Kertas kerja EPISTEMA No. 02/2011
Arah Reformasi Kebijakan
Penguasaan Kawasan Hutan di Indonesia
Mumu Muhajir
Yance Arizona
Andiko
Asep Y. Firdaus
Myrna A. Safitri
2
Tentang Kertas Kerja Epistema
Paper‐paper dalam seri ini pada umumnya adalah dokumen sementara dari hasil‐
hasil penelitian yang dilakukan oleh staff, research fellow dan mitra EPISTEMA. Seri
ini berisikan paper‐paper yang mendiskusikan filsafat dan teori hukum, kerangka
hukum dan kajian sosio‐legal terhadap hak‐hak masyarakat adat dan komunitas lain
atas tanah dan sumber daya alam termasuk dalam konteks kebijakan dan proyek
perubahan iklim.
Muhajir, Mumu, dkk. 2011. Arah reformasi kebijakan penguasaan kawasan hutan di
Indonesia, Kertas Kerja Epistema No.02/2011, Jakarta: Epistema Institute
(http://epistema.or.id/wp‐content/uploads/2012/11/Working_Paper_Epistema_
Institute_02‐2011.pdf)
EPISTEMA Institute memegang hak cipta atas seri kertas kerja ini. Penyebarluasan
dan penggandaan diperkenankan untuk tujuan pendidikan dan untuk mendukung
gerakan sosial, sepanjang tidak digunakan untuk tujuan komersial.
Paper‐paper dalam seri ini menggambarkan pandangan pribadi pengarang, bukan
pandangan dan kebijakan EPISTEMA Institute. Para pengarang bertanggung jawab
terhadap isi paper. Komentar terhadap paper ini dapat dikirim melalui
[email protected] atau [email protected]
Penata letak : Andi Sandhi
Epistema Institute
Jalan Jati Mulya IV No.23
Jakarta 12540
Telepon : 021‐78832167
Faksimile : 021‐7823957
E‐mail : [email protected]
Website : www.epistema.or.id
3
ARAH REFORMASI KEBIJAKAN PENGUASAAN KAWASAN HUTAN DI INDONESIA
Mumu Muhajir, dkk.
I. PENDAHULUAN
Reformasi politik dan desentralisasi yang berlangsung lebih dari satu dekade lampau
menuntut perubahan besar pada kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.
Indonesia memerlukan kebijakan yang lebih terbuka, inklusif dan bertanggung
jawab dalam pengelolaan hutan. Kebijakan yang selama ini bertumpu pada
paradigma “pengelolaan hutan oleh negara” perlu bergeser menjadi kebijakan yang
bertumpu pada partisipasi utuh masyarakat, dan menghargai pranata tradisional
yang diterapkan secara bertanggung jawab. Begitu pula dengan desentralisasi, perlu
dipahami tidak hanya sebagai desentralisasi administratif (sebagian kewenangan
pemerintah pusat diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah), tetapi juga
secara politis sebagai upaya yang menghendaki terjadinya perluasan partisipasi dan
representasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan
hutan.
Sentralnya negara dalam pengelolaan hutan memang telah memberikan
keuntungan dan kemudahan bagi negara dalam mengurus hutannya. Negara
membagi‐bagi hutan berdasarkan fungsi, memberikan batasan dan
mengkalkulasikan kekayaannya. Pada saat yang sama, negara juga mengurus pihak‐
pihak mana yang dapat mengakses dan mengambil keuntungan dari keberadaan
hutan tersebut. Hanya saja, hutan Indonesia sangat luas dan beragam dengan fungsi
yang tidak hanya bisa dikalkulasikan secara saintifik, tetapi juga bermakna spiritual
bagi berbagai masyarakat yang hidup di dalamnya. Negara juga tidak
memperhitungkan keberadaan praktek pengelolaan hutan dan penguasaan tanah
yang sudah ada dan bekerja di suatu kawasan hutan. Dampaknya adalah negara
memutus praktek penguasaan tanah/hutan yang sudah lama bekerja tersebut dan
menggantikannya dengan praktek baru yang tidak menguntungkan bagi
masyarakat.
