BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Laporan Keuangan
2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan output/ keluaran dari suatu
proses akuntansi yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
nantinya digunakan sebagai alat informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2007:1) paragraph 07,
dijelaskan bahwa:
“Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba
rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam
berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana),
catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian
integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan
informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya,
informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan
pengaruh perubahan harga.”
Dari penjelasan diatas ditekankan mengenai kelengkapan laporan
keuangan yang biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan
posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai
laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi
penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
Menurut Munawir (2002:2), menjelaskan pengertian laporan keuangan
adalah:
“Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang
dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan
atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan
dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa hasil akhir proses akuntansi
adalah laporan keuangan yang berisikan data keuangan atas aktivitas yang telah
dijalankan perusahaan pada suatu periode tertentu yang digunakan sebagai sarana
pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak diluar
perusahaan.
Menurut Sutrisno (2003:9), menjelaskan pengertian laporan keuangan
adalah:
“Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang
meliputi dua laporan utama yakni, Neraca dan Laporan Laba Rugi.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa proses akuntansi diakhiri dengan
adanya output berupa laporan keuangan. Laporan keuangan yang biasanya
menjadi perhatian utama yaitu neraca (sekarang bernama laporan perubahan posisi
keuangan) dan laporan laba rugi.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat dijelaskaan bahwa
laporan keuangan yang lengkap terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan posisi keuangan, dan catatan atas laporan keuangan yang merupakan
bagian intergral dari laporan keuangan.
2.1.1.2 Karakteristik Laporan Keuangan
Laporan keuangan memiliki karakteristik kualitatif yang membuat
informasi dalam laporan keuangan dapat berguna bagi pemakai. Berikut adalah
karakteristik tersebut menurut Harmono (2010:14) yaitu:
1. Dapat dipahami
Laporan keuangan harus memiliki karakteristik mudah dipahami. Mudah
dipahami maksudnya pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang
memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan
untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.
2. Relevan
Agar relevan, informasi akuntansi harus mampu membuat perbedaan
dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka
informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang
diambil. Terdapat dua unsur pokok dalam karakter relevan, yaitu:
a. Nilai prediktif (predictive value)
Informasi yang relevan akan membantu pemakai membuat prediksi
tentang hasil akhir dari kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan.
b. Nilai penegasan (confirmatory value)
Informasi yang relevan juga membantu pemakai mengkonfirmasi atau
mengoreksi ekspektasi atau harapan masa lalu.
3. Materialitas
Relevansi informasi dipengaruhi oleh hakikat dan materialitasnya. Dalam
beberapa kasus, hakikat informasi saja sudah cukup untuk menentukan
relevansinya. Informasi dipandang material kalau kelalaian untuk
mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut dapat
memengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar
laporan keuangan.
4. Keandalan
Agar bermanfaat, informasi harus andal (reliable). Informasi memiliki
kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan
material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus
dan jujur (faithful representation) mencerminkan yang seharusnya
disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Informasi
mungkin relevan, tetapi hakikat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan
maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan.
5. Penyajian jujur
Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur
transaksi serta peristiwa lain yang seharusnya disajikan atau yang secara
wajar dapat diharapkan untuk disajikan. Informasi keuangan pada
umumnya tidak luput dari risiko penyajian yang dianggap kurang jujur
dari apa yang seharusnya digambarkan.
6. Substansi mengungguli bentuk
Jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan jujur transaksi serta
peristiwa lain yang seharusnya disajikan, maka peristiwa tersebut perlu
dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi dan
bukan hanya bentuk hukumnya.
7. Netralitas
Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, dan tidak
bergantung kepada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh
ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa
pihak, sementara hal tersebut akan merugikan pihak lain yang mempunyai
kepentingan yang berlawanan.
8. Pertimbangan sehat
Penyusun laporan keuangan ada kalanya menghadapi ketidakpastian
peristiwa dan keadaan tertentu, seperti ketertagihan piutang yang
diragukan, perkiraan masa manfaat pabrik dan peralatan, serta tuntutan
atas jaminan garansi yang mungkin timbul. Pertimbangan sehat
mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan perkiraan dalam
kondisi ketidakpastian sehingga aktiva atau penghasilan tidak dinyatakan
terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah.
9. Kelengkapan
Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap
dalam batasan materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak
mengungkapkan (omission) mengakibatkan informasi menjadi tidak benar
atau menyesatkan sehingga tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna
ditinjau dari relevansi.
10. Dapat dibandingkan
Pemakai harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan
antarperiode untuk mengidentifikasi kecenderungan (tren) posisi dan
kinerja keuangan. Pemakai juga harus dapat membandingkan laporan
keuangan antarperusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja,
serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
11. Tepat waktu
Jika terdapat penundaan yang tidak semstinya dalam pelaporan, maka
informasi yang dihasilkan akan kehilangan relevansinya. Manajemen
mungkin perlu menyeimbangkan manfaat relatif antara pelaporan tepat
waktu dan ketentuan informasi andal.
12. Keseimbangan antara biaya dan manfaat
Keseimbangan antara biaya dan manfaat lebih merupakan kendala yang
pervasif dibanding karakteristik kualitatif. Manfaat yang dihasilkan
informasi seharusnya melebihi biaya penyusunannya. Manfaat mungkin
juga dinikmati oleh pemakai lain, di samping mereka yang menjadi tujuan
informasi.
