ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI
JAGUNG DOMESTIK DALAM RANGKA PENCAPAIAN
SWASEMBADA JAGUNG NASIONAL TAHUN 2017
LINDA LIGAWATI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Produksi dan
Konsumsi Jagung Domestik dalam Rangka Pencapaian Swasembada Jagung
Nasional Tahun 2017 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya
melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Linda Ligawati
H44120097
ABSTRAK
LINDA LIGAWATI. Analisis Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik dalam
Rangka Pencapaian Swasembada Jagung Nasional Tahun 2017. Dibimbing oleh
ADI HADIANTO dan FITRIA DEWI RASWATIE.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling penting bagi
manusia, kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan akan pangan dan sebagai
pemasok bahan baku industri. Meningkatnya konsumsi jagung domestik oleh
industri pakan maupun pangan menyebabkan indonesia harus melakukan impor.
Tahun 2017 pemerintah mentargetkan Indonesia dapat mencapai swasembada
jagung dengan target produksi sebesar 22 juta ton. Maka untuk mencapai
ketahanan pangan nasional, Indonesia harus mampu meningkatkan produksinya
dan mengurangi ketergantungan terhadap impor jagung. Penelitian ini secara
umum bertujuan untuk (1) Menganalisis perkembangan tingkat produksi dan
konsumsi jagung di Indonesia; (2) Meramalkan pencapaian swasembada jagung
nasional tahun 2017; (3) Menganalisis upaya yang dapat dijadikan alternatif
kebijakan pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada jagung nasional pada
tahun 2017. Jawaban untuk tujuan pertama digunakan alnalisis deskriptif dan
untuk menjawab tujan kedua digunakan metode ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average), sedangkan untuk menjawab tujuan ketiga digunakan
metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Hasil analisis menyatakan bahwa
tingkat pertumbuhan rata-rata produksi dan konsumsi jagung domestik pada tahun
1984 hingga tahun 2014 meningkat sebesar 5,54% dan 3,63% per tahun. Hasil
proyeksi produksi dan konsumsi jagung pada tahun 2015 hingga tahun 2017
mengalami pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 2,39% dan 2,01% per tahun.
Proyeksi produksi jagung domestik pada tahun 2017 adalah sebesar 20.410,3 ribu
ton sedangkan konsumsinya sebesar 20.514,2 ribu ton. Maka target swasembada
jagung oleh pemerintah pada tahun 2017 belum tercapai. Alternatif strategi yang
dapat ditempuh pemerintah berdasarkan pengolahan data menggunakan AHP
adalah perluasan areal melalui kegiatan optimalisasi lahan.
Kata kunci: AHP, jagung, konsumsi, produksi, swasembada
ABSTRACT
LINDA LIGAWATI. Analysis of Maize Domestic Production and Consumption
in Order to Achieve National Maize Self-Sufficiency in 2017. Supervised by ADI
HADIANTO and FITRIA DEWI RASWATIE.
The agricultural sector is one of the most important sectors for humans,
in particular as food needs and as a supplier of industrial raw materials. Increased
of domestic maize consumption by the feed and food industry led to Indonesia
have to do import. In 2017 Indonesian government aims to reach self-sufficiency
in maize production with production target is 25 million tonnes. So in order to
achieve national food security, Indonesia should be able to increase production
and reduce reliance on imported maize. The general purpose of this research are
(1) Analyze the development of level production and consumption of maize in
Indonesia; (2) Predicting the achievement of the national maize self-sufficiency in
2017; (3) Analyze the effort to be an alternative government policies in achieving
national maize self-sufficiency in 2017. The method used in this research are
descriptive analysis to answer the first purpose, ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average) to answer the second purpose, and AHP (Analytical
Hierarchy Process) to answer the third. The results of this research are the average
growth rate of domestic maize production and consumption in the last thirty years
increased by 5.54% and 3.63% per year. The projection of production and
consumption of corn in 2015 to 2017 grew by an average of 2.39% and 2.01% per
year. Projected domestic maize production in 2017 amounted to 20410.3 thousand
tons, while consumption amounted to 20514.2 thousand tons. Then the target of
maize self-sufficiency by the government in 2017 has not been reached. Strategy
alternative that can be done by government based on processing the data using
AHP is expansion through land optimization.
Keywords: AHP, consumption, maize, production, self sufficiency.
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI
JAGUNG DOMESTIK DALAM RANGKA PENCAPAIAN
SWASEMBADA JAGUNG NASIONAL TAHUN 2017
LINDA LIGAWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
Pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Juni 2016. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah Ekonomi Pertanian yang berjudul Analisis
Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik dalam Rangka Pencapaian
Swasembada Jagung Nasional Tahun 2017.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si
selaku dosen pembimbing pertama dan dosen pembimbing akademik, Ibu Fitria
Dewi Raswatie, SP, M.Si selaku dosen pembimbing kedua serta Bapak Rizal
Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Arini Hardjanto, SE, M.Si
selaku dosen penguji Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Selain
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Pusat Data dan Informasi
Kementerian Pertanian, Staf Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, serta
Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian,
yang telah membantu selama proses penelitian. Ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada Orangtua, Bapak Narto dan Ibu Choiriyah, serta seluruh
keluarga dan teman atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya. Semoga
skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Linda Ligawati
NIM H44120097
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 11
2.1 Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia ............................................... 11
2.2 Tinjauan Kebijakan Swasembada Jagung di Indonesia ................................. 13
2.3 Peramalan Arima ........................................................................................... 15
2.4 Penelitian Terdahulu ...................................................................................... 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 21
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................................................... 21
3.1.1 Produksi dan Konsumsi ........................................................................ 21
3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average) .............................................................. 23
3.1.3 Analytical Hierarchy Process (AHP) ................................................... 26
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................................. 28
IV. METODE PENELITIAN .................................................................................. 31
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 31
4.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 31
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data .......................................................... 31
4.3.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif ..................................................... 32
4.3.2 Metode ARIMA .................................................................................... 32
4.3.3 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ...................................... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 43
5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik ........................... 43
5.2 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik ......................... 46
5.3 Strategi Pemerintah untuk Alternatif Kebijakan dalam Upaya Pencapaian
Swasembada Jagung Tahun 2017 ................................................................. 48
VI. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 55
6.1 Simpulan ........................................................................................................ 55
6.2 Saran .............................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 57
LAMPIRAN ............................................................................................................... 61
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... 83
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) ............................................................................ 1
2 Perkembangan Volume Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun
2005-2014 ................................................................................................................ 4
3 Konsumsi Jagung oleh Rumah Tangga dan Permintaan Industri di Indonesia
Tahun 2005-2014 ..................................................................................................... 7
4 Konsumsi Rata-rata per Kapita Bahan Makanan Jagung di Indonesia
Tahun 2009-2013 ................................................................................................... 13
5 Hasil Penelitian Terdahulu ..................................................................................... 17
6 Pola ACF dan PACF pada Model ARIMA ........................................................... 33
7 Nilai dan Skala Banding Berpasangan ................................................................... 38
8 Matriks Pendapat Individu ..................................................................................... 39
9 Matriks Pendapat Gabungan .................................................................................. 39
10 Random Index (RI) ................................................................................................ 41
11 Perkembangan Produksi Jagung di 10 Provinsi Sentra Tahun 2012-2014 ............ 43
12 Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik
Tahun 2015-2017 ................................................................................................... 47
13 Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik
Tahun 2018-2022 ................................................................................................... 48
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Perkembangan Produktivitas Jagung di Indonesia Tahun 1984-2014 .................... 3
2 Perkembangan Produksi dan Luas Panen Jagung di Indonesia
Tahun 1984-2014 .................................................................................................... 4
3 Skema Pendekatan Box Jenkins ............................................................................. 25
4 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................................... 30
5 Struktur Hierarki Kebijakan Swasembada Jagung ................................................ 42
6 Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Indonesia
Tahun 1984-2014 ................................................................................................... 44
7 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik Tahun 1984-2014 ...... 46
8 Kriteria peningkatan Produksi Jagung ................................................................... 50
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Kuesioner AHP ....................................................................................................... 62
2 Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen dan Produktivitas Jagung
Domestik Tahun 1984-2014 ................................................................................... 68
3 Hasil Time Series Plot untuk Melihat Trend dalam Menentukan Kestasioneran
Data Produksi Jagung dengan Minitab 16 .............................................................. 69
4 Hasil Uji Time Series untuk Melihat Kestasioneran Data Produksi Jagung
dengan First Difference dengan Minitab 16 ........................................................... 69
5 Hasil Time Series Plot untuk Melihat Trend dalam Menentukan Kestasioneran
Data Konsumsi Jagung dengan Minitab 16 ............................................................ 70
6 Hasil Uji Time Series untuk Melihat Kestasioneran Data Konsumsi Jagung
dengan First Difference dengan Minitab 16 ........................................................... 70
7 Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik pada
First Difference ...................................................................................................... 71
8 Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Konsumsi Kedelai Domestik pada
First Difference ...................................................................................................... 72
9 Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi Jagung
Domestik Tahun 1984-2014 dengan Minitab (Ribu Ton) ...................................... 73
10 Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi Jagung Domestik
Tahun 1984-2014 dengan Minitab (Ribu Ton) ...................................................... 75
11 Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Produksi Jagung Domestik .......... 78
12 Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Jagung Domestik ........ 79
13 Hasil Olah Data AHP ............................................................................................. 80
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian,
kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Kondisi alam yang demikian
memberikan peluang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia untuk melakukan
kegiatan usaha di bidang pertanian maupun sub sektornya. Seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang berimplikasi pada
meningkatnya kebutuhan akan pangan menyebabkan sektor pertanian menjadi
salah satu sektor yang paling penting dan mendasar bagi manusia sehingga sektor
ini mempunyai peranan strategis dalam perekonomian di Indonesia. Hal tersebut
dibuktikan dengan besarnya kontribusi sektor pertanian dalam menyumbang PDB
(Produk Domestik Bruto) Indonesia yang terdapat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah)
No Lapangan Usaha Tahun
2012 2013 2014
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan
Perikanan 328.279 339.560 350.722
2. Pertambangan dan Penggalian 193.139 195.853 195.425
3. Industri Pengolahan 670.190 707.481 741.835
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 20.094 21.254 22.423
5. Bangunan 170.884 182.117 194.093
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 473.152 501.040 524.309
7. Pengangkutan dan Komunikasi 265.383 291.404 318.527
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 253.000 272.141 288.351
9. Jasa-jasa 244.807 258.198 273.493 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015a
Nilai PDB pada sektor pertanian menjadi urutan ketiga terbesar setelah sektor
industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Pada tahun 2012 hingga
2014, nilai PDB yang dihasilkan oleh sektor ini terus mengalami kenaikan dari
sebesar Rp. 328,28 Triliun pada tahun 2012 meningkat menjadi sebesar Rp.
350,72 Triliun pada tahun 2014. Jika dihitung dari total PDB pada tahun 2014,
maka sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 12,05% pada tahun
tersebut. Sektor ini harus terus dikembangkan agar tetap menjadi andalan dalam
memantapkan ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani dan penduduk
pedesaan, mengentas kemiskinan, memasok tenaga kerja yang berkualitas bagi
2
18
sektor non pertanian, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut harus
dilakukan mengingat pentingnya peran sektor pertanian dalam menyediakan
bahan pangan, sebagai pemasok bahan baku industri, menciptakan lapangan kerja
dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pendapatan masyarakat petani.
Secara umum sektor pertanian terdiri atas beberapa sub sektor yaitu tanaman
pangan, hortikultura, dan perkebunan. Salah satu subsektor pertanian yang
memiliki peran paling penting adalah tanaman pangan. Pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Oleh karena itu,
pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk setiap wilayah dan waktu menjadi
hak asasi setiap manusia.
Dari berbagai jenis tanaman pangan pokok yang dikonsumsi, jagung
merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang paling strategis dan merupakan
komoditas penting kedua setelah padi/beras. Seperti beras, jagung merupakan
sumber karbohidrat. Selain merupakan bahan pangan pengganti beras yang
dikonsumsi secara langsung oleh masyarakat, jagung juga merupakan bahan baku
pakan ternak yang memiliki komposisi yang cukup dominan. Seperti yang
diungkapkan oleh Syamsuddin (1996) dalam Pusdatin Kementan (2015) bahwa
komponen jagung mencapai proporsi yang cukup tinggi dalam industri pakan
ternak yaitu sebesar 51,4%. Selain itu jagung digunakan sebagai hijauan pakan
ternak, baik diambil minyaknya dari bulir, dibuat tepung yang dikenal dengan
tepung jagung atau maizena dan bahan baku industri dari tepung bulir maupun
tepung tongkolnya. Melihat semakin berkembangnya industri peternakan,
terutama peternakan ayam, menyebabkan permintaan terhadap pakan konsentrat
meningkat.
Jagung merupakan komponen utama dalam komposisi bahan pakan. Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa di Indonesia proporsi jagung dalam
pakan mencapai sekitar 51% dari seluruh komponen pakan yang digunakan. Hal
ini disebabkan karena jagung mengandung energi dan nutrisi yang memadai serta
sangat sesuai dengan kebutuhan ternak, terutama ayam. Selain mengandung
protein yang cukup, jagung juga memiliki kelebihan yang tidak ditemui pada biji-
bijian lain atau dedak, yaitu mengandung xanthophyl yang dapat membuat kuning
3
telur lebih cerah. Hal ini menyebabkan sulitnya menggantikan jagung dengan
bahan lain sebagai bahan baku utama pakan konsentrat.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015b
Gambar 1 Perkembangan produktivitas jagung di Indonesia tahun 1984-2014
Jika dilihat pada Gambar 1, produktivitas jagung di Indonesia dari tahun 1984
hingga tahun 2014 terus mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat pada tiga
tahun terakhir. Hal ini mencerminkan bahwa jagung merupakan komoditas
strategis yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Sedangkan
pada Gambar 2, luas panen jagung justru cenderung mengalami penurunan.
Keadaan tersebut terjadi karena semakin beralihnya lahan pertanian ke non
pertanian untuk kebutuhan perumahan, perkantoran, lokasi industri yang
diakibatkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan industri.
Sebagai bahan pakan utama, permintaan jagung di dalam negeri terus meningkat
sejalan dengan berkembang pesatnya pertumbuhan industri baik industri
peternakan maupun pangan olahan. Jika diperhatikan lagi pada Tabel 2 terlihat
bahwa produksi jagung dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan,
hal tersebut terjadi seiring dengan peningkatan teknologi. Namun peningkatan
terhadap produksi tersebut ternyata tidak mampu mengimbangi permintaan
terhadap jagung yang juga mengalami kenaikan, sehingga Indonesia masih
melakukan impor jagung dari pasar dunia untuk memenuhi permintaan di dalam
negeri.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
produktivitas (Ton/Ha)
4
18
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015c
Gambar 2 Perkembangan Luas Panen dan Produktivitas Jagung di Indonesia
Tahun 1984-2014
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pertanian tahun 2015
terkait perkembangan volume ekspor-impor jagung di Indonesia tahun 2005
hingga tahun 2014 menunujukkan bahwa perkembangan neraca perdagangan
jagung nasional dari tahun tersebut cenderung negatif. Artinya, volume impor
jagung lebih tinggi daripada nilai ekspornya. Kecenderungan tersebut disebabkan
permintaan jagung yang tinggi seperti industri pakan ternak dan belum bisa
dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri.
Tabel 2 Perkembangan Volume Ekspor-Impor Jagung di Indonesia
Tahun 2005-2014
Tahun
Volume
Ekspor
(Ribu Ton)
Pertumbuhan
Ekspor (%)
Impor
(Ribu Ton)
Pertumbuhan
Impor (%) Neraca (%)
2005 54,1 65,27 185,6 -82,96 -132
2006 28,1 -48,02 1.775,3 856,55 -1.747
2007 101,5 261,40 702,0 -60,46 -601
2008 107,0 5,46 264,7 -62,30 -158
2009 75,3 -29,64 338,8 28,01 -264
2010 42,0 -44,27 1.527,5 350,86 -1.486
2011 12,5 -70,27 3.207,6 109,99 -3.195
2012 40,0 219,25 1.805,4 -43,72 -1.765
2013 11,4 -71,32 3.194,4 76,94 -3.183
2014 38,0 231,83 3.175,4 -0,60 -3.137
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, 2015
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
luas panen (Ha) produksi (Ton)
5
Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
ditegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang
dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan sistem produksi
pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal,
mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan
lahan produktif. Masalah pangan merupakan masalah yang cukup kompleks
karena merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Ketersediaan
pangan tidak hanya bersifat fisik melainkan juga ketersediaan dalam jumlah,
mutu, waktu, tempat dan harga yang terjangkau. Menurut Undang-undang nomor
18 tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan
air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Oleh karena
itu, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi jagung domestik maka pemerintah
mencanangkan program swasembada jagung nasional pada tahun 2017.
