Download - Analisa Proximat Protein
ANALISA PROXIMATBAB II : PROTEIN
LAPORAN PRAKTIKUMANALISA PANGAN
2006
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
1. PENDAHULUAN
1.1. Tinjauan Pustaka
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini di
samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat
pembangun dan pengatur. Selain mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak atau karbohidrat, molekul protein juga mengandung pula unsur
fosfor (P), belerang (S), dan beberapa jenis protein mengandung unsur logam seperti
besi (Fe) dan tembaga (Cu) (Winarno, 1997). Kandungan energi protein rata-rata 4
kg/kalori atau setara dengan kandungan energi karbohidrat. Protein tersusun atas rantai
asam-asam amino yang berbeda-beda dan berikatan melalui ikatan peptida (Sudarmadji
et al., 1989). Nitrogen merupakan senyawa yang paling membedakan yang terdapat
dalam nitrogen. Umumnya, protein kaya akan asam amino dasar yang mengandung
nitrogen lebih banyak. Protein dapat diklasifikasikan menurut komposisi, struktur,
fungsi biologis, atau sifat kelarutannya (Nielsen, 1998).
Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru
yang selalu terjadi dalam tubuh dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein
juga mengganti jaringan tubuh yang telah rusak dan yang perlu dirombak. Protein dapat
juga digunakan sebagai bahan bakar bila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh
karbohidrat dan lemak. Protein juga digunakan untuk mengatur berbagai proses tubuh
baik langsung maupun tidak langsung dengan membentuk zat-zat pengatur dalam tubuh.
Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah yaitu
dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan
ke dalam pembuluh darah. Protein di dalam tubuh manusia digunakan sebagai bahan
membran sel, pembentukan jaringan pengikat, kolagen dan elastin, serta untuk
pembentukan protein inert seperti pada rambut dan kuku. Selain itu, protein juga
bekerja sebagai enzim, bertindak sebagai plasma, membentuk antibodi, membentuk
kompleks dengan molekul lain, serta bertindak sebagai bagian sel yang bergerak yaitu
protein otot (Winarno, 1997).
1
2
Sifat amfoter protein yang dapat bereaksi dengan asam dan basa, dapat mengatur
keseimbangan asam-basa dalam tubuh. Dalam setiap sel yang hidup, protein merupakan
bagian yang sangat penting. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein merupakan
komponen terbesar setelah air. Diperkirakan separuh atau 50 % dari berat kering sel
dalam jaringan seperti misalnya hati dan daging terdiri dari protein dan dalam tenunan
segar sekitar 20 % (Winarno, 1997).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolitrik, pI) berada dalam bentuk ion dipolar
atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat
tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam
amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1,0 gugus
karboksilnya tidak terdisosiasi sedangkan gugus aminonya menjadi ion. Pada pH yang
tinggi misalnya pada pH 11,0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak
(Winarno, 1997).
Sifat-sifat lain dari asam amino adalah tak berwarna, larut dalam air, tak larut dalam
alkohol atau ether, dapat membentuk garam kompleks dengan logam berat (misalnya
asam amino dengan Cu++ membentuk senyawa kompleks berwarna biru tua) dan dapat
membentuk senyawa berwarna biru dengan ninhidrin. Pembentukan senyawa berwarna
antara asam amino dengan ninhidrin ini banyak dipakai sebagai dasar analisa kuantitatif
maupun kualitatif senyawa asam amino dan protein. Prinsip reaksi asam amino dengan
ninhidrin adalah protein maupun asam amino yang mengandung asam alfa amino akan
memberikan reaksi dengan ninhidrin membentuk warna biru. Pertama kali terjadi
oksidasi alfa amino oleh ninhidrin dihasilkan ninhidrin tereduksi, aldehid, amonia dan
karbondioksida. Kemudian terjadi kondensasi antara amonia, ninhidrin tereduksi dan
ninhidrin terbentuk senyawaan kompleks berwarna biru (Sudarmadji et al, 1989).
Kekurangan protein dalam waktu lama akan mengganggu berbagai proses dalam tubuh
dan akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Protein dalam bahan
makanan masuk dalam tubuh dan akan diserap oleh usus dalam bentuk asam amino.
Beberapa asam amino yang merupakan peptida dan molekul protein kecil akan dapat
3
diserap juga melalui dinding usus yang akan masuk ke dalam pembuluh darah. Hal
inilah yang akan menimbulkan reaksi-reaksi alergik dalam tubuh (Winarno, 1997).
Protein dalam bahan biologis biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang
maupun ikatan kimia yang erat dengan karbohidrat atau lemak. Karena struktur protein
yang kompleks, maka protein mudah sekali mengalami perubahan bentuk fisis ataupun
aktivitas biologisnya. Banyak agensia yang dapat menyebabkan perubahan sifat alamiah
protein misalnya panas, asam, basa, solven organik, garam, logam berat, radiasi sinar
radioaktif. Perubahan sifat fisis yang mudah diamati adalah terjadinya penjendalan
(menjadi tidak larut) atau pemadatan (Sudarmadji et al., 1989).
Protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh-pengaruh panas, reaksi kimia dengan
asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab yang lainnya. Sebagai contoh, protein di
dalam larutan pada pH tertentu dapat mengalami denaturasi dan mengendap. Di
samping denaturasi, protein dapat mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana oleh pengaruh asam, basa, atau enzim.
