ANALISIS RISIKO PRODUKSI BIHUN JAGUNG DI PT. SUBAFOOD
PANGAN JAYA, CIKUPA, TANGERANG
SKRIPSI
DEANNISA INDRIANI
11140920000074
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1440 H
ANALISIS RISIKO PRODUKSI BIHUN JAGUNG DI PT. SUBAFOOD
PANGAN JAYA, CIKUPA, TANGERANG
Oleh:
DEANNISA INDRIANI
11140920000074
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1440 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, November 2018
Deannisa Indriani
11140920000074
iii
RIWAYAT HIDUP
Nama : Deannisa Indriani
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 13 Desember 1995
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Perum. Bukit Cikasungka Blok BF 12 No. 2, RT 02/RW
010, Kec. Solear – Kab. Tangerang, 15730
No. Hp : 085890583852
E-mail : [email protected]
2000 – 2002 : TK Sekar Pertiwi
2002 – 2008 : SDS Dian Pertiwi
2008 – 2011 : SMPN 1 Balaraja
2011 – 2014 : SMAN 1 Kabupaten Tangerang
2014 – 2018 : S-1 Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
IDENTITAS DIRI
RIWAYAT PENDIDIKAN
iv
2007 : Anggota Ekskul DrumBand SDS Dian Pertiwi
2009 : Anggota Ekskul Club Matematika SMPN 1 Balaraja
2010 : Anggota Ekskul DrumBand SMPN 1 Balaraja
2012 – 2013 : Anggota Ekskul Kreativitas Seni Pelajar (Vokal)
2014 – 2016 : Anggota Divisi Manajemen OPK Dapur Seni,
Fakultas Sains dan Tenologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2017 : Penerima Beasiswa Peningkatan Akademik UIN Jakarta
2018 : Penerima Beasiswa Peningkatan Akademik UIN Jakarta
2017 : Praktik Kerja Lapang di PT. Subafood Pangan Jaya, Cikupa-
Tangerang
2018 : Asisten Laboratorium Ilmu Tanaman
PENGALAMAN ORGANISASI
PRESTASI YANG TELAH
DICAPAI
PENGALAMAN KERJA
v
RINGKASAN
Deannisa Indriani, Analisis Risiko Produksi Bihun Jagung di PT. Subafood
Pangan Jaya, Cikupa-Tangerang. Dibawah bimbingan Junaidi dan Rizki Adi
Puspita Sari.
PT. Subafood Pangan Jaya merupakan salah satu perusahaan yang bergerak
pada industri pengolahan pangan dengan produk utamanya adalah bihun berbahan
baku pati jagung. Munculnya risiko-risiko pada produksi bihun jagung akan
berdampak negatif terhadap perusahaan. Maka, perlu dilakukan tindakan
pencegahan risiko untuk dapat mengurangi dampak dari risiko yang ditimbulkan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi risiko yang timbul pada saat
proses produksi bihun jagung pada PT. Subafood Pangan Jaya. (2) Mengukur
seberapa besar risiko produksi bihun jagung pada PT. Subafood Pangan Jaya. (3)
Memetakan risiko produksi bihun jagung pada PT. Subafood Pangan Jaya. (4)
Mengetahui strategi penanganan risiko produksi bihun jagung pada PT. Subafood
Pangan Jaya.
Data pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
didapat dari pengamatan pelaksanaan aktivitas produksi serta informasi terkait
untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh perusahaan. Data sekunder didapat
melalui penelusuran berbagai dokumen tertulis pada perusahaan dan beberapa
penelitian terdahulu yang menjadi bahan rujukan bagi penelitian ini. Analisis
digunakan dengan menggunakan diagram tulang ikan, house of risk 1 (HOR 1),
diagram pareto, dan house of risk 2 (HOR 2). Serta dibantu dengan pengolahan
data menggunakan software Excel 2010.
Hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat 2 kejadian risiko pada tahap
mixing, 2 kejadian risiko pada tahap steaming mixer, 1 kejadian risiko pada tahap
ekstrussing, 1 kejadian risiko pada tahap steamingbox, 4 kejadian risiko pada
tahap cutting, 3 kejadian risiko pada tahap drying, 1 kejadian risiko pada tahap
cooling serta 3 kejadian risiko pada tahap packaging, dan teridentifikasi 48 agen
atau penyebab risiko secara keseluruhan. Berdasarkan tabel HOR Fase 1
diketahui agen atau penyebab risiko dengan nilai tertinggi yaitu 2 penyebab risiko
pada tahap mixing, 3 penyebab risiko pada tahap steaming mixer, 4 penyebab
risiko pada tahap ekstrussing, 3 penyebab risiko pada tahap steamingbox, 5
penyebab risiko pada tahap cutting, 4 penyebab risiko pada tahap drying, 2
penyebab risiko pada tahap cooling serta 4 penyebab risiko pada tahap packaging.
Berdasarkan prioritas penyebab risiko tersebut, maka diketahui terdapat 10
strategi preventif yang dapat direalisasikan untuk mereduksi penyebab risiko
tersebut.
Kata Kunci : Risiko, Bihun Jagung, Diagram pareto, House of Risk, Fishbone.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Puji dan Syukur atas Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan Pencipta
Alam karena atas Rahmat-Nyalah Skripsi yang berjudul “Analisis Risiko
Produksi Bihun Jagung di PT. Subafood Pangan Jaya, Cikupa, Tangerang”
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan Salam penulis panjatkan
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shallallah’Alayhi wa Sallam yang telah
membimbing umatnya dari zaman kejahiliahan hingga ke zaman terang benderang
seperti saat ini.
Adapun tujuan dari penyusunan Skripsi ini adalah sebagai syarat untuk
menyelesaikan program studi Strata-1 di Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis
pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik berupa materil dan moral yang sangat berarti dalam penyusunan
skripsi ini, diantaranya kepada:
1. Keluarga atas semua cinta dan kasih sayang, do’a yang tak pernah henti
dipanjatkan, dan dukungan yang tiada henti diberikan, sehingga semua
menjadi lebih mudah dan lancar.
2. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, MS dan Bapak Dr. Ir. Iwan Aminuddin, M.Si
selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Agribisnis yang
vii
telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Ir. Junaidi, M.Si dan Ibu Rizki Adi Puspita Sari, SP, MM selaku dosen
pembimbing I dan II yang telah membimbing penulis dengan baik dan
banyak membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
4. Bapak Ir. Mudatsir Najamuddin, MM dan Bapak Dr. Iwan Aminuddin, M.Si
selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan saran, dukungan dan
motivasi dalam perbaikan skripsi ini.
5. Ibu Ir. Siti Rochaeni, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik penulis yang
dengan sabar memberikan saran, motivasi dan dukungan kepada penulis.
6. Seluruh dosen dan staff Program Studi Agribisnis Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu,
pelajaran serta pengalaman selama penulis menjalani perkuliahan.
7. Pihak PT. Subafood Pangan Jaya yang telah menjadi fasilitator penulis untuk
melakukan penelitian.
8. Bapak Asep, selaku Manajer Produksi, Bapak Taufik selaku supervisor
produksi, Ibu Galuh Muhniyati selaku Manajer Quality Control, Bapak Dwi
Paskah selaku Manajer Teknik PT. Subafood Pangan Jaya yang telah
memberikan arahan, bimbingan serta bantuannya kepada penulis selama
melakukan penelitian.
9. Bapak Syahroni, Ibu Febriyanthi, Ibu Iis , Ibu Nurul, Bapak Iing, Bapak
Didi.S, dan Bapak Bayu, selaku karyawan Departemen Teknik Industri,
viii
Teknik Mesin, Produksi, HRD, dan Logistik yang setiap harinya telah banyak
membantu penulis selama kegiatan penelitian berlangsung.
10. Vivi Ataini, Tia Septiyani, Humairra Avicienna, Ninda Amillia Putri, Lulu
Hana Salsabila, Ulfa Fitriana, Oktaria Dwita Permata, Fergy Dyah, Lussyana
dan Sahrul Maulidian untuk indahnya persahabatan dan persaudaraan yang
telah terjalin, serta atas kerjasama, dukungan, semangat dan motivasi, dan
sebagai tempat bertukar pikiran dari awal perencanaan penelitian hingga
selesai.
11. Novela Fransisca, Ria Aulia dan Bersita Hasugian yang telah menjadi obat
dikala penulis merasa jenuh dan senang sejak Sekolah Dasar, sebagai tempat
bertukar fikiran serta memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis.
12. Teman-teman, kakak-kakak senior Agribisnis UIN Jakarta, khususnya
angkatan 2014 sekeluarga yang telah memberikan dukungan dan bantuan
kepada penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini pun tidak luput dari kesalahan, maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran pada skripsi ini, agar kelak skripsi
ini dapat menjadi lebih baik dan dapat bermanfaat serta dapat menambah
wawasan bagi penulis dan pada umumnya bagi pembaca, Amin.
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatu
Jakarta, November 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i
PERNYATAAN ............................................................................................... ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... iv
RINGKASAN .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 7
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 8
1.5 Ruang Lingkup ............................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 10
2.1 Definisi Agribisnis ..................................................................... 10
2.2 Gambaran Umum dan Karakteristik Bihun ............................... 12
2.3 Definisi Produksi ....................................................................... 14
2.4 Risiko ......................................................................................... 17
2.4.1 Konsep Risiko Agribisnis .................................................. 18
2.4.2 Jenis Risiko ....................................................................... 19
2.5 Manajemen Risiko ..................................................................... 21
2.6 Diagram Tulang Ikan .................................................................. 32
2.7 Diagram Pareto ........................................................................... 35
x
2.8 House of Risk (HOR) ............................................................... 36
2.8.1 HOR Fase 1 ..................................................................... 38
2.8.2 HOR Fase2 ...................................................................... 41
2.9 Penelitian Terdahulu .................................................................. 44
2.10 Kerangka Pemikiran ................................................................ 47
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 50
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 50
3.2 Sumber dan Jenis Data ............................................................... 50
3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 51
3.4 Metode Analisis Data ................................................................. 55
3.4.1 HOR (House of Risk) Fase 1 ............................................ 55
3.4.1.1 Agregate Risk Potential (ARPj) ............................ 56
3.4.1.2 Diagram Pareto....................................................... 56
3.4.2 HOR (House of Risk) Fase 2 ............................................ 58
3.4.2.1 Total Effectiviness (TEk)........................................ 60
3.4.2.2 Effectiveness To Difficulty Ratio (ETDk) ............. 60
3.5 Definisi Operasional .................................................................. 61
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ...................................... 63
4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ..................................... 63
4.2 Lokasi dan Tata Letak Perusahaan ............................................ 66
4.3 Visi dan Misi Perusahaan .......................................................... 66
4.4 Struktur Organisasi .................................................................... 67
4.4.1 Tenaga Kerja .................................................................... 70
4.4.2 Kesejahteraan Karyawan ................................................. 72
4.5 Aktivitas Produksi Bihun Jagung .............................................. 74
4.5.1 Mesin dan Alat Produksi Bihun Jagung .......................... 74
4.5.2 Bahan Baku Bihun Jagung ............................................... 77
4.5.3 Proses Produksi Bihun Jagung .......................................... 77
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 84
5.1 Identifikasi Risiko Produksi Bihun Jagung ............................... 84
xi
5.1.1 Identifikasi Kejadian Risiko ............................................. 87
5.1.2 Identifiksi Penyebab Risiko .............................................. 92
5.1.2.1 Tahap Mixing ........................................................ 92
5.1.2.2 Tahap Steaming mixer ........................................... 94
5.1.2.3 Tahap Ekstrussing .................................................. 97
5.1.2.4 Tahap Steamingbox .............................................. 100
5.1.2.5 Tahap Cutting ...................................................... 101
5.1.2.6 Tahap Drying ...................................................... 104
5.1.2.7 Tahap Cooling ..................................................... 107
5.1.2.8 Tahap Packaging ................................................. 108
5.2 Pengukuran Risiko ................................................................... 110
5.2.1 Penilaian Dampak Risiko (Saverity) .............................. 110
5.2.2 Penilaian Probabilitas Risiko (Occurrence) .................. 113
5.2.2.1 Tahap Mixing ...................................................... 113
5.2.2.2 Tahap Steaming mixer ......................................... 114
5.2.3.3 Tahap Ekstrussing ................................................ 115
5.2.2.4 Tahap Steamingbox ............................................. 116
5.2.2.5 Tahap Cutting ...................................................... 117
5.2.2.6 Tahap Drying ...................................................... 118
5.2.2.7 Tahap Cooling ..................................................... 119
5.2.2.8 Tahap Packaging ................................................. 120
5.2.3 Penilaian Tingkat Korelasi Antara Penyebab Risiko
dengan Kejadian Risiko ................................................ 121
5.3 Pemetaan Risiko ...................................................................... 122
5.3.1 Pemetaan Risiko Tahap Mixing ..................................... 122
5.3.2 Pemetaan Risiko Tahap Steaming mixer ....................... 123
5.3.3 Pemetaan Risiko Tahap Ekstrussing ............................... 124
5.3.4 Pemetaan Risiko Tahap Steamingbox ............................ 125
5.3.5 Pemetaan Risiko Tahap Cutting .................................... 126
5.3.6 Pemetaan Risiko Tahap Drying ..................................... 127
5.3.7 Pemetaan Risiko Tahap Cooling .................................... 128
5.3.8 Pemetaan Risiko Tahap Packaging ............................... 129
5.4 Penentuan Tindakan Penanganan Risiko ................................. 130
5.4.1 Penilaian Tingkat Kesulitan Tindakan Penanganan
Risiko ............................................................................ 131
5.4.2 Penilaian Keefektifan Tindakan Penanganan Risiko ...... 132
5.4.3 Penilaian Tingkat Korelasi Tindakan Penanganan Risiko
dengan Penyebab Risiko ................................................ 132
5.4.4 Prioritas Tindakan Penanganan Risiko ........................... 132
xii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 153
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 153
6.2 Saran .................................................................................................. 155
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 157
LAMPIRAN ................................................................................................ 169
xiii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Standar Kualitas Bihun .............................................................................. 3
2. Data Kerusakan Produk Bihun Jagung Tahun 2017 ................................... 4
3. Model HOR Fase 1 .................................................................................. 39
4. Model HOR Fase 2 .................................................................................. 43
5. Matriks Penelitian Terdahulu .................................................................... 47
6. Daftar Kuesioner Penelitian ...................................................................... 53
7. Contoh Model HOR Fase 2 Penelitian: Proses mixing ............................. 59
8. Jumlah Karyawan PT. Subafood Pangan Jaya ......................................... 72
9. Daftar Kejadian Risiko (Risk Event) ........................................................ 88
10. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Mixing ............................................ 93
11. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Steaming mixer ............................... 95
12. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Ekstrussing ..................................... 97
13. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Steamingbox ................................. 100
14. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Cutting .......................................... 102
15. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Drying ........................................... 104
16. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Cooling .......................................... 107
17. Identifikasi Penyebab Risiko Tahap Packaging ..................................... 108
18. Penilaian Tingkat Dampak Kejadian Risiko (Severity) .......................... 112
19. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Mixing ............ 114
20. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Steamingmixer 115
21. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Ekstrussing .... 116
xiv
22. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Steamingbox ... 117
23. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Cutting ........... 118
24. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Drying ............ 119
25. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Cooling .......... 120
26. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko Tahap Packaging ...... 120
27. Penilaian Tingkat Kesulitan (Dk) Tindakan Penanganan Risiko ............ 131
xv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Data Target dan Hasil Produksi Bihun Jagung Tahun 2017 ....................... 5
2. Konsep Sistem dan Usaha Agribisnis ....................................................... 11
3. Skema Sistem Produksi ............................................................................ 15
4. Proses Manajemen Risiko ........................................................................ 24
5. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone) Tipe Rangkuman Sebab- Akibat ....... 33
6. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone) Tipe Klasifikasi Proses Produksi ...... 34
7. Struktur Diagram Pareto .......................................................................... 36
8. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................. 49
9. Model Diagram Pareto Penelitian ............................................................ 57
10. Produk PT. Subafood Pangan Jaya .......................................................... 65
11. Alur Proses Produksi Bihun Jagung .......................................................... 83
12. Diagram Tulang Ikan Produksi Bihun Jagung ......................................... 86
13. Pemetaan Risiko Tahap Mixing ................................................................... 122
14. Pemetaan Risiko Tahap Steaming mixer ...................................................... 123
15. Pemetaan Risiko Tahap Ekstrussing ........................................................... 124
16. Pemetaan Risiko Tahap Steamingbox ......................................................... 125
17. Pemetaan Risiko Tahap Cutting .................................................................. 126
18. Pemetaan Risiko Tahap Drying .................................................................... 127
19. Pemetaan Risiko Tahap Cooling .................................................................. 128
20. Pemetaan Risiko Tahap Packaging ............................................................. 129
21. HOR Fase 2 Tahap Mixing............................................................................ 134
xvi
22. HOR Fase 2 Tahap Steaming mixer ............................................................. 137
23. HOR Fase 2 Tahap Ekstrussing .................................................................... 139
24. HOR Fase 2 Tahap Steamingbox.................................................................. 142
25. HOR Fase 2 Tahap Cutting ........................................................................... 145
26. HOR Fase 2 Tahap Drying............................................................................ 148
27. HOR Fase 2 Tahap Cooling .......................................................................... 150
28. HOR Fase 2 Tahap Packaging ..................................................................... 152
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Struktur Organisasi PT. Subafood Pangan Jaya ....................................... 159
2. Matriks Penelitian ................................................................................... 160
3. Matriks Instrumen Penelitian .................................................................. 161
4. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone) .......................................................... 164
5. Kuesioner Penelitian HOR 1 .................................................................... 166
6. Kuesioner Penelitian HOR 2 .................................................................... 173
7a. Tabel HOR 1 Tahap Mixing .................................................................... 178
7b. Tabel HOR 1 Tahap Steaming mixer ....................................................... 178
7c. Tabel HOR 1 Tahap Ekstrussing ............................................................. 179
7d. Tabel HOR 1 Tahap Steamingbox ........................................................... 179
7e. Tabel HOR 1 Tahap Cutting ................................................................... 180
7f. Tabel HOR 1 Tahap Drying...................................................................... 181
7g. Tabel HOR 1 Tahap Cooling .................................................................. 181
7h. Tabel HOR 1 Tahap Packaging .............................................................. 182
8. Daftar Penyebab Risiko (Risk Agent), pada PT. Subafood Pangan Jaya 183
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terdapat berbagai aneka jenis mie yang ditemukan di pasaran. Secara
sederhana, berbagai jenis mie tersebut dapat dibedakan berdasarkan bahan baku
yang digunakannya. Teknik pembuatan mie berdasarkan bahan baku dapat
dibedakan menjadi mie berbahan baku tepung terigu dan non terigu. Bihun
merupakan salah satu produk mie berbahan baku non terigu. Bihun merupakan
jenis mie dari beras yang paling banyak dikenal. Bihun yang terbuat dari beras
sering dikeluhkan karena berbau apek dan sangat mudah hancur apabila dilakukan
proses pengolahan lebih lanjut. Kelemahan dari bihun beras inilah yang
menyebabkan semakin berkembangnya bihun jagung di Indonesia (Munarso,
2012: 179).
Bihun jagung adalah produk makanan yang terbuat dari pati jagung dengan
atau tanpa penambahan bahan pangan lain yang diizinkan dan berbentuk benang-
benang khas bihun. Bihun biasanya terbuat dari beras melalui proses ekstrusi
sehingga memperoleh bentuk seperti benang. Beras pera dengan kadar amilosa
tinggi paling cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan bihun. Beras yang
rendah kadar amilosanya akan menghasilkan bihun yang lembek (Munarso, 2012:
179).
Beras memiliki kandungan amilosa yang tinggi sama dengan kandungan
amilosa jagung. Amilosa yang tinggi mudah mengalami retrogadasi dan memiliki
penampakan pasta yang lebih kompak. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan
2
pembuatan bihun dari bahan baku pati jagung dapat meningkatkan nilai guna dari
jagung, meningkatkan nilai ekonomisnya dan menciptakan bahan pangan dengan
cita rasa dan warna baru karena bihun yang biasa kita kenal adalah bihun dari
beras yang memiliki warna putih, sedangkan bihun yang terbuat dari pati jagung
memiliki warna kuning pucat (Astawan, 2008: 45).
PT. Subafood Pangan Jaya merupakan salah satu perusahaan yang
bergerak dibidang pengolahan pangan. Hasil produksi PT. Subafood Pangan Jaya
adalah bihun dengan menggunakan corn starch atau pati jagung sebagai bahan
baku utamanya. Beberapa produk bihun jagung yang telah diproduksi PT.
Subafood Pangan Jaya adalah bihun jagung cap Tanam Jagung, cap Pilihan Bunda
dan cap Panen Jagung.
Sama halnya dengan perusahaan pada umumnya, PT. Subafood Pangan
Jaya memiliki standar kualitas pada produk bihun jagung yang dihasilkan seperti
warna bihun kuning pucat, kadar air sebesar 12%. Standar kualitas untuk
persyaratan mutu bihun berdasarkan pada SNI 7621; 2011 dapat dilihat pada
Tabel 1.
3
Tabel 1. Standar Kualitas Bihun No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
Bau - Normal
Warna - Putih hingga putih
kekuningan
Rasa - Normal
2 Benda asing - Tidak ada
3 Keutuhan % Min 90
4 Kadar air (bb) % Maks. 12
5 Abu (bb) Maks. 0.4
6 Cemaran logam
Cadmium (Cd) mg/kg Maks. 0.1
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0.3
Timah (Sn) mg/kg Maks. 40
Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0.05
7 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5
8 Cemaran Mikroba
Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 10³
(35°c , 48 Jam)
Escherichia coli APM/g Mak. 10
Staphylococcous aureus Koloni/g Maks. 1 x 10³
Bacillus Cereus Koloni/g Maks. 1 x 10³
Kapang Koloni/g Maks. 1 x 104
Sumber: SNI 7621; 2011
Dalam perusahaan pengolahan makanan, kualitas produk merupakan hal
yang sangat penting dalam menjaga mutu produk yang dihasilkan di mata
konsumen. Pengendalian mutu akan menentukan apakah produk tersebut benar-
benar layak untuk dipasarkan atau tidak. Namun, di dalam penentuan mutu produk
tentunya terdapat hal yang ditemukan dalam proses produksi sebelum produk
tersebut diuji kualitas mutunya. Pada PT. Subafood Pangan Jaya terdapat hal yang
ditemui tentang adanya produk yang rusak seperti warna bihun yang tidak sesuai
dengan standar yang disebabkan karena terkontaminasi dengan mesin produksi,
hingga ketidaksesuaian ukuran gelombang pada bihun yang dihasilkan. Batas nilai
4
toleransi kerusakan produk yang telah ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar
2% dari total produk yang dihasilkan. Proses produksi bihun jagung dalam satu
hari dilakukan sebanyak tiga shift. Menurut data perusahaan PT. Subafood Pangan
Jaya, dapat dilihat bahwa masih banyak terdapat produk rusak selama satu tahun
(Januari 2017 – Desember 2017). Data kerusakan produk tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Kerusakan Produk Bihun Jagung Tahun 2017
Bulan
Total
produksi
(Kg)
Jenis Produk Riject
Total
riject
(kg)
% Bihun
Basah
(kg)
Ex
Cutting
(kg)
HP A
(kg)
HP B
(kg)
HH
(kg)
HK
(kg)
Januari 1.139.85
0
197 1.230 2.650 29 34 3.760 7.000 1,8
Februari 857.124 122 0 8.400 36 13 6.200 14.77
1
5,1
Maret 1.097.91
9
144 0 1.210 101 16 6.190 7.661 1,9
April 1.094.88
4
82 0 3.300 45 6 3.500 6.933 1,8
Mei 1.188.08
1
108 0 1.530 43 4 6.220 7.905 1,9
Juni 915.861 102 4 5.870 48 56 3.264 9.344 3,0
Juli 1.137.58
3
1.009 3 3.135 106 70 5.610 9.933 2,6
Agustus 1.320.93
1
55 12 4.990 15 13 4.660 9.745 2,2
September 1.139.23
4
192 1.767 2.924 782 10 5.565 11.24
0
2,9
Oktober 1.317.12
3
153 0 0 67 22 4.590 4.832 0,1
November 1.046.00
5
101 0 1.500 39 6 6.200 6.846 1,9
Desember 1.079.45
1
124 0 4.410 51 5 5.300 9.890 2,8
Sumber: PT. Subafood Pangan Jaya, 2018
Berdasarkan Tabel 2 dapat terlihat selama tahun 2017 masih terdapat
banyak kerusakan, seperti Bihun Basah yaitu bihun yang tidak mencapai
kekeringan standar, Hancur Patah A yaitu bihun yang memiliki bentuk fisik yang
5
tidak sempurna (patah), sedangkan Hancur Patah B merupakan bihun yang tidak
sesuai standar karena terdapat benda lain yang dihasilkan oleh sisa adonan yang
terdapat pada mesin screw atau steambox. Selain itu ditemukan produk reject
lainnya yang masuk kategori Hancur Halus, yaitu bihun yang tidak sesuai standar
pada saat proses sebelum packing berbentuk remahan dan masih dalam kondisi
bersih, dan Hancur Kotor yaitu bihun yang tidak sesuai standar karena bentuk
dimensi dan kotor karena kotoran debu atau terjatuh dilantai, Ex. Cutting atau
produk bihun yang tidak sesuai standar pada saat proses cutting. Produk reject
tersebut terjadi pada tahapan mixing, steaming mixer, ekstrussing, steamingbox,
cutting, cooling sampai dengan packaging tetapi masih bisa dirework kembali
atau dijual kepada pengolah pakan ternak apabila produk tekontaminasi dengan
benda asing dan terjatuh ke lantai. Produk reject yang melebihi batas toleransi
perusahaan terjadi pada bulan Februari, Juni, Juli, Agustus, September dan
Desember 2017. Produk reject tersebut sangat berpengaruh terhadap pencapaian
target dan hasil produksi bihun jagung yang diperoleh oleh perusahaan. Dapat
dilihat pencapaian target produksi bihun jagung pada bulan Januari-Desember
2017 terlihat fluktuatif, seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Data Target dan Hasil Produksi Bihun Jagung Tahun 2017 Sumber: PT. Subafood Pangan Jaya, 2018
0500,000
1,000,0001,500,000
Jan
uar
i
Feb
ruar
i
Mar
et
Ap
ril
Mei
Jun
i
Juli
Agu
stu
s
Sep
tem
ber
Okt
ob
er
No
vem
ber
Des
emb
er
Data Target dan Realisasi (Kg) Tahun 2017
Target Relisasi
6
Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa target pada bulan Februari,
Juni, Juli, Agustus, September dan Desember 2017 tidak tercapai. Kejadian
tersebut mengindikasikan bahwa dalam menjalankan usahanya, PT. Subafood
Pangan Jaya tidak terlepas dari risiko produksi. Produk riject sebagai bukti nyata
risiko produksi bihun jagung ini dapat mengurangi keuntungan perusahaan,
menambah biaya variabel, bahkan menimbulkan kerugian.
Kendala yang terjadi apabila dibiarkan secara terus-menerus dampaknya
secara tidak langsung berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha perusahaan
tersebut, sehingga perlu diidentifikasi risiko yang terdapat pada kegiatan produksi
di perusahaan PT. Subafood Pangan Jaya. Identifikasi risiko produksi dalam
perusahaan dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi seluruh jenis risiko
yang berpotensi mempengaruhi penurunan kualitas dalam kegiatan proses
produksi serta melakukan evaluasi dari bahaya-bahaya yang terkait dengan
produk. Oleh karena itu, penanganan risiko produksi harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya agar tidak menghambat pencapaian tujuan perusahaan. Risiko
produksi dapat dikurangi dengan mengidentifikasi dan menganalisis risiko
produksi melalui diagram alir proses produksi. Dengan demikian, keputusan
untuk menghindari atau mengurangi risiko dapat dilakukan secara tepat.
Sebagai perusahaan yang besar, PT. Subafood Pangan Jaya telah
melakukan preventive action yaitu dengan mengadakan kegiatan pelatihan atau
training terhadap karyawan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
agar dapat mengurangi kendala yang terjadi yaitu masih banyaknya produk reject,
namun pada kenyataannya masih banyak terdapat produk reject yang melebihi
7
batas toleransi yang telah ditentukan oleh perusahaan, sehingga keputusan untuk
menghindari atau mengurangi risiko belum efektif.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka perumusan masalah
yang dapat ditetapkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja risiko yang teridentifikasi pada proses produksi bihun jagung di
PT. Subafood Pangan Jaya?
2. Bagaimana pengukuran risiko produksi bihun jagung pada PT. Subafood
Pangan Jaya?
3. Bagaimana pemetaan risiko produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan
Jaya?
4. Apa saja strategi preventif yang tepat untuk menghindari risiko yang dapat
dilakukan pada produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi risiko produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan
Jaya.
2. Mengukur seberapa besar risiko produksi bihun jagung di PT. Subafood
Pangan Jaya.
3. Memetakan risiko produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya.
8
4. Mengetahui strategi preventif yang tepat untuk menghindari risiko pada
produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
terkait dengan risiko produksi yang dihadapi perusahaan serta sebagai bahan
evaluasi dan bahan pertimbangan pihak PT. Subafood Pangan Jaya dalam
menangani risiko produksi bihun jagung.
2. Bagi akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
kepentingan edukasi sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya, dan sumber
informasi bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.
3. Bagi penulis, penelitian ini memberikan kesempatan belajar dan sebagai
salah satu sarana penerapan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama
perkuliahan serta dapat memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan
informasi terkait bidang agribisnis yang berhubungan dengan risiko
produksi.
9
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini berfokus pada risiko yang terjadi pada serangkaian proses
produksi bihun jagung yang dimulai dari tahap mixing, steaming mixer,
extrussing, steamingbox, cutting, drying, cooling, dan packaging. Penelitian ini
diawali dengan mengamati proses-proses produksi bihun jagung berdasarkan SOP
produksi bihun jagung yang ada di PT. Subafood Pangan Jaya untuk dapat
mengidentifikasi risiko yang terjadi pada setiap prosesnya. Alat analisis yang
digunakan untuk mengidentifikasi risiko yang terjadi adalah dengan menggunakan
diagram tulang ikan. Setelah itu dilakukan pengukuran risiko dengan bantuan
skala likert 1-5 dan skala korelasi yaitu 0,1,3,9 yang kemudian akan dianalisis
dengan menggunakan alat analisis HOR (House Of Risk) fase 1, serta untuk
pemetaan risiko dengan menggunakan diagram pareto. Kemudian dilakukan
pengukuran korelasi antara strategi preventif dengan penyebab risiko berdasarkan
derajat kesulitan, tingkat keefektifan, rasio tingkat keefektifan dan kesulitan
strategi preventif dengan menggunakan alat analisis HOR fase 2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Agribisnis
Menurut Wastra (2015:8) istilah “agribisnis” berasal dari bahasa inggris
(agribusiness) yang berasal dari agriculture (pertanian) dan business (bisnis).
Agribisnis adalah keseluruhan dari serangkaian operasi yang terlibat dalam
produksi dan distribusi masukan pertanian, operasi produksi di lahan pertanian,
penyimpanan, pengolahan dan distribusi komoditas pertanian lainnya. Menurut
Arsyad dkk (1985) dalam Soekartawi (2003:9) agribisnis adalah satu kegiatan
usaha yang meliputi satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan
hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian. Agribisnis sebagai
suatu sistem yang terpadu dan berkesinambungan dari hulu hingga hilir.
Menurut Suparta (2005: 22) konsep sistem agribisnis yaitu keseluruhan
aktivitas bisnis dibidang pertanian yang saling terkait dan tergantung satu sama
lain, mulai dari subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, subsistem
usahatani, subsistem pengolahan dan penyimpanan hasil (agroindustri), subsistem
pemasaran dan subsistem jasa penunjang, seperti pada Gambar 2. Hubungan
antara satu subsistem dengan subsistem yang lain sangat erat dan saling
tergantung, sehingga gangguan pada satu subsistem dapat menyebabkan
terganggunya keseluruhan subsistem.
11
Gambar 2. Konsep Sistem dan Usaha Agribisnis Sumber: Suparta (2005: )
Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi berfungsi untuk
menghasilkan dan menyediakan sarana produksi pertanian terbaik agar mampu
mengasilkan produk usaha tani yang berkualitas (Suparta, 2005: 25). Subsistem
pengadaan dan penyaluran sarana produksi juga disebut sebagai agribisnis hulu
(upstream agribusiness) diartikan sebagai kegiatan yang menginovasi,
memproduksi dan mendistribusikan sarana produksi pertanian, baik industri alat
mesin pertanian, pupuk, benih serta obat pengendalian hama dan penyakit
(Saragih, 2001: 18). Subsistem pasca panen dan pengolahan lanjutan dapat
berfungsi untuk mengadakan pengolahan lanjut baik tingkat primer, sekunder dan
tersier untuk mengurangi susut nilai atau meningkatkan mutu produk agar dapat
Subsistem
perusahaan
pengadaan
dan
penyaluran
sarana
produksi :
a. Bibit
b. Pupuk
c. Pakan
Subsistem
perusahaan
produksi
usahatani :
a. Pangan
b. Hortikultura
c. ternak
Subsistem
perusahaan
pengolahan
hasil
(Agroindustri) :
a. Penanganan
pasca panen
b. Pengolahan
lanjutan
Subsistem
perusahaan
pemasaran
hasil :
a. Perdagangan
domestik
b. Perdagangan
ekspor
Subsistem jasa penunjang :
Pengaturan, penelitian, penyuluhan, informasi, kredit
modal, transportasi, asuransi agribisnis dan pasar.
