ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL KERJA
SAMA SISTER CITY ANTARA
PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DENGAN
PEMERINTAH KOTA HIGASHIMATSUSHIMA
SKRIPSI
Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat – syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
CUT ADELIA DESTA SARI
140200017
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAKSI
Cut Adelia Desta Sari*)
Dr. Sutiarnoto, S.H.,M.Hum.**
)
Abdul Rahman, S.H., M.H.***
)
Pola interaksi yang paling sering terjadi antar subyek hukum
internasional berupa kerjasama yang dituangkan dalam bentuk perjanjian.
Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber utama hukum internasional,
yang meskipun sering terdapat perbedaan istilah dalam penggunaannya namun
tidak berpengaruh terhadap kekuatan hukumnya. Negara mempunyai kapasitas
untuk mengikatkan diri kedalam sebuah internasional melalui Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam mengurus daerahnya sesuai
dengan kebutuhan dan tujuan kotanya melalui otonomi daerah. Era globalisasi
mendorong setiap kota-kota di dunia untuk selalu berkembang dari waktu ke
waktu untuk mewujudkan suatu “Kota Impian” dimana hal ini tidak dapat dicapai
melainkan dengan berbagai bantuan dari kota lain.
Perjanjian kerjasama sister city adalah salah satu perjanjian internasional
yang dibuat oleh Pemerintah Daerah antar satu kota dengan kota lainnya di dunia.
Dalam pembuatannya, perjanjian sister city harus mengikuti berbagai tahapan
koordinasi dan konsultasi dengan Kementrian Luar Negeri. Penandatanganan
perjanjian sister city harus diwakilkan oleh seseorang yang mendapatkan surat
kuasa penuh (full powers) agar penandatanganan terhadi atas nama Pemerintah
Republik Indonesia.
Perjanjian Sister City sudah lama dipraktikkan dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Salah satunya adalah Perjanjian Sister City yang dibuat
antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima. Dalam hal
penulisan ini, penulis melakukan tinjauan langsung ke Kantor Sekretariat Daerah
Kota Banda Aceh dan melakukan tinjauan kepustakaan guna mendapatkan data-
data terkait untuk mendukung penulisan skripsi ini.
Perjanjian Sister City merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
Pemerintah Daerah guna mengembangkan kotanya guna mencapai tujuan. Akan
lebih baik lagi jika perjanjian Sister City ini dilandasi dengan hal dan tujuan yang
bermanfaat bagi kedua pihak yang mengikatkan perjanjian. Kerjasama yang sudah
terjalin antara Pemerintah Kota Banda Aceh dan Kota Higashimatsushima
diharapkan dapat berdampak positif bagi kedua kota tersebut.
* Mahasiswa Fakultas Hukum 2014
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II
† Globalisasi secara literal dapat dipahami sebagai suatu proses fenomena lokal atau regional
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II
Universitas Sumatera Utara
ii
Kata kunci : Perjanjian Internasional, Pemerintah Daerah, Sister City
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana
atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan
kepada penulis untuk mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Salawat beriring salam penulis diberikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan telah menjadi penerang bagi seluruh
ummatnya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat judul “Analisis Yuridis
Perjanjian Internasional Kerja Sama Sister City antara Pemerintah Kota
Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima” guna memenuhi
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta,
kedua malaikat yang Allah turunkan untuk saya, ayahanda Ir. Teuku Darmansyah
dan ibunda Deliana yang telah memberikan cinta dan curahan kasih sayang yang
tak terhingga kepada penulis berupa perhatian dan doa yang tiada pernah
habisnya, semangat dan motivasi yang tak mengenal waktu, nasehat dan
kepercayaan yang selalu membuat penulis bangkit dan bersemangat lagi serta
selalu menjadi pendukung terbaik penulis dalam melangkah dan menggapai cita-
cita sehingga dapat menyelesaikan pendidikan formal hingga strata satu (S1).
Selain itu juga saya ucapkan terima kasih kepada kedua adik saya Cut Asyifa
Meidya Putri dan Cut Annisa Dila Fitri yang selalu hadir dalam suka dan duka
hidup penulis, dengan ikhlas selalu menghadirkan tawa dan semangat, serta
motivasi untuk pribadi penulis agar selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Hidup bersama keluarga selama 22 tahun membuat mereka menjadi sosok yang
paling mengerti dan menerima saya dalam kondisi apapun.
Universitas Sumatera Utara
iii
Dalam proses menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan serta
dukungan berbagai pihak lainnya, dalam kesempatan tak lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Saidin,S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H.,M.Hum.,selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen yang banyak
membantu penulis dengan ilmu dan motivasinya, baik selama masa
perkuliahan ataupun dalam setiap program ILSA.
5. Bapak Abdul Rahman, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga
merupakan Dosen Pembimbing II yang sangat berjasa dan sudah banyak
membantu penulis, baik dalam perkuliahan maupun dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga
merupakan Dosen Pembimbing I yang telah banyak berjasa dalam
membantu penulis menyelesaikan masa perkuliahan dengan meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran sehingga selesainya skripsi ini serta atas
nasihat-nasihat dan jalan keluar selama proses perkuliahan dan dalam
terjalankannya ILSA 2017.
7. Bapak Affan Mukti, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik
penulis dari semester I sampai dengan semester VII, terima kasih atas
arahaman dan bimbingan yang diberikan selama ini.
8. Seluruh Dosen Hukum Internasional. Terima kasih atas ilmu dan motivasi
yang tak bosan selalu diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan.
Universitas Sumatera Utara
iv
9. Seluruh Dosen pengajar serta pegawai administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang sudah memberikan ilmu dan dukungan
selama masa perkuliahan penulis.
10. Seseorang special yang selalu ada di sisi Penulis, sosok yang selalu tabah
menghadapi mood swing-nya penulis, salah satu motivator dan pendengar
keluh kesah penulis dan selalu membuat penulis jatuh hati dengan
dukungan dan kesabarannya, Mahadi Masri,S.T. Thank you for all the
things you‟ve done for me!
11. Untuk Fadhila Daratulaila, tempat keluh kesahnya penulis, tempat berbagi
rasa senang dan susah dari hari pertama menjalani masa perkuliahan di
kampus hingga saat ini, yang selalu mendukung dan selalu ada di sisi
penulis pada saat apapun. Thank You for always have my back, beb!
12. Untuk sahabat-sahabat seperjuangan penulis semasa kuliah hingga saat ini,
Cut Maidina Ananda Putri (ini saudara ketemu tua), Ajeng Hanifa ZCA
(ummi yang selalu kembalikan kami ke jalan yang benar), RR. Meidy
Irzha (makasih ya Med udah nemenin aku di HI), Rizky Amelia (thank
you ya me selalu meramaikan geng kita ini) dan Fadhila Daratulaila (enak
namamu dua kali kan). Akhirnya nama kita ada S.H. nya juga ya we!
*terharu*.
13. Untuk sahabat-sahabat penulis lainnya yang selalu mendukung penulis,
Nabila Deanna sang “psikolog pribadi” penulis (Thank You ya Nab.
You‟re my best), Yunalistya Sakanti Putri sang “adek kesayangan” yang
super duper tak tergantikan (Makasih ya Kante udah selalu ada buat kakak
walaupun kita terpisah jarak:”)
14. Kepada keluarga besar International Law Student Association (ILSA)
2017 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesan luar bisa dalam hidup penulis, terkhusus untuk “Alumni Jepang”
dan seluruh presidium ILSA. (Thank you for the memories, guys!)
15. Kepada teman-teman penulis lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, yang setia mendukung dan memotivasi penulis baik yang berada
di dalam maupun di luar lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
v
16. Untuk Bapak dr. Sofyan Tan selaku Anggota DPR-RI Komisi X dan
Pemberi beasiswa kepada penulis melalui “Sofyan Tan Scholarship” dari
awal perkuliahan hingga meraih gelar Sarjana Hukum. Juga kepada Ci
Tracey Harjatanaya selaku pembina “Sofyan Tan Scholarship” yang telah
menjadi motivator dan inspirasi bagi saya. Terima kasih pula untuk Pak
Edy Jitro Sihombing yang tak lelah membimbing, menasehati dan selalu
percaya kepada penulis dalam menyelesaikan masa perkuliahan.
17. Keluarga besar “Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda” dan
“Association of Sofyan Tan Scholars” yang tak bisa saya sebutkan satu
persatu. Terima kasih banyak untuk setiap dukungan, doa dan
kepercayaannya kepada penulis hingga saat ini.
Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan hasil penelitian ini. oleh
sebab itu penulis berharap kepada semua pihak agar memberikan kritik
dan saran yang konstruktig guna menghasilkan sebuah penelitian yang
lebih baik lagi, baik dari segi materi hingga cara penulisan.
Demikian kata pengantar ini disampaikan, dan dengan seluruh
bantuan dan dukungan yang penulis dapatkan akhirnya dengan
menyerahkan diri dan memohon petunjuk serta perlindungan Allah SWT
semoga skripsi ini memberikan manfaat dan berguna bagi ilmu
pengetahuan di masa yang akan datang. Aamin ya Rabbalalamin.
Medan, Januari 2018
Penulis,
Cut Adelia Desta Sari
NIM : 140200017
Universitas Sumatera Utara
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................. 7
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................... 7
1.4. Manfaat Penulisan ............................................................. 8
1.5. Keaslian Penulisan ............................................................ 9
1.6. Tinjauan Kepustakaan ....................................................... 11
1.7. Metode Penulisan .............................................................. 14
1.8. Sistematika Penulisan ........................................................ 16
BAB 2 DASAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL ........... 19
A. Pengaturan tentang Perjanjian Internasional menurut
Hukum Internasional .......................................................... 19
2.1.1. Pengertian Pejanjian Internasional ........................... 22
2.1.2. Perjanjian Internasional sebagai Sumber
Hukum Internasional ................................................... 25
2.1.3. Sifat Perjanjian Internasional ......................................
26
2.1.4. Bentuk dan Istilah Perjanjian Internasional .............. 27
2.1.5. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional ..... 31
B. Perkembangan Hukum Nasional Indonesia mengenai
Perjanjian Internasional ...................................................... 35
1. Pengertian Perjanjian Internasional dalam Hukum
Nasional Indonesia .................................................... 35
Universitas Sumatera Utara
vii
2. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan
Indonesia mengenai Perjanjian Internasional ............ 37
BAB 3 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL ...................... 42
3.1. Tinjauan umum tentang Pemerintahan Daerah .................. 42
1. Pengertian Desentralisasi, Otonomi Daerah dan
Pemerintah Daerah .................................................... 44
2. Desentralisasi dalam Negara Kesatuan ..................... 45
3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyeleng-
garaan Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No.23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ............... 46
3.2. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pembuatan
Perjanjian Internasional menurut Perundang-undangan
di Indonesia ........................................................................ 51
3.2.1. UU No. 32/1999 tentang Hubungan Luar Negeri ..... 51
3.2.2. UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional .... 54
3.2.3. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ....... 56
3.2.4. UU No. 11/ 2006 tentang Pemerintahan Aceh ......... 59
3.3. Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional oleh
Pemerintah Daerah .............................................................. 60
BAB 4 ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL
KERJA SAMA SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH
KOTA BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH
KOTA HIGASHIMATSUSHIMA ............................................. 69
A. Latar Belakang Perjanjian Kerjasama Sister City
(Kota Bersaudara) .............................................................. 69
4.1.1. Sejarah Singkat Perkembangan Sister City .................
69
4.1.2. Pengertian Sister City ..................................................
71
Universitas Sumatera Utara
viii
4.1.3. Manfaat dan Tujuan Kerjasama Sister City .................
73
4.1.4. Prosedur dan Mekanisme Kerjasama Sister City ........
74
B. Perkembangan Sister City di Indonesia ............................. 77
1. Sister City Kota Yogyakarta dengan Kota Kyoto ...... 78
2. Sister City Kota Medan ddengan Kota Ichikawa ....... 80
C. Deskripsi Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota
Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima .................. 82
1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh dengan
Kota Higashimatsushima ............................................. 82
2. Latar Belakang Kerjasama Sister City antara Kota
Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ........... 83
3. Uraian Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota
Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ......... 86
D. Status Hukum Perjanjian Kerjasama Sister City antara
Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ......... 90
E. Analisis Implementasi Perjanjian Kerjasama Sister City
antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima .. 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 100
A. Kesimpulan ............................................................................ 100
B. Saran ...................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Globalisasi adalah salah satu faktor dimana terjadinya berbagai
perubahan – perubahan di dalam berbagai sektor kehidupan. Akibat dari pesatnya
perkembangan arus globalisasi, kebutuhan akan berbagai kebutuhan meningkat
yang mana tidak hanya sekedar kebutuhan pribadi atau perseorangan, melainkan
juga kebutuhan berbagai negara- negara di dunia. Dalam era globalisasi† ini,
interaksi dan intensitas hubungan antar negara menjadi semakin meningkat yang
antara lain ditandai dengan dicapainya berbagai kesepakatan kerjasama baik yang
bersifat regional, bilateral dan multirateral. Interaksi yang sudah melintasi batas
suatu negara yang sering disebut hubungan Internasional. Istilah “Internasional”
menurut seorang filosof Jeremy Bentham pada 1970 adalah sebagai suatu
pencerahan dari apa yang merupakan pendalaman dari kenyataan keseharian
hidupnya yaitu berkembangnya negara-bangsa dan transaksi yang terjadi melintasi
batas di antara masyarakat di dunia ini.
Bentuk interaksi yang terjadi dalam pergaulan masyarakat internasional
tidak dapat dipisahkan dengan pelaku-pelakunya, baik pelaku negara – negara
(state actors) maupun oleh pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Pola
interaksi hubungan internasional ini dapat berupa kerjasama (cooperation),
† Globalisasi secara literal dapat dipahami sebagai suatu proses fenomena lokal atau regional
menjadi satu tataran global. Sheila L Croucher menulis pemahaman globalisasi dalam
Globalization and Belonging : The Politics of Identity a Charging World, Rowman & Littlefield
(2004), Pages 10, sebagai “a process of blending norm homogenization by which the people of the
world are unified into a single society and function together. This process is a combination a
economic, technological, sociocultural and political forces”.
Universitas Sumatera Utara
2
persaingan (competition), dan pertentangan (conflict). Sehingga dalam
hal ini yang harus dilakukan adalah bagaimana agar setiap hubungan tersebut
terpelihara dan bertahan sehingga dapat menghasilkan peningkatan kerjasama
yang adil dan saling menguntungkan; dengan mencegah dan menghindari konflik
dan bagaimana mengubah kondisi- kondisi persaingan dan pertentangan menjadi
kerja sama‡.
Hubungan kerjasama antar negara atau dikenal dengan sebutan hubungan
luar negeri berkaitan erat dengan politik luar negeri suatu negara. Setiap negara di
dunia memiliki arah politiknya masing-masing yang biasanya mencirikan
kepentingan dari negara itu sendiri§. Hubungan luar negeri selalu berkaitan
dengan kecenderungan manusia untuk berinteraksi, bertukar atau berdagang.
Kenyataan ini menuntut harus tersedianya suatu perangkat yang mengatur
interaksi tersebut yang selain berguna untuk melindungi kepentingan negara dan
warga negara serta memperkokoh bangsa itu sendiri. Interaksi pertukaran global
dan perkembangan teknologi yang makin pesat ini, melahirkan berbagai bentuk
perjanjian, substansi, maupun struktur dari perjanjian yang semakin bervariasi.
Meskipun adanya perbedaan dalam penamaan-penamaan perjanjian, akan tetapi
pada hakikatnya juga termasuk sebagai sebuah perjanjian internasional. Dapat
dilihat berdasarkan pengertian mengennai perjanjian internasional itu sendiri.
Penamaan dari perjanjian internasional tersebut tidak menentukan bobot
yuridisnya karena tidak ada satu pun ketentuan dalam hukum internasional baik
Konvensi Wina 1969**
maupun instrumen hukum internasional lainnya atau
‡ T. May Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global, (Bandung:
Refika Aditama, 2003), hlm. 3. § Ibid.
** Yang dimaksud adalah Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
Universitas Sumatera Utara
3
peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia yang mengatur mengenai
bobot yuridis tersebut, dengan demikian secara teknis perjanjian internasional
dapat diberi nama Treaty, Convention, Covenant, Agreement, Protocol, bahkan
Memorandum od Understanding (MoU)††
.
Berdasarkan hukum internasional yang berlaku, sebuah perjanjian
internasional merupakan prioritas utana dari hierarki sumber hukum internasional
yang terdapat dalam Article 38 (1) Statute of International Court of JusticeArticle
38 (1) Statute of International Court of Justice yang menyatakan :
a. The Court, whose function is to decide in accordase with international
law such disputes as are submitted to it, shall apply ‡‡
:
a. International conventions, whether general or partivular,
establishing rules expressly recognizedby the contesting states;
b. International Customs, are evidance of a general practice accepted
by the law;
c. The general principles of law recognized by civiled nations;
d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the
teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as
subsidiary means for the determination of rules of law.”
Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional di atas dianggap sebagai
sebuah pernyataan yang sudah sangat tepat mengenai sumber hukum
internasional§§
. Perjanjian internasional diletakkan paling atas dalam hierarki
sumber hukum internasional meskipun tidak dijelaskan secara lengkap perjanjian
internasional yang bagaimana yang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat
dibandingakan dengan sumber hukum internasional lainnya. Perjanjian dapat
dianggap sebagai sumber terpenting apabila persoalan yang banyak terjadi saat ini
††
Prof. A. Zen Umar Purba, Berbagai Isu Aktual dalam Pelaksanaan Undang- Undang Perjanjian
Internasional, Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 3 (April 2008) ‡‡ Article 38 (1) Statute of International Court of JusticeArticle 38 (1) Statute of International
Court of Justice §§
Ian Brownlie, Principles od Public International Law, Oxford: Clarendon Press, 1996, hlm.3.
Universitas Sumatera Utara
4
di berbagai belahan dunia dapat diatur dengan perjanjian antar negara termasuk
pula masalah yang awalnya hanya dianggap sebagi hukum kebiasaan.
Dalam Pasal 1 huruf (a) Konvensi Wina 1969***
dijelaskan pengertian
„treaty‟ atau perjanjian internasional adalah bahwa suatu perjanjian internasional
hanya dapat dibuat oleh negara. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh negara
sebagai subyek hukum internasional sehingga dapat membuat suatu perjanjian
internasional. Selain negara, yang dapat membuat perjanjian internasional disebut
sebagai subyek hukum internasional adalah tahta suci (Vatikan), Palang Merah
Internasional, Organisasi Internasional, Orang-Perorang (individu), Pemberontak
dan pihak dalam sengketa (belligerent)†††
.
Di Indonesia pengaturan tentang pelaksanaan hubungan luar negeri dan
pembuatan perjanjian internasional diatur pada Undang-undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional sudah menjabarkan lebih rinci tentang
permasalahan berkenaan dengan perjanjian internasional, mulai dari tahap- tahap
pembuatan, pemberlakuan, pelaksanaan dan pengakhiran berlakunya perjanjian
internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986‡‡‡
.
Indonesia adalah negara berdaulat dan mempunyai kapasitas yang layak untuk
membuat sebuah perjanjian internasional, baik dengan negara lainnya atau dengan
bukan negara seperti organisasi internasional.
***
Pasal 1 huruf (a) Konvesi Wina 1969 menjelaskan: “treaty” means an international agreement
concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in
a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation; †††
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Cet.2. Bandung : Alumni., hlm. 70. ‡‡‡
I Wayan Parthiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal
Hukum Internasional, Volume 5 Nomor 3 (April 2008).
Universitas Sumatera Utara
5
Undang – undang dasar negara kesatuan memberikan kuasa penuh pada
pemerintah pusat untuk melakukan hubungan luar negeri. Betapapun luas otonomi
daerah yang dimiliki oleh provinsinya, masalah yang menyangkut hubungan luar
negeri merupakan wewenang pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak
boleh melakukan hubungan luar negeri secara langsung dengan negara luar§§§
. Hal
tersebut didukung oleh peraturan perundang- undangan Indonesia, yaitu Undang-
undang Perjanjian Internasional dan Undang- undang Pemerintahan Daerah.
Menurut pengertian dalam Vienna Convention in The Law of Treaties bahwa
perjanjian internasional yang termasuk dalam konvensi adalah perjanjian
internasional yang dibuat oleh negara. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan,
apakah kerja sama internasional yang dihasilkan pemerintah daerah termasuk
dalam ranah perjanjian internasional. Terkait dengan Pemerintahan Daerah perlu
dilihat mengenai kewenangan Pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah
seperti yang dimuat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah****
.
