ABSTRAK
Disertasi ini berjudul “Partisipasi Desa pakraman Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah”. Disertasi ini fokus pada 3 (tiga) isu utama yaitu (1) Apakah
yang menjadi landasan perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Peraturan Daerah?, (2) Bagimanakah Pemerintah Daerah dan
masyarakat menafsirkan partisipasi desa pakraman dalam proses pembentukan
Peraturan Daerah?, (3) Bagaimanakah model partisipasi desa pakraman yang
ideal dalam pembentukan Peraturan Daerah?. Ke tiga isu utama dianalisis dan
dibahas dengan teori negara hukum, pluralism hukume, pembentukan legislasi
dan teori partisipasi.
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum.
Metode penelitian hukum ini menempatkan penggunaan bersamaan penelitian
doktrinal dan penelitian empirik yang dikenal dengan penelitian sosiolegal.
Berdasarkan pembahasan dan analisis permasalahan maka hasil penelitian: (1)
perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Peraturan
Daerah dilihat dari perspektif filosofis, teoritis dan dogmatika hukum. (2)
Penafsiran Pemerintah Daerah terhadap partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Pemerintah Daerah adalah penting melibatkan partisipasi desa
pakraman, desa pakraman terlibat apabila Peraturan Daerah tersebut berdampak
langsung, cukup diwakilkan oleh MDP, kedudukan desa pakraman di bawah
MDP, menekan anggaran, keterbatasan kemampuan desa pakraman. Penafsiran
masyarakat terhadap partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Peraturan
Daerah adalah penting melibatkan partisipasi desa pakraman, posisi desa
pakraman dibawah MDP, cukup diwakilkan oleh MDP, kurang dibuka ruang
partisipasi masyarakat, dan tidak ada tatacara dan mekanisme jelas partisipasi
desa pakraman. (3) Model ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan
Peraturan Daerah adalah derajat partisipasi kemitraan (partnership) yang
menempatkan desa pakraman dan pemerintah daerah serta DPRD sebagai mitra
untuk melakukan kerjasama dengan berinteraksi dan berkomunikasi dua arah
dalam proses pembentukan Peraturan Daerah. Berdasarkan simpulan maka saran
yang direkomendasikan adalah 1) mengesahkan RUU Masyarakat Adat, PP
tentang Partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah,mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan Ham tentang
Konsultasi Publik, membentuk Perda tentang Partisipasi masyarakat sebagai
pengaturan lebih lanjut apabila PP tentang partisipasi masyarakat telah dibentuk.
2) meningkatkan kesadaran desa pakraman untuk berpartisipasi dalam
pembentukan Peraturan Daerah.
Kata Kunci : Partisipasi, Desa pakraman, Pembentukan Peraturan Daerah.
ABSTRACT
This dissertation titled “Desa Pakraman Participation In Forming A Local
Regulation”. This dissertation is focused on 3 (three) main issues which are (1)
What is the basis for the necessity of Desa Pakraman participation regulation in
forming a Local Regulation? (2) How the Local Government and the society
interpreting Desa Pakraman participation in the process of the formation of Local
Regulation? (3) How is the ideal model of Desa Pakraman participation in the
formation of Local Regulation? Those three main issues are analyzed by state law
theory, legal pluralism, legislation formation and participation theory.
This research is using legal research methods. This legal research combining
doctrinal research and empirical research that known as socio-legal research.
Based on the problem analysis, the result of this research shown that (1) The
necessity of Desa Pakraman participation regulation in forming a Local
Regulation viewed from a philosophical perspective, theoretical and legal
dogmatics. (2) The interpretation of Local Government towards Desa Pakraman
participation in forming a Local Regulation is important to involving Desa
Pakraman participation, Desa Pakraman involved if that Local Regulation has a
direct impact, simply represented by MDP, the position of Desa Pakraman is
below MDP, pressing the budget, the limitation of Desa Pakraman capability. The
society interpretation towards Desa Pakraman participation in forming a Local
Regulation is important to involve Desa Pakraman participation, the position of
Desa Pakraman is below MDP, simply represented by MDP, lack of open space
for society participation and there are no clear ordinances and mechanisms of
Desa Pakraman participation. (3) The ideal model of Desa Pakraman
participation in forming a Local Regulation is a partnership participation degree
(partnership) that puts desa pakraman, Local Government and DPRD as partners
to cooperate by interacting and have a mutual communication in the process of
forming a Local Regulation. Based on the conclusion, I recommend to 1)
Authorize the Regulation Draft concerning Indigenous Communities, Government
Regulation concerning Society Participation in the Implementation of Local
Government, authorize the Ministry of Law and Human Rights Regulation Draft
concerning Public Consultation, Forming a Local Regulation concerning Society
Participation as a further regulation when the Government Regulation concerning
Society Participation formed. 2) Increasing Desa Pakraman awareness to
participate in forming a Local Regulation.
Keywords: Participation, Desa Pakraman, Local Regulation Formation
RINGKASAN
Disertasi ini berjudul “Partisipasi Desa Pakraman Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah” Di dalam mengkaji partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Peraturan Daerah terlingkup problematik yuridis, sosiologis,
filosofis, teoritik dan politik hukum. Problematik yang melingkupi partisipasi
desa pakraman dalam pembentukan Peraturan Daerah berujung pada 3 (tiga) isu
utama yaitu yaitu (1) perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Peraturan Daerah. (2) Penafsiran Pemerintah Daerah dan
masyarakat terhadap partisipasi desa pakraman dalam proses pembentukan
Peraturan Daerah. (3) Model partisipasi desa pakraman yang ideal dalam
pembentukan Peraturan Daerah.
Teori yang digunakan dalam menganalisis ke tiga isu utama tersebut
adalah teori negara hukum, teori pluralisme hukum, teori pembentukan legislasi
dan teori partisipasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
hukum dengan pendekatan sosiolegal. Pendekatan sosiolegal merupakan hibrida
penelitian hukum doktriner dan penelitian hukum empirik (mengkaji Peraturan
Perundang-undangan dan menjelaskan bekerjanya hukum dalam masyarakat).
Teknik pengumpulan bahan hukum dan data dilakukan dengan studi dokumen dan
studi lapangan selanjutnya diinterpreasi dengan hermeneutika hukum. Adapun
hasil penelitian sebagai berikut:
Pertama, perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Peraturan daerah didasarkan pada aspek filosofis, teoritis dan
dogmatika hukum. Aspek filosofis menempatkan hukum untuk manusia dalam
mencapai keadilan dan kemanfaatan hukum khususnya pada keadilan desa
pakraman. Perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan
Peraturan Daerah dari aspek teoritis yaitu mengkaji hukum berdasarkan relevansi
teori negara hukum, pluralisme hukum, pembentukan legislasi, sosiolegal dan
hermeneutika hukum. Relevansi negara hukum dalam konteks partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan Peraturan daerah memberi arah dan dasar
terwujudnya keadilan formal dan substantif. Relevansi teori pluralisme hukum
yang menunjukan adanya kemajemukan hukum dalam masyarakat (adanya hukum
negara, hukum adat dan hukum agama) sehingga memberi dasar dan arah dalam
proses pembentukan Peraturan Daerah untuk tetap memperhatikan ketiga tatanan
hukum tersebut serta memberi ruang dan akses partisipasi desa pakraman. Teori
pembentukan legislasi relevan digunakan dalam menganalisis proses
pembentukan Peraturan Daerah yang melibatkan partisipasi desa pakraman.
Relevansi sosiolegal dalam pembentukan Peraturan Daerah bertujuan untuk
melihat hukum secara lebih baik yaitu hukum tidak pernah lepas dari keberadaan
masyarakat. Oleh karena itu dalam proses pembentukan Peraturan Daerah perlu
melibatkan penelitian doktriner dan penelitian empirik. Relevansi hermeneutika
hukum dalam menganalisis perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Peraturan Daerah ditempatkan sebagai metode ilmiah dalam
memahami dan menjelaskan makna teks Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU
12/2011 mengenai partisipasi masyarakat. Makna partisipasi masyarakat dalam
Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 dipahami sebagai konsep,
bentuk dan tatacara partisipasi masyarakat. Dalam konteks disertasi ini pengaturan
tatacara partisipasi dalam Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 tidak
jelas, sehingga memerlukan pengaturan yang jelas mengenai tatacara partisipasi
masyarakat. Perspektif dogmatika hukum dipahami bahwa partisipasi masyarakat
dalam Peraturan Perundang-undangan telah diatur dan pemahaman partisipasi
masyarakat termasuk partisipasi desa pakraman. Hal ini menunjukan ada dasar
pengaturan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Peraturan daerah.
Kedua, penafsiran pemerintah daerah dan masyarakat terhadap partisipasi
desa pakraman dalam pembentukan Peraturan Daerah didasarkan pada
pengamatan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan
Peraturan daerah. Pihak-pihak tersebut adalah anggota DPRD, Kepala Bagian
hukum, para MDP, para akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat. Adapun
penafsiran pemerintah daerah adalah 1) penting melibatkan partisipasi desa
pakraman sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 354 UU
23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011. 2) desa pakraman terlibat apabila Peraturan
daerah mempunyai dampak langsung bagi desa pakraman. 3) Cukup diwakilkan
oleh MDP. 4) Pemahaman Pemerintah bahwa posisi desa pakraman di bawah
MDP. 5) Menekan pengeluaran anggaran. 6) keterbatasan kemampuan desa
pakraman dalam memberikan masukan. Penafsiran masyarakat terhadap
pertisipasi desa pakraman dalam pembentukan Peraturan daerah adalah 1) penting
melibatkan partisipasi desa pakraman apabila berdampak langsung pada desa
pakraman. 2) cukup diwakilkan MDP. 3) kurang dibuka ruang dan akses
partisipasi masyarakat. 4) tidak ada tatacara yang jelas partisipasi desa pakraman.
5) Sikap apatis atau tidak mau tahu. Berdasarkan penafsiran pemerintah Daerah
dan masyarakat terhadap partisipasi desa pakraman dalam pembentukan
Peraturan daerah maka temuan disertasi ini menunjukan partisipasi semu, dalam
arti partisipasi semu desa pakraman dalam pembentukan Peraturan Daerah.
Ketiga, model ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan
Peraturan Daerah ditempatkan pada derajat partisipasi kemitraan (partnership)
yaitu menempatkan desa pakraman, Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai mitra
untuk melakukan kerjasama dengan berinteraksi dan berkomunikasi dua arah
untuk tercapai kesepahaman dan kesepakatan diantara mereka.
Berdasarkan temuan dan hasil penelitian dapat direkomendasikan:1)
Pembentuk kebijakan, agar segera mengesahkan RUU tentang Perlindungan dan
Pengakuan Hak Masyarakat Adat, segera membahas PP tentang Partisipasi
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, segera mengesahkan
Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan Ham tentang Konsultasi Publik dalam
Pembentukan Peraturan perundang-undangan, agar segera membentuk Peraturan
daerah tentang Partisipasi masyarakat sebagai pengaturan lebih lanjut apabila PP
tentang partisipasi masyarakat telah dibentuk. 2) desa pakraman, agar
meningkatkan kesadaran akan pentingnya berpartisipasi dalam proses
pembentukan Peraturan daerah, karena desa pakraman sebagai bagian dari
masyarakat mempunyai hak Konstitusional.
SUMMARY
This dissertation is entitled "The Participation of Traditional Village (Desa
Pakraman) in the Drafting of Regional Regulations". The covered problems, in
reviewing the participation of desa pakraman in the drafting of regional
regulations, are the problems of juridical, sociological, philosophical, theoretical
and political law. The problems of the participation of desa pakraman in the
drafting of the Regional Regulations are resulted in 3 (three) main issues, namely
(1) the necessity of a regulation concerning the desa pakraman’s participation in
drafting the Regional Regulation. (2) The interpretation of the Regional
Government and the community concerning the said village participation in the
process of drafting Regional Regulations. (3) The ideal participation model of
desa pakraman in the drafting of Regional Regulations.