Swasembada pangan berarti mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan
pangan dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tanpa
ketergantungan dari negara lain. Swasembada pangan masuk kedalam Rencana
Strategis Kementrian Pertanian 2015-2019 yang disusun sebagai perwujudan
amanah Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2005-2025 yang saat ini memasuki tahap ke-3
(2015-2019) sebagai kelanjutan dari RPJMN tahap ke-2 (2010-2014) yang telah
berakhir. Pada RPJMN tahap ke-3 ini sektor pertanian masih menjadi sektor
penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satu upaya untuk mencapai
target tersebut adalah peningkatan swasembada padi, jagung, kedelai serta
swasembada gula dan daging sapi. Mengingat bahwa ketergantungan yang
semakin besar terhadap impor dapat menjadi musibah, maka langkah swasembada
harus ditempuh. Hal tersebut juga didukung oleh besarnya potensi yang ada yang
memberikan peluang bagi produksi jagung domestik untuk ditingkatkan, sehingga
memungkinkan pencapaian swasembada jagung pada tahun 2017 mendatang.
6
18
Program swasembada jagung sampai saat ini masih terus dilanjutkan
mengingat bahwa pada RPJMN tahap ke-2 target pencapaian swasembada belum
tercapai. Dimana pemerintah mentargetkan produksi pada tahun 2014 adalah
sebesar 20,80 juta ton sedangkan jumlah yang dapat terpenuhi hanya sebesar 19
juta ton. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri
mengingat semakin meningkatnya kebutuhan jagung khususnya untuk industri
pakan maupun pangan sedangkan produksi dari dalam negeri masih belum
memenuhi target, maka pemerintah masih melanjutkan program swasembada
jagung pada tahun 2017 dengan target produksi jagung pipilan kering sebesar 25
juta ton.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat meramalkan
pencapaian target swasembada tersebut yang pada akhirnya dapat memberikan
alternatif strategi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk
menghadapi tantangan mapun hambatan ketika telah diketahui target swasembada
tersebut dapat tercapai ataupun tidak.
1.2 Perumusan Masalah
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat setiap
tahunnya dan mengingat bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk terbanyak keempat di dunia, wajar jika pemerintah memfokuskan
kebijakannya pada ketahanan pangan. Pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang paling utama dimana pemenuhannya merupakan bagian dari hak
asasi manusia dan sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan
mengamanatkan agar upaya pemenuhan kebutuhan pangan di dalam negeri
diutamakan dari produksi domestik. Upaya ini mengisyaratkan agar dalam
menciptakan ketahanan pangan harus berlandaskan kemandirian dan kedaulatan
pangan.
Komoditas jagung merupakan salah satu kebutuhan pangan manusia yang
penting untuk dipenuhi. Meskipun pada saat ini konsumsinya sudah bergeser
menjadi lebih banyak untuk industri pakan dan industri pangan dibanding
konsumsi langsung, komoditas ini masih tetap eksis dan permintaannya masih
7
terus meningkat khususnya untuk industri seperti yang tercantum pada Tabel 3
berikut.
Tabel 3 Konsumsi Jagung oleh Rumah Tangga dan Permintaan Industri di
Indonesia Tahun 2005-2014
Tahun Konsumsi Rumah
Tangga (Ribu Ton)
Pertumb.
(%)
Permintaan Industri
(Ribu ton)
Pertumb.
(%)
2005 *) 615,7 -5,88 2.534 6,25
2006 644,9 4,73 7.311 188,52
2007 911,5 41,35 2.713 -62,89
2008 819,6 -10,09 2.713 0,00
2009 577,3 -29,56 3.415 25,88
2010 411,6 -28,70 4.432 29,78
2011 322,5 -21,65 3.670 -17,19
2012 401,2 24,4 4.319 17,68
2013 355,5 -11,39 4.497 4,12
2014 *) 391,6 10,15 4.987 10,90
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015d
*) Data SUSENAS: konsumsi total jagung termasuk jagung pipilan, tepung jagung,
minyak jagung dan jagung basah, yang telah disetarakan dengan
pipilan kering
Terlihat pada Tabel 3 bahwa konsumsi jagung oleh rumah tangga selama
sepuluh tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Sedangkan permintaan
oleh industri baik pakan maupun industri pangan justru meningkat. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan industri yang semakin pesat dan jagung
merupakan komponen utama dalam proses produksi pakan ternak. Namun
berdasarkan data pada tabel 2, permintaan jagung di Indonesia dapat dipenuhi dari
impor. Sedangkan Indonesia masih belum mampu mengimbangi nilai ekspornya
sehingga terjadi defisit.
Ketergantungan kepada bahan pangan dari luar negeri dalam jumlah besar
akan melumpuhkan ketahanan nasional dan mengganggu stabilitas sosial,
ekonomi dan politik. Ketahanan pangan dan kedaulatan pangan berpengaruh
langsung terhadap kesejahteraan rakyat (Rasahan, 1999). Pemerintah Indonesia
khususnya Kementerian Pertanian menargetkan swasembada jagung pada tahun
2017 dalam rangka peningkatan produksi pertanian. Peningkatan produksi
pertanian pada swasembada tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi nilai
8
18
defisit pada neraca ekspor-impor jagung nasional agar pemenuhan kebutuhan
jagung dapat dilakukan sepenuhnya dari dalam negeri.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi jagung di Indonesia?
2. Apakah target swasembada jagung nasional tahun 2017 dapat tercapai?
3. Bagaimana strategi pemerintah untuk alternatif kebijakan dalam upaya
pencapaian swasembada tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mempelajari dan melihat
bagaimana kondisi tingkat produksi dan konsumsi jagung di Indonesia hingga
tahun 2017 dan gambaran pencapaian swasembada jagung nasional melalui
skenario kebijakan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah.
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perkembangan tingkat produksi dan konsumsi jagung di
Indonesia.
2. Meramalkan pencapaian swasembada jagung nasional tahun 2017.
3. Menganalisis upaya yang dapat dijadikan alternatif kebijakan pemerintah
dalam upaya pencapaian swasembada jagung nasional pada tahun 2017.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan
gambaran mengenai pencapaian swasembada jagung nasional tahun 2017 yang
dapat dilihat melalui perkembangan produksi dan konsumsi jagung nasional
hingga tahun 2017. Dengan mengetahui kondisi jagung nasional, diharapkan
mampu memberikan informasi kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan,
para pengusaha, dan investor di bidang komoditas jagung serta masyarakat untuk
dapat mengambil langkah-langkah dan melakukan perencanaan yang tepat guna
mendukung perkembangan industri jagung dalam negeri.
9
Secara khusus manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah selaku pembuat dan pengambil kebijakan, penelitian ini dapat
digunakan sebagai gambaran mengenai keadaan komoditas jagung nasional
khususnya tingkat produksi dan konsumsi yang dapat digunakan sebagai bahan
acuan dalam perumusan kebijakan yang tepat sehingga dapat mendorong
pertumbuhan industri jagung nasional.
2. Bagi para pelaku usaha, penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran
tentang kondisi komoditas jagung sehingga dapat mengambil langkah yang
tepat untuk mengembangkan usahanya dalam menghadapi persainan global.
3. Bagi penulis, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi komoditas jagung nasional dan
permasalahan yang dihadapi sehingga mampu menjawab tantangan terkait isu
tersebut.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis mengenai perkembangan
tingkat produksi dan konsumsi jagung domestik sehingga dapat melihat
dampaknya terhadap pencapaian target swasembada jagung nasional tahun 2017.
Penelitian ini dimulai dengan menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi
jagung nasional dari tahun 1984 sampai tahun 2014 menggunakan metode
ARIMA untuk mengetahui tingkat produksi dan konsumsi jagung tiga tahun
kemudian (2015-2017). Dari hasil peramalan tersebut akan diketahui apakah
target swasembada jagung nasional tahun 2017 dapat tercapai. Kemudian
merumuskan langkah strategis kebijakan yang tepat untuk dapat dipertimbangkan
dalam rangka upaya pencapaian swasembada jagung nasional tahun 2017.
Penelitian ini memiliki keterbatasan diantaranya; data yang digunakan merupakan
data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi
bulanan dan musiman. Komoditas jagung dalam penelitian ini adalah secara
umum bukan jagung dengan jenis dan kualitas atau varietas tertentu.
10
18
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia
Pertumbuhan produksi jagung di Indonesia lebih disebabkan oleh
perkembangan permintaan untuk pakan ternak, berbeda dengan pertumbuhan
produksi padi yang disebabkan oleh perkembangan penawaran karena didorong
oleh inovasi teknologi benih unggul. Produksi jagung diperoleh dari hasil
perkalian antara luas panen dan produktivitas. Menurut data Badan Pusat Statistik
(2015c), perkembangan produksi jagung di Indonesia pada periode tahun 1969
hingga tahun 2014 cenderung berfluktuasi namun secara umum meningkat, mirip
dengan pola luas panen, namun peningkatan produksi menunjukkan pola
peningkatan yang lebih signifikan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pertanian (2015), produksi
jagung selama kurun waktu 1969 hingga tahun 2015 tertinggi dicapai pada tahun
2015 yaitu sebesar 19,833 juta ton. Jika dilihat perkembangan produksi jagung
selama sepuluh tahun terakhir, produksi jagung mengalami pertumbuhan positif
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,05 persen per tahun. Namun terjadi dua
kali penurunan produksi jagung pada periode 2010 hingga tahun 2015, yaitu
sebesar 3,73 persen pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 mengalami penurunan
sebesar 4,51 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan produksi
jagung disebabkan oleh penurunan produktivitas karena penggunaan benih
jagung, tata cara pengolahan tanaman, pemupukan, dan penurunan produksi
jagung biasanya disebabkan oleh penurunan luas panen.
Jika dilihat secara umum, produktivitas jagung di Indonesia dari tahun 2009
hingga tahun 2014 terus mengalami fluktuasi di setiap daerah. Fluktuasi ini
disebabkan oleh banyak hal, antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal masing-masing daerah berbeda satu sama lain. Sebagai contoh adalah
kondisi geografis masing-masing wilayah yang memiliki keunikan tersendiri.
Kenaikan yang terjadi pada produktivitas jagung salah satunya diakibatkan oleh
naiknya harga jagung impor akibat pasokan yang ketat menyusul kegagalan panen
di Amerika Serikat dan Argentina. Akibatnya pengusaha industri makanan
berbahan dasar jagung dan juga pengusaha pakan ternak lebih tertarik untuk
12
18
menggunakan dan membeli jagung lokal. Dari permasalahan tersebut muncul
keinginan petani untuk menanam jagung kembali.
Penurunan produktivitas sendiri juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah petani enggan menanam jagung karena harga jual di tingkat
petani yang sangat berfluktuasi akibat impor yang tidak terjadwal. Hal tersebut
menyebabkan sebagian besar petani menanam jagung sebagai tanaman sambilan
atau sela serta sebagai tanaman pelindung sementara seperti kebun sawit yang
dibuka atau ditanam. Bahkan sebagian besar petani sudah tidak menanam jagung
dan berpindah menanam tanaman hortikultura seperti cabai dan bawang.
Selain dari beberapa faktor internal seperti dilema petani dalam penggunaan
lahan, terdapat faktor lain yaitu alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi
lahan untuk kebutuhan perumahan dan bangunan lainnya. Pertumbuhan penduduk
yang semakin meningkat membutuhkan lahan untuk tempat tinggal, namun disisi
lain kebutuhan akan pangan juga meningkat.
Jagung merupakan salah satu makanan pokok yang keberadaannya tidak bisa
dihilangkan dari masyarakat Indonesia. Meskipun penggunaannya saat ini sudah
lebih banyak untuk pakan daripada pangan, namun di beberapa daerah jagung
masih menjadi makanan pokok masyarakat baik dicampur dengan beras/nasi
maupun diolah menjadi bubur.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional
(2013) pada Tabel 4, pada tahun 2007-2013 sebagian besar permintaan jagung
terdiri atas jagung berkulit dan jagung pipilan. Untuk jagung basah berkulit dari
periode tahun 2009 hingga tahun 2013 rata-rata pertumbuhan konsumsi per kapita
mengalami peningkatan yang masih terbilang kecil yaitu sebesar 2,08 persen,
dimana permintaan tertingginya terjadi pada tahun 2010 dengan rata-rata
permintaan per kapita sebesar 1,939 kilogram. Sedangkan pada tahun 2011
mengalami penurunan menjadi sebesar 0,626 kilogram per kapita, dan pada tahun
2012 sampai 2013 menjadi 0,574 kilogram per kapita.
Tabel dibawah ini (Tabel 4) menunjukkan rata-rata jagung pipilan yang justru
mengalami penurunan yaitu sebesar 6,33 persen dimana pada tahun 2009
konsumsi jagung per kapita adalah 1,825 dan terus mengalami penurunan hingga
tahun 2011 menjadi 1,99 kg per kapita, sedangkan pada tahun 2012 mengalami
13
peningkatan menjadi 1,512 kg per kapita meskipun pada tahun 2013 kembali
mengalami penurunan menjadi 1,304 kg per kapita.
Tabel 4 Konsumsi Rata-rata per Kapita Bahan Makanan Jagung di Indonesia
Tahun 2009-2013
Bahan
Makanan Satuan
Tahun Rata-rata
Pertumbuhan
(%) 2009 2010 2011 2012 2013
Jagung Basah
Berkulit Kg 0,626 0,939 0,626 0,574 0,574 2,08
Jagung
Pipilan Kg 1,825 1,564 1,199 1,512 1,304 -6,33
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2013
2.2 Tinjauan Kebijakan Swasembada Jagung di Indonesia
Definisi ketahanan pangan menurut World Bank (1986) dan Maxwell dan
Frankenberger (1992) dalam Hanani (2009) adalah “akses semua orang setiap saat
pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all time to sufficient
food for a healthy life). Sedangkan menurut Undang-undang tentang Pangan
Nomor 18 tahun 2012 menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan. FAO pada tahun 1997 menjelaskan bahwa ketahanan
pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik
fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan terhadap
kedua akses tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, Hanani (2009) menyimpulkan bahwa
terdapat lima unsur yang harus dipenuhi dalam mencapai ketahanan pangan, yaitu:
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu.
2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses.
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,
ekonomi, dan sosial.
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi.
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
14
18
Dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional, pemerintah Indonesia
pada periode tahun 2010 hingga tahun 2014 menyusun Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Pertanian dimana terdapat lima komoditas pangan utama
dan strategis yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Kementerian
Pertanian mencanangkan empat target sukses, yaitu:
1. Swasembada berkelanjutan dan pencapaian swasembada.
2. Diversifikasi pangan.
3. Peningkatan daya saing nilai tambah ekspor.
4. Kesejahteraan petani.
Secara khusus swasembada berkelanjutan ditargetkan untuk komoditas padi
dan jagung, dan sasaran produksi jagung khususnya sebesar 20 juta ton pipilan
kering pada tahun 2014. Dalam rangka mencapai target sukses tersebut khusus
pada komoditas jagung yaitu untuk menjamin swasembada berkelanjutan tentu
diperlukan upaya keras agar tingkat produksi saat ini dapat dipertahankan dan
bahkan lebih ditingkatkan. Upaya peningkatan produksi jagung nasional memiliki
urgensi kuat, mengingat jagung memiliki peran strategis dalam memenuhi
berbagai permintaan nasional.
Jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat
berperan penting dalam menunjang ketahanan pangan, kecukupan pasokan pakan
ternak, bahkan juga dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif (biofuel). Posisi
jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi dalam mengurangi
ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Jagung juga sangat berperan
dalam industri pakan dan industri pangan yang memerlukan pasokan terbesar
dibanding untuk konsumsi langsung.
Pemerintah pada tahun 2014 menargetkan produksi jagung nasional sebesar
20,80 juta ton untuk mencapai swasembada. Namun pada kenyataannya produksi
jagung pada tahun tersebut hanya mencapai 19,03 juta ton sehingga target
swasembada komoditas jagung tidak tercapai. Oleh karena itu, pada Renstra
periode selanjutnya yaitu periode 2015 hingga 2019 pemerintah melanjutkan
program tersebut dengan mentargetkan produksi jagung pada tahun 2017
mencapai 22 juta ton.
2.3 Peramalan ARIMA
15
Model Autoregresif Integrated Moving Average (ARIMA) adalah model yang
secara penuh mengabaikan independen variabel dalam membuat peramalan.
ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk
menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. ARIMA cocok jika
observasi dari deret waktu (time series) secara statistik berhubungan satu sama
lain (dependent). Model otoregresi merupakan model yang menggambarkan
hubungan antara variabel terkait Y dengan variabel bebas yang merupakan nilai Y
pada waktu sebelumnya, sedangkan model moving average merupakan model
yang menggambarkan ketergantungan variabel terkait Y terhadap nilai error pada
waktu sebelumnya yang berurutan. Error ini juga sering disebut nilai kesalahan
atau deviasi nilai prediksi terhadap nilai sesungguhnya. Gabungan kedua model
inilah yang sangat berguna dalam menganalisis data time series, yang
diperkenalkan oleh Box dan Jenkins (1975) dengan sebutan ARIMA.
Secara umum, model ARIMA dituliskan dengan notasi ARIMA (p,d,q). p
adalah derajat proses otoregresi (AR), d adalah pembedaan, dan q adalah derajat
proses moving average (MA). Adanya nilai pembedaan (d) pada model ARIMA
disebabkan karena aspek-aspek AR dan MA hanya dapat diterapkan pada data
time series yang stasioner. Pada kenyataannya, sebagian besar data time series
menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu, baik rata-rata maupun variansnya.
Data time series yang mempunyai sifat demikian disebut data time series tidak
stasioner.
Tujuan model ini adalah untuk menentukan hubungan statistik yang baik
antar variabel yang diramal dengan nilai historis variabel tersebut sehingga
peramalan dapat dilakukan dengan model tersebut. Model ARIMA terdiri dari tiga
langkah dasar, yaitu tahap identifikasi, tahap penaksiran dan pengujian, dan
pemeriksaan diagnostik. Selanjutnya model ARIMA dapat digunakan untuk
melakukan peramalan jika model yang diperoleh memadai. Karena hanya
menggunakan satu variabel deret waktu, maka pengolahan data dalam metode ini
dapat dilakukan dengan program komputer antara lain Eviews, Minitab, SPSS,
dan lain-lain.
16
18
2.4 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian mengenai jagung telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
diantaranya adalah Siregar (2009). Persamaan dengan penelitian tersebut adalah
dalam tujuannya untuk mengetahui perkembangan tingkat produksi komoditas
jagung di Indonesia. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian terdahulu
dilakukan analisis penawaran untuk mengetahui respon penawaran jagung. Selain
itu metode yang digunakan juga berbeda, yaitu pada penelitian terdahulu
menggunakan metode analisis Nerlove, OLS (Ordinary Least Square), Uji
Statistik, dan Uji Ekonometrik untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi beberapa variabel tertentu.
Hasil penelitian mengenai swasembada pangan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya, diantaranya adalah oleh Hernanda (2011), Hadi (2013), dan
Wijayanti (2014), dimana terdapat persamaan yaitu fokus pembahasan lebih
kepada pencapaian swasembada dan metode yang digunakan untuk mengetahui
pencapaian swasembada komoditas adalah dengan menggunakan metode
ARIMA. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode yang digunakan untuk
memperoleh alternatif strategi yang sesuai, yaitu menggunakan analisis regresi
dan analisis statistik deskriptif. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Aldillah
(2014). Persamaan dengan penelitian tersebut adalah pada pembahasan mengenai
analisis produksi dan konsumsi suatu komoditas. Sedangkan perbedaannya
terletak pada analisis yang digunakan yaitu menggunakan analisis simultan
sedangkan pada penelitian ini, analisis terhadap perkembangan produksi dan
konsumsi jagung dilakukan menggunakan metode analisis statistik deskriptif.
17
Tabel 5. Hasil Penelitian Terdahulu
No Judul/ Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Analisis Hasil Penelitian
1. Nama : Grace Gantari Siregar
Tahun: 2009
Judul : Analisis Respon
Penawaran Komoditas Jagung
dalam Rangka Mencapai
Swasembada Jagung di
Indonesia.
1. Mengetahui perkembangan
komoditas jagung nasional
dilihat dari sisi produksi dan
konsumsi (food, feed, fuel)
2. Menganalisis respon
penawaran jagung
3. Mengetahui faktor-faktor
yang menjadi penghambat
peningkatan produksi jagung
serta menyusun strategi
kebijakan
1. Nerlove
(Nerlove partial
adjusment
model)
2. OLS (Ordinary
Least Square)
3. Uji Statistik
4. Uji
Ekonometrik
1. Produksi jagung di Indonesia meningkat
secara fluktuatif, yang ditentukan oleh
perkembangan produktivitas. Konsumsi
jagung untuk bahan pangan pokok
mengalami penurunan, sedangkan untuk
bahan baku industri, khususnya produksi
pakan terus mengalami peningkatan.
2. Faktor – faktor yang signifikan
mempengaruhi luas areal panen jagung
adalah harga jagung, harga kedelai, harga
ubi kayu, curah hujan, pertumbuhan
konversi lahan, dan pertumbuhan total
areal teririgasi. Sedangkan faktor-faktor
yang secara signifikan mempengaruhi
produktivitas jagung adalah harga
jagung, produktivitas tahun sebelumnya,
upah buruh tani, harga pupuk urea dan
harga benih.
3. Respon penawaran jagung terhadap harga
jagung dalam jangka pendek bersifat
inelastis dan bernilai positif, yaitu
0,3903, sedangkan dalam jangka panjang
bersifat elastis, yaitu sebesar 1,0538.
4. Faktor-faktor yang menghambat
produktivitas jagung: masalah pada
setiap agroekosistem, tehnik budidaya,
faktor insentif harga jagung, serta
pemasaran dan distribusi hasil.
17
18
18
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Analisis Hasil Penelitian
2. Nama : Nindya Hernanda
Tahun : 2011
Judul : Analisis Peramalan
Tingkat Produksi dan Konsumsi
Gula Indonesia dalam Mencapai
Swasembada Gula Nasional.
1. Menganalisis perkembangan
tingkat produksi dan
konsumsi gula nasional
hingga tahun 2014
2. Menganalisis upaya untuk
alternatif pencapaian target
swasembada gula tahun 2014
1. Metode
ARIMA
2. Analisis regresi
1. Pada tahun 2011-2014 masih terdapat
defisit neraca gula, sehingga swasembada
tidak tercapai pada tahun 2014.
2. Dibutuhkan 259.577 hektar luas areal
dengan skenario 1 untuk mencapai
swasembada gula pada tahun 2014, lebih
kecil dari skenario dua yang hanya
267.612 hektar. Produktivitas dan
rendemen yang harus dicapai pada
skenario 1 adalah sebesar 89,4 ton per
hektar dan 9,1 persen. Pada skenario 2,
produktivitas dan rendemen yang harus
dicapai sebesar 89,4 ton per hektar dan
8,6 persen dengan penambahan pabrik
gula baru sesuai alternatif dari
pemerintah.
3. Nama : Abida Hadi
Tahun : 2013
Judul : Analisis Produksi dan
Konsumsi Kedelai Domestik
dalam Rangka Swasembada
Kedelai di Indonesia.
1. Menganalisis perkembangan
produksi dan konsumsi
kedelai domestik
2. Memproyeksikan produksi
dan konsumsi kedelai
domestik untuk melihat target
pencapaian swasembada dan
menyusun strategi kebijakan
dan implikasinya
1. Analisi Statistik
Deskriptif
2. ARIMA
(Autoregressive
Integrated
Moving
Average)
1. Konsumsi kedelai di Indonesia lebih
besar dibandingkan produksinya,
sehingga Indonesia masih melakukan
impor.
2. Berdasarkan proyeksi produksi dan
konsumsi kedelai menggunakan ARIMA,
Indonesia belum mampu untuk
swasembada kedelai pada tahun 2014.
Pada tahun 2014 produksi kedelai
domestik mencapai 672.020 ton,
sedangkan konsumsinya sebesar
1.989.386 ton.
19
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Analisis Hasil Penelitian
3. Strategi kebijakan untuk mengatasi
ketergantungan impor adalah peningkatan
produksi kedelai melalui program
perluasan areal tanam dan atau
peningkatan produktivitas.
4. Analisis Peramalan Produksi dan
Konsumsi Serta Faktor-faktor
yang Memengaruhi Produksi
dalam Pencapaian Swasembada
Kedelai 2014.
Cahyana Depta Wijayanti (2014)
1. Menganalisis perkembangan
produksi dan konsumsi
kedelai nasional hingga
tahun 2014
2. Mengidentifikasi faktor-
faktor yang memengaruhi
jumlah produksinya
3. Menganalisis elastisitas
produksi kedelai nasional
terhadap faktor-faktor yang
memengaruhinya
1. Metode
ARIMA.
2. Metode Regresi
Berganda.
1. Swasembada kedelai belum tercapai pada
tahun 2014 maupun 11 tahun setelahnya.
2. Faktor-faktor yang signifikan
memengaruhi produksi kedelai adalah
produktivitas, luas panen, harga kedelai
dan jagung di tingkat petani, harga benih
kedelai dan impor kedelai.
3. Harga riil kedelai dan jagung di tingkat
petani, harga benih kedelai, dan impor
kedelai menunjukkan hubungan inelastis
terhadap produksi kedelai.
5. Nama : Rizma Aldillah
Tahun : 2014
Judul : Proyeksi Produksi dan
Konsumsi Kedelai Indonesia.
1. Menganalisis pola
perkembangan produksi dan
konsumsikedelai nasional
2. Menganalisis respon areal
dan produktivitas kedelai
1. Metode
Peramalan
Simultan
2. Produksi hingga tahun 2020 meningkat
rata-rata 6.80% per tahun, dan konsumsi
meningkat rata-rata 2.10% per tahun,
tetapi defisit menunjukkan penurunan
rata-rata sebesar 0.98% per tahun.
3. Terdapat indikasi bahwa adanya
perluasan areal tanam kedelai di masa
yang akan datang yang ditunjukkan oleh
pertumbuhan produksi rata-rata mencapai
tiga kali lipat daripada pertumbuhan
konsumsi rata-rata. Sehingga terdapat
komungkinan Indonesia memiliki
peluang untuk berswasembada di masa
yang akan datang.
19
20
18
21
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai acuan
alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain adalah metode analisis statistik deskriptif, konsep
Produksi dan Konsumsi, Box Jenkins (ARIMA) dan Analytical Hierarchy Process
(AHP).
3.1.1 Produksi dan Konsumsi
Produksi merupakan suatu kegiatan atau proses dalam membuat komoditas
dalam bentuk barang atau jasa tertentu baik dalam komoditas barang-barang
pertanian maupun barang non pertanian. Dalam pertanian, proses produksi sangat
kompleks dan terus mengalami perubahan seiring dengan kemajuan teknologi.
Pada proses produksi pertanian, terdapat output atau hasil produksi dan input atau
disebut sebagai faktor produksi yang berupa variabel-variabel tertentu yang
mempengaruhi proses produksi. Menurut Soekartawi (2003), faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat
kesuburannya, bibit, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagainya
2. Faktor sosial-ekonomi seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan,
tersedianya kredit, dan sebagainya.
Soekartawi, (2003) menjelaskan bahwa fungsi produksi merupakan
hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan
(X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang
menjelaskan dapat berupa input. Dengan fungsi produksi, maka dapat diketahui
hubungan antara variabel yang dijelaskan (dependent variable) dan variabel yang
menjelaskan (independent variable) serta sekaligus mengetahui hubungan antar
variabel penjelas.
22
18
Secara matematis, hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Y = f (x,, x2, ..... x,, .... , xn)
dimana Y adalah output dan x merupakan input pada proses produksi.
Dengan fungsi produksi seperti tersebut di atas, maka dapat diketahui
hubungan antara Y dan x sekaligus hubungan xi .... xn, dan x lainnya juga dapat
diketahui.
Drahan Bannonch dalam Waluyo (2007) pada bukunya “Economics”
memberikan pengertian tentang konsumsi, yaitu merupakan pengeluaran total
untuk memperoleh barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka
waktu tertentu (dalam satu tahun) pengeluaran. Pengeluaran konsumsi rumah
tangga tidak hanya terbatas pada pengeluaran untuk barang-barang yang tidak
tahan lama, tetapi juga dapat meliputi pengeluaran untuk barang-barang tahan
lama (durable goods).
Bila ditinjau kembali, variabel-variabel yang mempengaruhi konsumsi
sebenarnya tidak hanya pendapatan saja, akan tetapi ada variabel lain selain
pendapatan yang mempengaruhi konsumsi masyarakat atau seseorang,
diantaranya adalah variabel sosial ekonomi, tingkat harga, selera, tingkat suku
bunga, dan sebagainya. Namun Keynes menjelaskan bahwa konsumsi sangat
bergantung pada pendapatan sekarang. Oleh karena itu, ekonom menyatakan
bahwa konsumen memahami kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu.
Konsumen menatap sumber daya dan kebutuhan mereka di masa yang akan
datang, yang dinyatakan dalam fingsi konsumsi yang lebih kompleks
dibandingkan dengan fungsi konsusi yang Keynes berikan. Keynes menyatakan
fungsi konsumsi dalam bentuk sebagai berikut:
Konsumsi = f (pendapatan sekarang),
Sedangkan studi terbaru menyatakan sebagai berikut:
Konsumsi = f (pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan yang
diduga, tingkat suku bunga),
Dengan kata lain, pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan
dari konsumsi agregat (Mankiw, 2007).
23
3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive Integrated
Moving Average)
ARIMA sering disebut sebagai metode runtun waktu Box-Jenkins. ARIMA
sangat baik ketepatannya untuk peramalan jangka pendek, sedangkan untuk
peramalan jangka panjang ketepatan peramalannya kurang baik karena biasanya
akan cenderung flat (mendatar/konstan) untuk periode yang cukup panjang.
Model Autoregresif Integrated Moving Average (ARIMA) adalah model yang
secara penuh mengabaikan independen variabel dalam membuat peramalan.
ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk
menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. ARIMA cocok jika
observasi dari deret waktu (time series) secara statistik berhubungan satu sama
lain (dependent).
Menurut Sugiarto et al (2000), secara umum model ARIMA dirumuskan
dengan notasi ARIMA (p,d,q), dimana p menunjukkan orde atau derajat
Autoregressive (AR), d menunjukkan orde atau derajat Differencing (Pembedaan),
dan q menunjukkan orde atau derajat Moving Average (MA).
Model AR adalah suatu model yang menjelaskan pergerakan suatu variabel
melalui variabel itu sendiri di masa lalu. Model autoregressive orde ke-p dapat
ditulis sebagai berikut:
Xt = µ + Ø1Xt-1 + Ø2Xt-2 + … + ØpXt-p + ℮t
Dimana:
Øj = parameter autoregresif ke-j, j = 1,2, ... , p
℮t = nilai kesalahan pada saat t
µ = konstanta
Orde dari model AR (yang diberi notasi p) ditentukan oleh jumlah periode
variabel independen yang masuk dalam model.