Meskipun demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan
nasional Indonesia juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah daerah
untuk melaksanakan hubungan luar negeri atau kerjasama internasional. Pada
praktiknya, segala bentuk pelaksanaan hubungan luar negeri oleh pemerintah
daerah dengan negara lain adalah rill dan sudah dipraktikkan sejak lama. Suatu
pemerintahan daerah dapat melakukan hubungan luar negeri atau perjanjian
internasional dengan syarat harus memperloh surat kuasa penuh (full powers)
yang merupakan alat dimana Pemerintah Pusat memberikan mandat kepada
§§§
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian : Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung: Alumni,2011. hlm. 13. ****
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, ps. 10.
Universitas Sumatera Utara
6
Pemerintah Daerah untuk membuat suatu perjanjian internasional.††††
. Pemerintah
daerah bertindak sebagai inisiator atas nama pemerintah pusat membuat perjanjian
internasional.
Bentuk perjanjian internasional yang dapat dibuat oleh pemerintah
daerah salah satunya adalah perjanjian sister city. Banyak kota di Indonesia sudah
mengadakan perjanjian Sister City dengan kota lintas negara. Fakta ini
membuktikan Indonesia adalah adalah negara yang cukup aktif membuat
perjanjian sister city, terlebih otonomi daerah di Indonesia sudah adanya peraturan
yang mengaturnya secara lebih rinci. Salah satu contoh kota yang mengadakan
perjanjian sister city adalah Perjanjian Kerja sama sister city antara Pemerintah
Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima. Perjanjian kedua
kota ini dilatarbelakangi oleh adanya kesamaan nasib, yaitu kedua kota pernah
diterjang bencana Tsunami yang motivasi kedua kota tersebut untuk bangkit dari
keterpurukan yang diakibatkan bencana alam tersebut. Dalam pelaksanaannya,
pelaksanaan perjanjian Internasional ini sudah cukup lama berlangsung sehingga
dapat dilihat pelaksanaannya saat ini telah mencapai tahap kedua. Perjanjian sister
city terbagi dua tahap, pada tahap pertama kerjasama dibentuk dalam 4 bentuk
yaitu ; suistanable city management, disaster management, community business,
dan effective locel government organizational structure. Sukses nya tahap
pertama, membuat kedua kota ini melanjutkann kerjasama nya ke tahap kedua,
yaitu mengenai establlishing a model of empowerment that enchance the regional
disaster mitigation. Kerjasama antar kedua kota ini dilaksanakan di bawah
††††
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina tahun 1969 menyatakan, A person is considered
as representing a state for purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the
purpose of expressing the consent of the state to be bound by a treaty practice of the state
concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as
representing the state for such purposes and to dispense with full powers.
Universitas Sumatera Utara
7
naungan THE JICA (Japan International Cooperation Agency) Partnership
Program yang merupakan Lembaga yang berada dibawah naungan Departemen
Luar Negeri Jepang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dasar hukum Perjanjian Internasional?
2. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Perjanjian
Internasional?
3. Bagaimanakah implementasi dari Perjanjian Internasional yang dibuat
antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota
Higashimatsushima?
C. TUJUAN PENULISAN
Dengan menelaah latar belakang dan rumusan masalah di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan umum dari penelisan yang berjudul “Analisis Yuridis
Perjanjian Internasional Kerja Sama Sister City antara Pemerintah Kota Banda
Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima” ini adalah untuk memberikan
pemahaman serta analisis umum mengenai bagaimana sebuah Perjanjian
Internasional dibuat oleh Pemerintah Daerah di Indonesia dengan menelaah lebih
jauh pada perjanjian kerja sama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota
Higashimatsushima.
Universitas Sumatera Utara
8
Sedangkan tujuan khusus penulisan ini antara lain:
1. Untuk mengetahui dasar hukum tentang perjanjian internasional terkait sister
city.
2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat suatu
perjanjian internasional.
3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi dari perjanjian internasional
D. MANFAAT PENULISAN
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif baik
dari segi teoritis maupun dari segi prakteknya.
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah- masalah yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pandangan dan pemikian mengenai perjanjian internasional, terlebih lagi
perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah.
2. Penulisan ini juga dapat dijadikan langkah awal untuk pengembangan serta
penulisan lebih lanjut.
3. Pembahasan terhadap masalah ini dalam praktisnya diharapkan dapat menjadi
masukan bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam memahami norma –
norma, baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional yang
berkaitan dengan perjanjian internasional tentang kerjasama sister city yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota
Higashimatsushima.
Universitas Sumatera Utara
9
E. KEASLIAN PENULISAN
Berdasarkan tinjauan kepustakaan di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, sebelumnya belum ada penulisan dengan judul
“Analisis Yuridis Perjanjian Internasional Kerja sama Sister City antara
Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima”.
Pernah ada penulisan dari mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dengan judul :
1. Sdr. Imran Rinaldin, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, NIM : 950221019, Judul “Kedudukan Perjanjian Internasional dan
Kebiasaan Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional”. Dalam
rumusan masalah :
a. Apa segi positif dan negatif apabila ketentuan-ketentuan perjanjian
internasional diberlakukan terhadap pohak ketiga yang bukan peserta
perjanjian tersebut ?
b. Bagaimana peranan hukum kebiasaan terhadap hukum perjanjian
internasional yang diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 ?
c. Secara praktis, kebiasaan-kebiasaan internasional dapat diterima menjadi
hukum kebiasaan. Bagaimana bila suatu negara menolak diberlakukannya
hukum kebiasaan tersebut ?
2. Sdr. Edriansyah Rendy, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, NIM : 100200166, Judul “Kerjasama Kota Kembar Pemerintah Kota
Medan dengan Pemerintah Kota Penang dalam Hubungan Diplomatik
menurut Perspektif Hukum Internasional”. Dalam rumusan masalah :
Universitas Sumatera Utara
10
a. Bagaimana kerjasama kota kembar antara Pemerintah Kota Medan dan
Pemerintah Kota Penang?
b. Bagaimana konsep dan teori hukum mengenai perjanjian internasional
dalam hubungan diplomasi?
c. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam hubungan diplomasi
pada kerjasama kota kembar antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah
Kota Penang?
3. Sdri. Kathy Carissa Bangun, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, NIM : 110200056, Judul “Status Perjanjian Internasional
dalam Kaitannya dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang
dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa.
Dalam rumusan masalah :
a. Bagaimana pengaturan tentang perjanjian internasional dalam hukum
internasional dan dalam hukum nasional?
b. Bagaimana kesepakatan kerjasama sister city (Kota Bersaudara) yang dibuat
oleh pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa?
c. Bagaimana status perjanjian internasional dalam kerjasama Sister City (Kota
Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah
Kota Ichikawa?
Rumusan masalah dalam beberapa penulisan yang disebutkan di atas
menyatakan bahwa judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama
dengan yang ditulisa saat ini. Maka, penulisan ini adalah tulisan asli dan secara
akademis dapat dipertanggungjawabkan.
Universitas Sumatera Utara
11
F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pada tinjauan kepustakaan, disebutkan beberapa pengertian dan batasan-
batasan yang nantinya akan menjadi pedoman penulis dalam menyusun tulisan
ini. Hal ini bermanfaat guna melihat bagaimana ruang lingkup penulisann agar
tetap berada pada batasan yang jelas sesuai dengan permasalahan yang diangkat
dalam penulisan. Batasan ini akan dijelaskan secara bertahap, maka akan
mempermudah para pembaca untuk memahami hal-hal yang dituangkan dalam
skripsi ini.
Disini, penulis menggunakan landasan teori yang mendukung kerangka
pemikian penulis tentang teori dan praktik tahapan dalam membuat sebuah
perjanjian internasional. Setiap pelaksanaan hubungan antar negara yang
dilakukan Pemerintah Indonesia didasarkan pada Pancasila sebagai dasar dan
falsafah negara dan merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Berbagai jenis hubungan yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia
sebagai negara yang berdaulat sangatlah variatif, dan salah satu bentuk hubungan
yang sangat krusial adalah hubungan luar negeri. Hubungan luar negeri adalah
setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan
oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga
negara, badan usaham organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau warga negara Indonesia‡‡‡‡
. Hubungan luar negeri ini tidak luput
dari aturan- aturan yang tercantum dalam hukum Internasional. Hukum
internasional adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri
‡‡‡‡
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 37 Tahun 1999, LN No.
156 Tahun 1999, TLN No. 3882, ps. 1 angka (1).
Universitas Sumatera Utara
12
dari asas-asas dan karena itu biasanya diataati dalam hubungan negara-negara satu
sama lain§§§§
.
Bentuk dari hubungan luar negeri yang dibangun oleh Pemerintah
Indonesia seringkali menghasilkan berbagai kesepatakan yang sering disebut
dengan Perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hubungan hukum internasional yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik*****
. Dalam membuat perjanjian internasional, seseorang yang membuat
perjanjian tersebut haruslah memiliki Surat Kuasa Penuh (Full Powers) yang
merupakan surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan
kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan
persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau
menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian
internasional†††††
.
Dalam hal pembuatan perjanjian internasional oleh pemerintah daerah
suatu negara harus sesuai dengan sistem hukum nasional negara yang
bersangkutan. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati
atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
§§§§
Drs. C. S. T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 461. *****
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN
No. 185 Tahun 2000, TLN 4012., ps. 1 angka (1) †††††
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, Op. Cit. Ps.1 angka (3)
Universitas Sumatera Utara
13
daerah. Di Indonesia, hak ini diberikan kepada pemerintah daerahnya yang
disebut sebagai otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Salah satu contoh perjanjian internasioanl yang dibuat oleh pemerintah
daerah adalah perjanjian sister city yang merupakan perjanjian konsep
penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan
tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antar penduduk. Biasanya
kesamaan dari kota ini berupa persamaan keadaan demografi dan masalah yang
dihadapi. Hubungan sister city dapat menjadi sangat bermanfaat bagi program
kerjasama di berbagai bidang, seperti pertumbuhan ekonomi‡‡‡‡‡
.
Konsep kerjasama Sister City ini sudah cukup berkembang di Indonesia
dan dilaksanakan oleh berbagai Kota, termasuk Kota Banda Aceh. Dalam
penulisan ini penulis berfokus pada hubungan kerjasama Sister City yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kota
Higashimatsushima. Dikarenakan fokus penulis mengenai perjanjian internasional
yang dibuat oleh pemerintah daerah Kota Banda Aceh yang merupakan salah satu
daerah di Indonesia dengan otonomi khusus, maka analisis yang digunakan akan
diikutsertakan menurut Undang- undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh.
‡‡‡‡‡
Sumber :“Kota Kembar” Sebagaimana yang dimaksud dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_kembar diakses pada tanggal 5 November 2017.
Universitas Sumatera Utara
14
G. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah :
1. Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan yuridis
normatif. Metode deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan analisis atas
perjanjian internasional, khususnya mengenai hubungan kerjasama sister city
antara Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kota Higashimatsushima.
Sedangkan pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penulisan ini yaitu
penulisan mengenai norma hukum yang berhubungan dengan pokok masalah
yang diteliti dan terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang
hubungan luar negeri, perjanjian internasional dan pemerintah daerah yang
berlaku dan mengikat masyarakat dengan meneliti secara kepustakaan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penulisan ini dikumpulkan dengan
menggunakan teknik Metode Penulisan Literatur (Library Research) dengan
menggunakan jenis data sekunder, yaitu penulisan kepustakaan dengan
menggunakan bahan- bahan pustaka hukum yang mendukung dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber terkait, seperti buku, jurnal
ilmiah, artikel terkait, kamus maupun berbagai sumber lainnya dari internet.
Bahan pustaka berdasarkan kekuatan mengikatnya yang digunakan dalam
penulisan ini yaitu :
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat
seperti norma dasar, peraturan perundang- undangan atau putusan
pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
15
Bahan hukum primer dalam penulisan ini antara lain :
- Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian
- Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
perubahan-perubahannya.
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi
Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi
Wina Tahun 1963 mengenai Hubungan Konsuler.
- Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.
- Undang - undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
- Undang – undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia No.
09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan
dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.
- Permendagri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan isinya
tidak mengikat. Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis disini
adalah buku-buku yang membahas mengenai hukum internasional, terutama
yang terkait dengan perjanjian internasional dan otonomi serta pemerintah
daerah. Selain buku- buku,penulis juga menggunakan artikel, jurnal,
Universitas Sumatera Utara
16
majalah serta makalah dari berbagai sumber yang berkaitan dengan
permbahasan yang ditulis.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam tulisan ini,
penulis akan menggunakan kamus dan ensiklopedi yang berkaitan dengan
masalah yang dianalisis, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
digunakan untuk menyamakan berbagai defenisi dan istilah- istilah yang
berhubungan dengan permasalahan yang ditulis.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika dalam penulisan nya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan latas belakang
mengenai atas dasar apa skripsi ini situlis; permasalahan yang
menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini; tujuan
penulisan skripsi ini; manfaat penulisan skrispsi ini; keaslian dari
skripsi ini; defenisi operasional yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini; metode penulisan yang digunakan dalam rangka
pencarian data untuk penulisan skripsi ini; serta bagaimana
sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II : DASAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dalam bab ini penulis menguraikan bagaimana dasar
hukum perjanjian internasional. Bab ini terbagi dalam 3 subbab,
yaitu subbab mengenai pengaturan tentang perjanjian internasional
Universitas Sumatera Utara
17
menurut hukum internasional, subbab mengenai perkembangan
hukum nasional Indonesia mengenai perjanjian internasional dan
subbab mengenai kaitan antara hukum internasional dengan hukum
nasional mengenai perjanjian internasional.
BAB III : KEWENGANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan secara lebih
rinci mengenai permasalahan kewenangan Pemerintah Daerah
dalam membuat suatu Perjanjian Internasional. Pada bab ini akan
dijelaskan lebih lanjut tentang bagaimanakah Pemerintah Daerah
dapat membuat sebuah Perjanjian Internasional yang berdasarkan
dengan konsep Pemerintahan Daerah di Indonesia. Selain itu, pada
bab ini juga dijelaskan apa saja yang menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah serta bagaimana tahapan atau prosedur
pembuatan sebuah Perjanjian Internasional itu sendiri.
BAB IV : ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL
KERJASAMA SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH KOTA
BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH KOTA
HIGASHIMATSUSHIMA
Dalam bab ini, penulis menganalisis Perjanjian
Internasional Kerjasama Sister City antara Pemerintah Kota Banda
Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima secara rinci.
Analisis ini terlebih dahulu akan didahului dengan uraian singkat
Universitas Sumatera Utara
18
mengenai sister city dan deskripsi singkat mengenai perjanjian
yang menjadi objek kajian di atas.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan mencoba memberikan
kesimpulan dari apa yang telah di uraikan dan dianalisis pada bab-
bab sebelumnya. Kemudian penulis juga akan menuliskan saran-
saran bagi para pihak yang nantinya akan membutuhkan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
19
BAB II
DASAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. PENGATURAN TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Dalam dunia yang terus berkembang secara pesat, perjanjian
Internasional telah mengalami berbagai perkembangan yang pesat seiring dengan
perkembangan hukum Internasional. Perjanjian Internasional dapat kita katakan
sebagai sumber hukum yang terpenting dewasa ini, karena perjanjian internasional
merupakan instrumen utama hubungan internasional antar negara.§§§§§
Hukum
Internasional telah memerikan dasar hukum bagi perjanjian Internasional
sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional. Pada masa modern ini, batas- batas teritorial suatu negara
tidaklah menjadi tembok penghalang lagi bagi negara- negara dalam bertukar
informasi ataupun memenuhi kebutuhan negaranya. Perjanjian Internasional
merupakan salah satu hal atau sumber hukum yang paling penting dalam sebuah
Hukum Internasional. Berdasarkan hukum internasional yang berlaku, perjanjian
internasional merupakan prioritas utama dari hierarki sumber hukum internasional
yang tersirat dalam Article 38 (1) Statute of International Court of Justice (Statuta
Mahkamah Internasional) yang menyatakan:******
“1. The Court, whose function is to decide in accordance with
internasional law such disputes as are submitted to it, shall apply:
§§§§§
Sefriani, SH, M.Hum., Hukum Internasional, Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,
hlm. 28. ****** Article 38 (1) Statute of International Court of Justice
Universitas Sumatera Utara
20
a. International conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. International Customs, as evidence of a general practice accepted
by law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the
teachings of most highly qualified publicist of the various nations,
as subsidiary means for the determination of rules of law.
Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tersebut dianggap sebagai suatu
pernyataan yang sempurna mengenai sumber hukum internasional††††††
. Perjanjian
Internasional adalah salah satu sumber penting bagi hukum Internasional yang
dimana dapat dilihat kedua sifat dan karakteristiknya berkaitan satu sama lain.
Hingga saat ini terdapat 2(dua) konvensi yang mengatur tentang perjanjian
Internasional, yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasioal (Vienna
Convention on The Law of Treaties)
Konvensi Wina Tahun 1969 ditandatangani pada tanggal 23 Mei 1969
dan efektif berlaku di negara-negara yang menandatanganinya pada tanggal 27
Januari 1980‡‡‡‡‡‡
. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 35 negara§§§§§§
.
Pada konvensi ini pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of
conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional, karena itulah
Konvensi Wina tahun 1969 dikatakan sebagai induk perjanjian
Internasional*******
. Sebelum adanya Konvensi Wina 1969 perjanjian antar negara
diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti good faith, pacta sun
††††††
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon Press, 1996, hlm.
3. ‡‡‡‡‡‡
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Vienna_Convention_on_the_Law_of_Treaties diakses
pada 7 November 2017 §§§§§§
Vienna Convention on the Law of Treaties,. hlm. 1 *******
Sumber: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk-
pengaturan-perjanjian-inrenasional diakses pada 17 November 2017
Universitas Sumatera Utara
21
servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di
dalamnya. Pada intinya sebelum keberadaan Konvensi Wina 1969 Perjanjian
Internasional antar negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang
berbasis pada praktik negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional
maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan
dari opinion juris).
Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian konsiderans
dan bagian isi serta terdapat pula annex dan dua deklarasi. Konsiderans yang
dimaksud ini menggambarkan dasar-dasar pertimbangan dari sudah lahirnya
konvensi, baik berupa fakta- fakta yang sudah ada dan berlaku sebelumnya,
maupun asas- asas hukum yang melandasi substansi atau pasal- pasal konvensi,
serta tujuan yang hendak dicapai oleh konvensi†††††††
.
Konvensi Wina tentang perjanjian internasional tidak hanya sekedar
merumuskan kembali hukum kebiasaan internasional ke dalam bidang perjanjian,
melainkan juga merupakan pengembangan secara progresif hukum internasional
tentang perjanjian. Namun dalam Konvensi Wina ini tetap mengakui eksistensi
hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya tentang persoalan-
persoalan yang belum diatur dalam Konvensi Wina.
2. Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara
dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna
Convention on The Law of Treaties Between States and International
Organizations or Between International Organization)
†††††††
I, Wayan Parthiana. Hukum Perjanjian Internasional, Bagian I, Bandung, : Mandar Maju,
2002,. hlm. 51
Universitas Sumatera Utara
22
Konvensi Wina Tahun 1986 adalah konvensi pengembangan dari
Konvensi Wina Tahun 1969. Pasal 6 Konvensi Wina Tahun 1969 menekankan
bahwa hanya negara saja yang dapat membuat perjanjian Internasional. Seperti
halnya dengan Konvensi Wina Tahun 1969, Konvensi ini juga memiliki dua
bagian, yaitu bagian konsiderans dan bagian substansi. Bahkan beberapa butir dari
konsiderans Konvensi Wina tahun 1969 dapat ditemukan juga di dalam Konvensi
Wina tahun 1986. Sedangkan beberapa butir lagi memang terdapat perbedaan
yang menandakan adanya perbedaan antara kedua konvensi ini. Hal ini
menandakan bahwa konvensi Wina tahun 1986 ini isi dan jiwanya maupun
maksud dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan konvensi Wina 1969.
Kenyataan ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya kedua konvensi
mengatur tentang perjanjian internasional, hanya saja subyek yang terikat atau
yang menjadi pihak di dalam perjanjian yang diatur dalam dua konvensi
berbeda‡‡‡‡‡‡‡
.
Namun, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan Konvensi Wina
Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan perjanjian internasional
dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.
Untuk mengetahui lebih rinci mengenai pembahasan selanjutnya, maka akan
dibahas berbagai penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional.
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Hukum Internasional yang mengatur perjanjian Internasional terdapat
dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Pada
dasarnya, sebuah perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian tertulis yang
‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., hlm. 69-70
Universitas Sumatera Utara
23
dibuat oleh dua atau lebih Negara yang berdaulat atau organisasi Internasional.
Perjanjian Internasional dapat diakhiri dengan berbagai cara, antara lain mulai dari
kesepakatan yang diatur di dalam perjanjian Internasional, repudiasi kewajiban
oleh salah satu pihak di dalam perjanjian Internasional, dan hilangnya obyek dari
perjanjian internasional atas dari prinsip hukum rebus sic stantibus.