Hasil degradasi protein dapat berbentuk sebagai pepton, polipeptida, peptida asam
amino, NH3, dan unsur N. Di samping itu dapat juga dihasilkan komponen-komponen
yang menimbulkan bau busuk misalnya merkaptan, skatol, putreseine dan H2S
(Winarno, 1997). Dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan
mengalami perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain, misalnya
antara asam amino hasil perubahan protein dengan gula-gula reduksi yang membentuk
senyawa rasa dan aroma makanan. Protein murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan
hanya memiliki rasa dan aroma yang tidak berarti (Sudarmadji et al., 1989).
Tujuan analisis protein dalam bahan makanan antara lain adalah menera jumlah
kandungan protein dalam bahan makanan, menentukan tingkat kualitas protein
dipandang dari sudut gizi dan menelaah protein sebagai salah satu bahan kimia misalnya
secara biokimiawi, fisiologis, rheologis, enzimatis, dan telaah lain yang lebih mendasar
(Sudarmadji et al., 1989).
4
Protein sesungguhnya tersusun atas rantai polipeptida sehingga kadar protein dapat
ditentukan dengan penentuan jumlah total N di dalam protein yang selanjutnya dapat
dikonversikan ataupun dapat diubah ke dalam protein. Satuan unit asam amino adalah
penyusun rantai polipeptida, di dalam satuan unit asam amino minimal memiliki satu
gugus amino (NH2), pada asam L-amino karboksilat, yang terdiri atas nitrogen, metode
tersebut merupakan metode Kjeldahl. Cara kerja dari metode Kjeldahl menurut kondisi
nitrogen yang teroksidasi dalam suatu persenyawaan yang akan dianalisa. Penambahan
basa kuat dapat membebaskan amonia pada kondisi oksidasi dan nitrogen sebagai
amonium. Penentuan dengan menggunakan suatu titrasi amonia dan asam kuat
merupakan aplikasi metode atau proses asam basa (NH4 + OH----------NH3 + H3O).
Sampel dididihkan dalam labu suling dengan kondisi basa berlebih dan amino bebas,
dimana asam sulfat mengangkapnya, basa standar menitrasi kelebihan asam. Sebaliknya
jika nitrogen terikat pada karbon dalam banyak senyawa organik (protein dan
sebagainya), amonia tidak mudah terbebaskan bila senyawa itu dipanaskan dengan basa
kuat. Diperlukan suatu pengolahan yang lebih drastis untuk memutuskan ikatan karbon
nitrogen (Sudarmadji et al., 1996).
Prinsip cara analisis Kjeldahl yaitu mula-mula bahan didekstrusi dengan asam sulfat
pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi
ditampung dan dititrasi dengan bantuan indicator. Cara Kjeldahl pada umumnya dapat
dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro. Cara makro Kjeldahl
digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contoh 1-3 g, sedang
semimakro dirancang untuk contoh untuk ukuran kecil yaitu kurang dari 300 mg dari
bahan yang homogen. Cara analisis tersebut akan berhasil dengan baik dengan asumsi
nitrogen dalam bentuk ikatan N-N dan N-O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah
yang besar. Kekurangan cara analisis Kjeldahl ini ialah bahwa purin, pirimidin, vitamin,
asam amino besar, kreatina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein.
Walaupun demikian, cara ini masih digunakan dan dianggap cukup teliti dalam
pengukuran kadar protein dalam makanan (Winarno, 1997).
Pada prosedur Kjeldahl, protein dan komponen organik yang lain dalam sampel dipecah
dengan asam sulfat dengan adanya katalis. Total nitrogen organik dirubah menjadi
5
amonium sulfat. Hasil pemecahan dinetralisasi dengan alkali dan didestilasi dalam
larutan asam borat. Bentuk anion borat dititrasi dengan asam standard, yang dirubah
menjadi nitrogen dalam sampel. Hasil dari analisis mewakili protein kasar yang
terkandung dalam makanan karena nitrogen juga berasal dari komponen non protein
(Nielsen, 1998).
Penetapan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan
penerapan empiris (tidak langsung), yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada
dalam bahan. Penentuan secara langsung misalnya dengan pemisahan, pemurnian atau
penimbangan protein. Cara ini akan memperoleh hasil yang lebih tepat tetapi sangat
sukar, waktu yang lama, ketrampilan tinggi dan mahal. Penentuan secara empasis ini
ditemukan oleh Kjeldahl yang sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude
protein). Di dalam penentuan kadar protein, seharusnya hanya nitrogen dari hasil
protein saja yang ditentukan tetapi secara teknis cara ini sulit sekali dan mengingat
jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit,
maka penentuan jumlah N tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada
(Sudarmajdi, 1989). Nitrogen non protein tersebut berasal dari asam-asam amino,
porphirin dan beberapa vitamin, alkaloid, asam urat, urea dan ion-ion amonium
(Nielsen, 1998).
Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil penelitian dan
pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N
rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau
yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, maka dipakai
faktor perkalian 6,25 (100/16). Sedangkan untuk protein-protein tertentu yang telah
diketahui komposisinya dengan lebih tepat, maka faktor perkalian yang lebih tepatlah
yang dipakai. Misalnya faktor perkalian yang telah diketahui adalah 6,25 untuk biji-
bijian; 5,70 untuk protein gandum; mie, roti; 5,46 untuk kacang tanah; 6,38 untuk
protein susu; dan 5,55 untuk gelatin (kolagen yang terlarut) (Sudarmajdi et al., 1989).