13. Keseimbangan di antara karakteristik kualitatif
Dalam praktik, keseimbangan atau trade-off di antara berbagai
karakteristik kualitatif sering diperlukan. Pada umumnya, tujuannya untuk
mencapai suatu keseimbangan yang tepat di antara berbagai karakteristik
untuk memenuhi tujuan pelaporan keuangan. Kepentingan relatif dari
berbagai karakteristik dalam berbagai kasus yang berbeda merupakan
masalah pertimbangan profesional.
14. Penyajian wajar
Laporan keuangan sering dianggap menggambarkan pandangan yang
wajar ditinjau dari cara menyajikan dengan wajar, posisi keuangan,
kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan.
2.1.1.3 Komponen Laporan Keuangan
Setelah adanya konvergensi IFRS di Indonesia, terjadi perubahan
komponen laporan keuangan. Berikut adalah perubahan komponen laporan
keuangan yang lengkap.
Tabel 2.1
Perubahan Komponen Laporan Keuangan
Menurut PSAK lama Menurut PSAK baru setelah konvergensi
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan atas Laporan Keuangan
1. Laporan Posisi Keuangan
2. Laporan Laba Rugi Komprehensif
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus kas
5. Catatan atas Laporan Keuangan
6. Laporan Posisi Keuangan Awal
Periode
2.1.1.4 Pemakai Laporan Keuangan
Laporan keuangan mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang
membutuhkan informasi dari laporan keuangan tersebut. Menurut Standar
Akuntansi Keuangan (2004:2) paragraph 09, pemakai laporan keuangan adalah
sebagai berikut:
a. Investor
Penanam modal berisiko dan penasihat mereka berkepentingan dengan
risiko yang melekat serta pengembangan dari investasi yang mereka
lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan
apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut serta
tertarik pada informasi yang memungkinkan penilaian terhadap
kemampuan perusahaan dalam membayar dividen.
b. Karyawan
Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada
informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga
tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai
kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun,
dan kesempatan kerja.
c. Pemberi pinjaman
Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta
bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
d. Pemasok dan kreditor usaha lainnya
Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang
akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada
perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek dibanding pemberi
pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada
kelangsungan hidup perusahaan.
e. Pelanggan
Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan
hidup perusahaan, terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka
panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan.
f. Pemerintah
Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya
berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan
dengan aktivitas perusahaan. Mereka juga membutuhkan informasi untuk
mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai
dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
g. Masyarakat
Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara.
Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada
perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang diperkerjakan dan
perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat
membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan
(trend) dan perkembangan terakhir mengenai kemakmuran serta rangkaian
aktivitasnya.
2.1.2 Auditing
2.1.2.1 Pengertian Auditing
Pengertian audit menurut Arens et al. (2012:4) adalah sebagai berikut:
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about
information to determine and report on the degree of correspondence
between the information and established criteria. Auditing should be done
by a competent, idependent person”.
Berdasarkan definisi tersebut, dijelaskan bahwa auditing adalah
pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan
melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah
ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.
Pengertian auditing menurut Sukrisno Agoes (2012:4) adalah sebagai
berikut:
“Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan
sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang
telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan
bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan
pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan.”
Dari penjelasan diatas menjelaskan bahwa audit harus dilakukan oleh
orang yang kompeten dan independen. Dalam melakukan audit, auditor harus
memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus
kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan
untuk mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti-bukti tersebut.
Auditor juga harus memiliki sikap mental independen dalam mengevaluasi objek
yang diaudit.
Hasil akhir dari audit yaitu laporan audit yang berisi informasi tentang
kesesuaian antara informasi yang diuji dengan kriterianya atau ketidaksesuaian
dengan menunjukkan fakta atas ketidaksesuaian tersebut.
2.1.2.2 Audit Laporan Keuangan
Pengertian audit laporan keuangan menurut Arens et.al (2012:15) adalah
sebagai berikut:
“A financial statement audit is conducted to determine whether the overall
financial statements (the information being verified) are stated in
accordance with specific criteria.”
“The objective of the ordinary audit of financial statements by the
independent auditor is the expression of an opinion on the fairness with
wich they present fairly, in all material respects, financial position, result
of operations, and it’s cash flow in conformity with generally aceepted
accounting principles.”
Berdasarkan definisi diatas dijelaskan bahwa audit atas laporan keuangan
adalah pemeriksaan terhadap laporan keuangan untuk menetapkan apakah
keseluruhan laporan keuangan yang setelah dilakukan verifikasi informasi yang
dapat dihitung telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah
ditetapkan untuk memberikan suatu pendapat atas kewajaran suatu laporan
keuangan. Laporan keuangan yang diperiksa, biasanya terdiri dari neraca, laporan
laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan.
2.1.2.3 Proses Audit Laporan Keuangan
Menurut Arens et al. (2012:395), proses audit dijelaskan sebagai berikut:
“Phases of the audit process-the four aspects of a complete audit: (1) Plan
and design an audit approach, (2) perform tests of control and substantive
test of transaction, (3) perform analytical procedures and test of details of
balance, and (4) complete the audit and issue the audit report.”
