Download - Anestesi
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas
Nama Pasien : Ny. Siti Fatimah
Umur : 52 tahun
Alamat : Gebeg, Jombang
Ruang poli : Mawar
ASKES/ NON ASKES : Umum
MRS : 3 Mei 2012
No. Reg : 04.84.61
1.2 Anamnesa
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien kecelakaan lalu lintas saat naik sepeda ontel, waktu kejadian pasien
tidak sadarkan diri. Pasien mengeluh nyeri kaki kanan dengan luka pada
wajah dan tangan.
Riwayat penyakit dahulu :
Hipertensi (-), DM (-), sesak nafas (-)
Riwayat penyakit keluarga : (-)
Riwayat pribadi, sosial ekonomi dan budaya : (-)
1.3 Pemeriksaan fisik
Composmentis
Anemia (-), Ikterus (-), Sianosis (-)
Tensi (T) : 100/70 mmHg
Nadi (N) : 72 x/menit
Suhu (t) : 36,5 ◦C
1
Respirasi rate (RR) : 28 x/menit
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 158 cm
Sistem Pernafasan
Sesak : (-)
Tipe pernafasan : pernafasan dada
Retraksi dada : (-)
Bunyi nafas : bersih
Sistem jantung dan aliran darah
Warna kulit : merah muda
Edema : (-)
Sistem intergumen/kulit
Warna : merah
Lembab : (+)
Turgor : normal
Sistem muskulosletal/otot dan tulang
Nyeri : kaki kanan (+)
Fraktur : Femur dextra (+)
Sistem penglihatan
Conjungtiva : putih
Sistem pendengaran : (+)
Sistem pencernaan
Abdomen : supel,
nyeri tekan (-)
meteorismus (-)
Kesulitan mengunyah : (-)
Kesulitan menelan : (-)
Bising usus : (+)
Nutrisi
Nafsu makan : (+)
Kemampuan makan : baik
Diit : nasi
2
Pola makan : 3x/hari
Minum : 3-4x/hari
NGT : (-)
Infus : (+)
Pola eliminasi
BAK : baik
Drainase : (-)
BAB : baik
Konsistensi : lembek
Ada darah : (-)
Colostomi : (-)
1.4 Pemeriksaan penunjang
Lab
Hematologi
Hb : 12,3 g/dl
Lekosit : 14.300 sel/cmm
Hct : 37,4 %
Eritrosit : 4.700.000
Trombosit : 273.000 ul
Kimia klinik
SGOT : 26 u/l
SGPT : 27 u/l
Kreatinin serum : 0,9 mg/dl
Urea : 12 g
Albumin : 3,8mg/dl
1.5 Diagnosa
Diagnosis pada pasien ini adalah Papillary Ductal Carcinoma.
3
1.6 Rencana operasi
Rencana operasi pada pasien ini adalah ORIF (Open Reduction Internal
Fixation) dan pasien ini termasuk dalam ASA II.
1.7 Laporan Anestesi
Pada kasus ini mengunakan general anestesi (GA), sistem anestesinya
semi closed.
Cairan masuk : PO = RL 500 ml
DO = RL 500 ml, HES 500 ml
Cairan keluar : Perdarahan ± 250 cc
Jalannya anestesi :
Anestesi mulai pada pukul 09.30 WIB
Peroksigenasi 10 l/menit selama 5 menit
Induksi IV apneu intubasi
ETT no. 7,5, cuff (+), mayo (+)
Semi close system
Control respirasi
Maintenance Halotan, N2O, O2.
1.8 Laporan Operasi
Pasien dioperasi pukul 09.30 WIB dan selesai pukul 12.00 WIB, diagnosa
pre op yaitu Close Fraktur Femur 1/3 Distal Obliq extra.
1.9 SOAP
4 Mei 2012
o TD : 130/100 mmHg
o Nadi : 87 x/mnt
o Suhu : 37,4 C
o RR : 20 x/mnt
5 Mei 2012
o TD : 130/90 mmHg
o Nadi : 89 x/mnt
4
o Suhu : 37,5 C
o RR : 22 x/mnt
7 Mei 2012
o TD : 130/90 mmHg
o Nadi : 90 x/mnt
o Suhu : 36,7 C
o RR : 20 x/mnt
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANESTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun
obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot
yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.