6
Faktor Konversi yang Digunakan untuk konversi Nitrogen menjadi Protein
Bahan makanan Faktor konversiDaging 6,25 (Nielsen, 1998)Telur 6,25 (Nielsen, 1998)Susu 6.38 (Nielsen, 1998)
Gandum 5.33 (Nielsen, 1998)Jagung 5.65 (Nielsen, 1998)
Kacang tanah 5,46 (Winarno, 1997)Tepung terigu 5,70 (Winarno, 1997)
Mie instant 5,70 (Sudarmadji et al., 1996)
Menurut Winarno (1995), analisa protein dengan menggunakan metode kjeldahl ini
banyak digunakan dan dianggap cukup teliti dalam pengukuran kadar protein dalam
bahan makanan dan pengukuran dengan cara ini mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari metode Kjeldahl adalah dapat diterapkan untuk semua jenis
makanan, relatif sederhana, cukup cermat untuk analisa protein kasar dan murah.
Sedangkan kekurangan dengan menggunakan metode Kjeldahl adalah mengukur
senyawa nitrogen total (tidak hanya nitrogen protein), membutuhkan waktu lama dan
reagennya bersifat korosif (Nielsen, 1998).
Analisa protein Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu proses
destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.
1. Tahap Destruksi.
Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi
unsur-unsurnya. Elemen karbon, hydrogen, teroksidasi menjadi CO, CO2, dan H2O,
sedangkan nitrogennya berubah menjadi (NH4)2SO4. Asam sulfat yang digunakan untuk
destruksi memperhitungkan adanya bahan protein, lemak dan karbohidrat. Untuk
mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak
diperlukan 17,8 gram asam sulfat. Karena lemak memerlukan asam sulfat yang banyak
maka lemak harus dihilangkan dahulu sebelum melakukan destruksi. Asam sulfat yang
dipergunakan minimum 10 ml (18,4 gram) . sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 - 3,5
gram atau mengandung nitrogen sebanyak 0,02-0,04 gram. Untuk mempercepat proses
detruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1)
Gunning menganjurkan K2SO4 atau CuSO4 dengan penambahan katalisator tersebut
titik didih asam sulfat akan semakin tinggi sehingga destruksi semakin cepat. Tiap 1
7
gram K2SO4 dapat menaikan titik didih 30C. Kadang-kadang juga diberikan selenium,
selain dapat mempercepat oksidasi juga dapat menaikan titik didih dan melakukan
perubhan valensi dari valensi tinggi ke valensi rendah. Suhu destruksi berkisar antara
370 – 410°C. Selama destruksi akan terjadi reaksi sebagai berikut (apabila digunakan
HgO):
HgO + H2SO4 → HgSO4 + H2O
2HgSO4 → Hg2SO4 + SO2 + 2On
HgSO4 + 2H2SO4 → 2 Hg2SO4 + 2 H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4 → CO2 +H2O + (NH4)2SO4
Amonium sulfat yang terbentuk akan bereaksi dengan merkuri oksida membentuk
senyawaan kompleks. Apabila dalam destruksi menggunakan Hg sebagai katalisator
maka sebelum proses destilasi, Hg harus diendapkan lebih dahulu dengan K2S atau
dengan thiosulfat agar senyawa kompleks merkuri-amonia pecah menjadi amonium
sulfat. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna.
Supaya analisa lebih tepat maka pada tahap destruksi ini dilakukan pula perlakuan
blanko yaitu untuk mengkoreksi adanya senyawa N yang berasal dari reagensia yang
digunakan
2.Tahap Destilasi
Pada tahap destilasi amonium sulfat dipecah menjadi amonia (NH3) dengan
penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selama proses ini tidak terjadi
superheating ataupun pemercikan cairan atau timbul gelembung gas yang besar maka
dapat ditambahkan logam zink (Zn). Selanjutnya amonia yang dibebaskan akan
ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dapat digunakan adalah asam
klorida atau asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan. Agar kontak antara asam
dan amonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam
mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih maka diberi
indikator misalnya BCG + MR atau PP. Destilasi berakhir bila semua amonia sudah
terdestilasi sempurna yang ditandai dengan destilat tidak bereaksi basa.
3. Tahap Titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam klorida maka sisa asam klorida yang tidak
bereaksi dengan ammonia ditritrasi dengan NaOH 0,1N dan titrasi dihentikan sampai
warna berubah menjadi merah muda dan tidak berubah lagi selama 30 detik bila
8
menggunakan indikator PP. Setelah diperoleh persentase kadar nitrogen (N) selanjutnya
dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan satu faktor :
Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
Selisih jumlah titrasi sampel dan blangko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen
(Sudarmadji et al., 1989).
Apabila penampung destilat dipergunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang
bereaksi dengan amonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N
dengan indikator (BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan
dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan
jumlah ekuivalen nitrogen (Sudarmadji et al.,1989).
Penetapan nitrogen dengan titrasi ammonia dengan suatu asam kuat merupakan
penerapan yang penting dari titrasi asam basa. Prosedurnya bergantung pada keadaan
oksidasi nitrogen dalam senyawa yang akan dianalisis. Kelebihan asam dapat dititrasi
dengan basa standar. Sebaliknya jika nitrogen terikat pada karbon dalam banyak
senyawa organik, ammonia tidak mudah dibebaskan bila senyawa itu dipanasi dengan
basa kuat. Diperlukan suatu penggolongan yang lebih drastis untuk memutuskan
penggolongan pendahuluan dari senyawa nitrogen itu dengan asam sulfat pekat panas.