Sedangkan model Moving Average (MA) adalah suatu model yang melihat
pergerakan variabelnya melalui residualnya di masa lalu yang dapat ditulis
sebagai berikut:
24
18
Xt = µ + ℮t – Ø1℮t -1 – Ø2℮t -2 – … – Øq℮t –q
Dimana:
Øj = parameter moving average ke-j, j = 1,2, ... , p
℮t-k = nilai kesalahan pada saat t-k
µ = konstanta
Orde pada mode MA (yang diberi notasi q) ditentukan oleh jumlah periode
variabel independen yang masuk dalam model. Perbedaan model MA dengan AR
terletak pada jenis variabel independen, yaitu pada model Autoregressive variabel
independennya adalah nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen itu sendiri.
Sedangkan pada model Moving Average variabel independennya adalah nilai
residual pada periode sebelumnya.
Gabungan dari kedua model tersebut adalah model ARIMA yang dapat ditulis
sebagai berikut:
Xt = µ + Ø1Xt-1 + Ø2Xt-2 + … + ØpXt-p + ℮t – Ø1℮t -1 – Ø2℮t -2 – … – Øq℮t –q
Analisis data menggunakan metode ARIMA bertujuan untuk menentukan
hubungan statistik yang baik antar variabel yang diramal dengan nilai historis
variabel tersebut sehingga peramalan dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
model tertentu. Pembuatan model dalam ARIMA terdiri atas tiga langkah dasar,
yaitu tahap identifikasi, tahap penaksiran dan pengujian, dan pemeriksaan
diagnostik. Selanjutnya model ARIMA dapat digunakan untuk melakukan
peramalan jika model yang diperoleh memadai.
Model ARIMA menggunakan orde baik nilai sebelumnya (lag) dari variabel
dependen maupun nilai residual periode sebelumnya, dengan penggabungan ini
diharapkan model ARIMA dapat mengakomodasi pola data yang tidak dapat
diidentifikasi secara terpisah oleh model MA maupun model AR. Menurut Arsyad
(2001), penerapan metode ARIMA memiliki tiga tahap yang terpisah yang
digambarkan oleh skema berikut:
25
Tahap 1: Identifikasi
Tahap 2: Penaksiran
dan Pengujian
Tahap 3: Penerapan
Gambar 3 Skema pendekatan Box Jenkins
Skema pendekatan Box Jenkins tersebut menjelaskan bahwa dalam
pembuatan model ARIMA terdiri atas tiga tahapan. Pada tahap pertama, peneliti
harus merumuskan kelompok model-model umum yang cocok untuk keadaan
yang diidentifikasi, selanjutnya dapat ditentukan model menjadi bentuk model
sementara. Pada tahap kedua yaitu tahap penaksiran dan pengujian, peneliti
mencocokkan model tersebut untuk data historis yang tersedia dan melakukan
suatu pengecekan untuk menentukan apakah model tersebut sudah cukup tepat
atau memadai. Jika model yang ditaksir memadai, maka dilanjutkan ke tahap
selanjutnya yaitu tahap ketiga dimana model yang telah ditaksir dapat digunakan
untuk peramalan. Sedangkan jika model yang ditaksir tidak memadai, maka
peneliti harus mengulang tahap sebelumnya.
Rumuskan kelompok
model-model yang
umum
Penetapan model untuk
sementara
Penaksiran parameter
pada model sementara
Pemeriksaan diagnosa
(apakah model memadai)
Gunakan model untuk
peramalan
Tidak
Ya
26
18
3.1.3 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu model
pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty untuk
mengatasi permasalahan multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi
suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hierarki didefinisikan sebagai suatu
representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi
level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub
kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan
hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-
kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hierarki sehingga
permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Secara umum, dengan
menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan
teori, logis, transparan, dan partisipatif.
Analytical Hierarchy Process memberikan suatu kerangka dimana kerangka
tersebut memungkinkan seseorang untuk mengambil keputusan yang efektif atas
persoalan kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses
pengambilan keputusan yang dialami. Pada dasarnya, metode AHP ini memecah-
mecah suatu situasi yang kompleks, tidak terstruktur kedalam bagian-bagian
komponennya kemudian menata bagian-bagian atau variabel tersebut kedalam
suatu susunan hierarki, memberi penilaian berupa numerik pada pertimbangan
subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel, serta mensintesis berbagai
pertimbangan untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling
tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut.
Pada penerapan metode AHP yang diutamakan adalah kualitas dari data
responden, dan tidak tergantung pada kuantitasnya (Saaty, 1993). Oleh karena itu,
penialian AHP memerlukan para pakar sebagai responden dalam pengambilan
keputusan dalam pemilihan alternatif. Para pakar disini merupakan orang-orang
kompeten yang benar-benar menguasai, mempengaruhi pengambilan kebijakan
atau benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Untuk jumlah responden
dalam metode AHP ini tidak memiliki perumusan tertentu, namun ada batas
minimum yaitu dua orang responden.
27
Selain membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan
menstruktur suatu hierarki kriteria, pihak yang berkepentingan dan hasil serta
dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau
prioritas, metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang
bersangkkutan pada berbagai persoalan. Kemudian mensintesis berbagai
pertimbangan yang beragamk menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan
manusia secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan
yang telah dibuat. Selanjutnya AHP juga memiliki perhatian khusus tentang
penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan ketergantungan di dalam dan luar
kelompok elemen strukturnya.
Analytical Hierarchy Process mentoleransi tingkat konsistensi sebesar
kurang dari 10%, apabila lebih dari 10% maka responden dianggap tidak
konsisten dalam menjawab pertanyaan dan diperbolehkan melakukan perbaikan
atas penilaian yang diberikan (Tumada, 2012).
Konsistensi dalam hal ini diartikan sebagai intensitas hubungan antar
elemen yang didasarkan pada kriteria tertentu, saling meembenarkan secar logis.
Pengujian konsistensi dilakukan sebagai cara untuk melihat konsistensi jawaban
penilaian pasangan terhadap perbandingan maupun struktur hierarki
permasalahan. Hal tersebut dikarenakan pada kenyataannya menunjukkan bahwa
sangat tidak mungkin untuk memperoleh jawaban responden yang absolut
konsisten.
Pengolahan data dilakukan dengan mentabulasikan hasil wawancara
penelitian dalam bentuk tabel untuk kemudian dihitung nilai geomeannya
(geometric mean), yaitu nilai sentral yang dianggap mewakili nilai seluruh data
yang diperoleh dari nilai kualifikasi persepsi dikalikan satu dengan lainnya dicari
pangkat dari jumlah responden. Persepsi yang digunakan pada metode ini
diperoleh dari responden yang dianggap sebagai ahli pada bidangnya, yaitu
seseorang yang benar-benar paham terkait permasalahan yang diajukan,
merasakan akibat suatu masalah terkait, ataupun seseorang yang memiliki
kepentingan terhadap masalah tersebut.
28
18
Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain adalah:
1. Struktur yang berhierarki sebagai konskwensi dari kriteria yang dipilih sampai
pada sub-sub kriteria yang paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai batas toleransi inkonsentrasi sebagai kriteria
dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas
pengambilan keputusan.
Selain kelebihan tersebut, metode AHP juga memiliki kekurangan atara lain
adalah ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa
persepsi seseorang ahli atau peneliti sehingga dalam hal ini melibatkan
subyektifitas. Kelemahan lainnya adalah bahwa metode AHP hanya metode
matematis tanpa ada pengujian statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari
kebenaran model yang terbentuk.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Pertambahan jumlah penduduk yang disertai dengan berkembang pesatnya
industri dari berbagai sektor di dalam negeri khususnya industri peternakan
menyebabkan laju konversi juga meningkat. Peningkatan konversi lahan tersebut
menyebabkan lahan pertanian semakin berkurang karena telah beralih menjadi
lahan non pertanian untuk kebutuhan perumahan, perkantoran, dan lokasi industri.
Penurunan lahan pertanian menyebabkan luasan panen untuk beberapa komoditas
menjadi berkurang, khususnya komoditas jagung. Berkembangnya industri
peternakan terutama peternakan ayam menyebabkan permintaan terhadap pakan
konsentrat dimana bahan utama untuk pembuatan pakan konsentrat tersebut
adalah jangung mengalami peningkatan. Berbagai upaya dilakukan untuk
menggantikan sebagian jagung dengan bahan baku lain, namun belum berhasil
karena kandungan nutrisi dan energi dari biji jagung yang tidak ditemukan pada
biji-bijian lain.
Tingginya jumlah penduduk Indonesia yang menyebabkan kebutuhan
konsumsi untuk pangan dan pakan juga meningkat ternyata belum mampu
dipenuhi oleh jumlah produksi dari dalam negeri. Ketimpangan antara produksi
dan konsumsi tersebut sudah menjadi suatu masalah pada banyak negara
29
berkembang, salah satunya Indonesia. Konsumsi jagung yang terus meningkat dan
tidak diimbangi dengan jumlah produksi dalam negeri menyebabkan terjadinya
defisit dalam pemenuhan permintaan jagung. Oleh karena itu, untuk memenuhi
kebutuhan permintaan jagung dalam negeri, pemerintah melakukan impor jagung
dari pasar dunia. Jika dilihat pada tabel perkembangan volume ekspor-impor
jagung di Indonesia, neraca ekspor-impor menunjukkan angka negatif yang
artinya Indonesia mengalami defisit dimana nilai impor lebih besar daripada
ekspor. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka Indonesia tidak akan mampu
mencapai ketahanan pangannya. Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut
pemerintah mencanangkan program swasembada jagung dalam rancangan
Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019 dengan target
produksi nasional pada tahun 2017 sebesar 25 juta ton. Berdasarkan target
tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada
pemerintah ataupun khalayak umum untuk mendapatkan informasi mengenai
kondisi komoditas jagung di Indonesia yang selanjutnya dapat dijadikan referensi
untuk pemerintah dalam pelaksanaan upaya peningkatan produksi jagung untuk
kedepannya. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung nasional
dideskripsikan dengan menggunakan konsep analisis statistika deskriptif.
Selanjutnya dalam menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi untuk
melakukan peramalan terkait pencapaian target swasembada jagung digunakan
metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) dengan membuat
suatu model peramalan ARIMA. Peramalan ini dilakukan untuk memproyeksikan
produksi dan kondisi komoditas jagung hingga tahun 2017. Peramalan ini
dilakukan untuk memperoleh jawaban apakah pada tahun tersebut program
swasembada dapat tercapai sesuai dengan target yang telah dibuat oleh
pemerintah. Jika hasil ramalan menunjukkan nilai konsumsi lebih besar daripada
produksi, maka target swasembada masih belum tercapai. Sedangkan apabila hasil
peramalan menunjukkan produksi sama dengan atau lebih besar daripada
konsumsi, maka swasembada jagung dapat tercapai pada tahun tersebut.
Tahap selanjutnya adalah menyusun strategi untuk menyiapkan alternatif
kebijakan terkait swasembada jagung nasional. Perumusan strategi dilakukan
dengan metode wawancara menggunakan alat analisis yaitu Analisis Hierarki
30
18
Proses (AHP). Wawancara dilakukan kepada stakeholder yang ahli pada bidang
pertanian khususnya komoditas pangan. Hasil analisis dengan metode AHP
kemudian dapat dijadikan sebagai pertimbangan pemerintah untuk membentuk
suatu kebijakan sebagai upaya untuk mencapai swasembada jagung sesuai target
yang telah dicanangkan melalui Kementerian Pertanian. Adapun alur kerangka
pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional
Penentuan Strategi
Untuk Alternatif
Kebijakan:
Metode AHP
Perkembangan
Tingkat Produksi
dan Konsumsi
Jagung Nasional:
Analisis Deskriptif
Jagung Sebagai Bahan Pakan Utama
Produksi Dan Konsumsi Jagung yang Tidak Seimbang
Ketahanan Pangan Tidak Tercapai
Impor Jagung Untuk
Memenuhi Permintaan
Dalam Negeri
Peningkatan
Permintaan
Jagung
Target Swasembada Jagung Nasional Tahun 2017 Sebesar 25 Juta Ton
Peramalan Produksi
dan Konsumsi
Jagung Hingga
Tahun 2017:
Metode ARIMA
Hasil dan Rekomendasi Kebijakan
31
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi jagung domestik dalam
rangka pencapaian swasembada jagung nasional tahun 2017 ini dilakukan pada
lingkup nasional. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari – Mei 2016.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara kepada keypersons atau
orang yang ahli terkait topik penelitian, diantaranya adalah Kepala Seksi
Ekstensifikasi dan Intensifikasi Jagung dan Serealia Lain dan Pemberdayaan dari
Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang dianggap sebagai pemegang
peran dalam pengambil kebijakan mengenai topik penelitian, serta peneliti dari
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Pengambilan data primer
dilakukan dengan menggunakan kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP).
Sedangkan data sekunder berasal dari laporan statistik, laporan penelitian, laporan
tahunan maupun data lain berupa tulisan, tabel, diagram, grafik, gambar dan
informasi lainnya yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah, lembaga swasta,
maupun pihak lain yang terkait dengan topik penelitian ini. Data yang digunakan
meliputi data luas areal panen jagung, produktivitas jagung, produksi jagung,
konsumsi jagung, jumlah impor jagung, dan jumlah penduduk Indonesia.
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini akan dilakukan mengunakan software
Minitab version 16 untuk memproyeksikan data produksi dan konsumsi jagung
domestik yang kemudian akan dijabarkan dengan menggunakan metode analisis
statistik deskriptif. Model peramalan yang digunakan adalah metode ARIMA
Box-Jenkins. Software lain yang digunakan adalah Expert Choice untuk
menentukan alternatif strategi yang paling tepat untuk menentukan kebijakan
dalam rangka pencapaian swasembada jagung nasional. Sedangkan metode yang
digunakan untuk menentukan strategi pemerintah dalam membuat alternatif
kebijakan adalah metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
32
18
4.3.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan
pengumpulan data sehingga memberikan informasi yang berguna. Upaya
penyajian ini dimaksudkan untuk mengungkap informasi penting yang terdapat
dalam suatu data ke dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana. Menurut
Nurgiyantoro et al. (2009), metode analisis statistik deskriptif digunakan untuk
menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif, disertai
dengan perhitungan sederhana untuk memperjelas keadaan atau karakteristik data
yang bersangkutan. Pada penelitian ini, metode analisis statistik deskriptif
digunakan untuk menganalisis perkembangan tingkat produksi dan konsumsi
jagung domestik.
4.3.2 Metode ARIMA
Penelitian ini akan diawali dengan melakukan analisis terkait perkembangan
produksi dan konsumsi jagung domestik dari tahun 1984 hingga tahun 2014.
Analisis ini dilakukan untuk selanjutnya dapat mengetahui tingkat produksi dan
konsumsi jagung hingga tahun 2017.
Metode ARIMA memanfaatkan sepenuhnya data masa lalu dan data
sekarang untuk menghasilkan peramalan yang akurat. Metode ini berbeda dari
metode peramalan lalinnya karena metode ini tidak mensyaratkan satu pola data
tertentu supaya model dapat bekerja dengan baik, dengan kata lain metode
ARIMA dapat dipakai untuk semua tipe pola data. Metode ARIMA akan bekerja
dengan baik apabila data runtut waktu yang digunakan bersifat dependen atau
berhubungan satu sama lain secara statistik (Sugiarto et al, 2000).
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa gabungan dari
Autoregressive (p) dan Moving Average (q) akan membentuk model ARIMA
(p,d,q) dimana p adalah ordo/derajat dari AR, d merupakan ordo/derajat dari
differencing, dan q adalah ordo/derajat dari MA. Tingkat dari model AR (nilai p)
ditunjukkan oleh jumlah observasi atau pengamatan masa lalu yang akan
dimasukkan ke dalam model untuk meramalkan periode yang akan datang.
Misalnya, AR (2) merupakan model Autoregressive tingkat dua yang
menggunakan dua nilai masa lalu terakhir dalam model. Komponen model I (d)
33
menunjukkan pembedaan data yang digunakan untuk menghasilkan kestasioneran
data (Aritonang, 2009). Hal ini dapat juga dikatakan bahwa banyaknya perlakuan
differencing (d) menunjukkan tingkat diferensiasi model. Tingkat model MA
(nilai q) ditunjukkan oleh banyaknya error masa lalu yang digunakan dalam
model dalam peramalan periode yang akan datang. Misalnya, jika dalam model
digunakan tiga error peramalan pada masa lalu maka dinamakan model Moving
Average tingkat tiga yang dapat ditulis sebagai MA (3).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, metode ini dapat dilakukan dengan
tiga tahap. Pada tahap identifikasi, peneliti harus menentukan kestasioneran data.
