Download - ASKEP ILEUS OBSTRUKTIF.docx
M a k a l a h
LAPORAN PENDAHULUAN BOWEL OBSTRUCTION
(ILEUS OBSTRUKTIF)
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1
1. A. CITRA DEWI
2. A. WAHYUDI PALLAWA
3. ABD. RAHMAT
4. AMINARSIH
5. ASRUL HAK
6. ATY SUCIATY
7. AYU
STIKES KURNIA JAYA PERSADA
TAHUN AJARAN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Sang Kholik yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Bowel Obstruction/ Ileus Obstruktif, tanpa
nikmat sehat yang diberikan oleh-Nya sekiranya penulis tidak akan mampu untuk
menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad
SAW, semoga atas ijin Allah SWT penulis dan teman-teman semua akan mendapatkan
syafaatnya nanti.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan kerabat
semua yang turut serta dalam penulisan makalah ini, baik dari segi ide, kreatifitas, dan
usaha. Tanpa ada bantuan dari teman-teman semua, mungkin penulis akan mengalami
hambatan dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat untuk
perbaikan makalah agar menjadi lebih bermanfaat untuk kita semua.
Penulis, Kelompok 1;
1. A. Citra Dewi
2. A. Wahyudi Pallawa
3. Abd. Rahmat
4. Aminarsih
5. Asrul Hak
6. Aty Suciaty
7. Ayu
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1LatarBelakang
Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai,
merupakan 60-70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan appendisitis akut. Penyebab
yang paling sering dari obstruksi ileus adalah adhesi/ streng, sedangkan diketahui bahwa operasi
abdominalis dan operasi obstetri-ginekologik makin sering dilaksanakan yang terutama didukung
oleh kemajuan di bidang diagnostik kelainan abdominalis.
Bowel obstruction atau Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus
dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus
(Sabara, 2007). Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus
(Davidson, 2006). Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita ileus setiap
tahunnya (Jeekel, 2003). Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif
tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank
data Departemen Kesehatan Indonesia.
Terapi ileus obstruksi biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis serta
tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi dilakukan secepat yang layak
dilakukan dengan memperhatikan keadaan keseluruhan pasien (Sabiston, 1995).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ileus Obstruktif
2. Apa etiologi Ileus Obstruktif
3. Bagaimana patofisiologi Ileus Obstruktif
4. Bagaimana manifestasi klinis Ileus Obstruktif
5. Apa saja yang termasuk komplikasi Ileus Obstruktif
6. Bagaimana pemeriksaan Ileus Obstruktif
7. Bagaimana penatalaksanaan Ileus Obstruktif
1.3 Tujuan
1) Tujuan Umum
Mengetahui apa sebenarnya definisi Ileus Obstruktif secara lebih luas
2) Tujuan khusus
Mengetahui yang dimaksud dengan Ileus Obstruktif
Mengetahui etiologi Ileus Obstruktif
Mengetahui patofisiologi Ileus Obstruktif
Mengetahui manifestasi klinis Ileus Obstruktif
Mengetahui apa saja yang termasuk komplikasi Ileus Obstruktif
Mengetahui pemeriksaan Ileus Obstruktif
BAB II
KONSEP DASAR MEDIS
2.1. ANATOMI USUS HALUS
Usus halus merupakan bagian saluran pencernaan yang paling panjang, dibagi menjadi 3 bagian: duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi utama usus halus adalah pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan.
2.1.1. DuodenumDuodenum berbentuk seperti huruf C yang panjangnya sekitar 25 sentimeter yang menghubungkan lambung dengan jejunum. Duodenum sangat penting karena dalam duodenum terdapat muara saluran empedu dan saluran pankreas. Duodenum melengkung sekitar kaput pankreas. Dua setengah sentimeter pertama duodenum menyerupai lambung karena pada permukaan anterior dan posteriornya diliputi peritonium dan mempunyai omentum minus yang melekat pada pinggir atasnya dan omentum majus yang melekat pada pinggir bawahnya. Bursa omentalis terletak di belakang segmen yang pendek ini. Sisa duodenum lainnya terletak retroperitoneal, hanya sebagian saja yang diliputi peritoneum.