Menurut Konvensi Wina Tahun 1969 dan beberapa pendapat para
sarjana, perjanjian Internasional disebutkan dengan istilah “Treaty”. Pengertian
perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina Tahun 1969 yang terdapat pada
pasal 2 ayat (1) huruf a adalah§§§§§§§
:
“Treaty means an international agreement conclude between states in written
form and governed by international law, whether embodied in a single
instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation.”
(Perjanjian artinya suatu persetujuan Internasional yang diadakan antara
Negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur dalam hukum
Internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau
lebih instrumen yang berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya).
Para sarjana hukum internasional telah memberikan defenisi masing-
masing mengenai apa yang ditekankan dalam istilah tersebut. Dari defenisi-
defenisi itu makan dapat ditarik persamaan yang menggambarkan ciri- ciri
perjanjian internasional.
Menurut I Wayan Parthiana, perjanjian Internasional adalah kata sepakat
antara dua atau lebih subjek hukum Internasional mengenai suatu objek atau
masalah tertentu dengan maksud membentuk suatu hubungan hukum atau
melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional********
.
§§§§§§§
Vienna Convention on the Law of Treaties,. Pasal 2 ayat (1) ********
I. Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, 2002, Bagian I, Op. Cit., Hlm. 12
Universitas Sumatera Utara
24
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian Internasional
adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang
bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu††††††††
.
Dari pengertian- pengertian di atas, maka terdapat beberapa ciri atau
kriteria dasar yang dipenuhi oleh suatu perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai
sebuah perjanjian internasional, sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh
Konvensi Wina Tahun 1969 tentang perjanjian internasional, yaitu‡‡‡‡‡‡‡‡
:
1. Perjanjian harus berkarakter internasional (an international agreement),
sehingga tidak mencakup perjanjian- perjanjian berskala nasional.
2. Perjanjian harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional (by
subject of international law). sehingga tidak mencakup perjanjian yang
sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non subyek hukum
internasional.
3. Perjanjian tunduk pada rezim hukum internasional (governed by international
law) yang oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Perjanjian yang
tunduk pada hukum perdata tidak mencakup kriteria ini.
Dalam pembahasan mengenai “governed by international law” yang
sering menimbulkan kerancuan, maka komisi Hukum International (International
Law Committee) yang membuat konvensi tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa
††††††††
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua,
Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 117. ‡‡‡‡‡‡‡‡
Damos Dumoli Agusman. Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teoritis dan Praktik
Indonesia). (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
25
suatu dokumen dikatakan “governed by international law” jika memenuhi dua
unsur, yaitu:
a. Adanya maksud menciptakan kewajiban dan hubungan hukum
(intended to create obligations and legal relations). there may be
agreements whilst concluded between States but create no obligation
and legal relations.§§§§§§§§
b. Tunduk pada rezim hukum Internasional (Under International Law).
There may be agreement between States but subject to the local law of
one of the parties or by a private law system/conflict of law*********
.
Meskipun Komisi Hukum Internasional telah berusaha memberi
penjelasan lebih tetapi masih timbul permasalahan mengenai bagaimana sebuah
dokumen dapat dikategorikan sebagai “governed by international law”.
2. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (Statute of
International Court of Justice), menyatakan bahwa Perjanjian Internasional
adalah salah satu sumber Hukum Internasional. Hal tersebut dikarenakan banyak
kelebihan yang terdapat dalam Perjanjian Internasional untuk digunakan dalam
praktik internasional dibandingkan dengan sumber hukum lainnya, atau bisa
disebut Perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang
utama. Penempatan perjanjian Internasional pada posisi tertinggi hierarki yang
disebutkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menjadi bukti lainnya
bahwa secara tidak langsung menyatakannya sebagai salah satu sumber hukum
terpenting. Perjanjian internasional yang dimaksud disini adalah perjanjian
§§§§§§§§
ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, AJIL, Vol 61, 1967 *********
Report of the ILC Special Rapporteur, 1962
Universitas Sumatera Utara
26
anggora masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengadakan suatu akibat
tertentu yang dibuat antara negara- negara dengan negara-negara; maupun negara
dan kesatuan lainnya bukan negara; serta kesatuan-kesatuan bukan negara satu
sama lain.†††††††††
3. Sifat Perjanjian Internasional
Pengaruh suatu perjanjin internasional dalam memberikan arahan
terhadap pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional tergantung kepada sifat
dari perjanjian internasional yang bersangkutan. Agar lebih mudah
mengidentifikasinya, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian Internasional yang membuat hukum (Law Making Treaties)
Perjanjian internasional yang membuat hukum ini menetapkan aturan-
aturan yang berlaku secara universal dan bersifat umum. Ketentuan-ketentuan dari
perjanjian internasional tersebut menjadi sumber hukum internasional, namun
beda halnya dengan perjanjian internasional yang berbentuk kontrak karena hanya
mengikat pihak-pihak diantaranya saja.
Perjanjian internasional yang membuat hukum ini pada hakikatnya tidak
dapat menjadi suatu ketentuan yang memuat kaidah hukum internasional yang
berlaku secara menyeluruh. Pembagian perjanjian-perjanjian internasional yang
membuat hukum terbagi menjadi:
a. Memuat kaidah-kaidah hukum internasional yang universal
b. Menetapkan kaidah-kaidah umum
†††††††††
Frams E. Likadja, Desain Konstruksional Dasar Hukum Internasional, (Jakarta:
Ghlm.ia,1988) hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
27
Penggunaan istilah law making treaties yang digunakan di berbagai
perjanjian internasional ini tidak sepenuhnya menetapkan kaidah-kaidah hukum
seperti kewajiban-kewajiban kontraktual yang harus ditaati negara pesertanya.
2. Perjanjian Internasional berupa Kontrak (Treaty Contract)
Perjanjian Internasional berupa kontrak merupakan perjanjian yang
dibuat antara dua atau beberapa negara yang menyetujui atau memiliki satu
pandangan yang sama terhadap satu permasalahan khusus yang menyangkut
negara-negara yang bersangkutan. Perjanjian berupa kontrak ini tidak serta merta
menjadi sumber hukum internasional, namun diantara pesertanya dapat menjadi
hukum yang khusus maka digunakan istilah konvensi-konvensi khusus yang
terdapat dalam pasal 38 ayai (1) (a) Statuta International Court of Justice.‡‡‡‡‡‡‡‡‡
4. Bentuk dan Istilah Perjanjian Internasional
Bentuk – bentuk utama dari perjanjian Internasional antara lain adalah
sebagai berikut : §§§§§§§§§
1. Perjanjian Internasional yang dibuat oleh kepala-kepala negara selaku
pemegang kedaulatan negara.
2. Perjanjian Internasional yang dibuat antar pemerintah. Dalam praktik
digunakan untuk perjanjian yang bersifat non-politis.
3. Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara secara tegas atau implisit.
4. Perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri negara
terkait, yang biasanya diwakilkan oleh Menteri Luar Negeri.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (An Introduction to International
Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kesepuluh , (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hlm. 55. §§§§§§§§§
J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Jilid 2, (An Introduction to International
Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hlm. 585.
Universitas Sumatera Utara
28
5. Dapat berupa perjanjian antar departemen yang diwakili oleh wakil
departemen pemerintah khusus.
Dalam perkembangan perjanjian internasional dari waktu ke waktu,
muncul berbagai istilah atau terminologi yang digunakan berbagai pihak untuk
menyatakan perjanjian internasional. Namun perbedaan istilah yang digunakan
tidak akan menimbulkan perbedaan yuridis, baik secara formil maupun materil
dalam perjanjian tersebut. Pada penyusunan Konvensi Wina 1969 Komisi Hukum
Internasional melihat tidak ada artinya melakukan pembedaan penamaan tersebut
sehingga hanya digunakan istilah treaty. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Komisi Hukum Internasional menyatakan bahwa perbedaan yuridis dari berbagai
perjanjian internasional tidak ditntukan oleh nomenklatur melainkan ditentukan
oleh materi dari perjanjian itu sendiri. **********
Berikut adalah berbagai terminologi yang sering digunakan untuk
menyatakan perjanjian internasional:
1. Perjanjian Internasional atau Traktat (Treaty)
Treaty memiliki pengertian baik secara umum maupun khusus. Dalam
arti umum, treaty memiliki pengertian yaitu mencakup segala hal yang ada dalam
perjanjian internasional itu sendiri, baik subyek yang terlibat, substansi, dan
ketertarikan perjanjian internasional tersebut terhadap hukum internasional.
2. Konvensi (Convention)
Jika dilihat dari ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
menyebutkan convention sebagai salah satu sumber hukum internasional. Maka
**********
ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, Op. cit., hlm. 288.
Universitas Sumatera Utara
29
dari itu, istilah ini menyatakan konvensi memiliki kedudukan tertinggi karena
seringnya digunakan dalam praktik internasional. ††††††††††
3. Persetujuan (Agreement)
Istilah agreement sering dijumpai di perjanjian internasional yang
bersifat teknis dan administratif. Jenis perjanjian ini ruang lingkupnya relatif lebih
kecil dibandingkan perjanjian lainnya.
4. Piagam (Charter)
Istilah ini sangat erat kaitannya dengan organisasi internasional
dikarenakan dalam pembentukan sebuah organisasi internasional pembentukannya
sering menggunakan istilah charter untuk menentukan konstitusi dan dasar dari
pembentukan organisasi tersebut.
5. Kovenan (Covenant)
Penggunaan istilah covenant dalam pembentukan perjanjian
internasional, hampir sama dengan istilah charter yakni erat kaitannya dengan
perjanjian internasional yang kemudian dijadikan sebagai konstitusi bagi suatu
organisasi internasional.
6. Deklarasi (Declaration)
Deklarasi dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengumuman. Pada
umumnya isi dari deklarasi merupakan kesepakatan antara para pihak yang masih
bersifat umum dan berisi tentang hal-hal yang merupakan pokok saja‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
.
††††††††††
Ibid, hlm. 91. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid,. hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
30
7. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)
Perjanjian ini mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian
induk, sepanjang materi yang diatur bersifat teknik, MoU dapat berdiri sendiri dan
tidak memerlukan adanya perjanjian induk.
8. Protokol (Protocol)
Protokol sendiri terdapat beberapa jenis yaitu protocol of signature,
optional protocol, dan protocol based on a framework treaty§§§§§§§§§§
, yang
keseluruhannya bersifat perjanjian tambahan bagi ketentuan yang belum diatur
dalam perjanjian utamanya.
9. Statuta (Statute)
Istilah statuta sering digunakan untuk perjanjian internasional yang
dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional yang hampir serupa
dengan istilah charter.
10. Pertukaran Nota (Excghange of Notes)
Exchange of Notes adalah suatu pertukaran penyampaian atau
pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing Negara yang telah
disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Instrumen bisa menjadi suatu
perjanjian itu sendiri jika para pihak bermaksud untuk itu, yang dikenal dengan
istilah Exchange of Notes.
11. Modus Vivendi
Istilah ini kerap digunakan sebagai sebuah instrumen kesepakatan yang
bersifat sementara dan informal dimana para pihak pada umumnya akan
§§§§§§§§§§
Ibid,. Hlm. 92-93.
Universitas Sumatera Utara
31
menindaklanjuti dengan mengadakan perjanjian yang lebih formal dan bersifat
permanen***********
.
5. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
Dalam pembuatan suatu perjanjian internasional, terdiri atas tahapan-
tahapan sebagai berikut :
1. Perundingan
Langkah pertama yang harus ditempuh suatu negara saat hendak
melakukan sebuah negosiasi adalah mengutus wakil-wakil untuk melakukan
negosiasi. Wakil-wakil yang dikirimkan sebuah negara untuk melakukan
perundingan harus memenuhi kriteria yang dimuat dalam Konvensi Wina 1969
Pasal 7, negara dapat menunjuk seseorang yang ditunjuk untuk mewakili negara
tersebut dalam tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dengan membuat
surat kuasa penuh (full powers). Surat kuasa penuh tidak diperlukan apabila dari
praktek negara yang berunding mereka harus menganggap orang yang
bersangkutan sebagai mewakili negara pengirim dan melepaskan surat kuasa
penuh (Pasal 7 Konvensi Wina 1969). Pada ayat 2 menyatakan bahwa (a) Kepala
Negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri; (b) kepala perwakilan
diplomatik dalam rangka mengadopsi perjanjian antara Negara pengirim dan
negara penerima misi diplomatik; (c) Perwakilan Negara pada suatu konfrensi
internasional, organisasi internasional dan organnya dalam rangka mengadopsi
***********
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
perjanjian hasil konferensi, perjanjian dalam organisasi internasional dan
organnya dalam rangka mengadopsi perjanjian hasil konferensi, perjanjian dalam
organisasi internasional dan organnya; tidak memerlukan surat kuasa penuh.
Dalam konferensi diplomatik yang diadakan untuk membuat instrumen
multilateral, dipakai prosedur yang berbeda. Pada awal acara dilakukan
pengangkatan Komite tentang Kuasa Penuh (Committee of Full Powers) untuk
memberikan laporan umum kepada konferensi mengenai sifat surat kuasa penuh
yang dimiliki setiap wakil pada konferensi tersebut. Namun dalam prakteknya,
Komite ini tidak pernah menuntut diserahkannya instrumen-instrumen resmi
kuasa penuh tapi kadang-kadang untuk sementara menerima surat-surat
kepercayaan (credentials)†††††††††††
.
Dalam melakukan perundingan, para wakil negara tetap memelihara
hubungan dengan pemerintahannya dan pada setiap tahap dapat mengadaan
konsultasi dengan pemerintah negara pengirimnya.
2. Penandatanganan
Untuk menyatakan persetujuan mengenai mengikatnya sebuah perjanjian
internasional dibuatlah sebuah prosedur penandatangan tanpa ratifikasi apabila
suatu perjanjian internasional tersebut diperlukan berlaku dalam waktu singkat.
Maka perjanjian tersebut langsung berlaku tanpa mengunggu proses ratifikasi.
Aturannya terdapat dalam Pasal 12 Konvensi Wina 1969, yaitu:
(1) Persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam
bentuk tandatangan wakil negara tersebut;
a. Bila perjanjian tersebut yang menyatakannya
†††††††††††
Starke, ...An Introduction to International Law, hlm. 595.
Universitas Sumatera Utara
33
b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang berunding menyetujuinya
demikian;
c. Bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
dinyatakan dengan jelas waktu perundingan.
3. Pengesahan
Pengesahan adalah sebuah ekspresi untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional. Permasalahan yang kerap timbul mengenai pengesahan adalah
mengenai bagaimana jika dalam sebuah perjanjian internasional tidak diatur
mengenai pengesahan‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
. Penandatanganan suatu perjanjian internasional
tidak secara langsung mengikatkan suatu ikatan hukum bagi pada pihaknya.
Perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang pada negaranya
masing- masing. Perbedaan antara tandatangan dan ratifikasi dinggap perlu yang
akan memungkinkan pihak berwenang memiliki treaty making power untuk
memeriksa apakah para utusan yang diutus untuk berunding tidak keluar dari
instruksi§§§§§§§§§§§
. Ratifikasi ini terdapat pada Pasal 14 Konvensi Wina 1969 :
(1) Bahwa persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam
bentuk ratifikasi apabila:
a. Perjanjian tersebut mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam
bentuk raitifikasi.
b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk
mengadakan ratifikasi.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Sinclair, The Vienna Convention on The Law of Treaties,Manchester : manchester
University Press, 1973. hlm 36 §§§§§§§§§§§
Ibid., hlm. 117.
Universitas Sumatera Utara
34
c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan
syarat untuk meratifikasinya kemudian, atau,
d. Full powers deligasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi
diharuskan kemudian.
Selain dengan ratifikasi, persetujuan untuk mengikatkan diri terhapat
suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan cara pernyataan turut serta
(accession)************
, menerima (acceptence) atau persertujuan
(approval)††††††††††††
. Dilihat dari tahap pembentukannya, perjanjian internasional
terbagi atas:
1. Perjanjian internasional melalui dua tahap, biasanya mengenai hal-hal yang
bersifat teknis, hal-hal yang tidak begitu besar dan penting.
2. Perjanjian internasional melalui tiga tahap, dilakukan karena materi dari
perjanjian sangat penting sehingga diperlukan adanya ketelitian dan
pertimbangan yang matang sebelum menyatakan diri untuk terikat pada
perjanjian. Selain itu juga sebagai kontrol atas kepercayaan yang diberikan
pemerintah kepada utusannya dalam mewakili negara.
************
Pasal 15 Konvensi Wina tahun 1969. Aksesi adalah suatu perbuatan hukum dimana
suatu Negara yang bukan merupakan peserta asli perjanjian multilateral, menyatakan
persetujuannya untuk diikat perjanjian tersebut. ††††††††††††
Pasal 14 ayat (2) Konvensi Wina tahun 1969. Bidang internasional tidak ada perbedaan
antara ratifikasi dengan meneriman/akseptasi. Hanya ada perbedaan di bidang nasional di mana
formalitas akseptasi lebih sederhana daripada formalitas ratifikasi. Di Indonesia istilah yang
dipakai adalah ratifikasi. Demikian juga dengan istilah persetujuan/aprobasi yang berasal dari
kebiasaan internal suatu Negara.
Universitas Sumatera Utara
35
B. PERKEMBANGAN HUKUM NASIONAL INDONESIA MENGENAI
PERJANJIAN INTERNASIONAL
1. Pengertian Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional
Indonesia
Pengertian perjanjian internasional yang dikenal dalam berbagai lapisan
masyarakat di Indonesia sangat banyak dan beragam. Secara umum, masyarakat
memahami perjanjian internasional sebagai sebuah bentuk perjanjian yang bersifat
melintasi batas-batas negara.
Pengertian “perjanjian” yangg disebutkan dalam Pasal 11 Undang-
undang Dasar 1945 tidak mencakup perjanjian perdata antar negara. Dapat dilihat
dari penempatan pasal ini yang berada di antara Pasal 10 hingga Pasal 15, yang
pada penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa kekuasan Presiden dalam pasal ini
merupakan konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai kepala negara.
Perjanjian ini berarti dimaksudkan sebagai perjanjian publik. Hal ini dikarenakan
secara kebiasaan, setiap interaksi kepala negara selalu menghasilkan perjanjian
yang terikat dan tunduk pada hukum internasional. Seluruh dokumen yang
bersifat transnasional yang diadakan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan
negara-negara lainnya, atau dengan subyek hukum internasional bukan negara
disimpan di dalam ruang perjanjiang “Treaty Room” dibawah kewenangan
Kementrian Luar Negeri.
Dalam peraturan perundang-undangan telah disebutkan defenisi
Perjanjian Internasional, yang antara lain adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Universitas Sumatera Utara
36
Pasal 1 ayat (3) memberi defenisi perjanjian internasional, yaitu :
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis
oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia
yang bersifat hukum publik.”‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
b. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
Pada undang-undang ini dalam Pasal 1 ayat (1), perjanjian internasional
diartikan sebagai: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan
nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”§§§§§§§§§§§§
Dari dua undang-undang di atas dapat dengan dimengerti bagaimana
pengertian dari perjanjian internasional. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, implementasi perjanjian
internasional di Indonesia telah menunjukkan konsistensinya meskipun masih
terdapat banyak kesulitan dalam menentukan perbedaan yang berkaitan dengan
istilah “governed by international law”. Dikarenakan kesulitan itu semua
dokumen yang dibuat oleh Pemerintah RI dengan subyek hukum internasional
lain masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun secara hakikatnya
tunduk pada hukum nasional yang tidak menciptakan kewajiban atau hubungan
hukum. Dalam pelaksanaannya, ada ditemukan perjanjian yang bersifat
administratif yang dibuat oleh Kementrian Indonesia dengan Kementrian Negara
sahabat, termasuk fokus kita pada penulisan ini yaitu perjanjian antara Pemerintah
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 37 Tahun 1999,
LN No. 156 Tahun 1999, TLN No. 3882, ps. 1 ayat 3. §§§§§§§§§§§§
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000,
LN No. 185 Tahun 2000, TLN 4012, ps. 1 ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
37
daerah seperti Sister City. Perjanjian ini sering menjadi perbedaan pendapat di
kalangan akademisi mengenai statusnya sebagai suatu perjanjian internasional.
2. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Indonesia
mengenai Perjanjian Internasional
Indonesia sebagai anggota dari masyarakat Internasional sudah memiliki
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum berlakunya suatu
perjanjian internasional. disebutkan dalam Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga
(2001) dan Perubahan Keempat (2002) serta Undang-undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang perjanjian Internasional. Jika diurutkan secara kronologisnya,
peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia sejak
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini antara lain dapat diurutkan
sebagai berikut*************
:
1. Periode 18 Agustus 1945 – 18 Desember 1949, periode pertama berlakunya
UUD 1945 sebagai periode Revolusi.
