Download - Anatomi Faring
E. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada
bagian anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011).
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus
setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding
posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan
bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun
S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa
blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). Faring terdiri
atas :
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas
penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui
oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan
v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan
muara tuba Eustachius (Rusmarjono, 2007; Arjun S Joshi, 2011; Rospa
Hetharia, 2011).
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia, 2011).
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk
infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi
juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus
(Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
4. Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang
retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot
– otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis.
Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa
faringomaksila (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut
dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis
dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam
oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden
mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior
kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya
oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid)
adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai
akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau
dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid)
berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam
suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini
dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis
(Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
F. FARINGITIS AKUT
1. Definisi
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan
hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise
(Miriam T. Vincent, 2004). Faringitis akut dan tonsillitis akut sering
ditemukan bersama-sama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit ini
ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet infections)
(Rusmarjono, 2001).
2. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%)
dan bakteri (5-40%) yang paling sering ( Rusmarjono dan Efiaty Arsyad
Soepardi, 2007).
Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang
menyebabkan faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus,
Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan
Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus
(HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis (John L. Boone, 2003;
Anthony W Chow, 2013).
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta
Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus,
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium
haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus
(GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-
30% pada anak-anak (5-15 tahun) (Ferri, 2012; Rusmarjono dan Efiaty Arsyad
Soepardi, 2007). Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial
gram negative ditemukan pada pasien aktif secara seksual, terutama yang
melakukan kontak orogenital. Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa
yang terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20% pada pria
homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50%
individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam
ringan dan eritema dapat terjadi (John L. Boone, 2003).
Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan
menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat
pada pasien yang menlakukan kontak orogenital (Rusmarjono dan Efiaty
Arsyad Soepardi, 2007).
Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan
seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan
atau demam (Jill Gore, 2013).
3. Epidemiologi
Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak.
National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory
Medical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan
anak-anak dengan faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat setiap
tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per tahun (Mary T.
Caserta, 2009). Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi
saluran pernafasan atas, termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke
dokter per 1000 penduduk per tahun di Amerika Serikat (Alan L. Bisno,
2001).
Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak.
Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus
faringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari
infeksi Group A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak
kurang dari 3 tahun (John R Acerra, 2013).
4. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada faringitis akut bergantung pada
mikroorganismenya. Faringitis akut yang disebabkan bakteri mempunyai
gejala nyeri kepala yang hebat, demam atau menggigil, malaise, nyeri
menelan, muntah dan mungkin batuk tapi jarang (Rusmarjono, 2007).
Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu demam, limfaadenopati pada
anterior servikal, eksudat pada tonsil, tidak ada batuk (Jill Gore, 2013).
Faringitis yang disebabkan virus biasanya mempunyai gejala nyeri
tenggorokan yang parah dan dapat disertai dengan batuk, suara serak dan nyeri
substernal. Demam, menggigil, malaise, mialgia dan sakit kepala juga dapat
terjadi (John L. Boone, 2003). Sedangkan gejala pada faringitis fungal adalah
nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis (Rusmarjono, 2007).
5. Diagnosis
Pada faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri, pemeriksaan pada faring
yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring
dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula dan limfadenopati servikalis
anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak
pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak di
bawah 3 tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan
eksudat jarang terjadi pada umur ini (Alan, et.al.,2001).
Pada faringitis viral, pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
Virus influenza, Coxsachie virus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat. Coxsachie virus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan
lesi kulit berupa maculopapular rash. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali (Rusmarjono, 2007).
Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan
gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam
menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan faringitis
karena bakteri atau virus. Sangatlah penting untuk mengetahui onset, durasi,
progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam,
batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi, paparan infeksi, dan
adanya penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus
diperiksa apakah terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing,
eksudat, massa, petechie dan adenopati (Miriam T. Vincent, 2004). Juga
penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam,
timbulnya ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus, seorang dokter harus
mendengar adanya suara murmur pada jantung dan mengevaluasi apakah pada
pasien terdapat pembesaran lien dan hepar. Apabila terdapat tonsil eksudat,
pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan
meningkat sampai 38ºC maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi
GABHS (Alan, et.al.,2001)
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri
GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan
pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada
agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan
diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %.
Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari
(Miriam T. Vincent, 2004).
6. Penatalaksanaan
Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau
asetaminofen untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada
tenggorokan. Penderita dianjurkan untuk beristirahat di rumah dan minum
yang cukup. Kumur dengan air hangat. Faringitis yang disebabkan oleh virus
dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Rusmarjono, 2007).
Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga
penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β hemolitikus. Dapat juga
diberikan Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien alergi terhadap penisilin maka
diberikan eritromisin 4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau antiseptik
beberapa kali sehari (Rusmarjono, 2007).
Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin 100.00 –
400.000 2 kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea dapat diberikan
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250mg secara injeksi intramuskular
(Rusmarjono, 2007)
7. Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media,
epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi
streptokokus jika tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut,
peritonsillar abses, peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock
syndrome dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring.
Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang
tidak diobati (John R. Acerra, 2013).
8. Prognosis
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-
hati dengan komplikasi yang berpotensi terjadi (John R. Acerra, 2013).