ANALISIS EKONOMI MANFAAT EKOSISTEM TERUMBU
KARANG DI PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA
ERNI SISCA DEWI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Desember 1974 dari Keluarga
Bapak Muhammad Shaleh Sutan Ma’ruf dan Ibu Rudinah. Penulis merupakan anak
terakhir dari delapan bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Cikokol I Tangerang pada tahun 1987,
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Tangerang pada tahun 1990, dan Sekolah
Menegah Atas di SMAN 2 Tangerang pada tahun 1993.
Pada tahun yang sama penulis lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri Universitas
Andalas. Penulis memilih jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Penulis memperoleh gelar Sarjana Sains pada jurusan tersebut tahun 1998.
Sejak tahun 2001 penulis menjadi staf pengajar di Universitas Respati Indonesia,
Jakarta. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi
Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi
Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini
berjudul Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate
Provinsi Maluku Utara .
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada para personalia
dibawah ini :
1. Dr.Ir. Achmad Fahrudin, MS dan Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis
mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini.
2. Prof.Dr.Ir.Tridoyo Kusumastanto, MS selaku ketua Program Studi Ekonomi
Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertania Bogor atas
dukungan dan motivasinya.
3. Dr. Suharno M.Adev, selaku penguji atas masukan dan sarannya.
4. Drs. A.B.Suriadi M.Arsjad, MSc selaku kepala Pusat Survey Sumberdaya Alam
Laut Bidang Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal atas izinnya
menggunakan data penelitian team Bakosurtanal.
5. Mutmainnah Ridwan SPi, MSi dan rekan-rekan Program Studi Ekonomi
Sumberdaya Kelautan Tropika atas dukungan dan persahabatannya.
6. Orang tua dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.
Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca. Atas masukan dan saran
yang bersifat membangun penulis ucapkan terimakasih.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan
sebagainya.
ABSTRACT
ERNI SISCA DEWI. Economic Analysis of Benefit Value of Coral Reef Ecosystem in
Ternate Island North Maluku Province. Under the supervision of ACHMAD
FAHRUDIN and LUKY ADRIANTO.
Artisanal fishermen are people whose economic activities depend on natural
resource especially coral reef ecosystem. In Ternate Island there are 729 fishermen
household. Who are running some economic activities, including destructive fishing
practices .
The aim of this research is to estimate the benefit value of coral reef in
Ternate Island using Effect on Production (EoP) approach. This approach mainly
applies to estimate the difference in value of productive output before and after the
impact of activity. The results of this research show that the actual economic values of
coral reef in Ternate Island based on cross section data is Rp 21.027.933.840,00, while
produce an estimation of present value of the benefit is Rp 384.542.778,79.
Furthermore, the present value of residual rent is as of estimated to be Rp
239.081.334,38.
Based on the time series appproach, it is estimated that a loss of benefit after 10
years has been occurred. Therefore foregone benefit value of coral reef in 10 years is Rp
5.097.140.400,00 or Rp 2.842.800.000,00 per hectare.
ABSTRAK
ERNI SISCA DEWI. Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau
Ternate Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan LUKY
ADRIANTO.
Nelayan pancing merupakan kelompok nelayan yang sangat tergantung kepada
keberadaan ekosistem terumbu karang. Di Pulau Ternate terdapat 729 nelayan pancing
yang diantaranya menjalankan praktek penangkapan ikan karang secara destruktif.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi nilai manfaat dari ekosistem
terumbu karang dengan menggunakan pendekatan efek produktivitas. Pendekatan ini
menggunakan perbedaan hasil produksi perikanan karang sebelum dan sesudah praktek
penangkapan ikan karang secara destruktif.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai estimasi ekonomi aktual dari
ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate berdasarkan data primer adalah Rp
21.027.933.840,00. Sementara itu estimasi dari nilai manfaat sekarang adalah Rp
384.542.778,79. Sedangkan nilai estimasi manfaat bersih sekarang adalah Rp
239.081.334,38.
Dengan pendekatan data berkala diperoleh nilai estimasi dari manfaat ekosistem
terumbu karang yang hilang selama kurun waktu 10 tahun. Estimasi nilai manfaat yang
hilang yaitu sebesar Rp 5.097.140.400,00 atau sebesar Rp 2.842.800,00 per hektar.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................ 1 Perumusan Masalah ................................................................................. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian............................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Terumbu Karang..................................................................... 5 Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ........................................... 12 MetodeValuasi Ekonomi.......................................................................... 16 KERANGKA PENDEKATAN STUDI ........................................................... 24
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu................................................................................... 27 Metode Penelitian .................................................................................... 27 Metode Pengambilan Sampel................................................................... 27 Variabel dan Cara Pengukuran ................................................................ 28 Analisis Data .................................................................................... 29
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis .................................................................................... 34 Kondisi Fisik .................................................................................... 34 Kondisi Sosial Ekonomi .......................................................................... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan Data Cross Section................................................................ 47 Nilai Ekonomi Aktual (Net Benefit Income Approach) .......................... 47 Nilai Manfaat sekarang. ........................................................................... 50 Nilai Manfaat Ekonomi Sekarang............................................................ 51 Analisis Sensitivitas Net Present Value ................................................... 52 Keterkaitan Ikan Karang dengan Karang Hidup...................................... 56 Pendekatan data Time series .................................................................... 62 Nilai Kehilangan manfaat Langsung Terumbu karang ........................... 63
Halaman
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ............................................................................................. 66 Saran ................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67
LAMPIRAN...................................................................................................... 70
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Valuasi Ekosistem Berdasarkan Tiga Tujuan Utama Efisisensi,
Keadilan ,Dan Keberlanjutan..................................................... . ..... 13
2. Contoh Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang................ 16
3. Rincian Wilayah Pulau Ternate ......................................................... 37
4. Luas Jarak,dan Waktu Tempuh Ke Pulau–Pulau Kecil Di Kota
Ternate ............................................................................................... 37
5. Sarana Pendidikan Dasar dan Menengah Di Kota Ternate tahun 2004 38
6. Perkembangan Indeks Harga Konsumen Berdasarkan Kelompok
Harga Komoditi Di Kota Ternate Tahun 2000-2004....................... 39
7. Komposisi Sebaran RTP Di Pulau Ternate........................................ 41
8. Produksi Hasil Perikanan Di Kota Ternate Tahun 1996-2004 ......... 41
9. Perkembangan Produksi Perikanan Kota Ternate Dari
Tahun 2002-2004 .............................................................................. 42
10. Perkembangan Armada Tangkap Nelayan Selama 3 Tahun.............. 42
11. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis Di Pulau Ternate............... 42
12. Sarana Dan Prasarana Pelabuhan Bastiong ....................................... 44
13. Klasifikasi Umur Responden ............................................................. 45
14. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden ...................................... 45
15. Klasifikasi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga ....... 46
16. Asal Responden.................................................................................. 46
17. Lama Domisili Responden................................................................. 47
18. Status Kepemilikan Armada .............................................................. 47
19. Rincian Estimasi Penerimaan Ikan Karang Nelayan Pancing
Di Pulau Ternate ................................................................................ 49
20. Rincian Estimasi Manfaat Bersih Nelayan Pancing Di Pulau Ternate 50
21. Nilai Estimasi Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di
Pulau Ternate ..................................................................................... 44
22. Nilai Estimasi Manfaat Sekarang Ekosistem Terumbu Karang di
Pulau Ternate ..................................................................................... 51
Halaman
23. Nilai Estimasi Present Value Residual Rent Terumbu Karang Di
Pulau Ternate .................................................................................... 52
24. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Berkurang 25
% menggunakan Pola Pemanfaatan Destruktif .................................. 54
25. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Bertambah
25% Menggunakan Pola Pemanfaatan Dengan Pengaturan .............54
26. Rincian Tindakan dan Penanganan Yang Harus Dilakukan Seluruh
Stake Holders pemanfaat Ekosistem Terumbu Karang ..................... 55
27. Perbandingan Net Prresent Value Dengan Perubahan Biaya Angkut 56
28. Rekapitulasi Persentase Sebaran Tutupan Karang di Pulau Ternate . 58
29. Rekapitulasi Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Karang
Konsumsi Masyarakat di Pulau Ternate ........................................... 59
30. Hasil Regresi Antara Ikan Karang Konsumsi Dengan Karang Hidup 57
31. Hasil Regresi Masing-Masing Ikan Karang Konsumsi Dengan
Tutupan Karang Hidup di Semua Stasiun Pengamatan ..................... 62
32. Perbandingan Produktivitas Terumbu Karang dengan Luasan
Terumbu Karang pada Tahun 1995 dan 2004................................. 64
33. Proporsi Luasan terumbu Karang tahun 1995 dan 2004................... 65
34. Rincian Kehilangan Nilai Manfaat Terumbu Karang dari tahun
1995 - 2004........................................................................................ 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Metode Valuasi Ekonomi................................................................... 17
2. Alur Kerangka Pendekatan S tudi....................................................... 27
3. Proporsi Rata-Rata Tangkapan Ikan Karang Per Trip Nelayan
Pancing Di Pulau Ternate .................................................................. 49
4. Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate 51
5. Perbandingan Antara PV Benefit Dan PV Residual Rent Terumbu
Karang Di Pulau Ternate................................................................... 52
6. Grafik Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV) Ekosisrtem
Terumbu Karang Di Pulau Ternate ................................................... 56
7. Kurva Interaksi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Kelimpahan
Ikan Karang Konsumsi....................................................................... 59
8. Kurva Interaksi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan
Keanekaragaman Ikan Karang Konsumsi Di Pulau Ternate ............. 60
9. Mata Rantai Karang Sehat Dengan Keanekaragaman dan Kelimpahan
Ikan ................................................................................................... 61
10. Rekapitulasi Produksi Perikanan Karang di Pulau Ternate tahun
1995-2004 .......................................................................................... 63
11. Estimasi Degradasi Luasan terumbu Karang di Pulau Ternate Dari
tahun 1995-2004 ................................................................................ 64
12 Perbandingan nilai manfaat ekonomi antara tahun 1995 dan 2004 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate ............................... 70
2. Analisis Manfaat –Biaya Per Tahun Responden Nelayan Pancing di
Pulau Ternate ..................................................................................... 71
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis
pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta
km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan
kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan
memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang
lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996).
Untuk ekosistem terumbu karang World Resource Institute (WRI) (2002)
mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km2. Angka
ini belum mencakup terumbu karang di wilayah terpencil yang belum dipetakan atau
yang berada di perairan agak dalam (inland waters). Jika estimasi ini akurat maka 51%
terumbu karang di Asia Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di perairan
Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing
reefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga mudah diakses oleh masyarakat
sekitar. Lebih dari 480 jenis karang batu (hard coral )telah didata di wilayah timur
Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang telah berhasil
dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia juga ditemukan di
Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur.
Sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang dengan
beragam biota asosiatif dan keindahan yang mempesona, memiliki nilai ekologis dan
ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak
dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat,
tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi
berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat
penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan
konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi
yang menarik.
Selanjutnya Hopley dan Suharsono (2000) dalam Burke et al.(2002)
mengestimasikan bahwa Keuntungan ekonomi dari terumbu karang Indonesia setiap
tahunnya sekitar 1,6 milyar US Dollar, selain itu terumbu karang Indonesia juga dikenal
sebagai salah satu penyumbang terbesar perikanan laut di dunia yang menyediakan 3,6
juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 .
Sebagaimana ciri negara berkembang dengan populasi penduduk yang besar
ditambah dengan struktur geografis yang dikelilingi oleh laut, maka laut menjadi
tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama
masyarakat di daerah pesisir. Tekanan terhadap sumberdaya laut terutama terumbu
karang meningkat seiring dengan bertambahnya populasi secara cepat. Ketergantungan
yang tinggi telah menyebabkan penurunan yang besar pada nilai ekologis dan ekonomis
akibat degradasi dan kerusakan yang parah. Dari sekitar 51.000 km2 luas terumbu karang
di Indonesia, lebih dari 40 % dalam kondisi rusak dan hanya sekitar 6,5% dalam kondisi
sangat baik selebihnya dalam kondisi sedang (WRI, 2002).
Dibeberapa tempat di Indonesia karang batu digunakan untuk berbagai
kepentingan seperti konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan.
Dalam industri pembuatan kapur, karang batu (hard coral) kadang-kadang ditambang
sangat intensif sehingga bisa mengancam keamanan pantai. Selain it u karang dan ikan
karang Indonesia yang berlimpah tersebut terancam oleh praktek penangkapan ikan yang
merusak. Penangkapan ikan menggunakan racun sianida dan bahan peledak telah meluas
di Indonesia bahkan di daerah yang dilindungi (WRI, 2002).
Kerusakan terumbu karang yang telah terjadi di beberapa kawasan pantai di
Indonesia menjadi keprihatinan banyak fihak akan keberlanjutan fungsi ekosistem
tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi karena faktor- faktor alam, akan
tetapi faktor-faktor antropogenik mempunyai andil yang besar Menurut Garces (1992)
sumber-sumber kerusakan karang dapat dikelompokan sebagai aktivitas ekonomi yang
terdiri dari kegiatan perikanan, pembangunan di daratan disamping wilayah pesisir dan
rekreasi serta pariwisata.
Hasil survei WRI (2002) di wilayah Indonesia bagian Timur menunjukkan sekitar
65% kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan penangkapan ikan secara
destruktif. Sebagian besar menggunakan racun dan bom dimana aktivitas ini telah
mengakibatkan kerugian ekonomi yang luar biasa. WRI mengestimasi kerugian di
Indonesia akibat penangkapan ikan menggunakan bahan peledak selama 20 tahun ke
depan adalah sebesar 570 juta US Dollar. Sedangkan estimasi kerugian dari penangkapan
ikan dengan racun sianida secara berkala adalah sebesar 46 juta US Dollar. Dari
ekosistem terumbu karang yang rusak hanya diperoleh hasil perikanan rata-rata 5 ton/km2
/tahun sedangkan hasil produktivitas terumbu karang yang sehat bisa mencapai sekitar 20
ton/km2/tahun .
Provinsi Maluku Utara merupakan bagian dari lingkup yang bergerak antara
Sangihe Talaut, Minahasa ke Filipina yang merupakan jalur distribusi terumbu karang di
Indonesia bagian Timur. Jalur kepulauan Indonesia dan Filipina ini merupakan pusat
keragaman terumbu karang dunia dengan jumlah spesies yang telah teridentifikasi sekitar
600 spesies.
COREMAP (2001) melaporkan bahwa dibeberapa daerah di Provinsi Maluku
Utara terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang. Mulai dari Pulau Ternate, Pulau
Bacan, Pulau Obi, Pulau Halmahera sampai bagian Utara yaitu pulau Morotai. Di Pulau
Halmahera tutupan karang hidup dengan kondisi baik sebesar 29%, 14% dalam kondisi
sedang dan selebihnya dalam kondisi buruk. Berdasarkan laporan Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Universitas Khairun (2001) bahwa ekosistem
terumbu karang dibeberapa lokasi di Pulau Ternate mengalami kerusakan akibat
tindakan destruktif. Penyebab dominan kerusakan adalah kegiatan penangkapan ikan
menggunakan muroami, bahan peledak, bahan beracun, pemasangan perangkap, aktivitas
transportasi dan wisata bahari.
Perumusan Masalah
Sebagai sebuah ekosistem, terumbu karang merupakan sumberdaya yang tidak
mempunyai nilai pasar (non market base). Salah satu proxy bagi nilai ekonomi terumbu
karang adalah melalui Proxy terhadap nilai produktivitas perikanan. Nilai ekonomi
terumbu karang didekati dengan nilai proksi yaitu produktivitas perikanan karang.
Fungsi terumbu karang sebagai feeding ground, spawning ground dan nursery ground
dapat diestimasi dengan nilai output yang dihasilkan oleh ekosistem ini yaitu ikan karang.
Terumbu karang dan ikan karang merupakan suatu rangkaian mata rantai dimana
keberadaan ekosistem terumbu karang akan menunjang kelimpahan ikan karang.
Permasalahan yang timbul adalah dalam mengekstraksi ikan karang dilakukan tindakan
destruktif sehingga ekosistem terumbu karang mengalami kerusakan. Kerusakan itu
menyebabkan fungsi- fungsi terumbu karang mengalami gangguan. Gangguan tersebut
dapat menjalar secara berantai terhadap fungsi-fungsi ekosistem yang lain dan akhirnya
bermuara pada penurunan nilai ekonomi dari sumberdaya.
Pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena ekstraksi potensi
sumberdaya ekosistem terumbu karang di atas adalah :
1) Bagaimana potensi dan jenis pema nfaatan ekosistem terumbu karang yang
dilakukan oleh masyarakat lokal di Pulau Ternate ?
2) Bagaimana dan seberapa besar nilai manfaat ekonomi dari ekosistem terumbu
karang di Pulau Ternate ?
3) Bagaimana pemanfaatan yang berkelanjutan untuk ekosistem terumbu karang ?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
1) Mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat
lokal di Pulau Ternate.
2) Menganalisis secara ekonomi nilai manfaat dari ekosistem terumbu karang.
Kegunaan penelitian, yaitu :
Dari penelitian ini di harapkan diperoleh data dan informasi mengenai nilai estimasi
dari manfaat ekonomi suatu ekosistem terumbu karang sehingga kesalahan dalam
mengestimasi nilai ekosistem terumbu karang menjadi undervalue atau overvalue tidak
terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup
didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan
gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup disini
adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang
banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas
dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organisme
atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem
(Sorokin, 1993).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan
kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja
yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas
dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang
akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang
hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal
menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang
ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas
diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang ahermatipik adalah
adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu
sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum,
yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis.
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan
bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau
spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan
antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat
fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup
dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut.
Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar
antara 25-32 oC (Nybakken, 1982).
Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat
kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur (Calcareous algae) dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium
karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu
(Scleractina ) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun
terumbu (reef-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu
anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa
tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia,
yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi.
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang
efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik).
Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang
melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam
jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa
organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang
menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk
keperluan hidup zooxanthellae.
Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh
alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan
karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:
Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu
menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali
lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak
bersimbiose dengan zooxanthellae.
Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu
karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di
tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di
atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off)
dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient
overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu
rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 oC. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan
Evans, 1984).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu :
a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c.Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di
perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe
terumbu karang sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas
atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup
arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung
mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering
mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan
dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam
untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri
pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi
pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang
berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman
goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang
penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan.
Moberg and Folke (1999) dalam Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi
ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem
sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait
dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang
seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :
1.Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2.Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3.Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4.Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5.Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung.
Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan
berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi masyarakat yang
hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya
menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat
ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung
ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa
tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini
dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut.
Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor
ikan Indonesia berasal dari daerah karang.
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan
mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun dibalik
potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam
didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu
karang. Menurut Suprihayono (2000) beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang
yaitu :
1) Perikanan terumbu karang
Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman karang
dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu
karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di ekosistem
tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada pengelolaan
ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka
jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat.
Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya
penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan
waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada
pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat
ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada
pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan
yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.
2) Aktivitas Pariwisata Bahari
Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata bahari,
maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan kepariwisataan
(Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari dari para investor
lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat Badan kerjasama pariwisata
dapat dijumpai di Nusa Dua Bali dan Manado. Adapun tugas badan ini diantaranya
adalah
• Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembangan pariwisata .
• Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah
• Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur.
• Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui
agen-agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau arganisasi
tersebut lebih mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian
sumberdaya alam laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginakan atau bertentangan dengan nilai estetika atau
carrying capacity lingkungan laut.
3) Aktivitas Pembangunan Daratan
Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan baik buruknya kesehatan
terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di
daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang.
Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan,
intensifikasi pertanian, bersama-saa dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
yang jelek umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah
terumbu karang.
4) Aktivitas Pembangunan di Laut
Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan,
pengeboran minyak, penambangan karang, pengambilan pasir dan pengambilan
karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan
memebahayakan kehidupan terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur
pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi
minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu
karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international.
Ancaman terhadap terumbu karang
fenomena alam dan berbagai tindakan destruktif masyarakat mengancam
kesehatan maupun keberadaan terumbu karang. Ancaman terhadap terumbu karang
dibagi menjadi dua kategori yaitu ancaman bencana alam dan ancaman yang
ditimbulkan oleh manusia. Ancaman yang ditimbulkan oleh alam termasuk kerusakan
akibat badai, perubahan suhu. Sedangkan ancaman yag disebabkan oleh aktivitas
manusia adalah :
1. Praktek penangkapan dengan racun, dengan peledak, muroami .
2. Sedimentasi , polusi dan sampah
3. Pertambangan
4. Praktek tourism yang tidak berkelanjutan.
Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan besar–besaran dengan
bahan peledak dan cianida di Indonesia. Penyebabnya adalah demand yang tinggi
terhadap ikan karang terutama jenis kerapu ( groupers) maupun ikan Napoleon wrasse.
Dengan nilai pasar yang tinggi berkisar US$ 60-180 per kilo telah menyebabkan
perburuan ikan karang dihampir seluruh perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang
menggiurkan ini mau tidak mau supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah,
sehingga masyarakat beramai-ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan
sianida.
Umumnya penyebab sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas
masyarakat kota, sehingga simbiose algae dan karang menjadi terhalang dari
penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang lebih parah terjadi apabila penutupan
lahan seperti reklamasi daerah estuaria dan pantai. Sedangkan polusi yang terjadi
disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah industri yang dibuang keperairan.
Menurut penelitian Cesar (2000) biaya polusi dan sampah kota selama 1 tahun di
Indonesia adalah 987 milyar USD. Sedangkan keuntungan dari tourisme adalah 101
milyar USD,dari perikanan 221 milyar USD, dan kesehatan (farmasi ) sebesar 4,8
mlyar USD Sehingga total manfaat yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang
adalah 327 milyar USD, atau sepertiga dari total biaya sebesar 987 milyar USD.
Praktek penambangan karang sejak lama terjadi, umumnya untuk membangun
fondasi rumah penduduk atau kantor pemerintah di pulau terpencil dan untuk campuran
semen. Penambangan karang tidak hanya menghancurkan karang tetapi juga
mengakibatkan penebangan hutan untuk pembakaran karang. Penambangan karang juga
berdampak terhadap jasa ekologis seperti pelindung garis pantai .
Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang
Dari ancaman – ancaman terhadap terumbu karang saat ini hal yang sangat
mendesak yang perlu dilakukan adalah tindakan penilaian ekonomi terhadap berbagai
macam fungsi terumbu karang baik sebagai pensuplai barang dan jasa. Penilaian bisa
dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang mempunyai
nilai pasar. Dimana nilai bisa diturunkan berdasarkan pada permintaan (demand),
penawaran (supply), harga (price) dan biaya (Cost) (Spurgeon, 1992).
Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang
merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan
dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu
karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic
Valuation/TEV). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan
willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada
nilai pasar (non market value).
Menurut Fauzi ( 2005) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk
memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya
alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar
(non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (
economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai
uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari
penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara
konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat
menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan itu sendiri. Dijelaskan juga oleh Fauzi (2005) bahwa terdapat tiga
ciri yang dimiliki oleh sumberdaya yaitu:
1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami
kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan,maka kecenderungannya akan
musnah.
2. Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada biaya
potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut mengalami
kepunahan.
3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih
besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya.
Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nila i pasar (market value) dari barang tetapi juga
nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak
terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam
Menurut Constanza and Folke (1977) diacu dalam Adrianto (2006) tujuan valuasi
ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang
berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza
(2001) dalam Adrianto (2006) menyatakan untuk tercapainya ke tiga tujuan diatas,
perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan,
dan keberlanjutan .
Tabel 1.Valuasi ekosistem berdasarkan efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan. Tujuan /
dasar nilai
Kelompok
responden
Dasar
preferrensi
Tngkat
diskusi
Tingkat
input ilmiah
Metode
spesifik
Efisinsi
(E-Value)
Homo
economicus
Preferrensi
individu
Rendah Rendah Willingness
to pay
Keadilan
(F-Value)
Homo
communicus
Preferensi
Komunitas
Tinggi Medium Veil of
ignorance
Keberlanjut
an (S-Value)
Homo
Naturalis
Preferensi
Keseluruh
an Sistem
Medium Tinggi modelling
Sumber ; Constanza and Folke (1997) dalam Adrianto (2006).
Dari Tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa untuk nilai keadilan (F-value)
berbasis kepada nilai–nilai komunitas dan bukan kepada nilai-nilai individu. Nilai
ekosistem pada konteks (F-value ) ini ditentukan berdasarkan tujuan umum yang
dihasilkan dari sebuah konsensus atau kesepakatan antara anggota komunitas (homo
comunicus). Menurut Rawls (1971) dalam Adrianto (2006) metode valuasi yang tepat
untuk tujuan ini adalah veil of ignorance) dimana responden memberikan penilaian
dengan tanpa memandang status dirinya dalam komunitas. Sedangkan untuk tujuan
keberlanjutan (S-Value) yang bertujuan mempertahankan tingkat keberlanjutan dari suatu
ekosistem, lebih menitik beratkan kepada fungsi ekosistem sebagai penopang kehidupan
manusia. Dalam konteks ini manusia berperan sebagai homo naturalis yang
menempatkan diri sebagai bagian dari system secara keseluruhan (sistem alam dan
sistem manusia). Modeling adalah salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam
konteks S- value (Vionov, 1999, Constanza et al,.1993 dalam Adrianto, 2006).
Sementara itu, menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai
sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan
atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use
value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi
potensial dari suatu sumberdaya.
Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use
value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari
pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value).Sementara nilai
non use value meliputi nilai keberadaan existence values dan nilai warisan (bequest
values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total
economic values).
Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat
diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh
mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan
sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya.
Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat - manfaat fungsional dari proses
ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan
ekosistem. Sebagai contoh terumbu karang terus menerus memberikan perlindungan
kepada pantai, serta peranannya dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya
perikanan terkait dengan fungsinya sebagai spawning ground, nursery ground dan
feeding ground.
Nilai pilihan (Option value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang
disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang
akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity.
Nilai Keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan masyarakat
kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai guna ini
tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik untuk sekarang maupun masa
dating, semata-mata sebagai bentuk kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai
obyek. Contohnya nilai yang diberikan atas keberadaan karang penghalang di Taman
Nasio nal Laut Takabonerate. Orang umumnya tidak akan memberikan nilai terhadap
karang penghalang ini untuk melihatnya, meskipun mengetahui keberadaannya melalui
TV, Koran atau Foto.
Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup
saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi
selanjutnya.Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari
orang lain untuk menggunakannya.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang
Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna( use value) Nilai non guna (non use value)
langsung Tidak
langsung
Nilai pilihan Nilai quasi
piihan
Nilai
warisan
Nilai
keberadaan
Produk
dikonsum-
si secara
langsung
Manfaat
fungsional
Nilai guna
langsung& ti-
dak langsung
dimasa akan
datang
Informasi baru
hilang/tersedia
nya sumberdaya
Nilai guna
langsung &
tak
langsung
sumberdaya
keberlanjutan
keberadaan
sumberdaya
tertentu
Makanan
biomass,
rekreasi
Pengendali
banjir
pelindung
badai,
perikanan,
Penelitian,
sikluscarbon
sumberdaya
gen
perlindungan
biodiversitas
proses evolusi
keragaman
ekosistem
biodiversitas,
sumberdaya
gen
perlindungan
sp, proses
evolusi,
keragaman
Konservasi
habitat,
upaya
preventif
pada perub.
yang tidak
dapat
Konservasi
habita&sp,
integrasi nilai
social&
kultural.
siklusnutrisi,
pendidikan,s
tudiarkeolgi
ekosistem. diperbaharui
Metode Valuasi Ekonomi
Metode untuk menilai sumberdaya secara ekonomi umumnya dapat dibagi kedalam
dua kategori yaitu valuasi yang menggunakan fungsi permintaan dan yang tidak
menggunakan fungsi permintaan. Metode yang tercakup kedalam kedua pendekatan ini
dapat dilihat pada gambar 1. dibawah ini.
Gambar 1. metode valuasi ekonomi (sumber: Garrot and Willis, 1999)
Dose response Function
Payment Card
Choice Experiment
PREFERENCES
State Preferences Direct Approach
Revealed Preferences (Surrogate Market, Indirect Approach)
Hedonic market
Travel Cost Methode
Wage Risk Property
USE VALUES
Bidding game
NON USE VALUES+USE VALUES
Market value
Open/close ended
Avertive Behaviour
Contingent Valuation
Pendekatan yang tidak mengunakan fungsi demand (non market demand approach)
secara luas digunakan dalam menilai biaya dampak lingkungan dalam hal ini untuk
menentukan respon kebijakan yang akan diterapkan .
Pendekatan kurva permintaan (demand curve approach).
1.Metode Dampak Produksi (Effect on Production = EoP)
Teknik pendekatan ini mengacu juga sebagai perubahan dalam produksi yaitu
memandang perubahan pada output (produksi) sebagai basis dalam menilai ekosistem
terumbu karang. Umumnya teknik ini diterapkan pada perikanan dan turisme untuk
menduga perbedaan produksi output sebelum dan sesudah dampak dari suatu
aktivitas maupun intervensi pengelolaa. Metode ini menghitung dari sisi kerugian
(apa yang hilang) akibat suatu tindakan. Misalnya suatu kawasan dijadikan
konservasi. Pendekatan ini menjadi dasar bagi pembayaran kompensasi bagi property
yang semestinya dibeli oleh pemerintah untuk tujuan sepert membangun jalan tol,
bandara, instalasi militer dan lain- lain. juga biaya kompensasi bagi petani yang
merelakan tanahnya untuk tujuan pembangunan yang ramah lingkungan misalnya
cagar alam,hutan lindung dan lain- lain. Kasus yang mudah adalah pemutihan karang
yang terjadi sehingga dalam waktu singkat mengurangi jumlah wisatawan diving
pada terumbu karang, dampaknya tentu saja menurunkan pendapatan sehingga
perubahan pada manfaat bersih dapat diukur dan dapat digunakan sebagai proksi
kerugian pada nilai turisme. Demikian juga halnya dengan perikanan karang misalnya
dengan aktivitaas yang merusak seperti pemboman, pembiusan ,muroami maka
perubahan hasil output yaitu ikan karang dapat digunakan sebagai proksi dari nilai
ekosistem terumbu karang yang hilang.
2.Metode Respon Dosis (Dose Respon Methode)
Metode ini menilai pengaruh perubahan kandungan zat kimia atau polutan tertentu
terhadap kegiatan ekonomi atau utilitas konsumen.Misalnya tingkat pencemaran
perairan karena limbah dibuang kelaut sehingga mempengaruhi kesehatan ikan.
Penurunan tingkat produksi dapat dihitung baik dengan menggunakan harga pasar
yang berlaku maupun harga bayangan (shadow price). Perhitungan menjadi lebih
kompleks jika dampak dari pencemaran tersebut menpengaruhi kesehatan manusia.
Perhitungan dampak ekonominya memerlukan estimasi yang menyangkut nilai
kehidupan manusia seperti pengurangan resiko sakit, meninggal , kemauan membayar
untuk menghindari resiko sakit atau mati akibat pencemaran tersebut.Ada kaitan yang
erat antara metode EOP dan DR .
3.Metode Pengeluaran Preventif (Preventive Expenditure Methode)
Pada metode ini nilai sumberdaya dihitung dari apa yang disiapkan oleh orang atau
sekelompok orang untuk pencegahan (preventif) yang menyebabkan kerusakan
sumberdaya.
4.Metode Avertive Behaviour (AB)
Penghitungan nilai eksternalitas , dilakukan dengan menghitung berapa biaya yang
disiapkan seseorang untuk menghindari dampak negatif dari kerusakan sumberdaya .
misalnya pindah kedaerah yang kualitas lingkungannya lebih baik, sehingga akan ada
biaya pindah .Jika kepindahan menyangkut tempat kerja , maka biaya transportasi ke
tempat kerja yang baru juga merupakan biaya ekternalitas.
5.Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Methode)
Metode ini didasarkan kepada biaya ganti rugi asset produktif yang rusak., karena
penurunan kualitas sumberdaya atau kesalahan pengelolaan.Biaya ini diperlukan
sebagai estimasi minimum dari nilai peralatan yang dapat mereduksi limbah atau
perbaikan cara pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan .Nilai
minimum ini akan dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Contoh yang
relevan adalah konversi hutan bakau menjadi bangunan. Kenyataan menunjukkan
perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biota-
biota yang hidup dalam ekosistem tersebut, akan tetapi juga menyangkut aspek
lain,misalnya pengurangan luas hutan berdampak pada pengurangan unsur hara dan
penurunan nilai populasi udang tangkap sebagai akibat :
• Hilangnya tempat bertelur (spaning ground)
• Rusaknya daerah asuhan (nursery ground)
• Penurunan produktivitas primer diperairan.
Setelah dihitung jumlah kerugian, serta kerugian karena unsur hara yang berkurang
akibat berkurangnya luas hutan bakau dalam bentuk nilai uang, maka hasil
perhitungan merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika
kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan.
Pendekatan Non Kurva Permintaan (Non Demand Curve Approach)
1.Contingent valuati on methode (CVM) merupakan metoda valuasi sumberdaya alam
dengan cara menanyakan kepada konsumen tentang nilai manfaat sumberdaya alam
yang mereka rasakan.Teknik CVM ini dilakukan dengan survey melalui wawancara
langsung dengan responden yang memanfaatkan sumberdaya alam.Cara ini
diharapkan dapat menentukan preferensi responden terhadap barang sumberdaya
alam dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar (Wilingness to pay)
yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang.
Guna memperoleh hasil yang maksimal dan tepat sasaran , maka dalam penggunaan
metode ini diperlukan desain kuesioner yang umumnya digunakan yakni metode
pertanyaan langsung, (direct question methode), metode penawaran bertingkat
(bidding game methode), metode kartu pembayaran (payment card methode) dan
metode setuju atau tidak setuju (take it or leave it methode).
1. Metode pertanyaan langsung
Metode ini digunakan dengan cara memberikan pertanyaan langsung berapa harga
yang sanggup dibayar oleh responden untuk dapat memanfaatkan atau
mengkonsumsi sumberdaya yang ditawarkan.
2. Metode Penawaran Bertingkat
Metode ini merupakan penyempurnaan dari pertanyaan langsung. Caranya adalah
bahwa semua harga tertentu telah ditetapkan oleh pewawancara kemudian
ditanyakan kepada responden apakah harga tersebut layak. Jika responden
menjawab ya dengan harga yang ditawarkan , maka harga dinaikkan terus hingga
responden menjawab tidak. Angka terakhir yang dicapai tersebut merupakan nilai
WTP yang tertinggi. Hal yang sebaliknya bisa saja terjadi yaitu jika responden
menjawab tidak untuk harga pertama yang ditawarkan. Jika demikian yang terjadi
maka harga diturunkan terus hingga responden menjawab ya. Angka terakhir
dianggap sebaga i nilai WTP terendah. Harga WTP ini dianggap sebagai
harga/nilai sumberdaya yang ditawarkan.
3. Metode Kartu Pembayaran
Metode ini digunakan dengan bantuan sebuah kartu berisi daftar harga yang
dimulai dari nol (0) sampai pada suatu harga tertentu yang relative tinggi.
kemudian kepada responden ditanyakan harga maksimum sanggup untuk
membayar suatu produk SDA .
4. Metode Setuju Atau Tidak Setuju
Dari sisi responden metode ini sangat mudah karena responden ditawari sebuah
harga , kemudian ditanya setuju atau tidak dengan harga tersebut.
Metode CVM dengan survey WTP merupakan metode yang sering digunakan,
metode ini memiliki beberapa kekurangan akibat bias yang ditimbulkannya. Ada
lima sumber bias yang timbul pada metode ini yaitu:
Kesalahan strategi (strategic Bias)
Kesalahan in akibat kesalahan strategi dalam mengungkapkan informasi
akibatnya tidak tepat persepsi respoden terhadap pertanyaan yang diajukan
Kesalahan titik awal (Starting Point Bias)
Kesalahan ini disebabkan oleh kesulitan penentuan berapa harga awal yang
ditawarkan dengan menggunakan metode penawaran bertingkat.