12
memenuhi kebutuhan dan selera konsumen, serta berfungsi memperlancar
pemasaran hasil melalui perencanaan sistem pemasaran yang baik (Suparta, 2005:
28). Saragih (2001: 22) mengemukakan agribisnis hilir (downstream
agribusiness) merupakan aktivitas penanganan pasca panen dan pengolahan
berbagai hasil usahatani menjadi berbagai produk olahan dan produk turunan
(agroindustri).
Subsistem pemasaran mencakup hasil-hasil usahatani dan agroindustri
baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama subsistem ini adalah
pemantauan dan pengembangan informasi pasar domestik maupun luar negeri.
Subsistem jasa penunjang yang meliputi, penyuluhan, penelitian, informasi
agribisnis, pengaturan, kredit modal dan, transportasi secara aktif maupun pasif
berfungsi untuk menyediakan layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis
untuk melancarkan aktifitas perusahaan dan sistem agribisnis (Suparta, 2005: 33).
2.2 Gambaran Umum dan Karakteristik Bihun
Bihun merupakan salah satu jenis mie berbahan dasar tepung beras, tepung
atau pati jagung yang paling banyak dikenal dan digemari, bahkan sudah menjadi
bagian makana pokok. Produk ini biasa dibuat dari beras yang sifat nasinya pera
atau kadar amilosanya mencapai 27% atau lebih. Produk bihun yang terbuat dari
beras dan melibatkan proses ekstrusi seperti di atas disebut Senlek di Thailand. Di
beberapa tempat lain, bihun dikenal dengan sebutan bihon, bijon, bifun, mehon,
vermicelli dan lain-lain (Haryadi, 2014: 90).
13
Ada dua jenis bihun yang biasa dijual di pasaran yaitu bihun kering dan
bihun instan. Bihun kering biasanya dijual dalam kemasan besar dan harus
direndam dengan air panas atau di goreng sebelum digunakan lalu diolah menjadi
berbagai masakan. Sedangkan bihun instan biasanya dijual dalam kemasan kecil
yang dilengkapi dengan bumbu.
Pada prinsipnya bihun dibuat dengan cara merendam beras di dalam air,
kemudian digiling secara basah hingga diperoleh bubur beras mentah. Air yang
ada dipisahkan melalui proses pengendapan atau pengepresan. Padatan yang
diperoleh kemudian dikukus atau dimasukkan ke dalam air panas hingga
mengapung, dilanjutkan dengan pengadukan ulang. Setelah bagian yang
tergelatinisasi tersebut merata, maka adonan dimasukkan ke dalam extruder
sederhana yang dilengkapi die ( lubang-lubang kecil) di ujungnya. Benang-benang
adonan yang keluar kemudian dikukus 30-45 menit, didinginkan dan dijemur
hingga kering (Haryadi, 2014: 92).
Selain kandungan amilosa pada beras, faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap kualitas bihun adalah suhu gelatinisasi dan konsistensi gel pati. Beras
yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi apabila dimasak akan membutuhkan air
yang lebih banyak dan waktu lebih lama dibandingkan dengan beras bersuhu
gelatinisasi rendah. Jenis padi yang cocok untuk diolah menjadi bihun yaitu
memiliki amilosa tinggi (25-30%), suhu gelatinisasi rendah (55-69 oC), serta
memiliki gel dengan konsistensi keras.
Selain terbuat dari beras, bihun juga ada yang berbahan baku jagung. Pada
prinsipnya untuk cara pembuatan bihun adalah sama seperti yang dijelaskan
14
sebelumnya. Ada beberapa perbandingan antara bihun jagung dan bihun beras,
beberapa diantaranya adalah bihun beras sering dikeluhkan oleh penggunanya
karena berbau apek dan sangat mudah hancur jika diolah dengan cara ditumis.
Bihun jagung biasanya berbahan dasar jagung yang unggul (Hibrida) dan
hasilnya lebih mengembang dari pada bihun beras. Jagung merupakan jenis
komoditas yang mempunyai banyak manfaat dan bagus untuk kesehatan apabila
dikonsumsi. Selain itu, jagung banyak tumbuh subur di Indonesia. Selanjutnya
mengenai pengolahan bihun jagung ini lebih canggih dimana proses produksi dari
awal hingga akhir dijalankan oleh mesin, sehingga kehigienisan dan
kebersihannya sangat terjaga karena tidak terjadi kontak langsung dengan tangan
manusia. Bihun jagung diproses dari pati jagung (corn starch) murni 100% tanpa
ada campuran yang lain hanya ditambahkan dengan air sehingga hasilnya
mendapatkan sifat dasar jagung yaitu kenyal dan dilihat dari proses pembuatannya
bihun jagung tidak menggunakan zat pengawet dan zat lilin sehingga aman sekali
untuk di konsumsi oleh semua orang dari segala usia.
2.3 Definisi Produksi
Menurut Heizer (2014: 3), produksi (production) adalah sebuah penciptaan
barang dan jasa. Sedangkan pengertian produksi atau operasi menurut Pramana
(2011: 110) pada dasarnya adalah proses transformasi atau perubahan input
menjadi output.
Menurut Masyhuri (2007: 24) sistem produksi merupakan keterkaitan
komponen satu (input) dengan komponen lain (output) dan juga menyangkut
15
„prosesnya‟ terjadi interaksi satu dengan lainnya untuk mencapai satu tujuan.
Salah satu lingkungan ekonomi adalah sistem produksi. Komponen dalam sistem
produksi adalah input, proses, dan output. Komponen input meliputi: tanah,
tenaga kerja, modal (capital), manajemen, energi, informasi, dan sebagainya yang
ikut berperan menjadi komponen atau bahan baku dari suatu produk. Komponen
output adalah barang dan/atau jasa. Komponen proses dalam mentrasformasi nilai
tambah dari input ke output adalah pengendalian input, pengendalian proses itu
sendiri, dan pengendalian teknologi sebagai upaya umpan balik dari output ke
input. Upaya umpan balik ini adalah dalam rangka untuk menjaga kualitas output
yang diinginkan sesuai dengan harapan (expectation) produsen seperti yang
terdapat pada skema Gambar 3.
Gambar 3. Skema Sistem Produksi Sumber: (Masyhuri, 2007:24)
Menurut Pramana (2011: 110-112) input, proses, hingga penanganan
output akan mempengaruhi produktifitas (termasuk efektivitas, efisiensi dan
16
kualitas). Oleh karena itu, semuanya harus dikendalikan. Masalah risiko produksi
bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Kualitas bahan yang rendah
Kualitas bahan yang rendah akan dapat menimbulkan kesulitan pada saat
proses produksi. Misalnya tingginya kecacatan produk atau produk yang tidak
memenuhi standar. Selain itu, tidak terjaminnya ketersediaan bahan dapat
menganggu kelancaran proses produksi. Kegiatan ini bisa terhenti karena
kurangnya bahan atau keterlambatan datangnya bahan. Terhentinya proses
produksi atau produksi di bawah kapasitas yang seharusnya, dapat
menimbulkan kerugian yang besar karena tenaga kerja justru tidak bekerja
sedangkan gajinya harus diberikan (Pramana, 2011: 112).
2. Lemahnya Tenaga Kerja
Kelemahan pada tenaga kerja bisa berupa keterampilan yang rendah,
kelalaian, dan sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan produktivitas yang
rendah, kualitas produk atau pelayanan yang rendah, juga tingginya tingkat
kecelakaan kerja dan tingkat absensi (Pramana, 2011: 114).
3. Lemahnya Mesin dan Alat-Alat Produksi
Kelemahan pada mesin dan peralatan bisa berupa teknologi yang sudah
usang, kesulitan suku cadang, sering terjadi kerusakan, dan sebagainya. Hal
ini sama dengan kelemahan pada tenaga kerja, yaitu dapat menimbulkan
produktivitas dan kualitas yang rendah, terganggunya proses produksi, dan
tidak terpenuhinya target produksi (Pramana, 2011: 115).
17
4. Lingkungan
Lingkungan sesungguhnya merupakan suatu sistem yang sangat kompleks
dan terdiri dari berbagai faktor (faktor fisika, kimia, dan biologis). Berbagai
jenis risiko bisa saja bersumber dari lingkungan (Pramana, 2011: 116).
5. Metode
Menurut Rivai dan Ismail (2013: 252), menyatakan bahwa suatu tata cara
kerja yang baik akan memperlancar jalannya pekerjaan, karena pelaksanaan
kerja diperlukan metode-metode kerja. Sebuah metode dapat dinyatakan
sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan
berbagai pertimbangan pertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang
tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan usaha.
2.4 Risiko
Menurut Wastra dan Mahbubi (2013: 3), risiko adalah kemungkinan
situasi atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan serta sasaran
organisasi atau individu. Risiko juga merupakan kemungkinan suatu kejadian
yang apabila terjadi akan menimbulkan kerugian. Menurut Tampubolon (2004)
dalam Wastra dan Mahbubi (2013: 4) apabila risiko tidak dapat dikelola dengan
baik dapat menimbulkan berbagai implikasi risiko antara lain, menyebabkan
kerugian finansial, menimbulkan kesulitan yang signifikan dan kehilangan
kepercayaan dari konsumen.
Sumber risiko, pada umumnya disebabkan oleh adanya ketidakpastian,
sehingga dapat menimbulkan keuntungan (profitability), bahkan kerugian. Risiko
18
sangat terkait dan banyak digunakan dalam konteks pengambilan keputusan,
karena risiko diartikan sebagai peluang akan terjadinya suatu kejadian buruk
akibat suatu tindakan. Makin tinggi tingkat ketidakpastian suatu kejadian, makin
tinggi pula risiko yang disebabkan oleh pengambilan keputusan itu. Dengan
demikian, identifikasi sumber risiko sangat penting dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini berarti risiko terkait dengan pengambilan keputusan individu
atau pimpinan perusahaan atau organisasi (Wastra dan Mahbubi, 2013: 3).
2.4.1 Konsep Risiko Agribisnis
Agribisnis tidak terlepas dari faktor risiko (risk) dan ketidakpastian
(uncertainity). Komoditas agribisnis umumnya memiliki karakteristik tertentu
yang menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku agribisnis (Wastra dan Mahbubi,
2013: 12). Beberapa karakteristik penting komoditas pertanian yang bisa
menimbulkan risiko dan ketidakpastian dalam kegiatan agribisnis adalah sebagai
berikut (Wastra dan Mahbubi, 2013: 7-8) :
a. Musiman (seasonal)
Kegiatan agribisnis khususnya budidaya pertanian sangat tergantung pada
iklim dan alam. Ketergantungan ini menyebabkan produksi berfluktuasi antar
musim.
b. Mudah rusak (perishable)
Komoditas agribisnis baik yang dihasilkan mulai proses budidaya maupun
pabrikasi relatif tidak tahan lama dibanding komoditas non pertanian.
19
c. Dikonsumsi pada kondisi segar (freshible)
Komoditas agribisnis umumnya dikonsumsi dalam kondisi segar khususnya
komoditas hortikultura.
d. Makan tempat (kamba)
Komoditas agribisnis umumnya membutuhkan tempat yang luas dan khusus.
e. Amat beragam
Volume dan mutu komoditas agribisnis di subsistem produksi amat berbeda
baik waktu maupun tempat (sentra komoditi).
f. Transmisi harga rendah
Perubahan harga ditingkat konsumsi tidak senantiasa diikuti oleh perubahan
harga yang diterima produsen, khususnya bila terjadi kenaikan harga
ditingkat konsumen tidak serta merta menaikkan harga penjualan produsen.
g. Komoditas agribisnis struktur pasarnya monopsonis
Petani produsen cenderung dihadapkan pada kekuatan pembeli yang terdiri
pengepul dan pedagang yang cukup besar dalam menentukan harga beli.
2.4.2 Jenis Risiko
Menurut Kasidi (2010: 5) risiko secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
a. Risiko spekulatif (speculative risk)
Risiko spekulatif ialah risiko yang mengandung dua kemungkinan yaitu
kemungkinan yang menguntungkan atau kemungkinan yang merugikan. Risiko
ini biasanya berkaitan dengan risiko usaha atau bisnis. Contoh: perjudian,
20
pembelian saham, pembelian valuta asing, saving dalam bentuk emas,
perubahan tingkat suku bunga perbankan.
b. Risiko murni (pure risk)
Risiko murni ialah risiko yang hanya mengandung satu kemungkinan yaitu
kemungkinan rugi saja. Contoh: bencana alam seperti banjir, gempa, gunung
meletus, tsunami, tanah longsor, topan, kebakaran, resesi ekonomi, dan
sebagainya.
Sedangkan menurut Kountur (2008: 14), terdapat beberapa kategori yang dapat
dikategorikan berdasarkan sudut pandang penyebab timbulnya risiko, akibat
yang ditimbulkan, aktivitas yang dilakukan, dan bahkan kejadian yang terjadi,
di antaranya:
1. Risiko dari Sudut Pandang Penyebab
Apabila dilihat dari sudut pandang penyebab terjadinya risiko terdapat dua
macam, yaitu:
a. Risiko Keuangan
Risiko keuangan adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor
keuangan, meliputi harga, tingkat bunga, dan mata uang asing.
b. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang disebabkan oleh faktor non
keuangan, meliputi manusia, teknologi dan alam.
2. Risiko dari Sudut Pandang Akibat
Menyatakan bahwa terdapat dua kategori risiko jika dilihat dari akibat
yang ditimbulkan, yaitu:
21
a. Risiko Murni
Risiko murni adalah apabila suatu kejadian berakibat hanya merugikan
saja dan tidak memungkinkan adanya keuntungan.
b. Risiko Spekulatif
Risiko spekulatif adalah risiko yang tidak saja memungkinkan
terjadinya kerugian tetapi juga memungkinkan terjadinya keuntungan.
3. Risiko dari Sudut Pandang Aktivitas
Menyatakan bahwa ada berbagai macam aktivitas yang dapat
menimbulkan risiko. Banyaknya risiko dari sudut pandang aktivitas
sebanyak jumlah aktivitas yang ada. Sebagai contoh aktivitas pemberian
kredit oleh bank.
4. Risiko dari Sudut Pandang Kejadian
Menyatakan bahwa umumnya terdapat beberapa kejadian dalam suatu
aktivitas, sehingga kejadian adalah salah satu bagian dari aktivitas.
Sebagai contoh risiko kebakaran termasuk kategori risiko operasional
disebabkan oleh faktor operasional dan bukan faktor keuangan.
2.5 Manajemen Risiko
Menurut Kountur (2008: 22), manajemen risiko adalah cara bagaimana
menangani semua risiko yang ada di dalam perusahaan tanpa memilih risiko-
risiko tertentu saja. Sedangkan menurut Wastra dan Mahbubi (2013: 40),
manajemen risiko merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari menyadari,
22
mengidentifikasi, mengukur, memetakan, mengambil tindakan yang tepat hingga
melakukan pengawasan pelaksanaan pengendalian risiko.
Secara menyeluruh, proses manajemen risiko agribisnis dijelaskan sebagai
berikut (Wastra dan Mahbubi 2013: 40-44) :
1. Segenap sumber daya manusia perusahaan mulai dari jajaran komisaris dan
direksi sampai staf bahwa terdapat risiko dalam setiap usaha termasuk
agribisnis.
2. Identifikasi risiko merupakan aktivitas awal yang akan menghasilkan output
daftar risiko. Dalam identifikasi risiko terdapat stakeholder yang meliputi
pemegang saham, pemasok, karyawan, pemain industri yang sama, dan pihak
lain yang terpengaruh oleh adanya perusahaan. Metode dalam identifikasi
risiko meliputi analisis data historis, pengamatan, survei baik dengan
kuesioner atau wawancara, pendapat ahli melalui focus group discussion.
3. Pengukuran risiko berupa data baik berupa kualitatif maupun kuantitatif.
Kualitatif menyangkut kemungkinan suatu risiko muncul, semakin tinggi
kemungkinan risiko terjadi maka semakin tinggi pula risikonya.
4. Pemetaan risiko ditujukan untuk menetapkan prioritas risiko berdasarkan
kepentingannya bagi perusahaan. Adanya prioritas dikarenakan perusahaan
memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia dan jumlah uang sehingga
perusahaan perlu menetapkan mana yang perlu dihadapi terlebih dahulu mana
yang dinomor duakan, dan mana yang perlu diabaikan. Selain itu prioritas
juga ditetapkan karena tidak semua risiko memiliki dampak pada tujuan
perusahaan.
23
5. Terdapat empat cara dalam penanganan risiko yaitu dengan menghindari
risiko (risk avoidance), memitigasi atau mengeleminasi risiko (risk
elimination), pemindahan risiko (risk transfer) dan penahanan risiko (risk
retention).
Adapun manfaat yang akan diperoleh oleh perusahaan dengan menerapkan
manajemen risiko menurut Wastra dan Mahbubi (2013: 40), antara lain :
a. Pengambil keputusan dalam perusahaan mempunyai pijakan yang kuat
berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan ketika mengambil keputusan atas
risiko yang terjadi.
b. Pedoman bagi perusahaan dalam mengelola risiko, sebagai akibat dari adanya
pengaruh internal dan eksternal perusahaan.
c. Mendorong para pengambil keputusan sesuai tingkatannya untuk selalu
memaksimalkan kesempatan mendapatkan keuntungan, dengan risiko sebagai
batasan dari tindakan yang dilakukan.
d. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko seminimal mungkin, yang
dampaknya bagi perusahaan sekecil mungkin.
e. Penerapan manajemen risiko mengarah kepada tatakelola perusahaan yang baik
dan benar, serta akan memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para
karyawan, pemilik dan pemangku kepentingan lainnya, secara berkelanjutan.
Menurut Djohanputro (2012: 81) dalam pelaksanaan manajemen risiko, setiap
pihak harus mempertimbangkan pihak-pihak berkepetingan atau stakeholders
maupun kondisi yang mempengaruhi organisasi, baik kondisi internal maupun
eksternal. Gambar 4. merupakan kerangka proses manajemen risiko menurut ISO
24
31000. Proses menurut versi ini juga merupakan sebuah siklus yang terdiri dari
empat tahap utama, yaitu penetapan konteks, asesmen risiko, penanganan
risiko, dan monitoring dan review. Dalam prosesnya, manajemen risiko
harus dijalankan dengan melakukan komunikasi dan konsultasi dengan pihak-
pihak berkepentingan.
Gambar 4. Proses Manajemen Risiko Sumber: Djohanputro (2012: 82)
Menurut Djohantoputro (2012: 82), proses manajemen risiko adalah
sebuah siklus yang terdiri dari enam tahap: penetapan konteks, identifikasi,
analisis risiko, evaluasi risiko, penanganan risiko, dan tahap monitoring dan
review. Monitoring dan review pada dasarnya dapat dilakukan terhadap masing-
masing kelima tahap. Tujuannya adalah untuk memastikan efektivitas dari
masing-masing tahap tersebut. Siklus manajemen risiko harus dikaitkan dengan
proses konsultasi dan pelaporan kepada pihak internal dan eksternal sesuai dengan
25
kebutuhannya. Pelaporan dan konsultasi perlu dipastikan dalam berkontribusi bagi
bisnis itu sendiri, baik terkait dengan pengelolaan internal maupun terkait dengan
aspek legal, kepercayaan, dan umpan balik. Proses manajemen juga harus terkait
langsung dengan proses pengambilan keputusan bisnis. Keputusan tersebut dibuat
baik oleh pihak internal maupun eksternal.
Manajemen dan setiap pihak perlu memastikan bahwa hal-hal yang telah
direncanakan pada tahap sebelumnya dapat berjalan dengan baik. Berikut ini
penjelasan lebih jelas mengenai proses manajemen risiko berdasarkan pada
Gambar 2 di atas.
1. Penetapkan Konteks
Konteks merupakan tujuan perusahaan atau biasa yang disebut dengan
visi dan misi perusahaan. Kemudian Susilo (2010: 89), menjelaskan bahwa
konteks manajemen risiko adalah konteks di mana proses manajemen risiko
diterapkan. Hal ini meliputi sasaran organisasi, strategi, lingkup, parameter
kegiatan organisasi, atau bagian lain dimana manajemen risiko diterapkan.
2. Identifikasi Risiko
Menurut Susilo dan Kaho (2010: 113), menyatakan bahwa pada titik awal
identifikasi adalah bertujuan untuk mengumpulkan informasi historis baik
yang berasal dari organisasi, atau jika tidak tersedia, bisa dari organisasi-
organisasi sejenis (industrial benchmark) yang kemudian dimatangkan
melalui diskusi dengan pihak-pihak terkait. Menurut Djohanputro (2008:
167-169), terdapat empat metode identifikasi risiko yang dapat dilakukan
26
dengan menggunakan salah satu dari keempat metode berikut atau dapat juga
digunakan secara bersama-sama, agar saling melengkapi, yaitu:
a. Analisis Data Historis
Prinsip dari metode ini adalah menggunakan berbagai informasi atau data
mengenal segala sesuatu yang pernah terjadi, baik data primer maupun
data sekunder, untuk mengidentifikasi risiko. Rekaman data yang baik
akan sangat membantu perusahaan dalam mengidentifikasi risiko.
b. Pengamatan Survei
Bila tidak tersedia data historis atau bila ingin melengkapi informasi
dapat melakukan investigasi pengamatan atau survei, on the spot. Melalui
cara ini perusahaan dapat memperoleh data primer dan dapat merasa lebih
yakin dengan informasi yang diperoleh.
c. Pendapat Ahli
Apabila kesulitan menemukan ketiga metode di atas perusahaan dapat
bertanya kepada ahlinya. Pendapat ahli (expert opinion) dapat diperoleh
dengan cara wawancara kepada satu orang, sekelompok orang atau
melalui FGD (Focus Group Discussion). Kriteria yang dapat dijadikan
ahli, pertama adalah secara rutin bergelut atau menangani obyek yang
sering diidentifikasi risikonya.
Menurut Kountur (2008: 46), langkah-langkah identifikasi risiko dapat
dilakukan sebagai berikut:
1) Menentukan unit risiko.
2) Memahami proses bisnis dan unit tersebut.
27
3) Menentukan satu atau beberapa aktivitas yang krusial dari unit
tersebut.
4) Menentukan barang dan orang yang ada pada aktivitas krusial
tersebut.
5) Mencari tahu kerugian yang dapat terjadi pada barang dan orang dari
aktivitas krusial tersebut.
6) Menentukan penyebab terjadinya kerugian atau risiko.
7) Membuat daftar risiko.
3. Analisis Risiko
Menurut Djohanputro (2008: 171), analisis risiko mengacu pada dua
faktor yaitu kualitatif dan kuantitatif. Kuantitas risiko menyangkut berapa
banyak nilai yang rentan terhadap risiko. Sedangkan kualitatif menyangkut
kemungkinan suatu risiko muncul, semakin tinggi kemungkinan suatu risiko
muncul, semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi maka semakin tinggi pula
risikonya.
Susilo dan Kaho (2010: 136) menyatakan bahwa analisis risiko adalah
upaya untuk memahami risiko lebih dalam. Hasil analisis risiko ini akan
menjadi masukan bagi evaluasi risiko dan proses pengambilan keputusan
mengenai perlakuan terhadap risiko tersebut. Proses analisis seringkali
dimulai dengan pendekatan kualitatif sederhana guna memberikan
pemahaman umum. Terdapat beberapa macam metode analisis sesuai
dengan jenis pengukuran dan skala yang digunakan untuk mengukur faktor-
faktor risiko yaitu:
28
a. Analisis kualitatif
Analisis kualitatif didasarkan pada suatu pengalaman dan pengetahuan
dari para subjek dan pemangku risiko terkait (tacit knowledge) sehingga
data yang digunakan lebih bersifat pernyataan atau suatu gambaran.
b. Analisis kuantitatif dan semi kuantitatif
Penggunaan metode analisis kuantitatif khususnya pengertian nilai
probabilitas yang akan digunakan memerlukan suatu data yang memadai
sehingga pemberian angka tersebut memang mempunyai makna yang
betul dan sesuai dengan kaidah statistik. Untuk analisis semi kuantitatif,
formulasi nilai pada aspek kemungkinan bukanlah nilai probabilitas
melainkan suatu prediksi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan.
Melalui formulasi semacam ini maka tingkat risiko dapat dikalkulasi
menggunakan metode kuantitatif dimana dampak dan kemungkinan
kejadian dapat dikuantifikasi.
4. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko ditujukan untuk menetapkan prioritas risiko berdasarkan
kepentingannya bagi perusahaan. Adanya prioritas dikarenakan perusahaan
memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia dan jumlah uang
sehingga perusahaan perlu menetapkan mana yang perlu dihadapi terlebih
dahulu mana yang dinomor duakan, dan mana yang perlu diabaikan. Selain
itu, prioritas juga ditetapkan karena tidak semua risiko memiliki dampak
pada tujuan perusahaan. (Djohantoputro: 2008: 76).
29
Sedangkan menurut Susilo dan Kaho (2010: 167) evaluasi risiko adalah
membantu proses pengambilan keputusan berdasarkan hasil analisis risiko.
Proses evaluasi risiko akan menentukan risiko-risiko yang memerlukan
perlakuan dan bagaimana prioritas perlakuan atas risiko-risiko tersebut.
Keputusan dalam mengevaluasi didasarkan pada peringkat risiko yang
diperoleh dari hasil analisis risiko. Hasil analisis menjadi masukkan untuk
dievaluasi lebih lanjut untuk menyaring risiko-risiko tertentu untuk tidak
ditindaklanjuti atau diperlukan khusus.
5. Penanganan Risiko
Penanganan risiko dilakukan dengan menurunkan derajat probabilitas
dan konsekuensi yang ada dengan menggunakan berbagai alternatif metode,
bisa dengan transfer risiko dan lain sebagainya. Sedangkan Susilo dan Kaho
(2010: 175) menyebutkan bahwa perlakuan risiko adalah upaya untuk
menyeleksi pilihan-pilihan yang dapat mengurangi atau meniadakan
dampak serta kemungkinan terjadinya risiko, kemudian menerapkan pilihan
tersebut. Kountur (2008: 120) menjelaskan bahwa berdasarkan peta risiko
dapat diketahui strategi penanganan risiko yang tepat untuk dilaksanakan.
Terdapat dua strategi yang dapat dilakukan untuk menangani risiko, yaitu
preventif dan mitigasi:
1. Preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini
dilakukan apabila probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko besar.
Strategi dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya (Kountur
(2008: 123) :
30
a. Membuat atau memperbaiki sistem dan prosedur
Risiko ini bisa diperkecil jika aturan dan prosedurnya dibuat (jika
belum ada), atau diperbaiki (jika sudah ada namun belum baik).
Risiko-risiko yang disebabkan oleh manusia dan teknologi dapat
diperkecil jika sistem dan prosedurnya ada dan baik.
b. Mengembangkan sumber daya manusia
Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan
pelatihan- pelatihan baik pelatihan on-the-job atau pelatihan eksternal.
Dengan mengembangkan sumber daya manusia diharapkan
kemungkinan terjadinya risiko dapat diperkecil, terutama risiko-risiko
yang disebabkan oleh ketidak kompetenan sumber daya manusia.
c. Memasang/Memperbaiki Fasilitas Fisik
Beberapa risiko dapat dihindari kejadiannya atau setidaknya diperkecil
kemungkinan terjadinya dengan memasang (jika belum ada) atau
memperbaiki (jika sudah ada namun belum baik) fasilitas fisik.
2. Mitigasi adalah perlakuan risiko yang bertujuan untuk mengurangi risiko.
Bentuk pengurangan risiko ini dapat berupa pengurangan kemungkinan
terjadinya risiko, pengurangan kerugian yang diakibatkan bila risiko itu
terjadi dan diversifikasi risiko (Susilo, 2010: 181). Menurut Kountur
(2008: 130), terdapat beberapa cara yang termasuk ke dalam strategi
mitigasi, diantaranya :
31
a. Diversifikasi
Diversifikasi merupakan cara menempatkan asset atau usaha di
beberapa tempat sehingga jika salah satu terkena musibah maka tidak
akan menghabiskan seluruh asset yang dimiliki. Diversifikasi
merupakan salah satu cara pengalihan risiko yang paling efektif dalam
mengurangi dampak risiko.
b. Penggabungan
Penggabungan merupakan salah satu cara penanganan risiko yang
dilakukan oleh perusahaan dengan melakukan kegiatan penggabungan
dengan pihak perusahaan lain. Contoh strategi ini adalah perusahaan
yang melakukan atau akuisisi dengan perusahaan lain.
c. Pengalihan risiko
Pengalihan risiko (transfer of risk) merupakan cara penanganan risiko
dengan mengalihkan dampak risiko ke pihak lain. Cara ini bertujuan
untuk mengurangi kerugian yang sedang dihadapi oleh perusahaan.
Cara ini dapat dilakukan melalui asuransi, leasing, outsourcing, dan
hedging.
a) Asuransi: mengasuransikan harta perusahaan yang dampak risikonya
besar, berarti sudah mengalihkan dampak risiko tersebut kepada
pihak asuransi.
b) Leasing: cara di mana suatu asset digunakan, tetapi pemiliknya
adalah pihak lain. Jika terjadi sesuatu pada asset tersebut, maka
32
pemiliknya yang adalah pihak lain yang menanggung kerugian atas
asset tersebut.
c) Outsourcing: mentransfer kerugian ke pihak lain jika terjadi risiko
dengan cara outsource. Outsource merupakan cara di mana
pekerjaan diberikan ke pihak lain untuk mengerjakan, sehingga kita
tidak menanggung kerugian seandainya pekerjaan yang dilakukan
gagal.
d) Headging: cara pengurangan dampak risiko dengan cara
mengalihkan risiko melalui transaksi penjualan atau pembelian.
6. Monitoring dan Review
Monitoring adalah pemantauan rutin terhadap kinerja aktual proses
manajemen risiko dibandingkan dengan rencana atau harapan yang
dihasilkan, sedangkan review adalah peninjauan atau pengkajian berkala atas
kondisi saat ini dan dengan fokus tertentu.
2.6 Diagram Tulang Ikan (Fishbone)
Menurut Kuswandi dan Mutiara (2004: 79), diagram tulang ikan atau yang
biasa disebut dengan fishbone chart digunakan untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang mungkin menjadi penyebabnya dari suatu masalah atau kejadian
risiko pada suatu proses atau tahapan kegiatan produksi. Apabila telah diketahui
hubungan antara sebab akibat dari suatu masalah, maka tindakan pemecahan
masalah akan mudah ditentukan, dengan kata lain, apabila telah diketahui
penyebab dari suatu kejadian risiko, maka dapat segera ditentukan strategi atau
33
tindakan penanganan risiko. Diagram ini juga sering disebut sebagai Diagram
Sebab-Akibat (Cause- And -Effect Diagram) yang ditemukan oleh Prof. Kaoru
Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1943.
Menurut Kuswandi dan Mutiara (2004: 80-82), dalam pembuatan diagram
tulang ikan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1) Hal yang dianggap sebagai akibat atau permasalahan digambarkan pada
bagian kepala ikan.
2) Faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab diletakkan sebagai tulang
ikan. Penggolongan dalam garis besar faktor-faktor penyebab yang dimaksud
terdiri atas bahan (material), alat (machine), manusia (man), cara (method),
dan lingkungan (environment).
3) Pembuatan diagram tulang ikan terdiri atas :
a. Diagram tulang ikan tipe rangkuman sebab-akibat (cause-and-effect type)
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5 yaitu berdasarkan
pengelompokkan sebab-sebab.
Gambar 5. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone) Tipe Rangkuman Sebab-Akibat Sumber: Kuswandi dan Mutiara (2004: 81)
34
b. Diagram tulang ikan berdasarkan proses produksi tipe klasifikasi proses
produksi (Classification of Production Process) di mana kejadian yang
dianggap sebagai masalah atau akibat diletakkan pada bagian kepala ikan,
sedangkan proses-proses produksi yang di dalamnya terjadi kesalahan atau
penyimpangan yang dianggap sebagai penyebab terjadinya masalah yang
dapat dilihat pada Gambar 6 sebagai berikut.
Gambar 6. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone) Tipe Klasifikasi Proses Produksi. Sumber: Kuswandi dan Mutiara (2004: 81)
Diagram tulang ikan dapat digunakan secara tersendiri dalam mencari
pemecahan masalah, akan tetapi biasanya diagram ini digunakan bersama-sama
dengan alat statistik lainnya. Bagaimanapun juga, sebaiknya pada waktu
menentukan pilihan faktor-faktor penyebab apa yang kemungkinan besar paling
berpengaruh terhadap timbulnya masalah, sedapat mungkin dilakukan pengujian
melalui alat-alat statistik lainnya (Kuswandi dan Mutiara 2004: 82).
