal & Kendall,
2003). Berdasarkan hasil yang didapatkan konduktivitas GDC K yang memenuhi
syarat hanya sampel GDC K 600oC yang beroperasi pada temperatur 750
oC dan
800oC serta sampel GDC K 700
oC yang beroperasi pada temperatur 800
oC, karena
memiliki konduktivitas diatas 10-2
S.cm-1.
. Nilai konduktivitas tertinggi terdapat pada
sampel GDC K 600oC pada temperatur operasi 800
oC yaitu sebesar 1,53 x 10
-2S.cm
-1.
4.11.Pengukuran konduktivitas GDC L dengan EIS
Plot Arrhenius dari total konduktivitas itudiplot untuk ln (sT) sebagai fungsi
temperatur (1000 / T / K) dari400oC sampai 800
oC, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 23.Gambar 23menunjukkan konduktivitas pada temperatur operasi yang
berbeda. Konduktivitas meningkat dengan temperatur operasi yang meningkat. Selain
itu, pada Gambar 23 juga terlihat bahwa konduktivitas GDC L meningkat seiring
dengan kenaikan temperatur kalsinasi peningkatan konduktivitas ini tidak terlalu
signifikan, hal ini cenderung berbanding terbalik dengan GDC K. Pellet elektrolit
GDC K menunjukkan konduktivitas tertinggi pada sampel GDC K 800 oC.
62
Gambar 24. Konduktivitas GDC L
Terlihat pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa konduktivitas GDC L lebih kecil
jika dibandingkan dengan GDC K. Hal ini juga terlihat dari hasil TGA yaitu
pengurangan massa yang tidak stabil, dan juga hasil densitas yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan GDC K.
Tabel 8 Hasil uji EIS konduktivitas GDC L
Nama
sampel
Konduktivitas (S cm
-1) pada Temperatur Operasi
400
oC 450
oC 500
oC 550
oC 600
oC 650
oC 700
oC 750
oC 800
oC
GDC L
600
10-6
2x10-6
10-5
2x10-5
10-4
10-4
3x10-4
6x10-4
10-3
GDC L
700
10-6
3x10-6
10-5
2x10-5
6x10-5
3x10-4
3x10-4
7x10-4
1,1x10-3
GDC L
800
3x10-6
1,2x10-5
1,7x10-5
4x10-5
11x10-5
2x10-4
5x10-4
1,1x10-5
1,8x10-3
Semua sampel GDC L memiliki nilai konduktivitas yang rendah dan dibawah
10-2
S.cm-1
. Salah satu syarat elektrolit pada perangkat SOFC
adalahmemilikikonduktivitas ionik minimal 10-2
S.cm-1
pada temperatur operasi
(Singhal & Kendall, 2003).Berdasarkan hasil yang didapatkan konduktivitas GDC L
63
tidak ada yang memenuhi syarat tersebut karena memiliki konduktivitas dibawah 10-
2S.cm
-1.
Lebih rendahnya konduktivitas GDC L daripada konduktivitas GDC
disebabkan oleh kemurnian dari CeO2 Lokal yang berbeda dengan kemurnian dari
CeO2 komersial. Selain itu, Ce merupakan salah satu unsur logam. Logam murni
memiliki konduktivitas yang lebih baik daripada yang lebih rendah kemurniannya
(Hudaya, 2014). Jadi, salah satu faktor yang mempengaruhi konduktivitas adalah
kemurnian dan kurangnya kemurnian dapat mengurangi tingkat konduktivitas.
64
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1. Variasi temperatur kalsinasi berpengaruh pada ukuran partikel. Semakin
rendah temperatur kalsinasi yang diberikan maka semakin kecil ukuran
partikel. Ukuran partikel terkecil terdapat pada sampel GDC K 600 yaitu
647,3 nm, untuk GDC L 600 sebesar 463,3 nm.
2. Variasi temperatur kalsinasi juga berpengaruh terhadap konduktivitas
suatu sel elektrolit, semakin rendah temperatur kalsinasi yang diberikan
maka semakin tinggi konduktivitasnya. GDC K 600 menunjukkan sebagai
material elektrolit IT SOFC terbaik karena memiliki konduktivitas
tertinggi yaitu sebesar 1,53 x 10-2
S.cm-1
.
3. Kemurnian CeO2 mempengaruhi karakteristik serbuk GDC yang
dihasilkan , hal ini terlihat dari kestabilan termal, densitas, serta
konduktivitas GDC K yang lebih baik dari GDC L.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan optimasi pada proses sintesis elektrolit GDC dari bahan
lokal agar dapat memiliki konduktivitas yang tinggi.
2. Perlu dilakukan optimasi penambahan surfaktan saat proses sintesis GDC
dengan metode solid state agar serbuk tidak aglomerasi.
3. Perlu dilakukan variasi waktu sintering pellet agar mendapat densitas yang
optimal.