Sedangkan menurut Boynton et al. (2002:191) menentukan fase-fase audit
laporan keuangan sebagai berikut:
1) Accepting the audit engagement
2) Planning the audit
3) Performing audit test
4) Reporting the findings
25
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat diuraikan setiap fase dalam
melakukan audit laporan keuangan sebagai berikut:
1) Fase I: Perencanaan dan perancangan pendekatan audit (plan and design audit
approach)
Terdiri dari proses penerimaan klien dan persiapan perencanaan awal,
pemahaman bisnis dan industri klien, menilai risiko bisnis klien, menyiapkan
prosedur awal, menentukan tingkat materialitas dan menilai resiko audit yang
dapat diterima, memahami pengendalian internal dan menaksir pengendalian
risiko laba, mengembangkan perencanaan audit secara umum dan program
audit.
2) Fase II: Melakukan tes atas pengendalian dan tes atas transaksi (perform test
of control and substantive test of transaction)
Tujuan dalam tahap ini adalah untuk:
1. Mendapatkan bahan bukti yang mendukung kebijakan dan prosedur
pengendalian spesifik yang berperan terhadap tingkat risiko pengendalian
yang ditetapkan.
2. Memperoleh bahan bukti yang mendukung kebenaran transaksi.
3) Fase III: Melakukan prosedur analisa lebih rinci dan tes terinci atas saldo
(perform analytical procedures and test detail of balance)
Tahap ini adalah untuk memperoleh bahan bukti tambahan yang cukup untuk
menentukan apakah saldo akhir dan catatan laporan keuangan dengan wajar.
4) Fase IV: Penyelesaian audit dan penerbitan laporan keuangan (complete the
audit and issue an audit report)
Tahap ini terdiri dari proses mereview kewajiban yang bersyarat, kejadian
setelah tanggal neraca, mengakumulasikan bukti-bukti terakhir, evaluasi hasil
dan menerbitkan laporan audit (memberikan pendapat) serta berkomunikasi
dengan komite audit dan manajemen perusahaan.
2.1.2.4 Pengertian Kantor Akuntan Publik
Dalam Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik SPAP (2001:20000.1)
disebutkan bahwa:
“KAP adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh
izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang berusaha di
bidang pemberian jasa profesional dalam praktik akutan publik.”
Dengan kata lain KAP merupakan tempat penyediaan berbagai jasa oleh
profesi akuntan publik bagi masyarakat.
2.1.2.5 Tinjauan Profesi Akuntan Publik
Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang
disediakan bagi pemakai informasi keuangan. Tumbuh dan berkembangnya
profesi akuntan publik di suatu negara sejalan dengan berkembangnya perusahaan
dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut (Mulyadi,
2002:2).
Menurut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik SPAP
(2001:20000.2) menyatakan:
“Akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri
Keuangan atau pejabat yang berwenang lainnya untuk menjalankan
praktik akuntan publik.”
Akuntan publik merupakan pihak ketiga yang independen untuk menilai
keandalan laporan keuangan yang disajikan manajemen untuk para pemakai.
Pihak-pihak di luar perusahaan memerlukan informasi mengenai perusahaan
untuk pengambilan keputusan tentang hubungan mereka dengan perusahaan.
2.1.2.6 Jenis-jenis Auditor
Menurut Islahuzzaman (2012:47), auditor adalah orang yang melakukan
pemeriksaan terhadap kliennya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan surat
penugasan/ perikatan/ perjanjian pemeriksaan. Dalam audit, pihak yang
melakukan atau memberikan jasa audit adalah auditor dari Kantor Akuntan Publik
(KAP).
Menurut Mulyadi (2002:28), terdapat tiga jenis auditor yang paling umum
dikenal yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor intern.
a. Auditor Independen
Auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum,
terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh
kliennya. Audit tersebut terutama ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan
para pemakai informasi keuangan seperti: kreditur, investor, calon
kreditur, calon investor, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak).
b. Auditor Pemerintah
Auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas
pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang
disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau
pertanggungjawaban keuangan yang ditunjukkan kepada pemerintah.
Namun umumnya yang disebut auditor pemerintah adalah auditor yang
bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), serta instansi pajak. BPKP adalah
instansi pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia dalam bidang pengawasan keuangan dan
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan BPK adalah
lembaga tertinggi negara yang tugasnya melakukan audit atas
pertanggungjawaban keuangan Presiden RI dan aparat dibawahnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
c. Auditor Intern
Auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun
perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah
kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah
dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan
organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan
organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh
berbagai bagian organisasi.
2.1.2.7 Jenis Opini Auditor
Opini audit merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang
kewajaran penyajian laporan keuangan/ lembaga perusahaan tempat auditor
melakukan audit (Sukrisno Agoes, 2012:74). Salah satu hal yang terpenting yang
dapat memengaruhi kualitas dari laporan keuangan adalah pernyataan atau suatu
pendapat auditor mengenai simpulan dari sisi laporan keuangan dimana pendapat
tersebut menggambarkan keadaan dan hasil-hasil yang diperoleh selama
pelaksanan audit berlangsung.
Menurut Sukrisno Agoes (2012:75), ada lima jenis pendapat auditor yaitu:
1. Unqualified Opinion (pendapat wajar tanpa pengecualian)
Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara
wajar, dalam semua hal material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan
ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia.
Pendapat ini diberlakukan bila dalam kondisi-kondisi berikut ini:
1) Seluruh laporan keuangan telah lengkap.
2) Semua aspek dalam ketiga standar umum SPAP telah dipatuhi dalam
penugasan aspek tersebut.
