Download - A a Aaaaaaaaaaaa
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh
manusia. Kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Di Indonesia, TB masih
merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki
peringkat ketiga penyumbang kasus terbanyak di dunia 1, 2, 5. Penyakit TB anak
merupakan penyakit sistemik yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ terutama
paru. Sifat sistemik ini karena adanya penyebaran hematogen dan limfogen setelah
terjadinya infeksi primer Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan
spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada
pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan
langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes mantoux dan foto
rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit .Dengan
pedoman ini diharapkan cakupan deteksi TB pada anak di lapangan dapat ditingkatkan.
Untuk fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, UKK Pulmonologi PP IDAI sedang
menyusun diagnostik TB dengan sistem skoring 1.
Selain itu masalah gizi merupakan kesehatan masyarakat yang
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat
kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga
menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola hidup
sehat1. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur
harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam pennetuan keberhasilan
pembangunan negara2.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi
makro dan kurang gizi mikro5. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan gizi dan protein. Masalah gizi
mikro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai
dengan kekurangan zat gizi mikro 3,4,6.
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa
prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun
kondisi tesebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk, bahkan prevalensi
gizi buruk cenderung meningkat5.
I.2 TUJUAN PENULISAN
1. Penulisan persentasi kasus ini bertujuan agar penulis dan para pembaca
mengetahui dan memahami teori tetanus
2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An. D Nama ayah : Tn. Jayadi
Tempat dan
tanggal lahir/Umur
: palimana , 12-02-
2004 (10 th)
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : permpuan Pendidikan : SLTP
Alamat : ds palimanan kec
cirebon rt 22 rw no 1
Pekerjaan
Nama ibu
: Supir Angkot
: Ny. Ida Riani
Masuk RS : 31 Januari 2014 Umur : 25 tahun
No. CM : 833403/10077 Pendidikan : SD
Tgl. diperiksa : 3 Februari 2014 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
II. ANAMNESIS
(alloanamnesis terhadap: ibu pasien tanggal 3 Februari 2014 pukul 07.00 WIB)
1. Keluhan Utama : Sesak Nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafas
sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dapat muncul kapan saja, dan
sesak akan memberat apabila pasien mengalami kelelahan, saat sesak ibu pasien
mengaku tidak terdengar suara mengi. Sesak tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Selain sesak pasien mengeluhkan batuk sejak 4 tahun yang lalu dan dirasakan
hingga sekarang. Batuk terkadang berdahak bewarna putih, kental dan terkadang
disertai darah. Semenjak 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak mau
makan nasi, hanya minum susu dan makan biskuit 1-2x perhari.
Sejak usia 6 tahun ibu pasein mengaku berat badan anaknya tidak naik,
pasien sulit untuk makan, sehari makan 1x menu nasi, kecap dan garam, ibu
pasien membiarkan anaknya tidak mau makan, asupan makanan diganti dengan
jajanan yang lebih disukai anaknya.
Pada usia 8 tahun pasien pernah berobat ke puskesmas dengan keluhan
batuk lama, dipuskesmas pasien diberikan pengobatan selama 6 bulan namun
pada pengobatan bulan ke 2 pengobatan berhenti karena pasien terlihat sehat,
sehingga pengobatan tidak dilanjukan.
Ibu pasien mengaku anak kedua dan ketiganya juga terkena tb paru dan
tinggal satu rumah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pada usia 2 tahun pasien pernah mengalami diare lama dan pengobatan
dilakukan di puskesma. Usia 6 tahun pasien melakukan pengobatan TB di
puskesmas namun berhenti pada pengobatan bulan ke 2.
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Kedua kakak pasien yang tinggal 1 rumah pernah mengeluhkan keluhan
batuk lama, penurunan berat badan dan sudah selesai melakukan pengobatan
TB paru selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh
5. Silsilah/Ikhtisar keturunan:
6. Riwayat Pribadi:
¨ Riwayat kehamilan:
Saat kehamilan Ibu memeriksaan kehamilan ke bidan secara teratur
kurang lebih lima kali selama masa kehamilan, tetapi tidak pernah mendapat
suntikan toksoid tetanus; pasien tidak mendapat imunisasi lengkap.
¨ Riwayat persalinan:
Pada saat persalinan, pasien lahir cukup bulan dengan usia kehamilan 38
minggu, lahir spontan oleh bidan dengan berat bayi lahir 2500gr, panjang badan
saat lahir ibu pasien lupa,
¨ Riwayat pasca lahir
Menurut ibu pasien, setelah dilahirkan anak langsung menangis, gerakan
aktif, tidak mengalami sesak ataupun kebiruan setelah lahir.
7. Riwayat Makanan:
Menurut keterangan ibu pasien sejak usia nol sampai enam bulan pasien
diberikan ASI (air susu ibu) dengan diselingi oleh susu formula karena ibu pasien
sibuk dengan perkerjaannya. pada saat usia enam bulan sampai dua belas bulan
pasien tetap diberikan ASI dan susu formula dan diselingi dengan bubur susu dan
biskuit susu. Sejak usia 1 tahun sampai dua tahun pasien tetap minum susu formula
dan makanan biasa namun pasien hanya makan makanan yang pasien suka saja
seperti makan nasi dan kecap garam krupuk terkadang jika dipaksa mau makan
telur.usia dua tahun sampai sekarang makanan masih seperti sebelumnya nasi putih,
kecap, garam , tempe, tahu, telur, namun anak lebih suka makan biskuit dan ciki atau
jajanan di warung.
8. Perkembangan:
Ibu pasien tidak mengingat perkembangan pasien dengan jelas .Ibu pasien hanya
ingat, pasien merangkak saat usia 7 bulan dan berjalan saat usia hampir 1 tahun.
Pasien bersekolah SD di usia delapan tahun, menurut ibu pasien kurang bisa
mengikuti pelajaran disekolahnya.pasien masih menggunakan dot bayinya sampai
sekarang
9. Imunisasi:
Menurut ibu pasien, pasien hanya mendapatkan imunisasi berupa BCG satu
kali dan polio satu kali saat usia 1 bulan di puskesmas. Imunisasi tidak lengkap
dikarenakan ayah pasien mengaku tidak tahu jadwal imunisasi untuk anaknya.
Menurut keterangan ayah pasien, saat hamil, ibu pasien tidak mendapatkan suntikan
toksoid tetanus selama hamil
10. Sosial Ekonomi dan Lingkungan
¨ Sosial Ekonomi:
Pasien tinggal bersama ibu dan 2 saudara kandung yang sudah
berkeluarga memiliki 2 anak. Ayah sudah meninggal sejak pasien
berusia 5 tahun sekarang penghasilan keluarga tertumpu pada ibu yang
merupakan pembantu rumah tangga dan sebagai penjual makanan
dengan penghasilan yang tidak tentu, terbanyak Rp700.000,00 sebulan
untuk menghidupi anak-anak dan menantunya.
¨ Lingkungan:
Ukuran rumah 10×7 m2, 3 kamar, ventilasi dan cahaya hanya dua di
bagian depan dan belakang rumah, KM dan WC di dalam rumah,
sumber air sumur. Rumah berada di lingkungan padat penduduk.
III. PEMERIKSAAN FISIS:
A. Pemeriksaan Umum:
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dan kompos
mentis, tanda vital pasien seperti tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100
x/menit, nadi teratur dan isi cukup, pernapasan 30 x/menit dan suhu
36,40C.Berat badan 16 kg dan tinggi badan 126 centimeter.
Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan dibandingkan dengan
umur. Badan terlihat kurus. Diketahui juga nilai antropometri anak lingkar
kepala 50 sentimeter. Lingkar lengan atas 13 sentimeter lingkar paha 22
sentimeter lingkar perut 60 sentimeter lingkar thoraks 61 sentimeter
Berdasarkan kurva CDC (2 to 20 years: girls “Weight for age percentiles”)
BB/U = 16 / 33 x 100% = 48.4% kurva CDC (2 to 20 years: girls “Weight
BT/U = 130 / 135 = 92.0 % dan BB/TB = 16 / 27 = 59,2 %. Kesimpulan status
gizi pasien ini adalah gizi buruk. (kurva CDC/NCHS dan standard WHO-
NCHS)
B. Pemeriksaan Khusus
Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna sawo matang
agak gelap tidak ada sikatrik, tidak tampak nodul, petekiae dan hematom
bentuk kepala normal, rambut berwarna hitam kemerah - merahan panjang 35
centimeter mudah patah tidak tampak puffy. Pada mata bentuk normal,
kedudukan bola mata dan alis mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat, isokor diameter dua milimeter reflek
cahaya langsung positif reflek cahaya tidak langsung positif tidak tampak bitot
spot pada kedua mata, tidak tampak xerosis konjungtiva pada kedua mata.
Telinga bentuk normal, lapang , tidak tampak serumen, tidak hiperemis, tidak
teraba pembesaran kelenjar getah bening, dan tidak ada nyeri tekan pada kedua
telinga. Hidung bentuk simetris, deviasi septum tidak ada, lapang, sekret tidak
ada, dan tidak terdapat pernapasan cuping hidung. Bentuk mulut tidak ada
kelainan, mukosa bibir tidak kering, lidah tidak kotor tidak tampak kering, dan
faring tampak hiperemis tonsil tidak membesar T1-T1. Leher tidak tampak
masa atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba pada supra klavicula dextra
sebesar 0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas tegas mobile, trakea ditengah
dan kaku kuduk tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik thoraks pasien, dimulai dengan pemeriksaan
jantung, pada inspeksi ictus cordis tidak terlihat, palpasi ictus cordis teraba,
perkusi terdengar redup, dan pada auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II
normal reguler, tidak ada murmur maupun gallop. Pemeriksaan dilanjutkan
dengan pemeriksaan paru, pada inspeksi terlihat bentuk datar, pergerakan
dinding dada kanan dan kiri simetris tampak iga gambang pada kedu paru.