65
4. Perlu dilakukan optimasi terhadap waktu milling agar serbuk tidak
mengalami aglomerasi
5. Perlu menggunakan surfaktan yang sesuai untuk analisis PSA
66
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S. I., Koteshwar Rao, P., & Syed, I. A. (2016). Sintering temperature
effecton density, structural and morphological properties of Mg- and Sr-doped
cerium. Journal of Taibah University for Science, 10(3), 381–385.
https://doi.org/10.1016/j.jtusci.2015.04.003
Allan J. (2009). Materials for Solid Oxide Fuel Cells. Departement ofChemistry,
University of Houston, Houston, Texas. DOI:10.1021/cm902640j.
American Standards Texting and Materials (ASTM). (2008). Standard Test Method
for Determine Relative Density of Solids. Annual Book of ASTM Standards
D792. West Conshohocken, PA.
American Standards Texting and Materials (ASTM). (2007). Standard Test Method
for Particle Size Analysis. Annual Book of ASTM Standards D422-63. West
Conshohocken, PA.
American Standards Texting and Materials (ASTM). (2013). Standard Test Method
for Determination of X-Ray Diffraction Intensities of Materials. Annual Book
of ASTM Standards D3906-03. Philadelpia.
American Standards Texting and Materials (ASTM). (2014). Standard Guide X-Ray
Fluorescence Spectroscopy. Annual Book of ASTM Standards D5381-93.
Philadelpia.
American Standards Texting and Materials (ASTM). (2014). Standard Test Method
for Analysis Thermogravimetry. Annual Book of ASTM Standards E1131-03.
Philadelpia.
Aydin, F., Demir, I., dan Mat, M.D.(2014). Effect of grinding time of synthesized
gadolinium doped cerium (GDC10) powders on the performance of solid
oxide fuel cell. Engineering Science and Technology, an International
Journal Chemistry1(1) : 1-5.
Barsoukov, E., dan Macdonald, J. (2005). Impedannce Spectroscopy Theory
Experiment and Applications Second edition. North Carolina.
Bumiller, M., Deluca, T., Mattison, K., dan Rawle. (2006). Particle Characterization
of Nanoscale Materials using Dynamic and Static Light Scattering. NSTI-
Nanotech. ISBN 0-9767985-6-5.
Burinkas, S., Adomonis, V., Zalnierukynas, V., Dudonis, J., dan Milcius (2010).
Synthesis of Gadolinium Doped Cerium Solid Electrolyte by Solid State
Reactions of CeO2/Gd2O3 Multilayer Thin Films.
67
BPPT Outlook Energi Indonesia. (2014). https://www.bppt.go.id/outlook-
energi/bppt-outlook-energi-indonesia-2014 . [Diakses Kamis, 20 Juli 2017
pukul 13.47 WIB].
Cheng, J.G., Zha, S.W., Huang, J., Liu, X.Q., Meng, G.Y. (2003). Sintering
behaviorand electrical conductivity of Ce0,9Gd0,1O1,95 powder prepared by the
gel-casting process. Materials Chemistry and Physics Journal. Vol 78 . Hal
791–795.
Chuang, C.C., Hsiang,I.H., Yen, F.S., Chen, C.C., Yang, S.J. (2012). Phase
evolutionandreductionbehaviorofCe0,6Zr0,4O2 powders prepared
usingthechemicalco-precipitationmethod. Ceramics International Journal.
Vol 39. Hal 1717–1722.
Chung, K. H., Lee, J., Rodriguez, R., & Lavernia, E. J. (2002). Metal Matter
Transition.
Cahyana, A., Marzuki, A., dan Cari. (2014). Analisa SEM (Scanning Electron
Microscope) Pada Kaca Tzn Yang Dikristalkan Sebagian. Prosiding
Mathematics and Science Forum.
Chourashiya MG, Patil JY, Pawar SH, Jadhav LD. (2007). Studies on
structural,morphological and electrical properties of Ce1-xGdxO2-(x/2). Material
Chemistry and Physics. 109(1): 39-44.
Diana, R.D., Pratapa, S. (2015). Analisis Kristalinitas Serbuk Magnesium Oksida
Hasil Sintesis Metode Logam Terlarut Asam. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 4(1).
Dikmen, S., Aslanbay, H., Dikmen, E.,Şahin, O. (2 ). Hydrothermalpreparation
and electrochemical properties of Gd3+
and Bi3+
, Sm3+
, La3+
, and Nd3+
codoped cerium-based electrolytes for intermediate temperatur-solid oxide
fuel cell. Journal of Power Sources, 195(9), 2488–2495.
http://doi.org/10.1016/j.jpowsour.2009.11.077
.
EG&G Technical Services, Inc. (2004). Fuel Cell Handbook (Seventh Edition).