3) Bukti audit yang cukup memadai telah terkumpul dan auditor telah
melaksanakan penugasan audit ini dengan sedemikian rupa sehingga
membuatnya mampu menyimpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan
lapangan telah dipenuhi.
4) Laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku.
5) Tidak terdapat situasi yang membuat auditor merasa perlu untuk
menambahkan sebuah paragraph penjelasan atau memodifikasi kalimat
dalam laporan audit.
2. Unqualified with Explanatory Paragraph or Modified Wording (pendapat
wajar tanpa pengecualian dengan bahasa yang ditambahkan dalam laporan
audit bentuk baku)
Pendapat ini diberikan jika terdapat keadaaan tertentu yang
mengharuskan auditor menambahkan paragraph penjelasan (atau bahasa
penjelasan lain) dalam laporan audit meskipun tidak mempengaruhi pendapat
wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan oleh auditor.
3. Qualified Opinion (pendapat wajar dengan pengecualian)
Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara
wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan
ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia kecuali untuk dampak hal yang berkaitan dengan yang dikecualikan.
4. Adverse Opinion (pendapat tidak wajar)
Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan
secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.
5. Disclaimer of Opinion (pernyataan tidak memberikan pendapat)
Kewajiban untuk menolak memberikan pendapat timbul jika terdapat
pembatasan lingkup audit atau terdapat hubungan yang tidak independen
menurut Kode Etik Profesional antara auditor dengan kliennya.
2.1.2.8 Jenis Audit
Pengauditan dapat dibagi dalam beberapa jenis. Pembagian ini
dimaksudkan untuk menentukan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan
adanya pengauditan tersebut.
Menurut Mulyadi (2002:30), jenis-jenis audit terdiri dari:
1. Audit laporan keuangan (financial audit statement), audit yang dilakukan
oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh
kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan
keuangan tersebut.
2. Audit kepatuhan (compliance audit), audit yang tujuannya untuk
menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan
tertentu.
3. Audit operasional (operational audit), review secara sistematik kegiatan
organisasi, atau bagian dari padanya, dalam hubungannya dengan tujuan
tertentu.
2.1.2.9 Standar Auditing
Menurut Islahuzzaman (2012:433), standar auditing merupakan pedoman
audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri dari sepuluh standar
dan dirinci dalam bentuk standar auditing (SA).
Sedangkan Arens et al. (2012:42) menyatakan bahwa:
“Auditing Standards are general guidelines to aid auditors in fulfilling
their professional responsibilities in the audit of historical financial
statements”.
Standar auditing berkaitan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja
auditor independen dan pertimbangan yang digunakan dalam pelaksanaan audit
dan penyusunan laporan audit. Standar auditing yang telah ditetapkan dan
disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI, 2011:150.1-150.2) adalah
sebagai berikut:
1) Standar umum
a) Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagia auditor.
b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
2) Standar Pekerjaan Lapangan
a) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten
harus disupervisi dengan semestinya.
b) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk
merencankan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang
akan dilakukan.
c) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
3) Standar Pelaporan
a) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada,
ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan
laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip
akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai
laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan
demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak
dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama
auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus
memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang
dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh
auditor.
2.1.3 Materialitas
2.1.3.1 Pengertian Materialitas
Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing, terutama standar
pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan. Oleh karena itu, materialitas
mempunyai pengaruh yang mencangkup semua aspek audit dalam audit atas
laporan keuangan (Mulyadi, 2002:157).
Konsep materialitas merupakan faktor yang penting dalam
mempertimbangkan jenis laporan yang tepat untuk diterbitkan dalam keadaan
tertentu. Pengertian materialitas menurut Arens, et al. (2012:270) adalah sebagai
berikut:
“The magnitude of an omission or misstatement of a accounting
information that, in the light of surrounding circumstances, makes it
probable that the judgement of a reasonable person relying on the
information would have been changed or influenced by the omission or
misstatement. “
Pengertian materialitas menurut SPAP SA seksi 312:
“Materialitas merupakan besarnya informasi akuntansi yang apabila
terjadi penghilangan atau salah saji dilihat dari keadaan yang
melingkupinya, dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang
yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut.”
Sedangkan pengertian materialitas menurut Mulyadi (2002:158) adalah
sebagai berikut:
“Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji
informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat
mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan
orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena
adanya penghilangan atau salah saji itu.”
Dari penjelasan-penjelasan diatas menjelaskan bahwa materialitas
merupakan besarnya penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang dengan
memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan seseorang yang
bijaksana yang mengandalkan informasi tersebut mungkin akan berubah atau
terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji.
2.1.3.2 Pertimbangan Materialitas
Menurut Sukrisno Agoes (2012:149), pertimbangan auditor mengenai
materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi
auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan
meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai
materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya
dan mencangkup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Pertimbangan kuantitatif
berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan
keuangan. Sedangkan pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah
saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif
material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut (Mulyadi,
2002:159).
Menurut Mulyadi (2002:159) menerangkan ada empat indikator dalam
menentukan pertimbangan tingkat materialitas, yaitu:
(1) Pertimbangan awal materialitas,
(2) Materialitas pada tingkat laporan keuangan,
(3) Materialitas pada tingkat rekening,
(4) Alokasi materialitas laporan keuangan ke rekening.
Keempat hal di atas menjadi indikator dari variabel pertimbangan tingkat
materialitas.