Tujuannya untuk menghalau rasa sakit di bagian tubuh tertentu, daripada
harus melakukan pembiusan total. Tujuan anastesi adalah untuk menyediakan,
atau menghilangkan rasa sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah
segmen tulang belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi di bagian bawah
tubuh.
Tindakan anestesi bertujuan untuk keselamatan pasien dalam menjalani
tindakan operasi. Keselamatan pasien akan lebih terjamin bila dapat dicegah atau
dihindari hal-hal yang dapat membahayakan pasien baik selama operasi maupu
sesudahnya.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran,
sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.
2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pre Anestesi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah
untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan
6
memilih teknik dan obat anestetik yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang
sesuai (Latief, 2009). Persiapan pre anestesi antara lain:
I. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang meliputi: nama, umur, alamat, pekerjaan,
dll.
b. Keluhan saat ini dan operasi yang akan dihadapi
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat mejadi
penyulit anestesi (alergi, DM, penyakit paru kronis, penyakit jantung,
hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, dll.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat dan
obat yang digunakan sekarang dan dapat menimbulkan interaksi dengan
obat anastesi.
e. Riwayat anastesi / operasi sebelumnya
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tndakan
anestesi seperti merokok, alkohol, dll.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan
h. Makaan yang terakhir dimakan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relaif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sitem
organ. Sistem organ yang harus diperiksa meliputi:
Breath (B1): jalan napas, pola napas, suara napas, suara napas tambahan.
Blood (B2) : T, N, perfusi, suara jantung, suara tambahan, kelainan
anatomis dan fungsi jantung.
Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat/perifer lainny.
Bladder (B4) : GGA, GGK, produksi urine.
Bowel (B5) : makan – minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,
gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan.
Bone : Patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskuler.
7
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Rutin : darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis, golongan
darah, masa perdarahan, masa pembekuan); urin (protein, reduksi,
sedimen), foto dada, EKG terutama pasien berumur lebih dari 40
tahun), Fungsi ginjal, fungsi liver, dll.
b. Khusus, dilakukan bila terdapat riwayat atau indikasi:
o Elektrokardiografi pada anak
o Spirometri atau bronkospirometri pada pasien tumor paru
o Fungsi hati pada pasien ikterus
o Fungi ginjal pada pasien hipertensi
4. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa bats waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari (Latief, 2009).
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA)
membuat klasifikasi pasien menjadi:
Kelas I : pasien normal dan sehat organik, fisiologis, psikiatrik,
dan biokimia.
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan
tidak ada keterbatasan fungsional.
Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik sedang
sampai berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi.
Kelas IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang
mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergncy biasanya dicantumkan
huruf E
8
II. Perencanaan Anestesi
Rencana anestesi meliputi hal-hal :
1. Premedikasi
2. Jenis anestesi : umum / anestesi lokal
3. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi
4. Pengaturan intra / durante operasi meliputi monitoring, keracunan,
pengaturan cairan, dan penggunaan teknik khusus
5. Pengaturan pasca operasi meliputi pengendalian nyeri dan perawatan
intensif.
III. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anetesi
diantaranya:
a) Meredakan kecemasan dan ketakutan
b) Memperlancar induksi anestesi
c) Megurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d) Meminimalkan jumlah obat anestesi
e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan
Obat – obat yang digunakan untuk premedikasi antara lain:
Golongan sedativa
Valium : 0,01 mg/kgBB.
Luminasi kemasan 1 ampul = 100 mg, dosis : 0,01 mg/kgBB.
Golongan narkotik
Petidin kemasan 1 ampul = 100mg, dosis 1mg/kg BB.
Morphin kemasan 1 ampul, dosis : 0,1 g.kg BB.
Golongan Belladona
9
Sulfas atropin kemasan 1 ampul = 0,25 mg, dosis 0,01 – 0,04
mg/kg BB.
Golongan antasida
Gelusil dan mylanta diberian 10-20 cc atau 1-3 sendok setelah
suction aktif.
2.1.2 Anestesi Umum
General anestesi atau anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (revesibel) (Sumartanto, 2005). Kadar
ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai
hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Induksi anestesi adalah tindakan
untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar.
Fisiologi terjadinya anestesi
Obat anestetika masuk ke pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan, yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang kaya akan pembuluh
darah yaitu otak sehingga kesadaran menurun/hilang, disertai hilangnya rasa nyeri
dan lain-lain.
Cara pemberian obat
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara inhalasi, intravena (IV),
intramuskular (IM), atau rektal. Anestesi inhalasi : nitrous oxide / N2O,
halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM : thiopental,
propofol, ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental (Latief,
2009).