2.1.2. Jejenum Dan IleumJejunum dan ileum panjangnya sekitar 6 meter, 2/5 bagian atas merupakan jejunum, masing-masing bagian mempunyai gambaran yang berbeda, tetapi terdapat perubahan yang berangsur-angsur dari bagian yang satu ke bagian yang lain. Jejunum mulai pada junctura duodenojejunalis
dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis. Lekukan-lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding posterior abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai mesenterium usus halus. Pinggir bebas lipatan yang panjang meliputi usus halus yang mobile. Pangkal lipatan yang pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding posterior abdomen sepanjang garis yang berjalan ke bawah dan ke kanan dari kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara dua lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium.
Pembuluh arteri yang memperdarahi jejunum dan ileum berasal dari cabang-cabang arteri mesenterika superior. Cabang-cabang intestinal berasal dari sisi kiri arteri dan berjalan dalam mesenterium untuk mencapai usus. Pembuluh-pembuluh ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk serangkaian arcade. Bagian ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh arteri ileokolika.Vena jejunum dan ileum sesuai dengan cabang-cabang arteri mesenterika superior dan mengalirkan darahnya ke vena mesentrika superior. Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus superior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesenterika superior. Saraf untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior
2.3. FISIOLOGI
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas. Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim – enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencernakan zat – zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat –zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinu isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir
pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel – sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan – bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan enzim – enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsiPergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke arah usus besar.Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1 – 4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong makanan menuju ke arah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm.
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi yang disebabkan oleh adanya sel – sel pace maker yang terdapat pada dinding usus halus, dimana aktifitas dari sel – sel ini dipengaruhi oleh sistem saraf dan hormonal.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan refleks peristaltik yang akan menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan insulin juga meningkatkan pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon menghambat pergerakan usus halus.
Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang – kadang terhambat selama beberapa jam sampai seseorang makan lagi. Pada saat tersebut, refleks gastrileal meningkatkan aktifitas peristaltik dan mendorong makanan melewati katup ileocaecal menuju ke kolon.
Makanan yang menetap untuk beberapa lama pada daerah ileum oleh adanya sfingter ileocaecal berfungsi agar makanan dapat diabsorbsi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan kembali dari caecum masuk ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka sfingter ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga pengosongan ileum sangat terhambat.
2.4. DEFINISI
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara, 2007).Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsino ma dan perkembangannya lambat. Sebahagaian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus.Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Ada dua tipe obstruksiyaitu :
1.Mekanis (Ileus Obstruktif)Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intusepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura, perlengketan, hernia dan abses.
2.Neurogenik/fungsional (Ileus Paralitik)Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf ototnom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit parkinson.
2.5. ETIOLOGI
Ileus obstruktif dapat disebabkan oleh (Doherty et al 2002) :1. Adhesi (perlekatan usus halus)merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang
mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.2. Hernia inkarserata eksternal (inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau parastomal)merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif , dan merupakan penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna (paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan hernia.3. Neoplasma. Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan tumor metastase atau tumor intraabdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal.4. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai petunjuk awal adanya intususepsi5. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa infeksi atau karena striktur yang kronik.6. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.7. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.8. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau trauma operasi.9. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.10. Benda asing, seperti bezoar.11. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau herniaLittre.12. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium.
2.6. PATOFISIOLOGI
Obstruksi ileus merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu. Akan terjadi pengumpulan isi lumen usus yang berupa gas dan cairan, pada bagian proximal tempat penyumbatan, yang menyebabkan pelebaran dinding usus (distensi). Sumbatan usus dan distensi usus menyebabkan rangsangan terjadinya hipersekresi kelenjar pencernaan.
Dengan demikian akumulasi cairan dan gas makin bertambah yang menyebabkan distensi usus tidak hanya pada tempat sumbatan tetapi juga dapat mengenai seluruh panjang usus sebelah proximal sumbatan. Sumbatan ini menyebabkan gerakan usus yang meningkat (hiperperistaltik) sebagai usaha alamiah. Sebaliknya juga terjadi gerakan antiperistaltik. Hal ini menyebabkan terjadi serangan kolik abdomen dan muntah-muntah. Pada obstruksi usus yang lanjut, peristaltik sudah hilang oleh karena dinding usus kehilangan daya kontraksinya.Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obtruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik dimana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanis peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dana gas (70 % dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intra lumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus ke darah.