Pertimbangan awal materialitas dapat didasarkan atas data laporan
keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat
didasarkan atas hasil keuangan yang lalu satu tahun atau lebih yang telah lalu,
yang disesuaikan dengan perubahan terkini seperti keadaan ekonomi atau trend
industry (Mulyadi, 2002:161).
Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat
diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah
saji tersebut. Dari definisi diatas konsep materialitas dapat digunakan tiga
tingkatan dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat antara lain:
1) Jumlah yang tidak material
Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan tetapi cenderung tidak
mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak
material.
2) Jumlahnya material, tetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara
keseluruhan
Tingkat materialitas ini terjadi jika salah saji didalam laporan keuangan dapat
mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi secara keseluruhan laporan
keuangan tersebut tersaji dengan benar sehingga tetap berguna.
3) Jumlahnya sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga
kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan
Tingkat tertinggi jika terjadi para pemakai dapat membuat keputusan yang
salah jika mereka mengandalakan laporan keuangan secara keseluruhan.
Dengan adanya penetapan materialitas yaitu untuk membantu auditor
merencanakan mengumpulkan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan
jumlah yang rendah, lebih banyak bukti yang dikumpulkan dari pada jumlah yang
tinggi tetapi sedikit mengumpulkan bukti.
Didalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan
berikut ini:
Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah yang disajikan dalam
laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas,
digolongkan dan dikompilasi.
Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti
audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan
pendapat atas laporan keuangan klien.
Auditor dapat memberikan keyakinan dalam bentuk pendapat bahwa
laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak
terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan
(Mulyadi, 2002:158).
2.1.3.3 Langkah-langkah dalam menetapkan Materialitas
2.1.3.3.1 Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Menurut Mulyadi (2002:159), dalam melakukan perencanaan auditnya,
auditor harus melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas.
Penentuan materialitas ini seringkali disebut dengan materialitas perencanaan,
dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan
kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena:
Keadaan yang melingkupi berubah
Informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya
audit.
Contohnya, klien mungkin dapat memperoleh sumber pembelanjaan untuk
melanjutkan usahanya, yang pada saat audit direncanakan, auditor meragukan
kemampuan klien dalam mempertahankan kelangsungan hidup usaha klien.
Kemudian, audit yang telah dilaksanakan dapat memastikan bahwa karena sumber
pembelanjan tersebut, solvabilitas klien dalam periode yang diaudit telah
mengalami peningkatan secara signifikan. Dalam keadaan ini, tingkat materialitas
yang digunakan oleh auditor dalam mengevaluasi temuan audit dapat lebih tinggi
dibandingkan dengan materialitas perencanaan.
Suatu pertimbangan materialitas mencangkup pertimbangan kuantitatif
dan kualitatif. Contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh
auditor dalam mempertimbangkan materialitas.
a. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti:
1. Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan;
2. Total aktiva dalam neraca;
3. Total aktiva lancar dalam neraca;
4. Total ekuitas pemegang saham dalam neraca.
b. Faktor kualitatif seperti:
1. Kemungkinan tejadinya pembayaran yang melanggar hukum;
2. Kemungkinan terjadinya kecurangan;
3. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank
yang mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa rasio
keuangan pada tingkat minimum tertentu;
4. Adanya gangguan dalam trend laba;
5. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan.
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas
pada dua tingkat berikut ini:
1. Tingkat laporan keuangan, karena pendapatan auditor atas kewajaran
mencangkup laporan keuangan sebagai keseluruhan.
2. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam
mencapai kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
2.1.3.3.2 Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
Menurut Mulyadi (2002:160), auditor menggunakan dua cara dalam
menerapkan materialitas:
1. Auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit.
2. Pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit.
Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas
karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan
yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang
diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Sebagai contoh, jika
auditor memandang Rp 10 juta adalah material untuk laporan keuangan, maka
auditor harus mengkonsumsi waktu dan usaha untuk mengumpulkan bukti audit
mengenai akun-akun secara individual. Jika batas materialitas diturunkan menjadi
Rp 4 juta, auditor harus menambah waktu dan usaha yang diperlukan untuk
mengumpulan bukti audit. Alasan yang mendasari adalah lebih sulit mencari
kekeliruan kecil daripada mencari kekeliruan besar.
Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut
berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secara
gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar
laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru
prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau
penghilangan informasi yang diperlukan.
Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih
dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan.
Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat
materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan
total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih
setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva
lancar, modal kerja, atau modal saham.
Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula
auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan.
Untuk tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji
gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan
keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena:
1. Laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya.
2. Banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
Pertimbangan awal auditor tentang materialitas sering kali dibuat enam
sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu,
pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dbuat
tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil
keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan
perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri.
Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini
diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:
a) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika
terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.
b) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika
terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva.
c) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika
terdapat salah saji 1% dari pasiva.
d) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika
terdapat salah saji ½% sampai1% dari pendapatan bruto.
2.1.3.3.3 Materialitas pada Tingkat Saldo Akun
Meskipun auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan secara
keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap akun-akun secara
individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai dasar untuk
menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan audit. Oleh karena itu, taksiran
materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akun-akun
laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang
dialokasikan ke akun-akun secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji
yang dapat diterima (tolerable misstatement) untuk akun tertentu.
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang
mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material.
Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampur adukkan
dengan istilah saldo akun material.
Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan
konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi
keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya
mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh
karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko salah saji.
Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat
yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun
kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement)
yang melampaui materialitasnya.
Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor
harus mempertimbangkan hubungan antara materialitas tersebut dengan
materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk
merencanakan audit guna mendeteksi salah saji kemungkinan tidak material
secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun
yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.
2.1.3.3.4 Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan
dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat
diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara
individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun
akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga
mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang
melakukan alokasi atas dasar akun neraca.
Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan
untuk memverifkasi akun tersebut. Contohnya, salah saji (overstatement)
kemungkinan lebih besar terdapat dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva
tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan lebih mahal dibandingkan
dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap.
2.1.4 Profesionalisme Auditor
2.1.4.1 Pengertian Profesionalisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:897):
“Profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang
merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.”
Bidang akuntansi telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk
mendapatkan label “profesi”. Badan yang menyusun standar, proses pengujian
dan lisensi, asosiasi profesional, dan kode etik merupakan bukti adanya struktur
profesional untuk akuntansi dan akuntan. Sikap Profesional tercermin pada
pelaksanaan kualitas yang merupakan karakteristik atau tanda suatu profesi atau
seorang profesional.
Sebagai profesional, seseorang mempunyai kewajiban untuk memenuhi
aturan perilaku yang spesifik, yang menggambarkan suatu sikap atau hal-hal yang
ideal. Kewajiban tersebut berupa tanggung jawab bersifat fundamental bagi
profesi untuk memantapkan jasa yang ditawarkan. Seseorang yang profesional
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena diasumsikan bahwa seorang
profesional memiliki kepintaran, pengetahuan, dan pengalaman untuk memahami
dampak aktifitas yang dilakukan (Iriyadi dan Vannyawati, 2011:1).
Sikap dan tindakan profesional merupakan tuntutan diberbagai bidang
profesi, tidak terkecuali profesi sebagai auditor. Auditor yang profesional dalam
melakukan pemeriksaan diharapkan akan menghasilkan audit yang memenuhi
standar yang ditetapkan oleh organisasi. Profesional yang harus ditanamkan
kepada auditor dalam menjalankan fungsinya antara lain dapat melalui pendidikan
dan latihan penjenjangan, seminar, serta pelatihan yang bersifat kontinyu.
Alasan utama mengharapkan tingkat perilaku profesional yang tinggi oleh
setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik atas kualitas jasa yang
diberikan oleh profesi, tanpa memandang individu yang menyediakan jasa
tersebut. Bagi akuntan publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan
eksternal atas kualitas audit dan jasa sangatlah penting. Jika para pemakai jasa
tidak memiliki kepercayaan kepada para dokter, hakim, atau akuntan publik, maka
kemampuan para profesional itu untuk melayani klien serta masyarakat secara
efektif akan hilang.
Konsep profesionalisme auditor yang modern dalam melakukan suatu
pekerjaan berkaitan dengan dua aspek yaitu aspek struktural dan sikap. Aspek
struktural yang karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan sekolah
pelatihan pelatihan, pembentukan asosiasi profesional, dan pembentukan kode
etik. Sedangkan aspek sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme.
Selanjutnya aspek-aspek tersebut dikembangkan dalam skala sikap untuk
mengukur tingkat profesional antara praktisioner pada beberapa profesi yaitu
dokter, jururawat, akuntan, guru, pengacara, pekerja sosial, pialang dan masinis.
Ada beberapa prinsip etika profesi sesuai dengan Aturan Etika
Kompartemen Akuntan Publik (SPAP:2001) yang harus dimiliki oleh seorang
yang profesional untuk menunjang sikap profesionalismenya, yaitu:
1. Prinsip tanggung jawab profesi;
2. Prinsip kepentingan umum (publik);
3. Prinsip integritas;
4. Prinsip objektivitas;
5. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional;
6. Prinsip kerahasiaan;
7. Prinsip perilaku profesional;
8. Prinsip standar teknis.
Menurut Boyton. et al (2001:84):
“Profesional ethics must extend beyond moral principles. They include
standard of behavior for a professional person that are designed for both
practical and idealistic purposes.”
Dari penjelasan di atas dijelaskan bahwa etika profesional itu harus
melampaui prinsip moral. Karena itu merupakan standar perilaku bagi seseorang
profesional.
Elemen-elemen profesionalisme yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
profesionalisme pada auditor internal. Sebelumnya, elemen-elemen ini telah
digunakan oleh beberapa peneliti terdahulu. Richard Ha. Hall (1968) selanjutnya
merumuskan lima elemen profesional yaitu: (1) pengabdian pada profesi; (2)
kewajiban sosial; (3) kemandirian; (4) keyakinan pada profesi; dan (5) hubungan
dengan sesama profesi.
Di dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang digunakan adalah
konsep untuk mengukur bagaimana para profesional memandang profesi mereka
yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka.
2.1.4.2 Dimensi Profesionalisme
Hall Richard (1968:93) mengembangkan profesionalisme meliputi lima
dimensi yaitu:
1. A sense of calling to the field (dedication)
This reflects the dedication of the professional to his work and the feeling
that he would probably want to do the work even if fewer extrinsic
rewards were available.
2. A belief in service to the public (social obligation)
This component includes the idea of indispensability of the profession and
the view that the work performed benefits both the public and the
practitioner.
3. Autonomy (autonomy demands)
This involves the feeling that the practitioner ought to be able to make os
own decisions without external pressure from clients, those who are not
members of his profession, or from his employing organization.