Kontra indikasi
1. Kontra indikasi mutlak payah jantung.
2. Kontra indikasi relatif, tergantung kepada efek farmakologis dari obat yang
dipakai yaitu:
a. Kelainan jantung : hindarkan pemakaian obat yang mendepresi miokard,
misalnya eter, tiopental dan halotan.
b. Kelainan hepar : hindarkan obat yang dimetabolisme di hepar.
c. Kelainan ginjal : hindarkan obat yang diekresi di ginjal, misal
petidin/gallarmin, morfin
10
d. Kelainan paru : hindarkan obat-obat yang menyebabkan hipersekresi
saluran pernafasan yang mengakibatkan pengentalan sekresi dalam paru
misal eter.
e. Kelainan endokrin : pada diabetes melitus hindarkan pemakaian obat
yang merangsang simpatis karena menyebabkan peninggian gula darah
misal eter.
I. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama induksi anestesi, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.
Tiopental diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis 3-7
mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan
dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kg secara intravena.
Ketamin intra vena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada
pasien dengan tekanan darah tinggi. Ketamin menyebabkan pasien tidak
sadar, tetapi dengan mata terbuka.
II. Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena
atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai
11
konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%.
Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran, isofluran atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi lama.
III. Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
IV. Induksi Perrektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau
midazolam.
2.2 Fraktur femur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh
kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh
darah, otot dan persarafan.
Fraktur femur mempunyai pengaruh sosial ekonomi yang penting. Dengan
bertambahnya usia, angka kejadian fraktur femur meningkat secara eksponensial.
Meskipun dapat dipulihkan dengan operasi, fraktur femur menyebabkan
peningkatan biaya kesehatan.
Sampai saat ini, fraktur femur makin sering dilaporkan dan masih tetap
menjadi tantangan bagi ahli orthopaedi. Pada orang-orang tua, patah tulang
pinggul intrakapsular sering disebabkan oleh trauma yang tidak berat (energi
ringan), seperti akibat terpeleset. Akan tetapi, pada orang-orang muda, patah
tulang pinggul intrakapsular biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat (energi
besar), dan seringkali disertai oleh cedera pada daerah yang lainnya serta
meningkatkan kemungkinan terjadinya avaskular nekrosis dan nonunion.
Walaupun penatalaksanaan di bidang orthopaedi dan geriatri telah
berkembang, akan tetapi mortalitas dalam satu tahun pasca trauma masih tetap
tinggi, berkisar antara 10 sampai 20 persen. Sehingga keinginan untuk
12
mengembangkan penanganan fraktur ini masih tetap tinggi. Reduksi anatomis
dini, kompresi fraktur dan fiksasi internal yang kaku digunakan untuk membantu
meningkatkan proses penyembuhan fraktur, akan tetapi jika suplai darah ke kaput
femur tidak dikontrol dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan
terjadinya avaskular nekrosis.
Etiologi
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan,
kita harus mengetahui kondisi fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat
menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing).
Kebanyakan fraktur terjadi akibat truma yang disebabkan oleh kegagalan tulang
menahan tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma yang dapat
menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung.
a. Trauma Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan.
b. Trauma Tidak Langsung
Apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,
misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada clavicula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Patofisiologi
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atu tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak
lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana
trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang,ada 2 faktor yang
mempengaruhi terjadinya frakturya itu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan
durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan), intrinsik meliputi
13
kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan adanya
densitas tulang – tulang yang dapat menyebabkan terjadinya patah pada tulang
bermacam-macam, antara lain trauma langsung dan tidak langsung, akibat
keadaan patologi serta secara spontan.
Anatomi
Tulang femur adalah tulang terpanjang yang ada di tubuh kita. Tulang ini
memiliki karakteristik yaitu:
· Artikulasi kaput femoralis dengan acetabulum pada tulang panggul. Dia terpisah
dengan collum femoris dan bentuknya bulat,halus dan ditutupi deengan tulang
rawan sendi. Konfigurasi ini memungkinkan area pegerakan yang bebas. Bagian
caput mengarah ke arah medial, ke atas, dan kedepan acetabulum. Fovea adalah
lekukan ditengah caput, dimana ligamentum teres menempel. Collum femur
membentuk sudut 1250 dengan corpus femur. Pengurangan dan pelebaran sudut
yang patologis masing – masing disebut deformitas coxa vara dan coxa valga.