Oleh karena sekitar 8 liter cairan disekresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorbsi dapat mengakibatkan penimbunan intra lumen yang cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit.Pengaruh atas kehilangan cairan dan elektrolit adalah penciutan ruang cairan ekstra sel yang mengakibatkan hemokonsentrasi, hipovolemia, insufisiensi ginjal, syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik dan kematian bila tidak dikoreksi.Peregangan usus yang terus menerus menyebabkan lingkaran setan penurunan absorbsi cairan dan peningkatan sekresi cairan kedalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin/bakteri kedalam rongga peritonium dan sirkulasi sistemik.
Pengaruh sistemik dari distensi yang mencolok adalah elevasi diafragma dengan akibat terbatasnya ventilasi dan berikutnya timbul atelektasis. Aliran balik vena melalui vena kava inferior juga dapat terganggu. Segera setelah terjadinya gangguan aliran balik vena yang nyata, usus menjadi sangat terbendung, dan darah mulai menyusup kedalam lumen usus. Darah yang hilang dapat mencapai kadar yang cukup berarti bila segmen usus yang terlibat cukup panjang.
2.7. MANIFESTASI KLINIS
1. Obstruksi Usus HalusGejala awal biasanya berupa nyeri abdomen bagian tengah seperti kram yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan bersifat hilang timbul. Pasien dapat mengeluarkan darah dan mukus, tetapi bukan materi fekal dan tidak terdapat flatus.Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltik pada awalnya menjadi sangat keras dan akhirnya
berbalik arah dan isi usus terdorong kedepan mulut. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Semakin kebawah obstruksi di area gastriuntestinalyang terjadi, semakin jelas adaanya distensi abdomen. Jika berlaanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
2. Obstruksi Usus BesarNyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada pasien dengan obstruksi disigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi gejala satu-satunya selama beberapa hari. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen, dan pasien menderita kram akibat nyeri abdomen bawah.
Dengan melihat patogenesis yang terjadi, maka gambaran klinik yang dapat ditimbulkan sebagai akibat obstruksi usus dapat bersifat sistemik dan serangan yang bersifat kolik.
Gambaran klinik yang bersifat sistemik meliputi :· Dehidrasi berat· Hipovolemia· Syok· Oliguria· Gangguan keseimbangan elektrolit· Perut gembung· Kelebihan cairan usus· Kelebihan gas dalam usus
Gambaran klinik serangan kolik meliputi :· Nyeri perut berkala· Distensi berat· Mual / muntah· Gelisah / menggeliat· Hiperperistaltik· Nada tinggi· Halangan pasase· Obstipasi· Tidak ada flatusPada obstruksi usus dengan strangulasi, terjadi keadaan gangguan pendarahan dinding usus yang menyebabkan nekrosis atau gangguan dinding usus. Bahaya umum dari keadaan ini adalah sepsis atau toxinemia.
2.8. EVALUASI DIAGNOSTIKI. Pada dugaan tumor kolon dapat dibuat foto barium enema.
II. Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus. Pada urinalisa, berat jenis bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukkan adanya dehidrasi dan asidosis metabolik. Leukosit normal atau sedikit meningkat, jika sudah tinggi kemungkinan sudah terjadi peritonitis. Kimia darah sering adanya gangguan elektrolit
III. Foto polos abdomen sangat bernilai dalam menegakkan diagnosa ileus obstruksi. Sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar mendatar. Posisi datar perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan sikap tegak untuk melihat batas udara dan air serta letak obstruksi. Secara normal lambung dan kolon terisi sejumlah kecil gas tetapi pada usus halus biasanya tidak tampak
IV. Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air fluid level, distensi usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi usus halus. Obstruksi kolon biasanya terlihat sebagai distensi usus yang terbatas dengan gambaran haustra, kadang-kadang gambaran massa dapat terlihat. Pada gambaran radiologi, kolon yang mengalami distensi menunjukkan gambaran seperti ‘pigura’ dari dinding abdomen.
V. Kemampuan diagnostik kolonoskopi lebih baik dibandingkan pemeriksaan barium kontras ganda. Kolonoskopi lebih sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis neoplasma dan bahkan bisa langsung dilakukan biopsi.