Menurut Triono (2012: 18), ada empat langkah yang dibutuhkan dalam
membentuk diagram tulang ikan, sebagai berikut:
1. Melakukan brainstorming untuk mengenali penyebab dan masalah.
35
2. Memetakan masalah dan penyebab ke dalam diagram tulang ikan. Masalah
pada kepala ikan dan tulang utama, serta penyebab pada tulang duri yang
lebih kecil.
3. Tanyakan pada setiap masalah, mengapa hal ini terjadi. Jawaban atas hal
tersebut diletakkan pada tulang yang lebih kecil sebagai penyebab.
4. Kumpulkan data atas masalah dan penyebab untuk menentukan frekuensi
kejadian paling tinggi.
2.7 Diagram Pareto
Diagram Pareto (Pareto Chart) digunakan untuk memvisualisasikan hasil
analisis dari model HOR berupa agen risiko yang menjadi prioritas dalam
penentuan strategi atau aksi penanganan risiko. Dinamakan diagram pareto sesuai
dengan penemunya seorang bangsa Italia bernama Wilfredo Pareto pada tahun
1897. Dalam diagram pareto dikenal istilah “VITAL FEW – TRIVIAL MANY”,
yang artinya sedikit tapi vital atau sangat penting, banyak tetapi kurang vital atau
hasilnya kurang penting (sedikit). Hal ini sesuai dengan kejadian sehari-hari yang
menunjukkan, bahwa dalam banyak hal, permasalahan atau kerugian yang besar
biasanya disebabkan oleh hal-hal atau sebab-sebab yang jumlahnya sedikit.
Dengan demikian, timbul pemahaman, lebih baik mengerjakan yang sedikit tetapi
bermanfaat besar daripada mengerjakan banyak hal tapi hasilnya sedikit. Konsep
Pareto mengajarkan agar kita pandai menerapkan prinsip skala prioritas atau
mendahulukan mana yang penting (Kuswandi dan Mutiara, 2004: 49).
36
Dalam kehidupan sehari-hari, analisa dan diagram pareto atau yang biasa
disebut dengan diagram prioritas, digunakan dalam rangka memilih prioritas
masalah yang dampaknya paling besar, yaitu kurang lebih 80%, yang disebabkan
oleh kurang lebih 20% faktor penyebab. Diagram pareto dapat digunakan untuk
mencari 20% jenis kasus (misalnya, cacat, keluhan, masalah) yang merupakan
80% kecacatan dari keseluruhan proses produksi. Diagram pareto dapat dilihat
pada Gambar 7 (Kuswandi dan Mutiara, 2004: 50).
Tingkat
ARPj
Tingkat
Persentase
Kumulatif
Gambar 7. Struktur Diagram Pareto Sumber: Kuswandi dan Mutiara (2004: 55)
Dari gambar 7 di atas dapat diketahui bahwa batang pada diagram pareto
melambangkan nilai kerugian yang dialami suatu perusahaan, sedangkan titik-titik
hitam melambangkan kumulatif dari kerugian yang dialami perusahaan.
(Kuswandi dan Mutiara, 2004: 55).
2.8 House of Risk (HOR)
Model House of Risk (HOR) adalah model yang digunakan untuk
mengetahui prioritas penyebab risiko atau Risk Agent (Aj) dan prioritas
37
pelaksanaan strategi atau tindakan penanganan risiko guna mencegah atau
mengurangi kerugian yang dialami akibat dari risiko yang terjadi. Model HOR
didasarkan pada gagasan bahwa manajemen risiko proaktif berusaha untuk fokus
pada tindakan preventif, yaitu mengurangi kemungkinan agen risiko terjadi.
Mengurangi terjadinya agen risiko biasanya mencegah beberapa peristiwa risiko
terjadi. Dalam kasus seperti itu, perlu untuk mengidentifikasi kejadian risiko dan
agen risiko yang terkait. Biasanya satu agen risiko bisa mendorong lebih dari satu
kejadian risiko. HOR menetapkan probabilitas untuk agen risiko dan tingkat
keparahan ke arah risiko (Pujawan dan Geraldin, 2009 : 953).
Sejak satu agen risiko bisa menginduksi sejumlah kejadian risiko, maka
perlu kuantitas potensi risiko agregat agen risiko dalam manajemen risiko. Jika Oj
adalah probabilitas terjadinya agen risiko j, Si adalah keparahan dampak jika
kejadian risiko i terjadi, dan Rij adalah korelasi antara agen risiko j dan risiko i
yang diartikan sebagai seberapa besar kemungkinan agen risiko j akan mendorong
risiko acara i), maka ARPj (potensi risiko keseluruhan agen risiko j) dapat
dihitung sebagai berikut:
ARPj = Oj Ʃ Si Rij
Keterangan:
ARPj = Agregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan)
Oj = Occurance level of risk (Tingkat kemunculan risiko)
Si = Severity level of risk (Tingkat dampak suatu risiko)
Rij = Hubungan (korelasi) antara agen risiko j dengan risiko i
HOR diadaptasi dari model House Quality (HOQ) untuk menentukan
risiko agen harus diberikan prioritas untuk tindakan preventif. Rank A ditugaskan
untuk setiap agen risiko berdasarkan besarnya nilai ARPj untuk setiap j. Oleh
38
karena itu, jika ada banyak agen risiko, perusahaan dapat memilih beberapa
kejadian yang dianggap memiliki potensi besar untuk menginduksi kejadian
risiko. Dua model penyebaran, disebut HOR, baik yang didasarkan pada
dimodifikasi HOQ; (a) HOR 1 digunakan untuk menentukan risiko agen harus
diberikan prioritas untuk tindakan preventif; (b) Prioritas HOR 2 adalah untuk
memberikaan saran atas tindakan yang efektif tetapi dengan biaya yang wajar dan
sumber daya yang ada (Pujawan dan Geraldin, 2009 : 958).
Menurut Pujawan (2007: 956) dalam Lutfi dan Irawan (2012: 2) penerapan
HOR terdiri atas dua tahap yaitu :
1. HOR fase 1 digunakan untuk mengidentifikasi kejadian risiko dan agen risiko
yang berpotensi timbul sehingga hasil output dari HOR fase 1 yaitu
pengelompokkan agen risiko ke dalam agen risiko prioritas sesuai dengan
nilai Aggregrat Risk Potential ARP.
2. HOR fase 2 digunakan untuk merancang strategi preventif yang dilakukan
untuk penanganan agen risiko kategori prioritas. Hasil output dari HOR fase 1
akan digunakan sebagai input pada HOR fase 2.
2.8.1 HOR Fase 1
Menurut Ulfah dkk (2016: 89) HOR fase 1 merupakan tahapan awal yang
bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian risiko serta agen risiko yang
menyebabkannya. Dalam model HOQ, berhubungan dengan satu set persyaratan
(apa) dan satu set tanggapan (bagaimana), setiap respon bisa mengatasi satu atau
lebih persyaratan. Tingkat korelasi antara kejadian risiko dengan penyebab risiko
39
biasanya di kelompokan menjadi tidak ada (0), rendah (1), sedang (3), dan tinggi
(9). Setiap persyaratan memiliki kesenjangan tertentu untuk mengisi dan setiap
respon akan memerlukan beberapa jenis sumber daya dan dana.
Tabel 3. Model HOR Fase 1 Risk Agent (j) Business
process
Risk
Event
(Ei)
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 Severity of
Risk Event
(Si)
Plan E1 S1
E2 S2
Source E3 S3
E4 S4
Make E5 S5
E6 S6
Deliver E7 S7
E8 S8
Return E9 S9
E10 S10
Occurance of
Agent j
O1 O2 O3 O4 O5 O6
Aggregrate Risk
Potential j
ARP1 ARP2 ARP3 ARP4 ARP5 ARP6 ARP7
Priority Rank of Agent j
Sumber: Pujawan dan Geraldine (2009: 958)
Keterangan:
Ei = Kejadian Risko (Risk Event)
Aj = Penyebab Risiko (Risk Agent)
Si = Tingkat Dampak (Severity)
Oj = Tingkat Probabilitas (Occurrance)
ARPj = Potensi Risiko Keseluruhan (Aggregate Risk Potensial)
Rank = Peringkat Prioritas Penyebab Risiko
Mengadopsi prosedur di atas, maka HOR 1 dikembangkan melalui
langkah-langkah berikut (Pujawan dan Geraldin, 2009: 956) :
1. Mengidentifikasi kejadian risiko yang bisa terjadi dalam setiap proses bisnis.
Hal ini dapat dilakukan melalui proses pemetaan pada setiap tahapan proses
produksi. Kemudian mengidentifikasi, kemungkinan terjadinya kesalahan
40
dalam setiap proses tersebut. Menyediakan cara sistematis mengidentifikasi
dan menilai risiko. Model HOR 1 ditunjukkan pada Tabel 3, dimana peristiwa
risiko diletakan di kolom kiri, direpresentasikan sebagai Kejadian Risiko (Ei).
2. Menilai dampak (keparahan) dari kejadian risiko tersebut (jika terjadi)
menggunakan skala likert (penelitian ini menggunakan skala 1-5). Suatu dari
setiap peristiwa risiko yang diletakkan di kolom kanan dari Tabel 3,
diindikasikan sebagai Si.
3. Mengidentifikasi agen risiko atau penyebab kejadian risiko (Aj) dan menilai
kemungkinan terjadinya setiap agen risiko menggunakan skala likert 1-5, di
mana 1 berarti hampir tidak pernah terjadi dan nilai 5 berarti agen risiko
hampir pasti terjadi. Di mana Aj ditempatkan pada baris atas tabel dan
terjadinya terkait adalah pada baris bawah, dinotasikan sebagai Oj.
4. Mengembangkan matriks korelasi yaitu hubungan antara masing-masing agen
risiko dan setiap peristiwa risiko, menggunakan skala Rij {0, 1, 3, 9} di mana
0 mewakili tidak ada korelasi dan 1, 3, dan 9 mewakili masing-masing,
rendah, sedang, dan korelasi yang tinggi.
5. Hitung potensi risiko keseluruhan agen j (ARPj) yang ditentukan sebagai
produk dari kemungkinan terjadinya agen risiko j dan dampak agregat yang
dihasilkan oleh peristiwa risiko yang disebabkan oleh agen risiko j seperti
pada persamaan di atas.
6. Prioritas agen risiko menurut potensi risiko agregat mereka dalam urutan
menurun (dari yang bernilai tinggi ke rendah).
41
2.8.2 HOR Fase 2
HOR fase 2 digunakan untuk menentukan tindakan yang harus
diprioritaskan untuk dilakukan, mengingat efektifitas dari masing-masing
tindakan yang berbeda serta sumber daya yang terlibat dan tingkat kesulitan dalam
melaksanakan masing-masing tindakan. Perusahaan idealnya harus memilih
tindakan yang tidak begitu sulit untuk dilaksanakan, tetapi efektif untuk
mengurangi kemungkinan agen risiko yang terjadi. Menurut Lutfi dan Irawan
(2012: 5) HOR fase 2 merupakan perancangan strategi preventif untuk melakukan
penanganan (risk treatment) agen risiko yang telah teridentifikasi dan berada pada
level risiko prioritas. Langkah-langkah pengaplikasian HOR fase 2 adalah sebagai
berikut (Pujawan dan Geraldin, 2009: 957) :
1. Pilih sejumlah agen risiko (Aj) dengan peringkat prioritas yang tinggi,
menggunakan analisis Pareto dari hasil perhitungan ARPj, agen risiko yang
memiliki presentase kurang dari 80% yang terkecil harus ditangani terlebih
dahulu karena akan membawa kerugian yang besar bagi perusahaan. Agen
Risiko (Aj) yang terpilih akan ditempatkan di sisi kiri (apa) dari HOR 2 seperti
digambarkan dalam Tabel 4, dan nilai-nilai ARPj yang sesuai di kolom kanan.
2. Mengidentifikasi tindakan yang dianggap relevan untuk mencegah agen risiko
yaitu dengan bertanya kepada ahlinya. Pendapat ahli (expert opinion) dapat
diperoleh dengan cara wawancara kepada satu orang, sekelompok orang atau
melalui FGD (Focus Group Discussion). Kriteria yang dapat dijadikan ahli,
pertama adalah secara rutin bergelut atau menangani obyek yang sering
diidentifikasi risikonya. Perhatikan bahwa agen salah satu risiko dapat
42
ditangani dengan lebih dari satu tindakan dan satu tindakan secara bersamaan
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya lebih dari satu agen risiko.
Tindakan preventif atau Preventive Action (PAk) diletakkan pada baris atas
untuk HOR ini.
3. Menentukan korelasi atau hubungan antara setiap tindakan pencegahan dan
setiap agen risiko Ejk menggunakan skala {0,1,3,9}, yang mewakili masing-
masing, menghubungkan antara aksi k dan agen j, dengan pengertian: (0) tidak
ada, (1) rendah, (3) sedang, dan (9) tinggi. Hubungan Ejk dapat dianggap
sebagai tingkat efektivitas tindakan k dalam mengurangi kemungkinan
terjadinya risiko agen j.
4. Mengkalkulasi total efektivitas (Tek) pada setiap agen risiko dengan
menggunkan perhitungan sebagai berikut:
TEk = ∑j ARPjEjK
Keterangan:
TEk = Total keefektifan (Total Efffectiveness)
ARPj = Potensi Risiko Keseluruhan (Aggregate Risk Potensial)
Ejk = Hubungan antara tiap aksi mitigasi dengan tiap agen risiko
5. Mengukur tingkat kesulitan-kesulitan dalam melakukan setiap tindakan, Dk,
dan menempatkan nilai-nilai berturut-turut di bawah efektivitas keseluruhan.
Tingkat kesulitan-kesulitan, yang dapat diwakili oleh skala dengan nilai
{3,4,5}, di mana 3 berarti mudah untuk dilakukan; 4 berarti sedang atau masih
dapat dilakukan; dan 5 berarti sulit untuk dilakukan. Strategi yang dibuat harus
43
mencerminkan dana dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan dalam
melakukan tindakan.
6. Mengkalkulasi total efektivitas kesulitan penerapan aksi preventif/
Effectiveness To Difficulty ratio (ETDk), dengan rumus sebagai berikut :
ETDk =
Keterangan:
ETDk = Total keefektivan derajat kesulitan (Effectiveness To Difficulty ratio)
TEk = Total keefektifan dari tiap strategi preventif (Total Efffectiveness)
Dk = Derajat kesulitan untuk melakukan aksi k
K = urutan strategi atau tindakan penanganan risiko
7. Menetapkan peringkat prioritas untuk setiap tindakan (Rk), dengan peringkat 1
diberikan untuk tindakan dengan ETDk tertinggi.
Tabel 4. Model HOR Fase 2
Sumber: Pujawan dan Geraldine, (2009)
Keterangan:
Dk = Tingkat kesulitan aksi Preventif (Degree of Difficulty Performing
Action)
Tek = Total keefektivan dan tiap aksi preventif (Total Effectiveness)
ETDk = Total kesulitan dan keefektivan aksi preventif (Effectiveness of Difficulty
Ratio)
Ejk = Hubungan antara tiap aksi preventif dengan tiap agen risiko.
PAk = Strategi preventif yang dilakukan (Preventive Action)
ARPj = Potensi Risiko Keseluruhan (Aggregate Risk Potential)
Preventive Action (PAk)
To be treated
risk agent (Aj)
PA1 PA2 PA3 PA4 PA5 Aggregate Risk
Potential (ARPj)
A1 ARP1
A2 ARP2
A3 ARP3
A4 ARP4
A5 ARP5
TEk TE1 TE2 TE3 TE4 TE5
Dk D1 D2 D3 D4 D5
ETDk ETD1 ETD2 ETD3 ETD4 ETD5
Rank R1 R2 R3 R4 R5
44
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan suatu penelitian yang dilakukan sebelum
penelitian ini dimulai yang dianggap sebagai rujukan peneliti dalam melakukan
penelitian. Adapun penelitian terdahulu yang menjadi rujukan, diantaranya:
1. Riandiani (2016), dengan judul penelitian Analisis Risiko Produksi nata de
coco di PT. Daya Agro Mitra Mandiri dengan menggunakan metode diagram
tulang ikan, Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), dan diagram pareto.
Hasil penelitian ini diketahui penyebab dan akar penyebab risiko yang
teridentifikasi di PT Daya Agro Mitra Mandiri diklasifikasi menjadi 4
kategori, yaitu kategori tenaga kerja dengan 6 penyebab risiko yang
disebabkan oleh beberapa akar penyebab diantaranya: kadar air nata lembaran
berlebih/ kurang kenyal yang disebabkan oleh tenaga kerja tidak memeriksa
nata lembaran dengan optimal; kebocoran plastik kemasan yang disebabkan
oleh tenaga kerja kurang terampil dalam proses sealing; Kadar air asam tidak
sesuai standar (seharusnya pH 3,5-4,5), sedangkan dari kategori mesin
dengan 2 penyebab risiko yang disebabkan oleh 2 akar penyebab risiko
diantaranya; kebocoran plastik kemasan disebabkan oleh overheating elemen
pemanas sealer dan kulit ari tidak bersih, dari kategori metode dengan 1
penyebab risiko yang disebabkan oleh 1 akar penyebab risiko seperti
kontaminasi benda asing (pasir), dan dari kategori lingkungan dengan 3
penyebab risiko yang disebabkan oleh 3 akar penyebab risiko diantaranya:
kontaminasi benda asing (pasir) yang disebabkan oleh kemunculan pasir dari
pecahan kolam pencucian yang terkikis air; kulit ari tidak bersih. Penyebab
45
risiko dengan nilai tertinggi yaitu penerangan di area kupasan tidak optimal
yang menyebabkan kulit ari tidak bersih dengan nilai RPN sebesar 51.56
yaitu memberikan dampak terbesar terhadap retur produk.
2. Annisa (2017), dengan judul penelitian Analisis Risiko Produksi Susu
Kambing di CV Sawangan Farm Dairy, dengan menggunakan metode
Diagram Tulang Ikan, Diagram Pareto dan House Of Risk (HOR). Hasil
penelitian ini menunjukkan terdapat 20 penyebab risiko pada proses
pemeliharaan induk, 15 penyebab risiko pada proses pemerahan susu dan 12
penyebab risiko pada proses penyelesaian dan pengemasan susu. Kemudian
terdapat 12 kejadian risiko pada proses pemeliharaan induk, 12 kejadian
risiko pada proses pemerahan susu, serta 8 kejadian risiko pada proses
penyelesaian dan pengemasan susu. Berdasarkan tabel HOR Fase 1 diketahui
agen atau penyebab risiko dengan nilai tertinggi yaitu 10 penyebab risiko
pada proses pemeliharaan induk, tujuh penyebab risiko pada proses
pemerahan susu dan 6 penyebab risiko pada proses penyeleisaian dan
pengemasan susu. Berdasarkan prioritas penyebab risiko tersebut maka
ditentukan 22 strategi preventif yang akan dilakukan. Persamaan pada
penelitian penulis adalah pada alat analisis yang digunakan dan perbedaan
pada objek yang diteliti yaitu susu kambing.
3. Hafizha (2017), dengan judul penelitian Mitigasi Risiko Produksi Susu Sapi
Di Peternakan Mahesa Perkasa Farm, dengan menggunakan metode Diagram
Tulang Ikan, Diagram Pareto dan House Of Risk (HOR). Hasil dari penelitian
ini menunjukkan terdapat 8 kejadian risiko pada tahap pemeliharaan sapi
46
perah, 13 kejadian risiko pada tahap pemerahan susu sapi dan 3 kejadian
risiko pada tahap pengemasan susu sapi dan teridentifikasi 50 agen atau
penyebab risiko secara keseluruhan. Berdasarkan tabel HOR Fase 1 diketahui
agen atau penyebab risiko dengan nilai tertinggi yaitu 9 penyebab risiko pada
tahap pemeliharaan sapi perah, 17 penyebab risiko pada tahap pemerahan
susu sapi dan 4 penyebab risiko pada tahap pengemasan susu sapi.
Berdasarkan prioritas penyebab risiko tersebut, maka diketahui terdapat 21
strategi mitigasi yang dapat direalisasikan untuk mereduksi penyebab risiko
tersebut. Persamaan pada penelitian penulis terletak pada alat analisis yang
digunakan, sedangkan perbedaan pada penelitian ini terletak pada objek yang
diteliti yaitu susu sapi.
Berikut ini adalah Tabel 5 yaitu tabel matriks penelitian terlebih dahulu.
Tabel 5. Matriks Penelitian Terdahulu Penulis Judul Penelitian Persamaan Perbedaan
Riandiani
(2016)
Analisis Risiko Produksi
nata de coco di PT. Daya
Agro Mitra Mandiri
Menggunakan
diagram tulang
ikan, dan diagram
pareto sebagai
alat analisis
Penggunaan
metode HOR
untuk mengukur
risiko, serta objek
yang diteliti yaitu
nata de coco.
Annisa
(2017)
Analisis Risiko Produksi
Susu Kambing di CV
Sawangan Farm Dairy
Menggunakan
metode HOR,
diagram tulang
ikan, dan pareto
sebagai alat
analisis
Objek yang
diteliti yaitu susu
kambing.
Hafizha
(2017)
Mitigasi Risiko Produksi
Susu Sapi Di Peternakan
Mahesa Perkasa Farm
Menggunakan
metode HOR,
diagram tulang
ikan, dan pareto
sebagai alat
analisis
Objek yang
diteliti yaitu susu
sapi.
47
2.10 Kerangka Pemikiran
PT. Subafood Pangan Jaya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang
olahan pangan yaitu mengolah pati jagung menjadi bihun. Penelitian ini akan
membahas mengenai hasil produksi bihun jagung. Dalam menjalankan bisnisnya,
perusahaan ini diindikasikan menghadapi risiko dalam setiap prosesnya mulai dari
proses mixing hingga pengemasan. Besarnya dampak risiko yang dihadapi oleh
PT. Subafood Pangan Jaya dapat diketahui apabila kemungkinan terjadinya setiap
sumber risiko juga diketahui. Berdasarkan data produk yang rusak selama tahun
2017 yang menyebabkan terjadinya ketidaktercapaian target produksi.
Kegiatan produksi merupakan serangkaian aktivitas yang dimulai dari
pengolahan bahan baku menjadi sebuah produk bihun jagung. Kebutuhan akan
penanganan risiko produksi sangat diperlukan oleh PT. Subafood Pangan Jaya
untuk dapat mengatasi segala kemungkinan yang dapat merugikan pada aktivitas
produksi. Analisis manajemen risiko dapat dilakukan untuk mengetahui risiko
serta dapat digunakan untuk mengantisipasi dan mengelola risiko. Proses
manajemen risiko yang diamati dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara diantaranya identifikasi risiko, analisis risiko, dan evaluasi risiko.
Analisis awal dilakukan dengan melakukan proses identifikasi risiko.
Proses identifikasi ini dilakukan dengan mengikuti serangkaian alur proses
produksi bihun jagung untuk mengetahui sumber-sumber risiko apa saja yang
terjadi pada saat proses produksi dengan menggunakan diagram tulang ikan. Hasil
dari analisis proses produksi ini yang akan menghasilkan beberapa titik kritis pada
bagian alur produksi. Identifikasi risiko didapat melalui wawancara dengan
48
narasumber yang langsung menangani hal tersebut yaitu manajer produksi dan
supervisor produksi, serta tinjauan data historis berdasarkan data pada tahun 2017.
Selanjutnya dilakukan pengukuran risiko untuk mengetahui nilai dampak
dan tingkat kemunculan dari kemungkinan terjadinya risiko dengan menggunakan
dan tingkat kemunculan dari kemungkinan terjadinya risiko, menggunakan skala
likert dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 berarti sangat rendah, 2 berarti rendah, 3
berarti sedang, 4 berarti tinggi, dan 5 berarti sangat tinggi. Tahap selanjutnya
dilakukan pemetaan untuk mengetahui prioritas kemungkinan risiko yang harus
dihindari.
Untuk tahap pemetaan risiko, penulis menggunakan metode diagram
pareto dalam pemetaan risiko untuk mengetahui prioritas kemungkinan risiko
yang harus dimitigasi. Metode ini digunakan untuk memetakan masalah dari
risiko terbesar sampai terkecil agar upaya penyelesaiannya fokus kepada masalah
yang paling berbahaya. Setelah mengetahui peta risiko, selanjutnya dilakukan
penentuan strategi penanganan risiko yaitu preventif dari prioritas yang telah
ditentukan sebelumnya serta dilakukan pengukuran terhadap strategi preventif
tersebut. Alur kerangka pemikiran konseptual pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 8.
49
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian
Keterangan:
= Alur Proses Penelitian
= Input Pengumpulan Data
= Output Metode Analisis Risiko
PT. Subafood Pangan Jaya
Produksi Bihun Jagung
Alur Proses Produksi Bihun Jagung
Identifikasi Risiko dan Penyebab Risiko
pada Masing-Masing Proses
Pengukuran Risiko
Menentukan Prioritas Strategi
Penanganan Risiko
Pemetaan Risiko
Penentuan Strategi Pengelolaan Risiko
Evaluasi Strategi Pencegahan/ Preventif
Risiko
Titik Kritis
Diagram
Tulang ikan
Skala Likert
Model HOR 1
Diagram Pareto
Skala Likert
Model HOR 2
50
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2018 di
PT. Subafood Pangan Jaya, yang terletak di Jalan Raya Serang Km 20.5 Kampung
Pasir Kalong, Desa Cibadak, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang – Banten.
Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan
bahwa perusahaan ini merupakan perusahaan pertama yang memproduksi bihun
jagung di Indonesia. Selain itu kondisi perusahaan yang memumpuni untuk
dilakukan penelitian.
3.2 Sumber dan Jenis Data
Berdasarkan sumber perolehan data, data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh
melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap pelaksanaan aktivitas
produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya, dengan narasumber yaitu
supervisor produksi di PT. Subafood Pangan Jaya. Sedangkan data sekunder
diperoleh melalui penelusuran berbagai dokumen tertulis PT. Subafood Pangan
Jaya, dan sumber-sumber literatur yang mendukung untuk memperkuat teori
sebagai dasar dalam penelitian ini seperti buku, junal, dan skripsi.
Berdasarkan jenisnya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yang dikumpulkan dalam penelitian
ini adalah profil dan gambaran umum perusahaan PT. Subafood Pangan Jaya,
51
jenis-jenis risiko, penyebab risiko, dan upaya yang dilakukan untuk menghadapi
risiko dan kendala yang mungkin terjadi pada saat produksi bihun jagung.
Sedangkan data kuantitatif yang digunakan diantaranya adalah data target dan
hasil produksi, data kerusakan produk, data standar kualitas bihun, nilai tingkat
dampak risiko, nilai tingkat korelasi risiko, nilai tingkat kesulitan serta nilai
tingkat keefektifan upaya penanganan risiko.
Penelitian ini menggunakan data laporan produksi yang terdapat dibulan
Januari 2017 sampai dengan Desember 2017, hal ini dikarenakan data tersebut
merupakan data yang paling terupdate dan dekat dengan waktu pelaksanaan
penelitian. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa alat pencatat,
alat perekam, serta daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara dan kuesioner, studi pustaka dan observasi.
Observasi dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan proses produksi bihun
jagung di PT. Subafood Pangan Jaya. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh
data terkait aktivitas produksi pada pengolahan bihun jagung secara langsung.
Sedangkan studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan topik penelitian, antara
lain buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
Wawancara dilakukan dengan berkomunikasi dan bertanya langsung
kepada narasumber yang terlibat dalam kegiatan proses produksi bihun jagung di
52
PT. Subafood Pangan Jaya. Instrumen wawancara yang digunakan berupa
pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang diajukan kepada narasumber yang terlibat
dalam dalam kegiatan proses produksi di PT. Subafood Pangan Jaya untuk
mengetahui informasi mendalam mengenai seluruh kegiatan produksi. Adapun
yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, yaitu satu orang Manajer Produksi,
satu orang asisten manajer produksi, tiga orang Supervisor Produksi, dua orang
dari divisi Quality Control (QC), dua orang dari divisi Teknik, dan satu orang
Supervisor HRD.
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari identifikasi
risiko dan kuesioner penilaian dampak risiko menggunakan metode House of Risk
(HOR). Kuesioner tersebut digunakan untuk mengetahui risiko apa saja yang
dapat terjadi dalam tahap proses produksi bihun jagung dan untuk mengukur nilai
prioritas risiko berdasarkan nilai dampak. Berikut adalah beberapa kuesioner yang
digunakan pada penelitian ini adalah seperti pada Tabel 6 berikut.
53
Tabel 6. Daftar Kuesioner Penelitian No. Jenis Kuesioner Lampiran Materi
1 Identifikasi risiko 2,3,4 Matriks penelitian,
matriks instrumen
penelitian dan diagram
fishbone
2 Identifikasi Tingkat Pengaruh Dampak Risiko
(Severity) pada Proses Produksi Bihun Jagung
(mixing, steaming mixer, extrussing,
steamingbox, cutting, drying, cooling,
packaging)
5a Skema HOR fase 1
3 Identifikasi Frekuensi/Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko (Occurence) pada Proses
Produksi Bihun Jagung (mixing, steaming
mixer, extrussing, steamingbox, cutting,
drying, cooling, packaging)
5b dan 5c Skema HOR fase 1
4 Korelasi Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurence) dengan Tingkat
Pengaruh/Dampak Risiko (Severity) pada
Proses Produksi Bihun Jagung (mixing,
steaming mixer, extrussing, steamingbox,
cutting, drying, cooling, packaging)
5d,5e,5f,
5g,5h,5i,
5j dan 5k
Skema HOR fase 1
5 Kuesioner Tingkat Kesulitan Strategi
Preventif pada Proses Produksi Bihun Jagung
(mixing, steaming mixer, extrussing,
steamingbox, cutting, drying, cooling,
packaging)
6a dan 6b Skema HOR fase 2
6 Kuesioner Korelasi Tingkat Kesulitan Strategi
Preventif dengan Penyebab Risiko pada
Proses Produksi Bihun Jagung (mixing,
steaming mixer, extrussing, steamingbox,
cutting, drying, cooling, packaging)
6c, 6d, 6e
6f,6g,6h,6i,
6j,dan 6k
Skema HOR fase 2
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam proses
pengumpulan data pada penelitian ini digunakan 6 kuesioner. Kuesioner pada
nomor 1 sampai dengan 2 digunakan pada tahap awal sebelum pembuatan skema
HOR fase 1, sesuai dengan masing-masing proses produksi bihun jagung. Hasil
dari kuesioner ini dijadikan acuan pembuatan matriks penelitian dan matriks
instrumen penelitian yang terdapat pada Lampiran 2, 3, dan 4 pada instrumen
tersebut terdapat kolom definisi konseptual yang menjadi dasar dari perumusan
sub variabel penelitian beserta penentuan penyebab risiko dan kejadian risiko.
54
Matriks instrumen penelitian ini dijadikan sebagai dasar pembuatan diagram
fishbone.
Pada bagian pangkal badan tulang ikan dari diagram fishbone, terdapat
variabel penelitian yaitu proses produksi bihun jagung yang terdiri atas : proses
mixing, steaming mixer, extrussing, steamingbox, cutting, drying, cooling dan
packaging. Pada bagian masing-masing tulang terdapat beberapa kegiatan yang
menjadi bagian dari masing-masing proses produksi bihun jagung, yang dijadikan
sub variabel. Pada masing-masing kegiatan tersebut terdapat titik kritis yang
menjadi penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung. Pada bagian kepala
tulang ikan terdapat akibat yang ditimbulkan dari risiko produksi bihun jagung.
Diagram fishbone, akan dijadikan landasan sebagai pembuatan kuesioner
pada Lampiran 5a sampai 5k. Kuesioner-kuesioner tersebut adalah kuesioner yang
digunakan untuk mengidentifikasi frekuensi atau peluang dari penyebab risiko
(occurence) dan dampak dari kejadian risiko (severity) beserta korelasi antara
kemunculan penyebab kejadian risiko (Aj) dengan dampak kejadian risiko (Ei)
pada masing-masing proses produksi bihun jagung. Hasil dari kuesioner-
kuesioner tersebut dijadikan bahan perhitungan pada skema HOR fase 1.
Kuesioner pada nomor 5a sampai dengan 5k merupakan kuesioner yang
dibuat berdasarkan pada hasil perhitungan atau analisis pada skema HOR fase 1
dan pemetaan risiko pada diagram pareto. Kuesioner-kuesioner tersebut dibuat
dengan tujuan untuk memperoleh data derajat atau tingkat kesulitan penerapan
tindakan atau strategi preventif atau pencegahan, yang akan diterapkan pada
proses produksi bihun jagung. Korelasi antara penerapan tindakan atau strategi
55
preventif atau pencegahan dengan penyebab risiko (Aj) yang memiliki dampak
paling besar dan dapat menimbulkan kerugian perusahaan, apabila tidak segera
ditangani. Hasil dari kuesioner-kuesioner pada Lampiran 5a sampai dengan 5k
juga digunakan sebagai data untuk perhitungan atau analisis pada skema HOR
fase 2.