The theories used in analysing the above-mentioned issues are the theory
of legal state, the theory of legal pluralism, the theory of legislation making, and
the theory of participation. The used research methodis legal research method
with socio-legal approach. The socio-legal approach is a hybrid of doctrinal legal
research and empirical legal research (reviewing the Acts and describing its
implementation in society). The collection of legal sources and data is conducted
through document study and field study, which is followed by interpretation in the
manner of legal hermeneutics. The results of the study as follows:
First, the regulation of the participation of desa pakraman in drafting
Regional Regulation, which is based on philosophical, theoretical and legal
dogmatic aspects, is necessary. The philosophical aspect places the law for human
beings in its quest to achieving justice and legal expediency, especially in the
justice of desa pakraman. The necessity of a regulation concerning the
participation of desa pakraman in drafting the Regional Regulation from the
theoretical aspect is to study the law based on the relevance of the theory of legal
state, legal pluralism, legislation making, socio-legal and legal hermeneutic. The
relevance of the legal state in the context of the said village’s participation in
drafting the regional regulation gives direction and foundation to the realisation of
formal and substantive justice. The relevance of the legal pluralism theory shows
the existence of legal pluralism in the society (the existence of state law,
customary law and religious law) thus,it provides the basis and direction in the
process of drafting Regional Regulations to keep giving attention to these three
legal arrangements as well as providingspace and access to desa pakraman to
participate. The theory of the making of legislation is relevant to be used in
analysing the process of Regional Regulations drafting that involves desa
pakraman’s participation. The relevance of Socio-legal approach in drafting the
said regulations is intended to better see the law as it has never been separated
from the existence of society. Therefore, in the process of Regional Regulations
drafting, it is needed to implicate both doctrinal and empirical research. The
relevance of legal hermeneutics in analysing the needs for regulation of desa
pakraman’s participation in drafting Regional Regulations is considered as a
scholarly method to understand and explain the meaning of the text on Article 354
of Law Number 23 of 2014 and Article 96 of Law Number 12 of 2011 concerning
community’s participation. The meanings of community's participation on Article
354 of Law Number 23 of 2014 and Article 96 of Law Number 12 of 2011 are
considered as the concept, form and procedure of community participation. In the
context of this dissertation, the regulations of participation in Article 354 of Law
Number 23 of 2014 and Article 96 of Law Number 12 of 2011 are unclear,
therefore, a clear regulation on the rules of community’s participation is required.
The legal dogmatic perspective is understood that community’s participation has
been regulated and the said participation of community includes the participation
of desa pakraman. This shows that there is a basis for regulating the said village
participation in drafting regional regulations.
Second, the interpretation of the regional government and the community
concerning the participation of desa pakraman in drafting Regional Regulations is
based on observations and interviews with the parties involved in regional
regulations drafting. These parties are members of the Regional House of
Representative, Head of Legal Affairs, the Assembly of Desa Pakraman (the
Assembly), academics and leaders of communities. The interpretation of regional
government is identified as follows: 1) the importance of involving the desa
pakraman’s participation is in accordance to the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia, Article 354 of Law Number 23 of 2014 and Article 96 of
Law Number 12 of 2011. 2) Desa pakraman is involved if regional regulations
have a direct impact on it. 3) Representation by the Assembly would suffice. 4)
Government understanding that the position of desa pakraman is inferior tothe
Assembly. 5) Minimising the budget expenditure. 6) The limit of the ability of
desa pakraman in giving inputs. The interpretation of the community on desa
pakraman’s participation in the drafting of regional regulations, inter alia 1) it is
important to involve the participation of desa pakraman should there be direct
impact. 2) Representation by the Assembly would suffice. 3) Less open space and
access to community participation. 4) No clear procedure for the village’s
participation. 5) Apathetic or indifferent. Based on the interpretation of regional
government and the community on the participation of desa pakraman in drafting
regional regulations, the finding of this dissertation shows a quasi-participation,
with regard to the participation of desa pakraman in drafting regional regulations.
Third, the ideal model for the participation of desa pakraman in drafting a
Regional Regulation is determined by the degree of partnership participation, to
with desa pakraman, Regional Government and Regional House of
Representative acting as partners to cooperate with all interaction and reciprocal
communication as a mean to achieve understanding and agreement.
In accordance to the findings and research results, it can be recommended:
1) Policy-makers should immediately pass the draft of law on the Protection and
Recognition of the Rights of Adat Community; immediately discuss the
Government Regulation on Community Participation in Regional Governance,
immediately approve the draft Regulation of Ministry of Law and Human Rights
on Public Consultation in Drafting Laws, immediately draft a Regional
Regulation on Community Participation as an advanced regulation when a
Government Regulation on community participation will have been established.
2) Desa pakraman should raise awareness on the importance of participation in
the process of drafting regional regulations, because desa pakraman, as a part of
community, has a Constitutional right.
DAFTAR ISI
Halaman Sampul Depan -------------------------------------------------------------- i
Halaman Sampul Dalam -------------------------------------------------------------- ii
Halaman Persyaratan Gelar Doktor ------------------------------------------------- iii
Halaman Persetujuan Promotor/Ko Promotor ------------------------------------- iv
Pernyataan Originalitas Disertasi ---------------------------------------------------- v
Ucapan Terima Kasih ----------------------------------------------------------------- vi
Abstrak ---------------------------------------------------------------------------------- x
Abstract ---------------------------------------------------------------------------------- xi
Ringkasan ------------------------------------------------------------------------------- xii
Summary -------------------------------------------------------------------------------- xv
Daftar Isi -------------------------------------------------------------------------------- xvii
Daftar Matrik --------------------------------------------------------------------------- xxi
Daftar Gambar -------------------------------------------------------------------------- xxiii
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------ 1
1.1. Latar Belakang Masalah --------------------------------------------------------- 1
1.2. Rumusan Masalah ---------------------------------------------------------------- 24
1.3. Tujuan Penelitian ----------------------------------------------------------------- 24
1.1.1. Tujuan umum -------------------------------------------------------------- 24
1.1.2. Tjuan khusus --------------------------------------------------------------- 24
1.4. Manfaat Penelitian ---------------------------------------------------------------- 25
1.5. Orisinalitas Penelitian ------------------------------------------------------------ 26
1.6. Metode Penelitian ---------------------------------------------------------------- 30
1.7. Sistimatika Penulisan Disertasi ------------------------------------------------- 38
BAB II KERANGKA TEORI PARTISIPASI DESA PAKRAMAN DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH -------------------------- 41
2.1. Teori -------------------------------------------------------------------------------- 41
2.1.1. Teori Negara Hukum ----------------------------------------------------- 41
2.1.2. Teori Pluralisme Hukum ------------------------------------------------- 47
2.1.3. Teori Pembentukan Legislasi ------------------------------------------- 50
2.1.4. Teori Partisipasi ----------------------------------------------------------- 52
2.2. Konsep ----------------------------------------------------------------------------- 56
2.2.1. Konsep Partisipasi Masyarakat ----------------------------------------- 57
2.2.2. Konsep Masyarakat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat - 64
2.2.3. Konsep Peraturan Daerah ------------------------------------------------ 67
2.2. Kerangka Berfikir ---------------------------------------------------------------- 71
BAB III LANDASAN PERLUNYA PENGATURAN PARTISIPASI
DESA PAKRAMAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH -------------------------------------------------------------------- 73
3.1. Perlunya Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan
Peraturan Daerah Perspektif Filosofis ----------------------------------------- 73
3.1.1. Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sebagai Arah
Partisipasi Desa Pakraman ---------------------------------------------- 75
3.1.2. Keterkaitan Nilai-Nilai Dasar dengan Keabsahan Berlakunya
Hukum ---------------------------------------------------------------------- 86
3.1.3. Hakikat dan Urgensi Partisipasi Desa Pakraman dalam
Pembentukan Peraturan Daerah ----------------------------------------- 108
3.2. Perlunya Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan
Peraturan Daerah Perspektif Teoritik ------------------------------------------ 124
3.2.1. Relevansi Negara Hukum sebagai Arah yang Melandasi Perlunya
Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan
Peraturan Daerah --------------------------------------------------------- 128
3.2.2. Relevansi Pluralisme Hukum sebagai Arah yang Melandasi
Perlunya Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam
Pembentukan Peraturan Daerah -------------------------------------- 135
3.2.3. Urgensi Teori Pembentukan Legislasi sebagai Arah Pengaturan
Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan Peraturan
Daerah ----------------------------------------------------------------------- 142
3.2.4. Relevansi Sosiolegal sebagai Arah yang Melandasi Perlunya
Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan
Peraturan Daerah ---------------------------------------------------------- 146
3.2.5. Relevansi Hermeneutika Hukum sebagai Arah yang Melandasi
Perlunya Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam
Pembentukan Peraturan Daerah ---------------------------------------- 161
3.3. Perlunya Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan
Peraturan Daerah Perspektif Dogmatika Hukum ---------------------------- 178
3.3.1. Dogmatika Hukum sebagai Ilmu Hukum ----------------------------- 178
3.3.2. Partisipasi Desa Pakraman dalam Peraturan Hukum --------------- 181
BAB IV PENAFSIRAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT
TERHADAP PARTISIPASI DESA PAKRAMAN DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH -------------------------- 206
4.1. Hermeneutika Hukum sebagai Metode Penafsiran -------------------------- 206
4.1.1. Prinsip-Prinsip Hermeneutika Hukum --------------------------------- 206
4.1.2. Makna Hermenutika Hukum dalam Pembentukan Peraturan
Daerah Partisipatif -------------------------------------------------------- 213
4.1.3. Pengembangan Hermeneutika Hukum sebagai Arah Menemukan
Model dalam Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif ---------- 226
4.2. Partisipasi Desa Pakraman dalam Proses Pembentukan Peraturan
Daerah ------------------------------------------------------------------------------ 232
4.3. Penafsiran Pemerintah Daerah Terhadap Partisipasi Desa Pakraman
dalam Pembentukan Peraturan Daerah ---------------------------------------- 294
4.4. Penafsiran Masyarakat Terhadap Partisipasi Desa Pakraman
dalam Pembentukan Peraturan Daerah ---------------------------------------- 307
BAB V MODEL IDEAL PARTISIPASI DESA PAKRAMAN
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH -------------- 331
5.1. Derajat Partisipasi Masyarakat --------------------------------------- 331
5.2. Mekanisme Partisipasi Masyarakat --------------------------------- 347
5.3. Derajat Partisipasi Desa Pakraman sebagai Arah untuk
Menyusun Model Partisipasi Desa Pakraman yang Ideal ------- 357
5.4. Model Ideal Partisipasi Desa Pakraman dalam
Pembentukan Peraturan Daerah ------------------------------------- 362
BAB VI PENUTUP ------------------------------------------------------------------- 389
6.1. Simpulan --------------------------------------------------------------------------- 389
6.2. Saran -------------------------------------------------------------------------------- 391
Daftar Pustaka -------------------------------------------------------------------------- 393
Lampiran -------------------------------------------------------------------------------- 423
Daftar Matrik
Matrik 1 Partsipasi Masyarakat dalam United Nations Declaration On
The Rights Of Indigenous Peoples…………………………………...
7
Matrik 2 Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam UUD NRI Tahun
1945………………………………………………………………
8
Matrik 3 Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Undang-Undang
……………..................................................................................
9
Matrik 4 Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan
Pemerintah………………………………………………………..
11
Matrik 5 Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan
Presiden…………………………………………………………..
11
Matrik 6
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri……………………………………………
11
Matrik 7
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam RUU Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Adat …………………………….
12
Matrik 8
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan
Pemerintah, Peraturan DPR RI, DPRD Provinsi Bali dan DPRD
Kabupaten/Kota………………..................................................
13
Matrik 9 Data Konsultasi Publik Tahun 2012-2015………………………. 16
Matrik 10 Orisinalitas Penelitian…………………………………………… 26
Matrik 11 Tingkatan Partisipasi Publk dalam Teori Sherry
Arnstein…………………………………………………………..
53
Matrik 12
Keterkaitan Nilai-Nilai Dasar dengan Landasan Keabsahan
Perlunya Pengaturan Partisipasi Desa Pakraman dalam
Pembentukan Peraturan Daerah………………………….………
100
Matrik 13 Paradigma dalam Ilmu Sosial dalam Konteks Kajian
Hukum……..................................................................................
154
Matrik 14 Karakteristik Penelitian Interdisipliner…………………………. 157
Matrik 15 Perkembangan Pemikiran Hermeneutika………………………... 167
Matrik 16 Esensi Hermeneutika ……………………………………………. 173
Matrik 17 Partisipasi Desa Pakraman dalam Peraturan Daerah Provinsi
Bali…………...............................................................................