VI. Obstruksi Usus Halus :Diagnosa didasarkan pada gejala yang digambarkan diatas serta pemeriksaan sinar-X. Sinar-X terhadap abdomen akan menunjukkan kuantitas dari gas atau cairan dalam usus. Pemeriksaan laboratorium (misalnya pemeriksaan elektrolit dan jumlah darah lengkap) akan menunjukkan gambaran dehidrasi dan kehilangan volume plasma dan kemungkinan infeksiVII. Obstruksi Usus Besar :Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan simtoma-tologi dan sinar-X. Sinar-X abdomen (datar dan tinggi) akan menunjukkan distensi abdomen. Pemeriksaan barium dikontraindikasikan.
2.9. PROGNOSIS Angka kematian keseluruhan untuk obstruksi usus halus kira-kira 10 %Angka kematian untuk obstruksi non strangulata adalah 5-8 %, sedangkan pada obstruksi strangulata telah dilaporkan 20-75 %. Angka mortalitas untuk obstruksi kolon kira-kira 20 %
2.10. KOMPLIKASI1. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan
atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
2. Perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada organ intra abdomen.3. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.4. Syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
(Brunner and Suddarth, 2001, hal 1122).
2.11. PENATALAKSAAN BEDAH DAN MEDIS1. Dekompresi dengan pipa lambung2. Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. Juga keseimbangan
asam-basa.3. Koreksi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan sesuai dengan kelainan patologinya.4. Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi penyebabnya.
Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
1.Obstruksi Usus HalusDekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermamfaat dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus.Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan, sebelum pembedahan, terapi intra vena diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium, klorida dan kalium). Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah herniotomi.
2.Obstruksi Usus BesarApabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi, pembukaan secara bedah yang dibuat pasa sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATANA. PENGKAJIAN
a. Identitas
1) Identitas klien
Data yang terdapat berupa nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor registrasi, diagnosa medik.
2) Identitas penanggung jawab
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan
dengan klien.
b. Riwayat keperawatan
1) Keluhan utama
Gangguan utama/terpenting yang dirasakan klien sehingga ia butuh pertolongan.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang ditemukan ketika dilakukan pengkajian yang dijabarkan
dari keluhan utama dengan menggunakan teknik PQRST. Pasien ileus obstruktif sering
ditemukan nyeri kram, rasa ini lebih konstan apalagi bila bergerak akan bertambah nyeri
dan menyebar pada distensi, keluhan ini mengganggu aktivitas klien, nyeri ini bisa ringan
sampai berat tergantung beratnya penyakit dengan skala 0 sampai 10. Klien post laparatomi
pun mengeluh nyeri pada luka operasi, nyeri tersebut akan bertambah apabila klien
bergerak dan akan berkurang apabila klien diistirahatkan, sehingga klien biasanya hanya
berbaring lemas. Nyeri yang dirasakan klien seperti disayat-sayat oleh benda tajam letaknya
disekitar luka operasi, dengan skala nyeri lebih dari 5 (0-10).
3) Riwayat kesehatan dahulu
Klien dengan ileus obstruktif mempunyai riwayat pernah dioperasi padabagian abdomen,
yang mengakibatkan terjadinya adhesi. Klien post laparatomi biasanya mempunyai riwayat
penyakit pada system pencernaan.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat dalam keluarga sedikit sekali kemungkinan mempunyai ileus obstruktif karena
kelainan ini bukan merupakan kelainan genetik, ada kemungkinan pada keluarga dengan
ileus obstruktif dan post laparatomi mempunyai riwayat penyakit kanker dan dapat pula
mempunyai riwayat cacingan pada keluarga.
5) Situasi Riwayat pekerjaan
tempat bekerja dan lingkungan.
6) Riwayat geografi
Kondisi lingkungan tempat tinggal
7) Riwayat social
Ada perubahan peran, pekerjaan, atau aktivitas, klien akan merasa tergantung dan
membutuhkan bantuan orang lain.kesembuhan penyakit.
8) Pola kebiasaan sehari-hari
Adanya kesulitan dalam melakukan aktivitas, adanya gangguan dalam nutrisi biasanya tidak
mampu makan dan minum karena mual dan muntah, gangguan dalam tidur/istirahat,
kesulitan BAB (konstipasi atau obstipasi), personal hygiene kurang terpenuhi.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum:
2) Mengukur TTV
3) Sistem pernafasan (breath)
4) Sistem kardiovaskuler (blood)
5) Sistem pencernaan(bawel)
6) Sistem persyarafan (brain)
7) Sistem musculoskeletal (bone)
8) Sistem perkemihan (bladder)
9) Sosial
10) Spiritual
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi usus sebagai berikut :
1) Laboratorium : BUN, hematokrit, berat jenis urin meningkat, penurunan kadar serum
natrium, klorida dan kalium, leukosit meningkat, terdapat penurunan sodium dan
potassium.