4
Klaim negara yang terlampau besar pada kawasan yang disebut dengan hutan,
yang dalam praktiknya menyingkirkan klaim masyarakat, terutama masyarakat adat,
atas kawasan itu merupakan sebab umum dari konflik tenurial. Klaim ini
mendapatkan landasan yuridis dari legislasi kehutanan baik di masa kolonial
maupun pasca kolonial. Selain itu, praktek dari doktrin “Hak Menguasai Negara”
yang menyimpang jauh dari ide awal lahirnya doktrin tersebut yang justru hendak
mengikis doktrin sisa jaman penjajahan Belanda (yakni Domein Verklaring”) yang
dipandang tidak sesuai dengan cita‐cita dan keinginan rakyat Indonesia yang
merdeka, menjadi mesin penghancur harkat dan martabat jutaan rakyat Indonesia.
Klaim itu mempermudah negara c.q. pemerintah membagi‐bagi wilayah hutan lalu
menguasainya dan, karena keinginan pertumbuhan ekonomi, menyerahkan izin
pada pihak tertentu tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang ada di
sekitar/dalam hutan.
Klaim yang besar itu dalam kenyataannya tidak diikuti dengan kemampuan
negara untuk menjaga dan mengurus kawasan tersebut. Sampai tahun 2010, dari
luas kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia yang sekitar 130,68 juta ha,
baru hanya 14,24 juta ha saja kawasan hutan yang sudah ditetapkan (Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional 2011 – 2030).1 Penetapan kawasan hutan merupakan
proses akhir dari pengukuhan kawasan hutan yang memberikan kepastian hukum
pengelolaan hutan bagi negara dan pihak lainnya. Dengan demikian, ada 116, 44
juta ha hutan yang tidak memiliki kepastian hukum yang membuka semakin lebar
kontestasi hak dan klaim antar pihak.
Klaim sepihak negara atas kawasan hutan serta tidak diakui dan bahkan
disingkirkannya praktek penguasaan tanah tersebut telah melahirkan berbagai
persoalan, seperti konflik penguasaan atas kawasan dan sumber daya hutan
(tenurial), dan kemiskinan dan ketimpangan penguasaan hutan serta ketidakpastian
usaha.
Data dari CIFOR dan FWI menunjukan bahwa antara 1997 – 2003, terdapat
359 kasus konflik tenurial, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 34% di kawasan
1 Permenhut P.49/Menhut‐II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011 ‐ 2030
5
konservasi (termasuk hutan lindung dan taman nasional), dan 27% di areal HPH.2
Data yang lain diketengahkan oleh HuMa pada tahun 2010 yang mencatat telah
terjadi konflik tenurial sebanyak 85 kasus di enam propinsi dengan luas wilayah
yang dipersengketakan mencapai 2.445.539,31 hektar. Konflik paling banyak terjadi
antara komunitas dengan perusahaan (91,14%) diikut dengan konflik dengan
Pemerintah Pusat (7,93%), Pemerintah Daerah (0,45%), selanjutnya BUMN (0,42%)
dan terakhir konflik dengan kelompok masyarakat yang dibentuk untuk suatu
proyek atau program tertentu.3
Akibat dari adanya konflik tenurial tersebut adalah hilangnya akses
masyarakat pada hutan sehingga menyebabkan terjadinya kemiskinan. Data pada
tahun 2006 menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan
sekitar hutan merupakan masyarakat miskin.4 Selain itu, sebuah penelitian
menunjukan adanya korelasi yang kuat antara tingginya kemiskinan dan tingginya
tutupan hutan.5 Sebuah tendensi yang secara akurat diceritakan dengan baik oleh
Nancy Lee Peluso sebagai “hutan kaya, rakyat melarat”.6
Adanya masyarakat yang miskin yang berada di dalam/sekitar kawasan hutan
dikonfirmasi oleh data yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Data
yang diambil dari Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010 – 2014
menunjukkan bahwa pada tahun 2003 ada sekitar 10,2 juta orang miskin yang
berada di sekitar wilayah hutan.7 Sementara itu di data yang lain yang dirilis oleh
Dephut dan BPS di tahun 2007 memperlihatkan masih adanya 5,5 juta orang yang
tergolong miskin di sekitar kawasan hutan.8