Kesalahan hipotesis (Hypotetic Bias)
Terdapat dua sumber munculnya keslahan hipotesis ini. Pertama diakibatkan
karena responden tidak merasakan secara benar karakteristik sumberdaya yang
diuraikan oleh pewawancara. Kedua karena responden memberikan respon yang
tidak serius terhadap pertanyaan yang diajukan dan hanya menjawab seadanya.
Kesalahan Sampling (Sampling bias )
Kesalahan ini muncul karena ketidak jelasan dalam mendefinisikan populasi.
Tidak ada kesesuian antara populasi yang menjadi sasaran dengan sampel yamg
diambil. Sumber kesalahan lainnya adalah pengambilan sampel yang tidak
dilakukan secara acak (random) atau jumlah sampel yang tidak representative.
Kesalahan Spesifikasi Komoditas (comodity specification Bias)
Kesalahan ini terjadi karena responden tidak mengerti spesifikasi barang
sumberdaya yang ditawarkan.
Bias ini dapat diatasi dengan dua cara, yaitu :
• Menguraikan dengan kalimat yang sederhana, efektif dan mudah.
• Melakukan visualisasi dengan menggunakan alat bantu, seperti foto, lukisan atau
audio visual.
2. Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Methode).
Pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Methode) merupakan metode valuasi
dengan cara mengestimasi kurva permintaan barang –barang rekreasi terutama
rekreasi luar (outdoor recreation). Asumsinya semakin jauh tempat tinggal
seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas rekreasi, maka para pemakai
diharapkan lebih banyak meminta karena harga tersirat berupa biaya perjalanan
lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari tempat tersebut. Dengan
demikian mereka yang bertempat tinggal lebih dekat dan biaya perjalanannya lebih
rendah akan memiliki surplus konsumen yang lebih besar.
Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi dan membagi tempat
rekreasi dan kawasan yang mengelilinginya. Dibagi zona konsentrik dengan
ketentuan semakin jauh dengan tempat rekreasi semakin tinggi biaya perjalanannya.
Kemudian dilakukan survey terhadap para pemakai ditempat rekreasi untuk
menentukan zona asal , tingkat kunjungan , biaya perjalanan dan berbagai
karakteristik biaya ekonomi. Data yang diperoleh digunakan untuk meregresi
tingkat kunjungan dengan biaya perjalanan dan berbagai variabel ekonomi lainnya.
Hasil regresi merupakan fungsi permintaan produk rekreasi terhadap biaya
perjalanan. Bentuk persamaan regresinya adalah;
Qi= f (TC, X1, X2,……Xn),
Dimana Qi adalah tingkat kunjungan dari zona 1 per 1000 penduduk zo na I , TC
merupakan biaya perjalanan dan Xi hingga Xn adalah variable social ekonomi ,
termasuk penghasilan dan variable lain yang sesuai.
Dengan dasar pemikiran diatas maka pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost
Methode) dapat diterapkan untuk menyusun kurva permintaan masyarakat terhadap
rekreasi untuk suatu produk sumberdaya tertentu.
Penerapan metode biaya perjalanan (Travel Cost methode) didasarkan pada asumsi-
asumsi sebagai berikut (Davis dan johnson, 1987).
• Para konsumen memberikan respon yang sama terhadap perubahan harga tiket
dan jumlah biaya perjalanan yang harus di keluarkan .
• Utilitas perjalanan bukan faktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi.
• Tempat-tempat rekreasi sejenis mempunyai kualitas yang sama dalam
memberikan kepuasan kepada pengunjung .
• Pengunjung dengan tujuan rekreasi yang banyak diketahui sebelumnya .
• Tempat rekreasi belum mencapai kapasitas maksimum sehingga tidak ada
pengunjung yang ditolak. Pengunjung dari zona yang berbeda dianggap
mempunyai selera , preferens i, dan income yang relative sama.
3. Pendekatan Nilai Properti ( Property value Methode).
Teknik penilaian lingkungan berdasarkan perbedaan harga sewa lahan atau harga
sewa rumah. Dengan asumsi perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas
lingkungan maka selisih harga keduanya merupakan harga kualitas lingkungan itu
sendiri. Disebut Pendekatan hedonic (hedonic approach) . Metode ini berdasarkan
kesanggupan membayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan sebagai cara untuk
menduga secara tidak langsung bentuk kurva permintaannya sehingga nilai perubahan
sumberdaya dapat ditentukan. Kesanggupan seseorang untuk membayar lahan, rumah
atau property lainnya tergantung karakteristik barang tersebut. Artinya perubahan
karakteristik akan mengubah WTP seseorang sehingga kurva permintaannya juga
berubah. Salah satu karakteristik lahan dan perumahan adalah kondisi lingkungan
lahan atau rumah berada, digambarkan oleh perbedaan harga atau sewanya.
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar. Pertama konsumen mengakui
dengan baik tentang karakteristik properti yang ditawarkan dan memiliki kebebasan
untuk memilih alternatif yang lain tanpa ada kekuatan lain yang
mempengaruhi.Kedua, konsumen harus merasakan kepuasan maksimum atas
property yang dibelinya dengan kemampuan keuangan yang dimiliki (transaksi
terjadi pada kondisi equilibrium).Atas dasar kedua asumsi tersebut maka harga rumah
atau tanah atau property lain yang merupakan fungsi dari bangunan itu sendiri
Structural (S) lingkungan sekitar Neighborhood (N) dan kualitas lingkungan (Q
).Variable structural adalah bentuk , ukuran dan luas lahan dan lain- lain.Variabel
lingkungan sekitar adalah akses kekota, pusat pendidikan , keamanan , ketetanggaan
dsb. Sedangkan variable kualitas lingkungan adalah kualitas udara, kebisingan suhu
dsb. Dalam bentuk matematik fungsi tersebut sebagai berikut.;
P = f( Si, Ni, Qi)……………………………………………………(1)
fungsi tersebut diturunkan terhadap Q maka diperoleh : dP / dQ
dP/dQ adalah WTP marginal untuk tiap kenaikan satu unit kualitas sumberdaya.
Persamaan atau fungsi diatas mengandung pengetian bahwa harga setiap penambahan
satu unit karakteristik yang diperdangangkan seperti keindahan, kebisingan suhu, bau
dan sebagainya.Bila persamaan (1) diatas tidak berbentuk linear , maka harga setiap
penambahan satu unit karakteristik sumberdaya yang diperdagangkan , misalnya
keindahan, kebisingan , suhu, bau dan sebagainya.
4. Metode Biaya Pengobatan (Cost Of Illness)
Digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang
menyebabkan orang menderita sakit. Total biaya dihitung baik secara lansung
maupun tidak langsung. Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus
disediakan untuk perlakukan penderita lain meliputi:
• Perawatan pada rumah sakit
• Perawatan selama penyembuhan
• Pelayanan kesehatan yang lain.
• Obat-obatan.
Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seeorang
menderita sakit. Biaya tidak langsung diukur melalui penggandaan upah oleh
kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang
diderita dan biaya penderitaannya sendiri. Umumnya digunakan untuk menilai
dampak polusi udara terhadap morbiditas.
KERANGKA PENDEKATAN STUDI
Sumberdaya alam yang berperan sangat penting bagi kehidupan ternyata dalam
pemanfaatannya sering menggunakan cara – cara yang kurang bijaksana. Hal ini
tercermin dari sikap dan perilaku dalam mengekstraksi dengan menggunakan pola
pemanfaatan tidak ramah lingkungan. Akibat perilaku destruktif tersebut tidak dapat
dihindari terjadi degradasi sumberdaya alam yang tak terkendali.
Salah satu sumberdaya alam yang berada dalam kondisi ini adalah ekosistem
terumbu karang. Saat ini terjadi perubahan pada pola pemanfaatan ekosistem terumbu
karang. Umumnya perubahan pola pemanfaaatan bukan kearah yang lebih baik tetapi
pada pola pemanfaatan yang destruktif dengan tidak berdasarkan kepada keberlanjutan
ekosistem tersebut seperti penangkapan berlebih, pengunaan bom, pe nggunaan obat
bius, pemasangan perangkap dan penambangan karang. Faktor dominan penyebab
perubahan perilaku ini adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat umum terhadap
nilai manfaat sumberdaya tersebut. Kebanyakan masyarakat mengira suatu sumberdaya
bernilai jika bisa laku dipasar, jika tidak ada nilai pasarnya maka bukanlah barang
berharga.
Demikian pula untuk ekosistem terumbu karang umumnya yang dinilai adaalah
semata-mata keberadaan ikan karang sedangkan ekosistem terumbu karang sebagai
pensuplai daur kehidupan ikan karang bisa diabaikan. Pemahaman yang keliru ini
sangat merugikan karena nilai manfaat sumberdaya yang sebenarnya besar menjadi
kecil (under value). Ketidakmampuan penilaian ini akhirnya menjadi pendorong
kerusakan sumberdaya laut tersebut. Kerusakan ini menyebabkan fungsi ekologi
terumbu karang sebagai tempat berkembang biak biota laut yang berasosiasi
dengannya, penahan arus gelombang laut, penahan abrasi pantai dan lain- lain menjadi
terganggu sehingga berakibat kepada perubahan produktivitas ekosistem ini yang
akhirnya bermuara pada perubahan nilai manfaat ekosistem tersebut.
Dalam mengestimasi nilai manfaat ekosistem terumbu karang salah satu cara
bisa melalui pendekatan produktifitas (Effect on Production Approach) dari ekosistem
yang bernilai ekonomi (market base). Menurut Grigalunas dan Congar (1995) pendekatan
melalui produktivitas ini akan sangat berguna apabila produk final dari suatu ekosistem
terumbu karang (ikan karang )mudah didapat dan relatif mudah dinilai dan aliran barang
atau jasa dari ekosistem tersebut relatif mudah tersedia. Estimasi penilaian berdasarkan
kepada penjumlahan satuan uang yang berasal dari manfaat (benefit) dan biaya (cost )
yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Analisis manfaat dan
biaya yang dibangun berdasarkan Pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA), Net Present
value (NPV). Perhitungan dengan satuan moneter ini bertujuan untuk memperlihatkan
bagaimana pentingnya nilai dari suatu sumberdaya meskipun nilai uang belum tentu
menjadi mutlak. Dalam arti lain nilai moneter merupakan ukuran kepuasan untuk suatu
tindakan (estimasi). Hal ini cukup beralasan untuk menghindari nilai suatu sumberdaya
menjadi overvalue atau undervalue.
Dari analisis ekonomi tersebut maka nilai ekosistem terumbu karang dapat
diestimasi dengan tidak mengabaikan keberadaan terumbu karang dimana luasan terumbu
karang dianggap sebagai input dari ekosistem terumbu karang sebagai tempat pemijahan ,
tempat pengasuhan dan tempat mencari makan biota luat yang berasosiasi dengannya.
Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung dari
produktivitas ekosistem terumbu karang yaitu ikan karang. Sedangkan nilai manfaat
tidak langsung diantaranya sebagai jasa ekologis (ecological services) seperti
kemampuan menyerap karbon, penahan gelombang, penahan abrasi pantai tidak
diestimasi karena proses konsumsinya bukan melalui mekanisme pasar (non
marketable).
Keterangan : = Garis Koordinasi
= Ruang Lingkup Metode Analisis
Gambar 2. Alur Kerangka Pendekatan Studi
NATURAL RESOURCE
NILAI MANFAAT EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU
KARANG
BOMBING, POISONING, MINING, etc
CORAL REEF ECOSYSTEM
DESTRUCTIVE ECONOMIC ACTIVITY
PEMANFAATAN SUMBERDAYA
BERKELANJUTAN
CHANGE OF RESOURCE PRODUCTIVITY
CHANGE OF ECONOMIC VALUE
(ECONOMIC LOSS)
House Hold
EOP
CBA, NPV, BENEFIT LOSS
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara pada
bulan September 2005 sampai Desember 2005.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study).
Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya terhadap satu kasus
dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal 2001). Dalam
hal ini metode studi kasus digunakan untuk mengkaji lebih dalam aktivitas ekonomi
masyarakat. Dengan penggunaan teknik survey dalam pengambilan responden, akan
memungkinkan model yang digunakan dapat diadoposi untuk penelitian di daerah
lainnya. Penelitian di lakukan pada aktivitas ekonomi yang berbasis sumberdaya alam
yaitu usaha penangkapan ikan Satuan kasusnya adalah areal ekosistem terumbu karang
yang secara administratif terletak di Kotamadya Ternate. Penentuan lokasi yang menjadi
satuan kasus tersebut dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa
daerah tersebut merupakan jalur distribusi terumbu karang di Indonesia Bagian Timur
dan merupakan jalur keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia yang melintasi
jalur Minahasa, Sangihe Talaut sampai ke Filipina. Berdasarkan pengamatan serta data
statistik Pulau Ternate usaha penangkapan ikan merupakan aktivitas ekonomi berbasis
sumberdaya alam yang cukup dominan.
Metode Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan
produksi ekosistem terumbu karang yaitu nelayan pancing ikan dasar di Ternate. Metode
pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu metode
pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu atau
sengaja. Metode ini dipergunakan untuk menilai manfaat langsung. Pertimbangannya
adalah bahwa sampel/responden tersebut bersifat spesifik, sehingga penentuannya harus
dilakukan secara sengaja (purposive). Jumlah responden yang menjadi sampel sebanyak
67 orang atau 9% dari populasi responden sebanyak 729 rumah tangga.
Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan, maka data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data, yaitu :
(1) Data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan,
dengan metode wawancara yang mendalam (depth interview ) kepada responden
berdasarkan daftar pertanyaan (questionnaire) yang telah disusun sesuai dengan
keperluan analisis dan tujuan penelitian.
(2) Data sekunder, yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari pemerintah daerah,
Dinas Perikanan dan Kelautan Kotamadya Ternate , Kantor BPS dan lembaga-
lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari
publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan. Data yang dikumpulkan
berupa data masalah penduduk, produksi perikanan dan pemasarannya, sarana
prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi di lokasi penelitian.
Variabel dan Cara Pengukuran
Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah luasan kawasan terumbu karang
di Pulau ternate dengan interrpretasi citra satelit LAPAN. Luasan terumbu karang yang
berfungsi sebagai nursery ground (area pengasuhan ) feeding ground (area sumbe
makanan ), spawning ground (area berpijah) maka luasan terumbu karang menjadi input
bagi produktivitas hasil tangkapan ikan. Metode yang digunakan berdasarkan kepada
pendekatan hasil produksi ( Effect on Production Approach, EoP) yaitu dengan
mengalikan hasil produksi dan harga maka nilai manfaat langsung (benefit) dari terumbu
karang dapat diestimasi.
Teknik EoP yang digunakan adalah Present Value generate Per Hectare Model –
Income Approach. Teknik ini dilakukan dengan mengkapitalisasi atau mendiskon aliran
bersih dari manfaat terumbu karang (produksi ekologis / biologis) yang diambil sebagai
indikator nilai sekarang (present value) habitat terumbu karang. Dengan membagi total
present value dari produksi terumbu karang dengan luas terumbu karang, akan diperoleh
nilai sekarang per hektar dari sumberdaya terumbu karang. Pendekatan metoda ini
dengan memasukkan atau mengabaikan biaya produksi yang dikeluarkan baik yang
berasal dari tenaga kerja atau biaya faktor produksi lainnya (Barton, 1994).
Analisis Data
Dengan menggunakan pendekatan EoP diatas maka estimasi nilai manfaat
langsung dapat dijabarkan dengan formula sebagai berikut:
1) Present Value generated per Hectare Model - income approach
PV per Hectare Model = //// Lr
BT
tt
t /)1(0
+∑
=
/////////////////////////
Bt = manfaat produksi perikanan dari sumberdaya terumbu karang
T = Jumlah tahun Proyeksi Nilai
r = Real discount rate
L = Luas kawasan terumbu karang.
Residual rent didefinisikan sebagai perbedaan antara biaya faktor produksi dan
nilai panen dari sumberdaya terumbu karang. Residual Rent dapat dilihat sebagai
kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (income factor) terhadap nilai
ekonomi total.
2) Present Value Residual Rent per Hectare Model income approach
PV Residual Rent per hectare Model = LrCBT
tttt /
)1(0
+−∑
=
dimana:
Bt = manfaat bersih produksi perikanan dari sumberdaya terumbu karang
Ct = biaya produksi perikanan
T = Jumlah tahun proyeksi nilai
r = Real discount rate
L = Luas kawasan terumbu karang
3) Dalam mengukur nilai per hektar kawasan terumbu karang, nilai didekati dari
produksi ikan karang yang merupakan produk dominan dari kawasan terumbu
karang. Kemudian diduga hubungan antara jumlah produksi ikan karang (Ct)
dengan jumlah upaya tangkap (Et) dan luasan kawasan terumbu karang (Lt)
dengan formula sebagai berikut :
1,32
1,2110 )ln(),ln( −−− +++= tittittit CELELC ββββ
dengan menggunakan teknik regresi, formula ini memberikan model
penggunaan parametric (Lyn et al (1981) diacu dalam Adrianto, 2004).
Dari estimasi parameter tersebut, dapat diperoleh hasil estimasi tangkapan ikan
karang pertahun yang apabila dikalikan dengan harga persatuan volume ikan
karang (Pt), maka diperoleh nilai total hasil tangkapan ikan karang. Dengan
menggunakan pendekatan ini maka nilai produktivitas per hektar kawasan
terumbu karang dapat diestimasi dengan membagi nilai total hasil tangkapan ikan
karang dengan luas kawasan terumbu karang.
4) Demikian juga untuk mengestimasi nilai kehilangan manfaat akibat rusaknya
ekosistem terumbu karang. Dengan memandang fungsi kawasan terumbu
karang sebagai nursery ground, feeding ground, spawning ground maka luasan
terumbu karang menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan karang.