202
Matrik 18 Partisipasi desa pakraman dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota………...............................................................
204
Matrik 19
Keterkaitan Tahap Perumusan Kebijakan dengan Tahap
Pembentukan Peraturan Daerah ………………………………....
217
Matrik 20
Pokok-Pokok Materi Muatan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem
Provinsi…....................................................................................
236
Matrik 21
Partisipasi Desa Pakraman dalam Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Arahan Pengaturan Zonasi
Sistem Provinsi...........................................................................
240
Matrik 22
Pandangan Umum DPRD Terkait Rancangan Perda Arahan
Pengaturan Zonasi………………………………………………..
241
Matrik 23 Materi Muatan dalam Peraturan Daerah LPD…............................ 249
Matrik 24
Materi Muatan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 Tentang Desa Pakraman sebagaimana diubah dengan
Perda Nomor 3 Tahun 2003…………………......……………….
260
Matrik 25 Materi Muatan Peraturan Daerah Subak………….........………... 265
Matrik 26 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang
PPLH………………................................................................
269
Matrik 27 Materi Muatan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik……………………………....
273
Matrik 28 Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
PPLH………................................................................................
278
Matrik 29
Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Penyelenggaraan Kearsipan……………………………………...
283
Matrik 30 Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Penyelenggaraan Kearsipan……………………………………...
287
Matrik 31 Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan Peraturan
Daerah Provinsi Kabupaten/Kota……….………………………..
295
Daftar Gambar
Gambar 1 Proses dan Metode Ilmiah........................................................ 32
Gambar 2 Alternative Rule Of Law Formulations ……………..………. 41
Gambar 3 Derajat Partisipasi…………………………………………… 53
Gambar 4 Kerangka Berfikir…………………………………………… 72
Gamabr 5 Keterkaitan Nilai-nilai dasar dan keabsahan berlaku……….. 93
Gambar 6 Model hermeneutika hukum sebagai arah pembentukan
Perda partisipatif……………………………………………..
232
Gambar 7 Tangga Partisipasi Arnstein…………………………............ 335
Gambar 8 Model Ideal Partisipasi Desa Pakraman dalam Pembentukan
Perda…………………………………………………………
384
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di dalam sistem negara hukum, demokrasi memiliki peran penting yaitu
sebagai kontrol atas negara hukum. Demokrasi dapat dipahami sebagai suatu
sistem pemerintahan dalam suatu negara yang mana semua warga negara
mempunyai hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan baik dalam menjalankan
kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara1. Oleh
karena itu partisipasi merupakan unsur yang penting dalam mewujudkan
demokrasi. Demokrasi pada awalnya ada 2 (dua) model demokrasi yaitu
demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi secara langsung dapat
dipahami bahwa rakyat secara langsung dapat berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan. Demokrasi perwakilan dapat dipahami bahwa keikutsertaan rakyat
tidak menjadi prioritas, karena keinginan-keinginan rakyat hanya ditentukan oleh
wakil-wakil mereka yang dipilih dalam pemilu.2 Selanjutnya berkembang menjadi
beberapa model demokrasi, salah satunya demokrasi partisipatif. Dalam konteks
disertasi ini demokrasi yang dipahami adalah demokrasi partisipatif sebagai
bentuk keikutsertaan rakyat menentukan secara langsung setiap putusan yang
menyangkut kepentingan publik tanpa melalui perwakilannya.
1 Munir Fuady, 2010, Konsep...,op.cit, h.2.
2 Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indoesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 197. Lihat juga Munir Fuady, 2010, Konsep Negara…, op.cit., h.34.
2
Makna demokrasi juga tercermin dalam alenia IV Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang menekankan pada ”...kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan...”.
Pokok pikiran ini, dapat dipahami bahwa demokrasi mengandung ciri: (1)
kerakyatan (daulat rakyat) dan (2) permusyawaratan (kekeluargaan)3. Demokrasi
kerakyatan dimaknai sebagai peran rakyat (masyarakat) dalam proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Demokrasi
permusyaratan dimaknai sebagai adanya semangat kekeluargaan dari berbagai
pluralitas di dalam Negara Indonesia dengan mengakui kesederajatan atau
mengakui persamaan dalam suatu perbedaan. Pemahaman makna demokrasi di
atas, bahwa dalam suatu pengambilan keputusan oleh pemerintah harus memenuhi
empat (4) syarat yaitu :
(1) didasarkan pada asas rasional dan keadilan;
(2) didedikasikan untuk kepentingan orang banyak;
(3) berorientasi jauh ke depan;
(4) bersifat imparsial yaitu melibatkan semua pihak termasuk kelompok
minoritas.
Sepaham dengan di atas, Jurgen Habermas menegaskan bahwa demokrasi
menekankan pada unsur partisipasi dan kesetaraan setiap anggota masyarakat
serta melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan publik4.
3 Anonim, 2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sekretariat Jenderal
MPR RI, Jakarta, h.68.
4 Munir Fuady, 2010, Konsep Negara …, op.cit.,h.84.
3
Pengambilan keputusan yang bercirikan demokrasi merupakan pengambilan
keputusan yang melibatkan partisipasi masyarakat (public participation) yang
dalam konteks ini adalah partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan
Daerah (selanjutnya disebut Perda).
Pembentukan Perda yang partisipatif merupakan cermin dari prinsip
demokrasi, Hal ini ditegaskan kembali oleh Jazim Hamidi5 yang menyatakan
bahwa partisipasi masyarakat merupakan wujud demokrasi. Demokrasi
merupakan pola bernegara yang diidealkan.6 Hal ini mempunyai makna bahwa
hukum yang berlaku pada suatu negara seharunya dirumuskan secara demokratis
yaitu suatu hukum yang merupakan kehendak rakyat, dalam konteks ini adalah
pembentukan Perda yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perda yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat merupakan cerminan
hubungan timbal balik (fungsional) antara hukum dengan masyarakat. Menurut
Mahfud MD bahwa kehendak masyarakat dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menjadi sumber hukum yang mengikat7. Dengan demikian
Perda yang baik adalah Perda yang memberi perhatian yang sama antara hukum
dan kebutuhan masyarakat, oleh karena itu Perda harus dibentuk selaras dengan
nilai yang hidup dalam masyarakat. Wujud konkrit hubungan timbal balik antara
hukum dan masyarakat adalah terlaksananya partisipasi masyarakat dalam
5 Jazim Hamidi, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif,
Prestasi Pustaka Publiher, Jakarta, h. 50.
6 Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Konstitusi Press Khasanah
Peradaban Hukum & Konstitusi, Jakarta, h.75.
7 Moh Mahfud MD., 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali
Press Jakarta, h. 271.
4
pembentukan Perda yaitu memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
masyarakat dalam proses pembuatan Perda.8
Di dalam memahami partisipasi masyarakat, lebih awal perlu dipahami
difinisi konsep masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut David C. Korten juga
mengemukakan konsep masyarakat yaitu The term community popularly implies
a group of people with common interests.9 Soerjono Soekanto menyebut bahwa
masyarakat merupakan terjemahan society, yang berarti jaringan hubungan-
hubungan antar entitas-entitas (sebuah komunitas yang interdependen/saling
tergantung satu sama lainnya).10
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa
masyarakat merupakan kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan
pergaulan bersama sebagai suatu community atau society.11
Selanjutnya difinisi konsep masyarakat terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam Penataan Ruang (selanjutnya disebut PP 68/2010), di dalam
Pasal 1 angka 8 menyebutkan bahwa masyarakat adalah orang perorangan ,
kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, koorporasi dan/atau pemangku
8 Moh Mahfud, 2011, Politik Hukum di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.31.
Baca juga HM. Wahyudin Husein dan H. Hutron, 2008, Hukum Politik & Kepentingan, LaksBang
Pressindo Yogyakarta, h. 34.
9 David C. Korten, 1998, “Introduction Community-Based Resource Management”
Community-Based Natural Resource Management, Reading and Resources for Researchers
Volume 2, Compiled By Sam Landon, for The Community-Based Natural Resource Management
Program Initiative, IDRC, Ottawa, Ontario, Canada, page.2.
10
Nur Rohim Yunus, 2013, “Menciptakan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia Dalam
Dimensi Hukum Progresif” dalam Dekontruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Thafa
Media Yogyakarta, h. 177.
11
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Yasif Watampone,
Jakarta (anggota IKAPI), h. 69.
5
kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. Dengan demikian
masyarakat dapat dipahami sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dalam
suatu komunitas yang teratur. Dengan memahami konsep masyarakat di atas,
bahwa yang dimaksud masyarakat dalam penelitian ini adalah masyarakat hukum
adat atau desa pakraman.12
Desa pakraman sebagai bagian dari masyarakat negara secara
kostitusional diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya di sebut UUD NRI 1945) yang menegaskan negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
ha-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatua Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang. Bunyi Pasal 18 B ayat (2) mengandung makna sebagai berikut:
pertama, tanggungjawab negara yaitu mengakui dan menghormati. Kedua,
ditentukannya persyaratan pengakuan yaitu masih hidup sesuai dengan
perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip NKRI, yang diatur dalam
undang-undang. Ketiga, makna figur hukumnya yaitu berbagai undang-undang
berkenaan dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Keempat, makna
12
Kesatuan masyarakat adalah menunjuk pada pengertian yang organik, yang tersusun dalam
kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai
tujuan bersama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dapat
diartikan sebagai kesatuan organisasi masyarakat yang memiliki kepemerintahan adat, sedangkan
masyarakat adat adalah isi atau warga dari kesatuan masyarakat hukum adat. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Hukum Acara.., Ibid dan lihat Irfan Nur Rahman et.al., 2011, “Dasar Pertimbangan
Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses
Pengajuan Undang-Undang di Makamah Konstitusi”, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat
Jendral dan Kepanitraan Makamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal.9. Selanjutnya
Hasil penelitian ini juga dimuat dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 5 Tahun 2011.
6
pengakuan yaitu diakui dalam undang-undang.13
Pemaknaan pengakuan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut KMHA) merupakan pemberian
status hukum kepada KMHA beserta hak tradisionalnya termasuk hukum adatnya.
Hal ini juga ditegaskan oleh Mahfud MD14
bahwa pengakuan terhadap KMHA
dapat bertindak sebagai subjek hukum.
Di dalam konteks ini dapat dipahami bahwa desa pakraman sebagai
penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum berdasarkan UUD NRI
Tahun 1945. Status desa pakraman adalah sebagai subjek hukum. Status ini
menempatkan desa pakraman sejajar dengan subjek hukum lainnya (baik orang
maupun badan hukum lainya), sehingga desa pakraman berhak berpartisipasi
dalam pembentukan Perda.
Selanjutnya makna pengakuan dan penghormatan KMHA dalam Pasal 28
I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengandung makna, negara berkewajiban untuk
mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak KMHA sebagai hak
asasi. Hak asasi merupakan tujuan hukum yang terefleksi dalam Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945. Hal ini dimaksud HAM sesuai dengan cita hukum (rechtsidee)
13
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2014, “Konstitusionalitas Desa Adat : Memahami Norma
Hukum Desa Adat Dalam Undang-UNdang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
Makalah disampaikan pada seminar nasional “Kedudukan Desa Adat Dalam Sistem Ketata
Negaraan RI “ dalam Rangka Menyambut Jubilium Emas Fakultas Hukum Universitas Udayana,
di Denpasar 28 Juni 2014, h. 19.
14
Moh. Mahfud MD., 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka UUD
1945 Menyongsong Globalisasi”, makalah disampaikan pada acara Seminar Awig-Awig II
“Pemberdayaan Awig-Awig Desa Pakraman di Bali Dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang
Sejahtera”, Bali, 30 September 2010, h. 4.
7
yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI 1945.15
Dengan demikian
partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda merupakan hak asasi, yang
harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Pemahaman Pasal
18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memberikan arah
pada partisipasi desa pakraman dalam konteks pembentukan Perda.
Pemahaman partisipasi masyarakat dalam konteks legal formal telah
mendapat pengaturan baik dalam instrumen hukum Internasional maupun diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan partisipasi masyarakat tersebut
secara rinci dituangkan dalam matrik-matrik sebagai berikut:
Matrik 1
Partsipasi Masyarakat dalam United Nations Declaration On The Rights Of
Indigenous Peoples.16
Declaration on The Rights of Indigenous Peoples Catatan
Pasal 18
Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian
dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang
berpengaruh terhadap hak-hak mereka,…
Kata ”mengambil bagian dalam
pengambilan keputusan” merupakan
dasar masyarakat adat untuk
berpartisipasi.