Data dari sumber yang sama juga menegaskan adanya ketimpangan
penguasaan dan pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan yang bisa dilihat dari
jumlah izin yang diberikan kepada dan kawasan hutan yang dikuasai pihak swasta
2 Yuliana Cahya Wulan dkk, 2003. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor: Cifor 3 Andiko, 2011. Konflik Land Tenure dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia, dalam Epistema, “Prosiding lokakarya Merumuskan Arah Reformasi Kebijakan Penguasaan Kawasan Hutan di Indonesia" Hotel Grand Cemara, Jakarta 31 Mei 2011. Jakarta: 2011 4 Rositah, Erna, 2006, Kemiskinan Masyarakat Desa Sekitar Hutan dan Penanggulangannya (Governance Brief), Bogor: CIFOR 5 W.D. Sunderlin, Sonya Dewi and Atie Puntodewo, 2007. Poverty and forests: multi‐country analysis of spatial association and proposed policy solutions. Bogor: CIFOR 6 Peluso, Nancy Lee. (translated by Landung Simatupang). 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Yogyakarta: Konphalindo 7 Permenhut P.51/Menhut‐II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan 2010 – 2014 8 Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007, Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statisitk
6
dan rakyat. Kita lihat dari jumlah kawasan hutan yang dimanfaatkan kedua pihak itu
saja: sampai Januari 2011, ada 34.894.077 ha kawasan hutan yang dimanfaatkan
untuk IUPHHK‐HA, IUPHHK‐HTI dan IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan hutan;
umumnya pertambangan) sementara hanya seluas 46.786 ha yang diberikan untuk
izin HKM dan Hutan Desa. Belum lagi kenyataan bahwa untuk mendapatkan Izin
HKM dan Hutan Desa itu prosesnya lebih sulit dan kompleks dari mendapatkan
IUPHHK.
Ketiadaan kepastian hukum atas kawasan hutan yang berasal dari, salah
satunya, masih luasnya kawasan hutan yang baru dalam posisi ditunjuk, membuka
lebar konflik perijinan atas suatu kawasan. Di Kalimantan Tengah, sebagaimana
ditunjukkan oleh temuan Kementerian Kehutanan dan Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum, dari 352 unit perusahaan perkebunan (luas 4,6 juta
hektar) hanya 67 unit perusahaan saja (800 ribu hektar) yang sudah memiliki izin
pelepasan kawasan hutan. Dari sektor pertambangan, hanya 9 unit perusahaan saja
(atau sekitar 30 ribu hektar) yang telah memiliki izin peng‐gunaan kawasan hutan
(IPPKH) sementara 606 unit perusahaan pertambangan (menguasai 3.7 juta hektar)
lainnya belum memiliki ijin tersebut.9 Keberanian perusahaan untuk berusaha di
wilayah hutan tanpa mengikuti peraturan perundangan ini memperlihatkan
melemahnya kontrol negara atas kawasan hutan di kawasan tersebut.
Data lain memperlihatkan adanya tumpang tindih ijin di atas wilayah hutan
yang sama. Di suatu provinsi, terdapat 340 unit usaha perkebunan (4.681.997 Ha)
dan 445 unit kuasa pertambangan (4. 997.196,51 Ha) yang wilayah usahanya
tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Potensi konflik juga timbul dari masih banyak desa yang berada di dalam
kawasan hutan dan di tepi kawasan hutan. Data Dephut dan BPS tahun 2007
memperlihatkan adanya 31.957 desa yang bersinggungan dengan hutan. Dari
31.957 desa tersebut, 1.305 desa (4,08%), tepi kawasan hutan sebanyak 7.943
(24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak 22.709 (71,06%).10 Data masih
adanya hutan di dalam kawasan hutan ini belum jelas apakah berada di dalam
9 Siaran Pers SATGAS Mafia Hukum: Penegakan hukum pada Pelanggaran di Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah, 1 Februari 2011 10 Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007, Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statisitk
7
kawasan hutan yang sudah ditetapkan atau bukan. Data ini juga memperlihatkan
bahwa kepastian hukum atas kawasan hutan kembali dipertanyakan, walaupun
kawasan hutan itu sudah ada penetapannya.