2. Periode 18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, periode berlakunya UUD
RIS sebagai periode Federasi.Federal.
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, periode berlakunya UUD Sementara
1950 sebagai periode Demokrasi Liberal.
4. Periode 5 Juli 1959 – sekarang, yakni periode Kembali ke UUD 1945
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dapat dibagi menjadi
subperiode yakni:
a. Sub-periode 15 Juli 1959 – 11 Maret 1966, periode Orde Lama.
b. Sub-periode 11 Maret 1966 – 16 Mei 1998 periode Orde Baru.
*************
Parthiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun
2000..., hlm. 463.
Universitas Sumatera Utara
38
Jika kita telaah secara singkat, setelah 5 Juli 1959, yaitu dimana adanya
pernyataan tidak berlakunya lagi UUDS, dikeluarkan Dekrit Presiden RI 5 Juli
1959 yang isinya menyatakan UUDS berubah menjadi UUD 1945 kembali
sehingga berlakulah kembali UUD 1945. Pada saat itulah secara langsung dasar
hukum perjanjian Internasional Indonesia kembali ke Pasal 11 UUD 1945 dengan
rumusan yang tetap tanpa adanya perubahan. Adanya perdebatan yang terjadi
mengenai sebuah frase dalam Pasal tersebut yaitu “Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain”. Frase pada
pasal tersebut dianggap masih menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda
oleh berbagai pihak dan masih kurangnya rincian lebih lanjut mengenai frase
tersebut.
Keadaan yang menjadikan perdebatan itu kemudian diambil langkah
lanjutan, dimana Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royonh (DPRGR)
mengajukan surat kepada Presiden yang isinya bertanya mengenai kejelasan dari
makna yang terkandung pada Pasal 11 UUD 1945. Kemudian, Presiden merespon
dengan dikeluarkannya surat bernomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960
yang materinya beirikan bahwa perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan ke
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan sebelumnya disahkan
oleh Presiden adalah perjanjian-perjanjian yang umunya berbentuk treaty yang
materinya berisikan hal-hal sebagai berikut :†††††††††††††
a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik
Negara.
†††††††††††††
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
39
b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan
politik luar negeri Indonesia
c. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut
perundangundangan kita harus diatur dengan Undang-Undang
d. Perjanjian yang mengandung materi yang lazimnya berbentuk agreement.
Hal penting lainnya yang berlangsung pada sejarah perkembangan
perjanjian Internasional di Indonesia yaitu jatuhnya kekuasaan orde barupada 16
Mei 1998 sehingga melahirkan orde reformasi yang salah satu agenda pentingnya
dalah mengamandemen UUD 1945. Salah satu obyek amandemennya adalah
Pasal 11 yang mengatur tentang perjanjian internasional. Dalam perkembangan
proses amandemen, berjalannya amandemen pertama dan kedua terhadap UUD
1945 belum mengubah isi dari Pasal 11. Namun pada amandemen selanjutnya,
yaitu amandemen ketiga (2001) dan keempat (2002), Pasal 11 menjadi salah satu
pasal yang diubah‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
. Pelaksanaan dari peraturan perundangan-undangan
Pasal 11 UUD 1945, setelah kurang lebih empat puluh lima tahun kemudian, yang
merupakan dasar awalnya yaitu Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22
Agustus 1260 selanjutnya diwujudkan dalam bentuk Undang-undang, yaitu
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang
secara umum berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000.
Berikut adalah beberapa alasan dibuatnya UU Perjanjian Internasional,
yakni sebagai berikut :
1. Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang
diatur oleh Pasal 11 UUD 1945 terlalu ringkas.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
40
2. Tidak adanya ketentuan hukum yang jelas selama hampir 50 tahun
mengakibatkan terjadinya kontroversi dan tidak terkoordinasinya secara baik
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang tentu pada akhirnya
akan merugikan kepentingan bangsa dan pembangunan hukum nasional di
Indonesia.
3. Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960, yang digunakan sebagai pedoman
untuk membuat dan mensahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai
dengan semangat reformasi karena bukan suatu produk hukum yang sesuai
dengan hukum tata negara di Indonesia yang lebih tegas, jelas dan mengikat.
4. Adanya peningkatan dan intensitasi pembuatan perjanjian internasional yang
dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan negara manapun ataupun
dengan organisasi dan subyek hukum internasional lainnya sebagai akibat dari
perkembangan zaman.
Pada awalnya, tahapan pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional hanya diatu dalam beberapa pasal dalam bab III Rancangan Undang-
undang (RUU) tentang Hubungan Luar Negeri. Lalu Kementrian Luar Negeri
menyatakan bahwa hal-hal terkait Perjanjian Internasional perlu diatur dalam
RUU tersendiri sehingga RUU mengenai Hubungan Luar Negeri yang sudah
diinventarisir di Sekretariar Kabinet ditarik kembali guna direvisi sebelum
kembali diajukan ke DPR-RI. Pada revisi tersebut, semua pembahasan mengenai
perjanjian internasional yang awalnya direncanakan akan dibubuhkan pada Bab
III RUU Hubungan Luar Negeri diubah dengan satu pasal yang menjelaskan
bahwa seluruh hal yang terkait perjanjian internasional akan diatur dalam undang-
undang tersendiri. Kemudiaan RUU tersebut kembali dirancang oleh Kementrian
Universitas Sumatera Utara
41
Luar Negeri, dan setelah rampung RUU tersebut disosialisasikan ke kalangan
universitas, akademisi, seluruh departemen dan lembaga pemerintah non
departemen lain guna menampung masukan, saran, tanggapan, usulan dan
perbaikan. Setelah ditampungnya masukan dari berbagai kalangan, RUU
disempurnakan kembali dan dirapatkan ke seluruh departemen, lembaga
pemerintah non-departemen dan kalangan universitas sebelum akhirnya dikirim
kepada Sekretaris Kabinet dan kemuadian disampaikan kepada DPR-RI.
RUU tersebut kemudian dibahas di DPR-RI dengan penyempurnaan dan
perubahan yang akhirnya berhasil diundangkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 23 Oktober 2000 sebagai Undang-undang Nomor 24
Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Universitas Sumatera Utara
42
BAB III
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBUAT
PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Indonesia adalah negara berbentuk kesatuan yang terdesentralisasi. Di
dalam konstitusinya, Indonesia mengarahkan mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia kepada sistem desentralisasi dalam pelaksanaann
pemerintahannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 jo. Pasal 37 ayat
(5), dan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 1 ayat (3) berbunyi, “Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik§§§§§§§§§§§§§
.
Pada pasal 37 ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Khusus mengenai bentuk
negara kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan”**************
. Kemudian pada Pasal 18 ayat (1) UUD 1945
berbunyi,”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dam kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.”††††††††††††††
Berdasarkan ketentuan pada pasal-pasal
tersebut dalam disimpulkan bahwa UUD 1945 tidak memandang sentralisasi dann
desentralisasi sebagai dikotomi melainkan sebuah kontinum.
Undang-undang yang saat ini berlaku dalam hal mengatur pemerintahan
daerah adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
§§§§§§§§§§§§§
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, pasal 1 (ayat) 3. **************
Ibid., pasal 37 (ayat) 5. ††††††††††††††
Ibid., pasal 18 (ayat) 1.
Universitas Sumatera Utara
43
Daerah. Pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Daerah
kabupaten dan kota‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
.” Kemudian pada pasal 3 ayat (1) disebutkan
“Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai Pemerintahan
Daerah.”§§§§§§§§§§§§§§
Berdasarkan ketentuan pada pasal-pasal tersebut, maka baik
yang terdapat pada UUD 1945 maupun di Undang-undang No. 23 Tahun 2014
dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang
terdesentralisasi. Hal ini ditandai dengan adanya pemerintahan daerah
sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-undang No. 23 tahun
2014.
Eksistensi pemerintahan daerah sangat krusial bagi kehidupan suatu
negara layaknya Indonesia yang memiliki wilayah luas, penduduk yang beragam
dengan jumlah yang cukup besar, keberagaman dalam berbagai hal, baik
kehidupan sosial, budaya maupun keberagaman dalam kondisi geografis tiap-tiap
wilayahnya. Pemerintah Daerah diharapkan untuk dapat berperan sebagai
pembantu dari tugas pemerintah dalam menjalankan pemerintahan.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No.23 Tahun 2014,
LN No. 244 Tahun 2014, TBLN No 5587, Pasal 2 ayat (1) §§§§§§§§§§§§§§
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No.23 Tahun 2014,
LN No. 244 Tahun 2014, TBLN No 5587, Pasal 3 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
44
1. Pengertian Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Pemerintah Daerah
Kegiatan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah ini
berasal dari pembagian atau distribusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah.
Hal ini diistilahkan sebagai desentralisasi. Menurut Undang-undang Nomor 23
tahun 2014, Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh
pemetintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.***************
Asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan otonomi daerah.†††††††††††††††
Desentralisasi berasal dari istilah asing,
yaitu Decentralization. Dalam kamus bahasa Inggris, konsep decentralization
memiliki arti yang bervariasi.
Defenisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
. Sedangkan daerah otonom atau yang selanjutnya disebut
daerah memiliki pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakay setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. §§§§§§§§§§§§§§§
***************
Ibid., Pasal 1 butir 8 †††††††††††††††
Ibid., Pasal 1 butir 7 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., Pasal 1 butir 6 §§§§§§§§§§§§§§§
Ibid., Pasal 1 butir 12
Universitas Sumatera Utara
45
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewanperwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945****************
. Sedangkan
pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom††††††††††††††††
.
2. Desentralisasi dalam Negara Kesatuan
Pembagian kekuasaan pemerintahan secara vertikal yang melahirkan
desentralisasi dan otonomi daerah, pada hakikatnya merupakan komplementer
(pelengkap) dari pembagian kekuasaan secara horizontal yang melahirkan
kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dalam negara kesatuan,
desentralisasi diselenggarakan oleh Pemerintah (Pusat), dimana kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah daerah merupakan sisa dari kewenangan yang dimiliki
oleh Pemerintah (pusat).
Desentralisasi memperlihatkan bahwa adanya pola hubungan
kewenangan antar organisasi. Sekalipun hubungan antara local government
dengan Pemerintah merupakan hubungan antar organisasi, local government atau
dengan kata lain disebut daerah otonom merupakan ciptaan pemerintah. Maka
itulah, daerah otonom keberadaannya dependent dan sub-ordinate terhadap
Pemerintah, sehingga akan menghasilkan pola hubungan kewenangan intra
organisasi. Secara konsepnya, desentralisasi oleh para pakar administrasi publik
****************
Ibid., Pasal 1 butir 2 ††††††††††††††††
Ibid., Pasal 1 butir 3
Universitas Sumatera Utara
46
sering dipandang sebagai instrumen yang hendak dicapai untuk tujuan tertentu.
Tujuan tersebut umumnya tertulis dalam kebijakan nasional, peraturan perundang-
undangan, atau pernyataan-pernyataan politik dari politik nasional mengenai
desentralisasi. Hal ini dikarenakan tujuan tersebut bersifat filosofi dalam
penyelenggaraan desentralisasi suatu negara, sehingga seringkali dikarenakan
banyaknya tujuan yang hendak dicapai melalui desentralisasi, tiap negara
membuat skala prioritas dalam pelaksanaan pemerintah daerahnya masing-
masing.
3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
Menurut Undang-undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, dalam pelaksanaannya kekuasaan pemerintahan tertinggi menurut Pasal 5
ayat (1) adalah Presiden Republik Indonesia. Kekuasaan tersebut kemudian akan
diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan. Pemerintah pusat melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
daerah‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
. Presiden memegang tanggung jawab akhir atas
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat
dan daerah§§§§§§§§§§§§§§§§
.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi dan kabupaten/kota terdiri
atas*****************
; Kepala Daerah, DPRD dan dibantu perangkat daerah. Dalam
penyelenggaraan nya, pemerintah daerah wajib berpedoman pada asas
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No.23 Tahun 2014,
LN No. 244 Tahun 2014, TBLN No 5587, Pasal 7 ayat (1) §§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid. Pasal 7 ayat (2) *****************
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah ,UU No. 9 Tahun 2015, LN No. 58, TBLN No.5679. Pasal 57
Universitas Sumatera Utara
47
penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas†††††††††††††††††
: (a)
kepastian hukum; (b) tertib penyelenggara negara; (c) kepentingan umum; (d)
keterbukaan; (e) proporsionalitas; (f) profesionalitas; (g) akuntabilitas; (h)
efisiensi; (i) efektivitas ; dan (j) keadilan.
Secara garis besar, berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 klasifikasi
urusan pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni; urusan pemerintahan absolut,
urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Urusan Pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat§§§§§§§§§§§§§§§§§
. Urusan pemerintahan
konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota******************
. Urusan
pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan††††††††††††††††††
.
Sebagai salah satu unsur dari penyelenggaran urusan pemerintahan,
pemerintah daerah memiliki tugas dan fungsi di dalam berbagai bidang. Berikut
beberapa bidang yang merupakan capaian bagi pemerintah daerah menurut
Undang-undang No. 23 Tahun 2014 yaitu Urusan pemerintahan absolut
pemerintah meliputi (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d)
kemanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f)
agama‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
. Dalam penyelenggaraan urusan tersebut di atasm
pemerintah pusat dapat (a) melaksanakan sendiri ; (b) melimpahkan wewenang
†††††††††††††††††
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah ,UU No. 9 Tahun 2015, LN No. 58, TBLN No.5679. Pasal 58. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No.23 Tahun 2014,
LN No. 244 Tahun 2014, TBLN No 5587. pasal 9 ayat (1) §§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid., pasal 9 ayat (2) ******************
Ibid., pasal 9 ayat (3) ††††††††††††††††††
Ibid., pasal 9 ayat (4) ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., pasal 10 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
48
kepada instansi Vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi§§§§§§§§§§§§§§§§§§
.
Selain urusan pemerintah absolut, terdapat urusan pemerintahan
konkuren. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah
terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan
pilihan*******************
. Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud
terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan
Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar†††††††††††††††††††
yang berpedoman pada standar pelayanan minimal yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah daerah baik
provinsi atau kabupaten/kota wajib memprioritaskan 6 (enam) urusan pelayanan
dasar meliputi‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
:
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;
e. Ketentraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. Sosial;
§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid., pasal 10 ayat (2) *******************
Ibid., pasal 11 ayat (1) †††††††††††††††††††
Ibid., pasal 11 ayat (2) ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., pasal 12 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
49
Sedangkan urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar, meliputi§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
:
a. Tenaga kerja;
b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
c. Pangan;
d. Pertanahan;
e. Lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan
Sedangkan urusan pemerintahan Pilihan, meliputi********************
:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid., pasal 12 ayat (2) ********************
Ibid., pasal 12 ayat (3)
Universitas Sumatera Utara
50
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan
daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksudkan di atas
didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas serta
kepentingan strategis nasional††††††††††††††††††††
. Berdasarkan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam pembagian pemerintahan konkuren, kriteria urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi. Selain itu, kriteria urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah kabupaten/ kota meliputi§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
Daerah kabupaten/kota; dan/atau
††††††††††††††††††††
Ibid., pasal 13 ayat (1) ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., pasal 13 ayat (3) §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid., pasal 13 ayat (4)
Universitas Sumatera Utara
51
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Daerah dalam
menetapkan kebijakan Daerah wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan:
a. sendiri oleh Daerah provinsi;
b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas
Pembantuan; atau
c. dengan cara menugasi Desa.
Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
berdasarkan asas Tugas Pembantuan. Tugas pembantuan adalah penugasan
pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemeritnah
daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Pada pasal
236 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa “untuk menyelenggarakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk
perda*********************
”.
B. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBUATAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT PERUNDANG -
UNDANGAN DI INDONESIA
*********************
Ibid., pasal 236 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
52
1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian
internasional dengan jelas disebutkan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri pada Pasal 1 ayat 1, yang berbunyi
,”Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional
dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah,
atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik,
lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.”†††††††††††††††††††††
Pasal tersebut di atas menyatakan bahwa salah satu pelaku setiap
kegiatan terkait aspek regional dan internasional salah satunya adalah Pemerintah
Daerah. Pemerintah Daerah dalam hal mengadakan hubungan luar negeri harus
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang disebutkan dalam Keputusan
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK.09/A.KP/XII/2006/01,
yakni:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
1. Dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Negara
Indonesia dan dalam rangka Kesatuan Negara Republik Indonesia.
2. Sesuai dengan bidang kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan nasional republik Indonesia.
3. Mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)
4. Tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri
5. Tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri masing-masing
negara.
†††††††††††††††††††††
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No.37 tahun
1999, LN No.156 tahun 1999, pasal 1 (ayat) 1. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia, Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor
SK.09/A.KP/XII/2006/01
Universitas Sumatera Utara
53
6. Berdasarkan asas persamaan hak dan tidak saling memaksakan kehendak
7. Memperhatikan prinsip persamaan kedudukan, pemberian manfaat dan
saling menguntungkan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat
8. Mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional dan
daerah serta pemberdayaan masyarakat
Kemudian pada Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 yang
berbunyi, “Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri,
pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar
Negeri di bidang tertentu”§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Di pasal ini dijelaskkan Presiden
dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri dalam hal mengadakan
Hubungan Luar Negeri. Disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) dijelaskan kembali
penunjukan perjabat yang dilakukan Presiden ini sebagaimana yang dimaksudkan
pada Pasal 7 ayat (1) harsu dengan melakukan konsultasi dan koordinasi dengan
Menteri Luar Negeri.
Tata cara koordinasi dengan Menteri sebagai pelaksana hubungan dan
politik luar negeri, dengan tujuan melindungi segala kepentingan nasional dan
memberikan arahan agar setiap pembuatan perjanjian internasional nantinya tidak
bertentangan dengan ketentuan kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia.
Selain itu, Menteri Luar Negeri harus memastikan tata cara pelaksanaannya
dengan pedoman yangg ditetapkan dalam Undang-undang mengenai Perjanjian
Internasional. Tata cara koordinasi dalam hal ini dapat dilakukan dengan rapat
antar departemen atau dengan komunikasi secara surat-menyurat antara lembaga-
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri,
UU No.37 tahun 1999, LN No.156 tahun 1999 Pasal 7 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
54
lembaga dengan departemen Luar Negeri untuk meminta pandangan politis dan
yuridis mengenai rencana pembuatan perjanjian internasional.**********************
Pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 menyatakan bahwa
Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun departemen,
yang memili rencana untuk membuat suatu perjanjian internasional, pertama-tama
harus melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan koordinasi dengan
Menteri. Namun pada Pasal 14 disebutkan bahwa Pejabat lembaga pemerintah,
baik departemen maupun nondepartemen, yang akan menandatangani perjanjian
internasional yang diadakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
Pemerintah negara lain, organisasi internasional atau subyek hukum internasional
lainnya, harus mendapat surat kuasa dari Menteri. Surat yang dimaksud disini
adalah surat kuasa penuh atau Full Powers sebagaimana kita ketahui di dalam
perjanjain internasional mengenai wakil yang berhak mewakilkan suatu negara
dalam hal mengadakan sebuah perjanjian internasional. Dengan adanya pemberian
sutrat kuasa penuh atau full powers maka dalam penandatanganan sebuah
perjanjian menjadi atas nama Pemerintah Indonesia.
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
Salah satu bukti dari sudah terjadinya hubungan luar negara satu negara
atau dengan negara lainnya, atau dengan subyek hukum internasional bukan
negara lainnya adalah umumnya terbentuk suatu kesepakatan yang dalam hal ini
diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-
undang Nomor 2000 tentang Perjanjian Internasional berbunyi “Lembaga negara
**********************
Agustinus Supriyanto dan Andi Sandi ATT, Pengembangan Potensi Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Melalui Kerja sama Sister Province, Mimbar Hukum Universitas
Gajah Mada (Mei 2001) hlm. 128.
Universitas Sumatera Utara
55
dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, ditingkat
pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian
internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai
rencana tersebut dengan Menteri.”††††††††††††††††††††††
Pada pasal tersebut, yang
dimaksud dengan Menteri dalam hal ini adalah Menteri yang bertanggung jawab
di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri seperti apa yang disebutkan
dalam Pasal 1 ayat 9. Undang-undang tentang perjanjian internasional ini menjadi
acuan dasar untuk menciptakan one door policy dalam mekanisme pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional, termasuk dalam hal pembuatan perjanjian
sister city. Yang dimaksud dengan one door policy adalah peranan dari
Kementrian Luar Negeri dalam memberikan pandangan politis dan yuridis
mengenai rencana pembuatan perjanjian internasional.