Menurut Firdaus (2006), data yang stasioner memenuhi kondisi sebagai berikut:
1. Nilai tengah atau rataan series konstan untuk setiap periode pengamatan. Hal
ini dapat dituliskan E(Zt) = µ untuk setiap t.
2. Ragam atau varian series konstan untuk setiap periode pengamatan. Hal ini
dapat dituliskan Var (Zt) = E [(Zt - µ)2] = 𝜎𝑥
2 untuk setiap t.
3. Koragam atau kovarian dua series konstan untuk setiap periode pengamatan.
Hal in dapat dituliskan Cov (Zt, Zt-k) = E [(Zt - µ)( Zt-k - µ] = 𝜎𝑥2 untuk setiap t.
Data yang stasioner dapat juga disebut sebagai data yang tidak mengandung
trend. Kestasioneran data dapat dilihat dari uji Augmented Dicky Fuller (ADF)
melalui pengamatan pola ACF dan PACF.
Tabel 6 Pola ACF dan PACF pada model ARIMA
Model ACF PACF
MA (q) Terpotong (cut off) setelah
lag q (q=1 atau q=2)
Perlahan-lahan menghilang (dies
down)
AR (p) Perlahan-lahan menghilang
(dies down)
Terpotong (cut off) setelah lag q
(q=1 atau q=2)
ARMA
(p,q)
Perlahan-lahan menghilang
(dies down)
Perlahan-lahan menghilang (dies
down) Sumber: Hanke et al (2003)
Data yang rata-ratanya tidak stasioner dapat ditransformasi (distasionerkan)
dengan metode pembedaan atau differencing, yaitu data yang asli diganti dengan
mengurangi nilai dua pengamatan yang berurutan pada data asli tersebut. Jika data
sudah stasioner, maka I(1) dapat digunakan dalam model ARIMA, namun jika
34
18
belum stasioner maka perlu dilakukan differencing sesuai dengan diferensiasi
derajat berapa data tersebut mencapai kestasioneran.
First order difference : ΔXt = Xt - Xt-1
Second order difference : Δ2Xt = Δ(Xt) = Δ (Xt - Xt-1)
= Xt - 2Xt-1 + Xt-2
Ketidakstasioneran varian mungkin terjadi karena adanya varian musim.
Varian dapat distasionerkan dengan mentransformasikan data menjadi bentuk
logaritma atau pangkat, misalnya Xt diubah menjadi bentuk logaritma log Xt. Jika
varian masih belum stasioner maka dapat dicoma logaritma natural (ln). Contoh
(ln) pada data perbedaan pertama adalah ln (Xt) – (Xt-1). Kadangkala,data yang
dilogaritmakan adalah data pembedaan pertama atau kedua agar rata-rata dan
variannya bisa stasioner sekaligus (Aritonang, 2002).
Langkah selanjutnya adalah estimasi dan pengujian model. Pada estimasi
model dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Cara mencoba-coba (trial and error)
Pengujian terhadap beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantara nilai-
nilai tersebut yang memiliki jumlah kuadrat nilai sisa (galat) (sum of squared
residuals) yang minimum.
b. Perbaikan secara iteratif (pengulangan)
Memilih nilai taksiran awal dan membiarkan program komputer untuk
memperhalus penaksiran tersebut secara iteratif (berulang).
Tahap terakhir pada metode ini dilakukan uji diagnostik dalam upaya untuk
memastikan apakah model yang diestimasi sudah baik atau belum. Model harus
memenuhi beberapa kriteria untuk dapat menjadi model yang terbaik, yaitu
(Firdaus, 2006):
a. Residual peramalan bersifat acak dan tersebar normal
Residual dapat dikatakan tidak berpola atau tersebar acak apabila tidak terdapat
autokorelasi dan parsial autokorelasi yang signifikan pada pola ACF dan
PACF. Pola ACF dan PACF dari residual ini , jika dalam grafik menunjukkan
pola cut off atau secara statistik harus sama dengan nol. Jika tidak, kondisi ini
mengindikasikan bahwa model yang digunakan belum sesuai dengan data.
35
Untuk menguji autokorelasi residual dapat menggunakan uji statistik Chi-
square (X2) berderajat bebas m-r yang diuji menggunakan uji Ljung Box (Q).
Hipotesis:
H0:ρ1 = ρ2 = ..... = ρm = 0
H1:ρ1 ≠ ρ2 = ..... ≠ ρm ≠ 0
Statistik uji:
Q = n(n+2) ∑𝑟2𝑘(𝑒)
𝑛−𝑘
𝑚𝑘=1
dimana:
n = jumlah residual
k = selang waktu
m = jumlah selang waktu yang disertakan dalam pengujian
r = jumlah total parameter estimasi dalam model ARIMA (p-q)
rk (e) = fungsi autokorelasi sampel dari residual ke-k
kesimpulan:
jika Q > X2
a(m-r) atau apabila nilai P (P-value) terkait dengan statistik Q kecil
(misalnya P < 0,05) maka tolak H0 dan model dipertimbangkan tidak memadai.
b. Berlaku prinsip parsimonious
Model yang dipilih merupakan model dalam bentuk yang paling efisien dimana
memiliki jumlah parameter paling sedikit.
c. Parameter yang diestimasi harus berbeda nyata dari nol
Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value kooefisien yang kurang dari 0.05. Jika
ingin menguji ρk menggunakan uji-t pada tingkat signifikan 0.05 maka dapat
digunakan nilai t-table = 2 sebagai batas nilai kritis dengan hipotesisnya
adalah:
H0 : ρk = 0
H1 : ρk ≠ 0
H0 : tidak terdapat autokorelasi pada deret waktu
H1 : terdapat autokorelasi yang nyata pada selang waktu ke- k
36
18
Statistik uji:
t = 𝑟𝑘−𝜌𝑘
√variance , atau t =
𝑟𝑘−𝜌𝑘
𝑆𝐸 (𝑟𝑘) , atau t =
𝑟𝑘
1
√𝑛 √1+2 ∑𝑟𝑗
2
dimana:
rk = koefisien autokorelasi antara dua set data
SE(rk) = galat baku autokorelasi selang k
k = lag atau selang
n = jumlah observasi
j = 1, ..., k-1, dan j<k
kriteria uji:
Statistik H0 menyebar dengan derajat bebas (n-1) untuk α = 5% dari tabel.
Kesimpulan:
Bila t hitung < Ta/2(n-1) atau jika nilai mutlak dari t hitung |t| <2 dapat
disimpulkan tidak tolak H0 dimana artinya tidak terdapat autokorelasi ρk = 0.
d. Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas
Hal ini ditunjukkan oleh jumlah koefisien masing-masing AR atau MA harus
kurang dari 1. Zt adalah fungsi linier dari data stasioner yang lampau (Zt-1, Zt-2,
…). Dengan mengaplikasikan analisis regresi pada nilai lag deret stasioner,
maka dapat diperoleh autoregresi karena komponen trend sudah dihilangkan.
Data stasioner Zt saat ini adalah fungsi linier dari galat masa kini dan masa
lampau.
Zt = μ + εt – θ1εt-1 – θ2εt-2 – … – θqεt-qs
Jumlah koefisien MA harus kurang dari 1
θ1 + θ2 + … + θq < 1 (kondisi invertibiliti)
Zt = δ + θ1Zt-1 – θ2Zt-2 + … + εt
e. Proses iterasi harus konvergen
Proses harus berhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan Sum
Square Error (SSE) terkecil. Apabila syarat tersebut telah terpenuhi maka pada
sessioen akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less than
0.0010.
f. Nilai MSE model harus kecil
MSE = 1
𝑛 ∑ ɛ𝑡
2𝑛𝑡=1
37
Metode peramalan yang memiliki nilai MSE paling kecil menunjukkan bahwa
hasil peramalan tersebut akan semakin mendekati nilai aktualnya (forecasting
power semakin kuat) dimana artinya model secara keseluruhan lebih baik.
Model yang telah memenuhi kriteria-kriteria yang dijelaskan di atas dapat
dikatakan sebagai model terbaik. Model terbaik ini mampu menggambarkan
hubungan antar variabelnya baik variabel dependen dengan variabel independen
maupun hubungan antar variabel independen.
Ketika kriteria-kriteria tersebut diatas telah terpenuhi sehingga dihasilkan
model yang terbaik, maka proses peramalan untuk satu atau beberapa periode
yang akan datang dapat dilakukan. Peramalan dilakukan untuk mengetahui nilai
pada masa yang akan datang dan dapat memberi gambaran keadaan pada masa
yang akan datang tersebut sehingga dapat berguna bagi masa sekarang untuk
mempersiapkan suatu kebijakan atau perencanaan terbaik dalam menghadapi
keadaan yang telah diramalkan nantinya. Evaluasi ulang terhadap model perlu
dilakukan terhadap model yang dipilih kerena kemungkinan terdapat perubahan
pada pola data. Dari hasil peramalan tersebut akan dapat dilihat apakah
swasembada jagung nasional tahun 2017 dapat tercapai.
4.3.3 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Untuk menganalisis strategi yang dapat dilakukan dalam menentukan
alternatif yang tepat terkait kebijakan swasembada jagung di Indonesia, maka
dirumuskan persepsi oleh pelaku yang ahli di bidangnya. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Responden
yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi para stakeholder antara lain:
1. Kementerian Pertanian sebagai mitra pemerintah, dengan pertimbangan bahwa
responden ini dianggap banyak mengetahui tentang berbagai macam kebijakan
terkait dengan program swasembada pangan.
2. Praktisi atau pakar yang ahli di bidang ekonomi pertanian. Responden ini
dipilih dengan pertimbangan bahwa ilmu yang dimiliki berkaitan dengan topik
penelitian.
3. Pelaku usaha yang dianggap sebagai ahli atau banyak mengatahui hal terkait
produksi jagung.
38
18
Menurut Saaty (1993), terdapat beberapa langkah dalam penggunaan
metode AHP sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah, yaitu:
1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan.
2. Membuat struktur hieraki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh.
3. Menyusun matriks banding pasangan. Matriks perbandingan pasangan ini
berfungsi untuk mengetahui kontribusi dan pengaruh setiap elemen yang
relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat di atasnya.
4. Mendapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan
perangkat matriks di langkah 3. Untuk mengisi matriks banding berpasangan,
digunakan skala banding yang tertera pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Nilai dan skala banding berpasangan
Intensitas Pentingnya Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama
pentingnya
Dua elemen menyumbang
sama besar pada sifat itu
3
Elemen yang satu sediit lebih
penting daripada elemen yang
lainnya
Pengalaman dan pertimbangan
sedikit menyokong satu
elemen atas elemen lainnya
5
Elemen yang satu sangat
penting daripada elemen
lainnya
Pengalaman dan pertimbangan
kuat
7
Satu elemen jelas lebih penting
daripada elemen yang lainnya
Bukti yang menyokong
elemen yang satu atas yang
lainnya memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang
mungkin menguatkan
9
Satu elemen mutlak lebih
penting daripada elemen
lainnya
Bukti yang menyokong
elemen yang satu atas yang
lainnya memiliki tingkat
penegasan yang tertinggi yang
mungkin menguatkan
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai diantara dua
pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperhatikan di
antara dua pertimbangan
Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila
dibandingkan dengan i. Sumber: Saaty, 1991.
Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen
dibandingkan dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat kriteria tertentu.
Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke
kanan bawah.
39
5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal
utama.
6. Melaksanakan langkah 3, 4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam
hierarki tersebut. Matriks perbandingan dalam AHP dibedakan menjadi dua,
yaitu Matriks Pendapat Individu (MPI) dan Matriks Pendapat Gabungan
(MPG). Matriks Pendapat Individu adalah matriks hasil pembandingan yang
dilakukan oleh individu. Model MPI dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Matriks Pendapat Individu
X A1 A2 A3 ... An
A1 a11 a12 a13 ... a1n
A2 a21 a22 a23 ... g2n
A3 a31 a32 a33 ... g3n
... ... ... ... ... ...
An gn1 gn2 gn3 ... gnn Sumber: Saaty, 1991.
Matriks Pendapat Individu (MPI) membandingkan setiap elemen pada hierarki
yang sama dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan. Matriks
ini memiliki elemen yang disimbolkan dengan aij, yaitu elemen matriks pada
baris ke i dan kolom ke j.
Matriks Pendapat Gabungan (MPG) adalah susunan matriks baru yang elemen
(gij) berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio
inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10% dan setiap elemen pada
baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan lainnya tidak terjadi
konflik. Model MPG dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Matriks Pendapat Gabungan
X G1 G2 G3 ... Gn
G1 g11 g12 g13 ... g1n
G2 g21 g22 g23 ... g2n
G3 g31 g32 g33 ... g3n
... ... ... ... ... ...
Gn gn1 gn2 gn3 ... gnn Sumber: Saaty, 1991.
Rumus rataan geometrik adalah sebagai berikut:
Gij = √𝜋𝑘=1𝑛 𝑎𝑖, 𝑗(𝑘)𝑛
(1)
40
18
Dengan: n = jumlah responden (pakar)
𝑎i,j = sel penilaian setiap pakar
7. Menggunakan komposisi secara hierarki untuk membobotkan vektor-vektor
prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai
prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah
berikutnya dan seterusnya. Adapun vektor prioritas dapat dihitung dengan
rumus:
VP (Vektor Prioritas) = 𝑣𝜀
∑ √𝜋𝑖𝑛𝑎𝑖,𝑗
𝑛 (2)
Dimana:
Vektor Eigen (Vɛ) = √𝜋𝑖𝑛𝑎𝑖,𝑗
𝑛 (3)
Dengan: ai,j = elemen MPB pada baris ke-i dan kolom ke-j
n = jumlah elemen yang diperbandingkan
8. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hierarki.
Pengukuran konsistensi ini diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban
yang berpengaruh terhadap kesahihan hasil. Rasio inkonsistensi hierarki harus
10% atau kurang. Rumus untuk penrhitungan Indeks Konsistensi (CI) adalah
sebagai berikut:
CI = 𝜆𝑚𝑎𝑥−𝑛
𝑛−1 (4)
Dengan: CI = Indeks Konsistensi
𝜆𝑚𝑎𝑥= eigen value maksimum
n = jumlah elemen yang diperbandingkan
dimana:
𝜆𝑚𝑎𝑥= ∑𝑉𝐵
𝑛 (5)
VB = 𝑉𝐴
𝑉𝑃 (6)
VA = ai,j x VP (7)
41
Random Index (RI) adalah indeks acak yang dikeluarkan oleh OAK RIDGE
LABORATORY, dari matriks berorde 1 sampai 15 dengan menggunakan sampel
berukuran 100.
Tabel RI tersebut disajikan sebagai berikut:
Tabel 10 Random Index (RI)
N 1 2 3 4 5 6 7
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32
N 8 9 10 11 12 13 14
RI 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,57 1,59
Sumber : Fewidarto, 1996
Analytical Hierarchy Process merupakan suatu metode pengambilan
keputusan yang dilakukan dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks
dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompok dan mengaturnya ke dalam
suatu hierarki. Berikut ini adalah penyusunan hierarki penelitian dalam AHP,
dimana aspek dan kriteria dalam hierarki ini dilakukan dengan memutuskan
berbagai macam alternatif strategi yang terkait dengan kebijakan swasembada
jagung di Indonesia.