Corpus femur menentukan panjang tulang. Pada bagian ujung diatasnya terdapat
trochanter major dan pada bagian posteromedialnya terdapat trochanter minor.
Bagian anteriornya yang kasar yaitu line trochanteric membatasi pertemuan antara
corpus dan collum. Linea aspera adalah tonjolan yang berjalan secara longitudinal
sepanjang permukaan posterior femur, yang terbagi, pada bagian bawah menjadi
garis- garis suprakondilar. Garis suprakondilar medial berakhir pada adductor
tubercle.
Ujung bawah femur teridiri dari condilus femoral, medial dan lateral
femur epicondilus medial. Bagian tersebut menunjang permukaan persendian
dengan tibia pada sendi lutut. Lateral epycondilus lebih menonjol dari medila
epycondilus, hal ini untuk mencegah pergeseran lateral dari patella. Kondilus –
kondilus itu didipisahkan bagian posteriornya dengan sebuah intercondylar notch
yang dalam. Femur bawah pada bagian anteriornya halus untuk berartikulasi
dengan bagian posterior patella.
14
· Anatomi normal osseus pada femur cukup jelas. Proyeksi normal x – ray nya
adalah AP dan lateral. Jika terdpat Fraktur femur sebenarnya sangat jelas, seperti
yang biasa diperkirakan, mungkin saja frakturnya transversal, spiral, atau
comminut fraktur, dengan variasi sudut dan bagian – bagian yang tumpang tindih.
Gambar 1
Anatomi Femur
Klasifikasi fraktur femur berdasarkan Radiologis
a. Lokalisasi
· Diafisial
· Metafisial
· Intra-artikuler
· Fraktur dengan dislokasi
15
Gambar 2.1. klasifikasi fraktur menurut lokalisasi. (A)Fraktur diafisis,
(B)Fraktur metafisis, (C)Dislokasi dan fraktur, (D)Fraktur intra-artikuler.
b. Konfigurasi
· Fraktur transversal
· Faktur oblik
· Fraktur spiral
· Fraktur Z
· Fraktur segmental
· Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
· Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
· Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya fraktur
epikondilus humeri, fraktur patela
· Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang Tengkorak
· Fraktur impaksi
· Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah pada fraktur
vertebra, patela, talus, kalkaneus
· Fraktur epifisis.
16
Gambar 2.2. klasifikasi fraktur sesuai konfigurasi. (A)Transversal,
(B)Oblik, (C)Spiral, (D)Kupu-kupu, (E)Komunitif, (F)Segmental,
(G)Depresi.
Diagnosa
Untuk mendiagnosa Fraktur femur perlu dilakukan beberapa pemeriksaan,
antara lain :
1. Pemeriksaan Fisik
2. Pemeriksaan Lokal
3. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dari kondisi pasien di dapatkan adanya :
a. Syok (-)
b. Konjungtiva pucat (+)
c. Perdarahan (-)
d. Kerusakan organ lain (-)
2. Pemeriksaan Lokal
Pada pemeriksaan lokal didapatkan gejala dan tanda dari fraktur femur
antara lain :
17
a. Inspeksi (Look)
Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) terlihat jelas, kulit utuh, cidera tertutup.
b. Palpasi (Feel)
Terdapat nyeri tekan setempat, tanpa cedera pembuluh darah.
c. Pergerakan (Movement)
Krepitasi (+), kaki kanan tidak dapat di gerakkan.
d. Nurologis
GCS 456, Composmentis, sensoris dbn, motorik dbn
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada fraktur femur ini dapat dilakukan melalui foto
polos femur AP.
Pada pemeriksan foto polos femur terlihat adanya fraktur pada 1/3 distal
femur dengan bentuk fraktur obliq, tidak di temukan fangmen tulang yang hilang,
tulang-tulang yang lain masih intak, tidak ditemukan adanya ruptur pembuluh
darah serta soft tissue dalam batas normal tanpa ruptur dan perdarahan.
Hasil diagnose di nyatakan sebagai close fraktur 1/3 distal femur obliq dextra.
Terapi
Terapi utama pada kasus ini ialah pembedahan berupa ORIF (open
reduction internal fixation). Melalui pemasangan internal fixation pada 1/3 distal
femur dextra untuk memfixsasi dan mengembalikan femur pada keadaan semula.