Dari data yang sudah dipaparkan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa
korban dari ketiadan kepastian tenurial atas hutan ini sebenarnya bukan hanya
masyarakat, tetapi juga pengusaha dan pemerintah. Masyarakat sudah jelas
dirugikan dengan ketidakpastian tenurial atas hutan tersebut. Selain hilangnya
wilayah dan minimnya akses, masyarakat telah mengalami pemiskinan. Pengusaha
sendiri tentu dirugikan dengan ketidakpastian tenurial ini. Pengusaha harus
mengalokasikan sumber daya yang tidak sedikit ketika harus menghadapi konflik
dengan masyarakat (mayoritas konflik sebagaimana ditunjukkan oleh data HuMa di
atas). Belum lagi ketika suatu perusahaan harus menemui kenyataan ternyata
wilayah usahanya bertumpang tindih dengan perusahaan lain. Pemerintah sendiri
dirugikan jika dilihat dari penilaian buruk dari berbagai pihak karena
ketidakmampuan mengurus hutannya tersebut. Kerugian juga bisa dilihat dari
konflik dengan pemerintah di bawahnya dan dengan instansi lain di tingkat
pemerintah pusat.
Dari permasalahan di atas, sudah saatnya ada perubahan kebijakan di
kehutanan, terutama dalam soal kepastian tenurial di hutan. Arah perubahan
tenurial di kehutanan hendaknya dapat menciptakan keamanan tenurial bagi
masyarakat, pemerintah dan pemegang izin kehutanan lainnya. Saat ini sudah ada
berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara yang menunjukkan kemauan negara
untuk menyelesaikan konflik tenurial sekaligus mengakui dan memberi akses lebih
pada hutan bagi masyarakat. Dalam dokumen RKTN 2011 – 2030, ada arahan untuk
membuka kawasan hutan bagi pengusahaan hutan sekala kecil yang diusahakan
melalui skema Hkm, hutan desa dan HTR. Luas yang akan direncanakan seluas 5,6
juta ha sampai tahun 2030. Selain itu, Kementerian Kehutanan akan melepaskan
18,34 juta ha hutan, sebagian sebagai usaha untuk menyelesaikan konflik, sehingga
di tahun 2030, Kemenhut dapat mengelola 85% dari luasan hutan sekarang (sekitar
112,34 juta ha).
Bagaimana memahami keamanan tenurial?
8
Keamanan tenurial sebagai situasi dimana sistem tenurial apapun, apakah berasal
dari negara ataupun masyarakat mampu mengakui dan melindungi hak‐hak
masyarakat, terutama mereka yang kurang beruntung (miskin, perempuan),
terhadap lahan dan sumber daya hutan lainnya, dalam jangka waktu yang panjang,
tanpa ada gangguan dari pihak lain sebagaimana yang dipersepsikan oleh
masyarakat yang bersangkutan (Safitri, 2010: 28).
Keamanan tenurial dimaksud terwujud karena tiga aspek: (1) adanya hukum
negara/sistem normatif masyarakat mengatur hak‐hak masyarakat dengan aturan
yang jelas, tegas, absah (normative tenure security). Hak‐hak yang dimaksud
meliputi spektrum yang luas meliputi hak milik hingga hak pemanfaatan. Hak yang
kuat adalah yang memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemegangnya,
berdurasi panjang, dan mendapat perlindungan hukum yang kuat dari otoritas
terkait; (2) adanya praktik nyata masyarakat pemegang hak mendapatkan akses
untuk memanfaatkan dan memperoleh manfaat dari lahan dan sumber daya hutan
(actual tenure security); (3) adanya kesesuaian antara instrumen keamanan tenure
yang ditawarkan pemerintah dengan persepsi masyarakat terhadap keamanan
tenurial itu (perceived tenure security).11
Atas dasar itu maka kami melihat bahwa keamanan tenurial baru bisa terjadi
ketika tiga aspek yang disebutkan di atas hadir bersamaan. Dalam hal upaya negara
memberikan keamanan tenurial maka penting memperhatikan:
1. Aspek hukum; yaitu keberadaan peraturan maupun ijin yang mengakui,
memberikan, menguatkan dan melindungi hak‐hak masyarakat adat dan
masyarakat lokal pengguna hutan lainnya. Dengan penguatan dari segi hukum
ini, masyarakat dapat memper‐tahankan haknya ketika ada pihak lain yang
mengkontestasinya. Selain itu, ia juga dapat dipergunakan untuk memberikan
kepastian di internal masyarakat sendiri.
2. Aspek ekonomi. Aspek ini bermaksud memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mendapatkan manfaat secara ekonomi dari suatu wilayah.