Pasal 19
Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan
niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat
adat…sebelum mengadopsi dan menerapkan tindakan-
tindakan legislatif atau administratif yang dapat
berdampak terhadap mereka.
Kata ”berkonsultasi dan bekerjasama”
merupakan dasar partisipasi
masyarakat.
Matrik 1 di atas, menunjukan bahwa dalam instrumen Internasional
mengenai Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat telah diatur partisipasi masyarakat
15
I Ketut Sudantra, 2013, Pengakuan Peradilan Adat Dalam Politik Hukum Kekuasaan
Kehakiman, Disertasi pada Progam Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang, h.3.
16
S. Karoba, 2007, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Asasi
Masyarakat Adat, The Ndugu Research & Publishing Foundation Yogyakarta-Indonesia
bekerjasama dengan Penerbit Galangpress Yogyakarta, h.24-25. Lihat juga dalam anonim, 2005,
Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Makamah Konstitusi RI dan Departemen Dalam Negeri RI, h. 117.
8
dalam pengambilan keputusan dan penerapan tindakan legislatif atau
administratif. Dengan demikian instrumen Internasional mengenai Deklarasi
Hak-hak Masyarakat Adat memberi arah pada partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda.
Matrik 2
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam UUD NRI Tahun 1945.
UUD NRI 1945
Catatan
Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa setiap
warga negara mempunyai kedudukan yang
sama dalam hukum dan pemerintahan.
Kata ”bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan” merupakan
pengakuan persamaan kedudukan masyarakat
di dalam hukum dan pemerintahan. Dengan
demikian ada dasar masyarakat untuk
berpartisipasi.
Pasal 28 C ayat (2) mengatur bahwa setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan hak-haknya secara kolektif.
Kata ”memperjuangkan haknya secara kolektif”
merupakan dasar pengakuan masyarakat untuk
ikut membangun masyarakat, bangsa dan
Negara.
Hal ini menunjukan bahwa adanya dasar yang
mengatur partisipasi masyarakat untuk
membangun masyarakat, bangsa dan Negara.
Pasal 28 D ayat (3) :setiap warga Negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
Kata “kesempatan yang sama” merupakan dasar
pengakuan hak masyarakat menggunakan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan.
Pasal 28 E ayat (2)
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya
Kata ” menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya” merupakan
salah satu refleksi keterbukaan dalam
penyampaian pikiran dan sikap. Penymapaian
dimaksud merupakan hak masyarakat untuk
berpartisipasi. Dengan demikian ada dasar
pengauran partisipasi masyarakat.
Pasal 28 E ayat (3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Kata ” mengeluarkan pendapat” merupakan
salah satu hak dari masyarakat untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan. Dengan
demikian “mengeluarkan pendapat” merupakan
dasar dalam pengaturan partisipasi masyarakat.
Pasal 28 H ayat (2)
Setiap orang berhak memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama untuk tercapainya
persamaan dan keadilan.
Kata ” persamaan dan keadilan”
Kata persamaan menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan makna antara masyarakat dan
KMHA. Dengan tidak ada perbedaan makna
maka mengarah pada KMHA itu sendiri.
9
Berdasarkan pada matrik di atas, dapat dipahami bahwa ada dasar
pengaturan partisipasi masyarakat (desa pakraman) dalam Konstitusi. Hal ini
dimaksud bahwa Konstitusi sebagai landasan hukum pelaksanaan partisipasi desa
pakraman yang merupakan hak dasar warga negara. Selanjutnya pengaturan
partisipasi masyarakat juga diatur dalam tataran undang-undang, untuk itu dapat
dilihat dalam matrik berikut:
Matrik 3
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam UU
UU Norma Pasal Catatan
UU 26 /2007
Tentang
Penataan
Ruang
Pasal 65 ayat (1) :
Dalam penyelenggaraan tata ruang melibatkan peran
masyarakat.
Penjelasan Pasal 7 Ayat (3):
Hak yang dimiliki orang termasuk juga hak yang dimiliki
masyarakat adat.
Diatur partisipasi
masyarakat.
Diatur dengan
masyarakat adat.
UU 4/2009
tentang
Pertambangan,
Mineral dan
Batubara
Pasal 7 ayat (1) angka I :
pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat
dalam usaha pertambangan.
Diatur partisipasi
masyarakat
dalam usaha
pertambangan.
UU 32/2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
Pasal 70 ayat (1) :
Masyarakat memiliki hak dan kesempatan untuk
berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Diatur
partisipasi
masyarakat
UU 12/2011 Dalam Pasal 96 pada intinya ditur:
Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis;.
Masukan masyarakat dapat dilakukan melalui rapat
dengar pendapat umum, kunjungan kerja,
sosialisasi, seminar, lokakarya dan diskusi.
Masyarakat dapat mengakses dengan mudah setiap
Rancangan Perundang-undangan..
Diatur partisipasi
masyarakat dalam
pembentukan
Peraturan
Perundang-
undangan.
Penjelasan Pasal 96 ayat (3) :
masyarakat hukum adat merupakan bagian dari
masyarakat.
Masyarakat dalam
Pasal 96 adalah
termasuk masyarakat
adat dalam konteks
ini desa pakaman.
10
UU 1/2014
tentang
Perubahan atas
undang-
undang nomor
27 tahun 2007
Tentang
Pengelolaan
Wilayah
Pesisir Dan
Pulau-Pulau
Kecil
Pasal 14
Di dalam mekanisme penyusunan RSWP-3-K, RZWP-
3-K, RPWP-3-K dan RAPWP-3-K dilakukan dengan
melibatkan masyarakat.
Diatur partisipasi
masyarakat.
.
UU 6/2014
Tentang UU
Desa
Pasal 68
Masyarakat desa berhak: dalam menyampaikan aspirasi,
saran dan pendapat lisan atau tertulis tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pasal 69
Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan
kepada masyarakat Desa.
Masyarakat Desa berhak memberikan masukkan
terhadap Rancangan Peraturan Desa.
Diatur partisipasi
masyarakat desa
dalam
penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa.
.
Dalam Pasal ini
diatur tentang
partisipasi
masyarakat
dalam
pembentukan
Rancangan
Peraturan Desa.
UU 23/2014 Pasal 354 ayat (1) Dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah mendorong
partisipasi masyarakat.
Ayat (3) Partisipasi masyarakat mencakup penyusunan
Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan
membebani masyarakat;
Diatur partsipasi
masyarakat dalam
penyusunan Perda
dan Kebijakan
Daerah
Berdasarkan pada matrik di atas, ada dasar pengaturan partisipasi
masyarakat yang mengarah pada partisipasi desa pakraman17
. Di samping itu,
17
Dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, Pasal 3 dinyatakan
bahwa… masyarakat adat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Selanjutnya lihat Pasal
23 ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan partisipasi penuh dan efektif
masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan program pembangunan yang akan
dilaksanakan di wilayah-wilayah adat dan berdampak terhadap mereka. Selanjutnya dalam
Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan Ham, Pasal 3 menegaskan bahwa Masyarakat dapat
memberikan tanggapan dan/atau masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 4 menegaskan bahwa Konsultasi Publik
dilaksanakan pada setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
11
perlu ditelusuri kembali partisipasi masyarakat dalam tata hukum yang lebih
rendah yaitu dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan
Menteri. Untuk itu dapat dilihat dalam matrik :
Matrik 4
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan Pemerintah.
Aturan Pasal Catatan
PP
68/2010
Tentang
Bentuk Dan Tata
Cara Peran
Masyarakat Dalam
Penataan Ruang
Pasal 5
Peran masyarakat dalam penataan ruang
dilakukan pada tahap:
a. perencanaan tata ruang;
b. pemanfaatan ruang; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang.
Diatur partisipasi
masyarakat.
Matrik 5
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan Presiden
Aturan Pasal Catatan
Perpres 87/2014
Tentang
Peraturan
Pelaksanaan
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun
2011
Tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
Pasal 188
Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan PeraturanPerundang-
undangan.
Dilaksanakan melalui konsultasi publik.
Dalam pasal ini
diatur tentang
partisipasi
masyarakat
Matrik 6
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Aturan Pasal Catatan
Permendagri
56/2014
Tentang
Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam
Perencanaan Tata
Ruang Daerah
Pasal 3
Melibatkan peran masyarakat dalam
perencanaan tata ruang daerah.
Diatur
pertisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan tata
ruang.
.
12
Di dalam tataran Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan
Menteri jelas ada dasar pengaturan partisipasi masyarakat yang termasuk juga
partisipasi desa pakraman. Dalam tataran Perda, pengaturan partisipasi
masyarakat dapat dilihat dalam beberapa Perda. Sebagai contoh, diambil 3 (tiga)
sampel produk hukum daerah sebagaimana dapat dilihat dalam matrik sebagai
berikut :
Matrik 7
Dasar pengaturan partsipasi masyarakat dalam Perda
Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2013
Tentang
Perlindungan Buah
Lokal
Pasal 69 ayat (4)
Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat
sebagai perorangan maupun sebagai kelompok
Ada dasar
masyarakat
berpartisipasi
Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001.
Pasal 5 huruf d
Desa Pakraman bersama-sama pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Pasal 6 huruf b
Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan
pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang
beraitan dengan Tri Hita Karana.
Ada dasar
desa
pakraman
berpartisipasi
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
Nomor 15 Tahun
2013 Tentang
Perlindungan
Perempuan Dan
Anak Korban
Kekerasan.
Pasal 16 ayat (2)
Peran serta masyarakat dilakukan oleh perorangan, lembaga
sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, swasta, dan
media massa.
Ada dasar
masyarakat
berpartisipasi
Diolah dari Perda Provinsi dan Perda Kabupaten Badung
Untuk lebih memahami partisipasi masyarakat perlu ditelusuri di tingkat
peraturan DPR RI, Peraturan DPRD Provinsi Bali dan Peraturan DPRD
Kabupaten/Kota. Untuk lebih jelasnya diuraikan dalam matrik :
13
Matrik 8
Dasar pengaturan partisipasi masyarakat dalam PP, Peraturan DPR RI, DPRD
Prov. Bali dan DPRD Kab/Kota
Pasal 116 PP 16/2010
Tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tentang Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD menerima, menampung, menyerap,
dan menindaklanjuti pengaduan dan/atau
aspirasi masyarakat yang disampaikan
secara langsung atau tertulis melalui rapat
dengar pendapat umum; rapat dengar
pendapat; kunjungan kerja; atau rapat kerja
alat kelengkapan DPRD dengan mitra
kerjanya.
Diatur tentang
partisipasi
masyarakat.
Muatan Materi
dalam PP
16/2010
digunakan
sebagai dasar
dalam
pembentukan
Peraturan DPRD.
Pasal 215
Peraturan
DPR RI No. 1/2014
Tentang
Tata Tertib
Masyarakat dapat memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR
dalam proses penyiapan dan pembahasan
Rancangan Undang-Undang.
Ada dasar
masyarakat
berpartisipasi
Pasal 124 Peraturan
DPRD Prov. Bali No. 21/2014
Tentang
Tata Tertib DPRD Provinsi Bali
Dalam Pasal 124 di normakan terkait
dengan penyaluran aspirasi masyarakat.
Penyaluran aspirasi masyarakat dapat
dilakukan dengan rapat dengar pendapat
umum, kunjungan kerja dan rapat kerja
DPRD dengan mitra kerja.
Ada dasar
masyarakat
berpartisipasi
melalui
penyaluran
aspirasi.
Pasal 108 Peraturan DPRD
Kab. Klungkung No. 1/2014
Tentang Tata Tertib DPRD
Kabupaten Klungkung.
Pasal 109 Peraturan DPRD
Kab. Gianyar No.
1/2014Tentang Tata Tertib
DPRD Kabupaten Gianyar.
Pasal 124 Peraturan DPRD
Kab. Badung No. 2/2014
Tentang Tata Tertib DPRD
Kabupaten Badung.
Pasal 108 Peraturan DPRD
Kota Denpasar No. 1/2014
Tentang Peraturan Tata Tertib
DPRD Kota Denpasar.