Bahan organik itu terhidrasi, karbonnya teroksidasi menjadi CO2, dan nitrogennya
diubah menjadi ammonium sulfat. Penambahan alkali kuat kemudian membebaskan
ammonia yang dapat diserap dan dititrasi (Day & Underwood, 1992).
Total nitrogen organik dalam makanan menghasilkan nitrogen utama dari semua
nitrogen organik yang mengandung senyawa non protein. Analisis protein dibutuhkan
apabila ingin mengetahui kandugan asam amino, campuran asam amino, kandungan
komponen protein dalam campuran, protein yang terkandung selama isolasi dan
pemurnian protein, nitrogen non protein, dan nilai gizi dari protein (Nielsen, 1998).
Rumus yang digunakan :
9
(Salam, 1990).
Menurut SNI 01-2973-1992 UDC664.68, biskuit adalah produk makanan kering yang
dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan
bahan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain yang
diinginkan. Biskuit diklasifikasikan dalam 4 jenis:
Biskuit keras
Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila
dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau
rendah.
Crackers
Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses
fermentasi/pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih terasa asin dan renyah, serta
bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
Cookies
Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat.
Wafer
Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori, kasar, renyah, dan
bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
Menurut SNI 01-2973-1992 UDC664.68, kadar protein biskuit keras minimal 6.5%.
Kadar protein crackers minimal 8%. Kadar protein cookies minimal 6 %. Kadar protein
wafer minimal 6%.
Biskuit untuk bayi dan balita adalah makanan olahan yang dibuat dari tepung terigu,
lemak nabati dengan atau tanpa lemak susu serta bahan makanan lain, bahan tambahan
makanan yang diijinkan, dan diproses dengan pemanggangan, untuk anak usia 4 bulan
sampai 5 tahun. Kandungan protein biskuit bayi yang disajikan dengan susu adalah
10
minimal 6.5%. Sedangkan biskuit bayi yang disajikan tanpa susu yaitu minimal 10%.
(SNI 01-4445-1998).
1.2. Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kadar protein dalam suatu bahan makanan,
dapat menganalisa kadar protein dengan menggunakan metode Kjeldahl dan
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan kadar protein.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mortar, lumpang, timbangan
analitik, labu destruksi, lemari asam, sarung tangan, lap, pipet ukur, pompa pilleus,
lemari destruksi, gelas ukur, labu destilasi, erlenmeyer 100 ml, pipet tetes, gelas piala,
corong, statif, dan buret.
2.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biskuit Belvita, biskuit Marie
Regal, biskuit bayi Milna, HgO, Na2SO4, H2SO4 pekat, aquades, Zn, Na2S2O3 4%,
NaOH 50%, HCl 0,1N, indikator Methyl Red (MR), dan NaOH 0,1 N.
2.2. Metode
2.2.1. Tahap Destruksi
Sampel (kelompok 1 dan 2 biskuit Belvita, kelompok 3 dan 4 biskuit Marie Regal,
kelompok 5 dan 6 biskuit bayi Milna) dihaluskan dan ditimbang sebanyak 0,25 gram,
kemudian dimasukkan ke labu destruksi dan ditambah 7,5 gram Na2SO4, 0,35 gram
HgO dan 15 ml H2SO4 pekat secara berurutan. Setelah itu didestruksi di lemari
destruksi.
2.2.2. Tahap Destilasi
Labu destruksi tadi dikeluarkan dan isinya dibilas sedikit demi sedikit dengan 100 ml
aquades dan dipindah ke labu destilasi. Lalu ditambahkan 0,2 gram Zn, 15 ml Na2S2O3
4% dan 50 ml NaOH 50% secara berurutan, lalu didestilasi. Di dalam erlenmeyer 100
ml, dimasukkan 50 ml HCl 0,1 N, lalu destilat ditampung hingga mencapai volume 75
ml.
2.2.3. Tahap Titrasi
Larutan tadi ditambah 3 tetes indikator MR sehingga berubah menjadi warna merah
muda. Penambahan indikator MR harus dilakukan ketika titrasi akan dilakukan. Lalu
11
12
dititrasi dengan NaOH 0,1N sampai berubah warnanya menjadi kuning. Kadar protein
kemudian dihitung menggunakan rumus:
% protein = % N x faktor konversi
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil Pengamatan percobaan penentuan kadar protein dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel Penentuan Kadar Protein
Kel. Bahan Berat sampel (g) Vol titrasi (ml) % N (%) % protein (%)1 Belvita 0.25 54.65 6.70 41.87502 Belvita 0.25 55.05 6.47 40.43753 Regal 0.25 57.20 5.27 32.93754 Regal 0.25 48.30 10.25 64.06255 Milna 0.25 54.00 7.06 44.12506 Milna 0.25 54.80 6.61 41.3125
Keterangan: Vol titrasi blanko = 66.60 mlSumber: Laporan Sementara Praktikum Analisa Pangan Kelompok C2 Selasa, 5 September 2006.