2) Enema barium membantu menentukan bila obstruksi didalam kolon.
3) Pemeriksaan radiologis abdomen, foto rontgen bisa menunjukan lingkaran usus yang
melebar, yang menunjukkan lokasi dari penyumbatan dan juga bisa menunjukkan adanya
udara di sekitar usus di dalam perut yang merupakan tanda adanya perforasi.
4) Skan CT, MRI (magnetic resonance imaging), atau ultrasound membantu memastikan
diagnosis.
5) Proktosigmoidoskopi membantu menentukan penyebab obstruksi bila didalam kolon klien
setelah laparotomi dibutuhkan pemeriksaan penunjang.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien ileus obstrutif menurut
Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) sebagai berikut :
a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal,
kehilangan cairan abnormal, status puasa, mual dan muntah.
c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis.
C. RENCANA KEPERAWATAN
Intervensi keperawatan pada ileus obstruktif menurut Judith M.Wilkinson (2005) dan
Susan Martin Tucker, et al (1998) :
a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan pernapasan yang dalam dan dangkal.
- Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal
- Kepatenan jalan nafas adekuat
- Status tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas
2. Kaji pucat dan sianosis
3. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan
4. Auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan
5. Posisikan pasien dengan semi fowler
6. Suction sesuai kebutuhan
7. Pantau terapi oksigen.
8. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap setiap 4 jam dan napas dalam
setiap jam.
Rasional:
1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi.
2. Hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis
3. Hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial
oksigen secara parsial.
4. Crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan.
5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka
pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan,
pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi.
6. Sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk
memberikan kebersihan jalan nafas.
7. Menjaga status pernapasan klien agar tetap optimal, memberikan terapi sesuai yang
dibutuhkan klien. Terapi oksigen dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan
pengambilan oksigen.
8. Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan mobilisasi serta mengeluarkan secret.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal,
kehilangan cairan abnormal, status NPO, mual.
Kriteria hasil :
- Pasien menunjukan tanda vital stabil : sistolik tekanan darah 90-140 mmHg, diastolic
50-90 mmHg, nadi = 60-100/menit
- Urin output adekuat > 60 ml/jam
- Membrane mukosa baik, turgor kulit baik
- Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan
normal.
Intervensi:
1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan
dokumentasikan output urine setiap 1-4jam. Laporkan sebagai berikut :
- Urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam
- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam
2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut :
- Osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg
- Osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg
- Serum sodium, lebih dari 145 mEq/L
- Peningkatan level BUN dan hematokrit
3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic.
Perhatikan adanya :
- Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T
memendek.
- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah
4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan potassium
klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan
pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.
5. Pantau tanda-tanda vital dan observasi kesadaran serta gejala syok
6. Pertahankan puasa, kaji tingkat hidrasi
7. Pantau cairan perenteral dengan elektrolit, antibiotic, dan vitamin
8. Kaji keadaan kulit sebagai tanda-tanda dehidrasi, turgor kulit jelek,kulit dan membrane
mukosa kering, pucat. Kaji juga kehausan, khususnya pada lansia.
9. Kaji dan laporkan adanya perubahan tingkat kesadaran, kelemahan otot dan koordinasi.
10. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
11. Timbang berat badan setiap hari bila memungkinkan
Rasional
1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan
kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi
kekurangan.
- urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien
dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland
pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan
karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi
vaskuler atau trauma kepala berat.
- Indikasi adanya deficit volume cairan
2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan
osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas,
serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi.
3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi
yang fatal.
5. Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan
hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium.
6. Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output
menunjukan preload insuffisiensi.Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk
kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan untuk
peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan. Cairan
dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena potassium mengiritasi vena
dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia dan
infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan
keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan.
7. Takikardi dan hipotensi dapat mengindikasikan syok hipovolemi. Perubahan
ortostatik (tekanan darah menurun 10 mmhg atau lebih dan nadi meningkat 20
kali/menit atau lebih) mengindikasikan hipovolemik.
8. Pemberian makanan dan minuman pada pasien dapat menyebabkan muntah lebih
sering dan mengakibatkan alkalosis metabolic hipokalemia atau hiponatremia.