42
18
Tujuan
Kriteria
Alternatif
Gambar 5 Struktur hierarki kebijakan swasembada jagung
42
Kelembagaan dan
pembiayaan
Penataan kelompok dan
koperasi tani
Pengembangan
kemitraan antara petani
dan pelaku
usaha/lembaga terkait
lainnya
Pengembangan
penyuluhan
Pengamanan
produksi
Pengembangan
lumbung dan gudang
Perbaikan teknologi
panen dan pascapanen
Perluasan areal
Perbaikan lahan irigasi
Pengembangan
konservasi
Perbaikan fasilitas
produksi
Optimalisasi lahan
Peningkatan
produktivitas
Pengembangan cara
tanam
Irigasi
Pemupukan berimbang
dan organik
Pengendalian OPT
Perbaikan mutu benih
Strategi peningkatan output/produksi dalam rangka
pencapaian swasembada jagung
43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik
Peran jagung sebagai bahan utama pakan ternak menjadikan jagung sebagai
salah satu komoditas pangan strategis yang bernilai ekonomis dan memiliki
peluang untuk dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan jagung merupakan
sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Peningkatan produksi jagung
nasional baru terlihat setelah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Hal
ini antara lain disebabkan oleh kebijakan pembangunan sejak akhir 1960an
sampai tercapainya swasembada beras terfokus pada upaya peningkatan produksi
padi (Kasryno, et al, 2007).
Secara keseluruhan, produksi jagung di Indonesia dari tahun 1984-2014
cenderung mengalami fluktuasi namun secara umum meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 6,40% per tahun (Gambar 6). Sedangkan total rata-rata
produksi sebesar 10,597 juta ton per tahun. Produksi jagung selama kurun waktu
1984 hingga tahun 2014 tertinggi dicapai pada tahun 2012 yaitu sebesar 19,387
juta ton. Tabel 11 berikut menunjukkan perkembangan produksi jagung di
sepuluh provinsi sentra pada tiga tahun berturut-turut, yaitu dari tahun 2012
hingga tahun 2014.
Tabel 11 Perkembangan Produksi Jagung di 10 Provinsi Sentra Produksi Jagung
Tahun 2012-2014
No Provinsi Produksi (Ton) Rata-rata
Produksi (Ton) 2012 2013 2014
1 Jawa Timur 6.295.301 5.760.959 5.737.382 5.931.214
2 Jawa Tengah 3.041.630 2.930.911 3.051.516 3.008.019
3 Lampung 1.760.275 1.760.278 1.719.386 1.746.646
4 Sulawesi Selatan 1.515.329 1.250.202 1.490.991 1.418.841
5 Sumatera Utara 1.347.124 1.183.011 1.159.795 1.229.977
6 Jawa Barat 1.028.653 1.101.998 1.047.077 1.059.243
7 Nusa Tenggara
Barat 642.674 633.773 785.864 687.437
8 Gorontalo 644.754 669.094 719.780 677.876
9 Nusa Tenggara
Timur 629.386 707.642 647.108 661.379
10 Sumatera Barat 495.497 547.417 605.352 549.422 Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015
44
18
Pada Tabel 11 terlihat bahwa provinsi yang paling banyak berkontribusi
dalam menyumbang produksi jagung adalah Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata
produksi pada tahun 2012 hingga 2014 sebesar 5,9 juta ton. Disusul oleh Provinsi
Jawa Tengah dan selanjutnya Lampung. Provinsi-provinsi tersebut dapat
memproduksi jagung dalam jumlah yang besar karena karakteristik wilayahnya
yang sesuai untuk ditanami tanaman jagung.
Menurut Tangendjaja, et al (2002), meningkatnya produksi jagung didorong
oleh cepatnya perkembangan industri pakan dalam rangka memenuhi kebutuhan
daging ayam (unggas) dan telur. Produksi merupakan perkalian antara luas panen
dan produktivitas, sehingga pola perkembangan produksi dipengaruhi oleh
keduanya. Pada Gambar 6 terlihat bahwa perkembangan produksi dan
produktivitas menunjukkan pola yang sejajar. Hal ini mengindikasikan bahwa
produktivitas mempengaruhi total produksi jagung.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Gambar 6 Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Indonesia
Tahun 1984-2014
Perkembangan produksi jagung selama dua dekade yaitu dari tahun 1984
hingga tahun 2004 menunjukkan tren yang semakin meningkat. Keberhasilan
pengembangan produksi jagung tersebut didukung oleh perkembangan sentra-
sentra produksi jagung yang selama ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan
jagung nasional. Kecenderungan yang semakin meningkat tersebut karena adanya
kebutuhan komoditas jagung yang mulai bergeser penggunaannya pada periode
1990 hingga tahun 2002 yaitu untuk pakan ternak walaupun masih didominasi
untuk konsumsi langsung. Kemudian setelah tahun 2002, penggunaan jagung
sudah mulai lebih banyak untuk kebutuhan industri pakan selain industri pangan.
Jika dilihat perkembangan produksi jagung pada sepuluh tahun terakhir
(tahun 2004 hingga tahun 2014), produksi jagung mengalami pertumbuhan positif
0
10.000
20.000
30.000
19
84
19
85
19
86
19
87
19
88
19
89
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
Luas Panen (ribu ha) Produksi (ribu ton)
Produktivitas (kwintal/ha)
45
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,54% per tahun. Selama periode tersebut
terjadi tiga kali penurunan produksi jagung, yaitu tahun 2006 produksi jagung
turun sebesar 7,31% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 11,609 juta ton,
namun pada tahun 2007 produksi jagung nasional kembali meningkat karena
diterapkannya program penggunaan bibit unggul. Tahun 2011 produksi jagung
kembali mengalami penurunan sebesar 3,74% dari tahun sebelumnya atau
mencapai 17,643 juta ton, dan yang terakhir pada tahun 2013 penurunan produksi
sebesar 4,51% menjadi sebesar 18,512 juta ton. Penurunan produksi pada tahun
2013 diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 136 ribu hektar atau
turun sebesar 3,44% dari tahun sebelumnya. Penurunan produksi jagung ini pada
tahun 2013 hanya terjadi di Pulau Jawa. Selain karena luas areal yang berkurang,
penurunan total produksi juga terjadi karena faktor cuaca. Pada triwulan II akhir
tahun, terjadi musim kemarau basah yang bagus untuk menanam padi akan tetapi
tidak begitu bagus untuk jagung. Penurunan produksi jagung selain karena
beberapa faktor tersebut juga disebabkan karena petani jagung beralih menanam
tanaman hortikultura seperti cabai dan bawang karena harga jual di tingkat petani
yang sangat rendah. Alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan untuk
kebutuhan perumahan atau bangunan lainnya juga menjadi alasan turunnya
produksi jagung.
Dalam upaya peningkatan produksi pada periode 1984 hingga 2014,
berbagai upaya telah dilakukan pemerintah. Pada tahun 1986, pemerintah telah
menerapkan kebijakan subsidi benih untuk padi, kedelai, dan jagung. Pemberian
subsidi ini dilakukan dalam tujuan untuk mendorong penggunaan benih bermutu
atau berlabel varietas unggul yang lebih luas di tingkat petani. Bentuk subsidi
yang diberikan kepada petani oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan
kualitas dan kuantitas benih adalah subsidi tidak langsung (subsidi harga input)
dan subsidi langsung. Subsidi langsung benih dilaksanakan dalam bentuk Bantuan
Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Nasional (CBN).
Tujuan dari program subsidi benih jagung adalah untuk meningkatkan luas
pertanaman jagung hibrida, produktivitas dan produksi jagung, kesempatan kerja
dan pendapatan petani, mendorong berkembangnya industri benih jagung nasional
dan industri pakan serta pangan berbahan baku jagung, serta mendukung upaya
46
18
pencapaian swasembada jagung. Namun seiring dengan pelaksanaannya,
mekanisme pendistribusiannya dianggap belum efektif.
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2015 (Diolah)
Gambar 7 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik Tahun 1984-2014
Pada Gambar 7, terlihat perkembangan produksi dan konsumsi jagung
domestik tahun 1984 hingga tahun 2014. Berdasarkan Gambar 7, terjadi
perkembangan yang fluktuatif baik dari produksi maupun konsumsinya. Pada
grafik pula terlihat garis kurva konsumsi yang berada di atas garis kurva produksi.
Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan akan jagung domestik lebih besar
dibandingkan dengan produksinya. Garis kurva konsumsi yang semakin jauh
dengan garis kurva konsumsi meunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang
tinggi antara produksi dan konsumsi jagung di Indonesia. Kesenjangan tersebut
merupakan besarnya kekurangan jumlah pasokan jagung yang dibutuhkan dalam
negeri, sehingga untuk menutupi kekurangan permintan jagung dilakukan impor.
Konsumsi jagung domestik selama periode 1984 hingga tahun 2014
menunjukkan adanya peningkatan. Konsumsi jagung tertinggi terjadi pada tahun
2012 dengan total konsumsi sebesar 19.759,8 ribu ton. Peningkatan konsumsi
jagung secara tidak langsung dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan terhadap
ayam broiler yang berdampak pada peningkatan permintaan jumlah pakan ternak,
dimana bahan utama dari pakan ternak tersebut adalah jagung.
5.2 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Domestik
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan ARIMA, diperoleh hasil
model terbaik untuk produksi adalah ARIMA (1,1,0) dan konsumsi adalah
ARIMA (1,1,0). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa kedua model sudah
memenuhi syarat kriteria model terbaik, yaitu model relatif sudah memiliki
0
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
Produksi (ton)
Konsumsi (ton)
47
bentuk yang sederhana, nilai ρ-value koefisien kurang dari 0,05 (taraf nyata),
jumlah koefisien AR atau MA kurang dari 1, terdapat pernyataan relative change
in estimate less than 0,0010, model memiliki MSE paling kecil dibanding model
lain (Lampiran 5 dan Lampiran 6), dan ACF dan PACF dari residual
menunjukkan pola cutt off (Lampiran 7 dan Lampiran 8). Persamaan fungsi
ARIMA produksi (1,1,0) terbaik adalah sebagai berikut:
(Yt - Yt-1) = 642,3 – 0,3669(Yt-1 - Yt-2) + et (8)
Yt = 642,3 + 0,6331Yt-1 + 0,3669Yt-2 + et (9)
Sedangkan persamaan fungsi ARIMA konsumsi (1,1,0) terbaik adalah sebagai
berikut:
(Yt - Yt-1) = 539,5 – 0,3628(Yt-1 - Yt-2) + et (10)
Yt = 539,5 + 0,6372Yt-1 + 0,3628Yt-2 + et (11)
Berdasarkan persamaan fungsi ARIMA produksi (1,1,0) hasil
menunjukkan bahwa produksi jagung selama tahun 2015 hingga 2017 akan
mengalami pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan produksi selama
tiga tahun tersebut adalah sebesar 2,39 persen dan produksi pada tahun 2017
mencapai 20.410 ribu ton. Sedangkan hasil proyeksi konsumsi jagung melalui
model ARIMA (1,1,0) menunjukkan bahwa konsumsi jagung selama periode
2015 hingga 2017 akan mengalami pertumbuhan yang positif juga dengan rata-
rata pertumbuhannya yaitu sebesar 2,01 persen. Konsumsi pada akhir tahun 2017
mencapai 20.514 ribu ton (Tabel 12).
Tabel 12 Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Jagung
Domestik tahun 2015-2017
Tahun Hasil Proyeksi
Senjang (ribu ton) Produksi (ribu ton) Konsumsi (ribu ton)
2015 19468,3 19712 -243,7
2016 19941,7 20124,3 -182,6
2017 20410,3 20514,2 -103,9 Sumber: Data diolah
Berdasarkan hasil ramalan tahun 2015-2017 dengan ARIMA terlihat
bahwa hasil ramalan tingkat produksi yang diperoleh lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat konsumsinya. Pada tahun 2017 sebagai tahun target tercapainya
swasembada jagung, proyeksi produksi hanya mencapai 20.410,3 ribu ton
48
18
sedangkan konsumsinya mencapai 20.514,2 ribu ton. Jika dibandingkan dengan
target pemerintah yaitu produksi sebesar 22 juta ton, maka pada tahun tersebut
target swasembada jagung belum terlaksana, justru mengalami defisit sebesar
103,9 ribu ton dan total produksi tidak memenuhi target yang telah ditentukan.
Setelah dilakukan peramalan pada lima tahun berikutnya (tahun 2018
hingga tahun 2022), diperoleh hasil bahwa pada tahun 2019 tingkat produksi
jagung domestik sudah lebih tinggi daripada konsumsinya yaitu dengan total
surplus sebesar 43 ribu ton (Tabel 13). Menurut Hanani (2009), swasembada
pangan dapat tercapai apabila kebutuhan akan pangan dapat terpenuhi oleh
produksi dalam negeri. Jika mengacu pada pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pada tahun 2019 Indonesia dapat mencapai swasembada jagung.
Tabel 13 Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Jagung
Domestik tahun 2018-2022
Tahun Hasil Proyeksi
Senjang (ribu ton) Produksi (ribu ton) Konsumsi (ribu ton)
2018 20880,6 20912,2 -31,6
2019 21350,3 21307,3 43
2020 21820,2 21703,4 116,8
2021 22290,1 22099,2 190,9
2022 22760,0 22495,1 264,9 Sumber: Data diolah
5.3 Strategi Pemerintah untuk Alternatif Kebijakan dalam Upaya
Pencapaian Swasembada Jagung Tahun 2017
Hasil peramalan produksi dan konsumsi jagung domestik menunjukkan
bahwa Indonesia belum mampu untuk mencapai swasembada pada tahun 2017.
Hal ini ditunjukkan oleh semakin besarnya kesenjangan antara jumlah produksi
dan konsumsi (Tabel 13). Semakin besarnya kesenjangan yang menunjukkan nilai
konsumsi lebih besar daripada produksi mengindikasikan bahwa Indonesia masih
harus melakukan impor jagung untuk memenuhi kekurangan pasokan jagung
dalam negeri. Untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut, maka dibutuhkan
alternatif strategi sebagai kebijakan pemerintah dalam peningkatan produksi
jagung domestik. Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan tujuan dari RPJMN
tahap ke-3 yaitu Indonesia dapat berswasembada jagung sehingga dapat
memenuhi kebutuhan jagung domestik tanpa harus melakukan impor dari negara
49
lain. Pada penelitian kali ini, kebijakan pemerintah untuk mencapai swasembada
jagung pada tahun 2017 dianalisis menggunakan metode Analisis Hierarki Proses
(AHP).
Strategi pemerintah untuk meningkatkan produksi dalam rangka
pencapaian swasembada jagung tahun 2017 dirumuskan berdasarkan hasil
wawancara mendalam dengan keypersons dan hasil analisis AHP. Tujuan,
indikator, dan sub indikator yang merupakan alternatif dan kriteria strategi
peningkatan produksi dirumuskan dengan menggunakan literatur yang sudah ada.
Keypersons yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang yang terdiri
atas:
1. Kepala Seksi Ekstensifikasi Jagung dan Serealia lain dan pemberdayaan,
Direktorat Jendral Serealia Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
2. Kepala Seksi Intensifikasi Jagung dan Serealia lain dan pemberdayaan,
Direktorat Jendral Serealia Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
3. Peneliti, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Dalam tujuannya untuk meningkatkan produksi dalam rangka pencapaian
swasembada jagung tahun 2017, maka dirumuskan empat kriteria yang masing-
masing memiliki alternatif sesuai pada Gambar 5, dengan rincian sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas yang terdiri atas alternatif pengembangan cara
tanam, irigasi, pempukan berimbang dan organik, pengendalian OPT, serta
perbaikan mutu benih.
2. Perluasan areal yang terdiri atas alternatif optimalisasi lahan, perbaikan
fasilitas produksi, pengembangan konservasi, dan perbaikan lahan irigasi.
3. Pengamanan produksi yang memiliki alternatif perbaikan teknologi panen
dan pascapanen, dan pengembangan lumbung dan gudang.
4. Kelembangaan dan pembiayaan yang teridi atas alternatif penataan
kelompok dan koperasi tani, pengembangan penyuluhan, dan
pengembangan kemitraan antara petani dan pelaku usaha atau lembaga
terkait lainnya.