Dari hasil pengamatan di atas tampak bahwa pada penentuan kadar protein dengan
sampel sebanyak 0.25 gram, volume titrasi kelompok 1 dengan bahan biskuit belvita
yaitu 54.65 ml, sehingga didapat % N sebanyak 6.70% dan % protein sebanyak
41.8750%.Volume titrasi kelompok 2 dengan bahan biskuit belvita yaitu 55.05 ml,
sehingga didapat % N sebanyak 6.47% dan % protein sebanyak 40.4375%. Volume
titrasi kelompok 3 dengan bahan biskuit marie regal yaitu 57.20 ml, sehingga didapat %
N sebanyak 5.27% dan % protein sebanyak 32.9375%. Volume titrasi kelompok 4
dengan bahan biskuit marie regal yaitu 48.30 ml, sehingga didapat % N sebanyak
10.25% dan % protein sebanyak 64.0625%. Volume titrasi kelompok 5 dengan bahan
biskuit bayi milna yaitu 54.00 ml, sehingga didapat % N sebanyak 7.06% dan % protein
sebanyak 44.1250%. Volume titrasi kelompok 6 dengan bahan biskuit bayi milna yaitu
54.80 ml, sehingga didapat % N sebanyak 6.61% dan % protein sebanyak 41.3125%.
13
4. PEMBAHASAN
Percobaan yang dilakukan kali ini adalah penentuan kadar protein. Protein merupakan
suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini di samping berfungsi
sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Protein merupakan polimer alam yang tersusun dari berbagai asam amino melalui ikatan
peptida. Kandungan energi protein rata-rata 4 kg/kalori atau setara dengan kandungan
energi karbohidrat. Protein adalah substansi organik yang mirip dengan lemak dan
karbohidrat dalam hal kandungan unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Tetapi protein
juga mengandung nitrogen, bahkan beberapa diantaranya mengandung belerang dan
fosfor. Maka protein strukturnya lebih kompleks dibanding lemak dan karbohidrat
(Sudarmadji et al., 1989). Winarno (1997) manambahkan beberapa protein juga dapat
mengandung unsur logam seperti besi (Fe) dan tembaga (Cu). Pentingnya protein dalam
tubuh tampak ketika seseorang mengalami kekurangan protein dalam waktu lama akan
mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan akan menurunkan daya tahan tubuh
terhadap penyakit. Protein dalam bahan makanan masuk dalam tubuh dan akan diserap
oleh usus dalam bentuk asam amino. Beberapa asam amino yang merupakan peptida
dan molekul protein kecil akan dapat diserap juga melalui dinding usus yang akan
masuk ke dalam pembuluh darah. Hal inilah yang akan menimbulkan reaksi-reaksi
alergik dalam tubuh.
Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh. zat pembangun dan zat pengatur.
Protein digunakan sebagai bahan bakar bila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh
karbohidrat dan lemak. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk
jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh dan mempertahankan jaringan
yang telah ada. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang telah rusak dan yang perlu
dirombak. Protein juga digunakan untuk mengatur berbagai proses tubuh baik langsung
maupun tidak langsung dengan membentuk zat-zat pengatur dalam tubuh. Protein
mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah yaitu dengan
menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam
pembuluh darah. Protein di dalam tubuh manusia digunakan sebagai bahan membran
sel, pembentukan jaringan pengikat, kolagen dan elastin, serta untuk pembentukan
14
15
protein inert seperti pada rambut dan kuku. Selain itu, protein juga bekerja sebagai
enzim, bertindak sebagai plasma, membentuk antibodi, membentuk kompleks dengan
molekul lain, serta bertindak sebagai bagian sel yang bergerak yaitu protein otot. Sifat
amfoter protein yang dapat bereaksi dengan asam dan basa, dapat mengatur
keseimbangan asam-basa dalam tubuh. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein
merupakan komponen terbesar setelah air. Diperkirakan separuh atau 50 % dari berat
kering sel dalam jaringan seperti misalnya hati dan daging terdiri dari protein dan dalam
tenunan segar sekitar 20 %. Kekurangan protein dalam waktu lama akan mengganggu
berbagai proses dalam tubuh dan akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Protein dalam bahan makanan masuk dalam tubuh dan akan diserap oleh usus dalam
bentuk asam amino. Beberapa asam amino yang merupakan peptida dan molekul
protein kecil akan dapat diserap juga melalui dinding usus yang akan masuk ke dalam
pembuluh darah. Hal inilah yang akan menimbulkan reaksi-reaksi alergik dalam tubuh
(Winarno, 1997).
Asam amino berdasarkan teori Sudarmadji et al. (1989) bersifat tak berwarna, larut
dalam air, tak larut dalam alkohol atau ether, dapat membentuk garam kompleks dengan
logam berat (misalnya asam amino dengan Cu++ membentuk senyawa kompleks
berwarna biru tua) dan dapat membentuk senyawa berwarna biru dengan ninhidrin.
Pembentukan senyawa berwarna antara asam amino dengan ninhidrin ini banyak
dipakai sebagai dasar analisa kuantitatif maupun kualitatif senyawa asam amino dan
protein. Prinsip reaksi asam amino dengan ninhidrin adalah protein maupun asam amino
yang mengandung asam alfa amino akan memberikan reaksi dengan ninhidrin
membentuk warna biru. Pertama kali terjadi oksidasi alfa amino oleh ninhidrin
dihasilkan ninhidrin tereduksi, aldehid, amonia dan karbondioksida. Kemudian terjadi
kondensasi antara amonia, ninhidrin tereduksi dan ninhidrin terbentuk senyawaan
kompleks berwarna biru
Analisa protein dilakakukan biasanya untuk menera jumlah kandungan protein dalam
bahan makanan, menentukan tingkat kualitas protein dipandang dari sudut gizi dan
menelaah protein sebagai salah satu bahan kimia misalnya secara biokimiawi, fisiologis,
rheologis, enzimatis, dan telaah lain yang lebih mendasar (Sudarmadji et al., 1989).