Kemudian pantau pasien post operasi dan memberikan advice sebagai terapi
rehabilitasi untuk mencegah atropi dan kekakuan dari mucle tersebut.
Prognosis
Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan.
Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa
jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada
penyembuhan fraktur mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan
apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi konsolidasi.
18
Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik
sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga merupakan
suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur.
Pada kasus ini penting di berikan advice post operasi untuk belajar
menggerakkan kaki agar tidak terjadi atropi dan kekakuan dari otot serta dapat
berfungsi kembali persarafan secara normal. Post operasi setelah 1-2 kita
perintahkan duduk dan menggerakkan pergerakan jari kaki, mefleksi dan
ekstensikan kaki pasien. Penting bagi pasien untuk tidak berbaring lebih dari 1
minggu untuk mencegah pneumonie serta dekubitus oleh karna kelembapan.
Pasien boleh menapak setelah 2 bulan dengan menapak 10% dari total
berat badan. Kita berikan advice untuk penyembuhan pasien mengonsumsi susu,
makanan tinggi kasium. Penyembuhan akan berjalan baik, hanya pada pasien ini
akan berjalan lambat di karenakan usia. Motivasi dari keluarga penting untuk
memberikan semangat dapat pulih dengan sempurna.
2.3 Open Ruduction Internal Fixation (ORIF)
a. Definisi
Open Reduction Internal Fixation adalah suatu tindakan pembedahan
pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi tulang pada keadaan
fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang tersebut.
b. Indikasi operasi
Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi
Excisional Arthroplasty
c. Kontra indikasi operasi
Perdarahan yang banyak
Patah tulang terbuka
Patah tulang pada anak-anak kurang dari 6 tahun
Patah tulang di sertai dengan bone lose
19
Tekhnik operasi
Secara singkat tekhnik operasi dari Open Reduction Internal Fixation dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Penderita dalam general anaesthesia, diposisikan LLD, dengan posisi kaki
lurus kebawah di ganjal dengan bantal pada simpisis pubis dan bawah pada
SIAS.
2. Desinfeksi lapangan operasi, bagian atas dari femur sampai umbilicus dan
patella, bagian medial sampai dengan sympisis pubis, bagian lateral sampai
dengan SIAS sedikit pada gluteus maximus. Lalu di lapisis dengan doek steril
dilanjutkan dengan mempersempit lapang pandang dengan doek steril.
3. Dilakukan insisi posterolateral dimana garis incisi ini berada di atas dari
fraktur femur dengan panjang incisi ± 3-4 cm.
4. Di buka lapis demi lapis sampai ditemukan garis patahan dari femur, untuk
perdarahan kita hentikan perlahan lalu kita klem untuk kemudian di lakukan
pemasangan Plat. Kita perluas lapangan operasi dengan ratraktor buka sampai
terlihat patahan tulang femur. Hindarkan dari nervus peroneus communis dan
arteri perforantes saat incisi.
5. ORIF dimulai dengan pemasangan Plat dengan sebelumnya memastikan
bahwa tulang tersebut telah benar-benar berada pada posisi fisiologis dan bisa
menyambung kembali. Apabila di temukan patahan tulang yang lepas dapat
di buang atau di letakkan pada patahan tersebut. Lakukan pengeboran dari
tulang femur dengan sebelumnya memastikan plat yang akan di pasang. Lalu
gunakan scrue driver untuk mempermudan pemasangan scrub, lalu di pasang
scrub pada tempat pengeboran tersebut. Pemasangan plat dan scrub
tergantung dati jenis patahan tulang tersebut dan sesuaikan dengan usia serta
jenis tulang dari pasien.
6. Setelah selesai di pastikan kembali scrub telah melekat erat pada plat dengan
kencang. Kemudian di lakukan penutupan lapis demi lapis secara perlahan
setelah sebelumnya di bersihkan dan di cuci dengan rivanol atau betadin dan
Nacl.
7. Lapangan operasi dicuci dengan larutan sublimat dan Nacl 0,9%.
20
8. Semua alat-alat yang dipakai saat operasi diganti dengan set baru, begitu juga
dengan handschoen operator, asisten dan instrumen serta doek sterilnya.