ESDM. (2008). http://prokum.esdm.go.id/kepmen/2008. [Diakses Selasa, 25 Juli
2017 pukul 15.47 WIB].
Etzler, F.M. (2004). Particle Size Analysis: A Comparison of Methods. American
Pharmaceutical Review
Faro,M.L.; Rosa, D. L.; Antonucci, V.; Arico, A. S. (2009). Intermediate temperatur
solid oxide fuel cell electrolytes. Journal of the Indian Institute of Science,
Vol. 89, No.4, pp. (363-381)
68
Fu, Y. (2014) Theoretical and Experimental Study of Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
Using Impedance Spectra, Thesis. Massachusetts Institute of Technology.
Boston
Fuentes, R., & Baker, R. (2008). Synthesis and properties of Gadolinium doped
cerium solid solutions for IT-SOFC electrolytes. International Journal of
Hydrogen Energy, 33(13), http://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2007.10.026
Godinho, M., F, D.R., Alves, G., R, E., Leite , Cristiane, W., Raubach, Neftalı,
LuizF. D., Probst, Longo, Fajardo, H.V. (2009). Gadolinium-doped cerium
oxide nanorods: novel active catalystsfor ethanol reforming. DOI
10.1007/s10853-009-3932-7
Gregor Hoogers. (2003). Fuel Cell Technology Handbook. CRC Press
Gupta, A., Sharma, S., Mahato, N., Simpson, A., Omar, S., dan Balani. (2012).
Mechanical properties of spark plasma sintered cerium reinforced 8 mol%
yttria-stabilized zirconia electrolyte. Nanomaterial and Energy Journal, Pages
306–315. http://dx.doi.org/10.1680/nme.12.00018
Hammer, A. (2010). Thermal Analysis of Polymer: selected Application. Mettler
Toled
Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia. (2016).
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-handbook-of energy-
economic-statistics-of-indonesia-2016-lvekpnc.pdf. [Diakses Selasa, 16
Januari 2018 pukul 20.47 WIB].
Hanke, L. D. (2001). Handbook of Analytical Methods for Materials. Materials
Evaluation and Engineering Inc. Plymouth.
Herle, J.V., Horita, T., Kawada, T., Sakai, N., Yokokawa, H., & Dokiya M.
(1996).Sintering Behaviour and Ionic Conductivity of Yttria-Doped Cerium.
Journal of the European Ceramic Society, 16: 961-973
Huang B, Wang SR, Liu RZ, Ye XF, Nie HW, Sun XF, Wen TL. 2007. Performance
of Ni/ScSZ cermet anode modified by coating with Gd0.2Ce0.8O2 for a SOFC.
Materials Research Bulletin. 42(9): 1705-1714.
Idham, Halimi, dan Latifah .(2009). Alternatif Baru Sumber Pembangkit Listrik
dengan Menggunakan Sedimen Laut Tropikicrobial Fuel Cell. Teknologi
Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Imperial College Pressing Operational College Sheet. 2013.
Ismunandar, (2006), Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis dan Sifat-
Sifatnya,Institut Teknologi Bandung, Bandung.
69
Khakpour, Z., Youzbashi, A.A., Maghsoudipour , A.,Ahmadi, K. (2011). Synthesis
of nanosized gadolinium doped cerium solid solution by high energy ball
milling.
Kuphaldt, R., (2010). Lessons In Industrial Instrumentation. Creative
CommonsAttribution, USA,
Kittel, C. (1999). Intoduction to Solid State Physics (Seven Edition). Singapore: John
Willey and Sons Inc.
Maca, K., Cihlar, J., Castkova, K., Zmeskal, O., Hadraba. H. (2007). Sintering of
gadolinia-doped cerium prepared by mechanochemical synthesis. Journal of
the European Ceramic Society. Vol, 27. Hal. 4345–4348
Masrukan, Mujinem. (2016). Pengaruh Proses Sintering Terhadap
PerubahanDensitas, Kekerasan Dan Mikrostruktur Pelet U-ZrHx. ISSN 0852-
4777.
Meyer, J., Umhauer, H. dan Schiel, A. (2008). A Novel Device for Single Particle
Light Scattering Size Analysis and Concentration Measurement at High
Pressures and Temperatures. Journal Particle System Characterization. Vol.
25. Hal 119-135
Micro Nano Tools. (2017.) Planetary Ball Mill 4X 1L Lubrication Free - Two-
yearWarranty, Vacuum and Inert Gas Grinding Compatible.
http://Micronanotools.com/ PlanetaryBallMill 4X1LLubricationFree-Two-
yearWarranty,VacuumandInertGasGrindingCompatible.html. [Diakses
Kamis, 20 Juli 2017 pukul 13.47 WIB].