3.4 Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dengan bantuan Microsoft
excel 2010. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
3.4.1 House Of Risk (HOR) Fase 1
Analisis pertama menggunakan metode model House Of Risk (HOR) fase
1, untuk mengetahui nilai dari potensi risiko keseluruhan atau Agregate Risk
Potential (ARPj). Data frekuensi atau peluang penyebab risiko (occurence) dan
tingkat dampak kejadian risiko (severity) beserta data korelasi antar keduanya
yang telah diperoleh dari kuesioner kemudian data tersebut diinput ke dalam tabel
HOR fase 1. Penyebab risiko atau Risk Agent (Aj) ditempatkan pada sisi atas
tabel, kejadian risiko atau Risk Event (Ei) ditempatkan pada sisi kiri tabel, nilai
tingkat dampak kejadian risiko (severity) ditempatkan pada sisi kanan tabel, nilai
frekuensi atau peluang penyebab risiko (occurance) diletakkan pada bagian bawah
setelah daftar kejadian risiko, dan nilai korelasi antara frekuensi penyebab risiko
(Aj) dengan kejadian risiko (Ei) ditempatkan pada bagian tengah tabel diantara
penyebab risiko (Aj) dan kejadian Risiko (Ei). Kemudian dilakukan perhitungan
56
nilai potensi risiko keseluruhan atau Aggregate Risk Potential (ARPj). Pada
penelitian ini akan dibuat model HOR Fase 1 dari masing-masing proses
produksi bihun jagung.
3.4.1.1 Agregate Risk Potential (ARPj)
Agregate Risk Potential (ARPj) adalah perhitungan nilai potensi risiko
keseluruhan yang didapatkan dari hasil perkalian tingkat kemunculan penyebab
risiko (Oj) dengan total hasil kali antara dampak kejadian risiko (Si) dengan
hubungan atau korelasi antara penyebab atau agen risiko dengan kejadian risiko
(Rij). Adapun nilai dari ARPj dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
ARP j = O j ∑ Si Rij…………… (1)
Keterangan: ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan)
Oj = Occurance level of risk (Tingkat kemunculan risiko) yang didapatkan
dari kuisioner pada Lampiran 5 (a, b,c)
Si = Severity level of risk (Tingkat dampak suatu kejadian risiko) yang didapatkan
dari kuisioner pada Lampiran 5 (a, b, c)
Rij = Hubungan (korelasi) antara agen risiko j dengan risiko i yang didapatkan dari
kuesioner pada Lampiran 5 (d, e, f, g, h, i, j, k)
3.4.1.2 Diagram Pareto
Setelah didapatkan nilai ARPj dari masing-masing penyebab risiko (Aj),
dilakukan perhitungan penyebab kejadian risiko dengan menggunakan alat
analisis kedua yaitu diagram pareto dengan perbandingan 80:20, sehingga
diketahui penyebab-penyebab risiko yang memiliki pengaruh yang besar bagi
perusahaan, guna menentukan strategi pencegahan risiko yang terjadi pada
masing-masing proses. Masing-masing nilai ARPj akan dihitung kumulatif atau
persentase pengaruh penyebab risiko (Aj) terhadap perusahaan. Penyebab risiko
57
yang memiliki persentase kumulatif kurang dari 80% merupakan penyebab yang
memiliki pengaruh yang besar dan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan,
dan dapat dirumuskan strategi untuk pencegahan risiko agar agen risiko tersebut
tidak muncul di masa yang akan datang. Adapun perhitungan persentase pengaruh
dari penyebab risiko (Aj) pada penelitian ini dapat dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
%Aj =
…………… (2)
Keterangan :
ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) pada masing-masing
penyebab risiko (Aj)
%Aj = Presentase kumulatif pengaruh penyebab risiko (Aj)
Setelah didapatkan presnetase kumulatif pengaruh penyebab risiko dari
masing-masing risiko maka akan dibuat diagram pareto seperti modal yang
terlihat pada Gambar 9.
Tingkat
ARPj
Tingkat
Persentase
Kumulatif
Nilai kerugian % Kumulatif
Gambar 9. Model Diagram Pareto Penelitian
58
Berdasarkan Gambar 9, diagram pareto yang berbentuk batang
melambangkan nilai potensi risiko keseluruhan (ARPj) dari masing-maisng
penyebab risiko (Aj), sedangkan untuk titik hitam menunjukkan presentase
kumulatif dari masing-masing penyebab risiko (Aj), bagian sisi kiri akan terdapat
angka-angka tingkatan nilai ARPj dan pada sisi kanan akan terdapat angka-angka
presentase kumulatif dari masing-masing penyebab risiko (Aj).
Setelah diketahui penyebab risiko yang paling berpengaruh pada proses
produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya, maka dilakukan perumusan
strategi pencegahan risiko dengan Bapak Asep selaku manager produksi, Ibu
Galuh Muhniyati selaku manajer Quality Control, Bapak Dwi Paskah selaku
manajer Teknik dan Ibu Febriyanthi selaku karyawan divisi Industri
Engineering,serta ibu Umi selaku supervisor HRD.
3.4.2 House Of Risk (HOR) Fase 2
Alat analisis ketiga yang digunakan penelitian ini adalah House Of Risk
(HOR) fase 2. Terdapat beberapa contoh strategi pencegahan pada bagian atas
model untuk mencegah terjadinya penyebab-penyebab risiko yang memiliki
pengaruh besar bagi perusahaan pada bagian kiri model, pada bagian kanan
terdapat nilai potensi risiko keseluruhan masing-masing penyebab risiko (ARPj),
nilai korelasi antara strategi preventif dengan penyeybab risiko pada bagian
tengah, serta pada bagian bawah terdapat nilai total keefektivan dari masing-
masing strategi pencegahan (TEk), tingkat kesulitan dari masing-masing strategi
preventif yang akan diterapkan (Dk), rasio keefektivan kesulitan strategi preventif
59
ETDk) dan urutan dari masing-masing rasio keefektivan kesulitan strategi
preventif (Rank).
Tabel 7. Contoh Model HOR Fase 2 Penelitian: Model HOR Fase 2 Proses mixing
Keterangan:
Aj = Risk Agent (Penyebab Risiko yang sangat berpengaruh pada perusahaan)
yang diperoleh dari pemetaan pada diagram pareto
Dk = Degree of Difficulty Performing Action (Tingkat kesulitan strategi preventif)
yang didapatkan dari kuisioner pada Lampiran 6 (a dan b)
Tek = Total Effectiveness (Total Keefektifan dan tiap strategi preventif)
ETDk = Effectiveness of Difficulty Ratio (Rasio Keefektifan Kesulitan tindakan atau
strategi preventif)
Ejk = Hubungan antara setiap tindakan penanganan risiko dengan setiap penyebab risiko
yang didapatkan dari kuesioner yang terdapat pada Lampiran 6 (c, d, e, f, g, h, i, j)
Nilai tingkat kesulitan strategi preventif didapatkan dari hasil kuesioner
yang terdapat pada Lampiran 6a sampai dengan 6b, sedangkan nilai korelasi
Tindakan penanganan Risiko
Penyebab Risiko
1.
Pem
bag
ian
tugas
yan
g
op
tim
al
(ter
uta
ma
pad
a sa
at
jam
is
tira
hat
) dan
oper
ator
mel
akukan
back
up
2.
Men
gad
akan
tra
inin
g t
erhad
ap
kar
yaw
an p
roduksi
3.
Ref
resh
WI
(Work
Intr
uct
ion
)
AR
Pj
Operator tidak mengecek/membersihkan
karung corn starch
Korelasi (Ejk)
ARP1
Penuangan secara tidak sempurna pada
saat proses penuangan pati jagung ke
dalam mixer
ARP2
Operator tidak mengecek volume air yang
ditambahkan
ARP3
Waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang
dari 6-10 menit)
ARP4
Tek TE 1 TE 2 TE 3
Dk D1 D2 D3
ETDk ETD ETD2 ETD3
Rank R1 R2 R3
60
antara tingkat kesulitan penerapan strategi yang didapatkan dari kuesioner pada
Lampiran 6c sampai dengan 6e.
3.4.2.1 Total Effectiviness (TEk)
Nilai Total keefektifan penerapan strategi didapatkan dari hasil perkalian
antara potensi risiko keseluruhan (ARPj) dengan hubungan antara tiap aksi
preventif dengan tiap agen risiko (Ejk). TEk dapat dirumuskan sebagai berikut :
TEk = ∑ ARPj Ejk
Keterangan :
TEk = Total Effectiveness (Total Keefektifan)
ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan)
Ejk = Hubungan antara tiap aksi preventif dengan tiap agen risiko
3.4.2.2 Effectiveness To Difficulty Ratio (ETDk)
Nilai rasio keefektivan kesulitan tindakan atau strategi pencegahan
(ETDk) diperoleh dari hasil bagi nilai total keefektivan setiap strategi pencegahan
(TEk) dengan derajat atau tingkat kesulitan melakukan strategi (Dk). Rumus
ETDk adalah sebagai berikut :
ETDk = TEk /Dk
Keterangan :
ETDk = Efffectiveness To Difficulty Ratio (Rasio Keefektivan Kesulitan)
TEk = Total Effectiveness (Total keefektifan dari tiap strategi pencegahan risiko)
Dk = Tingkat kesulitan untuk melakukan aksi k
Hasi nilai ETDk yang telah didapatkan selanjutnya diurutkan dan ditulis
pada kolom Rank yang menandakan strategi mana yang harus terlebih dahulu
61
dijalankan untuk mencegah terjadinya kerugian yang ditimbulkan dari penyebab
risiko pada proses produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya di masa
yang akan datang.
3.5 Definisi Operasional
Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalah pahaman
dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam penelitian.
Sesuai dengan judul penelitian, yaitu analisis risiko produksi bihun jagung di PT.
Subafood Pangan Jaya, maka definisi operasional atas objek penelitian ini adalah:
1. Alur Produksi adalah cara atau langkah-langkah yang dilakukan PT.
Subafood Pangan Jaya dalam memproduksi bihun jagung.
2. Risiko adalah kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan kerugian dan
ketidakpastian dari kegiatan usaha produksi bihun jagung.
3. Risiko Produksi adalah kejadian yang merugikan terkait dengan kegiatan
produksi yang dilakukan di PT. Subafood Pangan Jaya.
4. Bihun Jagung adalah produk bihun yang berbahan dasar pati jagung pada
perusahaan PT. Subafood Pangan Jaya.
5. Reject Product adalah produk rusak atau gagal dari bihun jagung yang berupa
kategori bihun basah, Hancur Patah A, Hancur Patah B, Hancur Halus, dan
Hancur Kotor, serta Ex.Cutting.
6. Identifikasi risiko adalah tahapan awal yang dilakukan dalam penelitian untuk
mengetahui kemungkinan risiko yang timbul dari aktivitas produksi.
7. Pengukuran risiko adalah upaya untuk memahami risiko lebih dalam. Hasil
analisis risiko ini akan menjadi masukan bagi evaluasi risiko dan proses
62
pengambilan keputusan mengenai perlakuan terhadap risiko yang terdapat
pada proses produksi bihun jagung.
8. Dampak risiko adalah kejadian merugikan yang ditimbulkan akibat produksi
bihun jagung.
9. Pemetaan risiko adalah kegiatan memetakan risiko dengan tujuan agar
diketahui prioritas risiko berdasarkan kepentingannya bagi perusahaan.
10. Strategi adalah perlakuan yang diusulkan untuk PT. Subafood Pangan Jaya
demi tercapainya tujuan produksi.
11. Preventif adalah strategi untuk pencegahan atau menghindari kejadian yang
merugikan dari aktivitas produksi bihun jagung.
12. Mitigasi adalah strategi pengurangan atau meminimalkan risiko (kejadian
merugikan) yang ditimbulkan dari aktivitas produksi.
13. Evaluasi risiko adalah kegiatan menentukan risiko-risiko yang memerlukan
perlakuan dan bagaimana prioritas perlakuan atas risiko-risiko tersebut
14. Diagram tulang ikan adalah metode yang digunakan untuk mencari faktor-
faktor yang mungkin menjadi penyebab dari suatu masalah atau
penyimpangan.
15. House of Risk 1 adalah metode untuk menentukan sumber risiko mana yang
diprioritaskan untuk dilakukan tindakan strategi preventif.
16. House of Risk 2 adalah metode untuk memberikan prioritas tindakan dengan
mempertimbangkan sumber daya biaya yang efektif.
17. Diagram pareto adalah metode untuk mengevaluasi risiko produksi bihun
jagung pada PT. Subafood Pangan Jaya.
BAB IV
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
PT. Subafood Pangan Jaya (PT. SPJ) didirikan pada tanggal 17 Juni 2004,
dengan akte Notaris Imas Fatimah No. 42 di Jakarta dan sudah disahkan oleh
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 09 Agustus 2004
dengan No. C.17065 HT 01.01 th 2004. yang beralamat di Jalan Raya Legok Km
06 Ds. Cijantra Kec. Pagedangan Tangerang, Banten. PT. Subafood Pangan Jaya
bergerak pada industri makanan khususnya bihun yang berbahan dasar jagung.
Perusahaan ini didukung dengan teknologi produksi yang canggih sehingga
menghasilkan hasil produk yang bermutu dan higienis. Produk Subafood
merupakan produk pionir untuk kategori Bihun Jagung, karena pada umumnya
bihun terbuat dari tepung beras.
PT. Subafood Pangan Jaya berada di bawah naungan PT. Tiga Pilar
Sejahtera Food yang berada di Plaza Mutiara, Kuningan, Jakarta Selatan. Pada
awalnya PT. Subafood Pangan Jaya berlokasi di Legok, Karawaci, dan masih
menyatu dengan kompleks pabrik sepatu PT. Doson Indonesia. Kini PT. Subafood
Pangan Jaya terletak di Desa Cibadak, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang,
Provinsi Banten yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Serang- Merak. PT.
Subafood diresmikan pada bulan Agustus 2004, yang didirikan oleh Pak Teddy,
yakni pemegang saham utama PT. Subafood.
Pada awal proses produksinya PT. Subafood Pangan Jaya bekerja sama
dengan pihak pabrikan mesin dari china untuk melakukan proses trial produksi
64
sekaligus menyiapkan lahan perkantoran, boiler, gudang, dsb. Pada bulan Januari
2005 instalasi langsung dari teknisi Cina mulai dilakukan dan selesai pada bulan
April 2005. Instalasi pada saat itu tertunda dikarenakan perayaan Hari Raya Cina,
sehingga para teknisi harus kemabli pada bulan berikutnya.
Pada bulan Mei 2005, PT. Subafood Pangan Jaya sudah melakukan
percobaan produksi dan berhasil pada bulan Juli. Produksi dimulai dengan
mengolah pati jagung yang disuplai dari PT. Suba Indah Cilegon menjadi bihun
jagung. PT. Suba Indah Cilegon merupakan perusahaan penyedia pati jagung yang
juga dimiliki oleh Pak Teddy. PT. Suba Indah Cilegon merupakan kemudian
dijual seluruh sahamnya kepada PT. Redwood, yang kini menjadi supplier pati
jagung di PT. Subafood Pangan Jaya.
Gagasan memproduksi bihun jagung diusung karena sudah terlalu banyak
produsen yang memproduksi bihun beras. Selain itu, bihun jagung juga memiliki
tekstur yang elastis dan tidak mudah putus. Dari segi umur simpan, bihun jagung
yang telah dimasak lebih tahan lama, sedangkan bihun beras mudah basi dan
berbau. Berdasarkan proses pembuatan, pada saat itu bihun beras masih dibuat
dengan cara tradisional sedangkan PT. Subafood Pangan Jaya menjadi pelopor
produsen bihun jagung pertama yang melakukan proses produksi secara pabrikasi.
Pada bulan Juli 2005, PT. Subafood Pangan Jaya mulai memperkenalkan
produk bihun jagung kepada pasar. Pada akhir 2012, hasil produksi PT. Subafood
Pangan Jaya telah mencapai 1200 ton per bulan. Sertifikat ISO 9001 diperoleh
oleh PT. Subafood Pangan Jaya pada tahun 2008. Seiring keberlangsungan
pabrik, PT. Subafood Pangan Jaya pun memperoleh sertifikat ISO 22000 yang
65
sekaligus mencakup sistem HACCP. Kepemilikan sertifikat ISO ini juga
bertujuan untuk mempermudah sistem ekspor yang dilakukan ke Belanda. PT.
Subafood Pangan Jaya pernah mendapatkan penghargaan REBI sebagai produk
pangan asli Indonesia. Sejak diakuisisi, sistem manajemen dan pemasaran PT.
Subafood Pangan Jaya langsung terpusat di PT. TPS Food, begitu pula hubungan
dengan distributor dan pelanggan.
Selain di Balaraja, PT. Subafood Pangan Jaya turut melakukan sistem
maklon dibeberapa pabrik. Maklon tersebut diletakkan di pabrik Solo yang
memproduksi 200 ton dan pabrik Cikande yang memproduksi 200 ton per bulan.
Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan 1200 ton per bulan. Untuk saat ini
bihun jagung PT. Subafood Pangan Jaya memegang pasar Jabodetabek dan belum
ada produsen lain yang bisa bersaing dengan produk mereka. Berikut Gambar 9
merupakan produk yang dihasilkan oleh PT. Subafood Pangan Jaya.
Gambar 10. Produk PT. Subafood Pangan Jaya Sumber: PT. Subafood Pangan Jaya, 2017
66
4.2 Lokasi dan Tata Letak Perusahaan
PT. Subafood Pangan Jaya terletak di Jalan Raya Serang Km 20,5, Desa
Cibadak, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten 15710,
Indonesia. Daerah ini merupakan kawasan industri dan termasuk daerah yang
strategis untuk pendirian industri karena letaknya di tepi jalan raya serta
berdekatan dengan gerbang tol Balaraja Timur sehingga memudahkan transportasi
bagi karyawan, pendistribusian bahan baku dan pendistribusian produk jadi ke
berbagai daerah.
PT. Subafood Pangan Jaya terletak diatas tanah seluas 2 hektare dengan
luas pabrik 1,2 hektare. Bangunan PT. Subafood Pangan Jaya terdiri dari ruang
kantor, ruang pabrikasi yang dilengkapi dengan mesin-mesin untuk
mempermudah dan mempercepat proses produksi, gudang bahan baku, gudang
produk jadi, ruang loker, kantin, tangki, ruang boiler, ruang panel, wc umum,
workshop, mushola, pos keamanan, parkiran, dan pos jaga. Pertimbangan tata
letak tersebut didasarkan pada penggunaan volume, ruang, fleksibilitas operasi,
meminimumkan penanganan bahan, mengurangi kontaminasi silang antara
pekerja dengan bahan dasar pengolahan serta keleluasaan kerja karyawan. Tata
letak bangunan merupakan faktor yang penting dalam menentukan maju
mundurnya suatu perusahaan.
4.3 Visi dan Misi Perusahaan
Visi PT. Subafood Pangan Jaya adalah menjadi industri pangan kelas
dunia dengan sumber daya lokal untuk mencapai kemakmuran nasional.
67
Sedangakn misi PT. Subafood Pangan Jaya adalah mengutamakan pengolahan
sumber pangan lokal yang bisa diproduksi lewat industri secara massal dengan
kualitas baik dan sehat.
4.4 Struktur Organisasi
Struktur organisasi merupakan sebuah fondasi sebuah perusahaan.
Penyusunan struktur organisasi harus secara sistematis agar dapat menjalankan
kegiatan dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Robbins
(1990), struktur organisasi menentukan alokasi tugas, garis pelaporan, serta
mekanisme koordinasi formal dan pola interaksi. Sturktur organisasi juga
merupakan suatu alat manajemen yang dibutuhkan perusahaan agar segala
wewenang dan tanggung jawab bagi setiap individu perusahaan dapat
dipertanggung jawabkan.
Struktur organisasi PT. Subafood Pangan Jaya merupakan struktur
organisasi garis dan staf. Dalam struktur yang ada menggambarkan bahwa setiap
atasan memiliki bawahan tertentu. Bawahan akan bertanggung jawab secara
langsung kepada pimpinan dan bertugas memberi laporan, nasihat, serta saran
dalam bidangnya masing-masing kepada pimpinan. Gambar struktur organisasi
PT. Subafood Pangan Jaya dapat dilihat pada lampiran 1.
Batasan-batasan dalam struktur organisasi merupakan garis kerja yang
dilaksanakan setiap saat untuk menciptakan suatu pekerjaan yang efisien dan
efektif. Adapun uraian dari masing-masing jabatan adalah sebagai berikut:
68
1. Head of Plan Manager, bertanggung jawab kepada Direktur dan memberi
laporan tentang keadaan perusahaan kepada Direktur, selain itu sebagai
kepala pabrik yang membawahi Departemen Logistik, Produksi, HR & GA,
dan PDQA, IE, IT tugas lainnya adalah melakukan pengawasan dan
pengendalian secara umum terhadap seluruh kegiatan perusahaan.
2. Departemen HR & GAL, bertugas melakukan perekrutan, pembinaan dan
pengembangan tenaga kerja, menciptakan hubungan industrial yang harmonis
internal maupun eksternal, membuat peraturan dan kebijakan perusahaan dan
bertanggung jawab terhadap proses penggajian, jamsostek, asuransi,
kebersihan, keamanan di lingkungan perusahaan.
3. Quality Control & Product Development Quality Assurance (PDQA), PDQA
bertugas membuat standar produk dan memastikan produk yang dihasilkan
sesuai dengan standar yang ditetapkan, melakukan pengawasan terhadap
perjalanan produk sampai ke konsumen, menerima komplain dari marketing
dan pelanggan yang berkaitan dengan mutu produk serta mencari solusi
pemecahannya, selain itu PDQA juga melakukan penelitian terhadap produk
sendiri maupun produk kompetitor sehingga produk yang dihasilkan dapat
bersaing dipasar dan melakukan penelitian untuk pengembangan produk.
4. Produksi, bertanggung jawab memproduksi barang jadi dengan
memperhatikan faktor-faktor efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan
bahan baku dan penekanan biaya, menjaga dan mengawasi kualitas barang
jadi serta memenuhi target produksi yang telah ditetapkan.
69
5. Logistik dan Production Planning Inventory Control (PPIC), Bertugas
memonitoring kesiapan bahan baku demi kelancaran produksi, membuat
proyeksi kapasitas produksi, membuat perencanaan produksi harian,
mingguan, bulanan dan tahunan, bertanggung jawab atas penerimaan,
penyimpanan dan pengeluaran barang di gudang serta membuat laporan
posisi persediaan barang secara periodik.
6. Finance & Accounting Manager (FA), bertanggung jawab mengawasi
realisasi penggunaan sumber dana perusahaan agar tidak menyimpang jauh
dari anggaran yang telah ditetapkan, serta bertanggung jawab atas kelancaran,
pengaturan, dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang menyangkut
bidang administrasi, seperti pengolahan kas, bukti pendukung dan seluruh
kegiatan akuntansi dan melaporkan secara periodik serta mengatur kegiatan
akuntansi perusahaan. Selain itu FA bertugas menyiapkan laporan-laporan
yang diperlukan untuk dipergunakan sebagai alat pengambilan keputusan
serta informasi yang mendukung kebijakan yang telah ditetapkan.
7. Industrial Engineering (IE) dan Teknik bertanggung jawab dalam memimpin
setiap proyek yang di laksanakan di pabrik yang berkaitan dengan produksi.
IE memiliki peran dalam perusahaan seperti evaluasi target produksi yang ada
dan memperbaiki target produksi baru, menambahkan waktu dalam
pengukuran proses kerja misalnya dibagian cutting dan finishing, mengontrol
biaya tenaga kerja, penelitian mengenai mesin baru dan sistem baru yang
memenuhi tujuan perusahaan jangka panjang dan mempersiapkan analisis
manfaat biaya.
70
8. TI, bertugas untuk membantu dan menangani berbagai masalah yang
berhubungan dengan TI, bertanggung jawab untuk perbaikan fisik komputer,
mengatur semua kemampuan jaringan komunikasi data yang dibutuhkan
dalam bisnis oleh perusahaan.
4.4.1 Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang mendukung jalannya
kegiatan industrial. PT. Subafood Pangan Jaya memiliki karyawan sebanyak 388
orang dengan tingkat pendidikan karyawan mulai dari SMA, Diploma III, dan
Sarjana. Untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal, perusahaan perlu
ditunjang dengan sistem kerja yang tepat untuk mengatur secara tegas dan jelas
tata cara kerja seluruh karyawannya. Di PT. Subafood Pangan Jaya,
memberlakukan jam kerja kepada karyawan-karyawannya sebagai berikut:
1. Karyawan staf
Karyawan staf bekerja dari hari senin sampai jum’at, mulai pukul 08.00 –
17.00 WIB , dan untuk hari sabtu mulai pukul 08.00-13.00. seluruh karyawan
staf memiliki waktu istirahat selama satu jam yaitu mulai pukul 12.00 – 13.00
WIB.
2. Karyawan Non – Staf
Karyawan non staf dibagi menjadi dua, yaitu karyawan bagian produksi dan
karyawan bagian logistik. Waktu kerja karyawan non staf yaitu karyawan
bagian produksi bekerja dari hari senin sampai dengan hari sabtu dan terbagi
menjadi tiga shift, yaitu :
71
1. Shift satu : dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB, dengan
waktu istirahat secara bergantian selama satu jam antara pukul 12.00 –
13.00.
2. Shift dua : dari pukul 15.00 sampai dengan pukul 23.00 WIB, dengan
waktu istirahat secara bergantian selama satu jam antara pukul 19.00 –
20.00.
3. Shift tiga : dari pukul 23.00 sampai pukul 07.00 WIB, dengan waktu
istirahat secara bergantian selama satu jam antara pukul 04.00 – 05.00.
Sedangkan untuk karyawan logistik bekerja pada hari senin sampai
dengan hari sabtu dan terbagi menjadi dua shift, yaitu :
1. Shift satu : dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB, dengan
waktu istirahat secara bergantian selama satu jam antara pukul 12.00 –
13.00.
2. Shift dua : dari pukul 15.00 sampai dengan pukul 23.00 WIB, dengan
waktu istirahat secara bergantian selama satu jam antara pukul 19.00 –
20.00.
Berikut ini terdapat tabel 8 merupakan data jumlah karyawan PT.
Subafood Pangan Jaya.
72
Tabel 8. Jumlah Karyawan PT. Subafood Pangan Jaya
Departemen Total Karyawan
Production 279
Quality Assurance 1
Quality Control 16
Supply Chain 27
Engineering 34
Industrial Engineering 2
Unit Procurement 2
Accounting 7
Finance 3
HR & GAL 16
IT Support 1
Total Karyawan 388 Sumber: PT. Subafood Pangan Jaya, 2018
4.4.2 Kesejahteraan Karyawan
PT. Subafood Pangan Jaya sangat memperhatikan kesejahteraan para
karyawannya dengan memberikan tunjangann dan fasilitas untuk kesejahteraan
karyawannya, karena hal itu mempengaruhi motivasi kerja dari karyawan.
Tunjangan dan fasilitas tersebut diantaranya adalah :
1. Tunjangan Kesehatan
Tunjangan kesehatan diberikan tetap pada setiap bulan bersama gaji yang
besarnya disesuaikan dengan level karyawan.
2. Jaminan Makan
Perusahaan menyediakan fasilitas makan di kantin pabrik secara Cuma-Cuma
kepada seluruh karyawan dengan cara menukarkan kupon makan yang telah
diberikan.
73
3. Pakaian Kerja
PT. Subafood Pangan Jaya memberikan pakaian kerja kepada seluruh
karyawan produksi yang terdiri dari satu stel baju dan celana, sepatu, masker,
sarung tangan, dan penutup kepala. Seragam tersebut hanya diperbolehkan
digunakan pada saat di area pabrik dan tidak diperkenankan dibawa pulang.
4. Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja)
PT. Subafood Pangan Jaya mengikut sertakan karyawannya dalam program
jaminan sosial tenaga kerja atau jamsostek tanpa kecuali. Program ini
meliputi jaminan kematian, kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua.
5. Tunjangan Hari Raya
Tunjangan hari raya diberikan kepada karyawan pada saat menjelang Hari
Raya Idhul Fitri dan Hari Raya Natal bagi yang beragama Nasrani.
6. Rekreasi Karyawan
Rekreasi karyawan diadakan setiap setahun sekali dengan tujuan untuk
refreshing agar meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja.
7. Cuti
PT. Subafood Pangan Jaya memberikan cuti tahunan kepada karyawannya
selama 12 hari kerja dengan upah penuh, cuti khusus diberikan kepada
karyawan wanita, yaitu cuti hamil 3 bulan dan cuti menikah 3 hari, serta cuti
lainnya yang diatur dalam peraturan perusahaan.
8. Pembinaan dan Pengembangan Karyawan
Perusahaan mengadakan pendidikan, pelatihan dan pengembangan karyawan
di lingkup perusahaan dengan mengadakan training bagi seluruh karyawan.
74
Selain itu, terdapat beberapa karyawan yang diikutsertakan training diluar
perusahaan. Seperti training mutu produk, SJH, ISO, HACPP, dan lain-lain.
4.5 Aktivitas Produksi Bihun Jagung
4.5.1 Mesin dan Alat Produksi Bihun Jagung
1. Pallet
Pallet merupakan alat yang digunakan untuk penanganan bahan yang
berfungsi sebagai alat untuk menyimpan bahan baku serta digunakan
untuk memindahkan bahan baku dalam satu satuan muatan tertentu dan
biasanya terdiri dari dua permukaan rata. Selain digunakan sebagai tempat
menyimpan bahan baku, pallet juga digunakan sebagai alas untuk produk
jadi yang akan dipindahkan kegudang finish good yang kemudian
mempermudah pengangkutan produk jadi menuju truck untuk
didistribusikan. Pallet yang digunakan PT. Subafood Pangan Jaya
umumnya terbuat dari bahan kayu yang kuat sehingga tidak mudah rusak.
2. Hand pallet
Hand pallet merupakan alat tanpa mesin yang terbuat dari plat besi,
memiliki dua garpu yang berfungsi sebagai bantalan beban. Digunakan
untuk mengangkut muatan atau bahan-bahan untuk didorong oleh pekerja.
3. Forklift
Forklift adalah sebuat alat angkut untuk kepentingan transpotasi pada
pabrik yang dapat membawa beban dengan kapasitas maksimal tertentu
dalam sekali pengangkutan. Alat ini berbentuk seperti mobil kecil,
memiliki roda sebanyak empat buah yang dapat berbelok kesegala arah
75
dengan pengatur gerak pada kedua roda belakang. Forklift dapat
memindahkan barang secara horizontal maupun vertikal melalui garpu
(fork) yang dapat naik dan turun (lift) serta maju dan mundur. Forklift di
perusahaan ini digunakan untuk membawa bahan baku dan digunakan
untuk memindahkan produk bihun menuju mobil truck untuk di distribusi.
4. Krat
Krat adalah suatu alat penanganan bahan yang umum digunakan oleh
banyak industri untuk menampung, membawa, serta membedakan suatu
bahan. Di perusahaan ini krat yang digunakan terbuat dari plastik tanpa
tutup. Penampakan jenis krat yang digunakan di PT. Subafood Pangan
Jaya dapat dilihat pada Gambar 10. Krat digunakan untuk menaruh bihun-
bihun yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku (riject) yang
kemudian akan diolah kembali apabila masih layak untuk diolah kembali.
5. Screw Conveyor
Screw conveyor merupakan mesin yang berfungsi memindahkan pati
jagung dari gudang harian di lantai dasar menuju mixer di lantai atas.
6. Mixer
Mixer adalah mesin yang berfungsi untuk mencampurkan pati jagung
dengan air dan bumbu agar didapat campuran yang homogen dan elastis.
7. Feeder
Feeder adalah mesin yang berfungsi untuk penampungan adonan bihun
dari mixer sebelum masuk ke mesin vermicelly extruder.
76
8. Vermicelly Extruder
Vermicelly extruder adalah mesin yang berfungsi untuk membentuk
adonan menjadi bentuk untaian bihun yang baik (stabil dalam bentuk,
ketebalan dan gramasinya).
9. Steaming box
Steaming box adalah mesin yang digunakan untuk mengukus untaian
bihun sampai dengan kematangan yang diinginkan (tidak lengket tapi
tidak terlalu kering).
10. Cutting
Cutting merupakan mesin yang berfungsi untuk melakukan proses
pemotongan terhadap produk keluaran steaming box sesuai dengan ukuran
panjang dan lebar yang diinginkan, dengan tekanan dan kecepatan yang
ditetapkan berdasarkan MOS.
11. Drying
Drying adalah mesin yang berfungsi untuk mengeringkan produk sehingga
tercapai penyusutan dan kekeringan produk yang standar.
12. Cooling
Cooling adalah mesin yang berfungsi untuk mendinginkan bihun setelah
bihun ke luar dari mesin drying hingga diperoleh bihun yang mencapai
suhu ruang.
13. Mesin pengemas (packing)
Mesin pengemas digunakan untuk mengemas bihun dengan etiket.