9. Evaluasi ulang sumber perdarahan.
10. Luka operasi ditutup lapais demi lapis.
Komplikasi operasi
Dini :
- Pendarahan,
- Lesi n. Peroneus communis
- kompartemen syndrome
Lambat :
- Infeksi
- Nekrosis
- Malunon
- Delayed union
- Non union
- Kekakuan sendi paha dan kontraktur
Mortalitas
Hampir tidak ada
Perawatan pasca bedah
Pasca bedah penderita dirawat di ruangan dengan mengobservasi dari
fungsi nervus dengan mengerakkan jari jempol kaki secara fleksi dan extensi,
mememeriksa Hb pasca bedah. Rehabilitasi dilakukan sesegera mungkin dengan
melatih pergerakan sendi paha untuk mencegah kontraktur dan atropi otot femur
serta mempercepat penyembuhan.
Follow up
Pemeriksaan fisik : tiap kali kontrol.
Foto femur AP/Lateral 2 minggu, 1bulan dan 3 bulan post op
Foto Thorax AP 2 minggu post op
21
BAB III
DISKUSI
Kasus Ny Siti Fatimah, 52 tahun, mengeluh nyeri kaki kanan, pasien
kecelakaan lalu lintas saat naik sepeda ontel, waktu kejadian pasien tidak sadarkan
diri. Pasien mengalami KLL saat naik sepeda ontel. Dari hasil pemeriksaan
radiologi di diagnosis dengan Close Fraktur Femur 1/3 distal Obliq Dextra.
Kemudian di lakukan perencanaan operasi berupa ORIF (Open Reduction Internal
Fixation).
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) merupakan tindakan
pembedahan pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi tulang
pada keadaan fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang tersebut.
Sehari sebelum operasi, pasien dilakukan persiapan prabedah yaitu
kunjungan pra anestesi yang bertujuan untuk mempersiapkan mental dan fisik
pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat anestetik yang
sesuai, serta menentukan klasifikasi yang sesuai. Pasien di anamnesa, dilakukan
pemeriksaan fisik, dan dilihat hasil laboratorium untuk memastikan pasien dapat
dilakukan operasi pada keesokan harinya.
Dari hasil kunjungan pra anestesi didapatkan bahwa pasien ini bukan
pasien darurat/emergency sehingga pasien dapat dipuasakan > 6 jam. Tujuan dari
puasa adalah mengosongkan lambung agar tidak ada sisa makanan yang bisa
dimuntahkan, mengurangi produksi asam lambung, mengurangi risiko aspirasi ke
paru. Berdasarkan klasifikasi The American Society of Anesthesiologists (ASA),
pasien ini termasuk ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan
tidak ada keterbatasan fungsional. Dari pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien
ini termasuk malampatti class I.
Sebelum induksi anestesi, pasien dilakukan premedikasi yaitu pemberian
obat 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anetesi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah morfin 0,1-0,2
mg/kgBB dan midazolam 0,05 mg/kgBB.
Anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah general anestesi.
Induksinya intravena dengan menggunakan propofol 1-2,5 mg/kg, fentanyl 100
22
mg, dan scolin 60 mg serta induksi inhalasi sebagai maintenance menggunakan
halotan 2 lpm. Propofol mempunyai efek yaitu tidak mempunyai efek analgetik,
mempunyai efek sedasi, depresi kardiovaskular, menurunkan COP dan tensi,
depresi nafas, iritasi vena, menurunkan post operative nausa vomiting. Sedangkan
halotan mempunyai efek yaitu pada kardivaskular menyebabkan T↓↓, N ↓, pada
respirasi menyebabkan volum tidal ↓, frekuensi nafas ↑↑. Anestesi dilakukan pada
pukul 09.30 WIB, tindakan bedah dimulai pukul 09.35 WIB dan selesai pukul
12.00 WIB.
Saat operasi, pasien diinduksi IV apneu, di intubasi ET ukuran 7,5 cm
dengan cuff (+) dan mayo (+) . System anestesi inhalasinya adalah semi closed
(partial rebreathing, CO2 absober (+)), ventilator (+). Pasien diberi infus RL
pada pre op 500 ml dan pada durante op diberikan RL 500 ml, ondansentron, 10
mg IV, trmadol 100 mg, ketorolac 30 mg IV sebagai analgetik perifer, transamin
50 mg IV. Pasien diberi infus HES (hidroxyethil starch) 500 ml. Cairan keluar
terdiri dari yaitu perdarahan ± 250 cc. Operasi Modified Radical Mastectomy
berakhir pada pukul 12.00 WIB. Setelah operasi selesai tekanan darah pasien
108/70 mmHg, Nadi 108 x/menit, RR : 16 x/menit. Segera setelah selesai operasi,
aliran obat anestesi dihentikan dan pasien diberi oksigen 100%. Obat penawar
pelumpuh otot diberikan dan jalan nafas dibersihkan dari cairan/sekret. Kemudian
pasien diekstubasi setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta jalan nafas
sudah bersih. Setelah itu pasien dipasang kateter untuk memantau kedaan
cairannya. Setelah itu pasien dikirim ke recovery room untuk perawatan yang
intensif.