Navarro, L.M., Reclo, P.J.R.,Jurado dan Duran, P. (1995). Preparation and Properties
Evaluation of Zirconia Based Al2O3 Composites as Electrolyte For Solid
Oxide Fuel Cell. Journal Material System.
Nolan, N., Pillai, S. dan Seery, M. K. (2006). Spectroscopic Investigation of
theAnatase to Rutile Transformation of Sol Gel Synthesised TiO2
Photocatalysts. Journal of Physical Chemistry C. Vol. 113. Hal. 16151-16157.
Nur, C. (2005). Pengaruh Ukuran Butir Dan Suhu Sintering Terhadap Konduktivitas
Listrik Dan Mikrostruktur Keramik Yittria Stabilized Zirkonia Sebagai
Elektrolit Padat Fuel Cell. Tesis. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Ormerod, R M. (2003). Solid oxide fuel cells. Chem Soc Rev 32(1).
Pratama, N., Djamas, D., Darvina, Y. (2016). Pengaruh Variasi Ukuran Partikel.
Terhadap Nilai Konduktivitas Termal Papan Partikel Tongkol Jagung. Jurnal
Fisika. Universitas Negeri Padang. Padang.
70
Pratapa, S., Kurmidi.(2010). Sintesis Keramik Al2TiO
5 dengan Aditif
MgOMenggunakan Metode Solid Reaction. Jurnal Fisika. Institut Teknologi
Sepuluh November. Surabaya.
Purwani, M.V., Suryani (2016). Kalsinasi Konsetrat Serium Menjadi Serium Oksida.
Prosiding Seminar Penelitian Dan Pengelolaan Perangkat Nuklir. ISSN 1410
– 8178.
Puspa, A. K. (2014). Sintesis dan Karakterisasi Biokeramik Hidroksiapatit
BahanTulang SapipadaTemperatur 800-1100℃. Skripsi. Universitas
Lampung. Lampung.
Raharjo, J., Dedikarni., dan Daud, W.R.W. (2007). Perkembangan Teknologi
Material pada Sel Bahan Bakar Padat Temperatur Operasi Menengah. Jurnal
Sains Materi Indonesia 10 (1) : 28-34
Raharjo, J., Ali, M., Arjasa, O.P., Bakri, A., Damisih, Dewi, E.L., Muchtar, A.,
Somalu, M.R. (2016). Synthesis and characterization of uniform-sized cubic
ytterbium scandium co-doped zirconium oxide (1Yb10ScSZ) nanoparticles by
using basic amino acid as organic precursor. International journal of
hydrogen energy.
Rahayu, W., (2017). Modul Basic Concepts Nanoparticle Characterization
Techniques And Applications Zetasizer Nano Series. P.T.DKSH.
Rawle, A., (2002). The importance of particle sizing to the coatings industry Part 1 :
Particle size measurment. Advances in Colour Science and Technology,
5(1):1-12.
Sammes,N.M. (2006). Fuel cell technology reaching towardscommercialization.
London: Springer
Samui, A.B., Patil, D.S., Prasad, D., Gokhale, N.M. (2016). Synthesis of
nanocrystalline 8YSZ powder for sintering SOFC material using green
solvents and dendrimer route. Journal Advance Powder Technology.
Sari, P.A., Efhana, D.P., Zainuri, M. (2014). Pengaruh Temperatur Kalsinasi Pada
Pembentukan Lithium Iron Phosphate (LFP) Dengan Metode Solid State.
Jurnal Teknik Pomits. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.
Setiabudi, A., Hardian, R., Muzakir, A. (2012). Karakterisasi Material Prinsip dan
Aplikasinya dalam Penelitian Kimia. Bandung.
Setiati, A., Suhanda, Sofiyaningsih, N., Suparyo, Y. (2011). Sintesis
DanKarakterisasi Nano Powder Alumina Titania Dengan Metode Masking
Gel Calcination Synthesis And Characterization Of Aluminum Titanate Nano
Powder By Masking Gel Calcination Method. Jurnal Riset Industri 5 (2) :
175-182.
71
Singhal SC, Kendall, K. (2003). High Temperature Solid Oxide Fuel cells:
Fundamentals, Design, and Applications. Oxford (UK): Elsevier
Sudarningsih dan Fahruddin. (2008). Penggunaan Metode Difraksi Sinar-X dalam
Menganalisa Kandungan Mineral pada Batuan Ultra Basa Kalimantan
Selatan. Jurnal Fisika FLUX, 5 (2) : 165-173
Sriyanti, I., Abdullah, M. (2009). Sintesis Nanopartikel Nd-CeO2
MenggunakanMetode Simple Heating Untuk Aplikasi Solid Oxide Fuel Cell
(SOFC).Jurnal Natur Indonesia 12 (1): 1-8
Taer, E., Nurjanah, S., Sugianto, Taslim, R. (2016). Pembuatan Dan
KarakterisasiSifat Fisis Elektroda Karbon Dari Bunga Rumput Gajah Ditinjau
Dari Perbedaan Ukuran Partikel. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-
Journal). Vol V. Hal 1-6.
