Download - Acute Flaccid Paralysis
BAB I.
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Acute Flaccid Paralysis (AFP) didefinisikan sebagai paralysis atau kelemahan
yang bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan dengan terdapatnya flaksid
(penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering terjadi pada anak dibawah
usia 15 tahun. Banyak penyakit yang memberikan gejala AFP, diantaranya
poliomielitis, miastenia gravis, sindrom Guillain Barre.
Pada penyakit ini sering dijumpai gejala-gejala paresis flaksid yang dapat
melibatkan fungsi respirasi dengan/tanpa mengenai medulla oblongata, arefleksis,
kelemahan otot-otot proximal, kelemahan otot akibat kelelahan, disfungsi otonom dan
gejala-gejala lainnya.
Acute Flaccid Paralysis dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan saraf tepi
seperti sindrom Gullain Barre, Anterior horn cell disease seperti Poliomyelitis
anterior akut, kelainan otot seperti poliomyositis, paralysis periodic, penyakit
sistemik, myelopati akut dan gangguan transmisi neuromuskuler.
1.2 TUJUAN
I.2.1 Tujuan Umum
I.2.2 Tujuan Khusus
BAB II.
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Acute Flaccid Paralysis (AFP)
II.1.1 Definisi 1
Paralysis atau kelemahan yang bersifat fokal dengan awitan akut dan dicirikan
dengan terdapatnya flaksid (penurunan tonus) tanpa penyebab yang jelas dan sering
terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun. Kerusakan dapat terjadi pada otot, saraf,
neuromuscular junction, otak, medulla spinalis, atau kornu anterior.
II.1.2 Etiologi 1,2
Peripheral Neuropathy
Sindrom Guillain Barre
Acute Axonal Neuropathy
Neuropathies of infectious diseases (diphtheria, Lyme disease)
Acute toxic neuropathies (logam berat, racun ular)
Gigitan hewan artropoda
Mononeuropati fokal
Anterior horn cell disease
Poliomyelitis anterior akut
Vaccine-associated paralytic polio
Virus neurotropik lain (enterovirus, herpesvirus)
Kelainan otot
Polimyositis, dermatomyositis
Trikinosis
Paralisis periodic
Penggunaan kortikosteroid dan blocking agents
Penyakit mitokondria (tipe infantile)
Myositis post viral
Penyakit Sistemik
Porfiria akut
Neuropati penyakit kronik
Myopati akut pada pasien rawat ICU
Myelopati Akut
Cord compression
o Tumor
o Trauma
o Abses paraspinal
o Hematoma
o Malformasi vaskuler dengan trombosis / perdarahan
Demyelinating disease
o Multipel sclerosis
o Transverse myelitis
o Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
Ischaemic cord damage
o Anterior spinal artery syndrome
o Komplikasi perioperatif
Kelainan transmisi neuromuscular
Myastenia Gravis
Botulisme
Insektisida (keracunan organofosfat)
Tick bite paralysis
Gigitan ular
II.1.3 Manifestasi Klinis 3,4
Kuadriparesis flaksid simetris (melibatkan fungsi respirasi dengan / tanpa
mengenai medula oblongata) disertai arefleksia, dapat terjadi kehilangan
fungsi sensorik minimal seperti pada neuropati atau poliradikulopati akut
(misalnya, sindrom Guillain-Barre)
Kelemahan otot-otot proksimal yang simetris tanpa gejala atau tanda
kerusakan sensorik serta adanya refleks seperti pada neuropati akut
Kelemahan otot akibat kelelahan (diplopia, ptosis dan disfungsi medula
oblongata seperti pada miastenia gravis dan kerusakan neuromuskular lainnya)
Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering
melibatkan tungkai bawah dan disfungsi kandung kemih) seperti pada sindrom
kauda ekuina, lesi medula spinalis setinggi vertebra torakal (misalnya mielitis
transversa, atau infark medula spinalis)
Kerusakan yang menganai medula oblongata seperti pada botulisme, miastenia
gravis, penyakit motorneuron (misalnya ALS atau penyakit Kennedy) atau
adanya lesi di pons.
Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik, seperti pada varian Miller-Fischer
dari sindrom Guillain_barre (arefleksia), botulisme dan paralisis tik, miastenia
gravis.
Disfungsi otonom (seperti pada sindrom Guillain_barre), sindrom
paraneoplastik, keracunan organofosfat (rangsang kolinergik muskarinik yang
berlebihan) dan botulisme.
II.1.4 Pemeriksaan3,4
Pemeriksaan Fisik
Menilai distribusi dan derajat kelemahan
o Skor kelemahan otot (0-5)
o Periksa otot-otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher, lengan
dan tungkai
o Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis,multifokal)
Gangguan sensorik
o Terhadap modalitas tertentu (getaran / propioseptif, nyeri / protopatik)
Refleks-refleks
o Adakah penurunan atau peningkatan refleks
Gambaran umum
o Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal, respons
pupil, ileus)
o Kulit : ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans), garis-garis
kuku pada keracunan arsen (Mee’s Line), foto-sensitif dan tik
o Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor spinalis)
o Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)
Pemeriksaan Penunjang
Neuroimaging (kepala / medula spinalis)
Elektroforesis protein serum
Penapisan antibodi paraneoplastik (terutama anti-HU)
Tes elektrofisiologis (kecepatan hantar saraf dan EMG)
Tes tensilon / tes prostigmin (sesuai indikasi)
Sampel feses
a. Mengumpulkan satu sampel feses dalam 2 minggu setelah awal
terjadinya paralisis:
i. Penelitian viral
ii. Campilobakter.
b. Swap rectal dapat diambil jika tidak bisa mengumpulkan sampel feses.
Sampel serum
c. Sampel harus segera diambil untuk serologi polio.
d. Specimen serum kedua harus dikumpulkan 2 minggu kemudian jika
pasien mengalami onset akut penyakit atau 1 bulan kemudia jika
pasien mengalami fase konvalesen.
e. Sampel ditest untuk mencari titer antibody polivirus dan menilai IgG
dan IgM spesifik polio.
Swap nasofaringeal dan CSF dapat juga dikumpulkan untuk membantu
pemeriksaan.
II.1.6 Penatalaksanaan 1,2,3,4
Urutan prioritas dalam penatalaksanaan acute flaccid paralysis adalah ABC
(Airway Breathing Circulation).
1. Pastikan saluran napas terjaga dan ventilasi cukup
2. Periksa tekanan darah / frekuensi nadi pada kasus bradi / takiaritmia
atau kegagalan otonom
3. Tatalaksana khusus sesuai penyakit yang didiagnosis
II.1.7 Diagnosis Banding 4,5
Diagnosis banding untuk kasus lumpuh layuh akut adalah infeksi virus polio,
infeksi virus non-polio (enterovirus 71, coxsackievirus A7, Japanese encephalitis
virus, West nile virus, tick borne encephalitis virus, virus rabies, dll), infeksi Borrelia,
Mikoplasma, Difteri, Botulismus, tetanus, neuropati (polineuropati inflamasi akut,
neuropati aksonal motor akut, keracunan logam berat), gangguan syaraf tulang
belakang (mielitis transversal akut, kompresi syaraf tulang belakang akut, trauma,
infark), miastenia gravis, dan gangguan otot (miositis).
II.2 Poliomielitis
II.2.1 Definisi dan Terminologi
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh virus.
Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini
dapat memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang
mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan
kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang
menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke
sistem saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey
matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.(6,7,8,9,10)
II.2.2 Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang
dikenl sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya
berada di traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan
manifestasi penyakit pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu
genom RNA yang terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi
materi genetic dari virus tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk
menyerang beberapa jenis sel lain.
Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe 2
(PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid
yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang
sama. Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan
paling sering menyebabkan kelumpuhan.
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut,
yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi
yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan
epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.
Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat (SSP,
dimana mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup
kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias
tersimpan dalam wujud beku -20oC. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena
panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di
berbagai biakkan jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun
dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk
sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan
gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate.
Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat
pada sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat
kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari(7,9,11)
Gambar.1 Poliovirus
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
II.2.3 Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat
transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat,
eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di
seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi
virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar
hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa
gejala.
Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara
berkembang dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada
daerah-daerah tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak
bawah umur 5 tahun. Ini disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau
imunitas pada masa anak, sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini
jarang ditemui pada dewasa. Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, dari 21 penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.(8,12)
Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan
bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan
dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2
provinsi di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini
yang diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah
Sukabumi, dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan
virus impor strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah
dan juga menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus
polio liar tertinggi terjadi dari bulan Mei – Juni tahun 2005 dan transmisi rendah
mulai bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305
penderita tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV
dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di
probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN)
yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya
ditemukan 2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di
Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006.
Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang
dilaporkan.(12,13,14)
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S14623994990
00848sup022.gif)
Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio
dengan Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI
(universal of child immunization).
Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan, mungkin
karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis pada
bayi baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat
atau kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini
dapat dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi,
ekstraksi gigi yang merupakan port d’ entrée atau penyuntikkan.(9)
II.2.4 Patogenesis dan Patologi
Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang biak
pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, virus
tahan terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah tanpa
melalui inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan
limfe dan pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam
sampai 3-4 minggu.
Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi
membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi dan
cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau
tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila
proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat anti, maka
akan timbul viremia dan gejala klinis.
Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini.
Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung
polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3 jam.
Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion baru
hanya butuh 4-5 jam saja.
Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit dan
kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh
secretory IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat
langsung dari multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua
saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian disebabkan
karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu
setelah onset., Terdapat kelainan dan infiltrasi interstisiel sel glia.(6,10)
Gambar.3 Patogenesis Poliomielitis (diambil dari
http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)
Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:
1. medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta
formation retikularis yang mengandung pusat vital
3. serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada
system retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel
motor neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang
neuroglia, myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada
sekitar sel yang terinfeksi sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan pada
sumsum tulang belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak
kerusakan terutama terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari pons
dan medulla, nuclei vestibules, serebellum, sedang lesi pada korteks hanya
merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis bulber, lesi terutama
mengenai medulla yang berisi nuclei motorik dari saraf otak. Replikasi pada sel
motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan permanen.
Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan cirri khas pada
poliomyelitis. Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna
bagian bawah, menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah bening
dan menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat viremia
pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor illness. Invasi
virus ke susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan saraf. Tapi yang
lebih sering melalui hematogen. Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar
darah otak (blood brain barrier) dengan berbagai cara yaitu :
Transport pasif dengan cara piknositosis
Infeksi dari endotel kapiler
Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam
susunan saraf pusat.
Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau
penyebaran melalui jaras olfaktorius.(6,8,9,10)
II.2.5 Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic
yang terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum
tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi
otot, sedng virus yang berbiak di batang otak skan menyebabkan kelumpuhan
bulbar dan kelumpuhan pernafasan.
Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan
menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head
drop, tanda tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus dicurigai
adanya poliomyelitis.(13,14)
Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor
illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun
non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat ditemukan pada anak,
gejalanya bervariasi antara lain :
a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan
b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki
c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi
d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit
e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur
f) Terasa lemas, tidak ada tahanan
g) Kaki mengecil (atrofi otot)
Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis
(http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)
Minor Illnesses
1. Asimtomatis (silent infection)
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic,
terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang
jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya
sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,
nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri
abdomen. Diagnosis pasti hanya bias dengan menemukan virus di biakan
jaringan.
Diagnosis banding : influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaring
Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-
kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam
atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini
adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai
dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,
ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari
posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua
tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan
terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara
pasif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif. “Head drop” yaitu bila
tubuh penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga
menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak
berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomyelitis paralitik. Diagnosis Banding dengan meningitis serosa,
meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis
servikalis.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.
Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya
lesi pada susunan saraf :
a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen,
tubuh, diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering
otot besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan
otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon
mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.
Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Diagnosis banding :
Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak
ada pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam
reumatik akut, osteomielitis.
Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas,
dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola
mata
Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali
demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral
simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB
protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB
bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan sensorik
Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis
dan kelelahan disertai rasa nyeri).(7,12,13)
Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
b. Bentuk bulbar
terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan
makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang
terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana
kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki.
Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan
diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh
otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi
Gambar.7 Lokasi dari region bulbar
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar
d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.(11,12)
II.2.6 Diagnosis
Diagnosis polio dibuat berdasarkan:
Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar
maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara
biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan
feses.
Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.
Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang
termasuk Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis
diatas. Cara menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik
yang khas seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan
sensori.
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara
lebih tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat
mempermudah memisahkan polio dengan kelainan lain akibat
demielinisasi pada saraf tepi, sehingga boisa membedakan polio dengan
kerusakan motor neuron lainnya misalnya Sindrom Guillain-Barre.
Pemeriksaan lain seperti MRI dapat menunjukkan kerusakkan di daerah
kolumna anterior.
Pemeriksaan Residual Paralisis
Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit neurologik.(12-15)
II.2.7 Pemeriksaan Penunjang
Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostic,
tetapi hal itu jarang dikerjakan. Dalam pengumpulan spesimen tinja
tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP.
Spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu <14 hari setelah
kelumpuhan, untuk mencegah terjadinya spesimen yang tidak adekuat
dan dilakukan 2 kali dengan tenggang waktu antara keduanya minimal 24
jam. Suatu kasus AFP didiagnosa polio apabila :
- Ditemukan virus polio liar
- Tidak ditemukan virus pada spesimen tetapi terdapat paralisis
residual setelah kunjungan ulang 60 hari (polio kompatibel)
- Penderita meninggal sebelum kunjungan 60 hari.
Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat atau hasil
laboratorium negatif maka belum bisa dipastikan kasus tersebut bukan
polio untuk itu perlu dikumpulkan informasi penunjang klinis pada KU
(kunjungan ulang) setelah 60 hari dan pemeriksaan ulang.
Bila virus polio dapat diisolasi dari seorang dengan paralysis flaccid akut
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan oligonucleotide mapping atau
genomic sequencing. Untuk menentukkan apakah virus termasuk virus
liar atau vaksin.
Mengukur serologis zat anti
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya
terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, sebagian besar
limfosit) dan terjadi peningkatan kadar protein ringan (40-50
mg/100ml).(6-8)
II.2.8 Terapi dan Pengobatan
Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin
polio, diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-anak seumur
hidup. Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik.
Mengenai vaksin polio akan dibahas di bab berikutnya. Tidak ada antivirus yang
efektif melawan poliovirus. Terapi utamanya adalah suportif.(7)
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung.
Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving ,
terutama bantuan nafas.
Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio
1. Silent infection : istirahat
2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa,
aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2
minggu; perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi
paralysis pernafasan.
Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi :
a. fase akut
Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
Antipiretik untuk menurunkan suhu.
Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada
sudut yang tetap terhadap tungkai
Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti
perawatan khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan
mekanis.
Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan
terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala
anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.
b. fase post-akut
kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi.
Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi
yang dilakukan :
- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )
- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami
kelemahan atau kelumpuhan
- Breathing exercise jika diperlukan
- Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.(11)
II.2.9 Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika
tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.
Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis atau kematian
(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering
mengakibatkan disabilitas daripada kematian.
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien
dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap selama
2-10 hari, lalu sembuh total.(13-14)
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus
polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan
permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan kembali
setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal sembuh total,
25% dengan disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat. Perbedaan residual
paralysis ini tergantung derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal
yang bersifat fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong
dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang
melibatkan system pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau
pneumonia aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis
meninggal akibat paralysis otot pernafasan. Angka kematian bervariasi
tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan hingga 15-30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan
fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu
nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif
tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang lumpuh dan
tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia,
dan degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi
yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini
diberikan pengobatan secara ortopedik.(11,12)
Post Polio Syndrome (PPS)
Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik
mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi
akut, merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut.
Gejala utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau
paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio
syndrome (PPS). Gejala PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-sized
motor unit pada tahap penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau demikian
bagaimana patogenesisnya masih belum diketahui. Faktor yang meningkatkan
resiko PPS antara lain jangka waktu sejak infeksi akutnya, kerusakan residual
permanent setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja neuron yang
berlebihan.(8,9)
II.2.10 Vaksin dan Eradikasi Polio (ERAPO)
Eradikasi Polio
Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya manusia
sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan. Selain itu telah
ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada pertengahan
1950 yang mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio di negara-negara
maju. Dan dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek terhadap komunitas
(community effect). Maka menjadi memungkinkan untuk dilakukan eradikasi
terhadap penyakit ini. Sehingga usaha global untuk eradikasi polio dimulai
pada tahun 1988, dipimpin oleh World Health Organization, UNICEF, dan The
Rotary Foundation. Eradikasi dilakukan dengan cara.
1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%
Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak
dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak 5
kali. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada
tingkat yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi.
Cakupan tinggi juga harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara
yang telah bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara
tersebut dapat bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari
negara lain.
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua anak dibawah
5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu.
Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan
populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin.
3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis
Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan metode
surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio
dimanapun di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi virus polio
liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara.
Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan
laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini
mencakup deteksi semua AFP dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti
secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan
secukupnya dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin
ke laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar
atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP setiap
tahun-nya untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.
4. Mopping-up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5 tahun
didaerah ditemukanya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio
sebelumnya. Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antar
negara sangat tinggi dan cepat, muncul kesulitan untuk mengendalikan
penyebaran virus ini. Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus
disertai dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan.
Penggunaan jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan
kesehatan serta memelihara kebersihan makanan merupakan upaya
pencegahan dan mengurangi resiko penularan virus ini. Menjadi salah satu
keprihatinan dunia bahwa kecacatan yang ditimbulkan akibat infeksi virus ini
menetap dan tidak bisa disembuhkan atau tidak ada obat yang dapat
menyembuhkan polio.
Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga
99%, yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007. Ini
merupakan kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi sepenuhnya suatu
penyakit. Yang pertama adalah smallpox, yang telah tereradikasi tahun 1979.
Sekarang banyak bagian dunia yang bebas polio. Amerika Serikat menyatakan
bebas polio tahun 1994. pada tahun 2000, 36 negara-negara pasifik barat
termasuk Cina dan Australia dinyatakan bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan
bebas polio. Hingga 2006, polio masih endemic hanya di 4 negara : Nigeria, India,
Pakistan, dan Afganistan.
Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga tahun
berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada kasus lagi
selama 10 tahun. Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang berawal dari
lingkungan padat di Sukabumi. Yang menyebar cepat keseluruh Indonesia.
Kembali dilakukan PIN dan pengetatan surveilans dan wabah teratasi, kasus
terakhir adalah kasus dari Aceh Tenggara, April 2006.(6,7,13,14)
Vaksin Polio
Tahun 1952 dan 1953, Amerika Serikat mengalami ledakan jumlah kasus
sebanyak 58.000 dan 35.000 kasus, dari angka sebelumnya 20.000 per tahun.
Menanggapinya, Pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk menemukan
dan memasarkan vaksin polio.
Hilary Koprowsky, mengklaim telah menemukan vaksin polio tahun 1950.
Vaksinnya yang berisi virus hidup yang dilemahkan yang dikonsumsi secara oral
(OPV) masih dalam tahap penelitian dan belum siap dipakai sampai 5 tahun
setelah vakin polio Jonas Salk (injectable polio vaccine, IPV) dikonsumsi public.
Vaksin OPV adalah adalah virus yang dilemahkan, yang bisa mengalami
mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan diekskresi keluar. Meskipun
sangat jarang, selain mutasi bisa bersifat mutasi positif kearah virus yang lebih
lemah, namun bisa juga terjadi mutasi negative (back mutation) kembali kearah
neurogenik dan menimbulkan kerusakan di cornu anterior seperti infeksi virus
polio liar. Kenyataan ini memicu perlunya imunisasi dengan inactivated polio
virus (IPV).8
OPV lebih efektif dalam pemberantasan poliomyelitis dibandingkan virus
yang inaktivasi. Sesudah pemberian vaksin OPV, maka virus yang dilemahkan
tersebut akan bereplikasi di traktus gastrointestinalis bagian bawah. OPV dapat
menutup PVR sehingga virus lain tidak bisa menempel dan menyebabkan
kelumpuhan kelumpuhan. Kemampuan ini menekan transmisi virus pada saat
wabah. IPV sangat mampu mencegah kelumpuhan karena menghasilkan
antibody netralisasi yang tinggi, namun tidak mempunyai efek menekan
transmisi.
a) Oral Polio Vaccine (OPV)
Vaksin ini dibuat dengan virus polio yang dilemahkan. Vaksin ini
digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan 2 tetes oral. Virus vaksin ini
kemudian menempatkan diri di bawah usus dan memacu pembentukkan
antibody baik dalam darah maupun epithelium usus, yang menghasilkan
pertahanan local terhadap virus polio liar yang dating masuk kemudian. Maka
frekuensi ekskresi polio virus liar di masyarakat bisa dikurangi. Vaksin bertahan
dalam tinja hingga 6 minggu setelah pemberian.
Gambar 8a. Pemberian Imunisasi OPV
Gambar. 8b Kemasan OPV
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. dapat disimpan beku
pada temperature <-20oC. Keputusan WHO, vaksin ini boleh digunakan multidose
dengan syarat :
a. tanggal kedaluwarsa tidak terlampaui
b. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin (2-8oC)
c. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah
dibuang oleh petugas Puskesmas.
Vaksin Polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai
PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai
umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah dengan interval 6-8 minggu.
Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan
dapat diberikan bersama vaksin DPT dan Hib.
b) Inactivated Polio Vaccine (IPV)
Vaksin tipe ini berisi PV 1,2,3 yang dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera
dan diinaktivasi dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut juga ada neomisin,
streptomisin dan polimiksin B. Vaksin harus disimpan pada suhu 2-8oC dan tidak
boleh dibekukan. Dosis 0.5 ml dengan suntikkan subkutan dalam 3 kali berturut-
turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan
imunitas jangka panjang (mucosal maupun humoral).
Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan
dengan yang ditimbulkan OPV.(6,7,11)
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
Kasus poliomyelitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi
pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine
associated polio paralytic). Diperkirakan terdapat satu kasus poliomyelitis
paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang
diberikan. Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding
dosis berikutnya. Risiko yang relative kecil pada poliomyelitis yang ditimbulkan
pemberian OPV ini tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup untuk
mengadakan perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut
terbukti sangat berguna. Setelah vaksinasi, sebagian kecil resipien dapat
mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot.
Kejadian ikutan pasca janin belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan
diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat alasan
mendesak misalnya berpergian ke daerah endemis poliomyelitis.(7,9,11)
II.3 Sindrom Gullain Barre
II.3.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengankarekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat
simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.15
SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau
subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :16
Polineuritis akut pasca infeksi
Polineuritis akut toksik
Polineuritis febril
Poliradikulopati,dan
Acute Ascending Paralysis
II.3.2 Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15tahun) dan menemukan
kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000. Kebanyakan penelitian
menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian
serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000
populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan
rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama
waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan70% dari kasus
Sindroma Guillain Barre disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut
demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-
negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada
semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan
adalah, masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun,
dengan kemungkinan dominasi laki-laki.12
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute
flaccid paralysis pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda.
Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia
mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre .15
II.3.3 Klasifikasi15,16
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf
sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala
klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan
paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana
didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi
‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang
dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada
gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik
biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant
dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan
salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
II.3.4 Etiologi
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini
merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah
penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini : 15,18
Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
Sumber : Gullain Barre Syndrome, www.americanfamilyphysician.com18
II.3.5 Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
Myelinated nervein healthy individual
Myelin sheath
Damage tomyelin sheath
(demyelination)
Nerve axon
Damaged (demyelinated) nervein individual
with Guillain-Barré syndrome
berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa
limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf
tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson.16,19
II.3.6 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:20
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB,
gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal
dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi
oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem
imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip
dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan
dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan
terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya
epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas
humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf
perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.16,20
II.3.7 Gejala Klinis15,16,19
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris
secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal.
Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf
kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin
termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah
dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian
Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf
kranial.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa,
atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan.
Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas
tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan
dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan
sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari
pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai
rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu
pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien
dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang
terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena
paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan
atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga
dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial;
- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein
CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi
saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari
normal.
II.3.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan LCS16
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai
disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama
penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya
terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada
pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).
2. Pemeriksaan EMG16
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada
akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
3. Pemeriksaan MRI16
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar.
II.3.9 Terapi17,19
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di
rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan
fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila
vital capacity turun dibawah 50%.
2. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih
dan meningkatkan kekuatan otot.
3. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.16
a. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah
plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari
dilakukan empat sampai lima kali exchange.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini
dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari
selama 5 hari.
c. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
II.3.10 Diagnosis Banding15,16
Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan
gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal
pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.
Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.
Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan tidak
bersifat ascending)
CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy) didapatkan
progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya kekambuhan
kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.
II.3.11 Komplikasi15,19
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis
vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.
II.3.12 Prognosis17
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB
dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot
atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa
minggu sampai beberapa tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur Marx,1 Jonathan D. Glass,2 and Roland W. Sutter. Differential Diagnosis of Acute Flaccid Paralysis and Its Role in Poliomyelitis Surveillance: vol 22 no.2. 2002. The Johns Hopkins University School ot Hygiene and Public Health. Available from: http://epirev.oxfordjournals.org/content/22/2/298.full.pdf
2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (September 2002). "Acute flaccid paralysis syndrome associated with West Nile virus infection—Mississippi and Louisiana, July–August 2002". MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 51 (37): 825–8. PMID 12353741
3. Saeed M, Zaidi SZ, Naeem A et al. (2007). "Epidemiology and clinical findings associated with enteroviral acute flaccid paralysis in Pakistan". BMC Infect. Dis. 7: 6. doi:10.1186/1471-2334-7-6. PMC 1804272. PMID 17300736.
4. Alberta Government Health and Wellness (2005) Acute Flaccid Paralysis Public Health Notifiable Disease Management Guidelines.
5. Marx A, Glass JD, Sutter RW. Differential diagnosis of acute flaccid paralysis and its role in poliomyelitis surveillance. Epidemiol Rev 2000;22:298–316.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Poliomyelitis. 2005. Dalam :
Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid
2. Jakarta.
7. Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus : Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman
Imunisasi Di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta
8. Soedarmo, Sumarno S. Purwo, dkk. Infeksi Virus:Poliomyelitis. 2008. Dalam :
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta
9. Wikipedia the free Encyclopedia. Poliomyelitis. Last Updated : July, 23rd
2009. (available from : en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis, cited on : Aug, 5 th
2009)
10. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin
(ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier Science. Philadelpia.
WHO
11. World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam : Global Polio
Eradication Initiative.
(available from : www.who.int/topics/poliomyelitis/en/, cited on : Aug, 5th
2009)
12. Estrada, Benjamin MD. Poliomyelitis : Treatment and Medication. eMedicine.
Last Updated : Aug, 15th 2007.
(available from : http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview,
cited on : Aug, 5th 2009)
13. Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia. Last
Updated : January, 22nd 2008.
(available from : www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001402, cited
on : Aug, 5th 2009)
14. Wikipedia the free Encyclopedia. Polio Vaccine. Last Updated : July, 4th 2009.
(available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Polio_vaccine, cited on : Aug,
5th 2009)
15. Guillain-BarreSyndrome.Available
from:http://www.medicinenet.com/guillainbarre_syndrome/article.htm.
16. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com
/health/guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.
17. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus
abdominalis.Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/
14SindromGuillainBarre93.html.
18. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,
http://www.americanfamilyphysician.com.
19. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
20. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi
Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.