Pada palpasi, fremitus taktil dan fremitus vokal sama kiri dan kanan. Pada
perkusi, terdengar suara sonor pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi,
terdengar suara nafas vesikuler pada seluruh lapang paru, terdapat suara
tambahan berupa ronki pada seluruh bagian paru kiri dan kanan dan tidak
terdengar wheezing pada kiri dan kanan. pemeriksaan abdomen, pada inspeksi
terlihat permukaan dinding abdomen datar dan tegang, tidak ada sikatriks
maupun massa dan tidak terdapat nyeri tekan. Pada auskultasi, terdengar bising
usus normal. Pada perkusi, terdengar suara timfani pada seluruh kuadran
abdomen. Pada palpasi, perut supel datar halus , turgor kulit normal, tidak
terdapat hepatomegali serta tidak ada nyeri tekan. Pemeriksaan eksterimitas
superior maupun inferior, teraba akral hangat dan tidak ditemukan oedema,
terdapat muscles atropy pada ekstremitas superior dan inferior. Tidak terdapat
baggy pants.
IV. DATA LABORATORIUM
Darah Rutin (7 – 1 -2014)
Hemoglobin 11,9 gr/dL
Leukosit 10.100 /ul
Trombosit 248.000 /ul
Hematokrit 37,1 %
KGDS 100 mg/dl
V. RINGKASAN DATA DASAR
A . ANAMNESIS
Anak perempuan 10 tahun 16 kg
Sesak (+) batuk (+) dirasakan sejak terus menerus disertai dahak berwarna putih
terkadang disertai darah .
Batuk lama dirasakan sejak usia 6 tahun namun tidak selesai pengobatan karena
pasein merasa sudah sehat di bulan ke 2 pengobatan.
Di keluarga terdapat riwayat pengobatan tb selama 6 bulan
Riwayat kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran kurang baik
Riwayat pemberian makanan kurang baik
Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan psikomotor terlambat
Riwayat imunisasi tidak baik
Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan tidak baik
B. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : lemah, komposmentis
Tanda vital : tekanan darah normal, nadi normal, pernafasan normal,
suhu normal
Kepala : tampak rambut berwarna hitam kemerahan mudah patah
Leher : supra klavicula dextra sebesar 0,5 x 0,3 dengan
konsistensi kenyal batas tegas mobile, faring tampak
hiperemis
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dari Pemeriksaan Laboratorium Hasil Leukosit 10.100, hematokrit 37,1%,
trombosit 248.000/mm3. KGDS 100 mg/dl
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. Gizi buruk
2. TB paru dengan putus obat
VII. DIAGNOSIS BANDING
Asma episodik jarang di luar serangan
VIII. RENCANA PENGELOLAAN
A. Rencana Pemeriksaan
BTA
RŐ thorax
Cek elektrolit
B. Rencana Pengobatan dan diet
1. Medikamentosa
IVFD KAEN 1B 16 tpm makrodrip
Vit A 100.000 UI
OAT 1x1 pulv
Inodroxin 100 mg
Pirasinamid 250 mg
Rimfampisin 175 mg
Antrain 3x85 mg (k.p)
Ranitidin 2x8 mg
Ambroksol 3 x 21 mg
Cefotaxime 2 x 850 mg
2. Diet (Kebutuhan cairan, kalori, jenis makanan)
BB ideal = ((7x5) – 5)/2 = 33
Terapi diet = (40-65) kal x 16 kg = 640 - 1040 kal/hari,
Dinaikan bertahap sampai = (40-65) kall x 33 = 1320-2145 kal/hr
Makanan biasa
Jika penanganan menggunakan F-75 pemberia 2x siang dan malam
Energi 80-100 kall x 16 = 1280 – 1600 kall / hr
Cairan 130 ml x 16 = 2080 ml/ hr
C. Rencana Pemantauan
- Pemantauan tanda-tanda vital, Batuk, Nafsu makan,Berat badan
- Pemantauan timbulnya penyulit
- Pemantauan intake makanan dan kalori
D. Rencana Edukasi
1. Meyakinkan bahwa pasien dan keluarga agar meminum obat secara teratur dan
tidak putus agar prognosis baik
2. Memberitahukan kepada keluarga agar meberi asupan gizi yang cukup agar
anak bisa sehat dan mencapai berat badan ideal
3. Memberitahukan informasi mengenai efek samping obat yang diberikan
kepada pasien
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia adbonam
Follow Up tanggal 8 januari 2014
P : 110x/menit
R : 27x/menit
S : 36,3OC
Pasien dalam keadaan masih batuk tidak terasa sesak, tidak demam ,tidak
terdapat kejang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
komposmentis.
Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva
anemis, tidak terdapat sklera ikterik rambut masih tampak kemerahan mudah
patah . Mulut sedikit bisa dibuka dan Wajah kaku. . Leher tidak tampak masa
atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba pada supra klavicula dextra sebesar
0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas tegas mobile, trakea ditengah dan
kaku kuduk tidak ada. Thorakx cembung normal, simetris dalam keadaan statis
dan dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak terdengar murmur dan
tidak ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan tidak terdengar
wheezing. Abdomen datar lembut, bising usus + normal, perut papan sudah
tidak teraba ,tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.
Ekstremitas akral teraba hangat ,tidak ada edema, ekstremitas spatis tungkai
atas dan bawah. Berat badan 16 kg
Follow Up tanggal 9 januari 2014
P : 100x/menit
R : 26x/menit
S : 35,9OC
Pasien dalam keadaan masih batuk tidak terasa sesak, tidak demam ,tidak
terdapat kejang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
komposmentis.
Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva
anemis, tidak terdapat sklera ikterik rambut masih tampak kemerahan mudah
patah .. Leher tidak tampak masa atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba
pada supra klavicula dextra sebesar 0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas
tegas mobile, trakea ditengah dan kaku kuduk tidak ada faring masih tampak
hiperemis. Thorakx cembung normal, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak terdengar murmur dan tidak
ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan tidak terdengar wheezing.
Abdomen datar lembut, bising usus + normal, perut papan sudah tidak
teraba ,tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan. Ekstremitas
akral teraba hangat ,tidak ada edema, ekstremitas spatis tungkai atas dan
bawah. Berat badan 16 kg
Follow Up tanggal 10 januari 2014
P : 100x/menit
R : 26x/menit
S : 35,9OC
Pasien dalam keadaan masih batuk tidak terasa sesak, tidak demam ,tidak
terdapat kejang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
komposmentis. Ibu pasien meminta pulang paksa.
Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva
anemis, tidak terdapat sklera ikterik rambut masih tampak kemerahan mudah
patah .. Leher tidak tampak masa atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba
pada supra klavicula dextra sebesar 0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas
tegas mobile, trakea ditengah dan kaku kuduk tidak ada faring masih tampak
hiperemis. Thorakx cembung normal, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak terdengar murmur dan tidak
ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan tidak terdengar wheezing.
Abdomen datar lembut, bising usus + normal, perut papan sudah tidak
teraba ,tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan. Ekstremitas
akral teraba hangat ,tidak ada edema, ekstremitas spatis tungkai atas dan
bawah. Berat badan 16 kg
TINJAUAN PUSTAKA
1. TUBERKULOSIS ANAK
1.1 Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh
manusia. Kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Di Indonesia, TB masih
merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki
peringkat ketiga penyumbang kasus terbanyak di dunia 1, 2, 5.
Penyakit TB anak merupakan penyakit sistemik yang dapat bermanifestasi pada
berbagai organ terutama paru. Sifat sistemik ini karena adanya penyebaran hematogen
dan limfogen setelah terjadinya infeksi primer Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan
spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada
pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan
langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes mantoux dan foto
rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit 1.
Masalah yang dihadapi dalam penanggulangan TB anak adalah 1:
Diagnosis sulit
Pengobatan lama
Belum ada vaksin yang betul-betul baik
Sehubungan dengan kesulitan penanggulangan TB anak terutama dalam aspek
diagnosis, UKK Pulmonologi PP IDAI menyusun suatu pedoman nasional TB anak.
Pedoman ini dimaksudkan untuk digunakan di lapangan dan di pelosok yang fasilitas
diagnostiknya terbatas. Untuk sejawat dokter atau fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap, perangkat diagnostik yang ada seyogyanya digunakan semaksimal mungkin.
Misalkan layanan kesehatan spesialistik dan rumah sakit tipe C, uji tuberkulin
seharusnya dilakukan. Rumah sakit yang mempunyai fasilitas biakan dan pemeriksaan
patologi anatomik juga harus melengkapi diagnostik sesuai kemampuannnya 1.
Dengan pedoman ini diharapkan cakupan deteksi TB pada anak di lapangan
dapat ditingkatkan. Untuk fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, UKK Pulmonologi PP
IDAI sedang menyusun diagnostik TB dengan sistem skoring 1.
1.2 Etiologi 3
Mycobacterium tuberculosis nerupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili
Mikobakteriaseae. Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah,
pleimorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2-4 µm.
Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41°C, menghasilkan niasin dan tidak
ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid
antibodi dan komplemen. Tanda semua mikobakteria adalah ketahanan asamnya—
kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan seperti
kristal violet, karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Bila diwarnai, mereka melawan
perubahan warna dengan etanol dan hidroklorida atau asam lain. Oleh karena itu, kuman
ini disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
1.3 Patogenesis 1, 3
Penularan M.tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet lendir berinti yang
dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung dengan kotoran cair
terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila
penderita mempunyai ludah dengan BTA, infiltrat dan kaverna lobus atas yang luas,
produk sputum encer yang banyak sekali, dan batuk berat serta kuat.. Faktor lingkungan
terutama sirkulasi udara yang buruk memperbesar penularan.