Selain hal yang disebutkan di atas, dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang tentang Perjanjian Internasional disebutkan‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
:
“...Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional
yang berlaku setelah penandatangan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana
disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut”
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat 1 ini dikatakan bahwa:
“Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan adanya pengesahan
dalam pemberlakuan perjanjian tersebut dan memuat materi yang bersifat
teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, dapat
langsung berlaku setelah penandatangan, pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik atau setelah melalui cara-cara lain sebagaimana
disepakati para pihak pada perjanjian internasional. Perjanjian yang
termasuk dalam kategori tersebut di antaranya adalah perjanjian yang secara
teknis mengatur kerja sama di bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata,
††††††††††††††††††††††
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No.24 tahun
2000, LN No.185 tahun 2000, pasal 1 (ayat) 1. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No.24 tahun
2000, LN No.185 tahun 2000, pasal 15 (ayat) 1.
Universitas Sumatera Utara
56
penerangan, kesehatan, keluarga berencana, pertanian, kehutanan, serta
kerja sama antarpropinsi dan antarkota.”
Dari penjelasan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Perjanjian Internasional
itu disebutkan adanya frasa “kerjasama provinsi dan antarkota” dan perjanjian
kerjasama tersebut merupakan perjanjian internasional yang dibuat oleh
pemerintah daerah.
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Tidak hanya dalam Undang-undang Hubungan Luar Negeri dan Undang-
undang Perjanjian Internasional saja yang memuat ketentuan tentang kewenangan
pemerintah daerah dalam mengadakan hubungan luar negeri dan perjanjian
internasional, tetapi juga Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah juga menyebutkan hal tersebut. Pasal 10 ayat 1 yang
menyatakan bahwa Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d.
Yustisi; e. Moneter dan Fiskal nasional; dan f. Agama. Dari penjelasan pasal di
atas, yang dimaksud dengan “urusan politik luar negeri” adalah mengangkat
pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan
lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian
dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan
sebagainya. Hal-hal yang disebutkan diatas merupakan kewenangan pemerintahan
absolut, yang menurut Pasal 10 ayat 2 huruf a adalah Pemerintah Pusat. Namun
pada Pasal 10 ayat 2 huruf b dinyatakan pula kewenangan ini dapat diturunkan ke
Pemerintahan Daerah sebagai wakil Pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
57
Pernyataan tersebut berarti bahwa pemerintah daerah dalam hal urusan
pemerintahan absolut mengenai politik luar negeri yang salah satunya
menyebutkan tentang perjanjian internasional diperbolehkan untuk diadakan oleh
pemerintah daerah namun dalam halnya berkedudukan sebagai wakil dari
pemerintah pusat.
Pada Pasal 101 ayat 1 huruf f Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan DPRD Provinsi mempunyai tugas dan
wewenang yaitu memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah provinsi
Yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional di Daerah provinsi” dalam
ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah Pusat dan pihak luar negeri
yang berkaitan dengan kepentingan Daerah provinsi. Kemudian pada Pasal 101
ayat 1 huruf g menyatakan tugas DPRD Provinsi lainnya yakni memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah provinsi. Sedangkan yang dimaksud dengan ”kerja sama
internasional” dalam ketentuan ini adalah kerja sama antara Pemerintah Daerah
provinsi dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama provinsi ”kembar” (sister
city), kerja sama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan
pinjaman/ hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 154 ayat 1 huruf f dan g Undang-undang No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah,DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan
wewenang yaitu (f) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian international di Daerah (g)
Universitas Sumatera Utara
58
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Yang dimaksud dengan
”perjanjian internasional di Daerah kabupaten/kota” dalam ketentuan ini adalah
perjanjian antara Pemerintah Pusat dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan
kepentingan Daerah kabupaten/kota. Yang dimaksud dengan ”kerja sama
internasional” dalam ketentuan ini adalah kerja sama Daerah ntara Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama
kabupaten/kota ”kembar” (sistercity), kerja sama teknik termasuk bantuan
kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan
modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 363 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan
efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Daerah dengan: a.
Daerah lain; b. pihak ketiga; dan/atau c. lembaga atau pemerintah daerah di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama
dengan Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikategorikan
menjadi kerja sama wajib dan kerja sama sukarela. Pada pasal ini menyatakan
bahwa pemerintah boleh saja mengadakan perjanjian internasional selama maksud
dan tujuan serta tata caranya tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
Pasal 367 Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
yang menyatakan bahwa Kerja sama Daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah
Universitas Sumatera Utara
59
daerah di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (2) huruf c
meliputi: a. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. pertukaran
budaya; c. peningkatan kemampuan teknis dan manajemen pemerintahan; d.
promosi potensi Daerah; dan e. kerja sama lainnya yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama Daerah dengan
lembaga dan/atau pemerintah daerah di luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Pemerintah Pusat. Kerja sama
Daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah daerah di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan
perundangundangan.
4. Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Disebutkan pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pemerintah Aceh atau
yang disebut dengan UUPA bahwa Pemerintah Aceh dan kabupaten atau kota
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor
publik selain yang menjadi kewenangan Pemerintah. Kewenangan Pemerintah
yang dimaksud adalah urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Pada pasal ini
dinyatakan bahwa pemerintah Aceh baik dalam tingkat provinsi, kabupaten atau
kota diperbolehkan untuk mengurus urusan pemerintahannya disegala sektor
selain urusan pemerintah pusat. Dalam Pasal 8 UUPA dikatakan rencana
persetujuan internasional yang menyangkut tentang Pemerintah Aceh yang dibuat
pemerintah harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimmbangan DPR Aceh
(DPRA).
Pada Pasal 9 ayat (1) dikatakan bahwa Pemerintah Aceh dapat
mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang
Universitas Sumatera Utara
60
menjadi kewenangan Pemerintah, kemudian pada Pasal 23 dinyatakan beberapa
tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam hal
mengadakan perjanjian internasional yaitu pada huruf g dan h yang menyatakan:
(g) DPRA memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional
yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh; (h) Memberikan pertimbangan terhadap
rencana kerjasama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan
langsung dengan Pemerintah Aceh.
Dari uraian di atas, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tentang
bagaimana kewenangan suatu Daerah ataupun daerah otonomi khusus seperti
Aceh dalam mengadakan suatu perjanjian internasional. Pemerintah Aceh seperti
yang dituangkan dalam Undang-undang Pemerintah Aceh diberikan kewenangan
untuk melakukan kerjasama internasional selama perjanjian tersebut tidak
mengganggu gugat kewenangan Pemerintah Pusat.
C. PROSEDUR PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH
PEMERINTAH DAERAH
Dengan dijadikannya Daerah sebagai salah satu aktor dalam Hubungan
Luar Negeri sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No.37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, dan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang
pemerintah Daerah, maka hal ini menyebabkan oemerintah daerah membutuhkan
suatu pengaturan dan panduan mengenai prosedur bagaimanakah suatu perjanjian
internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah. Prosedur tersebut dituangkan
dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor :
09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerja
Universitas Sumatera Utara
61
Sama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Sebagaimana yang telah disebutkan
pada Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
terkait dengan hubungan dan kerjasama luar negeri, berdasarkan Undang-undang
No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No.24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatakan wajib untuk
mengkonsultasikan dan mengkoordinasikan setiap hubungan luar negeri yang
hendak dilakukan Pemerintah Daerah dengan Menteri yang berwenang, yakni
Menteri Luar Negeri.
Hubungan dan kerjasama luar negeri oleh Pemerintah Daerah harus
diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri. Bidang-bidang hubungan dan
kerjasama luar negeri oleh Daerah yang memerlukan konsultasi dan koordinasi
dengan Departemen Luar Negeri antara lain adalah sebagai berikut :
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
a. Kerjasama ekonomi
(1) Perdagangan
(2) Investasi
(3) Ketenagakerjaan
(4) Kelautan dan Perikanan
(5) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(6) Kehutanan
(7) Pertanian
(8) Pertambangan
(9) Kependudukan
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor :
09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri
oleh Pemerintah Daerah, Butir 16.
Universitas Sumatera Utara
62
(10) Pariwisata
(11) Lingkungan hidup
(12) Perhubungan
b. Kerjasama Sosial Budaya
(1) Pendidikan
(2) Kesehatan
(3) Kepemudaan
(4) Kewanitaan
(5) Olahraga
c. Bentuk Kerjasama lain.
Departemen Luar Negeri sebagai koordinator penyelenggaraan hubungan
dan kerjasama luar negeri berperan untuk memberi saran dan pertimbangan
politis/yuridis terhadap program kerjasama yang dilaksanakan oleh Daerah
daengan badan/lembaga di luar negeri. Sedangkan departemen teknis memberikan
saran dan pertimbangan mengenai materi /substansi program
kerjasama***********************
.
Kerjasama luar negeri yang dilakukan Pemerintah Daerah harus dengan
syarat-syarat sebagai berikut :†††††††††††††††††††††††
a. Dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
b. Sesuai dengan bidang kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan nasional Republik Indonesia;
c. Mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD);
***********************
Ibid., Butir 17. †††††††††††††††††††††††
Ibid., Butir 20.
Universitas Sumatera Utara
63
d. Tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri;
e. Tidak mengaarah pada campur tangan urusan dalam negeri masing-masing
negara;
f. Berdasarkan asas persamaan hak dan tidak saling memaksakan kehendak;
g. Memperhatikan prinsip persamaan kedudukan, memberikan manfaat dan
saling menguntungkan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat;
h. Mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional dan
Daerah serta pemberdayaan masyarakat.
Kemudian terdapat pula pernyataan bahwa pelaksanaan kerjasama luar
negeri haruslah aman dari berbagai segi, antara lain :‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
1. Politis : tidak bertentangan dengan Politik Luar Negeri dan kebijakan
Hubungan Luar Negeri Pemerintah Pusat pada umumnya.
2. Keamanan : kerjasama luar negeri tidak digunakan atau disalahguunakan
sebagai akses atau kedok bagi kegiatan asing (spionase) yang dapat
mengganggu atau mengancam stabilitas dan keaman dalam negeri.
3. Yuridis : terdapat jaminan kepastian hukum yang secara maksimal dapat
menutup celah-celah (loopholes) yang merugikan bagi pencapaian tujuan
kerjasama.
4. Teknis : tidak bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
Departemen teknis yang terkait.
Dalam melaksanakan kerjasama, terdapat dua pihak yang terkait di
dalamnya. Yakni pihak Indonesia, yang antara lain adalah Departemen Luar
Negeri, Perwakilan RI di Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., Butir 21.
Universitas Sumatera Utara
64
teknis, Pemerintah Daerah dan Lembaga Non-Departemen di Pusat dan Daerah.
pihak lainnya adalah pihak asing yang terdiri atas Pemerintah Daerah/pemerintah
Negara Bagian, Badan/lembaga Internasional, Badan/lembaga Negara Asing,
Lembaga Non Pemerintah/Lemabaga Swadaya Masyarakat Asing dan Badan
Usaha Swasta Asing. Dalam pelaksanaan kerjasama ini, pihak-pihak terkait perlu
mempersiapkan materi kerjasama yang memuat hal-hal sebagai berikut
:§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
(1) Subyek kerjasama
(2) Maksud dan tujuan kerjasama
(3) Obyek kerjasama
(4) Ruang lingkup kerjasama dan kewenangan daerah
(5) Hak, kewajiban dan tanggung jawab
(6) Tata cara pelaksanaan
(7) Pengorganisasian
(8) Pembiayaan
(9) Penyelesaian perselisihan
(10) Perubahan (amandemen) kerjasama
(11) Jangka waktu kerjasama
(12) Keadaan memaksa (force majeur)
(13) Pemberlakuan dan pengakhiran kerjasama
Mekanisme hubungan dan kerjasama luar negeri terjadi atas prakarsa dua
pihak yang terkait yaitu prakarsa Pihak Indonesia dan Prakarsa Pihak Asing.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid., Butir 22.
Universitas Sumatera Utara
65
Berikuy merupakan mekanisme hubungan dan kerjasama luar negeri atas prakarsa
Pihak Indonesia, yakni :************************
a. Pemerintah Daerah sebagai instansi pemrakarsa melakukan koordinasi
dengan Departemen Luar Negeri serta instansi terkait dan mengajukan
usulan program kerjasama yang berisi latar belakang kerjasama, tujuan,
sasaran, pertimbangan, porensi daerah, keunggulan komparatif, dan profil
pihak asing yang akan menjadi mitra kerjasama;
b. Pemerintah Daerah sebagai instansi pemrakarsa dapat mengadakan rapat
dengan mengundang Departemen Luar Negeri dan instansi terkait untuk
membicarakan usulan program tersebut;
c. Koordinasi dapat juga dilakukan melalui komunikasi resmi surat-menyurat;
d. Departemen Luar Negeri selanjutnya memberikan pertimbangan
politis/yuridis Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri sesuai dengan
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia;
e. Departemen Luar Negeri berdasarkan masukan dari Perwakilan RI
menyediakan informasi yang diperlukan dalam rangka menjalin kerjasama
dengan pihak asing;
f. Departemen Luar Negeri mengkomunikasikan rencana kerjasama denga
Perwakilan Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia dan
Perwakilan RI di luar negeri;
g. Departemen Luar Negeri memberitahukan hasil koordinasi kerjasama
denagn Pihak Asing kepada instansi terkait di Daerah dan Perwakilan RI di
luar negeri;
************************
Ibid., Butir 24.
Universitas Sumatera Utara
66
h. Kesepakatan kerjasama antara Pihak Asing dan Daerah dituangkan dalam
bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai dengan
pertimbangan Departemen Luar Negeri. Dalam hal diperlukan Surat Kuasa
(full powers) dari Menteri Luar Negeri, dapat diberikan setelah dipenuho
persyaratan-persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
i. Departemen Luar Negeri ikut serta memantau dan melakukan evaluasi
terhadap tindak lanjut dan pelaksanaan kerjasama.
Sedangkan mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri atas
prakarsa dari Pihak Asing, adalah sebagai berikut :††††††††††††††††††††††††
a. Setelah melalui pertimbangan politis/yuridis Departemen Luar Negeri
secara resmi menyampaikan tawaran program kerja sama dari Perwakilan
RI di Luar Negeri dan atau Pihak Asing kepada Pemerintah Daerah dan atau
instansi terkait;
b. Terhadap tawaran program kerja sama tersebut, Pemerintah Daerah secara
resmi menyampaikan tanggapan di antaranya berupa usulan program kerja
sama yang berisi latar belakang kerja sama, tujuan, sasaran, pertimbangan,
potensi Daerah, keunggulan komparatif, dan profil Daerah kepada
Departemen Luar Negeri dan Departemen Dalam Negeri serta instansi yang
terkait langsung dengan substansi dan materi kerja sama;
c. Usulan program kerja sama dibahas dalam rapat interdep yang
dikoordinasikan oleh Departemen Luar Negeri atau instansi yang terkait
††††††††††††††††††††††††
Ibid., Butir 25.
Universitas Sumatera Utara
67
langsung dengan substansi dan materi kerja sama dengan melibatkan
Daerah;
d. Departemen Luar Negeri menyampaikan hasil rapat interdep kepada
Perwakilan RI di luar negeri dan berkoordinasi dengan Perwakilan
Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia;
e. Departemen Luar Negeri memberitahukan hasil koordinasi kerja sama
dengan Pihak Asing kepada Instansi terkait di daerah;
f. Kesepakatan kerja sama antara Pihak Asing dan Daerah dituangkan dalam
bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan, sesuai dengan
pertimbangan Departemen Luar Negeri. Dalam hal diperlukan Surat Kuasa
(Full powers ) dari Menteri Luar Negeri, dapat diberikan setelah dipenuhi
persyaratan-persyaratan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Apabila telah terlaksananya prosedur dalam pembuatan perjanjian
internasional di atas, MoU akan dituangkan dalam bentuk tertulis untuk kemudian
ditandatangani kedua belah pihak. Maka dari itu dokumen perjanjian internasional
tersebut berlaku mengikat kedua belah pihak dan harus disepakati sesuai dengan
tanggal kesepakatan mengenai pelaksaan kerjasama yang diatur dalam perjanjian
internasional terkait. Langkah selanjutnya adalah Pemerintah Daerah wajib untuk
mengalokasikan dana yang ditimbulkan dari kerjasama terkait. Sumber dari dana
ini dapat diperoleh dari APBN, APBD ataupun sumber lainnya yang sah. Pada
tahap awal dari pelaksanaan perjanjian kerjasama dapat dibentuk tim guna
pembahasan pengelompokan prioritas program. Pelaksanaan kerjasama tersebut
nantinya akan dievaluasi secara berkala dari waktu ke waktu guna untuk melihat
apakah kerjasama yang dilakukan berjalan sesuai dengan ekspektasi dan
Universitas Sumatera Utara
68
membuahkan hasil seperti yang diinginkan atau tidak. Jika pelaksanaan program
kiranya tidak berjalan sebagaimana seharusnya harus dicari permasalahannya
serta harus ada pembahasan mengenai solusi dari permasalahan tersebut dari
kedua belah pihak. Dari Pihak Indonesia diperbolehkan untuk Mendagri
mengadakan koordinasi dengan Kemenlu untuk menghentikan kerjasama dengan
berbagai alasan.
Apabila terjadi tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kepentingan
nasional atau pertentangan dengan kebijakan politikk luar negeri RI, perundang-
undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional, Menteri Luar Negeri
RI dapat mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu demi dipatuhinya
ketentuan sebagaimana yang idmaksud dalam Undang-undagn No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
. Apabila Daerah membutuhkan
informasi, konsultasi dan koordinasi yang berkaitan dengan Hubungan dan
Kerjasama Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri, dapat menghubungi
Departemen Luar Negeri , Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjain
Internasional.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid., Butir 26
Universitas Sumatera Utara
69
BAB IV
ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL KERJASAMA
SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DENGAN
PEMERINTAH KOTA HIGASHIMATSUSHIMA
A. LATAR BELAKANG PERJANJIAN KERJASAMA SISTER CITY
(KOTA BERSAUDARA)
1. Sejarah Singkat Perkembangan Sister City
Sister City adalah jaringan diplomasi yang menimbulkan dan
mengkokohkan hubungan antara komunitas-komunitas di Amerika Serikat dan
juga di negara-negara lain, khususnya melalui pembentukan “sister cities”. Lebih
dari 2000 kota, negara bagian dan kabupaten berkerja sama dalam 136 negara di
seluruh dunia. Organiasi ini memiliki semboyan “strives to build global
cooperation at the municipal level, promote cultural understanding and stimulate
economic development”. Atau secara singkat dapat dikatakan bertujuan untuk
mempromosikan pemahaman budaya dan melakukan simulasi terhadap
perkembangan ekonomi. Sebagai organisasi resmi yang menghubungan secara
langsung yurisdiksi Amerika Serikat dengan komunitas-komunitas di seluruh
dunia. Sister City memahami, mencatat dan mengkoordinasi sister city,
kabupaten, kotamadya, prefektur desa, provinsi, daerah, negara bagian, dan
kota§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Shannon Wijayanti,”Perjanjian Sister City antara Jogjakarta dengan Kyoto”,
dalam Makalah Hukum Perjanjian Internasional, FH Univ. Katolik Atma Jaya, 2014. hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
70
Istilah kota bersaudara atau sister city banyak digunakan di Amerika
Serikat, Australia dan Asia serta kota-kota aliansi Amerika Serikat lainnya.
Sedangkan di Eropa untuk penyebutannya lebih sering digunakan istilah Twin
City atau kerjasama kota kembar. Kerjasama sister city yang pertama kali dalam
sejarah adalah di benua Eropa, yaitu antara Keighley, Yorkshire Barat (sekarang
berada di Inggris) dengan Poix-dunord, Nord, Perancis pada tahun 1920 menyusul
berakhirnya perang dunia pertama. Namun pada saat itu kerjasama yang dilakukan
belum resmi karena belum adanya penandatanganan perjanjian hingga tahun
1986. Dalam perkembangannya, pada tahun 1956, Presiden Amerika Serikat,
Dwight Eisenhower melaksanakann sebuah program yang bernama “American
Sister City Program” dimana program tersebut memacu daerah-daerah yang
berada di Amerika Serikat untuk melakukan kerjasama.*************************
Amerika Serikat sendiri memiliki sebuah wadah yang bernama “Sister
Cities International” atau sering disingkat sebagai SCI.†††††††††††††††††††††††††
SCI
adalah sebuah aliansi yang terdiri dari kota-kota di Amerika Serikat yang
melakukan praktik kerjasama Sister city dengan kota-kota lain di berbagai belahan
dunia. SCI didirikan pada tahun 1956 sebagai bagian dari The National League of
Cities yang kemudian pada tahun 1967 memisahkan diri menjadi NGO atau
korporasi non profit.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Sedangkan Twin city yang merupakan
istilah kerjasama yang digunakan di Benua Eropa tergabung dalam Council of
*************************
Usmar Salam,”Dinamika Kerjasama Internasional Provinsi di Indonesia
dengan Luar Negeri”, dalam Makalah Lokakarya Cara penanganan Kerjasama Internasional, 2004.
hlm. 7. †††††††††††††††††††††††††
“Ide Awal Dicetuskannya Kerjasama Sister City”, (diakses 17 November
2017), available from URL : http://www.sistercity.org/about-sister-cities-international. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
“Our Mission and History” (diakses 17 November 2017), available from
URL : http://sistercity.org/mission-and-history.