4. Belief in self-regulation
This involves the belief that the person best qualified to judge the work of
a professional is a fellow professional, and the view that such a practice is
desirable and practical. It is a belief in colleague control.
5. The use of the professional organization as a major reference
(professional community affiliation)
This involves both the formal organization and informal colleague
groupings as the major source of ideas and judgments for the professional
in this work.
Dari dimensi profesionalisme di atas dapat dijelaskan bahwa:
1. Bisa diartikan sebagai suatu pengabdian pada profesi yang dicerminkan
melalui dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan
kecakapan yang dimiliki. Tetap melaksanakan profesinya meskipun
imbalan ekstrinsiknya berkurang. Sikap ini berkaitan dengan ekspresi dari
pencurahan diri secara keseluruhan terhadap pekerjaan dan sudah
merupakan suatu komitmen pribadi yang kuat, sehingga kompensasi
utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani dan setelah
itu baru materi.
2. Bisa diartikan sebagai kewajiban sosial yaitu suatu pandangan tentang
pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh
masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Sikap
profesionalisme dalam pekerjaan tidak terlepas dari kelompok orang yang
menciptakan sistem suatu organisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa atribut
personal diciptakan sehingga layak diperlakukan sebagai suatu profesi.
3. Bisa diartikan sebagai suatu sikap kemandirian merupakan yang
menganggap bahwa seorang profesional auditor yang harus mampu
membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain, yaitu mereka
yang bukan anggota profesinya, atau dari organisasinya memperkerjakan.
Adanya intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang
dapat mengganggu otonomi profesional. Banyak orang menginginkan
pekerjaan yang memberikan hak bagi mereka, dan hak istimewa untuk
membuat keputusan-keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat.
Rasa kemandirian akan timbul melalui kebebasan yang diperoleh. Dalam
pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh manajemen secara ketat,
akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa kemandirian dalam
tugas.
4. Bisa diartikan sebagai suatu keyakinan pada profesi yang melibatkan
kepercayaan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional
adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai
kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5. Bisa diartikan sebagai hubungan sesama profesi yang berarti
menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya
organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai
sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional ini
para profesional membangun kesadaran profesinya.
Konsep profesionalisme menjadi suatu hal yang penting, karena auditor
merupakan asset penting KAP dimana auditor itu bekerja sebagai indikator
keberhasilan KAP. Diharapkan auditor yang mempunyai profesionalisme yang
tinggi akan mampu memberikan konstribusi yang baik bagi KAP dan memberikan
pelayanan yang optimal bagi kliennya
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan telah pustaka serta beberapa penelitian terdahulu, maka
peneliti mengindikasikan faktor yang berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat
materialitas di dalam proses pengauditan laporan keuangan dilihat dari
profesionalisme auditor. Untuk membantu dalam memahami faktor yang
berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas, diperlukan satu kerangka
pemikiran. Dari landasan teori yang telah diuraikan di atas, disusun hipotesis yang
merupakan alur pemikiran dari peneliti, kemudian digambarkan dalam kerangka
teoritis yang disusun sebagai berikut:
Gambar 2.1
Model Kerangka Pemikiran
Di dalam penelitian ini, yang dikembangkan meliputi variabel independen,
dan variabel dependen. Variabel independen sikap profesionalisme (X) meliputi:
Dedication (pengabdian pada profesi), Sosial obligation (kewajiban sosial),
Autonomy (kemandirian), Belief self regulation (keyakinan pada profesi),
Professional community affiliation (hubungan dengan sesama profesi). Sedangkan
variabel dependen adalah pertimbangan tingkat materialitas (Y).
Professionalisme Auditor (X)
1. Dedication (pengabdian
pada profesi)
2. Sosial obligation (kewajiban
sosial)
3. Autonomy ( kemandirian)
4. Belief self regulation
(keyakinan terhadap profesi)
5. Professional community
affiliation (hubungan
dengan sesama profesi)
Pertimbangan Tingkat
Materialitas
(Y)
2.2.1 Review Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pertimbangan tingkat materialitas telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan
yaitu:
a. Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah (2006)
Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profesionalisme Auditor
Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan”.
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang terdapat di Kantor
Akuntan Publik (KAP) Suprihadi dan Rekan di Malang. Jumlah karyawan
yang terdapat di KAP tersebut sebanyak 58 karyawan. Pada penelitian ini
jumlah populasi ada 58 karyawan dan akan diambil sampel sebanyak 30
karyawan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
menggunakan kuesioner yaitu dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan
dimana responden tinggal memilih pilihan jawaban yang dianggap paling
sesuai. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dari analisa regresi
berganda menunjukkan ada 4 variabel yang secara signifikan berpengaruh
terhadap pertimbangan tingkat materialitas yaitu: variabel pengabdian pada
profesi (X1), kemandirian (X
3), kepercayaan profesi (X
4), dan hubungan
dengan sesama rekan seprofesi (X5). Sedangkan variabel kewajiban sosial
(X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas
b. Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto (2008)
Melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Profesionalisme,
Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap
Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik”. Obyek penelitian yang
diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan
akuntan publik yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para
akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua
tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai
akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki
pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas. Hasil penelitian
menunjukan bahwa profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi
kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif
terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses
pemeriksaan laporan keuangan.