… penyaluran aspirasi masyarakat melalui
rapat dengar pendapat umum, kunjungan
kerja dan rapat kerja DPRD dengan mitra
kerja.
Ada dasar
masyarakat
berpartisipasi
melalui
penyaluran
aspirasi.
Diolah dari Tata tertib DPR RI, DPRD Prov. Bali dan DPRD Kab/Kota.
Deskripsi matrik-matrik di atas menunjukkan bahwa ketentuan partisipasi
masyarakat (desa pakraman) telah mendapat pengaturan secara legal formal,
namun demikian dalam memahami pengaturan partisipasi masyarakat (desa
14
pakraman) dalam Peraturan Perundang-undangan, perlu dipahami secara totalitas
partisipasi masyarakat itu sendiri, baik itu konsep, makna dan tata cara (prosedur)
serta model partisipasi masyarakat. Dalam deskripsi matrik-matrik di atas tidak
jelas terkait tata cara dan model partisipasi masyarakat (desa pakraman).
Selanjutnya untuk memahami partisipasi masyarakat (desa pakraman)
dalam pembentukan Perda maka perlu ditelusuri problematik-problematik yang
melingkupinya. Problematik tersebut adalah problem yuridis, problem sosiologis,
peroblem filosofis, problem teoritik dan problem politik hukum.
Diskripsi problem yuridis terkait partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda ada dalam sumber hukum formal yaitu Pasal 354 UU 23/2014
dan dalam pasal 96 UU 12/2011. Lebih lanjut dapat digali bahwa dasar
pengaturan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda terdapat dalam
Pasal 354 UU 23/2014 dan dalam pasal 96 UU 12/2011, namun demikian
mengenai tata cara atau prosedur partisipasi masyarakat yang masih belum jelas
pengaturannya sampai sekarang. Walaupan dalam Pasal 354 ayat (5) UU 23/2014
mengenai partisipasi masyarakat jelas akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
(selanjutnya di sebut PP), namun setelah ditelusuri lebih lanjut PP tentang
partisipasi masyarakat sebagai pendelegasian dari pada Pasal 354 ayat (5) UU
23/2014 belum ada. Dengan demikian pengaturan partisipasi masyarakat dalam
konteks tata cara (prosedur) partisipasi masyarakat menjadi tidak jelas, sehingga
berimplikasi pada ketidakjelasan terkait tatacara (prosedur) desa pakraman untuk
berpartisipasi dalam pembentukan Perda.
15
Berbeda ketika menelaah Pasal 96 UU 12/2011, bahwa dalam Pasal 96 UU
12/2011 jelas diatur partisipasi masyarakat (desa pakraman) dalam pembentukan
Perda. Dalam penjelasannya diatur secara jelas bahwa salah satu masyarakat yang
terlibat dalam pembentukan Perda adalah desa pakraman. Hal ini menunjukan
bahwa secara materi formal, desa pakraman mempunyai dasar yuridis untuk
berpartisipasi dalam pembentukan Perda. Namun demikian dalam Pasal 96 UU
12/2011 tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan tatacara (prosedur)
partisipasi masyarakat. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas terkait
tatacara partisipasi mengakibatkan muncul berbagai problem yang melingkupi
partisipasi masyarakat diantaranya ketidakjelasan posisi aspirasi masyarakat yaitu
tidak jelas terkait keterbukaan dalam pembentukan Perda apakah aspirasi
masyarakat (desa pakraman) tersebut diterima (dimasukan dalam norma Perda),
dijadikan bahan pertimbangan atau ditolak (tidak dimasukan dalam norma Perda).
Di dalam Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
tidak mengatur secara jelas mengenai tata cara partisipasi masyarakat. Dalam
Pasal 181 dan Pasal 182 hanya mengatur mengenai penyebarluasan Rancangan
Perda. Dalam Pasal 182 ditegaskan bahwa penyebarluasan Rancangan Perda
dilakukan melalui media elektronik, media cetak dan forum tatap muka (dialog
langsung). Namun demikian ketidakjelasan juga melingkupi norma Pasal 181 dan
Pasal 182 yaitu tata cara partisipasi masyarakat yang tidak jelas. Ketidakjelasan
tersebut tampak pada posisi masukan yang diberikan masyarakat, apakah masukan
tersebut diterima, dipertimbangkan atau bahkan ditolak. Ketidakjelasan tersebut
16
mengakibatkan posisi aspirasi masyarakat tidak lebih hanya aspirasi yang semu
(tidak ada jaminan dari pembentuk Perda untuk mempertimbangkan aspirasi
masyarakat secara serius dalam proses-proses pembahasan berikutnya).
Ketidakjelasan norma tata cara partisipasi masyarakat berdampak pada timbulnya
problem sosiologis yaitu pengabaian hak desa pakraman untuk berpartisipasi
dalam pembentukan Perda.18
Pengabaian hak desa pakraman dalam pembentukan
Perda dapat dilihat dalam matrik berikut :
Matrik 9
Data Konsultasi Publik Tahun 2012-2017
Tahun Pembahasan (Diskusi Publik) Catatan
2012 Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten
Badung tentang Perlindungan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan.
Dalam diskusi publik tersebut
desa pakraman tidak terlibat
2013 Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali
tentang Perlindungan Anak
Desa pakraman tidak terlibat
dalam diskusi publik.
2014 Konsultasi Publik tentang Ranperda
Penyelenggaraan Kearsipan Kota Denpasar.
Desa pakraman tidak terlibat
dalam diskusi publik
2014 Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali
Perlestarian Kain Tenun Tradisional
Desa pakraman tidak terlibat
dalam diskusi publik
2014 Konsultasi Publik tentang Ranperda Kota Denpasar
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan
MMDP yang terlibat.
2015 Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten
Badung tentang Pelayanan Publik.
Desa pakraman tidak terlibat.
2015 Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
MMDP yang terlibat.
2017 Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten
Badung Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Desa pakraman tidak terlibat
Sumber diolah dari hasil-hasil konsultasi publik 2012, 2013,2014. 2015, 2017.
18
Sepaham dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan optik sosiologis melihat
bahwa dalam proses pembentukan hukum, keanggotaan pembentuk hukum diisi oleh golongan
menengah ke atas yang menyebabkan produk hukum yang dihasilkan berat sebelah. Lihat Satjipto
Rahardjo,2009, “Rangkuman Hukum dan Sang Legislator”, dalam Karolus Kopong Medan dan
Frans J. Rengka (editor), Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas Jakarta,
h.130.
17
Diskripsi di atas menunjukkan, penyerapan aspirasi masyarakat di
Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan di Provinsi Bali, desa pakraman tidak
terlibat dalam konsultasi publik, namun dalam beberapa konsultasi publik yang
terlibat adalah Majelis Madya Desa pakraman (MMDP).19
Tidak dilibatkan desa
pakraman dalam pembentukan Perda terutama Perda-Perda yang berdampak
langsung pada kehidupan desa pakraman, maka dapat mengakibatkan adanya
penolakan penerapan Perda ataupun gejolak dalam kehidupan masyarakat desa
pakraman. Sebagaimana dalam penerapan Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bali (selanjutnya di sebut RTRW),
dalam tataran aplikasi Perda RTRW banyak terjadi penolakan-penolakan dari
masyarakat karena tidak sesuai dengan adat-istiadat dan norma agama.
Di dalam mengkaji partisipasi masyarakat perlu juga di kemukakan problem
filosofisnya. Di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, pada alenia IV tersurat
bahwa ”pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, pernyataan ini dapat
dimaknai bahwa tujuan Pemerintah Indonesia adalah melindungi seluruh warga
negara Indonesia secara totalitas. Totalitas dapat dipahami sebagai bentuk
perlindungan dan pengayoman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa serta
19
Dalam Bab IX Pasal 14 Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 menegaskan bahwa
Majelis desa pakraman terdiri dari: a. Majelis utama untuk propinsi berkedudukan di ibukota
propinsi; b. Majelis madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota; c. majelis desa
untuk kecamatan berkedudukan di di kota kecamatan. Mengenai Pembentukan Majelis Desa
pakraman diatur berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa pakraman. Selanjutnya Majelis Desa pakraman Bali (MDP Bali) dikatakan sebagai
wadah desa pakraman di seluruh Bali, sebagai temapat berkomunikasi, bertukar pikiran
menemukan jawaban atas permasalahan dan tantangan yang sama dengan cara yang sama pada
waktu yang bersamaan, lihat Wayan P. Windia, 2011, “Peran Strategis MDP Bali dalam
Menjawab Tantangan Bali Masa Depan”, dalam Himpunan Hasil-Hasil Pesamuhan Agung III
MDP Bali, Penerbit Majelis Utama desa pakraman (MDP) Bali, h.14.
18
perlindungan dan pengayoman terhadap bagian-bagian yang membentuk totalitas
tersebut20
. Perlindungan dan pengayoman secara totalitas adalah termasuk
perlindungan dan pengayoman masyarakat (desa pakraman) dan bagian-bagian
yang membentuk desa pakraman. Hal ini dapat dipahami, selain perlindungan dan
pengayoman terhadap desa pakraman sebagai kesatuan, juga perlindungan dan
pengayoman terhadap warga (krama) desa pakraman. Dengan demikian filsafat
negara terefleksi pada alenea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dengan
demikian filsafat negara mengarah pada pencapaian keadilan substansial dan
keadilan formal. Problem filosofis muncul ketika mengkaji problem yuridis dan
problem sosiologis berujung pada ketidakadilan bagi desa pakraman untuk
berpatisipasi dalam pembentukan Perda.
Problem filosofis juga melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96
UU12/2011 yaitu bahwa ketidakjelasan pengaturan tatacara (prosedur) partisipasi
masyarakat dalam pembentukan Perda yang berimplikasi pada pengabaian hak
desa pakraman untuk berpartisipasi. Hal ini kental dipengaruhi oleh mazhab
positivisme hukum yaitu lebih mengutamakan hukum dalam bentuk formalnya.
Dalam pemahaman selanjutnya bahwa hukum hanya melihat hukum sebagai teks
formal dengan mengabaikan konteksnya21
. Pemahaman hukum hanya dilihat teks
formalnya (berujung pada keadilan formal semata), hal ini menjadi tidak sesuai
dengan semangat tujuan negara yaitu melindungi dan mengayomi secara totalitas.
20
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam Pengakuan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Disertasi pada Progam Doktor
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, h.7.
21
Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta
Publishing, Yogyakarta, h.89.
19
Selain itu, problem filosofis yang melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan
Pasal 96 UU 12/2011 yaitu adanya ketegangan antara mazhab positivisme hukum
dengan mazhab sosiological jurisprudence. Ketegangan tersebut dapat dikaji dari
pendekatan yang digunakan dalam pembentukan Perda. Pendekatan yang umum
digunakan dalam pembentukan Perda adalah hanya pendekatan legalistik yang
mengarah pada positivisme hukum yaitu mengidentikan hukum dengan undang-
undang. Cara pandang positivisme hukum yang formalistik memandang bahwa
kebenaran ada dalam undang-undang. Apabila dikaitkan dengan partisipasi desa
pakraman, maka dapat dipahami bahwa sepanjang partisipasi dalam konteks tata
cara partisipasi tidak diatur dalam undang-undang maka tata cara partisipasi itu
tidak ada dan tidak dapat diterapkan (lebih mengarah pada mematikan partisipasi
itu sendiri). Memahami Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 dengan
cara pandang positivisme hukum yang hanya mengatur partisipasi masyarakat,
maka berakibat mematikan tatacara partisipasi desa pakraman dalam konteks
pembentukan Perda. Berbeda dengan cara pandang mazhab sociological
jurisprudence yang memaknai bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).22
Cara pandang
sociological jurisprudence menunjukan adanya kompromi yang cermat antara
hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian
22
Widodo Dwi Putro, 2009, “Mengkritisi Positivieme Hukum : Langkah Awal Memasuki
Diskursus Metodologis dalam Penelitian Hukum” dalam Sulistyowati Irianto &Shidarta (editor),
Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 227. Lihat
juga Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 19.
Selanjutnya adanya hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat sebagai cerminan
sociological jurisprudence juga dapat dilihat dalam Widodo Dwi Putro, 2009, ”Hukum Dalam
Senjakala Ideologi”, dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (editor), Sosiologi Hukum
Dalam Perubahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 202.
20
hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Dalam konteks ini problem
filosofis muncul ketika desa pakraman sebagai wujud the living law tidak terlibat
dalam pembentukan Perda, yang dalam pandangan sociological jurisprudence
lebih mengutamakan kompromi hukum tertulis dengan kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dalam suatu masyarakat, dengan kata lain memberikan perhatian yang sama
antara hukum dan masyarakat. Apabila dikaitkan denggan partisipasi masyarakat
maka dapat dipahami bahwa cara pandang sociological jurisprudence
memungkinkan tumbuhnya partisipasi yang dalam konteks ini partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan Perda. Dengan demikian pengaruh cara pandang
terhadap hukum juga sangat menentukan keadilan terkait dengan partisipasi desa
pakraman.
Problem teoritis juga dapat digali melalui tahapan pembentukan Perda, di
mana dalam pembentukan Perda yang hanya mengedepankan kajian legalistik dan
mengabaikan kajian ilmu sosial termasuk penggunaan ilmu-ilmu interdisipliner
(kajian sosiolegal). Perlu dipahami bahwa kajian ilmu hukum dalam perspektif
legalistik yaitu ilmu hukum yang bebas nilai dan objektif, pemahaman yang
normologis (ilmu hukum semata-mata mempelajari norma-norma positif yang
bebas dari pengaruh multidisipliner dan interdisipliner). 23
Oleh karena itu secara
aksiologi, kepastian hukum merupakan tujuan akhir. Di sisi lain kajian ilmu
hukum perspektif sosiolegal merupakan kajian hukum dengan menggunakan
23
Widodo Dwi Putro, 2009, “Mengkritisi …”, Ibid., h. 23.
21
pendekatan ilmu-lmu sosial (melibatkan interdisipliner)24
. Sehingga secara
aksiologi, kemanfaatan hukum menjadi tujuan akhir. Problem teoritik terkait
dengan pelibatan kajian yang legalistik dan kajian sosiolegal dalam pembentukan
Perda perlu dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh penggunaan dari masing-
masing kajian tersebut terhadap partisipasi desa pakraman.
Selanjutnya dalam norma partisipasi masyarakat yang diatur dalam Pasal
354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011 dilingkupi ketegangan antara konsep
pluralisme hukum dengan sentralisme hukum. Pluralisme hukum sebagaimana di
tegaskan oleh Griffiths25
yang mengakui ko-eksistensi antar bidang-bidang sistem
hukum dalam lapangan sosial atau dalam kehidupan masyarakat yang sangat
menonjolkan adanya dikotomi antara hukum negara dengan berbagai macam
sistem hukum rakyat. Hal ini mendapat penegasan oleh Nurjaya26
bahwa
sentralisme hukum yang mengedepankan implementasi politik unifikasi dan
kodifikasi hukum negara (state rule-centered) yang cenderung mematisurikan
keberadaan hukum adat (adat law/customary law) dan juga hukum agama
(religious law). Pemahaman konsep pluralisme hukum dan sentralisme hukum
berimplikasi pada memungkinkan dan mematisurikan partisipasi desa pakraman
dalam pembentukan Perda.
24
Sulistyowati Irianto, 2009, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi
Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta h.174.
25
Sulistyowati Irianto, 2009, “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global” dalam
Sulistyowati Irianto (editor), Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, h 29.
26
I Nyoman Nurjaya, 2008, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam
Masyarakat Multikultural : Perspektif Antropologi Hukum” dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h.30.
22
Partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda juga dilingkupi
problem politik hukum. Untuk memahami problem politik hukum, terlebih dahulu
perlu dijelaskan tentang arah politik hukum Provinsi Bali yang dapat dilihat dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun
2005-2025 yang diatur dengan Perda Nomor 6 Tahun 2009. Di dalam arah
pembangunan Bali, partisipasi masyarakat merupakan point penting dalam usaha
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk
partisipasi masyarakat adalah dalam pengambilan keputusan. Hal ini dipahami,
dalam setiap pembangunan, masyarakat diberi akses untuk melibatkan diri
(berpartisipasi) dalam proses pengambilan keputusan atas pelaksanaan
pembagunan di daerah, selanjutnya dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Bali (RPJMD) menengaskan bahwa salah satu tujuan RPJMD
adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan peningkatan kesadaran
partisipasi masyarakat serta membuat perencanaan pembangunan yang aspiratif.
Hal ini menandakan bahwa salah satu point penting dalam mewujudkan
pembangunan daerah adalah partisipasi masyarakat. Pengaturan partisipasi
masyarakat dalam RPJPD dan RPJMD Provinsi Bali memberikan arah yang pasti
terhadap partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
Politik hukum partisipasi masyarakat juga dilihat di dalam konsideran
menimbang huruf b UU 23/2014 yang dengan tegas mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diarahkan untuk mempercepat
tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peranserta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
23
yang memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan
daerah. Dengan demikian dapat dipahami mendasarkan pada RPJPD dan RPJMD
serta UU23/2014 memberikan arah yang jelas terhadap politik hukum partisipasi
masyarakat.
Problem Politik hukum muncul ketika dalam pengaturan partisipasi
masyarakat tidak tuntas dalam UU 23/2014 dan UU 12/2011. Tidak tuntas
dimaksud adalah tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan tata cara dan
prosedur masyarakat untuk berpartisipasi. Ketidakjelasan norma tersebut menjadi
alasan dalam politik hukum kedepan untuk perlunya dikonstruksi sebuah norma
baru dengan model partisipasi yang ideal terkait dengan partisipasi masyarakat
(desa pakraman) dalam pembentukan Perda.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, isu sentral yang ingin dikaji
lebih lanjut adalah landasan perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan sebuah Perda, baik Perda yang berdampak langsung maupun tidak
berdampak langsung terhadap kehidupannya dan penafsiran Pemerintah Daerah
dan masyarakat mengenai partisipasi desa pakraman tersebut, serta model ideal
yang cocok untuk mengatur partisipasi desa pakraman sehingga terjamin keadilan
formal dan keadilan substansi dalam sebuah produk hukum. Berdasarkan pada isu
sentral tersebut penelitian ini menjadi relevan untuk di kaji dalam kaitannya
dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
24
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang masalah, maka dapat diajukan
rumusan masalah yaitu :
1. Apakah yang menjadi landasan perlunya pengaturan partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan Peraturan Daerah?
2. Bagimanakah Pemerintah Daerah dan masyarakat menafsirkan partisipasi
desa pakraman dalam proses pembentukan Peraturan Daerah?
3. Bagaimanakah model partisipasi desa pakraman yang ideal dalam
pembentukan Peraturan Daerah?
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu hukum,
terutama berkaitan dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan
Perda. Berdasarkan pada problem hukum yuridis, sosiologis, filosofis,
teoritik dan problem politik hukum yang telah diuraikan dalam latar
belakang, maka tujuan umum yang hendak dicapai adalah menemukan dan
membentuk model ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan
Perda.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan penelitian ini secara khusus yaitu :
1. Mengkaji dan menganalisis landasan perlunya pengaturan partisipasi
desa pakraman dalam pembentukan Perda.
25
2. Untuk mengkaji dan menganalisis penafsiran Pemerintah Daerah dan
masyarakat terkait partisipasi desa pakraman dalam proses
pembentukan Perda.
3. Untuk menemukan dan membentuk model partisipasi desa pakraman
yang ideal dalam pembentukan Perda.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis:
1. Manfaat teoritis adalah bahwa hasil penelitian ini bermanfaat terhadap
perkembangan ilmu hukum terkait dengan partisipasi desa pakraman
dalam pembentukan Perda berkenaan dengan 1) landasan perlunya
pengaturan desa pakraman dalam pembentukan Perda. 2) untuk
mengetahui penafsiran Pemerintah Daerah dan masyarakat terkait
partisipasi desa pakraman dalam proses pembentukan Perda. 3) model
partisipasi desa pakraman yang ideal dalam pembentukan Perda.
2. Manfaat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini bermanfaat bagi
kalangan praktisi terutama para perancang undang-undang dan para
perancang Perda khususnya dalam penormaan partisipasi desa
pakraman serta memberikan pemahaman kepada desa pakraman
bahwa desa pakraman berhak untuk berpartisipasi dalam pembentukan
Perda dan dijamin secara filosofis, sosiologis dan yuridis.
26
1.5.Orisinalitas Penelitian
Penelitian dengan tema partisipasi masyarakat sudah banyak dilakukan
sebelumnya. Untuk menunjukan orisinalitas dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
Matrik 10
Orisinalitas Penelitian
Nama Hasil Penelitian
M.R. Khairul
Muluk27
Buku yang berjudul “Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah
(Sebuah Kajian Administrasi Publik dengan Pendekatan Berpikir Sistem”
merupakan hasil penelitian disertasi yang telah dipertahankan pada Program
Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia.
Dalam Hasil disertasi tersebut ada 4 (empat) rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah gambaran aktual partisipasi masyarakat dalam pemerintahan
daerah dewasa ini?
2. Bagaiamanakah derajat efektivitas partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan daerah?
3. Bagaiamanakah model dengan basis berfikir sistem bagi partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan daerah?
4. Bagaimanakah alternatif percepatan partisipasi yang dapat dilakukan?
Pembahasan :
1. Secara umum partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah mengalami
peningkatan. Peningkatan partisipasi masyarakat mengacu pada pola kurve S
yang berarti peningkatan dalam tahap awal, namun secara perlahan
peningkatan ini mengalami perlambatan hingga suatu saat mengalami
stagnasi. Akan tetapi, partisipasi masyarakat telah berada dalam derajat yang
lebih tinggi dari pada periode pertumbuhan partisipasi sebelumnya.
Selanjutnya mekanisme partisipasi masyrakat dalam pemerintahan daerah
juga berkembang. Mekanisme partisipasi masyarakat dapat dibagi dua (2)
yaitu, pertama, mekanisme partisipasi yang berasal dari dan disediakan
berdasarkan ketentuan daerah yang ada seperti : musyawarah perencanaan
pembangunan, masa reses DPRD, rukun tetangga dan rukun warga, lembaga
pemberdayaan masyarakat kelurahan, kontak publik via situs internet Pemkot
Malang, kunjungan kerja DPRD, dan konsultasi publik. Kedua, mekanisme
yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tidak diatur sebagai mekanisme
resmi partisipasi masyarakat. Hal ini bermakna bahwa mekanisme alternatif
ini tidak berasal dari saluran resmi penyelenggara Pemerintahan Kota
Malang, seperti : suara publik melalui media massa baik cetak maupun
elektronik, berbagai unjuk rasa yang dilakukan masyarakat dalam berbagai
bentuk.
2. Efektifitas partisipasi masyarakat pada dasarnya ditentukan dari kepuasan
para pihak yang terlibat terhadap proses partisipasi yang sudah dijalani.
Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah telah mencapai derajat
27
M.R. Khairul Muluk, 2007, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan
Daerah (Sebuah Kajian Administrasi Publik dengan Pendekatan Berpikir Sistem, Bayumedia
Publishing, Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi FIA-UNIBRAW.
27
partisipasi warga (citizen participation), namun belum mencapai derajat ideal
yakni citizen control. Dalam derajat partisipasi warga , berarti masyarakat
Kota Malang telah dapat memasukkan berbagai aspirasi dan kepentingannya
sepanjang tidak mengubah pakem kebijakan yang telah disusun oleh
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Dengan menggunakan pedekatan berfikir sistem dipahami bahwa sistem
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah merupakan sistem yang
cukup kompleks karena tersusun dari berbagai sub sistem yag memiliki
kekhasan masing-masing berupa kejadian, pola, dan struktur sistemis. Aktor
yang terlibat dalam sistem ini adalah Pemerintah Daerah, DPRD,
masyarakat, elit lokal dan organisasi lokal, sedangkan aktor lain yang tidak
terlibat langsung namun memiliki pengaruh kuat terhadap sistem ini adalah
Pemerintah pusat. Penggunaan analisis sistem yang dinamis menunjukan
bahwa pengungkit dalam sistem partisipasi masyarakat dalam pemerintahan
daerah adalah peran elit lokal. Peran elit lokal merupakan variable paling
sesnsitif bagi kinerja sistem partisipasi masyarakat. Apabila peran elit lokal
terancam dalam mempengaruhi kebijakan daerah akibat kehadiran partisipasi
masyarakat maka kemampuannya untuk menahan laju partisipasi semakin
kuat. Begitu pula sebaliknya jika partisipasi masyarakat tidak mengancam
elit lokal maka dukungan terhadap partisipasi semakin menguat. Simulasi
model dengan melakukan intervensi terhadap peran elit lokal membuktikan
bahwa laju partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dengan mengurangi
hambatan yang berasal dari elit lokal.
4. Alternatif percepatan partisipasi yang dapat dilakukan adalah lebih
memperhatikan pengungkit sebagai unsur yang paling sensitif dalam sistem
sangat diperlukan sehingga dengan sedikit perubahan akan memperoleh hasil
yang terbesar. Selain itu diperlukan juga perhatian terhadap limiting factor
yaitu dukungan pemerintah pusat karena factor ini merupakan pembatas bagi
terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat sampai pada derajat maksimal,
citizen control.
Saifudin28
Buku ini pada mulanya adalah Disertasi Penulis dengan judul “Proses
Pembentukan Undang-Undang Studi tentang Partisipasi Masyarakat dalam
Proses Pembentukan Undang-Undang di Era Reformasi” yang telah
dipertahankan di Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI Jakarta
pada Juli 2009.
Pembahasan :
Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan.
Dipilihnya tema partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan perundang-
undangan ini mengingat produk perundang-undangan pada masa Orde Baru lebih
merupakan proses yang top down sehingga pada gilirannya banyak produk
perundang-undangan yang merugikan masyarakat namun tetap harus diterima
oleh bangsa Indonesia dan berakhir pada adanya reformasi 1998. Sementara itu,
pasca reformasi 1998 tuntutan proses pembentukan perundang-undangan yang
partisipatif terasa meningkat seiring dengan terjadinya dinamika proses politik
yang semakin demokratis. Proses pembentukan perundang-undangan di masa
yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan tingkat kesadaran
berdemokrasi dan kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia.
Adapun dalam buku tersebut disiimpulkan bahwa, proses pembentukan UU di
28
Saifudin, 2009, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, FH UII Press, Yogyakarta.
28
era reformasi dapat dilihat dalam empat aspek, yaitu: aspek kelembagaan, aspek
masyarakat, aspek pengaturan dan aspek pembahasan. Adanya empat aspek
tersebut, secara bersama-sama telah mendorong proses pembentukan UU di era
reformasi yang melahirkan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas
yang pada gilirannya bermuara pada demokratisasi dalam pembentukan UU.
Oleh karena itu, proses pembentukan UU di era reformasi telah menghasilkan
produk UU –meskipun belum sepenuhnya mendekati rasa keadilan dalam
masyarakat.
Hartoyo29
Penelitian ini berjudul “Dinamika Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia”. Pemilihan judul tersebut dengan pertimbangan warganegara
merupakan salah satu syarat pembentukan negara, kebijakan di bidang
kewarganegaraan merupakan amanat Konstitusi, permasalahan kewarganegaraan
terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, dan merupakan salah satu
bentuk pembaruan kebijakan.
Dalam penelitian ini ada 2 (dua) rumuasan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah dinamika partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-
Undang Kewarganegaraan?
2. Apakah faktor-faktor yang mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan?
Pembahasan :
1. partisipasi masyarakat dalam pemerintahan diperlukan dalam rangka
meningkat kualitas demokrasi. Intensitas dinamika partisipasi masyarakat
terjadi pada tahap persiapan, formulasi, dan paska pembentukan Undang-
Undang Kewarganegaraan. Proses interaksi partisipasi mengikuti pola
siklus kebijakan.
2. Faktor-faktor yang mendorong partisipasi masyarakat adalah aktor, media
massa, lobi, solidaritas masyarakat, dinamika masyarakat, dan keterbukaan.
Yuliandri30
Penelitian ini berjudul “Pengkajian Hukum Tentang Partisipasi Masyarakat
Dalam Penentuan Arah Kebijakan Prioritas Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.
Adapun rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana arah kebijakan prioritas penyusunan Peraturan Perundang-
undangan?
2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
Peraturan Perundang-undangan?
Pembahasan:
1. Kebijakan prioritas penyusunan maupun pengembangan Peraturan Perundang-
undangan mesti mencakup penguatan stuktur hukum dalam rangka
memantapkan organisasi dan profesionalitas aparatur, perbaikan substansi
29
Hartoyo, 2010, Dinamika Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang KewargaNegaraan Republik Indonesia, Disertasi pada Program
Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
30
Yuliandri, 2014, “Pengkajian Hukum Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penentuan
Arah Kebijakan Prioritas Penyusunan Peraturan Perundang-undangan”, Laporan Penelitian pada
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.
29
hukum melalui perencanaan, penyusunan, peninjauan dan penaataan kembali
berbagai Peraturan Perundang-undangan agar sesuai dengan arah
pembangunan serta mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat, dan
membenahi budaya hukum melalui peningkatan perwujudan kesadaran hukum
dan pastisipasi masyarakat dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum.
2. Dalam pelaksanaannya, ruang partisipasi yang dibuka dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 hanya diwujudkan dalam bentuk konsultasi publik
semata. Padahal, partisipasi tidak hanya sebatas konsultasi publik. Selain itu,
dalam penyusunan peraturan perundang-undang, masyarakat juga tidak dapat
berpartisipasi pada saat bagaimana draf Peraturan Perundang-undangan
dibahas dan diperdebatkan di lembaga perwakilan. Agar berbagai kelemahan
tersebut dapat di atasi, maka berbagai bentuk partisipasi sebagai berikut perlu
diakodomodir:
a. Mengikutsertakan anggota masyarakat yang dianggap ahli dalam tim kerja
penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
b. Melakukan public hearing melalui seminar, lokarya dan forum-forum
lainnya yang melibatkan banyak pihak;
c. Melakukan uji shahih draf Peraturan Perundang-undangan dengan
melibatkan masyarakat;
d. Melibatkan masyarakat dalam rapat-rapat dengar pendapat umum,
sekaligus membuka ruang untuk ikut berpartisipasi proses pembahasan dan
perdebatan pembentukan Peraturan Perundang-undangan di dalam panitia
kerja lembaga perwakilan;
e. Membuka ruang tanggapan terhadap peraturan perundang-undang melalui
media massa;
f. Memanfaatkan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat untuk
mendapatkan masukan yang lebih luas terhadap suatu produk Peraturan
Perundang-undangan.
Akmal
Boedianto31
Buku ini berjudul “Hukum Pemerintahan Daerah Pembentukan Perda APBD
Partisipatif” yang merupakan disertasi yang telah dipertahankan pada Ujian
Doktor Terbuka pada Program Doktor Universitas Brawijaya Malang tanggal 25
November 2008.
Dalam disertasi ini ada permasalahan pokok yang dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah pengaturan hukum tentang pengelolaan keuangan daerah yang
mencerminkan prinsip-prinsip good financial governance?
Pembahasan :
Dalam pembahasan disertasi ini dihasilkan temuan bahwa mekanisme
pembentukan Peraturan Daerah tentang APBD belum mencerminkan partisipasi
publik dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah baik secara normatif
maupun praktis. Peraturan Daerah tentang APBD yang partisipastif memiliki
ligitimasi demokrasi yang kuat apabila mekanisme pembentukannya memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan (decicion making-process) dalam penuangan norma hukumnya dan
prosedur pembentukannya
Berdasarkan kajian disertasi dan buku yang bertemakan partisipasi
sebagaimana diuraikan dalam matrik di atas, menunjukan bahwa penelitian ini
31
Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah Pembentukan Perda APBD
Partisipatif, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.
30
fokus pada partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda yang tentunya
sangat berbeda dengan hasil disertasi dan buku di atas.
1.6.Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian32
dalam disertasi ini merupakan jenis penelitian hukum
yang menggunakan pendekatan sosiolegal. Pendekatan sosiolegal dilakukan
dengan langkah-langkah penelitian dimulai dari mengkaji teks hukum dalam arti
teks Peraturan Perundang-undangan dan melihat bekerjanya hukum dalam
masyarakat. Terkait dengan hal di atas, Sulistyowati Irianto menekankan pada
penggunaan kombinasi antara metode penelitian hukum doktriner dan penelitian
hukum empirik (yang meminjam metode ilmu sosial).33
Sejalan dengan
Sulistyowati Irianto, Soetandyo Wignjosoebroto menggunakan pendekatan seperti
ini secara bersama dan saling mendukung antara penelitian doktrinal dan
penelitian nondoktrinal34
.
Pemahaman doktrinal yang dimaksud oleh kedua penulis di atas adalah
melakukan penelitian kajian Peraturan Perundang-undangan, sedangkan
nondoktrinal dipahami sebagai penelitian empirik (lapangan). Sulistyowati Irianto
32
Suatu penelitian adalah suatu bangunan logika, yang dari awal sampai akhir harus
merupakan rangkaian yang saling menjelaskan satu sama lain. Hal ini dapat dipahami bahwa
dalam suatu penelitian harus ada suatu kesatuan alur yang bersumber dari thesis yang dibuat dari
awal sampai akhir.
33
Sulistyowati Irianto, 2009, “Praktik Penelitian Hukum Perspektif Sosiolegal” dalam
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 299.
34
Soetandyo Wignjosoebroto, 2009, “Ragam-Ragam Penelitian Hukum” dalam Metode
Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 121.
31
memahami penelitian doktrinal sebagai studi dokumen.35
Pemahaman konsep
penelitian hukum di atas, dalam penelitian ini peneliti melakukan studi dokumen
yang disertai dengan studi lapangan.
Di dalam melakukan studi dokumen, peneliti mengkaji pasal-pasal yang
terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan serta menganalisis secara kritis
yang selanjutnya dijelaskan makna dan implikasi pada subjek hukum (apakah
merugikan atau menguntungkan bagi subjek hukum). Selanjutnya dalam
melakukan studi lapangan, peneliti melakukan pengamatan dan wawancara.
Dengan demikian posisi penelitian hukum dalam penelitian ini adalah hibrida
ilmu hukum dan ilmu sosial yang lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu tidak
hanya cukup menggunakan Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan
untuk menganalisis, namun hasil amatan atas realitas sosial dan hasil wawancara
(kenyataan-kenyataan terdapat dalam masyarakat) juga menjadi objek kajian
terkait partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
Penggunaan jenis penelitian hukum yang menggunakan pendekatan
sosiolegal sesuai dengan metode ilmiah yang dikenal sebagai proses logico-
hypothetico verifikasi. Proses logico-hypothetico verifikasi merupakan perkawinan
35
Dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu, yang bisa berupa tulisan, gambar,
atau karya monumental. Lihat Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta
Bandung, h. 82. Selanjutnya tujuan studi dokumen adalah 1) mengiventarisasi hukum positip, 2)
mengetahui konsistensi Peraturan Perundang-undangan berdasarkan hirarkhinya, 3) mengetahui
apakah suatu peraturan perundangan berbenturan dengan peraturan perundangan lain, 4)
memahami falsafah yang mendasari suatu Peraturan Perundang-undangan atau pasal-pasalnya.
Lihat Sulistyowati Irianto, 2009, Memperkenalkan … loc.cit.
32
yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi.36
Selanjutnya visual jenis
penelitian yang berkesinambungan deduksi dan induksi sebagai berikut:
Gambar 1
Proses dan Metode Ilmiah
TEORI
Verifikasi teori penggunaan logika
deduksi
GENERALISASI HIPOTESIS
Penggunaan penggunaan teknik
Logika induksi penelitian lapangan
DATA
Berdasarkan penggunaan proses dan metode ilmiah sebagaimana gambar
di atas menunjukkan bahwa penelitian disertasi ini menggunakan kombinasi
penelitian doktriner dan penelitian empirik. 37
Dengan demikian penelitian hukum
tidak hanya terkungkung menjadi penelitian dogmatis namun sekaligus juga tidak
liar menjadi penelitian non-hukum. Penggunaan jenis penelitian hukum ini
ditujukan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum agar hukum benar-benar
hadir untuk mendatangkan keadilan bagi semua kalangan, terutama bagi kalangan
marjinal yang realitasnya sering terabaikan.
36
Jujun S. Suriasumantri, 2007, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan Jakarta, h.125.
37
Gambar proses dan Metode ilmiah diadopsi dari materi kuliah Metode Penelitian Hukum
dari Tjok Istri Putra Astiti, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Kebenaran Rasional
Kebenaran Empirik
33
1.6.2. Jenis Pendekatan
Fungsi pendekatan dalam suatu penelitian adalah sebagai langkah dalam
pemecahan masalah (problem solution)38
. Jenis pendekatan yang digunakan
untuk studi dokumen dalam penelitian ada empat pendekatan yaitu 1) pendekatan
konseptual (conceptual approach), 2) pendekatan Peraturan Perundang-undangan
(statue approach), 3) pendekatan filsafat (philosophical approach) dan 4)
pendekatan sejarah (historis approach).39
Selanjutnya di dalam studi empririk
(lapangan) digunakan pendekatan sosiologis (sociological approach).
Uraian metode pendekatan yang digunakan sebagai berikut :
1. Pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk mengkaji dan
membangun konsep-konsep yang berkaitandengan permasalahan penelitian
antara lain konsep demokrasi dan partisipasi.
2. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statue approach) digunakan
untuk mengkaji teks Peraturan Perundang-undangan dan mengkaitkan dengan
kontekstual.
3. Pendekatan filsafat (philosophical approach) digunakan untuk mengkaji
landasan filosofis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
4. Pendekatan sejarah (historis approach) yaitu untuk mengkaji latar belakang
dan perkembangan Peraturan Perundang-undangan sampai pada berlakunya
Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud.
38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti
Bandung, h.101-102.
39
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Jakarta, h.92.
34
5. Pendekatan sosiologis (sosiological approach) digunakan untuk mengkaji
bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan cara menggali pandangan
DPRD, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Penggunaan kelima pendekatan dalam penelitian disertasi ini dipahami dengan
metode pendekatan sosiolegal.40
1.6.3. Jenis Data
Di dalam penelitian yang mengunakan pendekatan sosiolegal atau yang
merupakan kombinasi penelitian doktriner dan penelitian empirik, jenis data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder.
1.6.3.1. Data primer merupakan data lapangan diperoleh dengan cara pengamatan
langsung dan wawancara dengan informan yaitu anggota DPRD, staf
birokrasi, pengurus MDP dan tokoh masyarakat terkait dengan
permasalahan yang diangkat dalam disertasi ini.
1.6.3.2. Data sekunder berupa bahan kepustakaan yang diperoleh dari studi
dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan mengemukakan dokumen-
dokumen apa saja yang digunakan serta untuk tujuan apa dilakukan studi
dokumen. Dokumen dapat berupa berupa dokumen hukum dan dokumen
40
Sosiolegal sesungguhnya merupakan konsep payung yang memayungi segala pendekatan
terhadap hukum, proses hukum maupun sistem hukum. Identifikasi dalam kajian sosiolegal tidak
sebatas teks, melainkan pendalaman terhadap konteks yang mencakup proses dalam pembentukan
hukum dan implementasi hukum. Lihat Elfi Indra, 2016, “Perkembangan Studi Kebijakan Publik
Dalam Perspektif Socio-Legal” dalam Tutut Ferdiana Mahita Paksi dan Rian Achmad Perdana
(editor), Penelitian Hukum Interdisipliner:Sebuah Pengantar Menuju Sosio-Legal, Thafamedia,
Yogyakarta, h. 120. Lihat juga Candra Kusuma, 2013, Penelitian Interdisipliner tentang Hukum,
Epistema Institute Jakarta, h. 80.
35
non hukum.41
Dokumen hukumyang digunakan berupa Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan rumusan masalah yang dikaji.
Dokumen non hukum berupa semua publikasi seperti buku-buku teks,
risalah, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian, kamus besar bahasa
Indonesia42
dan Blacks law dictionary43
dan lain sebagainya.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
1.6.4.1. Teknik Pengumpulan Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan melakukan studi lapangan. Studi
lapangan dilakukan untuk mendapatkan data lapangan. Data lapangan
diperoleh dengan cara pengamatan langsung dalam proses pembentukan
Perda dan wawancara dengan berbagai pihak diantaranya 1) DPRD baik
Ketua pansus dan anggota pansus. 2) Birokrasi Pemerintah Daerah
diantaranya Kepala Bagian Peraturan Perundang-undangan Provinsi
41
Dokumen hukum dikatakan sebagai dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum,
sehingga dokumen hukum dipahami sebagai Peraturan Perundang-undangan. Lihat C.F.G.
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni
Bandung, h.151. Pemahaman dokumen hukum dalam Peter Mahmud Marzuki disebut sebagai
bahan hukum. Lihat Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian.... Sebutan lain dari dokumen
hukum yaitu sebagai data hukum, lihat Rikardo Simarmata, 2013, “Penelitian Socio-Legal dalam
Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam Pengalaman Penelitian di Delta Mahakam, Kutai Kerta
Negara, Kalimantan Timur”, Jurnal Digest Epistema Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-sosial,
Volume 3/2013, Jakarta,h. 33. Lihat juga Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2017, “Metodelogi
Penelitian Hukum Dalam Penyusunan Naskah Akademis” Makalah disampaikan pada Kegiatan
Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Di Daerah Tahun Anggaran 2017
Diselenggarakan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Bali, Denpasar, h.19.
42
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ke Tiga, Balai Pustaka Jakarta. Kamus dalam pemahaman Soerjono Soekanto termasuk
dalam bahan hukum tertier. Lihat Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, h. 52.
43
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West Thomson business,
Printed in the United Staes of America.
36
Bali, Kepala Bagian Hukum Kabupaten/Kota, Kepala Sub Bagian Kajian
Peraturan Perundang-undangan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas
Kebudayaan 3) MDP 4) Akademisi dan 5) tokoh-tokoh masyarakat.
Wawancara dilakukan di Provinsi Bali, Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar, sehingga informan semuanya berjumlah 19 orang.
1.6.4.2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Tekni pengumpulan data sekunder yang berupa dokumen hukum dan
dokumen non hukum menggunakan teknik snowball.44
Langkah-langkah
pengumpulan dokumen hukum dengan teknik snowball dimulai dari
mengkaji UUD NRI Tahun 1945 dan diikuti dengan Peraturan
Perundang-undangan di bawahnya. Pengumpulan dokumen non hukum
juga dilakukan dengan teknik snowball dengan menempuh langkah-
langkah sebagai berikut : mencari literatur yang berkaitan dengan
permasalahan, kemudian melihat daftar pustaka dari buku tersebut untuk
mendapatkan beberapa literatur yang berkaitan dengan rumusan masalah.
Langkah ini dilakukan 2 sampai 3 kali sehingga ditemukan sejumlah
literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Kamus-kamus
digunakan apabila dalam Peraturan Perundang-undangan dan
44
Teknik snowball adalah suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih dan mengambil
sampel dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus. Teknik snowball ini didasarkan
pada analogi bola salju, yang dimulai dengan bola salju yang kecil kemudian membesar secara
bertahap karena ada penambahan salju ketika digulingkan dalam hamparan salju. Lihat Neuman,
W. L., 2003, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, Fifth Edition,
Boston: Pearson Education, page.275.
37
literature/buku tidak ditemukan penjelasan-penjelasan mengenai suatu
konsep yang diperlukan.
1.6.5. Teknik Analisis Data
1.6.5.1. Teknik analisis data primer yang berupa data lapangan didahului dengan
cara mengkatogorikan atau mengklasifikasikan data yang sesuai dengan
permasalahan penelitian. Selanjutnya dikonfirmasi dengan konsep, teori
serta pandangan sarjana atau doktrin. Pada tahapan ini terjadi dialektika
teori dan data.
1.6.5.2. Teknik analisis data sekunder yang berupa dokumen hukum dilakukan
dengan hermeneutika hukum dengan cara mengggali makna (meaning)
dan memahami (understanding) teks Peraturan Perundang-undangan.
Dalam disertasi ini, teknik analisa dokumen hukum dilakukan dengan
menafsirkan teks Pasal 354 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
dan Pasal 96 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan terkait dengan partisipasi masyarakat. Penafsiran teks Pasal
354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 dilakukan untuk memahami
makna dan implikasi terhadap desa pakraman apakah merugikan atau
menguntungkan bagi desa pakraman. Teknik analisis dokumen non
hukum dilakukan dengan mengkatagorikan dan mengklasifikiasi
literature, buku, risalah, jurnal hukum, catatan-catatan proses
pembentukan Perda berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini.
38
Berdasarkan penggunaan teknik analisis data primer dan data sekunder,
secara singkat dapat diuraikan bahwa data lapangan, dokumen hukum dan
dokumen non hukum yang telah dikumpulkan kemudian diidentifikasi,
dikatagorikan, dan diklasifikasikan berdasarkan permasalahan dalam penelitian
ini yang selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif serta diinterpretasikan
dengan menggunakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum yaitu suatu
metode interpretasi atas teks hukum atau memahami suatu naskah normatif45
.
Lebih lanjut teknik dalam menafsirkan suatu teks hukum, dilakukan secara
holistik dalam bingkai keterkaitan teks dan konteks46
. Hal ini dapat dipahami
bahwa dalam mengkaji partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda
memberi peluang kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat hanya
dengan menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal saja
melainkan para pengkaji hukum dapat menggali dan meneliti makna-makna
hukum dari perspektif Pemerintah Daerah dan para pengguna (masyarakat) serta
menganalisis bekerjanya hukum dalam masyarakat.
1.7. Sistimatika Penulisan Disertasi
Rancangan sistimatika disertasi dituangkan dalam beberapa Bab sebagai
arahan untuk penulisan lebih lanjut. Secara garis besar rancangan sistematika
disertasi sebagai berikut :
45
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah-Filsafat dan Metode Tafsir, Universitas
Brawijaya Press Malang, h. 97.
46
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika …, Ibid., h. 94.
39
Bab I : Pendahuluan, dalam pendahuluan terdiri latar belakang masalah yang
menguraikan berbagai problem yang melingkupi partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda. Problem-problem tersebut adalah problem yuridis,
sosiologis, filosofis, teoritik dan problem politik hukum. Berdasarkan problem-
problem tersebut maka dirumuskan 3 (tiga) rumusan masalah yaitu yang berkaitan
denggan landasan perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman, penafsiran
Pemerintah Daerah dan masyarakat terkait dengan partisipasi desa pakraman dan
menemukan model ideal terkait dengan partispasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda. Selanjutnya diuraikan tujuan penelitian, manfaat penelitian,
orisinalitas penelitian, dalam orisinalitas penelitian diuraikan penelitian-penelitian
terdahulu yang mengkaji partisipasi masyarakat dan menunjukan ada perbedaan
kajian dalam penelitian ini. Dalam kerangka berfikir dibuat dalam bentuk gambar
tentang kajian dalam penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah
jenis penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-
undangan, pendekatan filsafat, pendekatan sejarah dan pendekatan sosiolegal.
Teknik analisa yang digunakan adalah hermeneutika hukum.
Bab II : Kerangka Teoritik Partisipasi Desa pakraman Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah. Dalam kerangka teoritik akan menguraikan kajian teoritik dan
landasan teoritik secara mendalam serta mengkaji relevansi landasan teoritik
dengan permasalahan yang diteliti.
40
Bab III: Landasan perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda. Dalam bab ini dijelaskan perlunya pengaturan partisipasi
desa pakraman perspektif filosofis, teoritik dan dogmatika hukum.
Bab IV : Penafsiran Pemerintan Daerah dan masyarakat terhadap partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan Perda. Dalam Bab IV ini dijelaskan mengenai
penafsiran Pemerintah Daerah sebagai lembaga pembentuk Perda dan penafsiran
masyarakat sebagai pengguna Perda terkait dengan partisipasi desa pakraman.
Dengan demikian dapat dijelaskan apakah Pemerintah Daerah dan masyarakat itu
terdapat perbedaan atau persamaan penafsiran terkait dengan partisipasi desa
pakraman dalam pembentukan Perda.
Bab V : Model ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
Setelah dijelaskan landasan pengaturan partisipasi desa pakraman dan penafsiran
Pemerintah Daerah dan penafsiran masyarakat terkait partisipasi desa pakraman
dalam pembentukan Perda maka dalam bab ini ditemukan dan dibentuk model
ideal partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
Bab VI : Penutup. Bab Penutup akan berisikan simpulandan saran berkaitan
dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
41