16
Analisa protein dilakukan ketika kita ingin mengetahui kandungan protein total.
komposisi asam amino, kandungan protein dalam suatu campuran, kandungan protein
selama isolasi dan pemurnian protein, nitrogen non protein, dan nilai nutrisi dari protein
(Nielsen, 1998).
Penentuan protein yang digunakan adalah dengan cara Kjeldahl semimakro. Menurut
Winarno (1997), cara Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu cara
makro dan semi makro atau sering disebut cara mikro. Cara makro kjeldahl digunakan
untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contohnya 1-3 gram, sedangkan cara
semimakro digunakan untuk ukuran yang kecil yaitu kurang dari 300 mg dari bahan
yang homogen. Kekurangan cara ini adalah bahwa purin, pirimidin, vitamin-vitamin,
asam amino besar kreatian, dan kreatina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen
protein, tetapi walau demikian cara ini tetap masih dianggap cukup teliti untuk
pengukuran kadar protein makanan.
Pada saat dilakukan praktikum digunakan cara Kjedahl. Dengan cara ini akan didapat %
N dan juga % protein dari sampel yang digunakan. Menurut Sudarmajdi (1989),
penetapan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan
penerapan empiris (tidak langsung), yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada
dalam bahan. Penentuan secara langsung misalnya dengan pemisahan, pemurnian atau
penimbangan protein. Cara ini akan memperoleh hasil yang lebih tepat tetapi sangat
sukar, waktu yang lama, ketrampilan tinggi dan mahal. Penentuan secara empasis ini
diketemukan oleh kjeldahl yang sering disebut sebagai kadar protein kasar
(crude protein).
Pada saat praktikum juga dilakukan pemanasan sampai larutan tersebut menjadi jernih.
Dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan
dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara asam amino hasil
perubahan protein dengan gula-gula reduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma
makanan. Protein murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa dan
aroma yang tidak berarti (Sudarmadji et al., 1989).
17
Dalam praktikum, ditambahkan berbagai senyawa seperti Na2SO4, HgO, Zn, Na2S2O3,
NaOH, dan indikator MR. Penambahan Zn berfungsi untuk mencegah pemercikan atau
adanya gelembung gas yang besar. Penambahan Na2S2O3 berfungsi untuk memecah
senyawa merkuri ammonium menjadi ammonium sulfat. Menurut Sudarmadji (1989),
untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran
Sodium Sulfat dan HgO (20:1) digunakan K2SO4 (dalam praktikum digunakan Na2SO4)
atau CuSO4 dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan
semakin tinggi sehingga destruksi semakin cepat. Suhu destruksi berkisar antara 370 –
410°C. Selama destruksi akan terjadi reaksi sebagai berikut (apabila digunakan HgO):
HgO + H2SO4 → HgSO4 + H2O
2HgSO4 → Hg2SO4 + SO2 + 2On
HgSO4 + 2H2SO4 → 2 Hg2SO4 + 2 H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4 → CO2 +H2O + (NH4)2SO4
Amonium sulfat yang terbentuk akan bereaksi dengan merkuri oksida membentuk
senyawaan kompleks. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau
tidak berwarna. Pada tahap destilasi amonium sulfat dipecah menjadi amonia (NH3)
dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Supaya selama destilasi
tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas
yang besar, maka dapat ditambahkan logam zink (Zn). Untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebihan maka perlu ditambahkan indikator misalnya BCG, MM, atau PP.
Sedangkan penambahan NaOH adalah untuk memecah ammonium sulfat tersebut
menjadi ammonium (NH3). Ammonia ini kemudian akan ditangkap dengan larutan
asam standar, yaitu larutan HCl yang ditempatkan di bawah alat destilasi (pipa kaca
ujung saluran alat destilasi). Larutan HCl ini harus diberikan dalam keadaan berlebih.
Sisa asam klorida yang tidak bereaksi dengan ammonia ditritrasi dengan NaOH 0,1 N.
Penambahan indikator MR berfungsi untuk membantu mengetahui titik akhir titrasi.
Setelah diperoleh persentase kadar nitrogen (N) selanjutnya dihitung kadar proteinnya
dengan mengalikan satu faktor:
Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
Selisih jumlah titrasi sampel dan blangko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.
18
Selain dilakukan pada sampel bahan pangan, dalam percobaan ini juga dilakukan
analisa terhadap blanko. Hal ini dimaksudkan supaya analisa lebih tepat yaitu untuk
koreksi adanya senyawa nitrogen yang berasal dari reagensia yang digunakan. Menurut
Sudarmadji (1989), supaya analisa lebih tepat maka pada tahap destruksi ini dilakukan
pula perlakuan blanko yaitu untuk mengkoreksi adanya senyawa N yang berasal dari
reagensia yang digunakan.
Praktikum ini menggunakan biskuit sebagai bahannya. Biskuit yang digunakkan adalah
biskuit keras. Menurut SNI 01-2973-1992 UDC664.68, biskuit adalah produk makanan
kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu,
lemak, dan bahan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain
yang diinginkan.
Biskuit diklasifikasikan dalam 4 jenis:
Biskuit keras
Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila
dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau
rendah.
Crackers
Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi/
pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih terasa asin dan renyah, serta bila
dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
Cookies
Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat.