77
4.5.2 Bahan baku bihun jagung
1. Bahan baku utama
Bahan baku yang digunakan dalam produksi bihun jagung dapat dibagi
menjadi bahan utama dan bahan penunjang. Bahan utama adalah corn starch
(pati jagung). Bahan penunjang ini merupakan bahan yang menunjang proses
produksi bihun jagung. Bahan baku utama dalam proses produksi bihun
jagung adalah corn starch (pati jagung) dengan merk Tereos Corn Starch dan
Miwon Corn Starch. Corn Starch yang digunakan berasal dari PT. Tereos
FKS Indonesia dan PT. Miwon Indonesia, yaitu perusahaan penghasil pati
jagung.
2. Bahan penunjang
Bahan penunjang yang digunakan dalam proses pembuatan bihun jagung
yaitu air mineral dan bumbu.
4.5.3 Proses Produksi Bihun Jagung
Berikut diagram alir proses pengolahan bihun jagung di PT. Subafood
Pangan Jaya yang dapat dilihat pada gambar 8. Proses produksi yang berlangsung
di perusahaan ini pada dasarnya adalah mengubah bahan baku pati jagung
sebanyak 375 kg menjadi bihun jagung. Untuk mendapatkan bihun jagung instan
ataupun olahan diperlukan tahap proses yang sedikit berbeda. Akan tetapi secara
garis besar adalah sama. Tahap proses produksi bihun jagung secara umum di PT.
Subafood Pangan Jaya adalah sebagai berikut :
78
1. Penuangan Bahan
Penuangan bahan dalam screw conveyor. Semua bahan dari pati jagung
dituang ke dalam screw conveyor. Fungsi dari mesin screw conveyor yaitu untuk
mengayak bahan pati jagung sehingga bebas dari cemaran fisik (kerikil, kutu,
benang, dll) kemudian menaikan bahan dari pati jagung tersebut ke dalam mixer.
2. Pencampuran dan Pengadukan (Mixing)
Pada tahapan ini bahan baku berupa pati jagung dan air dilakukan proses
pencampuran, ada 2 macam proses mixing yang dilakukan yaitu :
a) Wet Mixing, pada proses ini pati jagung akan dilakukan mixing tersendiri
dengan tujuan untuk memastikan kondisi bahan tidak menggumpal. Proses
mixing kering dilakukan kurang lebih selama 2 menit.
b) Dry Mixing, dalam tahapan ini air mulai ditambahkan ke dalam adukan
tepung sehingga kadar air adonan yang terbentuk antara 33 – 36 % dan
dilakukan selama 10-13 menit. Penggunaan air pada proses ini adalah 35-40
liter dalam satu kali pengadukan.
3. Tahap Steaming mixer
Bahan-bahan yang telah tercampur dengan air kemudian diteruskan ke feeder
yang berfungsi sebagai alat perantara antara mixer dengan steaming. Setelah tiba
di stasiun steaming, adonan digelatinisasi dengan suhu 75-85 oC dengan uap panas
dan tekanan uap yang berkisar antara 0.3-0.6 kg/cm3. Titik gelatinisasi yang
diinginkan bagi adonan adalah 80%.
79
4. Tahap Extrusion
Tahap ekstrusi merupakan tahapan kritis dalam proses pembuatan bihun
jagung, karena selain dilakukan pemadatan adonan di tahap inilah adonan
mengalami pembentukan untaian. Ada 2 proses pada tahap ekstrusi ini, yaitu :
a) Strap extruder, fungsi dari proses di mesin ini adalah untuk membentuk
produk padatan dari hasil mesin steaming yang masih berbentuk butiran.
Kemudian akan di pindahkan ke proses berikutnya melalui conveyor menuju
mesin vermicelly extruder.
b) Vermicelly ekstruder, adalah proses pembentukan untaian-untaian bihun dari
padatan yang sudah dibentuk di mesin sebelumya. Hasil dari proses inilah
yang banyak mempengaruhi bentuk, berat dan kestabilan kualitas produk.
5. Tahap Steamingbox
Untaian bihun yang sudah mulai terbentuk akan dilakukan pengukusan ulang
dengan mesin steam box. Selain untuk mematangkan bihun, steam box juga
berfungsi untuk menurunkan kadar air bihun. Terdapat tiga pintu tekanan masuk
steam: pintu 1 dengan tekanan 0,08-0,10 kg/cm3
; pintu 2 dengan tekanan 0,10-
0,12 kg/cm3
; dan pintu 3 dengan tekanan 4-6 kg/cm3
. Selain 3 pintu tekanan
masuk juga terdapat 2 pintu tekanan keluar : pintu 1 dengan tekanan 0,10-0,12
kg/cm3
; pintu 2 dengan tekanan 0,12-0,14 kg/cm3
. Dengan pengaturan tekanan
masuk dan keluar yang tepat dapat menghasilkan bihun dengan kadar air sesuai
standar dan memiliki kualitas yang baik. Penggunaan tekanan steam box di bawah
standar dapat menyebabkan rapuhnya produk akhir.
80
6. Pemotongan (Cutting)
Setelah keluar dari steam box, bihun kemudian masuk pada mesin cutting-
slitting. Tahap pertama dalam proses adalah slitting dimana bihun dibagi menjadi
beberapa jalur dengan lebar yang telah disesuaikan. Selanjutnya bihun dipotong
menggunakan mesin cutting yang memotong berdasarkan standar yang telah
ditetapkan. Standar panjang bihun hasil potongan adalah 16-16,6 cm dengan lebar
10,5 cm.
7. Pengeringan (Drying)
Bihun yang telah dipotong kemudian diteruskan ke stasiun drying. Proses ini
berfungsi untuk menurunkan kadar air bihun dengan keluaran bihun dengan berat
25% lebih rendah daripada bihun sebelum memasuki dryer. Proses pengeringan
ini dilakukan pada suatu tunel yang di dalamnya tersusun basket conveyor. Ketika
bihun masuk ke dalam stasiun drying, uap masuk ke elemen pemanas dan ditiup
dengan blower sehingga uap panas menyebar ke seluruh tunel pengering. Suhu
tunel pengering adalah 40-70oC dengan kelembaban 70-85%. Di dalam tunel
pengering terdapat exhaust yang berfungsi untuk menjaga kelembaban. Suhu
pintu masuk dryer adalah 60-90oC dan suhu pintu keluarnya berkisar 55-80
oC.
Kadar air akhir yang diinginkan untuk bihun setelah melalui proses drying adalah
10,5 %.
8. Pendinginan (Cooling)
Bihun yang telah dikeringkan kemudian didinginkan pada stasiun cooling.
Proses pendinginan ini dilakukan dengan kipas angin berukuran besar.
81
Pendinginan ini juga bertujuan agar pada saat dikemas tidak terdapat uap air yang
terperangkap pada kemasan.
9. Pengemasan (Packaging)
Adalah proses pembungkusan bihun dengan menggunakan etiket sesuai
standar yang ditetapkan. Tujuan pengemasan bihun dari kemungkinan rusak
sehingga bihun tidak mengalami penurunan kualitas sampai ditangan konsumen.
Pengemas yang baik akan menghindarkan produk dari debu dan kotoran,
kontaminasi serangga, kemasukan uap air, kelembaban, oksigen serta sinar
matahari secara langsung.
Sebelum dilakukannya pengemasan dilakukan penyortiran bihun, apabila
bihun tidak sesuai dengan standar produk maka bihun dipisahkan, setelah itu
bihun ditimbang agar sesuai dengan berat yang telah ditentukan oleh PT.
Subafood Pangan Jaya. Pengemasan ini melalui 2 tahap yaitu pengemasan primer
dengan etiket plastik dan pengemas sekunder dengan karton. Bihun yang keluar
dari mesin pendingin langsung didistributorkan ke alat pengemas melalui
conveyor pembagi. Kemudian masuk ke dalam mesin kemasan. Mesin pengemas
ini bekerja dengan mengemas bagian bawah kemasan, dilipat dan direkatkan
dengan cara pemanasan long sealer. Penutupan sekaligus pemotongan dengan
menggunakan end sealer.
Identifikasi yang dilakukan pada tahap pengemasan yaitu dilakukan dengan
cara memberikan label pada kemasan produk berupa kode produksi. Kode
produksi berisi informasi mengenai line mesin, shift produksi, tanggal dan bulan,
serta tertera juga label tanggal kadaluarsa produk berupa tanggal, bulan dan tahun.
82
Keberhasilan pengemas yang memenuhi standar tergantung pada pengaturan
suhu untuk long sealer dan end sealer, serta kecepatan mesin pengemas. Selain itu
yang mempengaruhi proses pengemasan adalah bahan pengemasnya.
10. Pengepakkan (Packaging)
Pengepakkan merupakan tahap kedua dalam pengemasan atau pengemasan
sekunder yaitu setelah bihun terbungkus kemasan primer, produk bihun
selanjutnya dikemas dengan menggunakan kemasan karton. Isi setiap karton
sesuai dengan varian yang ada di PT. Subafood Pangan Jaya. Kemudia karton
diletakkan dengan lakban serta diberi kode produksi, tanggal produksi, tanggal
kadaluarsa dan kemudian dimasukkan ke dalam gudang yang disebut finish good.
83
Gambar 11. Alur Proses Produksi Bihun Jagung
Penuangan Corn Starch
1 batch = 100 kg
Pencampuran dan pengadukan
T = 10-13 menit
penampungan
Pengukusan 1
T = 88-92 oC t = 2-3 menit
Pemadatan bahan (strape extruder)
Pembentukan untaian bihun
Diameter = 0,6, 0,7, 0,8 mm
Pengukusan 2
Pin = 0,08 – 0,10 kg/cm T = 94-102oC
Pout = 0,10-0,12 kg/cm (L1,L2,L4)
Pout = 0,12-0,14 kg/cm (L3) t = 7-10 menit
air
Uap air
steam
Pemotongan
P x L = 16,5 x 10,5 cm
Sisa
potongan
pengeringan
Pendinginan T < 35 oC t = 10 menit udara
Pengemasan
Berat = sesuai standar produk
Pengepakkan
Produk bihun jagung
Palstik inner
Platik outter/ dust +lakban
bumbu
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Risiko Produksi Bihun Jagung
Dalam menganalisis risiko, tahapan pertama yang harus dilakukan adalah
mengidentifikasi kemungkinan yang terjadi. Pada penelitian ini, tahap identifikasi
risiko yang dilakukan berdasarkan SOP (Standard Operating Procedure) pada
setiap tahapan proses produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya Tahun
2016, serta berdasarkan pengamatan langsung yang dilakukan terhadap alur
proses produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya meliputi identifikasi
kejadian risiko dan identifikasi penyebab risiko yang terjadi dari proses mixing,
steaming mixer, ekstrussing, steamingbox, cutting, drying, cooling dan packaging
dengan menggunakan alat analisis diagram tulang ikan seperti yang dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Pada bagian pangkal badan tulang ikan dari diagram fish bone terdapat
variabel pada penelitian yaitu proses produksi bihun jagung di PT. Subafood
Pangan Jaya yang terdiri atas proses mixing, steaming mixer, ekstrussing,
steamingbox, cutting, drying, cooling dan packaging. Kemudian pada bagian
masing-masing tulang terdapat beberapa kegiatan yang menjadi bagian dari
masing-masing proses produksi bihun jagung yang dijadikan sub variabel di mana
pada masing-masing kegiatan tersebut terdapat titik kritis yang menjadi penyebab
atau agen risiko produksi bihun jagung, diantaranya sebagai berikut:
85
1. Pada tahap mixing terdapat dua kegiatan yang menjadi tempat terjadinya titik
kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung diantaranya pada
kegiatan penuangan dan pengadukan.
2. Pada tahap steaming mixer terdapat dua kegiatan yang menjadi tempat
terjadinya titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung
diantaranya pada kegiatan penampungan dan pengukusan.
3. Pada tahap ekstrussing terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat terjadinya
titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung diantaranya pada
kegiatan pembentukan lempengan dan untaian bihun.
4. Pada tahap steamingbox terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat
terjadinya titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung
diantaranya pada kegiatan pengukusan.
5. Pada tahap cutting terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat terjadinya titik
kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung diantaranya pada
kegiatan pemotongan.
6. Pada tahap drying terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat terjadinya titik
kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung diantaranya pada
kegiatan pengeringan.
7. Pada tahap cooling terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat terjadinya
titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung diantaranya pada
kegiatan pendinginan.
86
8. Pada tahap packaging terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat terjadinya
titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bihun jagung diantaranya pada
kegiatan penyortiran.
Kemudian pada bagian kepala tulang ikan terdapat akibat yang ditimbulkan
yaitu kejadian risiko produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya. Satu
agen risiko dapat memunculkan satu atau lebih kejadian risiko dan sebaliknya,
satu kejadian risiko dapat disebabkan oleh satu atau lebih agen risiko.
Berdasarkan hasil identifikasi titik kritis dari proses mixing sampai dengan
packaging, dipetakan dalam diagram tulang ikan untuk menentukan jenis-jenis
risiko yang timbul serta penyebabnya. Diagram tulang ikan produksi bihun jagung
dapat dilihat pada Gambar 12, yang menunjukkan titik-titik mana saja yang dapat
menimbulkan risiko dari setiap aktivitas yang dilakukan.
Gambar 12. Diagram Tulang Ikan Produksi Bihun Jagung
87
5.1.1 Identifikasi Kejadian Risiko
Identifikasi kejadian risiko yang mungkin timbul pada setiap aktivitas
proses produksi, dilakukan penulis dengan teknik observasi dan wawancara
mendalam dengan menggunakan kuesioner pendahuluan. Kuesioner berisi
identifikasi risiko yang mungkin terjadi berdasarkan hasil pengamatan atau
observasi diawal pada titik kritis yang telah ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan hasil pengamatan pada proses produksi bihun jagung, jawaban
kuesioner dan diskusi dengan para responden pada setiap tahapan proses produksi
tersebut, diketahui bahwa, terdapat 17 kejadian risiko dari semua tahap proses
produksi. Satu kejadian risiko dapat memunculkan satu atau lebih penyebab risiko
dan sebaliknya, satu penyebab risiko dapat disebabkan oleh satu atau lebih
kejadian risiko. Tabel 9, menjelaskan kejadian risiko yang timbul dari setiap tahap
proses produksi.
88
Tabel 9. Daftar Kejadian Risiko (Risk Event)
Proses Area Kode Kejadian Risiko (Risk
Event)
Mixing
Penuangan E1 Terdapat serpihan plastik dari karung dan adanya sisa pati jagung
Pengadukan E2 Adonan tidak homogen
Steaming
mixer
Penampungan E3 Terdapat waste adonan (adonan terjatuh),
terkontaminasi debu dan kotoran
Pengukusan E4 Adonan lembek
Ekstrussing
(strap
extruder dan
vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
E5 Bentuk lempengan, gelombang dan untaian
tidak standar
Steaming box Pengukusan E6 Kualitas kurang (Bihun rapuh/lembek/mentah)
Cutting
Pemotongan
E7 Bentuk/ukuran bihun tidak standar
E8 Terdapat sisa pinggiran bihun (waste bihun)
E9 Bihun menempel pada as cutting
E10 Terdapat kotoran pada bihun
Drying Pengeringan
E11 Adanya bahaya mikrobiologi
E12 Bihun terkontaminasi pelumas
E13 Kepingan bihun terjatuh dari basket
Cooling Pendinginan E14 Kepingan bihun terjatuh ke lantai dan terkontaminasi debu
Packaging
Penyortiran
E15 Produk patah
E16 Produk jatuh ke lantai
E17 Adanya bahaya mikrobiologi
89
1. Terdapat serpihan plastik dari karung dan sisa pati jagung
Terdapat serpihan plastik dari karung dan sisa pati jagung pada tahap
penuangan sebelum proses mixing disebabkan karena penuangan secara tidak
sempurna oleh operator yang kurang hati-hati pada saat penuangan pati
jagung ke dalam mixer.
2. Adonan tidak homogen
Adonan tidak homogen pada tahap pengadukan disebabkan karena operator
tidak mengecek volume air yang ditambahkan dan waktu pengadukan yang
tidak sesuai SOP. Waktu pengadukan yang standar adalah 6-10 menit dan air
yang ditambahkan ke dalam mixer sebanyak 31% .
3. Terdapat waste adonan (adonan terjatuh) dan kontaminasi debu
Adanya adonan yang terjatuh atau waste terjadi pada saat proses steaming,
yang disebabkan karena terdapat celah antara mesin mesin mixer dengan
steam sehingga menyebabkan adonan terjatuh ke lantai dan posisi feeder
berada di bawah mesin mixer sehingga memungkinkan debu dari atas masuk
ke dalam steam.
4. Adonan lembek
Adonan lembek yang terdapat pada tahap pengukusan di mesin steam terjadi
karena kadar air pada adonan berlebih dan operator tidak melakukan
pengawasan pada hasil pengadukan (mixing), selain itu adonan yang tidak
standar atau lembek hasil pengukusan ini terjadi akibat tekanan dan
temperatur yang digunakan tidak stabil. Suhu standar yang digunakan pada
mesin steam ini adalah berkisar 78-88oC.
90
5. Bentuk lempengan, gelombang dan untaian tidak standar
Pada proses ekstrussing atau pembentukan untaian bihun ini terdapat bentuk
lempengan, gelombang dan untaian bihun yang tidak standar yang
diakibatkan karena adonan yang terlalu lembek dan operator tidak melakukan
pengawasan pada hasil keluaran mesin mixer, risiko ini terjadi juga karena
screen die pada mesin vermicelly tidak bersih atau kotor.
6. Kualitas kurang (bihun rapuh/lengket/mentah)
Kualitas bihun yang rapuh atau tidak standar ini dapat terjadi karena operator
tidak mengecek atau melakukan pengawasan terhadap tekanan uap dan
temperatur yang digunakan, sehingga tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan
temperatur kurang dari 95oC yang terjadi pada tahapan proses steaming box.
7. Bentuk/ukuran bihun tidak standar
Bentuk atau ukuran bihun yang tidak standar terjadi karena cutter slitter tidak
disetting sesuai ukuran yang akan digunakan dan operator tidak melakukan
pengawasan terhadap hasil cutting.
8. Terdapat sisa pinggiran bihun
Adanya sisa pinggiran bihun atau waste bihun ini dapat disebabkan karena
ukuran screen yang melebihi ukuran slitter , sehingga menyisakan pinggiran
bihun yang nantinya dapat dirework kembali ke proses mixing.
9. Bihun menempel pada as cutting
Menempelnya bihun pada as cutting disebabkan karena kadar air bihun yang
tinggi sehingga menyebabkan tekstur bihun yang lembek dan menempel pada
91
as cutting, selain itu juga terjadi karena operator tidak memberikan pelumas
berupa minyak goreng pada mesin cutting.
10. Terdapat kotoran pada bihun
Adanya kotoran yang menempel pada bihun hasil pemotongan disebabkan
karena pisau cutter tidak bersih karena debu, atau sisa bihun yang menempel
pada pisau cutter.
11. Adanya bahaya mikrobiologi
Adanya bahaya mikrobiologi Eschericia coli dan kapang pada proses
pengeringan dapat terjadi karena kepingan bihun yang tidak mencapai
kekeringan standar dan terkontaminasi dengan tangan pekerja yang
menyebabkan timbulnya bahaya mikrobiologi pada bihun yang dihasilkan.
12. Bihun terkontaminasi dengan pelumas
Bihun terkontaminasi dengan pelumas terjadi karena operator memberikan
pelumas pada rantai dryer berlebih sehingga pelumas menetes dan mengenai
bihun.
13. Kepingan bihun terjatuh dari basket
Kepingan bihun yang terjatuh dari basket pada saat proses pengeringan dapat
terjadi karena bentuk basket dryer yang tidak standar sehingga tidak
seimbang dan menyebabkan bihun terjatuh ke lantai mesin dryer pada saat
proses pengeringan berlangsung.
14. Kepingan bihun terjatuh ke lantai
Adanya kepingan bihun yang terjatuh ke lantai ini terjadi pada proses
pendinginan dan disebabkan karena adanya celah atau rongga antara mesin
92
dryer dengan mesin cooler pada saat bihun akan memasuki proses
pendinginan.
15. Produk patah
Adanya produk patah seperti bihun patah pada proses penyortiran sebelum
masuk tahap pengemasan ini disebabkan karena kepingan bihun hasil
keluaran mesin cooler terbentur terlalu keras sehingga menyebabkan
kepingan bihun patah dan berbentuk tidak sempurna.
16. Produk terjatuh ke lantai
Selain adanya produk patah, risiko yang terjadi pada tahap penyortiran proses
pengemasan adalah produk terjatuh ke lantai sehingga terkontaminasi dengan
debu dan kotoran sekitar area packaging yang disebabkan karena operator
yang lalai dan kurang berhati-hati pada saat melakukan penyortiran.
17. Adanya bahaya mikrobiologi
Adanya risiko yaitu bahaya mikrobiologi berupa E.coli ,Bacillus Cereus,
Staphylococcus Aureus dan kapang pada proses pengemasan dapat terjadi
karena terkontaminasi dengan lingkugan sekitar, alat dan tangan pekerja.
5.1.2 Identifikasi Penyebab Risiko
5.1.2.1 Tahap Mixing
Identifikasi penyebab risiko atau agen risiko pada tahap mxing,
dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis penyebab dari kejadian risiko yang
sudah diidentifikasi, sehingga dapat dilakukan pencegahan mulai dari penyebab
risikonya. Jenis-jenis penyebab risiko tersebut ditunjukan pada Tabel 10.
93
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
narasumber yaitu supervisor produksi, pada proses mixing teridentifikasi 4
penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
Tabel 10. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Mixing Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Mixing
Penuangan
A1 Operator tidak mengecek/membersihkan karung corn
starch
A2 Penuangan secara tidak benar dan sempurna pada saat
proses penuangan pati jagung ke dalam mixer
Pengadukan A3 Operator tidak mengecek volume air yang ditambahkan
A4 Waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang dari 6-10 menit)
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Operator tidak mengecek atau membersihkan karung corn starch
Hal tersebut terjadi karena pekerja yang lalai dan kurang memperdulikan SOP
dan Work Instruction (Instruksi Kerja) pada tahap mixing. Oleh karena itu
dibutuhkan pelatihan terhadap karyawan yang memang memiliki kekurangan
dalam pengetahuan SOP perusahaan.
2. Penuangan secara tidak benar dan sempurna pada saat proses penuangan pati
jagung ke dalam mixer.
Hal tersebut terjadi karena operator yang lalai dan kurang berhati-hati pada
saat proses penuangan pati dilakukan, hal ini menyebabkan serpihan kayu,
plastik dari karung corn starch terbawa masuk ke dalam proses mixing, selain
itu terdapat sisa corn starch yang tidak tertuang ke dalam mixer.
94
3. Operator tidak mengecek volume air yang ditambahkan
Hal tersebut terjadi karena kelalaian operator sehingga tidak memperhatikan
volume air yang sedang ditambahkan ke dalam mesin mixer yang
menghasilkan adonan yang lembek karena kelebihan air atau adonan yang
rapuh karena kurangnya air yg ditambahkan (adonan tidak homogen). Oleh
karena itu pembagian tugas yang optimal (terutama pada waktu istirahat) dan
operator melakukan backup perlu dilakukan dan menurunkan standar
penggunaan air dengan membuat SOP baru di area mixer.
4. Waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang dari 6-10 menit)
Hal ini disebakan karena minimnya kesadaran karyawan akan SOP yang ada,
menyebabkan karyawan tidak memperhatikan standar waktu yang digunakan
pada proses mixing sehingga menghasilkan adonan tidak homogen. Oleh
karena itu perlu diadakan pelatihan terhadap karyawan tentang tata cara
produksi yang benar.
5.1.2.2 Tahap Steaming mixer
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
narasumber yaitu supervisor produksi, pada proses steaming mixer teridentifikasi
6 penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
95
Tabel 11. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Steaming mixer Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Steaming mixer
Penampungan
A5 Terdapat celah pada mesin
A6 Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa
A7 Posisi feeder di bawah mesin mixer
Pengukusan A8 Kadar air pada adonan berlebih
A9 Operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing)
A10 Tekanan dan temperatur tidak stabil (78-88
oC)
A11 Waktu pengukusan kurang (tidak standar)
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Terdapat celah pada mesin
Hal tersebut terjadi karena bentuk mesin yang tidak standar sehingga
menyebabkan adonan yang akan turun dari mesin mixer dan masuk ke dalam
mesin steaming terjatuh. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan total
mesin agar sistem kerja mesin lebih optimal.
2. Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa
Hal tersebut terjadi karena pada pipa terdapat kotoran kerak yang dapat di
bawa melalui uap air sehingga masuk ke dalam proses steaming. Oleh karena
itu perlu dilakukan maintenance preventif dengan mengecek valve untuk
fungsi steam.
3. Posisi feeder di bawah mesin mixer
Hal tersebut terjadi karena posisi mesin feeder yang tidak sesuai, sehingga
menyebabkan hamburan debu dari atas mesin mixer ikut terjatuh ke dalam
mesin steam yang berada di bawahnya dan menyebabkan adonan
96
terkontaminasi debu. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberian penutup
pada plafon mesin steam.
4. Kadar air pada adonan berlebih
Kadar air pada adonan berlebih menyebabkan adonan hasil kukusan menjadi
semakin lembek dan tidak standar, hal tersebut terjadi karena hasil mixing
yang tidak standar yang diakibatkan karena air yang ditambahkan berlebih.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan rutin terhadap volume air yang
ditambahkan pada proses mixing.
5. Operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing)
Operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing) yang merupakan tahap
awal dari proses produksi dapat menyebabkan adonan yang akan masuk ke
tahap selanjutnya tidak sesuai standar (lembek atau rapuh). Sehingga perlu
dilakukan pengawasan secara rutin pada saat dan setelah proses mixing.
6. Tekanan dan temperatur tidak stabil
Hal tersebut terjadi karena aliran uap yang mengalir melalui pipa line steam
mengalami kebocoran sehingga menyebabkan tekanan dan temperatur pada
mesin tidak stabil. Oleh karena itu perlu dilakukan kontrol terhadap tekanan
dan temperatur setiap 30 menit sekali dan maintenance mesin secara berkala.
7. Waktu pengukusan kurang
Waktu pengukusan kurang atau tidak standar terjadi karena operator yang
lalai sehingga tidak melalukan pengecekan terhadap waktu pengukusan. Hal
ini dapat dicegah dengan melakukan pembagian tugas yang optimal (terutama
pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup.
97
5.1.2.3 Tahap Ekstrussing
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
narasumber yaitu supervisor produksi, pada proses ekstrussing teridentifikasi 8
penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
Tabel 12. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Ekstrussing Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Ekstrussing
(strap
extruder
dan
vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
A12 Adonan terlalu lembek
A13 Operator tidak mengaduk adonan sebelum masuk ke mesin
vermicelly
A14 Suhu pada saat proses steaming mixer tidak standar
A15 Speed conveyor extrude kurang (15 Hz)
A16 Operator tidak mengecek hasil pembentukan bihun
A17 Screen /die kotor
A18 Terdapat serpihan plastik karung yang terbawa dari proses
sebelumnya
A19 Terdapat sisa adonan yang sudah mengeras
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Adonan terlalu lembek
Kadar air pada adonan berlebih menyebabkan adonan hasil kukusan menjadi
terlalu lembek dan tidak standar, hal tersebut terjadi karena hasil mixing yang
tidak standar, selain itu waktu pengukusan pertama yang kurang juga
merupakan penyebab adonan menjadi tidak standar. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengawasan rutin terhadap volume air yang ditambahkan pada
proses mixing dan pengawasan terhadap waktu pengukusan pertama.
98
2. Operator tidak mengaduk adonan sebelum masuk ke mesin vermicelly
Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan pada saat proses
ekstrussing atau pembentukan untaian bihun berlangsung, sehingga terdapat
adonan yang tersumbat pada mesin vermicelly dan menghasilkan bentuk
untaian yang tidak standar. Oleh karena itu perlu dilakukan refresh work
instruction (memperbaharui instruksi kerja) dan kontrol operator terhadap
hasil keluaran vermicelly.
3. Suhu pada saat proses steaming mixer tidak standar
Suhu pada saat proses steaming mixer yang tidak standar juga menjadi
penyebab bentuk lempengan dan untaian bihun tidak standar, hal tersebut
terjadi karena bocornya pipa dan kurangnya pengawasan terhadap suhu dan
tekanan pada saat proses pengkusan pertama sehingga menyebabkan adonan
yang terbentuk tidak matang secara merata. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengawasan secara berkala terhadap suhu dan tekanan pada proses steaming.
4. Speed conveyor extrude kurang (15 Hz)
Hal tersebut terjadi karena operator yang lalai dan tidak mengatur kecepatan
kerja dari conveyor extrude, sehingga kecepatannya tidak mencapai standar
yaitu di bawah 15 Hz yang menyebabkan bentuk lempengan dan untaian
bihun tidak standar. Oleh karena itu perlu dilakukan refresh work intruction
yaitu dengan melakukan persiapan dan pengaturan pada mesin sebelum
dilakukan proses produksi.
99
5. Operator tidak mengecek hasil pembentukan bihun
Operator yang tidak mengecek hasil pembentukan bihun secara berkala
terjadi karena kelalaian serta pembagian tugas yang kurang optimal antar
operator (pada saat jam istirahat) sehingga tidak ada yang mengecek hasil
untaian bihun yang dihasilkan mesin vermicelly. Oleh karena itu perlu
dilakukan kontrol terhadap hasil keluaran mesin vermicelly oleh operator
serta pemberian pelatihan terhadap karyawan mengenai cara produksi yang
baik dan benar dan refresh work intruction.
6. Screen/die kotor
Screen/die yang berada pada mesin vermicelly merupakan alat untuk
membentuk adonan menjadi untaian bihun. Screen/die yang kotor terjadi
karena kegiatan sanitasi pada mesin yang hanya dilakukan seminggu sekali
dan kelalaian operator pada saat melakukan sanitasi pada mesin. Oleh karena
itu perlu dilakukan sanitasi mesin secara berkala (setiap awal shift).
7. Terdapat serpihan plastik karung yang terbawa dari proses sebelumnya
Hal tersebut terjadi karena kelalaian operator saat penuangan bahan baku
pada proses mixing sehingga menyebabkan tersumbatnya screen/die oleh
serpihan plastik dan menghasilkan bentuk lempengan dan untaian bihun tidak
sempurna. Oleh karena itu, perlu dilakukan sanitasi secara rutin dan refresh
work intruction serta pemberian saringan pada mesin.
8. Terdapat sisa adonan yang sudah mengeras
Hal tersebut terjadi karena mesin mengalami down time yang mengakibatkan
kegiatan produksi terhenti sementara dan menyebabkan adonan megering,
100
selain itu, kegiatan sanitasi yang dilakukan tidak secara rutin juga
menyebabkan adanya sisa adonan pada screen/die yang menempel dan
menyumbat lubang screen/die pada mesin vermicelly. Sehingga perlu
dilakakukan sanitasi secara rutin (setiap awal shift).
5.1.2.4 Tahap Steamingbox
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
narasumber yaitu supervisor produksi, pada proses steamingbox teridentifikasi 4
penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
Tabel 13. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Steamingbox Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Steaming box
Penguku
san
A20 Tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan temperatur kurang dari
95oC (tidak mencapai target)
A21 Operator tidak mengecek tekanan uap dan temperatur
A22 Waktu pemasakan kedua tidak standar
A23 Kadar air pada adonan tidak standar
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan temperatur kurang dari 95oC (tidak
mencapai target)
Hal ini terjadi karena tekanan dan temperatur tidak stabil akibat dari pipa
yang bocor dan kurang terampilnya operator boiler pada saat proses
pengoperasian mesin. Sehingga perlu dilakukan kontrol terhadap tekanan dan
temperatur mesin setiap 30 menit sekali, perbaikan total dan pengadaan spare
part cadangan, kemudian dilakukan juga pelatihan khusus pada operator
boiler.
101
2. Operator tidak mengecek tekanan uap dan temperatur
Operator tidak mengecek tekanan uap dan temperatur terjadi karena kelalaian
operator dan kurang maksimalnya pembagian tugas antar operator. Sehingga
perlu dilakukan pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam
istirahat) dan operator melakukan backup.
3. Waktu pemasakan kedua tidak standar
Hal tersebut terjadi karena operator yang tidak mengatur dan mengawasi
waktu steaming sehingga adonan tidak matang secara standar. Oleh karena
itu, perlu dilakukan refresh work instruction (memperbaharui instruksi kerja)
untuk mengatur waktu pengukusan pada mesin steaming box.
4. Kadar air pada adonan tidak standar
Kadar air pada adonan tidak standar terjadi karena penggunaan air pada
proses awal (mixing) berlebih atau kurang, sehingga perlu dilakukan
pengawasan terhadap penggunaan air pada area mixing.