11 Aspek persepsi masyarakat dalam pembahasan keamanan tenurial penting mengingat banyak instrumen keamanan tenure yang diintrodusir negara (seperti sertifikat individual atas tanah, izin‐izin pemanfaatan sumberdaya) tidak mencapai tujuan karena tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Pentingnya aspek persepsi ini mengemuka dalam studi FAO (2002) dan Place, Roth dan Hazell (1994).
9
Program ekonomi harus disertakan ketika masyarakat terbuka aksesnya
kepada hutan.
3. Aspek persepsi. Aspek ini melihat sejauh mana penerimaan secara sosial di
masyarakat sendiri tentang apa yang dimaksud dengan keamanan tenurial. Di
sini, segala instrumen keamanan tenure yang disiapkan pemerintah perlu
dikonsultasi dan mendapat persetujuan dari masyarakat.
Prinsip‐prinsip reformasi kebijakan penguasaan kawasan hutan:
Persoalan tenurial kehutanan merupakan persoalan yang laten dan sudah lama
menjadi batu sandungan untuk meraih kesejahteraan masyarakat. Karenanya,
kebijakan yang diperlukan harus berdasarkan prinsip‐prinsip:
1. Kebijakan Kebijakan yang terintegrasi. Prinsip Kebijakan yang Terintegrasi
mengandung maksud bahwa dalam melaksanakan Forest Tenure Reform tidak
hanya bisa dilakukan melalui kebijakan Kehutanan saja, tetapi harus
terintegrasi dengan kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang.
2. Lintas sektor. Prinsip lintas sektor mengandung maksud bahwa Forest
Tenure Reform di Indonesia memerlukan peran aktif dari sektor lain
diluar Kehutanan sesuai dengan kewenangannya.
3. Multi pihak. Prinsip multi pihak mengandung maksud pelibatan aktif
komponen masyarakat, CSO dan Pemerintah dalam merencanakan,
melaksanakan dan memantau pelaksanaan Forest Tenure Reform di
Indonesia.
Empat jalan perubahan
Untuk mewujudkan kebijakan penguasaan kawasan hutan yang mengarah pada
keamana tenurial bagi semua pihak, kami menawarkan empat jalan perubahan:
1. Perluasan alokasi kawasan hutan dengan legalitas perizinan yg kuat
untuk masyarakat lokal.
2. Pengakuan terhadap hak‐hak masyarakat adat melalui kawasan khusus
yg dikelola masyarakat adat.
3. Mempercepat penetapan kawasan hutan.
4. Penyelesaian konflik.
Program Kegiatan Aktor Peluang Tantangan Output
Alokasi kawasan dengan legalitas perizinan yang kuat untuk masyarakat lokal.
Penyederhanaan proses perizinan HKm, Hutan Desa, HTR dan bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat lainnya.
Pemberian insentif berupa pengembangan kapasitas, permodalan, dan akses pasar.
Jaminan kepastian hukum izin, termasuk perlindungan izin dari tekanan sektor lain.
Kemenhut Pemerintah daerah
LSM Kemendagri Kementerian Perdagangan
Kementerian UKM
Kemenkeu
Kebijakan di tingkat Departemen
(Permenhut HKm, HTR dan hutan desa)
Dukungan rencana kerja pemerintah di tingkat Kemenhut
Best practice sudah ada di lapangan
Dukungan LSM kuat (jaringan FKKM)
Ada Alokasi anggaran
Perubahan kebijakan di tingkat pemerintah (pusat dan daerah)
Kebijakan anggaran yang masih minim
Prosedur izin yang rumit dan panjang
Belum ada dukungan dari sektor penyedia jasa keuangan (Bank)
Kelemahan akses pasar
Jaminan kepastian hak dari tekanan sektor lain
Pencadangan wilayah hutan kemasyarakatan yang luasnya signifikan
Perijinan yang lebih sederhana dan di bawah satu atap
Insentif Kepastian hukum perizinan
Pengakuan terhadap hak‐hak masyarakat adat melalui kawasan khusus yg dikelola masyarakat adat.
Mempersiapkan naskah akademik dan naskah peraturan perubahan UU Kehutanan, RUU Perubahan UU Konservasi dan RUU Masyarakat Adat.