Universitas Sumatera Utara
71
European Municipalities and Regions (CEMR) yang berada di bawah Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE) dan aliansinya di berbagai dunia. CEMR didirikan sejak
tahun 1951 dengan tujuan untuk mempromosikan kerjasama antar kota dan
komunitas Eropa sebagai driving force untuk pertumbuhan dan
pembangunan§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
.
Kerjasama sister city di Indonesia sudah mulai muncul pada tahun 1960-
an. Berbagai motivasi di awal munculnya kegiatan kerjasama, tetapi motivasi
utamanya adalah karena didorong oleh kesamaan, misalnya Jakarta sebagai
ibukota Indonesia melakukan kerjasama dengan ibukota negara-negara lainnya di
dunia. Tahun 1980-an kerjasama internasional yang berbentuk sister city semakin
marak. Istilah sister city sendiri digunakan oleh Kementrian Dalam negeri dan
Kementrian Luar Negeri ditandai dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara
Pembentukan Hubungan Kerjasama antar kota (sister city) dan antar provinsi
(sister province) dalam dan luar negeri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerjasama berbentuk sister
city telah dimulai sejak tahun 1951 yang awalnya berawal dari negara-negara
Eropa, lalu berkembang di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia sudah mulai
munculnya kerjasama sister city sejak tahun 1960 namun hanya saja istilah sister
city sendiri resmi digunakan di Indonesia pada tahun 1993.
2. Pengertian Sister City
Hubungan kerjasama bersaudara (sistership) adalah hubungan kemitraan
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Secara umum kerjasama bersaudara
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Sumber : http://www.ccre.org/en/article/introducing_cemr “Introducing
CEMR” diakses 17 November 2017
Universitas Sumatera Utara
72
(sistership) terdiri dari dua macam, yaitu kerjasama internasional kota kembar
(sister city) dan kerjasama antar provinsi di suatu negara dengan negara lainnya
(sister province)**************************
. Salah satu bentuk kerjasama internasional
yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah kerjasama sister city atau kota
bersaudara atau kota kembar. Sister city atau twinning city merupakan
persetujuan kerjasama antara dua kota, daerah setingkat provinsi, negara bagian
atau prefektur yang memiliki satu atau lebih kemiripan karakteristik dimana dua
daerah tersebut terdapat pada dua negara yang berbeda. Kemiripan tersebut
misalnya ada pada kemiripan latar belakang sejarah, budaya atau dilihat dari segi
geografis kedua daerah sama-sama daerah pantai atau daerah
kepulauan††††††††††††††††††††††††††
. Dalam perkembangannya sister city lebih
berorientasi pada hubungan persahabatan dan kemitraan.
Di dalam buku panduan sister city Kota Bandung, Pemerintah Kota
Bandung menjelaskan bahwa sister city adalah suatu bentuk kerjasama yang
melibatkan kota di suatu negara dengan kota di negara lainnya yang bertujuan
untuk meningkatkan rasa persaudaraan yang erat dan saling menguntungkan.
Sister city dapat meningkatkan volume kerjasama dengan perkembangan di
berbagai bidang kerjasama yang dianggap perlu bagi kesejahteraan masyarakat di
suatu kota. Menurut Donal Bell Souder & Shanna Bredel dalam A Study of Sister
City Relations, kerjasama sister city terbagi ke dalam bidang-bidang berikut:
1. Budaya, dalam konteks ini kerjasama ditunjukkan guna memahami
keanekaragaman budaya yang berbeda sehingga terjalinnya pemahaman
**************************
Hendrini Renola Fitriyah dan Faisyal Rani, Implementasi Kerjasama Sister
City Studi Kasus Sister City Bandung dan Braunschweig, Jurnal Transnasional Volume 5 Nomor
1, Juli 2013 ††††††††††††††††††††††††††
Sumber: www.wikipedia.org\wiki\sister_province,” Sister Cities” diakses
pada 18 November 2017
Universitas Sumatera Utara
73
untuk meningkatkan kerjasama yang lebih mendalam antar kota yang
biasanya melibatkan unsur budaya di dalamnya, seperti seni musik,
pagelaran budaya dan hal lainnya.
2. Akademik, pada bidang ini akan dilibatkan duta/delegasi dari suatu kota ke
kota lainnya guna mempromosikan dan mempelajari budaya lain.
3. Pertukaran informasi, mengenai bidang ini fitujukan untuk menanggulangi
suatu kesamaan persoalan yang dihadapi, sehingga dapat terselesaikan dan
pengembangan hal ini ditujukan untuk pembangunan kota ke arah yang
lebih baik.
4. Ekonomi, konteks ini merupakan yang terpenting dalam kerjasama sister
city dikarenakan bidang ini berlandaskan pada tujuan peningkatan
perdagangan antar kota.
3. Manfaat dan Tujuan Kerjasama Sister City
Tujuan dari kerjasama sister city pada hakikatnya adalah untuk
mengembangkan kualitas dari kota itu sendiri, baik dalam bidang ekonomi,
sumber daya manusia, ataupun budaya. Tujuan utama dari pelaksanaan kerjasama
sister city adalah untuk menjembatani hubungan antara masyarakat kota di suatu
negara dengan masyarakat kota di negara lain sebagai “people to people
diplomacy”. Kerjasama sister city dapat dijadikan sarana untuk mengoptimalkan
potensi yang dimiliki daerah. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Pada awal perkembangannya, sister city banyak dilaksanakan oleh
sesama kota negara maju, namun lambat laun hubungan kerja sama sister city ini
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Deplu, 2001, “Prosedur Pembentukan Kerjasama Kota Kembar (sister City)
dan Propinsi kembar (sister province di Indonesia dengan kota dan propinsi di luar negeri, paper,
tidak dipublikasikan, Jakarta hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
74
terjadi antara kota negara maju dengan kota negara berkembang, maupun kota
negara berkembang satu sama lain.
Berikut merupakan manfaat kerjasama sister city
yakni:§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
1. Kesempatan untuk tukar menukar pengetahuan dan pengalaman
pengelolaan pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan.
2. Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah kota,
masyarakat dan swasta.
3. Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua belah
pihak.
4. Kesempatan untuk tukar menukar kebudayaan dalam rangka
memperkaya kebudayaan daerah.
Tujuan dan manfaat dari kerjasama sister city yang telah disebutkan di
atas dapat dirasakan pihak-pihak yang mengadakan kerjasama apabila kerjasama
tersebut terlaksanakan dengan baik dan dengan prosedur yang sudah ditetapkan
pula. Manfaat yang demikian nantinya akan mendorong kehidupan masyarakat
dan perkembangan kota terkait menjadi lebih maju.
4. Prosedur dan Mekanisme Kerjasama Sister City
Pada bab sebelumnya, telah disebutkan bagaimana langkah-langkah atau
prosedur membuat kerjasama Internasional oleh pemerintah daerah. Namun,
dalam Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh
Pemerintah Daerah yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia disebutkan bahwa untuk perjanjian kerjasama dalam bidang tertentu ada
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Harza Sandityo, Tinjauan Hukum Atas Perjanjian Internasional yang
Dibuat oleh Pemerintah Daerah (Studi kasus: Perjanjian Kerjasama Sister City/Sister Province,
Jurnal Hukum Internasional, FH UI, 2011, hlm. 68-69.
Universitas Sumatera Utara
75
beberapa tahapan lainnya yang harus dilaksanakan.
Prosedur dan mekanisme nya antara lain adalah sebagai berikut
:***************************
a. Kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah di luar
negeri (Sister City/City Province) dilakukan dengan negara yang memiliki
hubungan diplomatik dengan negara Republik Indonesia, tidak mengganggu
stabilitas politik dan keamanan dalam negeri, dan berdasarkan pada prinsip
menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaan
kedudukan, tidak memaksakan kehendak, memberikan manfaat dan saling
menguntungkan serta tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam
negeri masing-masing;
b. Pemerintah Daerah yang berminat mengadakan kerjasama dengan
Pemerintah Kota/Provinsi di luar negeri memberitahukan kepada
Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri dan instansi terkait
untuk mendapat pertimbangan;
c. Pemerintah Daerah bersama dengan Departemen Luar Negeri melalui
Perwakilan RI di luar negeri mengadakan penjajakan untuk mengetahui
apakah minatnya tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah
Kota/Provinsi di luar negeri;
d. Dalam hal terdapat tanggapan positif dari kedua Pemerintah Daerah
mengenai rencana kerjasama, maka kedua Pemerintah Daerah, jika
***************************
Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor :
09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata ..... , Butir 29.
Universitas Sumatera Utara
76
diperlukan, dapat menyiapkan penandatanganan kesepakatan awal dalam
bentuk Letter of Intent (LoI);
e. Letter of Intent (LoI) dapat disiapkan oleh Pemerintah Daerah, Departemen
Luar Negeri atau Perwakilan RI di luar negeri untuk disampaikan dan
dimintakan tanggapan kepada mitra asing di luar negeri;
f. Naskah LoI yang disepakati bersama dapat ditandatangani oleh Pimpinan
atau pejabat setingkat dari kedua Pemerintah Daerah;
g. Sebagai tindak lanjut dari LoI, kedua pihak dapat bersepakat untuk
melembagakan kerjasama dengan menyiapkan naskah Memorandum of
Understanding (MoU);
h. Pembuatan MoU sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional
dilakukan menurut mekanisme sebagaimana tertuang dalam Bab X Panduan
ini;
i. Rancangan naskah MoU dapat memuat bidang kerjasama sebagaimana
dimaksud dalam Bab III butir 16 dengan memperhatikan pula aturan tentang
pemberian visa, ijin tinggal, perpajakan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
j. Dalam hal para pihak sepakat untuk melakukan penandatanganan terhadap
MoU tersebut, selanjutnya dapat dimintakan Surat Kuasa (Full Powers)
kepada Menteri Luar Negeri;
k. Naskah asli Letter of Intent (LoI) dan Memorandum of Understanding
(MoU) Kerjasama Sister Province/Sister City yang telah ditandatangani oleh
kedua pihak diserahkan kepada Departemen Luar Negeri c.q. Direktorat
Universitas Sumatera Utara
77
Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, untuk disimpan di ruang perjanjian
(Treaty Room).
Selanjutnya Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya akan
membuatkan salinan naskah resmi (certified true copy) untuk kepentingan/arsip
Pemerintah Daerah.
B. PERKEMBANGAN SISTER CITY (KOTA BERSAUDARA) DI
INDONESIA
Perkembangan kerjasama sister city di Indonesia terus berkembang dari
waktu ke waktu. Kerjasama sister city di Indonesia mulai muncul pada tahun
1960-an dengan berbagai motivasi sehingga terlaksananya kerjasama tersebut.
Terhitung sampai tahun 2013, kerjasama sister city di Indonesia sudah mencapai
102 Memorandum of Understanding (MoU)†††††††††††††††††††††††††††
. Kerjasama
yang terlaksana bukan hanya diadakan oleh Jakarta sebagai Ibukota Indonesia
saja, karena hingga saat ini hampir seluruh kota-kota di Indonesia sudah
mengadakan kerjasama sister city dengan berbagai kota-kota lainnya di dunia.
Perkembangan yang cukup pesat ini terutama dimungkinkan oleh adanya
dukungan dari berbagai kebijakan pemerintah pusat yang mengarahkan
pemerintah daerah untuk melaksanakan hubungan kerjasama luar negeri dan
kemudian kebijakan luar negeri ditingkatkan sebagai pelengkap dalam
pembangunan nasional. Pada saat ini lebih kurang 100 kerjasama yang berbentuk
Sisterhood telah tercatat di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Dari
catatan yang ada, mungkin tidak sampai 15% dari kerjasama tersebut yang
†††††††††††††††††††††††††††
Sumber : Kementerian Dalam Negeri,
www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/buletin/buletin_mei_2013/ diakses 23 November
2017.
Universitas Sumatera Utara
78
berjalan dengan baik, dan tidak sampai 20% berjalan dengan seadanya dan
sisanya lebih dari 65% tidak melakukan kegiatan apapun‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
.
Perkembangan sister city saat ini sudah dilaksanakan oleh banyak kota di
Indonesia, antara lain§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
:
a. Banda Aceh dengan Apeldoorn, Samarkand dan Higashimatsushima
b. Medan dengan George Town (Penang), Ichikawa, Gwangju, Chengdu
c. Jakarta dengan Beijing, Hanoi, Berlin, Paris (sebagai kota rekan), Pyongyang,
Rotterdam, Seoul, Tokyo, Athena, Bangkok, Casablanca, jeddah, Instanbul,
Islamabad, Los Angeles.
d. Bogor dengan St. Louis.
e. Bandung dengan Fort Worth, Texas, Braunschweig, Yingkou, Luizhou,
Suwon, Bega Valley, New South Wales, Hamamatsu.
f. Bau-Bau dengan Seoul.
g. Semarang dengan Brisbane.
h. Yogyakarta dengan Kyoto, Hefei, Savannah, Distrik Commewijne, Suriname.
1. Sister City Kota Yogyakarta dengan Kota Kyoto
Kyoto adalah salah satu kota yang berada di Jepang. Sedangkan DI
Yogyakarta sebagai salah satu kota di Indonesia yang memperoleh gelar Daerah
Istimewa selain Aceh memiliki banyak hal untuk ditawarkan dalam era globalisasi
khususnya dari segi kebudayaan dan kemajuan kota tersebut. Kerjasama antara
Kota Yogyakarta dengan Kota Kyoto ini sudah terjalin sejak tahun 1985 dan saat
ini masih berjalan dengan cukup aktif. Kerjasama yang dijalin antara lain dalam
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Usmar Salam, “......... Provinsi di Indonesia dengan Luar Negeri”,
dalam Makalah Lokakarya Cara penanganan Kerjasama Internasional. 2004., Op.Cit. hlm 7. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_kembar diakses pada 23
November 2017
Universitas Sumatera Utara
79
bidang seni budaya, pendidikan dan iptek, pariwisata, dan industri. Kerjasama
antar kedua kota ini diperkuat dengan League Historical Cities (LHC) Jogja yang
merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi anggota dari Liga kota-
kota bersejarah atau LHC yang berpusat di Kyoto.
Kedua kota ini memang mempunyai banyak kesamaan spiritual dan
budaya, misalnya dulu Sultan Hamengkubuwono I mendirikan Keraton
Yogyakarta dengan tata ruang yang dikembangakan dengan poros Utara-Selatan,
Gunung Merapi di sebelah utara, keraton di tengah dan Pantai Selatan di sebelah
selatan. Sama halnya dengan Kyoto yang didirikan dengan poros Utara-Selatan.
Di keempat penjuru Kota Jogja, didirikan empat masjid Pathok Nagari sebagai
tempat peribadatan sekaligus benteng ketahanan budaya Yogjakarta. Di Kyoto
bagian Tenggara dan Barat Daya juga didirikan kuil peribadatan. Kemudian,
Kyoto dan Yogyakarta juga pernah menjadi Ibukota pada jaman dahulu, selain
keduanya dikenal sebagai kota budaya dan sejarah yang unik. Kyoto terkenal
dengan kerajinan kain tenun tradisional, Jogja juga memiliki kain batik yang kini
sebagai tren busana modern. Dalam hubungan kemasyarakatan, Kyoto memiliki
budaya kebersamaan di dalam masyarakat. Selaras dengan ajaran Hamemayu
Hayunning Bawono yaitu hidup harus membangun harmoni hubungan antara
manusia dengan manusia, alam semesta, dan Tuhan.****************************
Pada setiap momen yang mana memperingati kerjasama antara
Yogyakarta dan Kyoto, selalu diadakan festival dimana tempat diperkenalnkannya
budaya-budaya dari kedua belah pihak dan juga sebagai salah satu upaya untuk
menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Di bidang pendidikan, kedua
****************************
Sumber : http://www.academia.edu/31053107/Sister_City_Yogyakarta
diakses pada 23 November 2017
Universitas Sumatera Utara
80
kota ini juga telah melakukan kerjasama antata lain, tim Overseas Training Dinas
Dikpora Yogyakarta berkunjung ke Kyoto guna mempelajari penerapan teknologi
pada pendidikan dasar hingga menengah di Jepang. Selain itu, Perguruan Tinggi
Swasta yangg ada di Yogyakarta juga telah berniat untuk mengembangkan
kerjasama Pemerintah Yogyakarta-Kyoto melalui program Student Exchage
Program, Joint Research, Double Degree, serta program-program lainnya. Selain
itu juga ada pelatihan prapensiun bagi pegawai pemerintah kedua kota. Pelatihan
terserbut dilakukan di kedua kota tergantung kesepakatan kedua pihak. Kerjasama
kedua kota ini berjalan cukup baik yang dapat dilihat bahwa kedua kota tidak
sekedar menjalani kerjasama di atas kertas saja, namun telah dilihat dari berbagai
realisasi ke berbagai bentuk, mulai dari bidang kebudayaan, pendidikan, dan
ekonomi. Saat ini kerjasama terus berkembang lebih jauh lagi sehingga manfaat
yang diterima dapat dirasakan seluruh pihak.
2. Sister City Kota Medan dengan Kota Ichikawa
Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia jug ikut
mengambil peran dalam perkembangan kerjasama sister city di Indonesia.
Pemerintah Kota Medan sudah mengadakan kerjasama dengan bentuk sister city
di beberapa kota di luar negeri antara lain Kota Pulau Pinang, Kota Gwangju,
Kota Chengdu, Kota Milaukee dan Kota Ichikawa.
Kota Ichikawa yang merupakan salah satu kota di Jepang yang cukup
berpengaruh pada arus globalisasi saat ini dirasakan sangat bermanfaat guna
pengembangan pembangunan di berbagai aspek serta guna mengembangkan
persahabatan untuk menyumbangkan perdamaian dan kemakmuran dunia. Dasar
hukum dari terjalinnya kerjasama Sister City antara Kota Medan dengan Kota
Universitas Sumatera Utara
81
Ichikawa adalah adanya Pernyataan Bersama Kota Bersaudara antara Kotamadya
Tingkat II Medan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara Republik Indonesia
dan Kota Ichikawa, Chiba Prefecture, Jepang yang ditandatangani kedua belah
pihak pada tanggal 4 November 1998.††††††††††††††††††††††††††††
Kerjasama antara kedua pihak tersebut kemudian dituangkan dalam
bentuk Memorandum of Understanding (MoU). Kerjasama sister city antara
Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Ichikawa sebenarnya sudah
berlangsung sejak tanggal 4 November 1989. Dengan adanya MoU ini,
Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa secara resmi menjalin
kerjasama dalam berbagai bidang, antara lain ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
:
1. Bidang Administrasi;
2. Bidang Pendidikan;
3. Bidang Ekonomi;
4. Bidang Keanggotaan Masyarakat dan lainnya.
††††††††††††††††††††††††††††
Kathy Carissa Bangun ,”Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya
Dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan
Pemerintah Kota Ichikawa”, Skripsi, FH USU, 2015. hlm. 64. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid,. hlm. 67.
Universitas Sumatera Utara
82
C. DESKRIPSI PERJANJIAN KERJASAMA SISTER CITY ANTARA
KOTA BANDA ACEH DENGAN KOTA HIGASHIMATSUSHIMA
1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh dan Kota
Higashimatsushima
Kota Banda Aceh merupakan kota sekaligus ibu kota provinsi Aceh,
Indonesia yang berada di ujung Pulau Sumatera. Kota ini memiliki luas total
wilayah mencapai 62,34km2. Sebagai pusat pemerintahan, Banda aceh juga
merupakan pusat kegiatan ekonomi, sosial, politik, sosial dan
budaya.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Secara geografis, Kota Banda Aceh berada di belahan bumi bagian utara.
Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Banda Aceh memiliki batas-batas, yaitu
Utara adalah Selat Malaka, Selatan adalah Kabupaten Aceh Besar, Barat adalah
Samudera Hindia dan Timur adalah Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan letak
geografisnya, Kota Banda Aceh berada di ujung Utara Pulau Sumatera sekaligus
menjadi wilayah paling barat dari Pulau Sumatera*****************************
. Kota
Banda Aceh merupakan salah satu wilayah terparah yang terkena gempa bumi dan
hempasan tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Salah satu penyebabnya
dikarenakan letak kota Banda Aceh yang berada di ujung Pulau Sumatera dengan
menghadap ke arah Samudera Hindia. Bukan sekedar menghilangkan ratusan ribu
nyawa, namun juga mengakibatkan kota ini hancur porak-poranda dan pada pasca
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Sumber : “Kota Banda Aceh”,
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh, diakses pada 27 November 2017 *****************************
BPS Aceh, Banda Aceh Dalam Angka 2015, (Banda Aceh: Badan Pusat
Statistik Kota Banda Aceh, 2015), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
83
tsunami dapat dikatakan sebagai “kota mati” dikarenakan infrastruktur yang
hancur.