Dari empat indikator atau kriteria yang digunakan dalam upaya pencapaian
swasembada jagung, diperoleh hasil pengolahan data bahwa indikator luas areal
merupakan indikator yang paling diproritaskan dibandingkan dengan indikator
50
18
lain dengan nilai bobot 0,347 dengan presentase 35% dari total. Indikator
berikutnya yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi adalah
kelembagaan dan pembiayaan (nilai bobot 0,246 atau presentase sebesar 25% dari
total); indikator selanjutnya adalah indikator peningkatan produktivitas dan
pengamanan produksi yang sama-sama memiliki nilai bobot sebesar 0,204 dengan
masing-masing presentase 20% dari total. Nilai inconsistency ratio 0,02 < 1 (batas
maksimum) yang berarti hasil tersebut dapat diterima atau nilai pembobotan
perbandingan berpasangan pada setiap matriks adalah konsisten. Hal ini juga
berarti bahwa maisng-masing responden telah memberikan jawaban yang
konsisten. Setiap indikator yang dipertimbangkan untuk meningkatkan produksi
jagung domestik dalam rangka pencapaian swasembada jagung nasional disajikan
pada Gambar 8 berikut.
Sumber : Data Primer (Diolah)
Gambar 8 Kriteria Peningkatan Produksi Jagung
Keterangan :
Produktivitas = Peningkatan Produktivitas
Luas Areal = Perluasan Areal
Pengamanan = Pengamanan Produksi
Kelembagaan = Kelembagaan dan Pembiayaan
Hasil pengolahan data selanjutnya dilakukan untuk mengetahui alternatif
mana yang paling diprioritaskan pada masing masing kriteria atau indikator.
Sesuai dengan hasil perbandingan pada tingkat kriteria, perluasan areal
merupakan kriteria yang paling diprioritaskan dalam tujuannya untuk
meningkatkan produksi jagung domestik. Selanjutnya pada kriteria perluasan
areal, optimalisasi lahan merupakan alternatif yang paling diprioritaskan dengan
bobot nilai sebesar 0,396 dan presentase sebesar 13,7% dari total presentase antar
seluruh sub indikator. Pengembangan konservasi menjadi alternatif kedua setelah
optimalisasi lahan dengan bobot nilai 0,267 dan presentase sebesar 9,26% dari
total. Alternatif selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan adalah perbaikan
Produktivitas ,204
Luas Areal ,347
Pengamanan ,204
Kelembagaan ,246
Inconsistency ratio = 0,02
51
fasilitas produksi dengan bobot nilai sebesar 0,242 dan presentase sebesar 8,39%
dari total, dan yang terakhir adalah perbaikan lahan irigasi dengan bobot nilai
0,095 dan presentase sebesar 3,29% dari total. Tingkat inkonsistensi pada kriteria
perluasan areal adalah sebesar 0,04 yang artinya hasil dapat diterima. Optimalisasi
lahan dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian
untuk tanaman pangan khususnya jagung melalui peningkatan dan daya dukung
lahan sehingga menjadi lahan usahatani yang lebih produktif. Kegiatan
optimalisasi lahan dilakukan dalam bentuk pemanfaatan lahan sementara yang
tidak diusahakan menjadi lahan pertanian produktif dan meningkatkan Indeks
Pertanaman (IP) dalam tujuannya untuk memperluas areal tanam.
Kriteria yang menjadi prioritas selanjutnya dalam tujuannya untuk
meningkatkan produksi adalah Kelembagaan dan Pembiayaan dengan bobot nilai
sebesar 0,246. Dari tiga alternatif pada kriteria kelembagaan dan pembiayaan
diperoleh hasil pengolahan data bahwa pengembangan penyuluhan menjadi
alternatif yang paling diprioritaskan dengan bobot nilai sebesar 0,659 dan
presentase sebesar 16,21% dari total presentase antar seluruh sub indikator. Dalam
mewujudkan tujuan pembangunan yaitu mengembangkan sistem pertanian yang
berkelanjutan, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia. Peningkatan kualitas tersebut tidak hanya dalam peningkatan
produktivitas petani melainkan juga meningkatkan kemampuan mereka agar dapat
lebih berperan dalam berbagai proses pembangunan. Penyuluhan pertanian
merupakan faktor yang penting dalam mewujudkan tujuan pembangunan tersebut
sehingga pada perbandingan berpasangan antar sub indikator ini menjadi alternatif
yang paling diprioritaskan. Alternatif selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah
pengembangan kemitraan antarapetani dan pelaku usaha (bobot nilai 0,185;
presentase 4,5% dari total) dan yang terakhir adalah penataan kelompok dan
koperasi tani dengan bobot nilai 0,156 dan presentase sebesar 3,8% dari total.
Tingkat inkonsistensi pengolahan data pada kriteria ini adalah sebesar 0,03 dan
hasil dapat diterima.
Pada kriteria peningkatan produktivitas, diperoleh bahwa alternatif
pemupukan berimbang dan organik merupakan sub indikator yang paling
diprioritaskan dengan bobot nilai 0,332 dan presentase sebesar 6,7% dari total
52
18
presentase antar seluruh sub indikator. Hal tersebut menjadi yang paling
dipertimbangkan karena penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang akan
memberikan dampak buruk pada lahan pertanian yang menyebabkan produktivitas
lahan menjadi berkurang. Saat ini petani masih kurang dalam penggunaan pupuk
organik dan lebih banyak menggunakan pupuk kimia yang lebih banyak
mengandung unsur kalium. Hal tersebut menjadi perhatian sehingga alternatif
penggunaan pupuk organik dan berimbang menjadi sub indikator yang paling
diprioritaskan untuk kepentingan jangka panjang. Sedangkan alternatif yang perlu
diperhatikan selanjutnya adalah perbaikan mutu benih (bobot nilai 0,271;
presentase 5,5% dari total); pengembangan cara tanam (bobot nilai 0,213;
presentase 4,3% dari total); pengendalian OPT (bobot nilai 0,126; presentase
2,57% dari total); dan yang terakhir adalah irigasi dengan bobot nilai 0,058
dengan presentase sebesar 1,18% dari total. Irigasi menjadi sub indikator yang
paling akhir dalam urutan prioritas karena tanaman jagung pada umumnya adalah
tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak air seperti tanaman padi.
Tingkat inkonsistensi pengolahan data pada kriteria peningkatan produktivitas
adalah sebesar 0,05 atau kurang dari satu yang artinya hasil tersebut dapat
diterima.
Kriteria pengamanan produksi memiliki alternatif strategi yang moderat
yaitu dengan bobot nilai antara perbaikan teknologi panen dan pascapanen; dan
pengembangan lumbung dan gudang masing-masing 0,5 dengan presentase
masing-masing sebesar 10,2% dari total presentase antar seluruh sub indikator.
Tingkat inkonsistensi pengolahan data pada kriteria ini adalah sebesar 0. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua alternatif tersebut sama-sama penting dan dalam
pelaksanaannya harus dilakukan secara selaras agar hasil produksi yang diperoleh
tidak terlalu banyak yang tercecer dan dapat menambah total ketersediaan jagung
domestik.
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa kriteria yang paling
diprioritaskan adalah perluasan areal. Untuk mencapai swasembada, defisit
permintaan terhadap komoditas jagung harus dapat terpenuhi dari produksi dalam
negeri. Pada tahun 2017, defisit produksi jagung adalah sebesar 103.900 ton.
Dengan kebijakan perluasan areal, maka untuk mencapai swasembada jagung
53
(memenuhi defisit) pada tahun 2017 dibutuhkan penambahan luas areal seluas
20.972,95 ha dengan asumsi produktivitas jagung sebesar 4,954 ton/ha dengan
perhitungan sebagai berikut:
Diketahui: Produksi = 103.900 ton
Produktivitas = 4,954 ton/ha
Ditanya: Luas panen
Jawab : Produktivitas = Produksi
Luas panen
= 103.900
4,954
= 20.972,95 ha
54
18
55
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Secara keseluruhan, produksi jagung di Indonesia dari tahun 1984-2014
cenderung mengalami fluktuasi yang menunjukkan peningkatan dengan
rata-rata pertumbuhan sebesar 6,40% per tahun dan total rata-rata produksi
sebesar 10,597 juta ton per tahun. Peningkatan produksi jagung
dipengaruhi oleh bertambahnya industri pakan yang mulai berkembang
pesat pada sekitar tahun 2000. Sedangkan konsumsi jagung juga
mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan dikarenakan permintaan
terhadap produk turunan jagung yaitu untuk pakan mencapai proporsi
lebih dari 50% dari total konsumsinya. Meskipun pertumbuhannya sama-
sama meningkat, nilai konsumsi jagung lebih besar daripada produksinya.
Hal tersebut menimbulkan kesenjangan sehingga untuk memenuhi defisit
permintaan jagung maka harus ditempuh jalan impor.
2. Hasil peramalan produksi dan konsumsi jagung domestik tahun 2017
menggunakan ARIMA menunjukkan nilai masing-masing sebesar
20.410,3 ribu ton dan 20.514,2 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa
swasembada jagung nasional pada tahun 2017 belum tercapai karena
masih terdapat defisit dan pencapaian produksi jagung pada tahun tersebut
belum memenuhi target pemerintah yaitu sebesar 22 juta ton. Namun,
setelah dilakukan peramalan pada lima tahun berikutnya (tahun 2018-
2022), diperoleh hasil bahwa swasembada jagung dapat tercapai pada
tahun 2019 dengan total surplus produksi sebesar 43 ribu ton.
3. Untuk meningkatkan produksi jagung dalam rangka pencapaian
swasembada jagung domestik tahun 2017, alternatif kebijakan yang harus
dilakukan pemerintah adalah dengan memperluas areal tanam dengan
alternatif optimalisasi lahan pertanian. Optimalisasi lahan pertanian dapat
dilakukan dengan pemanfaatan lahan sementara yang tidak diusahakan
menjadi lahan pertanian produktif. Dengan total defisit produksi sebesar
103.900 ton pada tahun 2017, maka untuk mencapai swasembada jagung
(memenuhi defisit) pada tahun 2017 dibutuhkan penambahan luas areal
56
18
seluas 20.972,95 ha dengan asumsi produktivitas jagung sebesar 4,954
ton/ha.
6.2 Saran
1. Kebijakan subsidi benih yang sudah ada sebaiknya dilakukan lebih efektif,
khususnya dalam meknisme pendistribusiannya agar lebih merata. Hal ini
dimaksudkan agar penggunan benih jagung hibrida dapat dilakukan secara
merata oleh para petani sehingga dapat mendorong peningkatan produksi
jagung secara nasional.
2. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh dengan cara menggunakan
benih varietas unggul agar produksi yang diperoleh menghasilkan
kuantitas maupun kualitas yang baik sehingga pemerintah tidak perlu
melakukan impor dan swasembada jagung dapat tercapai. Untuk
memperoleh benih atau bibit varietas yang unggul, diperlukan lebih
banyak lagi penciptaan dan penelitian terhadap varietas unggul jagung.
3. Penetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) jagung sebagai upaya
pelaksanaan kebijakan harga dasar untuk perbaikan harga jagung. Secara
tidak langsung, penetapan HPP akan menahan petani jagung agar tidak
beralih untuk menanam komoditas lain akibat harga yang diterima terlalu
rendah.
4. Upaya peningkatan luas areal dapat diwujudkan dengan optimalisasi lahan
pertanian yaitu melalui pemanfaatan lahan yang tidak diusahakan menjadi
lahan produktif dengan meningkatkan IP (Indeks Pertanaman).
5. Penelitian lanjutan mengenai analisis produksi dan konsumsi jagung pada
lingkup sentra produksi jagung agar hasil analisis lebih fokus.
6. Penelitian lanjutan mengenai analisis efisiensi produksi dan tingkat
pendapatan petani dalam usahatani jagung untuk mengetahui tingkat
pendapatan yang layak diterima petani, karena pendapatan petani
merupakan salah satu faktor rendahnya produksi jagung domestik.
57
DAFTAR PUSTAKA
Aldillah R. 2014. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia. Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 8(1): 9-23.
Aritonang LR. 2009. Peramalan Bisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Arsyad L. 2001. Peramalan Bisnis Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE
Bantacut T. 2010. Swasembada Gula: Prospek dan Strategi Pencapaiannya.
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 245-256.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015a. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2015b. Perkembangan Produktivitas Jagung di Indonesia
Tahun 1984-2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2015c. Perkembangan Produksi dan Luas panen Jagung di
Indonesia Tahun 1984-2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2015d. Konsumsi Jagung Perkapita, Rumah Tangga dan
Permintaan Industri di Indonesia Tahun 2005-2014. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Budhi GS. 2010. Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 28 No. 1, Juli 2010: 55-68.
Fewidarto PD. 1996. Proses Hierarki Analitik (PHA). Bogor. Paper Jurusan
Teknologi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Firdaus M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam, Arima, Sarima, Arch-Garch.
Bogor: IPB Press.
Hadi A. 2013. Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka
Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Hanani N. 2009. Ketahanan Pangan dan Kualitas Sumberdaya Manusia. Malang:
CV Diaspora Publisher.
Hanke JE, Winchern DW, Reitsch AG. 2003. Peramalan Bisnis, edisi ke-7.
Jakarta: Prenhallindo.
Harsono A. 2008. Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai melalui Perluasan
Areal Tanam di Lahan Kering Masam. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 2.
Hernanda N. 2011. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula
Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional. [Skripsi]. Bogor.
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Kasyrno F, Pasandaran E, Suyamto, Adnyana MO. 2007.Gambaran Umum
Ekonomi jagung Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
58
18
Kementerian Pertanian. 2015. Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Tanaman
Pangan Jagung. Jakarta: Pusdatin Kementerian Pertanian.
__________________. 2015. Perkembangan Volume Ekspor-Impor Jagung di
Indonesia Tahun 2005-2014. Jakarta: Pusdatin Kementerian Pertanian.
__________________. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2015-2019 [Internet]. www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_2015-
2019.pdf. Jakarta: Kementerian Pertanian. 10 Februari 2016.
Mankiw NG. 2007. Macroeconomics 6th
edition. New York: Worth Publisher.
Nurgiyantoro B, Gunawan, dan Marjuki al. 2009. Statistik Terapan. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Rasahan CA. 1999. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mencapai
Ketahanan Pangan Berkelanjutan dalam Tonggak Kemajuan Teknologi
Produksi Tanaman Pangan: Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi
Pangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan [Internet].
http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/PP_No_68_th_2002.pdf.
Jakarta: Badan Ketahanan Pangan RI. 16 Februari 2016.
Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang
Pangan[Internet].http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/UU_No
mor_18_Tahun_2012(1).pdf. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan RI. 16
Februari 2016.
Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin. Jakarta: Institut
Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM).
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin: Proses Hierarki
untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Jakarta: PT
Pustaka Binaman Pressindo.
Siregar GG. 2009. Analisis Respon Penawaran Komoditas Jagung dalam Rangka
Mencapai Swasembada Jagung di Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi: Dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Sudana W. 2001. Perkembangan Jagung pada Dekade Terakhir Serta Peluang
Pengembangan Kedepan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pertanian Bogor.
Sugiarto, Harijono. 2000. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Suryana A. 2008. Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan Pangan, dan
Swasembada Beras. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 1-16.
Tambunan T. 2010. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Jakarta:
UI-Press.
59
Tangendjaja B, Yusdja Y, Ilham N. 2002. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung
untuk Pakan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Tumada. 2012. Analisis Strategi Pembangunan Kabupaten Muna. [Tesis]. Depok.
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Waluyo DE. 2007. Ekonomi Makro Edisi Revisi. Malang: UMM PRESS.
Wijayanti CD. 2014. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Serta Faktor-
faktor yang Memengaruhi Produksi dalam Pencapaian Swasembada Kedelai
2014. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Zakaria AK. 2011. Kebijakan Antisipatif dan Strategi Penggalangan Petani
Menuju Swasembada Jagung Nasional. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
60
18
61
LAMPIRAN
62
18
Lampiran 1 Kuesioner AHP
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN
LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Jl. Kamper Level 5 Wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor 16880
Telp/fax. (0251) 8621834
KUESIONER PENELITIAN
“Penentuan Prioritas Strategi Untuk Meningkatkan Produksi Jagung
Domestik dalam Rangka Pencapaian Swasembada Jagung Nasional Tahun
2017”
No Responden: .................. Tanggal: ....................
Identitas Responden
Nama : ..........................................................................................................
Jabatan : ..........................................................................................................
Wewenang : ..........................................................................................................
No. Telepon : ..........................................................................................................
Alamat : ..........................................................................................................
..........................................................................................................
PENENTUAN PEMBOBOT
Petunjuk Umum:
1. Pengisian kuesioner dilakukan secara tertulis oleh responden.
2. Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.