Xu, Y., Gao, H.Q. Liu. (2002). The Preparation, Characterization, and their
Photocatalytic Activities of Rare-Earth-Doped TiO2 Nanoparticles. Journal.
of Catalysis2 (3) : 80-82
Vaghari, H., H. J. Malmiri, A. Berenjian, & N. Anarjan. (2013). Recent Advances in
Application of Chitosan in Fuel Cells, Sustainable Chemical Processes.
2013:1-16.
Viantyas, D., dan Zainuri, M. (2014). Pengaruh Temperatur Kalsinasi Terhadap
Konduktivitas Listrik pada Bahan Elektrolit Padat Li1,3Ti1,7Al0,3(PO4)3
(LTAP) dengan Menggunakan Metode Liquid Mixing. JURNAL SAINS DAN
SENI POMITS 3 (2) : 2337-3520
Widjanarko, S.B., dan Suwasito, T.S. (2014). Pengaruh lama Penggilingan
TepungPorang dengan Metode Ball Mill Terhadap Rendemen dan
Kemampuan HidrasiTepung Porang (Amorphophallus muelleri Blume).
Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (1):79-85
Winnubst, L., Ran, S., Speets, E. A.,Blank, D. H. A. (2009). Analysis of
reactionsduring sintering of CuO-doped 3Y-TZP nano-powder composites.
Journal of the European Ceramic Society, 29(12), 2549–2557.
https://doi.org/10.1016/j.jeurceramsoc.2009.02.009.
Yasuda, K., Uemura, K., & Shiota, T. (2012). Sintering and mechanical properties of
gadolinium-doped cerium ceramics. Journal of Physics: Conference Series,
339, 012006. https://doi.org/10.1088/1742-6596/339/1/012006
Zhu, B. (2006). Next generation fuel cell R&D. International Journal of Energy
Research, 30(11), 895–903. http://doi.org/10.1002/er.1195
72
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan stoikiometri
Reaksi kimia yang terjadi yaitu sebagai berikut :
0,9CeO2 + 0,05Gd2O3 Ce0.9Gd0.1O1.95
Ar Ce = 140,12
Ar Gd = 157,25
wt % = persen berat
at % = persen atomik
wt % bahan yang dibutuhkan :
X= Ar X at X
MrCe . Gd . O . 5
x 5gram x 100%
Ce= ,
( ) ( ) ( ) x 5gram x 100% =
3,6440 gram
Gd= ,
( ) ( ) ( )x5 gram x 100% = 0,4543
gram
wt % yang tersedia adalah :
X dalam X2Y3 =
Ce dalam CeO2=
= 0,8140 gram
Gd dalam Gd2O3 =
= 0,8675 gram
Jadi gram bahan yang dibutuhkan dari bahan yang tersedia yaitu
X2Y3 =
73
CeO2 =
= 4,4766 gram
Gd2O3 =
= 0,5236 gram
74
Lampiran 2.Perhitungan ukuran kristal menggunakan persamaan Scherrer
Persamaan Scherrer:
D= λ
θ
Dimana:
D =Ukuran Kristal, Å
K =Faktor bentuk Kristal = 0,9
𝜆 =Panjang gelombang sinar-X, CuK𝛽= 1,39225 Å
𝜃 =Sudut puncak yang diamati, derajat
𝛽 =Pelebaran difraksi sinar-X, radian
1. Ukuran Kristal GDC K non kalsinasi
FWHM = 0,335
= 0,005843
D=
= 221,2 Å = 22,12 nm
2. Ukuran Kristal GDC K 600
0C
FWHM = 0,326
=0,00569
D=
= 227,2Å = 22,72 nm
3. Ukuran Kristal GDC K 700
oC
FWHM = 0,32
=0,005634
D=
= 229,49Å = 22,94 nm
75
4. Ukuran Kristal GDC K 800oC
FWHM = 0,264
=0,004605
D=
= 280,78Å = 28,07 nm
5. Ukuran Kristal GDC L Non Kalsinasi
FWHM = 0,186
=0,003244
D=
= 398,52Å = 39,85 nm
6. Ukuran Kristal GDC L600oC
FWHM = 0,186
=0,003244
D=
= 398,53Å = 39,85 nm
7. Ukuran Kristal GDC L700oC
FWHM = 0,171
=0,002983
D=
= 433,39Å = 43,33 nm
8. Ukuran Kristal GDC L800oC
FWHM = 0,164
=0,002860
D=
= 452,04Å = 45,20 nm
76
Lampiran 3. Perhitungan porositas dan densitas dengan prinsip Archimedes
((Ms) (Mk)
Densitas air )
Dimana :
(Ms)= Massa saturasi (gram)
(Mk)= Massa kering (gram)
Tabel 9 Data hasil pengujian densitas GDC K
Sampel Massa Kering Massa
dalam air