Pada saat diruang recovery, usahakan ABCD tetap paten. Posisi pasien
dijaga agar tidak muntah dan menyebabkan aspirasi (masuk paru), disiapkan
suction yang berfungsi baik, dijaga agar waktu gelisah tidak jatuh, nafas dibantu
oksigen, tekanan darah selalu dipantau. Nyeri pasca bedah intensitasnya tinggi
pada 6 jam pertama dan bertahan sampai 24 jam sebelum akhirnya menurun.
Setelah 24 jam nyeri banyak berkurang. Dicek juga urine (jumlah, warna,
kepekatan). Setelah pasien sadar dan memenuhi kriteria pengeluaran dari ruang
recovery pasien dipindahkan ke ruang rawat inap.
23
BAB IV
KESIMPULAN
Kasus Ny Siti Fatimah, 52 tahun, mengeluh nyeri kaki kanan, pasien
kecelakaan lalu lintas saat naik sepeda ontel, waktu kejadian pasien tidak sadarkan
diri. Pasien mengalami KLL saat naik sepeda ontel. Dari hasil pemeriksaan
radiologi di diagnosis dengan Close Fraktur Femur 1/3 distal Obliq Dextra.
Kemudian di lakukan perencanaan operasi berupa ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Kriteria ASA/PS untuk pasien ini adalah termasuk ASA II.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) merupakan tindakan
pembedahan pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi tulang
pada keadaan fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang tersebut.
Anestesi yang digunakan untuk pasien ini adalah general anestesi dengan
intravena-inhalasi, dengan dilakukan premedikasi. Induksi yang dipakai adalah
fentanyl 1-4mg/kgBB IV, propofol 2-3 mg/kgBB IV, succinylcholine 1-1,5
mg/kgBB IV. Sedangkan untuk maintenance digunakan halotan.
Anestesi mulai pada pukul 09.30 WIB. Pasien titidurkan dan diberi
preoksigenasi selama 10 menit, untuk memberi cadangan oksigen saat nanti
dilakukan intubasi. Setelah itu dilakukan induksi anestesi, saat pasien sudah apneu
dilakukan intubasi dengan ETT no. 7,5, cuff (+), mayo (+). Anestesi ini
menggunakan semi close system dengan kontrol respirasi. Cairan yang masuk saat
pre-op aalah RL 500cc, saat durante op RL 500 cc dan HES 500 ml.
24
DAFTAR PUSTAKA
Harry J. Griffiths, M.D. Basic Bone Radiology. Associate Proffesor of
Radiology and Orthopedics. The University of Rochester Medical Center
Roschester, New York. 1997. Page 23 - 29
Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Penerbit PT Yarsif
Watampone, Jakarta, 2009. Hal 82-85, 92-94, 355-361, 364
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses -
proses penyakit Volume 2. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.
Hal 1365
Omar Faiz, David Moffat. Anatomy at Glance. Cardiff University, 2002.
Page 93.
Putz, R., Pabst. R. Atlas Anotomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi 21.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. 2000. Hal. 276,278.
Fred A, Mettler, Jr., M.D., M.P.H. Essentials of Radiology. Univercity of
New Mexico, 1996. Page 337
Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua, Iwan Ekayuda
(editor), FK UI, Jakarta, 2006. Hal 31
Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen, John W.
Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4th Edition.
Mosby Elsevier. United States. 2007. Page 408-410
Pradip R. Patel. Lecture Notes Radiologi, Edisi Kedua. Penerbit Erlangga
Medical Series, Jakarta, 2005. Hal 232
P.E.S. Palmer., W.P. Cockshott., V. Hegedus., E. Samuel. Manual of
Radiographic Interpretation for General Practitioners. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal 108-109
Holmes, Erskin J., Misra, Rakesh R. A-Z of Emergency Radiology.
Cambridge University, 2004. Page 140-143
James E Keany, MD. Femur Fracture. [Online]. 2009. [Cited August 10].
Available from http://emedicine.medscape.com/article/824856-
overview#showall
25