Lobby kepada DPR dan Pemerintah untuk membahas RUU Perubahan UU Kehutanan, Konservasi dan
Kemenhut Kemendagri BPN LSM DPR/DPRD Kementrian kehutanan
Depdagri
Pasal 18 UUD 1945 (amandemen)
TAP MPR IX/2001 UUPA, UU 32/2009, UU HAM
Adanya bentuk sertifikat yang didaftarkan atas nama bersama bersama
Sektoralisme/ nasionalisme sempit
Political will Keberlanjutan kebijakan antar rejim pemerintah
Data base yang kurang
Tekanan sektor lain
Perubahan UU Kehutanan, UU Konservasi dan Pembentukan UU Masyarakat Adat
Pencadangan wilayah untuk kelola MA
Permenhut
10
RUU masyarakat adat pada tahun 2012.
Membuat dokumen tentang pilihan hukum dan rekomendasi yang tepat berkaitan dengan pengeluaran kawasan kelola masyarakat adat dari kawasan hutan.
Mendorong Keputusan Menteri tentang pengeluaran kawasan kelola masyarakat adat dari kawasan hutan berdasarkan peta BRWA.
mendorong dibuatnya kebijakan soal sertifikat komunal: − Membuat roadmap dan pilihan kebijakan untuk memperjelas status dan hubungan antara 30.000 desa yang ada dalam kawasan hutan negara dengan hutannya. Perubahan Permen− Agraria No. 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.
Diakuinya data Podes (Desa dalam kawasan hutan)
terutama sektor perkebunan dan pertambangan
Politik PAD pemerintah daerah
Tingginya cost politik
tentang Hutan Adat
Peraturan BPN soal setifikat komunal
Status hukum 30.000 desa dalam konteks hubungannya dengan hutan negara
Perubahan Permen Agraria No. 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi
Mempercepat penetapan kawasan hutan
Adopsi dan integrasikan peta‐peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat dan CSO ke
Kemenhut (Dirjen Baplan)
Sudah ada di dalam RKTN/Renstra
Alokasi anggaran Keberlanjutan kebijakan antar
Peta yang terintegrasi Permenhut
11
dalam peta resmi. Mengintegrasikan peta‐peta wilayah adat ke dalam peta tata ruang di daerah dan peta status lahan di BPN.
Mengambil alih semua peta Hutan Jawa dari Perum Perhutani.
Mendorong adanya kebijakan peta hutan yang terbuka dan terintegrasi.
Melakukan kajian terhadap semua perizinan terkait dengan kehutanan untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim kawasan dan konflik kehutanan.
Mendorong proses penataan batas yang partisipatif, transparan, dan menghormati hak‐hak masyarakat.
Mendorong adanya MoU Kerjasama dengan pemerintah pusat (kemenhut dan BPN) dan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan pembaruan kehutanan.
UKP4 Bappenas KPK Bakorsurtanal DPR BPN Depdagri Pemerintah daerah
Lembaga adat LSM
Kemenhut serta dokumen rencana pembangunan lainnya
Permintaan UKP4 (LoI Indonesia ‐ Norwegia)
Diminta dan diawasi oleh KPK
Sudah ada kebijakan soal keterbukaan informasi di tingkat Kemenhut dan di pemerintah pusat
rejim pemerintah Ketersedian SDM dan kualitas SDM
Kerja sama dengan pemerintah daerah
Ketertutupan Perum Perhutani
tentang penetapan kawasan hutan
12
13
Mendorong implementasi Permenhut tentang Keterbukaan Informasi Kehutanan.
Menghentikan pemberian izin di kawasan hutan yang belum ditetapkan.
Melakukan penegakan hukum atas pelanggaran perizinan.
Penyelesaian konflik.
Memperkuat kelembagaan DKN dan WGT untuk mendorong penyelesaian konflik kehutanan.
Membangun strategi terpadu untuk penyelesaian konflik tenurial.
Memperluas akses dan partisipasi masyarakat dalam penyelesaian konflik tenurial.
Membentuk lembaga independen untuk penyelesaian konflik tenurial.