5.1.2.5 Tahap Cutting
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
narasumber yaitu supervisor produksi PT. Subafood Pangan Jaya, pada proses
cutting teridentifikasi 8 penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya
adalah:
102
Tabel 14. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Cutting Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Cutting
Pemotongan
A24 Operator tidak mengecek hasil keluaran cutting
A25 Cutter slitter tidak di setting sesuai ukuran
A26 Ukuran screen melebihi panjang slitter
A27 Ukuran screen tidak di setting
ukuran
A28 Plat pembersih bantalan tidak press
A29 Kadar air adonan tinggi/lembek
A30 Operator tidak memberi pelumas pada mesin cutting
A31 Pisau as cutting tidak bersih
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Operator tidak mengecek hasil keluaran cutting
Operator yang tidak mengecek hasil keluaran cutting dapat menyebabkan
bentuk dan ukuran bihun yang terpotong tidak standar. Hal tersebut terjadi
karena kurangnya pengawasan terhadap operator di area cutting, sehingga
karyawan dapat melakukan kelalaian. Oleh karena itu perlunya pengawasan
terhadap operator cutting agar selalu mengecek hasil keluaran cutting secara
rutin.
2. Cutter slitter tidak disetting sesuai ukuran
Hal tersebut terjadi karena operator yang lalai atau lupa mengganti dan
mengontrol ulang mesin cutting sebelum digunakan. Hal tersebut
menyebabkan hasil pemotongan tidak standar dan menghasilkan waste ex-
cutting. Oleh karena itu perlu dilakukan pengecekkan mesin terlebih dahulu
sebelum digunakan dan pemberian pelatihan pada karyawan produksi.
103
3. Ukuran screen melibihi panjang slitter
Ukuran screen yang digunakan melebihi panjang slitter menjadi penyebab
ukuran dan bentuk dimensi bihun menjadi tidak standar. Hal ini terjadi karena
belum adanya maintenance preventif berkala pada mesin cutting, sehingga
masih menghasilkan produk ex-cutting.
4. Ukuran screen tidak disetting
Hal tersebut terjadi karena lalainya operator sebelum mengoperasikan mesin
cutting yang menyebabkan adanya sisa pinggiran bihun (waste). Oleh karena
itu, perlu dilakukan pengecekkan dan pengontrolan oleh operator sebelum
melakukan pengoperasian mesin dengan pemberian pelatihan tentang tata
cara SOP dan WI secara baik dan benar.
5. Plat pembersih bantalan tidak press
Plat pembersih bantalan tidak press atau tidak menekan bihun secara
sempurna merupakan penyebab bihun menggulung pada as cutting dan
menghasilkan waste ex-cutting. Oleh karena itu perlu dilakukan maintenance
peventif secara berkala.
6. Kadar air adonan tinggi
Kadar air adonan yang tinggi dapat menyebabkan untaian bihun menempel
pada as cutting pada saat proses pemotongan. Hal tersebut terjadi karena
adonan lembek, oleh karena itu perlu dilakukan pengontrolan volume air yang
ditambahkan pada area mixing.
104
7. Operator tidak memberi pelumas pada mesin cutting
Operator tidak memberi pelumas pada mesin cutting menyebabkan bihun
menempel pada pisau as cutting. Hal tersebut terjadi karena kurangnya
pengawasan pada operator di area cutting, sehingga masih terjadi kelalaian
yang dilakukan oleh operator. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan
dan pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan
operator melakukan backup.
8. Pisau as cutting tidak bersih
Hal tersebut terjadi karena sanitasi pada mesin hanya dilakukan satu minggu
sekali, yang menyebabkan adanya kontaminasi bihun dengan kotoran seperti
debu atau sisa adonan bihun yang telah mengeras. Oleh karena itu, perlu
diadakan sanitasi secara berkala setiap awal shift.
1.1.2.6 Tahap Drying
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
narasumber yaitu supervisor produksi, pada proses drying teridentifikasi 7
penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
Tabel 15. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Drying Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Drying
Pengeringan
A32 Kepingan bihun tidak mencapai kekeringan standar
A33 Terkontaminasi tangan pekerja pada proses cutting
A34 Operator tidak mengecek tekanan dan temperatur dryer
A35 Waktu drying kurang (tidak standar)
A36 Pelumasan mesin pada rantai dyer berlebih
A37 Operator tidak menekan bihun pada basket
A38 Bentuk basket pada mesin drying tidak standar
105
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Kepingan bihun tidak mencapai kekeringan standar
Kepingan bihun yang tidak mencapai kekeringan standar terjadi karena kadar
air pada bihun berlebih serta suhu dan temperatur yang tidak standar. Hal
tersebut dapat menyebabkan timbulnya bahaya mikroba pada bihun. Oleh
karena itu perlu dilakukan mengatur ulang suhu mesin dryer oleh operator
sesuai SOP dan pengecekan kadar air bihun setelah pengeringan serta re-
drying bihun dengan kadar air yang tidak memenuhi standar.
2. Terkontaminasi tangan pekerja pada saat proses cutting
Hal tersebut terjadi karena suhu ruangan yang sangat panas menyebabkan
tubuh pekerja khususnya tangan berkeringat sehingga terjadi kontaminasi
bihun pada proses cutting dan mengakibatkan timbulnya bahaya mikroba.
Aksi preventif yang perlu dilakukan adalah dengan hygine karyawan berupa
cuci tangan dengan alkhohol setiap 3 jam sekali.
3. Operator tidak mengecek tekanan dan temperatur dryer
Operator tidak mengecek tekanan dan temperatur dyer terjadi karena lalainya
operator mesin dryer sehingga suhu dryer tidak standar yang menyebabkan
kekeringan bihun tidak mencapai standar (basah). Oleh karena itu, perlu
dilakukan refresh work intruction terhadap operator khususnya area drying.
4. Waktu drying kurang (tidak standar)
Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan pada proses drying,
sehingga menyebabkan kepingan bihun tidak mencapai kekeringan standar.
106
Aksi preventif yang perlu dilakukan adalah dengan merefresh SOP pada
ketegori waktu drying.
5. Pelumasan mesin pada rantai dryer berlebih
Terkontaminasinya bihun dengan pelumas (oli) terjadi karena pelumasan
mesin pada rantai dryer yang berlebih (tidak sesuai SOP). Hal tersebut terjadi
karena kelalaian operator pada saat pemberian pelumas, sehingga pelumas
menetes dan mengenai kepingan bihun sehingga menjadi reject HP B. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pengontrolan pada pemberian pelumas mesin dan
memberikan pengaman pada rantai mesin.
6. Operator tidak menekan bihun pada basket
Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan operator tentang tata cara
produksi yang baik dan benar (operator lalai), sehingga bihun sering terjatuh
dari basket dryer pada saat pengeringan yang dikarenakan penempatan bihun
yang tidak sempurna. Aksi preventif yang dilakukan adalah memberikan
pelatihan tentang tata cara produksi yang baik dan benar.
7. Bentuk basket pada mesin drying tidak standar
Bentuk basket pada mesin drying yang tidak standar mengakibatkan kepingan
bihun terjatuh pada saat proses pengeringan. Hal tersebut terjadi karena
belum dilakukannya perbaikan total atau perancangan bentuk basket bihun
pada mesin drying yang sesuai. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan
mesin pada indikator basket dryer.
107
1.1.2.7 Tahap Cooling
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
supervisor produksi sebagai narasumber, pada proses cooling teridentifikasi 4
penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
Tabel 16. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Cooling Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Cooling
Pendingi
nan
A39 Terdapat rongga/ celah pada mesin cooling
A40 Tidak terdapat wadah pada sisi pinggir mesin cooling
A41 Conveyor mesin cooling miring
A42 Net dan blower tidak bersih
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Terdapat rongga/celah pada mesin cooling
Adanya rongga atau celah pada mesin cooling merupakan penyebab risiko
terjadinya kepingan bihun terjatuh ke lantai dan menjadi waste. Hal tersebut
terjadi karena bentuk conveyor yang tidak standar pada cooler. Oleh karena
itu, perlu dilakukan preventif maintenance secara berkala dan perbaikan total
terhadap mesin.
2. Tidak terdapat wadah pada sisi pinggir mesin cooling
Tidak adanya wadah pada celah antara mesin cooling dengan dryer terjadi
karena kurangnya pengawasan pada area cooling, sehingga banyaknya bihun
yang terjatuh ke lantai dan menjadi waste. Kegiatan preventif yang perlu
dilakukan adalah dengan memberikan wadah pada sisi pinggir dan celah
antara mesin cooler dan dryer.
108
3. Conveyor mesin cooling miring
Hal tersebut terjadi karena bentuk yang terlalu miring dan adanya getaran
pada conveyor yang menyebabkan bihun terjatuh ke lantai dan menjadi waste.
Aksi preventif yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan total dan
pengadaan sparepart cadangan, sehingga mesin menjadi lebih baik.
4. Net dan blower tidak bersih
Adanya kontaminasi kepingan bihun dengan debu atau kotoran pada proses
cooling terjadi karena net dan blower tidak bersih. Hal tersebut terjadi karena,
kurangnya pengawasan pada area cooling. Oleh karena itu, perlu dilakukan
sanitasi mesin pada perangkat proses cooling.
1.1.2.8 Tahap Packaging
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
supervisor produksi sebagai narasumber, pada proses packaging teridentifikasi 6
penyebab risiko. Penyebab risiko tersebut diantaranya adalah:
Tabel 17. Identifikasi Penyebab Risiko Proses Packaging Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Packaging
Penyortiran
A43 Bihun terbentur terlalu keras
A44 Speed mesin packing over
A45 Operator lalai dalam mensortir bihun
A46 Speed operator dalam mensortir bihun kurang
A47 Terkontaminasi dari lingkungan, alat dan tangan pekerja
A48 Terdapat logam, oli atau benda asing pada bihun
Penyebab risiko tersebut, secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
109
1. Bihun terbentur terlalu keras
Bihun terbentur terlalu keras terjadi karena terdapat jarak antara conveyor
mesin cooling menuju mesin packing sehingga bihun yang terjatuh dari atas
conveyor patah. Oleh karena itu perlu dilakukan preventif maintenance secara
berkala dengan memberikan jalur khusus pada area penyortiran sebelum
masuk mesin packaging.
2. Speed mesin packing over
Hal tersebut terjadi karena operator tidak mengontrol kecepatan kerja mesin
packing sehingga bihun overlaod dan terjatuh ke lantai. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengecekkan dan pengaturan mesin terlebih dahulu sebelum
melakukan proses produksi.
3. Operator lalai dalam mensortir bihun
Operator yang lalai dalam mensortir bihun terjadi karena kurang terampilnya
operator pada saat penyortiran sehingga bihun terjatuh ke lantai. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pelatihan terhadap karyawan tentang tata cara SOP yang
baik dan benar.
4. Speed operator dalam mensortir bihun kurang
Hal tersebut terjadi karena kurang terampilnya operator pada saat penyortiran
sehingga bihun overload dan terjatuh ke lantai. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pelatihan khusus pada operator packging mengenai tata cara SOP
yang baik dan benar.
110
5. Terkontaminasi dengan lingkungan, alat dan tangan pekerja
Adanya bahaya mikrobiologi terjadi karena bihun terkontaminasi dengan
lingkungan area packing, alat dan tangan pekerja. Hal tersebut terjadi karena
lalainya operator dan tidak sterilnya tempat, tangan dan alat yang digunakan
pada proses packing. Oleh karena itu perlu dilakukan pelaksanaan sanitasi
ruangan dan penerapan personal hygine (pencucian tangan dengan hand
sanitizer setiap 3 jam) serta inspeksi produk akhir oleh QC.
6. Terdapat logam, oli atau benda asing pada bihun
Hal tersebut terjadi karena pelumas pada bearing unit menetes pada bihun
sehingga bihun terkontaminasi dan kelalaian operator pada saat penyortiran
bihun. Oleh karena itu perlu dilakukan inspeksi produk akhir dan hygine
personel dengan alkhohol setiap 3 jam sekali.
5.2 Pengukuran Risiko
Tahap yang dilakukan sebelum pemetaan risiko adalah penilaian tingkat
risiko untuk mengetahui tingkat dampak risiko (severity), tingkat probabilitas
risiko (occurence) dan korelasi antara penyebab risiko dan kejadian risiko
(correlation) kemudian mengakumulasikannya dengan perhitungan Agregate Risk
Potential (ARP).
5.2.1 Penilaian Dampak Risiko (Severity)
Pada tahap ini dilakukan penilaian dampak (severity) dari suatu kejadian
risiko terhadap proses bisnis perusahaan. Nilai severity ini menyatakan seberapa
besar gangguan yang ditimbulkan oleh suatu kejadian risiko terhadap proses
111
bisnis perusahaan. Skala yang digunakan untuk menilai tingkat dampak suatu
risiko dengan menggunakan skala likert 1-5 dengan kriteria (1) tingkat kerugian
tidak berarti, (2) tingkat kerugian kecil, (3) tingkat kerugian sedang, (4) tingkat
kerugian besar dan berpengaruh terhadap keuntungan perusahaan, (5) tingkat
kerugian besar dan bisa menyebabkan kehilangan asset. Tabel 18 menampilkan
rata-rata nilai saverity.
112
Tabel 18. Penilaian Tingkat Dampak Kejadian Risiko (Severity) Proses Area Kode Kejadian Risiko (RiskEvent) Si
Mixing
Penuangan E1 Terdapat serpihan plastik,dari karung, sisa pati jagung
4
Pengadukan E2 Adonan tidak homogen 2,8
Steaming mixer
Pampungan E3 Terdapat waste adonan (adonan terjatuh)
dan kontaminasi debu
3,3
Pengukusan E4 Adonan lembek 4,1
Ekstrussing
(strap extruder
dan vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
E5 Bentuk lempengan, gelombang dan
untaian tidak standar dan terkontaminasi
dengan pelumas
3,5
Steaming box Pengukusan E6 Kualitas kurang (Bihun
rapuh/lengket/mentah)
2,2
Cutting
Pemotongan
E7 Bentuk/ukuran bihun tidak standar 3,8
E8 Terdapat sisa pinggiran bihun (waste bihun)
3,0
E9 Bihun menempel dan menggulung pada as
cutting
3,2
E10 Terdapat kotoran pada bihun 2,8
Drying Pengeringan
E11 Adanya bahaya mikrobiologi 3,2
E12 Bihun terkontaminasi pelumas 2,5
E13 Kepingan bihun terjatuh dari basket 3,5
Cooling Pendinginan E14 Kepingan bihun terjatuh ke lantai dan
terkontaminasi debu
3,3
Packaging
Penyortiran
E15 Produk patah 2,6
E16 Produk jatuh ke lantai 3,1
E17 Adanya bahaya mikrobiologi 2,7
Keterangan:
Si : Tingkat Dampak
113
5.2.2 Penilaian Probabilitas Risiko (Occurence)
Tahap ini adalah penilaian tingkat probabilitas atau peluang munculnya
penyebab risiko yang telah teridentifikasi. Nilai occurence menyatakan seberapa
sering agen penyebab risiko tersebut muncul dan menyebabkan suatu risiko
terjadi. Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kemunculan penyebab risiko
menggunakan Skala Likert 1-5 dengan kriteria (1) tingkat kemunculan sangat
jarang terjadi, (2) tingkat kemunculan jarang terjadi, (3) tingkat kemunculan
sering terjadi, (4) tingkat kemunculan sangat sering terjadi, (5) tingkat
kemunculan selalu terjadi.
Tingkat probabilitas (occurence) kemunculan penyebab risiko pada proses
produksi bihun jagung, sesuai dengan tahapan mixing, steaming mixer,
ekstrussing, steamingbox, cutting, drying, cooling dan packaging sebagai berikut:
5.2.2.1 Tahap mixing
Pada tahap mixing, A2 yaitu Penuangan secara tidak benar dan sempurna
pada saat proses penuangan pati jagung ke dalam mixer memiliki nilai tingkat
probabilitas penyebab risiko yang yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan
penyebab risiko yang lainnya yaitu dengan nilai 3,6. Sedangkan, tingkat
probabilitas penyebab risiko yang paling rendah adalah A1 dan A3 yaitu operator
tidak mengecek/membersihkan karung corn starch dan operator tidak mengecek
volume air yang ditambahkan dengan nilai 2,1. Nilai rata-rata tingkat kemunculan
penyebab risiko (occurence) pada tahap mixing, seperti pada Tabel 19.
114
Tabel 19. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko (Occurence) pada
Tahap Mixing Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Mixing
Penuangan
A1 Operator tidak mengecek/membersihkan karung
corn starch
2,1
A2 Penuangan secara tidak benar dan sempurna pada
saat proses penuangan pati jagung ke dalam mixer
3,6
Pengadukan A3 Operator tidak mengecek volume air yang
ditambahkan
2,1
A4 Waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang dari 6-10
menit)
3,2
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.2 Tahap Steaming mixer
Pada tahap steaming, A8 yaitu operator tidak mengecek hasil pengadukan
pada proses mixing memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab risiko yang cukup
tinggi bila dibandingkan dengan penyebab risiko yang lainnya yaitu dengan nilai
3,1. Sedangkan nilai tingkat probabilitas penyebab risiko yang paling rendah
adalah A6 yaitu posisi feeder di bawah mixer dengan nilai 2,7. Secara rinci
penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko pada tahap steaming, seperti pada
Tabel 20.
115
Tabel 20. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko (Occurence) pada
Tahap Steaming mixer Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Steaming mixer
Penampungan
A5 Terdapat celah pada mesin
3,0
A6 Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa 2,8
A7 Posisi feeder di bawah mesin mixer
2,7
Pengukusan A8 Kadar air pada adonan berlebih 2,8
A9 Operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing)
3,1
A10 Tekanan dan temperatur tidak stabil (78-88oC)
2,9
A11 Waktu pengukusan kurang (tidak standar)
2,9
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.3 Tahap Ekstrussing
Pada tahap ekstrussing, A12 yaitu adonan terlalu lembek memiliki nilai
tingkat probabilitas penyebab risiko cukup tinggi bila dibandingkan dengan
penyebab risiko yang lain yaitu dengan nilai 3,4. Sedangkan tingkat probabilitas
penyebab risiko yang paling rendah adalah A15 yaitu speed conveyor kurang dari
15 Hz dengan nilai 2,1. Lebih rinci penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko
pada tahap esktrussing, seperti pada Tabel 21.
116
Tabel 21. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko pada Tahap
Ekstrussing Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Ekstrussing
(strap
extruder
dan
vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
A12 Adonan terlalu lembek 3,4
A13 Operator tidak mengaduk adonan sebelum masuk
ke mesin vermicelly
2,8
A14 Suhu pada saat proses steaming mixer tidak
standar
2,3
A15 Speed conveyor extrude kurang (15 Hz)
2,1
A16 Operator tidak mengecek hasil pembentukan bihun
2,2
A17 Screen /die kotor
3,1
A18 Terdapat serpihan plastik karung yang terbawa
dari proses sebelumnya
2,4
A19 Terdapat sisa adonan yang sudah mengeras
2,8
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.4 Tahap Steaming Box
Pada tahap steaming box, A19 yaitu tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan
temperatur kurang dari 95oC memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab risiko
cukup tinggi bila dibandingkan dengan penyebab risiko yang lain yaitu dengan
nilai 3,0. Sedangkan tingkat probabilitas penyebab risiko yang paling rendah
adalah A21 yaitu waktu pemasakan kedua tidak standar dengan nilai 2,4. Lebih
rinci penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko pada tahap steamingbox,
seperti pada Tabel 22.
117
Tabel 22. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko pada Tahap
Steamingbox Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Steaming box
Kualitas
bihun
A20 Tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan temperatur
kurang dari 95oC
3,0
A21 Operator tidak mengecek tekanan uap dan
temperatur
2,6
A22 Waktu pemasakan kedua tidak standar
2,4
A23 Kadar air pada adonan tidak standar 2,8
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.5 Tahap Cutting
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata occurence pada tahap cutting, A29
yaitu kadar air adonan tinggi/ lembek memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab
risiko yang tinggi dengan nilai 3,2. Sedangkan A27 dan A28 yaitu ukuran screen
tidak disetting memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab risiko paling rendah
yaitu 2,1. Lebih rinci penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko pada tahap
cutting, seperti pada Tabel 23.
118
Tabel 23. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko pada Tahap Cutting Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Cutting
Kriteria produk
A24 Operator tidak mengecek hasil keluaran cutting
2,5
A25 Cutter slitter tidak di setting sesuai ukuran
2,3
A26 Ukuran screen melebihi panjang slitter
2,4
Peforma mesin
A27 Ukuran screen tidak di setting 2,1
A28 Plat pembersih bantalan tidak press 2,2
A29 Kadar air adonan tinggi/lembek
3,2
A30 Operator tidak memberi pelumas pada mesin cutting
2,7
A31 Pisau as cutting tidak bersih 2,9
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.6 Tahap Drying
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata occurence pada tahap drying, A32
yaitu bihun tidak mencapai kekeringan standar memiliki nilai tingkat probabilitas
penyebab risiko yang tinggi dengan nilai 3,7. Sedangkan A36 dan A37 yaitu
pelumasan mesin pada rantai dryer berlebih dan operator tidak menekan bihun
pada basket memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab risiko paling rendah
yaitu 2,2. Lebih rinci penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko pada tahap
drying, seperti pada Tabel 24.
119
Tabel 24. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko pada Tahap Drying Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Drying
Pengeringan
A32 Kepingan bihun tidak mencapai kekeringan standar
3,7
A33 Terkontaminasi tangan pekerja pada proses cutting
3,5
A34 Operator tidak mengecek tekanan dan temperatur
dryer
3,0
A35 Waktu drying kurang (tidak standar)
3,0
Kondisi
mesin
A36 Pelumasan mesin pada rantai dyer berlebih
2,2
A37 Operator tidak menekan bihun pada basket
2,2
A38 Bentuk basket pada mesin drying tidak standar 3,0
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.7 Tahap Cooling
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata occurence pada tahap cooling, A42
yaitu net dan blower tidak bersih memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab
risiko yang tinggi dengan nilai 3,0. Sedangkan A41 yaitu conveyor mesin cooling
miring memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab risiko paling rendah yaitu 2,2.
Lebih rinci penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko pada tahap cooling,
seperti pada Tabel 25.
120
Tabel 25. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko pada Tahap Cooling Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Cooling
Kondisi
mesin
A39 Terdapat rongga/ celah pada mesin cooling
2,8
A40 Tidak terdapat wadah pada sisi pinggir mesin
cooling
2,4
A41 Conveyor mesin cooling miring 2,2
A42 Net dan blower tidak bersih 3,0
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
1.2.2.8 Tahap Packaging
Pada tahap packaging, A46 yaitu terkontaminasi dari lingkungan, alat dan
tangan pekerja memiliki nilai tingkat probabilitas penyebab risiko cukup tinggi
bila dibandingkan dengan penyebab risiko yang lain yaitu dengan nilai 2,9.
Sedangkan tingkat probabilitas penyebab risiko yang paling rendah adalah A45
yaitu speed operator dalam mensortir bihun kurang dengan nilai 2,3. Lebih rinci
penilaian tingkat kemunculan penyebab risiko pada tahap packaging, seperti pada
tabel 26.
Tabel 26. Penilaian Tingkat Kemunculan Penyebab Risiko pada Tahap Packaging Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
Packaging
Penyortiran
A43 Bihun terbentur terlalu keras
2,4
A44 Speed mesin packing over
2,6
A45 Operator lalai dalam mensortir bihun
2,5
A46 Speed operator dalam mensortir bihun kurang
2,3
A47 Terkontaminasi dari lingkungan, alat dan tangan
pekerja
2,9
A48 Terdapat logam, oli atau benda asing pada bihun 2,8
Keterangan:
Oj : Tingkat Probabilitas
121
5.2.3 Penilaian Tingkat Korelasi Antara Penyebab Risiko dengan Kejadian
Risiko
Hasil perhitungan tingkat dampak risiko dan tingkat probabilitas risiko
kemudian dimasukkan ke dalam Tabel HOR fase 1 untuk mengetahui nilai ARP
(Agregate Risk Potential). Selanjutnya nilai ARP diberi peringkat mulai dari yang
terbesar hingga terkecil, untuk mengetahui penyebab risiko mana yang terlebih
dahulu harus ditangani. Tabel HOR fase 1 dibuat pada masing-masing tahap
proses produksi bihun jagung mulai tahap mixing, steaming, ekstrussing, re-
steaming, cutting, drying, cooling, dan packaging. Hal tersebut dilakukan karena
pada masing-masing tahapan proses produksi yang memiliki kemungkinan risiko
dan penyebabnya.
Pada tahap ini, dilakukan penilaian hubungan antara kejadian risiko
dengan penyebab risiko. Bila suatu penyebab risiko menyebabkan timbulnya
suatu risiko, maka dapat dikatakan terdapat korelasi. Nilai korelasi ini juga
memiliki bobot, yaitu semakin besar skala yang diperoleh, maka semakin besar
adanya korelasi antara penyebab risiko dengan kejadian risiko. Adapun skala yang
digunakan adalah 9 (bila korelasi tinggi), 3 (bila korelasi sedang), 1 (bila korelasi
rendah), dan 0 (bila tidak ada korelasi). Dengan mengetahui tingkat korelasi
antara tingkat dampak risiko dan penyebab risiko, maka diketahui peta risiko.
Risiko yang dijadikan prioritas diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP
pada diagram pareto di mana terdapat 80% agen risiko yang menjadi penyebab
atas kejadiannya risiko. Hasil dari penerapan diagram pareto ini untuk mengetahui
penyebab mana yang akan dijadikan prioritas dalam tahap penanganan risiko.
122
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
20
40
60
80
100
120
140
A2 A4 A1 A3
ARPJ
% kumulatif
5.3 Pemetaan Risiko Produksi Bihun Jagung
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurence dan correlation antara
penyebab dan kejadian risiko dapat diketahui hasil perhitungan ARP yang
diurutkan menurut ranking pada tahap mixing, steaming mixer, ekstrussing,
steamingbox, cutting, drying, cooling, dan packaging.
5.3.1 Pemetaan Risiko Tahap Mixing
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurence, dan correlation,
diketahui hasil hitungan Agregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Merujuk pada gambar 14, setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, maka diketahui dua penyebab risiko dengan
nilai ARP tertinggi pada tahap mixing. Kedua penyebab risiko ini diambil
berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto 80% kejadian risiko
pada tahap mixing disebabkan oleh dua penyebab risiko, seperti pada Gambar 13.
Gambar 13. Pemetaan Risiko Tahap Mixing
Gambar 13, menunjukkan bahwa pada tahap mixing, terdapat dua
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu penuangan
123
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
20
40
60
80
100
120
140
A9 A8 A5 A6 A10 A11 A7
ARPJ
% kumulatif
secara tidak benar dan sempurna pada saat proses penuangan pati jagung ke
dalam mixer (A2) dengan nilai 129,6 ; (A4) Waktu mixing tidak sesuai dengan
SOP (6-10 menit) dengan nilai 80,64.
5.3.2 Pemetaan Risiko Tahap Steaming Mixer
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat empat penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses steaming mixer. Keempat penyebab risiko
ini diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana
80% kejadian risiko pada tahap steaming mixer disebabkan oleh empat penyebab
risiko, seperti pada Gambar 14.
Gambar 14. Pemetaan Risiko Tahap Steaming mixer
Gambar 14, menunjukkan bahwa pada tahap steaming mixer, terdapat
empat penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A9)
124
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
A17 A14 A12 A19 A16 A15 A13 A18
ARPJ Kumulatif
Operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing) dengan nilai 114,39; (A8)
Kadar air pada adonan berlebih dengan nilai 103,32; (A5) Terdapat celah pada
mesi dengan nilai 89,1; dan (A6) Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa dengan
nilai 83,16.
5.3.3 Pemetaan Risiko Tahap Ekstrussing
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat empat penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses ekstrussing. Keempat penyebab risiko ini
diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana 80%
kejadian risiko pada tahap ekstrussing disebabkan oleh empat penyebab risiko,
seperti pada Gambar 15.
Gambar 15. Pemetaan Risiko Tahap Ekstrussing
125
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
10
20
30
40
50
60
70
A20 A23 A21 A22
ARPJ
% kumulatif
Gambar 15, menunjukkan bahwa pada tahap ekstrussing, terdapat empat
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A17) Screen /die
kotor dengan nilai 97,65; (A14) suhu pada saat proses steaming mixer tidak
standar dengan nilai 72,45; (A12) adonan terlalu lembek dengan nilai 35,7; (A19)
terdapat sisa adonan yang sudah mengeras dengan nilai 29,4.
5.3.4 Pemetaan Risiko Tahap Steamingbox
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat tiga penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses steamingbox. Ketiga penyebab risiko ini
diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana 80%
kejadian risiko pada tahap steamingbox disebabkan oleh tiga penyebab risiko,
seperti pada Gambar 16.
Gambar 16. Pemetaan Risiko Tahap Steamingbox
126
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
50
100
150
200
250
A24 A25 A31 A29 A28 A30 A26 A27
ARPJ
% kumulatif
Gambar 16, menunjukkan bahwa pada tahap steamingbox, terdapat tiga
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A20) Tekanan
uap kurang dari 3,5 Bar dan temperatur kurang dari 95oC dengan nilai 59,4; (A23)
kadar air pada adonan tidak standar dengan nilai 55,44; (A21) operator tidak
mengecek tekanan uap dan temperatur dengan nilai 51,48.
5.3.5 Pemetaan Risiko Tahap Cutting
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat lima penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses cutting. Kelima penyebab risiko ini
diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana 80%
kejadian risiko pada tahap cutting disebabkan oleh lima penyebab risiko, seperti
pada Gambar 17.
Gambar 17. Pemetaan Risiko Tahap Cutting
127
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
20
40
60
80
100
120
A32 A33 A37 A38 A35 A36 A34
ARPJ
% kumulatif
Gambar 17, menunjukkan bahwa pada tahap cutting, terdapat lima
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A24) operator
tidak mengecek hasil keluaran cutting dengan nilai 231; (A25) cutter slitter tidak
disetting sesuai ukuran dengan nilai 140,76; (A31) Pisau as cutting tidak bersih
dengan nilai 133,98; (A29) kadar air adonan tinggi atau lembek dengan nilai
128,64; dan (A28) plat pembersih bantalan tidak press dengan nilai 128,52.
5.3.6 Pemetaan Risiko Tahap Drying
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat empat penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses drying. Keempat penyebab risiko ini
diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana 80%
kejadian risiko pada tahap drying disebabkan oleh empat penyebab risiko, seperti
pada Gambar 18.
Gambar 18. Pemetaan Risiko Tahap Drying
128
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
20
40
60
80
100
A42 A39 A41 A40
ARPJ
% kumulatif
Gambar 18, menunjukkan bahwa pada tahap drying, terdapat empat
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A32) kepingan
bihun tidak mencapai kekeringan standar dengan nilai 106,56; (A33)
terkontaminasi pekerja pada saat proses cutting dengan nilai 100,8; (A37)
operator tidak menekan bihun pada basket dengan nilai 94,5; (A38) bentuk basket
pada mesin drying tidak standar dengan nilai 94,5.
5.3.7 Pemetaan Risiko Tahap Coolilng
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat dua penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses cooling. Kedua penyebab risiko ini
diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana 80%
kejadian risiko pada tahap cooling disebabkan oleh dua penyebab risiko, seperti
pada Gambar 19.
Gambar 19. Pemetaan Risiko Tahap Cooling
129
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
20
40
60
80
100
120
140
160
A45 A46 A43 A47 A48 A44
ARPJ
% kumulatif
Gambar 19, menunjukkan bahwa pada tahap cooling, terdapat dua
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A42) net dan
blower tidak bersih dengan nilai 89,1; (A39) terdapat rongga atau celah pada
mesin cooling dengan nilai 80,19.
5.3.8 Pemetaan Risiko Tahap Packaging
Berdasarkan hasil pengukuran severity, occurance, dan correlation,
diketahui hasil perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) yang diurutkan
berdasarkan nilai tertinggi sampai terendah. Masukkan dari tabel ini merupakan
hasil dari pengukuran risiko yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
penginputan pada tabel HOR fase 1, diketahui terdapat empat penyebab risiko
dengan nilai ARP tertinggi pada proses packaging. Keempat penyebab risiko ini
diambil berdasarkan persentase kumulatif ARP pada diagram pareto di mana 80%
kejadian risiko pada tahap packaging disebabkan oleh empat penyebab risiko,
seperti pada Gambar 20.
Gambar 20. Pemetaan Risiko Pada Tahap Packaging
130
Gambar 20, menunjukkan bahwa pada tahap packaging, terdapat empat
penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan risiko yaitu (A45) Operator
lalai dalam mensortir bihun, dengan nilai 148,5; (A46) speed operator dalam
mensortir bihun kurang dengan nilai 88,32; (A43) bihun terbentur terlalu keras
dengan nilai 78,48; (A47) terkontaminasi dari lingkungan, alat dan tangan pekerja
dengan nilai 70,47.