Jika ada gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada kawasan
terumbu karang maka secara langsung akan mempengaruhi aliran nilai manfaat
dari kawasan terumbu karang tersebut. Hubungan in dapat dirumuskan secara
umum sebagai berikut :
X=(F(L,E))=X0+ ß1L + ß2E + ß3E2
Dengan menggunakan formula: P x q x E x ß1 x ? L
Dimana:
P = Harga ikan Per Unit volume(kg)
q = Koefisien daya tangkap
E = Daya tangkap (trip)
ß1 = Koefisien perubahan kawasan terumbu karang
? L= Perubahan kawasan terumbu karang.
Sumber: Grigalunas and Congar,(1995) .
Maka kehilangan manfaat langsung akibat berkurang/hilangnya suatu kawasan
dapat diestimasi secara moneter.
5) Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV)
Analisis sensitivitas adalah analisis lanjutan dalam penelitian ini yang ditujukan
untuk melihat seberapa besar pengaruh endogen maupun eksogen terhadap
perubahan nilai Net Present Value. Asumsi yang dibangun didasarkan kepada
keadaan luasan tutupan terumbu karang yang mengal penurunan setiap tahun.
Penurunan luasan tutupan terumbu karang ini berpengaruh kepada hasil produksi
ikan karang yang merupakan variabel endogen dalam penentuan nilai Net Present
value. Analisis yang dipaka i adalah penurunan kenaikan produksi sebesar 25%.
Diasumsikan bahwa pengaruh luasan terumbu karang terhadap produksi ikan
karang sebesar 25 %. Hal ini didasarkan bahwa penurunan atau kenaikan produksi
tidak hanya disebabkan oleh faktor terumbu karang saja tetapi juga bisa disebabkan
oleh fakor- faktor lain seperti perubahan cuaca, perubahan kondisi ekonomi dan
sosial masyarakat. Analisis sesitivitas kedua yang digunakan adalah dari faktor
eksogen yaitu harga BBM sebagai ongkos angkut.
Analisis sensitivitas untuk mengetahui berapa besar pengaruh kenaikan BBM
terhadap harga dari ikan karang sehingga secara langsung akan mempengaruhi
NPV dari ekosistem terumbu karang.
Perubahan nilai NPV yang diakibatkan adanya perubahan nilai biaya transportasi
.Asumsi yang dibangun dalam analisis sensitivitas ini adalah dilatarbelakangi
kondisi pada saat penelitian berlangsung. Isu pada saat ini adalah terjadinya
kenaikan harga BBM yang otomatis mengakibatkan adanya kenaikan biaya
transportasi sekitar 50 %. Harga BBM dianggap sebagai variabel eksogen yang
mempengaruhi nilai biaya transportasi sebagai faktor endogen dalam perhitungan
Net Present Value.
6) Analisis Keterkaitan Ikan Karang Dengan karang hidup
Adanya keterkaitan ikan karang dengan karang hidup dianalisa dengan
menggunakan analisis regresi dengan menyusun fungsi keterkaitan ikan karang
dengan karang hidup. Model regresi memungkinkan kita untuk mengkaji
hubungan antara variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas
(independent Variable) (greene, 1990). Pendugaan koefisien dilakukan dengan
menggunakan teknik Ordinary Least Square (OLS) agar menghasilkan penduga
Parameter yang bersifat BLUE (Best Linier Unbias Estimator) jika asumsi-
asumsinya terpenuhi. Asumsi /sifat tersebut adalah :
1. Jumlah error sama dengan nol.
2. regresi bergerak dalam nilai rata-rata
3. Tidak ada korelasi antara sisaan /error dan peubah penjelas (explanatory
variabel)
4. Beberapa hal yang mendasar menjadi pertimbangan dalam menentukan
model regresi adalah :
5. Tingkat signifikan model
6. Penelitian ini menetapkan tingkatan signifikan model yang akan dihasilkan
adalah 95 % atau tingkat kesalahan (error) sebesar 5 %. Dasar keputusan ini
adalah melihat populasi yang relatif homogen , luasan wilayah studi yang
relatif sempit yaitu satu pulau kecil dan terfokus pada 5 desa pantai untuk
usaha penangkapan ikan .
7. Koefisien determinan (R2 atau R-square)
8. Koefisien determinan R2 digunakan untuk mengukur kesesuaian (goodness
of fit ) dalam Model (Greene,1990). Koefisien determinan (R2)
menunjukkan seberapa besar variabel – variabel bebas dalam model dapat
menjelaskan variabel tergantung. semakin tinggi angka R2 berarti model
yang dihasilkan cenderung lebih baik dan untuk penelitian sosial ekonomi
angka R2 yang digunakan adalah lebih besar dari 0,50 agar model yang
dihasilkan dapat dikatakan menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
9. Tingkat Signifikan variabel
10. setiap variabel yang masuk kedalam model regresi harus memiliki tingkat
signifikan yang lebih kecil dari tingkat signifikan yang ditentukan. Kendala-
kendala yang dihadapi dalam penelitian sosial ekonomimemungkinkan
tingkat signifikan variabel bersifat fleksibel. Analisis regresi pad penelitian
ini menetapkan tingkat signifikan variabel 30 % karena fenomena
pengamatan dalam penelitian mendukung model yang dibentuk. Semakin
kecil tingkat signifikan variabel, maka semakin signifikan variabel tersebut
dalam mempengaruhi model. Sebaliknya bila tingkat signifikan variabel
lebih dari 30 % maka variabel tersebut tidak signifikan dalam
mempengaruhi model sehinga tidak layak dimasukkan.
11. Multikolinearitas adalah tingkat korelasi yang cukup tinggi terjadi pada dua
variabel, yang berarti bahwa salah satu dari variabel tersebut sudah cukup
untuk menjelaskan regresi. Dalam menyusun model regresi diharapkan
mutikolinearitas sekecil mungkin.
12. tanda positif atau negatif dari variabel bebas
13. Tanda positif atau negatif (+/-) dari variabel bebas menunjukkan fenomena
yang terjadi. Tanda positif berarti bahwa variabel bebas (independent
variabel )berpengaruh searah terhadap variabel tergantung (dependent
variabel ) sebaliknnya tanda negatif berarti bahwa variabel bebas
berpengaruh terbalik terhadap variabel tergantung .
14. Model Keterkaitan terumbu karang dengan ikan karang
15. Variabel – variabel yang diuji dalam regresi adalah persentase tutupan
terumbu karang hidup (Hard coral) di masing –masing stasiun sebagai ß
Sedangkan varibel dependen yang digunakan dalam model ini adalah total
ikan karang per spesies di semua stasiun (Y). Fungsi keterkaitan ikan karang
dapat dituliskan sebagai berikut :
16. Y= f (ß)
17. Model umum regresi linier sederhana dari fungsi hubungan terumbu karang
dengan ikan karang adalah : Y= a + ß
18. Pendugaan koefisisen a ,ß dilakukan dengan teknik kuadratik terkecil (the
ordinary least square).
19. Dengan meregresikan data persentase tutupan karang hidup dan jumlah
taksa ikan karang maka hasilnya dapat memberikan petunjuk adanya
interaksi antara ikan karang dengan karang.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis
Pulau Ternate merupakan wilayah kepulauan yang terletak di pesisir Barat Pulau
Halmahera dan merupakan bagian dari wilayah Provinsi Maluku Utara. Luas wilayah
Pulau Ternate adalah 5.681,30 km2, dengan wilayah perairan lautnya sekitar 5.457,55
km2 dari keseluruhan wilayah yang ada, luas daratannya 133,74 km2. Wilayah pulau-
pulau kecil di Kepulauan Ternate terletak pada koordinat 1260 20' -1280 05 ' Bujur Barat
serta 00 50' - 2010' Lintang Utara berbatasan dengan:
§ Sebelah Utara dengan Samudra Pasifik
§ Sebelah Selatan dengan Laut Maluku
§ Sebelah Timur dengan Laut Halmahera
§ Sebelah Barat dengan Laut Maluku
Pulau – pulau kecil di wilayah Kepulauan Ternate terletak dalam lingkup yang bergerak
melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaut, dan Minahasa yang dilingkupi lengkung
Sulawesi dan Pulau Sangihe yang berwatak Vulkanis.
Kondisi Fisik Pulau Ternate
a) Geomorfologi
Pulau Ternate sebagian besar daerahnya bergunung dan berbukit terdiri dari
pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah regosol dan rensina. Jenis
tanah regosol yaitu tanah yang khas berada daerah vulkanis. DiPulau Ternate terdapat
dua gunung vulkanis yaitu Gunung Gamalama tinggi 1.715 m dan gunung Tuanane
tinggi 950 m yang berada di Pulau Moti.
b) Ketinggian Lahan
Tingkat ketinggian lahan dari permukaan laut di wilayah Pulau Ternate cukup
bervariasi yang dapat diklasifikasikan menjasi 3 kategori. Kategori rendah (0-500 m)
yang diperuntukkan untuk pemukiman, pertanian, perikanan, perdagangan, dan pusat
pemerintahan; kategori sedang (500-700 m) diperuntukkan untuk hutan konservasi, dan
usaha kehutanan; kategori tinggi ( > 700 m) diperuntukkan untuk hutan lindung.
c) Klimatologi
Pulau Ternate adalah daerah kepulauan dengan ciri iklim tropis. Curah hujan
bulanan tertinggi terjad i pada bulan Mei yaitu 263 ,4 mm dan terendah pada bulan
Agustus 77,8 mm. Nilai rata-rata curah hujan bulanan adalah 184,68 mm dan rata-rata
curah hujan tahunan sekitar 2.322,70 mm. Jumlah hari hujan rata-rata 202 hari dan nilai
rata-rata hujan tertinggi pada bulan Januari dan November yaitu 20 hari hujan dan
terendah bulan Agustus sebanyak 12 hari hujan.
Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan angin di wilayah Pulau Ternate berkisar
antara 2,9 -5,2 Knots dengan kecepatan terbesar bulanan berkisar antara 16-28 knots.
Arah angin terbanyak dari barat laut yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, dan
April. Sedangkan pada bulan Mei dan Juni angin terbanyak bertiup dari Barat Daya serta
pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober angin terbanyak bertiup dari arah
Tenggara (pancaroba), pada bulan November dan Desember angin kembali bertiup dari
arah Barat Laut.
Nilai rataan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan–bulan yang curah hujannya
tinggi, meskipun variasi tiap bulannya tidak tinggi. Kelembaban tertinggi pada Januari
dan April yaitu sebesar 86 % dan terendah pada bulan Agustus yaitu 78 % (Badan
Meterorologi dan Geofisika Kota Ternate, 2004) .
Kondisi Sosial Ekonomi
a). Administrasi Pulau Ternate
Secara yuridis, status Pulau Ternate ditingkatkan dari kota Administratif menjadi
Kotamadya atau Kota Ternate berdasarkan UU no 11 tahun 1999.
Wilayah kepulauan ini banyak memiliki desa / kelurahan yang memiliki pantai,
sebanyak 70 %nya merupakan desa /kelurahan yang memiliki pantai. Pulau Ternate
mempunyai 60 kelurahan.terdiri dari 4 kecamatan. Seperti yang dirinci pada tabel 3.
bahkan satu kecamatan merupakan pulau tersendiri.
Tabel 3. Rincian Wilayah Pulau Ternate
No Kecamatan Ibukota
Kecamatan
Jumlah Desa
Pantai
Jumlah Desa
Bukan Pantai
Jumlah
Pulau Kecil
1.
2.
3.
4.
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Utara
Moti
Jambula
Kalumata
Dufa-Dufa
Moti Kota
17
9
10
6
1
10
7
-
6
1
Jumlah 42 18 7
Sumber : BPS Kota Ternate (2004) dan DPK (2005).
b). Aksesibilitas
Dari Jakarta trans it di Makassar atau Manado.Berganti pesawat ke Pulau Ternate.
Bila mengunakan kapal laut dari Makassar atau Bitung ditempuh selama 1 hari. Dari
Kota Ternate ke pulau pulau kecil lainnya dapat menggunakan kapal motor tempel atau
speed boat .Jarak perjalanan dari Pulau Ternate ke pulau kecil dapat dilihat pada table 4.
dibawah ini.
Table 4.Luas Jarak Dan Waktu Tempuh Ke Pulau Pulau Kecil di Kota Ternate.
No Pulau Kecamatan Luas(Km2) Jarak*(mil laut) Waktu
Tempuh
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pulau Hiri
Pulau Moti
Pulau Mayau
Puilau Tifure
Pulau Maka
Pulau Mano
Pulau Gurida
Pulau Ternate
Moti
Pulau Ternate
Pulau Ternate
Pulau Ternate
Pulau Ternate
Pulau Ternate
12.4
24.6
78.4
22.1
0.5
0.5
0.5
1,5
11
90
106
1,6
1,6
106,1
0,5
3
11
12
0,6
0,6
12
Sumber Pemerintah Kota Ternate, 2003.Keterangan * dari Kota Ternate
c). Kependudukan
Jumlah Penduduk Pulau Ternate berdasarkan hasil pengolahan survey sosial
ekonomi Nasional (SUSENAS)tahun 2003 sebanyak 148.946 jiwa atau sekitar 17,39 %
dari jumlah penduduk propinsi Maluku Utara. Jumlah perempuan lebih banyak dari pada
jumlah laki- laki sehingga rasio jenis kelamin laki- laki dan perempuan 98,98 atau dengan
kata lain bahwa jika disuatu wilayah Pulau Ternate terdapat sejumlah 100 orang
perempuan maka jumlah laki- laki diwilayah tersebut hanya 99 orang. Ditingkat provinsi,
jumlah perempuan lebih sedikit daripada jumlah laki- laki.hal ini terlihat dari besarnya
rasio jenis kelamin laki- laki dan perempuan di Provinsi Maluku Utara sebesar 102,34.
Jumlah rumah tangga di Pulau Ternate mencapai 30.800 KK.sehingga rata-rata
besaran keluarga per KK di Kota Ternate berkisar sekitar 4-5 orang. Kota Ternate yang
memiliki luas 133,74 km 2 dengan jumlah penduduk 148.946 jiwa mempunyai kepadatan
penduduk sekitar 605 jiwa/km 2
Tingkat partisipasi angkatan kerja Ternate berdasarkan hasil SUSENAS 2003
sekitar 45,16 %merupakan ukuran dari 100 penduduk usia 10 tahun ke atas ,45 orang
diantaranya angkatan kerja (BPS Provinsi Maluku Utara , 2004).
Di kota Ternate rasio murid guru untuk jenjang pendidikan dasar (SD)
SLTP,SLTA dan SMK masing –masing sebanyak 16 murid per seorang guru SD , 21
murid perseorang guru SLTP, sebanyak 27 murid per seorang guru SLTA , dan sebanyak
18 murid per seorang guru SMK. Tabel 5.3 menunjukkan jumlah sekolah , guru, murid,
dan rasio guru dan murid di Pulau Ternate.
Tabel 5. Sarana Pendidikan Dasar dan Menengah di Kota Ternate tahun 2004.
No Jenis Sekolah Sekolah Murid Guru Rasio Murid Guru
1 SD 103 1.095 1.095 16
2 SLTP 29 476 476 21
3 SLTA 14 321 321 22
4 SMK 7 175 175 18
d). Perekonomian
Sektor - sektor ekonomi unggulan di Pulau Ternate membentuk struktur
perekonomian daerah Kota Ternate, yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan
memberikan kontribusi sekitar 30,94 % diikuti oleh sektor jasa pengangkutan dan
komunikasi serta sektor- sektor jasa. Nilai ketiga sektor tersebut terhadap pembentukan
PDRB melebihi 50 % dari total pembentukan PDRB Kota Ternate .
Sektor pertanian dan perikanan hanya merupakan unggulan ke 4 terhadap
kontribusi PDRB Kota Ternate. Melihat potensi yang cukup besar terutama di sub sektor
perikanan yang memiliki potensi perikanan tangkap yang besar yang berada dilautan
disekitar pulau- pulau kecil Kota Ternate .
Laju pertumbuhan ekonomi Kota Ternate tahun 2004 jika dibandingkan dengan
dengan tahun 2000 terjadi kenaikan dari – 0,93 % menjadi 2,83 %. Laju pertumbuhan
ekonomi sebesar 2,83 %. Kenaikan ini didukung oleh seluruh sektor yang tumbuh secara
posistif kecuali sekor bangunan yang mengalami penurunan cukup drastis. Sektor yang
mengalami kenaikan terbesar dalam laju pertumbuhan PDRB kota Ternate tahun 2004
adalah sektor pengangkutan .
Tabel 6.Perkembangan Indeks Harga Konsumen Berdasarkan Kelompok Komoditi Di Kota Ternate Tahun 2000-2004 (Harga April1988-1990= 100).
Th 2000 2001 2002 2003 2004
BM 237,40 257,31 315,52 315,41 111,94
MJ 378,07 413,22 444,25 377,34 112,94
PM 200,92 218,37 239,57 254,79 112,03
SD 199,67 215,70 221,26 225,20 10,71
KS 198,01 206,80 220,75 225,74 108,71
PD 198,01 206,80 220,75 225,74 108,71
TK 187,83 196,68 196,89 199,25 288,49
UM 222,78 252,25 279,37 288,49 111,36
Sumber : Maluku Utara dalam Angka 2004
Keterangan :
Th = Tahun SD = Sandang
BM = Bahan Makanan KS = Kesehatan
MJ = Makanan Jadi rokok,minuman tembakau PD = Pendidikan
PM = Perumahan UM = Umum
TK = Transportasi dan Komunikasi
f). Potensi Perikanan PulauTernate
Dari sisi geografis wilayah pulau – pulau kecil di Ternate sangat strategis karena
merupakan daerah migrasi/ruaya berbagai jenis ikan pelagis besar (tuna dan cakalang)
yang merupakan komoditas andalan perikanan. Karena itu potensi dibidang perikanan
dan kelautan diwilayah ini cukup besar. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari
dinas perikanan dan kelautan tahun 2004, potensi lestari ikan di perairan Ternate sebesar
23.919,25 ton per tahun dari standing stock yang dimilki sebesar 47.838,25 ton yang
terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna cakalang, tongkol,cucut, tenggiri, dan ikan
pelagis kecil seperti ikan layang dan tembang. Ikan demersal seperti kakap merah, skuda,
kakap sejati, ekor kuning serta berbagai jenis ikan kerapu. Tingkat pemanfaatan potensi
perikanan baru mencapai 29,80 % dari potensi lestarinya. Potensi lain yang dimiliki oleh
Pulau Ternate yaitu sebagian pulau-pulaunya dapat dijadikan sebagai tempat untuk
kegiatan marikultur, diantaranya hatchery, budidaya rumput laut, keramba (pembenihan
dan pembesaran). Selama ini masyarakat cenderung lebih banyak pada kegiatan
penangkapan, baik ikan pelagis, ikan demersal, sehinga cukup sulit merubah kepada
perilaku pembudidayaan. Dipesisir pantai kota Ternate banyak terdapat bibit bandeng
nener dan benur yang dapat digunakan sebagai bibit alami budidaya tambak. Luas
perairan potensial untuk budidaya laut mencapai 30 ha.
