AL-QUR’AN DAN JIMAT
(Studi Living Qur’an pada Masyarakat Adat Wewengkon Lebak Banten)
TESIS
Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi
Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh:
Yadi Mulyadi
NIM: 21150340000013
PRODI KONSENTRASI TAFSIR
PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Yadi Mulyadi, “Al-Qur’an dan Jimat (Studi Living Qur’an pada Masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten),” konsetrasi Tafsir Program
Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Penelitian ini bermula dari permasalahan bagaimana masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten menggunakan al-Qur’an sebagai jimat.
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan meyakini jimat sebagai jalan alternatif
secara praktis untuk mencapai sebuah tujuan dalam memecahkan pelbagai
masalah. Al-Qur’an, pada dasarnya berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh
manusia dan khususnya umat Islam. Oleh sebagian manusia, al-Qur’an juga dapat
difungsikan sebagai jimat, karena diyakini bahwa ayat-ayat bahkan huruf-huruf
al-Qur’an mengandung kekuatan magis yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
tertentu seperti pengobatan, kekebalan, karismatik, keselamatan, dan penglaris.
Seperti yang telah dikatakan Bruce Lawrence, sebagian orang-orang Islam
memilih al-Qur’an untuk mengambil ayat-ayat tertentu dan mengeluarkannya dari
konteks secara keseluruhan ketika mereka akan membuat pernyataan tentang
sebuah pandangan normatif dunia Islam. Sebagian umat muslim menganggap al-
Qur’an sebagai mukjizat yang magis, menggunakan kata-katanya dengan cara
berbisik, menciumnya, atau meminumnya yang dapat digunakan sebagai
kesembuhan dan harapan-harapan tertentu.
enelitian ini, menggunakan metode etnografi ames . Spradley yang
bersifat deskriptif kualitatif. Tujuan dari etnografi, untuk memahami cara-cara
kehidupan lain dari sudut pandang masyarakat. Adapun studi pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan
menggunakan pendekatan antropologi. Pendekatan ini digunakan berusaha untuk
memotret apa adanya tentang dimensi-dimensi kepercayaan, keyakinan, ritual dan
tradisi secara holistik.
Adapun makna dari mempraktikan jimat al-Qur’an itu bagian dari
penghormatan, pemuliaan dan pelestarian masyarakat terhadap al-Qur’an. Motif
dan tujuan masyarakat Kasepuhan dalam menggunakan jimat karena memiliki
beragam manfaat, antara lain: Pertama, jimat dapat menyelamatkan diri dan
memberikan kepercayaan/ketenangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan
hidup. Kedua, dapat berfungsi sebagai karismatik yang tinggi dalam pandangan
setiap manusia demi mempertahankan eksistensi kekuasaan. Ketiga, digunakan
sebagai penglaris dalam perdagangan untuk kepentingan stabilitas ekonomi.
Keempat, sebagai penyembuh dari berbagai penyakit untuk kepentingan
masyarakat luas baik yang mengendap penyakit yang tak kunjung sembuh dan
lain sebagainya. Dalam prosesi penggunaan jimat mesti dalam keadaan suci, tidak
digunakan dalam keangkuhan dan kesemobongan serta mematuhi petunjuk kyai.
Adapun ketika mempergunakannya, jimat diletakan pada bagian ambang pintu
dan lemari, mengenakan jimat pada bagian sabuk, meletakan jimat ke dalam
dompet, dan mencampurkan jimat yang berukuran kecil ke dalam parfum.
ii
ABSTRACT
Yadi Mulyadi, “Al-Quran and Jimat (Study Living Qor’an on Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten Community),” concentration
Qur’anic interpretation Graduate Program, Faculty of Ushuluddin Syarif
Hedayatullah State Islamic University Jakarta 2017.
This research beginning how the Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak
Banten community used the Qor’an as a talisman. The community believes the
talisman as a practical alternative way to achieve a goal in solving various
problems. The Qor’an, serves as a guide for all humans and especially Muslims.
The Qor’an can also function as a talisman, because it is believed that the verses
even the letters of the Koran contain magical powers that can be used for certain
purposes such as medication, immunity, charismatic, salvation, and a ruler.
As has been said Bruce Lawrence, some Muslims choose Qor’an to take
certain verses and take it out of context as a whole when they will make a
statement about a normative view of the Islamic world. Most Muslims consider
the Qor'an as a miracle of magic, using the words in a whisper, kissing, or drink
that can be used as a healing and certain expectations.
This study uses the method of ethnography James P. Spradley which is
descriptive qualitative. The purpose of ethnography, to understand other ways of
life from the point of view of community. The study of data collection is done by
observation, interview, and documentation by using anthropology approach. his
approach is used to photographing what it is about belief dimensions, confidences,
rituals and traditions holistically.
As for the meaning of practicing the talisman is part of the honor,
breeding, and preservation of society against Qor’an. The motives of Wewengkon
Kasepuhan Lebak community in using talisman because is has various benefits,
among others: The first, a talisman can save themselves and provide confidence or
calm in solving various problems of life. The second, a talisman can function as a
high charismatic in the looking of every human being in order to maintain the
existence of power. Third, the talisman is used as the trade-marker for the sake of
economic stability. Fourth, talisman as a healer of various diseases for the benefit
of the wider community that settles the disease that never healed and so forth. In
the procession of the use of talisman even under holy circumstances, is not used in
arrogance and pride and obeys the religious leader. While using it talisman placed
on door sills and cabinets, wearing a talisman on the belt, putting the talisman into
the wallet, and mixing a small talisman into the perfume.
iii
الملخص
(" تركز كاسبوهان لباك باوتهادي مولادي "القرأن ولعزمت )الذراست الحاة القرأن على المجتمع ل
7102التفسر ف كلت أصول الذه ف جامعت شرف هذات الله ف جاكرتا, سىت
غطبخاغتشش ا ٠جغ زا اجضج شىخ و١ف١خ اعتخذا اشؼة الأص١خ ٠٠غى
اشؼة الأص١خ ٠٠غى وبعجب ٠ؼتمذ ؼض٠خ .ؼض٠خ١جبن ثبت امشآ ثبػتجبس )وبع١جب(
ذ٠خ ثخبثخ الأعبط ف ٠خذ ،اىش٠ امشآ وع١خ ثذ٠خ ػ١خ تضم١ك ذف ف ص ختف اشبو.
لأ وتؼ٠زح، تغتخذ أ أ٠عب اىش٠ امشآ أ ٠ى ابط، جؼط فمب. اغ١ خبصخ ابط ز١غ
لأغشاض اعتخذاب ٠ى ات اغضش٠خ ام ػ تضت اىش٠ امشآ خطبثبد صت ا٠٢بد أ ٠ؼتمذ
.صبو اغلاخ، اىبس٠ض١خ، اضصبخ، اؼلاد، خ ضذدح
اىش٠ امشآ آ٠بد ثؼط اتخبر إ اغ١ ثؼط اخت١بس ساظ، ثشط لبي وب
ؼب اؼ١بس ظش رخ ػ ثج١ب ع١ذ ػذب اؼب اغ١بق إ ظشد أ ع١بلب إخشارب
تظ، ات اىبد ثبعتخذا ره عضش٠خ، ؼزضح ثبػتجبس امشآ ٠ؼتجش اغ١ ثؼط الإعلا
.الأ اشفبء جؼط تغتخذ أ ٠ى ات ششث أ اتمج١،
اػ. . عجشاد ات صف١خPاعخ، ره ثبعتخذا غش٠مخ الإحغشاف١ب ر١ظ ز اذس
اغشض الإحغشاف١ب، ف غشق أخش ض١بح رخ ظش ازتغ. تت دساعخ رغ اج١ببد ػ
ب صي ٠غتخذ زا اذ تص٠ش غش٠ك الاصظخ، امبثخ، اتح١ك ثبعتخذا ذ الأخشثر١ب.
أثؼبد الاػتمبد اؼتمذاد اطمط اتمب١ذ ثشى و.
أب ثبغجخ ؼ ابسعخ ص امشآ وب رضءا ازض٠خ، تشث١خ اضفبظ ػ١ب
صخبسف أذاف زتغ وبع١جب ف اعتخذا ات١ضب لأ فائذ ختفخ، ازس ظذ امشآ.
حب١ب، .ض ٠ى امبر أفغ تف١ش اخمخ اذء ف ص ختف اشبو ؼض٠خ لا،أ ث١ أس أخش:
حبخب، ٠ت ٠ى أ ٠ؼ ثصف وبس٠ض١خ ػب١خ ف ظش و إغب أر اضفبظ ػ رد اغطخ.
ختفخ صبش ساثؼب، وؼبذ الأشاض ا اعتخذا وؼلاخ تزبس٠خ أر الاعتمشاس الالتصبد.
ف اوت اعتخذا اتبئ ٠زت أ ازتغ الأعغ از ٠غتغ اشض از تتئ ىزا دا١ه.
وب ػذ اعتخذا، ٠ت ٠ى ف دخ مذعخ، لا تغتخذ ف اغطشعخ اشائت غبػخ تؼ١بد و١ب.
ظغ اتبئ ف اضفظخ، خػ اتبئ ظغ اتبئ ػ ػتجخ خضاخ، استذاء تب١غب ػ اضضا،
اصغ١شح ف اؼطس.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang selalu
memberikan karunia rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tanpa rahmat dan hidayah-Nya, mungkin
Tesis ini tidak akan selesai. Ṣhalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad saw. para keluarganya, sahabat-sahabatnya, para tabi’
tabi`in serta kita semua selaku umatnya sampai akhir zaman.
Secara didaktis, penulis sangat sadar bahwa penyusunan tesis ini tidak
akan selesai tanpa adanya bantuan dan dukungan dari pihak lain. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan
yang setingi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
menyelesaikan penelitian ini. Karena itu, pertama-tama saya menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosem Pembimbing I, Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdialektika dan
membimbing secara intensif kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya
sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin hingga akhirnya penelitian ini selesai.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing II, Dr. Lilik
Umi Kaltsum, MA yang sudah rela dan ikhlas menyempatkan diri untuk
membimbing dengan penuh kehati-hatian, ketelitian, dan kesabaran.
Tidak lupa pula kepada para penguji: Dr. Bustamin, M.Si, Dr. Yusuf
Rahman, MA, Kusmana, P.hD dan Prof. Muhammad Ali, P.hD yang telah
bersedia membimbing dan memberikan masukan-masukan demi tercapainya
kesempurnaan penelitian ini. Para Dosen Program Magister Ushuluddin,
v
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), dan Dr. Atiyatul
Ulya, MA selaku Ketua Program Magister dan Drs. Maulana, M.Ag selaku
Sekretaris Program Magister Fakultas Ushuluddin.
Kedua orang tuaku tercinta, Ibunda Marnah binti Aman dan Ayahanda
Emad bin Rastim yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan,
dan tiada henti mendoakanku siang dan malam tanpa lelah dan putus asa hingga
penulis dapat menyelesaikan persyaratan dalam memperoleh gelar Magisteri.
Istriku tercinta, Zuhrotul Uyun, S.Pd yang selalu setia berada disampingku dalam
situasi dan kondisi suka, duka, nestapa, dan bahagia hingga tidak pernah putus-
putus untuk mendoakan kesuksesan suaminya. Mertua tercinta yang insyallah
sebentar lagi menunaikan rukun Islam yang terakhir, Hasan Mufti, S.Pd.I dan Icih
Kurniasih yang tiada henti-hentinya mendoakan kami. Adiku-adiku tercinta
Nurmalasari dan adik ipar Halwati Nufus dan Husnul Fahri yang selalu
mendoakan agar kakak-kakaknya menjadi publik figur dalam lingkungan
keluarga.
Seluruh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten
khususnya Kyai Sarku, Olot Umar, Olot Sariman, Mulyadi Sugiansar, Jaro Asid
Rosidin, Jaro Jajang selaku anggota AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nasional),
K.H. Mahmud, Suryani, Ustadz Mukhtar al-Khoiri dan K.H. Rumdani yang telah
memberikan informasi dan keterbukaannya mengenai jimat, hingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini.
PUSLITPEN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan BAZIS Jakarta yang
vi
telah memberikan Beasiswa penelitiani, hingga dapat membantu dalam proses
finishing penelitian. Kawan-kawan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana studi
Tafsir-Hadis Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta angkatan 2015 khususnya pak Muqhti Ali, abah Aris, Kholis, Idham, K.H.
Umam, Hasrul, Fahmi, dan Arif. Dan tidak lupa pula pada keluarga Ciputat Uwa
Aming, Om Fatah, dan abah Dr. Rusdi,Sp, M.Si.
Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangsih dan manfaat dalam
khazanah keislaman, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca
yang budiman. Semoga Allah Swt. senantiasa membukakan samudera ilmu-Nya
kepada kita semua, Amin.
Jakarta, 04 Desember 2017
Penulis
Yadi Mulyadi
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
A. Konsonan
q = ق z = ص Tidak Dilambangkan = ا
k = ن s = ط b = ة
l = ي sy = ػ t = د
ṣ = m = ص ṡ = ث
ḍ = n = ض j = د
ṭ = w = غ ḫ = س
ẓ = h = ظ kh = ط
` = ء ‘ = ع d = د
g = y = ؽ ż = ر
f = ف r = س
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
◌ = a ا—◌ = ā ◌ = ai
◌ = I —◌ = ī ◌ = aw
◌ = u —◌ = ū
C. Keterangan Tambahan
1Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
158 tahun 1987 dan No. 0543 tahun 1987.
viii
1. Kata sandang لا (alif lam ma’rifah) ditransliterasi dengan al-,
misalnya (ازض٠خ) al-jizyah, ( لاحبسا ) al-âthâr dan ( از خ) al-dhimmah.
Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada
awal kalimat.
2. Tashdîd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda,
misalnya al- muwaṭṭa’.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia,
ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan
lainnya.
D. Singkatan
swt = Subḥānahu wa ta’ālā
as = ‘Alaihi al-Salām
M = Masehi
Qs = al-Qur’an Surah
saw = Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam
H = Hijriyah
ra = Raḍiya Allāh ‘anhu
w = Wafat
h = Halaman
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………….vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………......ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………...1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah………………………………………………….10
2. Pembatasan Masalah…………………………………………………11
3. Perumusan Masalah………………………………………………….11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………..12
D. Penelitian Terdahulu yang Masih Relevan……………………………13
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian……………………………………………………….20
2. Sumber Data………………………………………………………….21
3. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………...22
x
4. Teknik Analisis Data…………………………………………………24
5. Teknik Penulisan……………………………………………………..25
F. Sistematika Penulisan…………………………………………………..26
BAB II LIVING QUR’AN DAN JIMAT
A. Living Qur’an.…………………………………………….......................29
B. Living Qur’an dalam Tatanan Praktis………………………………...32
1. Al-Qur’an dan Pengobatan…………………………………………...35
2. Al-Qur’an dan Tradisi Masyarakat………………………………….43
a. Rebo Wekasan……………………………………………………45
b. Tradisi Tingkeban atau Mitoni…………………………………...49
C. Living Qur’an dan Jimat
1. Al-Qur’an dan Kekuatan Magis……………………………………...53
a. Jimat……………………………………………………………...54
b. Debus Banten…………………………………………………….62
D. Agama dan Jimat……………………………………………………….68
BAB III SEJARAH JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON
KASEPUHAN LEBAK BANTEN
xi
A. Sosial Kemasyarakatan Adat Wewengkon Kasepuhan
1. Letak Geografis & Sejarah Kasepuhan………………………………73
2. Tatanan dan Filosofi Hidup Masyarakat Kasepuhan………………...77
3. Tradisi Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
a. Tradisi Lokal……………………………………………………..82
b. Tradisi Keagamaan……………………………………………….86
c. Tradisi Keseharian Anak-anak Wewengkon Kasepuhan………...87
B. Aspek Sejarah Kepercayaan Masyarakat adat Wewengkon
Kasepuhan Terhadap Jimat……………………………………………89
C. Perkembangan Jimat di Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak-Banten
1. Pondok Pesantren Tradisional............................................................100
2. Adat Kasepuhan…………………………………………………….103
D. Pemahaman Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Terhadap
Jimat
1. Masyarakat Umum………………………………………………….106
2. Tokoh Adat Kasepuhan……………………………………………..109
3. Tokoh Agama……………………………………………………….111
xii
BAB IV PENGGUNAAN JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON
KASEPUHAN LEBAK BANTEN
A. Bentuk-bentuk azimat/jimat
1. Ayat dan Surat Magis................…………………………………….118
2. Huruf-huruf Hijāiyyah………...……………………………………..134
3. Jimat Non al-Qur’an………………………………………………...140
B. Ritual Masyarakat Adat Wewengkon dalam Menggunakan Jimatt
1. Menempelkan Jimat pada Bagian Ambang intu dan Lemari……...147
2. Mengenakan Jimat ada Bagian Sabuk…………………………….150
3. Meletakan Jimat dalam Dompet…………………….........................151
4. Mencampurkan Jimat ke dalam Minyak……………………………154
5. Manfaat dalam Menggunakan Jimat
1. Pengasihan (Penglaris)……………………………………………...157
2. Karismatik (Pangabaran)……………………………………………159
3. Penyelamat Jiwa dan Raga………………………………………….161
4. Penyembuh………………………………………………………….163
xiii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………….165
B. Saran…………………………………………………………………....166
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….167
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Dokumentasi Photo-photo………………………………………………..i
B. Interview Guide………………………………………………………….vii
C. Observation Guide………………………………………………………..ix
D. Daftar Informan………………………………………………………...xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an merupakan sebuah pedoman umat manusia. Di dalamnya
terdapat petunjuk1 dan beragam fungsi yang mampu merespon masalah-masalah
yang terjadi dalam sosial kemasyarakatan. Salah satunya, al-Qur‟an bisa dijadikan
sebagai penyembuh (Syifā‟) berbagai penyakit,2 baik penyakit fisik maupun non
fisik dan dapat digunakan sebagai mediator yang mempunyai kekuatan magis,
dalam bentuk jimat al-Qur‟an.3
Azimat atau jimat ini mempunyai makna yang sama, yaitu suatu barang
(tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya,
yang dapat digunakan sebagai pangkal penyakit, roh-roh jahat, maupun
pangabaran (karismatik).4 Penggunaan jimat terdapat di seluruh wilayah muslim.
Benda magis itu sebagai halnya, telah dipraktikkan di wilayah Afrika Utara dan
1 Diturunkannya al-Qr‟an sebagai petunjuk umat manusia yang membedakan antara yang
haq maupun yang baṯil (al-Baqarah: 185). Lihat, Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an,
terjemahan Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), cet. Ke II, h. 1. 2 Bahkan di dalam al-Qur‟an menggambarkan beberapa penyakit, antara lain Saqīm (Qs.
24: 61 dan 2: 185), al-Akmah (Qs. 3: 49), al-Abraṣ (Qs. 3: 9), haradḁ (Qs. 12: 85), untuk penyakit
fisik. Sedangkan Jinnah (Qs. 23: 27 dan 70) dan al-Massy (Qs. 2: 275) hanya untuk penyakit
psikis. Oleh karena itu, al-Qur‟an dapat digunakan sebagai penyembuh (shifā‟). Lihat Qs. At-
Taubah: 14, al-Syuara: 80, an-Nahl: 69, al-Isra: 82, dan fusulat: 44. Lihat, Apipudin, Al-Qur‟an
Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazīnat al-Asrār Karya Muhammad Haqqi al-
Nāzilī 1993), (Ciputat Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2013), h. 32. 3 Chairunnisa Ahsana AS, Pesona Azimat: Antara Tradisi dan Agama, (Bandung: Pustaka
Aura Semesta, 2014), h. 40. Sebagaimana dikutip dari Zuriati, Azimat Minangkabau Kritik Teks
dan Edisi Kritis, (Disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sastra,
2013), h. 12. 4Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1.offline, dapat diakses juga di
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
2
Barat di Sahara dan Indonesia. Sebagian besar jimat menggunakan tulisan ayat-
ayat al-Qur‟an dan huruf-huruf hijāiyyah yang diletakkan dalam sebuah
bungkusan untuk dikenakan sebagai kalung, sabuk, gelang maupun digunakan
pada bagaian yang sangat privasi, yaitu saku maupun dompet.5
Oleh karena itu, produk budaya demikian banyak terdapat dalam
masyarakat Islam Indonesia khususnya di Provinsi Banten. Inilah yang
menjadikan Muslim Indonesia berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya
di Dunia. Bentuk dan sistem kebudayaannya menyelaraskan dengan etik ajaran al-
Qur‟an, kemudian menjadi hal yang unik di dalam masyarakat karena telah
berakulturasi antara budaya dan agama.6 Hal ini seperti tradisi pelaksanaan halal
bihalal sesudah idul fitri,7 memperingati hari-hari penting nabi Muhammad Saw.
misalnya, hijrah, isra mi‟raj, dan memperingati kelahirannya nabi Saw. dan
memperingati haul8 syaikh-syaikh Islam berpengaruh di Dunia maupun di
5 Chirl Glasse, Ensiklopedi Islam, terjemahan Ghufron A. Mas‟adi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-II, h. 196. Adapun azimat atau jimat sebagaimana dijelaskan
dalam buku „Pesona Azimat‟ dalam bahasa Arab „al-Irādāt al mu‟akkadah yang bermakna,
keinginan yang kuat, tekad, „azam/azimat yang bermakna azimat, hal ini didasarkan pada Hadis
Nabi dan terminologi Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa azimat atau jimat dalam tradisi
Arab dinamakan hijab, hama‟il. Hama‟il berasal dari kata ḫamā-yaḫmī-ḫimyatan yang artinya
membela karena menjaga dari hal-hal yang mengancam atau mempertahankan lantaran menjaga
eksistensinya. Lihat, M. Quraish Shihab, “Ensikolopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata,” dalam
Nasaruddin Umar ed., Ensiklopedia, vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 277. 6 Maksudnya adalah kebudayaan Islam yang sesuai dengan kebudayaan qur‟ani baik dari
sistem politik qur‟ani, sistem ekonomi qur‟ani, dan seni qur‟ani, artinya sistem kebudayaan dan
unsur-unsur kebudayaan yang selaras dengan etika sebagaimana dikhendaki al-Qur‟an. Lihat,
Suwito, ed., Kajian Tematik Al-Qur‟ans Tentang Konstruksi Sosial (Bandung: Angkasa Bandung,
2008), h. 62. 7 Halal bihalal merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan setahun sekali pada saat umat
Islam di Indonesia sesudah melaksanakan puasa Ramdhan dan Idul Fitri. Lihat, Muhammad
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), h. 235. 8 Haul adalah peringatan hari wafat seseorang yg diadakan setahun sekali (biasanya
disertai selamatan arwah). Lihat, Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1.offline,
dapat diakses juga di http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
3
Nusantara, seperti haul syaikh Abd al-Qādir al-Jīlānī, syaikh al-Ghazali, syaikh
Nawawi al-Bantani, dan K.H. Hasyim al-Asy‟ari. Tradisi demikian tetap
dilaknsanakan secara berulang-ulang dari tahun ke tahun, walaupun situasi dan
kondisi sosial yang berbeda.
Jimat dalam pandangan filosuf, suatu pengaruh atas jiwa manusia. Hal ini
dilakukan dengan cara yang tidak alami yang dapat mempengaruhi pada jasmani
seseorang. Tetapi pengaruh-pengaruh yang muncul, kadang-kadang dari keadaan
ruh-ruh: seperti kehangatan yang timbul dari rasa gembira dan suka cita, atau
kadang-kadang dari persepsi psikis lainnya seperti yang timbul dari rasa was-was.
Jimat dalam proses reaksinya mencari bantuan pada sifat kerohanian, rahasia
angka-angka,9 kualitas-kualitas khusus yang maujud hingga perpaduan antara ruh
dengan substansi tubuh.10
Pada masa sekarang, ilmu mengenai jimat al-Qur‟an disebut surat magis
(rasāilu saḫriyah).11
Ilmu ini dipergunakan dalam pengertian konvensional yang
menganggap bahwa jimat ini, mempunyai watak yang inheren atau rahasia
9 Angka-angka yang terdapat dalam jimat, menurut Annemarie Schimmel mempunyai
simbol-simbol atau makna-makna tertentu. Hal ini dapat ditemukan dalam lafaẕ bismillah, dan
nilai numerik dari b sebagai 2 titik bagi dualitas itu melekat dalam segala sesuatu yang diciptakan,
sementara huruf pertama dari abjad, alif dalam numerik 1, merupakan sandi rahasia bagi Tuhan
yang Satu dan Unik. Lihat, Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam
Secara Fenomenologis penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997), cet. Ke-3, h. 134. 10
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemahan Ahmadie Thaha (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2016), Cet. Ke 13, h. 688-689. 11
Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat Banten bahwa jimat al-Qur‟an disebut
wafaq. Kata ini diserap dari lafaẕ al-aufāq yang berarti cukup. Adapun kegunaannya bermacam-
macam sesuai dengan kebutuhan, agar memiliki karisma dan wibawa yang tinggi, pengasihan,
tidak mempan dibacok, kebal, bahkan sebagai media dalam menarik keuntungan dalam berbisnis
dan lain-lain. Lihat, Fahmi Irfani, Jawara Banten; Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya
(Jakarta: Young Progressive Muslim, 2011), h. 69.
4
aktifitas yang terdapat dalam surat-surat itu ada ukuran hitungannya yang diambil
dari surat-surat yang berisikan rahasia-rahasia yang terdapat di dalam makhluk
dan alam. Aktivitas orang yang mempraktikkan kata-kata berupa akibat dari sinar
ilahi dan dukungan Tuhan yang mereka peroleh melalui latihan rohani dan kasyf.
Maka, alam pun ditekan untuk bekerja buat mereka dan melakukannya dengan
patuh tanpa berusaha untuk tidak tunduk. Adapun orang yang mempraktikan jimat
tercapai karena menurunkan kerohanian garis-garis edar bintang dan mengikatnya
erat-erat dengan gambar-gambar atau ukuran-ukuran angka.12
Lafaẓ al-Qur‟an tidak bisa dipahami secara lahiriahnya saja, sekalipun akal
memiliki daya untuk melihatnya, tetapi bukan berarti apa yang dilihat memiliki
derajat yang sama. Misalnya saja benda yang dilihat oleh akal dalam waktu yang
sama, tidak mungkin benda itu baru sekaligus lama, atau benda itu „ada‟ sekaligus
„tidak ada‟. Ataupun mustahil dalam waktu yang sama sebuah ucapan dinilai
benar sekaligus salah.13
Begitu pun dengan makna al-Qur‟an yang dapat dijadikan
sebagai pelita yang menyinari akal pada waktu tertentu dan dilain waktu.
Dengan demikian, menurut Imam al-Ghazali manusia harus diberikan
rangsangan dan perhatian. Adapun rangsangannya adalah ucapan para „hukama‟,
yaitu orang-orang yang memperoleh pancaran cahaya hikmah. Apabila seseorang
sudah mendapatkan pancaran cahaya hikmah, dia akan mampu melihat sesuatu
secara otomatis karena kehendaknya, yang sebelumnya hanya dapat melihat
karena terpaksa.
12
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, h. 695-696. 13
Imam Abu Hamid al-Ghazali, Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar, terjemahan
Hasan Abrori dan Mashur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 44.
5
Menurut al-Ghazali hikmah yang paling agung ialah kalimat-kalimat Allah
Swt. (al-Qur‟ān al-Karīm), di antaranya adalah al-Qur‟an berupa ayat-ayat
qauliyyah,14
sebagaimana firman Allah Swt.
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta Nur (Al-
Quraan) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Mahateliti terhadap
apa yang kamu kerjakan. (Q.s. At-Tagābun/64: 8).15
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu bukti
kebenaran dari Tuhanmu. Dan telah Kami turunkan kepada kamu
cahaya yang terang benderang (Al Quran). (Qs. An-Nisā‟/4: 174).
Selain itu, ada beberapa surat khusus yang dapat digunakan sebagai
penyembuhan penyakit, pemeliharaan yang dilakukan Allah Swt. kepada hamba-
hambanya maupun keselamatan ketika ada dalam perjalanan, diuraikan secara
khusus oleh Jalāluddīn as-Suyūṯhī pada sub bagian (fī al-khāṣ al-Qur‟ān) dalam
kitab al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān.16
Dengan demikian, fenomena masyarakat yang memperlihatkan praktik
magis di Provinsi Banten, khususnya masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Lebak dalam mempersepsi teks al-Qur‟an tidak hanya sebatas petunjuk,
14
Imam Abu Hamid al-Ghazali, Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar, h. 45. 15
Semua terjemahan ayat-ayat al-Qur‟an dalam penelitian ini, menggunakan terjemahan
Tafsir Al-Misbah. Lihat, Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 14,
h. 109. 16
Jalāluddīn as-Suyūṯhī, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān (Beirūt: Maktabatu Dāri al-Turāts,
1349 H/2010), h. 900-905.
6
melainkan memiliki kekuatan magis tanpa mempertimbangkan makna dan
tujuannya. Mereka menjadikan jimat dapat berfungsi dalam tatanan praktis.17
Kepercayaan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan terhadap jimat
sudah ada sejak pra Islam.18
Jimat yang berkembang berupa: sawah tangtu,19
mantra (jangjawokan),20
dan sepaheun.21
Sampai sekarang jimat ini masih
mewarnai kepercayaan masyarakat. Kemudian, pada tahun 1960-1970, tokoh
agama menyempurnakan pemahaman syahadat maupun basamallah sesuai dengan
17
Jimat sangat beragam bentuknya, ada tulisan al-Qur‟an (wafaq), keris, taring macan,
dan lain sebagainya yang diyakini sebagai pembawa keberuntungan baik dalam hal berbisnis,
kekuatan, maupun pencegahan dari roh jahat. Lihat, Ahmad Syarbashi, Dimensi-dimesi Kesejatian
al-Qur‟an (Yogyakarta: Ababil, 1996), h. 30. Dan lihat, Ayatullah Humaeni, “Mantra Masyarakat
Muslim Banten,” El-Harakah Vol. 16 No. 1 Tahun 2014: h. 74. 18
Pra Islam di sini merupakan kategorisasi dari peneliti. Pra maksudnya, agama yang
dianut masyarakat Kasepuhan dari sisa-sisa keturunan Pancer Pangawinan yaitu kerajaan Sunda,
yaitu keturunan Prabu Siliwangi. Bahkan sejarah mencatat bahwa Prabu Siliwangi merupakan
pemeluk agama Islam. Oleh sebab itulah, sampai saat ini mayoritas incu putu masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek pemeluk agama Islam. Akan tetapi, dalam bentuk praktik
keagamaannya termasuk Islam Sunda Wiwitan, yaitu mencampurkan antar budaya dan agama.
Selain itu, dari segi pembacaan ayat-ayat suci al-Qur‟annya pun tidak sesuai dengan teks Arab (al-
Qur‟an), contohnya adalah “Bismillahirakmanhirakim” dan “Akaduhalah laailaah hilowlah
wastaduana mukamad rasululah”. Wawancara dengan tokoh Adat Kasepuhan Wewengkon Desa
Citorek Barat, Olot Umar pada tanggal 20 April 2017. 19
Sawah tangtu merupakan sawah komunal adat Kasepuhan Citorek. Penggarapan sawah
tangtu ini dilakukan oleh masyarakat adat yang digerakan oleh Jaro Adat melalui Kepala Desa
untuk bergotong royong dan hasilnya dipergunakan untuk kegiatan atau kebutuhan adat. Sebelum
dimulainya penggarapan sawah dilakukan musyawarah Kasepuhan mengenai waktu yang tepat
untuk mulai asup leuweung (penggarapan sawah dan huma, berkbun atau bercocok tanam
lainnya). Musyawarah Asup leuweung tersebut satu paket dengan seren tahun. Setelah selesai
pengolahan sawah tangtu, masyarakat baru mulai menggarap sawahnya masing-masing. Lihat,
Mulyadi Sugiansar, “Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek,” artikel diakses pada 6 Mei 2017
pukul 06.00 WIB dari http://pancercitorek.blogspot.co.id/2013/01/wewengkon-adat-kasepuhan-
citorek.html 20
Mantra (jangjawokan) berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata,
yaitu kata „man‟ yang berarti pikiran dan „tra‟ yang bermakna penyampaian. Mantra dapat
diartikan sebagai media penyampaian formula-formula mental ke dalam pikiran. Namun, dalam
praktikkanya jangjawokan atau pun mantra dapat dipergunakan dalam bentuk positif maupun
negatif. Lihat, Ayatullah Humaeni, “Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib Dalam Mantra
Masyarakat Muslim Banten”, el Harakah Volume 16, Nomor 1 Tahun 2014: h. 57-58. 21
Sepaheun merupakan berupa menu untuk menyepah yang terdiri dari daun sirih
(sereuh), biji pinang, gambir, bako, dan kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih
(dicampur dengan gambir, kapulaga (panglai), dan cengkih) yang mereka anggap berupa jimat
ketika hendak melakukan prosesi upacara tradisi adat Kasepuhan maupun hajat tertentu secara
khusus. Wawancara dengan tokoh adat Kasepuhan Wewengkon Adat Kasepuhan Desa Citorek
Tengah, Olot Sariman pada tanggal tanggal 19 April 2017.
7
bacaan al-Qur‟an. Pada masa ini disebut pasca Islam, karena tokoh agama
mereformasi bacaan-bacaan al-Qur‟an yang tidak sesuai dengan teks yang ada di
lingkungan masyarakat Kasepuhan.
Oleh karenanya, hadir pemahaman baru mengenai jimat yang diambil dan
diramu dari ayat-ayat al-Qur‟an hingga menjadi sebuah jimat. Paham ini
disebarluaskan oleh santri dan tokoh agama ketika mereka mendapatkan dari luar
Wewengkon Kasepuhan. Sebagian masyarakat Kasepuhan yang berjumlah
1675.495 jiwa22
menggunakan jimat al-Qur‟an sebagai dasar kesuksesan dalam
perdagangan, kekebalan, karismatik yang tinggi, keselamatan, penyembuhan
penyakit, maupun pengasihan. Praktik magis23
yang mereka lakukan bersifat
budaya sinkretik, mengkombinasikan antara unsur-unsur kepercayaan lokal dan
tradisi.24
Keyakinan tersebut sudah mendarah daging khususnya masyarakat Adat
Wewngkon Kasepuhan Lebak Banten dan umumnya di sekitar wilayah
masyarakat Provinsi Banten.25
22
Jumlah tersebut sudah dihitung dengan teliti dan hati-hati oleh penulis, karena
masyarakat adat kasepuhan Citorek Lebak Banten terdiri dari lima Desa, Citorek Tengah, Citorek
Barat, Citorek Timur, Citorek Sabrang, dan Citorek Kidul. Lihat, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lebak-Banten, Kecamatan Cibeber Dalam Rangka Cibeber District In Figures 2014: Kondisi
Geografis dan Iklim, diakses pada 15 September 2016 dari www.lebakkab.go_.id-media-doc-post-
cibeber-2014. 23
Menurut Frazer, awal-mula manusia mempercayai pada kekuatan magis disebabkan
oleh manusia sendiri. Dalam setiap memecahkan masalah atau soal-soal hidupnya dengan akal dan
sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan ada batasnya. Makin terbelakang
kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Persoalan hidup yang tidak dapat
dipecahkan dengan akal, maka manusia memecahkannya dengan magis (supranatural). Lihat,
Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi I (Jakarta: UI Press, 2007), h. 54. 24
Ayatullah Humaeni, “Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib Dalam Mantra Masyarakat
Muslim Banten,” El-Harakah Vol. 16 No. 1 Tahun 2014: h. 61. 25
Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 64. Dikiutp
dari Harsja W. Bachtiar, The Religion of Java: a Commentary, in Readings on Islam in Southeast
Asia, compiled by Ahmad Ibrahim (Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), h.
280.
8
Bahkan menurut orientalis asal Belanda, Van Bruinessen,26
Provinsi
Banten termasuk salah satu pusat kebudayaan yang mempraktikan teori-teori
magis (The centre of magical practices) atau ngelmu/ijazah27
yang diajarkan
langsung oleh sang kyai (ahli hikmah), baik di pesantren maupun di padepokan.28
Dalam kehidupan sehari-harinya, penulis melihat praktik-praktik yang
dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten berusaha
dalam menghidupkan pesan al-Qur‟an melalui media berbentuk jimat. Semua
aspek kehidupannya menyandarkan kepada kekuatan jimat. Bahkan apabila tradisi
dan kebudayaan demikian dipahami, diyakini, dan dipraktikan sebagai salah satu
sebab yang dapat memberikan pengaruh yang luar biasa, bukan sebaliknya, jimat
digunakan sebatas media untuk mencapai sebuah tujuan maka hal itu tidak sesuai
dengan pesan etik yang ada dalam al-Qur‟an.29
Praktik magis jimat yang dilakukan masyarakat Kasepuhan pada al-
Qur‟an, menurut peneliti ada kesesuaian dengan pendapat Farid Esack mengenai
tipologi Muslim yang mencintai al-Qur‟an, tetapi tidak dibarengi dengan nalar
kritis (The uncritical lover). Biasanya tipologi seperti ini menggunakan ayat-ayat
26
“Martin van Bruinessen,” merupakan orientalis dan guru besar Studi Kurdi Universitas
Utrecht, Belanda yang ahli dalam bidang sosiologi, selain itu ia sebagai peneliti muda tentang
Islam di Indonesia. bahkan dia seorang Dosen sosiologi agama di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Artikel diakses pada 27 Agustus 2016 dari https//id.wikipedia.org 27
Ijazah artinya seorang santri meminta restu dan ridha kepada sang kiyai untuk ngelmu
atau berpuasa tertentu. Wawancara dengan Yahya Nulkarim, santri dari Citorek Barat Lebak-
Banten, Agustus 2016. 28
Martin Van Bruinessen, “Shari‟a Court, Traekat and Pesantren: Relegious Institution in
The Banten Sultanate,” In Archipel, Volume 50, Tahun 1995: h. 173. 29
Suwito, ed., Kajian Tematik Al-Qur‟ans Tentang Konstruksi Sosial, h. 72-73.
9
tertentu sebagai pengobatan, penyemangat hidup, penghindar dari serangan orang-
orang yang mempunyai niat jahat, dan lain-lain.30
Dari pendapat al-Ghazali dan upaya penghidupan al-Qur‟an yang
dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam bentuk
jimat mempunyai sisi kesamaan, yaitu memaknai lafaẓ al-Qur‟an tidak sebatas
petunjuk, melainkan memiliki kekuatan magis. Akan tetapi, ketika mempraktikan
ritul magis itu harus berdasarkan ijazah kyai atau ahli hikmah.31
Kepercayaan masyarakat pada lafaẓ al-Qur‟an mempunyai aspek-aspek
ruhaniah (inhern/esoterik) yang diungkapkan melalui yang terindra, yaitu jimat al-
Qur‟an dan huruf-huruf hijāiyyah. Hal ini sesuai dengan ungkapan para Sufistik
ketika mereka mengilustrasikannya dengan benda, sebagaimana yang mereka
katakan, “Wa fī kulli syas‟in lahu syāhidun Yadullu „alā annahu wāhidun” (Dalam
segala sesuatu ada saksi untuk-Nya, yang menunjuk pada kenyataan bahwa Dia
(Allah) itu Esa).32
Beranjak dari fenomena yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Lebak Banten di atas, menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut
karena praktik yang mereka lakukan berupaya menghidupkan nilai-nilai al-Qur‟an
berbentuk jimat. Maka dari itu, masalah ini diangkat dalam sebuah penelitian yang
30
Farid Esack, The Qur‟an: a Short Introduction, (London: Oneworld Publication, 2002),
h. 16. 31
Wawancara dengan pimpinan pondok pesantren salafi Misbahul Falah, kyai Badrudin
Citorek Timur Lebak-Banten, Desember 2016. 32
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam Secara
Fenomenologis penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997), cet. Ke-3, h. 22-23.
10
berjudul “Al-Qur’an dan Jimat (Studi Living Qur’an pada Masyarakat Adat
Wewengkon Lebak Banten).”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Kajian mengenai fenomena jimat yang dipraktikkan masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten termasuk kajian Living Qur‟an, karena
menguraikan permasalahan-permasalahan al-Qur‟an yang dipersepsi tidak hanya
sebatas petunjuk, pahala, pengetahuan dan hikmah, melainkan lafaẓ yang
mengandung kekuatan magis dan sisi esoterik (inhern). Kemudian lafaẓ-lafaẓ al-
Qur‟an diramu (mengolah kekuatan magis) menjadi sebuah jimat yang utuh,
sehingga dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara
pragmatis.
Praktik-praktik memfungsikan jimat dalam kehidupan sehari-hari,
disinyalir menjadi penyebab jalan pragmatis masyarakat dalam menyelesaikan
berbagai masalah. Sehingga, menimbulkan banyak pemahaman masyarakat atas
pengaruh dan mafaat dari jimat sendiri. Jimat dipahami sebagai bagian dari usaha
masyarakat untuk memperoleh kesuksesan dalam menyelesaikan pelbagai
masalah. Masyarakat menjadikan jimat sebagai pegangan hidup, keselamatan,
keberkahan, kekebalan, penyembuhan, kewibawaan yang tinggi di setiap mata
manusia, pengasihan, penglaris dalam perdagangan dan lain sebagainya. Hal itu
tergantung dari sudut mana masyarakat memandang jimat sesuai dengan
kebutuhan (hajat) mereka masing-masing.
11
2. Pembatasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian jimat ini sangat luas, sehingga penulis
membatasi pada sisi praktik masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak
Banten secara emic,33
yaitu perspektif mereka masing-masing ketika
menggunakan jimat sebagai dasar dan pegangan hidup masyarakat dalam
memperoleh kekuatan magis. Baik jimat yang bersifat lokal seperti sepaheun,
sawah tangtu, jangjawokan maupun jimat yang berasal dari kyai dan santri, yaitu
jimat al-Qur‟an.
Jimat wafaq, rajah, isim dan hizib adalah empat kata yang sangat populer
dalam ilmu magis yang diajarkan para kyai. Akan tetapi, jimat yang menjadi
bagian dari concern penelitian ini adalah jimat wafaq. Pembatasan ini dilakukan
guna menjadikan penelitian lebih sistematis dan terarah atas praktik jimat yang
dilakukan masyarakat Kasepuhan. Selain itu guna penelitian ini tidak melebar,
maka peneliti sangat membutuhkan terhadap pokok permasalahan.
3. Perumusan Masalah
Adapun pokok masalah yang akan dijadikan acuan peneliti dalam
penelitian ini adalah bagaimana masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak
Banten menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat?
33
Emic approach is investigates how local people think. Emic from within the social
group (from the perspective of the subject). Diakses pada 28 September 2017dari
https://en.wikipedia.org/wiki/Emic_and_etic#Definitions
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan menguraikan:
1. Menjelaskan praktik masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak
Banten dalam menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat.
2. Mengetahui sejarah jimat di wilayah masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Lebak Banten.
3. Menguraikan pemahaman masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
terhadap jimat.
4. Menjelaskan manfaat jimat bagi kehidupan sosial masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
Adapun kegunaan/manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi praktik magis dalam bentuk Living Qur‟an pada
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
2. Memberikan landasan doktrin terhadap masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Lebak Banten dalam penggunaan jimat.
3. Memberikan alternatif baru dalam penelitian tafsir yang sebelumnya
concern pada penelitian literatur (teks/lafaz al-Qur‟an), dan
4. Memberikan tradisi keilmuan khususnya kajian kultural dan agama pada
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
13
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian yang bersinggungan dengan tema ini memang masih belum banyak
dilakukan, yaitu tentang Living Qur‟an atau kajian al-Qur‟an yang menggunakan
pendekatan antropologi, social scientific approaches. Akan tetapi, melihat dari
penelitian-penelitian sebelumnya, sampai saat ini penulis belum menemukan
penelitian secara spesifik yang mengarah pada Living Qur‟an yang dilakukan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
Adapun dari pembahasan-pembahasan terdahulu, penulis mendapatkan
banyak informasi yang bisa dijadikan dasar pijakan dan rekomendasi.
Berdasarkan turunan tema yang diangkat dalam kajian ini, ditemukan beberpa
referensi baik berupa journal, buku maupun tesis yang dapat dimanfaatkan sebagai
perbandingan dan tambahan informasi, di antaranya:
1. Hamam Faizin menulis, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an Upaya
Pengembangan Kajian al-Qur‟an Melalui Living Qur‟an” dalam
penelitiannya, ia menitikberatkan bahwa kajian al-Qur‟an tidak hanya
sebatas pada kajian teks saja, melainkan harus pada kajian antropologis
dan sosiologis, supaya kajian tafsir dapat berkembang secara praktik,
bukan malah sebaliknya, monoton.34
34
Haman Faizin, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an Upaya Pengembangan Kajian al-
Qur‟an Melalui Living Qur‟an” dalam Suhuf, Vol. 4, No, 1, (2011): h. 38.
14
2. Muhamad Ali, 35
“Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living
Hadis.” Ia merupakan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai Associate Professor, Religious Studies
Departement University of California. Muhamad Ali membandingkan
beberapa metode yang dilakukan mufassir kontemporer pada kajian
naskah dan praktikal, yaitu Living Qur‟an dan Living Hadis. Awalnya, ia
menjelaskan observer Barat, sarjana Muslim, hingga menguraikan
masyarakat Muslim Indonesia.
3. Ayatullah Humaeni,36
“Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib Dalam
Mantra Masyarakat Muslim Banten.” Dalam penelitiannya, ia
menjelaskan kepercayaan masyarakat Muslim Banten terhadap mantra
yang mempunyai kekuatan gaib dan dapat digunakan secara pragmatis
dalam kehidupan sehari-hari, seperti kekebalan tubuh, kharismatik, dan
penangkal dari gangguan setan.
4. Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Kajian al-
Qur‟an (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Sroj al-Hasan Desa
Kalimukti Kec. Pebedilan Kab. Cirebon).” Dalam penelitiannya, ia
menjelaskan mainstream kajian al-Qur‟an yang berkutat pada tafsir yang
dihasilkan para sarjana Muslim. Padahal, umat Muslim mafhum bahwa al-
Qur‟an tidak terbatas pada teks saja, akan tetapi ada konteks yang
35
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadis” dalam
Journal of Qur‟an and Hadis Studies-Vol. 4, No, 2, (2005): h. 148. 36
Ayatullah Humaeni, “Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib Dalam Mantra Masyarakat
Muslim Banten,” El-Harakah Vol. 16 No. 1 Tahun 2014: h. 61.
15
melingkupinya. Dengan demikian, penjelasan terhadap al-Qur‟an dapat
dijelaskan dari sisi tindakan, seperti perilaku masyarakat yang merespon
kehadiran al-Qur‟an sesuai dengan tingkat pemahaman mereka masing-
masing.37
Dalam bentuk buku, penulis menemukan beberapa judul atau tema relevan
dengan praktik masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten
dalam mempersepsi dan meyakini al-Qur‟an sebagai benda yang bertuah, yaitu;
1. Farid Esack “The Qur‟an: a Short Introduction” dan Bruce Lawrence “The
Qur‟an: A Biography,” Chairunnisa Ahsana AS, “Pesona Azimat: Antara
Tradisi dan Agama,” dan Apipudin, “Al-Qur‟an Sebagai Penyembuh
Penyakit (Analisis Kitab Khazīnat al-Asrār Karya Muhammad Haqqi al-
Nāzilī 1993),” karena dari mulai teori maupun praktik dalam Living
Qur‟an keempat tokoh tersebut menjelaskan secara eksplisit.
Bahkan, Farid Esack menegaskan bahwa al-Qur‟an mampu memenuhi
banyak fungsi dalam kehidupan umat Muslim, al-Qur‟an fulfills many of
function in lives of muslims.38
Selain itu, dalam penelitiannya Esack
memetakan tipologi umat Muslim dalam memaknai al-Qur‟an. Pertama,
umat Muslim yang mencintai al-Qur‟an, tetapi tidak dibarengi dengan
nalar kritis (The uncritical lover). Biasanya tipologi seperti ini
menggunakan ayat-ayat al-Qur‟an sebagai pengobatan, penyemangat
37
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren As-Sroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pebedilan Kab. Cirebon),”
dalam Journal of Qur‟an and Hadis Studies-Vol. 4, No, 2, Tahun 2015: h. 180-181. 38
Farid Esack, The Qur‟an: a Short Introduction, (London: Oneworld Publication, 2002),
h. 16.
16
hidup, penghindar dari serangan orang-orang yang mempunyai niat jahat,
dan lain sebagainya.
Kedua, umat Muslim memaknai al-Qur‟an sebagai penelitian ilmiah (The
Scholary lover), dalam kategori ini, mereka memaknai al-Qur‟an sebagai
kekasih, akan tetapi dibarengi dengan rasio. Ketiga, umat Muslim yang
memaknai al-Qur‟an dengan kajian kritis (The critical lover), kategori ini
merupakan sang pencinta yang kritis dan memposisikan al-Qur‟an tidak
sekedar teks yang sempurna tanpa cela, akan tetapi menjadikannya sebagai
objek kajian yang sangat menarik. Kategori the critical lover
menggunakan perangkat ilmiah modern dalam menafsirkan al-Qur‟an,
seperti hermeneutika, linguistik, antropologi, sosiologi, psikologi, bahkan
filsafat sebagai metode analisisnya.
2. Bruce Lawrence, “The Qur‟an: A Biography” ia menuliskan pengalaman
beberapa tokoh dalam memahami Al-Qur'an. Tokoh-tokoh tersebut adalah
mulai dari Rasulullah Saw. Ja‟far Sadiq, Ibnu Jarīr at-Thābarī, Robert of
Ketton (penerjemah al-Qur'an paling awal), Ibn „Arabī, Jalaluddīn al-
Rumi, Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, W.D. Muhammad, Usamah bin
Laden dan Muhammad Zuhri.
Penejelasan Lawrence yang menarik dan relevan dengan kajian Living
Qur'an ketika ia menjelaskan pembahasan tokoh Muhammad Zuhri,
dimana tokoh sufi revolusioner ini menggunakan ayat-ayat al-Qur'an,
17
seperti Surah al-Fātiḫah dan Asmaul Husna digunakan untuk
menyembuhkan (shifā‟) penyakit HIV/AIDS maupun fisik dan psikologi.39
3. Chairunnisa Ahsana AS, “Pesona Azimat: Antara Tradisi dan Agama”.
Tesis ini menjelaskan perjalanan sejarah azimat yang diyakini oleh
masyarakat Sremabi Mekkah, Aceh. Dalam metodenya, ia menggunakan
beberapa pendekatan, seperti historis, sosiologis, antropologis, dan
arkeologis. Berkenaan dengan penelitian naskah, penelitian ini
memfokuskan pendekatannya menggunakan filologis.40
4. Apipudin, “Al-Qur‟an Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab
Khazīnat al-Asrār Karya Muhammad Haqqi al-Nāzilī 1993)”. Ia
menjelaskan penelitian terhadap al-Qur‟an sebagai shifā‟ dari penyakit
fisik maupun psikis. Metode yang ia gunakan adalah metode penelitian
literatur, yaitu mengumpulkan data dan informasi berupa buku, artikel-
artikel, dan journal.41
Adapun dalam bentuk tesis, penulis menemukan dua penelitain
bersinggungan dengan praktik masyarakat yang berusaha menghidupkan al-
Qur‟an dalam bentuk yang berbeda-beda. Pertama, Abdul Gafur menulis “Al-
Qur‟an dan Budaya Magi (Studi Antropologis Komunitas Keraton Yogyakarta
39
Bruce Lawrence, The Qur‟an: A Biography, terjemahan Aditya Hadi Pratama
(Bandung: Atlantic Books, 2006), h. 145-146. 40
Awalnya buku ini merupakan sebuah Tesis yang bimbing oleh Oman Fathurahman,
kemudian dijadikan sebuah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Aura Semesta. Lihat, Chairunnisa
Ahsana AS, Pesona Azimat: Antara Tradisi dan Agama, (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014),
h. 10-11. 41
Awalnya buku ini merupakan sebuah Tesis yang bimbing oleh Ahmad Thib Raya,
kemudian dijadikan sebuah buku yang diterbitkan oleh Young Progressive Muslim. Lihat,
Apipudin, Al-Qur‟an Sebagai Penyembuh Penyakit, h. 18.
18
dalam Memaknai al-Qur‟an dengan Budaya Magi)”. Dalam penelitian ini, ia
mempusatkan perhatiannya pada praktik masyarakat dalam menggunakan al-
Qur‟an dengan perangkat budaya magi yang digunakan oleh komunitas Keraton
Yogyakarta.42
Kedua, Baytul Muktadin, “Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an Untuk
Pengobatan Penyakit Jiwa (Studi Living Qur‟an di Desa Kalisabuk Kesugihan
Cilacap Jawa Tengah).” Ia menjelaskan penyakit jiwa yang dapat disembuhkan
melalui terpai dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Selain itu, dalam penelitian tingkat
Magister yang dipromosikan pada tahun 2015 ini menjelaskan beberapa makna
penggunaan ayat-ayat al-Qur‟an untuk pengobatan penyakit jiwa.43
Untuk itu, penulis berupaya memanfaatkan teori maupun rekomendasi dari
peneliti di atas, khususnya pendekatan antropologis dan ethnograpis, social
scientific approaches. Adapun pembeda dari penelitian sebelumnya, lokasi
penelitian maupun kasus yang diangangkat penulis bebrbeda dengan penelitian
sebelumnya. Selain itu, penelitian ini concern pada be a living qur‟an masyarakat
Adat Wewengkon Lebak Banten dalam mengadopsi al-Qur‟an menjadi sebuah
jimat wafaq.
Selain itu, penulis memandang kasus yang dilakukan masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten tepat untuk diteliti, karena praktik-
42
Abdul Gafur, “Al-Qur‟an dan Budaya Magi (Studi Antropologis Komunitas Keraton
Yogyakarta dalam Memaknai al-Qur‟an dengan Budaya Magi),” (Tesis S2 Program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007), h. 7. 43
Baytul Muktadin, “Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an Untuk Pengobatan Penyakit Jiwa
(Studi Living Qur‟an di Desa Kalisabuk Kesugihan Cilacap Jawa Tengah),” (Tesis S2 Program
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 48 dan 65.
19
praktik yang mereka lakukan berusaha menghidupkan al-Qur‟an yang dijadikan
sebagai produk jimat, sehingga mereka gunakan sebagai pegangan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti kelancaran dalam berdagang, kekebalan tubuh,
pengasihan, maupun karismatik.
Selain itu, khususnya wilayah masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Lebak dan umumnya daerah Provinsi Banten masuk dalam kategori pusat
kebudayaan yang mempraktikan teori-teori magis. Hal ini sebagaimana pernah
dikatakan orientalis yang berkebangsaan Belanda, Martin Van Bruinessen, Banten
is the centre of magical practices.
E. Metode Penelitian
Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekati masalah dan mencari jawaban dari masalah.44
Metode termasuk
langkah awal yang digunakan penulis ketika hendak melakukan penelitian,
sehingga akan memberikan warna atau corak yang berbeda dan mengarahkan
sebuah penelitian lebih sistematis. Adapun metode yang digunakan dalam kajian
al-Qur‟an penelitian ini termasuk kajian Living Qur‟an45
yang bersifat kajian
44
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010), h. 145-146. 45
Living Qur‟an merupakan gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living yang
berarti hidup, sedangkan Qur‟an adalah kitab yang dijadikan pedoman atau sumber umat Islam.
Lihat, Sahiron Syamsuddin, ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta:
TH-Press, 2007), h. xiv-5. Living Qur‟an pada hakikatnya bermula dari fenomena Qur‟an in
Everyday life, yakni makna dan fungsi al-Qur‟an yang riil dan dialami dalam kehidupan
masyarakat Muslim. Lihat, Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian
al-Qur‟an (Studi Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan
Kab. Cirebon)” Journal of Qur‟an and Hadis Stidies Volume 4, No. 2, 2015: h. 177. Kajian
Living Qur‟an (dan Living Hadis) artinya mengkaji al-Qur‟an dan/atau hadis sebagai teks-teks
yang hidup, bukan teks-teks yang mati. Pendekatan Living Qur‟an ini menekankan pada aspek
fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk dan rahmat bagi manusia dan orang-orang yang beriman, tapi
20
kultural (everyday life of the Qur‟an atau al-Qur‟an hidup dalam tatanan praktis
masyarakat) ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan metode
etnografi. Metode ini menurut James P. Spradley, ilmu yang mempelajari tentang
budaya dan bertujuan untuk memahami cara-cara kehidupan lain dari sudut
pandang masyarakat sendiri.46
Teori etnogtrafi James P. Spradley digunakan
mulai dari memilih lokasi penelitian sampai pada tingkat penulisan. Akan tetapi,
dalam tataran analisisnya, praktik yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Lebak dalam menggunakan jimat hanya sebatas pada tataran etnografi
deskriptif, bukan analisis.47
Adapun etnografi48
yang bersifat deskriptif kualitatif, yang mana proses
kerjanya mengkonstruksi realitas sosial hingga mengeksplorasi praktik
ini juga bisa memasukkan peranan al-Qur‟an dan hadis dalam berbagai kepentingan dan konteks
kehidupan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Kajian Living Qur‟an yang
berorientasi akademis ilmiah, tidak terlalu memperhatikan perdebatan otentisitas al-Qur‟an,
perdebatan perbedaan metode, kaidah, dan produk tafsir zaman klasik, pertengahan, dan modern,
dan perdebatan pemaksaan atau bukan pemaksaan. Living Qur‟an dalam corak ini menunjukkan
bahwa setiap penafsiran atau pemahaman terhadap al-Qur‟an benar menurut manusia
pemahamnya. Kajian ini lebih memfokuskan pada peran praktis al-Qur‟an dalam pemahaman,
sikap, perilaku, aktifitas manusia sebagai individu ataupun masyarakat, terlepas apakah
pemahaman, sikap, perilaku, dan aktifitas itu berdasarkan pengetahuan akan kaidah tafsir ataupun
tidak sama sekali. Lihat, Muhammad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living
Hadis” Volume 4, Nomor 2, Tahun 2015: h. 152-153. 46
James P. Spradley, The Ethnographic Interview (United States of America: Waveland
Press, 2016), 9-10. 47
James P. Spradley, Participant Observation (United States of America: Waveland
Press, 2016), h. 34. 48
Menurut Lexy J. Moleong, etnografi atau pun Ethnometodologi adalah penelitian
ethnografi yang berupaya memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan, dan
menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Lihat, Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif,
h. 25. Istilah etnografi berasal dari kata ethno (bahasa) dan graphy (menguraikan). Etnografi yang
akarnya antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang
21
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan ketika prosesi mengaktualisasikan jimat
pada kehidupan praktis dengan pernyataan-pernyataan yang tidak harus
dibuktikan secara nyata.49
Selain bersifat deskriptif kualitatif, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan antropologis,50
karena berusaha memotret apa adanya tentang
dimensi-dimensi kepercayaan, keyakinan, ritual dan tradisi secara holistik yang
ada di masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data
utama dan data pendukung. Adapun data utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kata-kata atau pemahaman, sikap tindakan, dan perilaku yang dilakukan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam
menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat yang dipraktikkn guna sebagai pengobatan,
kekebalan, pengasihan, karismatik, keselamatan dan lain sebagainya.
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten terdiri
dari 5 Desa, di antaranya Desa Citorek Timur, Desa Citorek Barat, Desa Citorek
Tengah, Desa Citorek Sabrang, dan Desa Citorek Kidul yang kesemuanya
dijadikan populasi dan sampel. Adapun populasi yang digunakan, seluruh
berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Lihat, Deddy
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 161. 49
Metode kulitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lihat, Lexy J. Moleong,
Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosda Karya, 2007), h. 4. 50
Pendekatan Antropologi merupakan pendekatan yang concern pada praktik-praktik
sosial baik berupa tradisi, pertanian, kekeluargaan dan politik, magis dan pengobatan. Lihat, Peter
Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKis, 2002), h. 34.
22
penduduk yang tinggal di wilayah Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
Sedangkan teknik dalam pengambilan sampel dengan cara snowball sampling,
dimana sampel diperoleh melalui proses bergulir dari satu responden ke
responden yang lain.
Alasan peneliti mengambil masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Lebak Banten sebagai objek penelitian, karena bentuk keagamaannya masih
kental dengan tradisi adat lokal yang mengintegrasikan dengan agama. Selain itu,
masyarakat sudah mempraktikkan jimat sejak pra Islam, maksudnya lafal
syahadat maupun basmallah tidak seperti pada umumnya, melainkan pelafalannya
bercampur baur dengan bahasa Sunda. Di samping itu, penulis memilih lokasi ini
karena berdomisili di Provinsi Banten Kabupaten Lebak tepatnya di wilayah Adat
Wewngkon Kasepuhan Desa Citorek Tengah.
Sedangkan data pendukung, penulis mengumpulkan berupa data-data
dokumen seperti journal, photo, laporan penelitian, maupun buku-buku yang
menggambarkan sebuah teks al-Qur‟an yang mengejawantahkan menjadi praktik
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten sesuai dengan
pemahaman mereka masing-masing.
3. Tenik Pengumpulan Data
Langkah selanjutnya, agar mendapatkan data-data yang valid dan
berkualitas, maka peneliti menggunakan beberapa teknik dalam pengumpulan data
dengan macam cara:
a. Pengamatan (Observation)
23
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks atau proses yang
tersusun dari pelbagi proses bilogis dan psikologis. Adapun pengamatan yang
dilakukan peneliti adalah untuk memhami situasi-situasi praktik masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam mempersepsi al-Qur‟an yang
diadopsi menjadi sebuah jimat.
Dengan demikian, jika suatu data yang diperoleh kurang meyakinkan,
maka peneliti menanyakan kembali kepada pihak subjek (konfirmasi data), yaitu
pada masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten. Dalam penelitian
ini penulis berperanserata secara lengkap, yaitu menjadi anggota penuh dari
kelompok masayrakat Adat Wewengkon Kasepuhan51
atau dapat disebut juga
dengan observasi partisipan (participant observation), yaitu pengamatan yang
dilakukan terhadap objek di tempat berlangsungnya peristiwa terjadi, sehingga
observer ikut serta dengan objek yang ditelitinya secara berlangsung.52
b. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan cara pengumpulan data yang berdasarkan pada
laporan tentang diri sendiri atau self-report,53
yaitu percakapan yang dilakukan
oleh dua pihak, pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.54
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara terstruktur dan wawancara
51
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 176. 52
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1983), h. 100-101. 53
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2011), cet. Ke-14, h. 138. 54
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 186.
24
tidak terstruktur. Penulis melakukan wawancara terstruktur dengan bertanya
jawab secara langsung dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan
sesuai dengan tujuan penelitian.
Adapun sumber yang penulis wawancarai adalah tokoh politik
(jaro/kepala Desa), tokoh agama, tokoh pendekar/jawara, tokoh adat, pedagang
dan masyarakat biasa yang menggunakan lafaẓ al-Qur‟an yang dijadikan jimat
atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari (teteungeur hate). Mereka berasumsi
bahwa jimat dapat digunakan sebagai penangkal dari roh jahat atau orang yang
hendak mendengki melalui ilmu halus (ilmu hitam), sebagai
pangabaran/karismatik, sebagai pengasihan, sebagai obat (syifā‟) sebagai
kekebalan tubuh, dan sebagai kesuksesan dalam kehidupan di dunia maupun
diakhirat nanti.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik pengolahan data, yaitu mengumpulkan data-data,
memilah-milah data, kemudian mengklasifikasikan serta berpikir dengan jalan
membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum (inductive
logic).55
Adapun setelah data-data itu terkumpul, penulis melakukan catatan-
catatan dan kategorisasi dari hasil wawancara maupun observasi pada
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam mempraktikkan
jimat al-Qur‟an.
55
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 248.
25
Kemudian penulis melakukan penafsiran terhadap data-data dengan
menggunakan deskripsi semata-mata dan deskripsi analitik.56
Tujuan deskripsi
semata-mata, yaitu analis menafsirkan data-data tersebut dengan jalan
menemukan kategori-kategori (calsses) dalam data. Atas dasar inilah, penulis
menyusunnya dengan jalan menghubungkan kategori-kategorinya ke dalam
kerangka sistem kategori yang diperoleh dari data itu sendiri.
Sedangkan deskripsi analitik, menganalisis data yang telah
dideskripsikan semata-mata hingga membangun dan mengembangkan dari
kategori-kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau
yang muncul dari data yang sudah terkumpul.57
Oleh karena itu, dalam konteks penelitian al-Qur‟an dan jimat, penulis
menguraikan beberapa data yang sudah terkumpul dari hasil berupa obeservasi,
wawancara, gambar maupun pustaka. Kemudian mengkategorisasi pemahaman
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten dalam menggunakan
jimat al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari.
5. Teknik Penulisan
Adapun cara penulisan penelitian ini, mengacu pada pedoman penulisan
tesis dalam bentuk buku “Pedoman Akademik Program Magister Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”58
yang
56
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 257. 57
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 278. 58
M. Ikhsan Tanggok, Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012 (Jakarta: Program Magister
Fakultas Ushuluddin, 2012), h. 71-84.
26
dipertanggungjawabkan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yaitu
Prof. Dr. Masri Mansoer, MA dkk. Sedangkan transliterasi mengacu pada
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 158 Tahun 1978 dan No. 0543 Tahun 1978.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini secara sistematis akan diuraikan dalam bentuk lima bab,
yang terdiri dari:
BAB Pertama, secara keseluruhan berisi pendahuluan penelitian
merupakan penjelasan-penjelasan yang erat hubungannya dengan dasar
pemikiran dalam penelitian ini, memuat dari latar belakang, mengklasifikasikan
beberapa permasalahan; identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan rumusan
masalah. Kemudian, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB Kedua, berisi tentang al-Qur‟an yang hidup di masyarakat. Pada
bagian ini, al-Qur‟an dijadikan sebuah tradisi masyarakat baik yang berkaitan
dengan seputar magis seperti jimat, pengobatan, dan debus maupun kegitan
tradisi: Rebo Wekasan, memperingati empat bulan dan tujuh bulan ketika masa
kehamilan atau tingkeban. Di mana pada kegitan itu sering ditemukan lantunan
ayat-ayat al-Qur‟an baik secara oral maupun tekstual. Pada tradisi demikian,
agama dan kepercayaan masyarakat mengisi satu sama lain (akulturasi),
sehingga menjadi sebuah keharusan.
27
BAB Ketiga, berisi tentang sejarah jimat masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Pada bab ini menggambarkan sosial
kemasyarakatan Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten seperti
tradisi Kasepuhan sehari-hari, budaya adat Kasepuhan dan agama serta tradisi
keseharian anak-anak. Selain itu, jimat berkembang melalui pondok pesantren
tradisional dan adat Kasepuhan. Tatanan kehidupan dan filosofi hidup tentang
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan turut mewarnai. Dalam sub bab ini
juga berisi bagaimana masyarakat umum, tokoh Kasepuhan dan tokoh agama
memandang jimat.
BAB Keempat, merupakan inti dari pembahasan Living Qur‟an di
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Pada bab ini
menguraikan praktik dan implikasi jimat terhadap kehidupan masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Selain itu, sub bab ini
menguraikan ayat-ayat al-Qur‟an yang ditafsirkan secara konvensional oleh
masyarakat dan mengkonfirmasi kembali bagaimana pandangan para mufassir
mengenai ayat-ayat jimat.
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan meyakini atas pemahaman
yang mereka lakukan dapat dijadikan sebagai penglaris dalam perdagangan,
pangabaran atau karismatik yang tinggi di hadapan semua manusia, pengasihan,
mengebalkan tubuh, dan jembar rezeki, keselamatan dalam hidup dan lain
sebagainya.
28
BAB Kelima, penutup. Bagian ini merupakan kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan hasil dari keseluruhan data, kemudian ditarik menjadi
sebuah jawaban dari rumusan masalah. Adapun saran berisi rekomendasi guna
memberikan informasi pada peneliti selanjutnya dan masyarakat Wewengkon
Kasepuhan Lebak Banten.
29
BAB II
LIVING QUR’AN DAN JIMAT
Fenomena penghidupan al-Qur‟an dalam masyarakat Muslim sangatlah
beragam modeling yang berbeda-beda. Al-Qur‟an dapat digunakan sebagai
pengobatan, jimat (praktik magis), jembar rezeki, ketenangan hati, dan lain
sebagainya. Hal ini tergantung pada latar belakang sosial-kultural suatu wilayah.1
A. Living Qur’an
Secara kontekstual, al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur dengan
dua fase, yaitu fase makkiyyah dan fase madaniyyah. Kitab al-Furqān itu sebagai
jawaban umat ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Ini terlihat jelas ketika
umat Islam (ṣaḫabat) terganggu konsentrasinya mengenai makna orang-orang
yang mencampuradukan antara iman dan aniaya (ẓhulm) tidak akan memperoleh
keimanan dan petunjuk Allah.2
Mereka menafsirkan bahwa keimanan mereka seakan-akan percuma
karena tidak akan terbebas dari azab padahal mereka percaya bahwa tak seorang
pun dari mereka yang tidak pernah melakukan aniaya atau kezaliman. Setelah
nabi Muhammad Saw. menyampaikan penafsiran tentang kata ẓhulm pada ayat di
atas merupakan perbuatan syirik (tindakan menyekutukan Allah) dengan
1 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an; Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an,
terjemahan Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta, LKis, 2005), h. v. 2 Lihat Qs. Al-An‟ām: 82
30
mengutip ayat 13 Surat Luqman, mereka pun merasakan tenang dan puas.3
“Janganlah kamu menyekutukkan Allah, sesungguhnya menyekutukkan (Allah) itu
benar-benar kezhaliman yang besar”.4 Al-Qur‟an menjadi fondasi dan sumber
utama ajaran agama Islam yang dijadikan sebagai pedoman di setiap aspek
kehidupan, baik aspek spiritual, hukum, politik, ekonomi, budaya maupun tradisi
serta kehidupan sosial.5
Oleh karena itu, ketika Siti Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw.
maka beliau menjawab akhlak nabi Saw. adalah al-Qur‟an. Hal ini sama halnya
dengan al-Qur‟an yang sedang berjalan atau hidup (Living Qur‟an)6.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh „Ā‟id „Abdullah al Qarnī dalam bukunya, “Al-
Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia Agung”, ia menjelaskan sosok
kepribadian dan akhlaknya Rasulullah Saw. betapapun tingginya derajat
seseorang, betapapun luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, jika semua itu
tidak dipadupadankan dengan akhlak dan perilaku manusia, maka akan menyeret
pemiliknya kepada kehinaan dan kesengsaraaan. Kesuksesan Rasulullah Saw.
dalam menyampaikan tugas-tugas mulia yang dibebankan Tuhan kepadanya,
3 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), Cet. Ke-III, h. 100.
4 Lihat, Qs. Luqman ayat 13.
5 Ridwan, Kontekstualisasi Etika Muslim terhadap The Others; Aplikasi Pendekatan
Historis-Kritis Atas al-Qur‟an (Purwokerto: IAIN Salatiga, 2016), h. 3. Dikutip dari Abdullah
Saeed, Islamic Thought; An Introduction (New York: Routledge, 2006), h. 15. Lihat, Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1985), h. 1-5. 6 Living Qur‟an merupakan gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living yang
berarti hidup, sedangkan Qur‟an adalah kitab yang dijadikan pedoman atau sumber umat Islam.
Lihat, Sahiron Syamsuddin, ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta:
TH-Press, 2007), h. xiv-5.
31
tidak terlepas dari memerankan dirinya sebagai sosok manusia yang berakhlak
mulia sesuai panduan al-Qur‟an.7
Selain itu, living Qur‟an dipraktikkan ketika Sahabat pernah mengobati
kepala suku yang tersengat hewan berbisa, kalajengking dengan membacakan al-
Fātiḫah, hingga Rasulullah Saw. membenarkannya. nabi Saw. pun pernah
mengobati dirinya ketika beliau terbaring sakit dengan membaca Surat al-Falaq
dan Surat al-Nās.8
Dari dua praktik interaksi umat Islam masa awal di atas, dapat dipahami
jika kemudian hari berkembang pemahaman di masyarakat tentang keutamaan
dan khasiat surat-surat tertentu atau ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur‟an sebagai
solusi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Living Qur‟an pada hakikatnya
bermula dari fenomena Qur‟an in Everyday life, yakni makna dan fungsi al-
Qur‟an yang riil dan dialami dalam kehidupan masyarakat Muslim.9
Dengan demikian, penelitian living Qur‟an yang dilakukan oleh Ibrahim
Eldeeb mengenai petunjuk praktis dalam penerapan ayat-ayat al-Qur‟an dalam
kehidupan sehari-hari, muali dari kajian teoritis Ulumul Qur‟an samapai kepada
7 „Ā‟id „Abdullah al Qarnī, Al-Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia Agung,
terjemahan Abad Badruzzaman (Jakarta: PT Sahra intisains, 2006), h. 5 dan 153. 8 „Ā‟id „Abdullah al Qarnī, Al-Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia Agung, h.
154. 9 Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”
Journal of Qur‟an and Hadis Stidies Volume 4, No. 2, 2015: h. 177.
32
penggunaan al-Qur‟an dalam tatanan praktis sudah dijelaskan dalam be a Living
Qur‟an secara komprehensif.10
Dengan kata lain, memfungsikan al-Qur‟an dalam kehidupan praktis di
luar kondisi tekstual al-Qur‟an. Pemfungsian seperti ini muncul karena adanya
praktik pemaknaan al-Qur‟an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan
tekstualnya, tetapi berlandaskan pada anggapan adanya “faḍilah” dari unit-unit
tertentu teks al-Qur‟an, bagi kepentingan praksis dalam kehidupan masyarakat.11
B. Living Qur’an dalam Tatanan Praktis
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman hidup
umat Muslim dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah (fiqih), hukum
(syariat), politik (asiyasah), ekonomi (muamalah), maupun fenomena sosial (al-
mujtama‟). Oleh karena itu, nilai-nilai al-Qur‟an masuk kedalam kehidupan
masyarakat sehari-hari merupakan sebuah keniscayaan.
Membumikan al-Qur‟an sesungguhnya tidak lain adalah melakukan
upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai al-Qur‟an
hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana
menjadikan nilai-nilai al-Qur‟an sebagai bagian dari perbendaharaan nilai-nilai
10
Ibrahim Eldeeb, Be a Living Qur‟an terjemahan Faruq Zaini (Ciputat, Tangerang
Selatan: Lentera Hati, 2009), h. 91 dan 175. 11
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an,” h.
172.
33
lokal dan universal di dalamnya. Hal ini, al-Qur‟an berupaya untuk menyusup ke
dalam kehidupan masyarakat dengan pesan-pesan ilahi yang universal.12
Menurut Farid Easack, ada sebagian orang yang memfungsikan ayat-ayat
suci al-Qur‟an tertentu sebagai jimat untuk menjauhkan diri dari penyakit atau
penangkal dari kekuatan jahat (ilmu hitam). Farid Esack mempraktikkan ayat
tertentu, yaitu menempelkan doa nabi Nuh as.13
pada bagian depan kaca mobil
ketika melakukan perjalanan dari Chicago ke Jakarta dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan bagi pengemudi dan para penumpangnya. Selain itu, di
rumah-rumah Negara Muslim juga dipajang ayat-ayat al-Qur‟an seperti ayat kursi
dengan maksud agar rumahnya aman.14
Dalam pendahuluan Bruce Lawrence di „The Quran A Biography‟,
menyebutkan sebagian orang-orang Islam menganggap al-Qur‟an sebagai otoritas
ritual, petunjuk sehari-hari, tema yang artistik, atau bahkan “mukjizat”. Dalam
kehidupan bernapaskan Islam, beberapa orang menghafal al-Qur‟an sejak masih
kecil guna menghargai tradisi untuk menghasilkan bacaan (qira‟ah) sebagai
landasan kebenaran.
Bagi orang yang tidak mampu menghapal 6000 lebih ayat al-Qur‟an, kata-
katanya tetap mendapatkan tempat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bisa
meletakkan ayat-ayat al-Qur‟an pada bagian leher, kalung yang melingkarinya,
12
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani (Jakarta: Amzah, 2011), h. 274. 13
Ketika Nabi Nuh as. hendak berlayar, beliau berdoa memohon keselamatan kepada
Allah swt. “…Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya
Tuhanku benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang. ” Lihat, Qs. Huud: 41. 14
Farid Esack, Samudera al-Qur‟an, terjemahan Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press,
2008), h. 42.
34
mereka bisa mendudukannya di dashboard mobil, di kaca belakang, atau di
sticker pada bemper mobil. Ayat-ayat tersebut bisa diukir di permukaan batu atau
digoreskan pada besi atau di awal sebuah surat.
Bahkan, orang Muslim yang tidak mengetahui huruf Arab atau tidak
pernah belajar al-Qur‟an berbahasa Arab, akan tetapi mereka menghormati Kitab
tersebut, hingga mereka mengfungsikan al-Qur‟an sebagai mukjizat yang magis,
menciumnya, menggunakan kata-katanya dengan berisik, dan meminumnya.
Perbuatan ini dikerjakan guna menjadikan al-Qur‟an sebagai batu ujian untuk
kesembuhan dan harapan manusia.15
Dengan demikian, kajian al-Qur‟an dalam
kehidupan masyarakat lebih menekankan pada aspek fungsi al-Qur‟an sebagai
petunjuk dan rahmat bagi manusia dalam berbagai kepentingan masyarakat.16
Kajian ini, berorientasi akademis ilmiah, yakni tidak terlalu
memperhatikan perdebatan otentisitas al-Qur‟an, perdebatan perbedaan metode,
kaidah, penyimpangan penafsiran, dan produk tafsir zaman klasik, pertengahan,
dan modern, dan perdebatan pemaksaan atau bukan pemaksaan. Tapi, kajian ini
lebih memfokuskan pada peran praktis al-Qur‟an dalam pemahaman, sikap,
perilaku, aktifitas manusia sebagi individu atau masyarakat, terlepas apakah
pemahaman, sikap, perilaku, dan aktifitas itu berdasarkan pengetahuan akan
kaidah tafsir atau pun tidak sama sekali.
Hal ini seperti yang diuraikan Ziauddin Sardar bagaimana ketika berdialog
dengan al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari. Pembacaan al-Qur‟an dilakukan
15
Bruce Lawrence, The Quran A Biography, h. 11. 16
Muhammad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadis,” h. 152.
35
karena hidup tidak terlepas dari trouble times, in a dangerous and destabilised
world. Bahkan dia menguraikan pengalaman dirinya secara khusus dengan al-
Qur‟an (The Qur‟an and Me). Dalam pembahasan The Qur‟an and Me, ia
menceritakan kekagumannya pada saat belajar membaca al-Qur‟an di bawah
bimbingan ibunya.17
Adapun dalam sub bahasan inti, dia menerangkan diskursus
kontemporer, seperti homo sexsual, kebebasan berekspresi, kekuatan dan politik,
poligami dan kekerasan rumah tangga, sex dan sosial, sain dan tekhnologi,
syariat, musik dan imajinasi, hingga kerudung (The veil).18
Dalam hal ini, al-Qur‟an dipersepsi oleh masyarakat sebagai lafaẓ yang
dapat difungsikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, fenomena masyarakat
dalam menggunakan al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari, seperti al-Qur‟an
dijadikan sebagai pengobatan, dan tradisi masyarakat seperti pembacaan ayat-ayat
tertentu dan surat-surat tertentu berfungsi sebagai keselamatan bagi ibu yang
sedang mengandung.
1. Al-Qur‟an dan Pengobatan
Pengobatan penyakit dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur‟an
merupakan pokok ketinggian derajat keyakinan seseorang kepada al-Qur‟an.
Benarlah sebuah keyakinan yang menyatakan “… Dia yang menjadikan penyakit
Dia-lah pula yang mampu menyembuhkannya.” Selain itu, banyak hadis yang
mendeskripsikan keistimewaan-keistimewaan al-Qur‟an. Di antaranya adalah
17
Ziauddin Sardar, Reading the Qur‟an; The Contemporary Relevance of the Sacred Text
of Islam (New York: Oxford University Press, 2011.), h. 3-4. 18
Ziauddin Sardar, Reading the Qur‟an, h. 7-9.
36
sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Mas‟ud yang menyatakan
bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Gunakanlah dua pengobatan (alternatif), yaitu
dengan menggunakan madu dan ayat-ayat al-Qur‟an.” 19
Pada suatu hari, seorang Baduy menemui Rasulullah Saw. mengadu
kepada nabi Saw. tentang sakit yang diderita oleh salah seorang kawannya. nabi
Saw. pun bertanya tentang sakitnya, “Apa sakit yang diderita oleh temanmu?” ia
menjawab, “Ia, agak gila, wahai nabi.” nabi Saw. bersabda, “Segera bawa
temanmu ke sini dan insya Allah aku akan mengobatinya.” Baduy tersebut segera
kembali ke tempat tinggal temannya dan membawanya kepada nabi Muhammad
Saw.20
Ia pun mendudukannya di depan nabi Saw. setelah beberapa saat, nabi
Saw. membaca ta‟wuż, surat al-Fātiḫah, empat ayat permulaan surah al-Baqarah,
dan dua ayat berikut ini: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Q.S. al-
Baqarah: 163-164). Setelah itu nabi Saw. membaca ayat Kursi, tiga ayat terakhir
dari surat al-Baqarah, sebuah ayat dari surat al-Jin: “Dan bahwasannya Maha
Tinggi kebesaran Tuhan Kami.” (Q.S. al-Jin: 3).21
Kemudian diteruskan dengan membaca sepuluh ayat pertama dari surat aṣ-
ṣāffāt, dan akhir surat al-Mu‟minūn mulai dari ayat ini: “Maka Maha Tinggi Allah
Raja Yang sebenar-benarnya…” (Q.S. al-Mu‟minūn: 118). Kemudian diteruskan
dengan membaca surat al-Ḫasr, surat al-Ikhlāṣ, surat al-Falāq, dan surat al-Nās.
19
Muhammad Mahmud Abdullah, Sembuhkan Penyakitmu Dengan Al-Qur‟an,
terjemahan Muhammad Muhisyam (Yogyakarta: Bernada Publishing, 2010), h. 59. 20
Muhammad Mahmud Abdullah, Sembuhkan Penyakitmu Dengan Al-Qur‟an, h. 59. 21
Muhammad Mahmud Abdullah, Sembuhkan Penyakitmu Dengan Al-Qur‟an, h. 60
37
Setelah Nabi meruqyah orang tersebut, maka berangsur-angsur ia mulai sembuh
dan dapat berdiri. Akhirnya ia dapat sembuh seolah-olah tidak pernah sakit gila.22
Pada ranah privatisasi, al-Qur‟an dapat dijadikan sebagai penawar dan
sandaran untuk jiwa yang tengah dirundung kesedihan, ditimpa musibah, serta
didera berbagai himpitan persoalan hidup. Dalam hal ini, ayat-ayat al-Qur‟an
berfungsi sebagai terapi psikis (jiwa), penawar dari persoalan hidup yang dialami
seseorang. Jiwa yang sebelumnya resah, gelisah, serta tidak tenang menjadi
tenang dan damai ketika membaca dan meresapi makna ayat-ayat tersebut.23
Di sisi lain, Allah swt. telah menjadikan al-Qur‟an sebagai salah satu obat
paling mujarab untuk penyakit hati dan jiwa dari kebimbangan, keraguan,
kebodohan, keberpalingan, kesesatan, dendam, kedengkian dan hasud.
Sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw. dari Ali bin Abi Thalib “Sebaik-baik
obat adalah al-Qur‟an” serta firman-Nya “Dan Kami turunkan dari al-Qur‟an
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs.
Al-Isrā‟: 82). Dia juga berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs. Yunus: 57).24
22
Muhammad Mahmud Abdullah, Sembuhkan Penyakitmu Dengan Al-Qur‟an, h. 61. 23
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an,” h.
170. 24
Ibrāhīm „Alī as-Sayyid „Alī „īsa, Hadis-hadis dan Atsar yang Menjelaskan Tentang
Keutamaan Surah-Surah al-Qur‟an, terjemahan Abdul Hamid (Jakarta: PT SAHARA, 2010), h.
74-75.
38
Oleh karena itu, berdasarkan catatan sejarah praktik penggunaan ayat-ayat
al-Qur‟an untuk pengobatan dalam kehidupan sehari-hari di luar kondisi
tekstualnya al-Qur‟an, telah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah Saw.
sebagaimana beliau menggunakan Surat al-Fātiḫah sebagai media penyembuhan
penyakit dengan cara ruqyah.25
Bahkan, penulis penelitian “Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an untuk
Pengobatan Penyakit Jiwa” ini berbentuk kajian eksplanasi, yaitu tidak hanya
mengeksplorasi atau mengkonstruksi fakta sosial saja yang ada di lapangan,
melainkan dia membuktikan secara langsung atas praktik-praktik penggunaan
ayat-ayat al-Qur‟an sebagai pengobatan penyakit jiwa di Desa Kalisabuk
Kasugihan Cilacap Jawa Tengah oleh K.H. Himamuddin Ridwan. Menurutnya,
al-Qur‟an tidak hanya Kitab petunjuk (al-Hidayah), pedoman hidup, melainkan
dapat difungsikan sebagai obat.26
Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan tentang sakit, baik sakit
fisik maupun psikis. Dalam al-Qur‟an banyak digunakan kata-kata untuk
menunjukan kondisi sakit, di antaranya: Qs. an-Nūr: 61, Qs. al-Baqarah: 185, Qs.
„Āli „Imran: 49, Qs. „Āli „Imran: 9, Qs. Yūsuf: 85 berbicara tentang sakit fisik.
Sedangkan Qs. al-Mu‟minūn: 27 dan 70 serta Qs. al-Baqarah: 275
menggambarkan sakit psikis (jiwa). Oleh karena itu, al-Qur‟an dapat digunakan
25
Baytul Muktadin, Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an untuk Pengobatan Penyakit Jiwa
(Studi Living Qur‟an di Desa Kalisabuk Kesugihan Cilacap Jawa Tengah), (Tesis S2 Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 3. Dikutip dari M. Mansur, “Living
Qur‟an dalam Lintas Sejarah Studi al-Qur‟an” dalam Sahiron Syamsuddin, ed,. Metodologi
Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta: TH-Press, 2007), h. 3. 26
Baytul Muktadin, Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an untuk Pengobatan Penyakit Jiwa
(Studi Living Qur‟an di Desa Kalisabuk Kesugihan Cilacap Jawa Tengah), (Tesis S2 Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 63-64.
39
sebagai penawar penyakit Lihat Qs. At-Taubah: 14, al-Syu‟arā‟: 80, an-Naḫl: 69,
al-Isrā‟: 82, dan fuṣilat: 44.27
Praktik pengobatan atas penggunaan al-Qur‟an sebagai penawar (Syifā‟)
dari penyakit, sama halnya dilakukan di Pesantren Sunan Kalijaga, Desa
Pakuncen, Kecamatan Patianrowo-Kabupaten Nganjuk. Sosok kepiawaian K.H.
Komari Saefulloh tidak hanya tokoh agama, melainkan seorang tabib yang
memfungsikan al-Qur‟an sebagai pengobatan.28
Dalam perspektif tradisi Islam, praktik pengobatan melalui pertabiban
meliputi dua tabib, yaitu tibb al-Ruhani, yaitu sebagian besar tabib ini concerens
dengan spiritual dan kesehatan psikologi. Tapi, dalam prosesi spiritual medicine
tidak dapat dipisahkan sepeneuhnya dengan physical medicine (tibb al-jismani).
Kesehatan fisik maupun non fisik merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat
dipisahkan satu sama lain (al „aqlu salami fī al jismi salimi), yang mana keduanya
harus dipelihara dan diperbaiki (Preserves and restores). Apabila hati (nafs/al-
ruhani) ditemukan penyakit, maka secara otomatis jasmani pun terkena penyakit.
Oleh karenanya, Al-Qur‟an sudah menunjukkan beberapa komponen
tentang kesehatan mental manusia, di antaranya adalah sehat pada bagian nafs
27
Apipudin, al-Qur‟an Sebagai Penyembuh Penyakit, h. 32. 28
Didik Andriawan, “Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an Sebagai Pengobatan (Studi Living
Qur‟an pada Praktik Pengobatan Dr. K.H. Komari Saefulloh Pesantren Sunan Kalijaga, Desa
Pakuncen, Kecamatan Patianrowo-Kabupaten Nganjuk),” (Skripsi S1 Jurusan Tafsir dan Hadis
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 89-90.
40
(psyche), bagian qalb (heart), dan bagian aql (mind) merupakan satu kesatuan
yang utuh seperti dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.29
Oleh karena itu, penyakit pada bagian hati (heart) sudah digambarkan
langsung oleh Allah swt. dalam firmannya ketika mereka (orang-orang kafir)
hendak menipu Allah swt. dan orang-orang yang beriman. Pada saat mereka
(orang-orang kafir) mengatakan/mengaku sudah beriman kepada Allah swt. dan
hari kemudian (hari kiamat), padahal mereka tidak beriman.
Artinya:
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya,
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
(Q.S. al-Baqarah: 10).
Pada tahun 1963-1967 pelajar Muslim mendirikan sebuah “Muslim
Studens‟ Association” (MSA), “Islamic Medical Association of North America”
(IMANA) dan “Fedration of Islamic Medical Association” (FIMA) di American
colleges yang concern pada pengobatan kesehatan yang berbasiskan petunjuk al-
Qur‟an (Under Islamic guidelines as ordained by the divine book al-Qur‟an).30
Asosiasi yang didirikan pelajar Muslim di Amerika Serikat, proses
kerjanya meliputi beberapa macam, diantaranya (1) memperhatikan pasien
Muslim, (2) memberikan definisi tentang hidup dan tanggungjawab seorang
29
Nurdeen Deuraseh dan Mansor Abu Tolib, “Mental Health in Islamic Medical
Tradition”, The International Medical Journal, Volume 4, Nomor 2, Desember 2005: h. 76. 30
Shahid Athar dkk, “Islamic Medical Ethics: The IMANA Perspective”, Jima Volume
37 Tahun 2005: h. 33.
41
Muslim ke arah kehidupan manusia yang sebenarnya, (3) mendefinisikan
kematian dalam persepektif Muslim, (4) alat kontrasepsi dalam persepektif
Muslim dan lain-lain. Pada saat prosesi penggunaan ayat-ayat al-Qur‟an guna
sebagai obat (Syifā‟) bagi orang yang sedang sekarat, asosiasi ini memberikan
stimulasi (dorongan) ayat-ayat tertentu dan Surat-surat tertentu.31
Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia
menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya:
“Jadilah”, maka jadilah ia. (Q.S. Ghāfīr: 68).
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang
siapa yang menghendaki paha Dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya paha Dunia itu, dan barang siapa mengkhendaki pahala
Akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya paha Akhirat itu. Dan kami
akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
(Q.S. „Āli-„Imrān: 145).
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah
kepada Kami kamu dikembalikan. (Q.S. al-„Ankabūt: 57).
Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-
Nyalah kamu dikembalikan. (Yūnus: 56).
31
Shahid Athar dkk, “Islamic Medical Ethics: The IMANA Perspective,” h. 36-38.
42
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barang siapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan. (al-„Isrā‟: 33).
Sejarah pengobatan dalam tradisi Muslim, menurut Husain F. Nagamia32
merupakan hasil dari inspirasi atau kontemplasi pengetahuan umat Muslim
terhadap isi kandungan al-Qur‟an maupun hadis-hadis/sunah yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw. Salah satunya, dapat kita temukan dalam al-Qur‟an terdapat
tanda-tanda berupa titah maupun berupa larangan. Adapun berupa larangan,
seperti bahaya atau efek dari mengkonsumsi makanan dan minum-minuman yang
mengandung alkohol, mengkonsumsi daging babi, dan berhubungan badan tanpa
ikatan pernikahan.33
Para peneliti dalam journal international ini, menguraikan tokoh-tokoh
Muslim yang berpengaruh di Dunia seperti Ibnu Sina yang concern dalam bidang
kesehatan dan kedokteran, al-Farabi, Ikhwan al-Shafa‟ dan Ibnu Rusy ahli dalam
ilmu kejiwaan manusia (psikologis), al-Razi piawai dalam ilmu filsafat, Ibnu
Khaldun ahli dalam bidang ilmu sosial (sosiologi), dan lain-lain ketika awal
32
Husain F. Nagamia merupakan peneliti dalam bidang perobatan dan asisten dari Prof.
Sugery di Rumah Sakit Tampa, Florida USA yang bertarap internasional. Ia juga merupakan
Dosen di University of South Florida Medical School dalam bidang ilmu kesehatan. Lihat, Husain
F Nagamia, “Islamic Medicine History and Current Practices”, ed., Aysegϋl Demirhan Erdemir
and Abdul Nasser Kaadin, Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine
(ISSN: 1303-667x), Volume 2, Nomor 4, Oktober 2003: h. 19. 33
Husain F Nagamia, “Islamic Medicine History and Current Practices,” h. 20.
43
mereka terinspirasi dari ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian mempraktikkannya dalam
bentuk research (Penelitian).34
2. Al-Qur‟an dan Tradisi Masyarakat
Saran dan tujuan pokok dari al-Qur‟an adalah membangun pribadi
seseorang dan masyarakat yang baik dan dinamis, karena al-Qur‟an merupakan
cahaya, hidayah, kebajikan, kemaslahatan, kunci kebahagiaan, dan sebagai titian
kehidupan yang utama, agung dan mulia.
Ia tidak hanya menanamkan aqidah yang benar dan melekat dalam hati
manusia sehingga selalu beribadah kepada Allah, meng-Esakan, men-Sucikan,
dan meng-Agungkan-Nya, melainkan juga harus bisa bersosialisasi dengan
masyarakat, meletakkan bingkai dan kekuatan yang dapat memelihara struktur
masyarakat dari pemboikotan dan tindak kejahatan, serta berdiri kokoh di atas
kebenaran dan konsisten dalam memegang amanah. Al-Qur‟an merupakan
kebutuhan pokok dalam mengataur komunikasi manusia, yaitu komunikasi
dengan Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat.35
Oleh karena itu, realitas umat Islam terbangun atas konfigurasi sosial yang
terbentuk dari identitas-identitas kelompok seperti kelompok aliran keagamaan,
organisasi sosial keagamaan, etnisitas, profesi, dan sebagainya, yang melingkupi
diri kaum muslimin di masyarakat.
34
Sharif Kaf al-Ghazal, “Islamic Medicine History and Current Practices,” h. 9-10. 35
Wahbah Zuhaili, Al-Qur‟an dan Paradigma Peradaban, terjemahan M. Thohir
(Yogyakarta: Dinamika, 1996), h. 161-167.
44
Keberadaan kelompok pemilik identitas dalam umat Islam tidak bisa
dilepaskan dari masyarakat secara keseluruhan. Umat Islam terbangun atas
struktur sosial masyarakat yang memeluk agama Islam, yang walaupun
mengenakan identitas-identitas yang saling berbeda, tetapi membangun kesatuan
utuh sebagai umat Islam. Umat Islam di Indonesia bukan suatu kelompok yang
monolitik, terdapat kemajemukan dalam berbagai tradisi, pemahaman, dan
praktek-praktek keagamaan yang merupakan ekspresi dari keislaman yang
diyakininya.36
Religi bukanlah semata-mata sebagai agama, melainkan sebagai fenomena
kultural suatu bangsa yang unik. Religi adalah dasar keyakinan, sehingga aspek
kulturalnya sering mengapung di atasnya. Hal ini merepresentasikan religi sebagai
fenomena budaya universal. Religi adalah bagian budaya yang bersifat khas.37
Adapun dalam penggunaan simbol dalam wujud budayanya, ternyata pelaksanaan
tradisi dilakukan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang
tinggi yang dianut secara tradisional dari generasi ke generasi berikutnya.38
Dengan demikian, sebagai masyarakat yang seluruh penduduknya
beragama Islam, masyarakat Banten tidak hanya mengenal, memahami dan
mempraktikkan ritual ibadah kepada Allah Swt. sebagaimana diajarkan dalam
titah al Quran dan hadits, tetapi juga melakukan beragam ritual sosial keagamaan
36
Joko Tri Haryanto, “Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam”,
Journal SMaRT, Volume 1, Nomor 1, Juni 2015: h. 42. 37
Ayatullah Humaeni, “Ritual, Kepercayaan Lokak dan Identitas Budaya Masyarakat
Ciomas Banten,” h. 160. 38
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, 2000),
h. 3.
45
sebagai bagian dari tradisi masyarakat setempat, seperti pelaksanaan salat Rebo
Wekasan dan selametan empat bulan dan tujuh bulanan masa kehamilan sebuah
adat tradisi keagamaan sudah keniscayaan mesti dilaksanakan masyarakat
Banten dan sekitarnya.
a. Rebo Wekasan
Perayaan Rebo Wekasan menjadi ritual keagamaan masyarakat dalam
bentuk salat, mandi, membaca shalawat, membaca ayat-ayat tertentu dan surat-
surat tertentu.39
Upaca ini dilakukan pada hari Rabu akhir bulan Shafar.40
Perayaan Rebo Wekasan bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah swt. serta
untuk menolak berbagai musibah (salat tolak bala).
Nama (upacara) Rebo Wekasan ini menurut bahasa Jawa Banten terdiri
dari dua kata, yaitu kata Rebo dan kata Wekasan. Rebo artinya hari Rabu,
sedangkan Wekasan mempunyai dua arti yang masing-masing diambil dari kata
dasar Pungkasan (Pungkas/Pamungkas) dan dari kata Wekas (mendapat akhiran
“an” menjadi wekasan). Pengertian yang diambil dari kata Pungkasan mempunyai
arti „terakhir‟, aritinya hari Rabu (Rebo) di mana upacara itu diselenggarakan
pada hari Rabu terakhir di bulan Sapar (bulan kedua dalam kalender Jawa, setelah
bulan Syuro).
39
Joko Tri Haryanto, “Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam”,
h. 44. 40
Kata Shafar dalam istilah masyarakat Banten disebut bulan Sapar. Di mana pada akhir
bulan ini biasanya masyarakat Serang-Banten melaksanakan Salat Tolak Bala (salat rebo
wekasan). Lihat, M.A. Tihami, Upacara Rebo Wekasan di Serang Jawa Barat (Serang: Fakultas
Syaria‟ah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 1991), h. 1-5.
46
Dalam pengertian ini, masyarakat Banten juga sering menyebutnya
dengan upacara Rebo Akhir. Dalam pengertian kedua, wekas/wekasan
mempunyai arti „Titipan‟, artinya upacara di hari Rabu terakhir pada bulan Sapar
itu merupakan sesuatu yang dititipkan nenek moyang kepada keturunannya.41
Praktik Islam lokal pada satu sisi mengantarkan Islam yang dinamis dan
beragam, tetapi pada sisi lain juga mengantarkan pada sulitnya membedakan
antara syariat dan tradisi. Sering kali ditemukan terjadi pembauran antar
keduanya, dan tidak jarang pula ditemukan tradisi menjadi syariat dan syariat
menjadi tradisi. Hal ini yang terjadi pada salat Rebo Wekasan.42
Melaksanakan salat Rebo Wekasan dalam tradisi masyarakat Serang
Banten merupakan bagian dari ekspresi keagamaan yang sudah lama berlangsung
di tengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan masyarakat. Pelaksanaan salat Rebo
Wekasan seolah menjadi keniscayaan bagi masyarakat Banten di mana pada akhir
bulan Sapar wajib melaksanakan salat Rebo Wekasan.43
Bulan Sapar dikenal sebagai bulan dimana Allah swt. menurunkan
berbagai macam penyakit ke dunia. Oleh karena itu, pada bulan ini juga diadakan
ritual atau selametan “Tolak Bala” yang lebih dikenal dengan sebutan Rebo
Wekasan.
41
M.A. Tihami, Upacara Rebo Wekasan di Serang Jawa Barat, h. 10. 42
Abdul Chalik, “Agama dan Politik Dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan”, Ibda‟
Journal Kebudayaan Islam, Volume 14, Nomor 1, Januari-Juni 2016: h. 14. 43
M.A. Tihami, Upacara Rebo Wekasan di Serang Jawa Barat, h. 15.
47
Kegiatan ini biasanya dilakukan pada hari Rabu minggu terakhir di bulan
Sapar dengan melakukan salat “Tolak Bala” secara berjamaah di Masjid atau
Mushalla. Pada hari inilah orang-orang tua biasanya melarang anak-anak dan
sanak saudaranya agar tidak bepergian jauh, karena dikhawatirkan mendapat
kecelakaan atau musibah. Akan tetapi, apabila setelah melaksanakan salat Rebo
Wekasan, dibolehkan beraktifitas kembali seperti sebiasanya.44
Oleh karena itu, pelaksanaan salat tolak bala pada bulan Sapar ini didasari
oleh sistem keyakinan/kepercayaan masyarakat, bahwa pada bulan itu Tuhan
menaburkan bermacam-macam bahaya (Pangeran ngawurkeun bale) berupa
ancaman maut, kecelakaan, berbagai penyakit (wabah penyakit) yang menyerang
manusia, tumbuh-tumbuhan/tanaman, dan hewan ternak, dan bentuk-bentuk sial
(kerugian) lainnya. Apabila salata tolak bala (Rebo Wekasan) terlewati (tidak
melakukan upacara tolak bala), maka bahaya di tahun berjalan itu akan sering
menimpa.45
Pada prosesi salat tolak bala (Rebo Wekasan), dilakukan pada waktu pagi
sekitar ± 20º terbitnya matahari yang disebut dengan “serngenge satumbak” dan
dilakukan secara berjamaah. Apabila salat tolak bala selesai dilaksanakan, maka
orang (tokoh) yang dianggap sepuh oleh mereka, membacakan sebuah Kitab
44
Ayatullah Humaeni, “Ritual, Kepercayaan Lokak dan Identitas Budaya Masyarakat
Ciomas Banten,” h. 170. 45
M.A. Tihami, Upacara Rebo Wekasan di Serang Jawa Barat, h. 11-13.
48
Wawacan Syaikh, yaitu ngaramat ka tuan46
Syaikh Abdul Qodir Jaelani
“Manakiban” sebuah Kitab sastera Jawa bertuliskan huruf Arab.
Kitab ini berisi biografi seorang tokoh aliran tarekat Qodariyah di
Baghdad yang bernama Syaikh Abdul Qodir Jaelani. Ngaramat ka tuan Syaikh
Abdul Qodir Jaelani bermakna untuk memperantarai (mediator) maksud-maksud
(memanjatkan doa-doa) manusia pada Allah. Hal ini dilakukan karena masyarakat
Banten mepercayai sosok Syaikh Abdul Qodir Jaelani itu ialah seorang Wali yang
sangat dekat dengan Allah, apapun permintaan/permohonannya akan
dikabulkan.47
Selain itu pasca prosesi salat tolak bala, tokoh agama memasukkan tulisan
berupa al-Qur‟an yang berisi ayat-ayat tertentu ke dalam sumur. Hal ini dilakukan
sebagai penangkal dari berbagai penyakit atau bentuk-bentuk sial agar sumber-
sumber air lain yang berada di sekitar kampung tersebut tidak terkena wabah
pennyakit, karena masyarakat mempercayai pada akhir bulan Sapar yang
bertepatan dengan hari Rabu, Allah Swt. menurunkan berbagai macam ujian.48
46
Ngaramat ka tuan artinya membaca sejarah dan karamah (keajaiban) Sayikh Abdul
Qodir Jaelani dengan menggunakan nada atau irama lagu Sunda seperti pupuh kinanti, pupuh
asmarandana dan lain-lain. Hal ini dibacakan tidak hanya dilakukan pada pasca prosesi salat tolak
bala , akan tetapi ngaramat ka tuan Sayikh Abdul Qodir Jaelani dilakukan pada acara-acara
selametan, seperti selametan rumah baru yang hendak diisi, selametan nikahan maupun khitanan,
syukuran panen satu tahun sekali, dan selametan pulang dari baitullah/naik haji. Hasil observasi
atas praktik-praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
Lebak Banten, pada tanggal 19 April 2017.
47 M.A. Tihami, Upacara Rebo Wekasan di Serang Jawa Barat, h. 21-23.
48 Hadi Sukamto dkk, “Understanding Behaviour Environmental Education Water
Resources Model of Outdoor Study on Community of “Osing” at Banyuwangi District East Java
Indonesia”, Research of Humanities and Social Sciences, Volume 6, Nomor 6, Tahun 2016: h. 87.
49
b. Tradisi Tingkeban atau Mitoni
Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan adat yang bernilai tinggi. Tradisi
dalam budaya Jawa hingga kini tetap dijalankan secara turun-menurun oleh
masyarakat dari dahulu kala. Kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa erat
kaitannya dengan upacara dan kegiatan yang bersifat ritual baik yang berkaitan
dengan lingkar kehidupan manusia maupun acara khusus lainnya. Berbagai
macam upacara tradisional masih diselenggarakan oleh masyarakat Jawa dan
setiap upacara tradisional memiliki tata cara dan kelengkapan yang berbeda-beda
antar Daerah yang satu dengan Daerah yang lain.49
Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun bahkan sudah membudaya di
kawasan wilayah Jawa. Budaya ini dilakukan salah satu bentuk sistem relegi
masyarakat Jawa yang dikenal sebagai Agama Jawi. Mereka mempercayai Tuhan
Yang Maha Esa sebagai maha pencipta.
Sedangkan mempercayai nabi Muhammad Saw. sebagai orang yang
paling dekat dengan Tuhan. Namun di sisi lain, mempercayai tokoh-tokoh yang
kemudian mereka anggap sebagai orang-orang keramat. Selain itu, mereka
mempercayai adanya Dewa, roh nenek moyang dan roh penjaga, roh, jin, setan,
dan mempercayai akan datangnya ratu adil yang membawa keteraturan di muka
Bumi.50
49
Murdijati Gardjito, Serba-serbi Tumpeng Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 7-8. 50
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 324.
50
Ciri-ciri yang dinamakan mistikisme Jawa atau agama Jawi,51
di
antaranya: (1) Bahwa mistikisme kadang-kadang dinamakan kesadaran, kadang-
kadang perasaan, keyakinan dan kadang-kadang ajaran, sehingga oleh karenanya
memiliki komponen-komponen ajaran atau keyakinan, kegiatan (ritual), amalan,
pengalaman dan juga keistimewaan- keistimewaan.
(2) Biasanya mistisisme itu bertolak dari agama sehingga merupakan
keberagamaan yang bertaraf tinggi. (3) Keyakinan dan ajaran yang bersifat mistik
biasanya menyangkut keyakinan tentang Tuhan yang imanen dan bahkan Tuhan
yang paneteistis. Keyakinan tentang manusia biasanya ialah bahwa inti terdalam
manusia itu mempunyai unsur ketuhanan atau bahkan Tuhan yang menempat di
sana, yang kadang-kadang diberi nama semacam akal asli, akal aktif, akal kreatif,
synteresis, percikan Tuhan, logos, kalam dan dalam Islam Nur Muhammad.
Akibat seterusnya adalah keyakinan atau ajaran yang monoteis panteistis dan
bahkan universal ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi.
(4) Pengalaman kejiwaan yang mistis biasanya berwujud rasa persatuan
dengan Tuhan dan bahkan ada yang sampai merasa menjadi Tuhan. Kalau masih
ada keyakinan ada perbedaan antara khaliq dan makhluk, dinamakan mistik
personality, dan kalau sudah tidak dapat memedakannya lagi dinamakan mistik
infinity.
(5) Kaifiyah atau jalan mistik yang paling menonjol adalah via purgative
dan via contemplative. Purgative yang sangat berat berwujud kehidupan zuhud
51
Romdon, ed., Abdurrahman dkk, Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1993), h. 565-566.
51
yang berat atau wu-weinya mistik Cina, atau asketiknya Kristen, atau penyiksaan
diri dalam bentuk lain. (6) Orang mistik sering mempunyai pengalaman yang
dapat dinamakan semacam trance, atau mabuk, yang istilahnya bermacam-
macam. Dan (7) orang yang pernah mengalami pengalaman mistik, yang katanya
enak, biasanya ingin mengulang-ulang dan sangat merindukannya.
Tradisi selamaten atau tasyakuran sebagai peringatan 4 bulanan atau 7
bulanan kehamilan seorang Ibu dilakukan sesuai dengan tradisi yang ada. Tradisi
itu merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun-temurun dari nenek
moyang.52
Dalam tradisi Jawa tradisi ritual 4 bulanan maupun 7 bulanan disebut
tingkeban, yaitu upacara atau ritual yang menyediakan kelapa muda, tujuh macam
kembang (bunga), dan tujuh macam buah-buahan. Sedangkan bacaan yang
dilantunkan adalah Surat Yāsīn, Surat Yūsūf, dan Surat Maryam.53
Tradisi itu dipraktikkan karena ucapan rasa syukur kepada Allah Swt. atas
kekuasaan-Nya yang telah memberikan janin dan melaksanakan tradisi adat yang
sudah berjalan sejak dahulu kala. Selain itu, tradisi tingkeban dilakukan atas dasar
rasa takut atau khawatir, bagi seorang wanita yang hamil tentu saja memiliki
perasaan was-was atau khawatir serta takut, terutama wanita yang baru hamil
pertama begitu pun suaminya.54
52
Sulkhan Chakim, “Dakwah Islam dan Spritualitas Kejawen”, Komunika, Volume I,
Nomor 2, Juli-Desember 2007: h. 260-261. 53
Iswah Adriana, “Neloni, Mitoni atau Tingkeban: (Perpaduan antara Tradisi Jawa dan
Realitas Masyarakat Muslim)”, KARSA, Volume 19, Nomor 2, Tahun 2011: h. 244. 54
Nurwana, Praktik Pengamalan Ayat al-Qur‟an Saat Proses Mandi Hamil Tujuh Bulan
Oleh Masyarakat Kelurahan Kuin Selatan Kota Banjarmasin (Studi Living Qur‟an), (Skripsi S1
Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Institut Agama Islam
Negeri Antasari Banjarmasin 2017), h. 62-63.
52
Makna dari penggunaan ayat-ayat tertentu maupun surat-surat tertentu
dalam memperingati acara 4 bulanan maupun 7 bulanan agar kedua calon ibu dan
bayi selamat dan kelak menjadi anak yang saleh/salehah dan bernasib baik,
sekaligus sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah Swt. karena telah diamanati
untuk mengasuh momongan, keselamatan bagi calon ibu maupun bayi, dan ajang
silaturahmi antar keluarga, tetangga mapun kampung dekat.
Adapun makna dari pembacaan Surat Yāsīn, Surat Yūsūf, dan Surat
Mariyam ketika prosesi memperingati 4 bulanan dan 7 bulanan atau tingkeban
agar bayi yang lahir ke Dunia dengan selamat, berkarisma seperti Nabi Yusuf dan
jika lahir bayi perempuan suapya budi pekertinya (salehah) seperti Siti Mariyam
putri Harun.55
Tradisi di atas, masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung
Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah pun mempraktikkannya. Ketika ibu
hamil beranjak pada empat bulan mereka melakukan upacara dengan
membacakan suarat-surat tertentu. Adapun suart-surat yang dibaca adalah Qs. al-
Fātiḫah, Qs. Yāsīn, Qs. Yūsūf, Qs. Mariyam, Qs. Luqmān, Qs. al-Ĥujurāt, Qs.
al-Tawbah dan Qs. an-Naḫl.
Makna dari lantunan dari Surat al-Fātiḫah diyakini untuk terang hati dan
kuat ingatan, Surat Maryam untuk memudahkan ibu bersalin dan anak yang
55
Imam Nasichin, Tradisi Mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan (Studi Living
Qur‟an), (Skripsi S1 Jurusan Ushuluddin dan Dakwah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Pekalongan 2016), h. 55-56.
53
sabar dan taat, Surat Luqmān untuk memperoleh anak yang cerdik akal dan
cerdik jiwa.
Adapun Surat Yūsūf untuk memperoleh anak yang cantik rupa dan cantik
akhlak, Surat al-Ḫujurāt untuk memperoleh susu ibu yang banyak dan anak yang
bersifat berhati-hati, Surat Yāsīn untuk ketenangan hati dan anak tidak
terpengaruh dengan godaan setan yang mengajak kepada maksiat, Surat al-
Tawbah untuk pemberesih jiwa dan tidak terlibat dalam maksiat, dan Surat an-
Naḫl untuk melahirkan anak yang berdisiplin.56
C. Living Qur’an dan Jimat
1. Al-Qur‟an dan Kekuatan Magis57
Kitab umat Muslim, al-Qur‟an tidak hanya dijadikan pedoman hidup saja,
melainkan surat-surat tertentu dan ayat-ayat tertentu difungsikan sebagai kekuatan
magis guna sebagai penangkal dari ilmu hitam (teluh), keselamatan, kejembaran
rezeki, kekebalan, pengasihan, dan pangabaran/karisma yang tinggi di setiap mata
56
Observer berperanserta dalam prosesi tingkeban atau memperingati empat bulan dan
tujuh bulan ibu hamil di kediaman Bapak Erus Rustandi dan Ibu Suherni Kampung Babakan
Cicurug Desa Citorek Tengah pada tanggal 07 April 2017. 57
Magis merupakan berasal dari bahasa Inggris yaitu magic yang artinya ajaib atau
kejadian yang di luar nalar (abnormal). Lihat, Hadi Podo dan Joseph J. Sulivan, Pandai Berbahasa
Inggris; Kamus Ungkapan Indonesia-Inggris (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 23.
Magis juga dapat diartikan sebagai ilmu sihir, guna-guna, jampi-jampi, maupun daya tarik.
Namun, magic terbagi ke dalam dua macam, yaitu black magic (ilmu sihir yang dilakukan atas
bantuan iblis atau jin) dan white magic (ilmu yang dilakukan tanpa bantuan iblis, melainkan
meminta pertolongan kepada Tuhan). Lihat, Peter Salim, Advanced English-Indonesian Dictionary
(Jakarta: Modern English Press, 1991), 502. Menurut Fiona Bowie magis merupakan ilmu gaib
atau ilmu sihir tidak dapat diterima logika, romantic, dan misterius. Lihat, Fiona Bowie,The
Anthropology of Religion (Oxford: Blackwell Publishers, 2001), h. 219. Menurut Frazer, ilmu gaib
adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan
menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam
alam. Lihat, Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi I (Jakarta: UI Press, 2007), h. 54.
54
manusia. Memfungsikan al-Qur‟an ini tergantung pada dorongan-dorongan atau
motif, yaitu kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas makhluk hidup
untuk bertingkah laku dan mengarahkannya pada suatu tujuan.
Dorongan-dorongan itu, melakukan tugas-tugas penting bagi makhluk
hidup (manusia) untuk memenuhi kebutuhan pokoknya yang dibutuhkan demi
keberlangsungan hidup dan kelestariannya, hal ini seperti dorongan manusia
tentang dorongan kejiawaan (psikis), dorongan spiritual, dan dorongan bawah
alam sadar.58
Di bawah ini akan tergambar dorongan manusia tentang kejiawaan
(psikis), dorongan spiritual, dan dorongan bawah alam sadar mengenai uraian
tentang al-Qur‟an yang digunakan sebagai praktik-praktik magis, seperti jimat
(teteungeur hate) atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari dan praktik
kesenian tradisional Debus Banten.
a. Jimat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi offline, jimat diartikan
sebuah barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat
melindungi pemiliknya dan dapat digunakan sebagai pangkal penyakit. Biasanya,
benda atau barang tertentu terdapat rajah, lambang, atau gambar tertentu dan
dibuat oleh tidak sembarangan orang.59
58
Muḫammad „Utsmān Najātī, Psikologi Qurani Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni,
terjemahan Hedi Fajar dan Abdullah (Bandung: MARJA, 2010), h. 17, 30 dan 40. 59
Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Laporan Hasil Penelitian Jimat
Dalam Konsep Magis Masyarakat Banjar, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 1999), h. 3.
55
Dalam bahasa Arab jimat disebut at-tamā‟im yaitu suatu benda yang
sengaja dibuat oleh dukun, yang diyakini mengandung kesaktian dan dapat
menolak segala jenis penyakit bagi orang yang meyakininya. Tangkal dalam
bahasa Arab disebut ar-raqqī, diartikan sebagai suatu benda yang dibuat oleh
dukun yang diyakini dapat menolak bala penyakit, roh jahat, dan guna-guna.
Adapun guna-guna dalam bahasa Arab disebut at-tuwālat, artinya sebuah
mantra untuk menarik perhatian orang lain, baik dalam bentuk karismatik maupun
pangabaran. Misalnya saja, hal ini dilakukan oleh seorang pemuda untuk
membuat gadis yang dicintainya jatuh hati kepadanya. Guna-guna dapat juga
digunakan untuk membuat orang yang tidak disenangi menjadi celaka atau
menderita, yang disebut juga sebagai santet atau teluh.60
Praktik magis menurut James G. Frazer merupakan keyakinan pertama
yang dipersepsi manusia. Kekuatan magis ini digunakan demi mempertahankan
keberlangsungan hidupnya, dimana mereka dalam parktik sehari-harinya
mengandalkan kekuatan magis. Kemudian, barulah muncul kepercayaan manusia
terhadap agama dan ilmu (sains).61
Frazer mengklasifikasikan magis kedalam dua bentuk: pertama,
homoeopathic magic or imitative of similarity, teori ini harus berdasarkan pada
law of similarity (hukum persamaan) ini mencakup semua perbuatan magis yang
meniru keadaan yang sebenarnya yang hendak dicapai. Kedua, contagious magic,
60
Ahmad Thib Raya dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hope,
1997), Jilid I, h. 288. 61
Sir James Frazer, The Golden Bough: A Study of Magic and Religion (New York:
Oxford University Press, 1994), h. 146 dan 195.
56
magis jenis ini meliputi semua perbuatan magis yang berdasarkan pendirian
bahwa suatu hal yang menyebabkan terciptanya hal lain karena adanya
ketertarikan atau koneksi di antara keduanya. Sir Frazer mendasarkan teori ini
pada law of contact (hukum konektisitas). Jenis ini, ketika bereaksi harus
berdasarkan sentuhan.62
Penjelasan mengenai jimat di atas yang dikeluarkan oleh dukun memang
memberikan gambaran apa itu jimat atau azimat? Akan tetapi, yang menjadi
concern dalam pembahasan ini adalah jimat al-Qur‟an yang diramu oleh ahli
hikmah atau kyai.
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hikmah mempunyai
beberapa arti. Pertama, kebijaksanaan dari Allah. Kedua, sakti atau kesaktian
(kekuatan gaib). Ketiga, arti atau makna yang dalam. Keempat, manfaat.63
Menurut aṭ-Ṭābarī hikmah adalah ilmu tentang hukum-hukum Allah Swt. yang
tidak bisa dipahami kecuali melalui penjelasan Rasulullah Saw. sebagaimana
62
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 19-25. 63
Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1.offline, http://Pusat
Bahasa.diknas.go.id Diakses pada 14.54 WIB 23 Februari 2017.
Sympathetic magis (law of sympathy)
Homoeopathic magic (law of similarity)
Contagious magic (Law of contact)
57
firman Allah Swt. mengenai hikmah dalam Qs. Al-Baqarah: 151, al-Ahzāb: 34,
dan al-Jumu‟ah: 2.
Dari penjelasan di atas, ahli hikmah bukanlah dukun atau ilmu sihir yang
melibatkan Jin atau Setan, melainkan ilmu yang membimbing pada ajaran-ajaran
Allah Swt. dan sunah-sunah Rasulullah Saw. sehingga dapat mengetahui mana
yang halal dan mana yang haram, mana yang diperintahkan dan mana yang
dilarang.64
Ilmu hikmah menurut pemahaman para praktisi ilmu perklenikan dibagi
menjadi tiga bentuk,65
pertama, bentuk tulisan yang lazim disebut wafaq yang
sering kali juga disebut azimat/jimat, yang berarti keteguhan, karena diyakini
dapat membantu mendapatkan keteguhan setelah berdoa. Isi azimat bermacam-
macam, ada yang berupa ayat al-Qur‟an, asma Allah Swt. nama-nama nabi, nama
malaikat, atau nama-nama orang saleh termasuk nama tujuh pemuda saleh yang
bersembunyi di Gua Kahfi.
Kedua, berupa bacaan. Ilmu hikmah berupa bacaan banyak ragamnya,
seperti ratib, yaitu rangkaian doa susunan para habib salaf yang mashur sebagai
Waliyullah (Kekasih Allah), terdiri dari ayat-ayat al-Qur‟an dan dzikir dari
Rasulullah Saw. yang diijazahkan secara umum kepada umat. Ada pula yang
berupa hizib, yaitu doa perlindungan yang berupa hizib yang disusun oleh para
64
Perdana Ahmad, Ilmu Hikmah Antara Karomah dan Kedok Perdukunan, (T.tp.: T.pn.,
t.t.), h. 15. 65
Perdana Ahmad, Ilmu Hikmah Antara Karomah dan Kedok Perdukunan, h. 17.
58
wali (al-Auliyā), seperti Hizib Nashr milik Syaikh Abul Hasan Asy-Syadżili, dan
sebagainya yang ijazahnya diberikan secara khusus.
Ada pula yang berupa asmaul husna, yaitu żikir tawasul dengan
menyebutkan asma Allah Swt. para nabi, malaikat, dan waliyullah. Ada yang
berupa jaljalut, yaitu rangkaian doa yang berasal dari doa syair orang-orang saleh,
seperti jaljalut Ali bin Abi Thalib atau kutipan bait-bait Burdah, dan sebagainya.
Selain itu, ada juga ilmu hikmah yang berupa shalawat.
Ketiga, berupa amalan, yang biasanya berupa puasa atau shalat sunah,
menyertai pengamalan bacaan ilmu hikmah atau penulisan wafaq (jimat al-
Qur‟an). Puasa sunah yang sering diijazahkan adalah puasa sunah mutlaq,
sedangkan shalat sunahnya adalah shalat hajat. Kedua macam ibadah itu diniatkan
untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah Swt.) agar hajatnya cepat
terkabul. Jimat wafaq, rajah, isim dan hizib adalah empat kata yang sangat
populer dalam ilmu supranatural dan perdukunan yang juga banyak diajarkan oleh
para kyai di pesantren-pesantren tradisional dengan ajaran yang menggunakan
pendekatan ilmu tasawuf.66
Mistisisme memandang bahwa jimat adalah ilmu huruf yang didasarkan
pada cara pemakaian dan interpretasi esoterik terhadap huruf-huruf atau lafaẓ al-
Qur‟an secara alphabet yang merangkum tiga aspek seperti ideofonik (simbolisme
suara yang berlebihan), ideografik (simbolisme tulisan atau “hieroglyphic” yang
66
Perdana Ahmad, Ilmu Hikmah Antara Karomah dan Kedok Perdukunan, h. 20.
59
berlebihan), dan aritmologik (setiap huruf memiliki nilai numerik sedemikian
rupa sehingga jimat al-Qur‟an “wafaq” tidak bisa berjalan tanpa ilmu angka).67
Dengan demikian, permasalahan jimat yang berbentuk al-Qur‟an ada
kesesuaian dengan apa yang diungkapkan oleh Ibn „Arabi ketika ia
berkontemplasi (tafakūr) terhadap alam. “Alam semesta tak ubahnya seperti buku
besar, huruf-huruf dalam buku ini, pada perinsipnya, semua ditulis dengan tinta
yang sama dan dilakukan di atas meja abadi oleh Pena Ilahi; semuanya ditulis
secara simultan dan saling berkaitan satu dengan lainnya; atas dasar itulah
fenomena esensial yang tersembunyi dalam “rahasia dari rahasia” diberi nama
huruf-huruf „transanden‟.
Dan huruf-huruf transanden ini, yang bisa disamakan sebagai semua
makhluk, setelah diproses dalam kemahatahuan Tuhan, kemudian diembuskan
lewat napas ketuhanan kepada garis-garis yang lebih rendah dan menyusun serta
membentuk alam yang manifest.”68
Adapun dari ketiga aspek di atas, jimat yang biasa digunakan oleh
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten adalah berbentuk
tulisan lafaẓ al-Qur‟an dan numerologi. Mereka meyakini dan menggunakannya
dapat melindungi dan membawa keberkahan dalam kehidupan sehari-hari.
67
Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 571. 68
Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 571. Dikutip dari
R. Guenon dalam tulisannya, Symbolism of the Cross. penerjemah A. Macnab (London: Luzac,
1975), h. 68.
60
Hal itu biasanya dikenakan di berbagai tempat, seperti diikatkan pada
bagian badan, digantung pada ambang pintu rumah, dijadikan gelang dan di
kenakan di bagian saku celana maupun pakaian. Perhatikan contoh gambar di
bawah ini mengenai jimat al-Qur‟an yang di simpan pada ambang pintu rumah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jimat merupakan sebuah
bahan yang terdiri dari kulit binatang, golok, kertas, maupun kain yang
menggunakan simbol-simbol dalam bahasa Arab, baik berupa huruf, angka,
gambar, nama-nama nabi, malaikat, asmaul husna maupun kombinasi dari
semuanya dan dipersepsi kalangan umat Muslim tradisional mempunyai kesaktian
dan dapat mengobati segala macam penyakit. Akan tetapi, hal ini dapat
difungsikan atas dasar ijazah dari seorang guru, ahli hikmah (kyai).69
Sesuatu hal yang bersifat kesaktian atau magis sudah diyakini oleh
manusia jauh lebih tua dari catatan manusia itu sendiri, bahkan sejarah adalah
69
Khoirul Anwar, “Pesantren, Kiyai dan Tarekat,” Studia Islamika, Volume 5, Nomor 1,
1998: h. 72.
Gambar II.1 Azimat atau
Jimat keselamatan dan
keberkahan yang terbuat
dari kulit harimau.
61
produk keberagamaan manusia.70
Kepercayaan manusia kepada kekuatan
supranatural atau magis terus berevolusi. Salah satu teori dalam antropologi
agama menyebutkan evolusi kepercayaan manusia kepada Tuhan dimulai dari
monoteisme, animisme, dinamisme, politeisme dan monoteisme lagi.71
Kepercayaan manusia kepada kekuatan magis karenanya disebut sebagai
keadaan yang alami atau umum meskipun level kehidupan mereka berbeda-beda.
Ekspresi kebertuhanan saja yang membedakan di antara level-level itu
sebagaimana ditemukan dalam riset-riset antropologi; animisme, dinamisme,
politeisme, dan monoteisme. Manusia dengan argumen-argumen antropologis di
atas disebut sebagai makhluk religius (homo religious), yaitu makhluk yang
memiliki bawaan primordial (azaliy) untuk beragama dan percaya kepada
kekuatan di luar manusia itu sendiri, yaitu Tuhan.72
Dengan demikian, masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
Lebak Banten mengekspresikan kepercayaannya (something) berupa azimat atau
jimat al-Qur‟an (wafaq) yang bersifat pragmatis. Mereka menganggap, bahwa
beban dalam kehidupan sehari-hari akan berkurang dengan jalan (syariat/cukang
lantaran/ikhtiar) mengenakan jimat. Jimat ini biasanya dikenakan pada dinding
rumah maupun digantung di bagian ambang pintu rumah. Masyarakat Adat
70
Daniel L. Pals ed., Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press,
1996), h. 21.
71 Roni Ismail, “Hakikat Monoteisme Islam (Kajian Atas Konsep Laa Ilaḫa illallah),”
Religi, Volume X, No. 10, Juli 2014: h. 172. 72
Roni Ismail, “Hakikat Monoteisme Islam, h. 173.
62
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak-Banten tidak mempercayai pada jimat
atau bendanya, akan tetapi terletak pada makna jimat itu sendiri.73
b. Debus Banten
Provinsi Banten dikenal dengan praktikal-praktikal budaya magis di mata
nasional maupun internasional pada masa pra Islam. Adapun tempat-tempat yang
dianggap keramat oleh masyarakat Banten untuk meraih ilmu kesaktian atau pun
pesugihan, pengasihan, dan lain sebaginya adalah Gunung Karang, Gunung
Kendeng, Gunung Pulo Sari, dan Pulau Panaitan.74
Salah satunya adalah praktikal kesenian tradisional Debus sudah menjadi
semacam trade mark daerah Banten yang dianggap sebagai daerah yang penuh
pesona magis. Ada yang mengatakan kesenian Debus sarat dengan balck magic
(ilmu hitam), tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa Debus meruapakan white
magic (ilmu putih). Semua pementasan yang dipertontonkan kepada publik
merupakan pelajaran yang diambil dari ilmu kekebalan yang berasal dari kitab
suci al-Qur‟an.75
73
(Lamun percaya kana barangna yen bisa ngarubah kahirupan ete ges termasuk syirik,
akan tetapi mun sabalikn, yen Allah swt. tos masihan kasaktian kana eta barang mun cak
pandapat bapak eta boleh-boleh bae) apabila mempercayai jimat yang dapat merubah kehidupan
secara signifikan, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan syrik. Akan tetapi, jika
mempercayai Allah swt. yang telah memberikan keistimewaan terhadap benda itu, maka tidaklah
bertentangan dengan agama. Hal itu sama seperti seseorang ketika lapar, kemudian makan nasi dan
meyakini nasilah yang memberikan kenyang adalah perbuatan syrik. Tetapi jika sebaliknya, Allah
lah yang memberikan fungsi kepada nasi untuk mengenyangkan perut maka berarti tidak syrik.
Hasil wawancara sementara dengan bapak Sanudi, warga Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah
Lebak-Banten, 28 Maret 2017. 74
Hossen Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten (Jakarta: Djambatan:
1983), h. 34-35.
75 Lukman Hakim, ed,. Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik
(Pandeglang: Banten Heritage, 2006), h. 205.
63
Menurut Tb.A. Sastra Suganda76
dan Uki Sandjadirja,77
Debus merupakan
berasal dari ora tembus, lantaran alat-alat kesenian yang digunakan seluruhnya
benda-benda tajam yang membahayakan jiwa manusia. Sejarah Debus berasal
dari zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1652), ketika memegang tampuk
pemerintahan di Banten, Sultan ini sengaja menciptakan kesenian Debus sebagai
salah satu daya tarik dan kebanggaan menjadi prajurit kerajaan Islam Banten.
„‟Kemonesan” (Debus) ini diciptakan untuk menguji ketabahan dan keimanan
seorang prajurit. Pada waktu itu, prajurit dilatih berperang mempergunakan
senjata tajam, seperti golok, bambu runcing, pisau, dan pecahan beling.78
Kesenian Debus merupakan kombinasi dari seni tari, seni suara, dan seni
kebatinan yang bernuansa magis. Pertunjukan Debus biasanya diawali dengan
pembukaan (gembung) yaitu pembacaan shalawat nabi Saw. dan zikir kepada
Allah Swt. yang diiringi dengan tetabuhan.
“„Ibādallah rijālallah aghītsunā li ajlillah, wakūnu aulanā lillah
„asā nakhthā bifadhlillah, wayā aqthāb wayā anjāb wayā sādat
wayā aḫbāb, wa antum yāulil albāb ta‟āla lau wansurū lillah,
sa‟alnākum sa‟alnākum walizulfa rojaunakum, wafī amri
qshadnākum fasyuddu „azmakum lillah, fayā rabbī bisādatī
taḫqaqlī isyārotī, „asa ta‟tī bisyāroti wayashfu waqqutunā lillah, bi
kasyfi al hajbi „an „aeni warof‟il baini min baini, wa thamshil kaifi
wal „aini binūril wajhi yā allah, shalatullah maulanā „ala man
bilhuda janā, waman bilhaqqi al aulanā syafī al kholqi
„ingdallah.”
Artinya:
76
Tb.A. Sastra Suganda adalah tokoh Banten pensiunan dari Kasi Kebudayaan Kantor
Disdikbud. Lukman Hakim, ed,. Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik, h. 206. 77
Uki Sandjadirja merupakan tokoh Banten pensiunan dari Kadis Parawisata. Lukman
Hakim, ed,. Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik, h. 206. 78
Lukman Hakim, ed,. Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik, h. 207.
64
Wahai hamba-hamba Allah, wahai Wali-wali Allah. Tolonglah
kami karena Allah bantulah kami karena Allah, semoga tercapai
hajat kami karena anugerah Allah. Wahai para Wali qutub, wahai
para Wali yang dermawan, wahai para Sayyid dan Habaib
(keturunan Rasulullah saw). wahai para Wali yang memiliki akan
sempurna, engkau adalah penolong, penyantun, datanglah kemari
tolonglah karena Allah. Dengan perantaraan Engkau kami
memohon, dengan perantaraan Engkau kami memohon dengan
mengharapkan doa-Mu kami dekat dengan Allah. Dengan maksud
perantaraan engkau, untuk tercapai urusan kami, karenya
kokohkanlah tujuan kami, karena Allah. Wahai Tuhan kami,
dengan perantaraan tuan-tuan yang menjadi Wali, kokohkanlah
petunjuk-Mu kepada kami. Semoga lekas datang kebahagiaan
kami, semoga waktu kami bersih untuk beribadah karena Allah.
Dengan terbukanya tirai penutup dari mata kami dan hilangkan
penghalang antara kami dan Allah. Dan terhapusnya keraguan,
bagaimana Allah dan dimana Allah dengan cahaya dzat Engkau ya
Allah. Wahay Tuhan kami, semoga kesejahteraan Allah limpahkan
kepada orang yang datang dengan membawa petunjuk kepada
kami yaitu Nabi Muhammad saw, yang memberikan Islam sebagai
agama kami, dan memberi syafaat kepada para makhluk disisi
Allah.
Selanjutnya beluk, yaitu lantunan nyanyian zikir dengan suara keras,
melengking, dan saling bersahutan dengan iringan tetabuhan. Bersamaan dengan
itu atraksi-atraksi kekebalan tubuh seperti menyayat-nyayat bagian tubuh,
memakan pecahan kaca, tidur di atas papan berpaku, atau memasak dengan
tungku di atas kepala dipertontonkan para pemainnya. Atraksi ini diakhiri dengan
gemurung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.79
Adapun syarat bagi pemain debus/pendebus harus beragama Islam.
Kemudian, sebelum melakukan pentas seni debus mesti menjalankan puasa
79
Giyarto, Selayang Pandang Banten (Klaten: PT Intan Pariwara, 2008), h. 43
65
terlebih dahulu dan melakukan ziarah ke makam Kalang Masjid, di Desa itu serta
dalam keadaan bersih atau suci lahir maupun batin.80
Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada hubungannya
dengan tarikat Rifaiah dan Qadariyah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin Ar-
Raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan suatu ritual sedang
dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap muka”
dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh
mereka. Filosofi sederhananya adalah “la haula wala Quwwata illa billah al-
„aliyy al-adzhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata.
Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru
sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan terluka. Pada kelanjutannya,
tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minang pun dikenal istilah Dabuih.
Keyakinan kepada Allah model inilah yang menjadikan debus hingga saat ini
masih terus dikenal bahkan menjadi warisan budaya.81
Debus pada awalnya hanya dimiliki oleh sekumpulan orang Banten yang
tergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan Islam, yakni tarekat qodariyah
dan tarekat rifaiyah. Kehadiran dan perkembangan tarekat ini berhubungan
dengan munculnya fenomena debus di kawasan wilayah Banten. Debus, dalam
hal itu tampak bahwa debus dan tarekat merupakan dua hal yang berkaitan.
80
Lukman Hakim, ed,. Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik, h.
2018-2019. 81
Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 10, Nomor 1, Juni 2006: h.
124.
66
Terdapat seorang pimpinan di dalam tarekat yang biasa dikenal dengan sebutan
Syaikh atau Kyai.82
Dalam melakukan atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat-syarat
yang berat, sebelum pentas mereka melakukan ritual-ritual yang diberikan oleh
guru mereka. Biasanya dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu
mereka juga dituntut mempunyai iman yang kuat dan harus yakin dengan ajaran
Islam.
Pantangan bagi pemain debus adalah tidak boleh minum minuman keras,
main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan pemain juga harus yakin dan tidak
ragu-ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut, pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang pemain bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut.83
Niali-nilai yang terkandung dalam seni tradisioanl debus yang
dipraktikkan di menes Pandeglang Banten, di antaranya adalah pertama aqidah,
yaitu nilai-nilai keimanan yang meliputi, iman kepada Allah, iman kepada
Malaikat Allah, iman kepada kitab Allah, iman kepada Rasul, iman kepada hari
akhir atau kiamat dan iman kepada qada dan qadar.84
Kedua, nilai syari‟ah yaitu syahadat, shalat, membayar zakat, puasa,
menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, berdoa, taubat yang sebenarnya,
82
Muhammad Tamamul Iman, Dimensi Ontologis Debus: Sumbangnya Bagi
Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di Walantaka, Kota Serang,
Banten) (Tesis S2 Program Pasca Sarjana Ilmu Filsafat, Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
2005), h. 3. 83
Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten,” h. 126. 84
Iis Sulastri, “Nilai-Nilai Islam Dalam Seni Tradisional Debus di Menes Pandeglang
Banten,” (Skripsi S1 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 1435 H/2014 M), h. 50
67
bersyukur atas nikmat Allah, berzikir, dan pernikahan. Artinya, hal ini dilakukan
atas dasar kesanggupan dalam menjalankan perintah Allah dan larangannya.
Di samping syahadat merupakan pintu manusia untuk memeluk agama
Islam, para pemain debus adalah beragama Islam dan hanya orang-orang Muslim
saja yang dapat mempelajarinya, karena dalam prosesnya terdapat ritual-ritual
agama yang akan dilaksanakan oleh anggota debus seperti dzikir, amalan surat-
surat pendek atau pun surat-surat panjang yang diambil dari al-Qur‟an, kemudian
bershalawat kepada nabi Muhammad Saw.85
Ketiga, akhlak artinya daya kekuatan (sifat) yang tertanam dalam jiwa dan
mendorong perbuatan-perbuatan sepontan tanpa memerlukan pertimbangan
pikiran. Jadi, akhlak merupakan sikap yang melekat pada diri seseorang dan
secara sepontan diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan. Dalam praktik
seni tradisional debus meyakinkan dan pasrah kepada Allah adalah hal yang harus
dilakukan oleh para pemain debus, hal ini akan menjadikan sebuah ketenangan
dan keyakinan untuk melakukan atraksi yang sangat ekstrim itu.86
Dan keempat, seni tradisional debus terdapat nilai ibdah, artinya sesuatu
yang berhubungan antara manusia (hamba) dengan Tuhannya. Nilai ibadah yang
terkandung dalam kesenian tradisional debus sebagaimana tata cara dalam
mempraktikkan kesenian ini adalah menjalankan rukun Iman, menjalankan rukun
Islam, berdoa, tolong-menolong, sabar, ikhlas, taubat, pernikahan, tawakal, dan
85
Iis Sulastri, “Nilai-Nilai Islam Dalam Seni Tradisional Debus,” h. 52. 86
Iis Sulastri, “Nilai-Nilai Islam Dalam Seni Tradisional Debus,” h. 55.
68
taqwa (taat).87
Debus secara hakiki adalah debus itu sendiri dan merupakan suatu bentuk
pembuktian kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan benda tajam melalui
suatu peragaan yang disebut dengan atraksi “debus”. Kekebalan tersebut
diperoleh melalui keyakinan dan kepasrahan total seorang pelaku debus terhadap
keberadaan Tuhan Sang Pemberi Kekebalan. Oleh karena itu, hakikat utama
debus adalah sebagai suatu sarana untuk meningkatkan keyakinan diri pada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah swt.) atas segala fenomena realitas
dalam kehidupan.88
D. Agama dan Jimat
Frazer mengemukakan suatu skema evolusi sederhana, suatu ekspresi
dari keyakinan rasionalismenya sejarah manusia melewati tiga fase yang secara
87
Iis Sulastri, “Nilai-Nilai Islam Dalam Seni Tradisional Debus,” h. 57. 88
Muhammad Tamamul Iman, Dimensi Ontologis Debus: Sumbangnya Bagi
Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di Walantaka, Kota Serang,
Banten) (Tesis S2 Program Pasca Sarjana Ilmu Filsafat, Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
2005), h. 259.
Gambar II.1 Tugu Debus
dilihat dari kejauhan
Pakupatan Serang Banten.
Sumber:
https://www.google.co.id/se
arc.hdebus
69
berurutan didominasi oleh: magis, agama, dan sains.89
Fase kedua, agama
sebagai suatu institusi yang terdiri dari interaksi yang dipola secara kultural.
Agama juga mengajarkan bagaimana pentingnya sebuah ritual, karena sistem
simbol yang berperan untuk mengukuhkan motivasi dan suasana hati yang kuat,
dirasakan dan hadir di mana pun dan kekal dalam diri seseorang,
memformulasikan konsepsi tentang keteraturan eksistensi dan membungkus
konsepsi itu dengan pancaran faktualitas, di mana suasana hati dan motivasi itu
secara khas dan tampak realistis.90
Menurut Frazer, keajaiban magis sudah ada
sejak zaman dahulu. Kemudian, berproses dimana roh-roh diasumsikan dapat
membantu atas dukungan mereka dengan doa dan pengorbanan manusia.
Dengan demikian, praktik tersebut memberikan perubahan yang signifikan,
karena mereka menunjukkan bahwa magis telah diwarnai dan dicampur dengan
agama.91
Oleh karena itu, dengan agama, masyarakat memahami pendamaian atau
konsiliasi kekuasaan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercaya untuk
mengarahkan atau mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Kekuatan agama lebih tinggi dari manusia dan berusaha untuk mendamaikan atau
menyenangkan.92
Jiwa-jiwa manusia adalah satu di dalam satu spesies (rumpun
manusia). Namun berbeda-beda jika dilihat dari segi kualitas khususnya jiwa ada
bermacam-macam jenis, dan setiap jenisnya dibedakan oleh suatu kualitas khusus
yang tidak terdapat pada jenis jiwa lainnya. Kualitas-kualitas itu muncul menjadi
89
Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, h. 17. 90
Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, h. 55. 91
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 51-52. 92
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 54.
70
suatu watak alami yang eksklusif melekat pada jenis jiwanya tersendiri. Perbedaan
jiwa di atas berdasarkan kualitas, terdapat pada jiwa-jiwa para nabi yang memiliki
pengetahuan rabbani. Begitu pun jiwa-jiwa orang yang mengenakan jimat pun
memiliki kualitas (kemampuan) untuk memberikan pengaruh terhadap manusia.93
Adapaun prinsip-prinsip dari praktik magis; pertama, melakukan
pengaruhnya melalui kekuatan mental tanpa alat ataupun bantuan. Kedua,
melakukan pengaruh magis dengan bantuan watak gambar atau benda. Dan
ketiga, melakukan magis dengan menggunakan kekuatan-kekuatan imajinasi.94
Namun, kekuatan magis dan penggunaan jimat dilarang oleh syari‟at agama
karena mengandung bahaya dan mengharuskan orang-orang mempraktikkannya
untuk menghubungkan dirinya dengan benda-benda selain Allah Swt. seperti
bintang-bintang dan lainnya.95
Sejak zaman masyarakat primitif, memang telah ada dan bersemi
kepercayaan-kepercayaan kepada hal-hal yang aneh, ganjil dan roh-roh, maupun
magis. Setelah agama berkembang, dengan diutusnya para rasul-rasul Allah
Swt. lambat laun umat disetiap zaman berangsur-angsur memisahkan antara
kepercayaan kepada hal yang aneh-aneh dengan agama. Menurut Quraish
Shihab, akibat dari minimnya pemahaman terhadap batas pemisah antara
93
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 683. 94
Sir James Frazer, The Golden Bough, h. 19 95
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 683.
71
agama dan kepercayaan, maka sangat sering terjadi percampuran antara
keduanya, yakni kepercayaan dengan agama.96
96
Najmil Husna, “Wawasan Sihir dalam Tafsir al-Kabīr”, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1427 H/2007 M), h. 84-85. Dikutip dari M. Quraish
Shihab, Yang Tersembunyi, (Jakarta : Lentera Hati, 1999), h. 165.
72
BAB III
SEJARAH JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON KASEPUHAN
LEBAK BANTEN
Islam masuk ke Indonesia karena dibawa oleh orang-orang yang
berdagang melalui jalur India Indonesia yang disebut Gujarat.1 Menurut
Pijnapel, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi‟i yang bermigrasi dan
menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. Hal itu
dibuktikan adanya batu nisan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 1822/1419)
di Gersik Jawa Timur.2
Muslim Indonesia telah terasimilasi oleh budaya gujarat, tasawuf, dan
animisme dan dinamisme masyarakat melayu itu sendiri, kemudian hal itu
tertanam sebagai sebuah komponen integral dalam kehidupan keagamaan dan
spiritual bangsa melayu, Indonesia yang berlanjut hingga hari ini.3 Penulis
berpendapat, sangatlah wajar jika Islam Indonesia mempunyai perbedaan yang
mencolok dengan Islam pada umumnya di dunia. Karena sebagian umat Muslim
di Indonesia masih banyak mempercayai kekuatan gaib yang disebut dengan
mana, yaitu tuah atau sakti.
1 Aceng Abdul Azis Dy dkk, Islam Ahlusunnah Waljama‟ah di Indonesia; Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka Ma‟arif NU, 2006), cet. ke-I, h. 1. 2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-4, h. 24. 3 Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terjemahan: M
Solihin Arianto dkk, (Bandung: Mizan, 2003), cet. Ke-I, h. 353.
73
Dalam masyarakat Indonesia orang masih menghargai barang-barang
yang dianggap sakti dan bertuah, seperti golok wafaq,4 keris, batu cincin, dan
jimat al-Qur‟an. Dengan memakai benda serupa ini, orang menganggap akan
dapat terpelihara dari penyakit, kecelakaan, bencana, dan lain-lain. Hal tersebut
tergantung khasiat pada barang-barang yang mereka anggap mempunyai mana, 5
yaitu kekuatan gaib yang dapat memelihara pemiliknya.
Dengan demikian, disadari atau pun tidak, masyarakat yang mempersepsi
pada benda yang bertuliskan ayat-ayat suci al-Qur‟an telah hadir di tengah-
tengah kehidupan masyarakat. Hal ini, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini,
tentang hiruk pikuk al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Lebak Banten yang menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat.
A. Sosial Kemasyarakatan Adat Wewengkon Kasepuhan
1. Letak Geografis dan Sejarah Kasepuhan
Warga Kasepuhan yang bertempat tinggal di daerah Lebak (Banten
Selatan) tinggal di sekitar kawasan Gunung Halimun. Mereka berasal dari satu
kesatuan sosial, sejarah, ekonomi, dan budaya yang sama dengan warga
Kasepuhan yang tinggal di kawasan lain, kompleks Gunung Halimun di wilayah
Bogor Selatan dan Sukabumi.6 Di Banten Selatan (Banten Kidul) warga
4 Golok wafaq merupakan golok yang bertuliskan arab dan dianggap mempunyai
kekuatan magis. 5 Mana dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut mana dan dalam bahasa Indonesia
mempunyai arti tuah atau sakti. Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
Jilid I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), cet. ke-5, h. 4-5. 6 Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006), h. 132.
74
Kasepuhan yang terdiri dari incu putu (keturunan) bermukim di sekitar
Kecamatan Bayah, Cibeber, dan Cipanas. Di Kecamatan Cibeber antara lain
terkonsentrasi di Kampung Tegal Lumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, dan
Simangalih.
Adapun Kasepuhan yang menetap di perkampungan sekitar Desa
Mekarsari, Simagalih, Sukamulya, Neglasari, Hegarmanah, Warung Banten,
Cihambali, Cikadu, dan Citorek. Sedangkan Kasepuhan di wilayah Kecamatan
Cipanas mereka tinggal menyebar di kampung Gajrug, Sajira, dan Guradog.
Sisanya, Kasepuahan yang tinggal di daerah Bogor Selatan adalah Kasepuhan
kampung Urug, kampung Pabuaran, dan Cipatat Kolot Kecamatan Cigudeg.
Selain itu, Kasepuhan yang bermukim di Sukabumi Selatan, mereka menyebar di
sepanjang sungai Cibareno, Kecamatan Cisolok. Warga Kasepuhan menamakan
diri warga „kasatuan‟ (kesatuan adat) dalam tata cara kehidupan mereka masih
kuat dalam menjalankan tatali paranti karuhun, yaitu masyarakat adat kasepuhan
yang masih memegang teguh dan terikat kuat oleh nilai-nilai dan aturan adat
istiadat tradisional yang diwariskan secara turun temurun.7
Pola perilaku sosial budaya masyarakat adat Kasepuhan hingga kini masih
menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16. Walaupun dalam
beraktivitas mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat Desa
pada umumnya. Sikap terbuka yang ditunjukkan oleh masyarakat Kasepuhan yang
membedakan mereka dengan masyarakat Baduy yang bermukim di sekitar
7 Lukman Hakim, Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik
(Pandeglang: Banten Heritage, 2006), h. 194.
75
kawasan Gunung Kendeng yang terletak tidak jauh dari kawasan Gunung
Halimun.8
Dengan demikian, yang menjadi concern dari letak Geografis di atas
adalah masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten. Di mana,
masyarakat Kasepuhan ini terletak di Kecamatan Cibeber dari sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Muncang dan Kecamatan Sobang. Sedangkan
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bayah, sebelah Barat berbatasan
dengan Kecamatan Panggarangan dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Sukabumi.9 Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak
Banten berjumlah 5 Desa. Keseluruhan Desa tersebut dinamakan „se-
Wewengkon‟ yang terdiri dari Desa Citorek Tengah, Desa Citorek Timur, Desa
Citorek Barat, Desa Citorek Sabrang, dan Desa Citorek Kidul (Ciusul).10
Sedangkan untuk mencapai ke lokasi masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Lebak Banten dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu
Rangkasbitung ke Citorek melalui Kecamatan Cipanas-Ciparasi Sobang,
kemudian Kecamatan Muncang +/- 50 Km dan berjalan kaki sekitar 12 Km.
Adapun dari sebelah Rangkasbitung-Cikotok-Warung Banten-Citorek Kecamatan
8 Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 133.
9 Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak, Membuka
Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah
Situs Lebak Sibedug (Rangkasbitung: Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata
Kabupaten Lebak, 2004), h. 77. 10
Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2016 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2016), h. 5-6.
76
Cibeber bisa ditempuh melalui Malingping-Bayah sekitar 170 Km dan berjalan
kaki sekitar 12 Km.11
Adapun asal-usul warga Kasepuhan masih memiliki hubungan yang erat
kaitannya dengan Kerajaan Sunda terakhir di Jawa Barat yang berkedudukan di
Bogor. Hal ini ditunjukkan ketika Kerajaan Sunda diserang oleh tentara Banten
pada tahun 1579, banyak anggota kerajaan Prabu Siliwangi melarikan diri ke
sekitar kawasan Gunung Halimun, lereng Gunung Cibodas, dan Gunung Palasari
ke Jasinga (Jayanga) dan Bayah, ke pertapaan Sanghyang Sirah dan Borosngoro12
di Jengkulon (Ujung Kulon), bahkan ada yang bergabung dengan penghuni
parahyang (Baduy) di Pegunungan Kendeng.13
Menurut cerita para “baris kokolot” atau tokoh adat di berbagai tempat di
kalangan warga Kasepuhan, silsilah Kasepuhan Banten Selatan terdiri dari dua,
yaitu Pancer Mandiri dan Pancer Pangawinan. Pancer Mandiri merupakan
keturunan sisa-sisa laskar Cirebon yang tinggal di kawasan Bayah. Salah seorang
pemimpin utamanya bernama “Ama Putra”. Pada waktu Siliwangi akan
ngahyang, ia menitipkan keturunan Pancer Pangawinan kepada Pancer Mandiri.
Perhatikan bagan silsilah Adat Kasepuahan di bawah ini.
11
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta
Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug, 78. 12
Ini merupakan salah satu tempat pertama persinggahan dari keturunan Pancer
Pangawinan. 13
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 133-134.
77
2. Tatanan dan Filosofi Hidup Masyarakat Kasepuhan
Di kalangan masyarakat Kasepuhan Banten Selatan terdapat suatu filosofi
tentang hidup dan kaitannya dengan alam semesta (makrokosmos) sebagai suatu
sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-
elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan
keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.14
Dalam kehidupan sehari-hari, filosofi tersebut tampak jelas dalam kegiatan
pengelolaan sumber daya alam. Hal ini seperti yang mereka lakukan dalam
14
Lukman Hakim, Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik, h. 196-
197.
Kasepuhan Adat
Pancer Mandiri Pancer Pangawinan
Ki Demang Haur Tangtu Guru Alas Luminang Kendungan Puun Buluh Panuh
Ki Buyut Mar (dari Guradog ke Lebak Binong)
Nini Buyut Tundasara
?
Kasepuhan Citorek Kasepuhan Bayah Ki Buyut Mas (dari Lebak
Binong ke Cipatat)
Ki Buyut Sak (Ki Buyut
Sukma Sambung Jaya) Ki Buyut Boa Ros (Ki Buyut Sukma Kalang Dewa)
Nini Buyut Kas (Lebak Larang)
Aki Buyut ij
?
Kaepsuhan Cisungsang
Aki Buyut War (dari Cipatat ke Lebak Larang)
Aki Buyut Ros Nini Buyut Sam (Cibeber)
?
Kasepuhan Cicarucub
Genealogi (silsilah) adat Kasepuhan
Banten Selatan
(Sumber: Doc. Pemda Lebak)
78
mengelola sumber daya hutan dan pertanian, kegiatan ekonomi, kesehatan dan
kehidupan keagamaan berpegang teguh pada tatali paranti karuhun.
Dalam upaya melaksanaka doktrin tatali paranti karuhun di atas,
masyarakat Citorek yang berketurunan pancer pangawinan mengembangkan
ajaran dasar pembinaan moral yang disebut ngaji diri (intropeksi diri) untuk
mencapai kondisi yang seimbang antara makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep
ajaran tersebut yang bermakna sebagai mawas diri atau mengintrospeksi kembali
kepada jiwa (muḫasabatul nafsī). Prinsip tersebut dilakukan agar manusia
terhindar dari perbuatan iri dan dengki pada sesama. Dalam istilah kasepuhan
disebut dengan sirik pidik iren panastren.15
Praktik kehidupan masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek
memberikan petuah (al-ḫikmah) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya
melawan sifat sirik pidik iren panastren, dilakukan melalui meditasi (tafaḵur atau
nyepi). Gunanya adalah untuk mencapai ketertiban dan keselarasan dalam
kehidupan sosial di Dunia, sebagai bekal di kemudian hari untuk kehidupan di
Akhirat nanti.
Agar tercapai kehidupan yang selaras, tertib, aman, dan tentram dalam diri
manusia, warga Kasepuhan berpegang pada prinsip ucap jeung lampah yang
berarti antar ucapan dan perbuatan harus seimbang, tidak bertentangan satu sama
lain. Hal ini digambarkan dalam mipit kudu amit, ngala kudu menta, 16
nganggo
15
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 137. 16
mipit kudu amit, ngala kudu menta merupakan setiap kali akan memetik atau menuai
hasil pertanian, warga kasepuhan harus memohon izin kepada para karuhun dengan berpegang
teguh pada tatali paranti karuhun. Do‟a tersebut diucapkan oleh sesepuh sesepuh Girang
79
kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna,17
mupakat kudu
sarerea, 18
ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara.19
Isi dari kesusasteraan
Sunda tersebut merupakan ajaran keagamaan atau etika bermasyarakat atau
tentang hal-hal yang bertalian dengan hidup orang Sunda.20
Kemudian, selain itu, apabila mempunyai tujuan hidup (cita-cita) harus
diimbangi dengan ukuran tertentu, yaitu ukuran posisi tengah. Hal itu tampak dari
berbagai ungkapan seperti hareup bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang.21
Sebuah ungkapan yang dimiliki orang Sunda pada masa lampau, seperti
diungkapkan dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian: dahar tamba
lapar, nginum tamba hanaang.22
(Guradog) atau tokoh adat lainnya pada setiap awal kegiatan sosial masyarakat Kasepuhan. Lihat,
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006), h. 138. 17
nganggo kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna merupakan dalam
setiap tingkah laku seahri-hari, masyarakat Kasepuhan harus jujur, dan bentuk apapun yang
mereka peroleh harus dibenarkan oleh aturan adat serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Kasepuhan tidak diperkenankan untuk berbuat bohong, berbicara apa adanya. Lihat, Nina Herlina
Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 138. 18
mupakat kudu sarerea, ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara adalah dalam setiap
musyawarah, baik resmi atau pun tidak harus berdasarkan keputusan bersama. Hal ini ditunjukan
oleh semua masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam pembangunan
rumah, semuanya menghadap ke Timur dan Barat. Referensi ini didapat ketika wawancara dengan
tokoh agama, yaitu Rustandi, warga Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah Lebak-Banten, 29
Maret 2017. 19
ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara adalah dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten harus taat dan berpedoman pada
hukum yang berlaku dan berlindung pada hukum Negara. Lihat, Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah
Kabupaten Lebak, h. 139. 20
Ajip Rosidi, Sastera dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1995), h. 378.
21 hareup bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang bermakna terlalu depan bisa
tersungkur, terlalu belakang bisa tertelentang. Lihat, Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten
Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006),
h. 139. 22
Sanghyang Siksakandang Karesian: dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang adalah
ajaran masyarakat Kasepuhan dalam hal terkecil pun seperti makan harus seimbang, yaitu makan
80
Filosofi kehidupan yang dijadikan konsep dasar ideal masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten merupakan prinsip moral dalam
kehidupan sehari-hari, agar tercipta masyarakat Kasepuahan yang selaras, tertib,
aman, tentram, dan bersahabat dengan alam. Sebagaimana yang diajarkan oleh
tatali paranti karuhun. Sebaliknya, apabila dalam setiap langkah kehidupan tidak
sesuai dengan tatali paranti karuhun akan mendatangkan bencana (kabendoan).
Adapun dalam perspektif sistem pemerintahan masyarakat Kasepuhan
mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem adat. Sistem
nasional mengacu pada aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan
sistem adat mengacu pada adat istiadat Kasepuhan. Kedua sistem tersebut
disatupadukan atau berasimilasi sedemikian rupa agar tidak berbenturan satu sama
lain. Secara nasional, masyarakat Kasepuhan dipimpin oleh Kepala Desa yang
kedudukannya di bawah Camat, dan dalam sistem adat ia tunduk kepada kaolotan
atau adat Kasepuhan.23
Akan tetapi, Kepala Desa atau lurah masyarakat Kasepuhan menyebutnya
dengan istilah Jaro/kajaroan.24
Term tersebut sudah populer dan dikenal hampir di
sekedar menghilangkan rasa lapar, dan minum pun hanya sekedar menghilangkan rasa haus. Lihat,
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 139. 23
Olot adalah pemimpin yang menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan
masyarakat. Olot ditetapkan berdasarkan garis keturunan langsung (putra) dari olot terdahulu
melalui wangsit yang diperoleh dari sesepuh. Selain itu, ia juga harus berwibawa dan menjalani
berbagai ritual semedi (bermeditasi) dan tidak boleh melanggar aturan adat yang ditetapkan tatali
paranti karuhun. Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 145. 24
Menurut HMA, Tihami Jaro berasal dari bahasa Arab yaitu al-Jaru yang artinya
tetangga. Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jaro. Term Jaro merupakan
mengadaptasi aspek semantik, kemudian terbentuknya entitas Kajaroan dimulai dari keberadaan
pemukiman/rumah tempat tinggal satu keluarga. Pemukiman ini, secara alamiah kemudian
bertumbuh-kembang dengan melahirkan tetangga-tetanga (al-Jaru). Di dalam pemukiman
ketetanggaan yang terus bertumbuh dan semakin banyak jumlahnya itu kemudian lahir sistem
pengetahuan bersama yang mengatur penyelenggaraan tata kehidupan masyarakat yang disebut
81
seluruh wilayah Banten sampai hari ini. Kecuali di beberapa daerah di sekitar
Kabupaten Tangerang, dimana istilah Jaro dipergunakan untuk menyebut Kepala
Kampung/RW maupun RT.25
Di tanah kajaroan terdapat beberapa bentuk kearifan lokal, di antaranya;
Pengelolaan sawah tangtu, tradisi kuriak atau babad jalan (gotong royong),
kewajiban bayar pancen sehabis panen satu tahun satu kali, pengelolaan leuit
Kasepuhan, dan tradisi liliuran (saling membantu satu sama lain).26
Adapun struktur Pemerintahan Kasepuhan terdiri dari olot yang sejajar
dengan Bupati. Akan tetapi, garis atau hubungannya tidak langsung. Di dalam
praktik pelaksanaannya dunia kaolotan atau Kasepuhan dibantu langsung oleh
sekretaris dan penasihat, serta sejumlah sesepuh adat lainnya disebut Rendangan.
Tugas sehari-harinya, Kasepuhan dibantu oleh pangampih (dukun), bengkong
(juru khitan), amil (pengurus keagamaan), paraji (dukun persalinan dan pranata
yang menyertainya), dan panday (pengurus pertanian dan peralatannnya). Selain
itu, olot juga dibantu oleh olot lembur (wilayah) yang berperan sebagai
perwakilan langsung olot di setiap wilayah.27
dengan pemimpin, yaitu Jaro. Lihat, Agus Sutisna, Revitalisasi Kajaroan; Jalan Alternatif Menuju
Otonomi Desa di Banten (Rangkasbitung Banten: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi La Tansa Mashiro Rangkasbitung, 2003), h. 27-28. 25
Agus Sutisna, Revitalisasi Kajaroan; Jalan Alternatif Menuju Otonomi Desa di Banten,
h. 3. 26
Wawancara dengan Mulyadi Sugiansar, tokoh budayawan adat wewengkon Kasepuhan
Citorek pada tanggal 19 April 2017. 27
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 146.
82
3. Tradisi Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
a. Tradisi Lokal
Mata pencaharian mayoritas masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten dalam bidang pertanian. Hal ini sudah dilansir oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lebak pada Tahun 2016 dimana masyarakat
Adat Kasepuhan Citorek Tengah memiliki lahan panen padi seluas 307,0 Ha,
Citorek Timur 145,0 Ha, Citorek Kidul 218,0 Ha, Citorek Barat 320,0 Ha, dan
Citorek Sabrang 347,0 Ha. Dalam satu kali panen (satu tahun satu kali)
masyarakat Adat Kasepuhan Citorek Tengah berproduksi 1.627 Ton, Citorek
Timur 783 Ton, Citorek Kidul 1.199 Ton, Citorek Barat 1.760 Ton, dan Citorek
Sabrang 1.672 Ton.28
Sehingga, kegiatan sosial di atas yang menjadikan tali ikatan bagi
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten bagi mereka
dimana pun berada adalah upacara Seren Tahun.29
Budaya tersebut warisan dari
zaman kerajaan Sunda dan terus bertahan hingga kini.30
Hal itu dilakukan karena
rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt. hasil panen yang
dilaksanakan pada tahun terdahulu, disertai harapan agar tahun selanjutnya
kehidupan pertanian akan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
28
Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2016 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2016), h. 67-68. 29
Seren Tahun merupakan upacara ritual sedekah bumi dilaksanakan setiap tahun setelah
panen padi usai. Kegiatan ini menggambarkan ucapan syukur masyarakat kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas rezeki yang telah diberikan dengan selametan. Upacara adat ini langsung dipimpin
oleh Kasepuahan Pusat. Pada upacara adat tersebut biasanya hadir semua sanak family dari
berbagai daerah dan kota, sehingga suasananya sangat meriah dan ramai. Lihat, Lukman Hakim,
Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik (Pandeglang: Banten Heritage,
2006), h. 197. 30
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, h. 139-140.
83
Dalam prosesi kegiatan pertanian khususnya tanaman padi melalui upacara
adat ke dalam beberapa tahap, yaitu nandur, upacara selamatan awal menanam
padi (dari mulai padi disemaikan), salametan mapag pare beukah, yaitu upacara
selamatan padi mulai berisi atau mulai berbuah, salamet mipit pare, yaitu upacara
selamatan memetik padi, salametan nganyaran, yaitu upacara selamatan makan
padi baru, dan seren tahun, yaitu upaca rasa syukur yang dilakukan Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten atas hasil panen yang telah didapat
dan diiringi dengan menampilkan berbagai macam kesenian daerah.31
Sebelum bercocok tanam padi (nandur) di atas, masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek bercocok tanam padi di daratan terlebih dahulu,
yang disebut ngahuma. Ketika masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan hendak
melakukan nandur, pusat Kasepuhan menginstruksikan agar pelaksanaannya tidak
random, melainkan harus bersama-sama seluruh incu putu Wewengkon Citorek.
Kemudian, apabila setelah padi merunduk dan berisi. Tata cara
pengambilan padi di sawah harus diawali dengan sawah tangtu32
terlebih dahulu.
Selain itu, Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek memerintahkan agar
melaksanakan nandur (menanam padi) atau pun salamet mipit pare (menjelang
panen padi) harus bersama-sama dan pelaksanaannya satu tahun sekali
mempunyai makna filosofis, yaitu memutus mata rantai generasi hama seperti
31
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta
Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug (Rangkasbitung: Dinas Informasi, Komunikasi, Seni
Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak, 2004), h. 84. 32
sawah tangtu adalah sawah milik adat Kasepuhan yang dikerjakannya secara gotong
royong oleh semua incu putu, masyarakat adat wewengkon Citorek. Hasil wawancara dengan
Budayawan Citorek, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19 April 2017 pukul 13.54 WIB.
84
tikus maupun burung, karena letak pertanian Wewengkon Citorek dikelilingi
hutan rimba.33
Menurut Jaro Jajang, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek mempunyai makna yang sama dengan nilai-nilai
Islam. Salah satunya adalah pelaksanaan panen padi yang diselenggarakan satu
tahun secara gotong royong, seren tahun yang diselenggarakan di pusat Adat
Wewengkon Kasepuhan dan semua incu putu ikut serta menyukseskan dalam
prosesi tersebut, serta kuriak (gotong royong) dalam memberesihkan jalan
mempunyai makna persatuan dan kesatuan. Sebagaimana firman Allah Swt. “Dan
berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
bercerai-berai.”34
Dalam perspektif kaolotan Kampung Babakan Cicurug Kasepuhan Citorek
Tengah, menurut olot Sariman tradisi masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek mulai dari mula sara tutup bulan sani tahun, yaitu mengadakan ziarah
kubur akbar seluruh masyarakat Adat Wewengkon untuk mendoakan orang-orang
yang telah wafat. Selain itu, sebelum acara seren tahun ditentutakan jatuh pada
tanggal berapa? Semua pengurus Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Terlebih
dahulu mengadakan beberes yaitu musyawarah mufakat dalam menentukan acara
tersebut.
33
Hasil wawancara dengan Budayawan Citorek, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19
April 2017 pukul 13.54 WIB. 34
Lihat, Qs. „Ali-Imrān: 103. Hasil wawancara dengan pengurus AMAN (Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara), Jaro Jajang pada tanggal 21 April 2017 pukul 14.11 WIB.
85
Pada prosesi acara ini, semua sanak family dimana pun berada baik di kota
maupun di luar kota pulang ke kampung halaman (nyaba). Istilah tersebut dalam
pandangan dunia adat Kasepuhan disebut balik tahun, layaknya seperti pulang
kampung pada saat Bulan Puasa menjelang hari raya umat Islam yang jatuh pada
tanggal 1 Syawal, yaitu Idul Fitri.35
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek mempunyai tradisi yang
hampir sama dengan wilayah masyarakat adat Kasepuhan Banten Selatan, yaitu
dalam setiap tahunnya dilaksanakan nyawah (bercocok tanam/pertanian), ternak
ikan mas, kemudian ditutup dengan syukuran geude (selamatan akbar) yang
diselenggarakan di pusat Kasepuhan Citorek, yaitu di Rumah Timur (Pusat
Kasepuhan Citorek).
Selain itu, di tengah-tengah seren tahun dilaksanaan khitanan masal yang
disebut heularan. Hal ini tergantung masyarakatnya yang meminta kepada tokoh
Kasepuhan. Dalam heularan terdapat tradisi yang unik, salah satunya adalah
menghantarkan anak-anak yang dikhitan secara beriring-iringan menggunakan
35
Hasil wawancara dengan Tokoh Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek
Tengah, Olot Sariman pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.02 WIB.
Gambar III.1 Ziarah
bersama adat Kasepuhan
Citorek dari kejauhan
pada saat prosesi seren
tahun.
(Sumber:
https://www.google.com/
search?q=rumah+adat+
citorek diakses pada tgl 7
Mei 2017).
86
mobil-mobilan, kapal-kapalan, yang didesain dari bambu dan kertas berwarna.
Kemudian diiringi ujung (berperang dengan menggunakan rotan), dan tari-tarian
khas Sunda.36
b. Tradisi Keagamaan
Tradisi keagamaan yang biasa dilakukan incu putu masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek, yaitu Peringatan Hari-hari Besar Islam (PHBI)
seperti awal Muharam (Tahun baru Islam), 10 Muharam (Hari asyura), 12 Rabiul
Awal (hari lahirnya Rasulullah Saw), 27 Rajab (hari isra‟ mi‟raj), 15 Sya‟ban
(hari pintu rahmat), 17 Ramdhan (hari turunnya al-Qur‟an), 1 Syawal (hari raya
idul fitri), dan 10 Zulhijah (idul adha). Hari-hari itu dilakukan berkesinambungan
dari tahun ke tahun.37
Pada 12 Rabiul Awal, hari lairnya nabi Muhammad Saw. masyarakat
Wewengkon Citorek mengadakan upacara ngasahkeun pakaks (mempertajam
36
Hasil wawancara dengan Jaro (Kepala Desa) Citorek Sabrang, Asid Rosidin pada
tanggal 22 April 2017 pukul 09.34 WIB. 37
Wawancara dengan santri kolot Majlis Ta‟lim Nurul Iman Kampung Babakan Cicurug,
Suryadinata pada tanggal 19 April 2017 pukul 17.41.
Gambar III.2 Ngarengkong
(mengarak padi) pada saat
prosesi seren tahun
(Sumber:
https://www.google.com/search
?q=rumah+adat+citorek
diakses pada tgl 7 Mei 2017).
87
kembali) bagi adat Kasepuhan. Selain itu, pada bulan ini masyarakat Citorek
meyakini bulan silih mulud adalah bulan keramat, sehingga seluruh santri se-
Wewengkon Citorek melakukan puasa sesuai tujuannya masing-masing.38
Selain itu, pada tanggal 27 Rajab, hari isra‟ mi‟raj di tiap-tiap kampung
Wewengkon Citorek mengadakan cermahan (siraman rohani) yang disampaikan
anak-anak berusia 5-15 tahun. Kemudian, apabila seluruh rangkaian acara siraman
rohani sudah selesai, maka seluruh masyarakat Adat Wewengkon Wewengkon
Citorek mengadakan ngariung gedena, berdoa bersama di Masjid disertai makan
tumpeng bersama.39
c. Tradisi Keseharian Anak-anak Kasepuhan
Dalam keseharian anak-anak Wewengkon Citorek, terdapat tradisi yang
berbeda dengan keseharian anak-anak yang bermukim di Kota. Kegiatan
kesehariannya setelah pulang dari Sekolah, anak-anak Wewengkon Citorek
melakukan kegiatan yang bermanfaat,40
seperti naheun corak,41
naheun sosog,42
38
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat adat Kasepuhan Desa Citorek Timur,
K.H. Mahmud pada tanggal 21 April 2017 pukul 10.04.
39 Wawancara dengan tokoh agama Citorek Kidul, Ust. Mukhtar al Khoiri pada tanggal
23 April pukul 11.12 WIB. 40
Wawancara dengan budayawan masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Tengah, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19 April 2017 pukul 13.54 atau dapat diakses pada
http://puseurcitorek.blogspot.co.id/2013/02/tradisi-dalam-keseharian-anak-anak.html 41
Naheun corak adalah adalah sejenis alat untuk menangkap belut di pesawahan. Corak
terbuat dari bahan bambu. 42
Naheun sosog adalah Sosog terbuat dari bambu yang cukup besar dengan rata-rata
ukuran 10 dia meter. Pada saat prosesnya bagian ujung sosog akan dibelah-belah kecil secukupnya
lalu dianyam dengan menggunakan tali (ikatan) dari bahan bamboo. Sosog biasanya di pasang
pada sore hari dan akan diambil/diangkat pada pagi harinya untuk mengambil ikan yang sudah
terperangkap dalam sosog. Sosog ini di pasang pada kokocor sawah ( saluran pengairan antar
sawah).
88
naheun badodon,43
ngaregreg,44
berok lauk/rangkeng,45
nimpug batu,46
ngusep
belut,47
Ngendokeun Lauk,48 Manyer Kolecer (Kincir),49
Susumputan (Petak
Umpet),50
dan ngalasan ngahumut.51
43
Naheun bododon adalah jenis alat penangkap ikan yang khusus di pasang di sungai-
sungai yang cukup besar dan deras. 44
Ngaregreg adalah salah satu teknik pengambilan ikan disungai-sungai terutama pada
bagdan sungai yang dianggap banyak ikannya dan tidak berarus air deras. 45
Berok ikan/rangkeng adalah tradisi bermain anak-anak di sungai sambil memelihara
ikan di tempat penangkaran ikan. 46
Nimpug batu adalah memukul batu dengan batu yang lain di pinggiran sungai,
kemudian ikan pun mudah ditangkap. 47
Ngusep belut adalah menangkap ikan belut (memancing) di pematangan sawah
(galengan). 48
Ngendokeun Lauk merupakan mengawinkan ikan sebagai teknik pengembangbiakan.
Tradisi ngendogkeun (mengawinkan) induk betina dan induk jantan dalam masyarakat Citorek
sudah menjadi suatu tradisi yang dilakukan oleh semua masyarakat dalam sistem pertaniannya.
Hal ini semata-mata sebagai bentuk swadaya ikan dan pengembangan ikan emas terutama, yang
dapat mencukupi kebutuhan lauk pauk dalam kehidupan sehari-hari. 49
Tradisi Permainan Kolecer (kincir) ini merupakan sebuah tradisi yang dapat
dikategorikan sudah sejak lama ada dan tidak dapat diketahui kapan munculnya tradisi tersebut.
Hal yang paling umum dalam tradisi ini adalah adanya suara kolecer (kincir) yang bersuara
bermacam-macam. Ada sebuah istilah bahwa suara kolcer itu sangat Indah, sebab ada suara
nyeguknya.Bentuk fisik kolecer tersebut sebenarnya sangat sederhana, namun pada dasarnya sulit
dalam proses pembuatannya. Kerumitannya yang paling urgen adalah prinsip keseimbangan dalam
membuat bentuk kolecer/kincir itu sendiri. Bahan yang digunakan biasanya dapat dari bahan kayu
dan dapat pula menggunakan bambu. Yang paling umum adalah penggunaan bahan kolecer /
kincir dari kayu (pohon). Masyarakat penggemar kolecer biasanya dari semua usia mulai dari
anak-anak hingga orangtua. Anak-anak biasanya menggunakan kolecer yang dibuat dari bahan
bambu, sedangkan kolecer yang dibuat dari bahan kayu/pohon bisanya digunakan oleh orangtua.
Dalam hal ini dapat dimaklumi, karena memang sesuai dengan tingkat kesulitan dan kerumitannya
dalam proses pembuatannya. Hingga saat ini tradisi manyer kolecer masih bertahan dan masih
digandrungi oleh semua kalangan di tengah masyarakat Wewengkon Citorek. Istilah manyer
kolecer adalah sebagaimana bentuk fisiknya, kolecer yang sudah dibuat akan dipasang di atas tiang
yang dibuat dari potongan batang bambu. Intinya pamanyer (tiang Pemancang) dalam bahasa
Indonesia biasa disebut tiang Kolecer (tiang kincir). 50
Susumputan merupakan permainan yang tidak jauh beda dengan daerah lainnya di
masyarakat suku Sunda. Permainan petak umpet ini dibagi menjadi dua kelompok. Dari masing-
masing kelompok biasanya terdiri dari beberapa orang. Sebelum petak umpet dilakukan maka
terlebih dahulu diadakan kesepakatan antar kelompok mengenai aturan permainan. Konsepnya
dalah satu kelompok akan bersembunyi dan tiap anggota bersembunyi secara menyebar. Jika
tempat perembunyiannya telah diketemukan dan seluruh anggota telah diketemukan pula, maka
selanjutnya dalah giliran kelompok berikutnya untuk bersembunyi. Begitulah selanjutnya
permainaan tersebut dilaukan. 51
Ngalasan humut adalah mengambil sebagian pohon yang dapat atau bisa dimakan serta
tidak berbahaya bagi kesehatan dan tubuh manusia. Biasanya tradisi ini dapat digolongkan sebagai
sebuah tradisi yang musiman, mengingat kebanyakan masayarakat pelakuknya melakukan
kegiatan ngalasan humut ini adalah pada waktu-waktu tertentu saja. Waktu yang biasanya dipilih
sebagai waktu yang tepat untuk ngalasan humut adalah pada saat bulan Ramadhan.
89
B. Aspek Sejarah Kepercayaan Masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek Terhadap Jimat
Berdasarkan sejarah kepercayaan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek terhadap jimat dapat dibagi ke dalam dua periodisasi, yaitu pra
Islam52
dan pasca Islam.53
Sebelum masuknya agama Islam ke Wewengkon
Citorek, incu putu masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek mempunyai
latar belakang kepercayaan pada tatali paranti kolot baheula/karuhun,54
seperti
percaya pada ucapan kokolot baheula (tokoh Kasepuhan masa lampau) berupa
sawangan/siloka/uga/wangsit (prediksi) yang akan terjadi pada masa yang akan
datang baik berupa bencana maupun kemuliaan terhadap incu putu masyarakat
Kasepuhan, contohnya adalah:
“Kasepuhan baheula mah bisa nyawang anu bakal
datang. Contona engke mah bakal datang hiji zaman
jalema anu make sapatu ka leweung-leweung seperti lir
ibarat ayakan jeung jaga mah di wewengkon Kasepuhan
loba Emas gulundungan.”
52
Pra Islam di sini maksudnya agama yang dianut masyarakat Kasepuhan dari sisa-sisa
keturunan Pancer Pangawinan yaitu kerajaan Sunda, yaitu keturunan Prabu Siliwangi. Bahkan
sejarah mencatat bahwa Prabu Siliwangi merupakan pemeluk agama Islam. Oleh sebab itulah,
sampai saat ini mayoritas incu putu masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek pemeluk
agama Islam. Akan tetapi, dalam bentuk praktik keagamaannya termasuk Islam Sunda Wiwitan,
yaitu mencampurkan antar budaya dan agama. Selain itu, dari segi pembacaan ayat-ayat suci al-
Qur‟annya pun tidak sesuai dengan teks Arab (al-Qur‟an), contohnya adalah
“Bismillahirakmanhirakim” dan “Akaduhalah laailaah hilowlah wastaduana mukamad
rasululah”. Wawancara dengan tokoh Adat Kasepuhan Wewengkon Desa Citorek Barat, Olot
Umar pada tanggal 20 April 2017. 53
Pasca Islam di sini maksudnya, agama Islam incu putu (keturunan) masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten disempurnakan kembali, setelah para santri
(pelajar) Citorek kembali ke Wewengkon Kasepuhan Citorek setelah belajar di Pondok Salafiyah
luar Wewengkon Citorek pada tahun 1960-1970. Mereka membenarkan syahadat shalawat
maupun bacaan ayat-ayat suci al-Qur‟an. Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Sabrang, K.H. Rumdani pada tanggal 22 April 2017.
54 Tatali paranti kolot baheula/karuhun adalah masyarakat adat Kasepuhan yang masih
memegang teguh dan terikat kuat oleh nilai-nilai dan aturan adat istiadat tradisional yang
diwariskan secara turun temurun. Lihat, Lukman Hakim, Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam
Perjalanan Jurnalistik (Pandeglang: Banten Heritage, 2006), h. 194.
90
Ucapan Kasepuhan pada masa lampau di atas, masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek masa kini sudah melewati zaman tersebut. Era
masa kini atau abad ke-21 banyak laki-laki maupun perempuan mengenakan
sepatu ketika hendak beraktivitas ke sawah maupun ke huma (perkebunan), yang
sebelumnya tidak pernah mengenal dan tidak mempraktikkan ucapan kolot
baheula itu. Selain itu, sawangan kolot baheula di atas sudah dialami masyarakat
Wewengkon ketika pada tahun 2011-2013 masyarakat Adat Kasepuhan Citorek
mencapai puncak perekonomian dalam bidang pertambangan emas atau istilah
Kasepuhan masa lampau disebut Emas Gulundungan.55
Tidak hanya itu, kepercayaan mereka pada tatali paranti kolot
baheula/karuhun pun berupa benda-benda yang mereka anggap jimat bertuah
diturunkan oleh tokoh adat Kasepuhan kepada pengurus Kasepuhan sesudahnya
secara turun-temurun seperti hihid,56
dulang,57
pangarih,58
golok, keris, tombak,
pisau, batu-batu yang unik yang mempunyai kekuatan magis. Mayoritas barang-
barang yang diwariskan Kasepuhan berbentuk barang yang erat kaitannya dengan
perlengkapan keluarga maupun tata cara bercocok tanam padi di sawah maupun di
huma.
55
Hasil wawancara dengan Jaro Citorek Sabrang, Asid Rosidin pada tanggal 22 April
2017 pukul 09.34 WIB. 56
Hihid adalah benda berupa kipas yang terbuat dari bambu berfungsi sebagai pendingin
beras yang sudah dimasak atau nasi ketika hendak sebelum dimakan. Hasil wawancara dengan
Jaro Citorek Sabran, Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017 pukul 09.34 WIB. 57
Dulang merupakan benda yang berbentuk seperti nampan yang biasanya berbibir pada
tepinya dan berkaki, dibuat dari kayu. Lihat, Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Offline Versi 1.1 (Jakarta: Freeware, 2010) atau dapat diakses di http://ebsoft.web.id 58
Pangarih adalah suatu benda seperti (centong) cedok yg bertangkai seperti gayung
yang terbuat dari kayu yang ukurannya lebih besar dari centong. Hasil wawancara dengan Jaro
Citorek Sabrang, Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017 pukul 09.34 WIB.
91
Padahal, masyarakat umum pun memiliki barang-barang yang serupa
dengan pengurus Adat Kasepuhan di atas, akan tetapi barang-barang itu berbeda
cara mendapatkannya. Masyarakat umum Adat Wewengkon Kasepuhan
mendapatkannya melalui jual beli, tetapi berbeda halnya dengan pengurus adat
Kasepuhan yang diwariskan secara langsung turun-temurun dari generasi ke
generasi.59
Selain itu, jimat yang berkembang pada masa pra Islam di masyarakat
Wewengkon Kasepuhan Citorek, yaitu berupa mantra (jangjawokan),60
kemenyan,61
panglai,62
dan sepaheun.63
Jimat ini berkembang secara signifikan
pada masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek hingga masyarakat
kontemporer. Bahkan, jimat-jimat di atas masuk ke dalam kategori jimat asli
(original) yang berasal dari Wewengkon Kasepuhan yang pertama atau jimat
59
Wawancara dengan tokoh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Jaro Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017. 60
Mantra (jangjawokan) berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata,
yaitu kata „man‟ yang berarti pikiran dan „tra‟ yang bermakna penyampaian. Mantra dapat
diartikan sebagai media penyampaian formula-formula mental ke dalam pikiran. Namun, dalam
praktikkanya jangjawokan atau pun mantra dapat dipergunakan dalam bentuk positif maupun
negatif. Lihat, Ayatullah Humaeni, “Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib Dalam Mantra
Masyarakat Muslim Banten”, el Harakah Volume 16, Nomor 1 Tahun 2014: h. 57-58.
61 Kemenyan adalah suatu benda yang berbentuk seperti gambir maupun kapulaga yang
harum baunya ketika dibakar di dalam dupa yang terbuat dari tumbuhan. Kemenyan merupakan
suatu benda yang dapat diisi dengan kekuatan magis sesuai tujuan atau hajat tertentu mapun
dipraktikkan dalam prosesi upacara selametan adat maupun agama. Wawancra dengan masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Barat, Rohendi pada tanggal 20 April 2017. 62
Panglai merupakan tumbuhan yang masuk dalam kategori temu, yaitu tumbuh-
tumbuhan yang umbinya dapat digunakan sebagai ramuan obat. Panglai digunakan sebagai benda
yang dapat diisi dengan mantra atau jangjawokan ketika prosesi penyembuhan penyakit atau pun
jimat. Wawancra dengan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Barat, Rohendi
pada tanggal 20 April 2017. 63
Sepaheun merupakan berupa peralatan terdiri dari daun sirih (sereuh), biji pinang,
gambir, bako, dan kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih (dicampur dengan
gambir, kapulaga (panglai), dan cengkih) yang mereka anggap berupa jimat ketika hendak
melakukan prosesi upacara tradisi adat Kasepuhan maupun hajat tertentu secara khusus.
Wawancara dengan tokoh adat Kasepuhan Wewengkon Adat Kasepuhan Desa Citorek Tengah,
Olot Sariman pada tanggal tanggal 19 April 2017.
92
pertama kali masuk ke pemukiman wilayah masyarakat Wewengkon Kasepuhan
Citorek sudah ada sejak nenek moyang bermukim di dataran kaki Gunung
Halimun, yaitu Wewengkon Citorek.64
Dengan demikian, jimat dalam bentuk benda seperti tombak, golok, pisau,
bambu runcing, dan keris bermunculan dengan sendirinya ketika zaman
Kasepuhan masa lampau, guna melawan kolonialisme dan imperialisme bangsa
Kompeuni (Belanda), “Eta ceuk kecap kolot baheula,”65
kata tokoh masyarakat
Desa Citorek Timur Bapak Dewi, Subri.66
Peninggalan sejarah yang masih
tampak sampai sekarang adalah berupa harta warisan dari Kasepuhan zaman
dahulu untuk incu putu masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek seperti
bale (mushalla), gardu (Pos Keamanan), dan lisung (tempat proses pengolahan
padi menjadi beras secara tradisional).
Namun, ketika hiruk pikuk masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak-Banten memasuki tahun 1 60-1 70 (Pasca Islam penyempurnaan
pemahaman syahadat maupun shalawat serta bacaan al-Qur‟an), bermunculan
pemahaman-pemahaman baru mengenai jimat yang berasal dari ayat-ayat tertentu
64
Dians Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta Peninggalan Sejarah
Situs Lebak Sibedug (Rangkasbitung: Dians Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata
Kabupaten Lebak, 2004), h. 101-102. 65
Eta ceuk kecap kolot baheula merupakan ucapan Kasepuhan pada masa lampau ketika
melwan penjajah baik pada masa Belanda maupun pada masa pemberontakan (goromolan).
Wawancara dengan tokoh masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Timur, Subri
(Bapak Dewi) pada tanggal 21 April 2017. 66
Semua masyarakat wewengkon Citorek memanggilnya adalah Bapak Dewi. Sapaan ini
saking karismanya seorang tokoh di mata masyarakat. Bahkan banyak masyarakat wewengkon
Kasepuhan berbisik-bisik bahwa rumah Bapak Dewi tidak dilahap si Jago Merah, akan tetapi
semua rumah warga Desa Citorek Timur habis terbakar pada saat tahun 2000 silam. Wawancara
dengan tokoh masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Timur, Subri (Bapak Dewi)
pada tanggal 21 April 2017 pukul 13.17 WIB.
93
maupun surat-surat tertentu yang disebarluaskan oleh santri (pelajar) pondok
tradisional Citorek yang belajar di luar Wewengkon. Mayoritas masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek menyebutkan jimat yang terambil dari ayat-ayat
dalam al-Qur‟an disebut wafaq.67
Menurut tokoh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Jaro Asid Rosidin, munculnya pemahaman baru pada jimat disebabkan
karena latar belakang masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak-
Banten berasal dari keturunan Raja Prabu Siliwangi. Hal ini dapat dilihat dalam
pengamalan masyarakat dalam mempraktikkan jimat yang berbentuk al-Qur‟an
berupa wafaq sebagai cukang lantaran (perantara) yang mereka dapatkan dari
tokoh agama di lingkungan sekitarnya. Benda magis ini dijadikan sebagai jalan
(sebab/syariat) dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.68
Menurutnya, mayoritas masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
mengenakan jimat al-Qur‟an ketika dihadapkan pada permasalahan tertentu,
karena di dalam jimat itu terdapat sebuah doa yang memediasi antara manusia
dengan Allah Swt. melalui lafaẓ-lafaẓ al-Qur‟an. Hal ini mereka yakini dapat
mengurangi beban kehidupan, bahkan hingga dapat menambah keberkahan dan
kemanfaatan dalam kehidupan sehari-hari.
67
Wafaq berasal dari kata al-aufāq yang artinya adalah cukup. Wafaq merupakan salah
satu sarana ataupun media yang biasa digunakan oleh para pengguna, seperti jawara, pedagang,
politisi, dan lain sebagainya dalam mengolah kekuatan ilmu magis. Adapun kegunaannya
bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan, agar memiliki karisma atau wibawa (pangabaran)
yang tinggi, pengasihan, tidak mempan dibacok, kebal, bahkan sebagai media dalam menarik
keuntungan dalam berbisnis dan kontestasi politik. Lihat, Fahmi Irfani, Jawara Banten; Sebuah
Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 69-70. 68
Wawancara dengan kepala desa/Jaro Citorek Sabrang, Asid Rosidin pada tanggal 22
April 2017 pukul 09.34 WIB.
94
Menurut Jaro Citorek Sabrang, Asid Rosidin, atas pemaknaan yang
dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Citorek terhadap kekuatan magis
khadam al-Qur‟an dalam bentuk jimat merupakan sebuah implementasi dari
penghormatan seorang hamba kepada wahyu Tuhan Yang Maha Esa (al-Qur‟an).
“Saking hormatna kana kagungan ayat-ayat suci al-Qur‟an, sahingga
ngayakinken yen Allah swt. nurunkeun keberkahan sareng manfaat kana eta
wafaq.”69
Praktik yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Citorek di atas, Jaro
Asid Rosidin berkeyakinan bahwa praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek dalam meyakini jimat al-Qur‟an sedikit pun
tidak mempercayai pada barang-barangnya yang mengarah pada kemusyrikan,
melainkan jimat al-Qur‟an sekedar mediator yang mempunyai tuah atau manfaat,
karena dari barang-barang tersebut ada yang membuatnya langsung, yaitu wahyu
langsung dari Tuhan.
Sejarah kepercayaan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
percaya pada hal-hal yang bersifat magis (jimat), seperti prediksi kaolotan (tokoh
Kasepuhan) terhadap kejadian yang akan terjadi pada zaman yang akan datang,
jimat al-Qur‟an atau wafaq, sepaheun, panglai, kemenyan, jajangwokan (mantra),
69
Saking hormatna kana kagungan ayat-ayat suci al-Qur‟an, sahingga ngayakinken yen
Allah swt. nurunkeun keberkahan sareng manfaat kana eta wafaq merupakan penghormatan
seorang hamba atas keagungan al-Qur‟an, sehingga atas penghormatan tersebut muncul suatu
pengkultusan pada al-Qur‟an yang dapat mendatangkan keberkahan dan manfaat. Wawancara
dengan kepala desa/Jaro Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Sabrang, Asid Rosidin pada
tanggal 22 April 2017.
95
dan barang-barang antik yang berasal dari tokoh adat Kasepuhan sediakala
maupun tokoh agama sudah menjadi tradisi turun-menurun.70
Hal ini, seperti yang dirasakan oleh masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Kampung Babakan Sawah Desa Citorek sabrang, Sarnata. Ketika ia
masih belia, kakek maupun saudara-sudaranya yang sudah pada dewasa
mempersepsi al-Qur‟an sebagai kekuatan magis yang berbentuk jimat, yaitu
berupa wafaq.71
Lafaẓ-lafaẓ al-Qur‟an tersebut digunakan sebagai bahan tuah
dalam berdagang maupun pangabaran (karismatik). Ia pun mengikuti jejak yang
telah dilakukan oleh orang-orang di lingkungan sekitarnya. Bahkan ia
mendapatkan tuah berupa turunan dari keluarga, layaknya seperti harta warisan.
Jimat dalam bentuk al-Qur‟an (wafaq) digunakan sebagai cukang lantaran
(perantara) masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek guna dalam
menyelesaikan berbagai masalah sudah lumrah dipraktikkan. Bahkan pemaknaan
yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan terhadap al-Qur‟an
berupa jimat sudah membudaya.
Benda yang mengandung tuah itu, bagi Sarnata bukanlah produk jimat asli
yang dihasilkan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan, melainkan jimat itu
berasal dari luar Wewengkon yang disebarluaskan oleh para santri pondok
pesantren dari Pandeglang, Serang, Bogor, bahkan pondok pesantren sekitar
wilayah Jawa pada Tahun 1960-1970.
70
Wawancara dengan tokoh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Jaro Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017. 71
Wawancara dengan pengguna wafaq salah satu dari warga adat Kasepuhan Citorek
Sabrang, Sarnata pada tanggal 22 April 2017 pukul 13.15 WIB.
96
Hal ini diakui beberapa tokoh agama masyarakat Wewengkon Kasepuhan
Citorek, seperti tokoh agama Desa Citorek Timur K.H. Mahmud,72
Desa Citorek
Sabrang K.H. Rumdani,73
Desa Citorek Tengah kyai Sarku,74
Desa Citorekdul
kyai Sukarna75
dan Ustatdz Mukhtar al Khoiri76
serta Desa Citorek Barat Ustadz
Harjat.77
72
Sejarah jimat berupa potongan ayat-ayat al-Qur‟an (wafaq) yang beredar di masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek berasal dari luar Wewengkon Citorek. Hal ini dirasakan
langsung pada saat K.H. Mahmud nyantri (belajar) di lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah
(tradisional). “Sakebeh oge pasti aya ijazah sareung guruna” (semuanya berdasarkan petunjuk
guru dari hasil ijazah, yaitu ngelmu). Hasil wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Timur, K.H. Mahmud pada tanggal 21 April 2017 pukul
10.04.
73 Wafaq hakikatnya adalah doa. Adapun dalam praktikknya K.H. Rumdani belum pernah
mengeluarkan atau membuat jimat berupa wafaq. Akan tetapi ia lebih memprioritaskan berdoa dan
puasa. Sebagaimana ia dapatkan ketika masih remaja dari ulama maung (macan) Banten, K.H.
Abuaya Bustomi dan K.H. Abuya Dimyati Cidahu Pandeglang. Wawancara dengan tokoh agama
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Sabrang K.H. Rumdani pada tanggal 22
April 2017 pukul 16.30 WIB. 74
Jimat berupa ayat-ayat al-Qur‟an didapatkan tidak sembarangan. Hal ini dapat diraih
dengan cara ijazah baik melalui puasa maupun belajar langsung di Pesantren tradisional
Pandeglang. Adapun secara historis, azimat/jimat di masyarakat Kasepuhan pertama kali muncul
dan disebarluaskan oleh para santri yang belajar di luar wewengkon Citorek. Kemudian, setelah
para santri mendapatkan restu untuk kembali ke kampung halamanya masing-masing. Dengan
sepontan sesuai perkembangan zaman jimat/azimat al-Qur‟an (wafaq) dan kebutuhan masyarakat
berkembang pesat. Hal itu diamlkan karena mengurangi permasalahan kehidupan dengan
berkahnya al-Qur‟an. Hasil wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Desa Citorek Tengah, Kiyai Sarku pada tanggal 19 April 2017 pukul 22.30 WIB. 75
Pemahaman masyarakat pada azimat al-Qur‟an berupa wafaq pertama masuk ke
wilayah Wewengkon Citorek dibawa para santri yang mempunyai guru masing-masing di luar
Wewengkon Citorek pada tahun 1960-1970. Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Kidul, Sukarna pada tanggal 23 April 2017 pukul 09.58
WIB. 76
Semenjak ia masih remaja, masyarakat Citorek sudah ada yang mempraktikan azimat
sebagai papadang ati (kecerdasan hati). Parktik-praktik tersebut dilakukan masyarakat
berdasarkan pengalaman di luar daerah Wewengkon Citorek. Wawancara dengan tokoh agama
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Kidul, Ust. Mukhtar al Khoiri pada tanggal 23
April pukul 11.12 WIB. 77
Perjalanan kepercayaan masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek pada jimat
yang berbentuk al-Qur‟an (wafaq) sudah dikembangkan oleh masyarakat kita sendiri. Yen di mana
masyarakat Wewengkon Citorek teh jauh langkah anu milarian kana jalan kahirupan seperti
wafaq pikeun naon bae sajabina menangna teh ti luar daerah (ciri masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek yaitu merantau ke luar daerah, guna mencari jalan keluar dari permasalahan
hidup. Hal ini seperti mempersepsi al-Qur‟an sebagai jimat (wafaq) merupakan pemahaman yang
mereka dapatkan dari luar Wewengkon Kasepuhan). Wawancara dengan tokoh agama masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Barat, Ust. Harjat pada tanggal 20 April 2017 pukul
17.37 WIB.
97
Lain dari pada itu, adapun produk jimat asli (original) yang dihasilkan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten adalah imah
timur (pusat Kasepuhan Citorek), sawah tangtu (sawah turunan dari adat
Kasepuhan), kemenyan, panglai, jangjawokan, dan sepaheun78
(daun sirih) yang
digunakan sebagai jalan untuk berdoa kepada Allah Swt. untuk keberkahan dalam
bercocok tanam padi di sawah maupun di huma.79
Dengan demkian, konsep religi dalam bercocok tanam mempunyai ciri
khusus, yakni: Pertama, adanya anggapan bahwa Tuhan merupakan unsur penting
dalam kehidupan yang merupakan pendorong untuk memanfaatkan lahan
pertanian dengan baik. Kedua, sikap terhadap alam kehidupan setelah mati
merupakan segi yang menonjol dalam masyarakat dimana Roh seseorang tidak
lenyap tetapi hidup terus-menerus di alamnya sendiri sangat mempengaruhi
kehidupan manusia. Ketiga, kematian dianggap tidak membawa perubahan dalam
kedudukan (status sosial), keadaan dan sifat seseorang.80
C. Perkembangan Jimat dalam Masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan
Pemaknaan yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten pada al-Qur‟an dalam bentuk jimat berkembang pesat,
78
Semua bahan-bahan untuk menyepah, yaitu mengunyah sesuatu untuk mengambil
sarinya kemudian membuang ampasnya. Lihat, Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Offline Versi 1.1 (Jakarta: Freeware, 2010) atau dapat diakses di http://ebsoft.web.id 79
Wawancara dengan tokoh adat Kasepuhan Citorek Barat, Olot Umar pada tanggal 20
April 2017 pukul 18.21 WIB. 80
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta
Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug (Rangkasbitung: Dinas Informasi, Komunikasi, Seni
Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak, 2004), h. 81-82.
98
karena mayoritas masyarakatnya mempunyai latar belakang percaya kepada
sawangan kolot baheula, pada tuah turunan dari keluarga layaknya sebuah harta
warisan seperti, keris, pisau, golok, batu, cincin, dan sabuk serta pada hal-hal yang
bersifat magis.
Selain itu, tingkat religiusitas masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten termasuk Muslim yang taat. Hal ini dapat ditemukan
beberpa indikator seperti Majlis pengajian, Pondok Pesantren tradisonal,
Mushalla, dan Masjid di tiap-tiap kampung. Sarana peribadatan di wiliyah
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Tengah terdapat 4 Masjid
dan 9 Mushalla, Desa Citorek Timur terdapat 3 Masjid dan 6 Mushalla, Desa
Citorek Kidul terdapat 2 Masjid dan 5 Mushalla, Desa Citorek Barat terdapat 3
Masjid dan 10 Mushalla, dan Desa Citorek Sabrang terdapat 3 Masjid dan 5
Mushalla.81
Ditambah pula, mayoritas masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek memeluk agama Islam. Adapun jumlah pemeluk agama Islam di wilayah
Desa Citorek Tengah berjumlah 3,404 jiwa, Desa Citorek Timur 2,752 jiwa, Desa
Citorek Kidul (Ciusul) 1,824 jiwa, Desa Citorek Barat 2,658 jiwa, dan Desa
Citorek Sabrang 1,497.82
81 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2014 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2014), h. 62.
82 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2014 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2014), h. 61.
99
Pertumbuhan kepercayaan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek terhadap jimat al-Qur‟an maupun jimat dari Kasepuhan. Menurut tokoh
agama Kampung Sawah Desa Citorek Sabrang K.H, Rumdani, hal itu
berkembang melalui tokoh-tokoh agama, santri, Pesantren, maupun tokoh adat
Kasepuhan. Karena, asal mula keyakinan masyarakat Wewengkon Citorek masih
menjunjung tinggi adat Kasepuhan yang kemudian berasimilasi dengan ajaran
agama Islam.83
Ada beberapa cara dan media yang digunakan dalam mengembangkan
pemahaman pada jimat, baik jimat asli yang berasal dari Kesepuhan sendiri
seperti sepaheun, kemenyan, jangjawokan (mantra) maupun jimat al-Qur‟an
(jimat yang datang dari luar Wewengkon Kasepuhan) seperti potongan ayat-ayat
al-Qur‟an hingga menjadi huruf-huruf hijāiyyah, ayat-ayat tertentu dan surat-surat
tertentu, wiridan, dan hizib, yaitu:
83 Wawancara mendalam dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Kampung Babakan Sawah Desa Citorek Sabrang, K.H. Rumdani pada tanggal 22 April 2017
pukul 16.30 WIB.
Gambar III.3 Photo bersama
dengan terwawancara
K.H. Rumdani
(Sumber: Doc. Pribadi)
100
1. Pondok Pesantren Tradsional84
Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam tradisional untuk para santri
yang bermukim di asrama. Pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang
berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini, kata Jawa
pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan
akhiran-an, memberi makna sebuah pusat kajian keislaman.85
Lembaga pendidikan keislaman ini mempunyai peran penting dalam
pembangunan pola pikir masyarakat. Pesantren merupakan tempat mencari dan
memperdalam ilmu keislaman. Dalam pesantren identik dengan kyai, santri, kitab
kuning, masjid, dan padepokan tempat santri bermukim. Dalam Pesantren para
santri tidak hanya diajarkan bagaimana memhami kitab kuning yang mengandung
pesan-pesan moral, melainkan belajar ilmu magis seperti ilmu hadiran, ilmu ziyad,
kekebalan, putergiling, karismatik yang tinggi, wafaq, rajah maupun hizib.86
Berdasarkan praktik magis yang dilakukan di beberapa Pondok Pesantren
tradisional diberbagai pelosok Wewengkon kampung Wewengkon Citorek, dapat
84
Keberadaan Pondok Salafiah dalam sistem sosial budaya adalah objek yang menjadi
perhatian utama dalam antropologi agama. Kehidupan beragama mempunyai pengaruh terhadap
aspek kebudayaan yang lain. Aspek kehidupan beragama tidak hanya ditemukan dalam setiap
masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi
religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral, sistem keluarga,
ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakkan, perang, dan lain
sebagainya. Bahkan menurut antropolog agama, Malefijt, tidak ada aspek kebudayaan lain dari
agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia. Lihat, Bustanuddin
Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2006), h. 201.
85
Aceng Abdul Azis Dy dkk, Islam Ahlussunnah Waljama‟ah di Indonesia; Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama (Jakarta: PP Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nadlatul
Ulama, 2006), h. 29. 86
Fahmi Irfani, Jawara Banten; Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya (Jakarta:
Young Progressive Muslim, 2011), h. 63-64.
101
mengkonstruksi pemikiran masyarakat adat Kasepuhan Citorek bahwa dengan
tradisi magis tersebut dapat mengurangi beban permasalahan hidup.
Selain itu, masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan menganggap kyai
adalah sosok yang karismatik tidak hanya sebatas mengajarkan pesan-pesan moral
yang ada dalam kitab suci al-Qur‟an maupun kitab kuning karya para „alim
„ulamā‟, melainkan dapat memberikan petunjuk dari berbagai persoalan.87
Jimat ayat-ayat al-Qur‟an berupa wafaq dapat dijadikan sebagai alat
kekebalan tubuh, karena dalam wafaq tersebut terdapat doa khusus yang dibuat
oleh ahli hikmah (kyai) melalui jalan ijazah (puasa) langsung. Selain itu, benda
magis tersebut dapat digunakan melalui mas kawin/sari (bayar mahar) kepada
sang guru, bukan malah sebaliknya, yaitu nyamalkeun ilmu (menyepelekan ilmu
guru), serta harus disertai dengan keyakinan yang bulat.88
Dengan demikian, tokoh utama yang mempraktikan barang-barang bertuah
adalah tokoh Kasepuhan, tokoh agama dan dukun.89
Barang-barang yang
mengandung tuah itu tidak dapat diraih begitu saja, melainkan harus berdasarkan
titisan, ijazah, serta datang langsung kepada tokoh adat maupun tokoh agama.90
Tokoh agama yang karismatik mempunyai peran penting dalam menyelesaikan
87
Wawancara dengan warga adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Tengah, Supriati
pada tanggal 19 April 2017 pukul 10.36 WIB. 88
Wawancara dengan warga adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Timur, Junaedi
pada tanggal 20 April 2017 pukul 16.07 WIB. 89
Wawancara dengan Budayawan Citorek, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19 April
2017 pukul 13.54 WIB. 90
Wawancara dengan tokoh agama Desa Citorek Tengah, Kiyai Sarku pada tanggal 19
April 2017 pukul 22.30 WIB.
102
setiap lini permasalahan, lantaran semua warga percaya 100 persen terhadap jimat
berupa al-Qur‟an dapat mendatangkan keberkahan dalam kehidupan.
Warga yang berdatangan meminta petunjuk sesuai tujuannya masing-
masing. “Aya anu datang tujuanna pikeun hoyong kebal badan, kasemaran
(karismatik), panglaris dina dagang, sukses tina kontestasi politik, jeung lain
sajabina” (mereka berkunjung sesuai dengan tujuannya masing-masing, di
antranya: meminta agar mempunyai kekebalan karismatik yang tinggi, penglaris
dalam perdagangan, maupun sukses dalam kontestasi politik). Akan tetapi,
barang-barang tersebut bagian dari ikhtiar masyarakat dan tokoh agama,
hakikatnya adalah Allah Swt. yang Maha Agung yang memberikan keberkahan
atas ayat-ayat suci al-Qur‟an yang ada dalam jimat.91
Perkembangan paham-paham di atas, upon even person masyarakat
Wewengkon Citorek yang paling berperan dalam perkembangan ilmu-ilmu magis
seperti wafaq yang sudah lumrah digunakan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek adalah masyarakatnya sendiri. Dimana banyak kalangan
masyarakat yang mendatangi tokoh agama maupun tokoh adat Kasepuhan.
Berkunjung kepada tokoh agama meminta cukang lantaran (ikhtiar) agar
diberikan doa-doa yang berbentuk wiridan (kutipan-kutipan al-Quran yg
91 Wawancara dengan tokoh agama Desa Citorek Tengah, kyai Sarku pada tanggal 19
April 2017 pukul 22.30 WIB.
103
ditetapkan untuk dibaca) seperti hizib nashar, hizib „ali, hizib bahr, hizib ikhfa,
jailani hizib, hizib yamani, hizib autad, dan hizib khafy.92
Menurut tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Timur, K.H. Mahmud, bahwa pertumbuhan pemahaman masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek pada ayat-ayat al-Qur‟an yang berbentuk jimat
seperti wafaq tergantung pada self initiating seseorang tokoh.
“Tidak sedikit dari mereka, belajar secara bersama-sama, satu guru yang
sama, dan satu pengalaman yang sama (generation),” Ujar tokoh agama separuh
baya K.H. Mahmud. Akan tetapi, ketika mereka pulang ke kampung halamannya
masing-masing. Ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dipandang berbeda oleh
persepsi masyarakat. Sehingga salah satu diantara mereka ada yang muncul
terkenal atau pun tidak. Hal itu semua tergantung kepada diri mereka (self
initiating) masing-masing dalam mempertajam keilmuannya pada saat nyantri.93
2. Adat Kasepuhan
Tugas utama tokoh adat Kasepuhan, olot pada awalnya membimbing
masyarakat dalam bercocok tanam. Namun dalam perkembangannya, tugas olot
tidak terbatas pada hal itu saja, melainkan pada berbagai masalah lainnya seiring
dengan nafas kehidupan yang memaksa agar menyesuaikan dengan zaman.94
92
Wawancara dengan warga adat Kasepuhan Citorek Sabrang, Bapak Rusdi pada tanggal
22 April 2017 pukul 15.10 WIB. 93
Wawancara dengan tokoh agama adat wewengkon Kasepuhan Citorek Timur, K.H.
Mahmud (bapak qodir) pada tanggal 21 April 2017 pukul 10.04 WIB. 94
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak (Rangkasbitung: Pemerintah
Daerah Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2006), h. 146.
104
Adapun masyarakat yang mendatangi tokoh adat Kasepuhan agar
mendapatkan doa dalam setiap langkah dan tujuan, yaitu bertemu dengan
keselamatan dan keberkahan. Salah satunya adalah mereka meminta doa kepada
tokoh adat Kasepuhan dalam bercocok tanam padi di sawah maupun di huma
(perkebunan). Masyarakat Adat Wewengkon berharap agar tanaman padi dari
mulai nandur (menananm) sampai mapag pare beukah (mulai menguning), dan
mipit pare (hendak memanen padi) berjalan dengan baik serta melimpah ruah dari
tahun-tahun sebelumnya.95
Tidak hanya dalam persoalan pertanian saja, masyarakat Wewengkon
Citorek maupun masyarakat luar Wewengkon Citorek pun banyak yang meminta
doa restu kepada tokoh Kasepuhan sembari membawa sepaheun sebagai simbol
dari pandangan hidup manusia.96
Mereka mempunyai beragam tujuan yang berbeda-beda. Ada yang
meminta restu agar menjadi tokoh agama yang soleh, hal perdagangan, hal
pendidikan atau sarjana, dan menjadi pemimpin yang selamat dunia dan akhirat
(dunia politik). “Cak Allah Swt. oge urang diparentahkeun menta doa ka kolot
sareng kaguru,”97
pungkas olot Sariman.
95
Wawancara dengan warga masyarakat adat Kasepuhan Desa Citorek Barat, Abah Nasid
pada tanggal 20 April 2017 pukul 12.58 WIB. 96
Mengenai simbol sepaheun sebagai pandangan hidup manusia akan diuraikan pada
BAB IV mengenai makna dari penggunaan jimat tersebut. 97
Cak Allah swt. oge urang diparentahkeun menta doa ka kolot sareng kaguru
merupakan sebuah titah Tuhan agar masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek meminta
doa restu kepada orang tua baik orang tua sendiri, tokoh kaolotan/Kasepuhan, maupun guru.
Wawancara dengan tokoh adat Kasepuhan Desa Citorek Tengah, Olot Sariman pada tanggal 19
April 2017 pukul 19.02 WIB.
105
D. Pemahaman Masyarakat Adat Wewengkon pada Jimat
Pemahaman merupakan proses, cara, perbuatan memahami atau
memahamkan pada sesuatu.98
Pemahaman masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Ciorek terhadap jimat bagian dari salah satu hasil proses imajinasi
mereka.99
Pemahaman seseorang akan menghasilkan konsepsi dan makna dunia
(world view) yang berdasar pada sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan-
keyakinan tertentu.
Salah satunya percaya dan terhadap agama termasuk perkara abstrak, tidak
dapat terlihat oleh mata, namun pengaruh dan manifestasinya dalam kehidupan
nyata sangat besar. Begitu pun sama halnya dengan kepercayaan yang dilakukan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak-Banten dalam memaknai
98
Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1 (Jakarta: Freeware,
2010) atau dapat diakses di http://ebsoft.web.id 99
Imajinasi merupakan mekanisme atau proses melihat, menggambarkan, atau
memvisualisasikan sesuatu. Proses tersebut berlangsung di dalam struktur mental
manusia.imajinasi bukanlah realitas, melainkan sebuah produksi keserupaan realitas secara mental.
Lihat, Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi (Jakarta: Mizan Publika,
2011), h. 6.
Gambar III.4 Pewawancara
sedang mewawancarai tokoh adat
Kasepuhan Babakan Cicurug Desa
Citorek Tengah, olot Sariman.
(Sumber Doc. Pribadi)
106
al-Qur‟an sebagai mediasi yang mempunyai kekuatan magis dan pengaruh yang
sangat besar.
Istilah agama dan budaya dapat dibedakan, namun dalam manifestasinya
keduanya tidak dapat dipisahkan. Agama diyakini sakral, suci, sedangkan budaya
bersifat profan. Keduanya bertemu dalam diri manusia yang merupakan makhluk
budaya, namun ingin mengikuti jalan Allah Swt. yang suci.100
Dengan demikian,
pada sub pembahasan ini akan diuraikan beberapa pemahaman masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten pada benda-benda magis, yaitu
berupa jimat.
1. Masyarakat Umum101
Pemahaman masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan atas jimat ini,
hampir semua lapisan masyarakat mendefinisikan bahwa jimat sebuah benda yang
mengandung beragam pengaruh. Tapi, pengaruh yang dikeluarkan jimat tidak
sejajar dengan Tuhan melainkan hanya media untuk meraih keinginan masyarakat
secara praktis.
Adapun jimat berpengaruh atau pun tidak terhadap kehidupan masyarakat
tergantung Tuhan yang memberikan tuah. Oleh karena itu, masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam
100
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika
(Jakarta: PT Mizan, 2011), h. 55.
101 Pemahaman masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan sudah termasuk dalam kajian
pendekatan etnometodologi, karena masyarakat tersebut sudah berupaya bagaimana mereka
memandang, menjelaskan, dan memberikan tatanan di dunia tempat hidupnya. Lebih spesifiknya,
mereka berusaha mendeskripsikan bagaimana mereka melihat dunia (lingkungan) maupun
memahami diri mereka sendiri. Lihat, Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Sosial Berbagai
Alternatif Pendekatan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 200-201.
107
menafsirkan term jimat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang, pengalaman dan
pendidikan mereka yang berbeda-beda.
Jimat dalam pandangan Jaro Asid Rosidin, sebuah benda yang diyakini
mengandung kekuatan magis seperti wafaq, keris dan batu antik. Akan tetapi, ia
tidak mempercayai pada barang-barang tersebut, melainkan ia percaya pada
kekuatan Allah Swt. yang telah memberikan pengaruh terhadap jimat.
Alasan ia menggunakan jimat al-Qur‟an karena wahyu Allah Swt. harus
diaplikasikan dalam kehidupan. Tapi, tidak semua dalil atau lafaẓ al-Qur‟an dapat
dijadikan jimat, melainkan ayat-ayat tertentu saja. Benda-benda magis di atas
tidak bisa dimilki siapa pun tanpa melalui petunjuk pada ahli hikmah (kyai) dan
warisan dari nenek moyang.102
Berbeda halnya dengan Subri, jimat merupakan doa-doa khusus yang
dipanjatkan secara berulang-ulang (mewiridkan), atas dasar petunujuk dan restu
guru, yang kemudian dipraktikkan („amali) dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi
dari doa-doa atau jimat (teteungeur hate) itu, ia merasakan ketenangan dan
percaya diri apabila megamalkan ketika dihadapkan pada suatu permasalahan
yang bersifat sontak (mendadak/sekonyong-konyong). Namun, menurutnya,
mendapatkan ijazah (doa-doa khusus) merupakan perkara mudah. Akan tetapi,
102
Hasil wawancara dengan Jaro Citorek Sabrang, Asid Rosidin pada tanggal 22 April
2017 pukul 09.34 WIB.
108
perkara yang sulit dan berat adalah mengamalkan pada jalan yang benar.
“Neangan ilmu atawa jimat ma gampang, anu hese oge ngamalkeuna.”103
Jimat akan hadir di tengah-tengah keadaan tercekam. Keadaan itu
dirasakan langsung masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Barat,
Saridan. Ketika ia mendapatkan ancaman pembunuhan dari beberapa Jawara.
Kemudian, dia berkonsultasi dengan gurunya di Cipanas Lebak Banten dan
mendapatkan perintah agar mengenakan jimat al-Qur‟an.
Tata cara dalam penggunaannya, wajib memaknai jimat dengan benar-
benar yakin bahwa di dalamnya terdapat keselamatan dan keberkahan atas
berkahnya ayat-ayat suci al-Qur‟an yang disuguhkan secara khusus kepadanya. Ia
berkeyakinan pada jimat al-Qur‟an hanya sebatas cukang lantaran (jalan
syariat/ikhiar), akan tetapi hakikatnya adalah Allah Swt.104
Sebaliknya, Awan Setiawan warga masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Desa Citorek Kidul, tidak mempercayai jimat dalam bentuk apa pun.
Dalam praktik kehidupan sehari-harinya, dia tidak pernah nyareat (meminta
barang yang bertuah) kepada ahli hikmah atau kyai maupun kepada tokoh adat
Kasepuhan. Melainkan hanya berpegang teguh pada hukum kausalitas, yaitu
103
Neangan ilmu atawa jimat ma gampang, anu hese oge ngamalkeuna bermakna
mencara ilmu dan jimat atau kekuatan itu merupakan suatu perkara mudah. Tapi, yang paling
susah adalah mengamalkannya. Wawancara dengan tokoh masyarakat adat wewengkon
Kasepuhan Desa Citorek Timur, Subri (Bapak Dewi) pada tanggal 21 April 2017 pukul 13.17
WIB. 104
Wawancara dengan warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Kidul, Awan Setiawan pada tanggal 23 April 2017 pukul 09.06 WIB.
109
hukum sebab akibat. “Bermimpi menjadi orang kaya, maka hukumnya harus ya
berusaha, bermimpi menjadi orang besar maka hukumnya ya belajar.”105
2. Tokoh Adat Kasepuhan
Dalam perspektif tokoh Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Sabrang,
menurut abah Sarki, jimat yaitu sebuah benda seperti kemenyan atau panglai
(temu) yang diberikan doa-doa khusus oleh tokoh Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek. Tata cara dalam mempergunakannya adalah mengunyah panglai,
kemudian menyemburkan panglai tersebut kepada punggung orang yang sedang
sakit. “Alhamdulillah mun urang yakin insyaallah sehat atas nama hurip ku nabi
waras ku Allah Swt.”106
Seluruh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak-Banten
menjadikan Sawah tangtu107
(sawah kajaroan) sebagai jimat (pegangan), karena
sawah itu merupakan pengukuhan (teteungeur hate) seluruh masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek dalam praktik bercocok tanam padi yang
diturunkan dari nenek moyang Kasepuhan dari generasi ke generasi yang lain.
105
Wawancara dengan warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Barat, Saridan pada tanggal 20 April 2017 pukul 11.41 WIB. 106
Alhamdulillah mun urang yakin insyaallah sehat atas nama hurip ku Nabi waras ku
Allah swt yaitu ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa jika kita meyakininya dengan
ikhlas atas kehendak kasih sayang Allah dan syafaat Nabi Muhammad saw. penyakit apapun akan
sembuh kembali. Wawancara dengan kokolot masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Citorek
Sabrang, abah Sarki pada tanggal 22 April 2017 pukul 14.50 WIB. 107
Sawah tangtu merupakan sawah komunal adat Kasepuhan Citorek. Penggarapan
sawah tangtu ini dilakukan oleh masyarakat adat yang digerakan oleh Jaro Adat melalui Kepala
Desa untuk bergotong royong dan hasilnya dipergunakan untuk kegiatan atau kebutuhan adat.
Sebelum dimulainya penggarapan sawah dilakukan musyawarah Kasepuhan mengenai waktu yang
tepat untuk mulai asup leuweung (penggarapan sawah dan huma, berkbun atau bercocok tanam
lainnya). Musyawarah Asup leuweung tersebut satu paket dengan seren tahun. Setelah selesai
pengolahan sawah tangtu, masyarakat baru mulai menggarap sawahnya masing-masing. Lihat,
Mulyadi Sugiansar, “Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek,” artikel diakses pada 6 Mei 2017
pukul 06.00 WIB dari http://pancercitorek.blogspot.co.id/2013/01/wewengkon-adat-kasepuhan-
citorek.html
110
Dalam pelaksanaannya, tata cara yang dilakukan mesti dimulai dari sawah tangtu,
baik dari mulai asup leweung108
sampai pada seren tahun (syukuran akbar panen
padi yang melimpah-ruah).
Menurut tokoh adat masyarakat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Barat, olot Umar, jimat merupakan benda pegangan (teteungeur hate) yang
digunakan untuk keselamatan. Adapun barang-barang yang lumrah digunakan
adat Kasepuhan seperti kemenyan, garu,109
panglai dan sepaheun. Oleh karena itu,
benda-benda itu digunakan ketika hendak macakeun (memetakan doa),
mendoakan seluruh incu putu masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek.
Dari semua akhir doa yang dipraktikkan tokoh adat Kasepuhan pun terdapat lafaẓ
al-Qur‟an, yaitu hurip ku nabi waras ku allah Swt. hurip ku kersaning la ilaha
108 Asup leweung adalah kebolehan dari tokoh adat Kasepuhan untuk memulai bertani
(bercocok tanam) kembali. Apabila aturan adat dilanggar oleh salah satu masyarakat. Maka orang
yang melanggarnya berakibat terkena sandikala. Wawancara dengan tokoh adat Kasepuhan
Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, olot Sariman pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.02
WIB. 109
Garu merupakan kayu yang berwarna hitam. Apabila kayu tersebut dibakar
menimbulkan berbau sedap, harum. Lihat, Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline
Versi 1.1 (Jakarta: Freeware, 2010) atau dapat diakses di http://ebsoft.web.id
Gambar III.5 Sawah tangtu,
adat Kasepuhan Citorek dari
kejauhan.
(Sumber:
https://www.google.com/searc
h?q=pusar+citorek Diakses
pada tgl 6 Mei 2017.
111
illallah muhammad rasulullah, bukan malah sebaliknya, hurip ku aing waras ku
aing.110
3. Tokoh Agama
Tokoh agama dalam masyarakat mempunyai peran penting sebagai
sumber kejelasan tentang agama, tempat para pemeluk agama mencari
penyelesaian masalah hidup, dan tokoh panutan dalam budi pekerti. Kyai adalah
sokoguru bagi berdiri-tegaknya bangunan kehidupan sosial keagamaan.111
Ahli hikmah (kyai) dalam persepsi masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek tempat dalam penyelesaian masalah. Di mana, salah satunya
masyarakat mengunjungi tokoh agama agar mendapatkan keberkahan dalam
perdagangan. Proses dalam penyelesaian masalah tersebut disarankan agar
mengenakan wafaq, yaitu berupa potongan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbentuk
huruf-huruf hijāiyyah maupun lafaẓ al-Qur‟an, wiridan, puasa dan lain
sebagainya.112
Fenomena kepercayaan masyarakat di atas, menurut K.H. Rumdani113
hakikat dari benda-benda magis seperti jimat al-Qur‟an adalah doa. Dalam
110
Hurip ku nabi waras ku allah swt. hurip ku kersaning la ilaha illallah muhammad
rasulullah yaitu syafaat dari Nabi Muhammad saw. dan kehendak Allah swt. yaitu manfaat dari
lafaz la ilaha illallah muhammad rasulullah. Wawancara dengan tokoh adat Kasepuhan Kampung
Cibengkung Desa Citorek Barat, Olot Umar pada tanggal 20 April 2017 pukul 18.21 WIB. 111
Nurcholish Madjid, “Kedudukan dan Pernan Ulama Dalam Islam,” Titik-Temu Jurnal
Dialog Peradaban, Vol, 6, No. 2, Januari-Juni 2014, h. 19. 112
Wawancara dengan warga masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Tengah, Supriati pada tanggal 19 April 2017 pukul 10.36 WIB. 113
K.H. Rumdani merupakan tokoh Agama pertama di seluruh masyarakat adat
wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak-Banten. Ia menuturkan, ketika ia masih menjadi santri
Abuya Dimyati Pandeglang dan Abuya Bustomi (Hizbullah) Pandeglang diperintahkan agar
menyebarkan moral-moral Islam di tempat kelahairannya, Citorek. Beliau merupakan tokoh agama
112
praktik-praktik penggunaannya harus berdasarkan perintah Allah Swt. dan telah
dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw. Persepsi masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak-Banten yang mengguanakan jimat al-
Qur‟an sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.
Rumdani selaku tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Desa Citorek Sabrang mengkhawatirkan pemhaman masyarakat misdirecting
(mengarah) pada perbuatan syirik dan jalan pragmatis dalam menyelesaikan
himpitan perekonomian, himpitan kontestasi politik, dan menginginkan karisma
yang tinggi di hadapan semua manusia.
Oleh karenanya, mayoritas masyarakat Wewengkon Citorek masih dalam
kategori masyarakat awam, sehingga tidak sedkit masyarakat yang terperangkap
pada keyakinan yang salah, yaitu atas dasar mengenakan jimat al-Qur‟an dapat
memberikan pengaruh pada kehidupan.
Padahal, nabi Muhammad Saw. sebagai makhluk multidimensi yang
istimewa telah mencontohkan langsung dengan cara berdagang dalam
menyelesaikan perekonomian pada masa paceklik, berpolitik dalam
mempertahankan stabilisasi Negara, dan berdoa kepada Allah Swt.
pertama yang mendapatkan doa dan restu langsung dari para Abuya di Banten agar mendirikan
sebuah Pesantren. Hasil wawancara mendalam dengan K.H. Rumdani pada tanggal 22 April 2017
pukul 16.30 WIB. Hal ini dirasakan langsung oleh seluruh masyarakat adat Kasepuhan Citorek
Lebak Banten, salah satunya Bu Tiamah menuturkan, Bapak Haji, K.H. Rumdani tokoh agama
anu pertama di Citorek mah, di tahun-tahun ayena tokoh anu maruncul hampir sadayana murid
bapak haji. K.H. Rumdani merupakan sosok pembuka pertama yang mengajarkan Islam secara
kaffah. Hasil wawancara dengan warga masyarakat adat wewengkon Kasepuahn Desa Citorek
Sabrang Bu Tiamah pada tanggal 22 April 2017.
113
Pada saat observer menanyakan perihal tokoh agama yang membuat jimat
al-Qur‟an, Rumdani lebih mengutamakan berdoa melalui doa bersama dan
marhaba‟an114
kepada Rasulullah Raw. hal ini sama halnya dengan jimat al-
Qur‟an, doa. Menurutnya, kyai atau pun ustadz yang mempersepsi al-Qur‟an
dapat dijadikan jimat (teteungeur kahirupan), ia berkeyakinan mereka pun tidak
asal membuat, melainkan berdasarkan ijazah dan berbeda latar belakang pada saat
menjadi pelajar di pondok pesantren tradisional.
Berbeda dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Desa Citorek Kidul, Mukhtar al Khoiri, jimat merupakan suatu benda yang
mempunyai pengaruh (atsar). Akan tetapi, ia menekankan kepada seluruh
masyarakatnya agar mempunyai keyakinan bahwa yang memberi pengaruh itu
Allah Swt. bukan benda, baik berupa wafaq yang berbentuk huruf hijāiyyah
maupun lafaẓ al-Qur‟an, air doa, cincin maupun keris. “Misalna mun urang nyeri
hulu, laju nginum obat bodrex kemudian hade” (Jika kita sakit kepala, kemudian
meminum obat sakit kepala berupa Bodrex), Apabila hati percaya pada bodrex
yang menyembuhkannya, maka keyakinan tersebut sama dengan perbuatan Syrik.
Begitupun persepsi masyarakat yang meyakini bahwa air dari kyai yang
sudah diberikan doa-doa khusus dapat menyembuhkan penyakit. Maka keyakinan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek harus meyakini bahwa anu
114
Marhaban (annur) merupakan bacaan syair berupa pujian dan sanjungan kepada
Rasulullah saw. dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tersusupi dengan muatan dan sikap
berlebihan dan cerita tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. dengan sastra bahasa tinggi.
Lihat, https://www.google.com/search?q=bacaan+marhaban+teks Diakses pada tanggal 5 Mei
2017 pukul 06.32 WIB.
114
kawasa yen (yang berkuasa untuk menyembuhkan) hanya Allah Swt. yang telah
memberikan magis (kesembuhan) pada air tersebut, bukan malah sebaliknya.
Adapun dasar atau motive (alasan) yang membolehkan dalam membuat
atau pun menggunakan benda-benda bertuah (magis) adalah ustadz al Khoiri
berpegang teguh pada pengalamannya ketika berijazah langsung di Pasuruan,
Kediri Jawa Tengah, dan Cirebon Jawa Barat pada saat nyantri.
Fenomena jimat yang dipraktikan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan, menurut Ustadz Mukhtar sudah ada sejak zaman nabi Muhammad
Saw. ketika beliau tercengang mendengar keistimewaan salah seorang pemuda
yang dapat menyembukan setiap orang yang mengalami sakit kepala dengan
pecinya. Maka Rasulullah Saw. pun berkeinginan mengetahui rahasia
keistimewaan dari benda itu. Ketika Rasulullah Sawt. berkunjung dan melihatnya,
dalam peci pemuda terdapat doa-doa yang berbahasa Persia, maka nabi
Muhammad Saw. menggantikannya dengan lafaẓ al-Qur‟an.115
Adapun jimat berbentuk lafaẓ al-Qur‟an berupa ayat-ayat yang dipotong-
potong terdapat pada kertas, golok, kulit binatang, seperti kulit harimau dan kulit
muncak (kijang), kemudian dibungkus dengan rapih. Benda-benda tersebut dapat
memberikan keberkahan (ziyadatu al-khoir) dalam kehidupan sehari-hari baik
pada pembuat maupun pengguna, karena terdapat nilai-nilai ibadah (doa).116
115
Wawancara dengan tokoh agama Citorek Kidul, Ust. Mukhtar al Khoiri pada tanggal
23 April pukul 11.12 WIB. 116
Wawancara dengan tokoh agama Citorek Barat, Ust. Harjat pada tanggal 20 April
2017 pukul 17.37 WIB.
115
Menurut tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Tengah, kyai Sarku, penggunaan al-Qur‟an sebagai barang yang bertuah
dalam bentuk jimat al-Qur‟an wajar dilestarikan, karena Imam al Ghazali pun
mempraktikannya.117
Kitab yang menjadi rujukan dalam pembuatan jimat al-
Qur‟an adalah kitab al-aufāq dan ijazah. “Imam al-Ghazali bae geh makekeun
kana eta wafaq anu imam alim sareng hujatul Islam, nah urang selaku generasi
ayeuna kudu nyonto kanu hal seperti kitu” ujar tokoh agama Desa Citorek
Tengah.118
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek yang mempersepsi dan
mempraktikkan al-Qur‟an sebagai jimat dalam bentuk wafaq maupun lafaz al-
Qur‟an merupakan syariat atau ikhtiar (usaha) untuk menyelesaikan masalah
kesehatan, kelancaran usaha, dan keselametan karena bentuk pengharapan mereka
atas keutamaan al-Qur‟an.
Fenomena yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek sama halnya seperti orang sakit meminta saran kepada dokter, kemudian
117
Hasil wawancara mendalam dengan tokoh agama Desa Citorek Tengah, Kiyai Sarku
pada tanggal 19 April 2017 pukul 22.30 WIB.
118
Imam al-Ghazali bae geh makekeun kana eta wafaq anu imam alim sareng hujatul
Islam, nah urang selaku generasi ayeuna kudu nyonto kanu hal seperti kitu merupakan penisbahan
kepada Imam al-Ghazali yang pernah mempraktikkan potongan-potongan huruf hijaiyyah maupun
lafaz al-Qur‟an yang mempunyai kekuatan magis. Maka, generasi abad sekrang pun harus
mencontoh apa yang sudah dipraktikkan Imam al-Ghazali dan para ulama mutaqqadimin maupun
ulama muta‟akhirin. Hasil wawancara mendalam dengan tokoh agama Desa Citorek Tengah, Kiyai
Sarku pada tanggal 19 April 2017.
116
pasien mendapatkan resep obat. Hakikat dari dua fenomena tersebut adalah sama.
Perbedaannya terletak pada kedudukannya saja.119
Tradisi praktik yang biasa dilakukan masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek dalam memaknai al-Qur‟an sebagai barang bertuah. Tidak
hanya itu, masyarakat Wewengkon Citorek mencintai barang-barang yang
bertuliskan ayat al-Qur‟an seperti cincin, golok wafaq, maupun ditulis langsung di
atas punggung pasien dengan minyak zafa‟ran. Ini merupakan sebuah ekspresi
kecintaan masyarakat terhadap al-Qur‟an. Pemilihan minyak zafa‟ran sebagai
salah satu media jimat al-Qur‟an dipercaya dapat membangkitkan daya
metafisika. Oleh karena itu, minyak zafa‟ran dianggap sangat cocok untuk
dijadikan jimat.120
119
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Timur, K.H. Mahmud pada tanggal 21. 120
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Timur, K.H. Mahmud pada tanggal 21 April pukul 10.04.
Gambar III.6 Minyak zafa‟ran
yang biasa digunakan bahan
pembuatan Jimat tokoh agama
wewengkon Citorek.
(Sumber:https://www.google.co
m/imgres Diakses pada tanggal
5 Mei 2017.)
117
BAB IV
PENGGUNAAN JIMAT MASYARAKAT ADAT WEWENGKON
KASEPUHAN LEBAK BANTEN
A. Bentuk-bentuk Jimat
Dalam persepsi masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek, jimat
merupakan benda yang mempunyai tuah atau mana. Tidak sedikit dari mereka
mempraktikkan benda-benda magis guna sebagai pangabaran (karismatik) yang
tinggi di setiap mata manusia, kekebalan tubuh, teteungeur hate (pegangan),
keselamatan, dan keberkahan hidup dalam keseharian.1
Jimat yang digunakan masyarakat Kasepuhan beragam bentuknya; berupa
jimat yang diambil dari ayat-ayat suci al-Qur‟an hingga dipotong-potong menjadi
huruf-huruf hijāiyyah, ayat-ayat tertentu dan surat-surat tertentu, keris, golok,
tombak, pisau, jangjawokan,2 minyak za‟faran, cincin, kemenyan, sepaheun,
3
hingga kunyit panglai dipersepsi oleh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
mempunyai makna tertentu.
1 Praktik magis yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan atas persepsi
mereka terhadap al-Qur‟an guna sebagai jimat dalam antropologi lebih dikenal (populer) dengan
supranatural beings, merupakan inti dari kepercayaan keagamaan. Lihat, Bustanuddin Agus,
Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2006), h. 61. Fenomena praktik magis pada masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
merupakan hasil dari bagaimana masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan membentuk pandangan
mereka tentang dunia (world view) yang ada di sekelilingnya. Hal ini sebagaimana antropolog
seperti Clifford Geertz dan Victor Turner mendefinisikan demikian. Lihat, Ridwan Lubis,
Sosiologi Agama; Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi sosial (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h. 7. 2 Jangjawokan merupakan mantra atau doa-doa berasal dari bahasa Sunda kuno/bahasa
buhun (kolot buhun baheula). 3 Sepaheun merupakan menu ketika hendak menyepah yang terdiri dari gambir, yaitu
endapan rebusan daun gambir yang airnya diuapkan, dicetak bulat atau persegi, dipakai sebagai
campuran makan sirih, apu, yaitu kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih
dicampur dengan gambir, kapulaga, cengkih, dan biji buah pinang .
118
1. Ayat dan Surat Magis4
Fenomena yang telah dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten dalam mempraktikkan jimat ayat-ayat suci al-Qur‟an
berupa wafaq5 yang terdiri dari huruf-huruf hijāiyyah dan ayat-ayat tertentu
maupun surat-surat tertentu dalam kehidupan keseharian, dibenarkan oleh tokoh
agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug
Desa Citorek Tengah, kyai Sarku. Karena ia, setiap harinya kedatangan dari
berbagai kalangan untuk nyareat.6 Baik dari kalangan pengusaha, kalangan
pemuda, kalangan kejawaraan, dan kalangan politikus.
Oleh karena itu, pembuatan jimat jimat al-Qur‟an, menurut kyai Sarku
suatu perkara mudah, tiga puluh menit atau pun satu jam lamanya penulisan wafaq
itu dapat diselesaikan. Perkara yang menyebabkan lama dan sulit dalam
pembuatannya dari ayat-ayat suci al-Qur‟an adalah memasukkan khadam
(kekuatan magis) pada jimat tersebut dengan melalui puasa dan salat istikharah.7
4 Maksudnya adalah surat-surat yang mempunyai watak yang inheren atau rahasia
aktifitas yang terdapat dalam surat-surat yang digunakan sebagai praktik magis (jimat). Lihat, Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, h. 695-696. 5 Wafaq adalah salah satu sarana ataupun media yang biasa digunakan oleh para
pengguna, seperti jawara, pedagang, politisi, dan lain sebagainya dalam mengolah kekuatan ilmu
magis. Adapun kegunaannya bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan, agar memiliki karisma
atau wibawa (pangabaran) yang tinggi, pengasihan, tidak mempan dibacok, kebal, bahkan sebagai
media dalam menarik keuntungan dalam berbisnis dan kontestasi politik. Lihat, Fahmi Irfani,
Jawara Banten; Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 69-70. 6 Nyareat adalah usaha yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
agar diberikan petunjuk, kelancaran dan doa kepada Kyai. Nyareat dalam perspektif Imam al-
Ghazali merupakan usaha yang dilakukan manusia agar mendapatkan pancaran cahaya (petunjuk)
dari ahli hikmah (kyai). Lihat, al-Ghazali, Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar, terjemahan
Hasan Abrori dan Mashur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 45-46. 7 Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung
Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, Kyai Sarku pada tanggal 19 April 2017.
119
Apabila kedatangan dari salah satu pengguna jimat al-Qur‟an yang
mengharapkan, agar seluruh badannya tidak mempan untuk dibacok (kekebalan).
Menurutnya, syarat utamanya adalah harus meyakini lafaẓ-lafaẓ al-Qur‟an yang
ada di dalam jimat itu mempunyai sisi magis khadam di luar nalar manusia yang
dapat melindunginya.
Pembuatan jimat al-Qur‟an diambil dari ayat-ayat suci al-Qur‟an berupa
lafaẓ. Kemudian, lafaẓ-lafaẓ al-Qur‟an dipotong-potong (al qata‟) hingga menjadi
huruf hijāiyyah yang dielaborasikan dengan numerik-numerik Arab, lafaẓ Allah,
nama Nabi Muhammad Saw, nama-nama malaikat, dan nama-nama Khulafaur
Rasyidin. Ayat-ayat al-Qur‟an yang biasa digunakan dalam pembuatan jimat
diantaranya yaitu lafaẓ basmallah, ayat kursi, asmul husna,8 Surat al-ikhlāṣ,
maupun kalimat-kalimat tauḫid, seperti lāḫaula walā quuata illā billāhi. Adapun
kegunaan dari ayat-ayat di atas, tergantung dari permintaan dan kebutuhan
pengguna yang ditujukkan langsung pembuat, ahli hikmah yaitu kyai.
Jimat yang sudah selesai tidak langsung digunakan penggguna, melainkan
dipraktikan terlebih dahulu oleh pembuat, kyai. “Si azimat/jimat dijajal heula
jeung urangna dibacok ku golok apakah mempan apa hanteu? Nah mun tos
8 Asmaul Husna merupakan nama-nama terbaik bagi Allah swt yang berjumlah 99 nama.
Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Saw. “Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-
Mu, yang Engkau gunakan untuk menyebut diri-Mu, atau yang Engkau wahyukan dalam kitab-
Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, atau yang Engkau layakkan
bagi diri-Mu dalam pengetahuanm-Mu mengenai hal-hal yang gaib.” Makna dari 99 nama ini,
Seperti Raja yang memiliki seribu abdi: orang dapat mengatakan bahwa raja memiliki Sembilan
puluh Sembilan abdi, dan kalau mereka dimintai bantuannya, maka tidak ada musuh yang dapat
melawannya. Yang ditetapkan adalah bilangan yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan yang
diperlukan orang dari mereka, disebabkan oleh tambahan kekuatan mereka, atau karena bilangan
itu akan cukup untuk memukul mundur musuh tanpa memerlukan tambahan. Itu tidak menetapkan
bahwa hanya sejumlah itu adanya. Lihat, Al-Ghazali, Al-Asma‟ Al-Husna terjemahan Ilyas Hasan
(Bandung: Mizan, 2000), h. 209-210.
120
sukses karak dipasihkeun ka anu ngabtuhken.”9 Kemudian, ketika jimat al-Qur‟an
itu sudah diisi doa-doa khusus, maka jimat tidak boleh dipergunakan dalam
keangkuhan dan kesombongan. Di dalam prosesi menggunakannya harus
mengusahakan agar semua anggota badan dalam keadaan suci, lantaran di dalam
jimat terdapat ayat-ayat suci al-Qur‟an. Selain itu, perlu ditekankan dalam hati
dengan penuh keyakinan dan penyerahan diri kepada Allah bahwa segala sesuatu
berada di bawah kekuasaan-Nya dan dibarengi dengan ketaqwaan.
Jimat di atas berfungsi sebagai daya tahan tubuh dari orang yang hendak
menembak maupun membacok. Penulis menemukan beberapa ayat-ayat tertentu
dan surat-surat tertentu. Salah satunya adalah ayat tentang pemeliharaan manusia
9 Maksudnya adalah jimat yang sudah dibuat tidak langsung diberikan kepada pengguna,
melainkan jimat tersebut digunakan terlebih dahulu si pembuat, sekaligus dicoba dengan
menggunakan golok apakah ada khasiatnya atau tidak? Kemudian, apabila jimat itu sudah ada
khasiatnya (khadam) barulah dikasihkan kepada pengguna.
Gambar IV.1 Jimat al-Qur‟an
berfungsi sebagai kekebalan
yaitu tidak mempan dibacok
maupun ditembak.
121
yang dilakukan para malaikat atas perintah Allah Swt. dari gangguan berbagai
makhluk.10
Selain itu, istilah pemeliharaan dalam al-Qur‟an sangat beragam makna.
Hal ini sesuai dengan teks maupun konteks yang mengitarinya dari ayat-ayat yang
terdapat dalam jimat kekebalan di atas. Pemeliharaan baik berupa yang dilakukan
oleh Allah Swt.11
secara langsung maupun pemeliharaan terhadap Nabi Yūsuf as.
dari saudara-saudaranya yang hendak mencelakakannya,12
hingga pemeliharaan-
pemeliharaan lain yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur‟an. Sehingga, ayat-
ayat tentang pemeliharaan itu dinisbahkan kepada pengguna.
Dalam hal ini, jimat di atas terdapat 17 Surat. Tapi, ada dua ayat yang
sama dalam jimat itu, yaitu Surat Hūd: 57, guna sebagai mediator tidak mempan
dibacok maupun anti peluru. Ayat-ayat di bawah ini dipergunakan sebagai bahan
dasar jimat, dikarenakan ayat-ayat tersebut termasuk dalam kategori ayat al-
muḫafaḍah (pemeliharaan).
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. (Qs: al-Fātiḫah: 1).
Menurut Syaikh Muhammad Mutawalī al-Sya‟rāwī manakala orang
mukmin mengucapkan “Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang
terkutuk,” berarti dirinya telah masuk dalam kebersamaan Allah, dan ketika itulah
10
Lihat, Q.S. Al-An‟ām: 61.
11 Lihat, Q.S. Huud: 57.
12 Lihat, Q.S. Yusuf : 64.
122
Setan tidak menemukan jalan untuk menjangkaunya. Inilah yang dimaksud
dengan ( مه الشيطان السجيمالله فإذاقسأت القسءان فاستعر ب ).
Selain itu, manakala kita hendak beraktivitas apa pun wajib mengucapkan
sebab, al-Qur‟an ketika turunnya telah mengandung perintah (بسم الله السحمه السحيم)
penyebutan nama Allah Swt. Kalimat basmallah dilihat dari dua sudut: Pertama,
dari sudut manusia. Jika kita berbicara dengan orang lain dalam urusan tertentu,
lalu kita ingin meyakinkannya tentang urusan itu agar ia melaksanakannya,
biasanya orang tersebut bertanya; Atas nama siapa saudara berbicara dengan aku?
Kita selaku yang punya gagasan dan ingin meyakinkan orang yang kita hadapi itu
biasanya mengatakan: “Aku berbicara atas nama Pemerintah, atau atas nama
Wakil Rakyat”. Kalau persoalannya demikian, apalagi dengan kedudukan al-
Qur‟an yang diturunkan dari Allah, Tuhan yang telah menyerahkan seluruhnya
kepada kita, lalu kita diberi keleluasaan mengkelolanya sebagai khalifah-Nya di
muka bumi.13
Menurut Syaikh Muhammad Ghazali, bacaan basmallah dapat berfungsi
sebagai proteksi dari segala bahaya dan kejahatan. Selain itu, orang yang hendak
melakukan aktivitas dan sebelumnya membaca basmallah dapat memberikan
manfaat berupa kesehatan jiwa.14
Sementara menurut Jalāluddīn as-Suyūṭhī, surat
al-Fātiḫah dapat digunakan sebagai obat bagi semua penyakit dan ar-Ruqyah.15
13
Syaikh Mohamad Motawalli As-Sya‟rawi, Meniti Jalan Menuju Al-Qur‟an, terjemahan
Usman Hatim (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 228 dan 232. 14
Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur‟an, terjemahan Qodirun
Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 1 dan 4. 15
Jalāluddīn as-Suyūṯhī, Asbābu al-Nuzūl al-Musammā Lubābu al-Nuqūl Fī Asbābu al-
Nuzūl, (Beirūt: Libanān: Mu‟assisah al-Kutub al-Tsiqāfiyah, 2241 H/2002), h. 11-13.
123
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Al-Baqarah: 255).
Ayat di atas merupakan ayat kursi yang mempunyai kududukan amat
mulia. Dalam uraiannya Rasulullah Saw. menjelaskan, bahwa ayat kursi adalah
sebaik-baik ayat al-Qur‟an di dalamnya terdapat nama Allah Saw. yang agung,
sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah Saw.“Terdapat nama Allah
paling Agung yang jika nama itu dipanggil, maka Allah mengabulkan
(permohonan hambanya), nama Allah itu terdapat dalam tiga tempat: dalam
surat al-Baqarah, surat Al-„Imran dan Thaha.”16
Secara etimologis, kursi berarti tempat duduk, singgasana atau tahta
(ṣād/38: 34). Kursi dalam ayat di atas, oleh sebagian mufassir ditakwil dengan
ilmu Allah. Ada pula yang mengartikan kekuasaan-Nya. Sehingga, atas
kekuasaan-Nya Allah tidak merasa berat sedikit pun dalam memelihara makhluk-
Nya yang berada di langit dan di bumi bahkan semua ciptaan-Nya.17
Dan diutus-Nya kepadamu Malaikat-malaikat penjaga. (Qs. Al-
An‟ām: 61).
Menurut Muhammad Mutawalī al-Sya‟rāwī, makna dari kata pemiliharan
ḫafaẓah adalah pemeliharaan al-Qur‟an yang diltanggung oleh Allah Swt. melalui
16
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir; Tafsir-tafsir Pilihan, terjemahan
Yasin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), Jilid I, h. 342. 17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI,
2009), Cet. IV, Jilid I, h. 378-379.
124
malaikat Raqib dan „Atid Qs. Qāf: 18.18
Adapun menurut Quraish Shihab, maksud
dari ayat di atas adalah Allah Swt. mengutus para malaikat-malaikat yang
berfungsi sebagai penjaga atas semua makhluk-makhluk-Nya.19
Sesungguhnya Tuhanku adalah maha pemelihara segala sesuatu.
(Qs. Hūd: 57).
Ḫafīẓ mengandung makna memelihara dan mengawasi kehidupan dari
kehancuran, baik yang sifatnya kelompok atau pun perorangan. Imam al-Ghazali
membagi pemeliharaan kepada dua sisi. Sisi pertama, dari sisi mewujudkan dan
melanggengkan yang maujūd. Allah Swt. mewujudkan langit dan bumi serta
suluruh isinya dan melanggengkan wujudnya sampai waktu yang ditetapkan.
Sisi kedua, dari sisi pemeliharaan dua hal yang bertolak belakang.
Misalnya air dan api, sifat keduanya bertolak belakang, air dapat memadamkan
api, dan api dapat mengubah air menjadi uap, kemudian menghawa. Bahkan Allah
Swt. mencampur keduanya dalam satu materi/badan. Bentuk pemeliharaan Allah
Swt. ada yang bersifat sunnatullah (ketentuan hukum-hukum Allah) dan ada juga
yang bersifat „ināyatullah (pemeliharaan-Nya).20
18
Muhammad Mutawalī al-Sya‟rāwī, Tafsīr Al-Sya‟ rāwī (Mesir: al-Akhbar al-Yaum, t.t),
Jilid 6, h. 3681-3682. 19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 4, h. 135. 20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 6, h. 279-280.
125
Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah maha
penyayang di antara para penyayang. (Qs. Yūsuf : 64).
Menurut, Mutawalī al-Sya‟rāwī, pemeliharan di atas dalam konteks
pemeliharaan yang dilakukan Allah Swt. kepada Nabi Yūsuf as. atas saudara-
saudaranya yang hendak mencelakakannya.21
Maksud ayat di atas adalah Allah
Swt. adalah sebaik-baiknya penjaga atau pemelihara dari segala bencana yang
memberikan ketenangan hati menyangkut keselamatan sesuatu.22
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. (Qs. Ar-Ra‟d: 11).
Maksudnya adalah Para malaikat-malaikat dtugaskan dengan sungguh-
sungguh agar memeliharanya dari gangguan apapun yang dapat menghalangi
tujuan penciptanya, yaitu Allah Swt. di sini Dia memerintahkan para malaikat
agar memelihara makhluk-makhluknya dengan batas ketentuannya yang sudah
termaktub di lauḫil maḫfuẕ sesuai perintah-Nya.23
Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (Qs. Al-Ḫijr: 9).
Konteks penjagaan yang dilakukan dalam ayat ini, Allah Swt. memberikan
jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur‟an kepada kita semua umat
21
Muhammad Mutawalī al-Sya‟rāwī, Tafsīr Al-Sya‟ rāwī, Jilid 11, h. 7016. 22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 6, h. 492. 23
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Volume
6, h. 566.
126
(manusia) dalam tenggang waktu selama-lamanya dari perubahan-perubahan
dalam isi kandungan al-Qur‟an.24
Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang-orang yang mengabaikan
al-Qur‟an dan tidak percaya bahwa al-Qur‟an itu diturunkan Allah kepada rasul-
Nya Muhammad. Seakan-akan Allah mengatakan kepada mereka, “Kamu ini hai
orang-orang kafir sebenarnya adalah orang-orang yang sesat yang memperolok-
olokan nabi dan rasul yang telah Kami utus untuk menyampaikan agama Islam
kepadamu. Sesungguhnya sikap kamu yang demikian itu tidak akan
mempengaruhi sedikit pun kemurnian dan kesucian al-Qur‟an karena Kamilah
yang menurunkannya”. Selain itu, akan datang saatnya nanti manusia akan
menghafal, membaca, mempelajari, dan menggali isinya, agar mereka
memperoleh dari al-Qur‟an itu petunjuk dan hikmah, tuntunan akhlak dan budi
pekerti yang baik, ilmu pengetahuan dan pedoman berpikir bagi para ahli dan
cerdik pandai, serta petunjuk ke jalan hidup di dunia dan di akhirat nanti.25
Dan kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk. (Qs. al-
Ḫijr: 17).
Menurut Mutawalī al-Sya‟rāwī, pemeliharaan di sini maksudnya adalah
pemeliharaan dari setan yang hendak mendengarkan diaolog antara para malaikat.
Akan tetapi, setan tidak bisa mendengarkan apa-apa yang terjadi ketika para
24
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Disertai Tanda-tanda Tajwid
dengan Tafsir Singkat; Al-Qur‟an Bayan (Jakarta: Al-Qur‟an Terkemuka, 2009), h. 262. 25
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid V, h. 209.
127
malaikat berdialog.26
Dalam konteks ayat di atas, Allah Swt. memelihara malaikat
dari gangguan setan yang terkutuk.27
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt. menjaga langit dan isinya dari
setan yang terkutuk. Sementara itu, ada setan yang tidak mengindahkan larangan-
larangan Allah. Ia mencari berita yang mungkin didengarnya dari para malaikat,
maka setan-setan yang demikian itu diburu oleh semburan api yang membakar,
sehingga ia lari dan tidak sempat mendengarkan pembicaraan para malaikat itu,
hal ini dijelaskan oleh firman Allah Swt. (aṣ-Ṣāffāt/37: 8).28
Dan kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara. (Qs.
Al-Anbyā: 32).
Langit merupakan atap yang terpelihara. Sebagaimana layaknya sebuah
atap, langit berfungsi untuk melindungi segala sesuatu yang ada di bawahnya,
baik itu hewan, tumbuhan, termasuk manusia sendiri. Konteks pemeliharaan ayat
di atas merupakan fungsi dari langit.29
Dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap Syaitan
yang sangat durhaka. (Qs. Aṣ-Ṣhāfāt: 7).
26
Muhammad Mutawalī al-Sya‟rāwī, Tafsīr Al-Sya‟ rāwī, Jilid 12, h. 7666. 27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 7, h. 106. 28
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jilid V, h. 221. 29
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI,
2009), Jilid VI, h. 255.
128
Memelihara dengan pemeliharaan yang sempurna dari setiap Setan yang
durhaka kepada Allah Swt. Mārid merupakan sosok yang tidak memiliki kebaikan
dan terus-menerus membangkang.30
Allah Swt. memelihara semua makhluk-Nya
itu dari apa yang akan merusaknya. Ia memelihara manusia dari gangguan setan
yang senantiasa membujuk manusia untuk melakukan kemaksiatan, yang akan
menjerumuskannya kepada kebinasaan dan kemurkaan-Nya. Untuk itu, Allah
telah memberikan petunjuk, berupa agama yang benar, yang akan menjaga
manusia dari godaan setan. Hanya manusia yang ingkar yang dapat ditundukkan
oleh rayuan setan yang mencelakakan itu.31
Dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya, demikianlah
ketentuan yang maha perkasa lagi maha mengetahui. (Qs. Fuṣilat:
12).
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt. menyempurnakan kejadian langit
itu dengan menjadikan tujuh langit dalam dua masa. Dengan demikian, lamanya
Allah merencanakan penciptaan langit dan bumi ialah selama enam masa, hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt. (al-„Arāf/7: 54). Semua yang telah Ia ciptakan,
mereka harus tunduk kepada ketetapan-Nya. Tidak ada satu pun dari ciptaan
Allah yang menyimpang dari ketetapan-Nya. Dia mengetahui keadaan makhluk
yang diciptakan-Nya itu, baik yang halus maupun yang kasar, baik yang nyata
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 12, h. 11. 31
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 263.
129
maupun yang tersembunyi.32
Allah lah yang memelihara semuanya dengan sangat
baik dan sempurna.33
Allah mengawasi (perbuatan) mereka, dan kamu
(Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi
mereka. (Qs. Aṣ-Ṣūrā: 6).
Dalam ayat ini, Allah Swt. menerangkan bahwa orang-orang yang
menyekutukan Allah dan mengambil pelindung-pelindung selain Dia, Allah
sendirilah yang mengawasi perbuatan mereka, dan Dia pulalah yang akan
memberi balasan yang setimpal di akhirat nanti atas segala perbuatan mereka di
dunia. Muhammad Saw. tidak dibebani dan tidak ditugasi mengawasi perbuatan
mereka. Ia hanya ditugasi menyampaikan apa yang diperintahkan Allah
kepadanya.34
Dalam konteks ayat di atas, Allah Swt. melakukan pengawasan yang
dilakukan oleh Dia sendiri, mengenai orang-orang yang melakukan perbuatan
kemusyrikan, yaitu menyembah kepada patung-patung maupun berhala. Selain
itu, Allah Swt. menyarankan agar Muhammad Saw. tidak perlu risau atas apa
yang dilakukan mereka, karena atas tanggungan Allah lah yang mengawasi
perbuatan-perbuatan-Nya.35
32
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 599. 33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 12, h. 389. 34
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jilid IX, h. 22. 35
Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al-Maragi, terjemahan Bahrun Abubakar dkk
(Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), h. 28.
130
Padahal seseungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat
(pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahi apa yang kamu
kerjakan. (Qs. Al-Infiṭār: 10-12).
Maksunya adalah pengawasan manusia yang dilakukan malaikat-malaikat
yang mampu melaksanakan tugasnya sebaik mungkin tanpa kesalahan dan
kecurangan dan mencatatnya dengan akurat terhadap aktivitas kamu yang lahir
maupun batin. Dan mengetahui secara terus-menerus apa yang manusia
kerjakan.36
Siapa pun pengawasnya baik hal-hal yang gaib, manusia wajib mengimani
seperti yang telah dijelaskan dalam firmannya (Qs. Al-Baqarah: 3), bahwa bagi
masing-masing manusia ada (petugas-petugas) yang mencatat dan mengawasi
perbuatan-perbuatan kita, yang baik dan yang buruk. Namun, bukanlah kewajiban
manusia untuk menyelidiki tentang hakikat (substansi) mereka (yang
memelihara). Manusia hanya diwajibkan untuk beriman kepada informasi yang
Allah Swt. sampaikan, kemudian menyerahkan kepada-Nya soal maknanya yang
hakiki. Jadi, yang wajib manusia percayai berkaitan dengan amalan-amalan
bahwa itu semua dicatat dan dihitung, tidak satu pun yang luput atau hilang dari
pengawasan meski sampai yang sekecil-kecilnya.37
36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 15, h. 110-111. 37
Muhammad „Abduh, Tafsir Juz „Amma, terjemahan Muhammad Bagir (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), h. 69-70.
131
Tidak ada suatu jiwapun melainkan ada penjaganya. (Qs. At-
Ṭhāriq: 4).
Maksudnya adalah tidak satu pun jiwa, kecuali ada yang memeliharanya.
Akan tetapi, pemeliharaan di sini khitab-Nya kepada pemeliharaan Allah terhadap
setiap pribadi.38
Dalam ayat ini Allah Swt. menerangkan bahwa setiap orang ada
penjaga dan pengatur keperluannya dalam seluruh perjalanan hidupnya hingga
ajalnya tiba. Penjagaan terhadap manusia ini, terdapat dua pengertian:
Pertama, penjagaan dari malaikat yang memperhatikan dan menghitung
perbuatan manusia, sebagaimana firman Allah Swt. “Tidak ada satu kata yang
diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap
(mencatat). (Qs. Qāf/50: 18).” Kedua, penjaga dari malaikat yang selalu
melindungi setiap saat dan memelihara kehidupan sehari-hari, sebagaimana
firman Allah Swt. “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu
menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas
perintah Allah.” (Qs. Ar-Ra‟d/13: 11).39
Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras. Sesungguhnya
Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali). Dialah yang maha pengampun lagi
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 15, h. 176. 39
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 620.
132
maha pengasih, yang mempunyai „Arsy, lagi maha mulia. Maha
kuasa berbuat apa yang dikehendakinya. Sudahkah datang
kepadamu berita kaum-kaum penantang. (yaitu kaum) fir‟aun dan
(kaum) tsamud? Sesungguhnya orang-orang kafir selalu
mendustkan. Padahal Allah mengepung mereka dari belakang
mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur‟an yang
mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh mahfuz. (al-Burūj: 12-22).
Surat ini menggambarkan sesutu yang sangat agung dan dahsyat serta
diakhri dengan uraian tentang ganjaran yanga akan diterima oleh orang-orang
beriman serta balasan terhadap orang-orang kafir.40
Ayat ini juga mempunyai
keutamaan sebagai keselamatan, yaitu Allah Swt. akan menyelamatkan manusia
dari ketakutan.41
Ayat di atas termasuk dalam kategori ayat tentang sifat Allah seperti Allah
maha pengasih, maha kuasa, dan yang memiliki „Arsy yang mulia. Kemudian,
jimat kekebalan diakhiri dengan lafaẓ lauḫ al-Mahfūẓ artinya yang terjaga. Pada
lauḫ al-Mahfūẓ tertulis semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi di alam
semesta ini. Namun, hakikat dari lauḫ al-Mahfūẓ tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya, karena merupakan hal yang gaib yang hanya Allah Swt. saja yang
mengetahuinya.42
Adapun penafsiran secra konvensional lauḫ al-Mahfūẓ, menurut tokoh
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan diartikan pemeliharaan yang dilakukan
oleh Allah Swt. terhadap hamba-hamba-Nya sejak dahulu kala. Secara penafsiran
ayat-ayat di atas mengenai jimat al-Qur‟an menunjukkan bahwa pemeliharaan
40
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
Volume 15, h. 153-154. 41
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an; Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya Al-Qur‟an, terjemahan Rudy Mulyono (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 372-373. 42
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 615.
133
Allah Swt. kepada makhluknya. Dalam aplikasi kehidupan, penafsiran ayat-ayat
tersebut digunakan untuk pemeliharaan jiwa maupun raga manusia.
Bentuk jimat seperti sarang laba-laba di atas dalam bentuk lingkaran
merupakan simbol penangkal dari berbagai macam-macam kejahatan. Baik dari
orang-orang yang hendak menẓalimi ketika menggunakan golok/pedang, hingga
penjahat (begal) yang mempergunakan senjata api berupa laras panjang maupun
laras pendek. Jimat dalam bentuk tulisan lingkaran ini merupakan hasil dari ijazah
dan petunjuk guru ketika kyai Sarku belajar di pondok tradisional wilayah Banten,
Pandeglang.43
Adapun tata cara dalam memasukan khadam magis pada jimat al-Qur‟an
diantaranya; Pertama, mewajibkan anggota badan dalam keadaan suci
(mempunyai wudu). Kedua, mendoakan secara khusus pada pengguna. Dalam
prosesi pembuatan jimat menyebutkan doa-doa khusus ditujukkan kepada nama
pengguna hingga nama bapaknya. Ketiga, bertawasul (memohon atau berdoa
kepda Allah Swt. dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan
dekat kepda Allah Swt).
Biasanya, tawasulan (mengerjakan suatu amal yang dapat mendekatkan
diri kepda Allah Swt.) terlebih dahulu ditujukkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Khulafaur Rasyidin dan seluruh para sahabatnya, hingga pada Syaikh Abdul
Qodir al-Jailani, kemudian kepada para „Ulama besar, baik „Ulama di wilayah
Jawa (Banten, Cirebon, Pati, Kediri, Situbondo, Madura, dan lain-lain) maupun
43
Wawancara dengan tokoh agama Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah,
Kiyai Sarku pada tanggal 19 April 2017 pukul 22.30 WIB.
134
sekitar wilayah luar Jawa. Keempat, menutup dengan doa secara khusus, bahkan
dibarengi dengan salat istikharah dan berpuasa.44
2. Huruf-huruf Hijāiyyah45
Menurut tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung
Cibengkung Desa Citorek Barat, Ustadz Harjat, jimat al-Qur‟an banyak
bentuknya. Mulai dari menyamak kulit binatang hingga mengering, bahan kain
pakaian, kertas, sabuk, dan golok. Apapun barang-barangnya, apabila ada tulisan
Arab maupun numerik Arab sudah termasuk dalam kategori wafaq (jimat al-
Qur‟an). Menurutnya, penulisan jimat tidak asal menulis, melainkan harus
memakai minyak za‟faran, cairan perak, kuningan sari, yang ditulis dengan pena.
Pada saat prosesi penulisan atau menempelkan doa-doa khusus pada benda
itu, pembuat harus dalam keadaan suci. Di dalam jimat terdapat nomor-nomor
Arab, nama-nama malaikat, nama-nama Khulafaur Rasyidin hingga huruf-huruf
hijāiyyah seperti lafaẓ alif, ba, ta, ṡa, jim, ḫa, kha, dal, żal, ra, zay, sin, syīn, ṣad,
ḍad, ṭa, lam, mīm, dan nūn hingga lain sebagainya.46
Huruf-huruf hijāiyyah dan
44
Wawancara dengan tokoh agama Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah,
Kiyai Sarku pada tanggal 19 April 2017 pukul 22.30 WIB. 45
Huruf-huruf penggalan menurut Abdul Qādir al-Jilānī, mempunyai tempat yang
istimewa. Setiap huruf hijāiyyah memberikan rahasia pemahaman asma-asma Tuhan. Selain itu,
huruf-huruf tersebut mempunyai kecenderungan yang unik. Baginya huruf itu adalah kata kunci
(keyword) untuk memecahakan kode isi dari simbol huruf itu. Dalam Surat Qāf (Qs. 50: 1), ia
menilai bahwa awalan huruf qaf adalah singkatan kata yang tersembunyi pada huruf tersebut.
Lihat, Aik Iksan Anshori, Tafsir Ishari; Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh „Abd al-
Qādir al-Jīlānī (Jakarta: Referensi, 2012), h. 177. Dikutip dari „Abd al-Qādir al-Jīlānī, (Istanbul:
Markaz al- al-Jīlānī li al-Buhūth al-„Ilmiyah, 2009), Cet. Ke 1, Vol. 1, h. 162 dan 172.
46 Menurut Fauzi Rahman, bahwa huruf-huruf yang biasa digunakan sebagai bahan dasar
jimat tersebut memiliki makna yang berbeda-beda, yaitu: A. huruf alif bermakna amnan. Semua
kata yang terdiri dari huruf alif, lam, dan nun mengandung arti “pembenaran” dan “ketenangan
hati”, antara lain; imān, amānah, dan aman. Al-Qur‟an sebagai pemberi rasa aman sebagaimana
firman-Nya “… dan Dia (Allah) memberi mereka rasa aman dari ketakutan.” (Q.S. Quraisy: 4),
135
nomor-nomr Arab bukuan sekedar huruf dan nomor saja, melainkan hasil dari
puasa dan salat istikharah.47
Huruf-huruf hijāiyyah merupakan bagian dari na‟at
dan man‟ut atau kata yang disifatkan serta termasuk ke dalam seni pembuatan
jimat al-Qur‟an. 48
ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafirpun memperoleh rasa ama, apalagi rasa aman yang
dirasakan oleh orang yang beriman (Q.S. al-An‟am: 82). B. Huruf ba bermakna barran (kebaktian)
dan barākatan (keberkahan). Dalam al-Qur‟an kata barr yang dibubuhi dengan alif dan lam (al-
barr) hanya ditemukan sekali, yaitu firman-Nya yang menunjuk kepada sifat Allah (Q.S. at-Ţhūr:
27-28). Adapun keberkahan secara terminologis, kebaikan yang bersumber dari Allah yang
ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya. Tetapnya kebaikan ini diibiratkan seumpama
tetapnya air di dalam telaga, (Q.S. al-„Arāf: 96). C. Huruf ta bermakna taubatan (taubat/kembali)
dan taufiqan (taufik). D. Huruf tsa bermakna Tsabat (keteguhan) dan Tsawāban (ganjaran). E.
Huruf jim bermakna jazā‟an (balasan) dan jalālan (kemuliaan). F. Huruf ḫa bermakna ḫikmah
(hikmah) dan ḫayā‟an (malu). G. Huruf kha bermakna khusyū‟an (khusyuk) dan khasy-yatan
(takut). H. Huruf dal bermakna daulatan (kekuasaan) dan dalīlan (petunjuk). I. Huruf dzal
bermakna dzihnan (ingatan) dan dzakā‟an (kecerdasan). J. Huruf ra bermakna rahmatan (rahmah)
dan raja‟an (harapan). K. Huruf zay bermakna zuhdan (zuhud) dan zakā‟an (kesucian). L. Huruf
sin bermakna sa‟ādatan (bahagia) dan salāmatan (keselamatan). M. Huruf syīn bermakna syukran
(syukur) dan syifā‟ (kesembuhan). N. Huruf shad bermakna shabran (sabar) dan shadāqatan
(jujur). O. Huruf dhad bermakna dhau‟an (cahaya) dan dhalā‟atan (kekuatan). P. Huruf ṯha
bermakna ṯha‟ātan (ketaatan) dan ṯhāratan (kesucian/kebersihan). Q. Huruf lam bermakna luthfan
(kelemahlembutan) dan liqā‟an (perjumpaan). R. Huruf mīm bermakna maghfiratan (ampunan)
dan matā‟an (kesenangan). S. Huruf nūn bermakna nuran (cahaya) kata cahaya dalam al-Qur‟an
kita dapat temukan di beberapa firman-Nya diantara lain: (Q.S. al-Māidah: 15), (Q.S. Yunus: 5),
(as-Syūra: 52), dan lain sebagainya. Dan huruf nūn juga bermakna najātan (keselamatan) dapat
kita lihat di (Q.S. Maryam: 71-72) dan (Q.S. al-Anbiyā‟: 101-102). Lihat, M. Fauzi Rachman,
Rahasia dan Makna Huruf Hijaiyyah (Yogyakarta: Citra Risalah, 2010), h. 5-246.
47 Prosesi pembuatan jimat al-Qur‟an yang dipotong-potong hingga menjadi huruf-huruf
hijāiyyah dalam pandangan antropologi agama, Edwar Tylor termasuk ritual dan ibadah yang
dikerjakan secara konsisten yang didasari sebuah keyakinan yang kuat tanpa melihat bentuk atau
pun praktiknya. Lihat, Robert F. Murphy, Cultural and Social Anthropology (United State of
America: Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, 1986), h. 168.
48 Wawancara dengan tokoh agama Kampung Cibengkung Desa Citorek Barat, ust. Harjat
pada tanggal 20 April 2017 pukul 17.37 WIB.
Gambar IV.2 Jimat yang
dibuat dari bahan kertas,
guna pengasihan dalam jual
beli (perdagangan).
136
Jimat wafaq tidak hanya ayat-ayat al-Qur‟an di atas. Akan tetapi, masih
banyak ayat-ayat suci dan nama-nama yang mewarnai bahan dasar pembuatan
jimat al-Qur‟an. Pembukaan surah pun (fawatihus suwar) dalam al-Qur‟an seperti
ayat-ayat mutasyabihat, lafaẓ Allah, nama nabi Muhammad Saw. dan nama
Khulafaur Rasyidin, seperti Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khttab, Utsman bin
„Afan, dan Ali bin Abi Thalib turut menjadi bagian dari jimat al-Qur‟an.49
Adapun referensi yang dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan jimat,
menurut K.H. Mahmud hampir semua pembuat wafaq (jimat al-Qur‟an)
menempuh jalan atas dasar perintah dan petunjuk guru/ijazah. Dalam tradisi
keilmuan Nahdlatul Ulama, perintah guru merupakan segalanya. Hal ini sama
halnya dengan perintah orang tua yang harus diamalkan.
Pengabdian yang dilakukan itu guna mengharapkan berkahnya ilmu
(keberkahan ilmu). “Elmu ma tong kudu loba, percuma elmu loba tapi hanteu
manfaat, meningan saeutik tapi manfaat eta anu leuwih alus,” ujar tokoh agama
Wewengkon Citorek Timur.50
Selain itu, ia juga merujuk pada kitab al-aufāq dan
mujarrabāt al-Kubra karya al-Ghazali ketika hendak membuat jimat. Tapi, ia
lebih mengutamakan dalam proses ritualnya dengan berdzikir, berpuasa, dan
memanjatkan doa-doa tertentu sesuai yang ia dapatkan dari petunjuk gurunya
ketika belajar di pondok tradisional. Dengan demikian, ritual dzikir dan puasa
49
Wawancara dengan tokoh agama adat wewengkon Kasepuhan Citorek Timur, K.H.
Mahmud (bapak Qodir) pada tanggal 21 April 2017 pukul 10.04 WIB. 50
Maksudnya adalah mempunyai ilmu itu tidak mesti banyak, karena sangat percuma
mempunyai ilmu yang banyak tetapi tidak bermanfaat. Lebih baik mempunyai ilmu sedikit, akan
tetapi bermanfaat. Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Desa Citorek Timur, K.H. Mahmud (Bapak Qodir) pada tanggal 21 April 2017.
137
dilakukan dapat mendekatkan diri kepada Allah dan menghilangkan dosa,
sehingga keinginan atau pun maksud tertentu mudah terwujud.
Bentuk jimat di atas, ditemukan ayat-ayat fawatih suwar (حم عسق يس ,ه
numerologi dalam bahasa Arab, lafaẓ Allah Swt. dan ayat kursi. Makna ,(كهيعص
dari penggunaan ayat-ayat tersebut guna sebagai penjagaan diri dari makhluk
halus dan manusia yang hendak berbuat jahat dan keselamatan. Mengenai huruf-
huruf al-muqaṭa‟ah atau ayat mutasyabihat dalam jimat itu bagian dari rahasia,
Gambar IV.3 Jimat yang
dibuat dari bahan perak, berisi
fawatihus suwar dan lafaẓ
Allah Swt. dan apabila jimat
dibalik, terdapat ayat kursi
guna sebagai penjaga dan
keselamatan.
138
karena setiap lafaẓ mempunyai sesuatu yang sengaja disembunyikan maknanya
supaya tidak diketahui makhluknya.51
Selain itu, jimat al-Qur‟an yang berfaedah sebagai proses penjagaan diri
dan keselamatan di atas merupakan huruf-huruf Arab yang terbuat dari bahan
perak. Hal ini dilakukan karena ketika dikenakan pengguna pada bagian leher
tidak mudah hancur dan melembek pada saat terkena air hujan. Jimat di atas, pada
bagian sisinya terdapat lima sudut yang dinisbahkan kepada rukun Islam,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw.52
Dari Abu „Abdirrahman „Abdullah bin „Umar bin Khattab,
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw. bersabda, Islam
dibangun di atas lima, yaitu persaksiaan bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat,
menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan naik haji ke
baitullah.”
Numerologi juga mempunyai peran penting dalam ta‟wiż53
atau resep
untuk kesembuhan yang dibuat ahli kebatinan atau ahli hikmah, kyai itu untuk
menghalau hal-hal yang jahat. Setiap huruf dan alfabet bahasa Arab membawa
sebuah nilai. Angka-angka itu kemudian ditambahkan dan bisa memberikan
jumlah yang secara simbolik mewakili ungkapan yang suci.54
51
Wawancara mendalam (konfirmasi data) dengan tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, Kyai Sarku pada
tanggal 14 Mei 2017. 52
Wawancara mendalam (konfirmasi data) dengan tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, Kyai Sarku pada
tanggal 14 Mei 2017. 53
ta‟widh adalah doa untuk mengharap rahmat dan perlindungan Tuhan dari kekuatan
setan, terutama dari tipu muslihat dan hasutan setan. Lihat, Bruce Lawrence, The Quran a
Biography terjemhan Aditiya Hadi Pratama (Bandung: Semesta Inspirasi, 2006), h. 162. 54
Bruce Lawrence, The Quran a Biography terjemhan Aditiya Hadi Pratama (Bandung:
Semesta Inspirasi, 2006), h. 148.
139
Dengan demikian, berbeda dengan tokoh-tokoh agama di atas, praktik-
praktik pembuatan jimat al-Qur‟an yang dilakukan tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Sabrang dan Desa Citorek Kidul, yaitu
K.H. Rumdani lebih memilih menempelkan doa-doanya ke dalam air, dari pada
menempelkan doa di dalam barang-barang tertentu.55
Apabila dia kedatangan
warga masyarakat Adat Wewengkon Citorek maupun luar Wewengkon yang
mengharapkan sebab syariat (ikhtiar/cukang lantaran) untuk penyembuhan
penyakit, kehilangan barang maupun berupa uang, dan lain sebagainya, maka ia
menyarankan untuk berdoa bersama.
Adapun tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Kidul, Ustadz Mukhtar al Khoiri mempraktikkan keahliannya pada bagian
minyak wangi yang dibubuhi khadam magis. Menurutnya, praktik itu lebih
mudah dibandingkan memasukkan magis ke dalam yang berbentuk benda.56
Jimat di atas secara keseluruhan, para pembuat jimat merujuk dan
mengambil dari kitab al-Aufāq karya imam al-Ghazali. Hal ini seperti yang
penulis temukan berupa nama nabi Saw. malaikat, surat al-Ikhlāṣ, numerologi
Arab, dan ayat kursi. Di mana simbol-simbol maupun perangkat jimat di atas
mempunyai keutamaan sebagai keselamatan, kebaikan dan keberkahan hidup.
55
Wawancara mendalam dengan tokoh agama Desa Citorek Sabrang, K.H. Rumdani pada
tanggal 22 April 2017 pukul 16.30 WIB. 56
Wawancara dengan tokoh agama Desa Citorek Kidul, Ust. Mukhtar al Khoiri pada
tanggal 23 April pukul 11.12 WIB.
140
Bahkan al-Ghazali menyarankan dalam proses pembuatannya agar membaca
bacaan-bacaan khusus.57
3. Jimat Non al-Qur‟an
Praktik jimat yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek berupa benda-benda yang mengandung tuah atau mana seperti keris,
pisau, golok dan tombak merupakan harta turunan dan titipan dari nenek moyang.
Dalam prosesi perawatannya (ritual) adalah setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan
Rajab bertepatan dengan hari isra‟ mi‟raj nabi Muhammad Saw. benda-benda
magis dipertajam dengan menggunakan jeruk nipis dan cuka maupun bentuk
asam-asaman.58
Hal itu dilakukan, karena semua anggota keluarga menghadirinya.
Upacara yang mereka kerjakan terdapat makna yang mendalam, yaitu mempererat
hubungan seluruh sanak family, yaitu silaturrahmi. “Anu dilakukeun tradisi di
Wewengkon Kasepuhan Citorek lain berarti percaya kanu benda, akan tetapi
neruskeun tatali paranti kolot baheula/karuhun, supaya hanteu pareum obor
57
Al-Imām al-ghazālī, al-Aufāq (Beirut: Libanan: t.t.), h, 7.
58 Dalam pandangan antropologi agama, ritual mempertajam barang-barang antik atau
barang yang mempunyai tuah yang dipraktikkan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
termasuk ke dalam ritual agama (Religious ritual or cremony) yang dihadiri partisipan maupun
keluarganya sendiri. Lihat, Robert F. Murphy, Cultural and Social Anthropology (United State of
America: Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, 1986), h. 184. Menurut Richard, dalam praktik
ritual biasanya dilakukan banyak keterlibatan gerak-geriknya fisik, aktif atau tidak aktifnya ucapan
(verbal), dan pengetahuan yang bersifat esoteric maupun exoteric. Lihat, Fiona Bowie, The
Anthropology of Religion (Oxford: Blackwell Publishers, 2001), h. 154.
141
sareung anggota kaluarga anu sejen,” ujar tokoh masyarakat se-Wewengkon
Kasepuhan, Subri.59
Bentuk jimat yang pernah digunakan tokoh masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Desa Citorek sabrang, Jaro Asid Rosidin berbentuk batu. Benda itu
mempunyai mana berasal dari turunan bapaknya sejak dahulu kala. Kelebihan dari
batu turunan itu, walaupun banyak saudara yang menginginkannya, akan tetapi
benda turunan itu dapat memilih siapa yang pantas menerimanya.
Apabila benda bertuah itu diambil saudaranya, akan tetapi benda antik itu
dapat kembali lagi pada salah satu keluarga yang sudah mendapatkan amanah atau
istilah adat Kasepuhan disebut katitisan. Setiap bulan silih mulud (12 Rabiul
Awal) benda yang mengandung magis itu mesti mendapatkan perawatan disertai
doa dan selametan (dimumule). Apabila pesan tatali paranti kolot baheula
dilanggar, maka benda magis itu akan ngabadi (memberikan efek buruk) kepada
keluarga yang mendapatkan amanah.
Menurutnya Jaro Asid Rosidin, praktik yang dia kerjakan dalam
pandangan sekejap mata memang seperti praktik tradisi budaya Hindu, padahal di
dalam praktik itu terdapat pembacaan al-Qur‟an, yaitu kalimat tauhid dan kalimat
59
Maksudnya adalah tradisi yang dilakukan salah satu masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Citorek bukan berarti mereka mempercayai pada sebuah benda, melainkan meneruskan
perjuangan kolot baheula supaya antar anggota keluarga tidak putus dalam silaturrahmi.
Wawancara dengan tokoh masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Timur, Subri
(Bapak Dewi) pada tanggal 21 April 2017 pukul 13.17 WIB.
142
toyyibah, mulai dari syahadat dan shalawat, tahlil hingga pembacaan hamdallah
yang diiringi dengan doa selametan. 60
Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek tidak hanya
mempraktikkan benda-benda turunan. Namun juga mayoritas masyarakat Adat
Kasepuhan menggunakan syariat (cukang lantaran) kemenyan dan panglai. Kedua
benda magis ini biasanya diisi jampe-jampe, doa. Selain itu, benda-benda magis
seperti panglai dan kemenyan termasuk perlengkapan pada saat prosesi acara
berlangsung. Kedua benda magis itu mesti dihadirkan, laksana seperti
menjalankan kewajiban shalat yang harus berwudhu terlebih dahulu.61
Adapun jimat atau barang-barang yang bertuah dalam perspektif kaolotan
Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek, yaitu berbentuk seperti, sawah tangtu,
keris, tombak, pisau, hihid, dulang, pangarih, sepaheun, kemenyan, dan panglai.
Barang-barang ini merupakan benda-benda yang erat kaitannya dengan peralatan
keluarga dan sebelum maupun sesudah ritual dalam bercocok tanam padi, baik di
sawah maupun di huma (perkebunan). Mereka mendapatkannya melalui turunan-
menurun dari tatali paranti kolot baheula/karuhun yang mesti dilanjutkan kembali
perjuangannya. Apabila tidak meneruskan perjuangannya, maka masyarakat Adat
se-Wewengkon Kasepuhan Citorek akan mendapatkan pamali (berdosa) yang
berfek kepada negatif.62
60
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek
Sabrang, Jaro/Kepala Desa Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017 pukul 09.34 WIB. 61
Wawancara dengan warga masyarakat Adat wewengkon Kasepuhan Kampung
Cibengkung Desa Citorek Barat, Rohendi pada tanggal 20 April 2017 pukul 21.30 WIB. 62
Wawancara dengan tokoh adat masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Kidul, Olot Calo tonggoh pada tanggal 23 April 2017 pukul 10.42 WIB.
143
Jimat lokal ini digunakan ketika prosesi upacara adat atau pun upacara
keagamaan, maupun selametan berlangsung. Dalam perspektif tokoh adat
Kasepuhan, sepaheun mempunyai makna filosofi hidup yang sangat mendalam
bagi incu putu masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan. Oleh karenanya, mesti
dilakukan setiap incu putu masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek.
Sepaheun terdiri dari daun sirih (sereuh) yang berjumlah 5 menandakan bahwa
adat Kasepuhan berpegang teguh pada rukun Islam. Sereuh mempunyai arti
bahwa dalam menjalankan kehidupan ini, incu putu masyarakat adat Kasepuhan
harus bertafakur (kudu ngarereuh).
Biji pinang bermakna sebagai pertimbangan hidup (kudu ditimbang). Bagi
incu putu masyarakat Adat wewengkon Kasepuhan Citorek dalam mengambil
keputusan atau menjalankan kegiatan harus didasari dengan pertimbangan.
Gambir bermakna berpikir. Di mana pun incu putu masyarakat adat Kasepuhan
berpijak mesti menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu (kudu mikir).
Gambar IV.4 Jimat lokal
masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan
Lebak-Banten; Sepaheun.
144
Kemudian, bako63
bermakna setiap kegiatan atau pun keputusan yang
sudah dilakukan mesti disertai dengan pengharapan (kudu didago). Oleh karena
itu, apu atau kapur yang sudah diendapkan untuk ramuan makan sirih (dicampur
dengan gambir, kapulaga, cengkih, dan sebagainya) bermakna, dari semua usaha
yang sudah dikerjakan secara sungguh-sungguh (all ouat) apapun hasilnya harus
diterima dengan lapang dada (kudu diaku).64
Tata cara mereka dalam mendapatkan benda-benda turunan melalui titip,
titip, titip, dan titip terus berkesinambungan dari generasi incu putu sampai ke
generasi incu putu masyarakat adat Kasepuhan yang lain. Kebiasaan ini sudah
berlanjut dari pertama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan bermukim di
kawasan Gunung Halimun. Bahkan tradisi menggunakan benda-benda magis di
atas sudah dipraktikkan semenjak Kerajaan Sunda Prabu Siliwangi sampai abad
kontemporer.65
Selain itu, jimat beruapa mantra merupakan produk asli yang digunakan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek secara turun-temurun. Bahkan
jangjawokan ini berasal dari kerajaan Sunda, Prabu Siliwangi. Adapun ritualnya,
doa jangjawokan diintegrasikan dengan bacaan syahādat, shalawat dan diakhiri
63
Bako adalah lempengan tembakau yang dibuat berkeping-keping tipis. Lihat, Ebta
Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1 (Jakarta: Freeware, 2010) atau dapat
diakses di http://ebsoft.web.id 64
Wawancara mendalam (konfirmasi data) dengan tokoh adat Kasepuhan Kampung
Cibengkung Desa Citorek Barat, Olot Umar pada tanggal 14 Mei 2017. 65
Tokoh adat Kasepuhan wewengkon Desa Citorek Kidul pengurus Kasepuhan terbagi
menjadi dua, yaitu olot Calo tonggoh (tugasnya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan bercocok
tanama padi sawah maupun huma) dan olot Calo landeuh (tugasnya mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan pemerintahan yang disebut dengan jaro kolot). Wawancara dengan warga
masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Kidul,Misbahudin pada tanggal 23 April
2017 pukul 12.32 WIB.
145
dengan hurip ku nabi waras ku Allah ku kersaning Allah lā ill Allah muḫammad
rasūlullah.66
Jangjawokan disebut juga ilmu buhun, yaitu ilmu keturunan dari nenek
moyang yang menggunakan bahasa Sunda Kuno. Hal ini seperti doa ketika
hendak berhadapan dalam persidangan (palakara). Selain itu, mantra atau
jangjawokan ini digunakan ketika berhadapan dengan orang yang gagah perkasa
yang akan menẓalimi (ngarogahala), tetapi dia akan tunduk seketika pada saat
pengguna membacakannya.
“A‟uzdubillāh himinasyiṯhanirrajjīm bismillāhirrahmānirraḫīm
maning jalu siluluyu datang sarengeteng denge tungkul tanuk
tangah nyemah hurip ku Nabi waras ku Allah ku kersaning Allah
lā ill Allah muḫammad rasūlullah.”67
Adapun jangjawokan yang biasa digunakan ketika mendoakan atau
menolong orang-orang yang terkena penyakit, seperti penyakit gatal-gatal,
penyakit mata (konjungtivitis), penyakit bisul, penyakit gondok, penyakit cacar
air, campak, luka, dan penyakit onongeun dapat dibacakan jangjawokan di bawah
ini dengan khusu dan ikhlas.
“A‟uzdubillāh himinasyiṯhanirrajjīm bismillāhirrahmānirraḫīm
sang ratu awun-awun, sang ratu berhala pangeran sada sakti,
sang ratu uleng-uleng, sang ratu ening-ening, manik herang
manik lenggang, gumancang di gunung karang, sang ratu
talawira, buyut gintung sada sang putih, inamang hati awaking
66
Pengintegrasian antara bacaan al-Qur‟an dan jangjawokan agar doa-doa yang
dipanjatkan terkabul. Wawancara dengan masyarakat/warga Adat Wewengkon Kasepuhan
Kampung Cibengkung Desa Citorek Barat, Abah Nasid pada tanggal 20 April 2017 pukul 11.41
WIB. 67
maning jalu siluluyu datang sarengeteng denge tungkul tanuk tangah nyemah hurip ku
Nabi waras ku Allah ku kersaning Allah lā ill Allah muḫammad rasūlullah Maksudnya adalah
apabila dihadapkan dengan persidangan maupun keadaan sontak yang mengancam pada
keselamatan, maka orang yang hendak mendzalimi atau pun pada saat persidangan akan
tercengang dengan kekalahan (patalukkan).
146
inamang hati, sang ratu komara geni, sang ratu tunjang buana,
sang ratu tunjang budha, ulah hilap tina gawe, karaksaan aing
anu aya di gunung karang, hurip langgeng ing manusa, anu aya
sajati ning manusa. Cep tiis, cep tiis, cep tiis, hurip ku Nabi
waras ku Allah ku kersaning Allah lā ill Allah muḫammad
rasūlullah.”
Makna dari jangjawokan di atas, berisi bentuk sambatan atau bersambat si
pengguna mantra kepada sang ratu dan raja penguasa alam yang mengganggu
anak manusia dari kehidupan naluriahnya. Sambatan ini dilakukan agar anak
manusia dikembalikan kepada kehidupan sediakala (naluriahnya), yaitu hurip
langgeng ing manusa, anu aya sajati ning manusa.68
Akhir dari mantra ini
terdapat term cep tiis, cep tiis, dan cep tiis guna penyakit yang mengendap di
dalam tubuh manusia agar lekas sembuh dan merasakan ketenangan.
B. Ritual Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan dalam
Menggunakan Jimat
Pengamalan yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten pada al-Qur‟an hingga menjadi berbentuk jimat yang
mempunyai beragam praktik, di antaranya jimat dikenakan pada bagian dompet,
menempelkan jimat di bagian ambang pintu dan lemari, mengenakan jimat pada
bagian dalam sabuk, serta menyimpan jimat kecil pada bagian dalam minyak
hingga melebur.
Praktik-praktik ini dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek bertujuan mendatangkan keselamatan dan keberkahan, karena di dalam
68
Hurip langgeng ing manusa, anu aya sajati ning manusa maksudnya adalah kehidupan
manusia sesuai dengan sunnatullah. Wawancara mendalam (konfirmasi data) dengan warga adat
wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Barat, Abah Nasid pada tanggal 14 Mei 2017.
147
jimat terdapat ayat-ayat suci al-Qur‟an, lafaẓ Allah Swt. asmaul husna, nama-
nama malaikat, nabi Muhammad Saw. Khulafaur Rasyidin, dan nama-nama para
waliyullah (kekasih Allah Swt).
1. Menempelkan Jimat pada Bagian Ambang Pintu dan Lemari
Jimat yang biasa dijadikan hiasan di dinding dalam ruangan rumah berupa
tulisan kaligrafi seperti orang yang sedang berdoa, berupa harimau, berupa
burung, dan berupa ular naga. Di dalam tulisan itu terdapat ayat-ayat suci al-
Qur‟an, lafaẓ Allah Swt. asmāul ḫusna, nama-nama para nabi dan malaikat, serta
nama Khulifaur Rasyidin.
Tulisan kaligrafi di atas memang mudah ditemukan di Pasar-pasar. Akan
tetapi, berbeda halnya dari sudut manfaat atau pengaruh dengan tulisan Arab
berupa jimat al-Qur‟an yang dipotong-potong hingga menjadi huruf-huruf
hijāiyyah yang diperoleh melalui ijazah atau dari ahli hikmah (kyai).
Benda magis itu hasil dari jerih payah kyai, mengusahakannya melalui
puasa atau bahkan salat istikharah agar khadam magis masuk ke dalam tulisan
atau benda yang hendak digunakan sebagai penyelamat, karismatik, pengasihan
maupun penglaris ini tergantung dari kebutuhan pengguna ketika mendatangi ahli
hikmah.69
Selain itu, bentuk jimat yang di tempel di ambang pintu tidak hanya
bertuliskan kaligrafi dan jimat al-Qur‟an, melainkan dalam bentuk tulisan Arab
69
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Kidul, Ustadz Mukhtar al Khoiri pada tanggal 23 April 2017 pukul 11.12 WIB.
148
pun seperti al-Qur‟an lumrah, yang biasa digunakan. Ini sesuai yang pernah
dipraktikkan warga masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Tengah, Suryadinata meletakkan jimat di ambang pintu lantaran sesuai petunjuk
gurunya pada saat ketika ia nyantri (belajar) di Pondok tradisional.
Dia dapat pesan ketika hendak menempelkan doa-doa itu pada bagian
lemari, syarat utamanya adalah harus berpakaian sopan, menghadap kiblat, dan
dalam keadaan suci. Selain itu, ia disarankan agar membaca basmaallah dan
syahadatain dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan.70
Jimat keselamatan di atas, ketika peresearch mengamatinya dengan
seksama, di dalam jimat itu terdapat beragam doa berupa ta‟wiż atau permohonan
perlindungan seorang hamba yang lemah kepada Tuhannya, Allah Swt. dari tipu
muslihat dan halusinasi setan.
70
Wawancara dengan santri kolot Majlis Ta‟lim Nurul Iman Kampung Babakan Cicurug
Desa Citorek Tengah, Suryadinata pada tanggal 19 April 2017 pukul 17.41.
Gambar IV.7 Jimat keselamatan
yang di tempel pada bagian
ambang pintu dan lemari.
149
“Ya Allah kami berlindung kepada-Mu dari
Iblis dan pasukan tentara setan dan kami
berlindung kepada-Mu sesuatu makhluk yang
sangan jelek dan buruk.”
Menurut warga masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Ibu Tiamah, jimat yang dia gunakan mesti di tempelkan di ambang pintu
dan dijadikan hiasan rumah, baik pada bagian ruangan tamu maupun di ambang
pintu bagian dalam. Ini dilakukan karena berdasarkan petunjuk ketika Tiamah
mendapatkannya dari Jawa Timur dan Jawa Barat, Madura dan Bogor pada saat
Ziarah ke makam para waliyullah bersama rombongan dari Wewengkon Citorek.
Ia meyakini atas praktik sebab syariat (usaha) yang dia dikerjakan, yaitu
menempelkan lafaẓ-lafaẓ al-Qur-an pada bagian rumahnya akan mendatangkan
keselamatan dan keberkahan, karena di dalam hiasan itu sewaktut-waktu akan
menimbulkan kesakralannya sebagai penjaga dari ilmu hitam (teluh) yang hendak
menzalimi.71
71
Wawancara dengan warga masyarakat adat wewengkon Kasepuahn Desa Citorek
Sabrang Bu Tiamah pada tanggal 22 April 2017.
Gambar IV.8 Jimat keselamatan yang di tempelkan pada ambang pintu serta
dijadikan hiasan rumah.
150
Berdasarkan hasil wawancara, gambar ular naga, harimau, dan buaya di
atas tidak memiliki makna yang signifikan, kecuali hanya sekedar seni dari si
pembuat jimat. Hal ini dapat dikatakan wajar karena tidak ada keterangan secara
eksplisit dalam kitab al-aufaq dan mujarāt al-Kurbra tentang gambar-gambar
tersebut. Pendapat ini dikuatkan oleh kyai Sarku, seorang ulama adat wewengkon
Kasepuhan Desa Citorek Tengah.72
2. Mengenakan Jimat pada Bagian Sabuk
Tokoh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kepala Desa Citorek
Sabrang, Jaro Asid Rosidin pernah merasakan keanehan yang ia rasakan di luar
nalar manusia, yaitu ketika mencoba dan mempraktikkan jimat al-Qur‟an (wafaq)
beruapa sabuk tidak mempan dibacok (kekebalan). Selain itu, pada saat
mengenakannya, dia merasakan suasana panas kepada bagian seluruh anggota
badan, hingga bawaannnya tidak bisa menahan emosi ketika menghadapi masalah.
Di bawah alam sadar, jimat itu berfek percaya diri dan tidak pernah takut ke siapa
pun yang dia hadapi.
Jimat ayat-ayat suci al-Qur‟an berupa wafaq yang terdiri dari huruf-huruf
hijāiyyah dan numerik-numerik Arab Asid Rosidin mendapatkannya melalui
ijazah pada saat nyantri (belajar) di Pondok Pesantren Salafiah. Menurutnya,
banyak orang-orang yang memaknai al-Qur‟an sebagai jimat, akan tetapi tidak
disertai dengan guru dan ijazah yang pada akhirnya berubah menjadi gila.
72
Wawancara dengan tokoh agama masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa
Citorek Tengah, kyai Sarku, pada tanggal 14 Mei 2017.
151
Dia sangat percaya, bahwa yang dia kerjakan sesuai petunjuk gurunya
yaitu mengenakan ayat-ayat suci al-Qur‟an pada bagian dalam sabuk hanya
sebatas syariat atau mediator. Adapun kelebihan dan efek dari barang itu yang
dapat melampaui nalar manusia hanyalah pemberian Allah Swt. yang berguna
sebagai penjaga diri dari orang yang hendak menzalimi. “Kahareup jurang
katukang jungklang,”73
ketika keadaannya memaksa, sudah tidak ada jalan lain
untuk mecari keselamatan, maka lebih baik melawan dan berperang dengan
orang-orang yang hendak menzalimi itu.
Dengan demikian, tata cara dalam mempraktikkan wafaq (jimat al-Qur‟an)
itu, semestinya dalam keadaan suci, dan tidak boleh digunakan dalam keangkuhan
dan kesombongan, melainkan harus dalam keadaan kacau atau sukar serta tersudut
ketika dalam menghadapi berbagi persoalan. Perintah ini dilakukan karena
amanah pada saat ijazah. Selain itu, benda itu tidak hanya berupa barang biasa,
melainkan terdapat dalil atau ayat-ayat suci al-Qur‟an yang mesti dijaga, diraksa
dan dilestarikan.74
3. Meletakkan Jimat dalam Dompet
Dompet merupakan tempat untuk menyimpan uang maupun untuk
menyimpan sesatu yang berbentuk privasi (rahasia). Pandangan salah satu warga
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek, dompet merupakan tempat
privatisasi yang bagus dan aman untuk menyimpan barang seperti jimat. Adapun
73
Maksudnya adalah keadaan genting, tidak ada jalan lain baik ke depan maupun ke
belakang. Hasil wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat adat wewengkon Kasepuhan
Desa Citorek Sabrang, Jaro Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017. 74
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Jaro Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017 pukul 09.34 WIB.
152
jimat al-Qur‟an yang berukuran kecil adat kebiasaan masyarakat mengenakannya
pada bagian dompet.
Jimat yang dikenakan dalam dompet bisanya untuk mendapatkan karisma
yang tinggi (pangabaran), kekebalan, pengasihan, dan penglaris. Namun, praktik-
praktik mistik ini dilakukan oleh Supriati masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Kampung Cicurug Desa Citorek Tengah dalam hal perdagangan
warungan (toko sembako).75
Ketika ia berencana membuka toko sembako, sebelumnya ia meminta doa
atau syariat (usaha) kepada ahli hikmah, kyai agar perdagangannya lancar.
“Alhamdulillah kami dibere ceceukeulan, anu berupa potongan-potongan ayat-
ayat suci al-Qur‟an supados diaspkeun kanu dompet.”76
Dari ahli hikmah ia
disarankan agar meletakkan jimat yang bertuliskan ayat-ayat al-Qur‟an berupa
huruf hijāiyyah itu di dalam dompet. Atas ikhtiar dan keberkahan al-Qur‟an yang
dia kerjakan sebelumnya, memberikan pengaruh maslahat dan kemanfaatan dalam
proses berdagang.
75
Wawancara dengan Supriati warga masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung
Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, pada tanggal 19 April 2017 pukul 11.34 WIB.
76 Maksudnya adalah saya bersyukur atas pemberian jimat al-Qur‟an dari Kyai guna
sebagai pegangan (teteungeur hate) ketika meminta petunjuk dan keberkahan dalam berdagang
agar ditempatkan pada bagian dompet. Wawancara dengan Supriati warga masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, pada tanggal 19 April
2017.
153
Praktik ini dilakukan hal yang sama oleh masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Kampung Guradog Barat Desa Citorek Timur, Suryani. Jimat yang ia
dapatkan dari orang yang dianggap tahu tentang ilmu kebatinan, yaitu ahli
hikmah, kyai sebanyak dua buah jimat. Kedua benda itu berupa tulisan Arab yang
dipotong-potong. Ketika ia hendak menggunakannya harus sesuai dengan
penunjuk, yaitu mesti menempelkan jimat di ambang pintu toko dan
mengenakannya pada bagian dalam dompet.77
Selain itu, ia juga mendapatkan doa-doa khusus yang harus diamalkan
(diwirid) ketika sesudah shalat.78
Namun, dalam mempraktikkannya, guna sebagai
jembar rezeki atau penglaris dalam proses perdagangan ia selalu membaca surat
al-Wāqi‟ah pada bagian ayat (wafākihating kaṡīrati llā maqṭū‟ati walā
mamnū‟ah) sebanyak 16 kali pada saat sebelum berjualan. Ayat itu ia maknai
sebagai permohonannya kepada Allah Swt. agar diberikan rezeki yang banyak dan
tidak ada putus-putusnya. Suryani merasakan perbedaan yang signifikan,
77
Wawancara dengan Suryani warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan kampung
Guradog Barat Desa Citorek Timur pada tanggal 21 April 2017 pukul 15.34 WIB. 78
setiap harinya Suryani mengamalkan (mewiridkan) secara bolak-balik Bismillāh 100
kali, Surat Al-Fātiḫah 10 kali, 100 ان زبى كسيم kali, dan 100 يامالك القدس kali. Wawancara mendalam
dengan Suryani warga masyarakat Adat wewengkon Kasepuhan kampung Guradog Barat Desa
Citorek Timur pada tanggal 21 April 2017.
Gambar IV.9 Jimat pengasihan
yang dapat digunakan dalam
proses perdagangan.
154
dibandingkan sebelumnya yang tidak mengamalkan (mewiridkan) atau pun tidak
mengenakan jimat al-Qur‟an dalam kehidupannya.
Adapun jimat yang dikenakan dalam dompet, bagi budayawan Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek, Mulyadi Sugiansar sebagai teteungeur hate,
pegangan hidup, yaitu pemeliharaan diri dari setan dan dari orang-orang yang
hendak berdengki. Menurutnya, perihal jimat terdapat tuah atau pun tidak! Hal itu
tergantung orang yang mempraktikkannya. Menurutnya, hakikat dari jimat itu
sendiri adalah sugesti seseorang pada saat memaknai dalam mempergunakannya.
Ketika dalam mempernggunakan jimat itu, ia mengenakannya pada bagian
yang paling domestiksasi privatisasi, yaitu pada bagian dalam dompet dan tidak
boleh terbawa buang air kecil maupun buang air besar. Praktik yang dia kerjakan
sesuai perintah ketika pertama mendapatkan dari ahli hikmah, kyai maupun guru
spiritual. Selain itu, pada saat berpergian ke mana pun benda magis itu (jimat)
suatu keharusan untuk dikenakan dan dibawa, karena memberikan efek positif
yaitu percaya diri dan mendatangkan ketenangan.79
4. Mencampurkan Jimat ke Dalam Minyak
Minyak merupakan zat cair berlemak, biasanya kental, dan tidak larut
dalam air.80
Kemudian, jimat al-Qur‟an yang berukuran kecil dicampur-adukkan
ke dalam minyak wangi, yaitu barang cair asri yang harum baunya hingga merata.
79
Hasil wawancara mendalam dengan budayawan warga Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek Kampung Naga I Desa Citorek Tengah, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19 April 2017
pukul 13.54 WIB. 80
Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1 (Jakarta: Freeware,
2010) atau dapat diakses di http://ebsoft.web.id
155
Hal ini dipraktikkan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan
Sawah Desa Citorek Sabrang, Sarnata tiap kali hendak berjualan selalu
mengenakan minyak yang sudah dicampurkan dengan ayat-ayat suci al-Qur‟an,
jimat berupa wafaq.
Tata cara dalam menggunakan benda magis itu diantaranya, (1) jiwa dan
raga harus dalam keadaan suci, (2) membaca doa dengan khidmat, sesuai perintah
atau petunjuk pada saat pertama ia mendatangi ahli hikmah, kyai (3)
menyemprotkan parfume pada badan secukupnya. “Si minyak eta dioles-oleskeun
atanapi disemprotkeun kana bagian awak, pikeun dipikaweulas dipikaasih ku
manusa.”81
Prosesi acara itu diyakini akan mendatangkan kejembaran rezeki yang
banyak, dibandingkan dengan sebelumnya. Pasca mempraktikkan jimat itu, sesuai
dengan arahan gurunya, dia merasakan sesuatu hal yang berbeda dengan yang
sebelumnya, yaitu keberkahan rezeki. Kelebihan yang dia dapatkan meski sedikit
jumlahnya, akan tetapi rezeki terus-menerus berdatangan. “Arek naon loba-loba
oge ari ngan sakali mah,”82
pengguna membandingkan dengan income yang
banyak, akan tetapi hanya sebatas musiman.83
81
Maksudnya adalah minyak yang sudah dicampurkan dengan jimat al-Qur‟an dioleskan
pada bagian badan hingga merata, guna sebagai penglaris dalam berdagang. Ketika dihadapan
orang-orang yang hendak membeli mempunyai sifat mikaweulas mikasih (pemurah dan
penyayang) oleh sesama. Hasil wawancara mendalam dengan warga masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Kampung Babakan Sawah Desa Citorek Sabrang, Sarnata pada tanggal 22 April 2017.
82 Maksudnya adalah buat apa rezeki banyak-banyak apabila berdatangannya cuma satu
kali atau musiman. Lebih baik berdatangan rezeki sedikit, akan tetapi berkesinambungan (terus-
menerus). 83
Hasil wawancara dengan warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Sarnata pada tanggal 22 April 2017 pukul 13.15 WIB.
156
Berbeda dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Desa Citorek Kidul, Ustadz Mukhtar al Khoiri, jimat yang dikenakan ke dalam
minyak dipergunakan sebagai media dalam meraih pangabaran atau karisma yang
tinggi dalam pandangan masyarakat.
Ketika bermaksud mengenakan minyak yang sudah dicampurkan dengan
ayat-ayat suci al-Qur‟an berupa jimat baik potongan-potongan lafaẓ al-Qur‟an
hingga menjadi huruf hijāiyyah maupun ayat-ayat tertentu dan surat-surat tertentu.
Sebelumnya, dia mewiridkan doa-doa khusus diiringi dengan berpuasa. Hal ini
dilakukan supaya minyak yang dia gunakan berhasil sesuai dengan kebutuhan
awal (doa pertama).84
C. Manfaat Mengenakan Jimat
Bentuk jimat al-Qur‟an yang dipotong-potong hingga menjadi huruf-huruf
hijāiyyah apabila diamati tidak jauh berbeda dengan benda-benda yang biasa kita
temukan dalam masyarakat umum. Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan
benda-benda yang diperjualbelikan di pasaran, guna dijadikan sebatas hiasan
dindinng dalam ruangan rumah.
Berbeda dengan jimat yang dikeluarkan langsung oleh ahli hikmah, kyai.
Letak perbedaannya pada pengaruh atau manfaat dari benda magis khadam itu.
Hal ini karena, hasil dari jerih payah pembuat yang melalui jalan meditasi,
84
Hasil Wawancara mendalam dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon
Kasepuhan Desa Citorek Kidul, Ustadz Mukhtar al Khoiri pada tanggal 23 April pukul 11.12 WIB.
157
wiridan, puasa, dan salat istikharah. Dengan demikian, manfaat yang dirasakan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek berbeda-beda.
Tergantung seberapa besar masalah dan seberapa banyak syariat (cukang
lantaran, ikhtiar) yang mereka gunakan. Ada yang memanfaatkannya sebagai
media dalam pencarian jodoh, pangabaran; karisma yang tinggi di semua mata
manusia, pengasihan/penglaris dalam perdagangan, kekebalan dalam lingkungan
tanah kejawaraan, serta keselamatan dan keberkahan dalam masyarakat umum.85
1. Pengasihan (penglaris)
Menjadikan perusahaan tidak cukup dengan ikhtiar saja, melainkan harus
diserati dengan doa. Hampir seluruh masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek khususnya yang concern dalam usaha pertokoan atau warungan
menggunakan beragam doa. Mulai dari doa yang bersifat jangjawokan (mantra),
doa kejawen, maupun jimat al-Qur‟an.
Praktik-praktik yang telah mereka kerjakan, manfaatnya sudah dirasakan
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung Guradog Barat Desa Citorek
85
Persepsi masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan jimat al-Qur‟an guna sebagai
kekebalan, jembar rezeki, pengasihan, penglaris, karimatik yang tingggi (pangabaran) dan lain-
lain merupakan implikasi dari ketidaksanggupan mereka dalam memecahkan permasalahan hidup.
Hal ini seperti teori Frazer, bahwa manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan
sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang
kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat
dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Bahkan menurut Rudlf Otto
semua sistem kepercayaan di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang magis
(mysterium) yang dianggap maha dahsyat (tremendium) dan keramat (sacer) oleh manusia
disebabkan oleh sifat tak rasional dari konsep Tuhan (uber das irrationale in der idee des
gottlichen). Lihat, Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, h. 54 dan 66.
158
Timur, Suryani.86
Sebelumnya, Suryani tidak percaya atas praktik magis
(nyareat)87
yang dilakukan kawan sepekerjaannya. Akan tetapi, setelah dia
mempraktikkan jimat potongan ayat-ayat suci al-Qur‟an dan ijazah berupa
wiridan88
dari ahli hikmah, efeknya memberikan pengaruh yang berbeda dengan
yang sebelumnya, yaitu lebih berkah dan lancar. Perbedaan pengaruh yang ia
rasakan disebabkan karena setiap harinya ia mengamalkan Bismillāh 100 kali,
Surat Al-Fātiḫah 10 kali, 100 ان زبى كسيم kali, dan 100 يامالك القدس kali.89
“Kalancaran atanapi laris jualan lain pangaruh tina jimat, tapi tina
berkahna ayat-ayat al-Qur‟an anu ku urang kudu diraksa sareung dijaga”, ujar
Suryani.90
Selain itu, Suryani juga menempelkan wafaq (potongan-potongan ayat
suci al-Qur‟an) di atas ambang pintu toko dan mengenakannya dalam dompet.
Praktik ini dilakukan karena dalam al-Qur‟an terdapat banyak doa-doa, dan atas
perintah ketika dia nyareat mendatangi ke kediaman para ahli hikmah atau kyai.91
86
Suryani merupakan salah satu warga Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung Guradog
Barat Desa Citorek Timur yang menggunakan (pengguna) jimat al-Qur‟an sebagai penglaris
dagangan. 87
Nyareat adalah usaha yang dilakukan masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Citorek agar diberikan petunjuk, kelancaran dan doa kepada Kyai. Nyareat dalam perspektif Imam
al-Ghazali merupakan usaha yang dilakukan manusia agar mendapatkan pancaran cahaya
(petunjuk) dari ahli hikmah (kyai). Lihat, al-Ghazali, Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar,
terjemahan Hasan Abrori dan Mashur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 45-46. 88
Wiridan adalah amalan-amalan berupa doa khusus yang dilakukan secara berulang-
ulang baik pada waktu malam maupun siang sesudah shalat. Wawancara dengan Suryani warga
masyarakat adat wewengkon Kasepuhan kampung Guradog Barat Desa Citorek Timur ketika
konfirmasi data pada tanggal 2 Juni 2017. 89
Amalan yang dikerjakan warga masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Timur, Suryani termasuk ke dalam jimat. 90
Pengaruh yang dirasakan Suryani bukan dari efek keyakinan pada jimat atau pun doa-
doa khusus melainkan efek dari berkahnya al-Qur‟an, karena ia telah menjaganya dan
mengamalkannya. 91
Wawancara dengan Suryani warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan kampung
Guradog Barat Desa Citorek Timur pada tanggal 21 April 2017 pukul 15.34 WIB.
159
Dengan demikian, praktik di atas dilakukan hal yang sama oleh warga
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Kampung Babakan Cicurug Desa
Citorek Tengah,92
Supriati dan warga masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Kampung Babakan Sawah Desa Citorek Sabrang, Sarnata.93
Namun, mereka tidak
memberikan penjelasan secara jelas mengenai amalan (doa) apa yang mereka
kerjakan setiap harinya, lantran hal ini menurut mereka merupakan sebuah rahasia
yang sangat privatisasi.
Oleh karena itu, jimat pengasihan yang mereka gunakan memberikan
manfaat yang berbeda. Padahal, sebelumnya income Toko Sembako atau
warungan mereka biasa-biasa saja, akan tetapi setelah mereka mempraktikkannya
dapat mendatangkan kelancaran. Padahal, usaha yang mereka kerjakan bukan
melalui ritual pesugihan maupun memuja-muja, tetapi hanya menggunakan jimat
al-Qur‟an hingga dapat mendatangkan keberkahan dan keselamatan dalam
mencari nafkah.
2. Karismatik (pangabaran)
Jimat pangabaran atau karismatik biasanya digunakan tokoh-tokoh
masyarakat tertentu, seperti tokoh politik, tokoh agama, maupun tokoh adat
Kasepuhan. Tapi, warga masyarakat biasa pun tidak sedikit yang mengenakannya.
Praktik ini sudah bukan menjadi rahasia umum dilakukan masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek. Pengguna jimat pangabaran mayoritas
92
Wawancara dengan Supriati warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Kampung
Babakan Cicurug desa Citorek Tengah, pada tanggal 19 April 2017 pukul 11.34 WIB. 93
Hasil wawancara dengan warga masyarakat adat wewengkon Kasepuhan Desa Citorek
Sabrang, Sarnata pada tanggal 22 April 2017 pukul 13.15 WIB.
160
digunakan kaum muda, tokoh agama, maupun tokoh pemerintahan guna membuka
perasaan subjektif atau fenomena motorik yg mendahului dan menandai
permulaan suatu serangan paroksismal atau aura.
Praktik-praktik demikian diakui oleh tokoh agama masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Kampung Cibengkung Desa Citorek Barat Ustadz Harjat.
Menurutnya, jimat al-Qur‟an yang dia gunakan hanya sebagai mediasi agar
mempunyai karismatik (pangabaran) di mata masyarakatnya. Praktik ini,
menurutnya dilakukan agar masyarakat mendengarkan dan mempraktikkan pesan-
pesan yang telah beliau sampaikan baik melalui penafsiran ayat-ayat yang tersurat
maupun tersirat dan kitab-kitab kuning.94
Jimat karismatik merupakan teteunger hate (pegangan) memperoleh
karismatik di setiap pandangan manusia. Jimat ini tersusun dari Surat al-Ḫijr: 1-99
94
Wawancara dengan tokoh agama Kampung Cibengkung Desa Citorek Barat, ustadz
Harjat pada tanggal 20 April 2017 pukul 17.37 WIB.
Gambar IV.5 Jimat yang
biasa digunakan sebagai
karisma yang tinggi dan
pembuka aura.
161
dan Surat al-Ikhlāṣ: 1-4, serta nama-nama seperti malaikat Jibril, Mingkail, Israfil,
dan Izrail. Jimat ini bertuliskan warna merah sebagai simbol kesakralan. Warna
merah ini mengikuti tengah-tengah al-Qur‟an, yaitu walyatalaṭaf Surat al-Kahf
ayat ke 19, dimana ayat ini diyakini sebagai simbol maupun lambang kesucian.95
Manfaat dari jimat karismatik juga dirasakan langsung kepala Desa
Citorek Sabrang, Jaro Asid Rosidin. Menurutnya, apabila tidak mempunyai jimat
(teteungeur hate atau pegangan hidup) maka dia akan kesusahan dalam memimpin
masyarakat yang berjumlah 1.501 Jiwa dari jumlah keluarga, penduduk dan sex
rasio Desa Citorek Sabrang.96
“Alhamdulillah setiap kali menginstruksikan
kepada semua perangkat Desa maupun masyarakat, mereka langsung
memperhatikan dan melaksanakannya dengan baik sesuai perintah,” pungkas Jaro
Citorek Sabrang.97
3. Penyelamat Jiwa dan Raga
Jimat merupakan media keselamatan atau pegangan hidup bagi masyarakat
Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek. Media ini digunakan tergantung tujuan dan
kebutuhan mereka masing-masing. Tapi, kebanyakan masyarakat Wewengkon
Citorek mengenakan barang bertuah ini untuk keselamatan. Benda-benda yang
mereka gunakan berupa barang turunan dari nenek moyang seperti batu, keris,
95
Wawancara mendalam (konfirmasi data) dengan tokoh agama Kampung Cibengkung
Adat Wewengkon Kasepuhan Desa Citorek Barat, Ustadz Harjat pada tanggal 14 Mei 2017. 96
Badan Pusat Statistik, Kecamatan Cibeber Dalam Angka; Cibeber Subdistrict In
Figures 2016 (Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2016), h. 21. 97
Hasil wawancara mendalam dengan tokoh pemerintahan masyarakat adat Kasepuhan
wewengkon adat Kepala Desa Citorek Sabrang, Jaro Asid Rosidin pada tanggal 22 April 2017
pukul 09.34 WIB.
162
golok, pisau, tombak, panglai, kemenyan, sepaheun maupun sebaliknya, yaitu
potongan-potongan ayat suci al-Qur‟an dan wiridan (doa-doa khusus) dari ahli
hikmah atau kyai.
Pengaruh dari jimat al-Qur‟an dirasakan langsung warga masyarakat Adat
Wewengkon Kasepuhan Kampung Cibengkung Desa Citorek Barat, oleh Saridan.
Ketika dia terpojok ancaman pembunuhan dari seluruh jawara berpengaruh di
masyarakat Adat se-Wewengkon Kasepuhan Citorek.
Atas pengaruh dari keberkahan al-Qur‟an yang dia gunakan seolah-olah
para jawara yang sebelumnya bengis dan mempunyai sifat keras tanpa belas
kasihan kepda manusia menjadi biasa-biasa saja seperti sediakala seakan-akan
tanpa ada masalah. Padahal ikhtiar yang dia lakukan hanya sebatas melaksanakan
saran dan perintah gurunya agar memegang potongan-potong ayat suci al-Qur‟an,
yaitu jimat.98
Selain itu, jimat penyelamat dapat memberikan pengaruh pada ketenangan
jiwa dan raga ketika berpergian. Hal ini di rasakan oleh tokoh budayawan Adat
Wewengkon Kasepuhan Citorek, Mulyadi Sugiansar. Tidak hanya demikian,
jimat keselamtan juga berfungsi sebagai penjaga dan penangkal dari ilmu-ilmu
hitam (teluh), setan/zin, dan dapat digunakan media tambahan agar merasakan
percaya diri ketika dihadapkan berbagai masalah.99
98
Hasil wawancara mendalam dengan Saridan warga masyarakat adat Kasepuhan
Kampung Cibengkung Desa Citorek Barat pada tanggal 20 April 2017. 99
Hasil wawancara mendalam dengan budayawan adat wewengkon adat Kasepuhan
Citorek, Mulyadi Sugiansar pada tanggal 19 April 2017 pukul 13.54 WIB.
163
4. Penyembuh
Jimat al-Qur‟an juga dapat dipergunakan sebagai penyembuh dari
penyakit. Sebagaimana firman Allah Swt. “Dan Kami turunkan dari al-Qur‟an
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-
Qur‟an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian.”100
Menurut tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, kyai Sarku, apabila ada
seseorang yang terkena penyakit tidak lekas sembuh. Padahal, orang yang
mempunyai penyakit itu sudah pernah berobat melalui medis ke berbagai Rumah
Sakit (RS) di dalam negeri maupun di luar negeri, maka menurutnya, solusi
terakhir adalah pengobatannya melalui lafaẓ al-Qur‟an.101
Ia pernah mempraktikkan pengobatannya dengan menggunakan lafaẓ-lafaẓ
al-Qur‟an yang ditulis di atas piring, kemudian dileburkan dengan air putih lalu
100
Lihat, Q.S. al-Isrā‟ ayat 82. 101
Wawancara mendalam dengan tokoh agama masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan
Kampung Babakan Cicurug Desa Citorek Tengah, kyai Sarku ketika konfirmasi data pada tanggal
02 Juli 2017.
Gambar IV.6 Jimat yang dapat
digunakan sebagai pengobatan
dari berbagai penyakit.
164
diminumkan kepada pasien yang mempunyai penyakit nyeuri beuteung (sakit
perut) yang tidak lekas sembuh. Namun, setelah melalui proses yang panjang,
yaitu menuliskan potongan-potongan Surat al-Burūj, dan Surat aṭ-Ṭāriq102
dan
mencampurkannya dengan mewiridkan hizib naṣar lisayyidina Abī al-Ḫasan al-
Syadzlī (melakukan upaya doa-doa khusus) yang ditiupkan pada air tersebut,
kemudian menghasilkan efek berbuah manis yaitu kesembuhan atas izin Allah
Swt.
Alasan kyai Sarku menggunakan Surat aṭ-Ṭāriq sebagai pengobatan
penyakit, karena dalam surat tersebut terdapat lafaẓ ئبيخسج مه بيه الصلب والتسا
(yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan). Ia
menafsirkan bahwa semua penyakit dapat merasuk melalui tulang sulbi begitu pun
sebaliknya, yaitu pengobatan. Ayat ini juga dapat difungsikan sebagai perebah
(menumbangkan) pendekar atau jawara yang gagah perkasa yang tidak mempan
dibacok, dibakar, ditembak (kebal) maupun yang lainnya menjadi mempan dan
melembek tidak kuasa kecuali kersana Allah Swt. (kekuasaan-Nya).
102
Akhir Surat ini Allah menguraikan pemeliharaan-Nya terhadap manusia dan
pencatatan yang diperintahkan-Nya menyangkut amal kegiatan mereka. Berbeda dengan Surat al-
Burūj yang akhir surahnya menguraikan tentang pemeliharaan Allah terhadap al-Qur‟an dalam al-
Lauḫ al-Maḫfūz. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur‟an, Volume 15, h. 171.
165
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan dalam menggunakan jimat harus dalam
keadaan suci, tidak digunakan dalam keangkuhan dan kesemobongan serta
mematuhi petunjuk kyai. Prosesi penggunaannya, jimat diletakan pada bagian
ambang pintu dan lemari, mengenakan jimat pada bagian sabuk, meletakan jimat
ke dalam dompet, dan mencampurkan jimat yang berukuran kecil ke dalam
minyak (prfume). Sebelumnya, pembuat jimat melakukan ritual terlebih dahulu
seperti salat istikharah, mewiridkan doa-doa khusus, bahkan puasa.
Sebagian besar masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan dalam
kehidupan sehari-harinya meyakini al-Qur’an terdapat doa-doa khusus yang
mengandung beragam keutamaan-keutamaan tertentu. Kemudian, al-Qur’an
diramu hingga dibuat huruf-huruf hijāiyyah dan dicampurkan dengan nama Allah
Swt. Rasulullah Saw. Khulafaur Rasyidin, malaikat, dan numerik Arab sehingga
menjadi sebuah jimat.
Adapun makna dari persepsi masyarakat terhadap al-Qur’an itu bagian dari
penghormatan, pemuliaan dan pelestarian masyarakat terhadap al-Qur’an. Motif
dan tujuan masyarakat Kasepuhan dalam menggunakan jimat karena memiliki
beragam manfaat, antara lain: Pertama, dapat menyelamatkan diri dan
166
memberikan kepercayaan/ketenangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan
hidup. Kedua, dapat berfungsi sebagai karismatik yang tinggi dalam pandangan
setiap manusia demi mempertahankan eksistensi kekuasaan. Ketiga, digunakan
sebagai penglaris dalam perdagangan untuk kepentingan stabilitas ekonomi.
Keempat, sebagai penyembuh dari berbagai penyakit untuk kepentingan
masyarakat luas yang mengendap penyakit yang tak kunjung sembuh dan lain
sebagainya.
B. Saran
Pemulis merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar
memperhatikan aspek-aspek lain dari kehidupan masyarakat Wewengkon
Kasepuhan Lebak Banten, khususnya dari sudut adat istiadat dan budaya
masyarakat. Selain itu, dalam menggunkan jimat masyarakat diharapkan lebih
berhati-hati dan jangan sampai mengarah pada kemusyrikan, seperti jimat untuk
pesugihan, jimat memiliki kekuatan murni, dan lain-lain.
167
DAFTAR PUSTAKA
„Abduh, Muhammad. Tafsir Juz „Amma, terjemahan Muhammad Bagir.
Bandung: Mizan, 1999.
Abdurrahman dkk, Romdon. ed., Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1993.
Abu Tolib, Nurdeen Deuraseh dan Mansor. “Mental Health in Islamic Medical
Tradition”, The International Medical Journal, Volume 4, Nomor 2,
Desember Tahun 2005.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur‟an; Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an.
terjemahan Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta, LKis, 2005.
Adriana, Iswah. “Neloni, Mitoni atau Tingkeban: (Perpaduan antara Tradisi Jawa
dan Realitas Masyarakat Muslim)”, KARSA, Volume 19, Nomor 2,
Tahun 2011.
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi
Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006.
Ahmad Said, Hasani. “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume
10, Nomor 1, Juni Tahun 2006.
Thib Raya, Ahmad. dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hope, 1997.
Ahmad, Perdana. Ilmu Hikmah Antara Karomah dan Kedok Perdukunan. T.tp.:
T.pn., t.t..
Ahsana AS, Chairunnisa. Pesona Azimat: Antara Tradisi dan Agama, Bandung:
Pustaka Aura Semesta, 2014.
„Alī „īsa Ibrāhīm, „Alī as-Sayyid. Hadis-hadis dan Atsar yang Menjelaskan
Tentang Keutamaan Surah-Surah al-Qur‟an, terjemahan Abdul
Hamid. Jakarta: PT SAHARA intisains, 2010.
Al Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi. terjemahan Bahrun Abubakar dkk.
Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993.
al-Jīlānī, „Abd al-Qādir. Tafsir „Abd al-Qādir al-Jīlānī. Istanbul: Markaz al- al-
Jīlānī li al-Buhūth al-„Ilmiyah, 2009.
Ali, Muhamad. “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadis”
Journal of Qur‟an and Hadis Studies-Vol. 4, No, 2, Tahun 2005.
168
Ash-ṣhabuni, Muhammad. Shafwatut Tafasir; Tafsir-tafsir Pilihan, terjemahan
Yasin. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011.
Piliang, Yasraf Amir. Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi. Jakarta:
Mizan Publika, 2011.
Andriawan, Didik. Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an Sebagai Pengobatan (Studi
Living Qur‟an pada Praktik Pengobatan Dr. K.H. Komari Saefulloh di
Pesantren Sunan Kalijaga, Desa Pakuncen, Kecamatan Patianrowo-
Kabupaten Nganjuk ), Skripsi S1 Jurusan Tafsir dan Hadis Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Anshori, Aik Iksan. Tafsir Ishari; Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir
Shaikh „Abd al-Qādir al-Jīlānī. Jakarta: Referensi, 2012.
Anwar, Khoirul. “Pesantren, Kiyai dan Tarekat,” Studia Islamika, Volume 5,
Nomor 1, Tahun 1998.
Apipudin, Al-Qur‟an Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazīnat al-
Asrār Karya Muhammad Haqqi al-Nāzilī 1993). Ciputat Tangerang
Selatan: Young Progressive Muslim, 2013.
as-Suyūṯhī, Jalāluddīn. Asbābu al-Nuzūl al-Musammā Lubābu al-Nuqūl Fī
Asbābu al-Nuzūl. Beirūt: Libanān: Mu‟assisah al-Kutub al-Tsiqāfiyah,
2241 H/2002.
…………..al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān. Beirūt: Maktabatu Dāri al-Turāts, 1349
H/2010.
Athar dkk, Shahid. “Islamic Medical Ethics: The IMANA Perspective”, Jima
Volume 37 Tahun 2005.
Azis Dy dkk, Aceng Abdul. Islam Ahlussunnah Waljama‟ah di Indonesia;
Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama. Jakarta: PP
Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nadlatul Ulama, 2006.
al Qarnī, Ā‟id „Abdullah. Al-Qur‟an Berjalan; Potret Keagungan Manusia
Agung, terjemahan Abad Badruzzaman. Jakarta: PT Sahra intisains,
2006.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1998.
Bachtiar, Harsja W. The Religion of Java: a Commentary, in Readings on Islam in
Southeast Asia. compiled by Ahmad Ibrahim, Pasir Panjang: Institute
of Southeast Asian Studies, 1985.
169
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak-Banten, Kecamatan Cibeber Dalam
Angka Cibeber District In Figures 2014: Kondisi Geografis dan Iklim,
diakses pada 15 September 2016 dari www.lebakkab.go_.id-media-
doc-post-cibeber-2014.
…………..Kecamatan Cibeber Dalam Angka Cibeber District In Figures 2016.
Kabupaten Lebak: Badan Pusat Statistik, 2016.
Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Bowie, Fiona. The Anthropology of Religion. Oxford: Blackwell Publishers, 2001.
Chakim, Sulkhan. “Dakwah Islam dan Spritualitas Kejawen”, Komunika, Volume
I, Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2007.
Chalik, Abdul “Agama dan Politik Dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan”,
Ibda‟ Journal Kebudayaan Islam, Volume 14, Nomor 1, Januari-Juni
2016.
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Disertai Tanda-tanda
Tajwid dengan Tafsir Singkat; Al-Qur‟an Bayan. Jakarta: Al-Qur‟an
Terkemuka, 2009.
…………..Al-Qur‟an Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan
Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug.
Rangkasbitung: Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan
Parawisata Kabupaten Lebak, 2004.
Djajadiningrat, Hossen. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta:
Djambatan: 1983.
Effendi, Djohan. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi; Wacana Keagamaan
di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Eldeeb, Ibrahim. Be a Living Qur‟an terjemahan Faruq Zaini. Ciputat, Tangerang
Selatan: Lentera Hati, 2009.
Esack, Farid. Samudera al-Qur‟an, terjemahan Nuril Hidayah. Yogyakarta: Diva
Press, 2008.
Esack, Farid. The Qur‟an: a Short Introduction. London: Oneworld Publication,
2002.
170
F Nagamia, Husain. “Islamic Medicine History and Current Practices”, ed.,
Aysegϋl Demirhan Erdemir and Abdul Nasser Kaadin, Journal of the
International Society for the History of Islamic Medicine (ISSN: 1303-
667x), Volume 2, Nomor 4, Oktober Tahun 2003.
Faizin, Haman. “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an Upaya Pengembangan Kajian
al-Qur‟an Melalui Living Qur‟an” dalam Suhuf, Vol. 4, No, 1, (2011).
Gafur, Abdul. Al-Qur‟an dan Budaya Magi (Studi Antropologis Komunitas
Keraton Yogyakarta dalam Memaknai al-Qur‟an dengan Budaya
Magi, Tesis S2 Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2007.
Gardjito, Murdijati. Serba-serbi Tumpeng Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Ghazali, Sharif Kaf. “Islamic Medicine History and Current Practices”, ed.,
Aysegϋl Demirhan Erdemir and Abdul Nasser Kaadin, Journal of the
International Society for the History of Islamic Medicine (ISSN: 1303-
667x), Volume 2, Nomor 4, Oktober Tahun 2003.
Ghazali, Imam Abu Hamid. Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar,
terjemahan Hasan Abrori dan Mashur Abadi. Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002.
Ghazali, Al-Asma‟ Al-Husna terjemahan Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 2000.
Gellner, David N. ed., Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKis, 2002.
Giyarto, Selayang Pandang Banten. Klaten: PT Intan Pariwara, 2008.
Glasse, Chirl. Ensiklopedi Islam, terjemahan Ghufron A. Mas‟adi. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999.
Hakim, Lukman. Ed., Moh. Ali Fadillah, Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik.
Pandeglang: Banten Heritage, 2006.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita,
2000.
Hidayat, Komaruddin Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika.
Jakarta: PT Mizan, 2011.
Hossein Nasr, Seyyed. ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terjemahan:
M Solihin Arianto dkk. Bandung: Mizan, 2003.
Humaeni, Ayatullah. “Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib Dalam Mantra
Masyarakat Muslim Banten,” El-Harakah Vol. 16 No. 1 Tahun 2014.
171
…………..“Mantra Masyarakat Muslim Banten,” El-Harakah Vol. 16 No. 1
Tahun 2014.
…………..“Ritual, Kepercayaan Lokak dan Identitas Budaya Masyarakat Ciomas
Banten”, El Harakah, Volume 17, Nomor 2, Tahun 2015.
Husna, Najmil. “Wawasan Sihir dalam Tafsir al-Kabīr”, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1427 H/2007 M.
Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin. Laporan Hasil Penelitian
Jimat Dalam Konsep Magis Masyarakat Banjar. Banjarmasin: IAIN
Antasari, 1999.
Imani, Allamah Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an; Sebuah Tafsir Sederhana
Menuju Cahaya Al-Qur‟an, terjemahan Rudy Mulyono. Jakarta: al-
Huda, 2006.
Irfani, Fahmi. Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. Jakarta:
Young Proressive Muslim Press, 2011.
Ismail, Roni. “Hakikat Monoteisme Islam (Kajian Atas Konsep Laa Ilaḫa
illallah),” Religi, Vol. X, No. Juli Tahun 2014.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2011.
Junaedi, Didi. “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Kajian al-Qur‟an
(Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Sroj al-Hasan Desa Kalimukti
Kec. Pebedilan Kab. Cirebon),” dalam Journal of Qur‟an and Hadis
Studies-Vol. 4, No, 2, Tahun 2015.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemahan Ahmadie Thaha. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2016
Koentjaraningrat. Sejarah Antropologi I. Jakarta: UI Press, 2007.
…………..Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
L. Pals, Daniel. ed., Seven Theories of Religion. New York: Oxford University
Press, 1996.
Lawrence, Bruce. The Qur‟an: A Biography, terjemahan Aditya Hadi Pratama.
Bandung: Semesta Inspirasi, 2006.
Lubis dkk, Nina Herlina. Sejarah Kabupaten Lebak. Rangkasbitung: Pemerintah
Daerah Kabupaten Lebak bekerja sama dengan Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran, 2006.
172
Lubis, Ridwan. Sosiologi Agama; Memahami Perkembangan Agama dalam
Interaksi Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Mahmud Abdullah, Muhammad. Sembuhkan Penyakitmu Dengan Al-Qur‟an,
terjemahan Muhammad Muhisyam. Yogyakarta: Bernada Publishing,
2010.
M. Mansur. ed., “Living Qur‟an dalam Lintas Sejarah Studi al-Qur‟an” dalam
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan
Hadis. Yogyakarta: TH-Press, 2007.
M.A. Tihami, Upacara Rebo Wekasan di Serang Jawa Barat. Serang: Fakultas
Syaria‟ah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 1991.
Madjid, Nurcholish. “Kedudukan dan Pernan Ulama Dalam Islam,” Titik-Temu
Jurnal Dialog Peradaban, Vol, 6, No. 2, Januari-Juni Tahun 2014.
Motawalli As-Sya‟rawi, Syaikh Mohamad. Meniti Jalan Menuju Al-Qur‟an,
terjemahan Usman Hatim. Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah,
2010.
Mutawalī al-Sya‟rāwī, Muhammad. Tafsīr Al-Sya‟ rāwī. Mesir: al-Akhbar al-
Yaum, t.t.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosda Karya, 2007.
Muhammad Ghazali, Syaikh. Tafsir Tematik Dalam Al-Qur‟an, terjemahan
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2005.
Muktadin, Baytul. Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an Untuk Pengobatan Penyakit
Jiwa (Studi Living Qur‟an di Desa Kalisabuk Kesugihan Cilacap Jawa
Tengah. Tesis S2 Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010.
Murphy, Robert F. Cultural and Social Anthropology. United State of America:
Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, 1986.
Nasichin, Imam. Tradisi Mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan (Studi
Living Qur‟an). Skripsi S1 Jurusan Ushuluddin dan Dakwah, Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan 2016.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1985.
173
…………..Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1985.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1983.
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Kepribadian Qur‟ani. Jakarta: Amzah, 2011.
Nurwana, Praktik Pengamalan Ayat al-Qur‟an Saat Proses Mandi Hamil Tujuh
Bulan Oleh Masyarakat Kelurahan Kuin Selatan Kota Banjarmasin
(Studi Living Qur‟an), Skripsi S1 Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Institut Agama Islam Negeri
Antasari Banjarmasin 2017.
Podo, Hadi dan J. Sulivan, Joseph. Pandai Berbahasa Inggris; Kamus Ungkapan
Indonesia-Inggris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1986.
Rosidi, Ajip. Sastera dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1995.
R. Guenon, Symbolism of the Cross. penerjemah A. Macnab. London: Luzac,
1975.
Rachman, M. Fauzi. Rahasia dan Makna Huruf Hijaiyyah. Yogyakarta: Citra
Risalah, 2010.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Qur‟an. terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung:
Pustaka, 1996.
Ridwan. Kontekstualisasi Etika Muslim terhadap The Others; Aplikasi
Pendekatan Historis-Kritis Atas al-Qur‟an. Purwokerto: IAIN
Salatiga, 2016.
Saeed, Abdullah. Islamic Thought; An Introduction. New York: Routledge, 2006.
Sardar, Ziauddin. Reading the Qur‟an; The Contemporary Relevance of the
Sacred Text of Islam. New York: Oxford University Press, 2011.
Salim, Peter. Advanced English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English
Press, 1991.
Schimmel, Annemarie. Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam Secara
Fenomenologis penerjemah Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1997.
Setiawan, Ebta. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1 Jakarta:
Freeware, 2010 atau dapat diakses di http://ebsoft.web.id
174
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
…………..“Ensikolopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata,” dalam Nasaruddin Umar
ed., Ensiklopedia, vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
…………..Yang Tersembunyi. Jakarta : Lentera Hati, 1999.
…………..Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan, 1996.
Spradley, James P. Participant Observation. United States of America: Waveland
Press, 2016.
…………..James P. The Ethnographic Interview. United States of America:
Waveland Press, 2016.
Sugiansar, Mulyadi. “Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek,” artikel diakses pada
06 Mei 2017 pukul 06.00 WIB dari
http://pancercitorek.blogspot.co.id/2013/01/wewengkon-adat-
kasepuhan-citorek.html
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta, 2011.
Sukamto dkk, Hadi. “Understanding Behaviour Environmental Education Water
Resources Model of Outdoor Study on Community of “Osing” at
Banyuwangi District East Java Indonesia”, Research of Humanities
and Social Sciences, Volume 6, Nomor 6, Tahun 2016.
Sulastri, Iis. Nilai-Nilai Islam Dalam Seni Tradisional Debus di Menes
Pandeglang Banten. Skripsi S1 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah
Jakrta, 1435 H/2014 M.
Sutisna, Agus. Revitalisasi Kajaroan; Jalan Alternatif Menuju Otonomi Desa di
Banten. Rangkasbitung Banten: Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi La Tansa Mashiro
Rangkasbitung, 2003.
Suwito, ed., Kajian Tematik Al-Qur‟ans Tentang Konstruksi Sosial. Bandung:
Angkasa Bandung, 2008.
Syamsuddin, Sahiron. ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis.
Yogyakarta: TH-Press, 2007.
Syarbashi, Ahmad. Dimensi-dimesi Kesejatian al-Qur‟an. Yogyakarta: Ababil,
1996.
175
Tamamul Iman, Muhammad. Dimensi Ontologis Debus: Sumbangnya Bagi
Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di
Walantaka, Kota Serang, Banten). Tesis S2 Program Pasca Sarjana
Ilmu Filsafat, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2005.
Tanggok, M. Ikhsan. Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
Jakarta: Program Magister Fakultas Ushuluddin, 2012.
Tri Haryanto, Joko. “Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat
Islam”, Journal SMaRT, Volume 1, Nomor 1, Juni Tahun 2015.
Van Bruinessen, Martin. “Shari‟a Court, Traekat and Pesantren: Relegious
Institution in The Banten Sultanate,” In Archipel, Volume 50, Tahun
1995.
…………..IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Artikel diakses 27 Agustus 2016
dari https//id.wikipedia.org
Zuhaili, Wahbah. Al-Qur‟an dan Paradigma Peradaban, terjemahan M. Thohir.
Yogyakarta: Dinamika, 1996.
Zuriati. Azimat Minangkabau Kritik Teks dan Edisi Kritis, Disertasi pada Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sastra, 2013.
i
Lampiran I
Ketika berdialog dengan tokoh adat Kasepuhan dan masyarakat
Ketika wawancara dengan tokoh agama
ii
Jimat berupa al-Qur’an atau ayat-ayat tertentu maupun surat-surat
tertentu
iii
iv
Jimat non al-Qur’an yang biasa digunakan masyarakat adat wewengkon
Kasepuhan
Jangjawokan
Patalukan/petalukan:
Maning jalu siluluyu datang sarengeteng denge
tungkul tanuk nyemah, hurip ku nabi waras ku
allah ku kersaning lailaha illah Muhammad
rasulullah
v
1. Ziarah akbar masyarakat adat wewengkon Kasepuhan
2. Ngarengkong atau mengarak hasil panen dengan kesenian Sunda
Tradisi masyarakat Adat Wewengkon asepuhan ebak anten
vi
3. Gapura ketika memasuki adat Kasepuhan Lebak Banten
4. Panen padi seluruh masyarakat wewengkon adat Kasepuhan satu tahun
sekali
vii
5. Ngalantaiken pare (tempat mengeringkan padi)
Lampiran II
Interview Guide
A. Masyarakat Umum/pengguna
1. Tradisi lokal apa saja yang biasa dilakukan masyarakat adat wewengkon
kasepuhan Citorek Lebak Banten?
2. Kepercayaan apa saja yang biasa dipraktikan oleh masyarakat adat
wewengkon kasepuhan selain agama?
3. Sejak kapan kepercayaan masyarakat adat wewengkon kasepuhan Citorek
Lebak Banten terhadap jimat?
4. Siapa saja tokoh-tokoh utama yang mempraktikan jimat tersebut?
5. Apakah Anda termasuk salah satu orang yang mempraktikan jimat
tersebut?
viii
6. Kapan kepercayaan terhadap jimat muncul di adat wewengkon kasepuhan
citorek?
7. Dari mana kepercayaan terhadap jimat itu berasal?
8. Siapa yang paling berperan penting dalam menyebarkan kepercayaan
terhadap jimat?
9. Apa pemahaman Anda tentang jimat yang dipraktikan masyarakat adat
wewengkon kasepuhan Citorek Lebak Banten?
10. Jimat apa saja yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari?
11. Bagaiamana bentuk jimat yang Anda ketahui! apakah berbentuk ayat al-
Qur’an, huruf hijaiyah, atau non al-Qur’an?
12. Dari mana Anda mendapatkan benda tersebut?
13. Siapa yang mengijazahkan jimat tersebut?
14. Apa manfaat jimat bagi Anda?
15. Apa yang Anda rasakan saat mengenakan jimat?
16. Menurut Anda, siapa yang memberikan rasa/perasaan tersebut?
17. Bagaimana tatacara Anda menggunakan jimat?
B. Tokoh Agama
1. Apa tanggapan Anda tentang fenomena jimat pada masyarakat adat
wewengkon kasepuhan Citorek Lebak Banten?
2. Bagaimana sejarah jimat masyarakat adat wewengkon kasepuhan Citorek
Lebak Banten?
3. Bagaimana pertumbuhan jimat pada masyarakat adat wewengkon
kasepuhan Citorek Lebak Banten?
ix
4. Apakah ada dalil yang dijadikan pegangan dalam mengenakan jimat?
5. Kitab apa saja yang dijadikan landasan dalam kebolehan penggunaan
jimat?
6. Bagaimana pemahaman Anda terhadap jimat?
7. Apa manfaat jimat menurut Anda?
8. Ayat atau Surah apa saja yang dijadikan bahan jimat?
9. Bagaimana bentuk jimat yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an?
10. Apa alasan Anda menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jimat?
11. Ayat apa saja yang terdapat di dalam wafaq/jimat?
12. Apa makna dari huruf-huruf hijaiyyah atau hanya sekedar seni?
13. Kenapa tidak semua ayat al-Qur’an yang dimasukkan ke dalam wafaq
/jimat?
14. Kenapa bentuknya seperti ini atau itu?
15. Darimana pengambilan/referensi bentuk jimat tersebut?
16. Kenapa ayat tersebut yang diambil?
C. Tokoh Adat Kasepuhan
1. Tradisi lokal apa saja yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat adat
wewengkon kasepuhan Citorek Lebak Banten?
2. Apa tanggapan kasepuhan atas praktik masyarakat adat wewengkon
kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam menggunakan jimat dalam
kehidupan sehari-hari?
3. Apakah ada sisi kesamaan antara jimat al-Qur’an dengan mantra
kasepuahan?
4. Apa makna al-Qur’an bagi adat wewengkon kasepuhan?
x
5. Bagaimana pandangan kasepuhan tentang sejarah jimat di masyarakat adat
wewengkon kasepuhan Citorek Lebak Banten?
6. Apa yang diamksud dengan jimat menurut kacamata kasepuahan sendiri?
7. Apa makna dari penggunaan jimat tersebut bagi kasepuhan?
8. Siapa yang memediasi jimat hingga menyebar ke seluruh masyarakat adat
wewengkon?
9. Bagaimana bentuk jimat dalam pandangan adat kasepuhan?
10. Bagaimana praktik penggunaan jimat yang dilakukan kasepuahan?
Observation Guide
A. Tujuan
Panduan penelitian ini dibuat bertujuan untuk mengetahui
bagaimana sejarah dan tradisi masyarakat wewengkon adat Kasepuhan
Citorek Lebak Banten dalam mempraktikkan al-Qur’an sebagai bahan
jimat/azimat. Kemudian, pada tahap ini peneliti menentukan siapa saja
yang akan diwawancarai, karena ini berperan penting dalam tahap
perencanaan wawancara terstruktur maupun wawancara tidak terstruktur
(wawancara mendalam).
Dengan demikian, hal ini fakta sosial masyarakat adat wewengkon
Kasepuhan diamati dan ditulis secra seksama. Kemudian peneliti berperan
serta dalam menginterpretasi baik data dokumen, data hasil wawancara
maupun hasil dari catatan lapangan dengan secermat mungkin.
Pengamatan ini dilakukan, untuk mengeksplorasi dan menemukan konsep-
xi
konsep atau membangun teori berdasarkan realitas yang ada pada
masyarakat wewengkon adat kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam
mempersepsi al-Qur’an sebagai kekuatan magis, jimat sebagai pegangan
hidup (teteunger kahirupan).
B. Aspek yang Diamati
Adapun sudut pandang (angle) yang akan diamati dalam penelitian
ini adalah:
1. Religiusitas keagamaan masyarakat adat wewengkon kasepuhan
Citorek Lebak Banten.
2. Tradisi masyarakat adat wewengkon kasepuhan Citorek Lebak Banten.
3. Sarana keagamaan adat wewengkon kasepuhan Citorek Lebak Banten.
4. Kondisi fisik secara umum masyarakat adat wewengkon Kasepuhan
Citorek Lebak Banten.
5. Budaya atau tradisi masyarakat adat wewengkon kasepuhan Citorek
Lebak Banten dalam mempraktikkan al-Qur’an dalam bentuk
Jimat/azimat (teteungeur kahirupan).
xii
Lampiran II
Daftar Informan
Nama : Kiyai Sarku
Alamat : Kp. Babakan Cicurug Ds. Citorek Tengah
Umur : 65 Tahun
Sebagai : Tokoh Agama
Nama : Olot Sariman
Alamat : Kp. Babakan Cicurug Ds. Citorek Tengah
Umur : 70 Tahun
Sebagai : Tokoh Adat Kasepuhan
Nama : Supriati
Alamat : Kp. Babakan Cicurug Ds. Citorek Tengah
Umur : 28 Tahun
Sebagai : Pengguna/masyarakat umum/pedagang
Nama : Suryadinata
Alamat : Kp. Babakan Cicurug Ds. Citorek Tengah
Umur : 29 Tahun
Sebagai : Masyarakat umum (Background santri)
Nama : Mulyadi Sugiansar, S.Pd
Alamat : Kp. Babakan Naga I Ds. Citorek Tengah
Umur : 50 Tahun
xiii
Sebagai : Guru /Budayawan masyarakat adat wewengkon Kasepuhan
Nama : K.H. Mahmud
Alamat : Kp. Guradog Timur Ds. Citorek Timur
Umur : 57 Tahun
Sebagai : Tokoh Agama
Nama : Jaro Jajang
Alamat : Kp. Guradog Timur Ds. Citorek Timur
Umur : 45 Tahun
Sebagai :Kepala Desa/tokoh adat dan pengurus AMAN (Aliansi
Masyarakat Adat Nasional)
Nama : Subri
Alamat : Kp. Guradog Timur Ds. Citorek Timur
Umur : 57 Tahun
Sebagai : Tokoh masyarakat (Background jawara)
Nama : Suryani
Alamat : Kp. Babakan Guradog Barat Ds. Citorek Timur
Umur : 45 Tahun
Sebagai : Masyarakat umum (pedagang)
Nama : Junaedi
Alamat : Kp. Guradog Barat Ds. Citorek Timur
xiv
Umur : 30 Tahun
Sebagai : Masyarakat umum
Nama : K.H. Rumdani
Alamat : Kp. Babakan Sawah Ds. Citorek Sabrang
Umur : 65 Tahun
Sebagai : Tokoh Agama
Nama : Olot Sarki
Alamat : Kp. Babakan Sawah Ds. Citorek Sabrang
Umur : 70 Tahun
Sebagai : Tokoh Adat Kasepuhan
Nama : Asid Rosidin
Alamat : Kp. Babakan Impres Ds. Citorek Sabrang
Umur : 65 Tahun
Sebagai : Kepala Desa (Background Jawara)
Nama : Sarnata
Alamat : Kp. Babakan Sawah Ds. Citorek Sabrang
Umur : 35 Tahun
Sebagai : Masyarakat umum/pedagang
Nama : Rusdi
Alamat : Kp. Babakan Sawah Ds. Citorek Sabrang
Umur : 50 Tahun
xv
Sebagai : Masyarakat umum/Petani
Nama : Us. Harjat
Alamat : Kp. Cibengkung Ds. Citorek Barat
Umur : 36 Tahun
Sebagai : Tokoh Agama
Nama : Olot Umar
Alamat : Kp. Babakan Cibengkung Ds. Citorek Barat
Umur : 60 Tahun
Sebagai : Tokoh Adat Kasepuhan
Nama : Rasidan
Alamat : Kp. Cibengkung Ds. Citorek Barat
Umur : 45 Tahun
Sebagai : Masyarakat Umum/Petani
Nama : Abah Nasid
Alamat : Kp. Cibengkung Ds. Citorek Barat
Umur : 70 Tahun
Sebagai : Masyarakat Umum/Petani/Pengurus Adat
Nama : Rohendi, S.Pd
Alamat : Kp. Cibengkung Ds. Citorek Barat
xvi
Umur : 33 Tahun
Sebagai : Masyarakat umum/Putra Pengurus adat/perangkat Desa
Nama : Kiyai Sukarna
Alamat : Kp. Ciusul Ds. Citorek Kidul
Umur : 47 Tahun
Sebagai : Tokoh Agama
Nama : Olot Calo
Alamat : Kp. Ciusul Ds. Citorek Kidul
Umur : 100 Tahun
Sebagai : Tokoh Adat Kasepuhan
Nama : Awan Setiawan, SE
Alamat : Kp. Ciusul Ds. Citorek Kidul
Umur : 27 Tahun
Sebagai : Perangkat Desa
Nama : Ust. Khoiri al-Mukhtar
Alamat : Kp. Ciusul Ds. Citorek Kidul
Umur : 28 Tahun
Sebagai : Masyarakat Umum (Background santri)
Nama : Misbahuddin
Alamat : Kp. Ciusul Ds. Citorek Kidul
Umur : 25 Tahun
xvii
Sebagai : Masyarakat Umum