Pemenuhan volume intravaskuler dan tambahan oksigen mengurangi efek kehilangan
darah dalam jaringan hingga perdarahan terkontrol.
9. Pengawasan akurat intake output menandakan keseimbangan pemberian sehingga
tidak terjadi syok hipovolemik.
10. Turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, peningkatan kehausan dapat
mengindikasikan hipovolemia sehingga terjadi penurunan volume cairan
ekstraseluler.
11. Confusion, stupor dapat menjadi indikasi hipovolemi dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral karena hipovolemia.
Kehilangan potassium dapat menyebabkan kelemahan otot.
12. Pembedahan dapat dindikasikan bila obstruksi berkelanjutan. Persiapan pembedahan
melingkupi pasien, peralatan, anastesi dan tenaga medis.
13. Berat badan sangat menunjukkan perubahan yang signifika ketidakseimbangan cairan.
c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.
Kriteria hasil:
- Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10)
- Menunjukan ekspresi rileks
- Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam mencapai
kenyamanan
- Melaporkan keadaan fisik dan piskis sudah membaik
- Penggunaan analgesik dan analgesik untuk menghilangkan nyeri
Intervensi
1. Pemberian anlgesik sesuai indikasi
2. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 – 10.
3. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi
dan aktivitas terapeutik.
4. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi karakteristik, onset, durasi,
frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus.
5. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan.
6. Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat
7. Informasikan pasien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri tawarkan koping
adaptif.
8. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang nyaman, seperti semifowler.
9. Kaji dan ajarkan melakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam. Dorong
ambulasi dini.
10. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit
Rasional
1. Agen farmakologik untuk menurunkan/ menghilangkan nyeri Menurunkan laju
metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu
menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.
2. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri.
Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan.
3. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk
mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.
4. Laporan pasien merupakan indikator terpercaya mengena eksistensi dan intensitas
nyeri pada pasien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi
segera.
5. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang dirasakan.
Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri.
6. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri
secara segera setelah dilaporkan.
7. Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu mpasien
menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri
8. Membantu mengontrol nyeri dengan mengurangi kebutuhan untuk kontraksi otot,
dengan posisi semifowler mengurangi tegangan abdomen.
9. Menurunkan kekakuan otot atau sendi. Ambulasi membalikkan organ keposisi normal
dan meningkatkankembalinya fungsi ketingkat normal.
10. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan lagi perhtian, dan meningkatkan kemampuan
koping.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis.
Kriteria hasil :
- Temperature tubuh normal
- Menunjukan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi
1. Awasi dan laporkan indikasi infeksi, yaitu : tanda-tanda vital,temperature tubuh, bising
usus, suara nafas, karakter urin, adanya abses dalam distensi abdomen dan ikterus.
2. Berikan antibiotic sesuai indikasi
3. Sediakan kultur untuk dan testing sensitivitas sesuai indikasi, lakukan sebelum terapi
antibiotic.
4. Gunakan prosedur teknik septic dan aseptic selama proses Tindakan
Rasional
1. Pengawasan ketat dibutuhkan karena infeksi tampak tidak hanya pada peningkatan
suhu dan wbc, tapi penggunaan medikasi immunosupresi dan kondisi kronik dapat
terjadi infeksi.
2. Tipe antibiotic spectrum luas seperti sulfasalazine (azulfidine) sesuai indikasi yang
dibutuhkan.
3. Kultur dan tes sensitivitas menjadi tidak akurat apabila setelah pemberian antibiotic
4. Pasien dengan ileus obstruktif kemungkinan terjadi inflamasi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimanamerupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isiusus. Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obtruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik dimana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanis peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70 %
dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intra lumen, yang menurunkan pengaliran air
dan natrium dari lumen usus ke darah.
DAFTAR PUSTAKA
Inayah, iin. 2004 .Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. 202. EGC. Jakarta.
Brunner and Suddart. 2002 . Buku Ajar Keperawatan . Edisi 3. EGC. Jakarta.
Doengoes , Mailyn . E . 2000. Rencana Asuhan Keperawata. Edisi 3 . EGC . Jakarta.
Harjono . M . 2001. Ilmu Bedah . Jakarta : Erlangga.
Corwin , Mutaqin .2003 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medical Bedah . Jakarta : Salemba
Medica
Subiston,D.C.2001 .Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Wilkinson. Judith. M. 2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC.