1
ADAPTASI, BEBAN PSIKOLOGIS, DAN RELASI DENGAN ISTRI
PETUGAS PEMULASARAAN JENAZAH
DI RUMAH SAKIT DI KOTA SALATIGA
OLEH
HELLENA DARA CHRISTINA
802013601
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
2
ADAPTASI, BEBAN PSIKOLOGIS, DAN RELASI DENGAN ISTRI
PETUGAS PEMULASARAAN JENAZAH DI RUMAH SAKIT
DI KOTA SALATIGA
Hellena Dara Christina
Aloysius L. S. Soesilo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
ABSTRAK
Petugas pemulasaraan jenazah memiliki tugas untuk merawat jenazah yang meliputi kegiatan
memandikan, mengkafani, dan menshalati sebelum jenazah pulang ke rumah duka atau
dilakukan pemakaman jenazah. Jenazah yang dipulasarakan memiliki berbagai variasi
kondisi. Sebagai pekerjaan yang semula tidak dipilih, disertai dengan penanganan jenazah
dalam kondisi jenazah yang berbeda-beda memberikan tantangan bagi partisipan untuk
beradaptasi. Tidak jarang mereka mengalami kecemasan, ketakutan, stres, trauma, dan
mengalami hal mistis sewaktu mereka bekerja. Penelitian kualitatif bertujuan untuk
mendeskripsikan proses adaptasi dan mengeksplorasi pengalaman berhadapan dengan
kematian dan jenazah pada petugas pemulasaraan jenazah di Rumah Sakit di Kota Salatiga
serta mengidentifikasi reaksi dan proses adaptasi istri terhadap pekerjaan suami. Penelitian ini
melibatkan empat partisipan yang terdiri dari satu petugas pemulasaraan jenazah yang
bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga dengan masa kerja empat tahun dan
satu petugas pemulasaraan jenazah yang bekerja di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan
Salatiga dengan masa kerja sepuluh tahun beserta masing-masing istri. Dari hasil penelitian
ini ditemukan bahwa kedua petugas pemulasaraan jenazah awalnya mengalami stres, takut,
cemas, dan trauma ketika menghadapi berbagai kondisi jenazah maupun ketika mereka
mengalami hal mistis. Adanya magang dan dukungan keluarga dapat membantu mereka
dalam melewati proses adaptasi. Istri kedua partisipan awalnya juga mengalami
kekhawatiran, ketakutan, dan trauma dari pekerjaan suami mereka. Setelah melewati proses
adaptasi dengan cara mereka masing-masing akhirnya mereka bisa beradaptasi dan mampu
memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan suami mereka.
Kata kunci: petugas pemulasaraan jenazah, adaptasi, dukungan sosial keluarga.
ii
ABSTRACT
The mortician has a duty to care for the corpse which includes bathing, dying, and cremation
before the corpse goes home to funeral or funerals. The corpse has a variety of conditions. As
previously unelected work, accompanied by the handling of corpses in different corpse
conditions posed challenges for participants to adapt. Not infrequently they experience
anxiety, fear, stress, trauma, and experience a mystical thing while they work. Qualitative
research aims to describe the process of adaptation and explore the experience of dealing
with death and corpse on the corpse officer at the Hospital in Salatiga City and identify the
reaction and process of wife adaptation to husband's work. The study involved four
participants consisting of a mortician who worked at Salatiga District Public Hospital with a
four-year working period and a post-mortem worker working at Dr. Ario Wirawan Lung
Hospital Salatiga with ten years working with each wife. From the results of this study it was
found that the two mortgage officers initially experienced stress, fear, anxiety, and trauma
when faced with various conditions of the corpse and when they experience a mystical thing.
The apprenticeships and family support can help them through the process of adaptation. The
wives of both participants initially also experienced fear, fear, and trauma from their
husbands' work. After going through the process of adaptation in their own way they can
finally adapt and be able to provide the social support their husbands need.
Keywords: corpse management officer, adaptation, family social support.
1
PENDAHULUAN
Rumah sakit tidak hanya merupakan tempat bagi penyelenggaraan
kesehatan, tetapi juga merupakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja dengan
perbedaan tingkat keterampilan dan kemampuan yang sangat luas, mulai dari
dokter spesialis dan superspesialis dengan pendidikan formal yang lama, sampai
tenaga kerja kesehatan yang nonterampil dengan pendidikan umum yang sangat
rendah. Salah satu tenaga kerja di rumah sakit adalah petugas pemulasaraan
jenazah. Petugas pemulasaraan jenazah ini dapat berasal dari berbagai tingkat
pendidikan, dari yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah,
dan juga berasal dari berbagai gender, baik laki-laki maupun perempuan. Petugas
pemulasaraan jenazah memiliki tugas untuk merawat jenazah yang meliputi
kegiatan memandikan, mengkafani, dan menshalati sebelum jenazah pulang ke
rumah duka atau dilakukan pemakaman jenazah.
Jenazah yang dipulasarakan juga memiliki berbagai variasi kondisi, ada
yang meninggal secara wajar dan ada juga yang meninggal secara tidak wajar,
misalnya meninggal karena sakit suatu penyakit tertentu baik penyakit yang tidak
menular sampai penyakit yang menular, misalnya HIV/AIDS, meninggal karena
kecelakaan dengan kondisi tubuh yang rusak, maupun meninggal karena bunuh
diri. Hal ini bukan merupakan keadaan yang mudah bagi mereka yang bekerja
sebagai petugas pemulasaraan jenazah untuk memulasarakan jenazah dengan
berbagai variasi kondisi tersebut. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan stres,
kecemasan, dan bahkan trauma bagi yang bersangkutan terutama pada kasus-
kasus tertentu.
2
Kematian dapat berasal dari berbagai macam penyebab misalnya, sakit
suatu penyakit, bunuh diri, atau kecelakaan, hal seperti ini akan menimbukan
reaksi emosional pada mereka yang bertugas memulasarakan jenazah-jenazah
tersebut. Dalam keadaan serius bisa menyebabkan trauma sekunder. Sklarew,
Handel, dan Ley (2012) menyatakan bahwa trauma sekunder dialami beberapa
anggota staf yang melaporkan mengalami mimpi buruk pada keadaan kematian
paralel; hypervigilance; gangguan tidur; dan perasaan mati rasa, marah, takut dan
kesedihan. Reaksi terhadap kematian mendadak dan traumatis sangat bervariasi,
sehingga proses terjalin duka dapat mencakup aspek sosial, budaya, agama,
psikologis, dan aspek biologis. Hal ini dapat menjadi salah satu pengalaman yang
paling kuat dari kehidupan biasa dengan tingkat kesulitan yang tidak terukur.
Perasaan yang berhubungan dengan kejadian traumatis termasuk depresi,
kecemasan, harga diri yang rapuh, disregulasi, somatisasi, diinternalisasi agresi,
kekosongan, dan keputusasaan dapat terus berlangsung selama bertahun-tahun.
Kondisi seperti ini mudah terjadi ketika misalnya, ada kejadian serupa berulang
kembali, atau adanya acara memperingati kematian korban. Dalam kasus
kematian karena kekerasan, petugas pemulasaraan jenazah dihadapkan dengan
realitas dan gambar kekerasan, mungkin dengan korban yang dimutilasi, hal ini
bisa menimbulkan keadaan emosi yang acak (Sklarew, Handel, dan Ley, 2012).
Dimensi utama dari persona sosial yang diungkapkan melalui ritual kamar
mayat adalah usia, jenis kelamin, kedudukan sosial, sub-kelompok afiliasi,
penyebab kematian dan lokasi kematian (Chapman, 2003).
3
Orang yang bekerja di kamar jenazah sering mencakup kerabat yang
memberitahukan kematian, yang secara signifikan dapat menimbulkan stres, Eth,
Baron, dan Pynoos (dalam Ward, Flisher, dan Kepe, 2006). Pengurus cenderung
mengalami tingkat yang lebih tinggi dari anxietas akan kematian, Thorston dan
Powell (dalam Ward, Flisher, dan Kepe, 2006) dan mengalami terjadinya tanda
yang berhubungan dengan stres traumatik, Kroshus, Swarthout, dan Tibbetts
(dalam Ward, Flisher, dan Kepe, 2006).
Menurut penelitian Flynn, McCarrol, dan Biggs (2015), pekerja yang
berpengalaman dan tidak berpengalaman mengakui bahwa mereka merasakan
beberapa derajat dari stres sebelum melakukan penanganan secara langsung
terhadap jenazah. Dalam serangkaian penelitian dari tentara, stres diantisipasi
dengan tentara yang memiliki pengalaman menangani dan mereka yang memiliki
pengalaman stres yang diantisipasi dari 13 situasi yang melibatkan penanganan
pada jenazah; kondisi tubuh (dibakar, membusuk, dipotong-potong), hubungan
dari jenazah (dikenal, teman, anak), dan konteks pemulihan (dari medan perang,
rumah sakit). Orang yang berpengalaman melaporkan bahwa stres kurang
diantisipasi daripada yang kurang berpengalaman, McCarroll, Ursano, dan Ventis
(dalam, Flynn, McCarroll, dan Biggs, 2015). Pekerja yang berpengalaman
dilaporkan tidak mengetahui apa jenis trauma yang akan mereka hadapi, pekerja
yang kurang berpengalaman takut akan reaksi yang akan mereka timbulkan dan
akan merasa malu di depan orang lain, McCarroll, Ursano, dan Ventis (dalam,
Flynn, McCarroll, dan Biggs, 2015 ).
Stres menjadi salah satu bagian di dalam penyesuaian diri sebagai akibat
jika seseorang tidak mampu menyelaraskan tuntutan dari luar ataupun dari dalam
4
secara baik. Perawat yang pada dasarnya sudah dilatih dan sudah belajar dalam
menangani dan menghadapi jenazah masih mengalami stres saat berhadapan
dengan kematian (Indriastuti, 2014).
Menurut Saam dan Wahyuni (2012), stres merupakan emosi ganda (multi
emotion) yang bukan emosi tunggal. Menurut Dwight (dalam Saam dan Wahyuni,
2012), stres adalah suatu perasaan ragu terhadap kemampuannya untuk mengatasi
sesuatu karena persediaan yang ada tidak dapat memenuhi tuntutan kepadanya.
Goldenson (dalam Saam dan Wahyuni, 2012) mengatakan bahwa stres adalah
suatu kondisi atau situasi internal atau lingkungan yang membebankan tuntutan
penyesuaian terhadap individu yang bersangkutan. Keadaan stres cenderung
menimbulkan usaha ekstra dan penyesuaian baru, tetapi dalam waktu yang lama
akan melemahkan pertahanan individu dan menyebabkan ketidakpuasan.
Saam dan Wahyuni (2012), mengatakan bahwa stres merupakan reaksi
tubuh dan psikis terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan kepada seseorang. Reaksi
tubuh terhadap stres misalnya berkeringat dingin, napas sesak, dan jantung
bedebar-debar. Reaksi psikis terhadap stres misalnya frustrasi, tegang, marah, dan
agresi. Dalam situasi stres terdapat sejumlah perasaan seperti frustrasi,
ketegangan, marah, rasa permusuhan, atau agresi. Dengan kata lain, keadaan
tersebut berada dalam tekanan (pressure). Dalam kualitas yang cukup berat, stres
membuat orang bisa sakit bahkan membunuh kita.
Dalam bekerja, orang kadang-kadang merasa tidak mampu, tidak nyaman,
bosan, dan tertekan. Orang tersebut sebenarnya mengalami stres kerja. Stres kerja
adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi tuntutan-tuntutan
5
pekerjaannya sehingga ia merasa tidak nyaman dan tidak senang (Saam dan
Wahyuni, 2012).
Gejala stres kerja dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: gejala
psikologis, gejala fisik, dan perilaku. Gejala psikologis seperti bingung, cemas,
tegang, sensitif, mudah marah, bosan, tidak puas, tertekan, memendam perasaan,
tidak konsentrasi, dan komunikasi tidak efektif. Gejala fisik seperti meningkatnya
detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya ekskresi adrenalin, dan
nonadrenalin, gangguan lambung, gangguan pernapasan, gangguan
kardiovaskuler, kepala pusing, migrain, berkeringat, dan mudah lelah fisik. Gejala
perilaku pada stres kerja antara lain prestasi dan produktivitas kerja menurun,
menghindari pekerjaan, bolos kerja, agresif, kehilangan nafsu makan,
meningkatnya penggunaan minuman keras, bahkan perilaku sabotase.
Menurut Cooper (dalam Saam dan Wahyuni, 2012), sumber stres kerja
adalah kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan
pengembangan karir, dan struktur organiasi. Kondisi pekerjaan yang berpotensi
sebagai sumber stres kerja karyawan adalah: (1) kondisi panas, gelap, kotor,
pengap, berisik, dan padat; (2) kelebihan beban (over load). Kelebihan beban
secara kuantitatif dan kualitatif. Kelebihan beban secara kuantitatif artinya beban
atau volume pekerjaan melebihi kapasitas kemampuan karyawan, sehingga
karyawan tersebut mudah lelah dan tegang. Kelebihan beban secara kualitatif
artinya pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan kemampuan karyawan sehingga ia
merasa kesulitan menyelesaikannya yang menyita kemampuan kognitif dan
teknis; (3) pekerjaan yang tidak lagi menantang, tidak lagi menarik bagi yang
bersangkutan sehingga timbul kebosanan, ketidakpuasan, dan ketidaksenangan.
6
Kondisi tersebut disebut dengan istilah deprivational stress; (4) pekerjaan berisiko
tinggi, artinya berbahaya bagi keselamatan seperti pekerja tambang, pekerja
pertambangan minyak lepas pantai, pemadam kebakaran, pekerja cleaning service
gedung-gedung bertingkat, dan pekerja bangunan bertingkat.
Tidak hanya mereka yang memiliki tugas memulasarakan jenazah, istri
dari petugas pemulasaraan jenazah juga membutuhkan adaptasi dari pekerjaan
atau profesi yang dimiliki oleh suami mereka. Dikarenakan apabila seorang
petugas pemulasaraan jenazah tidak dapat beradaptasi dengan baik akan timbul
stres atau hal lain seperti kecemasan, trauma, depresi, dan hal negatif lainnya yang
berdampak pada kondisi di dalam keluarga.
Konflik di dalam keluarga dapat terjadi ketika ada ketidaksamaan persepi,
padangan, dan pendapat. Bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah ini
bukanlah pekerjaan biasa, berpotensi menimbulkan konflik apabila tidak dapat
beradaptasi. Oleh karena istri memiliki peran dalam memberikan dukungan
kepada suami, maka dibutuhkan adaptasi dari istri dalam keadaan seperti ini.
Dukungan sosial diakui sebagai variabel penyangga terhadap efek negatif , Cohen
dan Wills (dalam Linley dan Joseph, 2005).
Ada beberapa pengertian tentang adaptasi (mekanisme penyesuaian diri).
W.A. Gerungan (dalam Sunaryo, 2004) menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri
adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah
lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri)”. Mengubah diri sesuai dengan
keadaan lingkungan sifatnya pasif (autoplastis), misalnya seorang bidan desa
harus dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut
7
masyarakat desa tempat ia bertugas. Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk
mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif
(alloplastis), misalnya seorang bidan desa ingin mengubah perilaku ibu-ibu desa
untuk meneteki bayi sesuai dengan manajemen laktasi.
Pengertian lain dikemukakan oleh Soeharto Heerdjan (dalam Sunaryo,
2004), “Penyesuaian diri adalah usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi
kesulitan dan hambatan”. Sedangkan menurut Sunaryo (2004), adaptasi
merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar dari
pengalaman untuk mengatasi stres. Cara mengatasi stres dapat berupa membatasi
tempat terjadinya stres, mengurangi, atau menetralisasi pengaruhnya. Adaptasi
adalah suatu cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented).
Tujuan adaptasi, yaitu:
a. Menghadapi tuntutan keadaan secara sadar.
b. Menghadapi tuntutan keadaan secara realistik.
c. Menghadapi tuntutan keadaan secara objektif.
d. Menghadapi tuntutan keadaan secara rasional.
Cara yang ditempuh dapat bersifat terbuka maupun tertutup, yaitu:
a. Menghadapi tuntutan secara frontal (terang-terangan).
b. Regresi (menarik diri) atau tidak mau tahu sama sekali.
c. Kompromi (kesepakatan).
8
Menurut Sunaryo (2004), ada beberapa jenis adaptasi, antara lain:
a. Adaptasi fisiologik, bisa terjadi secara lokal atau umum.
Contoh:
1. Seseorang yang mampu mengatasi stres, tangannya tidak
berkeringat dan tidak gemetar, serta wajahnya tidak pucat.
2. Seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
yang berat dan merasa mengalami gangguan apa-apa pada
organ tubuh.
b. Adaptasi psikologis, bisa terjadi secara:
1. Sadar : Individu mencoba memecahkan/
menyesuaikan diri dengan masalah.
2. Tidak sadar : Menggunakan mekanisme pertahanan diri
(defence mechanism).
3. Menggunakan gejala fisik (konversi) atau psikofisiologik/
psikosomatik.
Menurut teori penyesuaian kerja Cooper-Thomas dan Anderson (dalam
Tan dan Shen, 2016), individu harus setuju untuk tantangan yang akan dihadapi
selama transisi peran. Menurut Lent (2013), nilai kesiapan dapat dimulai dengan
tahap eksplorasi pengembangan karir atau dengan intervensi yang bertujuan untuk
bimbingan karir dan pilihan, tetapi tidak berakhir di sana. Pembentukan,
pemeliharaan, dan tahap pelepasan kehidupan-karir, semuanya memberikan
tantangan yang berkelanjutan yang cukup untuk pengembangan karir dan
kesejahteraan umum.
9
Dalam konteks penyesuaian kerja, kesiapsiagaan dapat dipromosikan
melalui berbagai modalitas, seperti konseling formal, pelatihan, mentoring,
workshop, atau kegiatan mandiri. Kesiapan digolongkan menjadi dua jenis umum
dari suatu kegiatan: pembaharuan karir rutin dan untuk mempersiapkan dalam
mengatasi peristiwa tertentu (Lent, 2013).
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses adaptasi pada petugas pemulasaraan jenazah
pada saat menghadapi tantangan dan tuntutan pekerjaan
mereka?
2. Bagaimana proses adaptasi istri terhadap profesi yang dimiliki
suami mereka sebagai petugas pemulasaraan jenazah?
3. Apa saja dampak dan respon yang ditimbulkan dari
pengalaman kerja yang didapatkan bagi istri?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses adaptasi dan
mengeksplorasi pengalaman berhadapan dengan kematian dan jenazah pada
petugas pemulasaraan jenazah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota
Salatiga dan Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga. Namun, karena
pekerjaan ini tidak dapat dipisahkan dari keluarga maka istri juga akan
diwawancarai untuk mengidentifikasi reaksi dan proses adaptasi dari istri karena
pekerjaan ini bukan pekerjaan biasa. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk
memberikan sumbangsih bagi ilmu psikologi dalam pemahaman mengenai
adaptasi seseorang. Selain itu bagi akademisi, dapat memberikan masukan bagi
10
mahasiwa mengenai adaptasi khususnya pada petugas pemulasaraan jenazah di
Kota Salatiga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan,
memperkaya pengetahuan, serta mendapat pemahaman yang lebih mendalam
mengenai bahasan adaptasi khususnya pada petugas pemulasaraan jenazah di
RSUD Kota Salatiga dan di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk melihat proses adaptasi istri
dan petugas pemulasaraan jenazah di Rumah di Kota Salatiga.
Partisipan
Subjek dalam penelitian ini adalah satu petugas pemulasaraan jenazah
yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga dengan masa kerja
empat tahun dan satu petugas pemulasaraan jenazah yang bekerja di Rumah Sakit
Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga dengan masa kerja sepuluh tahun beserta masing-
masing istri. Jadi jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah empat orang.
Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan
observasi. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis menggunakan
teknik analisis data dengan model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan
11
Huberman (dalam Herdiansyah, 2015) yang terdiri dari pengumpulan data,
reduksi data, display data, dan kesimpulan/verifikasi.
HASIL
Dimulai dari analisis verbatim, pencarian makna psikologis, hingga
dihasilkan sejumlah kategori, peneliti sampai pada sejumlah tema sebagai temuan
dari penelitian ini, antara lain : Motivasi awal bekerja, magang dengan senior,
mengalami hal mistis, menghadapi jenazah dengan riwayat kecelakaan,
menghadapi jenazah dengan penyakit menular, dampak pekerjaan bagi petugas
pemulasaraan jenazah, respon awal istri terhadap pekerjaan suami, cara istri
mengatasi kecemasan yang timbul dari pekerjaan suami, dan dukungan keluarga.
Motivasi awal bekerja
Awalnya P1 bekerja di rumah sakit sebagai petugas kebersihan, tidak ada
niatan untuk bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah. Kemudian ia
mendapatkan tawaran dari pihak rumah sakit karena petugas sebelumnya pindah
karena suatu hal. Tidak terpikirkan bagi P1 untuk bekerja sebagai petugas
pemulasaraan jenazah, tetapi karena adanya kebutuhan dan tanggung jawab untuk
menghidupi keluarga, P1 memantapkan diri untuk menerima pekerjaan tersebut.
“ dulu nggak langsung masuk sini nggak, dulu saya tugas disini di bagian lain
tapi dulu yang tugas sini pindah jadi saya dipindah kesini.. Ditawari mau nggak
gitu..”.
Meskipun P3 bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah berawal dari
coba-coba dan karena adanya tanggung jawab untuk menghidupi keluarga, P3
12
memiliki dorongan dari dalam diri, ada keinginan untuk merawat orang-orang lain
semenjak pengalamannya dulu sewaktu memandikan jenazah ibunya.
“ heem, tapi awalnya kan kalo dorongan dari diri sendiri itu karena dulu saya
sebelum kerja sini saya sempet merawat ibu saya sendiri pas dia meninggal..”.
“ nah, sejak dari itu saya mungkin entah kenapa ee.. ada panggilan, panggilan
jiwa.. “Ah, saya juga ingin merawat orang-orang lain juga”, makanya saya
masuk sini di bagian pemulasaraan jenazah ini, gitu..”.
Magang dengan senior
Meskipun tidak ada kesiapan dan tidak terpikirkan sebelumnya untuk
bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah, P1 mendapatkan pelatihan dari
seniornya sebanyak dua kali dan magang ini memberikan kesempatan bagi P1
untuk mempersiapkan diri karena ada pendampingan dari senior sehingga
selanjutnya ia mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
“kalau pertama awal tu kan ya belum bisa ya.. tapi kan ada yang ee.. yang
petugas sini dulu mbak, kan ngajari.. Ngajari dua kali itu langsung bisa..”.
Sedangkan P3 membutuhkan penyesuaian untuk menghadapi jenazah
sebanyak lima kali, awalnya P3 hanya berani melihat seniornya memandikan
jenazah, kemudian ia mulai berani memegang jenazah, dan akhirnya ia berani
untuk memandikan setelah ia melihat seniornya memandikan lima jenazah dalam
kurun waktu yang berbeda
“ heem, kan didampingi tu, cuman ngeliat ee.. satu dua kali, ada lagi, megang..
Tapi belom berani ngerawat, lha terus abis itu baru ngerjain..”.
“ nggak a.. paling sekitar berapa ya.. Kalo lamanya kan nggak bisa diukur
soalnya kan jenazah itu nggak pasti, satu bulan sekali ada, paling sekitar.. liat
13
sekitar lima jenazah, lima jenazah awal itu udah biasa, menghirup bau-baunya
juga udah biasa gitu..”
Mengalami hal mistis
Kematian di dalam pola pikir budaya Jawa seringkali dikaitkan dengan
hal-hal mistis. Di awal masa kerjanya, P1 pernah mengalami hal mistis yang
membuatnya merasa takut, tetapi hal mistis tersebut hanya terjadi satu kali dan
sampai sekarang tidak pernah terjadi lagi.
“ ya dulu awal-awal itu.. Keranda itu goyang sendiri.. Wah ini mau ada tamu ini
(sambil tertawa). Tapi sekarang ya sudah biasa..”
“ itu pertama ya.. awal-awal disini.. yang.. yang.. yang keranda itu “Glodak!”
gitu itu awal-awal.. Tapi lha lama-lama nda sampe ya satu taun lebih itu sudah
nda pernah lagi..”
Ada juga pengalaman mistis yang dialami P3, yaitu ketika dirinya harus
jaga malam di rumah sakit, ada sesuatu yang meniup telinganya ketika ia sedang
tidur di IGD, tetapi setelah ia bangun ternyata tidak ada satu orang pun
disekitarnya. Meskipun tidak ada ritual khusus yang dilakukan, tetapi dari
pengalaman tersebut munculah ritual doa sebelum P3 menjalankan tugasnya agar
P3 lebih percaya diri saat bekerja.
“ nggak.. Di IGD sini, di IGD, jadi pas tidur itu kaget ditiup kenceng gitu (sambil
tertawa). Pas misalnya pas sholat gitu kerasa di belakang itu kayak ada yang
lewat-lewat gitu, muter-muter, tapi ya itu.. nggak bisa ngeliat cuma bisa
merasakan, tapi kalo misalnya saya tanya istri saya ya, “Oya itu emang ada”
gitu..”
“ nggak ada, kan ritual kita paling ya kalo saya sebagai orang Islam misale
cuman ngucap “Bismillah” itu aja udah sah kok.. Secara hukum di Islam itu udah
sah.. Nggak harus pake apa.. doa yang panjang lebar itu nggak usah..”.
14
Menghadapi jenazah dengan riwayat kecelakaan
P1 pernah menangani jenazah yang meninggal karena kecelakaan tetapi
hanya satu kali dan jenazah tersebut tidak memiliki kondisi fisik yang parah,
hanya sebatas patah tulang.
“ ee.. pernah ada yang sudah sebagian sudah membusuk, ada yang kecelakaan
tulangya patah, tapi kalo yang dari rumah sakit kan ee.. kebanyakan TBC sama
HIV, itu masih utuh gitu..”
Jenazah yang ditangani P3 didominasi oleh jenazah dengan kondisi fisik
yang ekstrim karena kecelakaan. P3 juga pernah menangani jenazah dengan
kondisi tubuh sudah membusuk. Meskipun P3 awalnya merasa ngeri dan harus
merasakan ketidaknyamanan misalnya dari bau tidak sedap yang berasal dari
jenazah, tetapi karena keharusan yang membuatnya sering berhadapan dengan
kondisi seperti itu justru membuatnya terbiasa dan bisa menyesuaikan diri.
“ jenazahnya, heem secara fisik itu dulu ada pernah yang.. apa.. isi perut keluar
semua sampe sini kan sobek semua, jadi hampir putus..”
“ itu.. udah agak lama sih.. udah agak lama.. Jadi kepalanya hancur, otaknya
keluar gitu, terus perutnya, isi perutnya keluar semua, patah semua gitu, ya
hampir putus.”
“ ee.. setahun yang lalu itu ada itu korban gantung diri, di jalan JB itu.. Itu..
keadaannya baru dua minggu diketemukan, jadi keadaanya kan udah item semua,
belatunge banyak banget itu, ee.. itu yang, itu yang paling busuk yang pernah
saya temui..”.
Menghadapi jenazah dengan penyakit menular
P1 lebih dominan menangani jenazah dengan penyakit menular daripada
jenazah yang meninggal karena kecelakaan. Jenazah yang ditangani P1 adalah
jenazah dengan HIV/AIDS dan juga jenazah dengan penyakit hepatitis. Dalam
15
menghadapi jenazah dengan penyakit menular ini ia tidak merasa cemas atau takut
karena sejak awal bekerja ia mendapatkan fasilitas keamanan yang lengkap dari
rumah sakit, sehingga ia bisa bekerja dengan percaya diri.
“ ya manteb aja pasrah sama yang kuasa aja.. (sambil tertawa) yang penting kita
udah pake pelindung diri.. gitu aja.. Karena apa ya, sing kene udah merencana
tapi yang kuasa kan punya rencana yang lain, gitu aja..”
P3 menangani jenazah dengan penyakit HIV/AIDS, hepatitis, dan juga
TBC. Tetapi ia merasa takut dan cemas ketika menghadapi jenazah dengan
penyakit menular karena ia merasa tidak mendapatkan fasilitas keamanan yang
memadai dari pihak rumah sakit, meskipun begitu ia tetap memenuhi tugasnya
bahkan ketika ada resiko besar yang harus ia hadapi, misalnya ketika ia harus
memandikan jenazah dengan penyakit HIV/AIDS ketika terdapat luka gores di
tubuhnya. Seiring berjalannya waktu dan karena sering berhadapan dengan
jenazah yang memiliki riwayat penyakit menular, P3 sekarang tidak merasa cemas
atau khawatir karena selama ini juga tidak pernah terjadi hal yang buruk pada
dirinya.
“ kekhawatirannya ya cuman itu, misalnya takut tertular aja, sedangkan kan kalo
misalnya orang di kampung kan pemikirannya kan, wah, orang itu kena
HIV/AIDS berarti kerjannya kan tau sendiri pasti negatif, sedangkan kita kan
emang bersentuhan terus istilahnya kan dengan banyak penyakit kan.. ya gitu..”
“ kalo dipikir apa istilahnya penyakitnya sih rasanya nggak mau kita.. Kita juga
takut terkena.. Tapi karena disini tugas, istilahnya yaudah kita berserah sama
yang diatas aja.. Kita niatnya mau nolong, gitu..”.
16
Dampak psikologis pekerjaan bagi petugas pemulasaraan jenazah
Pekerjaan P1 menghadirkan konflik bagi dirinya, khususnya konflik ya ia
dapat dari keluarga jenazah. Meskipun mengalami konflik, P1 merasa hal tersebut
bukanlah sesuatu yang membuatnya stres. Selain itu, saat pertama kali
menghadapi jenazah, P1 merasa takut dan membuatnya terbayang-bayang selepas
ia bekerja, tetapi seiring berjalannya waktu, rasa takut dan terbayang-bayang itu
hilang dengan sendirinya karena semakin sering ia menghadapi jenazah ia
semakin terbiasa.
“ ya kan kalo sudah selesai mandikan kok ngenteni ambulance sui men.. ya itu
“Kono mas, dipanggil cepet ki selak meh mangkat gitu” gitu tok itu. Tapi ndak
marah-marah sampe gitu ndak..”.
“ ya.. maksudnya piye ya, ya kita ya pertama ya rodo prinding-prinding tapi
karena sudah kebiasaan sering lihat, sering.. sering melakukan pekerjaan itu ya
lama-lama ilang sendiri gitu..”
Meskipun P3 tidak pernah terbayang-bayang ketika berhadapan dengan
jenazah yang memiliki kondisi fisik yang ekstrim, tetapi ia takut jika hal yang
terjadi pada jenazah tersebut terjadi pada orang terdekatnya atau pada anggota
keluarganya sendiri Selain itu ia juga mengalami konflik dengan keluarga
jenazah, konflik dengan rekan kerja, dan juga konflik dengan pihak rumah sakit.
“ yang dipikirkan ya.. apa ya.. Ya maksudnya takut aja kalo misalnya ee.. ada
keluarga yang meninggalnya kayak gitu, kan ngebayangin juga.. makanya jadi
ngerasa takut, kalo takut misalnya sesuatu yang medeni nggak.. nggak ada..
takutnya karena itu, kalo misal yang meninggal keluarga sendiri, itu sih..”
“ heem, iya.. Jadi ada yang nggak terima, ada yang kurang bersih atau misalnya
pas kita njahit gitu kan ada yang marah-marah nggak tega gitu lho.. Tapi kan
emang harus prosedurnya kayak gitu..”.
“ sama sesama rekan gitu.. Ya.. gitu, kalo saya kan nyambi kerjaannya, di bagian
saya itu emang nyambi.. ee.. nganter pasien ke ruangan sama disini, lha itu
kadang ada yang nggak mau gantian, jadi ya.. ya pengennya disana terus nggak
mau disini, gitu.. Kadang disini terus nggak mau disana.. Kadang merawat disini
17
udah selesai tapi kembalinya kesana lama.. Jadi kan disana ada pasien banyak,
sendiri, yang disini malah enak-enakan udah selesai malah ditinggal istirahat
duduk-duduk, lha itu kan jadi masalah juga.. Biasanya kayak gitu..”.
“ jengkel, jengkelnya ya udah tau istilahnya yang penyakit menular, penyakit
bahaya, kenapa kok nda dikasih tau, istilahnya apa mereka punya pikiran mau
mematikan saya kan itu juga ada pikiran kayak gitu.. Pastinya jengkel.. kan
perawatannya beda kalo penyakitnya menular sama yang nggak itu.. jadi kadang
jengkel aja, pas kan kadang ada keluarganya juga yang nanya, “Mas, ini sakitnya
apa to? Kok perawat nggak bilang”, biasanya kan gitu, tapi kan yang menderita
kan kadang biasanya nggak memberitahu keluarganya, tergantung dari pribadi
masing-masing, mau dikasih tau atau nggak itu kan nanti tergantung yang
menderita.. Tapi kalo perasaannya pas nggak dikasih tau ya jengkel, udah tau
penyakit kayak gini kok nggak dikasih tau.. Biasanya pas itu saya telpon atau kalo
nggak saya ke ruangannya bilang, tanya sendiri, “Kenapa kok nggak dikasih
tau?”, “Oh lupa.. gini, gini, gini..”, gitu..”.
Selain itu, karena terlalu sering melihat orang lain berduka dan berhadapan
dengan jenazah, P3 kehilangan rasa iba dan rasa belas kasihan.
“ kalo dampak ee.. ya kalo buat saya sendiri sih.. ya itu, rasa iba sama orang itu
yang rasa kasian itu hilang. Misalnya liat orang nangis itu gimana gitu kita
nganggepnya itu, “Wah, itu lebay itu”, karena kita saking serinnya ngeliat yang
seperti itu.. itu liat orang nangis gitu malah rasanya, “Wah, lebay ini..”
“ iya, rasanya itu hilang, itu beneran emang, saya sendiri pas di kampung lihat
ee.. apa.. sodara meninggal, nenek meninggal, om meninggal itu rasanya juga
biasa, rasa sedih itu hilang, karena ya itu, saking seringnya kita ngeliat jenazah
itu jadi rasa kayak gitu itu hilang.. Tapi saya nggak tau kalo yang lain
ngerasakan apa yang saya rasakan atau nggak saya nggak tau.. Kalo saya sendiri
emang seperti itu yang saya rasakan.”
Respon awal istri terhadap pekerjaan suami
Relasi partisipan dengan istri akan dilihat dari respon awal istri terhadap
pekerjaan suami dan peranan istri dalam membantu adaptasi suami. Ketika
pertama kali P2 mendapatkan kabar bahwa suaminya dipindahkan ke bagian
pemulasaraan jenazah dan harus bekerja memandikan jenazah P2 merasa terkejut
karena ia khawatir suaminya tidak bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaannya.
18
“ ya pas pertama itu dulu pas pertama suami saya ditugaskan di kamar jenazah
itu ya sempat kaget.. Kan abis bersih-bersih halaman to.. Itu terus dipindah ke
kamar jenazah, terus suami saya pulang kerja bilang, ee.. “Saya dipindah ke
kamar jenazah untuk pemulasaraan jenazah” gitu to.. Terus ya saya kaget terus
ya..”
Berbeda dengan partisipan kedua, P4 tidak merasa terkejut ketika
mengetahui suaminya bekerja menjadi petugas pemulasaraan jenazah karena sejak
awal ia sudah mengetahui jika suaminya ingin melamar bekerja sebagai petugas
pemulasaraan jenazah.
“ nggak ada, soale kan dari awal kita udah tau nanti kerjanya ditempatkan disini,
kerjaannya gini, gini, gini, jadinya kita udah tau.. gitu aja..”
Cara istri mengatasi kecemasan yang timbul dari pekerjaan suami
Ketika P2 merasa cemas ketika suaminya harus menangani jenazah
dengan penyakit menular, P2 mengatasi kekhawatiran dan ketakutannya dengan
mengingatkan suami mengenai keselamatan dan juga berdoa agar dirinya merasa
lebih tenang dan percaya diri.
“ ya cara ngatasinya ya kita berdoa saja.. Biar nanti njalaninnya biar tenang,
biar semangat, gitu aja..”
P4 biasanya mendapatkan cerita dari suaminya mengenai pengalaman
yang didapatkan suaminya selama bekerja, misalnya ketika ia memandikan
jenazah dengan kondisi fisik yang parah, tidak hanya mendapatkan cerita, suami
P4 juga menunjukkan foto jenazah yang tadi dimandikan dan hal tersebut
membuat P4 ketakutan hingga tidak bisa tidur. Ketika hal itu terjadi pada P4, ia
berusaha mengatasi ketakutan tersebut dengan melakukan hal-hal yang positif,
19
selain itu P4 juga memiliki kemampuan supranatural yang membuatnya bisa lebih
cepat terbiasa karena ia juga melihat hal-hal yang menurutnya mirip dengan
kondisi jenazah tersebut. Hal lain yang dilakukan P4 ketika ia merasa takut
mendapatkan cerita dari suaminya adalah dengan menolak mendapatkan cerita
yang detail dari suaminya mengenai jenazah yang tadi dimandikan.
“ terus ya lakukan hal positif aja.. main sama suami, itu kan nanti lupa sendiri..”
“ iya.. tapi kadang kan suami kalo mau cerita kecelakaan itu saya udah bilang,
“Jangan cerita kondisinya”, udah gitu aja.. jadi cuma bilang, “Kecelakaan”, gitu
aja.. (sambil tertawa), jadi terus nggak diceritain kondisinya seperti ini itu nggak
cerita..”
Dukungan Keluarga
Suami P2 memiliki jam kerja yang tidak menentu, terkadang suami P2
harus berangkat memenuhi panggilan pihak rumah sakit untuk memandikan
jenazah di tengah malam, P2 bisa memaklumi dan memahami profesi suami
dengan baik sehingga ia tidak merasa keberatan dan bahkan memberikan
dukungan dengan ikut menemani suaminya pergi ke rumah sakit. Tidak hanya P2
saja yang memberikan dukungan, anak dari P2 juga memberikan dukungan bagi
ayahnya. P2 juga selalu memberikan semangat ketika suaminya mendapatkan
panggilan mendadak dari rumah sakit. P2 juga tidak pernah memberikan tuntutan
atau mengeluh kepada suaminya.
“Di telpon, itu ya saya suruh berangkat, saya dukung, ya kalo berangkat ya gitu
biar disananya itu tenang gitu lho.. Malem-malem biar di jalannya juga tenang,
dalam perjalanan untuk kesana, nanti pulangnya tenang lagi gitu kan dah nggak
kepikiran yang di rumah gitu lho..”
“Kadang berangkat malem itu kadang anak saya yang pertama ikut, menemani di
jalan.. Kan jalan sini kan kadang kan sepi.. Jalan sini sampai pos Tingkir itu kan
sepi, kadang anak saya yang pertama kan nemani..”
20
Berbeda dengan P2, meskipun P4 bisa menerima pekerjaan suaminya
sebagai petugas pemulasaraan jenazah, tetapi ia tidak memberikan dukungan
khusus kepada suaminya. P4 justru berharap jika suaminya bisa berkuliah lagi
agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
“Jadinya saya pengennya ya kalo pengen pindah bagian nanti kuliah dulu, itu
nanti bisa naik jabatan, gitu..”
PEMBAHASAN
Kebutuhan ekonomi sehari-hari dan tanggung jawab untuk menghidupi
keluarga rupanya menjadi salah satu faktor yang menjadi alasan seseorang bekerja
diluar bidang minatnya bahkan ketika resiko tinggi harus mereka hadapi. Dalam
penelitian ini kedua partisipan tidak memiliki niatan awal untuk bekerja sebagai
petugas pemulasaraan. Awalnya pastisipan pertama bekerja sebagai petugas
kebersihan tetapi mendapatkan tawaran dari rumah sakit untuk menjadi petugas
pemulasaraan jenazah karena petugas sebelumnya pindah dan tidak ada orang
yang mau mengisi bagian tersebut, sedangkan partisipan kedua bekerja sebagai
petugas pemulasaraan jenazah berawal dari coba-coba, meskipun ada dorongan
dari dalam diri untuk merawat orang-orang lain setelah dulu ia pernah
memandikan jenazah ibunya.
Tidak terbayangkan kondisi psikologis mereka saat pertama kali melihat
dan berhadapan langsung bahkan harus merawat jenazah-jenazah dengan kondisi
fisik yang ekstrim atau jenazah yang memiliki penyakit menular seperti TBC,
hepatitis, dan HIV/AIDS. Hal tersebut menimbulkan dampak-dampak negatif
seperti rasa stres, takut, cemas, terbayang-bayang, dan resiko tertular penyakit dari
21
jenazah yang dapat mengancam keselamatan mereka. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Flynn, McCarroll, dan Biggs (2015), baik pekerja yang
berpengalaman maupun yang tidak berpengalaman mengakui bahwa mereka
merasakan beberapa tingkat stres sebelum menangani jenazah secara langsung.
Adanya magang di awal masa kerja mereka sangat membantu proses adaptasi
ketika mereka harus menghadapi masa-masa sulit ketika bekerja berhadapan
dengan kematian. Program magang dan pelatihan dapat dilakukan melalui
kontrak, penggabungan antara kerja dan pelatihan, dan dapat dilakukan secara
penuh atau paruh waktu, serta menjadi bagian dari pendidikan sekolah menengah
yang mana disebut sebagai pelatihan berbasis sekolah, dan dilakukan pada atau di
luar pekerjaan, atau melalui kombinasi, NCVER (dalam Cocks, Thoresen, dan
Lee, 2015). Setelah mendapatkan pelatihan atau magang, kedua partisipan dapat
mempersiapkan diri dengan lebih baik ketika mereka harus melakukan beberapa
prosedur merawat jenazah, misalnya ketika mereka harus menjahit dan menyusun
kembali tubuh jenazah yang rusak atau terpisah-pisah dan saat harus menangani
jenazah dengan penyakit menular ada prosedur tersendiri yang harus dipelajari
dan dilakukan agar tidak membahayakan partisipan maupun keluarga jenazah.
Hal ini membedakan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
Indriastuti (2004), dimana pada penelitian tersebut ditemukan bahwa perawat
yang pada dasarnya sudah dilatih dan sudah belajar dalam menangani dan
menghadapi jenazah masih mengalami stres saat berhadapan dengan kematian.
Sedangkan dalam penelitian ini kedua partisipan mendapatkan magang di awal
masa kerjanya dalam kurun waktu yang berbeda dan mereka mampu
22
menyesuaikan diri serta mampu menghadapi situasi dimana mereka harus
menangani jenazah bahkan dengan kondisi tubuh jenazah yang ekstrim.
Tidak hanya pengalaman berhadapan dengan jenazah, pengalaman mistis
juga dialami oleh kedua partisipan ketika mereka bekerja sebagai petugas
pemulasaraan jenazah. Menurut DeHoff (2014), ada banyak cara agar orang
mengalami iman dan pengalaman mistis menjadi yang paling mendalam.
Kematian di dalam pola pikir budaya Jawa seringkali dikaitkan dengan hal-hal
mistis. Meskipun tidak ada dampak khusus bagi mereka setelah mengalami hal
mistis, tetapi pengalaman tersebut memunculkan ritual doa yang mereka lakukan
ketika akan bekerja memandikan jenazah dengan harapan diberikan kelancaran
dan kemantapan saat bekerja menghadapi segala resiko yang mungkin terjadi.
Doa adalah bagian integral dari kebanyakan agama besar dunia dan dapat menjadi
dimensi penting dalam mengatasi rasa sakit dan penderitaan (Bänzinger, Van
Uden, dan Janssen, 2008). Exline, Smyth, Gregory, Hockemeyer, dan Tulloch
(2005) menemukan bahwa terlibat aktif dalam doa mungkin merupakan cara yang
sangat membantu untuk menegosiasikan masalah kesehatan mental atau
memproses paparan trauma potensial.
Seiring berjalannya waktu, berbagai pengalaman yang dihadapi baik itu
pengalaman menghadapi jenazah maupun pengalaman mistis yang terjadi saat
bekerja, kedua partisipan mampu menyesuaikan diri dan mereka mampu terbiasa
dengan kondisi yang harus mereka hadapi ketika bekerja memandikan jenazah.
Rasa stres, takut, cemas, dan rasa terbayang-bayang kini sudah tidak menjadi
penghalang bagi mereka dalam bekerja. Dampak lain yang ditimbulkan tampak
pada partisipan ketiga, karena terlalu sering berhadapan dengan kematian, melihat
23
orang lain berduka, dan menangani jenazah dengan kondisi fisik yang ekstrim, ia
kehilangan rasa belas kasihan. Partisipan ketiga juga mengalami trauma sekunder,
ia merasa takut jika hal yang terjadi pada jenazah yang ia tangani juga terjadi pada
anggota keluarganya sendiri maupun orang terdekatnya, meskipun ia tidak secara
langsung mengalami hal tersebut. Trauma sekunder ini juga dialami oleh istri
partisipan ketiga karena istri partisipan ketiga sering mendapatkan cerita-cerita
dan juga foto jenazah yang ditangani suaminya.
Sklarew, Handel, dan Ley (2012) menyatakan bahwa trauma sekunder
dialami beberapa anggota staf yang melaporkan mengalami mimpi buruk pada
keadaan kematian paralel; hypervigilance; gangguan tidur; dan perasaan mati rasa,
marah, takut dan kesedihan. Hal serupa dialami oleh istri partisipan ketiga, setelah
melihat foto-foto jenazah yang dimandikan suaminya, ia merasa takut, kemudian
mengalami sulit tidur dan menjadi lebih waspada ketika ia bepergian keluar
rumah menggunakan kendaraan bermotor.
Meskipun istri dari kedua partisipan juga membutuhkan adaptasi terhadap
pekerjaan suami mereka, tetapi dukungan yang mereka berikan memiliki dampak
yang positif bagi suami mereka. Setelah sebelumnya mereka terlebih dahulu
berhasil manjalani proses adaptasi terhadap pekerjaan suami mereka. Misalnya,
pada partisipan kedua, ia mengatasi kecemasannya dengan berdoa. Sedangkan
partisipan keempat mengatasi kecemasan dan rasa terbayang-bayangnya dengan
melakukan hal-hal positif yang menyenangkan bersama suaminya. Setelah mereka
berhasil menyesuaikan diri dengan pekerjaan suami, baru mereka mampu
memberikan dukungan bagi suaminya.
24
Partisipan pertama memiliki jam kerja yang tidak menentu,
memungkinkan ia bekerja diluar jam kerjanya. Ketika hal itu terjadi, dukungan
istri dibutuhkan untuk bisa memahami, memaklumi, dan menerima kondisi
pekerjaan suami. Istri partisipan pertama memberikan dukungan bagi suaminya
ketika suaminya mendapatkan panggilan di tengah malam, bahkan anaknya juga
memberikan dukungan bagi ayahnya dengan ikut mengantarkan ke tempat kerja.
Hal tersebut membantu partisipan sebagai petugas pemulasaraan jenazah untuk
mengurangi beban ketika ia harus bekerja diluar jam kerjanya. Semangat dan
dorongan dari keluarga juga membantu partisipan untuk menghadapi saat-saat
sulit. Dukungan sosial sering menjadi sumber bagi seseorang dalam mengatasi
stres, Cohen (dalam Woods, Priest, dan Roush, 2014). Dukungan sosial mungkin
berasal dari pasangan atau anggota keluarga, juga dari hubungan dengan teman,
rekan kerja, dan kelompok sosial lainnya, Allen, Blascovich, dan Mendes (dalam
Woods, Priest, dan Roush, 2014). Secara berulang ditemukan hasil manfaat dari
dukungan teman, keluarga, dan jaringan sosial yang lebih luas untuk hasil
kesehatan yang melimpah. Menurut Cohen dan Cyranowski, (dalam Woods,
Priest, dan Roush, 2014) dukungan sosial dapat meminimalkan depresi dan
kecemasan selama masa kesulitan dan berfungsi sebagai faktor keberhasilan
pemulihan dari kecemasan, Schwarzer dan Knoll, (dalam Woods, Priest, dan
Roush, 2014).
25
KESIMPULAN
Kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
keluarga menjadi salah satu faktor pendorong bagi partisipan untuk mau tidak
mau berani menghadapi tantangan dan resiko pekerjaan yang harus dihadapi
ketika mereka harus bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah.
Adanya magang pada awal masa kerja dapat membantu partisipan untuk
mempersiapkan diri dan membantu mereka dalam proses adaptasi ketika bekerja
menghadapi jenazah dengan kondisi yang bervariasi.
Dukungan dari keluarga khususnya dari istri atau anak dapat membantu
partisipan dalam menghadapi saat-saat sulit ketika mereka harus mengalami
berbagai pengalaman yang tidak biasa ketika harus berhadapan dengan kematian.
SARAN
Dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan
penelitian. Kecilnya jumlah partisipan dan lokasi penelitian yang kurang luas
memungkinkan kurangnya temuan-temuan yang dihasilkan. Untuk penelitian
selanjutnya, agar bisa mendapatkan temuan yang lebih kaya, peneliti selanjutnya
bisa menambahkan jumlah partisipan dan juga mengumpulkan data dari berbagai
tempat, tidak hanya dari satu kota saja.
Peneliti selanjutnya juga bisa mengembangkan temuannya dengan mencari
perbedaan proses adaptasi antara petugas pemulasaraan jenazah dengan jenis
kelamin perempuan dan laki-laki.
26
Pihak rumah sakit bisa membuat program sebagai sarana untuk
menyalurkan dukungan sosial bagi karyawan dan juga keluarga dari karyawan
terkait dengan resiko bekerja sebagai petugas pemulasaraan jenazah.
27
DAFTAR PUSTAKA
Bänzinger, S., Uden, M.V., & Janssen, J. (2008). Praying and coping: The relation
between varieties of praying and religious coping styles. Mental Health,
Religion & Culture, 11(1), 101-118.
Chapman, R. (2003). Death, society and archaeology: the social dimensions of
mortuary practices. Mortality, 8, 305-312.
Cocks, E., Thoresen, S.H., & Lee, E.A.L. (2015). Pathways to employment and
quality of life for apprenticeship and traineeship graduates with
disabilities. International Journal of Disability, Development and
Education, 62, 422-437.
DeHoff, S. L. (2014). Distinguishing mystical religious experience and psychotic
experience: A qualitative study interviewing presbyterian church (U.S.A)
professionals. Pastoral Psychol, 64, 21-39.
Exline, J. J., Smyth, J. M., Gregory, J., Hockemeyer, J., & Tulloch, H. (2005).
Religious framing by individuals with PTSD when writing about traumatic
experiences. The International Journal for The Psychology of Religion,
15(1), 17-33.
Flynn, B. W., McCarroll, J. E., & Biggs, Q. M. (2015). Stress and resilience in
military mortuary workers: Care of the dead from battlefield to home.
Dead Studies, 39, 92-98.
Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Indriastuti, R. (2014). Penyesuaian diri pada pekerja pemulasaraan jenazah
rumah sakit umum daerah di Salatiga. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga
: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Lent, R. W. (2013). Career-life preparedness: Revisiting career planning and
adjustment in the new workplace. The Career Development Quarterly, 61,
2-12.
Linley, P. A. & Joseph, S. (2005). Positive and negative changes following
occupational death exposure. Journal of Traumatic Stress, 18, 751-758.
Saam, Z., & Wahyuni, S. (2012). Psikologi keperawatan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Sklarew, B.H., Handel, S., & Ley S. (2012). The analyst at the morgue: Helping
families deal with traumatic bereavement. Psychoanalytic Inquiry, 32,
147-157.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.
28
Tan, Y. & Shen, X. (2016). Socialization content and adjustment outcome: A
longitudinal study of chinese employees beginning their career. Social
Behavior and Personality, 44, 161-176.
Ward, C. I., Flisher, A. J., & Kepe, L. (2006). A pilot study of an intervention to
prevent negative mental health consequences of forensic mortuary work.
Journal of Traumatic Stress, 19, 159-163.
Woods, S.B., Priest, J. B., & Roush, T. (2014). The biobehavioral family model:
Testing social support as an additional exogenous variable. Family
Process, 53, 672-685.