Pulau Ternate dilihat dari aspek pemasaran sangat strategis karena merupakan
pusat pasar dan ekspor dari propinsi Maluku Utara yang telah memiliki sarana dan
prasarana pendukung antara lain: pelabuhan Ahmad Yani, Pelabuhan Perikanan
Nusantara Bastiong, dan pusat pendaratan ikan Dufa-Dufa. Dibukanya Bandara
Baabulah juga menunjang aksesibilitas komoditas perikanan maupun produk lain dari
sentra produksi ke pasaran interinsuler maupun eksport.
Jumlah nelayan di kota Ternate terdiri dari nelayan tetap sebesar 91 % dan
nelayan sambilan sebesar 9 %. Kegiatan nelayan di Kota Ternate ada dua jenis yaitu
kegiatan perikanan rakyat dan kegiatan perikanan industri. Kegiatan perikanan rakyat
lebih mendominasi kegiatan perikanan di Kota Ternate, karena teknologi yang digunakan
masih sangat sederhana. Di Kota Ternate Jumlah rumah tangga (RTP) sebanyak 2.017
KK dan kelompok nelayan sebanyak 124 .
Tabel 7. Komposisi Sebaran RTP di Pulau Ternate
No Kecamatan Jml Pdd
(Jiwa)
Jumlah RTP Jumlah kelompok
nelayan
1 Ternate Utara 60.285 434 28
2 Ternate Selatan 66.535 324 21
3 Pulau ternate 17.590 865 50
4 Pulau Moti 4.536 394 25
5 Jumlah 148.946 2.017 124
Sumber : (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2004).
g). Produksi dan Nilai Produksi Perikanan
Daerah Aktivitas penangkapan nelayan dkawasan pesisir Kota Ternate umumnya
dekat dengan pantai (<4 mil), kegiatan masih bersifat tradisional. Produksi hasil
perikanan Kota Ternate disajikan pada tabel 8.
Tabel 8.Produksi hasil perikanan (dalam ton) di Kota Ternate tahun 1996-2004
Tahun Jumlah produksi (Ton) Perkembagan (%)
1996 5.713,0
1997 6.824,7 16,29
1998 6.917,1 1,34
1999 5.865,3 -18,11
2000 6.456,35 9,32
2001 6.510,58 0,80
2002 6.562.81 0,80
2003 6.615,04 0,79
2004 9.084,43 27,18
Sumber: BPS,Kota Ternate dalam Angka, 2001,Statistik Perikanan Tangkap Maluku
Utara 2004.
Tabel 9 Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis di Pulau Ternate
No Alat tangkap Jumlah Alat (Unit) Jumlah trip (Kali)
1 Pukat pantai 18 4.104
2 Purse seine 18 2.592
3 Jaring insang hanyut 18 1.944
4 Jaring insang tetap 16 0
5 Bagan perahu 0 0
6 Rawai Tuna 14 1.680
7 Rawai hanyut 2 384
8 Huhate 29 4.524
9 Pancing tonda 18 1.512
10 Jaring Insang Lingkar 16 3.072
11 Rawai tetap 2 168
12 Bagan tancap 1 252
13 Sero 1 168
14 Bubu 10 600
15 Muro ami 1 84
16 Jaring klitik 2 120
17 Lain- lain 39 1.452
Jumlah 205 22.656
Sumber : Statistik Perikanan tangkap Maluku Utara 2004
Tabel. 10 Perkembangan produksi perikanan Kota Ternate dari tahun 2002-2004
No Kecamatan 2002(Ton) 2003(Ton) 2004(Ton)
1 Ternate Utara 3.135,67 4.204,62 4.225,39
2 Ternate Selatan 945,55 1.267,5 1.274,15
3 Pulau ternate 2.497,35 3.347,33 3.365,24
4 Moti 879,93 1.178,97 1.185,72
Total 7.457,00 9.998,50 10.048,50
Sumber : (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2004).
Sedangkan perkembangan armada penangkapan ikan di Pulau Ternate dari tahun
2002-2004 dirinci pada tabel 10 dibawah ini. Kegiatan perikanan di Pulau Ternate,
ditunjukkan dengan alat tangkap yang digunakan rata-rata masih bersifat tradisional.
Sistem penangkapan modern belum banyak diterapkan
Tabel. 11 Perkembangan armada tangkap nelayan selama 3 tahun di Kota Ternate
Jenis armada 2002 2003 2004 Rata-rata kenaikan
Kapal motor 22 21 19 -
Motor tempel 260 275 344 12,76
Perahu tanpa Motor 755 787 762 -
Total 1.037 1.083 1.144
Sumber : (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2004).
Kegiatan perikanan tangkap di perairan Kota Ternate masih sangat sederhana .
Akan tetapi di kota Ternate juga sudah ada kegiatan perikanan berkala industri, kendati
masih bersifat semi modern, yaitu dengan menggunakan motor tempel dan kapal motor
dengan alat tangkap longline dan purse seine. Alat tangkap dan armada berskala industri
dapat menjangkau fishing ground yang lebih jauh dan bahkan sampai ke perairan
Samudra Pasifik.
Daerah penangkapan (fishing ground) nelayan di Kepulaun Ternate umumnya
menggunakan perahu tanpa motor berskala 1-3 mil disekitar rumpon jika fasilitas
tersebut tersedia dengan penangkapan satu hari (one daya trip ).
Penangkapan skala sedang dengan mengunakan motor tempel dan kapal motor
dapat menjangkau daerah penangkaapn (fishing ground) yang lebih jauh, namun masih
dalam wilayah perairan Maluku Utara (Batang Dua, Halmahera, Kayao, dan sekitarnya)
dengan waktu melaut dua minggu sampai satu bulan.
Daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar (tuna ,cakalang) di perairan Kota
Ternate meliputi perairan pulau Hiri, pulau Moti, dan Pulau Batang Dua /Laut Maluku.
Daerah penangkapan ikan pelagis kecil dan demersal adalah pesisir Pulau Ternate,
Pulau Hiri, Pulau Moti, dan Pulau Tifure Batang Dua. Musim penangkapan dilakukan
sepanjang tahun dan musim puncak pada bulan Januari,April serta Sepetember –Oktober.
Sarana dan prasarana perikanan merupakan faktor penunjang kegiatan
perikanan. Sarana dan prasarana di Kota Ternate salah satunya adalah pelabuhan
Bastiong yang disajikan pada tabel 12.
Tabel 12. Sarana dan Prasarana Pelabuhan Bastiong Ternate
A Pokok
§ Dermaga
§ ColdStorage
§ Pabrik Es
§ Bengkel
Unit
Beton 560 m2
1 unit
50 m2
50 m2
B Sarana penunjang
§ TPI
§ Balai Pertemuan
§ Dock/Slipway
§ Instalasi Listrik
§ Gudang
§ PPI
§ Pelabuhan Ekspor
§ Pelabuhan Nusantara
§ Pelabuhan Udara
Unit
500 m2
100 m2
C 20 T dan B 5 T
200 m2
125 m2
1paket
1paket
1paket
1paket
Sumber dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate , 2004
h) Karakteristik Responden
Masyarakat yang diteliti adalah masyarakat yang berada di Kota Ternate dan
sekitarnya, terutama yang terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu
karang. Populasi responden sebanyak 148.946 jiwa termasuk populasi rumah tangga
nelayan (RTP) sebanyak 2.017.Jumlah tersebut tersebar di 4 kecamatan Pulau Ternate.
Responden yang diambil sebagai sampel sebanyak 67 rumah tangga dengan profesi
sebagai nelayan .
i) Umur responden
Umur responden bervariasi antara 17 - 65 tahun. diketahui bahwa responden
dengan usia 35 - 44 tahun lebih banyak yaitu 20 orang atau sebesar 29,85 %. Jumlah
responden paling sedikit dengan usia 65-74 tahun sebanyak 1 orang dengan persentase
1,49 %. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. K lasifikasi Umur Responden
Sumber : Hasil olahan data primer , 2005
2)Jenis kelamin responden
Responden yang diwawancarai seluruhnya berjenis kelamin laki- laki .
3) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden sangat rendah. Dari 67 responden yang
diwawancarai 31,34% tidak pernah menempuh pendidikan formal. Sebanyak 50,74 %
menempuh pendidikan sekolah dasar, beberapa responden saja yang menempuh
pendidikan menengah dan satu mencapai pendidikan menengah atas.
Tabel 14. Klasifikasi tingkat pendidikan responden
No Tingkat pendidikan Jumlah orang Persentase
1 Tidak pernah sekolah 21 31,34
2 SD 34 50,74
3 SLTP 9 13,43
4 SMU 2 2,98
5 Pendidikan tinggi 0 0
Total 67 100,00
No Umur (tahun) Jumlah (orang) Presentase(%)
1 15-24 6 8,95
2 25-34 16 26,22
3 35-44 20 29,85
4 45-54 18 26,86
5 55-64 6 8,95
6 65-74 1 1,49
Total 67 100,00
4) Jumlah tanggungan Keluarga responden
Jumlah tanggungan keluarga responden merupakan jumlah anggota keluarga
yang masih ditangung oleh responden. Dari hasil survey sebagian besar responden
mempunyai tanggungan yang bervariasi antara 1 sampai 7 orang.
Tabel 15. Klasifikasi responden menurut jumlah tangungan keluarga
No Tanggungan keluarga Jumlah(orang) (Prosentase)
1 <3 19 28,35
2 3 12 17,91
3 4 12 17,91
4 5 14 14,43
5 6 8 11,94
6 >6 2 2,98
Jumlah 67 100,00
Sumber : Hasil olahan data primer, 2005
5 ) Asal dan Lama Domisili Responden
Berdasarkan hasil survey, maka asal responden seluruhnya berasal dari Pulau
Ternate. Persentase terbesar berasal dari desa Kastela dengan persentase 31,34 %
sedangkan persentase responden terkecil berasal dari desa Sasa dan Gamalama sebesar
10,44 %.
Tabel 16. asal responden
No Asal Responden Jumlah(orang) Persentase
1 Jambula 24 35,82
2 Sasa 7 10,44
3 Gamalama 7 10,44
4 Sulamadaha 8 11,94
5 Kastela 21 31,34
Total 67 100,00
Berdasarkan hasil survey terlihat bahwa responden dengan lama domisili 25-50 tahun
merupakan kelompok responden yang paling banyak dengan persentase 64,17 %. Lama
domisili dibawah 25 tahun merupakan kelompok responden paling sedikit yaitu sebesar
8,95 %
Tabel 17 Lama domisili responden
No Lama domisili Jumlah (orang) Persentase
1 <25 6 8,95
2 25-50 48 64,17
3 >50 13 19,4
Total 67 100,00
Sebagaian besar responden memiliki armada tangkap sendiri.hanya 2 orang responden
yang kepemilikan armadanya merupakan sewa.
Tabel 18. Status Kepemilikan Armada Tangkap
Kepemilikan armada Jumlah orang persentase
Milik sendiri 65 97,01
sewa 2 2,99
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan Data Cross Section
Nilai Ekonomi Aktual (Net Benefit Income Approach)
Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas
perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi total
ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung
yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang.
Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh
dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan
dunia. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai jasa ekologis (ecological
services) seperti kemampuan menyerap karbon, penahan gelombang. Penelitian ini
membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung yang berdasarkan kepada produktivitas
ekosistem terumbu karang yang mempunya nilai pasar (market base) yaitu ikan karang.
Berdasarkan hasil survey pemanfaatan ekosistem terumbu karang di Pulau
Ternate hanya memanfaatkan ikan karang. Ekstraksi terhadap terumbu karang langsung
tidak terjadi seperti pengambilan karang baik untuk bahan bangunan maupun untuk
aquariun laut. Industri ikan hias di Ternate tidak berkembang seperti di daerah lainnya
padahal keanekaragaman ikan hiasnya cukup tinggi. Umumnya nelayan Ternate hanya
mengambil ikan konsumsi yang laku di pasar lokal. Selama masa survey tidak ditemukan
nelayan yang menggunakan bahan peledak dan bius. Menurut Keterangan nelayan di
Pulau Ternate hanya sewaktu-waktu melakukan penangkapan ikan dengan bahan
peledak jika telah dirasakan bahwa hasil tangkapan menurun. Selain itu Kebiasaaan
melakukan peledakan juga tidak oleh semua nelayan. Kebanyakan oleh nelayan
pendatang dari daerah Sangir Talaut dan Buton yang tidak berdomisili di Ternate.
Mereka datang menangkap ikan kemudian melakukan peledakan dan pergi. Bahkan
pernah nelayan Filipina memasuki perairan Ternate dan melakukan peledakan .
Rata-rata nelayan Pulau Ternate menangkap ikan karang menggunakan pancing
(hand line). Dalam satu trip penangkapan biasanya hanya satu orang nelayan.
Penangkapan dilakukan sepanjang musim dan bersifat one day fishing. Banyaknya trip
yang dilakukan oleh nelayan di Pulau Ternate dalam satu bulan sekitar 10- 20 hari.
Rata-rata perolehan ikan karang dalam satu trip sekitar 2-4 ekor/jenis. Tabel dibawah
merupakan identifikasi perolehan ikan karang konsumsi yang dominan di perairan
terumbu karang Pulau Ternate.
Tabel 19. Rincian Estimasi Penerimaan Ikan Karang Nelayan Pancing di Pulau Ternate No Jenis Ikan Perolehan/trip
(ekor) Jml trip/tahun Total Tangkapan/tahun
(ekor)
1 Ekor kuning 4,49 174,18 782,41
2 Kuwe 2,60 174,18 452,34
3 Bambangan 2,48 174,18 431,44
4 Kakap 3,45 174,18 600,92
5 Lencam 2,12 174,18 369,26
6 Baronang 2,.46 174,18 428,83
7 Bijinangka 2,39 174,18 415,94
8 Kerapu 1,71 174,18 297,85
Total 21,7 3.778, 99
Sumber : Data primer diolah (2005)
Proporsi hasil tangkapan ikan karang dalam satu trip dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proporsi Rata-Rata Tangkapan Ikan Karang Per Trip Nelayan Pancing Di
Pulau Ternate
Dengan rata- rata tangkapan setahun sebanyak 3.778, 99 ekor dimana rata-rata
beratkan karang per ekor adalah 0.5 – 1.5 kg, maka estimasi rata-rata tangkapan
pertahun ikan karang nelayan di Pulau Ternate sekitar 3,778 ton atau kurang lebih 4
ton. Dengan luas terumbu karang 1,11 ha maka produksi pertahun ikan karang adalah
Rata-rata tangkapan ikan karang per trip (ekor)
, ,
Lencam, 2.12 Kakap, 3.45
kerapu, 1.71
Baronang, 2.46
Bijinangka, 2.39
Bambangan, 2.48
Kuwe, 2.6
Ekor kuning , 4.49
,
0.04 ton per km2 per tahun. Jika dibandingkan dengan rata-rata tangkapan ikan karang
nelayan di Filipina yang bisa mencapai 15,6 ton/km2/tahun walau bervariasi mulai dari 3
ton/km2/tahun sampai dengan 37 ton/m2/tahun (White dan Cruz-Trinidad, 1998) hasil
tangkapan nelayan Ternate sangat rendah. Sesuai dengan penjelasan McAllister ( 1998 )
bahwa perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang, kualitas
pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang dalam
kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang
dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam
kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun, dibawah 8 ton
/km2/tahun merupakan produksi pada kondisi buruk. Dengan harga jual ikan karang
yang cukup beragam mulai dari Rp 10.000 sampai dengan Rp 25.000 maka pendapatan
bersih nelayan dalam satu trip rata-rata Rp 165.603,00
Tabel 20. Rincian estimasi Manfaat Bersih Nelayan Pancing Di Pulau Ternate.
Klasifikasi Rupiah (Rp)
Penerimaan 46.506.417,91
Biaya 17.691.164,78
Pendapatan 28.844.902,39
Dengan estimasi dari pendapatan bersih nelayan maka nilai ekosistem terumbu karang
sebagai faktor input bagi produktivitas tangkapan yang menjadi produk akhir bagi
masyarakat dapat dikuantifikasi secara moneter. Berdasarkan data survey jumlah nelayan
pancing ikan dasar di Pulau Ternate sebanyak 729 orang.
Tabel 21. Nilai Estimasi Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate Klasifikasi Unit Jumlah
Pendapatan bersih Rupiah 28.844.902,39
Jumlah Nelayan Orang 729
Luas Hektar 1,11
Nilai Aktual Rupiah 21.027.933.840,00
Nilai Aktual Per Hektar Rupiah 19.012.598.409,49
Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate
18000000000
18500000000
19000000000
19500000000
20000000000
20500000000
21000000000
21500000000
1 1.11Luas (Ha)
Nilai Ekonom
i (Ha)
Gambar 4. Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem terumbu Karang di Pulau Terna te
Total manfaat bersih diperoleh per nelayan pancing ikan dasar di Pulau Ternate
sebesar Rp 28.844.902,39. Dengan demikian nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu
karang sebesar Rp 21.027.933.840,00 atau Rp 19.012.598.409,49 ha .
Nilai Manfaat Sekarang
A.Present Value Benefit Generate Per Hektare Model- Income Approach
Dengan mendiscount aliran bersih dari manfaat terumbu karang yang diambil
sebagai indikator nilai sekarang (present value) kemudian membagi total present value
dari produksi terumbu karang dengan luasan terumbu karang, maka dapat diperoleh nilai
perhektar terumbu karang. Hasil disarikan pada Tabel.22 .
Tabel 22. Nilai Estimasi Manfaat Sekarang (Present Value Benefit) Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate Klasifikasi unit Jumlah
Luas terumbu karang Hektar 1,11
Present Value benefit Rupiah 384,542,778.79
Present Value benefit Per Hektar Rupiah 347,687,865.09
Tabel 22. diatas menunjukkan bahwa nilai manfaat sekarang dari terumbu karang di
Pulau Ternate sebesar Rp 384,542,778.79 atau sebesar 347,687,865.09 per hektar.
Nilai Manfaat Ekonomi Sekarang
(Present Value Residual Rent Generate Per Hektare Model -Income Approach)
Residual rent merupakan perbedaan antara biaya faktor produksi dan nilai
ektraksi dari sumberdaya. Dimana residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem
alam atau pendapatan bersih terhadap nilai ekonomi total. Hasil yang diperoleh dapat
disarikan pada Tabel. 23 dibawah.
Tabel 23. Nilai Estimasi Present Value Residual rent dari Ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate
Klasifikasi unit Jumlah
Luasan terumbu karang Hektar 1,11
Present Value residual rent Rupiah 239,081,334.38
Present Value residual rent Per Hektar Rupiah 216,167,571.77
Dari tabel diatas Present Value Residual Rent diperoleh sebesar Rp 239,081,334.38.
Dengan luasan terumbu karang 1,11 Ha atau present value residual rent per hektar
sebesar Rp 216,167,571.77
Gambar 5. Perbandingan antara PV Benefit dan PV Residual Rent Terumbu Karang di
Pulau Ternate
PV BenefitPV Benefit
PV Residual Rent PV Residual Rent
0.0050000000.00
100000000.00150000000.00200000000.00250000000.00300000000.00350000000.00400000000.00
1 1.11Luas Terumbu Karang (Ha)
PV B
enef
it d
an P
V
Res
idua
l Ren
t
Present value residual rent per hektar lebih rendah dari present value benefit
karena present value residual rent merupakan pendekatan dengan menghitung biaya
yang dikeluarkan baik dari faktor produksi maupu biaya dari faktor tenaga kerja.
Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV)
Dalam menghitung net present value dari suatu investasi perlu dikaji hal – hal
yang akan terjadi jika analisis net present value mengalami kesalahan atau perubahan
pada satu atau beberapa faktor sehingga mempengaruhi dalam perhitungan biaya atau
manfaat. Dalam menghitung nilai ekosistem terumbu karang (Net Present Value) juga
diperlukan analisis sensitivitas karena ada hal mendasar yang mempengaruhi nilai NPV
yaitu luasan tutupan terumbu karang (live coral coverage). Luas terumbu karang ini akan
mempengaruhi hasil produksi perikanan karang karena fungsi ekosistem terumbu karang
sebagai tempat mencari makan , tempat pengasuhan , tempat berpijah sebagian besar ikan
karang sehingga jika habitat ikan karang ini dalam kondisi baik maka output yang
dihasilkan juga dalam kualitas yang baik.
Pemanfaatan ekosistem terumbu karang oleh nelayan di Pulau Ternate selama ini
dengan cara–cara yang destruktif sehingga luasan tutupan terumbu karang mengalami
degradasi. Dari olah data citra satelit lansat ETM 7 tahun 2004 maka berhasil dianalisa
bahwa ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate mengalami degradasi dalam waktu
10 tahun seluas 1,793 ha atau sebesar 61,84 % .dari total luasan yang terhitung. Secara
langsung penyusutan luasan ini akan berakibat pada penurunan nilai estimasi dari fungsi
dan manfaat ekosistem ini. Indikator yang mudah untuk dilihat adalah berkurangnya
keuntunganekonomis dan keuntungan ekologis dari ekosistem terumbu karang tersebut.
Dengan melihat pola pemanfaaatan yang destruktif selama 10 tahun maka luasan
terumbu karang di Pulau Ternate diasumsikan akan terus mengalami penurunan. Analisis
sensitivitas terhadap perubahan luasan terumbu karang dilakukan dengan
mengasumsikan produksi akan berkurang jika luasan terumbu karang juga berkurang
demikian juga sebaliknya. Analisis sensitivitas net present value dengan asumsi
perubahan produksi berkurang sebesar 25 % jika masyarakat Pulau Ternate tetap
melakukan aktivitas pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan pola yang sama
dengan saat sekarang (tahun 2005).
Tabel 24. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Berkurang 25 % Menggunakan Pola Pemanfaatan Destruktif
No Uraian Saat ini Analisis Sensitivitas
1 Net Present value per Hektar 347,687,865.09 262.577.304,98
2 Present value Residual rent
per Hektar
216,167,571.77 306.491.214,31
Net present value per hektar mengalami penururnan sebesar Rp 85,110,560.11
demikian juga dengan NPV Residual Rent mengalami penurunan sebesar RP
86,418,056.76
Tabel 25. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Bertambah 25 % Menggunakan Pola Pemanfaatan dengan Pengaturan
No Uraian Nilai (Rp )
1 Net Present value per Hektar 445.911.143,80
2 Present value Residual rent per Hektar 129.749.515,01
Demikian pula bila digunakan pola pemanfaatan ekosistem terumbu karang
dengan pengaturan sehingga luas tutupan terumbu karang menjadi bertambah. Karena
luasan terumbu karang bertambah maka diasumsikan terjadi peningkatan hasil produksi
perikanan karang sebesar 25%. Pola pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan
ramah lingkungan merupakan tindakan yang harus dilaksanakan oleh stakeholders di
Pulau Ternate. Hal ini penting ditekankan karena sumberdaya yang dikelola bersifat open
acces sehingga kemungkinan perilaku dalam pemanfaatan serta keputusan pengalokasian
sumberdaya merupakan status kepemilikan (property right). Oleh sebab itu perlu adanya
suatu peraturan atau regulasi yang mengikat setiap pemanfaat dengan syarat bahwa tidak
ada biaya transaksi yang terjadi untuk mentaati peraturan tersebut. Jika dalam
pelaksanaannya terjadi biaya transaksi maka net present value dari ekosistem terumbu
karang akan terus menurun.
Tabel. 26. Rincian tindakan dan penanganan yang harus dilakukan oleh seluruh stakeholders yang memanfaatkan ekosistem terumbu karang
Tindakan Penanganan
Tidak menggunakan Bahan Peledak Perlu membuat peraturan lokal yang melarang
penggunaan bahan peledak dalam menangkap
ikan.Walaupun peraturan tersebut sudah ada di
tingkat nasional
Tidak menggunakan trawl Membuat peraturan melarang penggunaan alat
tangkap ikan dengan trawl di sekitar terumbu
karang.
Tidak meletakkan Bubu pada area
terumbu karang
Membuat peraturan mengatur penggunaan dan
peletakan diarea terumbuk karang.
Jangkar Membuat peraturan melarang perahu
membuang jangkar di area terumbu karang
Tidak menggunakan jaring dasar di
area terumbu karang
Membuat peraturan yangmelarang pelemparan
jaring dasar di area terumbu karang
Penambangan batu karang Membuat peraturan melarang pengambilan batu
karang dijadikan bahan bangunan.
Berjalan diatas karang Melarang berjalan/menginjakkan kaki di atas
terumbu karang
Tidak Sandar kapal motor di perairan
dangkal
Memberikan tanda-tanda diwilayah terumbu
karang yang dangkal agar para pengemudi
perahu dapat melihat wilayah mana yang tidak
dapat dilalui karena ditumbuhi karang
Alat pendorong perahu (Kayu, Bambu
dan lain-lain)
Membuat jalur masuk perahu pada wilayah
terumbu karang, sehingga penggunaan kayu
mendorong perahu tidak dipergunakan lagi.
Tidak mengambil sebagai cindera
mata
Membuat peraturan melarang pengambilan
terumbu karang dijadikan hiasan,menghapus
kuota untuk ekspor terumbu karang hias.
Dari analisis sensitivitas yang dilakukan berdasarkan faktor endogen maka perbandingan
net present value dapat diuraikan pada gamabar 6. dibawah.
Gambar 6. Grafik Analisis Sensitivitas Estimasi Net Present Value (NPV) Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate
0.00
100,000,000.00
200,000,000.00
300,000,000.00
400,000,000.00
500,000,000.00
Saat ini DenganPengaturan
TanpaPengaturan
NPV
Residual Rent
Selain berdasarkan faktor endogen, maka analisis sensitivitas berdasarkan faktor
eksogen juga perlu dilakukan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan terjadi kenaikan
biaya angkut produksi dari desa nelayan ke pusat kota Ternate. Kenaikan biaya angkut
sebesar 50 %.
Tabel 27. Perbandingan Net Present Value Dengan Perubahan Biaya Angkut
No Uraian Nilai (Rp )
1 NPV per hektare sebelum kenaikan biaya angkut 347.687.865,09
2 Present value residual rent per Hektare sebelum kenaikan
biaya angkut
216.167.571,77
3 NPV per hektare sesudah kenaikan biaya angkut 344.306.988,73
4 Present value residual rent per Hektare sesudah kenaikan
biaya angkut
160.617.390,65
Dari tabel perbandingan nilai estimasi Net Present Value diatas maka dengan
kenaikan biaya angkut tersebut, terjadi penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp
55.550.181,1 per hektar.
Keterkaitan Ikan Karang Dengan Karang Hidup
Dalam menganalisis nilai ekonomi manfaat dari ekosistem terumbu karang perlu
dilakukan analisis keterkaitan antara produksi perikanan karang dengan karang hidup
sebagai habitatnya. Sebagai indikasi yaitu kondisi karang hidup mencakup diantaranya
adalah luasan, dan kesehatan karang. Kesehatan karang dapat diindikasikan dengan
tutupan hidup (living coverage) karang batu.
Dari laporan team Bakosurtanal yang melakukan survey identifikasi sumberdaya
pesisir dan laut di Pulau Ternate pada bulan Juni 2005 hasilnya adalah luasan terumbu
karang hanya tinggal 1,13 Ha, dimana dibeberapa lokasi stasiun penga matan terjadi
kerusakan terutama karang batu. Hal demikian terjadi baik dibagian selatan maupun
utara Pulau Ternate. Tutupan karang batu di stasiun Kastela (bagian Selatan Pulau
Ternate) dalam kondisi rusak dengan persentase tutupan karang batu hidup sebesar 21,00
%.
Demikian juga dengan kondisi karang batu yang berada di bagian Utara Pulau
Ternate. Berdasarkan dari laporan penelitian Hirto (2005) bahwa kondisi karang batu di
Perairan Gamalama ditemukan dalam keadaan rusak dengan persentase tutupan sebesar
23 %. Dari kelima stasiun yang diamati 3 stasiun kondisi karangnya dalam keadaan
rusak yaitu di stasiun Kastela , Salero dan Gamalama. Hanya di stasiun Sulamadaha dan
Takome yang kondisi karangnya dalam keadaan baik dan sangat baik.. Kondisi ini juga
dipengaruhi oleh posisi stasiun pengamatan. Dimana stasiun Takome berada jauh dari
area pemukiman penduduk sedangkan stasiun Sulamadaha yang berada di desa
Sulamadaha yang merupakan area wisata di Kepulauan Ternate. Sedangkan pada ketiga
lokasi stasiun yang kondisi karang batunya dalam keadaan rusak merupakan area
terbuka. Selain itu pada ketiga area terumbu karang yang rusak juga ditemukan pecahan
– pecahan botol yang digunakan nelayan setempat sebagai wadah bom rakitan untuk
menangkap ikan karang. Dari kelima stasiun penelitian diatas maka kondisi rata-rata
karang batu di Kepulauan Ternate dalam keadaan rusak, dengan persentase rata-rata
tutupan karang batu hidup sebesar 33,7 %.
Adanya kerusakan terumbu karang berdasarkan hasil survey disebabkan oleh
praktek penangkapan ikan secara destruktif dengan bahan peledak dan bius, alat
transportasi seperti pelemparan jangkar, kegiatan pariwisata laut, pemasangan perangkap
bubu. Kerusakan terumbu karang juga tidak terhindar dari gangguan yang bersifat
biologis seperti pemutihan ( bleaching). Pemutihan ini bisa disebabkan oleh pemangsaan
bintang laut (Acanthaster plancii) dan bleacing sebagai akibat peningkatan suhu air laut
yang ekstrim .
Tabel 28. Rekapitulasi Persentase Sebaran Tutupan Karang Di Pulau Ternate
Jenis Karang Stasiun Pengamatan
Nama sulamadaha Takome Kastela Salero Gamalama
Hard coral 60.36 90.30 21 28 23.2
Soft Coral 3.70 5 5.7 5 37.2
Other fauna 4.5 0 0 0 0.4
Abiotic 13.5 3.5 18.10 15 39.2
Sumber : Data Bakosurtanal dan Hirto ,(2005), PKSPL Unkhair (2006)
Luasan tutupan karang batu diterima sebagai petunjuk yang berarti bagi kondisi
karang. Gomez dan Yap (1984) menjelaskan tingginya tutupan karang batu merupakan
petunjuk dari karang yang sehat selain diikuti oleh kondisi keragaman jenis karang batu.
Pada kelima stasiun tersebut koloni karang batu umumnya didominasi oleh
pertumbuhan karang bercabang (Branching Corals) dari marga Goniopora dan Porites
dan karang daun Folious Corals dari marga Montipora. Dari hasil penelitian juga
ditemukan secara umum 3-4 marga dengan 24 jenis karang batu. Jumlah ini cukup
rendah jika dibandingkan dengan area karang yang dijumpai di wilayah Timur
Indonesia, khususnya di Pulau Watubela Maluku, dimana marga karang batu dijumpai
sekitar 44 - 50 (Edrus, 2004).
Sedangkan Kondisi karang batu di pulau – pulau kecil yang berada disekitar
pulau Ternate dalam kadaan baik. Di stasiun Pulau Hiri kondisi karang batu hidup
dalam keadaan sangat baik dengan persentase tutupan sebesar 82,60 % sedangkan di
Pulau Maitara kondisi karang batu hidup juga dalam kondisi baik dengan persentase
tutupan sebesar 77,40 % .
Tabel. 29 Rekapitulasi Keanekaragaman Dan Kelimpahan Ikan Karang Konsumsi Masyarakat Di Pulau Ternate
Jenis ikan
karang
St.Sula
madaha
St.Takome St.Kastela St.Sale ro St.Gamalama ?
Baronang 450 831 0 10 0 1291
Kerapu 1037 350 50 0 0 1437
Lencam 16 0 2 0 1 19
Kakak tua 0 37 0 4 0 41
Bambangan 19 100 1 0 196 316
Kue 2 0 0 2 2 6
ekor kuning 65 6 160 0 0 231
Bijinangka 20 14 48 7 1 90
Sumber:Data Bakosurtanal (2005),Hirto (2005).
Kondisi tutupan karang batu hidup di Pulau Ternate ini berkorelasi dengan
kelimpahan dan keanekaragaman pada ikan karang konsumsi. Dimana pada kondisi
tutupan karang hidupnya baik, maka kelimpahan ikan karang konsumsi juga tinggi. Hal
ini dapat dilhat pada stasiun Sulamadaha dengan kondisi karang baik maka kelimpahan
ikan karangnya juga tinggi.
Gambar 7. Kurva Interaksi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Kelimpahan Ikan Karang Konsumsi
Interaksi antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan karang konsumsi di Pulau Ternate
0
500
1000
1500
2000
90.00% 60% 28.00% 23% 21%
Persentase tutupan karang hidup
Kelim
paha
n
Demikian juga dengan keanekaragaman ikan karang konsumsi di masing –
masing stasiun. Dari 8 jenis ikan karang yang umum dikonsumsi oleh masyarakat rata-
rata hanya mencakup 5 jenis. Hanya satu stasiun yang keanekaragamannya cukup baik
yaitu stasiun Sulamadaha dengan mencakup 7 jenis ikan karang konsumsi.
Gambar 8. Interakasi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Keanekaragaman Ikan Karang Konsumsi Di Pulau Ternate
Interaksi antara persentase tutupan karang hidup dengan keanekaragaman ikan karang konsumsi di Pulau Ternate
0
2
4
6
8
1 2 3 4 5
Persentase tutupan karang hidup
Kea
neka
raga
man
Robertson dan Gaines (1986) dalam Westmacott et al.(2000) menjelaskan bahwa
interaksi antara ikan karang dengan habitatnya yaitu karang hidup dapat terjadi dalam 3
bentuk. Pertama, hubungan yang terjadi secara langsung dengan karang hidup sebagai
tempat perlindungan terutama ikan- ikan yang berukuran kecil. Kedua, hubungan yang
menyangkut interaksi makan memakan antara ikan karang dan biota sesil yang
berasosiasi dengannya. Ketiga, hubungan yang melibatkan keseluruhan struktur
ekosistem dan pola makan pemakan plankton dan karnifor yang berasosiasi dengan
karang. Hubungan diatas secara tidak langsung menjelaskan manfaat terumbu karang
sebagai feeding ground ikan karang. Fungsi ini akan berjalan bila kesehatan terumbu
dalam kondisi terjaga.
Menurut Pet-Soede (2000) ada beberapa faktor yang memberikan sumbangan
terhadap komposisi komunitas ikan di ekosistem karang yang kesemuanya berhubungan
dengan struktur fisik dan kompleksitas karang tersebut. Pertama, pada karang sehat
keragaman dan kuantitas makanan adalah tinggi dan ini berdampak positif langsung pada
keragaman dan kelimpahan ikan. Berbeda halnya jika kondisi karang tidak sehat dimana
karang mati akan cepat ditumbuhi oleh alga secara berlebihan. Kemudian alga dimakan
oleh herbivora seperti ikan kakatua (parrotfish, Scarus spp.), dan populasi jenis-jenis ini
dapat meningkat. Pemakanan dalam jumlah besar oleh jenis-jenis ini terkadang merusak
struktur karang yang menyebabkan erosi kerangka karang. Tetapi mereka juga
membatasi pertumbuhan alga. Meningkatnya populasi ikan yang kurang bernilai
komersial ini merupakan kerugian ekonomis bagi nelayan ikan karang. Kedua, karang
menyediakan lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva
ikan dan ini akan turut menentukan struktur komunitas ikan dewasa nantinya (Medley et
al., 1983; Eckert, 1987; Lewis,1987diacu dalam Westmacott et al., (2000)
Menurut Eggleston, (1995) dalam Westmacott et al. (2000) kondisi karang yang
terstruktur kompleks dan sehat akan memaksimalkan jumlah keragaman dan kuantitas
ruangan guna kesuksesan reproduksi. Akhirnya, karang menyediakan naungan dan
perlindungan dari para predator, khususnya bagi ikan berjenis kecil dan ini
mempengaruhi pola kelangsungan hidup dan kelimpahannya saat dewasa. Secara garis
besar kondisi karang sehat berdampak positif bagi ketiga faktor tersebut (makanan,
reproduksi dan naungan) dan imbalannya adalah peningkatan keragaman dan kelimpahan
ikan.