Wafer
Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori, kasar, renyah, dan
bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
Dari praktikum tersebut didapatkan hasil yang berbeda-beda untuk setiap biskuit yang
diuji. Kelompok 1 yang menggunakan biskuit Belvita mendapatkan hasil kandungan
protein sebesar 41,8750%. Kelompok 2 yang juga menggunakan biskuit Belvita
mendapatkan hasil kandungan protein sebesar 40,4375%. Kelompok 3 yang
19
menggunakan biskuit Marie Regal mendapatkan hasil kandungan protein sebesar
32,9375%. Kelompok 4 yang juga menggunakan biskuit Marie Regal mendapatkan
hasil kandungan protein sebesar 64,0625%. Kelompok 5 yang menggunakan biskuit
bayi Milna mendapatkan hasil kandungan protein sebesar 44,1250%. Kelompok 6 yang
juga menggunakan biskuit bayi Milna mendapatkan hasil kandungan protein sebesar
41,3125%.
Menurut SNI 01-2973-1992 UDC664.68, kadar protein biskuit keras minimal 6.5%.
Kadar protein crackers minimal 8%. Kadar protein cookies minimal 6 %. Kadar protein
wafer minimal 6%. Dari hasil percobaan, kadar protein biskuit yang ada sudah
memenuhi persyaratan yaitu lebih dari 6.5%. Sedangkan menurut SNI 01-4445-1998,
kandungan protein biskuit bayi yang disajikan dengan susu minimal 6.5%, sedangkan
kandungan protein biskuit bayi yang disajikan tanpa susu minimal 10%. Dari hasil
percobaan, kandungan protein yang ada sudah memenuhi persyaratan, yaitu lebih dari
6.5% maupun 10%.
Jika dilihat dari komposisinya, biskuit Belvita memiliki kandungan protein 2 gram per
30 gram (6,67%). Sedangkan hasil percobaan sangat besar yaitu 41,8750% dan
40,4375%. Biskuit Regal tidak dituliskan komposisinya sehingga tidak dapat
dibandingkan kandungan protein antara yang ditulis dan yang didapat dari hasil
percobaan. Biskuit Milna memiliki kandungan protein sebesar 1,4 gram per 21,4 gram
biskuit atau sekitar 6,54%. Berarti hasil percobaan sangat jauh berbeda. Perbedaan hasil
tersebut mungkin disebabkan karena kesalahan dalam praktikum. Misalnya, pemanasan
yang berlebihan, sehingga protein membentuk persenyawaan dengan bahan lain,
sehingga jumlah yang terhitung menjadi lebih banyak; kesalahan dalam titrasi,
kesalahan pengukuran, dan lain-lain. Menurut Sudarmadji et al. (1989), dengan adanya
pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan dan membentuk
persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara asam amino hasil perubahan protein
dengan gula-gula reduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma makanan. Protein
murni dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa dan aroma yang tidak
berarti. Mungkin juga karena selama praktikum, sampel menerima perlakuan yang
menyebabkannya menjadi rusak, sehingga analisa tidak tepat. Misalnya saja karena
20
reaksi kimia dengan asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab yang lainnya. Sebagai
contoh, protein di dalam larutan pada pH tertentu dapat mengalami denaturasi dan
mengendap. Di samping denaturasi, protein dapat mengalami degradasi yaitu
pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana oleh pengaruh
asam, basa, atau enzim. Hasil degradasi protein dapat berbentuk sebagai pepton,
polipeptida, peptida asam amino, NH3, dan unsur N. Di samping itu dapat juga
dihasilkan komponen-komponen yang menimbulkan bau busuk misalnya merkaptan,
skatol, putreseine dan H2S (Winarno,
Penyebab lain yang mungkin terjadi adalah karena kekurangan dari analisis Kjeldahl
sendiri yang juga menghitung nitrogen dari senyawa lain sebagai protein. Menurut
Winarno, (1997) kekurangan cara analisis Kjeldahl ini ialah bahwa purin, pirimidin,
vitamin, asam amino besar, kreatina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen
protein. Kelemahan metode ini lainnya ialah mengukur senyawa nitrogen total (tidak
hanya nitrogen protein), membutuhkan waktu lama dan reagennya bersifat korosif
(Nielsen, 1998). Walaupun demikian, cara ini masih digunakan dan dianggap cukup
teliti dalam pengukuran kadar protein dalam makanan karena memiliki kelebihan yang
dapat diterapkan untuk semua jenis makanan, relatif sederhana, cukup cermat untuk
analisa protein kasar dan murah. Selain itu, ketidaksesuaian juga mungkin dikarenakan
sampel terlalu banyak mengandung lemak. Untuk mendestruksi 1 gram protein
diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak diperlukan 17,8 gram asam sulfat.
Akibatnya, jumlah asam sulfat yang dipakai untuk mendestruksi protein menjadi lebih
sedikit, karena sudah terpakai untuk mendestruksi lemak. Dengan demikian, protein
menjadi tidak terdestruksi sempurna dan mengakibatkan pada tidak tepatnya
perhitungan (Sudarmadji, 1989).
Kurang tepatnya metode yang digunakan juga dapat mempengaruhi. Metode Kjehdahl
mungkin saja kurang tepat, karena yang dihitung ialah kandungan N total dalam
makanan, padahal N tersebut belum tentu berasal dari protein saja. Sumber N selain
protein selain makanan antara lain ialah asam-asam amino, porphirin dan beberapa
vitamin, alkaloid, asam urat, urea dan ion-ion amonium (Nielsen, 1998).