c. Reni Yendrawati (2008)
Melakukan penelitian dengan judul “Analisis Hubungan Antara
Profesionalisme Auditor Dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam
Proses Pengauditan Laporan Keuangan”. Populasi penelitian ini adalah
akuntan atau lulusan jurusan akuntansi yang bekerja pada Kantor Akuntan
Publik ( KAP ) yang berada di kota Yogyakarta. Responden dalam penelitian
ini adalah para profesional yang bekerja di Kantor Akuntan Publik baik
sebagai karyawan magang, auditor junior, auditor senior, supervisor, manajer
maupun partner. Hasil penelitian ini adalah Dari 5 (lima) dimensi
profesionalisme auditor, yaitu: pengabdian terhadap profesi, kewajiban
sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan sesama profesi
yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas
adalah hanya dimensi keyakinan terhadap profesi. Sedangkan dimensi yang
lain tidak mempunyai hubungan signifikan.
d. Iriyadi dan Vannywati (2011)
Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profesionalisme Auditor dan
Etika profesi terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas”. Penelitian ini
dilakukan terhadap 155 Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berada di
wilayah Jakarta, kepada anggota yang di dalamnya yaitu: auditor senior,
auditor junior, supervisor, manager, dan partner. Sampel atau responden dalam
penelitian ini ada ua macam kuesioner. Hasil penelitian ini adalah bahwa
profesionalisme auditor dan etika profesi auditor mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
No Nama
Peneliti
Judul
penelitian
Variabel Alat / uji
Sampel
Hasil
Penelitian
1 Hendro
Wahyudi
dan Aida
Ainul
Mardiyah
(2006)
Pengaruh
Profesionalisme
Auditor
Terhadap
Tingkat
Materialitas
Dalam
Pemeriksaan
Laporan
Keuangan
Variabel
independen:
Profesionaisme
(5 dimensi)
Pengabdian
pada profesi,
kewajiban
sosial,
kemandirian,
keyakinan pada
profesi, dan
hubungan
sesame profesi
Variabel
dependen:
Tingkat
Materialitas
regresi
berganda
(multiple
regression)
pengabdian
pada profesi,
kemandirian,
keyakinan pada
profesi, serta
hubungan
sesame profesi
berpengaruh
signifikan
terhadap tingkat
materialitas
dalam
pemeriksaan
laporan
keuangan
2 Arleen Pengaruh Variabel multiple Profesionalisme,
Herawaty
dan Yulius
Kurnia
Susanto
(2008)
Profesionalisme,
Pengetahuan
Mendeteksi
Kekeliruan, dan
Etika Profesi
Terhadap
Pertimbangan
Tingkat
Materialitas
Akuntan Publik
independen:
Profesionalisme,
pengetahuan
mendeteksi
kekeliruan, dan
etika profesi
Variabel
dependen:
tingkat
materialitas
regression
analysis
pengetahuan
mendeteksi
kekeliruan, dan
etika profesi
mempunyai
hasil yang
signifikan
terhadap
pertimbangan
tingkat
materialitas
3 Reni
Yendrawati
(2008)
Analisis
Hubungan
Antara
Profesionalisme
Auditor Dengan
Pertimbangan
Tingkat
Materialitas
Dalam Proses
Pengauditan
Laporan
Keuangan
Variabel
independen:
profesionalisme
auditor
variabel
dependen:
pertimbangan
tingkat
materialitas
metode
kendall-
tau.
Keyakinan
terhadap profesi
mempunyai
hasil yang
signifikan
terhadap
pertimbangan
tingkat
materialitas
4 Iriyadi dan
Vannywati
(2011)
Pengaruh
Profesionalisme
Auditor dan
Etika profesi
terhadap
Pertimbangan
Tingkat
Materialitas
Variabel
independen:
profesionalisme
auditor, dan
etika profesi
variabel
dependen:
pertimbangan
tingkat
materialitas
Regresi
linier
berganda
Profesionalisme
auditor, dan
etika profesi
mempunyai
pengaruh yang
signifikan
terhadap
pertimbangan
tingkat
materialitas.
2.3 Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Hubungan Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan tingkat
Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan
Materialitas adalah suatu error yang sangat sulit untuk diukur dan
ditentukan tergantung pada pertimbangan dari auditor. Keadaan tersebut
mengidentifikasikan bahwa dalam suatu audit dibutuhkan akurasi-akurasi
prosedur audit yang tinggi untuk mengetahui atau bila mungkin meminimalkan
unsur resiko dalam suatu audit. Di sinilah sikap profesionalisme auditor
dibutuhkan dalam menetukan tingkat materialitas dari laporan keuangan yang
diaudit. Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan
profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang kebutuhan yang
beralasan dari laporan keuangan (Mulyadi, 2002:160).
Menurut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik SPAP (PSA 25 SA
Seksi 312 Para 10), pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan
pertimbangan profesional dan dipengaruhi persepsi auditor atas kebutuhan orang
yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan
terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan
auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangkan
kualitatif dan kuantitatif.
Seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan
cermat dan seksama saat melakukan proses audit dan penyusunan laporan
keuangan. Untuk itu seorang auditor harus membuat perencanaan audit sebelum
memulai proses audit. Auditor diharuskan menentukan tingkat materialitas awal,
sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin seorang auditor
itu profesional maka semakin auditor tersebut tepat dalam menentukan tingkat
materialitas. Profesionalisme auditor tersebut dapat diukur melalui: pengabdian
terhadap profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian,
keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan dengan sesama profesi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
Ha: Profesionalisme auditor berpengaruh positif terhadap pertimbangan
tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan.