ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK
TENTANG JUAL BELI ANJING
SKRIPSI
Disusun Guna memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana S1
Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun oleh:
ANISAH TULFUADAH
072311029
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
kami kirim naskah skripsi saudari:
Nama : ANISAH TULFUADAH
Nim : 072311029
Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG JUAL BELI
ANJING
Dengan ini telah kami setujui dan mohon kiranya skripsi saudara tersebut
dapat segera dimunaqosahkan. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan
terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
iii
iv
MOTTO
Artinya: “Andaikata anjing-anjing itu tidak termasuk dari
sekelompok ummat dari ummat-ummat yang lain, niscaya
aku akan perintahkan untuk membunuhnya”.1
1 Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan Al Tirmidzi, jld IV, Beirut-Libanon: Dar Al Fiqr,
1988, hlm. 66.
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang dengan ikhlas
telah berkorban dan membantu penulis dalam mengarungi perjalanan panjang
dalam menggapai cita-cita:
Untuk Bapak H. Amirudin dan Ibu Hj. Siti Nur Khamidah Selaku ke 2 orang
tua yang penulis sayangi. Tiada henti-hentinya penulis panjatkan doa kepada
Alloh Swt, semoga Bapak dan Ibu selalu ada dalam rahmat dan karunia-Nya
di dunia dan akhirat. Amin,,,
Suami Penulis Mohamad Egi Rifa’i yang selalu mendukung dan memberi
semangat dalam menulis skripsi.
KH. Abbas Masrukhin dan bu Nyai Maemunah selaku pengasuh pondok
pesantren Al-Ma’rufiyyah.
Segenap pimpinan Rektorat IAIN Walisongo Semarang dan pegawainya. Para
pimpinan Fakultas Syariah dan para pegawainya. Tidak mungkin penulis
lupakan jasa-jasa para dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu
pengetahuan.
Ke 2 sahabat penulis Siti Khodijah dan Tatik Eka Purnama Sari yang selalu
memberi semangat dan dukungan.
Segenap Santri Ponpes Al-Ma’rufiyyah Putra maupun Putri, Khususnya kamar
Nasoikhul Ibad (kartini, ibah, fitri dan mafrida).
Sahabat MU angkatan ’07 yang selalu bersama-sama dalam proses pembuatan
skripsi (sholy, neli, qifa, ainung, widi, dkk).
Pihak-pihak yang ikut mendukung dan membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Juni 2012
Deklarator,
ANISAH TULFUADAH
NIM 072311019
vii
ABSTRAK
Diantara rahmat Allah Swt. kepada manusia adalah dihalalkannya jual beli
dalam rangka melestarikan komunitasnya. Serta melanggengkan hubungan antar
mereka sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain. Penjual membutuhkan
pembeli agar membeli barangnya untuk mendapatkan uang. Pembeli melakukan
jual beli untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Akibat dari saling
membutuhkan ini maka rasa persaudaraan semakin erat.
Jual beli merupakan media yang paling mudah untuk mendapatkan sesuatu
baik berupa barang atau jasa, seseorang bisa menukarkan uangnya dengan barang
atau jasa yang dia butuhkan pada penjual. Tentu dengan nilai yang disepakati
kedua nya. Jual beli pada dasarnya dilegalkan oleh syara’ asal memenuhi syarat
yang telah ditetapkan. Terkait dengan syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli
adalah menyangkut benda (ma’qud) yang dijadikan obyek jual beli, apakah suci
atau najis. Kalau kita amati banyak fenomena ditengah-tengah masyarakat tentang
jual beli anjing. Jual beli anjing itu tidak hanya dilakukan oleh orang nonmuslim
saja, akan tetapi orang Islam pun tidak sedikit yang melakukannya, karena anjing
memang mempunyai berbagai keistimewaan dan kelebihan, seperti; anjing
memiliki kepatuhan yang sangat tinggi, setia, dapat digunakan sebagai pelacak
dan mempunyai feeling yang kuat. Oleh karena itu anjing dibutuhkan oleh
sebagian manusia. Mengenai hukum jual beli anjing, para ulama berbeda
pendapat, ada yang tidak membolehkan sama sekali, ada yang membolehkan dan
ada pula yang tidak membolehkan tetapi mengecualikan anjing pemburu dan
penjaga.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yang pertama adalah bagaimana
Pendapat Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing?, yang kedua adalah Bagaimana
Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing?
Penelitian ini termasuk jenis penelitian library research, maka dalam
penulisan skripsi ini, penulis melakukan pengumpulan data lewat studi dan
penelitian kepustakaan terhadap buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan
yang sedang penulis kaji. Dalam menganalisis penelitian ini, penulis
menggunakan metode deskriptif yang berusaha menggambarkan, menganalisa dan
menilai data yang terkait dengan masalah.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa jual beli anjing
menurut Imam Malik adalah makruh. Imam Malik mengklasifikasi antara anjing
yang bermanfaat dan yang tidak. Apabila anjing itu tidak bermanfaat atau malah
membahayakan hukumnya tidak boleh diperjual belikan. Jual beli ini dilakukan
bukan untuk tujuan konsumtif, apabila untuk dikonsumsi maka haram hukumnya.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya. Dia
telah melimpahkan karunia yang sangat besar, sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada beliau
Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarga dan para sahabatnya
hingga akhir nanti.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat bantuan, petunjuk
dan bimbingan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M. Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
3. DR. Hj., Siti Mujibatun, M. Ag Atas bimbingan, koreksian dan gagasan yang
telah diberikan, tentunya banyak pengetahuan baru yang penulis dapatkan.
4. Yth. Kajur, Sekjur dan Biro judul skripsi Muamalah. Beserta segenap dosen
Fakultas Syariah yang telah memberikan ilmunya tanpa pamrih. Juga segenap
pegawai Fakultas Syariah yang selalu direpotkan mahasiswa.
5. Bapak serta Ibu, kedua orang tua yang telah berkorban segalanya demi masa
depan penulis. Ungkapan yang tidak dapat terucap dengan kata-kata, hanya
doa yang dapat penulis panjatkan untuk kebahagian tanpa akhir bagi keduanya
di dunia dan akhirat.
ix
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa, hanya
untaian terimakasih dan semoga menjadi amal yang baik (shaleh) dan
mendapatkan pahala yang berlipat dari Allah SWT.
Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan penulis dalam banyak hal, oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Semarang, Juni 2012
Penulis,
ANISAH TULFUADAH
NIM 072311029
x
DAFTAR ISI
Halaman Cover .......................................................................................... i
Halaman Persetujuan Pembimbing .......................................................... ii
Halaman Pengesahan .................................................................................. iii
Halaman Motto .......................................................................................... iv
Halaman Persembahan .............................................................................. v
Halaman Deklarasi .................................................................................... vi
Halaman Abstrak ........................................................................................ vii
Halaman Kata Pengantar ........................................................................... viii
Daftar Isi ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 7
D. Kajian Pustaka .................................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 11
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG JUAL BELI
A. Pengertian Jual Beli........................................................... 13
B. Dasar Hukum Jual Beli ..................................................... 15
C. Rukun dan Syarat Jual Beli ............................................... 19
D. Macam-Macam Jual Beli................................................... 25
E. Jual Beli Yang Dilarang................................................... . 30
BAB III PENDAPAT IMAM IMAM MALIK TENTANG JUAL
BELI ANJING
A. Biografi Imam Malik......................................................... 34
B. Pendapat Imam Malik Tentang Jual beli Anjing............... 39
C. Metode Istinbath Hukum Imam Malik ............................... 41
xi
D. Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang
Jual Beli Anjing………………………………. ................ 48
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM IMAM MALIK
TENTANG JUAL BELI ANJING
A. Analisis Pendapat Pendapat Imam Malik tentang Jual
Beli Anjing ......................................................................... 50
B. Analisis Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Jual
Beli Anjing ......................................................................... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 62
B. Saran-Saran ....................................................................... 63
C. Penutup .............................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang sampai kapanpun dia akan butuh
dengan yang lain, itu dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan, oleh
karena itu ia mau tidak mau harus berinteraksi dengan yang lain. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk berusaha karena tidak
mungkin rizki itu datang dengan sendirinya tanpa adanya usaha.
Allah Swt. telah menjadikan manusia antara yang satu berhajat kepada
yang lain, ini mengandung sebuah isyarat agar mereka saling tolong menolong,
tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup, antara lain
melalui proses jual beli, sewa menyewa dan gadai, yang manfaatnya untuk diri
sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Salah satu kebutuhan yang memerlukan interaksi dengan orang lain
adalah akad jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang
menimbulkan akibat hukum yaitu akibat sesuatu tindakan hukum.1 Jual beli
ada karena didasarkan atas rasa saling membutuhkan. Dalam hal ini penjual
membutuhkan pembeli agar membeli barangnya sehingga memperoleh uang.
Sedangkan pembeli melakukan jual beli untuk memperoleh barang yang
dibutuhkan. Akibat dari saling membutuhkan ini maka rasa persaudaraan
semakin erat.
1 Surojo Wignyodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3,
hlm. 38.
2
Tujuan dari mu'amalah adalah terciptanya hubungan yang harmonis
(serasi) antar sesama manusia. Dengan demikian terciptalah ketenangan dan
ketentraman. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maidah ayat 2:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-nya dan binatang-
binatang qalaa-id dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan
dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka) dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”. 2
Dalam ayat yang lain Allah juga menerangkan tentang larangan makan
harta diantara sesama dengan cara yang batil, yaitu dalam Q.S. Al Nisa: 29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”.3
2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟anul dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra,
1989, hlm. 156. 3 Departemen Agama RI, Al-Qur‟anul dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra,
1989, hlm. 122.
3
Jual beli merupakan media yang paling mudah untuk mendapatkan
sesuatu baik berupa barang atau jasa, seseorang bisa menukarkan uangnya
dengan barang atau jasa yang dia butuhkan pada penjual. Tentu saja dengan
nilai yang telah disepakati kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan pengertian
jual beli yang di sampaikan oleh Muhammad Ibnu Qosim Al Ghozzi, beliau
menerangkan:
Artinya: “Jual beli menurut bahasa adalah penyerahan sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu yang
tidak berupa harta, seperti arak. Sedangkan menurut syara‟, pengertian
jual beli yang paling benar ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan
mengganti sesuatu yang dilegalkan oleh syara‟, atau sekedar memiliki
manfaatnya saja yang diperbolehkan syara‟ untuk selamanya, dengan
melalui pembayaran yang berupa uang.” 4
Jual beli dibagi menjadi tiga macam, yang pertama, jual beli yang
tampak obyeknya, kedua, jual beli yang menyebutkan sifat-sifat bendanya
(pesan), ketiga, jual beli yang tidak jelas obyeknya. Dari ketiga macam
pembagian tersebut hanya bentuk yang ketiga yang tidak diperbolehkan.5
Jual beli dibenarkan oleh al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma umat.
Landasan Qur‟annya antara lain firman Allah Q.S. Al Baqoroh 275:
4 Muhammad Ibnu Qosim Al Ghozzi, Fath Al Qorib Al Mujib, Surabaya: Al Hidayah,
hlm. 31. 5 Taqiyuddin Abi Bakr Muhammad Al Husaini, Kifayat Al Ahyar, Surabaya: Haromain,
2005, hlm. 239-240.
4
Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”6
Landasan sunnahnya antara lain sabda Nabi Saw.:
Artinya: Dari Rifa‟ah bin Rafi‟ ra.: bahwasanya Nabi Muhammad Saw. pernah
ditanya, manakah usaha yang paling baik? beliau menjawab: amal
usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang
bersih. (HR. al-Bazzar, dan dinilai Shahih oleh al-Hakim).7
Landasan ijma‟nya, para ulama sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik
orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.8
Jual beli pada dasarnya diperbolehkan, dilegalkan oleh syara‟ asal
memenuhi syarat yang telah ditetapkan, yang telah menjadi konsensus para
ulama‟ ahli ijma‟ (mujtahid). Terkait dengan syarat yang harus dipenuhi dalam
jual beli adalah menyangkut benda (ma’qud) yang dijadikan obyek jual beli itu
apakah suci atau najis, bermanfaat serta dapat diserah terimakan.
Dalam kaitan ini Ibnu Rusyd menjelaskan, najis dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, kaum muslimin sepakat tentang larangan menjualnya, yakni
khamar yang najis. Keluar dari kesepakatan ini adalah pendapat yang ganjil
tentang khamar (arak), yakni pendapat yang mempertanyakan kenajisannya, dan
6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟anul dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra,
1989, hlm. hlm. 69. 7 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani Al-San‟ani, Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram
Min Jami Adillati al-Ahkam , Kairo: Juz 3, Dar Ikhya‟ al-Turas al-Islami, 1960 hlm. 4. 8 Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
5
bangkai berikut seluruh bagiannya yang bisa menerima unsur kehidupan. Begitu
pula babi berikut semua bagiannya yang bisa menerima unsur kehidupan. Tentang
pemakaian bulunya masih diperselisihkan. Ibnul Qasim membolehkannya. Kedua,
najis-najis yang lantaran dibutuhkan menghendaki pemakaiannya seperti kotoran
dan kotoran ternak yang digunakan sebagai pupuk, dalam mazhab Maliki
diperselisihkan menjualnya. Ada pendapat yang melarang menjualnya sama sekali
dan ada pula pendapat yang membolehkannya.9
Kalau kita amati banyak fenomena ditengah-tengah masyarakat tentang
jual beli anjing. Jual beli anjing itu tidak hanya dilakukan oleh orang
nonmuslim saja, akan tetapi orang Islam pun tidak sedikit yang melakukannya,
karena anjing memang mempunyai berbagai keistimewaan dan kelebihan,
seperti; anjing memiliki kepatuhan yang sangat tinggi, setia, dapat digunakan
sebagai pelacak, menjaga rumah atau kebun, dapat diajak bercanda dan
mempunyai feeling yang kuat. Oleh karena itu anjing dibutuhkan oleh sebagian
manusia. Padahal Nabi Saw. secara tegas dan jelas melarang hasil penjualan
anjing dalam sabdanya:
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Bakar bin
'Abdurrahman dari Abu Mas'ud Al Anshariy ra. bahwa Rasulullah
Saw. melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina dan
upah bayaran dukun”.10
9 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wanihayah al Muqtasid, Beirut: Dar al-jiil, 1904, juz
2, hlm. 94. 10
Malik bin Anas, Al Muwattho’, Bairut: Dar ikhya‟ Al Ulum, 1989, hlm. 573
6
Dalam hadits yang lain Nabi juga menjelaskan tentang kenajisan
anjing:
Artinya: “Dari Abi Hurairoh ra. Berkata, Rasulullah Saw. bersabda: sucinya
bejana salah satu kamu sekalian ketika dijilat anjing yaitu dibasuh
tujuh kali yang salah satunya dengan debu”. (HR. Muslim)11
Mengenai hukum jual beli anjing, para ulama berbeda pendapat, ada
yang tidak membolehkan sama sekali, ada yang membolehkan dan ada pula
yang tidak membolehkan tetapi mengecualikan anjing pemburu dan penjaga.12
Menurut Imam Abu Hanifah, yang diutamakan dalam barang yang
dijadikan obyek jual beli adalah manfa‟at. Setiap barang yang ada manfaatnya
menurut pandangan syara' boleh diperjual belikan sekalipun barang itu najis
(tidak untuk dimakan dan diminum).13
Mazdhab Zahiri sejalan dengan
mazdhab Hanafi. Dengan demikian, Mazhab Hanafi dan Zahiri membolehkan
jual-beli benda najis, karena ada manfaatnya.
Lain halnya dengan Imam Malik, meskipun anjing tidak najis akan
tetapi beliau membedakan antara anjing yang merugikan atau yang
membahayakan dan yang tidak, selagi anjing tersebut bermanfaat boleh untuk
diambil selain konsumsi. Masalah pensucian anjing dengan tujuh kali basuhan
bukan karena najisnya melainkan murni ibadah.14
Sedangkan Imam Syafi'i dan
11
Ibnu Hajar Al Asqolani, Bulugh Al Marom Min Adillah Al Ahkam, Semarang: Toha
Putra, hlm. 4. 12
Ibnu Rusyd. Bidayatu al-Mujtahid, jld. II, Surabaya: Al Hidayah, 1998, hlm 124-125. 13
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adilatuhu, Juz. IV, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.,
hlm 3431. 14
Ibnu Rusyd, Op.cit., jld. II, hlm 126.
7
pendapat yang masyhur dari Mazdhab Hambali mengutamakan kesucian atas
barang yang diperjual belikan, meski benda itu bermanfaat tetapi kalau barang
itu najis maka tidak boleh untuk diperjual belikan.15
Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk membahas lebih jauh
dan mengkaji secara ilmiah tentang Analisis Pendapat Imam Malik Tentang
Jual Beli Anjing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pokok permasalahan
dalam skripsi adalah:
1. Bagaimana Pendapat Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing?
2. Bagaimana Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Jual Beli
Anjing?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penulisan ini mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Pendapat Imam Malik Mengenai Jual Beli Anjing.
2. Untuk Mengetahui Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Jual Beli
Anjing.
15
Al Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Idris As Syafi‟i, Al Umm, Juz III Beirut: Dar
Al-Kutub,1996, hlm 14.
8
D. Kajian Pustaka
Penelitian tentang jual beli khususnya yang berkaitan dengan obyek
jual beli telah banyak dilakukan, misalnya:
Pertama, Penelitian yang di lakukan oleh Khilmi Tamim (2101300)
dengan judul “Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Persyaratan Suci
Bagi Barang Yang dijadikan Obyek Jual Beli”. Dalam skripsinya, penulis
menyebutkan pendapat sayyid sabiq mengenai jual beli, spesifikasi terhadap
obyek yang diperjual belikan, yakni harus suci meskipun benda atau barang
tersebut sangat dibutuhkan dan bermanfaat, konsekwensinya jika barang
tersebut sudah terlanjur beredar di pasaran. Selanjutnya tentang alasan-alasan
sayyid sabiq tentang persyaratan suci bagi barang yang dijadikan obyek jual
beli.
Kedua, Penelitian yang di lakukan oleh Syafiqotul Isiqomah (2199053)
dengan judul “Analisis Keputusan Muktamar NU xxx tahun 1999 di Lirboyo
Kediri Tentang Jual Beli Cacing”. Dalam tulisan tersebut dijelaskan tentang
jual beli cacing diperbolehkan karena mengandung unsur manfaat dan tidak
diperbolehkan karena ma‟qud „alaihnya tidak suci. Skripsi ini juga membahas
tentang metodologi yang digunakan untuk mengambil keputusan, dimana
dalam penggalian hukumnya memaparkan qoul/pendapat dari ulama terdahulu
sebagai jawaban hukum terhadapnya. Dalam skripsi ini juga menjelaskan
tentang dalil atau alasan keputusan tersebut baik yang memperbolehkan
maupun yang mengharamkan.
9
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nurkholis (2103078) dengan
judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Ayam Tiren (Studi Kasus
Penjual Ayam di Pasar Rejomulyo Semarang)”. Dalam tulisan tersebut
dijelaskan bahwa praktek jual beli ayam tiren (bangkai) yang terjadi di Pasar
Rejomulyo dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama, Jual beli ayam tiren
(bangkai) yang diharamkan karena jual beli tersebut bertujuan untuk
dikonsumsi dan adanya faktor penipuan dengan mencampurkan antara ayam
yang segar dengan ayam tiren. Kedua, jual beli ayam tiren (bangkai) yang
dibolehkan manakala tujuan dari jual beli tersebut tidak untuk dikonsumsi,
tetapi dijadikan bahan pakan binatang ternak seperti ikan lele. Hal ini sama
hukumnya jual beli barang najis seperti kotoran binatang yang dijadikan untuk
pupuk. Selagi pemanfaatanya diperbolehkan, menjualnyapun diperbolehkan,
jika memang tujuan utamanya adalah untuk diambil manfaatanya.
Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk memaparkan tentang jual
beli anjing menurut Imam Malik.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
10
karena itu data-data disajikan dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk
angka-angka.16
2. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber utama (primer) yaitu sumber literatur utama yang
berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Sumber primer dalam
penelitian ini adalah kitab Al Muwattho‟ karya Imam Malik bin Anas.
b. Data Sekunder
Data Sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah data-data dan
dokumen untuk memberikan penjelasan-penjelasan terkait dengan pokok
permasalahan yang penulis bahas, khususnya dari kalangan atau para
pengikut Imam Malik. Diantaranya:
1) Subul Al Salam syarh Bulugh Al Maram min Jami‟ Adillat Al Ahkam
karya Muhammad ibnu Ismail al Kahlani al San‟ani
2) Bidayah Al Mujtahid Wa Al Nihayah Al Muqtasid karya Ahmad bin
Muhammad bin rusyd
3) Al Fiqh „Ala Madzahib Al Arba‟ah karya Abdurrahman Al Jaziri
4) Fath Al Muin karya Syekh Zainuddin ibnu Abdul Azis Al Malibari
5) Fiqh Al Islam wa Adillatuhu karya Wahbah Al Zuhaili
6) Dan lain-lain
16
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
2004, hal. 3.
11
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan.17
Dalam penulisan skripsi
ini, penulis melakukan pengumpulan data lewat studi dan penelitian
kepustakaan terhadap buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang penulis kaji.
4. Analisis data
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode
“deskriptif” yang berusaha menggambarkan, menganalisa dan menilai data
yang terkait dengan masalah di atas. Metode ini digunakan untuk
memahami pendapat dan dasar hukum yang dipakai oleh Imam Malik
tentang jual beli anjing. Sedangkan langkah-langkah yang digunakan oleh
penulis adalah dengan mendeskripsikan baik yang berkaitan dengan
pendapat maupun dasar hukum yang dipakai.
F. Sistematika Penulisan
Sebagai upaya untuk mempermudah dalam menyusun dan memahami
penelitian secara sistematis, maka kerangka penulisan di susun sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari enam sub bahasan.
Pertama latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan
masalah yang di teliti. Kedua Rumusan masalah, yang merupakan penegasan
terhadap apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga tujuan dan
17
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. III, 1988, hal. 211.
12
kegunaan yang akan dicapai dalam penelitan ini. Keempat Telaah pustaka,
berisi penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan yang ada
kaitannya dengan penulisan skripsi ini. Kelima metode penelitian, metode
penelitian meliputi: jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data,
analisis data. Keenam sistematika penulisan, sistematika penulisan merupakan
akhir dari bab ini yang bertujuan mensistematisir penyusunan penelitian.
Bab kedua berisi tentang landasan teoritik konsep jual beli yang terdiri
dari pertama pengertian jual beli, kedua dasar hukum jual beli, ketiga rukun
dan syarat jual beli, keempat macam-macam jual beli, kelima jual beli yang
dilarang.
Bab ketiga memuat tentang biografi Imam Malik, pendapat Imam
Malik tentang jual bali anjing, serta metode istinbath yang digunakan Imam
Malik tentang jual beli anjing.
Bab keempat akan di bagi menjadi dua sub bahasan. Pertama, analisis
terhadap pendapat imam Malik tentang jual beli anjing. Kedua, analisis
terhadap metode istinbath hukum Imam Malik tentang jual beli anjing.
Selanjutnya Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan
penutup.
13
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG JUAL BELI
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-ba’i yang berarti
menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal
alba’i dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian
kebalikannya, yakni kata asy-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’i
berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.1
Menurut bahasa, jual beli adalah “menukarkan sesuatu dengan
sesuatu" atau “mengganti sesuatu dengan sesuatu”.2 Secara terminologi, para
fuqaha’ menyampaikan definisi yang berbeda-beda antara lain sebagai
berikut:
Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, jual beli adalah3:
Artinya: “Jual beli menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan harta
pada wajah tertentu.”
Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi4:
1 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002,
hlm. 119 juga bisa dilihat dalam Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2000, hlm. 111. 2 Abd Al Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Bairut: Dar al-
Fikr, 1972, Juz III, hlm. 123. 3 Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Maktabah wa Matbaah,
Semarang: Toha Putera, tth, hlm. 66 4 Syekh Muhammad ibn Qasim al Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Dar al-Ihya al-Kitab,
al-Arabiah, Indonesia, tth, hlm. 30.
14
Artinya: “Menurut syara’, pengertian jual beli yang paling tepat ialah
memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar
izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan
syara’ untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui
pembayaran yang berupa uang.”
Sedangkan Imam Taqi al Din mendefinisikan jual beli adalah saling
tukar menukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab
dan qabul, dengan cara yang dilegalkan syara’.5
Beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah
suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda
dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi persyaratan-
persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual
beli, maka bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan kehendak syara’. Benda dapat mencakup pada pengertian barang dan
uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda
yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut Syara’, benda
itu adakalanya bergerak (dapat dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat
dipindahkan), yang dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dibagi-bagi, harta yang
ada perumpamaannya (mitsli) dan tidak ada yang menyerupainya (qimi) dan
5 Taqi al Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifâyah Al Akhyâr, Surabaya: Al
Haromain, 2005, Juz, I, hlm. 239.
15
yang lain-lainnya, penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak
dilarang syara'.6
B. Dasar Hukum Jual Beli
Dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkan Jual-beli dapat dilihat
dalam beberapa ayat Al-Qur'an, Hadits Nabi serta Ijma' Ulama’ (konsensus
ulama’), antara lain:
1. Al-Qur'an, diantaranya:
Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-
Baqarah: 275)7
Pada potongan ayat sebelumnya Allah menggambarkan keadaan
orang-orang yang mengambil harta dengan cara riba kemudian memakan
harta tersebut, yaitu seperti orang-orang yang kerasukan syaithan. Keadaan
yang seperti itu tidak lain disebabkan karena mereka menyamakan hukum
riba dengan jual beli yang jelas telah dihalalkan oleh Allah dalam
potongan ayat di atas.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil Kecuali dengan jalan
perniagaan yang dilakukan suka sama suka.” (QS. An-Nisa':
29)8
6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 69.
7 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm.
69. 8 Ibid. hlm. 122.
16
Dalam ayat tersebut Allah menyeru kepada orang-orang yang
beriman agar mereka tidak makan harta sesama dengan jalan yang tidak
diridhoi oleh syara’ (bathil), kecuali dengan jual beli yang di dalamnya
terkandung unsur saling merelakan. Dari ayat tersebut bisa dipahami
bahwa, disamping jual beli itu harus memenuhi rukun dan syaratnya –yang
akan penulis paparkan pada sub bab berikutnya- juga ada anjuran syarat
lain yang tidak tampak (bathin), yaitu kerelaan yang tersimpan dalam hati
penjual dan pembeli. Oleh karenanya dalam melakukan transaksi
membutuhkan adanya ijab dan qabul agar kerelaan yang mulanya
tersimpan akan menjadi jelas.
2. Al-Sunnah, diantaranya:
Artinya: “Dari Rifa'ah bin Rafi', sesungguhnya Nabi Saw. Ditanya tentang
mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab,
“seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang
mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim mensahihkannya).
Sabda Nabi Saw. dalam hadits tersebut muncul dari pertanyaan
sahabat yang menanyakan tentang pekerjaan apa yang paling baik.
Nabipun menjawab, bahwa pekerjaan terbaik yaitu pekerjaan seorang
lelaki dengan tangannya sendiri, maksudnya dengan usaha atau jerih
payahnya sendiri dia menghasilkan sesuatu yang bisa mencukupi
kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan diri pada orang lain.
Selanjutnya yaitu setiap jual beli yang mabrur. Maksud mabrur dalam
17
hadis di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan
merugikan orang lain.9 Sebagaimana sabda Nabi Saw. Berikut ini:
Artinya: Menceritakan kepada kita Hanad: menceritakan kepada kita
Kabisah, menceritakan kepada kita dari Sufyan, dari Abu
Hamzah dari Hasan, dari Nabi Saw. bersabda: “pedagang yang
jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para
Nabi, siddiqin dan syuhada”.10
Dalam hadits di atas Nabi Saw. Menggambarkan kedudukan para
pedagang yang jujur dan dapat dipercaya di surge bersama-sama dengan
para Nabi, orang-orang yang jujur dan para syahid. Betapa tinggi derajat
para pedagang jika mereka mau berusaha menerapkan sifat-sifat tersebut.
3. Ijma'
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.11
Peraturan atau hukum jual-beli dalam Islam ditetapkan sebagai
berikut:
a. Dibenarkan jual-beli yang tidak berbentuk riba.
b. Dalam jual-beli perlu ada ijab-qabul (tanda terima) yang diucapkan dengan
lisan/perkataan dan boleh dengan hati masing-masing.
9 Muhammad bin Isma’il al Kahlani, Subul al Salam, jld. 3, Surabaya: Haramain, cet. 4,
1960, hlm. 4. 10
Muhamad Abdurahman Ibnu Abdurarahim, Tuhfatul Athfal Syarh Jami’ Al Tirmidzi,
Bairut-Libanon: Dar Kitab Alamiah, jld. 4, hlm. 335. 11
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
18
c. Dilarang memperjual-belikan darah, bangkai, hasil pencurian, harta waqaf,
milik umum, minuman keras, babi, barang najis, barang yang tidak ada
harganya dan barang yang tidak ada pemiliknya.
d. Akad jual-beli harus dilaksanakan dalam satu majelis, dapat diterima
(taslim) dan dapat dipegang (qabadh).
e. Dalam jual-beli dibenarkan adanya hak meneruskan atau membatalkan
pembelian suatu barang (khiyar) jika misalnya terdapat cacat (aib),
f. Dalam jual-beli tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang berakal
sedangkan pada anak kecil dibenarkan pada benda-benda yang tidak
bernilai tinggi, kecuali jika mereka telah dewasa.
g. Jika barang tersebut ditimbang atau diukur maka timbangan atau ukuranya
tertentu dan diketahui.
h. Larangan menawar tawaran orang lain atau menjual sesuatu yang sudah
dibeli orang lain.
i. Larangan menimbun barang pada saat masyarakat banyak memerlukan
barang tersebut.
j. Larangan jual-beli ke arah yang bermaksiat kepada Allah misalnya
menjual patung untuk disembah.
k. Larangan jual-beli yang mengarah pada unsur paksaan.
l. Dalam jual-beli harus terlihat jelas bendanya tetapi, dibolehkan dengan
melihat contoh barangnya.12
12
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, cet. 1, 1992, hlm. 392.
19
Hukum jual beli
1) Asal hukum jual-beli adalah mubah (boleh)
2) Wajib misalnya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa.
3) Sunah, seperti jual-beli kepada sahabat-sahabat atau famili yang dikasihi.
4) Haram, apabila melakukan jual-beli yang terlarang.13
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual-beli, Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa rukun jual beli
hanya ijab dan kabul saja. Yang menjadi rukun jual beli hanyalah kerelaan
antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun, karena unsur kerelaan
berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan
indikator (qorinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah
pihak. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk perkataan (ijab dan qabul) atau
dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang dan
penerimaan ganti barang tersebut).14
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum Al Dinnya
menerangkan bahwa rukun jual beli itu ada tiga yaitu:
1. Aqid (penjual dan pembeli)
2. Siqhad (lafal ijab dan kabul)
3. Ma’qud (benda yang dijadikan obyek jual-beli)15
13
Ibid, hlm. 393. 14
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat) Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. cet. 1, 2003, hlm. 118. 15
Ismail Jaqub (trj), Ihya’ Ulum al Din karya Al ghazali, Jakarta: Faizan, hlm. 464.
20
Menurut Jumhur Ulama, syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli
di atas adalah sebagai berikut:
1. Syarat orang yang berakat (aqid)
Aqid atau orang yang melakukan perikatan yaitu penjual
(pedagang) dan pembeli, transaksi jual-beli tidak mungkin terlaksana tanpa
kedua pihak tersebut. Seseorang yang berakad terkadang orang yang
memiliki hak dan terkadang wakil dari yang memiliki hak. Ulama’ fiqih
sepakat, bahwa orang yang melakukan jual-beli harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Aqil (berakal).
Hendaknya dilakukan oleh orang yang berakal atau tidak hilang
kesadarannya, karena hanya orang yang sadar dan sehat akalnya yang
sanggup melangsungkan transaksi jual beli secara sempurna, ia mampu
berfikir logis. Oleh karena itu anak kecil yang belum tahu apa-apa dan
orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual beli tanpa
pengawasan dari walinya, dikarenakan akan menimbulkan berbagai
kesulitan dan akibat-akibat buruk seperti penipuan dan sebagainya.
Firman Allah:
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya16
, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
16
Orang yang belum Sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang
dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.
21
kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik.” (QS. An-Nisa’: 5) 17
b. Mumayyiz (dapat membedakan/sudah dewasa)
Hendaknya orang yang melakukan transaksi tersebut sudah
mumayyiz yakni dapat membedakan antara mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dengan demikian tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak yang
belum mumayyiz.
c. Kehendak sendiri.
Hendaknya transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip taradli
(rela sama rela) yang di dalamnya tersirat makna muhtar, yakni bebas
melakukan transaksi jual beli dan terbebas dari paksaan dan tekanan.18
Prinsip ini menjadi pegangan para fuqaha, dengan mengambil sandaran
dari Firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu.” (QS an-Nisa: 29).19
17
Departemen Agama RI, Op.cit, hlm. 115. 18
Hamzah Ya’qub, Kodo Etik dagang Menurut Hukum Islam, Bandung: Diponegoro,
1992, hlm. 81. 19
Departemen Agama RI, Op.cit, hlm.122.
22
2. Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli, menjual belum
dikatakan sah sebelum ada ijab dan kabul. Ijab ialah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakat sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul ialah perkataan
yang keluar dari pihak yang berakat pula, yang diucapkan setelah adanya
ijab. Ijab dan kabul harus dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan
kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan,
tetapi kalau tidak memungkinkan, misalnya bisu atau yang lain, boleh ijab
kabul dengan surat-menyurat yang menyandung arti ijab dan kabul.
Kerelaan tidak dapat dilihat tetapi kerelaan dapat diketahui dengan
tanda-tanda lahirnya atau indikator-indikatornya.
Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual-beli, maka
pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan. Ulama fiqih
menyatakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut:
a. Keadaan ijab dan qabul antara satu dan lainnya harus saling
berhubungan.
b. Qabul sesuai dengan ijab, ungkapan harus jelas begitu juga waktunya.
3. Syarat yang terkait dengan obyek jual-beli
Adapun syarat yang terkait dengan obyek yang dijadikan sasaran
jual beli adalah sebagai berikut:
a. Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupanya untuk mengadakan barang itu. Namun
23
dalam hal ini yang terpenting adalah saat diperlukan barang itu sudah
ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati bersama.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu
bangkai, babi dan benda-benda haram lainya tidak sah menjadi obyek
jual-beli, karena benda-benda tersebut tidak bermanfaat bagi manusia
dalam pandangan Syara’.
c. Suci barang atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah penjualan
benda-benda najis seperti anjing, babi dan lainnya.20
d. Barang yang dimiliki, barang yang boleh diperjual-belikan adalah milik
sendiri, atau mendapatkan kuasa dari pemilik untuk menjualnya, barang
yang sifatnya belum dimiliki seseorang, tidak boleh diperjualbelikan.
e. Harus jelas bentuk, zat dan ukuranya.
Disamping syarat yang berkaitan dengan rukun jual-beli di atas,
juga ada beberapa syarat lain yaitu:
a. Syarat sah jual-beli
Jual beli baru dianggap sah apabila memenuhi dua hal:
1) Jual beli itu terhindar dari cacat seperti barang yang diperjual-
belikan tidak jelas, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Begitu
juga harga tidak jelas, jual beli itu mengandung unsur paksaan,
penipuan dan syarat-syarat lain yang mengakibatkan jual-beli rusak.
2) Apabila barang yang diperjual-belikan itu benda bergerak, maka
barang itu langsung dikuasai pembeli dan harga dikuasai penjual.
20
Hendi suhendi, Op.cit, hlm. 72.
24
Sedang barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli setelah
surat-menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebiasaan setempat.
b. Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual-beli
Jual-beli baru dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut
mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual-beli. Umpamanya, barang
itu milik sendiri (bukan milik orang lain atau hak orang lain yang
terkait dengan barang itu).
Akad jual-beli tidak dapat dilaksanakan, apabila orang yang
melakukan akad itu tidak memiliki kekuasaan secara langsung
melakukan akad. Dalam hal ini, pihak wakil harus mendapat
persetujuan (surat kuasa) dari yang diwakili.
c. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual-beli.
Ulama fiqih sepakat menyatakan, bahwa suatu jual-beli baru
bersifat mengikat, apabila jual-beli itu terbebas dari segala macam
khiyar.
Apabila jual-beli itu masih mempunyai hak khiyar, maka jual-
beli itu belum mengikat dan masih dapat dibatalkan.
Apabila semua syarat jual-beli di atas telah terpenuhi secara
hukum, maka jual-beli telah dianggap sah. Oleh sebab itu, kedua belah
pihak tidak dapat lagi membatalkan jual-beli itu.21
21
M. Ali hasan. Op.cit. hlm. 125.
25
D. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi.
1. Ditinjau dari segi hukumnya jual beli ada dua macam, jual beli yang sah
menurut hukum dan jual beli yang batal menurut hukum:
a. Jual beli yang sahih.
Apabila jual-beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun atau syarat
yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat
dengan khiyar, maka jual beli itu sahih dan mengikat kedua belah
pihak.
Jual beli yang sah dapat dilarang dalam Syariat bila melanggar
ketentuan pokok yaitu, menyakiti penjual, pembeli, atau orang lain.
Menyempitkan gerakan pasar, merusak ketentraman umum.22
b. Jual beli yang batil.
Apabila pada jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak
terpenuhi, atau pada dasarnya dan sifatnya tidak diSyari’atkan, maka
jual itu batil. Jual beli yang batil itu sebagai berikut:
1) Jual-beli sesuatu yang tidak ada
Ulama’ fiqih sepakat menyatakan, bahwa jual beli barang
yang tidak ada tidak syah. Misalnya jual beli buah-buahan yang baru
berkembang atau menjual anak sapi yang masih dalam perut
induknya.23
22
Gemala Dewi, Hukum perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005,
hlm. 105. 23
M.Ali Hasan, Op. Cit, hlm. 128.
26
2) Menjual barang yang tidak dapat diserahkan
Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli,
tidak sah (batil). Umpamanya menjual barang yang hilang atau
burung peliharaan yang lepas dari sangkarnya.
3) Jual beli gharar
Adalah jual-beli yang samar sehingga ada kemungkinan
mengandung unsur tipuan Menjual barang yang mengandung unsur
tipuan tidak sah (batil). Umpamanya menjual barang yang
kelihatanya baik namun terdapat cacat di dalam barang tersebut atau
penjualan ikan yang masih di dalam kolam.
4) Jual-beli benda najis
Ulama sepakat tentang larangan jual-beli barang yang najis,
seperti anjing.
Artinya: “Abdullah bin Yusuf mengabarkan kepada kami, Malik dari
Ibnu Sihab telah menceritakan dari Abi Bakar bin
Abdirahman dari Abi Mas’ud Al Anshari ra.: bahwa
Rasulullah Saw. melarang harga anjing (berjual-beli
anjing), bayaran pelacuran, dan upah tukang tenung.”24
Larangan bayaran pelacuran adalah karena melacur adalah
dosa besar dan perbuatan yang dikutuk oleh Allah, tenung adalah
24
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Sohih Bukhori, Jld. 11, Bairut Libanon, 1412 H,
hlm. 59.
27
perbuatan musyrik, sedangkan larangan harga anjing adalah karena
ada sebuah Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang
menyatakan bahwa bejana yang terkena jilatan anjing harus di cuci
sebanyak tujuh kali.
Artinya: “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:
“Apabila anjing minum di bejana salah seorang diantara
kamu maka cucilah tujuh kali.” (HR. Ahmad, Bukhori dan
Muslim)25
5) Jual-beli al-‘urbun
Pembayaran uang muka dalam transaksi jual-beli, dikenal
ulama’ fiqh dengan istilah bai’ arbun adalah sejumlah uang muka yang
dibayarkan pemesan/calon pembeli yang menunjukkan bahwa ia
bersungguh-sungguh atas pesananya tersebut. Bila kemudian pemesan
sepakat barang pesananya, maka terbentuklah transaksi jual-beli dan
uang muka tersebut merupakan bagian dari harga barang pesanan yang
disepakati. Namun bila pemesan menolak untuk membeli, maka uang
muka tersebut menjadi milik penjual.26
6) Jual-beli air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki
seseorang.
Air tersebut adalah milik bersama umat manusia dan tidak boleh
diperjual-belikan. Menurut jumhur ulama air sumur pribadi, boleh
25
A Qodir Hasan, Terjemah Nailul Author Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jld. 1.
Surabaya: Bina Ilmu, 1978, hlm. 31. 26
Dimyaudin Djuaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008,
hlm. 90.
28
diperjualbelikan, karena air sumur itu milik pribadi, berdasarkan hasil
usaha sendiri, uang hasil usaha itu dianggap imbalan atau upah atas
jerih payah pemasok air tersebut.
2. Ditinjau dari segi obyek jual-beli
Dari segi benda yang dapat dijadikan obyek jual-beli, jual beli
dapat dibagi menjadi tiga bentuk:
a. Jual-beli benda yang kelihatan.
Jual-beli benda yang kelihatan adalah pada waktu melakukan
jual-beli, benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual
dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan banyak masyarakat dan boleh
dilakukan.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah
jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam
adalah bentuk jual-beli yang tidak tunai (kontan) maksudnya adalah
perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga
masa tertentu sebagai imbalan harga yang ditentukan pada waktu
akad.27
c. Jual-beli benda yang tidak ada.
Jual-beli beli benda yang tidak ada dan tidak dapat dilihat ialah
jual beli yang dilarang agama Islam karena barangnya tidak tentu atau
masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari
27
Hendi Suhendi, OP. Cit, h. 76.
29
curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian
salah satu pihak.
3. Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek)
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi
tiga bagian yaitu:
a) Dengan lisan
Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan kebanyakan orang, bagi orang bisu dilakukan dengan isyarat
karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan
kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah kehendak dan
pengertian bukan peryataan.28
b) Dengan tulisan
Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan
atau surat menyurat sama halnya dengan ijab kabul dengan ucapan
misalnya melalui via pos dan giro. Jual-beli ini dilakukan antara penjual
dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tetapi melalui
pos dan giro, jual beli ini diperbolehkan oleh syara’.
c) Dengan perbuatan
Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah muathah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa
ijab kabul, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak
yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala
28
Ibid, h. 77.
30
akibat hukumnya seperti seseorang mengambil rokok yang sudah ada
bandrol harganya dan kemudian diberikan kepada penjual uang
pembayarannya.29
E. Jual-beli Yang Dilarang
Jual beli benda najis hukumnya tidak sah, seperti yang dijelaskan
dalam sabda Nabi Saw berikut ini:
Artinya: “Menceritakan kepada kita Abdullah ibnu Maslamah, menceritakan
kepada kita Malik dari Nafi’ dari ibnu Umar RA ia berkata, bahwa
Rasulullah melarang jual beli najis.”30
Dalam Hadist lain jual beli barang najis dilarang seperti babi, darah,
bangkai dan khamar semua benda yang memabukkan) pengharaman khamar
adalah karena dapat mengakibatkan manusia kehilangan sesuatu yang paling
berharga yang diberikan oleh Allah yaitu akal. Di samping itu, khamar juga
dapat menyebabkan bahaya-bahaya lain yang disebabkan hilangnya akal
manusia, karena hilangnya akal manusia dapat berbuat sesuatu diluar
kesadaran seperti membunuh dan lain-lain yang dilarang agama. Sedangkan
pengharaman babi selain najis juga mengandung bakteri-bakteri yang tidak
mati sekalipun sudah dimasak, begitu juga dengan bangkai karena
mengandung bakteri yang dapat menyebabkan penyakit.
29
Gemala Dewi, Op. Cit, hlm. 64. 30
Muhammad Ibnu Ismail, Op. Cit, hlm. 4.
31
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dan al-Laits dari Yazid
bin Abi Habib dari 'Atha' bin Abi Rabah dari Jabir bin 'Abdullah
RA telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: tahun pembukaan
di Makkah: sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli khamer
(minuman keras), bangkai, babi dan berhala, Kemudian seseorang
bertanya: "Bagaimana tentang lemak bangkai, karena banyak yang
menggunakannya sebagai pelapis perahu dan, meminyaki kulit dan
untuk bahan bakar lampu? Rasulullah Saw. menjawab: “Tidak
boleh, semua itu adalah haram”.31
Sebab keharaman arak adalah karena memabukkan, sedangkan
bangkai, anjing, dan babi adalah karena najis, sedangkan berhala bukan
karena najis tapi karena tidak ada manfaatnya, menurut Syara', batu berhala
bila dipecah-pecah menjadi batu biasa boleh dijual, sebab dapat digunakan
untuk membangun gedung atau yang lainnya. Dalam keterangan kitab
Sunanul Qubro karangan Imam Abi Bakar Ahmad Bin Husain Bin Ali
Baihaqi menerangkan:
31
Muhammad bin Ismail, Op. Cit, hlm. 434.
32
Artinya: “Ibnu Wahab menuturkan dari Ibnu Luhaiah, dan Hayat dari Ibnu
Suraih, dari Kholid Bin Abi Imron berkata: sesungguhnya aku
bertanya kepada Qosim dan Salim dari permasalahan minyak yang
di dalamnya ada bangkai tikus, apakah minyak itu layak untuk
dimakan? berkata Qasim dan Salim, tidak, kemudian Kholid bin
Imron bertanya lagi apakah kita diperbolehkan menjualnya? Al
Qasim dan Salim menjawab, boleh, kemudian makanlah harganya,
dan jelaskan pada pembelinya apa yang terjatuh dalam minyak
tersebut. Sebagian hujah mereka, apa yang disebutkan Abdul
Wahid dari Makmar dari az-Zahiri dari Said bin Musayad dari Abi
Hurairoh dari Nabi Saw. dalam permasalahan tikus yang jatuh ke
dalam minyak samin, apabila minyak tersebut padat maka buanglah
sekitarnya, apabila samin itu cair maka buatlah bahan bakar lampu
dan manfaatkanlah.”32
Dalam Kitab al-Fiqh ala al Madzahib al Arba’ah, mazhab Hanafi
menegaskan:
Artinya: “Mereka berkata: Boleh menjual belikan minyak yang terkena najis
dan memanfaatkannya selain untuk makan. Sebagaimana boleh
memperjual belikan kotoran yang tercampur dengan debu dan
memanfaatkannya dan kotoran binatang atau pupuk meskipun dia
najis barangnya. Bahwasanya yang mereka larang adalah
memperjual belikan bangkai, kulit bangkai sebelum disamak, babi
dan arak.”33
32
Ahmad Bin Husain Bin Ali Baihaqi, Sunanul Qubro, Jus 6, Bairut Libanon, Darul Al
Kitab Al Alamiah, 458 H, hlm. 22. 33
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr,
1972, hlm. 126.
33
Artinya: “Segala sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh
Syara' boleh dijual-belikan.”34
Dari beberapa pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa jual
beli benda najis atau benda suci yang terkena najis itu diperbolehkan asalkan
benda itu tidak untuk dimakan dan diminum karena benda-benda itu
bermanfaat dan manfaat itu tidak yang dilarang oleh Syara’.
34
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, V, Beirut: Dar al-Fkr, 1997,
hlm. 3431.
34
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG JUAL BELI ANJING
A. Biografi Imam Malik
1. Biografi Imam Malik
Imam Malik memiliki nama lengkap, yaitu Malik bin Anas bin
Malik bin Abi „Amr bin al-Haris bin Usman bin Jusail bin Amr bin al-
Haris al-Ashbahaniy al-Himyariy, Abu „Abdillah al-Madaniy. Imam Malik
merupakan salah seorang ulama terkenal dan Imam kota Madinah.1 Dia
dilahirkan pada tahun 93 H (ada juga yang menyebut tahun 90 H),2 dan
wafat pada tahun 179 H dalam usia 87 tahun.3
Semasa kecilnya pendidikan Imam Malik berlangsung di Madinah.
Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya menghafal Al-Qur‟an sejak
usia baligh, dan pada masa usia tujuh belas tahun, dia telah menguasai
ilmu-ilmu Agama.4 Dalam bidang hadits, Imam Malik belajar dari
pamannya yang bernama Abu Suhail, seorang ulama terkenal pada masa
itu.5 Disamping dari pamannya Imam Malik juga belajar kepada para
1 Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Kitab Tahdzib al Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr,
1995, Juz 8, hlm. 6. 2 Muhammad al Zarqani, Syarh al Zarqani ‘ala Muwatha’ Imam Malik, Bairut: Dar al
kutub al Ilmiyah, 1990, hlm. 4. 3 Malik bin Anas, Al Muwaththa’, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, hlm. 5.
4 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
1994, hlm. 99. 5
Abd. Rahman Idho‟i, Shariah The Islamic Law, terj. Basri Iba dan Wadi Maskuri, cet. 1
Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 145.
35
ulama yang berkunjung ke Madinah, selain dari ulama-ulama besar yang
ada di Madinah sendiri.6
Imam Malik memiliki banyak guru tempatnya menimba ilmu,
bahkan ada yang menyebutkan bahwa dia mempunyai guru sampai 900
orang.7 Diantara guru-gurunya
8 tersebut adalah Abd Al Rahman Ibn
Hurmuz (w. 148), Muhammad Ibn Sihab al-Zuhri (w. 123/124 H). Nafi‟
Maula ibn Umar (w. 120 H). Imam Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad bin ali
al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (148 H). Rabi‟ah al-Ra‟yi bin Abd al
Rahman (w. 136 H). „Amir bin Abdillah bin al-Zubair bin al-Awwam,
Na‟im bin Abdillah al-Majmar, Zaid bin Aslam, „Abdillah bin Dinar al-
Adawi, Abu „Abd al Rahman al-Madini Maula bin Umar (w. 127 H).9.
Dengan kesungguhan dan ketentuan yang dimiliki oleh Imam
Malik dalam menuntut ilmu, serta melalui kontribusi guru-guru yang
menjadi sumber ilmu bagi Imam Malik, khususnya dalam bidang hadits
dan fikih, Imam Malik kemudian lahir dan muncul sebagai ulama besar,
khususnya dalam bidang hadits di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai
seorang yang teliti di bidang hadits. Ibn Hibban mengatakan bahwa Imam
Malik adalah orang pertama dari kalangan fuqaha di Madinah yang
menyeleksi para perawi hadits. Malik menolak perawi yang tidak siqat,
dan tidak akan meriwayatkan hadits kecuali yang sahih, dan begitu juga
6 M. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literaure Indianapolis, Indiana:
American Trust Publication, 1977, hlm. 81.
7 Al Muwaththa’, Op.cit, hlm. 5.
8 M. ‟Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1993 M, hlm. 489-
490, lihat juga, Ibnu Hajar, Tahzib at-Tahzib, op.cit, juz 7, hlm. 420. 9 Syihab al-Din Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Kitab Tahzib at-Tahzib, juz 8, hlm.
6.
36
beliau tidak akan meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang siqat,
Imam Syafi‟i adalah salah seorang murid yang pernah belajar pada
beliau.10
Selain Imam Syafi‟i, masih banyak ulama‟ yang menimba ilmu
pada beliau, baik dari Mesir dan Andalusia, yang paling popular adalah
Abu Abdullah (Abd Al Rahman bin Qasim), Abu Muhammad (Abdullah
bin Wahb bin Muslim), Asyhab bin Abdul Azis Al Qaisi, Abdullah bin
Abdul Qasim, Ashbagh bin al Faraj, Muhammad bin Abdullah,
Muhammad bin Ibrahim, Afrika, yang paling popular adalah Ali bin Ziyad
Al Tunisi, Ziyad bin Abd al Rahman al Qurthubi, Isa bin Dinar, Abd al
Malik bin Habib, Abd al Salam bin sa‟id. Murit-muritnya yang
menyebarkan madzhabnya sampai ke Irak dan Hijaz adalah Abu Marwan
Abd al Malik bin Abi Salamah, Ahmad bin Mu‟addzal bin Ghailan al
„Abdi, Abu Ishaq isma‟il bin Ishaq.11
Adapun dari segi kepribadian dan sikapnya, Imam Malik dikenal
sebagai seorang yang sederhana dan rendah hati. Sebelum wafatnya Ia
banyak meninggalkan warisan ilmu berupa naskah-naskah; antara lain
adalah: Risalah Ila Ibn Wahb fi al-Qadr, Kitab An-Nujum, risalah fi al-
Aqdhiyah, tafsir li Gharib Alquran, risalah Ila Lais bin Sa’ad, Kitab Syiar,
Kitab al-Manasik, Risalah Ila Abu Hasan, dan Kitab al-Muwaththa’.12
10
Ibid. juz 8, hlm. 9-10. 11
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islam wa Adillatuhu, jld. 1, Damsiq: Dar Al Fikr, cet. 7,
2006, hlm. 45-48. 12
M. Azami, Studies in Hadits Methodology and Literaure, Op. Cit., h. 82.
37
Pada umumnya kitab di atas tidak lagi diketahui keberadaanya
kecuali kitab al-Muwaththa’ merupakan karya Imam Malik yang cukup
terkenal bahkan menjadi salah satu kitab hadits yang besar diantara kitab-
kitab yang ada.
2. Pemikiran dan Perkembangan Madzhab Malik
Pada awalnya Imam Malik mencurahkan studinya pada Ilmu
Hadits (riwayat), fatwa sahabat ada tabi‟in. selanjutnya, aspek-aspek ini
menjadi pilar pokok bagi bangunan fikihnya. Selain itu, ia juga
mengarahkan perhatiannya pada studi ilmu-ilmu keislaman lain. Dalam
studi fikih, ia mengarahkan perhatiannya pada fikih ra‟yu (penalaran) ahli
Madinah yang antara lain diterimanya dari Yahya bin Sa‟id al-Ansari, Ahli
hadits dari kalangan tabi‟in. Corak ra‟yu di Madinah adalah pemaduan
antara nash-nash dan berbagai maslahat yang berbeda-beda. Hal ini
sejalan dengan Atsar (sikap dan tingkah laku para sahabat), yakni metode
Umar bin Khattab dalam prinsip maslahat. Oleh sebab itu, ia lebih dekat
dengan pendapat yang menyerupai atsar dan yang semakna dengannnya.
Imam Malik juga menyelenggarakan pengajarannya di masjid Nabi
Saw. (Masjid Nabawi) dan memiliki tempat yang pernah dipakai Umar bin
Khattab. Dia menyelenggarakan dalam pengajarannya, yaitu khusus yang
sudah terjadi. Ia tidak mau memberikan fatwa terhadap kasus yang belum
terjadi. Selain itu, Imam Malik tidak mau memberikan fatwa yang
berkaitan dengan wewenang hakim dan masalah pengadilan. Dalam
menanggapi aneka ragam pemikiran yang timbul dalam masalah kalam
38
(aqidah), Imam Malik selalu menempuh jalan fikih dan hadits, yaitu
keharusan mengikuti sunah dan metode yang ditempuh oleh ulama salaf
terdahulu (gerakan salafiyah). 13
Karya Imam Malik yang terkenal yaitu kitab al Muaththa’, yang
merupakan kitab hadits pertama yang disusun. Al Muaththa’ juga
merupakan kitab Hadits dan fikih sekaligus yang didalamnya dihimpun
hadits-hadits dalam tema-tema fikih yang pernah dibahas Imam Malik,
seperti praktek atau amalan penduduk Madinah, pendapat sahabat serta
tabi‟in yang tidak sempat ditemuinya.14
Silsilah sanad hadits dari Imam Malik dipandang sebagai “silsilah
emas” atau “silsilah az-zahab” (rangkaian perawi hadits yang dianggap
paling sahih). Pada masa sebelum Imam Malik, periwayatan hadits
terbatas pada hapalan, karena para ulama belum banyak mengenal
penulisan dan pembukuan.
Adapun mazhab Maliki antara lain tersebar di wilayah Hijaz. Di
daerah ini kedudukan mazhab Maliki menjadi kuat setelah Ibnu Farhun
menjadi hakim pada Tahun 793 H. Mazhab ini masuk ke Mesir berkat
usaha murid-muridnya, seperti Abdurrahman bin Kasim, dan Usman bin
Hakam, sampai datangnya mazhab Syafi‟i.
Di Tunisia tersebar juga mazhab Maliki, tetapi kemudian
dikalahkan oleh mazhab Hanafi pada masa Syekh Asad al-Fatur al-Tunisia
(seorang syekh pemberi fatwa pada masa pemerintahan Ziaduullah I dari
13
Syekh Muhammad al-Hudari, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar Ihya‟ al-Kutub al-
„Arabiyah, 1981, hlm. 412. 14
Imam Malik, Op.cit., hlm. 15.
39
dinasti Aglabid). Kemudian mazhab Maliki bangkit lagi pada masa Mu‟iz
bin Hadis. Sejak saat itu penduduk diwilayah magribi menganut mazhab
Maliki. Mazhab ini juga berhasil menguasai wilayah Andalusia, terutama
pada masa Yahya bin Yahya al Andalusia menjadi hakim di sana. Akan
tetapi, mazhab ini kurang tersebar diwilayah Islam bagian timur.
B. Pendapat Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing
Pada bab sebelumnya telah penulis singgung mengenai pendapat
Imam Malik mengenai hukum jual beli anjing. Akan tetapi dalam kesempatan
ini penulis akan lebih detail dalam menjabarkan pendapat-pendapat Imam
Malik mengenai jual beli anjing.
Dalam kitab al Muwattha‟ disebutkan bahwa hukum tsaman (hasil
dari jual beli anjing) adalah makruh baik anjing yang bermanfaat maupun
tidak.
Artinya: “Imam Malik berkata: saya memakruhkan harga anjing baik yang
bermanfaat maupun tidak, karena Nabi Saw. Melarangnya”.
Beliau mendasarkan pada sabda Nabi Saw. berikut ini:
Artinya: “Dari ibn Syihab, dari Abi Bakr bin Abd al Rahman bin Harits bin
Hisyam, dari Abi Masy‟ud al Anshari, sesungguhnya Rasulullah
Saw. melarang harga anjing, harga pezina dan ongkos peramal.”15
15
Malik bin Anas, Op.cit., hlm. 573.
40
Meskipun dalam hadits tersebut jelas-jelas ada larangan dari Nabi
Saw. akan tetapi Imam Malik memberikan hukum makruh bukan haram.
Hukum makruh jual beli anjing bukan karena najisnya melainkan karena
adanya larangan langsung dari Nabi Saw. karena Imam Malik tidak
menghukumi najis pada anjing, meskipun beliau mewajibkan membasuh
tujuh kali, hal itu bukan karena najisnya melainkan karena murni beribadah
kepada Allah.16
Tidak najisnya anjing menurut beliau didasarkan pada firman
Allah dalam QS. Al Maidah ayat 5:
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi
mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.”17
Dalam ayat tersebut menjelaskan tentang anjing yang digunakan
untuk berburu. Kemudian imam Malik berpendapat, jikalau anjing itu najis
maka najislah hasil buruannnya ketika anjing membawanya kepada tuannya.18
Dilihat dari bagaimana kebiasaan anjing ketika menyerahkan hasil buruan
16
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam wa Adillatuhu, jld. I, Damsiq: Dar Al Fiqr, Cet
VII, 2006, hlm. 295, 305-306. 17
Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 158. 18
Ahamad Al Syurbashi, Yasalunaka fi Al Din wa Al Hayat, Beirut-Libanon: Dar Al Jail,
1996, hlm. 26-27.
41
kepada tuannya, yaitu dengan menggigit. padahal dalam sebuah hadits
dijelaskan bahwa jilatan anjing itulah yang menyebabkan sebuah bejana itu
najis yang wajib dibasuh dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya
dicampur dengan debu. Otomatis jika anjing itu membawa hasil buruan
kepada tuannya dengan cara tersebut maka sudah pasti jilatan atau air liurnya
mengenai hasil buruan itu.
C. Metode Istinbath Hukum Imam Malik
Imam Malik tidak pernah menyusun dasar-dasar madzhab yang
dibangunnya dalam sebuah kitab, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam
Syafi‟i, yang membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi sumbernya
dalam menggali hukum dan menerangkan sebab-sebab yang menyebabkan
dasar itu dijadikan sebagai hujjah, serta kedudukan masing-masing dasar itu
dalam teori istidlal.
Oleh karena itu untuk mengetahuinya harus dilakukan penelusuran
terhadap karya-karya besar beliau yang ada di kalangan kita, diantaranya
kitab al-Muwatta’ dan kitab fatwa beliau al-Mudawwanah al-Kubra’.19
Dalam kitab al-Muwatta’ diterangkan sebab-sebab Imam Malik menjadikan
al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai sumber utama. Selain itu Imam Malik juga
menerangkan alasannya menggunakan ijma‟ ahl Madinah sebagai dasar
hukum dan dasar penggunaan qiyas untuk menetapkan hukum. Qadi al-Iyad
dalam kitabnya al-Madarik mengatakan dasar yang dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum adalah al kitab, al sunnah, amal ahl al-Madinah dan al
19
Ibn Hajar, Fath al-Bari, jld. I, Beirut-Libanon: Maktabah al Salafi, t.th., hlm. 4.
42
qiyas.20
Imam al Syathibi mengklaim bahwa ada empat macam dasar
madzhab Maliki dalam menetapkan hukum, yaitu al kitab, al sunnah, ijma’
dan al ra’yu. Adapun qaul al sahabah dimasukkan dalam kategori al sunnah
sementara maslahah mursalah, sad al zariah, ‘urf, istihsan dan istishab
dimasukkan dalam kategori al ra’yu.21
Adapun penjabaran masing-masing dasar sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
Imam Malik memandang al-Qur‟an sebagai pokok pangkal hukum
syari‟at, pegangan umat Islam yang pertama. Al-Qur‟an dalam pandangan
Imam Malik adalah lafadz dan makna. Karenanya tidak boleh terjemahan
al-Qur‟an digunakan dalam shalat. Dalam memegang al-Qur‟an ini
meliputi pengambilan hukum berdasarkan zahir nass al-Qur‟an atau
keumumannya, meliputi mafhum al-mukhalafah yang dinamakan dalil dan
mafhum al-muwafaqah yang dinamakan fahwa dengan memperhatikan
illatnya.
2) As-Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam
Malik melakukan cara yang dilakukan dalam berpegang kepada al-Qur‟an.
Apabila dalil syar‟i menghendaki penta‟wilan maka yang dijadikan
pegangan adalah arti ta‟wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara
makna zahir al-Qur‟an dengan makna yang terkandung dalam sunnah
20
TM. Hasbi al Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta: Bulan
Bintang, 1972, hlm. 171. 21
Abu Ishaq al Syatibi, al Muwafaqat, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1975, hlm.
364.
43
sekalipun jelas, maka yang dipegang adalah makna zahir al-Qur‟an. Tetapi
apabila makna yang dikandung oleh as-Sunnah tersebut dikuatkan oleh
Ijma’ Ahl al-Madinah, maka beliau lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah dari pada zahir al-Qur‟an (sunnah yang
dimaksud disini adalah sunnah mutawatir dan masyhur).22
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa kedudukan as-sunnah
terhadap al-Qur‟an ada tiga:23
a) Men-taqrir hukum atau mengkokohkan hukum al-Qur‟an.
b) Menerangkan apa yang dikehendaki al-Qur‟an, men-taqyid
kemutlakannya dan menjelaskan kemujmalannya.
c) Sunnah dapat mendatangkan hukum baru yang tidak disebut dalam al-
Qur‟an.
3) Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma‟ ahl al-madinah ini ada beberapa macam diantaranya ijma‟ ahl
al-madinah yang asalnya dari al-naql hasil dari mencontoh Rasulullah
SAW. Bukan dari ijtihad ahl al-madinah seperti ukuran mud, penentuan
tempat atau tempat dilakukannya amalan rutin.
Di kalangan Madzhab Maliki, ijma‟ ahl al-Madinah lebih
diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma‟ ahl al-Madinah merupakan
pemberitaan oleh jama‟ah, sedang khabar ahad hanya merupakan
22
Huzaimah Tahida Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997,
hlm. 106. 23
TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Op.cit, hlm. 200-201.
44
pemberitaan perorangan. Ijma‟ ahl al-madinah ini ada beberapa tingkatan
yaitu:
a. Kesepakatan ahl al-madinah yang asalnya adalah al-Naql.
b. Amalan ahl al-madinah sebelum terbunuhnya „Usman bin „Affan. Hal
ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl al-
madinah waktu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasul.
c. Amalan ahl al-madinah itu dijadikan pendukung, pentarjih atas dua
dalil yang saling bertentangan.
d. Amalan ahl al-madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan
amalan Nabi SAW.24
4) Fatwa Sahabat
Yang dimaksud sahabat di sini adalah sahabat besar yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql.
Menurut Imam Malik, para sahabat besar tidak akan memberi fatwa
kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun
demikian beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh
bertentangan dengan hadis marfu’ yang dapat diamalkan dari fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas dan
adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabi‟in besar sebagai
pegangan dalam menentukan hukum.
24
Ibid., hlm. 107.
45
5) Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang
datang dari Rasulullah Saw., jika khabar ahad ini bertentangan dengan
sesuatu yang sudah dikenal masyarakat Madinah, sekalipun hanya dalil
dari hasil istinbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain
yang qat’i. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu
konsisten, kadang-kadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad.
Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan
masyarakat Madinah maka hal itu dianggap sebagai petunjuk bahwa
khabar ahad bukan berasal dari Rasulullah Saw. Dengan demikian,
khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi
menggunakan qiyas dan maslahah.
6) Al-Istihsan
Menurut Mazhab Maliki, al-istihsan adalah mengambil maslahah
yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh)
dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta‟rif di
atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz‟iyyah atau
maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum
atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari
satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan
syari‟at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu
ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus
mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti
46
istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra‟yu semata, melainkan
berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya
berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma‟, „urf atau al-maslahah al-
mursalah.
7) Al-Maslahah al- Mursalah
Al-Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh
nash, dengan demikian maka al-maslahah al-mursalah itu kembali kepada
memelihara tujuan syar‟iat diturunkan.
Azas atau pondasi fiqh Islam adalah kemaslahatan umat, tiap-tiap
maslahah dituntut oleh syara‟ dan tiap-tiap yang memberi madarat
dilarang oleh syara‟. Ini adalah dasar yang disepakati ulama. Mazhab
Maliki menghargai maslahah dan menjadikannya sebagai salah satu dasar
yang berdiri sendiri bahkan Mazhab Maliki kadang-kadang mentahksiskan
al-Qur‟an dengan dasar maslahah.25
8) Sadd al Dzarai’
Dzari‟ah menurut bahasa bermakna wasilah (perantara) dan makna
sadd al dzari’ah ialah menyumbat wasilah.26
Madzhab Maliki
menggunakan sadd az-zari’ah sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurut golongan ini semua jalan atau sebab yang menuju kepada
haram atau terlarang hukumnya haram atau terlarang, dan semua jalan atau
sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
25
Abi Ishaq al Syatibi, Op.cit, hlm. 118. 26
TM. Hasbi al Shidieqy, Op.cit., hlm. 221.
47
9) Istishab
Madzhab Malik menjadikan Istishab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk
masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum
yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini tersebut
hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada, begitu pula
sebaliknya. Misalnya seorang yang telah yakin sudah berwudhu, kemudian
datang keraguan apakah sudah batal atau belum maka hukum yang
dimilikinya adalah belum batal wudhunya.27
10) ‘Urf dan Adat Kebiasan
„Urf adalah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya:
Artinya: “Perkara yang disepakati oleh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya atau pekerjaan yang dilakukan
berulang-ulang oleh satu orang ataupun kelompok”.
Golongan Malikiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu
berlawanan dengan „urf, disamping itu golongan Malikiyah mentakhsiskan
umum dan mentaqyidkan mutlak dengan ‘urf. 28
27
Huzaimah Tahido Yanggo, Op.cit., hlm. 112. 28
Abi Ishaq asy-Syatibi, Op.cit., jld. II, hlm. 228.
48
D. Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing
Di atas telah penulis paparkan tentang metode istinbath hukum Imam
Malik secara umum, metode-metode beliau dalam menelorkan sebuah hukum
tidak terlepas dari kaidah-kaidah hukum di atas.
Mengenai hukum jual beli anjing, Imam Malik menghukumi makruh
karena melihat apa yang tampak pada sebuah hadits yang ada larangan
mengenai harga anjing. Meskipun dalam hadits tersebut jelas menggunakan
kata naha yang berarti larangan yang dalam kaidah fiqh larangan itu
menunjukkan pada keharaman. Dalam hadits yang lain menggunakan kata
zajara yang bermakna mencegah, secara redaksi berbeda lafadznya akan
tetapi sama dalam tujuannya, yakni melarang. Akan tetapi dalam hadits lain
setelah ada larangan atau pencegahan disebutkan istisna’ (pengecualian).
Berarti imam Malik mengumpulkan hadits-hadits yang sama pembahasannya,
yakni hadits-hadits yang terkait masalah anjing baik yang menjelaskan
tentang cara membasuh bejana ketika terkena jilatan anjing, hukum
memelihara anjing di rumah sampai hadits yang menjelaskan mengenai harga
anjing. Kemudian imam Malik mentahrij dari hadits-hadits tersebut yang
kemudian muncul hokum makruh. Kronologi hukum makruh tersebut muncul
dari penggabungan larangan dengan pengecualian. Disamping berdasarkan
pada hadits beliau juga menggali dari al Qur‟an, yaitu surat al maidah ayat 5,
dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa hasil buruan hewan buas dan anjing
yang terlatih dan taat pada tuannya dikategorikan dalam makanan-makanan
49
yang halal lagi baik. Dalam ayat tersebut di perintahkan untuk memakan dari
hasil buruan yang diperoleh binatang buas dan anjing yang terlatih.
Mengenai hukum memelihara anjing itu diperbolehkan asal ada tujuan
yang jelas dalam pemeliharaan tersebut. Seperti digunakan untuk menjaga
rumah, ternak dan tanaman. Kalau tidak ada tujuan yang jelas dalam
pemeliharaan lebih baik tidak memelihara anjing, karena akan mengurangi
pahala tiap harinya. Pembolehan memelihara anjing yang di gunakan untuk
berburu, menjaga ternak maupun tanam-tanaman berdasar pada sabda Nabi
berikut ini:
Artinya: “Dari Yazid bin Khushaifah, sesungguhnya Saib bin Yazid telah
mengkabarkan padanya, sesungguhnya dia (Saib) telah mendengar
Sufyan ibnu Abi Zuhair, Dia sedang berbicara dengan seseorang di
samping pintu masjid, kemudian dia berkata: aku mendengar
Rasulullah Saw. Bersabda: “barangsiapa memelihara anjing yang
tidak digunakan untuk menjaga tanaman dan tidak pula ternak
maka berkuranglah dari amalnya setiap hari sebanyak satu
Qiroth”.29
Dalam hadits tersebut menjelaskan tentang berkurangnya pahala orang
yang memelihara anjing yang tidak digunakan untuk menjaga tanaman
maupun ternak. Oleh karena itu apabila memelihara anjing penjaga
diperbolehkan dan sebaiknya tidak usah memelihara anjing jikalau tidak
membutuhkan, karena akan mengurangi pahala tiap harinya.
29
Malik bin Anas, Op.cit., hlm. 643.
50
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG JUAL BELI ANJING
A. Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing
Pada dasarnya hukum muamalah adalah mubah (diperbolehkan)
sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas ulama fiqih dalam kitab-
kitab mereka dengan menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi “al-
ashlu Fi al asyya’i wa al ‘ayani al ibahatu”. Kaidah ini berlandaskan
beberapa dalil syar‟i, di antaranya adalah firman Allah:
Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi
untukmu.” (QS. Al Baqarah 29)1
Dan jual beli (perdagangan) adalah termasuk dalam katagori
muamalah yang dihalalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, dan
Allah telah menghalalkan jual beli.” (QS. Al Baqarah 275)2
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa
yang bermanfaat bagi hambaNya maka Allah memperbolehkannya dan apa-
apa yang membhayakannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.3
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh
bentuk jual beli hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh
1 Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 13.
2 Ibid., hlm. 69
3 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jld. 1, Bairut-Libanon: Dar al Kutub al
Ilmiyah, 1999, hlm. 711.
51
Allah dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi
syarat sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.
Secara umum memang demikian, akan tetapi apabila ada hal lain yang
mempengaruhinya maka hukum jual beli tersebut tidak sah. Sebagaimana
anjing yang oleh sebagian ulama tidak boleh untuk diperjualbelikan, karena
mereka menekankan pada sucinya benda/obyek yang diperjualbelikan,
sebagaimana pendapat Imam Syafi‟i, Imam Ahmad bin Hambal dan Sayyid
Tsabiq. Sebagian yang lain memperbolehkan jual beli benda najis asalkan
bermanfaat, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malikiyah, pengikut Syafi‟i.
Adapun rukun dan syarat jual beli sebagaimana telah penulis sebutkan
dalam bab II meliputi „Aqid (orang yang melakukan akad), Sighot (lafal ijab
dan kabul) dan Ma’qud (benda yang dijadikan obyek jual-beli). Ketika jual
beli telah memenuhi ketiga unsur tersebut maka hukumnya telah dipandang
sah menurut syara‟.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, di sini terjadi perbedaan pandangan
mengenai obyek jual belinya, ada yang mengatakan najis dan ada juga yang
suci. Penulis lebih fokus pada pendapat-pendapat Imam Malik yang
mengatakan bahwa anjing itu suci akan tetapi jual belinya dihukumi makruh,
meskipun ada dalil yang melarang harga anjing. Sebagaimana hadits berikut:
52
Artinya: “Dari ibn Syihab, dari Abi Bakr bin Abd al Rahman bin Harits bin
Hisyam, dari Abi Masy‟ud al Anshari, sesungguhnya Rasulullah
Saw. melarang harga anjing, harga pezina dan ongkos peramal.”4
Dalam hadits yang lain juga disebut tentang penyucian anjing:
Artinya: “Dari Abi Hurairoh ra. Berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “sucinya
bejana salah satu kamu sekalian ketika dijilat anjing yaitu dibasuh
tujuh kali yang salah satunya dengan debu.” (HR. Muslim)5
Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa, disamping harga anjing itu
dilarang, anjing juga najis dan termasuk najis yang berat dilihat dari cara
penyuciannya. Akan tetapi Imam Malik lain menanggapi hal tersebut,
masalah penyucian anjing dengan tujuh kali basuhan itu murni beribadah
kepada Allah bukan karena kenajisannya. Beliau mendasarkan pada firman
Allah QS. Al Maidah ayat 4:
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi
mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya”.
4 Imam Malik, Al Muwattho’, hlm. 573.
5 Ibnu Hajar Al Asqolani, Bulugh Al Marom Min Adillah Al Ahkam, Semarang: Toha
Putra, hlm. 4.
53
Para sahabat bertanya tentang apa yang dihalalkan bagi mereka,
karena di muka bumi ini banyak hewan melata yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu dalam al Qur‟an maupun hadits terkait hukumnya,
kemudian turunlah ayat tersebut. Kataknlah wahai Muhammad, yang
dihalalkan bagi mereka adalah makanan yang halal lagi baik dan hasil buruan
hewan yang terlatih yang taat pada tuannya.
Jikalau anjing itu najis tentulah hasil buruannya akan najis ketika
anjing membawa kepada tuannya. Jikalau hasilnya najis tentu tidak
diperbolehkan memakan hasil buruan tersebut. Ayat inilah yang merupakan
dasar bagi Imam Malik dalam menghukumi sucinya anjing. Kalau dipahami
dari ayat tersebut serta melihat dari kebiasaan anjing ketika mebawa hasil
buruan maka sudah pasti hasil buruan tersebut digigitnya. Sesautu yang
digigit pasti terkena liur dan lidah. Padahal dalam hadits di atas dijelaskan
bahwa yang menyebabkan bejana itu najis adalah jilatan anjing. Jikalau
jilatan anjing itu najis kenapa dalam ayat tersebut langsung ada perintah
untuk memakannya.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa pada zaman Nabi ada anjing
masuk masjid akan tetapi Nabi dan para Sahabat tidak melakukan apa-apa.
Artinya: “Dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dia berkata: telah bercerita kepadaku
Hamzah bin Abdullah dari bapaknya, dia berkata: ada beberapa
anjing yang masuk dan mengotori masjid pada masa Rasulullah
54
Saw. Akan tetapi mereka (Rasul dan para sahabat) tidak
membersihkannya”.6
Menurut Imam Malik, mengenai penyucian bekas anjing yang
disebutkan dalam hadits, bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali,
adapun penggunaan debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib.
Hal ini karena kegoncangan (idhtirob) periwayatan hadits tentang
pencuciannya yang disertai dengan debu, di dalam sebagian riwayat debu
tersebut pada cucian pertama, di sebagian riwayat lain pada cucian terakhir,
dan di riwayat lain tidak menentukan urutannya hanya menyebutkan “salah
satunya dengan debu”. Hal inilah yang menyebabkan hadits tersebut
dikatakan idhtirab, karena ada salah satu sanad yang lupa-lupa ingat. Berarti
hadits tersebut termasuk ada cacat dalam hal sanadnya. Padahal imam malik
adalah orang yang paling selektif dalam menerima hadits. Oleh karena
idhtirob ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena asalnya
adalah tidak adanya hukum wajib.7
Hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing, beliau
memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi
(murni ibadah) bukan semata-mata karena najis. Perkara ibadah hanya
dibatasi pada nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah (alasan
hukum).
Dari beberapa dalil tersebut Imam Malik menghukumi makruh
terhadap jual beli anjing. Baik yang bermanfaat maupun tidak. Akan tetapi
6 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shohih Al Bukhori, jld. I, Beirut-Libanon: Dar Al
Fiqr, 1994, hlm. 53. 7 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram,
Jiddah: Dar Al Qiblah, cet. I, 1992, hlm. 142.
55
jika anjing tersebut berbahaya (anjing gila/galak) maka tidak diperbolehkan,
karena ada madhorot yang timbul darinya.
Dalam sebuah hadits disebut dengan istilah “kalb al ‘aqur” anjing
galak, Nabi memerintahkan untuk membunhnya, sebagaimana dalam hadits
berikut:
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah Saw.
Memerintahkan untuk membunuh anjing”.8
Dalam hadits yang lain disebutkan:
Artinya: “Dari Ibnu Syihab dari 'Urwah dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa
Rasulullah Saw. bersabda: “Ada lima jenis hewan yang
kesemuanya berbahaya sehingga boleh dibunuh saat ihram, yaitu:
burung gagak, burung rajawali, tikus, kalajengking dan anjing
galak”.9
Hadits yang pertama menunjukkan tentang keumuman untuk
membunuh anjing, apapun jenisnya. Akan tetapi keumuman tersebut dibatasi
oleh hadits kedua, yakni hanya anjing-anjing galak atau yang membahayakan
saja yang boleh dibunuh.
Lain halnya ketika jual beli tersebut dilakukan untuk dimakan, maka
hukumnya berbeda-beda, Imam Syafi‟i dan Imam hambali mengharamkanya,
karena menurut mereka anjing adalah najis dzatnya. Dalil hukumnya adalah
anjing diqiyaskan dengan hinjir (babi) yang ada nash langsung dalam Al
8 Anas bin Malik, Op.cit., hlm. 738.
9 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Op.cit., jld.
56
Qur‟an dan hadits tentang penyucian anjing. Abu Hanifah juga
mengharamkannya kalau untuk tujuan konsumtif. Dalam kelompok
Malikiyah ada dua pendapat terkait mengkonsumsi anjing, yang pertama
makruh dan yang kedua haram. Akan tetapi pendapat yang kedua yang lebih
kuat.
Orang-orang yang memeperbolehkan mengkonsumsi anjing hanyalah
mereka yang memahami Al Qur‟an secara tekstual, ada diantara aliran di
Indonesia yang menghalalkan anjing, mereka berdasar pada QS. Al An‟am
145:
Artinya: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
57
Menurut mereka dalam Al Qur‟an tidak disebutkan bahwa anjing itu
diharamkan. Dalam ayat tersebut Cuma menyebutkan empat hal yang
diharamkan, yaitu bangkai, darah, daging babi dan hewan sesembahan untuk
selain Allah. Dipandang dari teksnya juga menggunakan adat hasr yakni
“innama” yang befaidah meringkas atau menghususkan. Berarti hanya yang
disebutkan itulah yang diharamkan. Sungguh sempit asumsi yang demikian,
karena tidak semua hasr itu berfaidah mutlak.
Pemahaman yang seperti itu bisa dianalogikan dalam hadits lain yang
sangat popular, yakni:
Artinya: “Keabsahan „amal hanya bergantung pada niatnya”.
Jikalau amal itu tergantung pada niatnya saja, maka sudah cukuplah
kita melakukan niat. Seumpama seseorang ditanya “apakah anda sudah haji”,
kemudian dia menjawab “sudah”, karena saya sudah niat haji.
Mengenai hukum makan anjing para ulama‟ menyandarkan pada
hadits berikut:
Artinya: Dari Abi Hurairah ra. Dari Nabi Saw. Bersabda: “setiap hewan
buas yang bertaring maka haram untuk dimakan”.
Tiap hewan bertaring adalah haram untuk dikonsumsi, anjing adalah
termasuk jenis hewan yang bertaring, dilihat dari struktur giginya anjing
mempunyai empat taring, dua di bawah dan dua di atas meskipun gigi yang
lain rata. Lain halnya dengan anjing buas atau anjing hutan yang pada
58
umumnya disebut dengan srigala. Srigala mempunyai struktur gigi yang
sangat berbeda dengan anjing biasa, gigi srigala berbentuk seperti gergaji,
baik gigi atas maupun bawah, karena bentuknya seperti itu maka
dikategorikan taring semua, Nabi juga memerintahkan untuk mebunuhnya.
B. Analisis Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Jual Beli Anjing
Mengenai istinbath hukum jual beli anjing, beliau mengambil hadits-
hadits yang berkaitan dengan anjing, yang telah penulis sebutkan dalam bab-
bab sebelumnya. Dalam sebuah hadits ada yang melarang harga anjing, dalam
hadits yang lain ada pengecualian dan pemilahan dari segi manfaatnya, dalam
hadits yang lain tentang balasan bagi orang yang memelihara anjing akan
tetapi tidak anjing penjaga baik untuk menjga hewan maupun tanaman maka
tiap hari pahalanya berkurang satu qiroth, dalam hadits lain dua qiroth.
Dari beberapa dalil tersebut dikompromokan (jam’u dan taufiq) dicari
kesesuaian dan keserasian agar antara satu dengan yang lain tidak saling
berbenturan atau bisa dikatakan antara dalil yang satu menguatkan yang lain.
Pertama Imam Malik memunculkan hadits yang menjelaskan tentang jilatan
anjing dalam kitab muwattha‟nya, kemudian hadits tentang larangan harga
anjing:
59
Artinya: “Dari ibn Syihab, dari Abi Bakr bin Abd al Rahman bin Harits bin
Hisyam, dari Abi Masy‟ud al Anshari, sesungguhnya Rasulullah
Saw. melarang harga anjing, harga pezina dan ongkos peramal.”10
Hadits tersebut secara jelas melarang hasil jual beli anjing, dalam usul
fiqh disebutkan, apabila ada larangan maka akan berfaidah haram. Akan
tetapi dalam hadits lain disebutkan:
Artinya: “Kecuali anjing yang digunakan untuk berburu dan menjaga ternak”
Dari kedua hadits tersebut dikompromikan dengan cara memadukan
larangan dengan pengecualian yang menimbulkan hukum makruh. Sedangkan
makruh tidak berarti haram atau mubah. Berarti hanya dalam tataran tertentu
kita diperbolehkan memanfaatkan anjing. Dalam teks hadits mencontohkan
manfaat itu dengan berburu dan menjaga. Hukum makruh muncul dari adanya
keumuman yang kemudian disusul oleh pengecualian (istisna’). Yakni, pada
awal kata, Nabi Saw. melarang secara umum kemudian memberikan
pengecualian dengan menggunakan illa al istisna’i, yang artinya keumuman
tersebut terbatasi oleh istisna‟.
Dalam kaidah fiqh juga disebutkan:
Artinya: “Setiap perkara yang najis itu haram dan tidaklah setiap yang haram
itu najis”.
Banyak di antara hewan yang hidup ditengah-tengah kita haram untuk
dimakan akan tetapi tidak dihukumi najis, seperti kucing, sebagaimana dalam
hadits berikut:
10
Imam Malik, Op.cit., hlm. 573.
60
Artinya: Dari Abi Qatadah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda
dalam masalah kucing, “sesungguhnya ia tidak najis, hanya saja ia
berkeliling di antara kalian semua.”
Selanjutnya hadits tentang memelihara anjing:
Artinya: “Dari Yazid bin Khushaifah, sesungguhnya Saib bin Yazid telah
mengkabarkan padanya, sesungguhnya dia (Saib) telah mendengar
Sufyan ibnu Abi Zuhair, Dia sedang berbicara dengan seseorang di
samping pintu masjid, kemudian dia berkata: aku mendengar
Rasulullah Saw. Bersabda: “barangsiapa memelihara anjing yang
tidak digunakan untuk menjaga tanaman dan tidak pula ternak
maka berkuranglah dari amalnya setiap hari sebanyak satu
Qiroth”.11
Dari beberapa hadits tersebut beliau kumpulkan kemudian
dikompromikan. Dalam hadits yang melarang harga anjing ini masih bersifat
umum, belum ada pemilahan antara anjing yang terlatih, anjing penjaga dan
anjing yang berbahaya. Kemudian hadits ini dikompromikan dengan hadits
berikutnya yang menjelaskan tentang diperbolehkannya memelihra anjing
yang bermanfaat untuk menjaga ternak maupun tumbuhan.
Oleh sebab ada larangan dan ada pula yang membolehkan maka
muncullah hukum makruh. Makruh adalah sesuatu yang oleh syara‟ ada
tuntutan untuk ditinggalkan bukan karena keharamannya maupun karena
11
Anas bin Malik, Op.cit., hlm. 643.
61
adanya ketetapan akan tetapi itu merupakan sebuah anjuran. Berarti hokum
makruh ini tidak serta merta anjing itu diperbolehkan secara keseluruhan akan
tetapi ada aturan yang membatasinya. Dari definisi tersebut jual beli anjing
sebaiknya dihindari, karena syari‟at menganggap baik untuk tidak
melakukannya. Kecuali kalau memang dibutuhkan, hukumnya akan menjadi
berbeda.
Kalau zaman dulu anjing digunakan untuk menjaga ternak, tumbuhan
saja. Seiring perkembangan zaman permasalahan manusiapun semakin
komplek, yang dulu mereka bergantung pada hasil pertanian dan peternakan.
Sekarang manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan bekerja di
perkantoran, menjadi buruh di perusahaan-perusahaan ataupun menjadi
pejabat di instansi Negara. Mereka tidak lagi membutuhkan anjing untuk
menjaga ternak maupun tanaman. Di satu sisi memang realitanya seperti itu
akan tetapi di sisi lain ada fenomena yang mengikutkan atau membutuhkan
anjing untuk meringankan pekerjaan mereka, meski pekerjaan tersebut tidak
dilakukan di ladang mapun di kandang ternak, mereka bekerja di tengah-
tengah masyarkat yang bertugas menjaga keamanan serta ketentraman
bersama. Mereka bertindak atas nama Negara yang bertugas menekan
kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini mereka
membutuhkan anjing untuk penyidikan, pelacakan kasus-kasus kriminlitas.
Sebenarnya tidak hanya polisi saja yang membutuhkan anjing untuk
pencarian, tim SAR juga mebutuhkan anjing ketika melakukan pencarian para
korban yang hilang.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis meneliti data-data sekaligus menganalisa tentang
adanya permasalahan jual beli anjing, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tentang jual beli anjing ada beberapa pendapat, Imam Syafi'i sama sekali
tidak memperbolehkan jual beli anjing dengan alasan najis secara dzatnya,
Imam Abu Hanifah membolehkannya meski beliau mengatakan najis akan
tetapi lebih menekankan pada manfaatnya, Imam Malik (yang menjadi
focus kajian penulis) menghukumi makruh jual beli anjing, beliau
membedakan antara anjing yang bermanfaat, seperti digunakan untuk
menjaga ternak, tanaman maupun rumah boleh dijual belikan, dan jenis
anjing lain tidak boleh dijual belikan yaitu anjing yang membahayakan
pada manusia. Mereka sepakat jenis anjing yang dilarang digunakan dalam
kegiatan manusia dilarang dijual belikan.
2. Tidak dibenarkan memelihara anjing secara suka-suka kecuali anjing yang
digunakan untuk berburu, menjaga tanaman dan ternak, karena Allah
melarang memelihara anjing secara suka-suka dan akan mengurangi
pahalanya setiap hari sebanyak satu atau dua qirath. Anjing hanya boleh
dipelihara di luar kawasan perumahan.
3. Mengenai istinbath hukum makruh jual beli anjing, Imam Malik
menkompromikan dari dalil-dalil yang berkaitan dengan anjing kemudian
63
dilakukan jam’u dan taufiq. Maksudnya dikumpulkan dan diserasikan
antara dalil satu dengan yang lain agar antara dalil tersebut tidak terkesan
saling berbenturan atau dalam kata lain dalil-dalil tersebut saling
menguatkan.
B. Saran-Saran
Dalam rangka kesempurnaan skripsi ini penulis sampaikan beberapa
saran-saran yang berkaitan dengan pembahasan jual-beli anjing sebagai
berikut:
1. Meskipun jual beli anjing diperbolehkan apabila ada unsur manfaatnya,
tetapi perlu pengawasan yang ketat karena bisa saja terjadi penyelewengan
dari yang semestinya.
2. Perlu adanya sosialisasi yang jelas terkait hukum jual beli anjing agar
masyarakat tidak salah persepsi terhadap pendapat tersebut, apalagi saat
ini marak aliran baru yang menghalalkan anjing baik untuk konsumsi
maupun nonkonsumsi.
C. Penutup
Dengan ucapan Alhamdulillahirobbil’alamin telah selesai penyusunan
dan pembahasan skripsi yang menghasilkan bentuk skripsi yang sederhana.
Kajian tentang permasalahan jual beli anjing dalam perspektif Imam Malik
ini hendaknya bisa menjadikan suatu masukan hukum pada masyarakat Islam.
64
Demikian menunjukkan kefleksibelan dan keuniversalan Islam.
Dengan keuniversalan tersebut, Islam mampu menjawab setiap permasalahan
Islam yang terkait dengan perkembangan zaman. Munculnya problematika
tersebut dalam masyarakat Islam, memberikan kesempatan pada penulis
untuk mengembangkan daya fikir dan penalaran ilmiah. Namun penulis
menyadari masih banyak kekurangan, baik itu mengenai isi, sistematika
maupun bahasa serta penyajian. Hal ini dikarenakan penulis masih dalam
proses belajar dan terus belajar. Oleh karena itu saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan untuk memperluas wawasan penulis.
Akhirnya tidak ada kata yang layak terucap, kecuali ungkapan hati
semoga karya tulis (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya, serta bagi siapa saja yang kompeten dengan
permasalahan ini. Semoga Allah SWT. senantiasa meridloi kita semua.
Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Asqalani, Ibn Hajar, Bulugh Al Marom Min Adillah Al Ahkam, Semarang:
Toha Putra, t.th.
_______, Fath al-Bari, Beirut-Libanon: Maktabah al Salafi, t.th.
_______, Kitab Tahdzib al Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al Baihaqi, Ahmad Bin Husain Bin Ali, Sunanul Qubro, Bairut-Libanon, Dar Al
Kitub Al Ilamiah, 1994.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al
Maram, Jiddah: Dar Al Qiblah, cet. I, 1992
Al Bukhori, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Sohih Bukhori, Bairut-Libanon,
t.th.
Al Ghozzi, Muhammad Ibnu Qosim, Fath Al Qorib Al Mujib, Surabaya: Al
Hidayah, t.th.
Al Husaini, Taqiyuddin Abi Bakr Muhammad, Kifayat Al Ahyar, Surabaya:
Haromain, 2005.
al Kahlani, Muhammad bin Isma’il, Subul al Salam, Surabaya: Haramain, cet. 4,
1960.
al Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta: Bulan
Bintang, 1972.
al Syatibi, Abu Ishaq, al Muwafaqat, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1975.
Al Syurbashi, Ahamad, Yasalunaka fi Al Din wa Al Hayat, Beirut-Libanon: Dar
Al Jail, 1996.
al Zarqani, Muhammad, Syarh al Zarqani ‘ala Muwatha’ Imam Malik, Bairut:
Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1990.
al-Hudari, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyah, 1981.
Al-Hussaini, Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifâyah Al Akhyâr,
Surabaya: Al Haromain, 2005.
al-Jaziri, Abd Al Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Bairut:
Dar al-Fikr, 1972.
al-Khatib, M. ’Ajjaj, al Sunnah Qabl at-tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
al-Malîbary, Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’în, Maktabah wa Matbaah,
Semarang: Toha Putera, 2006.
Al-San’ani, Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam Sarh Bulugh al-
Maram Min Jami Adillati al-Ahkam , Kairo: Dar Ikhya’ al-Turas al-
Islami, 1960.
As Syafi’i, Al Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Idris, Al Umm, Beirut: Dar
Al-Kutub, 1996.
Azami, M., Studies in Hadis Methodology and Literaure Indianapolis, Indiana:
American Trust Publication, 1977.
Chalil, Moenawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra,
1993.
Dewi, Gemala, Hukum perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2005.
Djuaini, Dimyaudin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Hasan, A. Qodir, Terjemah Nailul Author Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jld. 1.
Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat)
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wanihayah al Muqtasid, Beirut: Dar al-jiil,
1904.
Idho’i, Abd. Rahman, Shariah The Islamic Law, terj. Basri Iba dan Wadi Maskuri,
cet. 1 Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Jakub, Ismail, (trj), Ihya’ulum al din, Jakarta: Faizan, 1989.
Malik bin Anas, Al Muwattho’, Bairut: Dar ikhya’ Al Ulum, 1989.
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2004.
Muhamad Abdurahman Ibnu Abdurarahim, Tuhfa Al ahwadzi Syarh Jami’ Al
Tirmidzi, Bairut-Libanon: Dar Kitab Alamiah, 1990.
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shohih Al Bukhori, jld. I, Beirut-Libanon: Dar
Al Fiqr, 1994.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001.
Wignyodipuro, Surojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983.
Ya’qub, Hamzah, Kodo Etik Dagang Menurut Hukum Islam, Bandung:
Diponegoro, 1992.
Yanggo, Huzaimah Tahida, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos,
1997.
Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Al Islam wa Adillatuhu, Damsiq: Dar Al Fikr, cet. 7,
2006.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Bahwa yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Anisah Tulfuadah
Tempat dan tanggal lahir : Brebes, 17 Maret 1988
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Mahasiswa
Alamat : Desa Dukuh Rantan Kel. Rengas Pendawa
RT 10 RW 3 Kec. Larangan Kab. Brebes
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan :
1. SD Negeri 2 Kendawa Lulus Tahun 2000
2. MTs Asy-Syafi’iyah Jatibarang Lulus Tahun 2003
3. MA Al-Hikmah 2 Benda Lulus Tahun 2006
4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Penulis
Anisah Tulfuadah
NIM. 072311029