21
Selain itu, mungkin juga disebabkan karena kesalahan dalam perhitungan. Karena
ketika mengalikan % Nitrogen dengan faktor konversi, kami tidak tahu faktor konversi
untuk biskuit, sehingga kami menggunakan faktor konversi 6.,5. Padahal belum tentu
faktor konversinya benar, karena faktor konversi untuk setiap bahan berbeda-beda.
Menurut Sudarmadji et al. (1989), dasar perhitungan penentuan protein menurut
Kjeldahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya
protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk
campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur-unsur
penyusunnya secara pasti, maka dipakai faktor perkalian 6,25 (100/16). Sedangkan
untuk protein-protein tertentu yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat,
maka faktor perkalian yang lebih tepatlah yang dipakai. Misalnya faktor perkalian yang
telah diketahui adalah 6,25 untuk biji-bijian; 5,70 untuk protein gandum; mie, roti; 5,46
untuk kacang tanah; 6,38 untuk protein susu; dan 5,55 untuk gelatin (kolagen yang
terlarut).
Data kelompok 3 dan kelompok 4 berbeda jauh sekali, hampir dua kali lipatnya.
Padahal bahan yang digunakan sama. Hal itu disebabkan karena pada waktu titrasi,
kelompok 4 menggunakan pipet volume, bukan buret. Padahal ketelitian alat itu
berbeda, buret lebih teliti dibandingkan dengan pipet volume. Selain itu, pipet volume
mengeluarkan dengan jumlah yang lebih besar, sehingga bisa saja penitrasian tidak
sempurna. Mungkin belum bereaksi sempurna sehingga akhirnya jumlah yang
dikeluarkan harus lebih banyak. Sehingga hasil yang diperoleh menjadi jauh berbeda.
5. KESIMPULAN
Protein tersusun atas senyawa-senyawa yang meliputi hidrogen, karbon, nitrogen,
oksigen, dan ada juga yang mengandung sulfur, fosfor, zat besi serta tembaga.
Protein tersusun atas rantai asam-asam amino yang berbeda-beda dan berikatan
melalui ikatan peptida.
Protein berfungsi sebagai sumber energi, zat pengatur dan zat pembangun.
Kandungan energi protein rata-rata ialah 4 kg/kalori.
Kadar protein dalam bahan pangan umumnya ditentukan dengan metode Kjeldahl.
Pada penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl terjadi tiga tahap reaksi,
yaitu tahap destruksi, tahap destilasi dan tahap titrasi.
Penentuan kadar protein yang dilakukan dengan metode Kjeldahl dihasilkan kadar
protein kasar atau crude protein.
Metode Kjeldahl memiliki kelebihan, yaitu dapat diterapkan untuk semua jenis
makanan, relatif sederhana, cukup cermat untuk analisa protein kasar dan murah.
Kekurangan Metode Kjeldahl ialah mengukur senyawa nitrogen total (tidak hanya
nitrogen protein), membutuhkan waktu lama dan reagennya bersifat korosif.
Penghancuran sampel bertujuan untuk memisahkan komponen-komponen bahan
dan untuk memperluas permukaan.
Penambahan asam sulfat pekat bertujuan untuk memecah bahan dan mengikat unsur
nitrogen untuk bereaksi membentuk amonium sulfat.
Penambahan Na2SO4 dan HgO digunakan sebagai katalisator sehingga titik didih
dari asam sulfat menjadi lebih tinggi sehingga proses destruksi berjalan cepat.
Penambahan Zn bertujuan untuk mencegah terjadinya superheating ataupun
pemercikan cairan.
Penambahan basa kuat (NaOH) dalam proses destilasi bertujuan untuk
membebaskan amonia pada kondisi oksidasi dan nitrogen sebagai amonium.
Penambahan HCl dalam proses destilasi ini bertujuan untuk menangkap amonia
yang dibebaskan.
Semakin besar volume NaOH yang digunakan, maka semakin kecil kandungan N
total dan kandungan protein pada sampel.
22
23
Untuk bahan yang tidak diketahui kandungan proteinnya, dapat digunakan faktor
konversi 6,25.
Kadar protein pada biskuit menurut SNI adalah minimal 6,5 %.
Kadar protein biskuit bayi pada SNI ialah minimal 6,5 % jika disajikan dengan susu
dan 10 % jika disajikan tanpa susu.
6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1992). Biskuit. SNI 01-2973-1992 UDC 664.68.
Anonim. (1998) Biskuit Untuk Bayi dan Balita. SNI 01-4445-1998.
Day, R. A. & A. L. Underwood. (1992). Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.Liberty. Yogyakarta.
Nielsen, S. (1998). Food Analysis 2nd Ed. Aspen Publication. Gaithersburg Maryland.
Salam, A. (1990). Protein, Vitamin, dan Bahan Ikutan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Sudarmadji, S; B. Haryono & Suhardi (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Winarno, F. G. (1995). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F. G. (1997). Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia. Jakarta.
24
7. LAMPIRAN
7.1. Perhitungan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
Kelompok 6
7.2. Laporan Sementara
7.3. Label Komposisi Biskuit
7.3.1. Belvita
7.3.2. Marie Regal
7.3.3. Milna
7.4. SNI
7.4.1. SNI Biskuit
7.4.2. SNI Biskuit Bayi dan Balita