5.4 Penentuan Strategi Penanganan Risiko
Berdasarkan hasil pemetaan, telah ditentukan prioritas dari penyebab
risiko. Dari penyebab risiko tersebut, akan ditentukan strategi preventif yaitu
berupa tindakan penanganan risiko untuk mengeliminasi dan atau menurunkan
munculnya penyebab risiko tersebut. Berikut tindakan pencegahan yang diusulkan
oleh beberapa responden dalam penelitian ini :
1. Pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator
melakukan backup
2. Mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi
3. Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan pada mesin produksi
4. Mengontrol tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali
5. Memperbaharui WI (Work Intruction)
6. Kontrol operator terhadap keluaran mixing, vermicelly,cutting, drying
7. Perbaikan mesin dyer pada indikator basket dryer
8. Sanitasi mesin secara berkala
9. Hygine karyawan berupa cuci tangan alkohol setiap 3 jam sekali
10. Preventif maintenance berkala
131
5.4.1 Penilaian Tingkat Kesulitan Strategi Penanganan Risiko
Setelah diketahui tindakan penanganan risiko yang diusulkan, tahap
selanjutnya adalah menghitung tingkat kesulitan (Dk) dari setiap penanganan
risiko yang telah ditetapkan. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk melihat
seberapa berpengaruh penanganan risiko tersebut terhadap penyebab risiko yang
muncul dan seberapa sulit tindakan penanganan risiko tersebut dapat
dilaksanakan. Penilaian ini dilakukan oleh narasumber yang dianggap kompeten
dan berkontribusi terhadap jalannya manajemen proses produksi pada setiap
tahapan proses.
Tabel 27. Penilaian Tingkat Kesulitan (Dk) Aksi Preventif (Tindakan
Penanganan Risiko) Kode Preventive Action Dk
PA1 Pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan
operator melakukan backup
3,7
PA2 Mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi 3,6
PA3 Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan 4,1
PA4 Mengontrol tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali 4
PA5 Memperbaharui WI (Work Intruction) 3,5
PA6 Kontrol operator terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly, cutting,drying 3,6
PA7 Perbaikan mesin dyer pada indikator basket dryer 4
PA8 Sanitasi mesin secara berkala 3,7
PA9 Hygine karyawan berupa cuci tangan alkohol dengan baik dan benar 3
PA10 Preventif maintenance berkala 3,6
Keterangan :
Dk : Tingkat kesulitan strategi penanganan risiko
Hasil analisis menunjukan tingkat kesulitan strategi preventif berupa
tindakan penanganan risiko tertinggi di PT. Subafood Pangan Jaya yaitu,
Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan (P3), dengan nilai 4,1 artinya
bahwa nilai tersebut menunjukan tingkat kesulitan tindakan penanganan risiko
dapat untuk dijalankan. Berbeda dengan Hygine karyawan berupa cuci tangan
alkohol dengan baik dan benar (P10) memiliki nilai yang paling rendah yaitu 3
132
artinya bahwa nilai tersebut menunjukan tingkat kesulitan dari tindakan
penanganan risiko mudah untuk dijalankan.
5.4.2 Penilaian Keefektifan Strategi Penanganan Risiko
Setelah diketahui nilai Tek dan Dk yang telah ditentukan, maka dilakukan
perhitungan Rasio Effectiveness to Difficulty (ETDk) dari strategi penanganan
risiko. Perhitungan ini bertujuan untuk membantu dalam menentukan ranking
prioritas dari semua program/tindakan yang telah diusulkan. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada Gambar 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28.
5.4.3 Penilaian Tingkat Korelasi Strategi Penanganan Risiko dengan
Penyebab Risiko
Perhitungan dimulai dari korelasi antara strategi penanganan risiko dengan
penyebab risiko hingga nilai ETDk dimasukan ke tabel HOR fase 2. HOR fase 2
juga dibuat masing-masing proses, yaitu Mixing, Steaming mixer, Ekstrussing,
Steamingbox, Cutting, Drying, Cooling, dan Packaging. Dengan HOR fase 2 juga
diketahui peringkat strategi yang diterapkan lebih dahulu. Adapun skala yang
digunakan adalah nilai 9 (bila korelasi kuat), nilai 3 (bila korelasi sedang), nilai 1
(bila korelasi rendah), dan nilai 0 (bila tidak ada korelasi). Untuk lebih jelas dapat
dilihat pada Gambar 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28.
5.4.4 Prioritas Strategi Penanganan Risiko
Berdasarkan hasil penilaian Dk, TEk, dan ETDk, dapat diketahui prioritas
strategi penanganan risiko pada setiap tahapan proses produksi bihun jagung,
133
mulai dari tahap Mixing, Steaming mixer, Ekstrussing, Steamingbox, Cutting,
Drying, Cooling, dan Packaging yang menjadi usulan dalam penelitian ini.
1. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Mixing
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
fase 2 Gambar 21, merupakan HOR fase 2 untuk tahap mixing, pada tahap ini
urutan tindakan penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Pembagian tugas
yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup;
(2) Mengadakan training terhadap karyawan produksi; dan (3) Refresh WI (Work
Intruction).
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
Pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator
melakukan backup sebesar 3,7. Dan yang paling kecil yaitu Refresh WI (Work
Intruction) dengan nilai 3,5.
134
+
++
Gambar 21. HOR 2 pada Tahap Mixing
Pada bagian atap dari gambar HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan,
sebagai berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko,
seperti strategi pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam
istirahat) dan strategi operator melakukan backup atau strategi
Strategi Penanganan Risiko
Penyebab Risiko
1.
Pem
bag
ian
tugas
yan
g
opti
mal
(t
eruta
ma
pad
a sa
at
jam
is
tira
hat
) dan
oper
ator
mel
akukan
back
up
2.
Men
gad
akan
tra
inin
g d
an
pem
ber
ian m
oti
vas
i te
rhad
ap
kar
yaw
an p
roduksi
3.
Mem
per
bah
arui
WI
(Work
Intr
uct
ion
) AR
Pj
Penuangan secara tidak sempurna pada
saat proses penuangan pati jagung ke
dalam mixer
3 9 9 129,6
Waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang
dari 6-10 menit)
1 3 9 80,64
Tek 815,31 2445,93 2612,25
Dk 3,7 3,6 3,5
ETDk 220,3541 679,425 746,3571
Rank 3 2 1
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
135
mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan
produksi.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti pembagian tugas yang
optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup
dengan Memperbaharui WI (Work Intruction).
2. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Steaming mixer
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
fase 2 Gambar 22, merupakan HOR fase 2 untuk tahap steaming mixer, pada
tahap ini urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Pembagian
tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan
backup, (2) Mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan
produksi, (3) Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan, dan (4)
Preventif maintenance secara berkala.
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan sebesar 4,1. Dan yang paling
kecil yaitu mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan
136
produksi, Mengadakan training terhadap karyawan produksi dan preventif
maintenance secara berkala dengan nilai 3,6.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko,
seperti pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat)
dan operator melakukan backup atau mengadakan training dan pemberian
motivasi terhadap karyawan produksi.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti perbaikan total dan
pengadaan spare part cadangan dengan Preventif maintenance secara
berkala.
137
++ +
Strategi Penanganan Risiko
Penyebab risiko
1.
Pem
bag
ian t
ugas
yan
g
opti
mal
(te
ruta
ma
pad
a
saat
jam
ist
irah
at)
dan
oper
ator
mel
akukan
back
up
2.
Men
gad
akan
tra
inin
g d
an
pem
ber
ain m
oti
vas
i
terh
adap
kar
yaw
an p
roduksi
3.
Per
bai
kan
tota
l dan
pen
gad
aan s
pare
part
cadan
gan
4.
Pre
ven
tif
main
tenance
seca
ra b
erkal
a
AR
Pj
Terdapat celah pada mesin 0 0 9 3 89,1
Terbawa oleh air kondesat
dan dari pipa
0 0 3 9 83,16
Kadar air pada adonan
berlebih
9 9 0 0 103,32
Operator tidak mengecek
hasil pengadukan (mixing)
9 9 0 0 114,39
Tek 2601,45 2173,4
1
1238,5
8
1202,
94
Dk 3,7 3,6 4,1 3,6
ETDk 703,0946 603,72
5
302,09
27
334,1
5
Rank 1 2 4 3
Gambar 22. HOR 2 pada Tahap Steaming mixer
3. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Ekstrussing
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
138
fase 2 Gambar 23, merupakan HOR fase 2 untuk tahap ekstrussing, pada tahap ini
urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Mengadakan training
dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi, (2) Mengontrol tekanan dan
temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali, (3) Memperbaharui WI (Work
Intruction), (4) Kontrol operator terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly,
cutting,drying, (5) Sanitasi mesin secara berkala.
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
Mengontrol tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali sebesar
4. Dan yang paling kecil yaitu memperbaharui WI (Work Intruction) dengan nilai
3,5.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti mengadakan training
dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi dan mengontrol
139
terhadap tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali,
mengontrol tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali
dan memperbaharui WI (Work Intruction), refresh WI (Work Intruction)
dan kontrol operator terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly, cutting,
drying.
+ + +
Strategi Penanganan Risiko
Penyebab Risiko
1.
Men
gad
akan
tra
inin
g d
an
pem
ber
ian m
oti
vas
i
terh
adap
kar
yaw
an
pro
duksi
2.
Men
gontr
ol
terh
adap
tekan
an d
an t
emper
atur
terh
adap
mes
in s
etia
p 3
0
men
it s
ekal
i 3.
Mem
per
bah
arui
WI
(Work
Intr
uct
ion
)
4.
Kontr
ol
oper
ator
terh
adap
has
il k
eluar
an m
ixin
g,
verm
icel
ly,
cutt
ing,d
ryin
g
5.
San
itas
i m
esin
sec
ara
ber
kal
a AR
Pj
Adonan terlalu lembek 3 0 9 9 0 35,7
Suhu pada saat proses
steaming mixer tidak
standar
3 9 3 0 0 72,45
Operator tidak mengecek
hasil pembentukan bihun
9 0 9 9 0 22,1
Screen /die kotor 0 0 0 0 9 97,65
Terdapat sisa adonan yang
sudah mengeras
0 0 0 0 9 29,4
Tk 810 652,05
1024,2
545,4 1219,0
5
Dk 3,6 3,8 3,5 3,4 3,7
ETDk 225 171,59 292,63 160,41 329,47
Rank 3 4 2 5 1
Gambar 23. HOR 2 pada Tahap Ekstrussing
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
140
4. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Steamingbox
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
fase 2 Gambar 24, merupakan HOR fase 2 untuk tahap steamingbox, pada tahap
ini urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Pembagian tugas
yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup,
(2) Mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi,
(3) perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan, (4) Mengontrol tekanan
dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali, (5) Memperbaharui WI
(Work Intruction).
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan sebesar 4,1. Dan yang paling
kecil yaitu memperbaharui WI (Work Intruction) dengan nilai 3,5.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko,
seperti pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat)
dan operator melakukan backup dengan mengadakan training dan
pemberian motivasi terhadap karyawan produksi.
141
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti mengadakan training
dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi dan mengontrol
terhadap tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali,
mengontrol terhadap tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30
menit sekali dan memperbaharui WI (Work Intruction.
142
++ + +
Strategi Penanganan Risiko
Penyebab Risiko 1.
Pem
bag
ian t
ugas
yan
g
opti
mal
(te
ruta
ma
pad
a sa
at
jam
ist
irah
at)
dan
oper
ator
mel
akukan
back
up
2.
Men
gad
akan
tra
inin
g d
an
pem
ber
ian m
oti
vas
i te
rhad
ap
kar
yaw
an p
roduksi
3.
per
bai
kan
tota
l dan
pen
gad
aan
spare
part
cad
angan
4.
Men
gontr
ol
terh
adap
tek
anan
dan
tem
per
atur
terh
adap
mes
in
seti
ap 3
0 m
enit
sek
ali
5.
Mem
per
bah
arui
WI
(Work
Intr
uct
ion
) AR
Pj
Tekanan uap kurang dari 3,5
Bar dan temperatur kurang
dari 95oC
3 3 9 9 3 59,4
Operator tidak mengecek
tekanan uap dan temperatur
9 3 0 9 9 51,48
Kadar air pada adonan tidak standar
9 9 0 0 0 55,44
Tek 1283,04 831,6
677,
16
1425,6
1069,2
Dk 3,7 3,6 4,1 3,8 3,5
ETDk 346,77 231 165,
16
375,16 305,49
Rank 2 4 5 1 3
Gambar 24. HOR 2 pada Tahap Steaming box
5. Prioritas Tindakan Penanganan Risiko Tahap Cutting
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
fase 2 Gambar 25, merupakan HOR fase 2 untuk tahap cutting, pada tahap ini
urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Pembagian tugas
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
143
yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup,
(2) Mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi,
(3) Kontrol operator terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly, cutting,drying,
(4) Memperbaharui WI (Work Intruction), (5) Sanitasi mesin secara berkala, dan
(6) Preventif maintenance secara berkala.
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator
melakukan backup sebesar 3,7. Dan yang paling kecil yaitu memperbaharui WI
(Work Intruction) dengan nilai 3,5.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko,
seperti Pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat)
dan operator melakukan backup dengan Mengadakan training dan
pemberian motivasi terhadap karyawan produksi.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
144
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti Mengadakan training
dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi dan kontrol operator
terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly, cutting,drying, kontrol
operator terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly, cutting,drying dan
memperbaharui WI (Work Intruction), memperbaharui WI (Work
Intruction) dan Preventif maintenance secara berkala.
145
cv
++ + + +
Strategi Penanganan Risiko
Penyebab Risiko
1.
Pem
bag
ian t
ugas
yan
g
opti
mal
(te
ruta
ma
pad
a
saat
jam
ist
irah
at)
dan
oper
ator
mel
akukan
back
up
2.
Men
gad
akan
tra
inin
g d
an
pem
ber
an m
oti
vas
i
terh
adap
kar
yaw
an
pro
duksi
3.
Kontr
ol
oper
ator
terh
adap
has
il k
eluar
an m
ixin
g,
verm
icel
ly,
cutt
ing,d
ryin
g
4.
Mem
per
bah
arui
WI
(Work
Intr
uct
ion
)
5.
San
itas
i m
esin
sec
ara
ber
kal
a
6.
Pre
ven
tif
mai
nte
nan
ce
seca
ra b
erkal
a
AR
Pj
Operator tidak mengecek
hasil keluaran cutting
3 3 9 3 0 0 231
Cutter slitter tidak di setting
sesuai ukuran
3 3 0 9 0 0 140,
76
Plat pembersih bantalan
tidak press
0 0 0 0 0 9 128,
52
Kadar air adonan
tinggi/lembek
0 0 9 3 0 0 128,
64
Pisau as cutting tidak bersih 0 0 0 0 9 0 133,
98
Tk 2217,42 1643,94 3236,7
6
393
1,74
120
5,82
196
4,52
Dk 3,7 3,6 3,4 3,5 3,7 3,6
ETDk 599,30 456,65 951,99 112
3,35
325,
90
545,
7
Rank 3 5 2 1 6 4
Gambar 25. HOR 2 pada Tahap Cutting
6. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Drying
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
146
fase 2 Gambar 26, merupakan HOR fase 2 untuk tahap drying, pada tahap ini
urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) pembagian tugas
yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup,
(2) mengontrol tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30 menit sekali, (3)
kontrol operator terhadap hasil keluaran mixing, vermicelly, cutting,drying, (5)
perbaikan mesin dyer pada indikator basket dryer, dan (7) hygine karyawan
berupa cuci tangan alkohol dengan baik dan benar.
Strategi Penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator
melakukan backup sebesar 3,7. Dan yang paling kecil yaitu memperbaharui WI
(Work Intruction) dengan nilai 3,5.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti pembagian tugas yang
147
optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup
dan mengontrol terhadap tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30
menit sekali, mengontrol terhadap tekanan dan temperatur terhadap mesin
setiap 30 menit sekali dan kontrol operator terhadap hasil keluaran
mixing, vermicelly, cutting,drying, pembagian tugas yang optimal
(terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup dan
hygine karyawan berupa cuci tangan alkohol dengan baik dan benar.
148
+
+ +
Strategi Penanganan
Risiko
Penyebab Risiko
1.
Pem
bag
ian t
ugas
yan
g
opti
mal
(te
ruta
ma
pad
a sa
at
jam
ist
irah
at)
dan
oper
ator
mel
akukan
ba
ckup
2.
Men
gontr
ol
terh
adap
tek
anan
dan
tem
per
atur
terh
adap
mes
in s
etia
p 3
0 m
enit
sek
ali
3.
Kontr
ol
oper
ator
terh
adap
has
il k
eluar
an m
ixin
g,
verm
icel
ly,
cutt
ing,d
ryin
g
4.
Per
bai
kan
mes
in d
yer
pad
a
indik
ator
bas
ket
dry
er
5.
Hyg
ine
kar
yaw
an b
erupa
cuci
tan
gan
alk
ohol
den
gan
bai
k d
an b
enar
AR
Pj
Kepingan bihun tidak
mencapai kekeringan
standar
3 9 9 0 0 106,5
6
Terkontaminasi tangan
pekerja pada proses
cutting
0 0 3 0 9 100,8
Operator tidak menekan
bihun pada basket
3 0 0 3 0 94,5
Bentuk basket pada mesin
drying tidak standar
0 0 0 9 0 94,5
Tek 862,38 1218,2
4
1520,6
4
1134 907,2
Dk 3,7 3,8 3,4 3,8 3
ETDk 233,18 320,69 447,24 298,4
2
302,4
Rank 5 2 1 4 3
Gambar 26. HOR 2 pada Tahap Drying
7. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Cooling
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
149
fase 2 Gambar 27, merupakan HOR fase 2 untuk tahap cooling, pada tahap ini
urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Perbaikan total dan
pengadaan spare part cadangan, (2) Sanitasi mesin secara berkala, dan (3)
Preventif maintenance berkala.
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan dengan nilai sebesar 4,1. Dan
yang paling kecil yaitu Preventif maintenance berkala dengan nilai 3,6.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu strategi penanganan risiko,
seperti perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan dengan
preventif maintenance berkala.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti sanitasi mesin secara
berkala dan preventif maintenance berkala.
150
v
++
+ +
Strategi Penanganan Risiko
Penyebab Risiko 1.
Per
bai
kan
tota
l dan
pen
gad
aan s
pare
part
cadan
gan
2.
San
itas
i m
esin
sec
ara
ber
kal
a
3.
Pre
ven
tif
main
tenance
ber
kal
a
AR
Pj
Terdapat rongga/ celah pada
mesin cooling
3 0 3 80,19
Net dan blower tidak bersih 0 9 0 89,1
Tek 899,91 801,9 507,87
Dk 4,1 3,7 3,6
ETDk 219,49 216,73 141,18
Rank 1 2 3
Gambar 27. HOR 2 pada Tahap Cooling
8. Prioritas Strategi Penanganan Risiko Tahap Packaging
Hasil pengukuran Dk, korelasi antara strategi penanganan risiko dan
penyebab risiko serta Tek dan ETD, dijadikan bahan masukkan pada tabel HOR
fase 2 Gambar 28, merupakan HOR fase 2 untuk tahap packaging, pada tahap ini
urutan strategi penanganan risiko yang diusulkan adalah (1) Pembagian tugas
yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator melakukan backup,
(2) Mengadakan training dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi,
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
151
(3) Hygine karyawan berupa cuci tangan alkohol dengan baik dan benar, (4)
Sanitasi mesin secara berkala, dan (5) Preventif maintenance secara berkala.
Strategi penanganan risiko dengan tingkat kesulitan yang besar yaitu
Pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat) dan operator
melakukan backup dan Sanitasi mesin secara berkala dengan nilai sebesar 3,7.
Dan yang paling kecil yaitu Hygine karyawan berupa cuci tangan alkohol dengan
baik dan benar dengan nilai 3.
Pada bagian atap dari tabel HOR fase 2, terdapat beberapa hubungan, sebagai
berikut:
a. Hubungan kuat positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan kuat positif,
maka perusahaan bisa memilih salah satu tindakan penanganan risiko,
seperti pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat)
dan operator melakukan backup dengan mengadakan training dan
pemberian motivasi terhadap karyawan produksi, mengadakan training
dan pemberian motivasi terhadap karyawan produksi dengan preventif
maintenance secara berkala.
b. Hubungan positif
Artinya apabila dua strategi penanganan risiko berhubungan positif, maka
perusahaan bisa saja memadukan antara dua strategi penanganan risiko
yang saling berhubungan, serta terdapat beberapa strategi penanganan
risiko yang tidak berhubungan yang artinya kedua strategi penanganan
152
risiko tersebut harus dijalankan keduanya. Seperti hygine karyawan
berupa cuci tangan alkohol dengan baik dan benar dan sanitasi mesin
secara berkala, sanitasi mesin secara berkala dan preventif maintenance
secara berkala.
vvv
++
++ + +
Tindakan Penanganan
Risiko
Penyebab Risiko
1.
Pem
bag
ian t
ugas
yan
g
opti
mal
(te
ruta
ma
pad
a sa
at
jam
ist
irah
at)
dan
oper
ator
mel
akukan
back
up
2.
Men
gad
akan
tra
inin
g d
an
pem
ber
ian m
oti
vas
i te
rhad
ap
kar
yaw
an p
roduksi
3.
Hyg
ine
kar
yaw
an b
erupa
cuci
tangan
alk
ohol
den
gan
bai
k
dan
ben
ar
4.
San
itas
i m
esin
sec
ara
ber
kal
a
5.
Pre
ven
tif
main
tenance
seca
ra b
erkal
a
AR
Pj
Bihun terbentur terlalu keras
0 0 0 0 9 78,48
Operator lalai dalam
mensortir bihun
9 9 0 0 0 148,5
Speed operator dalam
mensortir bihun kurang
9 9 0 0 0 88,32
Terkontaminasi dari
lingkungan, alat dan tangan
pekerja
0 3 9 9 0 70,47
Tek 2264,76 2680,29 1246,59 1246,5
9
839,7
Dk 3,7 3,6 3 3,7 3,6
ETDk 612,11 744,53 415,53 336,92 233,25
Rank 2 1 3 4 5
Gambar 28. HOR 2 pada Tahap Packaging
Keterangan :
+ : positif
++ : kuat positif
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan guna
menjawab rumusan masalah, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai
berikut :
1. Pada proses produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya terdapat 17
kejadian risiko atau Risk Event (Ei) yang terdiri atas 2 kejadian risiko pada
proses mixing, 2 kejadian risiko pada proses steaming mixer, 1 kejadian risiko
pada proses ekstrussing, 1 kejadian risiko pada proses steaming box, 4
kejadian risiko pada proses cutting, 3 kejadian risiko pada proses drying, 1
kejadian risiko pada proses cooling, 3 kejadian risiko pada proses packaging.
Dari 17 kejadian risiko yang terjadi pada tahap produksi bihun jagung di PT.
Subafood Pangan Jaya, teridentifikasi 48 penyebab risiko atau Risk Agent
(Aj) yang terdiri atas 4 penyebab risiko pada proses mixing, 7 penyebab risiko
pada proses steaming mixer, 8 penyebab risiko pada proses ekstrussing, 4
penyebab risiko pada proses steaming box, 8 penyebab risiko pada proses
cutting, 7 penyebab risiko pada proses drying, 4 penyebab risiko pada proses
cooling, 6 penyebab risiko pada proses packaging.
2. Berdasarkan hasil pengukuran risiko pada setiap tahap proses produksi bihun
jagung di PT. Subafood Pangan Jaya, ditunjukan oleh nilai ARP seperti di
bawah ini.
154
a. Penilaian hasil ARP proses mixing, terdapat dua penyebab risiko yang
menjadi prioritas penanganan risiko.
b. Penilaian hasil ARP proses steaming mixer, terdapat tiga penyebab risiko
yang menjadi prioritas penanganan risiko.
c. Penilaian hasil ARP proses ekstrussing, terdapat empat penyebab risiko
yang menjadi prioritas penanganan risiko.
d. Penilaian hasil ARP proses steaming box, terdapat tiga penyebab risiko
yang menjadi prioritas penanganan risiko.
e. Penilaian hasil ARP proses cutting, terdapat lima penyebab risiko yang
menjadi prioritas penanganan risiko.
f. Penilaian hasil ARP proses drying terdapat empat penyebab risiko yang
menjadi prioritas penanganan risiko.
g. Penilaian hasil ARP proses cooling, terdapat dua penyebab risiko yang
menjadi prioritas penanganan risiko.
h. Penilaian hasil ARP proses packaging, terdapat empat penyebab risiko
yang menjadi prioritas penanganan risiko.
3. Berdasarkan hasil pemetaan risiko pada proses produksi bihun jagung di PT.
Subafood Pangan Jaya, terdapat total 27 penyebab risiko yang menjadi
prioritas penanganan risiko. Pada proses mixing terdapat 2 penyebab risiko
yang menjadi prioritas penentuan tindakan penanganan risiko. Pada proses
steaming mixer terdapat 3 penyebab risiko yang menjadi prioritas pemberian
aksi preventif penanganan risiko. Pada proses esktrussing terdapat 4
penyebab risiko yang menjadi prioritas pemberian aksi preventif penanganan
155
risiko. Pada proses steaming box terdapat 3 penyebab risiko yang menjadi
prioritas pemberian aksi preventif penanganan risiko. Pada proses cutting
terdapat 5 penyebab risiko yang menjadi prioritas pemberian aksi preventif
penanganan risiko. Pada proses drying terdapat 4 penyebab risiko yang
menjadi prioritas pemberian aksi preventif penanganan risiko. Pada proses
cooling terdapat 2 penyebab risiko yang menjadi prioritas pemberian aksi
preventif. Pada proses packaging terdapat 4 penyebab risiko yang menjadi
prioritas pemberian aksi preventif penanganan risiko.
4. Berdasarkan pada 27 penyebab risiko yang menjadi prioritas penanganan
risiko, maka dilakukan penetapan 10 strategi penanganan risiko dengan
prioritas urutan pada setiap tahapan :
a. Proses mixing terdapat 3 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses
steaming mixer terdapat 4 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses
ekstrussing terdapat 5 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses
steaming box terdapat 5 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses
cutting terdapat 6 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses drying
terdapat 5 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses cooling terdapat
3 prioritas dari strategi penanganan risiko, proses packaging terdapat 5
prioritas dari strategi penanganan risiko.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat
diberikan agar risiko produksi dapat dikendalikan dengan optimal adalah:
156
1. Perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat lagi terhadap pelaksanaan
standard operating procedure (SOP) pada keseluruhan proses produksi
bihun jagung, seperti controlling seluruh proses produksi oleh supervisor
serta ketegasan peringatan dan pemberian sanksi bagi karyawan yang tidak
bekerja sesuai dengan SOP dan pemberian penghargaan atau reward bagi
karyawan yang bekerja sesuai SOP sehingga dapat meningkatkan
kedisiplinan para karyawan dalam melaksanakan kegiatan produksi bihun
jagung di PT.Subafood Pangan Jaya.
2. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia secara
berkala, baik pada aspek teknis, managerial, maupun sikap mental, melalui
penambahan pengetahuan dan pelatihan serta pemberian motivasi dan
reward terhadap karyawan yang memiliki skill yang lebih baik
dibandingkan karyawan lainnya.
3. Memperbaiki serta memperbaharui kapasitas peralatan mesin produksi
secara berkala.
4. Membentuk Enterprise Risk Management (bersifat permanen) atau Risk
Management Commitee, yaitu suatu unit yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan manajemen risiko dalam suatu perusahaan.
157
DAFTAR PUSTAKA
Annisa, Suci A. 2017. Analisis Risiko Produksi Susu Kambing di CV Sawangan
Farm Diary. [Skripsi]. Ciputat: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Astawan. 2008. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Kualitas Bihun 7621-2011.
http://sni.bsn.go.id/. Diakses Pada Tanggal 3 Maret 2018, Pukul, 19.30
WIB
Djohanputro, B. 2012. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta: PPM
Manajemen.
Hafizha, Fernanda A. 2017. Mitigasi Risiko Produksi Susu Sapi Pada Peternakan
Sapi Rakyat(Studi Kasus Pada Peternakan Mahesa Perkasa Farm Kota
Depok).[Skripsi]. Ciputat: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Haryadi. 2014. Teknologi Mi, Bihun, Sohun. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Heizer, Jay dan Barry Render. 2014. Manajemen Operasi. Ed ke-11.
Diterjemahkan oleh: Horison Kurnia. Jakarta: Salemba Empat.
Kasidi. 2010. Manajemen Risiko. Bogor: Ghalia Indonesia.
Kountur, Ronny. 2008. Mudah Memahami Manajemen Risiko Perusahaan.
Jakarta: PPM
Kuswandi dan Erna Mutiara. 2004 . DELTA:Delapan Langkah dan Tujuh Alat
Statistik untuk Peningkatan Mutu Berbasis Komputer. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Lutfi, Ahmad dan Herry Irawan. 2012.Analisis Risiko Rantai Pasok Dengan
Model House Of Risk (Studi kasus pada PT XXX).Manajemen Indonesia
.12 (1) : 1-11. Universitas Telkom: Bandung.
Masyhuri. 2007. Ekonomi Mikro. Malang: UIN Malang Press.
Munarso, S. Joni. 2012. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan Departemen Ilmu danTeknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor, 23 (2): 179. IPB: Bogor.
Pramana, Tony. 2011. Manajemen Risiko Bisnis. Jakarta: Sinar Ilmu Publishing.
158
Pujawan, I nyoman dan Laudine H. Geraldine.2009.House Of Risk :A Model
for Proactive Supply Chain Risk Management.Bussiness Process
Management Journal, 15 (6) : 953-967 .ITS: Surabaya.
Riandiani, Muslihat Isna Yulia. 2016. Analisis Risiko Produksi Nata de Coco di
PT. Daya Agro Mitra Mandiri. [Skripsi]. Ciputat: Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rivai, V dan Ismail, R. 2013. Islamic Risk Management of Islamic Bank. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Saragih, Bungaran. 2001. Membangun Sistem Agribisnis. Bogor: PT. Loji Grafika
Griya Sarana
Suparta, Nyoman. 2005. Pendekatan HolistikMembangun Agribisnisi. Denpasar:
Media Adhikarsa
Susilo, Leo J. dan Riwu, Victor.R. 2010. Manajemen Risiko Berbasis ISO 31000.
Jakarta: PPM
Soekartawati. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Triono, Agus R. 2012. Pengambilan Keputusan Manajerial : Teori dan Praktik
Untuk Manajer dan Akademisi. Jakarta: Salemba Empat.
Ulfah, Maria, Mohammad Syamsul Maarif, Sukardin dan Sapta Raharja.
2016.Analisis dan Perbaikan Manajemen Risiko Rantai Pasok Gula
Rafinasi Dengan Pendekatan House Of Risk. Journal of Agroindustrial
Technology, 26 (1) : 87-103. IPB: Bogor.
Wastra, Akhmad Riyadi. 2015. Inovasi Agribisnis. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Wastra, Akhmad Riyadi dan Akhmad Mahbubi. 2013. Risiko Agribisnis. Jakarta:
Gaung Persada Press Group.
LAMPIRAN
159
HEAD OF PLAN OPERATION
MUHAMMAD JUMAIN
HR &GAL MANAGER
SYARONI
HR SPV
UMI KALSUM
QC & PDQA MANAGER
GALUH MUHNIYATI
QC SPV
NURHAYATI SUSANTI
QC STAFF
AAN M
QC PANELIS
FIRMAN
JUMADI
PRODUCTION
MANAGER
ASEP S
INVENTORY
CONTROL
IING
PRODUCTION SPV
BAYU
TAUFIK
INDRAWAN
SUPLAY CHAIN
MANAGER
BUDI S
WARE HOUSE, RM&FG
SPV
DARMONO
IE MANAGER
VACANT
OFFICER
FEBRIANTI S
ENGINEERING
MANAGER
DWI PASKAH
ENGINEERING SPV
BUDI S
FINANCE & ACCOUNTING
MANAGER IT MANAGER
Lampiran 1. Struktur Organisasi PT. Subafood Pangan Jaya
160
Lampiran 2. Matriks Penelitian
Judul Permasalahan Tujuan Sumber Data Analisis Data
Analisis
Risiko Produksi
Bihun Jagung
pada PT.
Subafood Pangan
Jaya,Cikupa-
Tangerang
Apa saja
risiko produksi bihun
jagung pada PT.
Subafood Pangan Jaya?
Menganalisis risiko produksi
bihun jagung di PT. Subafood
Pangan Jaya.
Pengamatan pelaksanaan
proses produksi bihun
jagung.
Metode Diagram Tulang Ikan untuk
mengidentifikasi risiko produksi
Bagaimana pengukuran
risiko produksi bihun
jagung pada PT.
Subafood Pangan Jaya?
Menganalisis seberapa besar
risiko produksi bihun jagung
di PT. Subafood Pangan Jaya.
Informan dan
responden:
a. manajer
produksi
b. supervisor
produksi
c. manajer QC
d. supervisor QC
e. divisi teknik
Metode HOR 1 dengan menggunakan
skala 1-5 untuk mengukur risiko-risiko
produksi yang telah teridentifikasi
Bagaimana pemetaan
risiko produksi bihun
jagung pada PT.
Subafood Pangan Jaya?
Mengetahui peta risiko
produksi bihun jagung di PT.