Sedangkan Kota Higashimatsushima adalah kota yang berlokasi di
Prefektur Miyagi, Jepang. “Matsushima” berarti pohon pinus. Kota ini dibentuk
pada tanggal 1 April 2005, yang menyatukan dua kota, yaitu Naruse dan Yamato.
Kota ini berpopulasi 43.142 jiwa. Luas wilayah Kota Higashimatsushima seluas
101,36km2.
††††††††††††††††††††††††††††† Kota yang berlokasi diantara Sendai dan
Ishinomaki ini memiliki industri utama di bidang pembuatan bejana, aquaculture
dan agriculture. Selain Kota Banda Aceh, Kota Higashimatsushima juga
merupakan salah satu kota yang terkena dampak pasca gempa dan tsunami Jepang
pada 11 Maret 2011 yang melanda hampir seluruh daerah Utara Jepang. Kota
Higashimatsushima merupakan kota yang langsung menghadap Samudera Pasifik.
Walaupun kota ini sadar mereka berada di bawah daerah rawan bencana dan
sudah mempuanyai standar keselamatan yang cukup tinggi, namun musibah
gempa dan tsunami Jepang silam jauh dari fugaan dan jangkauan mereka.
2. Latar Belakang Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan
Kota Higashimatsushima
Kerjasama sister city yang dibangun antara Pemerintah Kota Banda Aceh
dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima sudah berlangsung dua tahap.
Dimana pada tahap awal dimulai dari bulan November 2013 sampai dengan bulan
Maret tahun 2016. Kemudian dikarenakan keberhasilan kerjasama pada tahap
pertama, kerjasama ini kemudian dilanjutkan ke tahap dua yang ditandatangani
pertanggal 11 Desember 2015.
†††††††††††††††††††††††††††††
Sumber : “Higashimatsushima”,
http://en.wikipedia.org/wiki/Higashimatsushimadiakses pada 27 November 2017
Universitas Sumatera Utara
84
Seperti yang sudah kita bahas terdahulu, terdapat beberapa alasan
mengapa sebuah kota atau provinsi bersedia mengadakan perjanjian sister city
atau sister province. Salah satu alasannya adalah adanya persamaan nasib atau
adanya historis mengenai suatu peristiwa yang sama yang terjadi di kedua kota
atau provinsi yang bersangkutan. Alasan tersebut merupakan alasan utama
mengapa Kota Banda aceh dengan Kota Higashimatsushima mengadakan
perjanjian sister city. Seperti yang kita ketahui bersama pada Desember 2004
silam, Kota Banda Aceh diterjang Gempa dan Tsunami yang didaulat sebagai
salah satu bencana terhebat di abad 21 yang dimulai dengan adanya gempa 9,1 SR
di Samudera Hindia. Gempa dan tsunami yang melanda Kota Banda Aceh ini
menggelontorkan jutaan liter air laut ke darat dan diperkirakan memakan korban
hingga 280 ribu jiwa.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Bencana yang melanda Kota Banda
Aceh tersebut meluluhlantakkan seluruh isi kota, mulai dari rumah warga,
infrastruktur kota, tempat ibadah, dan transportasi serta timbulnya gangguan
listrik dan air bersih. Akibat dari hancurnya berbagai infrastruktur tersebut
menimbulkan sampah dan polusi yang sangat memprihatinkan sebagai tempat
tinggal bagi masyarakat.
Sedangkan Kota Higashimatsushima pada tanggal 9 Maret 2011 juga
terkena bencana gempa dan tsunami Tohoku. Gempa tersebut terjadi di sebelah
barat Samudera Pasifik, 130 kilometer di timur Sedai, Honshu, Jepang. Gempa
tersebut menimbulkan tsunami setinggi 5 meter yang menerjang pantai utara
Jepang. Tokyo Broadcasting System dan Japanese National Police Agency
menyebutkan gempa dan tsunami ini menelan sebanyak 15.269 jiwa. Dampak dari
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/26-desember-
2004-gempa-dan-tsunami-getarkan-aceh diakses pada 29 November 2017
Universitas Sumatera Utara
85
bencana ini adalah timbulnya kebakaran di beberapa bangunan, hancurnya rumah
penduduk, pencairan tanah, rusaknya sejumlah sistem pembangkit tenaga nuklir,
hingga hancurnya sarana transportasi dan infrastruktur kota.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Adanya kesamaan nasib dimana kedua kota pernah terkena bencana
gempa dan tsunami yang cukup besar ini membuat kedua kota bersepakat
mengadakan perjanjian kerjasama sister city. Kerjasama ini difokuskan terhadap
penanganan mitigasi bencana dan pembanguan pasca bencana. Namun tidak
hanya itu, kerjasama sister city antara Kota Banda Aceh dengan Kota
Higashimatsushima juga merangkup hal lainnya, seperti ini dalam bidang
pendidikan dan ekonomi masyarakat.
Selain dengan adanya kesamaan peristiwa yang terjadi, kedua kota itu
terjalin erat karena kondisi geografis yang cukup dapat dilihat kesamaannya.
Kedua kota merupakan kota yang dapat digolongkan sebagai kota kecil yang
berada di ujung negaranya masing-masing. Kota Banda Aceh berada di ujung
barat Indonesia, sedangkan Kota Higashimatsushima berada di ujung utara
Jepang. Kedua kota pun sama – sama memiliki museum tsunami di kotanya.
Selain dari alasan-alasan yang disebutkan di atas, kedua kota memiliki visi dan
misi yang sama dalam mengembangkan kotanya, salah satu nya adalah kedua kota
tersebut sedang berpacu menuju smart city.******************************
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_dan_tsunami_T%C5%8
Dhoku_2011#cite_note-27 diakses pada 29 November 2017 ******************************
Sumber : http://www.bandaacehtourism.com/destinasi/banda-aceh-
mengingatkan-iko-pada-higashi-matsushima/#.Wh2r1tKWbIU diakses pada 29 November 2017
Universitas Sumatera Utara
86
3. Uraian Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh
dengan Kota Higashimatsushima
Perjanjian kerjasama sister city antara Pemerintah Kota Banda Aceh
dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima sudah berlangsung sebanyak 2 (dua)
tahap. Hubungan kedua kota ini terjadi pada bulan Mei 2011 tidak lama setelah
adanya gempa bumi dan tsunami Tohoku yang melanda Kota Higashimatsushima.
Wakil Walikota Banda Aceh telah mengunjungi Higashimatsushima pada Agustus
2012 dan kemudian staff dari Pemerintah Kota Higashimatsushima melakukan
penelitian lapangan di Banda Aceh mengenai rehabilitasi pasca bencana tsunami
Aceh 2004 silam. Sejak saat itulah hubungan keduanya terus terjalin seingga
muncul ide dari The Japan International Cooperation Agency yang selanjutnya
disebut sebagai “JICA” untuk membuat kerjasama sister city antar kedua kota
tersebut. Kerjasama sister city pada tahap pertama ditandatangani pada tanggal 15
November 2013. Kerjasama ini mulai berlangsung pada bulan November 2013
hingga bulan Maret 2016. Penandatangan dilakukan oleh Walikota Banda Aceh
yaitu Ir. Mawardy Nurdin dan Kepala Perwakilan JICA Indonesia yaitu Atsushi
Sasaki yang disaksikan dengan Walikota Higashimatsushima Hideo Abe dan
Presiden Higashimatsushima Organization for Progress and Economy, Education
and Energy atau yang selanjutnya disebut sebagai “HOPE Higashimatsushima”
Dr. Seiichi Otaki. Judul dari perjanjian ini adalah “The Minutes of Meeting
Universitas Sumatera Utara
87
between The Japan International Cooperation Agency and Banda Aceh City
Republic of Indonesia on Japanese Technical Cooperation under The JICA
Partnership Program for Community Based Mutual Reconstruction Acceleration
Program by Utilization of Local Resources in Banda Aceh City and
Higashimatsushima City”.
Kemudian perjanjian kerjasama dilanjutkan ke tahap 2 (dua) yang
ditandatangani pada tanggal 11 Desember 2015. Perjanjian tahap kedua ini
berlangsung pada bulan Januari 2016 hingga Januari 2019 mendatang yang sudah
ditandatangani oleh Walikota Banda Aceh yaitu Illiza Saladuddin Djamal dan
Kepala Perwakilan JICA Indonesia yaitu Naoki Ando yang disaksikan dengan
Walikota Higashimatsushima Hideo Abe dan Presiden HOPE Higashimatsushima
Dr. Seiichi Otaki.. Nama dari perjanjian ini adalah “The Minutes of Meeting
Between The Japan International Cooperation Agency and Banda Aceh City
Republic of Indonesia on Japanese Technical Cooperation Under The JICA
Partnership Program for Banda Aceh and Higashimatsushima Mutual
Reconstruction Project : Community Economic Empowerment for Local Disaster
Mitigation”. Pada perjanjian tahap kedua ini meliputi pada tiga sektor, yakni
perikanan, comunal garden, disaster management dan program creative camp
dengan tujuan guna membangun model pemberdayaan ekonomi yang akan
meningkatkan mirigasi bencana regional.
Dari kedua tahap perjanjian kerjasama sister city di atas, dapat kita lihat
bahwa kerjasama sister city ini selain melibatkan dua pihak, yaitu Pemerintah
Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kota Higashimatsushima, namun kerjasama ini
juga berada di bawah JICA Partnership Program. Badan Kerjasama Internasional
Universitas Sumatera Utara
88
Jepang atau yang lebih sering dikenal sebagai JICA (Japan Internasional
Cooperation Agency) adalah sebuah lembaga yang didirikan
pemerintah Jepang untuk membantu pembangunan negara-negara berkembang.
Lembaga ini berada di bawah kekuasan Departemen Luar Negeri dan didirikan
pada Agustus 1974. Lembaga ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kerja
sama internasional antara Jepang dengan negara-negara lain. Pada 1
Oktober 2003 lembaga ini dijadikan sebuah institusi administrasi yang
mandiri.††††††††††††††††††††††††††††††
Sedangkan JICA Partnership Program yang
selanjutnya disebut “JPP” atau Program Kemitraan JICA merupakan suatu
program dukungan JICA yang bertujuan mendorong pelaksanaan berbagai
proyek pembangunan pada tingkat masyarakat akar rumput di berbagai negara
berkembang yang diprakarsai oleh berbagai mitra pembangunan Jepang
(khususnya lembaga swadaya masyarakat atau LSM, pemerintah daerah, dan
perguruan tinggi) yang memiliki teknologi dan pengalaman dalam pembangunan.
Proyek JPP ditujukan untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat di
berbagai negara, termasuk Indonesia.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Dalam pelaksanaan kerjasama sister city yang berada dibawah naungan
The JICA Partnership Program, terdapat 3 (tiga) poin penting dalam skema
program JPP yaitu kerjasama dikategorikan sebagai kerjasama teknik, Dirancang
sebagai suatu program yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hajat hidup
manusia sehingga dapat dirasakan langsung manfaatnya dalam rangka perbaikan
dan peningkatan taraf hidup masyarakat di berbagai negara berkembang dan
††††††††††††††††††††††††††††††
Sumber : http
://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Kerjasama_Internasional_Jepang diakses pada 7 Desember 2017 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Sumber : http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/activities/activity03
diakses pada 7 Desember 2017
Universitas Sumatera Utara
89
merupakan program yang memberikan kesempatan bagi anggota masyarakat
Jepang untuk meningkatkan pemahamannya serta partisipasinya dalam kerjasama
internasional. Kategori kerjasama yang dinaungi JPP antara Kota Banda Aceh dan
Kota Higashimatsushima adalah Ktergori Pemerintah Daerah (Local Government
Type) dimana adanya pemanfaatan teknologi dan pengalaman yang dimiliki oleh
pemerintah daerah Jepang. Selain itu kategori ini mendukung peran serta
kontribusi berbagai pemerintah daerah (pemda) di Jepang dalam proses
pembangunan di berbagai negara berkembang yang dalam hal ini adalah Kota
Banda Aceh yang berada di Indonesia. Periode pelaksanaan prgram paling lama 3
tahun yang dapat kita lihat sebagaimana yang tercantum pada perjanjian tahap
satu dan tahap dua yang masing-masing selama 3 (tiga) tahun lamanya. Selain itu
program ini mendapat pendanaan program maksimal 30 juta Yen per program.
Pendanaan untuk JPP berasal dari dana Bantuan Resmi Pemerintah (Official
Development Assistance atau yang selanjutnnya disebut ODA) Jepang, sehingga
pelaksanaan proyek JPP – JICA yang dipercayakan kepada mitra pembangunan
Jepang yang mengajukannya merupakan bagian dari kegiatan ODA. Peruntukan
pendanaan JICA untuk proyek JPP meliputi kegiatan di dalam negeri Indonesia,
kegiatan di dalam negeri Jepang, fasilitas dan peralatan penunjang kegiatan,
pengeluaran untuk personil pelaksanaan program, pengeluaran lainnya yang
bersifat tidak langsung.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Kerjasama sister city antara Kota Banda Aceh dan Kota
Higashimatsushima tetap termasuk di dalam kerjasama sister city atau kota
bersaudara. Walaupun berada di bawah naungan JICA Partnership Program
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
90
(JPP). Hal ini dikarenakan status JICA sendiri merupakan Lembaga Kerjasama
Internasional Jepang yang berada dibawah naungan langsung Departemen Luar
Negeri Jepang. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan tindakan JICA tidaklah
melanggar ketentuan perundang-undangan, baik di Jepang maupun di Indonesia.
D. STATUS HUKUM PERJANJIAN KERJA SISTER CITY ANTARA
KOTA BANDA ACEH DENGAN KOTA HIGASHIMATSUSUHIMA
Dalam pembentukan perjanjian internasionall yang diadakan oleh
Pemerintah Daerah tentunya menimbulkan beberapa keraguan. Keraguan tersebut
muncul karena adanya aturan pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional yang menyatakan bahwa perjanjian internasional merupakan
perjanjian yang dibentuk oleh negara-negara. Konvensi Wina 1986 juga tidak
memberi ruang kepada Pemerintah Daerah sebagai subjek yang dapat membuat
perjanjian internasional. Keraguan yang terjadi dikarenakan masyarakat telah
menerima secara luas pengertian dari konvensi-konvensi tersebut di atas. Namun
dalam praktiknya, banyak dijumpai perjanjian internasional yang menjadikan
Pemerintah Daerah sebagai subjek dari perjanjian internasional tersebut.
Perjanjian internasional yang dimaksud disebut sebagai perjanjian sister province
untuk kerjasama antar provinsi di dunia dan perjanjian sister city untuk perjanjian
kerjasama antar kota di dunia. Demikian pula praktiknya di Indonesia yang hingga
saat ini mayoritas provinsi atau kotanya sudah mengadakan berbagai perjanjian
kerjasama dengan provinsi atau kota lainnya di dunia. Keraguan yang timbul
dikarenakan kewenangan Pemerintah Daerah pasti berada dibawah kewenangan
Pemerintah Pusat dalam sebuah negara namunn jika dilihhat dari sudut lain
perjanjian yang dibentuk tersebut bersifat lintas negara. Maka karena adanya
Universitas Sumatera Utara
91
keraguan tersebut penulis merasa perlu adanya analisis mengenai status hukum
dari perjanjian internasional yang diadakan oleh Pemerintah Daerah yang dalam
hal ini perjanjian kerjasama sister city antara Pemerintah Kota Banda Aceh
dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima.
Pada pembuatan perjanjian internasional oleh Pemerintah Daerah
digunakan berbagai terminologi. Terminologi yang digunakan atas perangkat
internasional tersebut tidaklah mengurangi hak dan kewajiban yang tertuang di
dalamnya. Bentuk dan nama perjanjian internasional yang kita temui dalam
praktiknya sangatlah beragam, seperti treaty, convention, agreement,
memorandum of understanding, protocol, charter, declarations, final act
arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process
verbal, modus Vivendi, dan Letter of Intent. International Court of Justice atau
yang selanjutnya disebut “ICJ” Qatar/Bahrain Case, 1994, memberikan petunjuk
bahwa untuk menetapkan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional
tidak harus dilihat dari judul perjanjian. Dalam tanggapannya terhadap “Minutes
signed by Foreign Ministers of Bahrain, Qatar and Saudi Arabia, 1990”, ICJ
(International Court of Justice) menyatakan bahwa Minutes ini adalah perjanjian
internasional merujuk pada The ICJ (International Court of Justice) Aegean Sea
Continental Shelf, 1978:*
1. In order to ascertain whether an agreement of that kind has been
concluded, the Court must have regard above all to its actual terms and to
the particular circumstances in which it was drawn up.
2. The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give
an account of discussions and summarize points of agreement and
disagreement. They enumerate the commitments to which the Parties have
* The ICJ Aegean Sea Continental Shelf, 1978, Dalam tanggapannya terhadap “Minutes signed by
Foreign Ministers of Bahrain, Qatar and Saudi Arabia, 1990”
Universitas Sumatera Utara
92
consented. They thus create rights and obligations in international law for
the Parties. They constitute an international agreement.
3. Having signed such a text, the Foreign Minister of Bahrain is not in a
position subsequently to say that he intended to subscribe only to a
"statement recording a political understanding” and not to an
international agreement”.
4. The Court concludes that the Minutes of 25 December 1990, like the
exchanges of letters of December 1987, constitute an international
agreement creating rights and obligations for the Parties.
Konvensi Wina dan jurisprudensi tidak menjadikan judul dokumen
sebagai faktor penentu, perlu pula diperhatikan bahwa praktek negara tentang
judul suatu perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Selain
beberapa istilah perjanjian internasional yang terlah disebutkan di atas, terdapat
pula beberapa istilah lainnya yang banyak digunakan oleh negara, seperti Joint
Statement, Protocol, Charter, Joint Declaration, Final Act, Process Verbal,
Memorandum of Cooperation, Side Letter, Reciprocal Agreement (dalam format
Nota Diplomatik), Letter of Intent, Minutes of Meeting, Aide Memoire, Demarche,
Letter of Agreement, Memorandum of Agreement, Letter of Understanding,
Memorandum of Cooperation, Record of Understandings, atau nama lain yang
disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.
Apabila perbedaan penyebutan yang terjadi dalam penamaan perjanjian
Internasional jika kita teliti lebih jauh maka terjadinya perbedaan istilah ini bisa
jadi untuk mengelompokkan perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu
dimaksudkan dan diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur.
Walaupun adanya ketidak konsistenan dalam penyebutan suatu perjanjian
internasional bahwa nomenklatur tertentu menunjukkan bahwa materi perjanjian
tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian
internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian
tersebut dengan perjanjian internasional lainnya.
Universitas Sumatera Utara
93
Menurut undang-undang perjanjian Internasional yang dimaksud dengan
perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang
diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di dalam bidang hukum publik†. Di Indonesia dapat dilihat
sekalipun tidak mengikat secara hukum cenderung menempatkan Agreement lebih
tinggi dari MOU yang kemudian diikuti dengan Arrangements, Exchange of Notes
dan berbagai istilah perjanjian internasional lainnya. Pada pasal 29 Konvensi
Wina tahun 1969 disebutkan bahwa :‡
“Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise
established, a treaty is binding upon each party in respect of its entire
territory.”
Berdasarkan pasal tersebut maka suatu negara dapat membuat suatu
perjanjian internasional yang hanya berlaku khusus untuk sebagian wilayah
negaranya bila memang diperjanjiakan demikian oleh pihak-pihak yang membuat
perjanjian.
Pada kerjasama sister city yang menandatangani sebuah naskah
perjanjian adalah walikota. Perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik
operasional suatu perjanian induk. Sepanjang materi yang mengatur pelaksanaan
teknik, perjanjian sister city dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya
perjanjian induk. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat segera berlaku setelah
penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.§ Menurut Pasal 15 ayat (1)
Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan
† Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang Nomor 37 Tahun
1999, LN No. 156 Tahun 1999 , TLN No. 3882., pasal 1 ayat (1). ‡ Article 29 Vienna Convention 1969
§ Mauna, Hukum Internasional..., hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
94
bahwa “Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat Perjanjian internasional
yang berlaku setelah penandatanganan**
”
Dalam kerjasama sister city sebuah perjanjian internasional pada
umumnya dituangkan kedalam perjanjian dengan menggunakan istilah
Memorandum of Understanding (MoU), namun hal tersebut tidaklah menjadi
patokan bahwasannya setiap perjanjian sister city harus diadakan dan dituangkan
ke dalam MoU. Hal ini dapat kita lihat dari perjanjian kerjasama sister city antara
Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima yang
dengan sepakat menggunakan istilah “Minutes of Meeting” (MoM) dalam
perjanjian kerjasamanya baik pada tahap 1 (satu) maupun tahap 2(dua). Dimana
MoM ini disetujui oleh kedua belah pihak dan ditandatangani oleh kedua Kepala
Daerah, yaitu Walikota Banda Aceh dan Walikota Higashimatsushima dan
disertai penyaksian oleh dua pihak yang ikut dalam kerjasama tersebut yang
dalam hal ini adalah pihak perwakilan JICA Indonesia dan HOPE
Higashimatsushima. Minutes of Meeting ini dituliskan dalam satu bahasa, yaitu
Bahasa Inggris yang memuat kesepakatan kedua belah pihak dan dua pihak
lainnya yang bersedia untuk bekerjasama dalam pelaksanaan sister city ini.