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya sangat kecil (< 5µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Namun, bila
makrofag alveolus lemah, kuman TB akan bereplikasi dalam makrofag dan
menyebabkan makrofag lisis, dan kuman TB membentuk koloni. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis),
dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu dengan
pertumbuhan mencapai jumlah 103-104 yang cukup untuk merangsang respons imun
seluler.
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positiif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi biasanya sering terjadi komplikasi:
1. Penyebaran limfohematogen: akan menjadi TB milier atau meningitis TB
2. TB endobronkial: lesi segmental akibat pembesaran kelenjar regional
3. TB paru kronik: akibat reaktivasi kuman dalam lesi yang tidak mengalami resolusi
sempurna.
Bagan Patogenesis Tuberkulosis 1:
Infeksi Mycobacterium tuberculosis
↓
Kuman mati ← Fagositosis oleh makrofag alveolus paru
↓
Kuman hidup
berkembang biak
↓
Uji tuberkulin (+) ←
Sakit TB Infeksi TB
↓ ↓ ↓
Meninggal Sembuh --------------------------------------------Sakit TB
1.4 Diagnosis 1, 2, 6, 8
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya basil TB dari bahan yang
diambil dari pasien, misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi, dll. Pada anak, spesimen
tersebut sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan
atas gambaran klinis, uji tuberkulin, dan gambaran radiologis.
Gejala umum / nonspesifik TB anak:
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi.
Anoreksia dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik secara adekuat (failure to thrive).
Komplikasi kompleks primerKomplikasi penyebaran hematogenKomplikasi penyebaran limfogen Imunitas optimal
Penyebaran fokus primer
Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen
Kompleks Primer
terbentuk imunitas spesifik seluler
Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi
saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, paling
sering di daerah leher, axilla dan inguinal.
Batuk lama lebih dari 30 hari.
Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Gejala spesifik sesuai organ yang terkena:
TB kulit / skrofuloderma
TB tulang dan sendi (gibbus, pincang)
TB SSP: Meningitis TB dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah, dan kesadaran
menurun.
TB mata (konjungtivitis fliktenularis, tuberkel koroid, dll)
1.5 Petunjuk WHO untuk diagnosis TB anak 4:
a. Dicurigai tuberculosis
1.Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan diagnosis pasti (BTA
positif)
2. Anak dengan:
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan.
BB menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan terapi antibiotik untuk
penyakit pernapasan.
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:
Uji tuberkulin positif (10 mm/lebih)
Foto Rontgen paru sugestif tuberkulosis.
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis.
Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT.
c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan.
SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK1
Parameter 0 1 2 3
Kontak Tb Tidak jelas Laporan keluarga,
BTA (-) atau tidak
tahu
Kavitas (+), BTA
tidak jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif ( ≥ 10
mm atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/
keadaan gizi
BB/TB < 90% atau
BB/U < 80%
Klinis gizi buruk
atau BB/TB<
70%
atau BB/U < 60%
Demam tanpa sebab
jelas
≥ 2 minggu
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran kelenjar
limfe kolli, aksila,
inguinal
≥ 1cm, jumlah >1,
tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
Ada pembengkakan
Foto Rontgen toraks Normal/tidak
jelas
Infiltrat
Pembesaran
kelenjar
Konsolidasi
segmental/
lobar
atelektasis
kalsifikasi +
infiltrat
pembesaran
kelenjar +
infiltrat
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis
Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada Tb anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring Tb anak
Didiagnosis Tb jika skor ≥ 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih
bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang
dilaksanakan.
1.6 Pemeriksaan Penunjang 1, 2, 5
1. Uji tuberculin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan)
menggunakan semprit tuberkulin 1cc jarum no.26. Tuberkulin yang dipakai adalah
tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2TU atau PPD-S kekuatan 5TU. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal dari indurasi
yang terjadi, bukan dari eritemanya. Ukuran dinyatakan dalam milimeter.
Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB, dan kemungkinan ada TB
aktif (Sakit TB) pada anak.
Uji tuberkulin dapat negatif pada TB berat dan anergi (malnutrisi, penyakit sangat
berat, pemberian imunosupresif, keganasan (leukemia), morbili, varisela, dan
penyakti infeksi lain).
Uji tuberkulin dengan tuberkulin baku PPD RT23 2TU dikatakan positif bila
indurasi: ≥ 10 mm pada gizi baik
≥ 5 mm pada gizi buruk
Jika uji tuberkulin meragukan (hasil 5-9 mm bukan pada gizi buruk) dilakukan uji
ulang dalam waktu minimal 2 minggu
2. Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas
Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau
kelenjar paratrakeal.
Gambaran rontgen paru sugestif Tb:
Pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan / tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental / lober
Atelektasis
Milier
Kavitas
Kalsifikasi
Catatan : Jika dijumpai ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran
radiologis, harus dicurigai Tb. Foto Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan
lateral serta dibaca oleh ahlinya.
3. Pemeriksaan mikrobiologi :pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dan kultur
dari sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum sulit didapat ).
4. Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan indurasi ≥
5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
5. Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
6. Pemeriksaan patologi anatomi (hanya jika ada indikasi).
7. Respon terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat perbaikan klinis
nyata, akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC.
Hal-hal yang mencurigakan TB :Kontak erat dengan pasien TB sputum BTA (+).Reaksi cepat BCG, yaitu timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3 – 7 hari setelah BCG.Berat badan turun tanpa sebab jelas, atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penangan gizi (failure to thrive).Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas.Batuk lama, lebih dari 3 minggu.Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik.Skrofuloderma.Konjungtivitis fliktenularis.Uji tuberkulin yang positif ( ≥ 10 mm ).Gambaran foto Rontgen sugestif TB.
Bila ≥ 3 positif
Dianggap TB
Beri OATObservasi 2 bulan
Membaik Memburuk / tetap
ALUR DETEKSI DINI DAN RUJUKAN TB ANAK 1
Untuk penggunaan di lapangan dan fasilitas kesehatan terbatas
PENGOBATAN
TB kebal obat (MDR)TB
OAT Teruskan
Bukan TB
Rujuk ke RS
Evaluasi ulang di Rumah Sakit Rujukan : Gejala klinis Uji tuberkulin Foto Rontgen dada Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi Pemeriksaan patologi anatomikProsedur diagnosis dan tatalaksana yang sesuai dengan prosedur RS yang bersangkutan.
PERHATIANBila terdapat tanda bahaya seperti : Kejang Kesadaran menurun Kaku kudukAtau tanda lain seperti : Benjolan di punggung Pincang Fenomena papan catur→ Segera rujuk ke Rumah Sakit !
1.7 Penatalaksanaan 1, 2, 4, 6
Prinsip dasar pengobatan TB anak tidak berbeda dengan TB dewasa, tetapi ada
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian 1:
Susunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ-4HR. Tahap intensif terdiri dari
isoniazid (H), rifampisin (R), dan pirazinamid (Z) selama 2 bulan. Tahap lanjutan
terdiri dari isoniazid (H), dan rifampisin ®, selama 4 bulan diberikan setiap hari.
Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap
hari, bukan 2 kali perminggu.
Dosis obat yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak. Diupayakan
menggunakan obat tablet dengan dosis yang telah ada di pasaran, perlu dibahas
kemungkinan bentuk lain.
Obat diberikan secara Cuma-Cuma bila tak mampu, untuk keluarga mampu
sebaiknya membayar.
Obat yang dipakai dan dosisnya 1, 2, 4:
INH : 5-15 mg/kg BB/hari (maks 300 mg/hari)
Rifampisin : 10-15 mg/kg BB/hari (maks 600 mg/hari)
Pirazinamid : 25-35 mg/kg BB/hari (maks 2 gram/hari) diberikan 1x /
2x
Streptomisin : 15-30 mg/kg BB/hari (maks 1 gram/hari)
Etambutol : 15-20 mg/kg BB/hari (maks 2,5 gram/hari)
Batasan / penggolongan berat badan 1:
Bila BB > 33 kg dimasukkan golongan dewasa
Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
Bila dikombinasi H & R, H tidak boleh lebih dari 10 mg/kg BB, R tidak boleh
lebih dari 15 mg/kg BB
Nama Obat Berat < 10 kg 10 – 20 kg 20 – 33 kg
INH (H) 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin (R) 75 mg 150 mg 300 mg
PZA (Z) 150 mg 300 mg 600 mg
INH dan Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer, boleh dicampur saat
meminumnya
Catatan lain :
1. Dipakai 3 macam obat ( INH, Rifampisin, dan PZA atau EMB ) pada 2 bulan
pertama dan 2 macam obat ( INH dan Rifampisin ) pada 4 bulan berikutnya
(2RHZ-4RH).
2. Pada TB berat (meningitis TB, TB milier) diberikan kombinasi 4-5 OAT,
sedangkan INH dan Rifampisin diberikan sampai 12 bulan. Steroid diberikan
dengan lama pemberian sesuai dengan jenis TB beratnya, dan dihentikan secara
bertahap (tappering off).
3. Sulit menetapkan dosis yang tepat PZA untuk tiap golongan berat badan.
4. Pengalaman selama 30 tahun dengan etambutol dosis 15 – 20 mg/kg BB/hari
tidak dijumpai efek samping kebutaan.
5. Pemberian Streptomisin 30 mg/kg BB/hari tidak menyebabkan efek samping.
Waktu dahulu diberikan 50 mg/kg BB/hari memang terjadi banyak efek samping
ketulian. Streptomisin sebaiknya hanya diberikan di rumah sakit.