Subafood Pangan Jaya.
Respon dari pihak
responden dalam
menanggapi risiko produksi
Metode HOR 1 dengan meranking
risiko-risiko produksi yang telah
terukur
Apa saja strategi preventif
yang tepat untuk menghindari
risiko yang dapat dilakukan
pada produksi bihun jagung di
PT. Subafood Pangan Jaya?
Mengetahui strategi penaganan
risiko produksi bihun jagung
di PT. Subafood Pangan Jaya
Variabel identifikasi risiko Metode HOR 2 dengan melanjutkan
dari tahapan sebelumnya, yaitu
penentuan strategi dan evaluasi risiko
161
Lampiran 3. Matriks Instrumen Penelitian
Definisi Konseptual
Variabel Sub-
variabel
Pernyataan Risk
Event
Pernyataan Risk Agent
SOP (Standard Operating
Procedure) proses produksi
bihun jagung PT. Subafood
Pangan Jaya, Cikupa-
Tangerang
Mixing Penuangan
1. Terdapat serpihan plastik
dari karung dan sisa pati
jagung
a. Operator tidak mengecek/membersihkan karung
corn starch
b. Penuangan secara tidak benar dan sempurna pada
saat proses penuangan pati jagung ke dalam mixer
Pengadukan 2. Adonan tidak homogen
a. operator tidak mengecek volume air yang
ditambahkan
b. waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang dari 6-10
menit) Steaming
mixer Penampungan 3. Terdapat waste adonan
(adonan terjatuh) ,
terkontaminasi debu dan
kotoran
d
a. Terdapat celah pada mesin
b. Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa
c. posisi feeder di bawah mesin mixer
Pengukusan
4. Adonan lembek a. kadar air pada adonan berlebih
b. operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing)
c. tekanan dan temperatur tidak stabil (78-88oC)
d. waktu pengukusan kurang (tidak standar)
162
Lampiran 3. Lanjutan...
SOP (Standard Operating
Procedure) proses produksi
bihun jagung PT. Subafood
Pangan Jaya, Cikupa-
Tangerang
Ekstrussing
(strap extruder
dan vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
5. Bentuk lempengan,
gelombang dan untaian
tidak standar
a. adonan terlalu lembek
b. operator tidak mengaduk adonan sebelum masuk ke
mesin vermicelly
c. suhu pada saat proses steaming mixer tidak standar
d. speed conveyor extrude kurang (15 Hz)
e. operator tidak mengecek hasil pembentukan bihun
f. screen/die kotor
g. Terdapat serpihan plastik karung yang terbawa dari
proses sebelumnya
h. Terdapat sisa adonan yang sudah mengeras
Steaming box Kualitas bihun 6. Kualitas kurang (bihun
rapuh/lembek/mentah)
a. tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan temperature
kurang dari 95oC
b. operator tidak mengecek tekanan uap dan temperature
c. waktu pemasakan kedua tidak standar
d. kadar air tidak standar
Cutting Kriteria produk 7. ukuran bihun tidak standar
a. operator tidak mengecek hasil keluaran cutting
b. cutter slitter tidak di setting sesuai ukuran
c. speed cutting tidak di setting
Performa mesin 8. Terdapat sisa pinggiran
bihun (waste bihun)
9. Bihun menempel pada as
cutting
10. Terdapat kotoran pada
bihun
a. ukuran screen tidak di setting
b. Plat pembersih bantalan tidak press
c. kadar air adonan tinggi/lembek
d. operator tidak memberi pelumas pada mesin cutting
e. pisau as cutting tidak bersih
163
Lampiran 3. Lanjutan... SOP (Standard Operating Procedure) proses produksi bihun jagung PT. Subafood Pangan Jaya, Cikupa-Tangerang
Drying Pengeri
ngan
11. Adanya bahaya
mikrobiologi
a. kepingan bihun tidak mencapai kekeringan standar
b. terkontaminasi tangan pekerja pada proses cutting
c. operator tidak mengecek tekanan dan temperatur
dryer
d. waktu drying kurang (tidak standar)
Kondisi
mesin
12. Bihun terkontaminasi
pelumas
13. Kepingan bihun terjatuh
dari basket
a. pelumasan mesin pada rantai dyer berlebih
b. operator tidak menekan bihun pada basket
c. bentuk basket pada mesin drying tidak standar
Cooling Kondisi
mesin
14. Kepingan bihun
terjatuh ke lantai dan
terkontaminasi debu
a. terdapat rongga/ celah pada mesin cooling
b. tidak terdapat wadah pada sisi pinggir mesin
cooling
c. conveyor mesin cooling miring
d. net dan blower tidak bersih
Packaging Penyortira
n
15. Produk patah
16. Produk terjatuh ke lantai
17. Adanya bahaya
mikrobiologi
a. Bihun terbentur terlalu keras
b. Speed mesin packing over
c. Operator lalai dalam mensortir bihun
d. Speed operator dalam mensortir bihun kurang
e. terkontaminasi dari lingkungan, alat dan tangan
pekerja
f. terdapat logam, oli atau benda asing pada bihun
164
Lampiran 4. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone)
Kerusakan Produk
Bihun Jagung
(Riject)
Mixing Steaming Mixer
Ekstrussing Steamingbox
pengadukan
penuangan
penampungan
pengukusan
Pengukusan Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
Operator tidak
mengecek/membersih
kan karung corn
starch
Penuangan secara tidak benar
dan sempurna pada saat
proses penuangan pati jagung
ke dalam mixer
Operator tidak
mengecek volume air
yang ditambahkan
Waktu mixing tidak
sesuai SOP (kurang
dari 6-10 menit)
Terdapat celah
pada mesin
Terbawa oleh air kondesat
dan dari pipa
Posisi feeder di
bawah mesin
mixer
Kadar air pada
adonan berlebih
Operator tidak mengecek
hasil pengadukan
(mixing)
Tekanan dan
temperatur tidak
stabil (78-88oC)
Waktu pengukusan
kurang (tidak
standar)
Operator tidak mengaduk
adonan sebelum masuk ke
mesin vermicelly
Operator tidak
mengecek hasil
pembentukan bihun
Suhu pada saat proses
steaming mixer tidak
standar
Speed conveyor
extrude kurang (15
Hz) Screen /die kotor
Terdapat serpihan
plastik karung yang
terbawa dari proses
sebelumnya
Terdapat sisa
adonan yang sudah
mengeras
Adonan terlalu
lembek
Tekanan uap kurang
dari 3,5 Bar dan
temperatur kurang dari
95oC (tidak mencapai
target)
Operator tidak
mengecek tekanan
uap dan temperatur
Waktu
pemasakan
kedua tidak
standar
Kadar air pada adonan
tidak standar
sebelumnya
165
Lampiran 4. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone)
Kerusakan Produk
Bihun Jagung
(Riject)
Cutting Drying
Cooling Packaging
Pemotongan
Operator tidak
memberi pelumas
pada mesin cutting
Performa
Mesin
Pengeringan
Pendinginan
Penyortiran
Operator tidak
mengecek hasil
keluaran cutting
Ukuran screen
tidak di setting
Pisau as cutting
tidak bersih
Ukuran screen
melebihi panjang
slitter
Cutter slitter tidak di
setting sesuai ukuran
Kadar air
adonan
tinggi/lembek
Plat pembersih
bantalan tidak
press
Operator tidak
mengecek tekanan dan
temperatur dryer
Operator tidak
menekan
bihun pada
basket Terkontaminasi
tangan pekerja pada
proses cutting
Pelumasan
mesin pada
rantai dyer
berlebih
Kepingan bihun
tidak mencapai
kekeringan
standar
Waktu drying
kurang (tidak
standar)
Bentuk basket
pada mesin
drying tidak
standar
Terdapat rongga/
celah pada mesin
cooling
Net dan blower
tidak bersih Conveyor mesin
cooling miring
Tidak terdapat wadah
pada sisi pinggir
mesin cooling
Speed operator
dalam mensortir
bihun kurang
Terkontaminasi dari
lingkungan, alat dan
tangan pekerja
Terdapat logam,
oli atau benda
asing pada bihun
Operator lalai
dalam mensortir
bihun
Speed mesin
packing over
Bihun terbentur
terlalu keras
166
Lampiran 5. Kuesioner Identifikasi dan Korelasi Krekuensi/ Peluang Risiko
(Occurrence) dengan Tingkat Pengaruh/ Dampak (Severity)
Risiko
Kuesioner Penelitian
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Saya Deannisa Indriani, mahasiswa semester 8, Program Strata 1, Jurusan
Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tengah mengadakan penelitian berjudul “Analisis Risiko Produksi Bihun
Jagung di PT. Subafood Pangan Jaya, Cikupa-Tangerang”. Adapun tujuan
dari kuesioner ini adalah sebagai alat untuk memperoleh data yang akurat dalam
penyusunan tugas akhir penelitian untuk memenuhi syarat dalam memperoleh
gelar Sarjana Agribisnis Strata 1, mengenai apa saja risiko yang ada dalam proses
produksi bihun jagung di PT. Subafood Pangan Jaya, mulai dari proses mixing,
steaming mixer, ekstrussing, steaming box, cutting, drying, cooling, dan
packaging. Kemudian, memberikan penilaian pada masing-masing risiko
yang telah diidentifikasi dari segi dampak kejadian dan peluang terjadinya risiko,
sehingga dapat dilakukan pencegahan atau preventif risiko, untuk
menanggulangi, mengurangi, dan mencegah risiko-risiko tersebut muncul di
masa yang akan datang. Oleh karena itu, mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk
mengisi kuesioner ini dengan sebenar-benarnya sesuai dengan fakta yang ada.
Atas perhatian dan partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya
Penyusun
167
Lampiran 5. Kuesioner HOR 1, Identifikasi Frekuensi / Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurence), Tingkat Pengaruh / Dampak (Severity), Korelasi Kemunculan Risiko pada Proses Produksi Bihun Jagung PT. Subafood Pangan Jaya
Nama :
Jabatan :
Alamat :
No. Telp :
Email : A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan presepsi Bapak/Ibu terhadap frekuensi risiko yang terjadi,
baik peluang terjadinya risiko maupun dampak yang dirasakan jika risiko itu
terjadi, baik peluang terjadinya risiko maupun dampak yang dirasakan jika risiko
itu terjadi.
2. Pengisian kuesioner dilakukan dengan memberikan tanda checklist (√) atau (X)
3. Jika Bapak/Ibu tidak memahami pertanyaan agar melingkari nomor pertanyaan.
4. Keterangan untuk penilaian “Frekuensi/Peluang Kemunculan Penyebab Risiko”
1 = sangat jarang terjadi
2 = Jarang terjadi
3 = Sering terjadi
4 = Sangat sering terjadi
5 = Selalu terjadi
5. Keterangan untuk penilaian “ Pengaruh/Dampak Kejadian Risiko Produksi Bihun
Jagung”
1 = Sangat rendah = tidak berdampak
2 = Rendah = berdampak, namun sangat rendah pengaruhnya
3 = Sedang = berdampak sedang
4 = Tinggi = berdampak tinggi
5 = Sangat Tinggi = berdampak sangat tinggi
6. Pengisisan kuesioner korelasi penyebab risiko (Aj) dengan pengaruhatau dampak
(Ei) dilakukan dengan memberikan nilai dengan angka sebagai berikut:
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi / hubungan rendah
3 = Korelasi / hubungan sedang
9 = Korelasi / hubungan tinggi
168
Lampiran 5. Lanjutan...
B. Tabel Tingkat Pengaruh/Dampak Risiko (Severity)
Proses
Area
Kode
Kejadian Risiko (Risk
Event)
Tingkat Keseringan
1 2 3 4 5
Mixing
Penuangan E1 Terdapat serpihan plastik,dari karung, sisa pati jagung
Pengadukan E2 Adonan tidak homogen
Steaming mixer
Pampungan E3 Terdapat waste adonan (adonan
terjatuh) dan kontaminasi debu
Pengukusan E4 Adonan lembek
Ekstrussing (strap extruder
dan vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
E5
Bentuk lempengan, gelombang
dan untaian tidak standar
(lengket)
Steaming box Kualitas bihun E6
Kualitas kurang / Bihun rapuh
Cutting
Kriteria produk E7
Bentuk/ukuran bihun tidak
standar
Performa mesin
E8 Terdapat sisa pinggiran bihun
(waste bihun)
E9 Bihun menempel pada as cutting
E10 Terdapat kotoran pada bihun
Drying Pengeringan
E11 Adanya bahaya mikrobiologi
E12 Bihun terkontaminasi pelumas
E13 Kepingan bihun terjatuh dari
basket
Cooling
Kondisi mesin E14 kepingan bihun terjatuh ke lantai
Packaging
Penyortiran
E15 Produk patah
E16 Produk jatuh ke lantai
E17 Adanya bahaya mikrobiologi
169
Lampiran 5. Lanjutan...
C. Tabel Identifikasi Frekuensi/Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurence)
Proses
Area
Kode
Penyebab Risiko (Risk Agent)
Tingkat Keparahan
1 2 3 4 5
Mixing
Penuangan
A1 Operator tidak
mengecek/membersihkan karung corn
starch
A2 Penuangan secara tidak benar dan
sempurna pada saat proses penuangan
pati jagung ke dalam mixer
Pengadukan A3 Operator tidak mengecek volume air
yang ditambahkan
A4 waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang
dari 6-10 menit)
Steaming mixer
Penampung
an
A5 Terdapat celah pada mesin
Pengukusan
A6 Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa
A7 Posisi feeder di bawah mesin mixer
A8 Kadar air pada adonan berlebih
A9 Operator tidak mengecek hasil
pengadukan (mixing)
A10 Tekanan dan temperatur tidak stabil
(78-88oC)
A11 Waktu pengukusan kurang (tidak
standar)
Ekstrussing (strap
extruder
dan
vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
A12 Adonan terlalu lembek
A13 Operator tidak mengaduk adonan
sebelum masuk ke mesin vermicelly
A14 Suhu pada saat proses steaming mixer
tidak standar
A15 Speed conveyor extrude kurang (15 Hz)
A16 Operator tidak mengecek hasil
pembentukan bihun
A17 Screen /die kotor
A18 Terdapat serpihan plastik karung yang
terbawa dari proses sebelumnya
A19 Terdapat sisa adonan yang sudah
mengeras
170
Lampiran 5. Lanjutan...
Lanjutan tabel di atas....
Proses
Area
Kode
Penyebab Risiko (Risk Agent)
Tingkat Keparahan
1 2 3 4 5
Steaming box
Kualitas
bihun
A20 Tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan
temperatur kurang dari 95oC
A21 Operator tidak mengecek tekanan uap
dan temperatur
A22 Waktu pemasakan kedua tidak standar
A23 Kadar air pada adonan tidak standar
Cutting
Kriteria produk
A24 Operator tidak mengecek hasil keluaran
cutting
A25 Cutter slitter tidak di setting sesuai
ukuran
A26 Ukuran screen melebihi panjang slitter
Peforma mesin
A27 Ukuran screen tidak di setting
A28 Plat pembersih bantalan tidak press
A29 Kadar air adonan tinggi/lembek
A30 Operator tidak memberi pelumas pada
mesin cutting
A31 Pisau as cutting tidak bersih
Drying
Pengeringan A32 Kepingan bihun tidak mencapai
kekeringan standar
A33 Terkontaminasi tangan pekerja pada
proses cutting
A34 Operator tidak mengecek tekanan dan
temperatur dryer
A35 Waktu drying kurang (tidak standar)
Kondisi
mesin
A36 Pelumasan mesin pada rantai dyer
berlebih
A37 Operator tidak menekan bihun pada
basket
A38 Bentuk basket pada mesin drying tidak
standar
171
Lampiran 5. Lanjutan...
Lanjutan tabel di atas....
Proses
Area
Kode
Penyebab Risiko (Risk Agent)
Tingkat Keparahan
1 2 3 4 5
Cooling
Kondisi
mesin
A39 Terdapat rongga/ celah pada mesin
cooling
A40 Tidak terdapat wadah pada sisi pinggir
mesin cooling
A41 Conveyor mesin cooling miring
A42 Net dan blower tidak bersih
Packaging
Penyortiran
A43 Bihun terbentur terlalu keras
A44 Speed mesin packing over
A45 Operator lalai dalam mensortir bihun
A46 Speed operator dalam mensortir bihun
kurang
A47 Terkontaminasi dari lingkungan, alat
dan tangan pekerja
A48 Terdapat logam, oli atau benda asing
pada bihun
D. Tabel Korelasi Proses Mixing
Kode A1 A2 A3 A4
E1
E2
E. Tabel Korelasi Proses Steaming mixer
Kode
A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11
E3
E4
172
Lampiran 5. Lanjutan.....
F. Tabel Korelasi Proses Ekstrussing
Kode
A12 A13 A14 A15 A16 A17 A18 A19
E5
G. Tabel Korelasi Proses Steaming Box
Kode A20 A21 A22 A23
E6
H. Tabel Korelasi Proses Cutting
Kode A24 A25 A26 A27 A28 A29 A30 A31
E7
E8
E9
E10
I. Tabel Korelasi Proses Drying
Kode A32 A33 A34 A35 A36 A37 A38
E11
E12
E13
J. Tabel Korelasi Proses Cooling
Kode A39 A40 A41 A42
E14
K. Tabel Korelasi Proses Packaging
Kode A43 A44 A45 A46 A47 A48
E15
E16
E17
173
Lampiran 6. Kuesioner Penelitian HOR 2
Kuesioner Penilaian Tingkat Kesulitan Strategi Preventif Penyebab Risiko
Produksi Bihun Jagung di PT. Subafood Pangan Jaya
Kuesioner ini merupakan kuesioner lanjutan dari kuesioner penilaian
risiko sebelumnya. Dalam kuesioner ini terdapat penyebab risiko dan cara
preventifnya. Pernyataan dalam kuesioner ini merupakan hasil perhitungan dari
kuesioner penilaian risiko sebelumnya sampai didapatkan prioritas Penyebab atau
penyebab risiko yang akan di mitigasi. Sedangkan, cara preventifnya diambil
berdasarkan keadaan dan kondisi perusahaan yang telah di observasi oleh penulis.
Data dari kuisioner ini selanjutnya akan diolah untuk menghasilkan prioritas cara
preventif
yang akurat dan efektif untuk dijalankan oleh perusahaan.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan Bapak/Ibu untuk berkenan
mengisi kuesioner tentang hubungan/korelasi antara Penyebab risiko dan cara
preventifnya dengan baik dan sebenar-benarnya. Atas perhatiannya, penulis
ucapkan terima kasih.
Hormat Saya
Penyusun
174
Lampiran 6. Lanjutan.....
A. Identifikasi Tingkat Kesulitan Strategi Preventif dan Korelasi Penyebab
Risiko dengan Strategi Preventif Pada Risiko Produksi Bihun Jagung
pada PT. Subafood Pangan Jaya
Nama :
Jabatan :
Alamat :
No. Telp :
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap tingkat kesulitan strategi
mitigasi penyebab risiko.
2. Pengisian kuesioner dilakukan dengan memberikan tanda checklist (√)
atau (X).
3. Jika Bapak/Ibu tidak memahami pertanyaan agar melingkari nomor
pertanyaan.
4. Keterangan Untuk Pengisian Kuesioner
3 = Mudah = Aksi preventif mudah dijalankan
4 = Sedang = Aksi preventif dapat dijalankan
5 = Sulit = Aksi preventif sulit dijalankan
5. Pengisian kuesioner korelasi penerapan tindakan atau strategi preventif
risiko dengan penyebab risiko dilakukan memberikan nilai dengan angka
sebagai berikut:
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi / hubungan rendah
3 = Korelasi / hubungan sedang
9 = Korelasi / hubungan tinggi
175
Lampiran 6. Lanjutan.....
B. Tabel Prioritas Penyebab Risiko dan Aksi Peventif
Kode Straegi Penanganan Risiko Tingkat
Kesulitan
3 4 5
PA1 Pembagian tugas yang optimal (terutama pada saat jam istirahat)
dan operator melakukan backup
PA2 Mengadakan training terhadap karyawan produksi
PA3 Perbaikan total dan pengadaan spare part cadangan
PA4 Kontrol terhadap tekanan dan temperatur terhadap mesin setiap 30
menit
PA5 Refresh WI (Work Intruction)
PA6 Kontrol operator terhadap hasil keluaran mixing,
vermicelly,cutting,drying
PA7 Perbaikan mesin dyer pada indikator basket dryer
PA8 Sanitasi mesin secara berkala
PA9 Hygine karyawan berupa cuci tangan alkohol dengan baik dan
benar
PA10 Preventif maintenance berkala
C. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Mixing Kode P1 P2 P5
A2
A4
D. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Steaming mixer Kode P1 P2 P3 P10
A5
A6
A8
A9
176
Lampiran 6. Lanjutan.....
E. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Ekstrussing Kode P2 P4 P5 P6 P8
A12
A14
A17
A19
F. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Steaming box Kode P1 P2 P3 P4 P5
A20
A21
A23
G. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Cutting Kode P1 P2 P5 P6 P8 P10
A24
A25
A28
A29
A31
177
Lampiran 6. Lanjutan.....
H. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Drying Kode P1 P4 P6 P7 P9
A32
A33
A37
A38
I. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Cooling Kode P3 P8 P10
A39
A42
J. Hubungan/Korelasi Antara Penyebab Risiko dan Strategi Preventif
Proses Packaging Kode P1 P2 P8 P9 P10
A43
A45
A46
A47
178
Lampiran 7a. Tabel HOR 1 Tahap Mixing
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event) 1.
Oper
ato
r ti
dak
men
gec
ek/m
em
ber
sihk
an
kar
ung c
orn
sta
rch
2.
Pen
uangan s
ecar
a ti
dak b
enar
dan
sem
purn
a p
ada
saat
pro
ses
pen
uan
gan
pat
i ja
gu
ng
ke
dal
am m
ixer
3.
Oper
ator
tidak
men
gec
ek
volu
me
air
yan
g d
itam
bah
kan
4.
Wak
tu m
ixin
g t
idak s
esu
ai
SO
P (
kura
ng d
ari
6-1
0 m
enit
)
Si
Terdapat serpihan plastik,dari
karung, sisa pati jagung 9 9 0 0 4
Adonan tidak homogen 0 0 9 9 2,8
Oj 2,1 3,6 2,1 3,2
ARPj 62,37 129,6 52,92 80,64
Rank 3 1 4 2
Lampiran 7b. HOR 1 Pada Proses Steaming Mixer
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
5.
Ter
dap
at c
elah
pad
a m
esin
6.
Ter
baw
a ole
h a
ir k
ondes
at d
an
dar
i pip
a
7.
Posi
si f
eeder
di
baw
ah m
esin
mix
er
8.
Kad
ar a
ir p
ada
adonan
ber
lebih
9.
Oper
ator
tidak
men
gec
ek h
asil
pen
gad
ukan
(m
ixin
g)
10.
Tek
anan
dan
tem
per
atur
tidak
stab
il (
78
-88
oC
)
11.
Wak
tu p
engukusa
n k
ura
ng (
tidak
stan
dar
)
Si
Terdapat waste adonan
(adonan terjatuh) dan
kontaminasi debu
9 9 3 0 0 0 0 3,3
Adonan lembek 0 0 0 9 9 3 3 4,1
Oj 3,0 2,8 2,7 2,8 3,1 2,9 2,9
ARPj 89,1 83,16 26,73 103,3
2
114,3
9
35,67 35,67
Rank 3 4 7 2 1 5 6
179
Lampiran 7c. Tabel HOR 1 Pada Proses Ekstrussing
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
12.
Adonan
ter
lalu
lem
bek
13.
Oper
ator
tidak
men
gad
uk
adonan
seb
elum
mas
uk k
e m
esin
verm
icel
ly
14.
Suhu p
ada
saat
pro
ses
stea
min
g
mix
er t
idak
sta
ndar
15.
Spee
d c
onvey
or
extr
ude
kura
ng
(15 H
z)
Oper
ator
tidak
men
gec
ek h
asil
pem
ben
tukan
bih
un
16.
Oper
ator
tidak
men
gec
ek h
asil
pem
ben
tukan
bih
un
17.
Scr
een /
die
koto
r
18.
Ter
dap
at s
erpih
an p
last
ik
kar
ung y
ang t
erbaw
a dar
i
pro
ses
sebel
um
nya
19.
Ter
dap
at
sisa
adonan
yan
g
sudah
men
ger
as
Si
Bentuk lempengan,
gelombang dan untaian
tidak standar (lengket)
3 1 9 3 3 9 1 3 3,5
Oj 3,4 2,8 2,3 2,1 2,2 3,1 2,4 2,8
ARPj 35,7 9,8 72,4
5
22,0
5
22,1 97,
65
8,4 29,4
Rank 3 7 2 6 5 1 8 4
Lampiran 7d. HOR 1 Pada Proses SteamingBox
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
20.
Tek
anan
uap
kura
ng d
ari
3,5
Bar
dan
tem
per
atur
kura
ng
dar
i 95
oC
21.
Oper
ator
tidak
men
gec
ek
tekan
an u
ap d
an t
emper
atur
22.
Wak
tu p
emas
akan
ked
ua
tidak
sta
ndar
23.
Kad
ar a
ir p
ada
adonan
tidak
sta
ndar
Si
Kualitas kurang (Bihun
rapuh/lengket/mentah) 9 9 9 9 2,2
Oj 3,0 2,6 2,4 2,8
ARPj 59,4 51,48 47,52 55,44
Rank 1 3 4 2
180
Lampiran 7e. Tabel HOR 1 Pada Proses Cutting
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
24.
Oper
ator
tidak
men
gec
ek h
asil
kel
uar
an c
utt
ing
25.
Cutt
er s
litt
er t
idak
di
sett
ing
sesu
ai u
kura
n
26.
Ukura
n s
cree
n m
eleb
ihi
pan
jang
slit
ter
27.
Ukura
n s
cree
n t
idak
di
sett
ing
28.
Pla
t pem
ber
sih b
anta
lan t
idak
pre
ss
29.
Kad
ar a
ir a
donan
tin
ggi/
lem
bek
30.
Oper
ator
tidak
mem
ber
i pel
um
as
pad
a m
esin
cutt
ing
31.
Pis
au a
s cu
ttin
g t
idak
ber
sih
Si
Bentuk/ukuran bihun tidak
standar 3 9 9 3 9 3 1 3 3,8
Terdapat sisa pinggiran
bihun (waste bihun)
9 9 0 9 9 0 0 0 3,0
Bihun menempel pada as
cutting
9 0 1 0 3 9 9 3 3,2
Terdapat kotoran pada
bihun
9 0 0 0 0 0 1 9 2,8
Oj 2,5 2,3 2,4 2,1 2,2 3,2 2,7 2,9
ARPj 231 140,
76
89,76 80,6
4
128,5
2
128
,64
95,58 133,
98
Rank 1 2 7 8 5 4 6 3
181
Lampiran 7f. Tabel HOR 1 Pada Proses Drying
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
32.
Kep
ingan
bih
un t
idak
men
capai
kek
erin
gan
sta
ndar
33.
Ter
konta
min
asi
tangan
pek
erja
pad
a pro
ses
cutt
ing
34.
Oper
ator
tidak
men
gec
ek
tekan
an d
an t
emper
atur
dry
er
35.
Wak
tu d
ryin
g k
ura
ng (
tidak
stan
dar
)
36.
Pel
um
asan
mes
in p
ada
ranta
i
dye
r ber
lebih
37.
Oper
ator
tidak
men
ekan
bih
un
pad
a bas
ket
38.
Ben
tuk b
asket
pad
a m
esin
dry
ing
tid
ak s
tandar
Si
Adanya bahaya
mikrobiologi
9 9 3 9 3 0 0 3,2
Bihun terkontaminasi
pelumas
0 0 0 0 9 0 0 2,5
Kepingan bihun terjatuh
dari basket
0 0 0 0 0 9 9 3,5
Oj 3,7 3,5 3,0 3,0 2,2 3,0 3,0
ARPj 106,5
6
100,8 28,8 86,4 70,62 94,5 94,5
Rank 1 2 7 5 6 3 4
Lampiran 7g. HOR 1 Pada Proses Cooling
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
39.
Ter
dap
at r
ongga/
cel
ah p
ada
mes
in c
ooli
ng
40.
Tid
ak t
erdap
at w
adah
pad
a
sisi
pin
ggir
mes
in c
ooli
ng
41.
Conve
yor
mes
in c
ooli
ng
mir
ing
42.
Net
dan
blo
wer
tid
ak b
ersi
h
Si
Kepingan bihun terjatuh ke
lantai dan terkontaminasi debu 9 3 9 9 3,3
Oj 2,7 2,4 2,2 3,0
ARPj 80,19 23,76 65,34 89,1
Rank 2 4 3 1
182
Lampiran 7h. Tabel HOR 1 Pada Proses Packaging
Penyebab Risiko
(Risk Agent)
Kejadian Risiko
(Risk Event)
43.
Bih
un t
erben
tur
terl
alu k
eras
44.
Spee
d m
esin
pack
ing o
ver
45.
Oper
ator
lala
i dal
am m
enso
rtir
bih
un
46.
Spee
d
oper
ator
dal
am m
enso
rtir
bih
un k
ura
ng
47.
Ter
konta
min
asi
dar
i li
ngkungan
,
alat
dan
tan
gan
pek
erja
48.
Ter
dap
at l
ogam
, oli
ata
u b
enda
asin
g p
ada
bih
un
Si
Produk patah 9 3 9 3 0 0 2,6
Produk jatuh ke lantai 3 3 9 9 0 0 3,1
Adanya bahaya
mikrobiologi
0 0 3 1 9 9 2,7
Oj 2,4 2,6 2,5 2,3 2,9 2,8
ARPj 78,48 44,4
6
148,5 88,32 70,47 68,04
Rank 3 6 1 2 4 5
183
Lampiran 8. Daftar Penyebab Risiko (Risk Agent), pada PT. Subafood Pangan Jaya
Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Mixing
Penuangan
A1 Operator tidak mengecek/membersihkan karung corn
starch
A2 Penuangan secara tidak benar dan sempurna pada saat
proses penuangan pati jagung ke dalam mixer
Pengadukan A3 Operator tidak mengecek volume air yang ditambahkan
A4 Waktu mixing tidak sesuai SOP (kurang dari 6-10 menit)
Steaming mixer
Penampungan
A5 Terdapat celah pada mesin
A6 Terbawa oleh air kondesat dan dari pipa
A7 Posisi feeder di bawah mesin mixer
Pengukusan A8 Kadar air pada adonan berlebih
A9 Operator tidak mengecek hasil pengadukan (mixing)
A10 Tekanan dan temperatur tidak stabil (78-88
oC)
A11 Waktu pengukusan kurang (tidak standar)
Ekstrussing
(strap
extruder
dan
vermicelly
extruder)
Pembentukan
lempengan dan
untaian bihun
A12 Adonan terlalu lembek
A13 Operator tidak mengaduk adonan sebelum masuk ke mesin
vermicelly
A14 Suhu pada saat proses steaming mixer tidak standar
A15 Speed conveyor extrude kurang (15 Hz)
A16 Operator tidak mengecek hasil pembentukan bihun
A17 Screen /die kotor
A18 Terdapat serpihan plastik karung yang terbawa dari proses
sebelumnya
A19 Terdapat sisa adonan yang sudah mengeras
Steaming box
Kualitas
bihun
A20 Tekanan uap kurang dari 3,5 Bar dan temperatur kurang dari
95oC (tidak mencapai target)
A21 Operator tidak mengecek tekanan uap dan temperatur
A22 Waktu pemasakan kedua tidak standar
A23 Kadar air pada adonan tidak standar
184
Lampiran 8. Lanjutan....
Proses Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Cutting
Kriteria produk
A24 Operator tidak mengecek hasil keluaran cutting
A25 Cutter slitter tidak di setting sesuai ukuran
A26 Ukuran screen melebihi panjang slitter
Peforma mesin
A27 Ukuran screen tidak di setting
ukuran
A28 Plat pembersih bantalan tidak press
A29 Kadar air adonan tinggi/lembek
A30 Operator tidak memberi pelumas pada mesin cutting
A31 Pisau as cutting tidak bersih
Drying
Pengeringan
A32 Kepingan bihun tidak mencapai kekeringan standar
A33 Terkontaminasi tangan pekerja pada proses cutting
A34 Operator tidak mengecek tekanan dan temperatur dryer
A35 Waktu drying kurang (tidak standar)
Kondisi
mesin
A36 Pelumasan mesin pada rantai dyer berlebih
A37 Operator tidak menekan bihun pada basket
A38 Bentuk basket pada mesin drying tidak standar
Cooling
Kondisi
mesin
A39 Terdapat rongga/ celah pada mesin cooling
A40 Tidak terdapat wadah pada sisi pinggir mesin cooling
A41 Conveyor mesin cooling miring
A42 Net dan blower tidak bersih
Packaging
Penyortiran
A43 Bihun terbentur terlalu keras
A44 Speed mesin packing over
A45 Operator lalai dalam mensortir bihun
A46 Speed operator dalam mensortir bihun kurang
A47 Terkontaminasi dari lingkungan, alat dan tangan pekerja
A48 Terdapat logam, oli atau benda asing pada bihun