Gambar 9. Mata Rantai Karang Sehat dengan Keanekagaman Dan Kelimpahan Ikan Ketersediaaan pangan
Kesehatan Karang lingkungan yang tepat untuk Keragaman&kuantitas
reproduksi &peletakan larva ikan
Melindungi dari pemangsa
Sumber: (Westmacott et al. 2000)
Untuk Melihat adanya hubungan fungsional antara variabel –variabel diatas
dimana karang hidup sebagai variabel bebas atau prediktor sedangkan ikan karang
konsumsi sebagai variabel tak bebas atau sebagai respon maka dengan meregresikan data
persentase tutupan karang batu dan jumlah taksa ikan karang, hasilnya dapat memberikan
petunjuk adanya interaksi antara karang hidup dengan ikan karang konsumsi. Jenis ikan
yang diregresikan adalah jenis ikan karang konsumsi yang biasa ditangkap oleh nelayan.
Rumus Regresi : Y= a + ßX
Y = Jumlah individu ikan karang konsumsi a = Intercep ß= Konstanta
X = persentase tutupan karang hidup (hard coral) (%) Untuk melihat keeratan hubungan ikan karang dengan substratnya yaitu karang hidup
maka total ikan karang konsumsi diregresikan dengan tutupan karang batu.
Tabel 30. Hasil Regresi Antara Ikan Karang Konsumsi Dengan Karang Hidup
Peubah tak bebas (Y) Peubah bebas (X) Intercep(a) Paramaeter(ß) R-square(%)
Ikan Karang Konsumsi Karang Hidup - 225 18,7 52,7
Nilai R- square merupakan indikasi terdapat atau tidaknya interaksi antara dua
peubah. Dengan hasil regresi tersebut dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan
terdapat keterkaitan antara ikan karang konsumsi dengan kondisi karang hidup. Tanda
posistif dari variabel bebas sebesar 18,7 berarti bahwa variabel bebas (independent
variable) berpengaruh searah terhadap variabel tergantung (dependent variable) artinya
jika kondisi tutupan karang batunya dalam keadaan baik maka kelimpahan dan
keragaman ikan karang konsumsi juga tinggi. Hal ini terjadi pada stasiun Sulamadaha,
dengan kondisi karang batu yang baik maka keanekaragaman dan kelimpahan produksi
ikan karang cukup tinggi dibandingkan dengan ketiga stasiun yang kondisi terumbu
karangnya dalam kategori rusak.
Hasil regresi masing–masing spesies ikan konsumsi tidak semuanya menunjukkan
adanya hubungan keeratan. Hanya ikan baronang dan ikan kakaktua saja yang
menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tutupan karang hidup dengan
kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang konsumsi.
Tabel 31.Hasil Regresi Masing –Masing Ikan Karang Konsumsi Dengan Tutupan Karang Hidup Dimasing –Masing Stasiun Pengamatan
Peubah tak bebas Peubah Bebas Intercep Parameter R-square
Baronang Karang hidup -330 12,0 84,7
Kerapu karang hidup -83 7,57 23,9
Ekor kuning karang hidup 98,9 -1,06 19,6
Bijinangka karang hidup 25,0 -0,171 6,3
Ikan merah karang hidup 75,2 -0,22 0,6
Lencam karang hidup 2,30 0,031 1,6
Ikan kuwe karang hidup 11,23 -0,0088 5,2
Kakatua karang hidup -14,8 0,535 83,98
Demikian juga dengan tanda dari variabel bebas bahwa untuk ikan baronang dan ikan
kakatua menunjukkan arah yang positif yang berarti bahwa variabel bebas yaitu karang
hidup berpengaruh searah terhadap variabel tergantung (ikan karang)
Pendekatan Data Time series
Pendugaan nilai manfaat langsung terumbu karang didekati dengan data time
series. Dari data statistik perikanan karang Pulau Ternate selama kurun waktu 10 tahun
terjadi fluktuasi yang signifikan. Banyak hal yang menjadi penyebabterjadinya fluktuasi
ini diantara adalah perubahan status wilayah dari Kabupaten Maluku Utara menjadi
Provinsi Maluku Utara sehingga dalam melakukan pencatatan data menjadi kurang
terorganisir. Kemudian adanya dampak dari kerusuhan sosial mengakibatkan pada tahun
1999-2001 banyak nelayan yang meninggalkan (eksodus) Pulau Ternate. Produksi baru
kembali mengalami kenaikan setelah tahun 2002 dengan tambaha n nelayan eksodus dari
Pulau Halmahera dan sekitarnya. Pergantian tenaga kerja yang cukup tinggi dalam
wilayah perikanan ini berimbas pada turun naiknya hasil produksi. Disamping jumlah
nelayan yang berkurang, penyebab turunnya produksi juga dipengaruhi oleh makin
memburuknya kualitas terumbu karang. Fungsi terumbu karang merupakan input bagi
perikanan karang, jika terjadi gangguan pada aliran manfaat ekosistem ini, secara
langsung akan berakibat pada penurunan output dari ekosistem ini. Produksi perikanan
karang Pulau Ternate selama 10 tahun mengalami penurunan yang signifikan.
Gambar 10. Rekapitulasi Produksi Perikanan Karang Pulau Ternate tahun 1995-2004.
0100200300400500600700800900
1000
Prod
uksi
(TO
N)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Perikanan Karang PulauTernate
Tabel 32. Perbandingan Produktivitas Terumbu Karang dengan Luasan Terumbu karang dari tahun 1995-2004
No Uraian 1995 2004
1. Produksi ikan karang (ton) 885.78 682.64
2 Luasan Terumbu Karang (hektar) 2,89 1,11
Sumber : Data sekunder diolah, 2005
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa produksi perikanan tahun 1995 sebanyak
885.78 ton, dengan luasan terumbu karang 2.89 Ha. Kemudian pada tahun 2004 produksi
perikanan mengalami penurunan menjadi 682.64 ton sedangkan kondisi luasan terumbu
karang berkurang menjadi 1.12 Ha. Produksi ikan karang sebesar 203,14 ton .Selain
dipengaruhi oleh luasan terumbu karang produksi juga dipengaruhi oleh effort (usaha)
dari nelayan. Tingginya pergantian tenaga kerja dalam wilayah perikanan turut
mempengaruhi penurunan produksi selain adanya masalah sosial dimasyarakat pada
tahun 1999-2002 .
Dengan menggunakan data luasan terumbu karang ,data produksi time series,
data trip nelayan pancing selama 10 tahun maka produksi perikanan karang Pulau Ternate
tahun 2005 dapat diestimasi berdasarkan model pendugaan hubungan antara jumlah
produksi ikan karang (Ct) dengan jumlah upaya tangkap (effort) dan luasan terumbu
karang (Lt) dengan model parametrik dibawah ini.
C2005 = ß0+ ß1Ln (Li, t--1)Et+ ß2 Ln (Li, t—1) Et 2++ ß3 C i,t-1
Dari hasil regresi parametri diatas, maka diperoleh estimasi hasil tangkapan ikan karang
Pulau Ternate tahun 2005 sebesar 544,592 Ton. Produksi dugaan tahun 2005 ini
menurun jika dibandingkan dengan produksi tahun 2004 sebesar 682,64 Ton ( Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara, 2005).
Nilai Kehilangan Manfaat Langsung Terumbu Karang ( Benefit Lost )
Kawasan terumbu karang yang berfungsi sebagai daerah pemijahan, daerah
pengasuhan dan daerah mencari makan bagi ikan karang dan biota laut lainnya yang
berasosiasi dengannya, maka luasan terumbu karang menjadi input bagi produktivitas
hasil tangkapan ikan karang sehingga jika terjadi perubahan. kawasan terumbu karang
akan mempengaruhi aliran nilai manfaat dari kawasan terumbu karang tersebut.
Perubahan nilai ekosistem terumbu karang yang terkait dengan jumlah hasil
tangkapan ikan karang dapat dikuantifikasi dengan uang. Dari Analisis citra satelit ETM
LAPAN untuk tahun 1995 dan 2004 maka selama 10 tahun terjadi degradasi luasan
terumbu karang di Pulau Ternate seluas 1,793 Ha, yang berarti juga kehilangan manfaat
langsung dari kawasan terumbu karang .
Tabel 33. Proporsi luasan terumbu karang tahun 1995 dan 2004.
Tahun Uraian
1995 (Ha) 2004 (Ha)
? Luas (1995-
2004)(Ha) (%)
Luas tutupan terumbu karang 2,899 1,11 1,793 61,84
Gambar 11. Estimasi Degradasi Luasan Terumbu Karang Pulau Ternate Dari tahun 1995-2004
Ekosistem terumbu karang dalam konteksnya sebagai fungsi dari harga ikan
karang dan perubahan luasan terumbu karang sehingga dengan mengumpulkan data
harga (P), jumlah upaya tangkap (E) dan perubahan luasan terumbu karang (?L) ,dapat
diduga nilai kehilangan manfaat langsung selama 10 tahun dari ekosistem terumbu
karang di Pulau Ternate.
00.5
11.5
22.5
33.5
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Luas
an (H
a)
Tabel 34. Kehilangan Nilai Manfaat Terumbu Karang Dari Tahun 1995-2004.
No Uraian (Ha dan Rp) Tahun 1995 Tahun 2004
1
2
3
4
Luasan terumbu karang
Nilai manfaat terumbu karang
Nilai manfaat Hilang
Nilai Manfaat Hilang per hektar
2,899
31.026.072.000,00
0
0
1,11
25. 928..931.600,00
5.097.140.400,00
2.842.800.000,00
Gam
bar
12.
Perba
nding
an
nilai manfaat ekonomi antara tahun 1995 dan 2004
Kehilangan kawasan terumbu karang seluas 1,793 ha selama 10 tahun telah
menyebabkan kehilangan aliran manfaat langsung ekosistem terumbu karang sebesar
Rp 5.097.140.400,00 yang berarti juga kehilangan pendapatan (lost income) bagi nelayan
pancing Pulau Ternate sebesar Rp 2.842.800.000,00 perhektar terumbu karang..
Cesar (1996) memperkirakan bahwa Terumbu karang yang rusak akibat
penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif
sehingga kondisi rusak/hancur sebesar 50% hanya akan menghasilkan 6.000 US
Dollar/km2 /tahun, sedangkan area terumbu karang dengan kondisi rusak sebesar 75%
rusak hanya menghasilkan sekitar 2.000 US Dollar /km2 /tahun.
Jika dianalogkan dengan kondisi terumbu karang di Ternate maka kerusakan sebesar 33,7
% berdampak pada kerugian ekonomis yang setara dengan 2.000 US Dollar /km2 /tahun.
Menilik kerugian ekonomi yang begitu besar akibat pemanfaatan yang tidak
memperhatikan daya dukung dan kelestariannya maka upaya untuk menjaga kelestarian
ekosistem terumbu karang di Ternate khususnya dan di Indonesia pada saat ini adalah
suatu hal yang sangat mendesak untuk dilaksanakan.
05000000000
100000000001500000000020000000000250000000003000000000035000000000
1995 2004Tahun
Nila
i Manfa
at
Ekon
omi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Berdasarkan pemanfaatan ikan karang konsumsi dengan menggunakan data cross
section maka nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate
adalah sebesar Rp 21.027.933.840,00 sedangkan nilai manfaat sekarang dari
ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate sebesar Rp 384.542.778,79 dan nilai
ekonomi sekarang ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate adalah sebesar
Rp 239.081.334,38.
2. Berdasarkan pemanfaatan ikan karang konsumsi dengan menggunakan data time
series maka nilai manfaat yang hilang dari ekosistem terumbu karang seluas
1.793 Ha selama 10 tahun di Pulau Ternate adalah sebesar Rp 5.097.140.400,00 .
3. Kondisi rata-rata tutupan karang batu hidup (Hard Coral )Pulau Ternate sebesar
37, 7% yang dikategorikan dalam kondisi rusak.
4. Terdapat korelasi antara kondisi tutupan karang hidup dengan keanekaragaman
dan kelimpahan ikan karang konsumsi terutama pada ikan baronang dan ikan
kakaktua.
Saran
Apresiasi yang rendah di masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian ekosistem
terumbu karang harus ditingkatkan dengan memberikan pemahaman akan
pentingnya ekosistem tersebut melalui penyuluhan, pelatihan dan usaha
pemberdayaan lembaga/komunitas lokal. Selain itu pemerintah dengan kebijakan
yang telah diturunkan harus memberikan perhatian yang optimal dalam usaha
mempertahankan sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir khusus
ekosistem terumbu karang.
Berkurangnya luasan terumbu karang sebesar 61,84 % dalam 10 tahun
merupakan indikasi dilakukannya praktek - praktek yang destruktif sehingga perlu
tindakan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang di Pulau Ternate saat ini
diantaranya dengan membuat zona dilarang memancing di area terumbu karang
tertentu. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap zonasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep Dan Metodologi Valuasi Ekonomi
Sumberdaya Pesisir Dan Laut. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Bakosurtanal. 2005. Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Di Maluku
Utara..Bogor. Bakosurtanal.
Barton, D.N 1994. Economic Factor And Valuation Of Tropical Coastal Resources.
SMR-Report 14/94. Norway.Center for Studies of Environmental and Resources
.University of Bersen.
Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia
Tenggara. USA: Wold Resource Institute.
Cesar, H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs. Cordio Departemen
Biology and Environmental Science,Kalmar University. Sweden.
COREMAP. 2001. Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Di Indonesia
(Buku II). Jakarta: Coral Reef Rehabilitation and Management Program Hopley.D and Suharsono.2000 eds., The Status of Coral Reefs in Eastern Indonesia
Townsville, Australia: Global Coral Reef Monitoring Network. Dahuri.R, Rais.J, Ginting.S.P, Sitepu.M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2005. Informasi Data Statistik
Bidang Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. Ternate. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi maluku Utara
Edrus,I.N. 2004. A Study on Coral Reef and Coral Fish in Watubela Island,East
Seram,Mollucas. Indonesian Fisheries Research Journal Vol.10 N0.1.2004 Faisal, S. 2001. Format- format Penelitian Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta.
PT Gramedia.
Garces,L.R. 1992. Coral reef Management in Thailand .Naga.The ICLARM
QuartelyJuly.1992. Gomez,E.D and H.T.Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef
Management Handbook .R.A Kenshington and B.E.T Hudson (Eds).Unesco Publisher. Jakarta.
Greene,W.H. 1990. Economic Analysis.New York. MacMillan Publishing Company. Hirto, S.A. 2005. Biodiversitas Karang Lunak (Soft Coral) Di Perairan Gamalama Kota
Ternate Utara (Skripsi).Ternate.Universitas Khairun.Fakultas Perikanan Dan Kelautan
Hutabarat,L.,Evans, S.M.1984. Pengantar Oceanografi.UI Press. Jakarta L. Pet-Soede, H. Cesar, dan J. Pet. 1996. “Blasting Away: The Economics of Blast
Fishing on Indonesian Coral Reefs,” in H. Cesar, ed., Collected Essays on theEconomics of Coral Reefs, H. Cesar, “Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs,”Working Paper Series ‘Work in Progress Washington, DC: World Bank .
McAllister, D.E. 1998. Environmental, Economic and Social Costs of Coral Reef
Destructionin the Philippines. Galaxea Vol. 7, pp. 161-178. Nunes et al. Economic Valuation of Biodiversity : sense or non sense. Ecological
Economics 39 : 203 – 222. Nybakken JW. 1986. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, Koebiono,
DG Bengen, Penterjemah. Jakarta : PT Gramedia. Terjemahan dari : Biology and Ecological Approach.
McCook LJ. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issue
and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral reef (18): 357-367
PKSPL Universitas Khairun Ternate. 2001. Pengembangan kawasan Pesisir Kotamadya
Ternate:Laporan Penelitian. Ternate. PKSPL Unkhair Ternate. Sorokin YI. 1993. Coral reef ecology. New York: Springer-Verlag. Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. Ed ke-5. Dubuque:
WmC Brown.
Westmacott.S, Teleki.K, Wells.S , West.J. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang Yang Telah Memutih Dan Rusak Kritis. IUCN Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Diterjemahkan oleh Jan Henning Steffen.
Spurgeon,J.1992.The Economic Valuation of Coral Reefs.Marine Polution Bulletin vol
24 (11) 529-536. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis. Jakarta. Gramedia. White A.T and A. Cruz-Trinidad, 1988 The Values of Philippine Coastal
Resources: Why Protection and Management Are Critical: Coastal Resource Management Project..Cebu City, Philippines.
Veron JEN. 1995. Coral in space and time. Townsville: Australian Institute of Marine
Science. Veron JEN, Minchin PR. 1992. Correlation Between Sea Surface Temperature,
Circulation Patterns And The Distribution Of Hermatypic Corals Of Japan. Continental Self Res. (12): 835-857.
Wallace D. 1998. Coral reefs and their management. www.cep.unep.org. [13 Maret
2003].
y
y
y
y
%[y
#
#
y
y
Î
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
#y
yy
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
$
y
yy
y
y
#
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
#
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y$
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y
Î
Î
Ka yu me ra h
Bo st io n gM an gg ad ua
Klap ap en de kTo b oko
M uha jir in
Kota b ar u
Ta n ah ting gi
Ub o ub o
Buk uko no ra
M oy aKa st ur ia n
H awa ng ido
Se ke p
Sal er o
Soa sio
Mak as sar T im ur
To bo leu
Sa ng ajiPa ce i
Taf ur e
Tab a m
Tub o
Ake hu da
Sa ng o
Kula ba
Ta ra u
Bula
To bo lolo
Su lam a da ha
Ta kom e
Tan n ade ne
Ban ed ing a
Tog alo
L ot o
Af e
L ad um a
Dor op ed o
R ua
Am o
Por am ad ia he
Ka st ela
Ga mb e siF itu
Ng ad e
Bu ku ba nd er a
Ta na o le
M ar iku ru bu
To ra no
M ad o
To go lob eD or ar iisa
Fa ud u
Tam aj ik o
Ake ba i
Ng us u le ng e
Pas ima yau
Bo eh
Tob alo
Rum Tu a
M ar ar um
Ru m
To hu a
Ke ciSa ke ta M af utu tu
Ma juiGa ng ga u
Co b oleg uGa ra m ela To mo da u
Sur um a lau
Ake sa hu
Tela ga Ru m
Te lag a Ma tu fka ng e
Ku su bir ah i
Mir a
Lo lo bi
Ake m am
Do wo ra
Ha teja ti
Go bo do e
G amtufkan ge
G ur ab un ga Ka mp u ng bar u
Tu gu wa jiInd on es iana
Ng iha la ka
Jaya m aya u
Lo do a ke
Gu ap ajiJa ya
Bu ab ua
Sir on go
Kus um a you
Afa 3Af a 2
M ar eku
Ka m pu ng ba ru
Bo bo
Om e
Ga m sun gFo ba ha ru
Tob ah ar um a ju
To ga m
Go lili Kala ed i
Sida ng oli
J er e
Cob o Ga bu ng
Co bo M ad oe
Te lag a M ar eku
Afa 1
D ola
Ga ma lam aKa mp u ng Sta dion
Soa
Tab an a
Sa sa
Kalu mata
Dufa-d ufa
Ja mula
Tom b og a
KO TA TERN ATE U TA RA
KO TA TERN ATE SELATA N TE RNATE
PULAU TER NATE
G. MA ITAR A
BK. PADAN GA
Tg . Ta nua
T g.T obalo
T g. EbaTg. Ka yumerah
Tg. Pa si rp utih
Tg. Tah am
Tg. S usahu madah a
T g. T akome
Tg. T ad uma
Tg. Am o
T g. Fau du
Tg . Ma do
Tg. Tafraka
G. GAM ALAM A
Tg . Kau cina
P. HIRI
P. MA ITAR A
P.HALMAHE RA
P. HALMAHE RA
P. TIDORE
P. GU RAMANG OFAM AKA
So a s io
D. T olire Kecil
D . Tolire Bes ar
D . L aguna
S E L
A T
L A
M O Tl. Cobo
L A U T M A L U K U
Kota T ido re Kepu lau an
Te ru mb u karan g
Kar ang H idu p; b ai k
Kar ang H idu p; b uru k
Kar ang H idu p; sa nga t b aik
Kar ang H idu p; se dan g
Pas ir Hal usPas ir Kasa rno data
PUSA T SU RVEI SU MBER DAYA ALA M L AUT, BAKO SUR TANA LJL . R AYA JAKA RTA - B O GO R KM. 4 6 C IBIN O NG ,BO G OR 1 6 91 1TELP. / FAX. : ( 0 21 ) 87 5 94 8 1 B
AK OSU RTA N AL
PETA EKO SISTEM TERUMBU KARA NG
#D
Q
Î
qýý
"
K K K
Ç
Ç
Ç
Ç
Ç
Ç
Me n ara su ar
Te mpa t b er la bu h
P en a ha n omb a k / g el omb an g
D erma ga
B en d un ga n
S umb e r a ir
Te rus an , Salu ran a ir
S umb e r a ir
A ra h al ira n
P en g ga ra ma n
E mpa n g
R aw a
J era m
A ir te rju n
S un g ai musi man
S un g ai
D an a u
B et ing ka ra ng
Te rumb u
B at u ka ra ng
G a ris p an ta i
PERAIRAN
Ib uko ta Pro p ins i
Ib uko ta Kab u pa te n
Ib uko ta Kec ama ta n
De sa / Ka mpu n g La inn ya
Gu nu n g
#Y
%[
#
z
$
ð Ti tik Ting gi
KETERAN GA N
La p an g an te rb an g
Ja lan se ta p ak
Ja lan la in
Ja lan se da n g di ba ng u n
Ja lan lo ka l
Ja lan ko le kt or
Ja lan a rte r i
PER HUBU NG AN
BATAS ADMINISTRASI
Ba ta s Ke ca mat an
Ba ta s Ka bu p at en / Ko ta
Ba ta s Pro p in si
Ba ta s Ne ga ra
Br . Ta ko
me
P. Fil ong a
Ng. L ol a
N g. L obi
Ng . S ubod o
Ng. Na s iN g. F
uina
i
Ng. Sal o
N g. Pa d aki e
Ng Siko
Ng . Sum kusu
Br . T ogu aip erla tu
B r. K
a ste
la
Br . Sa sa
Br. F
itu
B r. Sar abu
Br . Mar iku r ubuBr. T
ugur
ara
Br . K
u laba
0°4 0'00"U
127°30'00"T
127°
10'0
0"T
0°40'00 "U0 72 5 mU73
03 00 03 05 0310 03 15 03 20 03 2 5 03 30
03 080 mT
33
00 712 mU73
00 75
00 80
00 85
00 9 0
00 95
010 0
0105
011 0
03 094 mT33
42'
44'
46'
48'
50'
52'
54'
56'
12 ' 16'14' 18' 20' 22' 24 ' 28'26'
58'
127°30'00"T
1°0 0'00"U1°00 '0 0"U12
7°1
0'00
"T
TIDOR E
TIDORE SELATAN
TI DOR E UTARA
P. TERNATE
PE MB AGI AN DA ERA H ADM INIS TRA SIPR OPI NSI MAL UK U U TARA
1 . K ot a Te rna te
a . Ke cam at an Te rn a te Ut ara b . Ke cam at an Te rn a te Se lat an c . K ec ama ta n Pu lau Te rna te 2 . K ot a Ti do re Ke p ula u an
a . Ke cam at an Tid ore b . Ke cam at an Tid ore U ta ra c . K ec ama ta n Tid ore Se lat an
3 . K ab up a te n Ha lmah e ra Ba rat
a . Ke cam at an Ja ilo lo
1
2
a
b
c
a
3
a
b
bLAUT MALU KU
SEL AT LAMO
U
TERN ATELe mba r L PI 25 1 6 - 02
Lembar LPI 2516 - 02
EDISI I - 2 005
TERNATE
SKALA 1 : 50.000
KETER ANG AN RIW AYAT / SUMBER DATAPet a ini d isu su n da r i : Pet a da sa r sk al a 1: 5 0.0 0 0 Terna t ePet a da sa r sk al a 1 : 1 00 .0 0 0 Dire kto rat To po g ra fi TN I - A DIn te rp re ta si cit ra la n ds at 7 ETM+ p at h1 1 0 ro w 05 9 2 7 Mei 20 0 2Bat as a dmi nis tr as i d ar i BP S Ma lu ku U ta ra ,b uk an s eb a ga i re fe re n si
3 0 3 6KMSKALA 1 : 50. 0 00
Pro y ek si : Tran sv erse Me rc a to r
L AUT H AL MAHERA
D IAG RAM LO KASI
P. HAL MAHER A
L AUT MALU KU
126°00 ' T 130° 30' T
3° 00 ' U
0° 00 '
2° 00 ' U
1° 00 ' U
127°30 ' T 129°00 ' T
PETUNJU K L ETAK PETA
2516
02
03
01 04
127°30 ' T0° 00'126°00 ' T
1°00 ' U
Loka si P ene lit ian
Lampiran 2.Analisis Manfaat-Biaya per Tahun responden nelayan Pancing di Pulau Ternate
No Nama Responden Jumlah Trip Total Penerimaan Total Biaya Keuntungan R/C PV Benefit NPV BCR1 Abdullah 200 67.600.000,00 20.389.000,00 47.211.000,00 3,32 563.749.340,59 471.956.666,67 210,572 Sulaiman 150 43.650.000,00 18.465.000,00 25.185.000,00 2,36 362.452.295,35 245.893.000,00 119,13 Soleman S.Poen 120 44.520.000,00 14.145.000,00 30.375.000,00 3,15 369.437.831,69 251.885.503,47 392,084 Abuhari Samsudin 220 59.180.000,00 21.167.111,00 38.012.889,00 2,80 491.044.322,84 395.494.227,16 328,45 Hasan Aba 150 67.350.000,00 10.426.111,00 56.923.889,00 6,46 558.807.846,32 471.223.624,61 412,196 Yasim Taher 260 60.840.000,00 18.264.285,00 42.575.715,00 3,33 504.796.621,85 352.473.476,88 369,77 Dahlan 150 48.600.000,00 12.485.000,00 36.115.000,00 3,89 403.286.476,11 291.925.431,19 41,898 Rahim Djalal 220 61.820.000,00 26.013.000,00 35.807.000,00 2,38 513.162.089,72 352.193.000,00 155,349 Salasa Soroto 220 63.580.000,00 26.931.714,00 36.648.286,00 2,36 527.713.611,90 359.710.857,15 109,6110 Safrudin Usman 220 64.020.000,00 33.443.714,00 30.576.286,00 1,91 531.318.465,63 302.863.000,00 110,6511 samsuddin Ibrahim 100 36.100.000,00 11.375.000,00 24.725.000,00 3,17 299.571.858,33 204.133.424,18 338,9712 Arfan 220 58.960.000,00 23.440.333,00 35.519.667,00 2,52 489.232.312,35 294.247.590,14 569,0513 Adam Usman 150 52.500.000,00 30.109.285,00 22.390.715,00 1,74 435.809.771,46 182.947.413,99 63,0214 Husein Hamidi 110 44.110.000,00 21.998.285,00 22.111.715,00 2,01 366.200.784,05 178.362.020,29 61,4215 Haji Daud 260 59.540.000,00 24.041.000,00 35.499.000,00 2,48 494.028.466,21 293.204.338,49 411,6516 Kamis Soroto 220 57.420.000,00 21.312.333,00 36.107.667,00 2,69 476.361.843,62 297.751.612,20 211,5717 Muslim 150 48.000.000,00 10.875.000,00 37.125.000,00 4,41 398.279.976,88 311.508.219,13 414,1418 Usman Pulu 240 62.640.000,00 36.558.238,00 26.081.762,00 1,71 519.878.683,60 211.824.810,09 66,5819 Sulaiman Soroto 130 42.120.000,00 8.213.333,00 33.906.667,00 5,13 349.524.981,61 280.004.569,18 372,3620 Jalal Kene 150 42.150.000,00 12.420.000,00 29.730.000,00 3,39 349.752.465,95 244.982.269,58 282,5421 Harun Bakar 150 41.850.000,00 25.602.500,00 16.247.500,00 1,63 347.427.492,86 133.731.127,90 34,3522 Muksin Puasa 210 56.490.000,00 31.640.000,00 24.850.000,00 1,79 468.654.179,06 208.461.183,54 55,0123 Gafur 200 68.200.000,00 42.206.666,00 25.993.334,00 1,62 565.944.138,95 220.545.189,02 46,4724 Sadek 240 56.160.000,00 25.511.000,00 30.649.000,00 2,20 466.007.761,15 252.614.360,70 381,4425 Nurdin 200 58.800.000,00 26.345.714,00 32.454.286,00 2,23 488.072.332,84 273.857.170,98 97,2326 Jabid Habibi 150 36.600.000,00 11.510.000,00 25.090.000,00 3,18 303.736.786,50 207.069.465,24 313,7427 Ishak Samad 240 50.160.000,00 24.960.047,00 25.199.953,00 2,01 416.353.518,23 207.694.561,68 71,528 Boko 220 51.480.000,00 19.481.809,00 31.998.191,00 2,64 427.334.878,44 270.348.659,02 81,829 BaCo 150 39.600.000,00 7.755.000,00 31.845.000,00 5,11 328.592.927,17 263.150.026,89 346,3430 Aswad Sidiq 220 53.680.000,00 21.450.666,00 32.229.334,00 2,50 445.409.929,37 266.143.295,06 320,8831 Sopyan Akhmad 150 39.600.000,00 8.618.333,00 30.981.667,00 4,59 328.666.273,88 255.210.310,67 364,5532 H.Abu bakar 100 30.400.000,00 12.770.000,00 17.630.000,00 2,38 252.322.318,94 144.674.281,38 161,7533 Nasir Tu 260 65.260.000,00 42.207.142,00 23.052.858,00 1,55 541.673.955,62 185.519.606,29 59,3834 Basir 150 35.550.000,00 15.628.333,00 19.921.667,00 2,27 295.165.796,81 159.986.658,95 52,5435 Hasan 150 33.300.000,00 15.795.000,00 17.505.000,00 2,11 276.266.702,45 146.443.372,69 1786,8936 Sahid 260 48.620.000,00 20.723.000,00 27.897.000,00 2,35 403.360.678,80 231.286.356,89 2514,9837 Malin 150 31.050.000,00 8.225.000,00 22.825.000,00 3,78 288.731.134,03 195.677.519,30 180,1938 Mahfud 100 22.700.000,00 10.830.714,00 11.869.286,00 2,10 188.560.677,28 93.234.787,75 31,04
Analisis Manfaat-Biaya per Tahun responden nelayan Pancing di Pulau Ternate
39 Basir Alim 150 38.100.000,00 11.325.714,00 26.774.286,00 3,36 316.288.981,20 217.459.109,49 81,4240 Muhammad 100 26.400.000,00 8.495.000,00 17.905.000,00 3,11 219.308.355,53 144.224.675,55 35,8741 Umar Said 240 56.160.000,00 19.435.357,00 36.724.643,00 2,89 466.158.396,37 298.889.171,17 87,8942 Muhammad Taha 120 28.920.000,00 8.725.000,00 20.195.000,00 3,31 240.071.805,85 163.139.579,34 91,4343 Sarifudin 100 29.800.000,00 5.730.000,00 24.070.000,00 5,20 247.275.291,45 198.191.569,86 323,7944 Jufri 150 56.400.000,00 20.096.666,00 36.303.334,00 2,81 467.897.035,97 299.619.922,71 2881,9645 Abdullah 100 27.200.000,00 11.515.000,00 15.685.000,00 2,36 225.868.738,65 125.190.895,39 48,8946 Jamil 150 40.850.000,00 25.360.000,00 15.490.000,00 1,61 332.270.730,14 119.336.005,81 64,1447 Ibrahim 200 49.800.000,00 24.903.809,00 24.896.191,00 2,00 413.381.417,93 200.417.400,94 66,4148 Adnan 100 26.100.000,00 9.420.001,00 16.679.999,00 2,77 216.614.925,11 105.212.293,36 122,7749 Daud Sulaiman 150 40.800.000,00 12.828.333,00 27.971.667,00 3,18 338.663.158,88 228.107.766,94 102,5650 Abdurahman 200 52.200.000,00 12.828.333,00 39.371.667,00 4,07 433.152.850,43 252.691.537,44 492,6251 Marsad 100 28.900.000,00 11.636.785,00 17.263.215,00 2,48 239.826.315,85 141.630.570,66 156,8152 Yono 100 26.700.000,00 8.526.904,00 18.173.096,00 3,13 221.760.238,10 145.280.420,07 46,2053 Muhammad Yusuf 210 50.610.000,00 22.644.000,00 27.966.000,00 2,24 420.141.478,67 227.615.419,91 124,3054 Hamzah 260 64.220.000,00 13.169.666,00 51.050.334,00 4,88 532.826.076,33 422.049.609,93 519,4955 Halid 150 41.250.000,00 18.765.833,00 22.484.167,00 2,20 342.499.709,83 180.977.186,26 70,3756 Ismail 120 39.000.000,00 6.475.166,00 32.524.834,00 6,02 323.606.851,94 268.370.851,68 332,7357 Amran Sakuta 220 51.480.000,00 18.966.000,00 32.514.000,00 2,71 427.163.575,80 268.265.637,13 437,9158 Baharuddin 220 45.540.000,00 24.650.857,00 20.889.143,00 1,85 378.110.480,64 167.805.197,36 56,0959 Ibnu Samad 260 53.040.000,00 13.167.285,00 39.872.715,00 4,03 292.920.740,37 182.007.176,30 200,1360 Awaluddin Amir 150 35.550.000,00 11.986.666,00 23.563.334,00 2,97 295.312.761,52 191.252.901,38 84,1561 Abdurrahim 100 27.900.000,00 5.521.666,00 22.378.334,00 5,05 231.526.781,38 184.195.717,18 227,2862 Salmin Muhammad 150 43.500.000,00 9.415.000,00 34.085.000,00 4,62 360.933.090,42 281.465.800,78 395,2163 Samsuddin 260 66.090.000,00 24.951.500,00 43.125.000,00 2,65 548.122.746,81 335.603.244,04 116,1764 Abdullah 150 36.150.000,00 7.271.666,00 28.878.334,00 4,97 299.966.186,20 238.117.672,49 293,5365 Mustafa Sidik 220 53.320.000,00 26.847.166,00 26.472.834,00 1,99 467.458.464,45 239.058.299,23 83,1866 Hamid Husein 150 42.150.000,00 9.420.001,00 32.729.999,00 4,47 349.727.006,56 270.019.681,04 440,7767 Amin 150 33.600.000,00 7.895.000,00 25.705.000,00 4,26 278.820.457,82 212.021.101,67 413,49
11670 3.115.930.000,00 1.185.308.040,00 1.932.608.460,00 204,44 25.764.366.178,64 16.018.449.403,46 20338,47
267.003,43 101.568,81 165.604,84 0,0175 2.207.743,46 1.372.617,77 1,7427995
174,1791045 46.506.417,91 17.691.164,78 28.844.902,39 3,0513 384.542.778,79 239.081.334,38 303,55925
1,106
347.687.865,09
Present Value Residual Rent216.167.571,77
Present Value per Hektar
Jumlah
Rata-rata/trip
Luas Terumbu Karang
Rata-rata/Responden