Massa
Saturasi
Porositas Relatif
Densitas
GDC K Non K 1,3475 gr 1,1187 gr 1,3916 gr 4,41 95,59 %
GDC K 6000C 1,3137 gr 1,1178 gr 1,3154 gr 0,17 99,83%
GDC K 7000C 1,4209 gr 1,2084 gr 1,4222 gr 0,13 99,87%
GDC K 8000C 1,4277 gr 1,2080 gr 1,4232 gr 0,05 99,94%
1. GDC K non kalsinasi
Porositas = (
x 100%)= 4,41
Densitas= 100 – 4,41= 95,59%
2. GDC K 600oC
Porositas =
x 100% = 0,17
Densitas= 100 – 0,17= 99,83%
3. GDC K 700oC
Porositas=
x 100% = 0,13
Densitas= 100 – 0,13= 99,87%
4. GDC K 800oC
Porositas =
x 100% = 0,05
Densitas= 100 – 0,05= 99,94%
Tabel 10. Data hasil pengujian densitas GDC L
77
Sampel Massa Kering Massa
dalam air
Massa
Saturasi
Porositas Relatif
Densitas
GDC L Non K 2,5780 gr 2,1368 gr 2,7438 gr 16,61 83,39 %
GDC L 6000C 2,6237 gr 2,2226 gr 2,7400 gr 11,65 88,35%
GDC L 7000C 2,3440 gr 1,9649 gr 2,4435 gr 9,95 90,05%
GDC L 8000C 2,3124 gr 1,9651 gr 2,3949 gr 8,26 91,74%
5. GDC L non kalsinasi
Porositas =
x 100% = 16,61
Densitas= 100-0,1661= 83,39%
6. GDC L 600oC
Porositas=
x 100%= 11,65
Densitas= 100-0,1665=88,35%
7. GDC L 700oC
Porositas=
x100%= 9,95
Densitas= 100-9,95= 90,05%
8. GDC L 800 oC
Porositas =
x 100% = 8,26
Densitas = 100- 8,26=91,74%
78
Lampiran 4. Foto penelitian
CeO2 Sigma Aldrich Gd2O3 Sigma Aldrich
Ce(OH)4 Lokal pasta Ce(OH)4 setelah di oven
Ce(OH)4 Lokal digerus Ce(OH)4 Lokal setelah digerus
79
CeO2 Lokal setelah kalsinasi jar ball mill lokal dan komersial
jar ball mill planetary ball mill
Proses kalsinasi
80
Sampel GDC K Sampel GDC L
Pembuatan Pellet GDC L Pembuatan Pellet GDC K
Oven
81
Acrysol Carver
Proses Kompaksi Pellet Pellet GDC K non kalsinasi
Pellet GDC K 600 oC Pellet GDC K700
oC
82
Pellet GDC K800 oC Pellet GDC L non kalsinasi
Pellet GDC L 600 oC Pellet GDC L 700
oC
pellet GDC L 800 oC Alat Penguji Densitas
TGA XRD
83
PSA SEM
EIS XRF
84
Lampiran 5. Analisis XRD menggunakan software HighScore
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
1 1 1
2 0 0
2 2 0 3 1 1
2 2 2 4 0 0 3 3 1 4 2 0 4 2 2
GdC K Non Kalsinasi_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100.0 % 01-075-0161
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
1 1 1
2 0 0
2 2 0 3 1 1
2 2 2 4 0 0 3 3 1 4 2 0 4 2 2
GdC K 600C_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100.0 % 01-075-0161
85
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
300
1 1 1
2 0 0
2 2 0 3 1 1
2 2 2 4 0 0 3 3 1
4 2 0 4 2 2
GdC K 700C_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100.0 % 01-075-0161
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200 1 1 1
2 0 0
2 2 0
3 1 1
2 2 2 4 0 0 3 3 1 4 2 0 4 2 2
GDC K 800C_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100 % 01-075-0161
86
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
300 1 1 1
2 0 0
2 2 0
3 1 1
2 2 2 4 0 0 3 3 1
4 2 0 4 2 2
GdC L Non Kalsinasi_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100.0 % 01-075-0161
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
300
400
1 1 1
2 0 0
2 2 0
3 1 1
2 2 2 4 0 0 3 3 1
4 2 0 4 2 2
GdC L 600C_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100.0 % 01-075-
0161
87
Position [°2Theta] (Copper (Cu))
10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
300
400
1 1
1; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
2 0
0; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
2 2
0; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
3 1
1; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
2 2
2; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
4 0
0; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
3 3
1; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
4 2
0; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
4 2
2; ; G
d.1
0 C
e.9
0 O
1.9
5; C
e0
.9 G
d0
.1 O
1.9
5
GDC L 800C_Theta_2-Theta
Gadolinium Cerium Oxide
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Counts
0
100
200
300
400
1 1 1
2 0 0
2 2 0
3 1 1
2 2 2 4 0 0
3 3 1 4 2 0 4 2 2
GdC L 700C_Theta_2-Theta Gadolinium Cerium Oxide 100.0 % 01-075-0161
88
Peak List GDC K Non
Kalsinasi
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.512(10) 3.1280(11) 134(12) 0.335(16) 77.4(9)
2 33.01(2) 2.7113(18) 35(6) 0.39(3) 20.1(6)
3 47.50(2) 1.9124(8) 62(8) 0.43(3) 42.5(8)
4 56.397(19) 1.6302(5) 44(7) 0.44(3) 28.1(7)
5 59.07(10) 1.563(2) 7(3) 0.52(9) 4.5(5)
6 69.33(10) 1.3543(18) 7(3) 0.64(8) 5.3(5)
7 76.67(9) 1.2419(13) 13(4) 0.52(9) 11.1(5)
8 79.04(10) 1.2105(12) 7(3) 0.66(7) 5.2(6)
9 88.48(8) 1.1041(8) 8(3) 0.85(7) 8.4(7)
Peak List GDC K 600
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.571(6) 3.1217(7) 147(12) 0.326(11) 76.4(9)
2 33.06(2) 2.708(2) 39(6) 0.37(2) 20.0(6)
3 47.44(2) 1.9149(8) 68(8) 0.401(19) 38.9(7)
4 56.36(3) 1.6311(7) 53(7) 0.38(3) 32.8(6)
5 59.19(8) 1.5597(18) 9(3) 0.42(9) 5.5(5)
6 69.48(8) 1.3517(13) 9(3) 0.40(6) 4.1(5)
7 76.73(3) 1.2410(5) 16(4) 0.50(7) 13.0(5)
8 79.10(3) 1.2097(3) 9(3) 0.70(12) 9.9(6)
9 88.56(4) 1.1033(4) 14(4) 0.57(8) 12.7(5)
Peak List GDC K 700
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.553(10) 3.1237(10) 172(13) 0.323(9) 79.0(9)
2 33.09(2) 2.7047(16) 46(7) 0.347(15) 19.5(6)
3 47.458(19) 1.9142(7) 85(9) 0.358(16) 43.3(7)
4 56.36(2) 1.6311(7) 59(8) 0.38(2) 32.3(6)
5 59.08(7) 1.5625(16) 12(3) 0.35(5) 5.3(4)
6 69.47(7) 1.3519(12) 9(3) 0.52(14) 8.3(5)
7 76.71(5) 1.2414(7) 19(4) 0.52(4) 12.8(5)
8 79.082(17) 1.2100(2) 14(4) 0.41(5) 10.6(5)
9 88.42(3) 1.1047(3) 17(4) 0.44(7) 14.3(5)
89
Peak List GDC K 800
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.578(6) 3.1209(6) 180(13) 0.264(9) 69.3(8)
2 33.101(11) 2.7042(9) 54(7) 0.24(2) 19.8(5)
3 47.492(17) 1.9129(7) 99(10) 0.283(16) 41.2(7)
4 56.37(2) 1.6309(6) 68(8) 0.32(2) 29.9(6)
5 59.05(6) 1.5631(14) 13(4) 0.34(5) 6.0(4)
6 69.474(12) 1.3518(2) 15(4) 0.23(3) 4.4(4)
7 76.71(4) 1.2414(6) 22(5) 0.40(5) 12.2(5)
8 79.16(4) 1.2090(5) 15(4) 0.39(5) 7.7(5)
9 88.43(3) 1.1046(3) 21(5) 0.37(5) 13.3(5)
Peak List GDC L Non Kalsinasi
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.510(9) 3.1283(9) 269(16) 0.186(8) 76.6(9)
2 33.034(15) 2.7094(12) 80(9) 0.182(15) 20.8(5)
3 47.463(7) 1.9140(3) 133(12) 0.186(11) 38.9(6)
4 56.295(10) 1.6329(3) 97(10) 0.195(17) 30.9(6)
5 59.050(11) 1.5631(3) 17(4) 0.23(5) 5.8(4)
6 69.36(4) 1.3537(7) 14(4) 0.26(5) 4.4(4)
7 76.662(12) 1.24200(17) 29(5) 0.24(3) 12.9(4)
8 79.03(3) 1.2106(4) 18(4) 0.28(4) 7.8(4)
9 88.376(10) 1.10513(10) 25(5) 0.32(3) 11.1(5)
Peak List GDC L 600
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.495(4) 3.1299(4) 294(17) 0.186(6) 75.2(8)