Jika di teliti seluruh dokumen yang tersimpan pada treaty room
Kementrian Luar Negeri berdasarkan materi perjanjian (the meriths of the
document), maka hakikatnya dapat di lakukan klasifikasi sebagai berikut :
1. Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh viena convention on the law
of treaties 1969 dan viena convention on the law of treaties between
states and internasional organizations or between international
**
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No.24 tahun 2000, LN No.185
tahun 2000 Pasal 15 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
95
organization 1986,UU NO. 24 th 2000 (multilateral convention,border
treaties, extraditiaon, agreement, MOU‟s, exchange of notes,etc)
2. Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi tidak tunduk pada
hukum internasional public ( loan agreemen, procurement contracts,etc,)
3. Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum ( joint
statement, declarations, agreed minutes, minutes of meeting,etc )
Kemudian apabila kita melihat perjanjian kerjasama sister city antara
Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima yang
menggunakan istilah”Minutes of Meeting”, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian sister city yang diadakan merupakan dokumen yang tidak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum.
Mengenai latar belakang dan teknis pelaksanaan perjanjian lebih lanjut
diatur dalam attached document, dan annex mengenai garis besar program yang
akan dilaksanakan. Maka berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat
disumpulkan bahwa perjanjian kerjasama sister city antara Pemerintah Kota
Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima merupakan sebuah
perjanjian internasional yang dalam hal ini ditekankan bahwa Pemerintah Daerah
memiliki peranan yang besar sebagai lembaga pemrakarsa dan objek dalam
perjanjian internasional tersebut. Namun, sebagai subyek tetaplah negara karena
yang menandatangani, dalam hal ini walikota telah mengantongi sebuah surat
kuasa (full powers) sehingga ketika perjanjian sister city tesebut ditandatangani
oleh Walikota tersebut berarti telah terjadi penandatanganan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia. Dapat dikatakan status hukum kerjasama antara
Universitas Sumatera Utara
96
Banda Aceh dan Higashimatsushima ini bersifat sah karena memiliki dasar hukum
yang kuat baik dalam pembentukannya maupun dalam proses administrasinya.
E. ANALISIS IMPLEMENTASI PERJANJIAN KERJASAMA SISTER
CITY ANTARA KOTA BANDA ACEH DENGAN KOTA
HIGASHIMATSUSHIMA
Banda Aceh dan Higashimatsushima merupakan kota yang dapat
digolongkan sebagai dua kota dengan populasi penduduk yang tidak terlalu padat.
Kedua kota ini sudah mengadakan sebuah perjanjian kerjasama sister city yang
dituangkan ke dalam Minutes of Meeting (MoM) sebanyak 2 (dua) tahap. Antara
lain adalah sebagai berikut :
Minutes of Meeting tahap 1 (satu) ditandatangani oleh Walikota Banda
Aceh yaitu Ir. Mawardy Nurdin dan Kepala Perwakilan JICA Indonesia yaitu
Atsushi Sasaki yang disaksikan dengan Walikota Higashimatsushima Hideo Abe
dan Presiden HOPE Higashimatsushima Dr. Seiichi Otaki pada 15 November
2013. Nama lengkap dari perjanjian ini adalah “The Minutes of Meeting between
The Japan International Cooperation Agency and Banda Aceh City Republic of
Indonesia on Japanese Technical Cooperation under The JICA Partnership
Program for Community Based Mutual Reconstruction Acceleration Program by
Utilization of Local Resources in Banda Aceh City and Higashimatsushima City”.
Pada perjanjian kerjasama sister city tahap pertama ini meliputi bidang-
bidang, antara lain :
1. Rekonstruksi dan revitalisasi lokal yang di impelentasikan dengan adanya
pengelolaan kota yang berkelanjutan.
2. Manajemen bencana
Universitas Sumatera Utara
97
3. Kewirausahaan masyarakat, dan
4. Struktur organisasi pemerintahan daerah yang efektif.
Ruang lingkup kerjasama yang dilakukan pada tahap pertama lebih
bersifat umum pada sektor pengelolaan sampah, mitigasi bencana, perikanan dan
pariwisata serta community bussiness. Pada tahap pertama pula, kedua belah pihak
telah beberapa kali mengadakan program On the Job Training atau yang
selanjutnya disebut “OJT”(pertukaran delegasi) baik PNS maupun masyarakat
untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman.
Kemudian karena suksesnya kerjasama pada tahap pertama, kedua kota
dibawah kerjasamanya dengan JICA dan HOPE Higashimatsushima bersepakat
untuk kembali menjalin kerjasama. Kerjasama tahap 2 (dua) ditandatangani oleh
Walikota Banda Aceh yaitu Illiza Saladuddin Djamal dan Kepala Perwakilan
JICA Indonesia yaitu Naoki Ando yang disaksikan dengan Walikota
Higashimatsushima Hideo Abe dan Presiden HOPE Higashimatsushima Dr.
Seiichi Otaki pada 11 Desember 2015. Nama dari perjanjian ini adalah “The
Minutes of Meeting Between The Japan International Cooperation Agency and
Banda Aceh City Republic of Indonesia on Japanese Technical Cooperation
Under The JICA Partnership Program for Banda Aceh and Higashimatsushima
Mutual Reconstruction Project : Community Economic Empowerment for Local
Disaster Mitigation”.
Pada perjanjian tahap kedua ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut :
3. Perikanan
4. Comunal garden
5. Disaster management dan
Universitas Sumatera Utara
98
6. Program creative camp dengan tujuan guna membangun model
pemberdayaan ekonomi yang akan meningkatkan mitigasi bencana
regional.
Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam kerjasama ini tidak
digunakan istilah kerjasama sister city sebagaimana biasa digunakan dalam
praktik di Indonesia. Penggunaan istilah Minutes of Meeting dikarenakan adanya
perbedaan istilah dan terminologi yang digunakan sebagaimana yang dituangkan
mengenai perjanjian sister city pada bab sebelumnya. Namun hal tersebut
tidaklah menjadi permasalahan dimana dalam perjanjian ini dicari istilah yang
lebih mengakomodir kerjasama antara kedua kota yaitu Banda Aceh dan
Higashimatsushima dimana berada dalam JICA Partnership Program yang
dalam pelaksanaannya dibantu oleh HOPE Higashimatsushima.
Naskah Minutes of Meeting pada tahap satu dan dua terdiri dari satu
lembar pengesahan, kemudian diikuti oleh dokumen lampiran yang menerangkan
tentang pihak pelaksana program, hak dan kewajiban para pihak, dan konsultasi
timbal balik. Kemudian kedua MoM diikuti oleh lampiran yang berisi Garis Besar
Program yang secara lebih rinci lagi menerangkan tempat berlangsungnya
program, latar belakang terjadinya kerjasama, tujuan, area yang menjadi target,
sasaran, hasil dan indikator yang diharapkan, jangka waktu, dan pihak
pelaksana. Format dari kedua MoM tersebut serupa, namun pada perjanjian
tahap pertama terdapat tambahan lampiran mengenai garis besar ahli proyek
dan garis besar garis besar program On the Job Training (OJT) dan seminar
kewirausahaan masyarakat di Higashimatsushima.
Universitas Sumatera Utara
99
Materi dalam Minutes of Meeting tersebut telah mendapat persetujuan
dari DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan Menteri Luar Negeri. Dasar
dari penandatangan naskah kerjasama ini telah sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, baik Undang-undang Hubungan Luar
Negeri, Undang-undang Perjanjian Internasional, Undang-undang Pemerintahan
Daerah maupun Peraturan Menteri Luar Negeri sebagaimana telah dijelaskan dan
dianalisis pada bab sebelumnya. Perjanjian kerjasama ini tergolong baru karena
melibatkan JICA dan HOPE Higashimatsushima dalam pelaksanaannya namun
hal ini tidak menjadi suatu permasalahan yang berarti.
Universitas Sumatera Utara
100
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari pemaparan yang sudah dibahas pada bab-bab
sebelumnya, berikut merupakan beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari
pembahasan, antara lain adalah sebagai berikut :
5. Arus globalisasi yang begitu pesat ini secara tidak langsung juga
mempengaruhi hubungan internasional yang berlangsung. Hubungan
Internasional tidaklah lepas dari berbagai kegiatan yang dilakukan negara-
negara setiap waktunya. Implementasi yang dilakukan oleh negara-negara
dalam menghadapi globalisasi pun berbeda. Salah satu bentuk praktik tersebut
salah satunya membuat Perjanjian Internasional yang merupakan salah satu
dari sumber utama Hukum Internasional. Perjanjian Internasional yang
dibentuk antar negara tunduk kepada Konvensi Wina Tahun 1969 tentang
Hukum Perjanjian Internasional.
6. Secara hakikat, tidak ada perjanjian internasional yang dapat dibuat oleh
Pemerintah Daerah yang bertindak sebagai subyek karena Pemerintah Daerah
merupakan bagian dari pemerintahan sebuah negara dan bukanlah subyek
Hukum Internasional. Pengecualian dapat terjadi apabila dalam perundang-
undangan suatu negara memberi ruang bagi pemerintah daerahnya untuk
mengadakan sebuah perjanjian internasional. Peraturan perundang-undangan
Indonesia memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengambil peran
yang besar dalam mengadakan sebuah perjanjian internasional. Namun untuk
Universitas Sumatera Utara
101
7. mengesahkan sebuah perjanjian internasional yang telah dibuat diperlukan
koordinasi dan konsultasi terlebih dahulu oleh Pemerintah Daerah kepada
Menteri Luar Negeri yang merupakan instansi Pemerintah pusat. Selain itu
Pemerintah Daerah harus memiliki Full Powers ketika melakukan
penandatanganan sehingga perjanjian internasional dibuat atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.
8. Perjanjian Kerjasama sister city adalah salah satu bentuk perjanjian
internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah antara kota dengan kota
lainnya di dunia. Hal yang paling ditekankan pada perjanjian sister city adalah
adanya Full Powers yang diberikan pada Walikota atau sederajat sehingga
dapat bertindak atas nama Pemerintah Indonesia dan dapat dikatakan bahwa
sebenarnya perjanjian tersebut merupakan antara negara dengan negara
satunya.Kerjasama Sister City atau kota bersaudara antara Pemerintah Kota
Banda Aceh yang berada di Indonesia dan Kota Higashimatsushima yang
berada di Jepang merupakan salah satu dari kerjasama sister city yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan kota-kota lainnya di dunia. Materi
yang ada di dalam kerjasama kedua kota ini terjalin dikarenakan adanya visi
yang sama untuk bangkit dari kehancuran pasca gempa dan tsunami yang
pernah melanda kedua kota terkait. Kesamaan latar belakang ini membuat
kedua kota membuat kerjasama yang dinaungi oleh The JICA Partnership
Program yang merupakan lembaga dibawah Departemen Luar Negeri Jepang.
Kerjasama antar kedua kota ini berawal dari tahun 2011 dan masih
berlangsung hingga saat ini.
Universitas Sumatera Utara
102
B. SARAN
1. Hukum Internasional yang mengatur perjanjian dan kerjasama internasional
hingga saat ini dapat dikatakan sudah memiliki dasar hukum yang cukup kuat.
Namun jika ditelaah lebih lanjut, akan lebih baik apabila adanya penalaran
atau penjelasan yang lebih rinci lagi. Seperti mengenai pengertian negara yang
dibutuhkan penjelasan lebih tajam dan lebih pasti lagi agar tidak adanya
pendapat yang berbeda-beda.
2. Jika dilihat dari Hukum Internasional, Pemerintah Daerah bukanlah subyek
hukum internasional dan hingga saat ini tidak ada suatu tanda bahwa akan
adanya suatu konvensi internasional yang akan membahas hal tersebut secara
lebih lanjut. Seiring peran Pemerintah Daerah dalam perjanjian internasional
yang semakin besar, maka hal tersebut diharapkan dapat difasilitasi
berdasarkan perundang- undangan negara sehingga dasar hukumnya menjadi
lebih jelas. Hal ini dilakukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari. Selain itu, Departemen Luar Negeri sebagai koordinator dan
tempat konsultasinya Pemda dalam hal membuat perjanjian internasional tidak
sekedar menunggu inisiatif dari daerah yang akan mengadakan suatu
perjanjian kerjasama luar negeri akan tetapi Deplu diperlukan untuk lebih
proaktif dalam penyelenggaraan kerjasama luar negeri oleh pemerintah
daerah. Hal ini diperlukan agar terjaminnya pemenuhan ketentuan-ketentuan
suatu perjanjian internasional yang berlaku tepat sasaran dan berdaya guna.
3. Perjanjian kerjasama sister city yang merupakan perjanjian internasional yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah masih belum dimanfaatkan secara maksimal
oleh pemerintah daerah itu sendiri. Apabila dapat dimaksimalkan
Universitas Sumatera Utara
103
pemanfaatannya, perjanjian ini akan memberikan dampak yang cukup
signifikan bagi perkembangan dari kota yang bersangkutan. Evaluasi juga
diperlukan terkait implementasi kerjasama yang dapat dilakukan baik dari
masing-masing pihak maupun adanya penunjukan pihak ketiga. Selain itu
sosialisasi diperlukan ke penduduk kota guna agar penduduk dapat berperan
aktif. Dalam hal Perjanjian kerjasama sister city antara Pemerintah Kota
Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima dinilai sudah cukup baik
dikarenakan dilaksanakan dengan prosedur yang tepat dan implementasinya
yang sudah cukup baik di kedua kota sehingga dapat memunculkan manfaat
yang positif. Sudah terjadinya perjanjian kerjasama hingga dua tahap hingga
saat ini membuktikan adanya hubungan baik yang dijaga oleh kedua kota
sehingga dapat menjadi contoh yang baik bagi pembuatan kerjasama sister
city bagi kota-kota lainnya di dunia.
Universitas Sumatera Utara
104
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agusman, Damos Dumoli. 2010. Hukum Perjanjian Internasional : Kajian Teori
dan Praktik Indonesia . Bandung: Refika Aditama.
Brownlie, Ian. 1996. Principles of Public International Law. Oxford: Clarendon
Press.
BPS Aceh,2015, Banda Aceh Dalam Angka 2015, (Banda Aceh: Badan Pusat
Statistik Kota Banda Aceh.
Kansil, C. S. T. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia
Jakarta: Balai Pustaka.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2012. Pengantar Hukum Internasional. Cet. 2.
Bandung: PT.Alumni.
Kusumaatmadja, Mochtar, Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional,
Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung.
Likadja, Frans E. 1988. Desain Konstruksional Dasar Hukum Internasional.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mauna, Boer. 2011. Hukum Internasional Pengertian: Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.
Parthiana, I. Wayan. 2002. Hukum Perjanjian Internasional, Bagian I, Bandung, :
Mandar Maju.
Rudy, T. May. 2003. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-
masalah Global. Bandung: Refika Aditama.
Sefriani, SH, M.Hum. 2014. Hukum Internasional : Suatu Pengantar. Jakarta :
Rajawali Pers.
Sinclair, I.M. 1973. The Vienna Convention on the Law of Treaties. Manchester:
Manchester University Press.
Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional [An Introduction to
International Law]. Jilid I. Diterjemahkan oleh Bambang Iriana. Jakarta:
Sinar Grafika.
_______. 1992.Pengantar Hukum Internasional [An Introduction to International
Law]. Jilid II. Cet. 2. Diterjemahkan oleh Bambang Iriana. Jakarta: Sinar
Grafika.
JURNAL DAN MAKALAH Ariadno, Melda Kamil. “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum
Nasional”. Jurnal Hukum Internasional LPHI FHUI Volume 5 Nomor 3
(April 2008).
Deplu, “Prosedur Pembentukan Kerjasama Kota Kembar (sister City) dan
Propinsi kembar (sister province di Indonesia dengan kota dan propinsi di luar negeri, paper, tidak dipublikasikan, Jakarta. (2001)
Fitriyah, Hendrini Renola dan Faisyal Rani, Implementasi Kerjasama Sister City
Studi Kasus Sister City Bandung dan Braunschweig, Jurnal
Transnasional Volume 5 Nomor 1, (Juli 2013)
ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, 1967. AJIL, Vol 61.
Universitas Sumatera Utara
105
Kathy Carissa Bangun ,”Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya Dengan
Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah
Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa”, Skripsi, FH USU (2015)
Ko, Swan Sik. ”Beberapa Catatan atas Permasalahan Treaty di Indonesia”. Jurnal
Hukum Internasional LPHI FHUI Volume 5 Nomor 3 (April 2008).
Yuhassarie, Emmy. “Traktat Internasional dan Paradoks Globalisasi”. Jurnal
Hukum Internasional LPHI FHUI, Volume 3 Nomor 4 (Juli 2006).
Parthiana, I.Wayan. “Kajian Akademis atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional”. Jurnal Hukum Internasional LPHI
FHUI Volume 5 Nomor 3 (April 2008).
Purba, A. Umar Zen. “Berbagai Isu Aktual dalam Pelaksanaan Undang-Undang
Perjanjian Internasional”. Jurnal Hukum Internasional LPHI FHUI
Volume 5 Nomor 3 (April 2008).
Report of the ILC Special Rapporteur, 1962.
Sandityo, Harza. 2011, Tinjauan Hukum Atas Perjanjian Internasional yang
Dibuat oleh Pemerintah Daerah (Studi kasus: Perjanjian Kerjasama Sister
City/Sister Province, Jurnal Hukum Internasional, FH UI (2011)
Supriyanto, Agustinus, dan Andi Sandi ATT. “Pengembangan Potensi Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Melalui Kerjasama Sister Province”.
Mimbar Hukum Universitas Gajah Mada (Mei 2001).
The ICJ Aegean Sea Continental Shelf, 1978, Dalam tanggapannya terhadap
“Minutes signed by Foreign Ministers of Bahrain, Qatar and Saudi
Arabia, 1990
Usmar Salam,”Dinamika Kerjasama Internasional Provinsi di Indonesia dengan
Luar Negeri”, dalam Makalah Lokakarya Cara penanganan Kerjasama
Internasional, (2004). Wijayanti, Shannon. ”Perjanjian Sister City antara
Jogjakarta dengan Kyoto”, dalam Makalah Hukum Perjanjian
Internasional, FH Univ. Katolik Atma Jaya, (2014)
INTERNET
Wikipedia (2017). Kota Kembar. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_kembar,
diakses 5 November 2017.
http://en.wikipedia.org/wiki/Vienna_Convention_on_the_Law_of_Treati
es , diakses pada 7 November 2017
“Kota Banda Aceh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh,
diakses pada 27 November 2017
“Higashimatsushima”,
http://en.wikipedia.org/wiki/Higashimatsushimadiakses pada 27
November 2017
http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_dan_tsunami_T%C5%8Dhoku
_2011#cite_note-27 diakses pada 29 November 2017
http ://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Kerjasama_Internasional_Jepang
diakses pada 7 Desember 2017
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk
pengaturan-perjanjian-inrenasional diakses pada 17 November 2017
Universitas Sumatera Utara
106
http://www.sistercity.org/about-sister-cities-international, diakses 17 November
2017
http://sistercity.org/mission-and-history. diakses 17 November 2017
http://www.ccre.org/en/article/introducing_cemr “Introducing CEMR” diakses 17
November 2017
www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/buletin/buletin_mei_2013/ diakses 23
November 2017.
http://www.academia.edu/31053107/Sister_City_Yogyakarta diakses pada 23
November 2017
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/26-desember-2004-gempa-dan-
tsunami-getarkan aceh diakses pada 29 November 2017
http://www.bandaacehtourism.com/destinasi/banda-aceh-mengingatkan-iko-pada-
higashi-matsushima/#.Wh2r1tKWbIU diakses pada 29 November 2017
http://www.jica.go.jp/indonesia/indonesian/activities/activity03 diakses pada 7
Desember 2017
KAMUS Kamus Besar Bahasa Indonesia
KONVENSI DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Vienna Convention on The Law of Treaties, 1969
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Perubahannya
Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan
Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan
Konvensi Wina Tahun 1963 mengenai Hubungan Konsuler
Repubik Indonesia, Undang-undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri
Republik Indonesia, Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
Republik Indonesia, Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia No.
09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan
Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah
Republik Indonesia, Permendagri No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri
Universitas Sumatera Utara