3. Dalam pengisian kuesioner, responden diharapkan melakukan secara langsung
(tidak menunda) untuk menghindari ketidakkonsistenan jawaban.
4. Responden berhak untuk menambahkan atau mengurangi hal-hal yang sudah
tercantum dalam kuesioner ini, dengan alasan yang jelas dan kuat.
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan dalam penyusunan penelitian
mengenai Strategi Kebijakan untuk Mencapai Swasembada Jagung
Nasional Tahun 2017. Data yang diterima pada kuesioner ini bersifat rahasia
dan hanya digunakan untuk kepentingan akademik. Terimakasih atas bantuan
dan kerjasamanya.
63
Petunjuk Penilaian Skala Banding:
Lingkarilah angka yang dianggap tepat mewakili tingkat kepentingan elemen-
elemen dalam tabel perbandingan.
CONTOH PENGISIAN KUESIONER
Indikator
Skor
Semakin ke kiri elemen Semakin ke kanan elemen
kiri lebih penting dari kanan lebih penting dari
elemen kanan elemen kiri
Indikator
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B
C 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 D
E 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 F
Penjelasan:
1. Jawaban pada baris pertama menunjukkan angka 7 ke kanan. Artinya elemen di
sebelah kanan ( indikator B) tujuh kali lebih penting dari elemen di sebelah kiri
(indikator A).
2. Jawaban pada baris kedua menunjukkan angka 4 ke kiri. Artinya elemen di
sebelah kiri ( indikator C) empat kali lebih penting dari elemen di sebelah
kanan (indikator D).
3. Jawaban pada baris ketiga menunjukkan angka 1 yang moderat. Artinya
elemen di sebelah kiri ( indikator E) sama pentingnya dengan elemen di
sebelah kanan (indikator F).
BAGIAN 1. PERBANDINGAN ANTAR INDIKATOR
Keterangan:
Terdapat beberapa indikator dalam mencapai tujuan untuk
meningkatkan produksi dalam rangka mencapai swasembada jagung nasional
tahun 2017, yaitu:
1. Peningkatan produktivitas
2. Perluasan areal
3. Pengamanan produksi
4. Kelembagaan dan pembiayaan
64
18
Bandingkan indikator-indikator berikut. Menurut Anda, indikator manakah yang
dinilai lebih penting untuk meningkatkan produksi dalam rangka pencapaian
swasembada jagung nasional tahun 2017.
Indikator
Skor
Semakin ke kiri elemen Semakin ke kanan elemen
kiri lebih penting dari kanan lebih penting dari
elemen kanan elemen kiri
Indikator
Peningkatan
produktivitas 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perluasan
areal
Peningkatan
produktivitas 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengamanan
produksi
Peningkatan
produktivitas 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelembagaan
& pembiayaan
Perluasan
areal 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengamanan
produksi
Perluasan
areal 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelembagaan
& pembiayaan
Pengamanan
produksi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelembagaan
& pembiayaan
BAGIAN 2. PERBANDINGAN ANTAR SUB INDIKATOR
Keterangan:
Dari indikator-indikator yang mempengaruhi peningkatan produksi dalam
rangka pencapaian swasembada jagung nasional tahun 2017, terdapat beberapa
sub indikator yang menjadi alternatif strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Peningkatan produktivitas terdiri atas pengembangan cara tanam, irigasi,
pemupukan berimbang dan organik, pengendalian OPT, serta perbaikan mutu
benih.
2. Perluasan areal terdiri atas optimalisasi lahan, perbaikan fasilitas produksi,
pengembangan konservasi, dan perbaikan lahan irigasi.
3. Pengamanan produksi terdiri atas perbaikan teknologi panen dan pascapanen,
pengembangan lumbung dan gudang.
65
4. Kelembagaan dan pembiayaan terdiri atas penataan kelompok dan koperasi
tani, pengembangan penyuluhan, dan pengembangan kemitraan antara petani
dan pelaku usaha atau lembaga terkait lainnya.
2A. Perbandingan Antar Sub Indikator Peningkatan Produktivitas
Bandingkan alternatif sub indikator berikut sehubungan dengan kriteria
untuk meningkatkan produktivitas jagung nasional. Menurut Anda, sub
indikator manakah yang dinilai lebih penting untuk meningkatkan produksi dalam
rangka mencapai swasembada jagung nasional tahun 2017.
Sub indikator
Skor
Semakin ke kiri elemen Semakin ke kanan elemen
kiri lebih penting dari kanan lebih penting dari
elemen kanan elemen kiri
Sub
indikator
Pengembangan
cara tanam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Irigasi
Pengembangan
cara tanam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemupukan
berimbang
dan organik
Pengembangan
cara tanam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengendalian
OPT
Pengembangan
cara tanam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perbaikan
mutu benih
Irigasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemupukan
berimbang
dan organik
Irigasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengendalian
OPT
Irigasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perbaikan
mutu benih
Pemupukan
berimbang dan
organik
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengendalian
OPT
Pemupukan
berimbang dan
organik
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perbaikan
mutu benih
Pengendalian
OPT 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perbaikan
mutu benih
2B. Perbandingan Antar Sub Indikator Perluasan Areal
Bandingkan alternatif sub indikator berikut sehubungan dengan kriteria
untuk perluasan areal. Menurut Anda, sub indikator manakah yang dinilai lebih
penting untuk meningkatkan produksi dalam rangka mencapai swasembada
jagung nasional tahun 2017.
66
18
Sub
indikator
Skor
Semakin ke kiri elemen Semakin ke kanan elemen
kiri lebih penting dari kanan lebih penting dari
elemen kanan elemen kiri
Sub
Indikator
Optimalisasi
lahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perbaikan
fasilitas
produksi
Optimalisasi
lahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengembangan
konservasi
Optimalisasi
lahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perbaikan lahan
irigasi
Perbaikan
fasilitas
produksi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengembangan
konservasi
Perbaikan
fasilitas
produksi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perbaikan lahan
irigasi
Pengembang
an konservasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perbaikan lahan
irigasi
2C. Perbandingan Antar Sub Indikator Pengamanan Produksi
Bandingkan alternatif sub indikator berikut sehubungan dengan kriteria
untuk pengamanan produksi jagung nasional. Menurut Anda, sub indikator
manakah yang dinilai lebih penting untuk meningkatkan produksi dalam rangka
mencapai swasembada jagung nasional tahun 2017.
Sub
indikator
Skor
Semakin ke kiri elemen Semakin ke kanan elemen
kiri lebih penting dari kanan lebih penting dari
elemen kanan elemen kiri
Sub
indikator
Perbaikan
teknologi
panen dan
pascapanen
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengembangan
lumbung dan
gudang
2D. Perbandingan Antar Sub Indikator Kelembagaan dan Pembiayaan
Bandingkan alternatif sub indikator berikut sehubungan dengan kriteria
kelembagaan dan pembiayaan. Menurut Anda, sub indikator manakah yang
dinilai lebih penting untuk meningkatkan produksi dalam rangka mencapai
swasembada jagung nasional tahun 2017.
67
Sub
indikator
Skor
Semakin ke kiri elemen Semakin ke kanan elemen
kiri lebih penting dari kanan lebih penting dari
elemen kanan elemen kiri
Sub
indikator
Penataan
kelompok dan
koperasi tani
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengembang
an
penyuluhan
Penataan
kelompok dan
koperasi tani
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengembang
an kemitraan
Pengembangan
penyuluhan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengembang
an kemitraan
68
18
Lampiran 2 Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, dan Produktivitas
Jagung Domestik Tahun 1984-2014
Tahun
Produksi
(ton)
Konsumsi
(ton)
Luas Panen (Ribu
Hektar)
Produktivitas
(Kwintal/Hektar)
1984 5.288.000 7.870.694 3.086 17,13
1985 4.330.000 6.696.037 2.440 17,74
1986 5.920.000 7.908.477 3.143 18,84
1987 5.156.000 6.830.297 2.626 19,63
1988 6.652.000 8.252.606 3.406 19,53
1989 6.193.000 7.725.337 2.944 21,03
1990 6.734.000 8.199.756 3.158 21,32
1991 6.256.000 7.592.556 2.909 21,50
1992 7.995.000 9.207.812 3.629 22,03
1993 6.460.000 7.566.363 2.940 21,98
1994 6.869.000 7.759.873 3.109 22,09
1995 8.246.000 8.959.925 3.652 22,58
1996 9.307.000 9.879.183 3.744 24,86
1997 8.771.000 9.375.008 3.355 26,14
1998 10.169.000 10.803.643 3.848 26,43
1999 9.204.000 9.876.803 3.456 26,63
2000 9.677.000 10.354.113 3.500 27,65
2001 9.347.000 10.032.109 3.286 28,45
2002 9.585.000 10.277.810 3.109 30,83
2003 10.886.000 11.457.862 3.359 32,41
2004 11.225.000 11.877.356 3.357 33,44
2005 12.524.000 13.133.963 3.626 34,54
2006 11.609.000 12.250.403 3.346 34,70
2007 13.288.000 14.175.951 3.630 36,60
2008 16.317.000 17.106.592 4.002 40,78
2009 17.630.000 18.173.857 4.161 42,37
2010 18.328.000 18.711.853 4.132 44,36
2011 17.643.000 17.938.030 3.865 45,65
2012 19.387.000 19.759.804 3.958 48,99
2013 18.512.000 18.840.490 3.822 48,44
2014 19.008.000 19.361.596 3.837 49,54 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2015
69
Lampiran 3 Hasil Time Series Plot untuk Melihat Trend dalam Menentukan
Kestasioneran Data Produksi Jagung dengan Minitab 16
Lampiran 4 Hasil Uji Time Series untuk Melihat Kestasioneran Data Produksi
Jagung dengan First Difference dengan Minitab 16
70
18
Lampiran 5 Hasil Time Series Plot untuk Melihat Trend dalam Menentukan
Kestasioneran Data Konsumsi Jagung dengan Minitab 16
Lampiran 6 Hasil Uji Time Series untuk Melihat Kestasioneran Data Konsumsi
Jagung dengan First Difference dengan Minitab 16
71
Lampiran 7 Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik
pada First Difference
72
18
Lampiran 8 Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Konsumsi Kedelai
Domestik Pada First Difference
73
Lampiran 9 Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi
Jagung Domestik Tahun 1984-2014 dengan Minitab (ribu ton)
ARIMA Model: konsumsi jagung ARIMA (1,1,0) dengan Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 39161161 0,100 344,817
1 35222705 -0,050 398,395
2 32808864 -0,200 459,410
3 31937054 -0,334 521,722
4 31909189 -0,357 536,032
5 31908184 -0,362 538,822
6 31908147 -0,363 539,368
7 31908146 -0,363 539,475
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,3628 0,1755 -2,07 0,048
Constant 539,5 194,0 2,78 0,010
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 31626192 (backforecasts excluded)
MS = 1129507 DF = 28
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 4,1 13,4 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0,944 0,923 * *
Forecasts from period 31
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 19712,0 17628,5 21795,5
33 20124,3 17653,9 22594,8
34 20514,2 17569,9 23458,5
35 20912,2 17606,8 24217,7
36 21307,3 17661,4 24953,2
37 21703,4 17751,3 25655,5
38 22099,2 17861,2 26337,1
39 22495,1 17990,0 27000,2
74
18
Lampiran 9 Lanjutan
ARIMA Model: konsumsi jagung ARIMA (2,1,0) dengan Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 37582197 0,100 0,100 306,504
1 33812993 -0,050 0,117 349,072
2 31710213 -0,200 0,133 401,350
3 31225395 -0,292 0,147 439,401
4 31204725 -0,308 0,155 445,547
5 31203503 -0,311 0,158 446,228
6 31203423 -0,311 0,159 446,270
7 31203417 -0,312 0,159 446,262
8 31203417 -0,312 0,159 446,257
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,3117 0,1900 -1,64 0,113
AR 2 0,1589 0,1941 0,82 0,420
Constant 446,3 195,3 2,28 0,030
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 30838638 (backforecasts excluded)
MS = 1142172 DF = 27
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 4,3 13,7 * *
DF 9 21 * *
P-Value 0,890 0,880 * *
Forecasts from period 31
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 19499,4 17404,2 21594,5
33 19985,5 17442,0 22529,0
34 20302,1 17079,7 23524,6
35 20727,0 17080,0 24373,9
36 21091,1 16989,3 25192,9
37 21491,4 17019,5 25963,3
38 21870,8 17035,8 26705,8
39 22262,4 17101,4 27423,5
75
Lampiran 10 Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi Jagung
Domestik Tahun 1984-2014 dengan Minitab (ribu ton)
ARIMA Model: produksi jagung ARIMA (1,1,0) dengan konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 38739092 0.100 411.690
1 34759616 -0.050 477.203
2 32304588 -0.200 549.226
3 31383225 -0.341 623.998
4 31359835 -0.362 639.080
5 31359160 -0.366 641.725
6 31359139 -0.367 642.190
7 31359139 -0.367 642.271
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0.3669 0.1752 -2.09 0.045
Constant 642.3 192.5 3.34 0.002
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 31121620 (backforecasts excluded)
MS = 1111486 DF = 28
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 4.4 11.6 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0.926 0.965 * *
Forecasts from period 31
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 19468.3 17401.5 21535.1
33 19941.7 17495.5 22387.8
34 20410.3 17494.6 23326.0
35 20880.6 17608.7 24152.5
36 21350.3 17741.7 24958.9
37 21820.2 17909.1 25731.4
38 22290.1 18096.3 26483.8
39 22760.0 18302.1 27217.8
76
18
Lampiran 10 Lanjutan
ARIMA Model: produksi jagung ARIMA (1,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 43745824 0.100
1 41720843 -0.050
2 41394741 -0.131
3 41392049 -0.139
4 41392026 -0.139
5 41392026 -0.140
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0.1395 0.1844 -0.76 0.455
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 41374509 (backforecasts excluded)
MS = 1426707 DF = 29
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 8.3 16.2 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0.689 0.846 * *
Forecasts from period 31
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 18938.8 16597.2 21280.4
33 18948.5 15859.3 22037.6
34 18947.1 15233.8 22660.4
35 18947.3 14703.7 23190.9
36 18947.3 14232.3 23662.2
37 18947.3 13804.0 24090.6
38 18947.3 13408.7 24485.9
39 18947.3 13039.8 24854.8
77
Lampiran 10 Lanjutan
ARIMA Model: produksi jagung ARIMA (0,1,1) Tanpa konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 41736982 0.100
1 41722859 0.073
2 41718179 0.089
3 41716608 0.079
4 41716078 0.085
5 41715900 0.082
6 41715840 0.083
7 41715820 0.082
8 41715813 0.083
9 41715811 0.083
10 41715810 0.083
11 41715810 0.083
12 41715810 0.083
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
MA 1 0.0827 0.1854 0.45 0.659
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 41711084 (backforecasts excluded)
MS = 1438313 DF = 29
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 10.3 18.8 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0.501 0.715 * *
Forecasts from period 31
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 18972.0 16620.9 21323.1
33 18972.0 15781.6 22162.4
34 18972.0 15121.1 22822.9
35 18972.0 14558.4 23385.6
36 18972.0 14059.7 23884.3
37 18972.0 13607.1 24336.8
38 18972.0 13189.9 24754.1
39 18972.0 12800.8 25143.1
78
18
Lampiran 11 Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Produksi Jagung
Domestik
79
Lampiran 12 Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Jagung
Domestik
80
18
Lampiran 13 Hasil Olah Data AHP
80
81
Lampiran 13 Lanjutan
81
82
18
76
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 27 November 1994 dari Bapak
Narto dan Ibu Choiriyah. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Penulis
lulus dari SMA Negeri 1 Geger, Kabupaten Madiun pada tahun 2012. Pada tahun
yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tulis pada
Departeman Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Selain itu, penulis juga melengkapi mandat dari Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dengan mengambil program minor
Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan pada Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menerima beasiswa Bidik Misi
dari DIKTI. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan sebagai
sekretaris divisi Internal Development REESA (Resources and Environmental
Economics Student Association) periode 2013-2014 serta aktif di berbagai
kepanitiaan dan kegiatan lainnya di IPB.
81
83