2 33.068(11) 2.7067(9) 87(9) 0.169(13) 21.4(5)
3 47.453(8) 1.9144(3) 146(12) 0.180(11) 40.1(6)
4 56.305(10) 1.6326(3) 100(10) 0.213(12) 29.9(6)
5 59.036(9) 1.5634(2) 18(4) 0.26(3) 5.2(4)
6 69.367(13) 1.3537(2) 18(4) 0.17(3) 5.1(3)
7 76.703(10) 1.24144(13) 31(6) 0.23(2) 11.2(4)
8 79.02(2) 1.2107(3) 23(5) 0.23(2) 6.8(4)
9 88.352(12) 1.10538(12) 22(5) 0.34(3) 10.3(5)
90
Peak List GDC L 700
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.518(8) 3.1274(8) 277(17) 0.171(6) 75.3(8)
2 33.031(8) 2.7097(6) 91(10) 0.146(14) 21.6(5)
3 47.455(6) 1.9143(2) 141(12) 0.177(10) 40.1(6)
4 56.294(10) 1.6329(3) 100(10) 0.206(13) 29.6(6)
5 59.07(3) 1.5625(6) 19(4) 0.20(3) 4.0(5)
6 69.38(2) 1.3535(4) 14(4) 0.28(3) 4.6(3)
7 76.642(8) 1.24229(12) 31(6) 0.26(3) 11.9(5)
8 78.981(15) 1.2113(2) 15(4) 0.36(4) 7.0(4)
9 88.36(2) 1.1053(2) 27(5) 0.24(2) 9.6(4)
Peak List L 800
No. 2-theta(deg) d(ang.) Height(counts) FWHM(deg) Int. I(counts
deg)
1 28.524(8) 3.1267(8) 271(16) 0.164(7) 73.0(8)
2 33.054(14) 2.7079(11) 80(9) 0.180(12) 20.7(5)
3 47.434(7) 1.9151(3) 138(12) 0.179(10) 38.4(6)
4 56.301(9) 1.6327(2) 104(10) 0.185(12) 28.7(6)
5 59.07(3) 1.5625(8) 17(4) 0.24(4) 5.3(4)
6 69.323(9) 1.35442(16) 17(4) 0.20(3) 4.6(3)
7 76.65(2) 1.2422(3) 32(6) 0.24(3) 11.9(4)
8 79.02(2) 1.2107(3) 19(4) 0.26(3) 7.2(4)
9 88.355(11) 1.10534(11) 22(5) 0.27(3) 8.8(5)
91
Lampiran 6. Hasil analisa PSA
92
93
94
95
BIODATA MAHASISWA
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Windi Azizah Fitri
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 14 Maret 1994
NIM : 1112096000047
Anak ke : 1 dari 1 bersaudara
Alamat Rumah : Komp. Puspiptek blok III E No.2, RT/RW: 022/006,
Kel/Desa: Setu, Kec: Setu, Tangerang Selatan
Banten. 15314.
Telp/HP. : 081224771834
Email : [email protected]
Hobby/ Keahlian (softskill) : Membaca
PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : SDN Puspiptek Lulus tahun 2006
Sekolah Menengah Pertama : SMPN 8 Kota Tangerang Selatan Lulus tahun 2009
SLTA/SMK : SMAN 3 Kota Tangerang Selatan Lulus tahun 2012
Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masuk tahun 2012
PENDIDIKAN NON FORMAL
Kursus/Pelatihan
1. Inhouse Training Pemahaman
Sistem Manajenen
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) Berdasarkan
OHSAS 18001
: No. Sertifikat 068/ISP-S/IX/2016
96
PENGALAMAN
ORGANISASI
:
1. Himpunan Kimia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Jabatan anggota Tahun 2012 sd 2013
Jabatan Staf Ahli Departemen PSDM Tahun 2013 sd
2014
PENGALAMAN KERJA :
1. Praktek Kerja Lapangan
(PKL)
: Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (Puslit Kimia LIPI) / 2015 Judul PKL
Pembuatan Sediaan Gel Antijerawat Dari Ekstrak
Lidah Buaya (Aloe barbadensis Milleer) dan
Mentimun (Cucumis sativus L.) Dari Hasil Maserasi
SEMINAR/LOKAKARYA
1. Training Manajemen
Database Laboratorium
Berbasis Online
Januari/2013 Sertifikat Pemakalah ada
2. K3 Laboratorium Kimia dan
Pengenalan Android untuk
Pembelajaran Kimia di
Laboratorium
September/2013 Sertifikat Pemakalah ada
3. Peningkatan Kapasitas
Keilmuan dan Penelitian
Bidang Biokimia dan
Bioteknologi Menuju
Kemandirian Bangsa
4. Workshop on Fuel Cell and
Its Industrial Applications.
Mei/2014 Sertifikat Pemakalah ada
Oktober/2017 Sertifikat Pemakalah ada