6. Kalau ada kegagalan karena resistensi obat maka diganti sesuai dengan hasil uji
resistensi, atau tambah dan ubah kombinasi OAT.
Obat profilaksis (pencegahan) dengan INH 5 – 10 mg/kg BB/hari 1:
1. Profilaksis primer : anak yang kontak erat dengan pasien TB menular (BTA +).
Diberikan selama ada kontak, minimal 3 bulan.
2. Profilaksis sekunder : diberikan selama 1 tahun atau sesuai indikasinya
Anak dengan infeksi TB yaitu uji tuberkulin positif dan klinis baik :
Umur di bawah 5 tahun
Menderita penyakit infeksi (morbili, varicella)
Mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik, steroid dll)
Umur akil balik, atau
Infeksi baru TB (kurang dari 12 bulan = konversi baru uji tuberkulin)
1.8 Evaluasi 1
2 bulan pengobatan klinis membaik obat diteruskan.
2 bulan pengobatan klinis memburuk atau tidak ada perbaikan, rujuk ke rumah
sakit atau dokter ahli (untuk evaluasi diagnosis).
Bagi yang makan obat tidak teratur (tidak makan obat setelah makan obat teratur
2 bulan) diberikan tambahan etambutol selama 4 bulan.
1.9 Penghentian Pengobatan 1
Bila telah menjalani 6 – 12 bulan pengobatan, evaluasi perbaikan klinis :
Berat badan meningkat.
Nafsu makan membaik.
Gejala hilang: demam, batuk.
Maka pengobatan dapat dihentikan.
1.10 Pendekatan DOTS1
Setiap penderita baru yang ditemukan harus selalu didampingi oleh seorang
yang telah dilatih singkat tentang cara pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari (PMO). Maksudnya untuk menjamin pengobatan lengkap, mencegah
resistensi. Termasuk PMO adalah petugas kesehatan, keluarga penderita, kader,
penderita yang sudah sembuh, tokoh masyarakat yang sudah dilatih strategi baru
penanggulangan TB.
1.11 Definisi gizi buruk
Gizi buruk adalah suatu keadaan kurang gizi yang ditandai dengan kehilangan
berat badan/ buruknya kenaikan berat badan, kehilangan lemak subkutan tubuh yang
biasanya berhubungan dengan konsumsi kalori yang inadekuat3. Diagnosis gizi buruk
dibuat berdasarkan riwayat diet yang teliti yang disertai evaluasi berat badan , tinggi
badan , serta usia yang dibandingkan satu sama lain1.
1.12. Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut
UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu1,2 :
1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah
makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Yang didalam
ini termasuk perilaku dan budaya dalam pengelolaan makanan serta mengasuh
anak.
2. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh
rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat
makanan secara baik.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk
pada balita, yaitu4 :
1. Keluarga miskin.
2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak.
3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti : jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran
pernapasan dan diare.
1.13. Penentuan status gizi anak
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat.
Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan
Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri disajikan
dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah
sebagai berikut5 :
a. Umur.
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan
penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan
berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak
disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah
adanya kecenderunagn untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5
tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat.
Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi
perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak
diperhitungkan5.
b. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran
massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan
yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang
menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan
menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan
pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan
gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya
memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi
kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke
waktu5
c. Tinggi Badan
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat
keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir
rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk
Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan
menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang
lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan
dan akibat tidak sehat yang menahun5.
Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk
menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status
gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi
untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh1,2.
Tabel 1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB
Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS5
NoIndeks yang
dipakai
Batas
PengelompokanSebutan Status Gizi
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD Gizi baik
> +2 SD Gizi lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Sumber : Depkes RI 2004.
Setiap anak yang memiliki status gizi antropometri (BB/TB) < -3 SD yang secara klinis
tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
disebut sebagai gizi buruk6.
Penampilan klinis seorang anak dengan gizi buruk dibagi menjadi 3 tipe
berdasarkan ada/tidaknya edema, yaitu8 :
1. Kwashiorkor
Kwashiorkor memiliki ciri-ciri1,2,3,8:
- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)
- Penampilan seperti anak gendut
- Wajah membulat dan sembab
- Pandangan mata sayu
- Rambut tipis karena mudah dicabut tanpa rasa sakit dan rontok. Pada kwashiorkor
yang lanjut terlihat rambut kusam, kering, halus, jarang. Warna hitam menjadi
merah, coklat, kelabu sampai putih.
- Perubahan status mental, rewel, banyak menangis, dan pada stadium lanjut sangat
apatis
- Pembesaran hati
- Otot mengecil (hipotropi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
- Kelainan kulit disebut crazy pavement dermatosis dimulai dengan titik merah
menyerupai petekie, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam, yang
kemudian akan mengelupas maka terdapat bagian yang merah dikelilingi oleh
batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering basah disebabkan
terjadinya keringat atau air kencing dan terus-menerus berupa bercak merah muda
yang meluas dan berubah warna mendapat tekanan merupakan predileksi
terjadinya crazy pavement dermatosis.
Gambar 1. Ciri anak Kwashiorkor (WHO,1999)
2. Marasmus
Marasmus memiliki ciri-ciri1,2,3,8 :
- Tampak sangat kurus, seperti hanya tulang terbungkus kulit
- Wajah seperti orang tua
- Perubahan mental (cengeng, rewel, apatis)
- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada
daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/”baggy pants”) sehingga
turgor kulit berkurang. Kulit juga tampak kering dan dingin
- Perut cekung
- Iga gombang
- Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare
- Otot-otot atrofi
- Tekanan darah rendah dan tidak jarang terdapat bradikardi
- Frekuensi nafas berkurang
- Anemia
Gambar 2. Ciri Anak Marasmus (WHO,1999)
3. Marasmus-kwashiorkor
Marasmus-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor
dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok1,2,3,8.
1.14 DIAGNOSIS
Anamnesis
Di dalam anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut2 :
a. Intake makanan dan cairan saat ini
b. Diet sebelum sakit
c. Menyusui
d. Durasi dan frekuensi diare dan muntah
e. Tipe diare (berair/berdarah)
f. Hilangnya nafsu makan
g. Lingkungan keluarga untuk mengetahui latar belakang sosial anak
h. Batuk kronis
i. Kontak dengan penderita tuberkulosis
j. Kontak dengan penderita campak
k. Diketahui atau suspek menderita infeksi HIV
1.15 Pemeriksaan fisik
Setiap anak yang datang untuk berobat harus ditimbang dan diukur tingginya
agar dapat segera diketahui status gizinya. Tidak semua orang tua membawa anaknya
berobat karena ‘tampak kurus/hilang nafsu makan’ maka itu perlu dilakukan
pemeriksaan pada setiap anak5.
Pada pemeriksaan fisik anak dengan gizi buruk dapat dilihat adanya9:
a. Tanda dehidrasi atau syok
b. Tanda kepucatan pada palmar yang berat
c. Tanda defisiensi vitamin A pada mata : konjungtiva atau kornea kering (Bitot’s
spot), ulkus kornea, dan keratomalasia.
Gambar 3. Bercak Bitot (WHO,1999)
d. Tanda infeksi, seperti infeksi telinga dan tenggorokan, infeksi kulit, atau
pneumonia
e. Pitting Edema
Gambar 4. Pitting Edema (WHO,1999)
Pada anak dengan gizi buruk dapat kita temukan edema yang seringkali
mengelabui diagnosa, sehingga sebagai klinisi harus dapat mengetahui diagnosis
banding anak dengan edema yang dapat pula ditemukan pada penyakit –
penyakit sebagai berikut :
Gagal ginjal
Pada anak dengan gagal ginjal dapat kita temukan edema yang terlebih dahulu
muncul di palpebra karena jaringan mata merupakan jaringan ikat longgar
sehingga memudahkan cairan berakumulasi. Bila bengkak telah sedemikian
berat makan dapat ditemukan menyebar ke seluruh tubuh yang disebut
dengan edema anasarka yang dapat mengelabui penampilan anak gizi buruk
dengan edema1.
Selain edema, yang dapat kita perhatikan pada anak dengan gagal ginjal adalah
diuresis yang menurun, pucat,aritmia, perdarahan saluran cerna, terdapat
retensi air dan garam (sehingga dapat terjadi hipertensi), kejang dan koma
(yang sering ditemukan pada ensefalopati uremia)2.
Sindrom nefritik akut ( SNA)
Edema yang ditemukan pada kelainan ginjal seringkali dimulai di palpebra ,
namun pada SNA harus didapatkan infeksi saluran napas bagian atas 1 – 3
minggu sebelumnya ataupun infeksi pada kulit. Keluhan kencing berdarah
dan tekanan darah tinggi seringkali menjadi keluhan utama pada pasien ini3.
Sindrom Nefrotik
Pada kelainan ginjal ini juga dapat ditemukan edema namun penyait ini harus
disertai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia (yang seringkali juga
rendah pada gizi buruk) dengan atau tanpa
hiperlipidemia/hiperkolesterolemia3.
Gagal Jantung
Edema pada kelainan jantung lebih sering dimulai pada kedua tungkai karena
aliran balik vena berkurang serta tahanan perifer yang tinggi1. Pada pasien
dengan gagal jantung maka dapat didapatkan pula keluhan sesak nafas
terutama saat aktifitas,mudah lelah,dan gagal tumbuh. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan takikardia, irama gallop, kulit dingin/lembab, takipneu
ataupun ortopneu, wheezing dan crackles. Pada foto rontgen dapat ditemukan
kardiomegali2,3.
f. Tanda infeksi HIV
g. Demam atau hipotermi
h. Ulkus pada mulut
i. Perubahan kulit pada kwashiorkor; hipo atau hiperpigmentasi, deskuamasi,
ulserasi, lesi eksudatif yang sering dengan infeksi sekunder (candida)
Namun, tanda – tanda diatas tidak selalu khas dan terlihat pada anak dengan gizi
buruk. Yang penting diketahui adalah kondisi klinis seorang anak gizi buruk saat
dibawa ke sarana kesehatan. Kondisi tersebut dibagi berdasarkan adanya 3 tanda bahaya
dan tanda penting pada anak gizi buruk yaitu syok letargis dan diare/muntah/dehidrasi6.