Kemenhut DKN BPN DPR/DPRD LSM Bappenas Militer/ kepolisian
Pengusaha/ BUMN
sudah ada Deputi penyelesaian sengketa di bawah BPN
dukungan internal Kemenhut
(Kepmenhut No .SK.254/Menhut‐II/2008 Tentang Pembentukan Tim Mediasi Konflik Kehutanan)
TAP MPR IX/2001 Dukungan rencana kerja pembangunan di internal Kemenhut
Ada dokumen KNUPKA
Alokasi anggaran Sektoralisme Perbedaan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah
Hukum positif yang tidak banyak berpihak pada masyarakat
Naskah strategi penyelesaian konflik tenurial
Perpres/Inpres tentang lembaga independen untuk penyelesaian konflik tenurial
Memperkuat kewenangan DKN dalam penyelesaian konflik kehutanan dengan memberikan anggaran yang cukup
14
DAFTAR PUSTAKA Andiko, 2011. Konflik Land Tenure dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia, dalam
Epistema, “Prosiding lokakarya Merumuskan Arah Reformasi Kebijakan Penguasaan Kawasan Hutan di Indonesia" Hotel Grand Cemara, Jakarta 31 Mei 2011. Jakarta: 2011
Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007. Identifikasi Desa Dalam
Kawasan Hutan 2007. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statisitk
Food and Agricultural Organization (FAO), 2002. Land tenure and rural development.
FAO Land Tenure Studies 3. Roma: Italia Peluso, Nancy Lee. (terjemahan Landung Simatupang). 2006. Hutan Kaya, Rakyat
Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Yogyakarta: Konphalindo
Permenhut P.51/Menhut‐II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Kehutanan 2010 – 2014 Permenhut P.49/Menhut‐II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) tahun 2011 – 2030 Place, Frank, Michael Roth dan Peter Hazell, 1994. Land tenure security and
agricultural performance in Africa: Overview of research methodology. In: John W. Bruce dan S.E. Migot‐Adholla (eds), Searching for land tenure security in Africa. Washington: the World Bank
Rositah, Erna, 2006, Kemiskinan Masyarakat Desa Sekitar Hutan dan
Penanggulangannya (Governance Brief), Bogor: CIFOR Safitri, Myrna A., 2010. Forest tenure in Indonesia, the Socio‐legal challenges of
securing communities’ right. Disertasi Doktor. Universitas Leiden, Belanda Sunderlin, W.D., Sonya Dewi and Atie Puntodewo, 2007. Poverty and forests: multi‐
country analysis of spatial association and proposed policy solutions. Bogor: CIFOR
Wulan, Yuliana Cahya, Yurdi Yasmi, Christian Purba, Eva Wollwnberg, 2003. Analisa
Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor: Cifor
15
Kertas Kerja EPISTEMA
Kertas Kerja Nomor 01/2010 : Konsep hak‐hak atas karbon, Feby Ivalerina
Kertas Kerja Nomor 02/2010 : Forest tenure security and it’s dynamics: A
conceptual framework, Myrna A. Safitri
Kertas Kerja Nomor 03/2010 : Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali
sampai Kopenhagen, Bernadinus Steni
Kertas Kerja Nomor 04/2010 : Negara hukum bernurani: Gagasan Satjipto Rahardjo
tentang negara hukum Indonesia, Yance Arizona
Kertas Kerja Nomor 05/2010 : Kuasa dan hukum: Realitas pengakuan hukum
terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, Herlambang
Perdana Wiratraman, dkk.
Kertas Kerja Nomor 06/2010 : Bersiap tanpa rencana: Tinjauan tanggapan kebijakan
pemerintah terhadap perubahan iklim/REDD di Kalimantan Tengah, Mumu Muhajir
Kertas Kerja Nomor 07/2010 : Satu dekade legislasi masyarakat adat: Trend legislasi
nasional tentang keberadaan dan hak‐hak masyarakat adat atas sumberdaya alam
di Indonesia (1999‐2000), Yance Arizona
Kertas Kerja Nomor 09/2010 : Indah kabar dari rupa: Studi mengenai pemenuhan
hak‐hak masyarakat adat dalam kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan
demonstration activities REDD di Indonesia di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan
Barat, Laurensius Gawing
Kertas Kerja Nomor 10/2010 : Tanggapan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia:
Mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation [REDD]
sebagai Kasus, Mumu Muhajir
Kertas Kerja Nomor 02/2011: Arah Reformasi Kebijakan Penguasaan Kawasan
Hutan di Indonesia , Mumu Muhajir, Yance Arizona, Andiko, Asep Y. Firdaus, Myrna
A. Safitri
16
EPISTEMA INSTITUTE adalah lembaga penelitian dan pengelolaan pengetahuan tentang hukum, masyarakat dan lingkungan yang didirikan oleh Yayasan Epistema pada bulan September 2010.
Visi Epistema: Terwujudnya pusat‐pusat pembelajaran tentang hukum, masyarakat dan lingkungan dalam rangka mendukung gerakan ke arah terbentuknya sistem hukum nasional yang berlandaskan nilai‐nilai demokrasi, keadilan sosial dan lingkungan, serta pluralisme kebudayaan.
Program dan kegiatan 2011‐2014: 1. Lingkar belajar untuk keadilan sosial dan lingkungan atau Learning Circles
for Social and Environmental Justice (LeSSON‐JUSTICE) Kegiatan:
o Lingkar belajar berbagai aliran pemikiran dalam studi hukum; o Lingkar belajar pembentukan negara hukum dan masyarakat adat; o Lingkar belajar hukum, pengelolaan sumber daya alam dan
perubahan iklim.
2. Riset interdisiplin tentang hak‐hak masyarakat atas kehidupan yang lebih baik, tradisi sosial yang adil dan lingkungan yang lestari atau Interdisciplinary Research on Community Rights on Better Livelihood, Just Social Tradition and Sustainable Environment (IN‐CREASE) Kegiatan:
o Model‐model legalisasi hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam dalam legislasi nasional dan daerah: Rekognisi, integrasi atau inkorporasi?
o Studi komparasi pengakuan negara atas hak‐hak masyarakat adat atas tanah dan sumber dayay alam di Asia Tenggara.
o Pengetahuan lokal untuk mempromosikan pembangunan rendah karbon dalam kerangka hukum negara dan sistem normatif masyarakat.
o Kesiapan kebijakan, kelembagaan dan masyarakat untuk mengimplementasikan REEDD 2010‐2012 di tingkat nasional dan daerah;
o Kerangka kebijakan dan kelembagaan nasional dan daerah pasca‐Kyoto Protokol;
o Mengukur penerapan elemen negara formal dan substantif hukum dalam putusan pengadilan terkait dengan hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam.
3. Pusat data dan sumber daya bagi keadilan sosial dan lingkungan atau Resource Centre for Social and Environmental Justice (RE‐SOURCE) Kegiatan:
o Database, seri publikasi (Sosio‐legal Indonesia, hukum dan keadilan iklim, hukum dan masyarakat, tokoh hukum Indonesia), kertas kerja, e‐journal, perpustakaan on‐line dan jaringan.
o Pembuatan film dan CD interaktif mengenai hukum, masyarakat dan lingkungan.
17
Struktur organisasi dan personel
Yayasan Epistema
Pendiri:
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA
Sandra Yati Moniaga, SH
Myrna A. Safitri, SH., Msi., PhD
Dewan Pembina:
Ketua : Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., M.Si
Anggota: Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA
Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, SH
Sandra Yati Moniaga, SH
Ifdhal Kasim, SH
Ir. Abdi Suryaningati
Dewan Pengawas:
Ketua : Geni Flori Bunda Achnas
Anggota: Dr. Kurnia Warman, SH., MH
Yuniyanti Chuzaifah, PhD
R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA.
Asep Yunan Firdaus, SH
Dewan Pengurus:
Ketua : Rival G. Ahmad, SH., LL.M
Sekretaris : Dr. Shidarta, SH., MH
Bendahara : Julia Kalmirah, SH
18
Epistema Institute:
Direktur Eksekutif:
Myrna A. Safitri, SH., Msi., PhD
Manager program hukum dan keadilan lingkungan:
Mumu Muhajir, SH
Manager program hukum dan masyarakat:
Yance Arizona, SH
Asisten pengembangan media dan pengelolaan informasi:
Andi Sandhi
Asisten publikasi dan pengelolaan lingkar belajar:
Alexander Juanda Saputra, SH
Keuangan:
Sri Sudarsih
Asisten administrasi:
Wiwin Widayanti
Kantor:
Jalan Jati Mulya IV No.23
Jakarta 12540
Telepon : 021‐78832167
Faksimile : 021‐7823957
E‐mail : [email protected]
Website : www.epistema.or.id