Kondisi klinis tersebut dipakai pula untuk menetukan rencana penatalaksanaan
selanjutnya. Lima kondisi klinis pada anak gizi buruk6 :
a. Kondisi 1
Jika ditemukan : Syok , letargis dan munta dan atau diare atau dehidrasi
Pada kondisi ini lakukan Rencana penatalaksanaan 1 (dibahasi dibagian
selanjutnya).
b. Kondisi 2
Jika ditemukan : Letargis dan muntah dan atau diare atau dehidrasi
Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 2
c. Kondisi 3
Jika ditemukan : Muntah dan atau diare atau dehidrasi
Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 3
d. Kondisi 4
Jika ditemukan : Letargis
Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 4
e. Kondisi 5
Jika tidak ditemukan 3 tanda bahaya diatas
Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 5
1.16 PENATALAKSANAAN
Perawatan anak dengan gizi buruk dibagi menjadi beberapa fase setelah ditentukan
ada tidaknya tanda bahaya / tanda penting yaitu6 :
1. Perawatan awal Fase Stabilisasi yaitu pada hari 1 dan 2
2. Perawatan lanjut fase stabilisasi yaitu pada hari 3 hingga 7
3. Perawatan pada fase transisi yaitu pada hari ke 8 hingga hari ke 14
4. Perawatan pada fase rehabilitasi pada minggu ke-3 hingga 6
5. Fase tindak lanjut yaitu pada minggu 7 – 26 dapat dilakukan di rumah, ditindak
sebagai outpatient.
Pada fase – fase tersebut diatas yang dilakukan di rumah sakit adalah berupa 10
langkah penting yaitu8 :
1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia
2. Mengatasi/mencegah hipotermia
3. Mengatasi/mencegah dehidrasi
4. Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Mengobati/mencegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)
8. Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro
9. Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh
Sehingga dapat disimpulkan pengobatan gizi buruk adalah seperti tabel dibawah ini
Tabel 2. Jadwal Pengobatan Gizi Buruk (WHO,1999)
Tindakan pada anak gizi buruk pada setiap fase setelah penilaian tanda bahaya dan
tanda penting6 adalah sebagai berikut :
1. Perawatan awal pada fase stabilisasi6
Setiap hari diperiksa berat badan dan suhu tubuh, jika perlu status gizi.
Pada fase ini dilakukan tindakan :
- Pemberian oksigen hanya pada kondisi 1 yaitu kondisi yang disertai
syok.
- Menghangatkan tubuh dilakukan pada semua kondisi
- Pemberian cairan dan makanan sesuai dengan kondisi, Rencana
I/II/III/IV/V
- Antibiotik diberikan kepada setiap kondisi
Pemberian antibiotik untuk anak gizi buruk7 :
Tanpa komplikasi : berikan kotrikmoksazol per oral setiap 12 jam
selama 5 hari
Komplikasi (syok,hipoglikemi,dermatosis,ISPA,letargis) : berikan
gentamisin IV/IM (7,5ml/kgBB) setiap hari sekali selama 7 hari +
ampisilin IV/IM (50mg/kgBB) setiap 6 jam selama 2 hari atau
Amoxicillin oral (15mg/Kg) setiap 8 jam selama 5 hari
Bila tidak membaik dalam 48 jam tambahkan : kloramfenikol IV/IM
(25mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari (jika curiga meningitis
berikan tiap 6 jam)
Infeksi khusus : antibiotik yang sesuai
2. Perawatan lanjutan pada fase stabilisasi6
Pada fase ini dilakukan anamnesis lanjutan untuk mengkonfirmasi
kejadian campak dan TB paru. Pemeriksaan fisik selalu dipantau khususnya
berat badan, panjang badan, dada,perut, otot jaringan lemak, pemeriksaan
khusus juga perlu untuk melihat penyakit yang menyertai seperti mata, THT,
dan kulit. Pemeriksaan laboratorium yang harus diberikan adalah kadar gula
darah dan Hemoglobin.
Tindakan yang dilakukan pada fase ini :
- Pemberian vitamin A
Jadwal dan dosis pemberian vitamin A pada tatalaksana gizi buruk adalah
sebagai berikut7 :
apabila tidak ada gejala mata atau tidak pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir maka diberikan kapsul vitamin A dosis sesuai umur
hanya pada hari pertama saja
apabila ada salah satu gejala buta senja, bercak bitot, radang, kornea
keruh, ulkus kornea atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
maka berikan kapsul vitamin A dosis sesuai umur pada hari pertama,
kedua dan kelimabelas.
Tabel.4 Dosis vitamin A sesuai umur (Direktorat Bina Gizi,2007)
Usia Dosis
<6 Bulan 50.000 SI ( ½ kapsul biru)
6 – 11 Bulan 100.000 SI (1 kapsul biru)
1 – 5 tahun 200.000 SI ( 1 kapsul merah)
- Pemberian asam folat
- Pemberian multivitamin tanpa Fe
- Pengobatan penyakit penyulit
Terdapat beberapa penyakit penyulit pada anak gizi buruk, yang salah
satunya adalah gangguan pada mata. Apabila mata anak mengalami hanya
bercak bitot saja,maka tidak memerlukan obat tetes mata. Jika terdapat
nanah/radang maka berikan tetes mata kloramfenikol. Berikan obat tetes
mata kloramfenikol dan tetes mata atropin, jika terjadi kekeruhan dan ulkus
pada kornea. Pastikan segera rujuk ke dokter mata dan tidak diberikan salep
yang mengandung kortikosteroid7
Dermatosis juga merupakan salah satu penyakit penyulit pada anak gizi
buruk. Jika anak mengalami hipo/hiperpigmentasi kulit maka kompres pada
bagian yang terkena dengan KmnO4 1/10.000 selama 10 menit. Apabila klit
mengalami deskuamasi ataupun lesi ulserasi eksudatif (seperti luka bakar)
dapat diberikan salem/krim Zn dan usahakan agar daerah-daerah infeksi
tetap kering7.
Perlu dilakukan skoring dan screening Tuberculosis paru maupun ekstra
paru pada anak gizi buruk dan di tatalaksana dengan obat anti tuberkulosa
yang sesuai 6,7.
- Stimulasi sensorik dan dukungan emosional berupa kasih sayang, lingkungan
yang ceria, terapi bermain terstruktur 15 – 30 menit/hari, aktivitas fisik
segera setelah sembuh dan keterlibatan ibu.
3. Perawatan pada fase transisi6
Pemeriksaan berat badan setiap hari pada fase ini.
Tindakan yang dilakukan pada fase ini :
- pemberian makanan untuk tumbuh kejar
- multivitamin tanpa Fe
- Stimulasi sensorik dan dukungan emosional berupa kasih sayang, lingkungan
yang ceria, terapi bermain terstruktur 15 – 30 menit/har, aktivitas fisik segera
setelah sembuh dan keterlibatan ibu.
- pengobatan penyakit penyulit
Jika anak berumur 4 bulan atau lebih dan belum pernah mendapatkan obat
cacing pirantel pamoat dalam 6 bulan terakhir dengan hasil pemeriksaan tinja
positif, maka beri pirantel pamoat sebagai dosis tunggal7.
Tabel 5. Pemberian obat pirantel pamoat (direktorat bina gizi,2007)
Usia ( berat badan anak) Tablet Pirantel Pamoat 125mg/tab
(Dosis tunggal)
4 – 9 bulan (6 - <8kg) ½ tablet
9 – 12 bulan ( 8 - <10kg) ¾ tablet
1 – 3 tahun ( 10 - <14kg) 1 tablet
3 – 5 tahun (14 - <19kg) 1 ½ tablet
4. Perawatan pada fase rehabilitasi6
pemeriksaan pada saat ini adalah monitor tumbuh kembang
tindakan yang dilakukan :
- pemberian makanan untuk tumbuh kejar
- multivitamin dengan Fe
- pengobatan penyakit penyulit
- persiapan ibu dengan memberikan contoh kepada orangtua bagaimana
membuat makanan dengan kandungan energi dan zat gizi yang padat serta
bermain terstruktur (ci-luk-ba)
- stimulasi
Pemberian cairan dan makanan pada fase stabilisasi adalah berbeda pada setiap
kondisi, maka dibawah ini akan diuraikan rencana tatalaksana berdasarkan kondisi5,6 :
1. Rencana 1 (syok, letargis dan muntah/diare/dehidrasi)
Segera :
- pasang oksigen 1 – 2 L/menit
- pasang infus RL dan D10% dengan perbandingan 1 : 1 (RLG 5%)
- berikan glukosa IV bolus : 5ml/kgBB bersamaan dengan ReSoMal 5ml/kgBB
melalui NGT
Jam pertama :
- teruskan pemberian cairan RLG 5% sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam,
5gtt/menit/kgBB
- catat nadi dan frekuensi nafas setiap 30 menit selama 1 jam
jam kedua :
- Bila nadi menguat dan frekuensi nafas turun, infus diteruskan dengan cairan
dan tetesan yang sama selama 1 jam
- Jika nadi lemah dan nafas tinggi teruskan pemberian cairan iv dengan dosis
diturunkan 1gtt/menit/kgBB. Lakukan transfusi packed red cell 1 tetes
makro/kgBB/menit disertai pemberian furosemid 1mg/kgBB secara iv.
- Rehidrasi belum selesai dan anak minta minum berika ReSoMal sesuai
kemampuan anak
- Catat nadi dan frekuensi nafas setiap 30 menit selama 2 jam ke II
10 jam berikutnya :
- catat denyut naddi , frekuensi nafas setiap 1 jam
- bila pemberian cairan intravena selesai. Berikan ReSoMal dan F-75 selama
10 jam berikutnya berselang seling setiap 1 jam
- ReSoMal : 5 – 10ml/kgBB/pemberian ; F-75 berdasarkan BB
- Bila anak masih menetek, berikan ASI setelah F-75
Bila sudah rehidrasi :
- Diare hilang : Resomal berhenti, teruskan F-75 Setiap 2 jam.
- Transfusi selesai : teruskan F-75 setiap 2 jam
- Perhatikan over rehidrasi
Diare/muntah berkurang dan F-75 habis :
- berikan tiap 3 jam F-75
- masih menetek ASI diantara pemberian F-75
diare/muntah tidak ada dan F-75 habis :
- berikan tiap 4 jam F-75
- ASI diantara pemberian F- 75
Catatan :
- hentikan pemberian cairan iv apabila ditemukan tanda bahaya : denyut nadi
dan frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema
palpebra.
- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana 1 hingga selesai, dan
teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.
2. Rencana II ( letargis dan muntah/diare/dehidrasi)
Segera :
- berikan bolus glukosa 10% intravena , 5ml/kgBB
- lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50 ml
2 jam pertama :
- ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap
pemberian
- Komposisi Resomal Komposisi cairan Resomal (WHO,1999)
- Catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian Resomal setiap 30 menit.
10 jam berikutnya :
- jika keadaan memburuk yaitu timbul syok, lakukan rencana I
- jika keadaan membaik , teruskan pemberian resomal berselang seling dengan
F-75 setiap 1 jam.
- Resomal : 5 – 10 ml/kgBB/ setiap pemberian , F-75 setiap 2 jam dosis
menurut BB
- Jika diare hilang, hentikan resomal dan teruskan F-75 setiap 3 jam
- Jika diare , setiap diare berikan resomal anak <2th: 50 -100m/diare, anak
>2th : 100 – 200ml/diare.
Jika diare dan muntah berkurang dan F-75 habis :
- lanjutkan F-75 setiap 3 jam
- teruska ASI antara pemberian F-75
jika tidak ada diare dan F-75 habis :
- lanjutkan F-75 setiap 4 jam
- teruskan ASI antara pemberian F-75
Catatan :
- hentikan pemberian cairan oral/ngt apabila ditemukan tanda bahaya : denyut
nadi dan frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema
palpebra.
- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana II hingga selesai, dan
teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.
3. Rencana III ( Muntah dan atau diare atau dehidrasi)
Segera :
- berikan 50 ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/ngt)
2 jam pertama :
- berikan resomal secara oral/ngt setiap 30 menit : dosis 5 ml/kgBB setiap
pemberian
- catat nadi,frekuensi nafas dan beri resomal setiap 30 menit
10 jam berikutnya :
- jika memburuk timbul syok makan masuk Rencana I tanpa pemberian bolus
glukosa
- jika membaik, teruskan pemberian ReSoMal berselang seling dengan F-75
setiap 1 jam.
Resomal 5 – 10ml/kgBB/setiap pemberian
F-75 setiap 2 jam menurut BB
- Jika diare hilang, hentikan resomal dan teruskan F-75 setiap 2 jam
- Jika diare , setiap diare berikan resomal anak <2th: 50 -100ml/diare, anak
>2th : 100 – 200ml/diare.
Jika diare/muntah berkurang dan F-75 habis :
- ubah pemberian F-75 menjadi setiap 3 jam
jika diare/muntah tidak ada dan F-75 habis :
- ubah pemberian F-75 menjadi setiap 4 jam
- ASI teruskan antara pemberian F-75
Catatan :
- hentikan pemberian cairan oral/ngt apabila ditemukan tanda bahaya : denyut
nadi dan frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema
palpebra.
- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana III hingga selesai, dan
teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.
4. Rencana IV ( Letargis )
Segera :
- berikan bolus glukosa 10% intraven , 5 ml/kgBB
- lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak
50ml
2 jam pertama :
- berikan F-75 setiap 20 menit, ¼ dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat
badan (NGT)
- catat nadi, frekuensi nafas
2 jam kedua (apabila belum sadar- masih letargis) :
- ulangi pemberian F-75 setiap 30 menit, ¼ dari dosis untuk 2 jam sesuai berat
badan via NGT
- pikirkan underlying disease
- catat nadi, pernafasan, kesadaran dan masukan F-75 tiap 30 menit.
Bila sudah sadar – 10 jam berikutnya :
- lanjutkan F-75 setiap 2 jam (oral/NGT)
- catat nadi, pernafasan dan kesadaran tiap jam
- bila masih menetek asi antara pemberian f-75
selanjutnya, F-75 sebagian besar habis :
- ubah pemberian menjadi F-75 setiap 3 jam
selanjutnya, F-75 habis :
- ubah pemberian menjadi setiap 4 jam
- ASI diteruskan antara pemberian F-75
Catatan :
- Kurangi pemberian F-75 sesuai dengan kebutuhan kalori minimal apabila
ditemukan tanda bahaya : denyut nadi dan frekuensi nafas meningkat, vena
jugularis terbendung atau edema palpebra.
- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana IV hingga selesai, dan
teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.
5. Rencana V (tanpa syok,letargis maupun diare/dehidrasi)
Segera :
- segera berikan 50ml glukosan/ larutan gula pasir 10% oral
- catat nadi, pernafasan dan kesadaran
2 jam pertama :
- berikan F-75 setiap 30 menit (1/4 dari dosis untuk 2 jam sesuai berat badan)
- catat nadi, frekuensi nafas,kesadaran dan asupan F-75 setiap 30 menit
10 jam berikutnya :
- terukan pemberian F-75 setiap 2 jam
- catat nadi , frekuensi nafas dan asupan
- bila anak masih menetek teruskan ASI antara pemberian F-75
selanjutnya, F-75 sebagian besar dapat dihabiskan :
- lanjutkan pemberian F-75 setiap 3 jam
- asi lanjutkan
selanjutnya, F-75 habis :
- lanjutkan pemberian F-75 setiap 4 jam
- asi lanjutkan
Catatan :
- hentikan pemberian F-75 apabila ditemukan tanda bahaya : denyut nadi dan
frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema palpebra.
- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana V hingga selesai, dan
teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar
Pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar akan dibahas dibawah ini
dan tidak dibedakan per kondisi6 :
1. Pada tahap akhir fase Stabilisasi,dapat menghabiskan F-75 setiap 4 jam
maka masuk fase transisi :
- F-75 diganti dengan F-100 diberikan setiap 4 jam dengan dosis sesuai BB,
dipertahankan selama 2 hari
- Hari ke 3 mulai berikan F-100 dengan dosis sesuai BB. Pada 4 jam
berikutnya, dosis dinaikkan 10 ml hingga anak tidak mampu
menghabiskan jumlah yang diberikan, dengan catatan tidak melebihi
dosis maksimal sesuai BB.
- Hari ke 4 berikan F-100 setiap 4 jam dengan dosis sesuai BB berkisar
antara dosis minimal dan dosis maksimal dengan ketentuan tidak boleh
melampaui dosis maksimal F-100. Pemberian F-100 dengan dosis seperti ini
dipertahankan sampai hari 7 – 14 (hari terkahir fase transisi) sesuai
kondisi anak. Selanjutnya memasuki fase rehabilitasi dengan menggunakan
F-135 dan makanan pada sesuai dengan BB anak.
2. kriteria pulang dari rumah sakit (fase rehabilitasi):
Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi7:
a. Nafsu makan baik
b. Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan, tertarik
terhadap lingkungan
c. Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia)
d. Suhu tubuh normal (36.5–37.5 °C)
e. Tidak ada muntah dan diare
f. Tidak ada edema
g. Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari
Jika BB< 7kg : berikan F-135 dengan makanan bayi/lumat dan sari buah
Jika BB >7kg : berikan F-135 ditambah dengan makanan bayi/lumat dan sari buah
Terus berikan makanan tahap rehabilitasi ini sampai tercapai 6:
BB/TB > - 2 SD WHO NCHS (kriteria sembuh)
Tindak lanjut di rumah bagi anak gizi buruk adalah yang paling penting agar anak
tidak kembali jatuh dibawah – 3 SD , sehingga perlu diberikan edukasi kepada orang tua
dan perlakukan pasien sebagai outpatient6,7. Bagi pasien yang dipulangkan sarankan
untuk6 :
- memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering
- membawa anaknya untuk kontrol pada bulan pertama : 1x/minggu , bulan
kedua : 1x/2 minggu dan bulan ketiga- keempat : 1x/bulan,
- mengingatkan ibu untuk imunisasi dasar atau booster
- Pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali.
HIPOGLIKEMIA
Merupakan salah satu penyebab kematian pada gizi buruk. Dapat disebabkan
infeksi sistemik atau tidak mendapat makanan 4-6 jam sebelumnya.
Definisi : Kadar glukosa darah <54 mg/dL atau <3 mmol/L
Tanda Klinis : Lemah, suhu tubuh <36,5˚C, kadang ada gangguan kesadaran.
Anak tidak berkeringat dan pucat seperti anak normal, lebih
sering didapatkan anak mengantuk.
Bila ada tanda klinis berikan glukosa tanpa menunggu pemeriksaan lab.
Anak mampu minum : 50 ml glukosa 10% atau F-75
Sukrosa 10% : 1 sendok teh gula pasir dalam 5 sendok teh air
Anak tidak sadar atau kejang : Glukosa 10% 5ml/kgBB iv diikuti
50ml glukosa 10% per NGT
Semua anak gizi buruk yang menderita hipoglikemia harus diberi antibiotika
spektrum luas karena kemungkinan besar menderita infeksi sistemik.
HIPOTERMIA
Definisi : Suhu dubur <36 ˚C
Faktor resiko : Bayi <12 bulan
Kerusakan kulit yang meluas
Infeksi serius
Penanganan : Kangaroo mother care/perawatan bayi lekat bungkus anak dengan
selimut dan letakkan lampu didekatnya (jangan terlalu dekat)
DEHIDRASI DAN SYOK SEPTIK
Dehidrasi dan syok septik sulit dibedakan pada anak dengan gizi buruk.
Pada syok septik sering dijumpai riwayat diare dengan dehidrasi sehingga gambaran
klinis menjadi kabur.
Diagnosis :
Tanda dehidrasi yang biasa digunakan untuk menilai anak normal sulit
diterapkan pada anak gizi buruk karena :
Pada anak gizi buruk terjadi atrofi kelenjar ludah dan air mata sehingga mukosa menjadi
kering dan air mata tidak ada tidak cukup baik untuk menilai dehidrasi.
Lemak subkutan tipis sehingga pada cubitan kembalinya kulit selalu lambat.
Sebaliknya, edema menutupi tanda ini.
Tatalaksana :
Dehidrasi diatasi dengan pemberian cairan peroral. Pemberian cairan intravena dapat
menyebabkan over hidrasi dan gagal jantung, karena itu hanya diberikan pada keadaan
syok. Penderita gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan kadar natrium yang tinggi,
maka seharusnya cairan rehidrasi mengandung lebih banyak kalium dan lebih sedikit
natrium dibanding oralit standard (formula WHO).
Cairan rehidrasi untuk malnutrisi disebut ReSoMal.
Cara pemberian :
70-100ml/kgBB selama 12jam, dimulai dengan 5ml/kg setiap 30 menit untuk
2 jam pertama (oral/NGT), kemudian 5-10 ml/kg/jam.
Hentikan ReSoMal bila ada :
Kenaikan frekuensi jantung dan respirasi
Pelebaran (kenaikan tekanan) vena jugularis
Peningkatan edema (termasuk kelopak mata bengkak)
Rehidrasi diberikan sampai anak tidak merasa haus, air kemih telah diproduksi dengan
baik, tanda dehidrasi lain sudah hilang.
Rehidrasi intravena :
Diberikan pada syok hipovolemik atau syok septik.
Larutan Darrow (half-strength) dengan glukosa (dekstrosa) 5% atau RL dengan glukosa
5% atau D5 ½ saline.
Diberikan 15ml/kgBB selama 1 jam, pantau tanda overhidrasi. Dapat diulang dengan
dosis yang sama. Pasang NGT dan berikan ReSoMal 10ml/kgBB/jam.
Anak dievaluasi tiap jam.
Anak dengan tanda sebagai berikut dianggap menderita syok septik :
Tanda dehidrasi tanpa riwayat diare cair
Hipotermia atau Hipoglikemia
Edema dan tanda Dehidrasi
KOREKSI ELEKTROLIT
Kurangi garam pada makanan, berikan makanan yang banyak mengandung K dan Mg
Sumber K : jus tomat, merica, paprika, kacang-kacangan, apel, alpukat, bayam,
daging tanpa lemak.
Sumber Mg : coklat, kopi instan, kacang-kacangan, bayam, aprikot.
INFEKSI
Demam sebagai tanda infeksi tidak tampak pada penderita gizi buruk. Pada semua
penderita gizi buruk sebaiknya diberikan antibiotika spektrum luas.
a. Tanpa tanda infeksi dan komplikasi :
Kotrimoksasol (25mg sulfametoksasol + 5mg trimetoprim/kg/x)
Dua kali sehari peroral.
b. Dengan infeksi / komplikasi :
Ampisilin 50mg/kg/kali tiap 6 jam i.m atau i.v selama 2 hari diteruskan dengan
Amoksisilin 15mg/kg/kali tiap 8 jam peroral selama 5 hari.
Gentamisin 7,5mg/kg sekali sehari selama 7 hari.
Bila dalam 48 jam tidak ada perbaikan tambahkan Kloramfenikol 25mg/kg/kali i.m atau
i.v. tergantung respon anak.
Bila ada infeksi lain (amoebiasis, candidiasis, tuberculosis, dll) terapi sesuai
penyakitnya.
Berikan imunisasi campak sewaktu masauk rumahsakit dan dosis ulang pada waktu
keluar. Hal ini karena mortalitas karena campak sangat tinggi pada anak dengan gizi
buruk.
DEFISIENSI MIKRONUTRIEN
Berikan suplementasi vitamin A :
Bayi < 6 bulan 50.000 IU/kali
Bayi 6-12 bulan 100.000 IU/kali
Bayi > 12 bulan 200.000 IU/kali
Diberikan pada hari pertama, kedua, dan keempatbelas dihitung sejak perawatan
dimulai bila ada tanda defisiensi vitamin A (buta senja, xerosis konjungtiva, xerosis
kornea, bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia).
Hanya hari pertama jika tidak ada tanda defisiensi vitamin A.
Berikan suplementasi vitamin dan mikronutrien lainnyakecuali besi. Besi diberikan
pada minggu kedua setelah BB mulai naik, dosis 3mg/kgBB/kali
PEMBERIAN MAKANAN AWAL
Fungsi hati dan usus kurang sempurna, gangguan keseimbangan elektrolit :
Makanan dengan kandungan protein/lemak/natrium di jumlah kurang dari normal,
karbohidrat tinggi. Diberikan dalam porsi kecil dan sering. Dengan NGT bila anak tidak
dapat menelan.
Pantau asupan makanan harian
Bila nafsu makan timbul : Pemberian makan berhasil, anak masuk fase
rehabilitasi
Asupan kalori : 80-100 kcal/kgBB/hari
Pantau BB tiap hari.
TUMBUH KEJAR
a. Bantu anak makan sesuai kemampuannya
b. Menyusui setiap kali anak menginginkannya
c. Merangsang perkembangan emosi
d. Mempersiapkan ibu/pengasuh untuk perawatan di rumah
e. Rehabilitasi nutrisi :
- Kebutuhan energi 150-220 kcal/kgBB/hari
- Protein 4-6 g/kgBB/hari
- Berikan besi dan asam folat
- Pantau BB tiap hari
STIMULASI
Ruang rawat dengan warna cerah dan suara musik, aktivitas bermain dengan anak lain
dan aktivitas fisik.
TINDAK LANJUT
Melatih orang tua untuk mencegah berulangnya gizi buruk, dengan cara
menjelaskan:
a. Penyebab malnutrisi
b. Pemberian makan yang benar
c. Cara stimulasi mental dan emosi
d. Mampu menangani diare
e. Mengenali kemungkinan infeksi
f. Memahami perlunya pemberian obat cacing tiap 6 bulan.
KRITERIA PULANG DARI RUMAH SAKIT
1. Anak : - BB/TB atau BB/PB mencapai -1 SD atau 90 % standard WHO- NCHS
- Mampu makan dalam jumlah cukup
- Kenaikan BB sesuai
- Defisiensi vitamin dan mineral teratasi
- Infeksi terobati
- Vaksinasi telah dimulai
2. Ibu : - Mampu merawat
- Mampu mempersiapkan dan memberikan makanan
- Mampu membuat mainan/bermain dengan anak
- Memahami cara menangani diare, demam dan ISPA
BAB III
PEMBAHASAN
1. Mengapa pasien didiagnosis sebagai TB paru putus obat dengan gizi buruk ?
Anamnesis :
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafas
sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dapat muncul kapan saja, dan
sesak akan memberat apabila pasien mengalami kelelahan, saat sesak ibu pasien
mengaku tidak terdengar suara mengi. Sesak tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Selain sesak pasien mengeluhkan batuk sejak 4 tahun yang lalu dan dirasakan
hingga sekarang. Batuk terkadang berdahak bewarna putih, kental dan terkadang
disertai darah. Semenjak 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak mau
makan nasi, hanya minum susu dan makan biskuit 1-2x perhari.
Sejak usia 6 tahun ibu pasein mengaku berat badan anaknya tidak naik,
pasien sulit untuk makan, sehari makan 1x menu nasi, kecap dan garam, ibu
pasien membiarkan anaknya tidak mau makan, asupan makanan diganti dengan
jajanan yang lebih disukai anaknya.
Pada usia 8 tahun pasien pernah berobat ke puskesmas dengan keluhan
batuk lama, dipuskesmas pasien diberikan pengobatan selama 6 bulan namun
pada pengobatan bulan ke 2 pengobatan berhenti karena pasien terlihat sehat,
sehingga pengobatan tidak dilanjukan.
Ibu pasien mengaku anak kedua dan ketiganya juga terkena tb paru dan
tinggal satu rumah
Hasil anamnesis mendukung ke arah diagnosis TB paru dengan riwayat putus obat
dengan gizi buruk karena pasien mengalami batuk lama yang tidak kunjung sembuh
disertai dahak berwarna putih kental dan pasien telah melakukan pengobatan selama 2
bulan namun tidak melanjutkan pengobatan karena pasien merasa sudah merasa lebih
baik. Diagnosis tb paru anak jika :
a. Dicurigai tuberculosis
1.Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan diagnosis pasti (BTA
positif)
2. Anak dengan:
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan.
BB menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan terapi antibiotik untuk
penyakit pernapasan.
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:
Uji tuberkulin positif (10 mm/lebih)
Foto Rontgen paru sugestif tuberkulosis.
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis.
Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT.
c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan.
Selain itu curiga TB menggunakan sistem labelisasi dan scoring dengan.
+ score >6
Keluhan adanya sesak nafas sejak dirasakan sejak 2 miggu sebelum masuk
rumah sakit, sesak dapat muncul kapan saja, dan sesak akan memberat apabila pasien
mengalami kelelahan, saat sesak ibu pasien mengaku tidak terdengar suara mengi.
Sesak tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Pasien belum pernah melakukan penguapan /
pengobatan untuk meringankan sesaknya tersebut. Sesak dirasakan hilang sendiri jika
pasien sudah beristirahat. Ini dapat menyingkirkan penyebab sesak karena asma pada
penyakit tb ini..
“Sejak usia 6 tahun ibu pasein mengaku berat badan anaknya tidak naik, pasien
sulit untuk makan, sehari makan 1x menu nasi, kecap dan garam, ibu pasien
membiarkan anaknya tidak mau makan, asupan makanan diganti dengan jajanan
yang lebih disukai anaknya.”
Selain itu diketahui juga bahwa anak sulit makan dan berat badannya tidak naik,
setiap hari biasanya anak hanya makan 1 kali dengan menu nasi kecap garam dan
asupan makan biasanya diganti dengan jajanan yang disukai anaknya dari anamnesis
tersebut anak kemungkinan mengalami gizi buruk.
Gizi buruk adalah suatu keadaan kurang gizi yang ditandai dengan kehilangan
berat badan/ buruknya kenaikan berat badan, kehilangan lemak subkutan tubuh yang
biasanya berhubungan dengan konsumsi kalori yang inadekuat
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk
pada balita, yaitu4 :
1. Keluarga miskin.
2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak.
3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti : jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran
pernapasan dan diare.
Etiologi:
Pada kasus ini batuk yang disebabkan karena bakteri mycobacterium tuberculosis
sudah merangsang sistem rangsangan batuk (alveolus dan bronkus) dan kemungkinan
penyebaran sudah meluas. pada anak tb paru tidak menimbulkan batuk karena bakteri
berada pada parenkim paru.
“sesak nafas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dapat muncul kapan
saja, dan sesak akan memberat apabila pasien mengalami kelelahan, saat sesak ibu
pasien mengaku tidak terdengar suara mengi. Sesak tidak dipengaruhi oleh
lingkungan. Selain sesak pasien mengeluhkan batuk sejak 4 tahun yang lalu dan
dirasakan hingga sekarang.”
Gejala dari tb pada anak dari kaitannya dengan hal-hal seperti kontak erat dengan
pasien TB sputum BTA (+), berat badan turun tanpa sebab jalas, atau berat badan
kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi (failure
to thrive),demam lama atau berulang tanpa penyebab jelas, batuk lama lebih dari tiga
minggu, uji tuberkulin, foto rongen dada, pemeriksaan mikrobiologi dan serologi,
pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran : kompos mentis
Tanda Vital :
Frekuensi nadi : 100x/menit, nadi teraba kuat, reguler
Frekuensi napas : 30x/menit
Suhu : 36,40 Celsiusper axilla
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Pada pasien tidak didapatkan kelainan dalam pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan neurologis yang dilakukan umumnya tidak dijumpai adanya kelainan
neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan saraf kranialis.
Pemeriksaan penunjang :
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin, untuk menyingkirkan
penyebab penyakit lain saya merencanakan untuk cek elektrolit untuk mengetahui kadar
elektrolit darah agar dapat memberikan elektrolit tambahan untuk membatu dalam
perbaikan gizi pada anak tersebut. Selain itu perlunya cek BTA ulang dan Ro thorax
pada anak ini untuk mengetahui sejauh mana penyebaran penyakit tb saat ini selain itu
untuk membandingkan perjalanan penyakit sebelum dan setelah pengobatan.
Diagnosis Banding :
Asma dari gejalanya didapatkan riwayat mengi / wheezing pada pasien tidak ditemukan
memungkinkan merupakan kejadian asma baru, namun dan mengi pada pasien ada
hubungannya dengan batuk dan pilek memungkinkan penyebab asma karena terjadi
hiperinflamasi pada dinding dada, riwayat pemakaian bronkodilator pada anak tidak
ditemukan. Ekspirasi dan inspirasi tidak memanjang pada pasien dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik memungkinkan sesak pada anak diakibatkan penyebab penyakit
tuberkulosis.
2. Bagaimana terapi pada pasien ini ?
Terapi :
1. Medikamentosa
IVFD KAEN 1B 16 tpm makrodrip
Vit A 100.000 UI
OAT 1x1 pulv
Inodroxin 100 mg
Pirasinamid 250 mg
Rimfampisin 175 mg
Antrain 3x85 mg (k.p)
Ranitidin 2x8 mg
Ambroksol 3 x 21 mg
Cefotaxime 2 x 850 mg
2. Diet (Kebutuhan cairan, kalori, jenis makanan)
BB ideal = ((7x5) – 5)/2 = 33
Terapi diet = (40-65) kal x 16 kg = 640 - 1040 kal/hari,
Dinaikan bertahap sampai = (40-65) kall x 33 = 1320-2145 kal/hr
Makanan biasa
Jika penanganan menggunakan F-75 pemberia 2x siang dan malam
Energi 80-100 kall x 16 = 1280 – 1600 kall / hr
Cairan 130 ml x 16 = 2080 ml/ hr
Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4x sehari.
Pada pasien ini diberikan Antrain 3x85 mg. Indikasi pemberian antrain menurut
teori adalah untuk meringankan rasa sakit/ kolik dan rasa nyeri setelah operasi
yang mempunyai efek analgesic.
Mukolitik
Ambroksol 1,2-1,6 mg/kgBB/x. Diberikan 3 x sehari
Pada pasien ini diberikan Ambroksol 3 x 21 mg. Indikasi pemberian
mengencerkan sekret saluran napas dengan memecah mukoprotein dan
mukopolisakarida.
Antagonis Reseptor H2
Ranitidin 2-4 mg/kgbb/hr mg
Mekanisme kerja dapat menghambat sekresi asam lambung yg diinduksi oleh
histamin secara lengkap, penggunaan ranitidin untuk mengurangi efek samping
pemberian obat lainnya
Cefotaxime 12,5-25 mg / kgbb
3. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Prognosis pada pasien ini cukup buruk karen pasien sebelumnya telah mengalami gagal
pengobatan menyebabkan pasien harus menggunakan pengobatan line ke 2 yang
merupakan pengobatan lebih ketat selain itu pasien perlu melakukan diet karena paseien
mengalami gizi buruk diharapkan dengan pemberian kalori yang lebih setiap harinya
pasien dapan mencapai berat ideal.
Risiko berulangnya kejang demam :
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah :
- Riwayat kejang demam di keluarga. (pada pasien ini tidak ada)
- Usia saat kejang demam pertama kurang dari 14 bulan. (Pasien berumur
10 bulan saat kejang demam pertama)
- Tingginya suhu tubuh saat kejang. (Pada pasien ini suhu tubuh juga
meningkat saat kejang)
- Lamanya demam.
Pada pasien ini sudah mengalami berulangnya kejang demam pada episode yang
berbeda.
Risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari:
- Gangguan perkembangan saraf
- Kejang demam kompleks
- Riwayat epilepsi dalam keluarga
- Lamanya demam
DAFTAR PUSTAKA
1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional tuberkulosis anak.. Dalam: Rahajoe
NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Jakarta. IDAI. 2005. h.10 –
45, 81 – 94.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu kesehatan anak no 2. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI. 1985. h. 573 – 584.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics 17th ed. China.
Saunders International. 2004.
4. Rahajoe NN. Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis pada anak. Jakarta. IDAI. 1999. h.
691 - 704.
5. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. Jurnal tuberkulosis indonesia.
Jakarta. 2004. Diambil dari
http://www.tbcindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf. Diakses pada
tanggal 28januari 2014.
6. Sundari T. Jurnal nasional: pengobatan tb. Diambil dari http://jurnalnasional.com/?
med=Koran%20Harian&sec=Kesehatan&rbrk=&id=43328&postdate=2008-04-
08&detail=Kesehatan. Diakses pada tanggal 22 April 2008.
7. Herryanto, Musadad DA, Komalig FM. Riwayat pengobatan penderita tb paru. Diambil
dari http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%203/Herryanto_1.pdf. Diakses
pada tanggal 30januari 2014.
8. Sriwidodo WS. Cermin dunia kedokteran: tuberkulosis. Diambil dari
http://www.kalbe.co.id. Diakses pada tanggal 24 januari 2014.
9. Behrman Richard E. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Edisi 15. EGC: Jakarta.
1999
10. Garna Herry. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3. Bandung.
2005
11. Matondang Corry S. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2. Sagung Seto: Jakarta. 2003
12. Sastroasmoro Sudigdo. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilimu Kesehatan Anak.
Jakarta.2007
13. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. EGC: Jakarta.1995
14. Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Pneumonia dalam buku kuliah jilid 3 Imu
Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan anak FKUI: Jakarta, 1985, 1228-1230.
15. Mansjoer Arif : Pneumonia dalam Kapita selekta Kedokteran jilid 2, edisi 3. Media
Aesculapius FKUI, Jakarta : 2000, 465-468.
16. Bagian Ilmu Kesehatan FKUP : Pneumonia dalam Pedoman Diagnosa dan Therapi Ilmu
Kesehatan Anak, edisi II, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP, Bandung : 2000, 322 –
327.